tag:theconversation.com,2011:/au/topics/media-digital-47628/articlesMedia digital – The Conversation2024-02-05T14:28:07Ztag:theconversation.com,2011:article/2207782024-02-05T14:28:07Z2024-02-05T14:28:07ZBagaimana aktivisme digital penggemar K-Pop di Indonesia mewarnai Pemilu 2024<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/569673/original/file-20240116-15-ojkbg3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C104%2C6290%2C3278&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Konten digital penggemar K-pop dengan mengadopsi penggambaran idol K-pop dalam figur Anies Baswedan.</span> <span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span></figcaption></figure><p>Aktivisme fandom (sekelompok orang yang membentuk komunitas) K-Pop makin menunjukkan pengaruh yang luas, mulai dari aktivisme yang berkaitan dengan <a href="https://journal.transformativeworks.org/index.php/twc/article/download/300/287?inline=1">kemanusiaan</a> hingga <a href="https://www.voaindonesia.com/a/menakar-kekuatan-fandom-k-pop-dalam-aktivisme-sosial-dan-politik/5504493.html">politik</a>.</p>
<p>Di Indonesia, kesukaan sejumlah masyarakat terhadap K-Pop tampak dimanfaatkan oleh para kandidat politik yang maju dalam kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 guna meraup suara. Bagaimana tidak, jumlah pemilih muda yang masuk kategori milenial dan Gen Z pada Pemilu 2024 <a href="https://www.kpu.go.id/berita/baca/11684/55-pemilih-didominasi-generasi-muda-bantu-kpu-dalam-penyelenggaraan-pemilu-2024">mencapai 55%</a>. Indonesia sendiri merupakan negara dengan <a href="https://goodstats.id/article/indonesia-masuk-peringkat-pertama-dengan-fans-k-pop-terbanyak-di-dunia-6w71d">jumlah penggemar K-Pop terbanyak di dunia</a>.</p>
<p>Menariknya, biasanya fandom K-Pop memiliki karakteristik tidak mudah disetir dan benci ditunggangi kepentingan politik. Maka, ketika mereka melibatkan diri dalam aktivisme digital pada Pemilu 2024 secara sukarela, ini menjadi fenomena yang unik.</p>
<p>Salah satu contoh yang menonjol adalah akun Anies Bubble di X (dulunya Twitter). Walaupun akun ini <a href="https://twitter.com/aniesbubble/status/1747486197826609172">menyangkal</a> bahwa aktivisme digital mereka merepresentasikan fandom K-Pop tertentu maupun penggemar K-Pop secara menyeluruh, fenomena ini tetap memperlihatkan bagaimana komunitas pecinta budaya Korea mewarnai kontestasi politik tanah air.</p>
<h2>‘Anies Bubble’ dan manuver politik</h2>
<p>Akun <a href="https://twitter.com/aniesbubble">@aniesbubble</a> mengklaim sebagai akun pendukung Anies. Per 5 Februari 2024, akun ini memiliki jumlah pengikut 178 ribu sejak cuitan pertamanya pada 29 Desember 2023. </p>
<p>Akun @aniesbubble mengadopsi karakter <a href="https://mediaindonesia.com/humaniora/597776/apa-itu-fandom-berikut-daftar-11-fandom-k-pop-terbesar-di-dunia">fandom</a> K-Pop dalam mengomunikasikan pesan melalui unggahan. Contohnya adalah dengan menggunakan Bahasa Korea dalam unggahan, menggunakan emoji burung hantu sebagai lambang identitas Anies-layaknya identitas yang dimiliki oleh idol K-Pop-hingga penamaan fandom “Humanies”. Akun @aniesbubble tidak menjelaskan secara rinci apa arti “Humanies”, tetapi para penggemar menginterpretasikan “Humanies” sebagai <a href="https://twitter.com/gabuttaja/status/1742582205631869414">pendukung hak asasi manusia</a>, <a href="https://twitter.com/gredrahamzah/status/1742592454094921958">lekat dengan nilai keadilan untuk seluruh pihak</a>, dan <a href="https://twitter.com/play_tomorrow/status/1742677248757637618">memanusiakan manusia (diambil dari kata humanis)</a>.</p>
<p>Adapun aktivisme digital penggemar K-Pop ini dapat dijelaskan melalui aktivitas <em>clicktivism</em>, <em>metavoicing</em>, dan <em>assertion</em> yang diungkapkan oleh <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1471772717303470">Jordana J. George dan Dorothy E. Leidner dari Baylor University, Amerika Serikat</a>.</p>
<p>Aktivisme ini diawali dengan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1471772717303470"><em>clicktivism</em></a>, yaitu aktivitas digital dalam bentuk pemberian <em>like</em>, <em>voting</em>, maupun mengikuti akun media sosial atau blog. Para penggemar K-Pop memulai gerakannya saat akun <a href="https://twitter.com/aniesbubble">@aniesbubble</a> muncul dan mulai menjadi pengikut. Konten pada akun @aniesbubble yang mengutip <a href="https://twitter.com/aniesbubble/status/1740780880065708094"><em>Live</em> TikTok Anies yang pertama</a> pada 29 Desember 2023, berhasil mendapatkan <em>like</em> sebanyak 4,1 ribu. <em>Voting</em> dilakukan saat @aniesbubble membuka <em>voting</em> <a href="https://twitter.com/aniesbubble/status/1742565971108434087">pemilihan nama fandom pada 3 Januari 2024</a>, antara Humanies atau Manies.</p>
<p>Aktivitas berikutnya adalah <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1471772717303470"><em>metavoicing</em></a>, yakni ketika pengguna media sosial melakukan aktivitas memberikan komentar, mengunggah ulang <em>post</em> (<em>reposting</em>), <em>sharing</em>, dan <em>retweeting</em> unggahan media sosial yang dilakukan oleh akun lain. Salah satu cuitan @aniesbubble yang mendapatkan <em>repost</em> terbanyak adalah <a href="https://twitter.com/aniesbubble/status/1742348682333425719">konten mengenai guru PAUD</a>, yakni sebanyak 28 ribu. Seorang guru PAUD berkeluh-kesah bahwa profesinya dipandang sebelah mata, sehingga ia meminta motivasi dari Anies. Anies memberinya semangat dengan mengatakan bahwa guru PAUD justru menjadi guru yang paling diingat oleh anak didiknya.</p>
<p>@aniesbubble juga melakukan <em>metavoicing</em> dengan mengunggah ulang potongan-potongan video <em>live</em> Tiktok Anies ke platform X. <em>Repost</em> maupun <em>retweeting</em> merupakan aktivitas yang <a href="https://twitter.com/aniesbubble/status/1742348682333425719">satu level lebih tinggi daripada <em>liking</em></a> karena membutuhkan usaha yang lebih.</p>
<p>Dalam hal video, @aniesbubble melakukan pengeditan dengan mengambil konten dari <em>live</em> Tiktok Anies, memotongnya, dan mengunggahkan kembali di platform X. </p>
<p>Sementara itu, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1471772717303470"><em>assertion</em></a> didefinisikan sebagai bagaimana konten media sosial diproduksi. Aktivitas ini membutuhkan <em>skill</em> yang relatif lebih tinggi dan usaha yang lebih besar daripada <em>clicktivism</em> dan <em>metavoicing</em> karena mengharuskan adanya produksi video, audio, gambar, maupun teks.</p>
<p>@aniesbubble memiliki karakterisktik yang mirip dengan fandom K-Pop, seperti memproduksi konten tentang idol mereka dengan gaya khas K-Pop sebagai media promosi. @aniesbubble juga membuat <a href="https://twitter.com/aniesbubble/status/1752651227614326831">konten-konten promosi</a> seperti halnya saat idol K-Pop dipromosikan.</p>
<p>Melalui <a href="https://magdalene.co/story/anies-bubble-dan-kpopisasi/">wawancaranya dengan media <em>Magdalene</em></a>, admin akun @aniesbubble mengaku bahwa pergerakannya di platform X terinspirasi dari kebiasaannya sebagai penggemar K-Pop yang mengoperasikan akun-akun fandom tertentu.</p>
<p>Jaringan penggemar Anies juga memproduksi konten digital berupa <a href="https://twitter.com/olpproject/status/1746729151456035320">video yang didesain mirip dengan video promosi idol K-Pop</a>. Akun X dengan <em>username</em> <a href="https://twitter.com/olpproject">@olpproject</a> bahkan membuka penggalangan dana untuk mempromosikan Anies secara sukarela. <a href="https://twitter.com/aniesbubble/status/1746739343442808982">Video promosi Anies</a> dengan gaya editan yang mirip idol K-Pop bahkan sempat tayang di area Grand Metropolitan, Kota Bekasi, Jawa Barat; Graha Mandiri Jl. Imam Bonjol, Taman Menteng, Jakarta; depan Hermes Palace, Jalan Pemuda, Medan, Sumatra Utara; depan Hotel Sahid, Surabaya, Jawa Timur; serta Graha Satria, Fatmawati, Jakarta.</p>
<h2>Penggemar K-Pop dalam politik: efek kejut</h2>
<p>Fenomena penggemar K-Pop menggalang dukungan secara sukarela untuk kandidat presiden tertentu menjadi fenomena unik. Ini karena selama ini pecinta K-Pop paling tidak suka eksistensi mereka dipolitisasi dan sangat berhati-hati menunjukkan keberpihakan.</p>
<p>Pada Juli 2023, misalnya, calon presiden <a href="https://twitter.com/ganjarpranowo/status/1681954304348020738">Ganjar Pranowo melontarkan cuitan di X</a>, “Mas @gibran_tweet tadi bilang pengen bikin konser Kpop di Solo. Tapi masih bingung mau undang siapa. Kamu punya ide?”. Alih-alih mendapatkan respons positif, cuitan tersebut justru mendapat sentimen negatif dari fandom K-Pop karena mereka tidak terima jika <a href="https://www.benarnews.org/indonesian/berita/ganjar-kpop-08042023133333.html">idolanya dijadikan alat pendulang suara belaka</a>.</p>
<p>Ada pula satu calon legislatif (caleg) dari suatu partai politik, yang maju dalam pemilihan legislatif Kota Bandung, Jawa Barat, yang membuat spanduk kampanye yang menampilkan <a href="https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-017461667/spanduk-caleg-pdi-perjuangan-di-kota-bandung-dirujak-netizen-pede-pasang-foto-editan-bersama-idol-kpop?page=all">foto dirinya yang diedit bersama idol K-Pop Enhypen</a>. Ini memicu reaksi keras dari fandom K-Pop, bahkan <a href="https://twitter.com/PolJokesID/status/1734108658622247146">banyak disindir oleh warganet di X</a> “sederhana tapi bikin kpopers marah”. Penggemar K-Pop menunjukkan kekesalan dan kemarahan karena idola mereka dimanfaatkan untuk kepentingan politik.</p>
<p>Maka dari itu, respons penggemar K-Pop terhadap manuver politik Anies di media sosial sangat mungkin membawa pengaruh politik yang besar. Respons pengguna TikTok dan X yang dapat dikategorikan sebagai aktivisme digital ini <a href="https://www.liputan6.com/pemilu/read/5497048/timnas-amin-sebut-akun-anies-bubble-bukan-kreasi-tim-tapi-tumbuh-organik">diklaim pihak Anies sebagai sesuatu yang organik</a> dan bukan merupakan bagian dari tim pemenangan Anies.</p>
<h2>Adu ‘branding’ kandidat di media sosial</h2>
<p>Ekspresi penggemar K-Pop dalam idolisasi Anies bisa saja menjadi “kemenangan” kecil bagi Anies. Tantangan yang dihadapi kemudian adalah bagaimana aktivisme digital yang diklaim organik ini berhadapan dengan aktivisme digital pada level lain yang sangat mungkin muncul karena fabrikasi maupun manipulasi oleh robot (<a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1471772717303470"><em>botism</em></a>).</p>
<p>Selain itu, wajar saja jika setiap kandidat berusaha <a href="https://www.kompas.id/baca/riset/2024/01/08/persona-daring-para-capresdi-media-sosial">menciptakan <em>branding</em> diri</a> agar bisa menarik simpati pemilih muda, meskipun belum tentu Anies sendiri paham soal K-Pop.</p>
<p>Capres Prabowo Subianto juga membentuk <em>image</em> ‘gemoy’ terhadap dirinya di media sosial. Sementara itu, kemunculan capres Ganjar Pranowo dalam sebuah <a href="https://www.youtube.com/watch?v=ksbAAktR27U"><em>podcast</em> pada 2019 lalu</a> yang kembali viral membuatnya mendapat julukan ‘penguin’.</p>
<p>Diskursus politik di media sosial hanya salah satu penentu bagaimana <a href="https://www.adshr.org/index.php/vo/article/view/34/33">pengguna media sosial menunjukkan perspektifnya</a>. <em>Hype</em> di media sosial tidak selalu mencerminkan kondisi di lapangan, sehingga aktivisme digital meskipun masif dilakukan atau bahkan bersifat organik, belum tentu akan memenangkan pasangan capres-cawapres yang bersangkutan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/220778/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Masitoh Nur Rohma tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penggemar K-pop Indonesia yang tidak suka ditunggangi kepentingan politik, kini membuat gerakan politik melalui aktivisme digital.Masitoh Nur Rohma, Assistant Professor in International Relations, Universitas Islam Indonesia (UII) YogyakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2215932024-02-01T02:55:27Z2024-02-01T02:55:27ZRiset ungkap bentuk empat model afiliasi media dan politik di Indonesia<p>Dalam 20 tahun terakhir, kepemilikan media konvensional dan digital di Indonesia dipandang strategis, bukan semata-mata untuk tujuan bisnis murni tapi juga politik praktis. </p>
<p>Media, terutama televisi dan media digital terafiliasi, milik politikus digunakan sebagai alat kampanye politik selama pemilihan umum (pemilu), termasuk Pemilu 2014 dan 2019. </p>
<p>Merespons isu ini, <a href="https://pr2media.or.id/publikasi/kepemilikan-dan-afiliasi-politik-media-di-indonesia/">riset terbaru kami</a> memotret kondisi aktual kepemilikan media serta menyelidiki hubungan antara pemilik media dan struktur politik (pemerintah, parlemen, dan partai politik). </p>
<p>Riset ini dibuat dengan harapan bisa membantu pembuat kebijakan, pekerja dan aktivis media, dan masyarakat sipil dalam memahami interelasi media dan politik praktis yang akan berimplikasi pada kontestasi dalam Pemilu 2024 yang akan diselenggarakan kurang dari sepekan lagi.</p>
<p>Riset ini menunjukkan adanya bentuk-bentuk kepemilikan media dan afiliasi politik praktis yang kompleks. Kepemilikan dan hubungan itu diduga kuat menabrak regulasi media pers, penyiaran, dan keterbukaan informasi publik.</p>
<h2>Empat model afiliasi</h2>
<p>Dalam menyusun riset ini, kami terinspirasi buku klasik <a href="https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=yImpBgAAQBAJ&oi=fnd&pg=PT7&dq=Rich+Media,+Poor+Democracy:+Communication+Politics+in+Dubious+Times+Paperback&ots=aJgSOWqkoW&sig=vie9TpQzHhZA4mKtKCTUDJiNRSY&redir_esc=y#v=onepage&q=Rich%20Media%2C%20Poor%20Democracy%3A%20Communication%20Politics%20in%20Dubious%20Times%20Paperback&f=false">Rich Media Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times (1999)</a> karya Robert McChesney. Buku ini kami pakai karena bisa membantu menjelaskan fenomena interkoneksi antara kepemilikan media dan perpolitikan Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. </p>
<p>Dengan mengambil latar di Amerika Serikat (AS) dalam era media konvensional, McChesney mensinyalir jumlah media komersial yang tak terhingga, angkanya tidak bisa lagi dihitung, tetapi kontribusinya terhadap demokrasi sangat minimal. Pascadisrupsi digital, situasi serupa berlanjut, dan bukannya memberi optimisme atas demokrasi elektoral, tetapi mengancam dan memicu kemunduran demokrasi. </p>
<p>Temuan hampir serupa muncul dalam riset terbaru kami yang datanya diambil di Jakarta dalam periode November 2022 hingga September 2023. Data riset ini digali lewat focused group discussion (FGD) dan wawancara mendalam dengan para <em>stakeholder</em> media dan penyelenggara pemilihan umum seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), organisasi jurnalis, akademisi komunikasi, dan wakil organisasi masyarakat. Data-data primer ini didukung dengan data sekunder yang berupa analisis dokumen legal perusahaan pers.</p>
<p>Data riset kami menunjukkan bahwa salah satu masalah mendasar yang mengancam demokrasi khususnya pemilu adalah kepemilikan media yang terkonsentrasi di segelintir pengusaha yang sekaligus menjadi pemilik/pengurus partai politik. </p>
<p>Mengenai analisis kepemilikan media ini, terdapat beragam pendekatan dan konsep. Konsep kepemilikan bisnis media yang digunakan dalam riset ini diadaptasi dari pemikiran Gillian Doyle dalam publikasinya <a href="https://sk.sagepub.com/books/media-ownership"><em>Media Ownership</em> (2002)</a>; dan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0267323121999523"><em>Media Ownership Transparency in Europe: Closing the Gap between European Aspiration and Domestic Reality (2021)</em> </a> dari Rachael Craufurd Smith, di antaranya: horizontal (satu platform banyak saluran), vertikal (bisnis media dari hulu ke hilir), diagonal (campuran horizontal dan vertikal) dan konglomerasi: lintas usaha.</p>
<p>Dalam mencermati kepemilikan, kami menggunakan dua pintu masuk: uang (saham pada media) dan posisi kekuasaan dalam struktur media.</p>
<p>Adapun konsep afiliasi politik dapat dilihat dalam dua sisi: (1) afiliasi langsung, yakni pemilik atau pengelola media sekaligus merupakan pejabat publik, calon atau anggota parlemen (DPR, DPR, DPD) dan pengurus partai politik. (2) Afiliasi tidak langsung, yakni para pekerja media terhubung kepada partai politik, pejabat pemerintah, anggota DPR, tim sukses, calon anggota legislatif, tim ahli, dan konsultan.</p>
<p>Dengan konsepsi ini dan data-data di lapangan, kami mengembangkan empat tingkatan konseptual afiliasi media dan politik di Indonesia. </p>
<p><em>Pertama</em>, afiliasi ekstrem yang muncul ketika pemilik media dan keluarganya (pemegang saham-komisaris-direksi) sekaligus menjadi ketua partai, calon legislatif (caleg) atau anggota parlemen pusat atau daerah, kepala pemerintahan pusat atau daerah. </p>
<p>Contoh paling jelas dari tipe ini adalah <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Hary_Tanoesoedibjo">Hary Tanoesoedibjo</a>. Pada sisi media, dia merangkap pemilik (pemegang saham) MNC group, direktur utama (memimpin operasional). Sementara, dari sisi politik, dia menjadi Ketua Umum Perindo, sekaligus menjadi caleg DPR. </p>
<p>Pada saat yang sama, Hary memiliki anak perempuan,<a href="https://www.linkedin.com/in/angela-tanoesoedibjo-1404b978/?originalSubdomain=id"> Angela Tanoesoedibjo</a>, yang menjadi Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pada perhelatan Pemilu 2024 ini, <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230824182909-617-990147/hary-tanoe-sekeluarga-maju-caleg-dpr-dari-perindo">seluruh keluarga inti Hary Tanoesoedibjo</a> juga maju menjadi calon anggota DPR dari berbagai daerah pemilihan.</p>
<p>Di luar keluarga, hasil wawancara riset ini juga menunjukkan bahwa Hary aktif mengimbau karyawannya untuk maju sebagai calon legislatif. </p>
