tag:theconversation.com,2011:/au/topics/parenting-42409/articles
Parenting – The Conversation
2024-02-22T02:43:49Z
tag:theconversation.com,2011:article/223742
2024-02-22T02:43:49Z
2024-02-22T02:43:49Z
Riset: literasi digital tak pengaruhi aktivitas orang tua berbagi informasi anak di media sosial
<p>Mengabadikan momen ketika anak pertama kali berjalan, atau pertama kali berulang tahun, adalah hal yang lumrah dilakukan oleh para orang tua. Keberadaan media sosial, seperti Instagram, memudahkan orang tua untuk membagikan momen-momen tersebut melalui akun mereka. Bahkan, banyak anak yang sudah memiliki akunnya sendiri meski Instagram memiliki kebijakan <a href="https://help.instagram.com/517920941588885">usia minimal pengguna</a> yaitu 13 tahun.</p>
<p>Penempatan informasi berupa foto-foto anak dan kegiatan mereka bersama teman dan keluarga di media sosial oleh orang tua disebut dengan istilah ‘<a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/15405702.2016.1223300"><em>sharenting</em></a>’, yang umumnya dilakukan oleh orang tua tanpa seizin anak dan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/02673231211012146">lebih sering dilakukan oleh ibu</a> daripada ayah. </p>
<p>Aktivitas <em>sharenting</em> ini rentan risiko, di antaranya penculikan, pengambilan foto tanpa izin serta berpotensi melanggar hak privasi anak yang juga bisa berdampak pada risiko keamanan yang lebih berat. </p>
<p>Untuk menghindari risiko tersebut, orang tua <a href="https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/10255/ICCE%20Proceeding%20SUSULAN_18.pdf?sequence=1">perlu memiliki literasi digital</a> yang baik. <a href="https://www.unicef.org/globalinsight/media/1271/file/%20UNICEF-Global-Insight-digital-literacy-scoping-paper-2020.pdf">Literasi digital</a> merujuk pada kemampuan untuk mengakses, mengorganisasikan, memahami, menyatukan, mengomunikasikan, mengevaluasi, dan menciptakan informasi dengan aman dan layak melalui teknologi digital. </p>
<p>Namun, benarkah literasi digital yang baik dapat mengurangi risiko <em>sharenting</em>?</p>
<h2>'Sharenting’ adalah fenomena kota besar</h2>
<p>Tahun 2022, kami melakukan <a href="http://journal.wima.ac.id/index.php/KOMUNIKATIF/article/view/4080/pdf">survei</a> kepada 385 ibu di Jawa Timur yang memiliki anak usia maksimal 12 tahun. Kami memilih Jawa Timur sebagai lokasi penelitian karena merupakan provinsi dengan skor <a href="https://aptika.kominfo.go.id/wp-content/uploads/2020/11/Survei-Literasi-Digital-Indonesia-2020.pdf">keamanan digital paling rendah</a>, walaupun Pulau Jawa adalah pulau dengan infrastruktur paling baik di Indonesia. </p>
<p><a href="http://journal.wima.ac.id/index.php/KOMUNIKATIF/article/view/4080/pdf">Responden kami</a> paling banyak berusia 20an, dengan usia anak yang beragam dari 1 hingga 12 tahun. Domisili para ibu ini tersebar di 31 kota di Jawa Timur tetapi mayoritas tinggal di kota besar, yaitu Surabaya, Malang, dan Kediri seperti terlihat pada grafik di bawah ini. Hal ini menunjukkan bahwa <em>sharenting</em> menjadi praktik umum di kalangan ibu-ibu urban. </p>
<p>Pendidikan para ibu yang menjadi responden kami mayoritas adalah lulusan sarjana sebanyak 63,8%, diikuti lulusan SMA/SMK sebanyak 29,3%. Sisanya berpendidikan magister (5,9%), doktor (0,5%) dan sekolah dasar (0,25%). Walaupun tingkat pendidikan dan usia responden beragam, namun aktivitas <em>sharenting</em> yang dilakukan relatif <a href="http://journal.wima.ac.id/index.php/KOMUNIKATIF/article/view/4080/pdf">tidak berbeda</a>.</p>
<h2>Sadar risiko tapi tetap melakukan</h2>
<p>Hasil survei kami menunjukkan bahwa para ibu di Jawa Timur memiliki persepsi risiko yang tinggi tentang privasi anak di Instagram. Artinya, mereka menyadari adanya kemungkinan pelanggaran privasi yang mengintai anak maupun perangkat mereka, seperti pencurian data dan foto, perundungan, atau <em>hacking</em>.</p>
<p>Namun, masih ada tiga indikator dari <a href="https://uis.unesco.org/sites/default/files/documents/ip51-global-framework-reference-digital-literacy-skills-2018-en.pdf">kompetensi keamanan</a> (kemampuan penggunaan fitur-fitur keamanan di perangkat digital), yang diabaikan oleh para ibu. Indikator ini melingkupi: (1) tidak keluar dari akun Instagram, sehinggga masih memungkinkan risiko <em>hacking</em> dan pencurian akun, (2) menunjukkan foto anak, yang berarti mengabaikan risiko pencurian foto anak dan pengenalan identitas anak di bawah umur oleh orang asing, dan (3) masih mengaktifkan kolom komentar pada unggahan terkait anak yang membuka peluang perundungan dan risiko dampak negatif pada mental ibu dan anak.</p>
<p>Selain itu, masih ditemui normalisasi pembuatan konten yang abai terhadap privasi anak, misalnya secara bebas menyebutkan nama anak dan nama sekolahnya, atau membagikan informasi tentang anak tanpa memandang usia anak mereka. Responden kami tetap membagikan aktivitas anak mereka yang sudah berusia praremaja (12 tahun) tanpa bertanya terlebih dahulu, sehingga privasi anak menjadi privasi kolektif.</p>
<p>Privasi kolektif ini berarti bahwa privasi anak juga akan dimiliki oleh audiens dari Instagram Ibu, baik itu audiens yang melihat <em>story, reels</em>, maupun <em>feeds</em>. Hal ini menunjukkan bahwa ibu, secara sepihak memutuskan bahwa mereka adalah <em>co-owner</em> dari privasi anak, persis seperti yang dicirikan sebagai <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/02673231211012146"><em>sharenting</em> dalam kehidupan keseharian keluarga</a>. </p>
