Menu Close

3 cara pejabat universitas bisa memanfaatkan AI untuk meningkatkan manajemen dan layanan kampus

Selama beberapa tahun terakhir, beragam asisten virtual berbentuk chatbot telah bermunculan dan membantu mendampingi mahasiswa dalam proses pendaftaran, persiapan pembelajaran, hingga perkuliahan di beberapa kampus dunia.

Rilisnya model kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) buatan perusahaan OpenAI, yakni ChatGPT, yang viral sejak akhir tahun lalu semakin menggencarkan adopsi ini. Kini, semakin banyak diskusi dan perdebatan tentang penggunaan AI di lingkungan kampus – dari metode asesmen, publikasi karya ilmiah, hingga pengasahan kemampuan penulisan dan berpikir kritis.

Tapi, tak hanya dalam konteks belajar dan riset, pemanfaatan AI dengan tepat bisa membantu perguruan tinggi meningkatkan pengelolaan sumber daya serta kualitas layanan maupun pembelajaran mahasiswa.

Penggunaan AI di perguruan tinggi pun dapat mengurangi beban administrasi, membantu pengambilan keputusan, hingga meningkatkan efisiensi pengelolaan kampus.

1. Mendukung layanan akademik untuk mahasiswa

Sebelumnya, sistem pengelolaan pembelajaran (learning management system, LMS) seperti Moodle dan Google Classroom untuk mahasiswa, ataupun platform kursus daring terbuka massal (Massive Open Online Course MOOCs) untuk pendaftar umum, sudah banyak digunakan oleh perguruan tinggi untuk mengelola data dan materi secara online.

Tapi, kajian tahun 2013 dari lembaga Centre for Educational Technology, Interoperability, and Standards (CETIS) di Inggris menemukan bahwa tingkat penyelesaian (completion rate) kelas-kelas dalam platform-platform daring tersebut cukup rendah karena dinilai kurang interaktif. Di Indonesia, persentasenya bahkan hanya 16%.

Dosen dan tenaga administrasi memiliki keterbatasan waktu dalam mendampingi mahasiswa secara online. Interaksi melalui LMS yang dianggap kurang personal dan “bermakna” ini adalah hal yang coba dikoreksi melalui asisten virtual berbasis AI.

Bethel University di AS mengadopsi chatbot AI bernama “Wilhelm” buatan perusahaan EdSight yang memberikan rekomendasi modul sesuai kebutuhan dan kemampuan mahasiswa.

Wilhelm dipakai untuk mempelajari kendala mahasiswa, seperti masalah kesehatan mental dan emosional mereka, hambatan mereka secara akademik, kekurangan sumber daya, dan seterusnya. Dosen dan staf kemudian membantu mereka dengan layanan yang sesuai agar tidak drop out dan menyelesaikan pendidikan dengan lancar. Setelah satu semester, penggunaan Wilhelm membuat daya retensi mahasiswa untuk tetap melanjutkan kuliah meningkat 4%.

Di Indonesia, penelitian tahun 2020 dari Binus University di tiga provinsi – DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta – dengan sampel 262 siswa menemukan bahwa portal pembelajaran daring berbasis AI mampu memprediksi gaya belajar dan pola aktivitas mereka dalam menggunakan platform. Data ini kemudian dapat digunakan pendidik untuk meningkatkan rata-rata hasil belajar secara signifikan.

2. Mengurangi beban administrasi dosen

AI dapat membantu mengurangi tugas-tugas administrasi yang selama ini memakan banyak waktu dan tenaga dosen. AI dapat mengotomasikan tugas-tugas yang berulang seperti mengisi daftar presensi, membuat berita acara perkuliahan, membuat rencana pembelajaran semester, atau setidaknya membuat proses-proses ini lebih efisien.

Georgia Institute of Technology di AS, misalnya, sejak 2016 telah mengembangkan AI bernama “Jill Watson”. AI ini secara mandiri merespons pertanyaan mahasiswa, mengunggah pengumuman akademik dan nonakademik, hingga penilaian otomatis yang mempersingkat waktu evaluasi beberapa jenis tugas dan ujian.