<p>Dari temuan data ini, dapat dikatakan bahwa Hary Tanoesoedibjo memiliki interkoneksi media dan politik praktis yang nyaris paripurna. Ia memegang kendali banyak media, memiliki satu partai, punya anak yang duduk di pemerintahan, dan berpotensi duduk di parlemen (jika terpilih). Model ini barangkali hanya ada di Indonesia.</p>
<p><em>Kedua</em> adalah afiliasi kuat. Afiliasi ini muncul ketika seseorang berposisi sebagai komisaris di media sekaligus pengurus partai, calon atau anggota parlemen, kepala pemerintahan pusat atau daerah. </p>
<p>Contohnya adalah <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Surya_Paloh">Surya Paloh</a> (SP). SP adalah pemilik Media Group (dengan saham mayoritas sekaligus direktur utamanya). Dia juga Ketua Umum Partai Nasdem. Anaknya, Prananda Surya Paloh, menjadi Ketua Pemenangan Pemilu Partai Nasdem dan juga anggota DPR periode 2019-2024. Prananda kini maju kembali di Pemilu 2024. </p>
<p>Partai milik SP, Nasdem, juga menempatkan tiga Menteri dalam kabinet Jokowi selama dua periode: Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate; Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, dan; Menteri Pertanian Syahru Yasin Limpo. </p>
<p><em>Ketiga</em> adalah bentuk afiliasi moderat. Afiliasi ini teridentifikasi ketika seseorang menjabat direksi di media sekaligus pengurus partai, calon atau anggota parlemen, kepala pemerintahan pusat atau daerah. </p>
<p>Contoh model ini adalah <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Syafril_Nasution">Syafril Nasution</a>. Dia menjabat sekretaris perusahaan Media Nusantara Citra (MNC), Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) 2019-2022, dan kini menjadi caleg Perindo daerah pemilihan Jawa Tengah 1. Selain itu, Syafril juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Perindo.</p>
<p><em>Keempat</em> adalah afiliasi lemah. Afiliasi ini muncul ketika jurnalis atau editor media menjadi caleg, anggota parlemen, atau pengurus partai. Pada hasil penelitian, jurnalis tingkat nasional yang menjadi caleg antara lain adalah <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Aiman_Witjaksono">Aiman Witjaksono.</a> Selain menjadi jurnalis di MNC Group, Aiman juga maju calon DPR lewat Partai Perindo. </p>
<p>Dalam wawancara riset ini, Aiman menyatakan keputusannya pindah dari Kompas TV ke MNC Group salah satunya juga karena adanya peluang berkiprah di dunia politik. Aiman dalam <a href="https://pr2media.or.id/publikasi/kepemilikan-dan-afiliasi-politik-media-di-indonesia/">wawancara</a> mengatakan “Jadi di sini (MNC Group) saya lihat, saya bisa masuk ke media di mana saya juga bisa berkiprah di partai politik. Tapi, bukan mencampuradukkan keduanya.” </p>
<p>Di luar Aiman, penelitian kami juga menunjukkan bahwa ada beberapa jurnalis senior di berbagai provinsi di Indonesia yang maju menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2024. Dampaknya, media-media tempat mereka bekerja menunjukkan keberpihakan kepada partai politik atau figur politik tertentu lewat berita. </p>
<p>Menarik diperhatikan, bahwa empat model ini tidak terjadi pada grup media berskala nasional lainnya, seperti EMTEK, Grup Kompas Gramedia, Jawa Pos Group, Berita Satu Media Holding, CT. Corps, dan TEMPO Media Group.</p>
<h2>Perlu perubahan peraturan</h2>
<p>Riset ini mengonfirmasi adanya kompleksitas masalah kepemilikan media dan afiliasi politik. Hal ini menjadi peringatan pada tiga pihak: regulator media, regulator terkait pemilu, dan regulator terkait persaingan usaha di Indonesia. </p>
<p>Untuk memitigasi isu ini, kami menyampaikan rekomendasi reformasi kebijakan terkait kepemilikan media, afiliasi media dan jurnalis ke dalam struktur politik. Reformasi kebijakan ini penting untuk mewujudkan pemilu yang adil dan sehat ke depan. </p>
<p>Pada konteks kepemilikan media, sebenarnya sudah ada dua aturan pembatasan kepemilikan, yakni (1) pelarangan kepemilikan oleh pemerintah dan warga negara asing dan (2) pembatasan <em>cross ownership</em> di UU Penyiaran. </p>
<p>Menurut kami, masih perlu adanya penambahan aturan di UU, berupa pembatasan kepemilikan media oleh politikus, pejabat pemerintah atau pengurus partai politik (secara langsung atau tidak langsung).</p>
<p>Kita juga perlu mendorong revisi aturan partisipasi politik di UU Pemilu, khususnya kandidasi dalam kepemiluan demi menjaga independensi media dan jurnalis. Pelarangan jurnalis saja menjadi caleg tidak cukup dan tidak adil. Pelarangan terjun ke politik elektoral juga harus melingkupi para pemilik saham dan pejabat tinggi media juga.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/221593/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Masduki menerima dana dari USAID melalui Internews untuk riset ini.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Muhammad Alzaki Tristi menerima dana dari USAID melalui Internews untuk riset ini</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Paulus Angre Edvra menerima dana dari USAID melalui Internews untuk riset ini</span></em></p>Riset ini mengkonfirmasi adanya kompleksitas masalah kepemilikan media dan afiliasi politik.Masduki, Pengajar dan Peneliti Kebijakan Media di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII) YogyakartaMuhammad Alzaki Tristi, Researcher, PR2MediaPaulus Angre Edvra, Asisten Peneliti, PR2MediaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1944492022-11-14T02:06:45Z2022-11-14T02:06:45ZApakah penurunan demokrasi global terkait dengan media sosial? Kami menyisir bukti untuk mencari tahu<p>Ada dua pola pikir umum tentang demokrasi di era <em>online</em>. Pertama, internet adalah <a href="https://dx.doi.org/10.1353/jod.2017.0064">teknologi pembebasan</a> dan akan membawa kita ke era demokrasi global. Kedua, kita dapat memilih antara ikut bermedia sosial atau hidup berdemokrasi, tetapi <a href="https://www.nytimes.com/2021/01/29/opinion/sunday/facebook-surveillance-society-technology.html">tidak bisa keduanya</a> sekaligus.</p>
<p>Mana yang lebih benar? Tidak diragukan bahwa demokrasi di seluruh dunia kini <a href="https://www.v-dem.net/documents/19/dr_2022_ipyOpLP.pdf">sedang mengalami kemunduran</a>. Bahkan negara-negara yang selama ini demokrasinya kita anggap stabil baru-baru ini mengalami peristiwa yang sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi dan supremasi hukum, seperti <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Penyerbuan_Gedung_Kapitol_2021#:%7E:text=Pada%206%20Januari%202021%2C%20pendukung,dalam%20pemilihan%20umum%20presiden%202020.">serangan kekerasan di US Capitol</a>, gedung Kongres Amerika Serikat (AS), pada tahun 2021.</p>
<p>Untuk memahami peran media sosial dalam proses kemunduran demokrasi ini, kami melakukan <a href="https://doi.org/10.1038/s41562-022-01460-1">tinjauan menyeluruh</a> terhadap sejumlah bukti yang menghubungkan media sosial dengan sepuluh indikator kesejahteraan demokratis (<em>democratic wellbeing</em>). Indikator tersebut adalah partisipasi politik, pengetahuan, kepercayaan, paparan berita, ekspresi politik, kebencian, polarisasi, populisme, struktur jaringan, dan misinformasi.</p>
<p>Kami meninjau hampir 500 studi yang meliputi berbagai platform dan berbagai negara di seluruh dunia, dan menemukan beberapa pola besar yang muncul. Penggunaan media sosial ternyata berkorelasi dengan peningkatan keterlibatan politik, peningkatan polarisasi, populisme, dan ketidakpercayaan pada institusi.</p>
<h2>Bukti yang beragam</h2>
<p>Kajian kami lebih menekankan pada penelitian yang membangun hubungan sebab akibat antara media sosial dan indikator kesejahteraan demokratis, bukan hanya korelasi.</p>
<p>Sekadar membahas korelasinya memang menarik, tetapi ini tidak dapat membuktikan apakah suatu hal, peristiwa, atau pola, benar-benar disebabkan oleh penggunaan media sosial atau tidak.</p>
<p>Misalnya, kita menemukan adanya hubungan antara penggunaan media sosial dan ujaran kebencian. Ini karena orang yang melontarkan ujaran kebencian ternyata memang lebih banyak menggunakan media sosial, bukan karena penggunaan media sosial itu memicu ujaran kebencian.</p>
<p>Hubungan sebab akibat dapat dibangun dengan beberapa cara, misalnya melalui eksperimen lapangan skala besar. Peserta eksperimen bisa kita minta untuk <a href="https://doi.org/10.1016/j.chb.2020.106332">mengurangi penggunaan Facebook menjadi 20 menit per hari</a> atau <a href="https://dx.doi.org/10.1257/aer.20190658">tidak menggunakannya sama sekali</a> selama sebulan. Dua cara itu terbukti bisa meningkatkan kesejahteraan, bahkan tidak menggunakan Facebook sama sekali bisa mengurangi polarisasi politik secara signifikan.</p>
<h2>Makin terlibat, makin terpolarisasi</h2>
<p>Kami menemukan bahwa dari 496 studi yang kami kaji – yang sebagian besar bersifat korelasi ketimbang hubungan sebab akibat – ada efek positif maupun negatif. Seperti yang sering terjadi dalam sains, polanya memang rumit tetapi masih bisa kita tafsirkan.</p>
<p>Sisi positifnya, kami menemukan penggunaan media digital berhubungan dengan keterlibatan politik yang lebih tinggi dan paparan terhadap berita yang lebih beragam. <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1461444819828718">Satu studi di Taiwan</a> menemukan bahwa penggunaan media sosial yang berorientasi informasi dapat meningkatkan partisipasi politik. Namun, ini hanya terjadi jika penggunanya percaya bahwa aktivitas <em>online</em> individu dapat mempengaruhi situasi politik.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/clickbait-extremism-mass-shootings-and-the-assault-on-democracy-time-for-a-rethink-of-social-media-187176">Clickbait extremism, mass shootings, and the assault on democracy – time for a rethink of social media?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sisi negatifnya, kami menemukan banyak bukti bahwa media sosial dapat mendorong polarisasi dan populisme, serta mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi negara. Efeknya terhadap tingkat kepercayaan pada institusi dan media sangat terasa. Selama pandemi, penggunaan media digital <a href="https://www.mdpi.com/2076-393X/9/6/593">berkaitan</a> dengan keraguan masyarakat terhadap vaksin COVID-19.</p>
<p>Dampak negatif lainnya dari penggunaan media sosial, dalam berbagai konteks politik dan di berbagai platform, adalah meningkatnya polarisasi politik.</p>
<p>Kami menemukan bahwa peningkatan polarisasi berkaitan dengan paparan informasi di media sosial yang menyajikan berbagai sudut pandang yang berlawanan. Dengan kata lain, melihat unggahan berisi pesan-pesan dari lawan politik pun tidak meredam polarisasi politik – bahkan justru membuatnya semakin intens.</p>
<h2>Berkaitan dengan kekerasan</h2>
<p>Kami juga menemukan adanya hubungan yang kuat antara penggunaan media sosial dengan populisme. Penggunaan media sosial yang lebih banyak berpengaruh pada meningkatnya perolehan suara untuk partai-partai populis.</p>
<p>Studi di Austria, Swedia dan Australia menemukan bukti adanya kaitan antara peningkatan penggunaan media sosial dan radikalisasi sayap kanan di dunia maya. Studi di Jerman dan Rusia juga membuktikan adanya hubungan sebab akibat, bahwa media digital dapat meningkatkan insiden kejahatan dan kebencian antaretnis.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/meet-breadtube-the-youtube-activists-trying-to-beat-the-far-right-at-their-own-game-156125">Meet BreadTube, the YouTube activists trying to beat the far-right at their own game</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Penelitian di Jerman, misalnya, menemukan pemadaman lokal Facebook (karena kesalahan teknis atau gangguan internet) telah menurunkan angka kekerasan di daerah tersebut. Para penelitinya <a href="https://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3082972">memperkirakan</a> dengan berkurangnya sentimen antipengungsi di media sosial sebesar 50%, insiden kekerasan berkurang sebanyak 12,6%.</p>
<p>Sebaran dampak penggunaan media sosial di seluruh dunia juga bisa terlihat. Dampak positif terkait partisipasi politik dan konsumsi informasi yang paling menonjol dapat kita temui di negara-negara demokrasi baru, seperti di Amerika Selatan, Afrika, dan Asia. Sementara dampak negatifnya lebih banyak ditemukan di negara demokrasi mapan, seperti di Eropa dan Amerika Serikat (AS).</p>
<h2>Tidak ada jawaban sederhana</h2>
<p>Jadi, kembali ke pertanyaan awal: apakah internet adalah teknologi pembebasan? Atau apakah media sosial justru tidak sejalan dengan demokrasi?</p>
<p>Jawabannya tidak sesederhana ‘ya’ atau ‘tidak’. Namun, ada bukti bahwa media digital memang mempengaruhi perilaku politik secara global. Bukti ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak buruk media sosial terhadap demokrasi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/the-digital-town-square-what-does-it-mean-when-billionaires-own-the-online-spaces-where-we-gather-182047">The 'digital town square'? What does it mean when billionaires own the online spaces where we gather?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya tidaklah bertentangan dengan demokrasi. Kesejahteraan demokratis, bagaimanapun, mengharuskan para ilmuwan mempelajari dengan cermat efek sosial dari media sosial. Pihak yang harus mengevaluasi dan mengatur dampak tersebut adalah masyarakat dan para pembuat kebijakan, bukan sekelompok kecil <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Acquisition_of_Twitter_by_Elon_Musk">orang-orang super kaya</a>.</p>
<p>Sudah ada beberapa langkah kecil namun penting untuk mengendalikan dampak buruk penggunaan media sosial. Di antaranya adalah <a href="https://ec.europa.eu/info/strategy/priorities-2019-2024/europe-fit-digital-age/digital-services-act-ensuring-safe-and-accountable-online-environment/europe-fit-digital-age-new-online-rules-platforms_en">UU Layanan Digital Uni Eropa</a> dan <a href="https://www.protocol.com/bulletins/platform-accountability-act-senate">Platform Accountability and Transparency Act (PATA)</a> yang tengah diajukan di AS, meskipun nasib peraturan ini masih belum jelas.</p>
<p><a href="https://theconversation.com/au/topics/social-media-and-society-125586" target="_blank"><img src="https://images.theconversation.com/files/479539/original/file-20220817-20-g5jxhm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=144&fit=crop&dpr=1" width="100%"></a></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/194449/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Stephan Lewandowsky menerima dana dukungan keuangan dari European Research Council (ERC Advanced Grant 101020961 PRODEMINFO), dari Yayasan Humboldt melalui penghargaan penelitian, Yayasan Volkswagen, Yayasan John Templeton, dan dari Komisi Eropa (berupa dana hibah Horizon 2020 964728 JITSUVAX). Ia juga menerima dana dari Jigsaw (inkubator teknologi yang dibuat oleh Google) serta dari Badan Riset dan Inovasi, pemerintah Inggris (melalui Center of Excellence, REPHRAIN). Beliau sering berkolaborasi dengan peneliti di Pusat Penelitian Gabungan Komisi Eropa (Joint Research Center of the European Commission).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Lisa Oswald menerima dana dari Yayasan Beasiswa Akademik Jerman (German Academic Scholarship Foundation).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Philipp Lorenz-Spreen menerima dana dari Volkswagen Foundation. Beliau adalah salah satu anggota jajaran dewan dari lembaga non-profit Prosocial Design Network. Ia kerap berkolaborasi dengan para peneliti di Pusat Penelitian Bersama Komisi Eropa (Joint Research Centre of the European Commission).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Ralph Hertwig menerima dana dari Volkswagen Foundation dan Komisi Eropa (hibah HORIZON 2022 GA 101094752). Beliau aktif berkolaborasi dengan para peneliti di Pusat Penelitian Bersama Komisi Eropa (Joint Research Centre of the European Commission).</span></em></p>Internet dianggap sebagai teknologi pembebasan dan dituduh merusak demokrasi. Penelitian menunjukkan anggapan dan tuduhan tersebut ada benarnya.Stephan Lewandowsky, Chair of Cognitive Psychology, University of BristolLisa Oswald, Doctoral researcher in computational social science, Hertie SchoolPhilipp Lorenz-Spreen, Research Scientist, Center for Adaptive Rationality, Max Planck Institute for Human DevelopmentRalph Hertwig, Director, Center for Adaptive Rationality, Max Planck Institute for Human DevelopmentLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1873742022-08-05T06:21:35Z2022-08-05T06:21:35ZLanggengnya akun-akun ‘kampus cantik’: gejala pendisiplinan tubuh perempuan di tengah pendidikan tinggi Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/477799/original/file-20220805-1342-ecqjm8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(The Conversation/Wes Mountain)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Sejak beberapa tahun lalu, unggahan foto mahasiswi oleh berbagai akun ‘kampus cantik’ hadir di media sosial dan senantiasa mengundang kontroversi.</p>
<p>Berbagai diskusi mengkritik fenomena ini – dari masalah <a href="https://magdalene.co/story/akun-akun-mahasiswi-cantik-raup-untung-dari-objektifikasi-perempuan">komodifikasi dan komersialisasi konten</a> oleh akun kampus cantik hingga <a href="https://www.anakui.com/masuk-ui-cantik-malah-jadi-musibah-yuk-dengerin-curhatan-mereka-yang-fotonya-pernah-dicomot-akun-ini-bincang-ui-2/">pelanggaran privasi</a> yang kerap terjadi. </p>
<p>Misalnya, selama ini tak jarang akun-akun kampus cantik tersebut memuat foto <a href="https://www.instagram.com/p/Cfn-4nAvP5Z/?utm_source=ig_web_copy_link">tanpa persetujuan</a> mahasiswi yang bersangkutan.</p>
<p>Tapi, bukannya menutup akun, di tengah badai kritik ini banyak dari mereka yang sekadar mengunci profil sehingga tak mudah diakses publik. Akun <a href="https://www.instagram.com/uicantikid/">@uicantikid</a>, misalnya, bersifat privat dan hingga kini punya lebih dari 220 ribu pengikut, serta banyak memanfaatkan tagar agar publik bisa menemukan sejumlah besar foto mahasiswi.</p>