<p>Riset kami juga menemukan, 42,7% responden ternyata mengizinkan anaknya untuk memiliki akun Instagram sendiri walaupun tidak sesuai dengan kebijakan Instagram (belum berusia 13 tahun). </p>
<h2>Rekomendasi</h2>
<p>Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa hubungan antara literasi digital dan aktivitas <em>sharenting</em> sangat lemah. Secara spesifik, survei kami menunjukkan bahwa faktor kompetensi keamanan hanya berkorelasi sebesar 14,4% dengan persepsi risiko ibu terhadap privasi anak-anak. </p>
<p>Namun, temuan ini tetap membuktikan adanya hubungan di antara keduanya. Sehingga, rendahnya angka korelasi tersebut justru bisa dibaca sebagai pengingat, bahwa tingginya kekhawatiran orang tua tentang <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/2056305120978376">isu privasi</a> tidak serta merta membuat kegiatan <em>sharenting</em> di Instagram menjadi lebih jarang terjadi.</p>
<p>Ke depan, manajemen risiko <em>sharenting</em> memerlukan riset lanjutan untuk memetakan solusi, serta gerakan sosial untuk semakin meningkatkan kesadaran para ibu bukan hanya atas risiko <em>sharenting</em>, tapi juga risiko pengabaian hak privasi anak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/223742/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>
‘Sharenting’ atau aktivitas orang tua membagikan informasi anak di media sosial memiliki berbagai risiko. Untuk menghindarinya, orang tua perlu memiliki literasi digital. Benarkah demikian?
Birgitta Bestari Puspita, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Paulus Angre Edvra, Asisten Peneliti, PR2Media
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/219530
2023-12-11T03:42:37Z
2023-12-11T03:42:37Z
Kapan waktu yang tepat memberikan ponsel pertama pada anak?
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/564486/original/file-20231122-15-lsw1by.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=411%2C9%2C5819%2C4138&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/content-african-american-teenage-girl-lying-2081784520">Pressmaster/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Saya menghabiskan karir saya untuk meneliti generasi muda dan internet: apa yang mereka lakukan saat sedang <em>online</em>, apa pendapat mereka tentang hal tersebut, dan bagaimana perbedaan pandangan mereka dengan orang tua mereka.</p>
<p>Saya sering mendapat pertanyaan dari orang tua tentang penggunaan internet anak-anak mereka. Salah satu yang paling umum adalah kapan harus memberikan ponsel kepada anak, serta bagaimana menjaga mereka tetap aman saat memilikinya. Inilah jawaban saya atas beberapa pertanyaan kunci.</p>
<h2>Umur berapa anak saya sebaiknya mendapatkan ponsel pertama kali?</h2>
<p>Saya khawatir saya sering mengecewakan orang tua dengan jawaban saya atas pertanyaan ini karena tidak memberi mereka angka pasti. Namun, kuncinya adalah untuk apa anakmu akan menggunakan ponsel tersebut–dan kapan waktu yang tepat untuk anak tersebut.</p>
<p>Menurut <a href="https://www.ofcom.org.uk/__data/assets/pdf_file/0027/255852/childrens-media-use-and-attitudes-report-2023.pdf">laporan 2023</a> yang dibuat oleh regulator komunikasi Inggris Ofcom, 20% anak usia tiga tahun sekarang memiliki ponsel. Namun, ponsel ini hanya bisa digunakan untuk mengambil gambar, bermain <em>game</em> sederhana, dan <em>video call</em> dengan keluarga yang diawasi.</p>
<p>Pertanyaan yang lebih relevan adalah kapan anak-anak harus memiliki ponsel yang terhubung sepenuhnya, dan dapat mereka gunakan tanpa pengawasan untuk menghubungi orang lain secara daring.</p>
<p>Saat seorang anak menginjak usia sekolah dasar, besar kemungkinan mereka akan terbiasa dengan pengawasan orang dewasa di sebagian besar aspek kehidupannya. Mereka akan berada di sekolah, di rumah, bersama teman dan orang dewasa yang dipercaya, atau dengan anggota keluarga lainnya.</p>
<p>Kebutuhan mereka untuk menghubungi orang dewasa yang jauh mungkin tidak terlalu besar. Namun, kamu perlu memikirkan apa saja kebutuhan spesifik anakmu.</p>
<p>Biasanya transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah terjadi ketika anak-anak berada jauh dari rumah, terlibat dalam kegiatan sekolah, atau saat bersosialisasi dengan teman-teman. Ini membuat kemampuan untuk menghubungi rumah menjadi lebih penting. Saya berbincang dengan banyak anak muda yang menyatakan sekolah menengah sebagai titik di mana mereka pertama kali memiliki telepon genggam.</p>
<h2>Bagaimana cara memastikan mereka menggunakan ponsel dengan aman?</h2>
<p>Pertama-tama, jika anakmu <em>online</em>–pada usia berapapun dan dengan perangkat apapun–berdiskusilah dengan mereka tentang keamanan daring.</p>
<p>Orang tua berperan mendidik anak-anak dan menyadarkan mereka tentang risiko yang timbul saat <em>online</em>, serta menyadari bahwa sebagian besar pengalaman <em>online</em> <a href="https://theconversation.com/why-children-dont-talk-to-adults-about-the-problems-they-encounter-online-202304">tidak berbahaya</a>.</p>
<p>Saya melakukan <a href="https://link.springer.com/book/10.1007/978-3-030-88634-9">penelitian ekstensif</a> dengan generasi muda mengenai dampak buruk aktivitas <em>online</em>. Sebagai bagian dari penelitian ini, saya dan rekan saya mengembangkan sejumlah <a href="https://www.headstartkernow.org.uk/digital-resilience/parent-digital-offer/">sumber daya untuk orang tua</a> dengan bantuan lebih dari seribu anak muda.</p>
