tag:theconversation.com,2011:/africa/topics/tragedi-1965-43824/articlesTragedi 1965 – The Conversation2022-09-30T06:52:43Ztag:theconversation.com,2011:article/1913272022-09-30T06:52:43Z2022-09-30T06:52:43ZRiset: stigma dan tuduhan “anak PKI” selepas peristiwa 1965 memicu trauma seumur hidup<p>Sejak kecil, Budi menjadi korban olok-olok dari teman-teman sekampungnya di Yogyakarta. Salah satu olokan yang sering ia dengar adalah “anak PKI”.</p>
<p>Budi kecil mendapat julukan ini hanya gara-gara ayahnya pernah <a href="https://www.jstor.org/stable/j.ctv7h0sbg">dibuang ke Pulau Buru</a> di Kepulauan Maluku. </p>
<p>Menurut pengakuan ayah Budi, pembuangan tersebut bermula saat ia masih berada di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Waktu itu, ia dan seorang remaja lain bersaing memperebutkan hati seorang teman mereka.</p>
<p>Ayah dari teman Budi ini adalah seorang pejabat kampung. Untuk membantu perjuangan cinta anaknya, ia menuduh ayah Budi sebagai anggota PKI.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/cn8m_2JJcPE?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Ayah Budi pun ditangkap, dipenjara, dan pada akhir tahun 1960-an ikut dibuang ke Pulau Buru – dan Budi harus hidup dengan stigma dan trauma sebagai “anak PKI” sepanjang hidupnya.</p>
<p>Kisah Budi adalah salah satu dari sekian banyak orang yang terseret dampak tragedi 1965 yang menyisakan bekas memilukan dalam sejarah Indonesia.</p>
<p>Pada dini hari <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-319-71455-4_3">1 Oktober 1965</a>, tujuh petinggi Angkatan Darat (TNI-AD) terbunuh dalam operasi militer rahasia. Militer menuding Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalangnya.</p>
<p>Hal ini memicu pembantaian massal – yang terbesar dalam sejarah Indonesia modern – terhadap mereka yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Total, jumlah korbannya mencapai <a href="https://theconversation.com/indonesians-should-be-able-to-talk-about-1965-massacres-without-fear-of-censorship-49729">setidaknya setengah juta orang</a>.</p>
<p>Selain mereka yang tewas dalam pembunuhan massal tersebut, banyak pula yang harus <a href="https://theconversation.com/bagaimana-mantan-tapol-1965-beserta-keluarga-mereka-bergelut-dengan-memori-kekerasan-masa-lalu-191598">meringkuk dalam penjara</a> di seantero negeri.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-mantan-tapol-1965-beserta-keluarga-mereka-bergelut-dengan-memori-kekerasan-masa-lalu-191598">Bagaimana mantan tapol 1965 beserta keluarga mereka bergelut dengan memori kekerasan masa lalu</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Tetapi, ada banyak pula yang tak mati atau masuk penjara, tetapi harus ikut menderita. Mereka adalah korban tak bersalah beserta keluarga mereka – para tertuduh “anak PKI” – yang mengalami trauma berkepanjangan karena terseret konflik selepas peristiwa 1965.</p>
<p>Bersama sejumlah akademisi dan aktivis, saya pernah terlibat dalam sebuah <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-030-79883-3_2">penelitian tentang para korban</a> termasuk mereka yang tidak terlibat langsung dalam peristiwa 1965 namun harus mengalami trauma karenanya seperti Budi. </p>
<p>Hasil penelitian itu tertuang dalam film dokumenter etnografis berjudul <em><a href="http://40yearsofsilence.com">40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy</a></em>.</p>
<p>Film itu sendiri selesai pada tahun 2009, namun kami terus berinteraksi dengan para Budi dan subjek film lain hingga belasan tahun kemudian. </p>
<h2>Stigma sepanjang hayat</h2>
<p>Budi lahir pada tahun 1990-an – sekitar 30 tahun setelah tragedi pembunuhan massal 1965 – namun harus ikut mengalami trauma akibat peristiwa tersebut.</p>
<p>Tanpa tahu apa-apa, sejak kecil Budi (dan Chris kakaknya) sering menjadi bahan ejekan sebagai “anak PKI”. Tak jarang, kedua kakak-beradik itu bahkan menjadi korban tindak kekerasan.</p>
<p>Begitu berat beban yang harus ditanggung Budi kecil, sehingga kedua orangtuanya terpaksa menitipkan Budi di sebuah panti asuhan – meskipun ia sama sekali bukan anak yatim piatu. </p>
<p>Peristiwa yang terjadi puluhan tahun sebelum Budi lahir telah membuatnya mengalami trauma yang menimbulkan banyak kesulitan dalam hidupnya. Di sekolah, ia sering geram dan marah sendiri.</p>
<p>Terpikirkan juga olehnya untuk melakukan balas dendam. Ia, misalnya, sempat terpikir membuat dan melemparkan bom molotov pada orang-orang yang selama ini telah membuatnya menderita, termasuk mereka yang telah merobohkan rumah milik keluarganya.</p>
<p>Dalam riset saya, Budi bahkan mengatakan bahwa setiap kali ia mengingat perlakuan terhadapnya, ia merasa masa depannya tak jelas, bahkan menghilang.</p>
<h2>Trauma multi-dimensional</h2>
<p>Di dunia Barat, fenomena traumatik seperti pengalaman Budi bisa dikategorikan sebagai fenomena PTSD (<em>Post-Traumatic Stress Disorder</em>).</p>
<p>Dalam <a href="https://psychiatryonline.org/pb-assets/dsm/update/DSM5Update2016.pdf">Manual Diagnosis dan Statistik Gangguan Mental (DSM)</a> keluaran keluaran American Psychiatric Association (APA), PTSD meliputi sejumlah gejala. Ini termasuk memori yang meresahkan, mimpi buruk yang berulang, serta penghindaran atas trauma, sikap kurang peduli, serta sikap geram dan marah. Penanganan PTSD yang disarankan adalah penanganan medis atau psikologis.</p>
<p>Namun demikian, definisi dan model penanganan tersebut bisa jadi tak mencukupi untuk mendalami apa yang dialami oleh Budi.</p>
<p>Pertama, Budi tidak pernah mengalami atau menyaksikan sendiri peristiwa 1965. </p>
<p>Kedua, apa yang diderita oleh Budi bukan hanya masalah personal – ketika peristiwa 1965 terjadi, Budi bahkan belum lahir.</p>
<p>Dalam pengamatan studi saya, dan mengacu pada penelitian profesor antropologi dari University of California-Los Angeles (UCLA) di AS, Robert Lemelson dan Geoffrey Robinson dalam buku mereka <em><a href="https://www.cambridge.org/core/books/understanding-trauma/312A911606D18F7376C6B8BDDA3447A3#fndtn-information">Understanding Trauma: Integrating Biological, Clinical, and Cultural Perspectives</a></em>, trauma Budi bisa melibatkan banyak dimensi. </p>
<p>Selain dimensi personal (anak usia muda), ada pula dimensi sejarah (kekerasan politik 1965), dimensi sosial-ekonomi (berasal dari keluarga ekonomi lemah), dan dimensi politik (kebijakan anti-kiri pemerintah Orde Baru).</p>
<p>Mungkin ada pula <a href="https://www.jstor.org/stable/20798214">dimensi agama</a>. Keluarga Budi, misalnya, menduga perobohan terhadap rumah mereka memiliki kaitan dengan fakta bahwa mereka merupakan pemeluk agama minoritas di Indonesia. </p>
<p>Dampak dari peristiwa 1965 tak hanya menimbulkan trauma pada korban tak bersalah yang bertahan sepanjang hidup. Berbagai aspek sosial-politik lain pun turut melipatgandakan penderitaan mereka.</p>
<h2>Dampak destruktif peristiwa 1965</h2>
<p>Kini, ada banyak perubahan yang Budi alami saat ia beranjak menjadi dewasa.</p>
<p>Dalam riset kami, Budi mengatakan bahwa hasratnya untuk balas dendam menghilang. Ia mulai menemukan jati dirinya. Misalnya, Budi melibatkan diri dalam dunia olah raga. Ia ingin memperkokoh raga dan jiwanya, agar tetap tegar “seperti batu karang” jika harus kembali menghadapi olokan.</p>
<p>Perkembangan politik yang terjadi sejak lengsernya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 pun membuatnya bisa <a href="https://theconversation.com/bagaimana-mantan-tapol-1965-beserta-keluarga-mereka-bergelut-dengan-memori-kekerasan-masa-lalu-191598">lebih terbuka dalam mengungkapkan diri</a>.</p>
<p>Tapi, untuk memahami trauma akibat tragedi 1965 di Indonesia, termasuk yang dialami oleh Budi, kita memerlukan lensa yang melampaui medis dan psikologi – termasuk sejarah, politik, dan antropologi – mengingat dampaknya yang tak hanya lintas generasi tapi juga lintas dimensi.</p>
<p>Mungkin kita tak akan bisa sepenuhnya memahami pengalaman hidup Budi dan korban-korban lain seperti dirinya.</p>
<p>Tapi, ini adalah langkah yang baik untuk merefleksikan betapa destruktifnya dampak peristiwa 1965 terhadap korban-korban yang tak bersalah, sekaligus mencari keadilan menyusul catatan kelam dalam sejarah Indonesia ini.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/191327/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Baskara T. Wardaya tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Banyak korban tak bersalah dalam peristiwa 1965 bersalah beserta keluarga mereka, para tertuduh “anak PKI”, mengalami trauma yang bertahan seumur hidup.Baskara T. Wardaya, Lecturer in History, and director of PUSDEMA (Center for Democracy and Human Rights Studies), Universitas Sanata DharmaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1915982022-09-30T03:27:21Z2022-09-30T03:27:21ZBagaimana mantan tapol 1965 beserta keluarga mereka bergelut dengan memori kekerasan masa lalu<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/487373/original/file-20220929-22-hou6d7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(Unsplash/Kristina Flour)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Apa jadinya jika seseorang mengemban pengetahuan dan memori tentang suatu kejadian dalam sejarah yang penuh kekerasan, tapi sebagian besar kejadian tersebut tak pernah masuk ke dalam buku sejarah?</p>
<p>Saya menanyakan pertanyaan penting ini selama <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-319-71455-4_10">riset saya di Jawa Tengah</a>. Kala itu, saya berupaya memahami pengalaman dan persepsi para anak dan anggota keluarga dari orang-orang yang menjadi korban kekerasan peristiwa 1965.</p>
<p>Hasil riset ini saya terbiitkan dalam suatu bab dalam buku berjudul “<a href="https://link.springer.com/book/10.1007/978-3-319-71455-4"><em>The Indonesian Genocide of 1965</em></a>”.</p>
<p>Pembunuhan massal 1965 di Indonesia tak hanya mengakibatkan kematian dan penahanan <a href="https://theconversation.com/indonesians-should-be-able-to-talk-about-1965-massacres-without-fear-of-censorship-49729">lebih dari setengah juta orang</a>, tapi juga membuat para penyintasnya harus bergelut dengan ingatan peristiwa bersejarah ini sepanjang hidup mereka yang penuh dengan pembungkaman, penerimaan – dan pada akhirnya, ketangguhan.</p>
<h2>‘Diam’ yang bertahan dari generasi ke generasi</h2>
<p>Sepanjang <a href="https://journals.openedition.org/archipel/1677?lang=fr">pemerintahan otoriter Orde Baru Presiden Suharto (1966-1998)</a>, negara mengajarkan kepada para siswa bahwa pada 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) berkhianat dan melakukan kudeta yang pada akirnya ditumpaskan dengan “heroik” oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Narasi ini pun masih terus bergaung di abad ke-21.</p>
<p>Seiring sekolah mengajarkan anak muda Indonesia tentang narasi ini, narasi historis lain yang berlawanan dengan versi tersebut terus diredam oleh negara.</p>
<p>Hal ini tak hanya meliputi <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01436597.2020.1768064?journalCode=ctwq20">sejarah kompleks dari gerakan kiri</a> dalam perpolitikan Indonesia, tapi juga rangkaian kejadian berdarah yang mengerikan setelah <a href="https://brill.com/view/journals/bki/176/2-3/article-p373_6.xml">melejitnya kekuasaan militer Indonesia pada 1965</a>, ketika ratusan ribu orang Indonesia dibunuh atau ditahan tanpa proses hukum karena dituduh berafiliasi dengan PKI.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/55-tahun-impunitas-membawa-mundur-indonesia-sejak-tragedi-1965-147181">55 tahun impunitas membawa mundur Indonesia sejak tragedi 1965</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sejarah mengenai kekerasan ini menjadi <a href="https://theconversation.com/indonesians-should-be-able-to-talk-about-1965-massacres-without-fear-of-censorship-49729">hal yang tak pernah dan tak bisa dibicarakan</a> di ruang publik selama periode Orde Baru.</p>
<p>Banyak orang Indonesia bahkan menerapkan swasensor karena takut – terutama para korban kekerasan, beserta anak dan keluarga mereka.</p>
<p>Para mantan tahanan politik (tapol), yang secara langsung mengalami kekerasan tersebut, misalnya, senantiasa diawasi dan mengalami diskriminasi seiring bebas dari penjara.</p>
<p>Status sebagai orang yang “bersalah” ini pun seakan turun dari para penyintas kepada keturunan mereka. Negara turut mengucilkan para tertuduh “<a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-319-71455-4_10">anak komunis</a>” ini bersamaan dengan orang tua mereka.</p>
<p>Banyak keluarga korban terjerumus dalam diam. Seringkali, para mantan tapol, termasuk yang saya ajak bicara dalam riset saya, berupaya melindungi anak mereka dengan cara menyembunyikan dan tidak menceritakan pengalaman dan penderitaan mereka di masa lalu.</p>
<p>Selama periode Orde Baru, jawaban paling aman terhadap apa pun yang berkaitan dengan 1965 adalah “<em>Saya tidak tahu apa-apa</em>”.</p>
<p>Lalu, runtuhnya rezim otoriter Suharto dan munculnya Era Reformasi pada 1998 membuat beberapa mantan korban kekerasan lebih berani untuk menantang versi resmi negara terkait sejarah 1965.</p>
<p>Di tengah bangkitnya demokrasi, kemunculan <a href="https://theconversation.com/agar-terekam-dan-tak-pernah-mati-membawa-ingatan-65-ke-ruang-virtual-168080">berbagai medium dan platform</a> ekspresi baru, serta <a href="https://theconversation.com/generasi-muda-tumpuan-baru-untuk-urai-benang-kusut-peristiwa-65-169039">minat generasi muda</a> yang meningkat, para mantan tapol berupaya mengekspos fakta-fakta yang selama ini disembunyikan terkait peristiwa pembunuhan massal dan penahanan terhadap tertuduh komunis.</p>
<p>Beberapa mantan tapol dan korban lain dari peristiwa 1965 mulai memberanikan diri untuk bercerita – termasuk melalui memoar seperti oleh wartawan dan <a href="https://www.goodreads.com/book/show/33853410-cahaya-mata-sang-pewaris">mantan tahanan politik Putu Oka Sukanta</a>, membentuk organisasi advokasi bersama mantan tapol lain seperti <a href="https://ypkp1965.org/blog/category/sejarah/">Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965</a>, dan bahkan wadah kreatif seperti <a href="https://medium.com/ingat-65/salam-harapan-dan-perdamaian-dari-paduan-suara-dialita-a7e39f868a46">Paduan Suara Dialita</a>.</p>
<p>Dalam beberapa kasus, mereka juga mulai menceritakan pada anak dan cucu mereka tentang pengalaman yang mereka lalui.</p>
<p>Tiba-tiba, mereka menjadi bisa, meski tetap tidak semua dan tentu dengan risiko, untuk menyatakan, “<em>Saya tahu</em>”.</p>
<h2>Bergelut dengan ingatan masa lalu</h2>
<p>Meski semakin banyak mantan tapol memilih untuk berbicara, nampaknya masih ada atmosfer ambiguitas terkait pengetahuan dan ingatan seperti apa yang dimiliki oleh para tapol dan anggota keluarga mereka.</p>
<p>Apakah mereka sebenarnya diam-diam tahu, sebagaimana tuduhan para kelompok antikomunis, detail tentang “aksi-aksi pengkhianatan” PKI? Ataukah lebih ke wawasan umum mengenai sejarah gerakan kiri Indonesia sebelum 1965?</p>
<p>Apakah pengetahuan ini meliputi kekerasan mengerikan yang dilakukan dan didukung oleh negara, yang berdampak pada jutaan orang Indonesia selama 1965-1966? Atau mungkin cerita personal dan trauma masa lalu yang diturunkan dari para mantan tapol kepada anak dan cucu mereka?</p>
