Menu Close

Apa sebab senjata nuklir masih ada dan memiliki daya tarik? 4 mitos senjata nuklir

Tim Wright/ICAN Handout

Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, baru-baru ini yang menginginkan Indonesia memiliki senjata nuklir sangat mengejutkan.

Bukan hanya karena Indonesia adalah negara yang secara konsisten mendorong perlucutan senjata nuklir, tetapi juga karena mayoritas bangsa-bangsa di dunia telah memutuskan untuk melarang senjata nuklir dengan mengadopsi Perjanjian tentang Pelarangan Senjata Nuklir (Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons, TPNW).

Dukungan mayoritas anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk TPNW.

Luhut bisa jadi hanya bercanda, tapi pernyataannya mencerminkan adanya kepercayaan banyak negara pada mitos-mitos terkait ambisi mereka untuk memiliki, mempertahankan, ataupun mengembangkan senjata nuklir.

Mitos-mitos ini telah menopang keberadaan senjata nuklir dan menjadikan senjata nuklir sebagai satu-satunya senjata pemusnah massal yang masih memiliki status legal hingga saat ini. Berikut mitos-mitos salah tersebut.

1. Nuklir adalah instrumen perdamaian yang efektif

Senjata nuklir sering diklaim sebagai senjata perdamaian. Dua alasan sering dikaitkan dengan klaim ini. Senjata nuklir bukan hanya diklaim berhasil menghentikan Perang Dunia II, tetapi juga diyakini telah berhasil menjaga perdamaian dunia sejak senjata tersebut digunakan pada tahun 1945.

Klaim bahwa senjata nuklir berhasil menghentikan Perang Dunia II didasarkan pada argumen pasca perang pemerintah Amerika Serikat (AS) bahwa Jepang tidak akan segera menyerah jika senjata nuklir tidak digunakan dan bahwa mengalahkan Jepang melalui invasi akan membawa korban yang lebih banyak.

Pidato penyerahan Jepang oleh Kaisar Hirohito yang menyebutkan bahwa penggunaan “senjata baru dan sangat kejam” merupakan salah satu faktor yang mendorong Jepang untuk menyerah memperkuat klaim mengenai peran senjata nuklir dalam penghentian perang.

Tetapi, klaim tersebut tidak memiliki basis yang sangat kuat dan lebih merupakan respons terhadap kritik atas penggunaan senjata tersebut sebagai sebuah keputusan yang tidak perlu dengan implikasi etis yang luar biasa.

Banyak sejarawan berpendapat bahwa faktor terpenting yang mendorong penyerahan adalah masuknya Uni Soviet ke dalam kancah perang dan melawan Jepang, dan bukan pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki.

Yang tidak kalah kontroversial adalah klaim bahwa senjata nuklir telah membawa perdamaian dengan mencegah perang besar di dunia. Klaim ini lebih didasarkan pada asumsi daripada data empiris.

Senjata nuklir diyakini memiliki kemampuan deterrence, yaitu kemampuan menghalangi sebuah negara untuk melakukan serangan karena kekhawatiran akan dibalas lawan dengan serangan yang lebih besar dari kekuatan yang dimilikinya, atau karena kekhawatiran bahwa serangan balasan lawan akan bisa membawa kehancuran bersama.

Dengan kemampuan deterrence ini, senjata nuklir diyakini berperan penting dalam mengurangi secara drastis dorongan negara-negara yang memiliki senjata nuklir untuk berperang. Kenneth Waltz, salah satu ilmuwan hubungan internasional terkemuka asal AS, adalah salah satu tokoh yang sangat meyakini peran senjata nuklir dalam mengurangi kemungkinan terjadinya perang.

Bahwa senjata nuklir tidak pernah digunakan setelah dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki bukan berarti dorongan untuk menggunakan senjata nuklir hilang.

Dalam kurun waktu 50 tahun sejak tahun 1945, terdapat 19 insiden yang menempatkan dunia di bawah bayang-bayang perang nuklir.

Saling ancam antara Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un untuk menggunakan senjata nuklir menunjukkan bahwa senjata nuklir tetap menjadi pilihan yang terbuka untuk digunakan.

Pilihan untuk menggunakan senjata nuklir ini juga ditunjukkan misalnya oleh India dan Pakistan yang memang memiliki sejarah konflik yang panjang sejak awal berdirinya Pakistan terpisah dari India.


Read more: Risiko perang nuklir dalam konflik Iran-AS dan peran Indonesia


2. Senjata nuklir meningkatkan keamanan

Dengan asumsi bahwa senjata nuklir mengurangi dorongan negara untuk berperang, senjata nuklir juga diyakini berperan penting dalam menjaga keamanan dunia. Oleh karenanya, senjata nuklir masih menjadi bagian penting dari strategi pertahanan negara-negara pemilik senjata nuklir.