<p>Anak-anak muda ini paling banyak mengemukakan keiingintahuan mereka soal siapa yang bisa diandalkan saat membutuhkan bantuan. Mereka ingin meyakini bahwa mereka akan menerima dukungan, bukan teguran atau penyitaan gawai. Artinya, langkah pertama yang penting adalah meyakinkan anakmu bahwa saat terkena masalah, mereka bisa datang kepadamu, dan kamu akan membantu mereka tanpa menghakimi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/why-children-dont-talk-to-adults-about-the-problems-they-encounter-online-202304">Why children don't talk to adults about the problems they encounter online</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Penting juga untuk mendiskusikan dengan anakmu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dengan gawainya. Hal ini bisa berarti, misalnya, penetapan aturan dasar aplikasi apa saja yang boleh mereka pasang di <em>smartphone</em>, dan kapan mereka harus berhenti menggunakannya di penghujung hari.</p>
<p>Kamu juga harus menjelajahi pengaturan privasi aplikasi di gawai anakmu, untuk memastikan bahwa mereka tidak dapat dihubungi oleh orang asing atau mengakses konten yang tidak pantas. <em>National Society for the Prevention of Cruelty to Children</em> (NSPCC), badan amal anak-anak di Inggris, <a href="https://www.nspcc.org.uk/keeping-children-safe/online-safety/parental-controls/">memiliki materi</a> untuk orang tua tentang cara menggunakan pengaturan privasi.</p>
<h2>Haruskah saya memeriksa telepon anak saya?</h2>
<p>Terkadang orang tua bertanya kepada saya apakah mereka dapat memeriksa perangkat anak-–baik dengan melihat ponsel secara fisik atau dengan “safetytech” : perangkat lunak di perangkat lain yang dapat mengakses komunikasi di <em>smartphone</em> anak.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Father and son looking at mobile phone" src="https://images.theconversation.com/files/561044/original/file-20231122-23-pkqa2g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/561044/original/file-20231122-23-pkqa2g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/561044/original/file-20231122-23-pkqa2g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/561044/original/file-20231122-23-pkqa2g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/561044/original/file-20231122-23-pkqa2g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/561044/original/file-20231122-23-pkqa2g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/561044/original/file-20231122-23-pkqa2g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Percakapan terbuka tentang penggunaan telepon adalah kuncinya.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/father-son-using-smart-phone-outdoor-2084154532">Khorzhevska/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Saya meyakini hal ini juga perlu kamu diskusikan dengan anakmu. Kepercayaan penting untuk memastikan bahwa anakmu mendatangimu jika ada masalah <em>online</em>. Jadi, jika kamu ingin memantau ponselnya, bicarakan hal tersebut dengan mereka daripada melakukannya secara sembunyi-sembunyi.</p>
<p>Tampaknya pengawasan orang tua yang masuk akal untuk mengakses perangkat anak ketika mereka berada di usia sekolah dasar, sama seperti orang tua menanyakan kepada orang tua anak lain sebelum mengizinkan mereka mengunjungi rumahnya.</p>
<p>Namun, seiring bertambahnya usia anakmu, mereka mungkin tidak ingin orang tuanya melihat semua pesan dan interaksi <em>online</em> mereka. <a href="https://www.unicef.org.uk/what-we-do/un-convention-child-rights/">Konvensi PBB tentang Hak Anak</a> dengan jelas menyatakan bahwa seorang anak memiliki hak atas privasi.</p>
<h2>Haruskah saya melacak lokasi anak saya melalui ponselnya?</h2>
<p>Saya berbicara dengan beberapa keluarga yang melacak perangkat satu sama lain secara terbuka dan transparan, dan ini adalah keputusan keluarga. Namun, saya juga telah berbicara dengan anak-anak yang merasa sangat menyeramkan jika <em>smartphone</em> seorang teman remajanya dilacak oleh orang tuanya.</p>
<p>Pertanyaannya di sini adalah apakah orang tua meyakini anak mereka aman, atau apakah mereka ingin tahu apa yang anak mereka lakukan tanpa sepengetahuan mereka. Saya mengalami percakapan yang sangat berkesan dengan seseorang yang mengatakan bahwa temannya sangat kesal karena putri mereka telah mengganti gawai sehingga mereka tidak dapat lagi melacaknya. Ketika saya bertanya berapa umur putrinya, mereka menjawab dia berusia 22 tahun.</p>
<p>Perlu juga dipertimbangkan apakah teknologi seperti ini benar-benar memberikan jaminan. Teknologi memang memungkinkan orang tua mengetahui di mana anak mereka, tapi tidak memastikan keamanan mereka.</p>
<p>Terkait pemantauan ponsel anak-anak, ada baiknya orang tua mempertimbangkan apakah strategi menciptakan kondisi ideal bagi mereka untuk datang kepadamu jika ada masalah. Bisa jadi, hal ini lebih mungkin didorong oleh percakapan terbuka dan lingkungan yang saling percaya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/219530/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Andy Phippen tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>
Bicaralah dengan anakmu tentang keamanan saat ‘online’ – dan yakinkan mereka bahwa kamu akan membantu mereka mengatasi masalah apapun yang mereka temui saat ‘online’.