<p>Apapun itu, kelompok antikomunis menaganggap pengetahuan ini “berbahaya”, serta <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-319-71455-4_15">membuat resah</a> mereka yang memihak versi sejarah dari negara dan mengkhawatirkan adanya “kebangkitan kembali komunisme”.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/monster-monster-di-balik-bayang-marxisme-kultural-di-barat-dan-hantu-komunisme-di-indonesia-146106">Monster-monster di balik bayang: Marxisme Kultural di Barat dan Hantu Komunisme di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Tapi, isi pengetahuan dan ingatan masa lalu ini bisa jadi tidak sepenting itu di mata para mantan tapol beserta anak dan cucu mereka. Justru, para tapol yang saya ajak bicara dalam riset saya memilih untuk fokus pada bagaimana menggunakan ingatan masa lalu ini untuk <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-319-71455-4_10">hidup lebih baik, meruntuhkan stigma, dan mendorong keadilan dan akuntabilitas</a>.</p>
<p>Sumanto, seorang laki-laki lanjut usia yang menjadi tahanan selama 6 tahun karena keterlibatannya dalam organisasi kiri Pemuda Rakyat pada pertengahan 1960-an, mengatakan pada saya bahwa ia nyaman menceritakan penderitaannya kepada aktivis muda yang bukan kerabatnya serta organisasi HAM sebagai upaya mengangkat sejarah kekerasan masa lalu.</p>
<p>Tapi, dengan anaknya sendiri di rumah, ia enggan menceritakan kisah-kisah tertentu.</p>
<blockquote>
<p>“Saya lebih menekankan kepada semangat kerja bagi anak-anak saya…supaya anak saya bisa bertanggung jawab kepada dirinya sendiri, dan dia tidak menjadi sampah masyarakat. Supaya dia bisa bertanggungjawab kepada dirinya sendiri dan kalau bisa, itu bisa menolong kepada orang lain.” – Sumanto.</p>
</blockquote>
<p>Dua anak mantan tapol yang berusia sekitar 20-an tahun mengatakan pada saya bahwa setelah mendengarkan cerita dari ayah mereka tentang pengalamannya di penjara, mereka tergerak untuk mempelajari sumber-sumber sejarah yang lebih “objektif” tentang peristiwa 1965.</p>
<p>Dan, dengan nada bercanda, Siti, seorang anak perempuan dari wartawan yang diculik pada 1965, menjelaskan bagaimana anaknya menggunakan pengetahuan terkait sejarah keluarga mereka untuk iseng mempertanyakan guru sejarahnya di SMA-nya.</p>
<blockquote>
<p>“Anak bungsu saya sudah lama bersemangat untuk belajar sejarah. Dia sering menunggu dengan tidak sabar untuk masuk kelas biar bisa bertanya ke guru: ‘Bu Guru, Bu Guru, apakah Bu Guru kenal dengan kakek saya?” [tertawa]“ – Siti.</p>
</blockquote>
<p>Pengamatan-pengamatan ini menunjukkan bahwa, ketika saat ini <a href="https://theconversation.com/monster-monster-di-balik-bayang-marxisme-kultural-di-barat-dan-hantu-komunisme-di-indonesia-146106">kelompok konservatif di Indonesia gencar menentang pembahasan sejarah 1965</a>, kita tidak selayaknya memandang berbagai "wawasan” dari para penyintas ini, beserta keluarga mereka, sebagai noda.</p>
<p>Ini justru merupakan tanda ketangguhan mereka, dan suatu dorongan aksi masa depan sebagai perjuangan mencapai <a href="https://theconversation.com/how-should-indonesia-resolve-atrocities-of-the-1965-66-anti-communist-purge-57885">keadilan dan akuntabilitas</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/191598/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Andrew Conroe pernah menerima dana dari IIE Fulbright Award, U.S. Department of State (2004-2005)</span></em></p>Tragedi 1965 tak hanya mengakibatkan kematian dan penahanan lebih dari setengah juta orang, tapi juga membuat penyintas dan keluarga mereka bergelut dengan memori kekerasan masa lalu.Andrew Conroe, Visiting Assistant Professor of Anthropology, Trinity CollegeLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1680802021-09-28T02:38:09Z2021-09-28T02:38:09ZAgar terekam dan tak pernah mati: membawa ingatan ‘65 ke ruang virtual<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/422307/original/file-20210921-21-efgyin.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=27%2C0%2C3071%2C2045&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, tahun lalu. JSKK meminta Presiden Joko "Jokowi" Widodo segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu .</span> <span class="attribution"><span class="source"> Galih Pradipta/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Masa COVID-19 telah menunjukkan bagaimana dunia maya dan dunia fisik bukanlah dua arena yang terpisah dalam hidup dan praktik keseharian; pergerakan menolak lupa Peristiwa 1965 juga ikut berubah.</p>
<p>Perkembangan teknologi digital telah membawa pergerakan ini ke garis depan. </p>
<p>Pembatasan kegiatan di ruang fisik ternyata tidak menjadi penghalang. Keterbatasan justru mendorong aneka upaya pindah ke ruang virtual dengan beragam format. </p>
<p>Di dunia digital, penggawa-penggawa dari generasi baru Indonesia terus melanjutkan upaya menawarkan narasi alternatif dari Peristiwa 1965 dari dominasi sejarah otoriter militer. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/55-tahun-impunitas-membawa-mundur-indonesia-sejak-tragedi-1965-147181">55 tahun impunitas membawa mundur Indonesia sejak tragedi 1965</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Melawan lupa</h2>
<p>Rezim Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Soeharto melarang segala bentuk karya maupun tulisan yang berkaitan dengan pergerakan kiri di Indonesia. </p>
<p>Pemerintah Orba juga menebar propaganda dengan mengatakan bahwa segala hal yang berkaitan dengan komunis adalah haram dan sesat. Rakyat dilarang untuk mengenal apalagi mempelajari ideologi ini. </p>
<p>Pemasungan dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari pemberitaan di media massa, buku-buku, film, dan juga pendidikan formal di sekolah. </p>
<p>Inilah yang filsuf politik <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Louis_Althusser">Louis Althusser</a>, dalam bukunya yang berjudul “Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies”, sebut sebagai <em>ideological state apparatus</em>. </p>
<p>Negara menebar propaganda yang menyusup perlahan-lahan ke dalam pikiran, dan kemudian, membuat rakyat mengiyakan ideologi tersebut. </p>
<p>Melalui ideologi, negara menanamkan sikap antipati terhadap seseorang atau sekelompok orang yang dianggap mengancam kekuasaannya. Dengan cara inilah negara kemudian menghilangkan lawan politiknya.</p>
<p>Setelah Soeharto jatuh pada 1998, muncul tak sedikit pergerakan untuk merawat ingatan penangkapan dan pembunuhan massal 1965-66, seperti <a href="https://www.rappler.com/world/menolak-lupa-ingatan-museum-bergerak-1965">Museum Bergerak 65</a> di Yogyakarta, <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48985939">Komunitas Taman 65</a> di Bali, dan <a href="https://www.rappler.com/world/catatan-penting-penyelenggaran-belok-kiri-festival">Festival Belok Kiri</a> di Jakarta. </p>
<p>Tidak hanya itu, beberapa akademisi dan aktivis juga berupaya menguak sejarah terkait Peristiwa 1965, dan bahkan membawanya ke pengadilan, seperti yang dilakukan oleh International People’s Tribunal for 1965 (<a href="https://www.tribunal1965.org/tag/ipt-65/">IPT 65</a>) di Den Haag, Belanda, pada 2015.</p>
<p>Namun, propaganda terus berlangsung bahkan pada era Reformasi. Segala kajian, diskusi maupun pemutaran film mengenai Peristiwa 1965 masih mengalami tekanan. </p>
<p>Masih segar dalam ingatan, film <a href="https://youtu.be/3tILiqotj7Y">Jagal</a> (yang rilis pada 2012) dan <a href="https://youtu.be/RcvH2hvvGh4">Senyap</a> (2014) karya <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Joshua_Oppenheimer">Joshua Oppenheimer</a> dilarang putar. Alasannya, film tersebut dianggap menyebarkan ajaran komunisme. </p>
<p>Pada 2017, acara diskusi mengenai sejarah Peristiwa 1965 di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta <a href="https://tirto.id/pecahan-kaca-di-ylbhi-serangan-terhadap-pencari-keadilan-cw55">diserang</a> oleh massa yang berujung pada pembubaran acara diskusi. </p>
<p>Lalu pada 2019 terjadi <a href="https://nasional.tempo.co/read/1168152/jaksa-agung-usul-razia-buku-kiri-besar-besaran">razia buku-buku berbau ‘komunisme’</a> dan penangkapan mereka yang memiliki buku-buku tersebut dengan alasan yang absurd: buku-buku tersebut dianggap dapat mengganggu ketertiban dan ketentraman umum. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pendekatan-humanis-gereja-katolik-pada-tahanan-politik-terduga-komunis-pasca-1965-157314">Pendekatan humanis gereja Katolik pada tahanan politik terduga komunis pasca 1965</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Cara baru membentuk ingatan</h2>
<p>Dengan kemajuan teknologi, kini gerakan-gerakan itu memiliki arena baru.</p>
<p>Sebut saja <a href="http://fis.1965.or.id/">FIS 65</a> dengan kartografi interaktif, <a href="https://linktr.ee/1965SetiapHari">1965 Setiap Hari</a> yang menayangkan wawancara dengan penyintas melalui podcast, <a href="https://medium.com/ingat-65">Ingat 65</a> melalui kumpulan tulisan, Young Scholars 1965 melalui acara diskusi daring, dan <a href="https://19651966perpustakaanonline.wordpress.com/">Perpustakaan Online Genosida 1965-66</a> yang mengumpulkan semua publikasi terkait. </p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/GNHUT3At0Lo?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Denoting the Generation: Youth Perspective and ‘65 Tragedy.</span></figcaption>
</figure>
<p>Belum lagi pemutaran film yang bisa ditonton melalui internet, seperti “<a href="https://www.aaa-a.org/programs/a-thousand-and-one-martian-nights-screening-with-tintin-wulia/">A Thousand and One Martian Night</a>” karya <a href="http://www.tintinwulia.com/">Tintin Wulia</a>, “<a href="https://youtu.be/GNHUT3At0Lo">Denoting the Generation: Youth Perspective and ‘65 Tragedy</a>” karya <a href="https://www.instagram.com/studiomalya/?hl=fr">Studio Malya</a>, atau festival online “<a href="https://jogja.tribunnews.com/2020/05/01/farid-stevy-120-hours-in-distancefestival-online-pertama-dalam-masa-pandemi">120 Hours in Distance</a>” yang digagas oleh Sirin Farid Stevy dan kawan-kawan. </p>
<p>Berbeda dengan generasi sebelumnya yang lebih memfokuskan pada penerbitan tulisan, generasi ini terlihat memanfaatkan keuntungan dari era teknologi dengan menyuguhkan karya kreativitas mereka di internet. </p>
<p>Karena sebagian besar generasi baru ini mereka lahir ketika Orde Baru secara sistematis mengubur kekerasan 1965 dengan cara menutup akses terhadap arsip dan dokumen, adakalanya mereka berupaya melakukan pengumpulan data melalui ingatan lisan, seperti yang dilakukan oleh forum diskusi “Warisan Ingatan”. </p>
<p>Di forum ini, terjadi narasi-narasi yang berdialog atau pertukaran narasi antargenerasi untuk selanjutnya mencoba mengisi jurang pemahaman berkaitan Peristiwa 1965.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/422232/original/file-20210920-19-1xkm6bb.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/422232/original/file-20210920-19-1xkm6bb.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/422232/original/file-20210920-19-1xkm6bb.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/422232/original/file-20210920-19-1xkm6bb.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/422232/original/file-20210920-19-1xkm6bb.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/422232/original/file-20210920-19-1xkm6bb.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/422232/original/file-20210920-19-1xkm6bb.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/422232/original/file-20210920-19-1xkm6bb.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Poster webinar Warisan Ingatan oleh Sirin Farid Stevy.</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Identitas yang ditampilkan tiap kelompok pun lebih berwarna, tidak melulu didominasi oleh akademisi dan penyintas. </p>
<p>Misalnya, 1965 Setiap Hari dan <a href="https://altersea.hypotheses.org/warisan-ingatan">Warisan Ingatan</a> yang menjadi ‘melting pot’ penyintas, akademisi, aktivis dan seniman. Hal ini paralel dengan pernyataan yang digulirkan <a href="https://bridges.monash.edu/articles/monograph/Truth_Will_Out_Indonesian_Accounts_of_the_1965_Mass_Violence/12821444">Baskara T. Wardaya, SJ</a> bahwa ingatan merupakan sebuah fenomena relasi tempat narasi melewati waktu dan ruang secara dinamis menghubungkan individu-individu didalamnya. </p>
<p>Tulisan dan karya seni terkait Peristiwa 1965 di dunia virtual ini kemudian menjadi wadah dialog lintas generasi untuk menyusun dan mempresentasikan sebuah perspektif sejarah alternatif yang dapat membawa perubahan makna. </p>
<p>Karena itu, kelompok-kelompok di ruang virtual ini memainkan peranan bagi lanskap ingatan dalam mengartikan, membentuk, mengkomunikasikan, bahkan memanggil kembali memori yang lama terkubur. </p>
<p>Dengan mengedarkan melalui pelbagai mimbar, karya mereka mampu meraih pemirsa, dan bahkan membuka kesempatan untuk berinteraksi langsung. </p>
<p>Ruang dialog virtual ini menjadi tempat orang membicarakan bagaimana ingatan terbentuk dan diinterpretasikan melalui interaksi keseharian, tidak hanya menceritakan secara rinci tindakan sadis yang bisa membuat orang “mati rasa” terhadap kekerasan.</p>
<p>Selain itu, sifat dunia virtual - dalam kaitannya dengan ingatan - menarik perhatian orang, karena ia menjembatani lapisan-lapisan masa lalu dan sekarang. </p>
<p>Dengan kata lain, ruang virtual dapat mengajak kita untuk berhadapan dengan sebuah peristiwa yang terjadi pada masa lalu. </p>
<p>Dalam kaitannya dengan sejarah Peristiwa 1965, ruang virtual lalu menjadi bentuk dari praktik memori, bukan lagi sekadar medium.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/hiruk-pikuk-bahaya-komunis-sampai-kapan-84658">Hiruk pikuk 'bahaya' komunis: sampai kapan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<hr>
<p><em>Pengungkapan editor: Prodita Sabarini, editor eksekutif, dan Ika Krismantari, kepala editorial The Conversation Indonesia, adalah pendiri Ingat65</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/168080/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Gloria Truly Estrelita tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Upaya menawarkan narasi alternatif dari Peristiwa 1965 terus berlangsung di dunia digital.Gloria Truly Estrelita, PhD Student, École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1573142021-05-18T03:16:55Z2021-05-18T03:16:55ZPendekatan humanis gereja Katolik pada tahanan politik terduga komunis pasca 1965<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/399674/original/file-20210510-5566-lfuagc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C2995%2C1998&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Demonstran melakukan unjuk rasa menolak PKI di depan Istana Merdeka, Jakarta. Protes serupa dari kalangan agama juga pernah terjadi pada tahun 1965.</span> <span class="attribution"><span class="source">ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/aww/16.</span></span></figcaption></figure><p>Pada dini hari 1 Oktober 1965, enam jenderal Angkatan Darat dibunuh.
Partai Komunis Indonesia (PKI) ditengarai berada <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00472337085390151">di balik plot perencanaan pembunuhan</a> tersebut.</p>
<p>Tak heran, seminggu setelah pembunuhan tersebut, Ibu Kota Jakarta dipenuhi unjuk rasa antikomunisme.</p>
<p>Relatif banyak kelompok agama terlibat dalam gerakan antikomunis ini.