<p>Mereka tidak hilang, malah semakin tersembunyi dari pengawasan publik.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=292&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=292&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=292&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=367&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=367&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=367&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Akun-akun ‘kampus cantik’ yang memiliki banyak pengikut dan mengunci profil tidak hilang dari media sosial, dan justru makin tersembunyi dari pengawasan publik.</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dalam kacamata kami, akun-akun ini merupakan wujud praktik pendisiplinan tubuh perempuan yang membentuk sebuah <a href="https://genderlitutopiadystopia.fandom.com/wiki/Definition_of_Hegemony">hegemoni (kekuatan dominan)</a> atas gender di lingkungan kampus. </p>
<p>Untuk mendalaminya, kami mengumpulkan data secara daring menggunakan perangkat lunak analisis NVivo (NCapture) untuk memahami diskursus yang terjadi pada beberapa akun kampus cantik. Kami juga melakukan wawancara dengan beberapa mahasiswa dan alumni perguruan tinggi negeri mengenai persepsi mereka terhadap akun-akun ini.</p>
<p>Meski tak dapat digunakan sebagai generalisasi fenomena kampus cantik, studi kami menemukan kentalnya budaya objektifikasi perempuan – baik dari mahasiswa laki-laki atau perempuan, atau bahkan kampus melalui pembiaran. Ini terjadi di lingkungan pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi ruang kritis.</p>
<h2>Pendisiplinan tubuh perempuan lewat <em>male gaze</em></h2>
<p>Pakar teori film Laura Mulvey memperkenalkan konsep <a href="https://www.filminquiry.com/film-theory-basics-laura-mulvey-male-gaze-theory/">‘<em>male gaze</em>’</a> untuk menggambarkan bagaimana laki-laki menggunakan sudut pandangnya untuk menciptakan wacana tentang perempuan dalam layar.</p>
<p>Wacana ini berupa citra yang dibuat untuk memenuhi kepuasan (<em>pleasure</em>) laki-laki dengan perempuan sebagai objek. Dalam <em>male gaze</em> ini, laki-laki mengikat perempuan sebagai simbol untuk memenuhi fantasi seksual mereka melalui berbagai citra yang menghapus kualitas perempuan, sehingga pandangan tentang perempuan seakan hanyalah tentang tubuhnya.</p>
<p>Di sini, akun kampus cantik memangkas perempuan menjadi ‘seonggok daging’. Tapi, pada saat yang sama, mereka juga melatih perempuan lain <a href="https://dbpedia.org/page/Phallogocentrism">menormalisasi sudut pandang</a> yang menempatkan mereka sendiri sebagai objek pemuas seks.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Fenomena akun kampus cantik adalah gejala budaya ‘<em>male gaze</em>’ di lingkup pendidikan tinggi.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Andy Simmons)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nd/4.0/">CC BY-ND</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Hal tersebut konsisten dengan data dalam studi ini. Baik laki-laki maupun perempuan memanfaatkan ruang yang disediakan akun kampus cantik untuk mereduksi keberadaan perempuan, sekaligus meminggirkan narasi tentang kemampuan akademik mereka. </p>
<p>Dulu kita menyalahkan media massa yang menyuguhkan konten-konten yang sesuai kepentingan mereka, termasuk konsep <em>sex sells</em> (seks itu menjual). Pada era digital, yang harapannya bisa mengangkat martabat perempuan, ternyata tak jauh berbeda dengan masa pra-digital. </p>
<p>Beragam komentar dari pengunjung laki-laki – seperti ‘<em>cantiknya</em>’, ‘<em>sensual banget</em>’, ‘<em>trauma sama yang tepos lur</em>’, ‘<em>angan-angan yang terlalu tinggi buatku yang ga sampai 170cm</em>’, ‘<em>dah kek tante aja</em>’, hingga ‘<em>cantik sama seksi beda ga bosque</em>?’ – menghiasi kolom komentar akun kampus cantik.</p>
<p>Sementara komentar dari pengunjung perempuan memperlihatkan bagaimana banyak dari mereka sendiri menormalisasi cara pandang tersebut. Tanpa sadar, perempuan menginternalisasi <em>male gaze</em> untuk memangkas keberadaan mahasiswi lain dengan berpartisipasi melalui komentar yang fokus pada penampilan.</p>
<p>Bagi saya, para perempuan ini seakan ‘meminjam mata laki-laki’ untuk mengobjektifikasi mahasiswi lain. </p>
<p>Ini memperlihatkan bagaimana laki-laki tak hanya berhasil menggunakan cara pandang mereka untuk mendisiplinkan tubuh perempuan. Laki-laki turut melibatkan perempuan untuk menciptakan sistem agar pendisiplinan tubuh perempuan terus berjalan. </p>
<h2>‘Rumah kenikmatan’ yang melanggengkan eksploitasi</h2>
<p>Fenomena akun kampus cantik mengingatkan saya juga pada buku <a href="https://archive.org/details/prostitutionofse00barrrich/page/n11/mode/2up"><em>The Prostitution of Sexuality</em></a>.</p>
<p>Sosiolog Kathleen Barry, sang penulis, menekankan segala praktik yang mereduksi perempuan sekadar jadi ‘seonggok daging’ adalah bentuk eksploitasi seksual. Akun kampus cantik, sebagai wacana maskulinitas, memajang wajah dan tubuh perempuan sebagai pusat perhatian di medsos, layaknya objek dalam etalase atau katalog.</p>
<p>Praktik tersebut menunjukkan adanya <a href="https://www.instagram.com/p/CeiuPHzBt_I/?utm_source=ig_web_copy_link">seksualisasi besar-besaran</a> terhadap mahasiswi. Kondisi ini pun didorong karakter media sosial yang memungkinkan terjadinya interaksi antar-partisipan, sehingga mereka sekaligus dapat membangun jejaring. </p>
<p>Pengunjung akun kampus cantik – yang mayoritasnya laki-laki – tak hanya menikmati atau memilah gambar tertentu, tapi juga dapat mencari, mengunduh, mengunggah, membandingkan, melakukan penilaian (<em>love</em> atau <em>rating</em>), dan memberi komentar. Berbagai aktivitas ini memudahkan pengunjung untuk semakin mengeksploitasi perempuan.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=344&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=344&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=344&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=433&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=433&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=433&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Akun kampus cantik memajang wajah dan tubuh perempuan sebagai pusat perhatian di medsos, layaknya objek dalam etalase atau katalog.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Flickr/Andrea44)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Wawancara kami dengan beberapa alumni kampus negeri memperlihatkan adanya beragam praktik kenikmatan laki-laki terkait foto mahasiswi dalam akun kampus cantik. Ini mulai dari sekadar kenikmatan melihat (<em>visual pleasure</em>) sampai kenikmatan seksual (<em>sexual pleasure</em>).</p>
<p>“<em>Awalnya cuma buat liat-liat, lama-lama buat bahan coli</em>,” ungkap salah satu responden.</p>
<p>Hasil wawancara ini konsisten dengan data yang kami tarik dari akun-akun tersebut. Kebanyakan komentar laki-laki yang kami kumpulkan mayoritas meminta nomor kontak WhatsApp, atau akun Instagram dan Twitter sang mahasiswi. Beberapa laki-laki nekat memberikan nomor kontak di kolom komentar dengan harapan mahasiswi yang dituju menghubungi nomor tersebut.</p>
<p>Komentar yang muncul menggambarkan bagaimana laki-laki mengkonstruksi seksualitas perempuan sebagai aset yang dapat diakses secara acak, gratis, dan semena-mena.</p>
<p>Simak saja komentar seperti ‘<em>yang kek gini nih bikin pengen kuliah offline</em>’, ‘<em>dijadiin bini seer nih</em>’, ‘<em>gemesin dan bikin ah sudahlah</em>’, hingga ‘<em>berapa semalam?</em>’.</p>
<p>Akun-akun kampus cantik ini berperan jadi suatu <a href="https://archive.org/details/prostitutionofse00barrrich/page/n11/mode/2up">‘rumah kenikmatan’ (<em>house of pleasure</em>)</a> – tempat untuk memangkas dan memarginalisasi peran seksual, sosial, dan politik perempuan. Sementara, industri dan media sosial berperan sebagai fasilitator kekuasaan patriarki yang mememberikan ruang seluas-luasnya bagi kenikmatan laki-laki.</p>
<h2>Institusi pendidikan, kekuasaan simbol, dan hegemoni</h2>
<p>Studi kecil yang kami lakukan menunjukkan bagaimana masyarakat – tak terkecuali mahasiswa laki-laki dan perempuan – melanggengkan budaya pendisiplinan tubuh perempuan, bahkan di lingkungan pendidikan tinggi. </p>
<p>Padahal, ada banyak sarjana, terutama feminis, yang menaruh harapan besar pada lembaga pendidikan tinggi untuk memberdayakan civitasnya. </p>
<p>Pembiaran penggunaan logo institusi pendidikan oleh akun kampus cantik juga tidak dapat dianggap sepele. Di balik setiap logo perguruan tinggi tersemat wacana kekuasaan yang bisa masyarakat artikan sebagai ‘legitimasi’ atas praktik objektifikasi dan pelanggaran privasi terhadap perempuan.</p>
<p>Sayangnya, belum ada kampus yang menyatakan keberatan secara resmi. Harus diakui, seringkali langkah ini adalah sesuatu yang mereka anggap dilematis. Mereka kerap menimbang antara ‘menjaga reputasi nama baik lembaga’ yang sudah dikenal, dengan komitmen untuk melindungi mahasiswi dari pencurian data dan eksploitasi. </p>
<p>Mereka lupa bahwa pembiaran ini pada akhirnya akan menormalisasi eksploitasi seksualitas perempuan.</p>
<p>Praktik-praktik akun cantik juga akan menjadi sebuah ladang yang menyuburkan praktik <a href="https://plato.stanford.edu/entries/beauvoir/#Bib">peliyanan (<em>othering</em>)</a> terhadap mahasiswi dan akademisi perempuan: apapun pencapaian mereka secara akademik, perempuan lahir hanya untuk menjadi objek seksual dan pemuas laki-laki. </p>
<p>Kampus seharusnya adalah lembaga yang yang memberi ruang sebesar-besarnya pada kemampuan akademis, bukan menyuburkan praktik yang memangkas keberadaan perempuan menjadi sebatas objek pemuas seksualitas laki-laki.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/187374/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Akun-akun ‘kampus cantik’ merupakan gejala budaya pendisiplinan tubuh perempuan di lingkungan kampus, tempat yang seharusnya menjadi ruang kritis.Endah Triastuti, Lecturer, Researcher, Universitas IndonesiaBilly Sarwono, Guru Besar di bidang Ilmu Komunikasi dan Gender, FISIP Universitas Indonesia, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1697382021-10-12T08:55:09Z2021-10-12T08:55:09ZMenumbuhkan benih sains: mengumpamakan informasi sebagai kebun dalam mengatasi misinformasi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/425880/original/file-20211012-13-2ess3v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C3982%2C2521&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pengunjuk rasa menolak kewajiban vaksin di Kosta Rika.</span> <span class="attribution"><span class="source">Jeffrey Arguedas/EPA</span></span></figcaption></figure><p>Lebih dari <a href="https://ourworldindata.org/covid-vaccinations">47%</a> penduduk dunia - dan lebih dari <a href="https://nasional.kontan.co.id/news/indonesia-sudah-menyuntikkan-15243-juta-dosis-vaksin-covid-19-hingga-7-oktober">45%</a> penduduk Indonesia - telah menerima dosis pertama vaksin COVID-19; perlahan kita menuju <em>herd immunity</em>. </p>
<p>Sayangnya, laju yang baik ini dapat terganggu akibat misinformasi terkait vaksin yang membuat sebagian orang <a href="https://theconversation.com/27-penduduk-indonesia-masih-ragu-terhadap-vaksin-covid-19-mengapa-penting-meyakinkan-mereka-150172">enggan divaksin</a>.</p>
<p>Saat kita berusaha mengatasi masalah misinformasi vaksin dan seringkali tidak berhasil. Ini karena keengganan menerima vaksin, seperti halnya semua masalah misinformasi, adalah masalah kompleks. Untuk mengatasinya, kita perlu memikirkan bermacam pengaruh faktor berbeda yang bersifat sistemik dan saling terkait. Kita bisa mengatakan masalah ini <a href="https://theconversation.com/how-to-address-coronavirus-misinformation-spreading-through-messaging-apps-and-email-134310">bersifat ekologis</a>.</p>
<p>Kita hidup di lingkungan informasi yang semakin kompleks dan terpengaruh oleh sistem-sistem dan proses-proses dinamis yang beririsan. Berkebun bisa jadi sebuah perumpamaan yang baik untuk memahami bagaimana misinformasi bisa dilihat sebagai bagian dari <a href="https://mitpress.mit.edu/books/you-are-here">ekosistem informasi</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/27-penduduk-indonesia-masih-ragu-terhadap-vaksin-covid-19-mengapa-penting-meyakinkan-mereka-150172">27% penduduk Indonesia masih ragu terhadap vaksin COVID-19, mengapa penting meyakinkan mereka</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Menabur benih sains vaksin</h2>
<p>Dalam metafora berkebun ini, benih pengetahuan adalah sains soal vaksin. Dan benih ini bisa dipengaruhi berbagai faktor.</p>
<p>Keyakinan dan pengetahuan individu adalah tanah di kebun yang harus subur agar benih bisa mengakar. Di dalam ekologi informasi, tingkat kesuburan tanah untuk menumbuhkan gagasan tentang keamanan dan keefektifan vaksin bergantung pada <a href="https://doi.org/10.1037/xlm0000977">sejarah dan pengalaman individu</a>, <a href="https://doi.org/10.37016/mr-2020-020">pendidikan</a>, <a href="https://coinform.eu/wp-content/uploads/2019/12/Understanding-the-Role-of-Human-Values-in-the-Spread-of-Misinformation.pdf">nilai-nilai yang dianut</a> and <a href="https://doi.org/10.1111/pops.12494">perspektif hidup</a></p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Woman sits with hands over her ears as megaphone, cell phone, 2 laptops, 2 iPads are thrust in her face" src="https://images.theconversation.com/files/404364/original/file-20210603-15-n46u22.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=30%2C0%2C5080%2C3402&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/404364/original/file-20210603-15-n46u22.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/404364/original/file-20210603-15-n46u22.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/404364/original/file-20210603-15-n46u22.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/404364/original/file-20210603-15-n46u22.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/404364/original/file-20210603-15-n46u22.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/404364/original/file-20210603-15-n46u22.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sebagian besar upaya menangkal misinformasi cenderung menyasar individu pengguna informasi atau platform media sosial.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kelompok masyarakat dan hubungan dalam masyarakat adalah pengunjung kebun yang baik atau berbahaya (misalnya serangga yang membantu penyerbukan atau justru hama). Pengunjung ini menentukan apakah tanaman bisa tumbuh dan berkembang. <em>Influencer</em> bisa menjadi serangga baik atau jahat yang bisa <a href="https://doi.org/10.7202/1060911ar">membantu atau menghalangi informasi vaksin</a>.</p>
<p>Peraturan dan kebijakan pemerintah adalah tukang kebun yang membantu menyingkirkan tanaman pengganggu sebelum mengakar di tanah. Kebijakan yang memandu bagaimana media sosial seharusnya <a href="http://doi.org/10.5325/jinfopoli.10.2020.0276">merespon misinformasi</a> atau yang mempengaruhi <a href="https://doi.org/10.1207/s14241250ijmm0802_2">konsolidasi media</a> penting dalam menyingkirkan gulma misinformasi dalam ekologi informasi.</p>
<p>Kebijakan yang <a href="https://doi.org/10.1037/0003-066X.56.6-7.477">memperkuat atau melemahkan pendidikan publik</a> juga berperan. Warga negara perlu memiliki pemahaman yang baik tentang sains dan memiliki akses pada media yang menyediakan informasi terbaik tentang vaksin.</p>
<p>Terakhir, budaya adalah matahari dan hujan yang melingkupi kita semua dan dapat membantu informasi tumbuh subur, atau membuat informasi kering dan rentan terhadap misinformasi. Ide-ide budaya seperti “<a href="https://doi.org/10.1080/21689725.2018.1460215">pasar gagasan</a>” - asumsi bahwa kompetisi informasi selalu membuat gagasan yang paling baik saja yang mampu bertahan - justru dapat menyediakan lahan subur bagi pertumbuhan misinformasi.</p>
<p>Dalam perumpamaan ini, misinformasi adalah spesies perusak. Misinformasi dapat mengakar jika menemukan kondisi yang cocok, dan lalu sulit sekali dihilangkan.</p>
<h2>Mempertimbangkan keseluruhan lingkungan informasi</h2>
<p>Upaya menangkal misinformasi cenderung menyasar <a href="https://theconversation.com/how-canadians-can-use-social-media-to-help-debunk-covid-19-misinformation-155653">individu pengguna informasi atau platform media sosial</a>. Upaya ini berharap orang-orang akan menolak misinformasi ketika mereka menjumpainya, menekankan pada literasi informasi dan digital individu, dan fokus pada perbaikan teknis yang bisa dilakukan oleh platform untuk menghentikan penyebaran misinformasi.</p>
<p>Upaya semacam ini jelas penting, namun tanpa upaya yang berbasis pemerintah dan budaya, maka solusi individual dan platform jadi kurang efektif - kita perlu semua bagian dari ekosistem informasi untuk bergerak bersama.</p>
<p>Kembali pada metafora berkebun tadi, jika kita punya tanah yang baik dan serangga yang berguna, tapi tanpa tukang kebun untuk mencabut gulma, tanpa matahari atau air, benih kita tidak akan tumbuh.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Graphic depicting COVID misinformation. Woman sits in front of big TV man holds sign reading fake news" src="https://images.theconversation.com/files/404368/original/file-20210603-25-13br6y5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/404368/original/file-20210603-25-13br6y5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=420&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/404368/original/file-20210603-25-13br6y5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=420&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/404368/original/file-20210603-25-13br6y5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=420&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/404368/original/file-20210603-25-13br6y5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=528&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/404368/original/file-20210603-25-13br6y5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=528&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/404368/original/file-20210603-25-13br6y5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=528&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Menumbuhkan benih kita</h2>
