Menu Close
Bagi pria menikah yang ingin menghindari kenaikan indeks massa tubuh, mereka harus memperhatikan motivasi, perilaku, dan kebiasaan makan mereka. Shutterstock.com

Angka tidak berdusta: pria memang bertambah gemuk setelah menikah

Ketika menikah, biasanya pasangan berjanji untuk setia sehidup-semati. Menemani saat suka dan duka. Tetapi yang jarang mereka ketahui adalah, menikah dapat juga mempengaruhi body mass index atau indeks massa tubuh (IMT).

Pengantin baru mungkin merasakan adanya peningkatan lingkar pinggang. Dan riset saya menunjukkan, menikah memang membuat pria bertambah gemuk.

Penelitian saya menemukan kaitan antara menikah dan peningkatan berat badan pada pria—yang juga memasukkan faktor kelahiran anak. Rata-rata, pria yang menikah memiliki IMT lebih tinggi daripada yang lajang. Mereka rata-rata lebih berat 1,4 kilogram di timbangan. Tak ada dampak kehamilan istri terhadap IMT pria, tetapi selama beberapa tahun pertama setelah anak lahir, para pria bertambah berat.

Perceraian, di sisi lain, bisa menurunkan berat. Penelitian mencatat pada masa-masa menjelang perceraian dan sesudah perceraian, IMT laki-laki menurun.

Temuan ini mengakhiri kebingungan kita mengenai kemungkinan kaitan antara IMT dan status pernikahan pria. Ada beberapa teori seputar berat badan pria setelah menikah. Temuan saya sepertinya sejalan dengan ide “marriage market theory” yang mengatakan bahwa pria lajang (yang mencari pasangan hidup) akan lebih berusaha menjaga kebugaran ketimbang pria yang sudah menikah. Ada pula ide lain yang sejalan, “social obligation theory” yang mengatakan bahwa pria makan lebih teratur setelah menikah, dan menghadiri acara-acara sosial yang menghidangkan makanan lezat.

Persaingan teori

Mengingat besarnya perhatian publik terhadap obesitas, adalah penting untuk memahami lebih jauh mengenai faktor sosial yang dapat mengakibatkan naik-turunnya berat badan. Perdebatan soal hubungan antara pernikahan dan IMT telah berlangsung lama, dan ada beberapa pandangan yang saling bertolak belakang mengenai hal ini.

Misalnya, ada beberapa contoh bahwa pasangan yang telah menikah secara umum lebih sehat, karena mendapat manfaat dukungan keluarga dan cenderung tidak terlibat dalam perilaku berisiko. Teori ini dikenal dengan sebutan “marriage protection theory”, dan memperkirakan IMT pria menikah justru lebih rendah.

Orang-orang yang menikah juga diperkirakan punya IMT lebih rendah karena “selection theory”. Kita semua memilih pasangan hidup berdasarkan sekumpulan karakteristik, termasuk di antaranya adalah seberapa menarik dia. Orang-orang yang bugar lebih mungkin dipilih sebagai pasangan hidup. Menurut teori ini, pernikahan tak memiliki dampak pada IMT seseorang, tetapi orang-orang yang memiliki IMT lebih rendah justru lebih mungkin menikah.

Separuh untukmu, separuh untukku. Shutterstock

Di sisi lain, ada beberapa teori yang mengatakan bahwa setelah menikah, orang cenderung “teledor” dan mengalami kenaikan berat badan. Teori “marriage market theory”, misalnya, mengandaikan dunia asmara seperti dunia usaha—kita harus sedikit mempromosikan diri. Teori itu bilang, orang yang melajang dan ingin menikah memiliki motivasi lebih tinggi dan berusaha lebih kuat untuk tetap bugar, ketimbang mereka yang sudah menikah. Tetapi setelah menikah, “tekanan” sebagai jomblo pun hilang, sehingga indeks massa tubuh mereka meningkat.

Teori “social obligation” juga mengatakan bahwa orang-orang yang terikat dalam pernikahan makan lebih teratur (dan lebih berlemak) akibat bertambahnya kehidupan sosial mereka setelah menikah.

Ganti status, angka di timbangan melonjak

Dalam rangka memahami semua teori-teori yang ada, saya menganalisis informasi mengenai 8.700 pria heteroseksual di AS sejak 1999 hingga 2013, menggunakan data dari Panel Study of Income Dynamics. Di samping variabel sosio-ekonomi yang standar seperti pendidikan, pendapatan, status kerja, dan umur, saya juga berhasil menambahkan perubahan IMT seseorang.

Saya menemukan bahwa pria yang menikah memang memiliki IMT lebih tinggi (setengah poin) dibanding pria yang belum, yang utamanya diakibatkan fluktuasi berat badan sebelum dan sesudah menikah. (Indeks massa tubuh pria juga menurun tepat sebelum dan sesudah bercerai, karena mereka mengubah kebiasaan mereka sesuai “marriage market theory” dan motivasi menjaga ukuran timbangan lagi.)

Temuan saya ini mendukung teori bahwa setelah menikah, kita jadi lebih sering mendatangi acara sosial yang menghidangkan makanan berlemak, atau makan lebih teratur bagi pria.

Secara umum, para ayah dengan anak di bawah umur 19 tahun tidak memiliki IMT lebih tinggi daripada pria yang belum beranak atau para ayah dengan anak lebih tua. Meski demikian, mereka cenderung punya IMT lebih tinggi di tahun-tahun awal setelah kelahiran anak. Para pria yang baru memiliki anak mungkin saja kekurangan waktu untuk berolahraga. Memiliki anak juga mengurangi risiko perceraian, sehingga mereka semakin kehilangan alasan untuk menjaga kebugaran.

Dampak menikah terhadap indeks massa tubuh tidak besar, tapi signifikan secara statistik. Adalah berharga untuk memahami faktor sosial apa yang dapat mempengaruhi naik-turunnya berat badan, terutama hal-hal umum seperti pernikahan dan kelahiran anak.

Menyadari risiko-risiko potensial yang ada dapat membantu kita membuat keputusan dengan informasi lengkap seputar kesehatan. Bagi pria menikah yang ingin menghindari kenaikan indeks massa tubuh, mereka harus memperhatikan betul motivasi, perilaku, dan kebiasaan makan mereka.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,400 academics and researchers from 4,911 institutions.

Register now