Menu Close
Kadang kita tidak tahu harus tertawa atau menangis. 'Clowns' via www.shutterstock.com

Analisis psikologi kenapa badut itu menakutkan bagi kita

Hollywood telah lama mengeksploitasi ambivalensi kita terhadap badut.

Tokoh badut jahat ciptaan penulis Stephen King, Pennywise, tahun ini muncul dalam film kedua “It Chapter Two.” Sementara itu, musuh bebuyutan Batman, Joker, juga sedang tampil dalam film yang diperankan oleh Joaquin Phoenix.

Bagaimana sebuah tokoh yang sering tampil dalam acara ulang tahun anak-anak bisa menjadi simbol sesuatu yang demikian jahat?

Sebuah penelitian di Inggris bahkan menunjukkan bahwa sedikit sekali anak-anak yang suka badut. Penelitian itu juga menyimpulkan bahwa menaruh gambar badut di bangsal anak di rumah sakit justru tidak membawa hasil baik. Tidak heran, banyak orang yang benci Ronald McDonald.

Namun, sebagai psikolog, saya tidak ingin sekadar bilang badut itu menakutkan, tapi saya juga tertarik pada alasan di balik itu. Pada 2006, saya menerbitkan penelitian berjudul “Sifat-sifat Kengerian” dengan salah satu mahasiswa saya, Sara Koehnke, di jurnal New Ideas in Psychology.

Penelitian ini tidak secara spesifik meneliti sifat menakutkan dari badut, tapi temuan kami dapat membantu menjelaskan penyebabnya.

Barisan badut

Tokoh serupa badut sudah hadir selama ribuan tahun. Dalam sejarah, tokoh pelawak dan badut menjadi wahana menyampaikan satir dan memperolok orang-orang yang berkuasa.

Tokoh-tokoh ini menjadi saluran yang aman untuk melampiaskan emosi rakyat dan memiliki kebebasan berekspresi yang unik—selama unsur hiburannya lebih besar dari pada kritikan pada penguasa, posisi mereka pun aman.

Pelawak dan tokoh lain untuk mempermalukan orang sudah ada sejak era Mesir kuno. Dalam Bahasa Inggris, kata “clown” pertama muncul sekitar 1500-an dan digunakan oleh Shakespeare untuk menggambarkan beberapa tokoh bodoh dalam sandiwaranya. Tokoh badut sirkus yang kini umum—wajah dicat, rambut palsu, dan baju kedodoran—muncul sekitar abad ke-19 dan tidak banyak berubah dalam 150 tahun terakhir.

Penokohan badut jahat juga bukan fenomena baru. Pada 2016, penulis Benjamin Radford menerbitkan “Bad Clowns” dan melacak sejarah evolusi badut menjadi makhluk yang mengerikan dan tak terduga.

Salah satu bagian lukisan badut karya pembunuh berantai John Wayne Gacy. The Orchid Club/flickr, CC BY

Persona badut mengerikan muncul setelah pembunuh berantai John Wayne Gacy ditangkap di Amerika Serikat. Pada 1970-an, John muncul dalam pesta ulang tahun anak-anak sebagai “Pogo Si Badut” dan sering melukis badut. Ketika polisi menemukan bahwa dia telah membunuh setidaknya 33 orang dan mengubur mayat di rumahnya di Chicago, kaitan antara badut dan perilaku psikopat berbahaya pun tertanam kuat di bawah sadar masyarakat Amerika.

Kemudian, selama beberapa bulan pada 2016, badut-badut seram meneror Amerika.

Laporan muncul di setidaknya 10 negara bagian. Di Florida, badut mengerikan tampak mengendap-ngendap di pinggir jalan. Di South Carolina, badut-badut dilaporkan berusaha memancing perempuan dan anak-anak ke dalam hutan.

Tidak jelas mana dari laporan ini yang benar-benar serius dan mana yang hanya main-main. Yang jelas, para pelaku memanfaatkan rasa takut bawaan yang dialami anak-anak—dan beberapa orang dewasa.

Sifat kengerian

Psikologi dapat membantu menjelaskan kenapa badut—yang seharusnya menjadi sumber lawakan dan kejahilan—sering membuat kita bergidik.