<p>Apa artinya ini bagi mereka yang mempelajari informasi? Ini artinya riset dan inisiatif yang menyasar psikologi dan keyakinan individu yang menggerakkan informasi harus berlanjut, seiring dengan pendekatan berbasis platform teknologi dan komunitas - misalnya <a href="https://www.scienceupfirst.com/">#ScienceUpFirst</a>, sebuah inisiatif yang mendorong ilmuwan untuk berpartisipasi dalam komunikasi publik tentang karya mereka.</p>
<p>Tapi selain taktik ini, ilmuwan dan komunikator sains yang ingin mengatasi misinformasi vaksin juga perlu melihat intervensi kebijakan dan budaya.</p>
<p>Seperti apa? Di sisi kebijakan, <a href="https://doi.org/10.37016/TASC-2021-03s">pendekatan seluruh masyarakat</a> yang ditawarkan ilmuwan sosial Joan Donovan menunjukkan bahwa kelompok masyarakat sipil dapat melawan misinformasi dengan bekerja sama dengan warga, tenaga kesehatan, dan platform teknologi.</p>
<p>Serupa dengan itu, sudah waktunya ilmuwan bekerja lebih banyak dalam memahami hubungan antara, misalnya, pendanaan sekolah dan misinformasi, atau deregulasi media dan misinformasi. Para jurnalis mengatakan mereka melihat adanya hubungan-hubungan ini, tapi yang paling penting adalah mencari cara untuk mempelajarinya.</p>
<p>Di sisi budaya, kita perlu memikirkan bagaimana kita melakukan pendekatan terhadap kerangka budaya semacam pasar gagasan. Ilmuwan perlu memperjelas peran-peran kerangka semacam ini dalam melindungi misinfomasi yang merusak.</p>
<p>Pembuat kebijakan dan jurnalis perlu membahas kebebasan berpendapat lewat cara-cara yang membuat kita mampu melawan pendapat berbahaya seperti misinformasi dan yang melecehkan. </p>
<p>Upaya ini memerlukan pemahaman dan menemukan cara yang yang lebih baik dalam mengkomunikasikan bagaimana gagasan-gagasan beririsan dengan kekuasaan dan uang - yang sudah berada di luar dikotomi “lebih banyak pendapat itu baik vs kurang pendapat itu buruk”.</p>
<p>Jika perhatian yang diberikan pada elemen individual dan platform diberikan juga pada elemen kebijakan dan kebudayaan terkait ekosistem misinformsi, maka kita akan mampu memastikan bahwa benih komunikasi sains kita akan mendapat cahaya, air, dan perawatan agar bisa subur, dan misinformasi bisa dicabut sebelum sempat berakar.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/169738/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Jaigris Hodson menerima dana dari program Social Sciences and Humanities Research Council of Canada (SSHRC) Canada Research Chairs.</span></em></p>Upaya menangkal misinformasi di level individu dan platform perlu dibarengi dengan upaya kebijakan dan kebudayaan.Jaigris Hodson, Associate Professor of Interdisciplinary Studies, Royal Roads UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1690392021-09-30T09:34:07Z2021-09-30T09:34:07ZGenerasi muda tumpuan baru untuk urai benang kusut Peristiwa ‘65<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/423994/original/file-20210930-22-1ftr1t6.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> </figcaption></figure><iframe src="https://open.spotify.com/embed/episode/1nqTH43XtSav6ZNa3CFrYA" width="100%" height="232" frameborder="0" allowtransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>
<p>Selama lebih dari lima dekade, tragedi berdarah yang menyebabkan banyak orang dibunuh, dipenjara, dan diasingkan tanpa melalui keputusan pengadilan atas dugaan keterlibatan mereka dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) belum juga mendapatkan titik terang. </p>
<p>Berbagai dokumen dan riset menunjukkan jumlah korbannya bervariasi dari <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/713677655?journalCode=cjgr20">ratusan ribu</a> hingga <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150930054754-20-81729/ypkp-65-klaim-3-juta-lebih-korban-tewas-lantaran-dituduh-pki">jutaan</a>.</p>
<p>Penyintas dan keluarga yang harus menderita karena kehilangan anggota keluarga mereka atau harus berpisah secara paksa masih menunggu keadilan yang tidak kunjung datang. </p>
<p>Di episode <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=tJ8BLSjYQSuSuUt0-I8eBg&dl_branch=1">podcast <em>SuarAkademia</em></a> kali ini, kami ngobrol bersama Gloria Truly Estrelita, seorang mahasiswa doktoral dari pusat studi kajian Asia Tenggara di EHESS, Paris. Ia meneliti Peristiwa 1965 untuk disertasinya, dan mencoba membicarakan tentang upaya apa saja yang bisa kita lakukan untuk mendorong terwujudnya resolusi dan rekonsiliasi.</p>
<p>Meski menyadari bahwa upaya mencapai rekonsiliasi masih jauh, Gloria melihat ada harapan baru dari gerakan-gerakan yang dimotori oleh kaum muda untuk mendorong perubahan melalui diskusi terkait Peristiwa 1965 terutama di ruang virtual.</p>
<p>Di antaranya ada <a href="http://fis.1965.or.id/"><em>Faith in Speculation</em></a>, sebuah kartografi interaktif; <a href="https://linktr.ee/1965SetiapHari">1965 Setiap Hari</a> yang mengangkat certa-cerita terkait 1965; dan <a href="https://medium.com/ingat-65">Ingat65</a>, sebuah platform yang menyediakan ruang bagi kaum muda untuk memberikan refleksi mereka terkait Peristiwa 1965.</p>
<p>Namun, apakah gerakan-gerakan ini mampu membawa perubahan yang didambakan? </p>
<p>Simak jawabannya di episode terkini <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=tJ8BLSjYQSuSuUt0-I8eBg&dl_branch=1"><em>SuarAkademia</em></a> – ngobrol isu terkini bareng akademisi dan peneliti.</p>
<hr>
<p><em>Seperti yang juga sudah disebutkan di dalam podcast, Ika Krismantari, penulis artikel dan editor pemantik diskusi pada episode ini, adalah salah satu pendiri Ingat65</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/169039/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Di episode SuarAkademia kali ini, kami ngobrol dengan Gloria Truly Estrelita, kandidat doktor di EHESS, Paris tentang berbagai gerakan dari kaum muda untuk mendorong upaya penyelesaian Peristiwa 1965.Ika Krismantari, Chief Editor/Content DirectorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1680802021-09-28T02:38:09Z2021-09-28T02:38:09ZAgar terekam dan tak pernah mati: membawa ingatan ‘65 ke ruang virtual<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/422307/original/file-20210921-21-efgyin.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=27%2C0%2C3071%2C2045&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, tahun lalu. JSKK meminta Presiden Joko "Jokowi" Widodo segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu .</span> <span class="attribution"><span class="source"> Galih Pradipta/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Masa COVID-19 telah menunjukkan bagaimana dunia maya dan dunia fisik bukanlah dua arena yang terpisah dalam hidup dan praktik keseharian; pergerakan menolak lupa Peristiwa 1965 juga ikut berubah.</p>
<p>Perkembangan teknologi digital telah membawa pergerakan ini ke garis depan. </p>
<p>Pembatasan kegiatan di ruang fisik ternyata tidak menjadi penghalang. Keterbatasan justru mendorong aneka upaya pindah ke ruang virtual dengan beragam format. </p>
<p>Di dunia digital, penggawa-penggawa dari generasi baru Indonesia terus melanjutkan upaya menawarkan narasi alternatif dari Peristiwa 1965 dari dominasi sejarah otoriter militer. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/55-tahun-impunitas-membawa-mundur-indonesia-sejak-tragedi-1965-147181">55 tahun impunitas membawa mundur Indonesia sejak tragedi 1965</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Melawan lupa</h2>
<p>Rezim Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Soeharto melarang segala bentuk karya maupun tulisan yang berkaitan dengan pergerakan kiri di Indonesia. </p>
<p>Pemerintah Orba juga menebar propaganda dengan mengatakan bahwa segala hal yang berkaitan dengan komunis adalah haram dan sesat. Rakyat dilarang untuk mengenal apalagi mempelajari ideologi ini. </p>
<p>Pemasungan dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari pemberitaan di media massa, buku-buku, film, dan juga pendidikan formal di sekolah. </p>
<p>Inilah yang filsuf politik <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Louis_Althusser">Louis Althusser</a>, dalam bukunya yang berjudul “Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies”, sebut sebagai <em>ideological state apparatus</em>. </p>
<p>Negara menebar propaganda yang menyusup perlahan-lahan ke dalam pikiran, dan kemudian, membuat rakyat mengiyakan ideologi tersebut. </p>
<p>Melalui ideologi, negara menanamkan sikap antipati terhadap seseorang atau sekelompok orang yang dianggap mengancam kekuasaannya. Dengan cara inilah negara kemudian menghilangkan lawan politiknya.</p>
<p>Setelah Soeharto jatuh pada 1998, muncul tak sedikit pergerakan untuk merawat ingatan penangkapan dan pembunuhan massal 1965-66, seperti <a href="https://www.rappler.com/world/menolak-lupa-ingatan-museum-bergerak-1965">Museum Bergerak 65</a> di Yogyakarta, <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48985939">Komunitas Taman 65</a> di Bali, dan <a href="https://www.rappler.com/world/catatan-penting-penyelenggaran-belok-kiri-festival">Festival Belok Kiri</a> di Jakarta. </p>
<p>Tidak hanya itu, beberapa akademisi dan aktivis juga berupaya menguak sejarah terkait Peristiwa 1965, dan bahkan membawanya ke pengadilan, seperti yang dilakukan oleh International People’s Tribunal for 1965 (<a href="https://www.tribunal1965.org/tag/ipt-65/">IPT 65</a>) di Den Haag, Belanda, pada 2015.</p>
<p>Namun, propaganda terus berlangsung bahkan pada era Reformasi. Segala kajian, diskusi maupun pemutaran film mengenai Peristiwa 1965 masih mengalami tekanan. </p>
<p>Masih segar dalam ingatan, film <a href="https://youtu.be/3tILiqotj7Y">Jagal</a> (yang rilis pada 2012) dan <a href="https://youtu.be/RcvH2hvvGh4">Senyap</a> (2014) karya <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Joshua_Oppenheimer">Joshua Oppenheimer</a> dilarang putar. Alasannya, film tersebut dianggap menyebarkan ajaran komunisme. </p>
<p>Pada 2017, acara diskusi mengenai sejarah Peristiwa 1965 di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta <a href="https://tirto.id/pecahan-kaca-di-ylbhi-serangan-terhadap-pencari-keadilan-cw55">diserang</a> oleh massa yang berujung pada pembubaran acara diskusi. </p>
<p>Lalu pada 2019 terjadi <a href="https://nasional.tempo.co/read/1168152/jaksa-agung-usul-razia-buku-kiri-besar-besaran">razia buku-buku berbau ‘komunisme’</a> dan penangkapan mereka yang memiliki buku-buku tersebut dengan alasan yang absurd: buku-buku tersebut dianggap dapat mengganggu ketertiban dan ketentraman umum. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pendekatan-humanis-gereja-katolik-pada-tahanan-politik-terduga-komunis-pasca-1965-157314">Pendekatan humanis gereja Katolik pada tahanan politik terduga komunis pasca 1965</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Cara baru membentuk ingatan</h2>
<p>Dengan kemajuan teknologi, kini gerakan-gerakan itu memiliki arena baru.</p>
<p>Sebut saja <a href="http://fis.1965.or.id/">FIS 65</a> dengan kartografi interaktif, <a href="https://linktr.ee/1965SetiapHari">1965 Setiap Hari</a> yang menayangkan wawancara dengan penyintas melalui podcast, <a href="https://medium.com/ingat-65">Ingat 65</a> melalui kumpulan tulisan, Young Scholars 1965 melalui acara diskusi daring, dan <a href="https://19651966perpustakaanonline.wordpress.com/">Perpustakaan Online Genosida 1965-66</a> yang mengumpulkan semua publikasi terkait. </p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/GNHUT3At0Lo?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Denoting the Generation: Youth Perspective and ‘65 Tragedy.</span></figcaption>
</figure>
<p>Belum lagi pemutaran film yang bisa ditonton melalui internet, seperti “<a href="https://www.aaa-a.org/programs/a-thousand-and-one-martian-nights-screening-with-tintin-wulia/">A Thousand and One Martian Night</a>” karya <a href="http://www.tintinwulia.com/">Tintin Wulia</a>, “<a href="https://youtu.be/GNHUT3At0Lo">Denoting the Generation: Youth Perspective and ‘65 Tragedy</a>” karya <a href="https://www.instagram.com/studiomalya/?hl=fr">Studio Malya</a>, atau festival online “<a href="https://jogja.tribunnews.com/2020/05/01/farid-stevy-120-hours-in-distancefestival-online-pertama-dalam-masa-pandemi">120 Hours in Distance</a>” yang digagas oleh Sirin Farid Stevy dan kawan-kawan. </p>
<p>Berbeda dengan generasi sebelumnya yang lebih memfokuskan pada penerbitan tulisan, generasi ini terlihat memanfaatkan keuntungan dari era teknologi dengan menyuguhkan karya kreativitas mereka di internet. </p>
<p>Karena sebagian besar generasi baru ini mereka lahir ketika Orde Baru secara sistematis mengubur kekerasan 1965 dengan cara menutup akses terhadap arsip dan dokumen, adakalanya mereka berupaya melakukan pengumpulan data melalui ingatan lisan, seperti yang dilakukan oleh forum diskusi “Warisan Ingatan”. </p>
<p>Di forum ini, terjadi narasi-narasi yang berdialog atau pertukaran narasi antargenerasi untuk selanjutnya mencoba mengisi jurang pemahaman berkaitan Peristiwa 1965.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/422232/original/file-20210920-19-1xkm6bb.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/422232/original/file-20210920-19-1xkm6bb.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/422232/original/file-20210920-19-1xkm6bb.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/422232/original/file-20210920-19-1xkm6bb.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/422232/original/file-20210920-19-1xkm6bb.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/422232/original/file-20210920-19-1xkm6bb.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/422232/original/file-20210920-19-1xkm6bb.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/422232/original/file-20210920-19-1xkm6bb.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Poster webinar Warisan Ingatan oleh Sirin Farid Stevy.</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Identitas yang ditampilkan tiap kelompok pun lebih berwarna, tidak melulu didominasi oleh akademisi dan penyintas. </p>
<p>Misalnya, 1965 Setiap Hari dan <a href="https://altersea.hypotheses.org/warisan-ingatan">Warisan Ingatan</a> yang menjadi ‘melting pot’ penyintas, akademisi, aktivis dan seniman. Hal ini paralel dengan pernyataan yang digulirkan <a href="https://bridges.monash.edu/articles/monograph/Truth_Will_Out_Indonesian_Accounts_of_the_1965_Mass_Violence/12821444">Baskara T. Wardaya, SJ</a> bahwa ingatan merupakan sebuah fenomena relasi tempat narasi melewati waktu dan ruang secara dinamis menghubungkan individu-individu didalamnya. </p>
<p>Tulisan dan karya seni terkait Peristiwa 1965 di dunia virtual ini kemudian menjadi wadah dialog lintas generasi untuk menyusun dan mempresentasikan sebuah perspektif sejarah alternatif yang dapat membawa perubahan makna. </p>
<p>Karena itu, kelompok-kelompok di ruang virtual ini memainkan peranan bagi lanskap ingatan dalam mengartikan, membentuk, mengkomunikasikan, bahkan memanggil kembali memori yang lama terkubur. </p>
<p>Dengan mengedarkan melalui pelbagai mimbar, karya mereka mampu meraih pemirsa, dan bahkan membuka kesempatan untuk berinteraksi langsung. </p>
<p>Ruang dialog virtual ini menjadi tempat orang membicarakan bagaimana ingatan terbentuk dan diinterpretasikan melalui interaksi keseharian, tidak hanya menceritakan secara rinci tindakan sadis yang bisa membuat orang “mati rasa” terhadap kekerasan.</p>
<p>Selain itu, sifat dunia virtual - dalam kaitannya dengan ingatan - menarik perhatian orang, karena ia menjembatani lapisan-lapisan masa lalu dan sekarang. </p>
<p>Dengan kata lain, ruang virtual dapat mengajak kita untuk berhadapan dengan sebuah peristiwa yang terjadi pada masa lalu. </p>
<p>Dalam kaitannya dengan sejarah Peristiwa 1965, ruang virtual lalu menjadi bentuk dari praktik memori, bukan lagi sekadar medium.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/hiruk-pikuk-bahaya-komunis-sampai-kapan-84658">Hiruk pikuk 'bahaya' komunis: sampai kapan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<hr>
<p><em>Pengungkapan editor: Prodita Sabarini, editor eksekutif, dan Ika Krismantari, kepala editorial The Conversation Indonesia, adalah pendiri Ingat65</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/168080/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Gloria Truly Estrelita tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Upaya menawarkan narasi alternatif dari Peristiwa 1965 terus berlangsung di dunia digital.Gloria Truly Estrelita, PhD Student, École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1658832021-08-24T08:15:45Z2021-08-24T08:15:45ZTikTok: ruang baru ekspresi dan negosiasi identitas lokal Gen Z Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/417387/original/file-20210823-27-p83f9t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=264%2C154%2C2941%2C1733&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Mohamad Hamzah/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Minggu lalu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo kembali menjadi pembicaraan publik - termasuk di <a href="https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20210816153004-192-681108/netizen-bereaksi-saat-jokowi-pakai-baju-adat-baduy">media sosial</a> - karena pilihan <a href="https://www.liputan6.com/news/read/4634023/deretan-baju-adat-yang-dipakai-jokowi-saat-upacara-hut-kemerdekaan-ri">pakaian adat</a> yang ia kenakan dalam puncak perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia.</p>
<p>Dalam berbagai peringatan nasional, jamak memang keragaman budaya lokal Indonesia ditampilkan lewat deretan penggunaan pakaian, lagu, dan atribut kedaerahan. </p>
<p>Perayaan nasional dan berbagai acara terkait memiliki fungsi tersendiri. Namun, keberhasilan Indonesia untuk membangun rasa kebangsaan yang kuat akan sangat bergantung pada bagaimana warga negara mengekspresikan, merayakan, dan menegosiasikan identitas-identitas lokal dalam ruang-ruang yang aman dalam kehidupan sehari-hari, tanpa prasangka.</p>