Andy Phippen, Professor of IT Ethics and Digital Rights, Bournemouth University
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/216005
2023-10-23T03:35:03Z
2023-10-23T03:35:03Z
Apa yang diceritakan – dan apa yang tidak – tentang kontrol orang tua dalam olahraga di film dokumenter David Beckham
<p>Dalam film dokumenter Netflix, pesepakbola David Beckham ditanya bagaimana ia mengatasi caci maki dan kekerasan masyarakat Inggris yang ditujukan padanya setelah Piala Dunia 1998. Ia menjawab:</p>
<blockquote>
<p>Saya mampu menghadapi kekerasan yang dilakukan oleh para penggemar […] karena perlakuan ayah saya terhadap saya.</p>
</blockquote>
<p>Sebuah adegan mengharukan menunjukkan ibu David, Sandra, berjuang dengan betapa kerasnya ayah David, Ted, terhadap putra mereka. Teriakan Ted kerap membuat David menangis.</p>
<p>Ketika ditanya apakah dia terlalu keras pada David, Ted berkata:</p>
<blockquote>
<p>Tidak […] jika saya memberi tahunya kalau dia sudah bagus, dia tidak akan berkembang.</p>
</blockquote>
<p>Sepanjang film dokumenter, perilaku Ted dianggap normal oleh Ted dan bahkan David Beckham sendiri, sebagai hal yang diperlukan untuk mendukung perjalanan karir olahraga David. Namun, David juga mengatakan dia <a href="https://www.thesun.co.uk/sport/24259838/david-beckham-netflix-dad-ted-childhood-sir-alex-ferguson/">takut</a> terhadap masukan ayahnya sehingga merasa terdorong untuk berlatih berjam-jam setiap hari.</p>
<p>Atlet lain dengan cerita serupa termasuk atlet golf <a href="https://www.nbcnews.com/think/opinion/hbo-s-tiger-woods-documentary-takes-deep-dive-star-s-ncna1253644">Tiger Woods</a>, petenis <a href="https://www.theguardian.com/sport/blog/2015/dec/01/the-joy-of-six-athletes-pushy-parents">Andre Agassi</a> dan atlet tenis asal Australia, <a href="https://au.sports.yahoo.com/jelena-dokic-shares-sickening-account-of-being-abused-as-a-teen-tennis-star-213349759.html">Jelena Dokic</a>.</p>
<p>Seringnya, kontrol orang tua digambarkan sebagai hal yang diperlukan atlet untuk sukses. Namun, bukti menunjukkan gagasan ini salah. Faktanya, pendekatan seperti itu dapat merugikan peluang anak untuk sukses dalam olahraga dan <em>wellbeing</em>-nya.</p>
<p>Dan ini bukan hanya masalah olahraga elit. Penelitian kami menunjukkan hal ini juga terjadi pada olahraga komunitas.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/winning-at-all-costs-how-abuse-in-sport-has-become-normalised-142739">Winning at all costs – how abuse in sport has become normalised</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Temuan kami</h2>
<p>Dalam <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/08862605221114155">penelitian yang kami lakukan</a>, satu dari tiga orang yang kami survei mengatakan bahwa mereka pernah mengalami kekerasan oleh orang tua selama mengikuti olahraga komunitas di Australia.</p>
<p>Kekerasan psikologis yang dilakukan oleh orang tua dilaporkan oleh kurang dari sepertiga responden kami, dan mencakup perilaku seperti:</p>
<ul>
<li><p>kritik berlebihan</p></li>
<li><p>ejekan dan penghinaan</p></li>
<li><p>latihan berlebihan hingga kelelahan/muntah</p></li>
<li><p>mengabaikan anak setelah pertandingan.</p></li>
</ul>
<p>Perilaku mengontrol dan kekerasan yang dijelaskan di atas telah <a href="https://theconversation.com/winning-at-all-costs-how-abuse-in-sport-has-become-normalised-142739">dinormalisasi</a> secara konsisten oleh <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/02614367.2016.1250804">orang tua</a>, pelatih, dan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1016/j.smr.2019.03.001">organisasi olahraga</a> sebagai sesuatu yang diperlukan untuk menciptakan atlet yang “tangguh secara mental” dan siap menghadapi kompetisi tingkat tinggi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/why-taking-a-trauma-and-violence-informed-approach-can-make-sport-safer-and-more-equitable-213349">Why taking a trauma- and violence-informed approach can make sport safer and more equitable</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Namun, tidak ada bukti bahwa perilaku kasar dan suka mengontrol berdampak positif terhadap performa olahraga.</p>
<p>Sebaliknya, ada banyak bukti yang menunjukkan hal ini:</p>
<ul>
<li><p>merusak rasa percaya diri dan harga diri anak</p></li>
<li><p><a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fpsyg.2017.00572/full">meningkatkan kecemasan terhadap persaingan</a></p></li>
<li><p><a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/1356336X14555294">menyebabkan anak meninggalkan olahraga</a></p></li>