Penelitian saya adalah penelitian empiris pertama soal kengerian, dan saya punya dugaan bahwa rasa ngeri muncul terkait dengan ambiguitas—tidak yakin bagaimana harus bereaksi terhadap orang atau situasi.

Kami merekrut 1.341 relawan berusia antara 18-77 tahun untuk mengisi survei online. Pada bagian pertama survei, peserta diminta memberi nilai kemungkinan 44 perilaku ditunjukkan oleh seseorang yang menakutkan, misalnya pola kontak mata yang aneh atau tampilan fisik seperti memiliki tato yang kelihatan.

Pada bagian kedua survei, peserta diminta menilai tingkat kengerian 21 pekerjaan, dan di bagian ketiga mereka diminta menulis dua hobi yang menurut mereka mengerikan. Di bagian terakhir, mereka mengisi seberapa setuju dengan 15 pernyataan tentang orang yang mengerikan.

Hasilnya menunjukkan bahwa orang yang kita anggap menakutkan biasanya seorang laki-laki, dan sifat ketidakterdugaan adalah komponen penting dalam kengerian, pola kontak mata dan perilaku non-verbal lainnya adalah pemicu besar rasa takut kita.

Karakter fisik yang tidak umum atau aneh seperti mata yang besar, senyum yang aneh, atau jari-jari panjang, tidak memunculkan rasa takut. Tapi adanya sifat fisik yang aneh dapat memicu kecenderungan kengerian yang dimiliki seseorang, misalnya selalu mengarahkan topik pembicaraan ke hal-hal seksual atau menentang peraturan kantor yang melarang orang membawa reptil.

Dari bermacam pekerjaan yang kami berikan, pekerjaan yang dianggap paling menimbulkan rasa ngeri adalah—tidak lain tidak bukan—badut.

Hasil ini sesuai dengan teori saya bahwa rasa ngeri adalah respons terhadap ancaman yang ambigu dan kita hanya merasa ngeri kalau kita menghadapi ancaman yang tidak jelas.

Misalnya, tiba-tiba meninggalkan lawan bicara yang menurut kita menimbulkan rasa ngeri di tengah-tengah obrolan akan dianggap tidak sopan dan aneh, tapi bukan tindakan yang berbahaya. Tapi akan berbahaya kalau kita mengacuhkan intuisi kita dan terus bercakap-cakap dengan seseorang yang sebenarnya adalah sebuah ancaman. Ambivalensi ini membuat kita terpaku di tempat dan terjebak dalam rasa tidak nyaman.

Reaksi ini bisa jadi adaptif, suatu reaksi yang muncul karena evolusi: rasa ngeri adalah cara untuk mempertahankan kewaspadaan dalam situasi yang mungkin berbahaya.

Kenapa badut membuat kita takut

Melihat hasil penelitian kami, tidaklah mengherankan mengapa badut itu mengerikan.

Rami Nader adalah seorang psikolog asal Kanada yang meneliti coulrophobia, rasa takut yang tidak rasional terhadap badut. Nader meyakini bahwa fobia badut dipicu oleh tokoh badut yang mengenakan riasan wajah dan menyembunyikan jati diri dan perasaan orang di balik tokoh itu.

Ini sesuai dengan hipotesis saya bahwa ambiguitas badut membuat mereka menakutkan. Mereka terlihat bahagia, tapi benar tidak? Dan mereka jahil, sehingga orang menjadi waspada.

Orang yang berinteraksi dengan badut yang sedang tampil tidak akan tahu apakah mereka akan kena kue di muka atau menjadi korban kejahilan yang mempermalukan. Karakter fisik badut yang sangat tidak lazim—rambut palsu, hidung merah, riasan wajah, pakaian aneh—justru meningkatkan ketidakjelasan apa yang akan dilakukan si badut.

Jelas ada beberapa jenis orang yang membuat kita ngeri: orang yang mengawetkan hewan dan pengurus pemakaman sering muncul dalam kategori ini. Tapi badut berada di level kengerian yang berbeda dibanding mereka.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,000 academics and researchers from 4,940 institutions.

Register now