<p>Di manakah dan bagaimanakah proses ini terjadi pada Generasi Z, generasi yang saat ini berusia 8-23 tahun yang akan menjadi penerus bangsa?</p>
<p>Kami mengamati narasi mengenai identitas kedaerahan yang muncul sebagai konten di TikTok. TikTok adalah sebuah platform media sosial yang bertumpu pada format video pendek yang terus-menerus berganti; sebagian besar pengguna TikTok adalah <a href="https://tekno.kompas.com/read/2021/04/19/14020037/jumlah-pengguna-aktif-bulanan-tiktok-terungkap?page=all">anak muda</a>.</p>
<p>Kami menemukan bahwa platform media sosial ini menyediakan ruang untuk mengekspresikan identitas lokal dan kedaerahan anak muda Indonesia.</p>
<h2>Bentuk negosiasi identitas keindonesiaan</h2>
<p>Rezim Orde Baru kerap menghalangi ekspresi-ekspresi kedaerahan karena dikhawatirkan akan mengurangi kekuatan identitas keindonesiaan. Ketika itu, rezim menganggap identitas keindonesiaan harus dibentuk dari elemen-elemen terbaik atau puncak-puncak budaya-budaya daerah. </p>
<p>Akibatnya kedaerahan tidak diekspresikan apa adanya, tapi melalui batasan-batasan yang ditetapkan oleh pemerintah. Seringkali kebudayaan daerah yang tersisa untuk ditampilkan hanya lagu, tarian, dan baju daerah. </p>
<p>Namun media sosial dengan kebebasan dan kelenturannya kini membawa perubahan pada ekspresi-ekspresi kedaerahan ini.</p>
<p>Kami mengamati konten-konten di TikTok, salah satu platform media sosial paling baru. Kami terutama mengamati konten yang menggunakan tagar nama daerah, seperti #jawapride, #kalimantanpride, #papuapride, #sumaterapride, dan #sulawesipride sejak 1 Juni-8 Agustus 2021.</p>
<p>Selain itu, ada juga tagar-tagar dengan nama suku seperti #minangpride, #batakpride, ataupun #bugispride.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/415400/original/file-20210810-21-16l6tle.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/415400/original/file-20210810-21-16l6tle.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=474&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/415400/original/file-20210810-21-16l6tle.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=474&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/415400/original/file-20210810-21-16l6tle.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=474&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/415400/original/file-20210810-21-16l6tle.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=595&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/415400/original/file-20210810-21-16l6tle.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=595&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/415400/original/file-20210810-21-16l6tle.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=595&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dalam observasi kami terhadap video teratas yang menggunakan tagar-tagar tersebut, memang tidak semua video berkaitan langsung dengan identitas kedaerahan. </p>
<p>Pada tagar #kalimantanpride, misalnya, video teratas banyak terkait tentang video game. Sementara video teratas di #papuaparide banyak berupa video yang menggunakan lagu asal Papua, meski pesannya tidak berhubungan langsung dengan identitas.</p>
<p>Secara umum, kami mengamati setidaknya empat narasi dalam konten-konten semacam ini,</p>
<p><strong>Pertama</strong>, narasi untuk melawan stereotip negatif yang berkaitan dengan suku atau daerah pembuat konten. </p>
<p>Sebagai contoh adalah unggahan dengan tagar #papuanpride dari akun <a href="https://www.tiktok.com/@unaneserafi">@unaneseraif</a>, sprinter peraih medali emas di SEA Games 2011. </p>
<p>Dalam video TikTok yang disukai 9.494 pengguna tersebut, ia menyampaikan pesan bahwa anak Papua tidak ada yang bodoh. </p>
<p><a href="https://www.tiktok.com/@unaneserafi/video/6960137832178404609?lang=en&is_copy_url=1&is_from_webapp=v1">Di video yang sama</a>, dia juga memamerkan prestasinya sebagai atlet.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, narasi yang menunjukkan kebanggaan pembuat konten akan identitas mereka sebagai anak daerah. </p>
<p>Konten semacam ini biasanya diwarnai foto-foto pembuat akun yang menampilkan baju daerah, suasana alam atau destinasi wisata daerah, makanan, tari-tarian, hingga swa foto pengguna akun yang ingin menyampaikan asal daerahnya. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, narasi yang menyampaikan keunggulan daerah atau sukunya. </p>
<p>Akun <a href="https://www.tiktok.com/@Ojankov">@Ojankov</a> misalnya, yang khusus membuat <a href="https://vm.tiktok.com/ZGJDGTM3e/%5D">kumpulan video</a> dengan tagar #minangpride, menyampaikan keunggulan orang Minang, di antaranya pandai berdagang dan pandai memasak. </p>
<p>Atau ada juga akun <a href="https://www.tiktok.com/@fachrulbojes">@fachrulbojes</a> yang mengangkat tentang uang mahar untuk menikahi perempuan Bugis karena menurutnya perempuan dari sukunya banyak yang menawan. </p>
<p><strong>Keempat</strong> narasi yang mengangkat pemasalahan daerah mereka. Salah satu yang menarik adalah akun Yuli Fonataba, <a href="https://www.tiktok.com/">@yuli_nella</a>, yang juga Putri Papua 2018. </p>
<p>Dalam video berjudul “<a href="https://www.tiktok.com/@yuli_nella/video/6980229533056224513?lang=en&is_copy_url=1&is_from_webapp=v1">welcome to Papuan Club</a>” dia bernyanyi sambil menyampaikan kritik bahwa tanah Papua kaya, namun bukan orang Papua yang menikmati. Dia juga membantah narasi yang mengatakan bahwa orang Papua tidak bersyukur atas jalan trans Papua yang dibangun.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/belajar-dari-asia-tenggara-begini-cara-tiktok-jadi-wadah-berpolitik-155869">Belajar dari Asia Tenggara, begini cara TikTok jadi wadah berpolitik</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mengapa TikTok?</h2>
<p>Ruang bagi generasi muda menegosiasikan identitas mereka di media sosial terbuka luas di TikTok. Pengguna platform ini jauh <a href="https://www.independent.co.uk/life-style/gadgets-and-tech/tiktok-update-new-feature-kind-comment-b1815148.html">lebih ramah</a>.</p>
<p>TikTok juga telah menjadi platform bagi anak muda <a href="https://time.com/5865261/tiktok-trump-campaign-app/">Amerika Serikat</a> dan <a href="https://theconversation.com/profiles/nuurrianti-jalli-734757/articles">Asia Tenggara </a> mengekspresikan pendapat politik mereka.</p>
<p>TikTok menjadi platform baru yang disukai anak muda karena <a href="https://theconversation.com/tiktok-is-a-unique-blend-of-social-media-platforms-heres-why-kids-love-it-144541">rekomendasi algoritmenya</a> di halaman ‘For You’ menampilkan konten yang lebih beragam ketimbang platform lain. </p>
<p>Di platform media sosial lain, misalnya <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/21670811.2018.1510741">Facebook</a> dan <a href="https://www.forbes.com/sites/tonybradley/2016/03/16/leave-me-out-of-your-instagram-algorithm-bubble/?sh=73df020263e5">Instagram</a>, konten yang muncul biasanya dari jaringan pertemanan yang dimiliki oleh pengguna, sehingga seorang pengguna rentan terkungkung dalam <a href="https://reutersinstitute.politics.ox.ac.uk/risj-review/truth-behind-filter-bubbles-bursting-some-myths">gelembung informasi</a>.</p>
<p>Selain algoritmenya, audiens TikTok yang berasal dari latar belakang yang sangat beragam, membuat diskusi pada kolom-kolom komentar juga tidak sepedas komentar di platform lain. </p>
<p>Platform yang dimiliki perusahaan ByteDance asal China ini bahkan menjadi tempat yang ramah bagi komunitas <a href="https://mediummagazine.nl/18397-2/">LGBTQ</a> dan <a href="https://www.theguardian.com/australia-news/2021/jul/10/i-found-my-identity-how-tiktok-is-changing-the-lives-of-its-popular-indigenous-creators">suku asli</a>.</p>
<p>Di Indonesia, awalnya TikTok dikenal sebagai platform yang populer di kalangan kelas menengah ke bawah. Mereka membuat video yang sederhana dan tidak glamor seperti banyak video di Instagram.</p>
<p>Pengguna TikTok juga awalnya banyak anak kecil, sehingga pemerintah Indonesia juga sempat <a href="https://kominfo.go.id/content/detail/13453/tik-tok-dilarang-untuk-pengguna-usia-di-bawah-13-tahun/0/sorotan_media">melarang</a>. </p>
<p>Akan tetapi, pengguna TikTok yang mayoritas anak muda lekas belajar dari fitur-fitur di platform tersebut dan juga banyak menggunakannya untuk menuangkan kreasi dan ekspresi diri. </p>
<p>Yang menarik dalam pengamatan kami, jika ada komentar yang sifatnya merundung (<em>bully</em>) dan kental bernuansa dukungan politik pada sebuah tokoh publik, ada kecenderungan publik TikTok akan menyerang balik dan membela kebebasan berekspresi si pembuat konten. </p>
<p>Oleh karena itu, narasi-narasi yang sarat akan identitas lokal oleh anak muda cenderung lebih mendapatkan tempat di TikTok ketimbang platform lain.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/komunitas-gay-di-indonesia-menggunakan-media-sosial-untuk-meruntuhkan-batasan-dan-stigma-156868">Komunitas gay di Indonesia menggunakan media sosial untuk meruntuhkan batasan dan stigma</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Ruang identitas</h2>
<p>Identitas lokal penting diekspresikan dalam pengalaman sehari-hari warga negara untuk membantu menciptakan perasaan <a href="https://www.ui.ac.id/indonesia-sebuah-proyek-psikologis-yang-kompleks/">kebersamaan dan persaudaraan</a>. </p>
<p>Terpaan informasi tentang identitas lokal di ujung barat Indonesia, misalnya, akan dapat membantu mereka yang tinggal di ujung timur untuk saling membayangkan bahwa mereka <a href="https://www.oxfordreference.com/view/10.1093/oi/authority.20110803095958187">terikat akan kebangsaan yang sama</a>. </p>
<p>Hari ini ruang-ruang diskusi di platform digital ramai dengan para pemengaruh (<em>influencer</em>) dan pendengung (<em>buzzer</em>) berbasis ideologi dan partisan.</p>
<p>Kita memerlukan sebuah ruang yang dapat lebih mengakomodasi kesadaran akan keragaman warga negara, tempat identitas lokal dapat diekspresikan tanpa mengundang prasangka, atau justru untuk melawan prasangka. </p>
<p>Ekspresi-ekspresi ini merupakan bagian integral dari proses reproduksi dan negosiasi keindonesiaan bagi masyarakat yang beragam.</p>
<p>Gen Z tampaknya menemukan ruang tersebut di TikTok. TikTok menjadi arena bagi mereka untuk menyiasati perbedaan, memupuk respek dan rasa percaya diri dalam narasi-narasi identitas kedaerahan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/165883/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>TikTok, sebuah platform media sosial yang populer di kalangan Gen Z, menyediakan ruang untuk mengekspresikan identitas lokal dan kedaerahan anak muda Indonesia.Ika Karlina Idris, Dosen Paramadina Graduate School of Communication, Paramadina University Abdul Malik Gismar, PhD, Lecturer, Paramadina University Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1388212020-05-22T13:18:26Z2020-05-22T13:18:26ZBagaimana COVID-19 menciptakan normal baru bagi media dan jurnalis<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/337009/original/file-20200522-124855-89c7pw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/existentist/1282131777/in/photolist-BCy5XL-f9FEeQ-H8RT7-5pQpyt-BJ2o7N-3FK52j-2Xig7i-5abraf-GudZj-8o3Utn-NNw1yV-ngeToZ-58fc4g-3FEK3v-netMQy-8KpBiT-nihBgH-netNtC-8KsEP3-ngeTEa-ngwba6-ngwaKZ-evAhm-7PMJhR-evAxb">existentist/flickr</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Pandemi COVID-19 telah menjadi disrupsi yang membawa dampak negatif bagi banyak sektor usaha di seluruh dunia, termasuk industri media. Setidaknya ada dua hal yang bisa disorot, yaitu bagaimana wabah ini telah mengubah cara industri ini bekerja beserta para pekerja di dalamnya.</p>
<p>Pandemi telah menurunkan omset usaha para pengiklan, mengakibatkan anggaran iklan di berbagai <em>platform</em> media semakin berkurang. </p>
<p>Nielsen Indonesia, sebuah perusahaan data dan pengukuran, melaporkan bahwa <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/05/13/ad-spending-plunges-as-companies-reduce-marketing-activities-amid-outbreak-.html">total belanja iklan turun 25% menjadi Rp 3,5 triliun pada minggu ketiga April 2020</a>, setelah sebelumnya meningkat stabil pra COVID-19.</p>
<p>Kajian terbaru di Indonesia yang dilakukan secara terpisah oleh tiga lembaga, yakni <a href="http://ceds.fe.unpad.ac.id/">Center for Economic Development Study (CEDS) Universitas Padjadjaran</a>, <a href="https://dewanpers.or.id/">Dewan Pers</a>, dan Serikat Perusahaan Pers (SPS), memberi gambaran adanya ancaman keberlangsungan industri media dan kerentanan psikologi jurnalis di masa pandemi.</p>
<p><a href="https://dewanpers.or.id/berita/detail/1581/Wajah-Perusahaan-Pers-Cetak-di-Masa-Pandemi-Covid-19-Pendapatan-Turun-Drastis,-Hingga-Merumahkan-Karyawan">Beberapa media dengan skala bisnis menengah dan kecil saat ini sudah tidak mampu membayar gaji karyawan dan bahkan mulai memutus hubungan kerja (PHK) karyawannya.</a> Menurut SPS, <a href="https://dewanpers.or.id/berita/detail/1581/Wajah-Perusahaan-Pers-Cetak-di-Masa-Pandemi-Covid-19-Pendapatan-Turun-Drastis,-Hingga-Merumahkan-Karyawan">setengah dari sekitar 400 anggota SPS, saat ini sudah memotong gaji karyawan.</a></p>
<p>Pukulan terbesar dialami oleh media cetak. Nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dollar AS semakin menaikkan harga kertas koran membuat biaya produksi koran dan majalah meningkat. <a href="https://www.alinea.id/media/insentif-penolong-korporasi-pers-dari-pukulan-telak-covid-19-b1ZLx9t24">Sebelumnya sudah banyak media cetak yang menetapkan harga jual produknya di bawah ongkos produksi dan distribusi.</a> </p>
<p>Bahkan media online yang dianggap primadona baru media mainstream juga terdampak. <a href="https://republika.co.id/berita/qa9uwe291/pengamat-covid19-krisis-ketiga-pers-pascareformasi?fbclid=IwAR3dGxrxj5cOFwctOYkjs6y-fQR4A48ShfZ8cqpem0T1slC9aGg8lzWU_FM">Meski <em>traffic</em> kunjungan meningkat saat pandemi, pendapatan iklan justru menurun</a>. Hal itu disebabkan banyak perusahaan menghemat anggaran beriklan untuk penyesuaian operasional menghadapi dampak krisis. </p>
<p>Selain masalah di atas, pandemi COVID-19 ini juga memengaruhi kehidupan personal atau pun komunal jurnalis. <a href="https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-01382659/hasil-survei-unpad-4592-wartawan-derita-gejala-depresi-di-tengah-pandemi-covid-19">Survei yang dilakukan CEDS</a> pada tanggal 2 sampai 10 April 2020 terhadap 98 jurnalis dari berbagai daerah saat wabah COVID-19, mengungkap 45,92% jurnalis mengalami gejala depresi. Gejala yang dialami dari ketakutan, tidur gelisah, sampai merasa tertekan.</p>
<p>Selain itu, 57,14% jurnalis mengalami kejenuhan bekerja. Meskipun mereka tetap melakukan peliputan dari rumah dan mengirim berita, ruang gerak fisik yang terbatas dan isu yang monoton tiap harinya membuat jurnalis tidak bisa mengembangkan ide-ide baru.</p>
<p>Terus-menerus meliput tentang pandemi juga mempengaruhi mental mereka dalam melihat realitas kehidupan sehari-hari, misalnya mudah terganggu dengan hal-hal kecil yang biasa terjadi di lingkungan sekitar.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/337052/original/file-20200522-124832-e378lg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/337052/original/file-20200522-124832-e378lg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=386&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/337052/original/file-20200522-124832-e378lg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=386&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/337052/original/file-20200522-124832-e378lg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=386&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/337052/original/file-20200522-124832-e378lg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=485&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/337052/original/file-20200522-124832-e378lg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=485&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/337052/original/file-20200522-124832-e378lg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=485&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Jurnalis sedang bekerja.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/esthervargasc/14209650919/">esthervargasc/flickr</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Normal baru, akumulasi persoalan lama</h2>
<p>Disinyalir setelah pandemi, situasi ini sedikit banyak akan berlanjut disertai anomali baru yang tidak terduga sebelumnya. Kondisi yang banyak ahli disebut sebagai <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2020/05/20/063100865/mengenal-apa-itu-new-normal-di-tengah-pandemi-corona-">normal baru</a>. </p>
<p><a href="https://medium.com/we-are-the-european-journalism-centre/life-after-covid-19-news-organisations-need-to-adapt-to-the-new-normal-4506c993acf1">Kehidupan normal baru bagi jurnalis</a>, tidak semata-mata terbiasa dengan gaya liputan “non-lapangan”, koordinasi dan rapat redaksi yang berlangsung virtual, serta keterampilan yang meningkat dalam pemanfaatan perangkat teknologi. </p>
<p>Pengalaman meliput dengan variasi turun langsung ke lapangan atau meliput dari rumah, termasuk riset data juga akan memberi warna baru tata kelola redaksi, standar reportase, dan peliputan mendalam.</p>
<p>Fokus media selama berbulan-bulan dengan satu isu besar tentang COVID-19, akan <a href="https://suarabaru.id/2020/05/15/wartawan-dan-media-dalam-proyeksi-normal-baru/">mendefinisikan ulang nilai berita dan pengaruh media</a>. Jika sebelumnya tema liputan lebih bersifat acak, maka untuk beberapa tahun ke depan, soal vaksin dan wajah dunia setelah pandemi tetap akan menjadi sorotan utama. </p>
<p>Tinjauan tentang prosedur baru standar keselamatan, asuransi dan jaminan keselamatan jurnalis saat meliput, serta protokol interaksi dengan sesama jurnalis dan narasumber berita akan menjadi isu yang lebih banyak didiskusikan.</p>