Beberapa di antara mereka adalah <a href="https://ecommons.cornell.edu/handle/1813/54510">kelompok pemuda Islam dari Nahdlatul Ulama yang tergabung dalam Forum Aksi Mahasiswa Indonesia</a>, yang nantinya dikenal dengan sebagai Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan <a href="https://library.oapen.org/bitstream/handle/20.500.12657/25735/1004352.pdf?sequence=1&isAllowed=y">beberapa pendeta di Flores, Nusa Tenggara Timur</a>. </p>
<p><a href="https://nsarchive.gwu.edu/kedutaan-besar-mengikuti-berjalannya-pembunuhan-massal-di-indonesia-pada-tahun-1965">Telegram Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta kepada Washington</a> melaporkan bahwa kelompok Muslim memotori unjuk rasa antikomunis dengan menyerang semua yang dicurigai berafiliasi dengan PKI. Tak hanya itu, mereka juga merangsek rumah-rumah pribadi.</p>
<p>Meski ada beberapa kelompok Katolik yang juga terlibat dalam gerakan antikomunis ini, seperti <a href="http://ejurnal.stfkledalero.ac.id/index.php/JLe/article/view/2">Pemuda Katolik dari PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia)</a>, penelitian doktoral saya menunjukkan bagaimana gereja Katolik memiliki cara yang berbeda dalam menanggapi isu 1965 ini dengan menggunakan pendekatan yang humanis.</p>
<p>Pendekatan humanis sangat terlihat dalam pelaksanaan Program Sosial Kardinal yang digagas beberapa pastor untuk membantu tahanan politik terduga komunis dengan memberikan pakaian, makanan, bahkan pendampingan kerohanian tidak hanya buat mereka tapi juga keluarga mereka.</p>
<h2>Pendekatan humanis</h2>
<p>Hingga kini, gereja Katolik masih menolak komunisme, khususnya terkait dimensi ateisnya. Ketika itu, <a href="https://www.medcom.id/telusur/medcom-files/JKRE3Gpk-gereja-dan-revolusi-indonesia">gereja Katolik juga menolak paham komunisme di Indonesia</a>. </p>
<p>Namun, gereja masih tetap berusaha membantu mereka yang dituduh komunis. </p>
<p>Pada 22 Oktober 1965, Vicar Jenderal P. Carri dari Serikat Yesuit (SJ), yang merupakan sekretaris dari Keuskupan Agung Semarang mengeluarkan <a href="http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=1630733&val=13271&title=PERSAINGAN%20ISLAM%20DAN%20KRISTEN%20DI%20KOTA%20SOLO%20SEBUAH%20TINJAUAN%20SEJARAH">Surat Gembala</a>, semacam surat pemberitahuan, yang menyerukan kepada umat Katolik untuk tidak terlibat aksi kekerasan pergerakan antikomunisme yang sedang marak. </p>
<p>Pihak gereja mengeluarkan imbauan ini karena mengingat bahwa sebagian besar umatnya, khususnya pemuda dan pelajar, terlibat dalam pergerakan antikomunisme.</p>
<p>Selain mengeluarkan imbauan tersebut, pada 1969, Kardinal Darmoyuwono - Paus Paulus VI menunjuknya sebagai kardinal yang pertama dari Indonesia - mengusulkan pembentukan Program Sosial Kardinal untuk menolong para tahanan politik yang mengalami kekerasaan dan pemenjaraan yang tidak manusiawi.</p>
<p>Ide program tersebut tanggapan terhadap laporan yang disusun oleh beberapa pastur bersama tim dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Laporan tersebut menunjukkan bahwa proses pemenjaraan dengan penyiksaan, pembiaran kelaparan, dan bahkan pemiskinan justru akan mempermudah orang-orang komunis untuk mengumpulkan pengikut mereka. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/399965/original/file-20210511-16-kog364.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/399965/original/file-20210511-16-kog364.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=260&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/399965/original/file-20210511-16-kog364.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=260&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/399965/original/file-20210511-16-kog364.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=260&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/399965/original/file-20210511-16-kog364.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=327&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/399965/original/file-20210511-16-kog364.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=327&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/399965/original/file-20210511-16-kog364.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=327&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Laporan Romo Paul Chauvigny de Blot terkait kondisi para tahanan politik terduga komunis.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Rémy Madinier</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Program Sosial Kardinal ini memberikan bantuan tidak hanya bagi tahanan politik tapi keluarganya. Hal ini karena penangkapan masif dan pembunuhan massal terhadap simpatisan komunis mengakibatkan banyak orang kehilangan anggota keluarga: perempuan-perempuan menjadi janda, anak-anak terlantar karena yatim-piatu. </p>
<p>Beberapa tahun sebelum Program Sosial Kardinal terbentuk, Romo Stanislaus Sutopanitro atau yang kerap dipanggil Romo Suto, seorang pastor tentara, bercerita bahwa saat mengunjungi penjara-penjara sebagai bagian dari pelayanan gereja kala itu ia pernah menyaksikan seorang bayi dibiarkan sendiri di bawah terik matahari. Sementara itu pada saat yang sama, petugas menginterogasi ibunya.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/399528/original/file-20210507-13-150gk7d.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/399528/original/file-20210507-13-150gk7d.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=922&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/399528/original/file-20210507-13-150gk7d.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=922&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/399528/original/file-20210507-13-150gk7d.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=922&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/399528/original/file-20210507-13-150gk7d.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1158&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/399528/original/file-20210507-13-150gk7d.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1158&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/399528/original/file-20210507-13-150gk7d.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1158&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Romo Suto.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Gloria Truly Estrelita</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Akhirnya, gereja Katolik memutuskan supaya program juga melibatkan keluarga dari para tapol.</p>
<p>Bantuan yang diberikan berupa pangan, sandang, layanan kesehatan termasuk kesehatan mental, pelatihan ketrampilan atau kerja, korespondensi dengan keluarga, dan juga pendidikan bagi anak-anak tahanan politik.</p>
<p>Program ini melayani tahanan politik dari agama apa pun di seluruh Nusantara: <a href="https://brill.com/view/book/9789047441830/Bej.9789004170261.i-1004_015.xml">Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku</a>.</p>
<p>Relawan yang terlibat termasuk pekerja sosial, pengacara, dokter, dan mahasiswa. Mereka mencatat informasi tentang orang-orang yang meminta bantuan. Catatan ini mendokumentasikan informasi dari individu dan keluarga serta keadaan mereka. </p>
<h2>Apresiasi dari para tapol</h2>
<p>Pendekatan humanis yang dilakukan gereja Katolik mendapat apresiasi dari para tahanan politik. </p>
<p>Saya pernah mewawancarai salah seorang tapol yang pernah ditahan di Pulau Buru, Maluku. Di rumahnya di Klaten, Jawa Tengah, Pak Teguh - yang saat ini sudah meninggal - bercerita bagaimana para perwakilan agama lain kerap memaki, bahkan mengutuk para tahanan dengan mengatakan mereka sebagai pendosa yang pasti masuk neraka. Sedangkan, menurut dia, para pastor justru menunjukkan sikap sebaliknya, ramah dan terbuka. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/399840/original/file-20210510-20-6unmnu.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/399840/original/file-20210510-20-6unmnu.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=452&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/399840/original/file-20210510-20-6unmnu.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=452&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/399840/original/file-20210510-20-6unmnu.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=452&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/399840/original/file-20210510-20-6unmnu.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=568&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/399840/original/file-20210510-20-6unmnu.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=568&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/399840/original/file-20210510-20-6unmnu.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=568&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Alkitab yang selalu menemani Pak Teguh selama hidup di Pulau Buru. Karena para tapol dilarang memiliki alat tulis, ia menjadi tempat catatan Pak Teguh mengulaskan perasaan dan pikirannya.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Gloria Truly Estrelita</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Akibatnya, tidaklah mengherankan bila relatif banyak tapol, termasuk yang non-Kristiani, mendekatkan diri kepada para pastor dan suster Katolik untuk berkonsultasi. </p>
<p>Aktivis dan seniman Tedjabayu Soedjojono, putra pertama dari pelukis S. Soedjojono, yang juga dikirim ke Pulau Buru, pernah berkata dalam sebuah wawancara langsung: “Susteran Namlea adalah surga bagi para tapol di tengah-tengah gulag yang bernama Pulau Buru!”</p>
<p>Susteran Namlea yang dimaksud adalah Paroki Santa Maria Bintang Laut, Kabupaten Buru, Maluku.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/399865/original/file-20210510-5469-15zzgtd.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/399865/original/file-20210510-5469-15zzgtd.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/399865/original/file-20210510-5469-15zzgtd.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/399865/original/file-20210510-5469-15zzgtd.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/399865/original/file-20210510-5469-15zzgtd.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/399865/original/file-20210510-5469-15zzgtd.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/399865/original/file-20210510-5469-15zzgtd.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Tedjabayu Sudjojono dalam sebuah acara diskusi di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta, 2015.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Stéphane Roland</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tedjabayu menambahkan bahwa kesusteran bukan hanya rumah bagi para tapol Kristiani, tapi juga tapol-tapol Muslim dan Budha. </p>
<p>“Suster-suster itu kerap memberikan bacaan, obat-obatan, hingga kacamata baca,” ujarnya.</p>
<h2>Katolik yang lebih terbuka</h2>
<p>Pelaksanaan Program Sosial Kardinal menunjukkan sikap gereja Katolik yang lebih membuka diri terhadap umat agama lain setelah reformasi gereja.</p>
<p>Reformasi gereja dimulai dengan berakhirnya <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Konsili_Vatikan_II">Konsili Vatikan II</a> pada Desember 1965.</p>
<p>Sebelum Konsili Vatikan II, gereja tampil sebagai <a href="https://www.npr.org/2012/10/10/162573716/why-is-vatican-ii-so-important?t=1618327552351">institusi yang ekslusif</a> dan pelayanan gereja hanya diperuntukkan bagi umat Katolik. </p>
<p>Ahli tentang Indonesia <a href="https://hal.archives-ouvertes.fr/hal-01835876/document">Rémy Madinier</a> dari ENS Lyon menulis bahwa di Indonesia, Konsili Vatikan II membawa cara pandang baru terhadap peran gereja dalam mendukung keadilan. </p>
<p>Selain itu, pelayanan gereja yang mulanya hanya diperuntukkan bagi umat Katolik, kini terbuka bagi semua orang dari latar belakang apa pun. </p>
<p>Hal ini yang mungkin mendorong terbentuknya hubungan yang akrab antara para pastor, khususnya para Yesuit dengan para tahanan politik terduga komunis meski dengan latar belakang agama yang beragam.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/157314/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Gloria Truly Estrelita a reçu des financements de l'IRASEC (Research Institute on Contemporary Southeast Asia).
Co-fondatrice de l'observatoire ALTERSEA (Observatory of Political Alternatives in Southeast Asia).</span></em></p>Penelitian doktoral saya menunjukkan bagaimana gereja Katolik memiliki cara yang berbeda dalam menanggapi isu 1965 ini dengan menggunakan pendekatan yang humanis.Gloria Truly Estrelita, PhD Student, École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1461062020-10-06T07:26:59Z2020-10-06T07:26:59ZMonster-monster di balik bayang: Marxisme Kultural di Barat dan Hantu Komunisme di Indonesia<p><em>Artikel ini bagian dari rangkaian tulisan untuk memperingati Tragedi 1965.</em></p>
<hr>
<p>Ketakutan dan kebencian akan “komunisme” telah ditumbuhkan dan disemaikan selama berpuluh-puluh tahun oleh Orde Baru.</p>
<p>Walau Soeharto sudah jatuh pada 1998, berita-berita soal kegiatan yang dibubarkan karena <a href="https://theconversation.com/understanding-violence-against-the-left-in-indonesia-57186">membahas komunisme, Marxisme, atau 1965</a> terus ada.</p>
<p>Cap “komunis” bisa disematkan pada siapa saja yang tidak sesuai atau disukai. Di negara-negara Barat, fenomena serupa - yang juga berakar pada era Perang Dingin - juga terjadi.</p>
<p>Ada kesamaan antara penggunaan narasi anti-komunisme di Indonesia dan penggunaan narasi anti-Marxisme di Barat. </p>
<h2>Teori konspirasi</h2>
<p>Lima-enam tahun terakhir, gerakan populis sayap kanan muncul di banyak negara Barat, kerap kali dengan perilaku ekstrem.</p>
<p>Gerakan pro-Trump di Amerika Serikat (AS) dan kelompok politik kanan ekstrem “<a href="https://www.splcenter.org/fighting-hate/extremist-files/ideology/alt-right">alt-right</a>” adalah contoh paling mencolok.</p>
<p>Bagi para pengikut aliran-aliran kanan ini, “Peradaban Barat” sedang mendapat ancaman dari beragam perkembangan sosial: masuknya imigran, feminisme, <em>lesbian, gay, bisexual, and transgender</em> (LGBT), sekularisme, dan sebagainya. </p>
<p>Semua ancaman itu menggerogoti institusi-insitusi tradisional yang sangat penting menurut mereka, seperti keluarga, agama, dan pendidikan tradisional. </p>
<p>Gerakan ini berbeda dari aliran konservatisme tradisional (yang juga menjunjung tinggi institusi-institusi tradisional). Gerakan baru ini mengambil sikap anti-elite dan menganggap gerakan mereka sebagai gerakan kaum tertindas. </p>
<p>Gerakan ini juga mengembangkan “politik jalanan”, misalnya lewat demonstrasi dan kelompok-kelompok laskar yang mengedepankan kekuatan fisik. Dalam hal ini, gerakan-gerakan ini mempunyai sifat yang mirip dengan fasisme klasik.</p>
<p>Kepada para pengikutnya, gerakan ini menggunakan pandangan-pandangan dan ideologi-ideologi tertentu dalam menjelaskan situasi dunia. </p>
<p>Salah satu yang paling kuat digunakan adalah teori tentang adanya Marxisme Kultural (<em>Cultural Marxism</em>).</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/darah-itu-merah-jenderal-tapi-konflik-pki-vs-militer-dalam-kasus-1965-tidak-selalu-hitam-putih-129752">"Darah itu merah, Jenderal!", tapi konflik PKI vs militer dalam kasus 1965 tidak selalu hitam putih</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Apa itu Marxisme Kultural</h2>
<p>Di negara-negara Barat, populis sayap kanan mengatakan bahwa dunia saat ini berada dalam keadaan kacau, menakutkan, dan mengancam akibat Marxisme Kultural.</p>
<p>Ancaman terhadap kehidupan bermasyarakat ada di mana-mana: feminis dan aktivis LGBT mengancam nilai-nilai keluarga, serikat pekerja mengancam keberlangsungan bisnis yang efektif, imigran (terutama imigran Muslim) mengancam identitas budaya nasional, dan kaum sekuler (dan kaum Muslim) mengancam agama dan moralitas.</p>
<p>Ideologi populis sayap kanan menjabarkan begitu banyak ancaman - dan mungkin tidak bersesuaian satu sama lain. </p>
<p>Beberapa aliran politik sayap kanan menggunakan konsep Marxisme Kultural sebagai salah satu payung besar yang menaungi semua ancaman-ancaman ini.</p>
<p>Bagi aliran sayap kanan, Marxisme adalah target yang tepat. Marxisme telah menghasilkan beberapa ide-ide progresif paling berpengaruh dalam lebih dari 150 tahun belakangan. </p>
<p>Marxisme memiliki dampak pada aliran politik yang sangat beragam, mulai dari komunis revolusioner, parlementarian sosio-demokratis, hingga feminis dan pejuang anti-kolonial. </p>
<p>Termasuk di antara pejuang anti-kolonial ini adalah adalah sebagian besar pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia misalnya <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2016/06/08/sukarno-pancasila-and-his-leftist-thinking.html">Sukarno</a>, <a href="https://www.jstor.org/stable/3350828?seq=1">Muhammad Hatta</a>, dan Ki Hadjar Dewantara - yang menerjemahkan lagu sosialis <em>L'internationale</em>.</p>
<p>Para ideolog sayap kanan menggunakan kata “Kultural” untuk mempertajam narasi mereka agar terlihat spesifik dan memiliki elemen sejarah. </p>
<p>Selain itu, dengan penambahan kata “kultural”, kelompok kanan juga bisa melekatkan musuh-musuh mereka dengan dunia budaya kosmopolitan. </p>
<p>Kelompok kanan selalu memandang budaya kosmopolitan dengan curiga. Ini nampak, misalnya, dalam bagaimana Nazi menggambarkan “kesenian bobrok” (<em><a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Degenerate_art">degenerate art</a></em>), konsep “<a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Cultural_Bolshevism">Bolsjewisme Budaya</a>”, atau kalimat yang sering salah dikutip “<a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Hanns_Johst">kalau saya mendengar kata ‘budaya’, saya segera mengambil senjata saya</a>.”</p>
<p>Pada dasarnya, narasi dimulai ketika ada satu kelompok Marxis yang dekat dengan Partai Komunis Jerman yang mendirikan Institut Riset Sosial (Institute for Social Research atau ISR) di Frankfurt pada 1923. </p>
