Menu Close

Apakah orang religius lebih bahagia ketimbang orang tidak religius?

Tingkat kepuasan hidup dan kebahagiaan hidup berbeda-beda di berbagai kelompok agama. Jose Aragones/Pexels.com

Apa yang membuat orang bahagia? Pertanyaan ini mungkin sulit dijawab. Kebahagiaan telah dibicarakan sepanjang sejarah. Para filsuf, pemikir, dan aktivis, seperti Aristippus, Aristoteles, Zhuangzi, Jean Jacques Rousseau, Jeremy Benthan, dan Bertrand Russel, telah menganggap bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup merupakan salah satu tujuan tertinggi dari motivasi manusia.

Namun kebahagiaan dan kepuasan hidup bisa sulit didefinisikan. Sementara keduanya merupakan bagian dari kesejahteraan seseorang, kebahagiaan merujuk pada emosi individu, perasaan, atau suasana hati. Sebaliknya, kepuasan hidup lebih berkaitan dengan cara orang memikirkan kehidupan mereka secara kesatuan utuh — termasuk hubungan mereka.

Riset sebelumnya menunjukkan bahwa “orang yang bahagia” itu yang muda, sehat, berpendidikan baik, bergaji bagus, optimistik, dan ekstrovert. Riset yang sama menemukan orang yang paling bahagia cenderung religius, menikah, dengan kepercayaan diri dan moral pekerjaan tinggi, serta aspirasi sederhana. Tampaknya jenis kelamin dan tingkat kecerdasan Anda belum tentu termasuk variabel yang diperhitungkan.

Riset menunjukkan bahwa di seluruh dunia, lebih dari 84% orang tergabung dalam kelompok keagamaan atau terkoneksi dengannya. Dan riset kami baru-baru ini melihat apakah agama berbeda mengalami tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup berbeda. Temuannya menunjukkan bahwa religiositas individu dan tingkat perkembangan negara mereka mempengaruhi kebahagiaan dan kepuasan hidup orang.

Riset kebahagiaan

Studi kami meneliti sejumlah besar kelompok agama berbeda di 100 negara—dari 1981 hingga 2014 — menggunakan data dari World Value Survey.

Penemuan kami menunjukkan bahwa orang Protestan, Buddha, dan Katolik Roma lebih bahagia dan lebih puas dengan hidup mereka, dibandingkan dengan kelompok lain. Orang Yahudi, Hindu, Muslim, dan tidak religius berada di antaranya, sedangkan Kristen Ortodok ditemukan memiliki tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup paling rendah.

Buddha mengajarkan bahwa kebahagiaan adalah salah satu dari tujuh faktor Pencerahan. Pexels

Dalam riset kami, kami menemukan bahwa banyak faktor yang diasosiasikan secara positif dengan kebahagiaan dan kepuasan hidup. Ini antara lain mencakup Protestan, perempuan, menikah, dan usia lebih muda (16 sampai 24 tahun). Situasi finansial keluarga juga termasuk, seperti juga kondisi kesehatan seseorang dan kebebasan memilih.

Kami menemukan bahwa kebanggaan nasional dan kepercayaan itu penting dalam hal tingkat kebahagiaan, seperti halnya memiliki teman, keluarga, dan waktu luang. Menghadiri praktik keagamaan mingguan juga ditemukan sebagai faktor penting. Di sisi lain, menganggur dan memiliki penghasilan rendah diasosiakan secara negatif dengan kebahagiaan dan kepuasan hidup.

Pengamatan yang lebih dekat pada besarnya hubungan antara faktor-faktor ini serta kebahagiaan dan kepuasan hidup mengungkapkan bahwa kesehatan, stabilitas finansial dan kebebasan memilih, atau kendali atas hidup seseorang merupakan faktor-faktor yang paling penting. Namun perlu dilakukan riset untuk memahami mengapa beberapa kelompok religius lebih bahagia dan lebih puas ketimbang yang lain.

Tujuan global

Dalam beberapa tahun terakhir, minat pada riset kesejahteraan telah bergelora—dengan ahli ekonomi seperti penerima Nobel Joseph Stiglitz yang setuju inilah saatnya untuk menggeser perhatian dari mengukur produksi ekonomi, jadi mengukur kebahagiaan dan kepuasaan hidup orang.

Namun untuk menjadikan kebahagiaan manusia sebagai panduan menyeluruh terhadap kemajuan manusia membutuhkan data yang baik soal kualitas hidup manusia—dan ini sesuatu yang sayangnya masih tertinggal di sebagian besar negara.

Memiliki teman dan keluarga dan rasa memiliki dalam komunitas bisa membantu meningkatkan kadar kebahagiaan. Pexels

Sementara ini, mungkin layak bagi individu maupun pemerintah untuk terlibat dalam psikologi positif. Riset baru menunjukkan bahwa sekolah yang mengajarkan psikologi positif benar-benar memperbaiki kebahagiaan anak-anak di negara berbeda: Peru, Cina, Bhutan, dan Australia.

Maka, jelas bahwa meski kebahagiaan bisa berarti hal berbeda bagi orang berbeda, ada beberapa prinsip penyatuan mendasar yang membuat kita lebih mungkin merasa bahagia atau tidak bahagia.

Dan seperti yang diperlihatkan penemuan kami, dengan memperbaiki akses pada perawatan kesehatan dan mendukung kebutuhan finansial mereka, pemerintah bisa berbuat banyak untuk meningkatkan kesejahteraan dan kepuasan hidup orang-orang.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now