<p>Tantangan lain yang akan tetap dihadapi jurnalis adalah persoalan-persoalan yang sudah dihadapi jurnalis sebelum era pandemi, misalnya minimnya kesejahteraan, tindakan kekerasan yang dialami, dan intervensi pemilik media yang mencederai kebebasan menulis berita.</p>
<p>Bagi perusahaan media, normal baru juga menjadi akumulasi berbagai persoalan dan tantangan sebelumnya yang sudah dihadapi, terutama ketatnya persaingan bisnis media, disrupsi teknologi digital, dan ketergantungan pada iklan. </p>
<p>Kondisi ini ditambah dengan sinisme sebagian masyarakat yang melihat media hanya melakukan eksploitasi informasi atas isu COVID-19. </p>
<p>Sebagian masyarakat juga melihat peran media (khususnya media sosial) dalam memberi andil menyuburkan ketakuan daripada optimisme dan kewaspadaan. Ditambah lagi, <a href="https://www.beritasatu.com/digital/623097-pandemi-covid19-kasus-hoax-meningkat">banyaknya penyebaran hoaks tentang COVID-19</a> yang terjadi selama pandemi. Tantangan ini akan memaksa media memulihkan kepercayaan publik dengan menyajikan berita-berita yang akurat sehingga mengurangi ketergantungan dengan media sosial.</p>
<h2>Ketergantungan terhadap iklan</h2>
<p>Sebelum pandemi, berkembangnya media digital telah mengurangi pendapatan media yang <a href="https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01319763/pebisnis-media-harus-berinovasi-mencari-pendapatan-di-luar-iklan">bersumber dari pengiklan</a>. Dengan jumlah plafon anggaran yang terbatas untuk beriklan bagi perusahaan, prioritas akan bergeser dari media konvensional ke media baru yang dianggap paling banyak diakses masyarakat, contohnya media online. </p>
<p>Di sisi lain, tokoh publik atau selebriti yang lahir atau populer di media sosial, dikenal dengan istilah <em>influencer</em> juga menggerus pendapatan iklan media konvensional seperti televisi, radio, dan suratkabar. Di era pandemi, <a href="https://kumparan.com/kumparanstyle/konsumen-kini-lebih-percaya-influencer-dibanding-iklan-saat-belanja">para <em>influencer</em> banyak berperan memengaruhi opini publik</a>, bersanding dengan informasi di media <em>mainstream</em>. </p>
<p>Banyak pengiklan memilih influencer di media sosial daripada institusi media mainstream-konvensional, misalnya televisi. Mereka bahkan rela <a href="https://travel.detik.com/travel-news/d-4763933/deretan-influencer-pariwisata-top-dunia">membayar influencer lebih tinggi daripada tarif iklan di media mainstream</a>. Perlahan namun pasti, jumlah dan harga iklan di media konvensional akan terus berkurang. </p>
<p><em>Influencer</em> di Youtube atau Instagram semakin populer dan memiliki banyak pelanggan (<em>subscribers</em>) atau pengikut (<em>followers</em>) yang mengalahkan jumlah pelanggan dan pembaca media cetak. </p>
<p>Contohnya <a href="https://www.instagram.com/raffinagita1717/?utm_source=ig_embed">Raffi Ahmad</a> yang sejauh ini memiliki lebih dari 40 juta pengikut di Instagram dan <a href="https://www.youtube.com/channel/UCaKLg1ELiX0zTJ6Je3c5esA">Atta Halilintar</a> yang memiliki lebih dari 20 juta subscribers. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan jumlah pembaca media yang hanya <a href="https://katadata.co.id/berita/2017/12/07/nielsen-pembaca-media-digital-sudah-lampaui-media-cetak">6 juta orang untuk digital dan 4,5 juta orang untuk cetak di tahun 2017.</a></p>
<h2>Menunggu insentif pemerintah</h2>
<p>Menyikapi dampak disrupsi ini, negara perlu memberikan insentif ekonomi kepada perusahaan pers, baik di tingkat pusat ataupun daerah.</p>
<p>Sebelumnya, Ketua Komisi I DPR, Meutya Hafid, mengatakan, pemerintah telah <a href="https://nasional.tempo.co/read/1342646/covid-19-dpr-sebut-pemerintah-setuju-insentif-industri-media">memastikan perusahaan pers di Indonesia akan mendapatkan insentif pajak</a> untuk keberlangsungan industri media yang terdampak pandemi COVID-19.</p>
<p>Di satu sisi, permintaan insentif menjadikan media terkesan cengeng, namun melihat kondisi nyata di lapangan, sudah saatnya pemerintah perlu memberi insentif agar keberlangsungan hidup pers dapat terjaga. Namun, upaya ini tidak boleh dimaknai oleh pemerintah sebagai strategi untuk mengontrol media. </p>
<p>Sebaliknya, meskipun mendapat insentif oleh pemerintah, media harus tetap independen dan bersikap kritis terhadap kebijakan pemeritah. Dengan demikian media dapat terus menjalankan fungsinya menyuarakan kepentingan publik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/138821/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Iwan Awaluddin Yusuf tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Wabah COVID-19 telah membuat perusahaan media kehilangan omset dan memberikan tekanan lebih kepada pekerjanya.Iwan Awaluddin Yusuf, Lecturer in Department of Communications, Universitas Islam Indonesia (UII) YogyakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1337942020-03-18T09:47:17Z2020-03-18T09:47:17ZMelindungi anak-anak dan remaja dari kekerasan di media<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/321228/original/file-20200318-37392-mm12xj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Pixabay.com</span></span></figcaption></figure><p>Maret ini, selain berita tentang virus COVID-19, kabar yang banyak diberitakan media adalah remaja perempuan 15 tahun, NF, yang <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2020/03/09/07435691/8-fakta-pembunuhan-sadis-di-sawah-besar-pelaku-menyerahkan-diri-dan">membunuh</a> seorang gadis kecil berumur 5 tahun pada 5 Maret lalu.</p>
<p>Publik dikejutkan pertama kali karena pelaku pembunuhan masih belia. Apa yang disampaikan oleh polisi kemudian membuat publik semakin terhenyak. NF disebut membunuh dengan sadar, mengaku tidak menyesal, dan merasa puas dengan perbuatannya. <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2020/03/13/07283531/dalami-kejiwaan-remaja-pembunuh-balita-di-sawah-besar-tim-dokter-minta?page=all">Polisi saat ini masih memeriksa kejiwaan NF</a>. </p>
<p>Salah satu hal yang banyak diulas media adalah pengakuan NF kepada polisi bahwa ia membunuh karena terpengaruh film dan <em>game</em>. Ini sesuatu yang harus menjadi perhatian serius bagi siapa pun yang memiliki kepedulian terhadap perlindungan anak dari media.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kpi-awasi-netflix-dan-youtube-langkah-kembali-ke-orde-baru-yang-tidak-perlu-bila-ada-literasi-media-121939">KPI awasi Netflix dan YouTube: Langkah kembali ke Orde Baru yang tidak perlu bila ada literasi media</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kekerasan dalam media</h2>
<p>Media yang disebutkan menginspirasi NF untuk membunuh adalah <a href="https://tirto.id/sempat-gambar-slender-man-pelaku-nf-dites-kejiwaan-di-rs-polri-eDQo">film dan game Chucky dan Slender Man</a>. Keduanya bergenre horor dengan kandungan kekerasan yang kental. </p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=893&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=893&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=893&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1122&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1122&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1122&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Poster salah satu film Chucky, <em>Childs Play 2</em> yang dirilis pada 1990.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Universal Pictures</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Chucky adalah salah satu ikon fiksi horor terkenal dan digambarkan sebagai pembunuh berantai yang arwahnya menghuni boneka. Tak hanya berbentuk film, Chucky juga berbentuk <em>game</em>. </p>
<p>Dalam film maupun <em>game</em>, sang boneka melakukan kekejaman yang intens. Film Chucky mendapatkan klasifikasi <a href="https://tirto.id/film-joker-bahaya-adegan-kekerasan-untuk-kesehatan-mental-anak-ejli">R <em>(Restricted)</em></a>, yang berarti anak berusia di bawah 17 memerlukan pendamping orang tua atau wali dewasa untuk menontonnya. </p>
<figure class="align-left zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Salah satu penggambaran Slender Man.</span>
<span class="attribution"><a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Slender Man adalah karakter fiksi berbentuk sosok pria tanpa wajah dengan badan tipis tinggi, memiliki tentakel, mengenakan baju hitam dengan dasi merah. </p>
<p>Karakter ini muncul pertama kali pada 2009, berasal dari <em>meme</em> internet di forum online <a href="https://tirto.id/mengenal-tokoh-slender-man-yang-menjadi-ikon-remaja-pembunuh-balita-eEh7">Something Awful</a>. Ia dikisahkan suka menculik atau melukai orang, terutama anak-anak. Sosok ini menyukai jalan berkabut dan daerah berhutan untuk menyembunyikan dirinya. Ia juga mencari korban tidak berdaya yang akan dihipnotisnya. Kontennya muram dan mencekam. </p>
<p>Slender Man menjadi ikon <a href="https://mashable.com/article/slender-man-scary-fears-millennial-digital-age/">populer di kalangan milenial</a>, bahkan dikatakan sebagai manifestasi dari generasi yang merasa dilupakan, tidak pernah terdengar, dan merasa tidak pasti. </p>
<p>Nama Slender Man bukan sekali ini saja tercatat dalam kasus pembunuhan. Sosok ini pernah disebut dalam insiden mengerikan yang terjadi di <a href="https://news.detik.com/berita/d-4930356/tentang-slenderman-karakter-fiksi-di-balik-aksi-keji-nf">Waukesha, Wisconsin, Amerika Serikat (AS) pada 2014</a>. </p>
<p>Saat itu, dua anak berusia 12 tahun mengajak teman mereka ke hutan dan kemudian menikamnya belasan kali. Kedua pelaku meyakini Slender Man menyuruh mereka. Keduanya percaya, jika mereka tidak melakukannya, Slender Man akan membahayakan keluarga mereka. Pada kasus ini, untungnya korban selamat. </p>
<p>Kasus kekejaman lain yang diinspirasikan oleh Slender Man terjadi di <a href="https://www.thescottishsun.co.uk/news/scottish-news/3910333/aaron-campbell-alesha-macphail-murderer-killer-slender-man-court/">Skotlandia pada 2019</a>. Pelakunya seorang remaja pria 16 tahun yang memperkosa dan membunuh seorang gadis 6 tahun. </p>
<p>Kajian literatur banyak memberi perhatian pada efek konten kekerasan di media kepada anak. Aksi kekerasan yang dilakukan anak dalam kehidupan nyata akibat pengaruh media menimbulkan perdebatan dan kekhawatiran publik. </p>
<p><a href="https://psycnet.apa.org/record/2008-10558-011">Barbara Wilson</a>, pengajar dan peneliti sosial dan psikologi di University of Illinois, AS, menyebut bahwa kekhawatiran publik atas kekerasan media sering dipicu oleh insiden-insiden agresi kaum muda. </p>
<p>Wilson menyatakan tak terhitung contoh kekerasan yang sering dilakukan oleh pelaku yang semakin muda yang telah menimbulkan kontroversi mengenai peran yang mungkin dimainkan media dalam mendorong perilaku agresif. Misalnya, kasus penikaman di <a href="http://clevelandbanner.com/stories/slenderman-and-his-impact-on-a-generation,85024">Waukesha</a> membuka perdebatan tentang tanggung jawab internet dan penggunaan internet oleh anak. </p>
<p>Kasus lain yang ramai diperbincangkan publik adalah pengaruh <em>game</em> kekerasan saat terjadi kasus pembunuhan massal oleh dua siswa di sekolah menengah Columbine, AS, pada 1999. Setelah penembakan itu, polisi menemukan rekaman video dari salah seorang pembunuh dengan senapan yang disebutnya “Arlene”, dinamai sesuai karakter dalam <em>game</em> <a href="https://psycnet.apa.org/record/2008-10558-011">Doom</a>. </p>
<p><a href="https://psycnet.apa.org/record/2008-10558-011">Wilson</a> mengatakan bahwa kajian literatur mendukung kesimpulan bahwa kekerasan media berkontribusi terhadap sikap dan perilaku agresif serta desensitisasi dan efek ketakutan. </p>
<p>Lebih jauh, konten kekerasan di media diteorikan berpotensi membuat si pemakai media menjadi tumpul perasaannya terhadap empati dan rasa sakit yang dirasakan orang lain. Inilah yang disebut sebagai <em>“compassion fatigue”</em> <a href="https://books.google.com/books/about/High_Tech_high_Touch.html?id=fQ_bAAAAMAAJ">oleh Sissela Bok</a>, <a href="https://www.aapss.org/fellow/sissela-bok/">seorang filsuf dan etisis</a> asal AS.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/penelitian-orang-miskin-cenderung-mengirim-anak-perempuan-mereka-ke-madrasah-133147">Penelitian: orang miskin cenderung mengirim anak perempuan mereka ke madrasah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Literasi media untuk anak</h2>
<p>Kasus NF kembali mengingatkan kita pada dampak media kekerasan bagi anak. Kekerasan lazim menjadi konten bagi media hiburan dan banyak di antaranya dikonsumsi anak atau remaja dengan bebasnya. </p>
<p>Muatan kekerasan berlimpah di internet. Data yang ditunjukkan pakar media <a href="https://books.google.co.id/books?id=LWg6giVEEGkC&printsec=frontcover&dq=sonia+livingstone+children+and+the+internet&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjsp8rHw57oAhUP73MBHea8BM0Q6AEIKTAA#v=onepage&q=sonia%20livingstone%20children%20and%20the%20internet&f=false">Sonia Livingstone</a> menyimpulkan bahwa 1 dari 3 anak melihat muatan kekerasan dan kebencian di internet. </p>
<p>Dalam membicarakan dampak media kita memang tidak dapat menyamaratakan efeknya pada semua anak. Efek itu dapat saja bersifat <em>conditional</em> (tergantung keadaan), tergantung juga pada faktor-faktor lainnya.</p>
<p>Namun harus diingat bahwa potensi anak untuk terpengaruh media itu besar. Mengingat anak adalah kelompok usia yang belum kritis, maka ia rentan terpengaruh isi media. </p>
<p>Dalam konteks inilah maka menjadi penting sekali bagi anak untuk memiliki kemampuan literasi media. Art Silverblatt, profesor komunikasi dan jurnalistik di Webster University, AS, <a href="https://books.google.co.id/books/about/Media_Literacy.html?id=jKlIPgAACAAJ&redir_esc=y">menyatakan</a> bahwa literasi media antara lain adalah keterampilan berpikir kritis yang memungkinkan khalayak untuk menilai isi media dan adanya kesadaran mengenai dampak media. </p>
<p>Dengan keterampilan ini, anak dapat menyaring isi media yang dikonsumsinya dan menangkal efek negatif media. Keterampilan literasi media (termasuk juga literasi media digital) dapat diberikan oleh orangtua sejak anak usia dini.</p>
<p>Misalnya, orangtua dapat menanamkan “<a href="https://books.google.co.id/books/about/The_Media_Diet_for_Kids.html?id=Hz5iPgAACAAJ&source=kp_book_description&redir_esc=y">diet media</a>” sedari anak kecil. </p>
<p>Diet media mencakup tiga langkah: membatasi waktu konsumsi media anak (maksimal dua jam sehari untuk menikmati hiburan dari layar), memilih konten media yang sehat bagi anak (untuk memastikan waktu penggunaan media oleh anak benar-benar berkualitas), dan mendorong aktivitas yang menjauhkan anak dari media (seperti bermain dan mengembangkan hobi atau minat anak). </p>
<p><a href="https://books.google.co.id/books/about/The_Media_Diet_for_Kids.html?id=Hz5iPgAACAAJ&source=kp_book_description&redir_esc=y">Diet media</a> di masa kecil dapat menghentikan konsumsi media yang berlebihan dan menetapkan keseimbangan media yang sehat bagi anak. Anak pun akan mampu mengontrol peran media saat tumbuh remaja. </p>
<p>Literasi media, yang membuat anak dapat kritis menilai konten media dan sadar mengenai dampak media, adalah kecakapan yang dapat diajarkan di rumah maupun sekolah. Bahkan orangtua dan guru dapat berkolaborasi untuk menumbuhkan kecakapan ini. </p>
<p>Dari kasus NF ini, para orangtua dan guru dapat belajar bahwa mereka pun harus memiliki kecakapan literasi media yang memadai, agar tidak terjadi penyalahgunaan media oleh anak.</p>
<p><em>Marsha Vanessa ikut berkontribusi dalam penerbitan artikel ini</em></p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/133794/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nina Mutmainnah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Keterampilan literasi media adalah salah satu upaya melindungi anak dari konten kekerasan di berbagai media.Nina Mutmainnah, Lecturer, Department of Communication, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1297052020-01-14T08:14:05Z2020-01-14T08:14:05ZAnalisis: Reynhard Sinaga dan kegagalan ekosistem media daring kita<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/309908/original/file-20200114-151848-1hm5gn2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gotcredit.com/">Flickr</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Setelah putusan persidangan pemerkosaan berantai Reynhard Sinaga resmi ditutup dengan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/dunia-51060249">ketuk palu</a>, kita kemudian menghadapi terbukanya kontak pandora media daring (<em>online</em>) Indonesia. </p>
<p>Kita dapat melihat dengan gamblang bagaimana media Indonesia memperlakukan kasus perkosaan terbesar sepanjang sejarah Inggris itu menjadi festival remeh-temeh ketimbang sebuah tragedi. </p>
<p>Media daring Indonesia berlomba-lomba menyulap hal-hal yang berkaitan dengan pelaku jadi berita, bahkan untuk hal yang paling absurd sekalipun: <a href="https://jabar.suara.com/read/2020/01/07/140621/penampakan-rumah-mewah-reynhard-sinaga-di-depok-predator-lelaki-inggris">rumah pelaku</a> , <a href="https://plus.kapanlagi.com/foto/12-foto-selfie-reynhard-sinaga-pelaku-pemerkosaan-ratusan-pria-di-manchester-inggris-jangan-tertipu-wajah-polosnya.html">swafoto (<em>selfie</em>) pelaku</a> , <a href="https://www.tribunnews.com/regional/2020/01/12/viral-wajahnya-mirip-reynhard-sinaga-driver-ojek-online-ini-hanya-mampu-tersenyum-tertunduk-malu">supir ojek mirip pelaku</a> , dan lain-lain. </p>
<p>Perilaku media yang tidak sensitif ini kemudian ditiru oleh pemirsa. Selama beberapa hari ini <em>meme</em> dan <em>sticker</em> Reynhard, bermunculan di lini aplikasi percakapan. </p>
<p>Media tidak dapat berfungsi sebagai alat kontrol sosial dengan membangun empati terhadap korban; media justru memperbesar objektifikasi.</p>
<p>Praktik ini bukanlah hal yang baru dalam ekosistem media daring kita.