<p>Kelompok ini memulai sebuah proses untuk mengembangkan strategi mengalahkan kapitalisme dan Peradaban Barat lewat kegiatan kebudayaan.</p>
<p>Kelompok Marxis itu dikatakan melakukan strategi ini antara lain sebagai respons terhadap kegagalan Marxisme “ekonomis” ortodoks yang fokus kepada isu ekonomi dan perjuangan kelas.</p>
<p>Pada awal 1930-an, seiring Hitler meraih kekuasaan di Jerman, ISR pindah dari Frankfurt ke Swiss, lalu ke New York, AS. Perpindahan ini turut membantu penyebaran ide-ide institut itu ke negara-negara berbahasa Inggris.</p>
<p>Menurut narasi “Marxisme Kultural” lagi, pada 1960-an ide-ide tersebut berperan penting dalam perkembangan kelompok Kiri Baru (<em>New Left</em>), menjadi dominan dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta turut berperan dalam penyebaran ide-ide anti-kapitalis, anti-agama, feminis, dan pro-LGBT.</p>
<p>Populis sayap kanan mengklaim inilah cara “Marxisme Kultural” mendominasi <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13504630.2020.1787822">ranah intelektual dan wacana publik</a>.</p>
<p>Matthew Sharpe, peneliti filsafat asal Deakin University, Australia, melakukan <a href="https://theconversation.com/is-cultural-marxism-really-taking-over-universities-i-crunched-some-numbers-to-find-out-139654">survei</a> dan menemukan bahwa klaim itu tidak masuk akal.</p>
<p>Temuan Sharpe menunjukkan bahwa pengaruh kaum intelektual Marxis di dunia akademis relatif menurun selama empat dekade terakhir. </p>
<p>Temuan itu menunjukkan bahwa pengaruh Marxis telah dikalahkan oleh pemikir “post-structuralist” (atau penganut pascamodernisme) seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, Judith Butler dan Deleuze.</p>
<p>Lalu mengapa kelompok “alt-right” dan kelompok lain terus menyebarkan narasi soal Marxisme Kultural?</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/55-tahun-impunitas-membawa-mundur-indonesia-sejak-tragedi-1965-147181">55 tahun impunitas membawa mundur Indonesia sejak tragedi 1965</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Musuh ada dimana-mana</h2>
<p>Memang, ada unsur-unsur dalam narasi Marxisme Kultural yang berhubungan dengan fakta sejarah nyata. Misalnya: <a href="http://www.ifs.uni-frankfurt.de/english/">ISR</a> nyata pernah (dan masih) ada, Kiri Baru adalah fenomena yang nyata terjadi di akhir 1960-an dan 1970-an, dan jurnal <a href="https://newleftreview.org/">New Left Review</a> masih ada hingga sekarang.</p>
<p>Namun, secara umum, Marxisme Kultural adalah sebuah teori konspirasi yang memungkinkan kaum kanan untuk melihat adanya satu musuh yang hadir dimana-mana. </p>
<p>Ibaratnya, teori ini menempatkan semua hal yang mereka tidak sukai dalam satu kotak.</p>
<p>Oleh karena itu, bagi kaum anti-Marxisme Kultural, pemikiran pascamodernisme tidaklah menggeser Marxisme Kultural - sebagaimana ditemukan oleh Sharpe. Sebaliknya, pascamodernisme adalah penjelmaan baru konspirasi Marxisme Kultural.</p>
<p>Tidak hanya itu, lewat narasi Marxisme Kultural, kelompok kanan menempatkan gerakan musuh sebagai sesuatu yang asing: musuh-musuh ini adalah hasil persengkongkolan yang dibuat pada tahun 1920-an di Jerman, lalu dibawa ke AS oleh <a href="http://transformativestudies.org/wp-content/uploads/Joan-Braune.pdf">orang Yahudi pencari suaka politik</a>.</p>
<p>Di dalam dunia “Marxisme Kultural”, tidak ada bedanya antara kaum progesif liberal, penganut pascamodernisme, aktivis LGBT, Trotskyist, pemimpin gerakan Black Lives Matter, feminis, anarkis, dan lain-lain. </p>
<p>“Marxisme Kultural” menjadi label yang bisa ditempelkan pada mereka semua.</p>
<h2>Marxisme Kultural dan Komunisme</h2>
<p>Kita bisa melihat pola yang sama antara yang menempatkan Marxisme Kultural dan komunisme sebagai monster-monster yang harus ditakuti dan dibenci. </p>
<p>Ini karena keduanya menggunakan strategi dasar yang sama yang digunakan saat Perang Dingin sedang panas-panasnya, dan masih digunakan di banyak tempat.</p>
<p>Kala itu, saat Dunia Barat (AS dan NATO) bersitegang dengan Dunia Komunis (Uni Soviet dan sekutunya), segala sesuatu yang tidak disukai oleh Barat pasti disebut “komunis”.</p>
<p>Di Indonesia, saya menyebut ini sebagai “<a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-319-71455-4_15">zombie anti-komunis</a>” karena strategi ini tidak banyak berubah sejak 1965. </p>
<p>Seperti Marxisme Kultural, anti-komunisme di Indonesia juga sering dipakai untuk menyamakan beragam aliran intelektual progresif, antara lain menganggap ideologi politik liberal itu sama dengan komunisme.</p>
<p>Dalam sejarah, pemikiran konspiratif semacam ini - termasuk narasi anti-komunis - kerap digunakan untuk menjustifikasi kekerasan politik berskala besar: misalnya di Rusia dan Jerman pada 1930-an, di Indonesia dan Cina pada 1960-an, dan di Cile pada 1970-an.</p>
<p>Kini sudah 55 tahun sejak peristiwa pembunuhan pemimpin-pemimpin kunci TNI-AD dalam “Gerakan 30 September” yang disusul dengan gelombang pembantaian massal dalam wacana membasmi “komunisme”. </p>
<p>Kita patut waspada bahwa pemikiran konspiratif yang bisa digunakan untuk menjustifikasi kekerasan yang demikian keji itu dapat pula hadir dalam masa-masa yang lebih damai.</p>
<p>Memberikan cap-cap semacam ini pada para musuh (terutama mereka yang progresif secara politik) akan menjadi jembatan menuju kekerasan, bahkan dalam situasi demokratis dan damai.</p>
<p>Inilah yang terjadi saat Anders Breivik membunuh 77 simpatisan Partai Buruh di Norwegia pada 2011, dan saat Brenton Tarrant membunuh 51 orang di Mesjid Al Noor di Christchurch, Selandia Baru, tahun lalu.</p>
<p><a href="http://web.a.ebscohost.com.ezproxy.une.edu.au/ehost/detail/detail?vid=0&sid=350dd464-c4fc-440e-b737-e9578c5955cf%40sdc-v-sessmgr01&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3QtbGl2ZQ%3d%3d#AN=128148285&db=a9h">Breivik</a> secara terbuka dan mendetail mengacu pada teori-teori konspirasi Marxisme Kultural; Tarrant mengambil ilham dari Breivik dan mengemukakan pandangan-pandangan konspiratif serupa.</p>
<p>Perang Dingin mungkin telah usai, tapi seperti halnya zombie anti-komunisme yang terus hidup di Indonesia, ketidaksetaraan dan ketegangan sosial di dunia Barat telah menghidupkan kembali narasi anti-komunisme Perang Dingin.</p>
<hr>
<p><em>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/146106/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Stephen Miller tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sama seperti label “komunis” di Indonesia, label “Marxisme Budaya” bisa ditempelkan ke berbagai macam musuhStephen Miller, Lecturer in Indonesian Studies, University of the Sunshine CoastLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1297522020-10-02T09:17:26Z2020-10-02T09:17:26Z“Darah itu merah, Jenderal!”, tapi konflik PKI vs militer dalam kasus 1965 tidak selalu hitam putih<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/361329/original/file-20201002-24-ledmq1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=5%2C17%2C3808%2C2704&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Korban tragedi 1965/1966, Umar Anwar mengikuti aksi desak Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) mengumumkan hasil penyelidikan pro justisia tragedi 1965/1966 di kantor Komnas HAM</span> <span class="attribution"><span class="source">ANTARA/Puspa Perwitasari/nz/12</span></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini bagian dari rangkaian tulisan untuk memperingati Tragedi 1965.</em></p>
<hr>
<p>Diskusi tentang peristiwa pembunuhan tujuh perwira militer pada 30 September 1965 dan pembantaian setidaknya ratusan ribu warga sipil setelahnya selalu mengelompokkan kita pada tiga kotak kekuasaan, yang disebut wartawan senior Rosihan Anwar sebagai <a href="https://books.google.co.id/books?id=-X4wccKiXLAC">“segitiga kekuasaan”</a>, yakni Sukarno, presiden yang menjabat ketika itu, tentara, dan Partai Komunis Indonesia (PKI).</p>
<p>Ketiga pihak kemudian dikelompokkan menjadi tiga kubu yang berbeda dan berseberangan. Tapi penyederhanaan di atas mengaburkan usaha untuk melakukan analisis yang objektif tentang peristiwa tersebut karena ketika kita berbicara tentang tentara misalnya begitu banyak pihak dan kepentingan yang terlibat sebenarnya. Begitu juga dengan PKI dan Sukarno. Mereka adalah entah korban atau penjahat tapi bukan keduanya. Tapi sebenarnya kita tidak bisa melihat ketiganya hanya hitam atau putih. </p>
<p>John Mueller, seorang ahli politik Amerika Serikat, dalam artikelnya <a href="https://politicalscience.osu.edu/faculty/jmueller/is2000.pdf"><em>The Banality of “Ethnic War”</em></a> secara implisit menyatakan adanya “<em>fallacy of composition</em> atau bentuk kesalahan logika dalam mengatribusikan kebencian etnis yang dilakukan suatu kelompok tertentu. Misalnya, ketika kita menyebut "Jepang menyerbu Pearl Harbor (Amerika Serikat)”, kesalahan logika berpikir yang muncul adakah ketika kita mengasumsikan bahwa dalam penyerangan itu seluruh Jepang terlibat, padahal tidak mungkin ibu-ibu Jepang berkimono juga terlibat, misalnya.</p>
<p>Kesalahan logika semacam ini juga hadir dalam analisis tentang pihak-pihak yang terlibat dalam kasus 1965. </p>
<p><strong>Pertama, Sukarno</strong></p>
<p>Sukarno selalu dianggap sebagai <a href="https://books.google.co.id/books/about/Five_Journeys_from_Jakarta.html?id=6RseAAAAMAAJ&source=kp_book_description&redir_esc=y">Bapak Bangsa yang dicintai masyarakat Indonesia</a>. Tapi jarang ada analisis yang menggambarkan Sukarno secara utuh. </p>
<p>Seperti politikus lainnya, Sukarno adalah figur yang memang ingin terus berkuasa dan khawatir dengan <a href="https://history.state.gov/historicaldocuments/frus1958-60v17/d65">munculnya saingan-saingan politik yang mengancam kekuasaannya</a>.</p>
<p>Diskursus bahwa Sukarno dekat dengan PKI juga perlu ditinjau ulang karena bukti-bukti sejarah menunjukkan hubungan yang pelik antara Sukarno dan tokoh-tokoh PKI. </p>
<p>Sukarno memang dekat dengan dengan Wakil Ketua PKI, Njoto, tapi dia tidak suka dengan pemimpin senior PKI D.N. Aidit yang dianggap terlalu ambisius. Ketidaksukaan Sukarno pada figur Aidit muncul di buku sejarawan Belanda Antonie C.A. Dake, <em><a href="https://books.google.co.id/books?id=v7J6DwAAQBAJ&pg=PA407&lpg=PA407&dq=%22Aidit+is+persona+non+grata.+He+signed+his+own+death+warrant,+when+he+openly+defied+Sukarno+on+the+fateful+night+of+the+28th+%5Bsic%5D+of+September.%22&source=bl&ots=-vSeh7eY_F&sig=ACfU3U0pUgH3wRo_BH324Rz1KXMZD5DDeg&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=%22Aidit%20is%20persona%20non%20grata.%20He%20signed%20his%20own%20death%20warrant%2C%20when%20he%20openly%20defied%20Sukarno%20on%20the%20fateful%20night%20of%20the%2028th%20%5Bsic%5D%20of%20September.%22&f=false">In the Spirit of Red Banteng</a></em>, dan buku harian Ganis Harsono, seorang diplomat Indonesia, yang dekat dengan Subandrio, Menteri Luar Negeri Indonesia pada zaman Sukarno. </p>
<p>Sukarno mendukung PKI hanya untuk kepentingan politik. Ada dua tiga alasan mengapa Sukarno mendukung PKI </p>
<p>Pertama, dia tidak punya organisasi. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mengusungnya pada dasarnya adalah partai kaum priyayi yang tidak mengakar dan tidak memiliki pengikut yang kuat.</p>
<p>Kedua, dia membutuhkan organisasi yang membantunya mengimbangi kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sudah memiliki kekuasaan politik yang resmi dengan <a href="https://books.google.co.id/books/about/The_Road_to_Power.html?id=fIBuAAAAMAAJ&redir_esc=y"> dikeluarkannya Dekrit Presiden Juli 1959</a>.</p>
<p>Ketiga, Sukarno membutuhkan PKI untuk memberikan kesan kepada Amerika Serikat bahwa Indonesia siap berpaling kepada komunisme dengan harapan Amerika Serikat <a href="https://www.cia.gov/library/readingroom/docs/DOC_0000105888.pdf">yang khawatir bahwa Indonesia akan jatuh ke kubu Komunis, akan terpaksa memberikan pertolongan pada Indonesia terkait konfliknya dengan Malaysia.</a></p>
<p>Ketiga hal tersebut menjadi alasan mengapa Sukarno dianggap dekat dengan PKI, walau pada dasarnya dirinya selalu curiga. </p>
<p>Buktinya, walau orang-orang PKI mendapatkan posisi di pemerintahan, mereka tidak memiliki kekuasaan atau memimpin departemen. </p>
<p>Njoto sendiri menyatakan posisinya ibarat <a href="https://books.google.co.id/books?id=1lm1sLmniQ4C&pg=PA447&lpg=PA447&dq=aidit+menteri+tanpa+portofolio+dpr+gr&source=bl&ots=CUKfY2KKdv&sig=ACfU3U3GJ7IOMpedN3IgCzwqdqmlAO6nvQ&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=aidit%20menteri%20tanpa%20portofolio%20dpr%20gr&f=false">“menteri pupuk bawang” yang sekedar hadir sebagai “penghangat ubun-ubun rakyat”</a>. </p>
<p><strong>Kedua, TNI</strong></p>
<p>Banyak orang menganggap bahwa dalam kasus 1965, TNI adalah satu kesatuan.</p>
<p>Padahal ketika itu, TNI terpecah akibat kebijakan Sukarno yang melakukan aksi <em>konfrontasi</em> melawan Malaysia atau dikenal sebagai Ganyang Malaysia</p>
<p>Sebagian tentara menentang <em>konfrontasi</em> karena mereka sadar bahwa Malaysia terlalu kuat karena mendapat dukungan dari <a href="https://history.state.gov/historicaldocuments/frus1961-63v23/d324">Inggris</a>.</p>
<p>Kelompok tentara yang menentang konfrontasi tersebut didukung oleh Jenderal Ahmad Yani dan A.H. Nasution, pimpinan tinggi Angkatan Darat (AD). Mereka tak yakin Indonesia akan menang mudah dan jika TNI kalah, Indonesia mengalami kerugian besar karena perang melawan Inggris. Dan jika itu terjadi maka PKI yang akan diuntungkan. </p>
<p>Sebaliknya ada kubu yang mendukung kebijakan Sukarno untuk mengganyang Malaysia.</p>
<p>Bagi kelompok ini, <a href="https://books.google.co.id/books/about/Konfrontasi.html?id=IN0BAAAAMAAJ&redir_esc=y">kelompok anti-ganyang Malaysia menusuk mereka dari belakang</a>. Mereka juga berpikir bahwa Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal A.H. Nasution ingin melemahkan tentara pendukung Sukarno dengan terus mengirimkan mereka ke garis depan pertempuran. Kelompok inilah yang kemudian <a href="https://www.jstor.org/stable/3350791">terlibat dalam penculikan </a> para jenderal Angkatan Darat.</p>
<p><strong>Ketiga, PKI</strong></p>
<p>PKI waktu itu adalah partai terbesar di Indonesia dengan jumlah anggota yang mencapai tiga juta orang. </p>
<p>PKI waktu itu bisa dibilang adalah partai <em>wong cilik</em> (orang kecil) karena membantu masyarakat miskin yang tidak mampu. Mereka membantu <a href="https://books.google.co.id/books/about/Indonesian_Upheaval.html?id=04lAAAAAIAAJ&redir_esc=y">masyarakat yang terbebani iutang dengan bunga tinggi, misalnya</a>. Sehingga, mayoritas anggota PKI bergabung karena faktor ekonomi tersebut dan bukan karena mereka mengamini ideologi komunis. Sebagian juga bergabung karena figur Sukarno yang mendukung PKI.</p>
<p>Dalam versi sejarah Orde Baru, PKI dianggap sebagai musuh bebuyutan TNI-AD. Militer selalu menuduh mereka memprakarsai pembunuhan terhadap para jenderal AD. </p>
<p>Versi sejarah ini ada benarnya: pada saat itu, memang hubungan PKI dan TNI-AD sangat buruk karena adanya perebutan kekuasaan. </p>
<p>PKI sendiri melalui <a href="https://www.jstor.org/stable/3350791">“Biro Khusus”</a> bentukan petinggi PKI Sjam Kamaruzaman, berusaha menyebarkan pengaruhnya ke kalangan tentara. Melalui biro tersebut juga, PKI memberikan bantuan kepada kelompok TNI yang akhirnya menculik para jenderal. </p>
<p>Namun, bukti-bukti sejarah memperlihatkan bahwa meski peran PKI penting, bukan mereka yang memprakarsai pembunuhan para jenderal. Hal ini dikemukakan Sudisman, salah satu petinggi PKI, dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa, yang <a href="https://www.jstor.org/stable/3350791">menyatakan</a> bahwa PKI diminta tolong dan membantu kelompok TNI yang pro ganyang Malaysia untuk menangkapi para jenderal. </p>
<p>“Darah itu merah, Jenderal” adalah sebuah kutipan yang membekas dari film <a href="https://www.imdb.com/title/tt0335349/">Pengkhianatan G30S/PKI</a> yang selalu diputar tiap tahun ketika era Orde Baru . Ungkapan yang absolut tersebut ternyata tidak bisa diterapkan ketika kita menganalisis aktor-aktor yang terlibat dalam tragedi yang terjadi 55 tahun yang lalu. </p>
<p>Penggambaran di atas menunjukkan bahwa dinamika politik Indonesia ketika itu begitu kompleks. </p>
<p>Penting bagi kita untuk memperhatikan dinamika perpolitikan yang ada guna menghadirkan analisis yang lengkap dan tidak setengah-setengah.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/129752/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Yohanes Sulaiman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kesalahan logika semacam hadir dalam analisis tentang pihak-pihak yang terlibat dalam kasus 1965.Yohanes Sulaiman, Associate lecturer, Universitas Jendral Achmad YaniLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1302492020-01-24T06:06:13Z2020-01-24T06:06:13ZMelawan lupa: membaca pesan HAM dalam film NKCTHI<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/311748/original/file-20200124-81395-17jf743.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=1%2C21%2C1076%2C730&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Film _Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini_ (NKTCHi) mencerita kisah tiga bersaudara (dari kiri ke kanan) Awan (diperankan Rachel Amanda), Angkasa (Rio Dewanto), dan Aurora (Sheila Dara Aisha).</span> <span class="attribution"><span class="source">Visinema Pictures</span></span></figcaption></figure><p>Sebuah karya film selalu bisa digunakan untuk membawa pesan universal, salah satunya pesan-pesan kemanusiaan. </p>
<p>Film Indonesia teranyar yang membawa pesan kemanusiaan dengan cukup kuat adalah film panjang <a href="https://www.imdb.com/title/tt10773114/"><em>Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini</em></a> (NKCTHI)] karya sutradara Angga Dwimas Sasongko.</p>