Tapi keberadaan senjata nuklir justru semakin menimbulkan rasa tidak aman bagi umat manusia.

Senjata nuklir tidak memiliki makna sebagai strategi militer. Berbeda dengan senjata taktis yang bisa dikontrol penggunaannya dalam melumpuhkan musuh, dampak bom nuklir tidak bisa dikendalikan oleh siapapun, termasuk penggunanya.

Dampak dari penggunaan senjata nuklir tidak hanya terbatas pada negara-negara yang berperang, melainkan bagi seluruh dunia. Senjata nuklir adalah ancaman eksistensial kemanusiaan.

Kemungkinan meningkatnya jumlah dan penggunaan senjata nuklir baik sengaja maupun tidak sengaja akan tetap menempatkan dunia dalam ancaman dan menghantui umat manusia.

Dampak kemanusiaan senjata nuklir jelas terlihat dari dampak ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki serta melalui uji coba-uji coba senjata nuklir.

Survei yang dilakukan oleh Komite Internasional Palang Merah (International Committee of the Red Cross, ICRC) terhadap 16.000 orang dari generasi milenial di 16 negara di dunia secara jelas menunjukkan kekhawatiran mereka akan perang nuklir. Bahkan, lebih dari 50% responden yakin bahwa perang nuklir akan terjadi dalam kurun waktu satu dasawarsa ke depan.

3. Senjata nuklir aman di tangan yang tepat

Sikap masyarakat internasional yang cenderung permisif terhadap lima negara pemilik senjata nuklir (nuclear weapons states) di satu sisi, dan sikap keras terhadap negara-negara yang dianggap melanggar Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty, NPT) di sisi lain, mencerminkan asumsi bahwa pembatasan pemilikan senjata nuklir hanya pada sekelompok kecil negara yang tepat (yang kebetulan adalah negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB) menjadikan keberadaan senjata nuklir aman.

Negara-negara ini diasumsikan memiliki kemampuan rasional untuk tidak secara sembarangan menggunakan senjata tersebut.

Dengan dampak kemanusiaan yang ditimbulkannya, nuklir bukanlah senjata melainkan ancaman. Karena itu, tidak ada siapapun yang tepat memilikinya. Pandangan ini tercermin dalam pernyataan Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-Moon, yang mendorong penghapusan senjata pemusnah massal tersebut.

Beatrice Fihn, direktur eksekutif International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel Perdamaian untuk gerakan tersebut tahun 2017 secara jelas mengingatkan bahwa perang nuklir bisa terjadi hanya karena seorang pemimpin meledak emosinya.

4. Senjata nuklir memberikan prestise

Bagi kelima negara pemilik senjata nuklir–AS, Rusia, Prancis, Inggris dan Cina–kepemilikan ini adalah sebuah privilese.

Status kepemilikan senjata nuklir oleh negara-negara tersebut ditopang oleh rezim nuklir internasional dalam Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT). Perjanjian ini dianggap menghasilkan apartheid nuklir, yakni memberikan hak secara eksklusif kepada lima negara itu untuk memiliki senjata nuklir dan melarang negara-negara lain untuk memiliki senjata nuklir.

Karakter apartheid rezim nuklir internasional ini yang antara lain mendasari keinginan beberapa negara untuk bisa masuk ke dalam ‘nuclear club’. Negara-negara ini meyakini bahwa kepemilikan senjata nuklir akan membantu mereka menunjukkan kekuatan dan pengaruhnya dalam hubungan internasional.

Pengalaman negara-negara yang berusaha mengembangkan senjata nuklir menunjukkan bahwa negara-negara tersebut bukan hanya gagal meningkatkan status internasionalnya, namun justru membuat mereka terpuruk karena respons internasional yang sangat keras seperti yang dialami oleh Iran dan Korea Utara.


Read more: Konflik panas AS-Iran dan dampaknya bagi Indonesia


Indonesia dan senjata nuklir

Bagi Indonesia–yang telah secara konsisten mendukung perlucutan senjata nuklir–mengembangkan dan memiliki senjata nuklir jelas bukan pilihan yang tepat.

Indonesia telah mengikatkan diri pada berbagai perjanjian internasional seperti NPT, Zona Bebas Nuklir Asia Tenggara (Southeast Asian Nuclear Free Zone, SEANFZ), dan Perjanjian Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir (Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty, CTBT) yang tidak memungkinkan Indonesia untuk mengembangkan atau memiliki senjata nuklir. Di samping itu, Indonesia juga pendukung aktif Perjanjian tentang Pelarangan Senjata Nuklir.

Bercermin dari pengalaman Iran dan Korea Utara, mengembangkan senjata nuklir bukan hanya tidak mampu meningkatkan pengaruh internasional, tetapi justru bisa membuat Indonesia dimusuhi masyarakat internasional.

Aisha Amelia Yasmin berkontribusi pada penerbitan artikel ini.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now