<li><p>dikaitkan dengan <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.5694/mja2.51870">depresi dan kecemasan. </a></p></li>
</ul>
<p>Penelitian menunjukkan bahwa ketika orang dewasa dalam olahraga komunitas menggunakan “pendekatan yang mendukung otonomi” – yang berarti generasi muda diberdayakan untuk membuat keputusan sendiri dan perasaannya diakui – anak-anak dapat <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/17408989.2017.1346070?casa_token=Wd8P4Y9I2fEAAAAA%3AIXY0n8e9BoTJKIB29IQ4NWeKZEgghs_1FXqfq2rQ1jgoqt5EJuQeFqmkEtdIIpt7TJEBi9d_iLK_3LA">lebih termotivasi</a>.</p>
<p>Sebuah <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1469029215000229">eksperimen</a> di Olimpiade 2012 menemukan bahwa pelatih dengan pendekatan yang lebih suportif meraih perolehan medali lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak.</p>
<p>Sebagian besar bukti ini berfokus pada pembinaan, tapi mengingat banyak orang tua bertindak sebagai pelatih bagi anak-anak mereka, temuan ini tetap relevan.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/554131/original/file-20231016-21-vqceuc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="A child looks sad at football." src="https://images.theconversation.com/files/554131/original/file-20231016-21-vqceuc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/554131/original/file-20231016-21-vqceuc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/554131/original/file-20231016-21-vqceuc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/554131/original/file-20231016-21-vqceuc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/554131/original/file-20231016-21-vqceuc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/554131/original/file-20231016-21-vqceuc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/554131/original/file-20231016-21-vqceuc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Tidak ada bukti bahwa kekerasan meningkatkan kinerja anak-anak dalam olahraga.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Jadikan pengalaman sebagai yang utama</h2>
<p>Tidak ada bukti bahwa praktik pengendalian atau kekerasan meningkatkan performa anak dalam olahraga. Bahkan kalaupun ada, performa olahraga tidak boleh dianggap lebih penting daripada kesehatan dan <em>wellbeing</em> anak.</p>
<p>Perilaku ini tidak akan ditoleransi di lingkungan yang berbeda, seperti tempat kerja atau sekolah. Sehingga sudah saatnya dihilangkan dalam dunia olahraga ini. </p>
<p>Bagaimana langkah selanjutnya?</p>
<p>Sistem olahraga itu rumit, dan meskipun mudah untuk berpikir bahwa hanya segelintir orang yang bermasalah, praktik-praktik ini kenyataannya telah dinormalisasi dari generasi ke generasi.</p>
<p>Orang tua mengulangi pola dari pengalaman mereka sendiri dan mencerminkan praktik yang mereka anggap normal dalam olahraga elit.</p>
<p>Tidak ada cara cepat untuk memperbaiki hal ini. Namun, kita semua dapat berperan dengan merefleksikan perilaku kita sendiri dan mempertimbangkan bagaimana kita dapat memprioritaskan pengalaman dan <em>wellbeing</em> anak-anak.</p>
<p>Orang tua harus <a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fspor.2022.1087182/full">mempriotaskan bagaimana anak-anak bisa menikmati olah raga, mempelajari keterampilan baru, menikmati momen</a>, dan menjadi bagian dari tim sehingga anak-anak mereka dapat memperoleh hasil maksimal dari permainan yang mereka sukai.</p>
<p>Meskipun David Beckham sendiri mengatakan bahwa semua proses yang dia alami itu sepadan, bukti menunjukkan bahwa dia sukses bukan karena mendapatkan tekanan tinggi di lingkungan rumahnya, tapi karena kehebatannya untuk tetap bisa sukses terlepas dari adanya tekanan tersebut.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/in-sport-abuse-is-often-dismissed-as-good-coaching-211691">In sport, abuse is often dismissed as 'good coaching'</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<img src="https://counter.theconversation.com/content/216005/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Alexandra Parker menerima dana dari Program Prioritas Negara Berkembang Pemerintah Australia.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Aurélie Pankowiak menerima dana dari VicHealth.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Mary Woessner tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>
David Beckham mengaku bisa menghadapi kemarahan Inggris setelah Piala Dunia 1998 karena cara ayahnya memperlakukannya. Namun, bukti menunjukkan bahwa perilaku mengontrol tidak berdampak positif.