<p>Rilis pada bulan Desember lalu, film NKTCHI merupakan film drama dengan bumbu kisah percintaan anak muda yang pelik. Tapi bagi aktivis seperti saya, NKTCHI lebih dari itu. </p>
<p>Film yang sudah ditonton lebih dari <a href="https://www.liputan6.com/showbiz/read/4161229/film-nkcthi-akhirnya-tembus-2-juta-penonton">dua juta penonton</a> ini bisa menjadi gerbang masuk yang baik untuk membahas masalah-masalah mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yang terlupakan.</p>
<h2>Terbuka pada trauma</h2>
<p>Diangkat dari <a href="https://www.gramedia.com/blog/review-buku-nkcthi-nanti-kita-cerita-tentang-hari-ini-marchella-fp/#gref">buku populer karya Marchella FP, NKTCHI</a> berkisah tentang satu keluarga yang tampak bahagia tapi sebenarnya menyimpan masa lalu yang kelam.</p>
<p>Masa lalu yang berusaha ditutupi-tutupi sang Ayah (diperankan oleh Oka Antara lalu Donny Damara) dan Ibu (diperankan Niken Anjani lalu Susan Bachtiar) lama-lama menggerogoti kebahagiaan keluarga. Anak-anak yang menjadi korbannya. Si sulung, Angkasa (Rio Dewanto) menjadi trauma karena harus menyembunyikan rahasia tersebut dari kedua adik perempuannya, Aurora (Sheila Dara Aisha) dan Awan (Rachel Amanda).</p>
<p>Sikap teguh tokoh Ayah dalam menutupi fakta yang terjadi di masa lalu, mengingatkan saya pada sikap pemerintah yang berusaha mengubur kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini. </p>
<p>Sebut saja tragedi 1965-1966, belum terlalu jelas konteks sejarah apa yang sebenarnya terjadi di balik <a href="https://www.theguardian.com/books/2018/mar/15/killing-season-geoffrey-robinson-army-indonesian-genocide-jess-melvinreviews">pembunuhan berskala besar terhadap orang-orang komunis</a> setelah enam orang perwira tinggi militer angkatan darat diculik dan dibunuh oleh mereka yang disebut sebagai Gerakan 30 September. </p>
<p>Meski <a href="https://nasional.tempo.co/read/871299/ipt-65-tagih-janji-jokowi-selesaikan-kasus-pelanggaran-ham-berat">berjanji</a> untuk mengungkapkan tragedi ini saat kampanye pemilihan presiden 2014, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menempuh sikap-sikap yang membingungkan bahkan menyatakan <a href="https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/no-thoughts-about-apologising-indonesia-and-1965-66-killings">tidak ada pikiran</a> untuk meminta maaf atas masa lalu.</p>
<p>Lalu ada tragedi <a href="https://www.ictj.org/sites/default/files/ICTJ-Kontras-Indonesia-Derailed-Report-2011-Indonesian_0.pdf">Tanjung Priok 1984</a> di Jakarta Utara dan tragedi <a href="https://www.ictj.org/sites/default/files/ICTJ-Kontras-Indonesia-Derailed-Report-2011-Indonesian_0.pdf">Talangsari 1989</a> di Lampung. </p>
<p>Pada tahun 1998, ribuan orang menjadi korban kerusuhan, <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/SDK/2.PP3_SDK_2_Temuan%20TGPF%20Peristiwa%20Kerusuhan%20Mei%201998.pdf">termasuk kaum perempuan etnik Cina yang menjadi korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya.</a> Dalam peristiwa itu empat orang telah hilang tanpa diketahui bagaimana nasibnya kini, menyusul sekitar sembilan belas aktivis yang diculik sebelumnya. </p>
<p>Sementara itu, puluhan tahun pelanggaran HAM di ujung timur dan barat Indonesia juga belum terungkap dan terus membawa korban dan masalah baru. Penelitian terbaru Amnesty International Indonesia, organisasi tempat saya bekerja, <a href="https://www.amnesty.org/download/Documents/ASA2181982018INDONESIAN.PDF">mencatat</a> 69 kasus pembunuhan tidak sah yang terjadi sejak 2008-2018 di Papua. Sementara di Aceh, proses pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi tersendat karena belum meraih dukungan penuh dari pemerintah pusat untuk menggelar kesaksian-kesaksian korban pelanggaran HAM masa lalu.</p>
<p>Sikap pemerintah terhadap tragedi kelam masa lalu itu, sayangnya, cenderung terus merahasiakannya dengan dalih demi stabilitas politik dan masa depan yang bebas dari kegaduhan. </p>
<p>Ini seperti sikap sang ayah di film NKCTHI yang merahasiakan masa lalu demi stabilitas dan masa depan kebahagiaan keluarga sehingga bebas dari kesedihan. </p>
<p>Dalam kisah NKCTHI, sikap ayah terhadap masa lalu merangkai fiksi tentang sebuah masa depan yang menggelisahkan Angkasa dan sebuah kebahagiaan yang semu bagi sebuah keluarga. </p>
<p>Sedangkan dalam kisah korban pelanggaran HAM, sikap pemerintah terhadap terhadap kasus pelanggaran HAM masa lalu menjadi fakta tentang hidup yang mereka jalani baik sebagai keluarga maupun sebagai sebuah bangsa. </p>
<p>Entah sengaja atau tidak, Angga yang sebelumnya juga sempat membuat film yang menyinggung tragedi 1965, <a href="https://www.imdb.com/title/tt6029714/"><em>Surat dari Praha</em></a>, pada tahun 2016, memilih tahun 1998 sebagai momen masa lalu kelam keluarga Angkasa yang berusaha terus dikubur. </p>
<p>Saya merasa karakter Angkasa adalah simbol dari perjuangan reformasi, perjuangan yang bukan bermaksud untuk mengangkat trauma luka lama, namun untuk menghadapi masa lalu dengan tangan terbuka untuk belajar darinya dan menyongsong masa depan yang lebih baik.</p>
<p>Salah satu kutipan dari Angkasa yang sangat kuat merepresentasikan hal itu adalah ketika dia menghardik ayahnya dengan kalimat:</p>
<p>“Karena katanya kita <em>ngga</em> perlu punya trauma. Kita <em>ngga</em> perlu <em>ngerasa</em> kehilangan. Yang penting kita bahagia. <em>Gimana</em> caranya bahagia, kalau sedih aja kita <em>ngga</em> tahu rasanya <em>kayak</em> apa?” </p>
<p>Di momen itu, saya membayangkan Angkasa menjelma sebagai anak keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu yang dengan keberanian dan setengah geram berkata kepada pemerintah. </p>
<h2>Ungkap tuntas kasus HAM masa lalu</h2>
<p>Meski era keterbukaan telah dimulai sejak 21 Mei 1998, sayangnya hingga hari ini tragedi kemanusiaan di masa itu terus menjadi luka lama bangsa yang digelapkan.</p>
<p>Para keluarga yang kehilangan anak atau suami seperti tak tahu lagi harus bagaimana. Upaya mendatangi instansi-instansi negara guna mencari tahu apa yang terjadi dengan anggota keluarga tercinta mereka atau menuntut keadilan, termasuk dengan menggelar Aksi Kamisan setiap pekan selama 13 tahun terus berhadapan dengan sikap-sikap yang menutup rapat apa yang terjadi di masa lalu. </p>
<p>“Jangan membuka luka masa lalu, mari menatap masa depan!”, begitu ungkapan yang sering terdengar dari para politisi bangsa ini. </p>
<p>Atau seperti yang baru-baru ini dikatakan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin bahwa tragedi penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I dan II <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/01/16/14240401/jaksa-agung-peristiwa-semanggi-i-dan-ii-bukan-pelanggaran-ham-berat">bukanlah sebuah pelanggaran HAM berat</a>. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/311742/original/file-20200124-81369-egqmhl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/311742/original/file-20200124-81369-egqmhl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=411&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/311742/original/file-20200124-81369-egqmhl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=411&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/311742/original/file-20200124-81369-egqmhl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=411&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/311742/original/file-20200124-81369-egqmhl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=517&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/311742/original/file-20200124-81369-egqmhl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=517&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/311742/original/file-20200124-81369-egqmhl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=517&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Mahasiswa melakukan aksi demonstrasi di wilayah sekitar Semanggi, Jakarta Pusat pada Mei 1998.</span>
<span class="attribution"><span class="source">wikimedia commons</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/">CC BY-NC</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Apakah adil menganggap jatuhnya nyawa manusia dalam tiga tragedi yang mengakibatkan <a href="https://www.ictj.org/sites/default/files/ICTJ-Kontras-Indonesia-Derailed-Report-2011-Indonesian_0.pdf">puluhan orang tewas dan ratusan orang terluka dan hilang</a> itu hanya sebagai peristiwa kriminal biasa, tak perlu diungkapkan dan harus dilupakan?</p>
<p>Hal yang bisa diambil dari NKCTHI adalah bahwa membicarakan mengenai trauma masa lalu (baik trauma dalam keluarga maupun dalam sejarah sebuah bangsa) memang dapat menimbulkan luka masa lalu ke permukaan. </p>
<p>Namun, sampai kapan pun jika tidak dibicarakan, masalah lain akan terus timbul. </p>
<p>Jika sebuah negara seperti Indonesia terus menghindar untuk menuntaskan kasus-kasus HAM masa lalu, maka bangsa ini tidak akan pernah bisa belajar dari kesalahannya di masa lalu. </p>
<p>Isabelle Arradon dari Amnesty International pernah <a href="https://www.amnesty.org/download/Documents/12000/asa210012013en.pdf">mengingatkan</a> bahwa rasa tidak adil yang dirasakan para korban kasus pelanggaran HAM masa lalu bisa saja menumbuhkan kebencian yang bisa menabur benih-benih kekerasan di masa depan.</p>
<p>Kekerasan akan terus berulang termasuk terhadap ekspresi-ekspresi yang damai dari gerakan mahasiswa pada peristiwa 24-30 September 2019, yang <a href="https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2020/1/9/1303/komnas-ham-beberkan-temuan-tim-peristiwa-24-30-september-2019.html">menurut Komisi Nasional (Komnas) HAM</a> telah menelan korban setidaknya lima orang tewas dan 15 jurnalis mengalami kekerasan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/311784/original/file-20200124-81411-afsph9.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/311784/original/file-20200124-81411-afsph9.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/311784/original/file-20200124-81411-afsph9.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/311784/original/file-20200124-81411-afsph9.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/311784/original/file-20200124-81411-afsph9.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/311784/original/file-20200124-81411-afsph9.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/311784/original/file-20200124-81411-afsph9.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Barisan personil kepolisian sedang menjaga ketat gerbang depan kompleks DPR/MPR di Senayan, Jakarta sesaat sebelum kerusuhan.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Luthfi Dzulfika/The Conversation Indonesia</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kita perlu belajar dari <a href="https://www.hrw.org/world-report/2019/country-chapters/argentina">Argentina</a> yang telah berusaha menelusuri sejarah luka masa lalu. Argentina menuntut pelaku kejahatan HAM secara hukum dan mencegah orang-orang yang terlibat pelanggaran HAM masa lalu untuk duduk di kursi-kursi pemerintahan. </p>
<p>Mengungkap kebenaran atas kejahatan HAM masa lalu itu penting karena, mengutip kata mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan, hal tersebut akan “<a href="https://www.un.org/ruleoflaw/files/2004%20report.pdf">menumbuhkan tingkat kepercayaan masyarakat yang kuat…untuk pembangunan ekonomi dan pemerintahan yang demokratis</a>”.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/130249/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Usman Hamid adalah Direktur Amnesty Internasional Indonesia.</span></em></p>Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKTCHI) bisa menjadi gerbang masuk yang baik untuk membahas masalah-masalah mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yang terlupakan di Indonesia.Usman Hamid, Lecturer, Indonesia Jentera School of LawLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1285442019-12-10T07:41:54Z2019-12-10T07:41:54ZRekonsiliasi sehari-hari: jawaban sementara terhadap kekerasan HAM masa lalu?<p><em>Tulisan ini merupakan bagian dari rangkaian artikel untuk memperingati Hari HAM Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember.</em></p>
<hr>
<p>Rekonsiliasi, sederhananya, adalah proses <a href="https://bookstore.usip.org/browse/book/9781878379733/Building-Peace">pemulihan hubungan</a> antar beberapa pihak supaya lepas dari kekerasan masa lalu.</p>
<p>Mayoritas <a href="https://doi.org/10.1177/1363461510362043">literatur akademik</a> sepakat bahwa rekonsiliasi sejati hanya dapat diwujudkan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) atau pengadilan khusus. Komisi ini bertugas menyediakan ruang bagi penyintas dan pelaku menyampaikan fakta-fakta seputar kekerasan masa lalu yang bisa dipakai sebagai dasar rekonsiliasi.</p>
<p>Beberapa waktu lalu Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD <a href="https://tirto.id/soal-wacana-hidupkan-kkr-mahfud-md-bukan-untuk-kehendak-kelompok-ekmv">menawarkan gagasan untuk membentuk KKR kembali</a> setelah sebelumnya rencana pembentukan KKR sempat gagal karena UU yang melandasi pendiriannya <a href="https://news.detik.com/berita/d-717368/mk-cabut-uu-komisi-kebenaran-dan-rekonsiliasi">dibatalkan</a> oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 karena dianggap melanggar Undang-Undang Dasar 1945. </p>
<p>Pembatalan UU ini mencerminkan penolakan yang cukup kuat terkait pembentukan KKR. Beberapa <a href="https://tirto.id/rekonsiliasi-mencari-wadah-paling-realistis-bnnf">elemen masyarakat sipil</a> mengatakan pendirian KKR berpeluang memaksa penyintas <em>legowo</em> menerima kejahatan HAM masa lalu, sementara para pelaku bisa lari dari penegakan hukum. Di sisi lain, <a href="https://tirto.id/penyelesaian-kasus-1965-menuntut-keseriusan-komnas-ham-ck63">beberapa aktor lain</a> menuding KKR justru akan membuka luka masa lalu dan menimbulkan perpecahan. Selain penolakan ini, rencana Mahfud untuk membentuk kembali KKR juga belum jelas.</p>
<p>Di tengah kebuntuan ini, kita dapat belajar dari keberhasilan <a href="http://www.paramadina-pusad.or.id/buku/carita-orang-basudara/">rekonsiliasi di Maluku</a>, tempat terjadinya kekerasan yang melibatkan warga Muslim dan Kristen antara 1999 dan 2002.</p>
<p><a href="http://www.paramadina-pusad.or.id/buku/ketika-agama-bawa-damai-bukan-perang-belajar-dari-imam-dan-pastor/">Riset saya</a> menemukan bahwa proses yang terjadi di Maluku adalah rekonsiliasi sehari-sehari atau rekonsiliasi yang terjalin dalam rutinitas hidup tanpa perlu bantuan lembaga formal seperti KKR. Rekonsiliasi sehari-hari di Maluku terjadi di tiga ranah: lingkungan sekitar, narasi, dan fungsional. </p>
<p>Dari temuan ini, saya melihat beberapa pembelajaran yang dapat diambil dari masyarakat Maluku guna menuntaskan kasus-kasus HAM masa lalu di Indonesia.</p>
<h2>Tiga ranah</h2>
<p>Saya mulai melakukan riset di Maluku pada 2002. Riset ini menjadi lebih intensif pada tahun 2004-2006 lalu 2014-2015 dan melibatkan sekitar 300 responden. Tujuan besarnya adalah mengetahui bagaimana rekonsiliasi bisa berjalan dengan baik di sana meski tidak ada KKR. </p>
<p>Saya mengambil data dengan menggunakan metode survei, wawancara terstruktur, diskusi kelompok, dan etnografi.</p>
<p>Riset saya menemukan bahwa rekonsiliasi yang terjadi di Maluku adalah rekonsiliasi sehari-hari yang tidak dirancang sebagai sebuah forum yang bersifat formal dan secara khusus dibentuk. Rekonsiliasi ini “dijahit” sebagai bagian dari aktivitas keseharian. </p>
<p>Rekonsiliasi ini terjadi dalam tiga ranah:</p>
<p><strong>Ranah lingkungan sekitar</strong> menggarisbawahi hubungan-hubungan yang muncul antara berbagai pihak terkait aspek-aspek spasial yang mengikat mereka. Contoh yang paling jelas adalah bagaimana warga Muslim dan Kristen bersama-sama memperbaiki rumah, masjid, dan gereja di lingkungan tempat tinggal mereka. Contoh lain terjadi ketika warga Muslim memberikan jaminan keamanan bagi tetangga Kristennya yang dulu terusir dari desa untuk bisa kembali – atau sebaliknya.</p>
<p><strong>Ranah narasi</strong>, adalah tempat pihak-pihak dalam konflik menyimpan cerita dan memori mengenai transformasi hubungan mereka. Di dalamnya, ada aneka novel, lagu, film, dan puisi yang menggarisbawahi bagaimana semangat <em>basudara</em> (bersaudara) menuntun warga Maluku melampaui rasa curiga, dendam, dan permusuhan sehingga akhirnya dapat kembali hidup berdampingan.</p>
<p><strong>Ranah fungsional</strong> adalah tempat pihak-pihak dalam konflik berinteraksi satu sama lain dengan mengedepankan profesi, hobi, atau peran sosial mereka. Dalam ranah ini, warga bekerja sama menormalisasi aneka sektor kehidupan mereka, dalam kapasitasnya sebagai wartawan, guru, ibu, penulis blog, pengemudi, pedagang – bukan sebagai Muslim atau Kristen. </p>
<p>Pengalaman Maluku menunjukkan semua inisiatif untuk berekonsiliasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Ketika terjadi di beberapa ranah sekaligus, rekonsiliasi berpeluang memperkuat satu sama lain, sehingga cita-cita perdamaian lebih mudah diupayakan.</p>
<h2>Terobosan rekonsiliasi di Maluku: interdependensi</h2>
<p>Rekonsiliasi sehari-hari di Maluku bisa berjalan dengan baik karena ada hubungan ketergantungan yang kuat antara penyintas dan pelaku dalam menghentikan kekerasan supaya kehidupan bisa kembali berjalan normal. </p>
<p>Mengingat konfliknya berbentuk kekerasan yang melibatkan baik umat Kristen dan Islam, bisa dikatakan bahwa baik warga Muslim maupun Kristen merupakan penyintas dan pelaku.</p>
<p>Rekonsiliasi sehari-hari adalah satu konsep yang saya bangun dari salah satu jalur rekonsiliasi yang dikenalkan oleh pakar studi perdamaian dari Amerika Serikat, John Paul Lederach, yaitu <a href="https://bookstore.usip.org/browse/book/9781878379733/Building-Peace">interdependensi</a>. </p>
<p>Rekonsiliasi interdependensi tidak fokus pada upaya pengungkapan kebenaran, pemberian keadilan, atau pemberian pengampunan, tapi pada penghentian kekerasan.