Berulang kali kita melihat tidak hanya kekerasan, namun juga berita duka, dan bahkan terorisme diobjektifikasi dan direproduksi secara masif menjadi berita yang tidak utuh dan terserak.</p>
<p>Namun, ada jalan agar media dapat berhenti melakukan ini, yaitu dengan menggunakan cara-cara lain untuk mencari pemasukan–tidak mengandalkan pada pemasukan yang berbasis jumlah pengunjung laman.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kasus-reynhard-sinaga-analisis-terkait-bantuan-hukum-bagi-wni-di-luar-negeri-dan-upaya-jalur-diplomasi-129565">Kasus Reynhard Sinaga: analisis terkait bantuan hukum bagi WNI di luar negeri dan upaya jalur diplomasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Fokus pada sensasi</h2>
<p>Media daring menghalalkan berbagai cara untuk menarik pengunjung ke laman mereka.</p>
<p>Beberapa <a href="https://tirto.id/kasus-reynhard-sinaga-bom-waktu-jurnalisme-indonesia-erBv">analisis</a> telah memberikan gambaran, misalnya, tentang perbedaan antara media di Indonesia mengemas berita tentang Reynhard dengan media di Inggris.</p>
<p>Media-media di Indonesia terus melakukan hal yang sama. Eksploitasi isu kekerasan terhadap pelajar perempuan berinisial <a href="https://www.researchgate.net/publication/338113157_A_Jurnalisme_Banal_dan_Trivialisasi">A</a> di Pontianak, Kalimantan Barat, oleh hampir seluruh media online di Indonesia adalah salah satu contoh di mana pemberitaan berlangsung bak opera sabun.</p>
<p>Tribunnews pernah menulis artikel terkait meninggalnya tokoh boga dunia Anthony Bourdain dengan judul <a href="https://www.tribunnews.com/internasional/2018/06/08/pernah-puji-suara-azan-di-indonesia-bule-amerika-tak-beragama-ini-ditemukan-tewas-bunuh-diri">“Pernah Puji Suara Azan di Indonesia, Bule Amerika Tak Beragama ini Ditemukan Tewas Bunuh Diri”</a> yang kemudian mereka hapus dengan permintaan maaf sekadarnya. </p>
<p>Tribunnews juga memiliki rekam jejak buruk, terutama dalam hal sensasionalisme terhadap berita terorisme yang kemudian menghasilkan perdebatan antara <a href="http://www.remotivi.or.id/amatan/466/bagaimana-tribunnews-membantu-terorisme">Muhammad Heychael</a> (mantan direktur lembaga studi dan pemantauan media Remotivi) dan <a href="https://makassar.tribunnews.com/2018/05/23/tanggapan-soal-tulisan-muhammad-heychael-di-remotivi-analisa-yang-tendensius-kasar-dan-tidak-fair">Dahlan Dahi</a> (mantan direktur Tribunnews).</p>
<p>Contoh lain, dusta penganiayaan <a href="https://nasional.tempo.co/read/1133129/begini-kronologi-kasus-hoax-ratna-sarumpaet">Ratna Sarumpaet</a> pada akhir 2018 awalnya menjadi gempar karena media daring beramai-ramai memompa informasi yang tidak hanya belum terbuktikan, dan bahkan terbantahkan belakangan. </p>
<p>Ketika fakta terkait dusta Ratna terbuka, media berbalik arah. Mereka memompa sentimen negatif terhadap Ratna, dan pihak-pihak yang berkaitan dengan isu tersebut. </p>
<p>Yang terjadi berulang kali adalah media tidak berupaya menyiarkan fakta, apalagi kebenaran yang bertujuan untuk mencerahkan publik. </p>
<p>Yang terjadi adalah sensasionalisme lewat penggunaan judul dan narasi yang bombastis untuk menambah jumlah pengunjung laman berita dan situs mereka.</p>
<p>Ketika sensasionalisme adalah tujuan, maka semua hal menjadi dangkal dan banal. Ini menggerogoti jurnalisme daring kita, padahal jurnalisme ini digadang-gadang menjadi tiang penyangga demokrasi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/wajah-ganda-media-di-indonesia-dalam-memberitakan-kejahatan-100194">Wajah ganda media di Indonesia dalam memberitakan kejahatan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mengandalkan <em>clickbait</em></h2>
<p>Terdapat asumsi laten yang menjangkiti model bisnis media daring di Indonesia, yaitu jumlah pengguna dianggap sebagai parameter paling penting dalam model bisnis mereka. Sehingga cara utama untuk mendapatkannya adalah dengan tidak hanya dengan memanfaatan isu-isu khusus tak terkecuali kekerasan, tetapi juga dengan mengeksploitasi <em>clickbait</em> dan sensasionalisme. </p>
<p>Ini karena hampir semua media daring di Indonesia komersil menyandarkan diri pada iklan, dengan parameter utama monetisasi berupa <em>click</em> (kunjungan). Tak banyak media yang berhasil menjalankan sistem langganan untuk mendapat penghasilan.</p>
<p>Tentu saja, model bisnis berbasis iklan dan langganan tidak dapat dilihat secara hitam putih, media dapat menerapkan secara langsung keduanya. Namun, karena mayoritas media mengandalkan iklan sebagai pemasukan utama, maka yang terjadi adalah mereka berebut pemirsa. </p>
<p>Mereka menggunakan judul yang sensasional, sehingga ketika disebar dan tersebar melalui Twitter, Facebook, Line Today, atau melintas melalui media agregator diharapkan pemirsa dapat tergoda untuk mengklik tautan. </p>
<p>Tidak hanya sensasionalisme, media daring Indonesia juga kerap melakukan trivialisasi. </p>
<p>Trivialisasi adalah kondisi ketika media yang semestinya memberikan informasi terkait hal-hal yang bersifat publik terjebak pada urusan remeh-temeh. </p>
<p>Media juga hampir selalu memiliki niat untuk memproduksi berita <a href="https://www.researchgate.net/publication/333148868_KEKALAHAN_JURNALISME_DI_HADAPAN_PASAR_DAN_PEMASARAN_DARING">sebanyak-banyaknya</a> dalam suatu tema pemberitaan. Ini mirip dengan cara pemancing amatir mencari ikan: lempar kail dan umpan sebanyak-banyaknya, maka kemungkinan untuk mendapatkan ikan juga akan semakin besar. </p>
<h2>Alternatif baru</h2>
<p>Berkhotbah tentang etika media saja tidak cukup, apalagi sekadar memaki-maki penulis berita <em>clickbait</em>. Mereka adalah bagian dari sirkuit ekonomi-politik media yang buruk. Menumbangkan satu hanya akan menumbuhkan seratus penggantinya.</p>
<p>Terdapat beberapa hal yang dapat diajukan untuk membangun ekosistem media yang berkelanjutan (<em>sustainable</em>) sekaligus sehat bagi demokrasi. </p>
<p>Kita bisa memasang target tinggi dengan mencoba model bisnis seperti <a href="https://www.nytimes.com/projects/2020-report/index.html">New York Times</a> yang edisi daringnya telah jauh-jauh hari berhasil melampaui keuntungan versi cetaknya.</p>
<p>Kita juga bisa memproyeksikan model bisnis yang bersandar pada donasi, seperti yang dilakukan oleh <a href="https://support.theguardian.com/">The Guardian</a> di Inggris.</p>
<p>Cara lain adalah dengan menerapkan langganan dan donasi yang memiliki dampak langsung. Dengan begini media memiliki tanggung jawab untuk mengabdi pada publik sebagai penyandang dananya, sehingga pemberitaan dan informasi yang disiarkan media diperuntukkan bagi kepentingan publik.</p>
<p>Media kemudian tidak lagi menyandarkan diri pada iklan sehingga <a href="https://books.google.co.id/books?id=V57yrDMaO9oC&pg=PA132&dq=commodification+mosco&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjUuPmH6_7mAhV34HMBHS6oBNYQ6AEILzAB#v=onepage&q=commodification%20of%20audience&f=false">pemirsa merupakan komoditas </a>yang akan dijual sebagai bilangan statistik untuk menarik pengiklan melalui mekanisme monetisasi seperti <em>AdSense</em> milik <em>Google</em>. </p>
<p>Tentu saja membangun budaya langganan dan donasi bukan hal yang mudah. Media harus turut memberitahu publik bahwa tidak ada informasi berkualitas yang murah, dan tidak ada jurnalisme berkualitas yang murah. </p>
<p>Kerja-kerja jurnalisme dengan konsentrasi dan intensitas tinggi memerlukan biaya besar. Bila publik bisa memahami kenyataan ini, mereka bisa diajak memberikan sebagian dana untuk berlangganan jurnalisme berkualitas.</p>
<p>Ini akan sulit bila dilakukan oleh sedikit media saja. Media harus beraliansi untuk menawarkan standar yang tinggi, dengan tarif langganan yang masuk akal untuk melawan media-media pemburu klik dan bahkan <a href="https://www.cjr.org/tow_center/the-media-today-on-the-fight-against-facebook-and-google.php"><em>Google</em> itu sendiri</a> . </p>
<p>Tanpa keseriusan dari berbagai pihak, media, dan bahkan kita semua, kotak-kotak pandora lain akan terbuka sekadar hanya menunggu waktu.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/ekonomi-atensi-facebook-bawa-pembaca-tapi-tak-mencetak-uang-untuk-situs-berita-107203">Ekonomi atensi: Facebook bawa pembaca, tapi tak mencetak uang untuk situs berita</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/129705/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Justito Adiprasetio tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Media daring gagal berfungsi sebagai alat kontrol sosial dengan membangun empati terhadap korban; media justru memperbesar objektifikasi.Justito Adiprasetio, Lecturer, Universitas PadjadjaranLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/913172018-02-20T08:15:12Z2018-02-20T08:15:12ZNarsisme visual di Instagram bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/206846/original/file-20180218-75997-1jej1o0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/confirm/573033007?src=O58R3ZTpdGlC-h71RG7B5A-1-58&size=medium_jpg">Twin Design/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Media sosial seperti Facebook, Twitter, Path, BBM, Line, Whatsapp, Instagram, dan sejenisnya sudah menjadi kebutuhan sosial masyarakat Indonesia. Penelitian kami tentang Instagram menemukan indikasi bahwa bagi sejumlah besar pengguna, media sosial bisa meningkatkan rasa cemas dan marah, juga lebih rawan menggerogoti harga diri pengguna.</p>
<p>Instagram digemari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sejak diluncurkan hingga saat ini. Dari hasil survei yang dilakukan oleh <a href="https://apjii.or.id/survei2016/download/3zkcUWB5KLNporYEVFR4A0tIuDZehf">Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2016</a>, pengguna Instagram (19,9 juta atau 15%) menempati peringkat kedua sebagai media sosial yang paling sering dikunjungi setelah Facebook (71,6 juta atau 54%). <a href="https://www.researchgate.net/publication/315363596_Exploring_the_relationships_between_self-presentation_and_self-esteem_of_mothers_in_social_media_in_Russia">Dua media sosial ini</a> paling banyak digunakan untuk menampilkan diri mereka secara online dalam berbagai bentuk.</p>
<p><a href="https://media.neliti.com/media/publications/223391-are-self-presentation-influenced-by-frie.pdf">Penelitian kami berfokus pada pengguna media sosial Instagram</a> dalam menampilkan dirinya secara online. Instagram, platform populer yang digunakan oleh remaja akhir hingga orang dewasa, dapat diakses melalui perangkat berbasis Android dan iOs serta mesin pencari. </p>
<p>Kami menganalisis tiga hal yang saling berkait pada pengguna Instagram:</p>
<ol>
<li><p>harga diri yang bergantung pada persahabatan (<em>friendship-contingent self-esteem</em>) </p></li>
<li><p>kecemasan ketinggalan informasi di media sosial (<em>fear of missing out</em> atau FoMO) </p></li>
<li><p>dan bagaimana dua hal di atas berpengaruh pada presentasi diri (<em>self-presentation</em>). </p></li>
</ol>
<p>Partisipan penelitian 326 orang, dengan 241 perempuan dan 85 laki-laki pengguna Instagram yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Kami mengumpulkan data melalui penyebaran, pengisian, dan pengumpulan kuesioner bersifat sukarela melalui tautan dengan media Google form yang disebar melalui pesan dan jejaring media sosial.</p>
<p>Beragam layanan yang ditawarkan di Instagram, mulai berbagi foto aktivitas sehari-hari, video, InstaStory, Instagram Live, komentar, sampai <em>chatting</em> menggunakan fitur <em>direct message</em>. Ada pula fasilitas editing foto yang diunggah. Bisa juga untuk mencari teman. </p>
<p>Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa yang berpengaruh pada variabel presentasi diri hanya FoMO. Sedangkan variabel harga diri yang bergantung pada persahabatan berpengaruh pada variabel FoMO dan tidak berpengaruh terhadap presentasi diri.</p>
<h2>Presentasi diri di Instagram</h2>
<p><a href="http://muep.mau.se/bitstream/handle/2043/21574/Thesis_MalinNilsson_FINAL.pdf?sequence=2&isAllowed=y">Berbagai macam cara</a> dilakukan oleh para pengguna untuk meningkatkan penampilan dalam setiap unggahan mereka. Mulai dari menambahkan filter pada foto, <em>angle</em> serta gaya yang menarik merupakan beberapa hal yang dapat meningkatkan penampilan seseorang pada unggahan foto Instagram mereka.</p>
<p>Beberapa hal tersebut meningkatkan jumlah unggahan selfie atau swafoto para pengguna Instagram. <a href="http://networkcultures.org/wp-content/uploads/2014/10/The_Allure_ot_Selfie_los.pdf">Bagi kaum dewasa muda</a> yang tumbuh dengan platform seperti ini membuat mereka memiliki pandangan bahwa berpose dan berfoto lalu mengunggahnya ke Instagram merupakan suatu hal yang “normal”.</p>
<p>Karena Instagram sangat mengedepankan visual, ditambah dengan fitur-fitur edit, maka para penggunanya bisa memilih variasi dalam mempresentasikan dirinya di media sosial. </p>
<p>Target presentasi diri yang dilakukan oleh individu kebanyakan adalah orang yang dikenal dan mengenali dirinya. Individu mengharapkan respons yang positif sehingga dapat meningkatkan harga dirinya. </p>
<h2>Harga diri bergantung persahabatan</h2>
<p>Banyaknya unggahan selfie yang dibagikan oleh seseorang di Instagram terkait dengan narsisme dan harga diri. Harga diri yang bergantung pada persahabatan merupakan faktor penting bagaimana seseorang mempresentasikan diri dalam hubungan personal. </p>
<p><a href="https://rdw.rowan.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2484&context=etd">Jika harga diri seseorang bergantung</a> pada seberapa baik hubungan seseorang tersebut dengan orang lain, dia mungkin akan lebih termotivasi untuk meluangkan waktu dan tenaga untuk presentasi dirinya dan menjaga pandangan positif orang lain terhadap dirinya.</p>
<p>Motif utama untuk menghadirkan diri pada situs internet ditujukan untuk menyampaikan gambar atau citra diri yang diinginkan. Selain itu, ada banyak individu yang semakin meningkat harga dirinya ketika temannya di Instagram semakin banyak. </p>
<p>Banyaknya jumlah teman yang dimiliki dalam media sosial dipersepsikan sebagai salah satu bentuk dukungan sosial yang dimiliki individu. Individu cenderung akan berusaha terus menampilkan presentasi diri secara online yang sifatnya positif untuk mempertahankan dan menambah temannya di media sosial. Kemudian, individu dapat merasa berharga karena adanya dukungan teman.</p>
<p>Seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung meningkatkan diri, sedangkan seseorang yang memiliki harga diri yang rendah cenderung memproteksi dirinya sendiri dalam perilaku presentasi diri. Mereka akan menurunkan rating diri mereka di depan umum atau di saat situasi yang mengancam. </p>
<p>Jika sumber harga diri sangat bergantung pada relasi persahabatan, maka akan berkembang kecenderungan yang kurang baik. Individu tidak dapat memandang dirinya sebagai figur yang berharga tanpa keberadaan dan pengaruh dari teman yang dianggap penting.</p>
<h2>Takut ketinggalan informasi</h2>
<p>Media sosial menjadi wadah yang menjembatani relasi pertemanan beda waktu dan lokasi geografis, dan menyediakan dukungan sosial kepada individu. <a href="https://www.researchgate.net/publication/282390744_Social_Media_Use_and_the_Fear_of_Missing_Out_FoMO_While_Studying_Abroad">Kondisi seperti ini</a> mendorong individu untuk mengalami kecemasan ketinggalan informasi di media sosial yang lebih tinggi karena besarnya ketergantungan dengan individu lain yang dianggap penting di dalam media sosial.</p>
<p>Fenomena kecemasan ketinggalan informasi di media sosial dapat dipahami sebagai situasi yang timbul akibat kurang atau buruknya regulasi diri (<em>self-regulatory</em>) dan kepuasan psikologis seseorang. Selain itu, fenomena ini diduga dapat membantu menjelaskan penggunaan media sosial yang bersifat eksesif oleh masyarakat. </p>
<p>FoMO mempengaruhi penggunaan media sosial dari sisi relasi sosial. Ini artinya pengalaman yang berharga terkait hubungan dengan orang lain, atau persepsi bahwa relasi sosial yang dibangun bersifat menguntungkan dan memuaskan akan dipertahankan oleh individu tersebut.</p>
<p>Individu yang bermasalah dalam relasi dengan orang lain, cenderung memiliki tingkatan FoMO yang tinggi sehingga menjadi agak berlebihan saat menggunakan media sosial untuk berinteraksi dengan orang lain.</p>
<p>Dari hasil catatan yang berkaitan dengan <a href="https://www.slideshare.net/jwtintelligence/the-fear-of-missing-out-fomo-march-2012-update">milenium dewasa</a>, usia 18-34 tahun, 70% dari mereka mengakui bahwa mereka merasa terkait dengan FoMO.</p>
<p>Demikian pula, <a href="https://www.slideshare.net/jwtintelligence/the-fear-of-missing-out-fomo-march-2012-update">36% dari milenium dewasa</a> mengakui bahwa mereka mengalami FoMO dalam tingkatan sering atau kadang-kadang. Terutama, <a href="https://www.slideshare.net/jwtintelligence/the-fear-of-missing-out-fomo-march-2012-update">46% dari milenium dewasa</a> mencatat bahwa rasa takut kehilangan yang mereka miliki telah diperkuat dengan menggunakan media sosial. <a href="https://www.slideshare.net/jwtintelligence/the-fear-of-missing-out-fomo-march-2012-update">Individu memiliki kecenderungan</a> untuk menjadi lebih cemas, mudah marah, merasa lebih memadai dan memiliki perasaan rendah diri yang bersifat sementara setelah melihat media sosial.</p>
<p>Dengan hubungan secara terus-menerus ke teman-teman mereka yang <em>update</em> media sosial, hampir tidak mungkin mereka tidak mengetahui apa yang orang lain lakukan dan katakan setiap saat. </p>