Jill dalam satu semester membantu menjawab 10.000 pesan online dari 300 mahasiswa di satu kelas saja, jumlah yang hampir tidak mungkin ditangani dosen biasa. Berdasarkan wawancara dengan profesor Georgia Tech yang menciptakannya, yakni Ashok Goel, bersama The Wall Street Journal, “meskipun jumlah mahasiswa meningkat, namun jumlah pertanyaan yang berbeda tidak terlalu banyak.”

Oleh karena itu, mereka kemudian mengisi memori AI Jill Watson dengan puluhan ribu pertanyaan (serta jawabannya) berdasarkan pola dari semester-semester sebelumnya. Dengan data-data yang semakin banyak, Jill belajar mengurai konteks pertanyaan mahasiswa dan menjawabnya secara akurat.

AI berpotensi mengurangi beban administratif dosen, sehingga mereka bisa melakukan pekerjaan yang lebih bermakna yang tidak bisa digantikan oleh AI. Ini termasuk memotivasi dan membantu memecahkan permasalahan pembelajaran mahasiswa di kampus.

3. Membantu menyediakan informasi cepat untuk pengambilan keputusan

Untuk perguruan tinggi mana pun, komunikasi yang cepat dan informasi yang lengkap berpengaruh dalam keputusan mahasiswa untuk mendaftar. AI bisa digunakan untuk memberi informasi penting kepada mahasiswa baru hingga memberi rekomendasi pemilihan program studi kepada calon mahasiswa yang sesuai dengan minat dan bakat mereka

Dengan chatbot mereka yang bernama “Ask Lyon”, Nanyang Techonological University (NTU) di Singapura memungkinkan mahasiswa baru untuk mendapatkan informasi atas pertanyaan-pertanyaan umum mengenai kampus, mata kuliah, fasilitas, akomodasi, dan banyak hal lainnya. Ask Lyon melibatkan input mahasiswa dari berbagai latar belakang dalam modelnya sehingga jawabannya sesuai dengan nuansa lokal yang unik di NTU.

Di tingkat manajemen kampus di Indonesia, ada juga masalah pengambilan keputusan yang sering kali masih berdasarkan data yang diambil secara manual – misalnya analisis kebutuhan pembukaan dan penutupan program studi yang tidak produktif.

Ini punya keterbatasan karena biasanya mengandalkan intuisi, terhambat alur birokrasi yang panjang, pemanfaatan sumber daya yang tidak efisien, berbasis data yang belum diperbarui, rentan menghasilkan kesalahan operasional, belum lagi diperparah dengan adanya pola korupsi di dalam kampus.

Perencanaan strategis pendidikan merupakan proses yang memakan waktu dan tenaga, yang melibatkan banyak pertemuan, konsultasi, dan pengulangan. Para pemimpin kampus sering kali membuat keputusan tanpa bisa mengakses semua informasi.

AI punya potensi besar untuk membantu memberikan pilihan skenario dan hasil berdasarkan data masa lalu dan tren saat ini. Ini termasuk mengidentifikasi perubahan demografi mahasiswa, kemajuan teknologi, perencanaan kepegawaian, hingga permintaan pasar kerja yang terus berkembang.

Masa depan AI di dunia perguruan tinggi Indonesia

Universitas Muhammadiyah (UM) Malang, melalui chatbot mereka bernama SAM PRI, tercatat mampu melayani ribuan mahasiswa 24 jam setiap harinya. Harapannya, kisah positif transformasi digital semacam ini bisa semakin banyak lagi dengan penerapan AI.

Teknologi chatbot, misalnya, bisa di integrasikan dengan AI untuk memperluas fungsinya tak hanya untuk menjawab pertanyaan, namun juga merekomendasikan program studi, modul pembelajaran sesuai dengan gaya belajar mahasiswa, hingga mempelajari masalah kesehatan mental baik dosen, staf, ataupun mahasiswa.

Tapi, ambisi transformasi digital di kampus tetap harus berimbang dengan upaya negara untuk menghapus kesenjangan akses internet dan literasi digital di Indonesia. Penggunaan AI di kampus pun harus dibekali dengan keamanan dan privasi data. Pihak kampus harus memastikan bahwa data mahasiswa dan staf aman dari potensi pelanggaran siber.

Bisa jadi ada sejumlah pihak yang menganggap bahwa AI hanyalah teknologi gimik. Namun, dengan penerapan yang tepat, AI terbukti dapat memaksimalkan layanan pendidikan di berbagai negara.

Selamat datang pendidikan tinggi masa depan!

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now