Guna menghentikan kekerasan ini, warga sadar mereka harus bekerja sama dengan pihak yang dianggap lawan. Dengan kata lain, mereka bergantung satu sama lain untuk menghentikan kekerasan tersebut dan kembali hidup normal.</p>
<p><a href="http://www.paramadina-pusad.or.id/buku/konflik-dan-perdamaian-etnis-di-indonesia/">Aneka wawancara</a> pada tahun 2000 hingga 2006 mengkonfirmasi bahwa masyarakat Maluku menginginkan kehidupan di berbagai sektor kembali berjalan normal.</p>
<p>Anak-anak bisa kembali ke sekolah dan orang-orang dewasa bisa bekerja dengan normal. Semua warga bisa bebas bertransaksi di pasar tanpa ada segregasi antara Islam dan Kristen. Pasien tidak lagi pilih-pilih dokter atau transfusi darah dari yang seagama.</p>
<p>Rekonsiliasi sehari-sehari ini sama sekali tidak bermaksud mengatakan bahwa kebenaran dan keadilan tidak penting.</p>
<p>Yang perlu digarisbawahi adalah, masyarakat memiliki interpretasi sendiri terhadap apa yang penting serta apa yang benar dan adil.</p>
<p>Bagi warga Maluku, kurang penting untuk tahu persis secara rinci siapa melakukan apa kepada siapa, kapan, dan di mana. Yang lebih penting adalah menyadari bahwa kontribusi masyarakat dalam kekerasan masa lalu harus dibayar dengan tanggung jawab mencegah kekerasan pada masa depan.</p>
<h2>Dari Maluku untuk Indonesia</h2>
<p>Ada 2 pembelajaran yang bisa diambil dari rekonsiliasi Maluku untuk penuntasan kasus HAM:</p>
<p><strong>1. Pertama, rekonsiliasi perlu juga dihadirkan sebagai bagian dari keseharian, bukan hanya sebagai forum formal dan sementara.</strong> </p>
<p>Sambil menegosiasikan mandat dan bentuk KKR, masyarakat sipil perlu terus menginisiasi rekonsiliasi sehari-hari. Bisa jadi, capaian dari rekonsiliasi sehari-hari dapat menjadi bekal masyarakat sipil untuk mendorong format KKR yang sesuai dengan kebutuhan penyintas.</p>
<p><strong>2. Upaya mengembangkan rekonsiliasi sehari-hari perlu dilakukan di berbagai ranah.</strong></p>
<p>Ada beberapa inisiatif yang bisa dilakukan di ranah lingkungan sekitar guna menyelesaikan kasus-kasus HAM lama. Beberapa contohnya adalah tur yang diselenggarakan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan untuk mengenang kekerasan terhadap warga Tionghoa tahun 1998 dan tur kota Yogyakarta yang mengungkap situs-situs penahanan dan penyiksaan tahun 1965.</p>
<p>Satu hal sederhana lain yang bisa dilakukan adalah mendorong dialog antargenerasi di lingkup keluarga. Tugas sekolah bisa meminta siswa bertanya kepada orang tuanya di mana mereka tahun 1998 dan bertanya kepada nenek-kakeknya di mana mereka tahun 1965. Pertanyaan seperti ini mendobrak tabu dan berpeluang membuka percakapan yang lebih empatik terhadap penyintas kekerasan masa lalu.</p>
<p>Di ranah narasi, memori penyintas, pelaku, dan saksi bisa dihadirkan melalui aneka karya seni. Ada film-film seperti <a href="https://www.viddsee.com/video/sowan/gca9z?locale=en">Sowan</a>, <a href="https://www.imdb.com/title/tt5821664/">Istirahatlah Kata-Kata</a>, <a href="https://www.imdb.com/title/tt6029714/?ref_=fn_al_tt_1">Surat dari Praha</a>, <a href="https://ffd.or.id/en/film/a-daughters-memory/">A Daughter’s Memory</a>, <a href="https://www.imdb.com/title/tt5131346/">Langit Masih Gemuruh</a>, <a href="http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-p019-99-719188_puisi-tak-terkuburkan#.Xe8GepIzbGI">Puisi tak Terkuburkan</a>, dan <a href="https://www.imdb.com/title/tt0344801/">Aku Ingin Menciummu Sekali Saja</a>.</p>
<p>Ada novel seperti <a href="https://www.gramedia.com/products/conf-entrok">Entrok</a>, <a href="https://www.goodreads.com/book/show/16174176-pulang">Pulang</a>, <a href="https://www.gramedia.com/products/amba-sebuah-novel">Amba</a>, dan <a href="https://www.gramedia.com/products/conf-gadis-kretek">Gadis Kretek</a>. Ada pula pertunjukan teater <a href="https://www.thejakartapost.com/life/2018/12/18/the-voices-of-the-oppressed-from-a-satay-stall.html">Selamatan Anak Cucu Sumilah</a> dan <a href="https://serunai.co/2017/07/21/tragedi-itu-bernama-gejolak-makam-keramat/">Gejolak Makam Keramat</a>.</p>
<p>Di ranah fungsional, beberapa pengajar perguruan tinggi menyilakan mantan tahanan politik ikut menghadiri kelas atau seminar. Mereka ingin menawarkan kesempatan bagi para mantan tapol merasakan kembali tahun-tahun perkuliahan, yang tercerabut dari mereka karena tindak penahanan. </p>
<p>Kemudian ada pemuka agama, seperti Pendeta Mery Kolimon, merangkul para penyintas kekerasan 1965 dan keluarganya yang sebelumnya dilarang ikut ibadah. Ada juga petugas kesehatan yang memberikan layanan kesehatan cuma-cuma kepada penyintas kekerasan 1965 dan layanan psikologi cuma-cuma bagi penyintas pemerkosaan pada Mei 1998.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/128544/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Diah Kusumaningrum juga mengajar di Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK), Universitas Gadjah Mada. </span></em></p>Di tengah kebuntuan penuntasan kasus HAM di Indonesia, kita dapat belajar dari keberhasilan rekonsiliasi di Maluku yang mengalami kekerasan antara warga Muslim dan Kristen pada 1999-2002.Diah Kusumaningrum, Lecturer and researcher at Department of International Relations, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1042202018-10-04T04:04:16Z2018-10-04T04:04:16ZGempa dan tsunami Palu runtuhkan salah satu upaya aktivisme HAM terpenting di Indonesia<p>Gempa bumi dan tsunami yang melanda kota Palu, Sulawesi Tengah, Jumat lalu, tidak hanya membawa kehancuran dan kematian. Bencana kembar tersebut juga meruntuhkan upaya para aktivis dan pemerintah kota dalam mendukung para penyintas kekerasan anti-komunis di Indonesia pada 1965-1966. Pada umumnya di Indonesia, penyintas kekerasan anti-komunis masih sangat terpinggirkan.</p>
<p>Di <a href="http://palukota.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/10">Palu</a>, kota dengan 350.000 penduduk dan ibu kota provinsi Sulawesi Tengah, para aktivis telah meyakinkan para pemimpin pemerintah daerah untuk bersama-sama membantu para penyintas. Palu adalah satu-satunya daerah di Indonesia di mana seorang pejabat pemerintah menyatakan permintaan maaf resmi kepada korban kekerasan antikomunis di daerah tersebut. Sekitar lima hari setelah bencana alam terjadi, nasib sebagian aktivis masih belum diketahui.</p>
<h2>Permintaan maaf</h2>
<p>Rezim otoriter Orde Baru Soeharto berkuasa di Indonesia antara 1968 dan 1998. Tahun 1998, Soeharto dipaksa mengundurkan diri. Dari 1965-1966, tentara, di bawah Soeharto, memelopori operasi antikomunis yang menewaskan setengah juta orang sementara ratusan ribu orang lainnya ditahan tanpa pengadilan. </p>
<p>Militer menyalahkan Partai Komunis Indonesia (PKI) atas pembunuhan tujuh perwira militer pada malam 30 September dan dini hari 1 Oktober 1965, oleh sebuah kelompok yang menamakan dirinya <a href="https://uwpress.wisc.edu/books/3938.htm">Gerakan Tiga Puluh September</a>. Peringatan ke-53 dari kejadian ini bertepatan dengan bencana yang mengerikan di Sulawesi Tengah.</p>
<p>Pada 2012, Walikota Palu, Rusdy Mastura, meminta maaf kepada korban dan penyintas kekerasan anti-komunis. Dia berjanji untuk memberikan bantuan kepada mereka dan keluarga mereka demi <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2013/10/25/rusdy-mastura-the-mayor-who-said-sorry-1965.html">“kesetaraan, keterbukaan dan pertimbangan kemanusiaan”</a>. Dalam pidatonya, Mastura mengingat bagaimana, sebagai seorang anggota Pramuka pada tahun 1965, ia ditugaskan untuk menjaga orang-orang kiri yang ditahan.</p>
<p>Mastura berbicara di acara yang diselenggarakan oleh kelompok hak asasi manusia setempat, SKP-HAM (Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia).</p>
<p>SKP-HAM didirikan pada tahun 2004. Pemimpinnya yang paling dikenal adalah sekretarisnya yang dinamis, <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2013/12/17/nurlaela-ak-lamasitudju-truth-and%20-justice-1965-victim.html">Nurlaela Lamasitudju</a>, putri dari ulama setempat, Abdul Karim Lamasitudju.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/238823/original/file-20181002-195278-1cdjnld.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/238823/original/file-20181002-195278-1cdjnld.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=293&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/238823/original/file-20181002-195278-1cdjnld.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=293&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/238823/original/file-20181002-195278-1cdjnld.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=293&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/238823/original/file-20181002-195278-1cdjnld.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=368&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/238823/original/file-20181002-195278-1cdjnld.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=368&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/238823/original/file-20181002-195278-1cdjnld.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=368&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Mantan Walikota Palu Rusdy Mastura (tengah) dan pemimpin SKP-HAM Nurlaela Lamasitudju (kanan).</span>
<span class="attribution"><span class="source">Gambar diam dari dokumenter pendek tentang SKP-HAM SKP-HAM: Inisiatif Lokal untuk Korban Pelanggaran HAM di Kota Palu '/ SKP-HAM Sulteng (2016)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>2012, ‘Tahun Kebenaran’</h2>
<p>SKP-HAM adalah bagian dari Koalisi Nasional untuk Kebenaran dan Keadilan (Koalisi Pengungkapan Kebenaran dan Keadilan, KKPK), sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang hak asasi manusia.</p>
<p>Pada tahun 2012, KKPK mencanangkan kampanye “Tahun Kebenaran” dengan mengadakan beberapa acara publik dan “dengar pendapat” masyarakat dalam rangka mendorong administrasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk merehabilitasi korban kekerasan. Pada April 2012, Presiden SBY<a href="http://news.detik.com/read/2012/04/25/141406/1901196/10/sby-akan-minta-maaf-pada-korban-larangan-ham-berat-di-masa-lalu">dilaporkan telah menyatakan niatnya untuk meminta maaf</a> kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan selama rezim Orde Baru Suharto.</p>
<p><hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/how-should-indonesia-resolve-atrocities-of-the-1965-66-anti-communist-purge-57885">How should Indonesia resolve atrocities of the 1965-66 anti-communist purge?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
</p>
<p>Permintaan maaf SBY yang dijanjikan tidak pernah terwujud. Namun, rangkaian kegiatan “Tahun Kebenaran” menghasilkan beberapa perkembangan penting di Palu.</p>
<p>Setelah permintaan maafnya, SKP-HAM melobi Mastura untuk memenuhi janjinya dengan menyediakan layanan kesehatan dan beasiswa. Pemerintah Palu kemudian mengeluarkan Peraturan Walikota dan <a href="http://referensi.elsam.or.id/2014/10/peraturan-walikota-palu-nomor-25-tahun-2013-tentang-rencana-aksi-nasional-hak-asasi-manusia-daerah/">Rencana Hak Asasi Manusia atau Ranham</a> untuk pelaksanaannya. Instrumen pemerintah daerah ini dimungkinkan melalui Undang-undang Otonomi Daerah di Indonesia.</p>
<p>Peraturan walikota tersebut juga membentuk komite untuk mengawasi perlindungan hak asasi manusia dan pemulihan hak-hak korban. Pada 20 Mei 2013, Palu dinyatakan sebagai “Kota Sadar Hak Asasi Manusia”. Setiap tahun, kota ini mengadakan serangkaian acara terkait hak asasi manusia. Pada bulan Mei 2015, Badan Perencanaan Daerah Kota Palu mengawasi proses pengecekan dan verifikasi identitas korban dan kebutuhan mereka, menggunakan <a href="http://www.skp-ham.org/wp-konten/unggahan/2015/06/Ringkasan-Eksekutif-Penelitian-dan-Verifikasi-Korban-Peristiwa-1965-1966-di-Kota-Palu-Rev-Ebook.pdf">informasi yang dihimpun oleh kelompok hak asasi manusia</a> sebagai dasar. </p>
<h1>Kota yang progresif</h1>
<p>SKP-HAM telah mengumpulkan 1.200 kesaksian tentang kekerasan 1965-66 dari korban di daerah tersebut. Dari kesaksian ini, itu telah dibuat dan diunggah ke YouTube <a href="https://www.youtube.com/channel/UCsuRnOiDOq4kv8fzcLPuY6A">film pendek tentang para penyintas</a>.</p>
<p><a href="http://www.thejakartapost.com/news/2013/10/17/sulawesi-testifies-reveals-rare-perspective-1965-massacre.html">SKP-HAM juga menerbitkan sebuah buku tentang peristiwa 1965-66 di Sulawesi</a>, bekerja sama dengan penulis Indonesia, Putu Oka Sukanta. Rusdy Mastura menulis sebuah prakata untuk buku tersebut.</p>
<p>Kelompok ini mendukung koperasi tenun yang melibatkan para perempuan penyintas dan mengelola kafe dan ruang pertemuan, Kedai Fabula, di kantornya di Palu. Bersama dengan kelompok-kelompok agama dan pemerintah setempat, para anggota kelompok tersebut mengadakan kegiatan-kegiatan untuk melibatkan penyintas dalam kehidupan kota.</p>
<p>Mengingat kegiatan SKP-HAM Palu adalah pengingat dari apa yang telah hilang. Palu kota yang pencapaiannya dalam kemajuan hak asasi manusia memberikan <a href="https://www.nytimes.com/2015/07/13/world/asia/a-city-turns-to-face-indonesias-murderous-past.html">model untuk seluruh negeri</a>.</p>
<p>Masyarakat Palu, dengan bantuan dari berbagai pihak, akan membangun kembali, tetapi kita masih menantikan berita lebih lanjut dari kota ini. Sekretaris SKP-HAM, Nurlaela Lamasitudju, selamat dari gempa bumi dan tsunami. Dengan pergelangan kaki terkilir dan kehilangan beberapa anggota keluarga dalam bencana itu, dia bekerja sukarela mengumpulkan dan membagikan informasi mengenai situasi di Palu. Penting bagi Indonesia bahwa kelompok-kelompok seperti SKP-HAM yang mendorong inklusivitas dan persamaan hak tetap berada sebagai bagian dari bangsa dan negara di masa depan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/104220/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Vannessa Hearman adalah anggota Asian Studies Association of Australia council.</span></em></p>Ibu kota Sulawesi Tengah, Palu, yang terkena gempa dan tsunami, adalah kota dengan inisiatif HAM yang progresif.Vannessa Hearman, Lecturer in Indonesian Studies, Charles Darwin UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/924392018-02-28T10:00:55Z2018-02-28T10:00:55ZMengapa peneliti asing dipersulit untuk mengakses museum militer di Indonesia?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/208001/original/file-20180227-36683-1ro40j7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=1%2C0%2C1196%2C555&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Museum Pengkhianatan PKI (Komunis)</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://en.wikipedia.org/w/index.php?curid=41529261">Chris Woodrich/Wikimedia Commons </a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/">CC BY-NC-ND</a></span></figcaption></figure><p>Persyaratan bagi <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2018/02/09/foreign-researchers-access-to-tni-museums-restricted---.html">peneliti asing untuk mendapatkan izin memasuki museum</a> yang dikelola oleh militer Indonesia merupakan upaya untuk melanggengkan narasi era Soeharto tentang sejarah Indonesia.</p>
<p>Tentara Nasional Indonesia baru-baru ini mengumumkan bahwa peneliti asing harus meminta izin kepada asisten intelijen komandan militer untuk mengunjungi museum-museum demi kepentingan riset. Museum tersebut di antaranya <a href="https://situsbudaya.id/museum-pengkhianatan-pki-lubang-buaya-jakarta/">Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) </a>di Jakarta Timur, yang membahas peristiwa yang sangat dipertentangkan dalam sejarah politik Indonesia, dan <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Satriamandala_Museum">Museum Satriamandala</a> di Jakarta Selatan, museum militer utama Indonesia. </p>
<h2>Peristiwa 1965</h2>
<p>Museum Pengkhianatan PKI (Komunis), yang dibangun selama masa kediktatoran Soeharto, menggambarkan narasi rezim tersebut mengenai 1965, yang masih dianut oleh TNI.</p>
<p>Pada tahun itu, prajurit dari Pasukan Pengawal Presiden Soekarno menculik dan membunuh tujuh perwira militer Indonesia. Operasi ini disebut Gerakan 30 September.</p>
<p>Angkatan Darat yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto segera menumpas gerakan ini. Tentara kemudian menyatakan bahwa PKI mendalangi penculikan para jenderal.</p>
<p>Tentara saat itu kemudian melaksanakan kampanye pemusnahan PKI dengan bantuan dari kelompok-kelompok para-militer. Sedikitnya 500.000 anggota PKI, orang-orang yang diduga komunis, dan anggota organisasi yang berafiliasi dengan PKI, dibunuh. Tentara juga memenjarakan banyak orang tanpa pengadilan. <a href="https://www.routledge.com/Women-Sexual-Violence-and-the-Indonesian-Killings-of-1965-66/Pohlman/p/book/9780415838870">Kesaksian dari perempuan penyintas mengungkapkan</a> pemerkosaan terhadap perempuan anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi perempuan kiri, dan perempuan yang dianggap terkait dengan kelompok kiri. </p>