Mary Woessner, Lecturer in Clinical Exercise and Research Fellow, Institute for Health and Sport (iHeS), Victoria University, Victoria University
Alexandra Parker, Executive Director of the Institute for Health and Sport, Professor of Physical Activity and Mental Health, Victoria University
Aurélie Pankowiak, Research Fellow, Institute for Health and Sport, Victoria University
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/215542
2023-10-16T02:11:01Z
2023-10-16T02:11:01Z
Setelah memiliki bayi, bisakah kita tetap berteman dengan orang yang belum punya anak?
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/553444/original/file-20230927-29-89t418.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C15%2C5262%2C3481&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/crop-mother-with-sleepy-baby-in-arms-6957501/">Helena Lopes/Pexels</a></span></figcaption></figure><p>Ketika sudah mempunyai bayi, apakah ini berarti kita tidak bisa lagi berteman dengan teman yang tidak memiliki anak?</p>
<p>Dalam <a href="https://www.thecut.com/article/adult-friendships-vs-kids.html">artikel terkenal</a> di majalah <em>New Yorker</em> edisi September, jurnalis Allison Davis menulis tentang retaknya persahabatan setelah ada bayi sebagai “pergeseran tektonik yang berjalan lambat, yang awalnya tidak ada pihak yang memperhatikan (terutama orang tua)”.</p>
<blockquote>
<p>Hal ini menciptakan kita vs. mereka. Di satu sisi: <em>People With Kids</em> (PWIKS: letih, teralihkan, membosankan, kaku, kotor; tidak bisa bicara tentang film, hanya tentang betapa mereka berharap punya waktu untuk menontonnya). Dan di sisi lain: <em>People Without Kids</em> (PWOKS: hanya peduli dirinya sendiri, penuntut, pencari perhatian, pemarah terhadap ketidaknyamanan hidup padahal hidupnya sendiri baik-baik saja).</p>
</blockquote>
<p>Davis juga mengacu pada <a href="https://www.jstor.org/stable/26332185?seq=22">penelitian di Belanda tahun 2017</a> yang menemukan penurunan kontak dengan teman setelah memiliki anak. Penurunan ini semakin besar ketika orang tua mempunyai anak pada masa awal kehidupannya.</p>
<p>TikTok juga <a href="https://www.tiktok.com/search?q=lose%20friends%20after%20kids%20&t=1695858811125">penuh dengan cerita serupa,</a> yang menggambarkan anak-anak sebagai hal yang mengakhiri persahabatan.</p>
<p>Mengapa demikian? Adakah cara untuk melindungi kita dan sahabat kita dari hal ini?</p>
<p><iframe id="tc-infographic-931" class="tc-infographic" height="400px" src="https://cdn.theconversation.com/infographics/931/2ac2773b2518eaad02d97c372bb603094c6a3af4/site/index.html" width="100%" style="border: none" frameborder="0"></iframe></p>
<h2>Bayi adalah perubahan besar</h2>
<p>Memiliki bayi adalah <a href="https://nobaproject.com/modules/the-developing-parent#authors">tahapan kehidupan baru</a> yang tiada duanya. Kehamilan tidak hanya disertai dengan peningkatan hormon baru, tetapi menjadi orang tua juga membawa <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27321714/">ketidakpastian yang besar</a>.</p>
<p>Ketika kita berada dalam keadaan seperti itu, kita sering <a href="https://www.cope.org.au/new-parents/first-weeks/">mencari jangkar</a> – untuk membantu menciptakan rasa kendali. Sehingga orang tua baru sering merujuk ke orang tua lain yang memiliki bayi dengan usia serupa.</p>
<p>Hal ini dapat dengan cepat menciptakan perasaan <em>in-group/out-group</em>. Teman-teman tanpa bayi dapat segera merasa menjadi bukan bagian dari kelompok (<em>out-group</em>). Mereka tidak punya cerita untuk dibagikan tentang bagaimana bayi tidur, buang air besar, atau makan. Kurangnya pengalaman yang sama untuk dibagi ini dapat berdampak pada persahabatan.</p>
<p>Selain itu, orang tua sering kali tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan setelah seharian mengasuh anak. Mereka juga tidak mampu melakukan beberapa hal yang biasa mereka lakukan sebelumnya, seperti keluar rumah hingga larut malam atau bersosialisasi tanpa anak-anak mereka. </p>
<p>Mampir tiba-tiba tanpa rencana juga tidak dimungkinkan lagi karena bayi mungkin sedang tidur dan kunjungan yang tidak direncanakan dapat mengganggu rutinitasnya.</p>
<p>Akibatnya, teman tanpa anak bisa merasa diabaikan tanpa memahami sepenuhnya bahwa ini bukan tentang mereka.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="A woman lies on a bed, holding a sleeping newborn." src="https://images.theconversation.com/files/550470/original/file-20230927-15-edx5uj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/550470/original/file-20230927-15-edx5uj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/550470/original/file-20230927-15-edx5uj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/550470/original/file-20230927-15-edx5uj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/550470/original/file-20230927-15-edx5uj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/550470/original/file-20230927-15-edx5uj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/550470/original/file-20230927-15-edx5uj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Orang tua baru umumnya merasa kelelahan dan tidak bisa sering keluar rumah seperti dulu.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/a-woman-resting-on-the-bed-with-her-baby-on-top-6849528/">RDNE Stock Project/Pexels</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Mungkin ada hal-hal sensitif yang baru</h2>