<p>Karena itu, FoMO mampu menjelaskan keterlibatan yang mendalam dan berlebihan dari seorang individu dalam semua aktivitas yang melibatkan media sosial. Lalu, apakah Anda termasuk orang yang takut ketinggalan informasi ketika telepon seluler Anda mati?</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/91317/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Frensen Salim tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Individu memiliki kecenderungan untuk menjadi lebih cemas, mudah marah, merasa lebih memadai dan memiliki perasaan rendah diri yang bersifat sementara setelah melihat media sosial.Frensen Salim, Associate Research Scientist Cyberpsychology Studies Center,, Universitas GunadarmaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/914272018-02-13T09:02:28Z2018-02-13T09:02:28ZFacebook mengurangi berita agar Anda menghabiskan waktu lebih banyak melihat iklan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/205461/original/file-20180208-180808-mm9bt9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Bulan lalu Mark Zuckerberg mengumumkan langkah Facebook terbaru. </span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><blockquote>
<p>Teman-teman, ini bukan kami, tapi kalian. Kalianlah masalahnya. Kalian sudah berhenti membagikan tiap detail intim mengenai hidup kalian dan kami tidak bisa memonetisasi kalian sebaik yang kami inginkan. Jadi kami mengubah hubungan kita sehingga kalian lebih banyak <em>share</em>, dan kami bisa menunjukkan lebih banyak iklan.</p>
</blockquote>
<p>Itu bukan kutipan persis dari Mark Zuckerberg tentunya, melainkan terjemahan kasar. Dalam sebuah <a href="https://www.facebook.com/zuck/posts/10104413015393571">pernyataan</a> yang dikeluarkan pada 12 Januari, pendiri perusahaan tersebut mengumumkan perubahan baru pada halaman newsfeed yang akan memprioritaskan kiriman dari teman dan keluarga ketimbang konten yang dikirim oleh organisasi berita dan bisnis.</p>
<p>Berita dan konten lainnya akan lebih sedikit muncul pada newsfeed, kecuali bila dibagikan oleh pengguna dan banyak dikomentari. Perusahaan tersebut juga mengatakan akan mengubah penggolongannya, sehingga akan hanya menunjukkan “berita berkualitas"—meski mereka tidak menjelaskan dengan detail apa maksudnya.</p>
<p>Iklan tidak akan terpengaruh—Anda tetap akan dibombardir dengan iklan, entah Anda menginginkannya atau tidak—dan apakah mereka relevan dengan Anda atau tidak.</p>
<p>Zuckerberg mengatakan, perubahan baru dirancang untuk membuat platform jadi lebih baik. "Dengan fokus membuat orang makin erat kebersamaannya—bisa dengan keluarga dan teman, atau seputar momen penting di dunia—kami bisa membantu memastikan bahwa waktu yang digunakan untuk Facebook adalah waktu yang dihabiskan dengan baik,” ujarnya dalam sebuah <a href="https://www.facebook.com/zuck/posts/10104413015393571">posting</a> di Facebook.</p>
<p>Namun mari kita perjelas. Langkah Facebook yang paling baru ini, yaitu mengubah algoritma untuk mendukung interaksi yang lebih personal, bukanlah demi kita, tetapi demi uang.</p>
<p>Facebook sudah merasa khawatir selama berbulan-bulan mengenai masalah “<a href="https://www.theguardian.com/technology/2016/apr/19/facebook-users-sharing-less-personal-data-zuckerberg">context collapse</a>” atau kehilangan konteks. Para pengguna semakin berhati-hati dalam memposting detail pribadi di media sosial. Newsfeed semakin banyak diisi konten yang diproduksi oleh institusi media dan <em>influencer</em>, sehingga netizen lebih menjadi pelanggan pasif ketimbang pembagi.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"951872844497027073"}"></div></p>
<p><a href="https://www.ft.com/content/f9b60c64-f7bc-11e7-8715-e94187b3017e">Riset</a> dari AS menunjukkan bahwa orang dewasa menghabiskan sekitar 50 menit sehari di raksasa jaringan sosial—meski laporan menunjukkan bahwa hal ini tengah menurun. Pengguna Facebook juga menua, dan—belakangan ini—pengguna yang lebih muda <a href="http://www.independent.co.uk/life-style/gadgets-and-tech/news/facebook-dead-and-buried-as-teens-switch-to-snapchat-and-whatsapp-9028208.html">berpaling ke pesaing</a> seperti Snapchat untuk <em>share</em> momen momen pribadi.</p>
<h2>Memonetisasi pengguna</h2>
<p>Model bisnis Facebook dibangun seputar penjualan sejumlah besar data kita—representasi yang sangat canggih dari diri digital kita dan emosi kita—kepada pemasang iklan. Namun makin banyak pengguna Facebook yang <a href="https://www.forbes.com/sites/paularmstrongtech/2017/02/14/facebook-users-posted-a-third-less-content-in-2016-than-in-2015/">mengirimkan tautan</a> dari situs web pihak ketiga—seperti berita dan infotainment—dan semakin sedikit yang <em>share</em> kehidupan pribadi mereka.</p>
<p>Perusahaan tersebut sudah bekerja keras untuk mendorong lebih banyak kiriman personal. Fitur “<a href="http://uk.businessinsider.com/facebooks-updated-on-this-day-memory-feature-how-it-works-2017-8">On This Day</a>” misalnya, merupakan usaha mendorong pengguna untuk membagikan kabar baru yang sentimental tentang diri mereka. Namun, sentimen bisa subjektif dan pribadi, misalnya On This Day Anda mungkin kehilangan orang tercinta, atau dipecat dari pekerjaan Anda.</p>
<p>Pemirsa telah melihat lebih banyak pengingat di newsfeed mereka untuk menjangkau teman di hari ulang tahun dan kejadian penting, dan Facebook mengirimkan saran-saran yang mendorong pengguna untuk membagikan hidup mereka. Dengan mengakses konten di ponsel pengguna, Facebook juga berusaha meyakinkan Anda untuk membagikan (hal-hal pribadi) lebih banyak. Misalnya, gambar yang mungkin telah Anda ambil pada ponsel dimasukkan sebagai kiriman yang disarankan. Facebook Live, juga, telah begitu kuat didorong untuk menggiatkan sharing pribadi.</p>
<p>Bagi media yang cemas, ini kabar buruk. Banyak yang khawatir pengunjung website (traffic) akan <a href="https://www.ft.com/content/b69e2b40-f925-11e7-9b32-d7d59aace167">merosot</a> di saat Facebook benar-benar menyetop keran dan hampir-hampir menghapus konten mereka dari newsfeed</p>
<h2>Mengejar ‘bola mata’</h2>
<p>Sejumlah kecil media niche yang mulai meraup keuntungan dari investasi besar di platform digital telah memasang “paywall” yaitu meminta pembaca digital membayar untuk membaca berita. Akibatnya, mereka bisa menjauh dari media sosial. Mereka menyediakan konten yang bisa dibagi ke media sosial, beberapa di antaranya gratis, tetapi perusahaan-perusahaan ini tidak terlalu bergantung pada pendapatan iklan yang bersumber dari traffic di media sosial.</p>
<p>Namun sebagian besar media lain telah berinvestasi besar-besaran demi membangun kehadiran mereka di Facebook. Mereka mendedikasikan pekerja dan teknologi untuk mendukung strategi sosial tersebut. Editor yang putus asa berusaha menarik pembaca melalui media sosial, dengan harapan bahwa jutaan klik yang mereka dapatkan dari traffic di media sosial entah bagaimana bisa menjadi model bisnis yang membawa keuntungan. </p>
<p><a href="https://www.theguardian.com/media-network/2017/jan/30/reinvention-publishing-media-firms-diversify-survive">Namun, bukannya membawa keuntungan</a>, hal tersebut malah memperkuat posisi Facebook sebagai “penjaga gawang”, juga memberi laba lebih banyak pada Facebook. Facebook dan Google menikmati posisi yang mirip monopoli dunia digital. <a href="https://www.ft.com/content/cf362186-d840-11e7-a039-c64b1c09b482">Diperkirakan</a> 84% dari total iklan online yang dihabiskan pada 2017 masuk ke kedua perusahaan tersebut.</p>
<p>Dalam operasinya, Facebook hampir-hampir tak bisa disentuh; mereka sangat melindungi <a href="https://blog.bufferapp.com/facebook-news-feed-algorithm">algoritma peringkat newsfeed-nya</a> yang merupakan kunci operasi mereka. Facebook adalah tempat berbagi informasi terbesar di dunia, tapi dia yang memegang kendali ke apa saja bisa dibaca di newsfeed <a href="http://edition.cnn.com/2014/02/11/world/facebook-fast-facts/index.html">dua miliar orang</a>, hingga ke tingkat satu per satu orang, setiap harinya.</p>
<h2>Defisit demokrasi</h2>
<p>Ada kekhawatiran berkait demokrasi yang dikesampingkan di sini: Facebook secara efektif memiliki kuasa untuk menutup berita yang tidak disukainya. Belum ada tanda-tanda bahwa Facebook tengah melakukannya, tapi kita semua seharusnya khawatir akan kekuatan setingkat ini yang dimiliki oleh satu perusahaan.</p>
<p>Inti dari langkah terakhir Facebook adalah jika organisasi media konten mereka dilihat oleh netizen, mereka harus membayar untuk pasang iklan di Facebook—atau menegosiasikan kesepakatan baru yang akhirnya akan mengikis independensi editorial mereka, dan meningkatkan dominasi pasar Facebook.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"951671065218109440"}"></div></p>
<p>Facebook tidak melakukan apa pun untuk menghentikan apa yang disebut “berita palsu"—malahan memperparah masalahnya. Memang tidak ada obat manjur menghilangkan berita palsu, tapi <a href="https://theconversation.com/facebooks-fake-news-plan-is-doomed-to-failure-social-media-must-do-more-to-counter-disinformation-75953">usaha Facebook sejauh ini</a> menyedihkan—seperti yang pernah saya tulis di sini sebelumnya. Ada bahaya nyata bahwa perubahan peringkat baru malah akan memperburuk masalah itu.</p>
<p>Berita yang sangat menarik untuk dibagikan adalah yang mendorong debat dan komentar—jenis yang Facebook sukai. Berita macam ini bisa saja tidak benar, tidak adil, tidak seimbang, atau tidak akurat, dan tentunya tidak bisa dibuktikan.</p>
<p>Ini adalah wilayah yang berbahaya bagi media berita. Fenomena ”<a href="https://www.wired.com/2016/11/filter-bubble-destroying-democracy/">gelembung filter</a>“, di mana pemirsa hanya akan melihat konten yang sesuai dengan preferensi mereka, akan meningkat.</p>
<p>Yang terburuk di antara semuanya, pandangan yang bertentangan dan debat penting—hakikat dari koran itu sendiri—mungkin akan hilang di dunia media sosial yang baru.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/91427/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Tom Felle menerima £335,000 dari Google Digital News Initiative (DNI) pada 2017 untuk meneliti cara penggunaan AI untuk menemukan dan memverifikasi berita di data publik. </span></em></p>Facebook ingin Anda lebih banyak share momen pribadi daripada berita. Selintas sepertinya ok. Tapi dengan cara ini, sebenarnya Mark Zuckerberg ingin Anda lebih banyak lihat iklan ketimbang berita.Tom Felle, Senior Lecturer in News and Digital Journalism, City, University of LondonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/890982018-01-05T09:11:40Z2018-01-05T09:11:40ZBagaimana mendeteksi berita bohong—panduan ahli untuk anak muda<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/198986/original/file-20171213-27597-1w3q6ws.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Jika anak muda kehilangan kepercayaan pada informasi sama sekali, dampak jangka panjangnya bisa lebih merugikan. </span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Setiap kali Anda online, orang berlomba-lomba merebut perhatian Anda. Teman-teman, orang asing, bisnis, organisasi politik, lembaga amal, dan situs web berita menyajikan arus konstan gambar-gambar, video dan artikel-artikel yang memikat pandangan, ke mana pun Anda mencari informasi—Google, Twitter, Facebook, Snapchat, Instagram, atau YouTube. </p>
<p>Tapi dalam berlomba mencuri perhatian Anda, tidak semua pemain merasa wajib mengatakan yang sebenarnya—dan <a href="https://www.theguardian.com/technology/2017/may/16/facebook-fake-news-tools-not-working">Anda tidak selalu bisa mengandalkan</a> platform media sosial untuk menyaring dusta. Hasilnya adalah berita bohong: kabar-kabar yang secara khusus dirancang untuk menyesatkan atau sengaja memberi orang informasi yang salah. </p>
<p>Selama enam bulan yang lalu, saya menjadi bagian sebuah tim peneliti dan produser dari <a href="https://www.prolificnorth.co.uk/news/broadcasting/2017/12/bbc-announces-fake-news-scheme-childrens-media-summit">Universitas Salford dan CBBC Newsround</a> yang bekerja untuk memahami dampak berita bohong terhadap anak-anak muda yang hidup di Inggris. </p>
<p>Kami berbicara dengan 300 anak muda berusia antara sembilan dan 14 tahun untuk mencari tahu bagaimana mereka menghadapi berita bohong dalam kehidupan mereka sehari-hari, dan dampaknya terhadap mereka sewaktu mereka tumbuh dewasa. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/198312/original/file-20171208-27719-114ca5z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/198312/original/file-20171208-27719-114ca5z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/198312/original/file-20171208-27719-114ca5z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/198312/original/file-20171208-27719-114ca5z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/198312/original/file-20171208-27719-114ca5z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/198312/original/file-20171208-27719-114ca5z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/198312/original/file-20171208-27719-114ca5z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Jangan percaya semua yang Anda lihat di telepon pintar Anda.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Hasilnya sangat rumit, tetapi kami mendapati bahwa anak-anak muda sangat memerlukan alat untuk membantu mereka melayari perairan gelap media sosial. Yang paling penting, kami dapati anak-anak muda harus bisa mempercayai apa yang mereka dengar dan lihat di sekeliling mereka saat mereka tumbuh. </p>
<p>Jika anak muda tidak mempercayai apa yang mereka baca itu benar, maka kepercayaan mereka akan terkikis—dan kemudian mereka bisa berhenti percaya apa pun. Dalam jangka panjang ini berarti mereka tidak peduli untuk menjadi bagian dari perdebatan besar tentang politik, kebudayaan, dan masyarakat di mana mereka hidup. </p>
<h2>Spektrum berita bohong</h2>
<p>Ada sebuah spektrum berita bohong: dari berita yang benar-benar absurd dan tak bisa dipercaya, yang gampang diidentifikasi sebagai kabar bohong, sampai jenis-jenis lebih subtil misinformasi, yang lebih sulit dideteksi. </p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"834725496432840704"}"></div></p>
<p>Jenis kabar bohong kedua dan terselubung ini muncul dalam bentuk editorial, advertorial dan berita-berita yang viral di jagat web. Berita-berita itu tidak mesti absurd atau jelas-jelas salah, tetapi mengandung ketidakbenaran faktual dan gambar-gambar menyesatkan, yang sengaja ditampilkan untuk memutarbalikkan kebenaran. </p>
<h2>Tips dan alat</h2>
<p>Tetapi ada cara-cara bagi anak muda untuk membedakan antara berita sebenarnya dan berita bohong, untuk membantu mereka memahami apa yang sesungguhnya terjadi, di sebuah dunia di mana telepon pintar sudah menjadi perpanjangan tangan, mata, telinga, dan otak kita. </p>
<p>1) Cari tahu sumbernya. Periksalah situs web di mana berita berasal untuk mengetahui apakah berita disajikan dengan baik, apakah gambar-gambarnya jelas, dan apakah teks ditulis dengan baik serta tanpa kesalahan ejaan atau bahasa berlebih-lebihan. Kalau Anda tidak yakin, cobalah klik bagian “about us/tentang kami”, dan pastikan ada uraian jelas yang menerangkan kerja organisasi yang bersangkutan dan riwayatnya. </p>
<p>2) Perhatikan penulisnya. Untuk memastikan apakah mereka itu nyata, bisa diandalkan dan “layak dipercaya”, periksalah tulisan-tulisan lain yang mereka buat dan untuk outlet mana saja mereka menulis. Jika mereka tidak menulis apa pun yang lain, atau jika mereka menulis untuk situs-situs web yang tampak tidak meyakinkan, pikir dua kali untuk mempercayai apa yang mereka katakan. </p>
<p>3) Pastikan artikel memuat referensi dan tautan ke berita, artikel, dan penulis-penulis lain. Klik tautan-tautan yang ada dan pastikan semuanya tampak meyakinkan dan layak dipercaya. </p>
<p>4) Lakukan Google Reverse Image Search. Ini alat luar biasa, yang memungkinkan Anda melakukan pencarian di Google dengan gambar, bukan kata-kata. Caranya sederhana; yang perlu Anda lakukan hanya mengunggah gambar ke <a href="https://reverse.photos/">situs Google Reverse Image Search</a> dan Anda akan melihat semua web lain dengan gambar-gambar yang sama. Ini memberi tahu Anda situs-situs lain di mana gambar-gambar tersebut digunakan—dan apakah gambar-gambar itu digunakan di luar konteks.</p>
<p>5) Pastikan apakah berita yang sedang Anda baca disebar di saluran berita arus utama lain, seperti BBC News atau Sky News. Jika ya, Anda boleh merasa lebih yakin bahwa berita itu tidak bohong, karena organisasi-organisasi itu memberikan penekanan khusus untuk memeriksa sumber-sumber mereka dan jarang sekali memuat berita tanpa sumber kedua untuk mendukungnya. </p>
<p>Penting sekali menghindari menyebar berita yang Anda tidak yakin kebenarannya. Jika Anda ragu-ragu apakah berita itu sungguhan atau bohong, bicarakan dengan teman atau keluarga Anda untuk mencari tahu pendapat mereka tentang berita itu.</p>
<h2>Kekuasaan di tangan Anda</h2>
<p>Penelitian kami menunjukkan bahwa anak-anak muda yang membicarakan berita bohong—apa itu, dan apa maksudnya—jauh lebih ahli dalam menentukan apakah suatu berita itu nyata atau bohong. Artinya, penting bagi sekolah-sekolah untuk mulai mengajarkan kepada anak-anak muda bagaimana memahami informasi yang mereka dapatkan secara online. </p>
<p>Perlu diberikan pelajaran tentang bagaimana cara kerja mesin pencari, ke mana tujuan tautan-tautan online dan bagaimana cara memastikan suatu berita bisa dipercaya menggunakan informasi dari situs-situs lain serta apa arti akuntabilitas dan akurasi, dalam konteks berita online. </p>
<p>Mengetahui semua hal tentang berita online ini, dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari akan memberi Anda kendali atas berita apa yang Anda baca dan berita mana yang Anda pilih untuk dibagikan. Anda akan menjadi pahlawan yang memperjuangkan jurnalisme yang baik, sehingga kami mengandalkan Anda untuk membantu agar fakta menang atas fiksi, dan menjadikan berita yang benar mengungguli berita bohong.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/89098/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Beth Hewitt adalah anggota dari Northwest Royal Television Society, dan anggota Manimation Committee.</span></em></p>Spektrum berita bohong lumayan luas. Mulai dari yang nyata-nyata ketahuan bohong hingga yang mengecoh dengan halus sehingga kita tidak sadar.Beth Hewitt, Senior Lecturer in Media Practice, University of SalfordLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.