<p>Museum Pengkhianatan PKI (Komunis), melalui diorama dan keterangannya, melukiskan PKI sebagai dalang penculikan para jenderal, dan karenanya merupakan ancaman bagi Indonesia.</p>
<p>Narasi ini bermasalah.</p>
<p>Sejarawan masih belum memahami dengan jelas hingga sejauh mana PKI terlibat dalam Gerakan 30 September. Narasi di museum tersebut memperkuat stereotipe era Soeharto tentang PKI sebagai manusia “jahat dan tidak manusiawi”. Karena itu, menurut sejarawan terkemuka Katharine McGregor, sama halnya dengan rezim Soeharto, museum ini mencari pembenaran atas pembunuhan massal yang terjadi setelahnya sebagai hal yang “legal dan diperlukan”. </p>
<p>Sebagai penanggung jawab museum tersebut, TNI secara tidak langsung menggunakan narasi dalam museum tersebut untuk membenarkan keterlibatan mereka dalam pembunuhan massal. Meski belum ada pelaku pembunuhan yang telah dituntut, pembunuhan massal tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia berat yang melanggar hukum internasional, terutama Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 Perserikatan Bangsa-Bangsa.</p>
<p>Museum ini juga menggambarkan narasi 1965 secara selektif dan menyensor beberapa bagian sejarah 1965. Meski museum berusaha membenarkan pembunuhan massal pada 1965-66, namun museum tersebut tidak menampilkan pembunuhan massal tersebut melalui diorama atau teks.</p>
<p>Pendekatan ini mencerminkan fokus rezim Soeharto yang tajam terhadap pembunuhan tujuh perwira militer melalui peringatan tahunan dan pembangunan monumen peringatan untuk mereka, ketimbang pembununan 500.000 orang Indonesia oleh tentara Indonesia dan organisasi massa. </p>
<h2>Kemungkinan dampak peraturan TNI</h2>
<p>Juru bicara TNI berpendapat bahwa peraturan tersebut bertujuan untuk “memastikan penelitian tidak dilakukan secara sembarangan” dan tidak memihak.</p>
<p>Namun, peraturan ini memungkinkan TNI menolak untuk memberikan izin bagi peneliti asing yang telah, melalui pekerjaan akademis mereka, mempertanyakan 1965 versi era Soeharto, mengutuk pembunuhan massal, atau menunjukkan simpati pada korban pembunuhan massal, pemenjaraan, dan pemerkosaan yang berlangsung dari 1965 sampai 1966. </p>
<p>Mungkin juga TNI akan menolak memberikan izin bagi akademisi yang telah mengkritisi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh TNI di Papua yang bergejolak, dan selama pendudukan Indonesia di Timor Timur 1975-99.</p>
<p>Bila tindakan semacam itu dilakukan, ini merupakan upaya untuk menyensor sejarah dan mengurangi penelitian asing terhadap TNI.</p>
<h2>Apa selanjutnya?</h2>
<p>Pada 2017, <a href="https://www.hrw.org/news/2017/09/28/indonesian-massacre-anniversary-fuels-propaganda-offensive">TNI memerintahkan</a> personelnya untuk membatasi upaya untuk memutar secara publik film <em>Senyap</em>, sebuah film dokumenter yang menampilkan anggota para-militer yang bangga akan keterlibatan mereka dalam pembunuhan massal dan menyelenggarakan nonton bareng <em>Pengkhianatan G30S/PKI</em>, film pemerintahan Soeharto yang menjustifikasi pembunuhan.</p>
<p>Akibatnya, peraturan ini perlu dilihat sebagai bagian dari kampanye terpadu TNI untuk menunjang narasi hegemoni soal 1965, dan membungkam kontra-narasi.</p>
<p>TNI juga bisa memperluas peraturan ini meliputi museum TNI lainnya yang menggambarkan peristiwa 1965, terutama <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Monumen_Pahlawan_Revolusi">Monumen Pancasila Sakti</a>.</p>
<p>Namun demikian, tindakan seperti itu tidaklah bijaksana.</p>
<p>Ketimbang memperluas peraturan, TNI seharusnya benar-benar menghapusnya. Peraturan tersebut merongrong demokrasi Indonesia, makin menodai reputasi TNI di mata internasional, serta mengancam kebebasan akademis.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/92439/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Olivia Tasevski tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Tentara Nasional Indonesia baru-baru ini mengumumkan bahwa peneliti asing harus meminta izin untuk mengunjungi museum-museum demi kepentingan riset.Olivia Tasevski, Tutor in International Relations and Political Science, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/846262017-10-06T09:38:57Z2017-10-06T09:38:57ZFilm G30S untuk milenial:
celah rekonsiliasi atau polarisasi?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/188320/original/file-20171002-12115-1wn8ek7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Polarisasi atau rekonsiliasi?</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Film produksi Orde Baru berjudul “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI” <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170919143028-20-242711/gatot-film-g30s-pki-diputar-agar-sejarah-kelam-tak-terulang">baru-baru ini mengemuka</a> lagi dalam perdebatan publik setelah Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo <a href="https://nasional.tempo.co/read/910181/nobar-film-g30spki-panglima-tni-kalau-perintah-saya-kenapa">memerintahkan “nonton bersama”</a> film tersebut. Presiden Joko Widodo pun turut meramaikan perdebatan melalui usulnya untuk <a href="http://nasional.kompas.com/read/2017/09/18/19174751/jokowi-ingin-ada-film-g30spki-versi-kekinian">memperbarui film itu agar cocok untuk generasi milenial</a>. </p>
<p>Perlu tidaknya film seputar tragedi 1965 diputar ulang atau diperbarui mengundang pro kontra. Beberapa pihak setuju film tersebut perlu diputar di stasiun televisi karena <a href="http://nasional.kompas.com/read/2017/09/15/19405021/mendagri-persilakan-tv-kembali-tayangkan-film-pengkhianatan-g30spki">generasi muda perlu belajar sejarah</a>, atau bahkan karena dianggap <a href="http://m.metrotvnews.com/news/peristiwa/ObzW199k-tommy-soeharto-sebut-film-g30s-pki-sejarah-yang-sebenarnya">mewakili sejarah yang sebenarnya</a>. </p>
<p>Sementara pihak yang lain berpendapat film tersebut tak layak tonton karena terlalu banyak <a href="http://nasional.kompas.com/read/2017/09/17/17283611/kpai-anggap-film-pengkhianatan-g30spki-tidak-layak-ditonton-anak-anak">memuat adegan kekerasan,</a> maupun berpotensi memunculkan kembali <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170920134402-20-242943/kontras-kritik-instruksi-jenderal-gatot-soal-film-g30s-pki">stigma pada para korban pembantaian pasca malam 30 September 1965</a>. </p>
<p>Pertanyaan saya, sejauh apa upaya untuk mendorong pemutaran film G30S mampu memberi celah bagi upaya menyembuhkan trauma kolektif itu? </p>
<p>Sebagai medium, film dapat mendorong <a href="https://books.google.co.id/books/about/Film_ideologi_dan_militer.html?id=1B7JAAAACAAJ&redir_esc=y">kekerasan</a> maupun <a href="http://www.theadvocatesforhumanrights.org/peace_and_justice_films">perdamaian</a>. Apa yang harus kita pertimbangkan agar penggunaan medium film untuk memperkenalkan generasi milenial pada sejarah Indonesia—khususnya Tragedi 1965—mampu memberi celah bagi rekonsiliasi, dan bukan malah melanggengkan narasi kekerasan dan menciptakan polarisasi?</p>
<h2>Bagaimana memaknai rekonsiliasi?</h2>
<p>Rekonsiliasi pada umumnya dibayangkan sebagai suatu kondisi yang akan segera tercapai setelah masing-masing pihak bertemu (biasanya pemimpin dari kelompok-kelompok yang bertikai), berunding untuk menyelesaikan permasalahan di antara mereka, berjabat tangan, dan menghasilkan suatu kesepakatan bersama. </p>
<p>Atau, rekonsiliasi juga dibayangkan terjadi setelah sebuah mekanisme penyelesaian konflik diterapkan, seperti perjanjian damai, <a href="http://referensi.elsam.or.id/tag/keadilan-transisional/">keadilan transisional</a>, komisi kebenaran, dan pendirian memorial. Pada level sikap, rekonsiliasi juga seringkali dipahami sebagai tindakan memaafkan (<em>forgive</em>) sembari melupakan (<em>forget</em>) pengalaman bertikai dengan harapan masing-masing pihak dapat kembali melanjutkan hidup, “sama-sama dari nol”.</p>
<p>Seorang ahli rekonsiliasi, <a href="https://bookstore.usip.org/books/BookDetail.aspx?productID=51267">Lederach</a>, berargumen setidaknya cara pandang yang menitikberatkan pada mekanisme penyelesaian konflik menyimpan dua kelemahan. </p>
<p>Pertama, keberadaan mekanisme-mekanisme tersebut memang penting bagi rekonsiliasi, tetapi tercapai tidaknya rekonsiliasi hanya bisa diukur dari bagaimana pihak-pihak yang bertikai berhubungan satu sama lain setelahnya. Rekonsiliasi itu soal relasi—bagaimana mengembalikan hubungan yang rusak antara pihak-pihak yang bertikai dan membangun interaksi yang lebih damai di antara keduanya. </p>
<p>Artinya, rekonsiliasi bukanlah sekadar hasil atau tujuan, tetapi juga proses. Mekanisme-mekanisme penyelesaian konflik di atas akan kehilangan artinya jika dalam prosesnya justru menumbuhkan kecurigaan, mempertebal prasangka, memperlebar jurang perbedaan, sehingga semakin memberi peluang bagi masing-masing pihak untuk memandang pihak lainnya sebagai musuh. </p>
<p>Kedua, rekonsiliasi bukanlah pelupaan (<em>forgetting</em>). Membangun perdamaian setelah pertikaian mengharuskan semua pihak mengakui pengalaman-pengalaman kekerasannya serta di mana masing-masing pihak berada saat kekerasan terjadi (<em>truth</em>), lalu merefleksikannya untuk mendorong pemaafan (<em>mercy</em>) dan pemenuhan rasa keadilan (<em>justice</em>). Rekonsiliasi justru ditandai dengan kemauan untuk mengingat (<em>remembrance</em>) dan mempelajari akar-akar permasalahannya sehingga kekerasan serupa tidak terulang lagi di masa depan.</p>
<p>Dalam konteks Gerakan 30 September dan Tragedi 1965, proses rekonsiliasi di atas mungkin akan terasa sedikit rumit dan berliku karena kekerasan yang bertumpuk. </p>
<p>Peristiwa malam 30 September merupakan sebuah peristiwa politik yang tidak dapat dilepas dari <a href="https://www.goodreads.com/book/show/18478035-1965">konteks politik global dan nasional</a> saat Perang Dingin. Namun episode kekerasan yang terjadi setelahnya menunjukkan bagaimana penguasa secara sadar berupaya membersihkan “lawan-lawan politiknya” dengan memanfaatkan <a href="https://nuspress.nus.edu.sg/products/the-contours-of-mass-violence-in-indonesia-1965-1968">benih-benih permusuhan</a> di level akar rumput di beberapa daerah di Indonesia. </p>
<p>Sehingga perlu diakui bahwa Tragedi 1965, bagi sebagian orang, pertama-tama dialami serta diingat (dan karenanya seringkali tampak) sebagai konflik horizontal di level komunal–antara kelompok komunis versus kelompok agamais, kelompok komunis versus kelompok nasionalis, antartetangga, sesama mahasiswa dan guru, pegiat PKK, aktivis partai, dan sebagainya–alih-alih sebagai kekerasan oleh negara dan militer.</p>
<p>Konstruksi musuh di level akar rumput inilah yang kemudian dirawat dan diperkokoh dari generasi ke generasi oleh propaganda-propaganda Orde Baru sehingga sekarang, setiap kali upaya penyelesaian terhadap kekerasan masa lalu digulirkan, negara selalu bisa berkelit dengan kembali menggunakan sentimen permusuhan yang sama yang membuat rakyat bertikai satu sama lain.</p>
<h2>Film untuk rekonsiliasi</h2>
<p>Mungkinkah film menjadi medium rekonsiliasi dalam kondisi demikian? Mampukah film tentang G30S atau Tragedi 1965 menciptakan ruang di mana pihak-pihak yang bertikai dapat menceritakan pengalaman kekerasannya masing-masing? </p>
<p>Dapatkah sebuah film yang dibuat agar cocok untuk generasi milenial mendorong pengakuan yang lebih tulus, sehingga memunculkan tindakan-tindakan pemaafan dan pemenuhan rasa keadilan setidaknya di level komunal? </p>
<p>Tentu bisa, tetapi dengan beberapa prasyarat.</p>
<p>Pertama, film tersebut harus mampu memberi ruang bagi <a href="https://theconversation.com/demi-rekonsiliasi-memahami-sejarah-tragedi-1965-harus-menyeluruh-84569">beragam narasi mengenai kekerasan</a> karena narasi pelaku dan narasi korban tidak dapat diperlakukan sebagai sesuatu yang benar-benar tunggal. </p>
<p>Narasi pelaku, misalnya, tidak hanya terdiri dari narasi kekerasan negara. Tetapi juga narasi pelaku-pelaku di level akar rumput yang mungkin berbasis trauma yang nyata. Sementara narasi penyintas juga terdiri dari berbagai testimoni milik korban generasi pertama (mereka yang mengalami kekerasan), hingga keturunannya baik di generasi kedua maupun ketiga yang mungkin berbeda sehingga persepsi dan ekspektasi mereka terhadap rekonsiliasi pun beragam. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/kisah-tahanan-politik-rezim-orde-baru-berkampanye-anti-hukuman-mati-lintas-negara-85141">Kisah tahanan politik rezim Orde Baru berkampanye anti hukuman mati lintas negara</a></em></p>
<hr>
<p>Porsi lebih besar tentu harus diberikan kepada penyintas karena dalam setiap upaya menyuarakan ingatan tentang kekerasan, cerita penyintas merupakan narasi yang paling sering terpinggirkan baik karena trauma maupun pembungkaman oleh struktur yang lebih dominan. Ruang untuk menegosiasikan ingatan-ingatan tentang kekerasan inilah yang perlu diakomodasi oleh sebuah proses pembuatan atau pemutaran film.</p>
<p>Kedua, film tersebut harus berkomitmen dan berbasis pada penelitian. Banyak riset <a href="http://catalogue.nla.gov.au/Record/4690700">empiris</a> telah dilakukan tentang Gerakan 30 September dan Tragedi 1965—misalnya, tentang konteks <a href="https://www.goodreads.com/book/show/3292293-dalih-pembunuhan-massal">apa yang melatarbelakangi peristiwa penculikan di malam 30 September</a>, bagaimana kekerasan terjadi di berbagai <a href="https://search.library.wisc.edu/catalog/9910203518402121">daerah di Indonesia</a> dan di berbagai <a href="http://marjinkiri.com/product/kekerasan-budaya-pasca-1965-bagaimana-orde-baru-melegitimasi-anti-komunisme-melalui-sastra-dan-film/">bidang</a>, bagaimana pengalaman <a href="https://www.goodreads.com/book/show/5979389-suara-perempuan-korban-tragedi-65">orang-orang</a> yang terkena <a href="https://www.goodreads.com/book/show/1958295.Tahun_yang_Tak_Pernah_Berakhir">dampak</a> kekerasan, atau bagaimana <a href="https://www.amazon.com/Reconciling-Indonesia-Grassroots-agency-Transformations/dp/0415690161">upaya-upaya</a> <a href="http://elsam.or.id/2004/07/mematahkan-pewarisan-ingatan-wacana-anti-komunis-dan-politik-rekonsiliasi-pasca-soeharto/">rekonsiliasi</a> diusahakan dan menemui banyak tantangan. </p>
<p>Riset-riset ini merupakan sumber informasi baru yang dapat memperkaya proses diskusi setelah pemutaran atau pembuatan film tentang kekerasan di masa lalu.</p>
<p>Ketiga, film tersebut harus mendorong pemanusiaan kembali (rehumanisasi). Kemanusiaan adalah hal yang pertama-tama hilang dalam setiap peristiwa kekerasan. Sementara itu, film-film tentang kekerasan terkadang justru mempertegas aspek kekerasannya sehingga terkadang justru memantik trauma kembali atau memperkokoh konstruksi musuh. </p>
<p>Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan personalisasi: membawa aspek personal, karakteristik kemanusiaan dari masing-masing subjek yang hilang karena proses <a href="https://www.amazon.com/After-Mass-Crime-Rebuilding-Communities/dp/928081138X">dehumanisasi</a> yang selalu menyertai semua tindak kekerasan. Personalisasi tidak boleh melupakan konteks sosial, politik, ekonomi yang menjadikan para subjek tersebut diri mereka yang sekarang.</p>
<p>Keempat, kesuksesan rekonsiliasi juga bergantung pada <a href="https://www.amazon.com/Teaching-Violent-Past-Education-Reconciliation/dp/0742551431">kemampuan masyarakat membuka diri</a> terhadap narasi-narasi yang berbeda, mengelola konflik secara nirkekerasan, dan berpikir kritis.</p>
<p>Malam 30 September tahun ini sayangnya sudah terlewati dengan pemutaran-pemutaran “Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI” di alun-alun, <a href="https://www.rappler.com/indonesia/berita/183846-pelajar-bandung-gelar-nobar-film-pengkhianatan-g30s-pki">sekolah</a>, pesantren, bahkan masjid di berbagai tempat di Indonesia. </p>
<p>Jika film akan digunakan sebagai medium pembelajaran sejarah dan rekonsiliasi, maka seharusnya ia menjadi bagian dari proses pendidikan generasi milenial yang dilakukan tanpa paksaan. </p>