<p>Seperti yang Davis <a href="https://www.thecut.com/article/adult-friendships-vs-kids.html">tulis di artikelnya</a>, teman yang tidak memiliki anak juga bisa mengalami kesedihan jika mengalami ketidaksuburan. Dalam keadaan seperti ini, akan sangat sulit untuk berada di dekat wanita yang sedang hamil, atau dengan seorang anak.</p>
<p>Urusan memiliki anak, serta stres dan ketidakpastian yang menyertainya, juga dapat menyebabkan orang tua baru tidak selalu mengetahui apa yang mereka butuhkan sehingga tidak bisa (atau tidak mau) memintanya. Sebaliknya mereka cenderung mencari kenyamanan dan kepastian dari orang tua lain.</p>
<p>Jadi ekspektasi dalam sebuah persahabatan bisa berubah – tapi hal ini mungkin tidak selalu dikomunikasikan dengan jelas.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bluey-casts-a-tender-light-on-being-childless-not-by-choice-heres-what-women-told-me-about-living-with-involuntary-childlessness-186912">Bluey casts a tender light on being childless not by choice. Here's what women told me about living with involuntary childlessness</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Bagaimana cara mempertahankan teman lama?</h2>
<p>Jika persahabatan lama masih layak dipertahankan, apa yang dapat dilakukan orang tua baru untuk membantu melindungi hubungan ini dari kedatangan bayi?</p>
<p>Pertama-tama cobalah untuk mengobrol dengan sahabatmu sebelum bayinya lahir – berkomitmenlah untuk membicarakan perubahan yang mungkin terjadi dalam persahabatan. Bicarakan kekhawatiranmu dan bagaimana kamu dan sahabatmu dapat melakukan pendekatan yang berbeda setelah ada bayi meskipun hal itu masih mungkin berubah.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Two women sit on a bench at a bar, drinking and laughing." src="https://images.theconversation.com/files/550472/original/file-20230927-15-mnwu8v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/550472/original/file-20230927-15-mnwu8v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=429&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/550472/original/file-20230927-15-mnwu8v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=429&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/550472/original/file-20230927-15-mnwu8v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=429&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/550472/original/file-20230927-15-mnwu8v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=539&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/550472/original/file-20230927-15-mnwu8v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=539&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/550472/original/file-20230927-15-mnwu8v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=539&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Memiliki bayi berarti lebih susah untuk untuk saling bertemu dan berbagi kabar seperti dulu.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/two-smiling-women-sitting-on-wooden-bench-1267696/">Elevate/Pexels</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Saat bayi lahir, sampaikan sejelas mungkin apa yang kamu butuhkan dan apa yang akan kamu lakukan (misalnya, “Maaf, aku tidak bisa makan malam, aku benar-benar kelelahan, tetapi aku ingin segera bertemu denganmu.”).</p>
<p>Teruslah mencoba untuk berinteraksi dengan temanmu sesuai dengan keinginannya (setidaknya kadang-kadang). Kamu mungkin sedang mengalami peristiwa besar dalam hidup, namun kehidupan temanmu juga masih berlangsung, jadi tanyakan tentang pekerjaannya, permasalahannya, dan keluarganya.</p>
<p>Untuk teman yang tidak memiliki anak, tawarkan sesuatu yang membuat hidup orang tua baru lebih mudah atau menyenangkan seperti mengantarkan makanan, atau meninggalkan perbekalan di depan pintu. Tunjukkan bahwa kamu paham hidup mereka telah berubah. Periksa kapan waktu terbaik untuk menawarkan bantuan, kirim pesan tanpa mengharapkan balasan cepat. Ketika anak-anak sudah besar, tawarkan untuk mengasuh atau menjaga mereka sebentar.</p>
<p>Berusahalah juga untuk menunjukkan bahwa kamu tertarik pada bayi tersebut - belilah hadiah, tanyakan bagaimana kabar bayinya.</p>
<p>Kuncinya adalah kedua sisi perlu mengakui bahwa akan ada atau telah terjadi perubahan – dan bahwa segala sesuatunya mungkin sulit dan menantang.</p>
<p>Namun, jika kamu saling berbicara dan terus berusaha memahami kebutuhan masing-masing, kalian berdua akan tetap memiliki peran dalam kehidupan satu sama lain sebagai sahabat.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/friday-essay-how-philosophy-can-help-us-become-better-friends-200063">Friday essay: how philosophy can help us become better friends</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<img src="https://counter.theconversation.com/content/215542/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Catherine E. Wood tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>
Orang tua sering kali kepayahan dan tidak punya energi setelah seharian mengasuh anak. Hal ini dapat membuat teman yang tidak memiliki anak merasa diabaikan.