<p>Pemutaran-pemutaran alternatif perlu dilakukan agar penonton milenial tidak kembali diperlakukan sebagai objek penerima informasi yang pasif, melainkan dilatih sebagai subjek aktif yang dapat mempertanyakan, mengkritik, mendiskusikan, dan membandingkan apa yang mereka tahu dengan film atau sumber-sumber pengetahuan yang lain.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/84626/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ayu Diasti Rahmawati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Presiden Joko Widodo memerintahkan membuat versi baru dari film 30 September 1965 untuk milenial, di tengah maraknya pemutaran film versi Orde Baru. Apakah film versi baru bisa mendorong rekonsiliasi?Ayu Diasti Rahmawati, Lecturer of International Relations and Researcher at Institute of International Studies, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/845692017-09-28T10:04:30Z2017-09-28T10:04:30ZDemi rekonsiliasi, memahami sejarah tragedi 1965 harus menyeluruh<p>Hampir setiap tahun pada bulan September isu dan pemberitaan mengenai tragedi 1965 mewarnai diskusi ruang publik Indonesia. Semenjak berakhirnya rezim Orde Baru, marak perdebatan mengenai pelbagai tafsiran dan bukti baru mengenai tragedi tersebut. Sebelumnya, selama lebih dari tiga dekade tafsiran yang berbeda dari versi Orde Baru mengenai tragedi 1965 dilarang. </p>
<p>Walau berbagai tafsiran dan bukti-bukti baru tersedia, sampai saat ini belum ada kesepakatan bersama mengenai bagaimana menampilkan narasi sejarah tragedi 1965 di Indonesia. Pertentangan akibat belum adanya kesepakatan representasi narasi tersebut jelas terlihat dari penyerangan yang terjadi pada kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) baru-baru ini.</p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/pengepungan-lbh-jakarta-akademisi-merespons-84206">Pengepungan LBH Jakarta: akademisi merespons</a></em></p>
<hr>
<p>Pemahaman masyarakat yang tidak lengkap mengenai tragedi 1965 menjadi salah satu penyebab pertentangan. Berbagai pihak juga cenderung menyederhanakan masalah dengan mengabaikan konteks lokal dan global pada saat tragedi itu terjadi. </p>
<p>Baik tentara, korban, penyintas, para aktivis HAM, dan terlebih masyarakat luas, kerap menyederhanakan narasi mengenai tragedi tersebut. Masing-masing memilih narasi atau analisis yang sejalan dengan kepentingan mereka. </p>
<p>Untuk mencari jalan keluar dari beban masa lalu yang kelam ini perlu pemahaman yang komprehensif dan lengkap mengenai tragedi 1965. </p>
<p>Masyarakat perlu paham mengenai kompleksitas ketegangan politik antara berbagai kekuatan sosial dan politik sebelum pecahnya peristiwa 1 Oktober 1965 dan masyarakat juga perlu mengetahui pembantaian kelompok kiri yang terjadi sesudahnya. </p>
<h2>Ingatan yang dipilih</h2>
<p>Masyarakat Indonesia saat ini dapat dikelompokkan berdasarkan cara mereka memandang tragedi 1965: </p>
<ul>
<li><p><em>Pertama</em>, orang-orang yang masih memercayai narasi resmi Orde Baru yaitu PKI adalah penyebab utama sejarah kelam ini </p></li>
<li><p><em>kedua</em>, mereka yang memercayai narasi para korban dan penyintas</p></li>
<li><p><em>ketiga</em>, orang-orang yang bingung karena adanya berbagai versi yang sering kali bertolak belakang </p></li>
<li><p>dan <em>keempat</em>, orang-orang atau generasi yang sama sekali tidak peduli dengan tragedi 1965 ini. </p></li>
</ul>
<p>Untuk kelompok yang keempat ini kebanyakan tidak bisa melihat relevansi dan manfaat untuk memahami tragedi ini untuk kepentingan mereka.</p>
<p>Pertentangan yang sering terjadi adalah antara kelompok pertama dan kedua.</p>
<p>Kelompok pertama membingkai sejarah 1965 dengan terus melestarikan versi rezim Orde Baru. Fokus narasi ada pada peristiwa penculikan para jenderal Angkatan Darat pada tanggal 1 Oktober 1965. Narasi mengenai pembantaian massal setelah 1 Oktober 1965 disenyapkan.</p>
<p>Kelompok kedua, cenderung fokus pada narasi para penyintas, korban-korban pembunuhan, penangkapan, diskriminasi, dan berbagai aspek-aspek pelanggaran HAM yang terjadi setelah peristiwa 1 Oktober 1965. Di kelompok ini narasi mengenai penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat serta periode sebelum 1 Oktober 1965 cenderung disenyapkan dan tidak atau jarang disinggung.</p>
<p>Kedua kelompok saat ini bertentang secara sengit merebut klaim dalam upaya “pengungkapan kebenaran”. Pada kenyataannya, kedua kelompok ini sama-sama melakukan pemilihan dan penyederhanaan narasi tragedi 1965.</p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/hiruk-pikuk-bahaya-komunis-sampai-kapan-84658">Hiruk pikuk ‘bahaya’ komunis: sampai kapan?</a></em></p>
<hr>
<h2>Mengingat sejarah tragedi 1965 secara holistik</h2>
<p>Hanya dengan memahami dinamika politik dan sosial Indonesia di tahun-tahun menjelang peristiwa 1 Oktober 1965 kita bisa melihat tragedi ini dengan lebih baik. </p>
<p>Pada tahun-tahun menjelang pecahnya peristiwa 1 Oktober 1965, kondisi sosial dan politik Indonesia berada pada situasi penuh ketegangan antara kelompok kiri dan kanan. Pada saat itu <a href="http://www.hariansejarah.id/2017/04/kekuatan-soekarno-ajaran-nasakom-dan.html">gerakan kiri cenderung mendominasi wacana sosial politik Indonesia</a>. </p>
<p>Ketegangan hebat antara blok barat (negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat, Inggris, negara-negara Eropa barat dan Jepang) dan blok timur (negara-negara komunis seperti Uni Soviet, Korea Utara, Cina, dan Vietnam Utara) menambah tekanan dari dimensi internasional. </p>
<p>Ketegangan bipolar di tingkat dunia ini pun mempengaruhi dinamika politik domestik Indonesia. Saat itu kelompok kiri yang dimotori Partai Komunis Indonesia cenderung terus menekan kelompok kanan, yang adalah kelompok Islam, Angkatan Darat dan kelompok-kelompok anti-komunis lainnya. </p>
<p>Presiden Sukarno memainkan perannya sebagai penengah yang berdiri di tengah perseteruan ini. Ada <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2015/05/17/view-point-sept-30-1965-tragedylet-bygones-be-bygones.html">kekhawatiran dan ketakutan yang mendalam di pihak anti-komunis terhadap dominasi gerakan kiri dalam wacana politik Sukarno saat itu</a>.</p>
<p>Setelah pecahnya peristiwa 1 Oktober 1965, yaitu penculikan enam jenderal oleh sekelompok tentara berhaluan kiri yang menamai diri mereka Gerakan 30 September, diikuti penumpasan gerakan tersebut oleh Mayor Jenderal Soeharto, secara berangsur-angsur terjadi pergeseran politik Indonesia. Yang tadinya sangat pro-kiri dan pro-komunis berubah ke arah kanan yang pro-barat dan didominasi oleh militer yang anti-komunis. </p>
<p>Pergeseran arah politik Indonesia ke arah kanan dimungkinkan karena militer anti-komunis menyingkirkan tokoh-tokoh kiri dari kekuasaan. Pembantaian, penahanan, dan diskriminasi yang orang-orang yang dipercaya berhaluan kiri sesudah 1 Oktober 1965 menyumbang pada pergeseran tersebut. </p>
<h2>Jalan ke depan</h2>
<p>Untuk mencapai sebuah penyelesaian dan rekonsiliasi mengenai tragedi 1965 perlu iktikad baik dari semua pihak untuk berani jujur dan mengakui kesalahan yang pernah dibuat. </p>
<p>Perlu ada kesamaan cara pandang dalam upaya untuk melihat dan memahami tragedi 1965 secara menyeluruh. Melihat tragedi 1965 harus dari periode sebelum 1 Oktober 1965, peristiwa pada tanggal 1 Oktober itu sendiri, dan periode setelah 1 Oktober 1965.</p>
<p>Kesepakatan untuk memahami tragedi 1965 secara menyeluruh tersebut dimaksudkan untuk mengurangi–dan idealnya, menghilangkan–kecenderungan penyederhanaan dan pemilihan narasi peristiwa 1965. </p>
<p>Selain itu, untuk menyelesaikan tragedi sebesar peristiwa 1965 ini jalur hukum bukanlah jalan yang terbaik untuk mencapai rekonsiliasi antarkelompok terkait. </p>
<p>Dinamika tragedi 1965 ini sangat kompleks dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat di seluruh Indonesia. Walau dengan segala maksud baiknya, penggunaan jalur hukum yang hanya fokus pada aspek HAM (hak asasi manusia) malah akan membuka peluang untuk membuka luka lama di dalam masyarakat dan memperluas ketegangan. </p>
<p>Selama ini dialog aktif antar komunitas dan model rekonsiliasi kultural yang dimotori oleh generasi muda organisasi Islam terbesar Indonesia <a href="http://www.insideindonesia.org/reconciling-nu-and-the-pki">Nahdlatul Ulama</a>, yang pada 1965-1966 terlibat dalam pembantaian kelompok kiri, berhasil meredam ketegangan di dalam masyarakat. Contoh-contoh tersebut adalah upaya masyarakat sipil dalam menyelesaikan dan berdamai dengan masa lalu kita yang kelam ini.</p>
<p>Pendekatan kesejarahan yang menyeluruh, jujur, dan beriktikad baik, dapat membuka peluang untuk meningkatkan pemahaman atas tragedi yang kompleks ini dengan lebih saksama. </p>
<p>Diharapkan dari pemahaman seperti itu akan lahir langkah-langkah rekonsiliasi yang lebih konkret dengan semangat dan harapan untuk memastikan agar tragedi seperti yang terjadi di tahun 1965-1966 tidak akan pernah terulang kembali.</p>
<hr>
<p><em>Tulisan ini adaptasi dari materi yang dipresentasikan penulis pada Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan yang diselenggarakan pemerintah Indonesia pada tanggal 18-19 April 2016 di Jakarta.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/84569/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Yosef Djakababa tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Baik tentara, korban, penyintas, para aktivis HAM, dan masyarakat luas, kerap menyederhanakan narasi mengenai tragedi 1965.Yosef Djakababa, Lecturer at the International Relations Department, Universitas Pelita Harapan Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/846582017-09-27T09:45:35Z2017-09-27T09:45:35ZHiruk pikuk ‘bahaya’ komunis: sampai kapan?<p>Setiap masyarakat menyimpan keganjilan. Ini contoh keganjilan berganda dari Indonesia. </p>
<p>Di ruang publik “komunisme” menjadi topik yang super meriah. Nyaris tak ada topik lain yang lebih dibahas dalam tiga generasi paling mutakhir. Mungkin yang mengungguli popularitasnya hanya topik keagamaan, khususnya Islam.</p>
<p>Keganjilan pertama, sejak berakhirnya Perang Dingin topik itu memudar dalam percakapan dunia. Tapi topik ini tidak pernah ada surutnya di negeri yang paling <a href="https://theconversation.com/how-indonesias-1965-1966-anti-communist-purge-remade-a-nation-and-the-world-48243">berhasil melakukan pembantaian terhadap kaum komunis</a>.</p>
<p>Yang lebih ganjil, sumber bahaya yakni “komunisme” dilarang dipelajari. Buku sumber komunisme, juga Marxisme, terlarang. Bahkan sobekan sampul buku semacam itu, jika bergambar palu-arit, bisa dianggap membahayakan negara. Pemiliknya bisa diserang gerombolan preman bayaran, atau <a href="https://nasional.tempo.co/read/830572/kenakan-kaus-palu-arit-pemuda-di-yogya-ditangkap-polisi">ditahan polisi</a>.</p>
<p>Dalam sejarah peradaban manusia, ilmu pengetahuan dikejar demi pemahaman yang dianggap sangat penting atau sangat berbahaya. Ilmu kesehatan ditekuni karena nilai pentingnya. Berbagai kuman, penyakit atau bencana alam diteliti karena bahayanya.</p>
<p>Mencintai tanpa memahami sesuatu disebut cinta buta. Memusuhi tanpa memahami sesuatu namanya sikap membabi buta. </p>
<p>Menghasut tiga generasi bangsa ke empat terbesar di dunia ini untuk memusuhi sesuatu, sambil melarang pemahaman tentangnya, ibarat menjerumuskan masyarakat Indonesia ke medan perang, membekalinya senjata, dengan mata tertutup.</p>
<p>Secara hukum, <a href="http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt50768a41ad5ab/nprt/657/tap-mprs-no-xxv_mprs_1966-tahun-1966-pembubaran-partai-komunis-indonesia,-pernyataan-sebagai-organisasi-terlarang-diseluruh-wilayah-negara-republik-indonesia-bagi-partai-komunis-indonesia">larangan terhadap penyebaran ajaran komunisme dan Marxisme</a> tidak berlaku untuk kajian ilmiah, misalnya di universitas. Tetapi dalam sebuah masyarakat yang terlanjur angker dan dianggap dihuni aneka hantu, rasa takut merajalela dan bukan etika atau akal sehat. </p>
<h2>Warisan Orde Baru</h2>
<p>Untungnya pembodohan massal yang pernah dilancarkan pemerintah tidak pernah berhasil total. Selalu ada batasnya. Generasi muda Indonesia, seperti di mana pun, punya wawasan segar, bebas dari beban sejarah Perang Dingin yang diderita generasi terdahulu.</p>
<p>Apa yang terlarang membangkitkan keinginantahuan mereka. Seperti topik seks, komunisme, Marxisme, dan pembunuhan 1965 di Indonesia menjadi topik yang menggiurkan. Semakin dilarang, semakin dicari. Tapi kaum muda tidak sepenuhnya merdeka dari generasi terdahulu dan warisan politik dan elite Orde Baru.</p>
<p>Maka bertimbun aneka cerita tentang <a href="https://theconversation.com/understanding-violence-against-the-left-in-indonesia-57186">diskusi yang dibubarkan karena membahas komunisme, Marxisme, atau 1965</a>. Ada polisi yang menangkap dan menyita buku, kaos t-shirt bergambar palu-arit. Kemungkinan besar, si polisi dan pemilik benda-benda yang disita sama-sama tidak pernah belajar tentang kisah di balik gambar palu-arit.</p>
<p>Di tahun 1990-an saya pernah mengikuti dari dekat serangkaian sidang pengadilan subversi terhadap anak-anak muda yang dituduh mendiskusikan komunisme dan Marxisme. Hingga seluruh persidangan berakhir dan vonis dijatuhkan, jaksa penuntut menolak permintaan terdakwa agar jaksa menjelaskan apa itu komunisme, dan apa itu Marxisme yang menjadi kata kunci dalam dakwaan.</p>
<p>Sebuah novel milik saya pernah disita petugas bea cukai di Semarang ketika saya kirim lewat paket dari negara lain. Alasannya, novel itu berjudul <em>Atheis</em>, karya Achdiat Karta Mihardja, yang isinya menjelek-jelekkan orang Indonesia yang terpikat pada Marxisme.</p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/demi-rekonsiliasi-memahami-sejarah-tragedi-1965-harus-menyeluruh-84569">Demi rekonsiliasi, memahami sejarah 1965 harus menyeluruh</a></em></p>
<hr>
<p>Rupanya petugas di pelabuhan itu contoh korban cuci otak dan propaganda Orde Baru yang menganggap semua pengikut komunisme atau Marxisme itu ateis. Dan yang ateis disamakan dengan komunis atau Marxis. Agaknya si petugas juga tidak tahu novel ini diterbitkan pemerintah yang mengangkat si petugas sebagai pegawai negeri. Novel itu sudah dicetak ulang belasan kali sejak diterbitkan tahun 1949, dan pernah dijadikan bacaan wajib di sebagian sekolah.</p>
<h2>Menjadi alat politik</h2>
<p>Jelas, kampanye anti-komunisme di Indonesia tidak akan pernah semarak sekarang jika tidak disponsori elite politik negara, dengan modal daya dan dana berlimpah. </p>
<p>Dalam propaganda Orde Baru, Islam dan Komunisme dipertentangkan secara hitam putih. Tetapi di kalangan elite politik negara, baik Islam maupun Komunisme sama-sama diperlakukan sebagai alat berpolitik untuk membakar emosi massa atau stigma yang dilemparkan kepada lawan politik.</p>
<p>Jadi, kapan Indonesia bisa reda dari hiruk pikuk hantu komunisme? Jawabnya: bila sudah ada alat lain yang bisa dimanfaatkan para politikus itu untuk ambisi politiknya. Bagi mereka tidak terlalu penting apakah itu ajaran komunisme, atau Islam. Sehingga tak perlu dipelajari bersungguh-sungguh. Yang penting sejauh mana atribut itu bisa dimanipulasi untuk kepentingan politik mereka.</p>
<p>Selama alat pengganti itu belum ada, stigma dan hantu komunis akan terus diproduksi, disebarkan untuk mengaduk-aduk emosi dan akal masyarakat yang lembek logika.</p>
<p>Presiden Joko Widodo atau Jokowi berkali-kali dijadikan <a href="https://theconversation.com/spectre-of-anti-communist-smears-resurrected-against-jokowi-28730">sasaran tembak stigma komunisme oleh lawan-lawannya</a>. Beberapa pihak menyebut serangan itu sebagai hoaks. Saya sendiri menyebutnya sebagai hoaks-ikutan. Ini sejenis hoaks yang dibangun di atas hoaks yang lain, yakni hoaks-induk.</p>
<p>Hoaks-induk pada tingkat dasar berupa bualan tentang komunis sebagai iblis. Sedang mereka yang membantai komunis adalah malaikat. Ketika hoaks ini sudah dirawat mapan seperti aspal, di atasnya diluncurkan aneka hoaks generasi berikut, yakni hoaks-ikutan. Misalnya hoaks yang mengaitkan Jokowi dengan komunis. </p>
<p>Dalam kampanye hitam ini tidak dikatakan Jokowi itu iblis. Tidak perlu, karena hal itu sudah mapan tersirat dalam hoaks-induk. Jika Jokowi dan pendukungnya hanya menampik kaitan dirinya dengan komunisme, mereka hanya mematahkan hoaks-ikutan. </p>
<p>Selama hoaks-induknya dibiarkan awet, aneka hoaks-ikutan lain akan muncul lagi, dan lagi, dan lagi. Apalagi Jokowi sendiri menyatakan tuduhan terhadap dirinya sebagai penghinaan. Atau dia menyatakan tekad menggebuk bila komunisme bangkit lagi.</p>
<p>Di tengah kekalapan massa anti-komunisme, posisi Jokowi mirip Aung San Suu Kyi ketika Myanmar dilanda kalap-massa anti-Rohingya. Bila Jokowi hanya cari selamat dan tidak menggugat hoaks-induknya, secara moral dan kesejarahan ia sudah kalah sebelum pemilu 2019 dimulai.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/84658/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ariel Heryanto tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Jawabnya: bila sudah ada alat lain yang bisa dimanfaatkan para politikus untuk ambisi politiknya.Ariel Heryanto, Herb Feith Professor for the Study of Indonesia, Deputy Director Monash Asia Institute, Monash UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.