Catherine E. Wood, Associate Professor and Clinical Psychologist, Swinburne University of Technology
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/209527
2023-07-24T02:41:58Z
2023-07-24T02:41:58Z
‘Single parents’ sering jadi kambing hitam dalam pendidikan anak: perlunya dukungan bagi mereka
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/538852/original/file-20230723-40270-leb9kd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-vector/one-single-line-drawing-young-happy-2201066787">Simple Line/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Dalam percakapan sehari-hari ataupun di media sosial, kita sering dibanjiri berbagai informasi seputar <em>parenting</em> (pengasuhan anak). Dalam hal ini, <a href="https://www.liputan6.com/hot/read/5099372/6-artis-ini-pernah-dikritik-netizen-soal-pola-asuh-anak-jadi-sorotan">gaya pengasuhan orang tua</a>, terutama oleh ibu, sering jadi sorotan warganet – seolah hanya ada standar tunggal dalam pengasuhan anak yang harus diikuti untuk menjadi <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00309230.2016.1240209">orang tua yang baik, ideal, atau teladan</a>. </p>
<p>Namun, narasi terkait pengasuhan anak lebih menekankan pada <a href="https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3713/kemenpppa-dorong-inisiasi-penyusunan-rencana-aksi-daerah-dalam-pengasuhan-berbasis-hak-anak/zlsis/l1240554.html/fiqez/q441637.html">peningkatan peran ibu dalam pendidikan anak</a> dan <a href="https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3305/pembagian-peran-pengasuhan-ciptakan-keluarga-berkualitas/rftvn/a1368840.html">keluarga tradisional yang “utuh”</a>.</p>
<p>Saat ini, kita masih kurang menaruh perhatian pada pengasuhan anak dari keluarga rentan, terutama anak-anak dengan orang tua tunggal (<em>single parent</em>). </p>
<h2>Mengkambinghitamkan orang tua yang bercerai</h2>
<p>Orang tua, terutama yang bercerai, kerap dianggap sebagai <a href="https://www.mdpi.com/2076-0760/8/2/64">faktor risiko utama</a> atas tingkah laku anak. Mereka dianggap bertanggung jawab penuh atas kesuksesan anaknya di masa depan.</p>
<p>Narasi yang ada biasanya menyatakan bahwa perpisahan orang tua menyebabkan berbagai masalah pada anak. Di Amerika Serikat, misalnya, buruknya performa pendidikan anak kerap dikaitkan sebagai <a href="https://bestrongintl.org/programs/how-does-single-parenting-affect-education/">dampak dari perceraian orang tua</a>. Anak-anak dari kelompok ini juga dianggap cenderung mengalami <a href="https://www.educationnext.org/one-parent-students-leave-school-earlier/">kendala akademis dan putus sekolah lebih awal</a>.</p>
<p>Padahal, <a href="https://www.pnas.org/doi/full/10.1073/pnas.1813049116">studi</a> menunjukkan bahwa perceraian tidak selalu berdampak pada prestasi akademik anak-anak dari orang tua yang berisiko tinggi untuk berpisah. Justru, mayoritas <a href="https://ifstudies.org/blog/for-getting-kids-through-college-single-parent-families-are-not-all-the-same">anak yang tinggal dengan ibu tunggal cenderung bisa melanjutkan pendidikan</a> higga perguruan tinggi. Selain itu, <a href="https://phys.org/news/2019-03-divorce-effect-children-constant.html">perbedaan performa akademik siswa tidak begitu terlihat</a> antara siswa dari keluarga yang berpisah ataupun tidak. </p>
<h2>Tantangan partisipasi orang tua tunggal</h2>
<p>Orang tua tunggal juga kerap disalahkan karena tidak bisa berpartisipasi pada pendidikan anaknya, terutama di sekolah. Padahal, mereka banyak <a href="https://repository.unib.ac.id/8758/1/I%2CII%2CIII%2CII-14-den.FK.pdf">mengalami kendala</a> untuk terlibat dalam kegiatan di sekolah. </p>
<p>Orang tua tunggal biasanya tergolong <a href="https://www.heritage.org/marriage-and-family/report/how-broken-families-rob-children-their-chances-future-prosperity">kelompok ekonomi lemah</a> dan rentan masuk dalam <a href="https://www.povertycenter.columbia.edu/nyc-poverty-tracker/2017/single-parent-households">kemiskinan</a>. Mereka pun harus mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah minimnya dukungan finansial maupun pengasuhan dari mantan pasangan – membuat mereka mengemban <a href="http://anale.steconomiceuoradea.ro/volume/2021/n2/018.pdf">kerentanan yang berlipat</a>. </p>
<p>Selain itu, mereka juga biasanya terkendala kurangnya <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0277953697100831?via%3Dihub">dukungan sosial</a>.</p>
<p>Bagi orang tua tunggal dari kelas ekonomi menengah ke atas, misalnya, Asisten Rumah Tangga (ART), suster, atau <em>daycare</em> bisa menjadi opsi untuk membantu pengasuhan atau pekerjaan domestik selama anak ditinggal bekerja atau saat mereka harus berpartisipasi dalam kegiatan orang tua di sekolah.</p>
<p>Sedangkan, masyarakat <a href="http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/157891">ekonomi lemah</a> biasanya bekerja di sektor pertanian atau terlibat dalam pekerjaan rentan (prekariat) yang mendapat upah harian. Mereka menjadi tak punya pilihan mewah seperti meninggalkan pekerjaan untuk menghadiri acara di sekolah anak. Mereka pun kerap tidak memiliki hari libur khusus, apalagi hak cuti.</p>
<p>Wajar jika <a href="https://thekeep.eiu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=5464&context=theses">orang tua tunggal jarang bisa berpartisipasi dalam kegiatan sekolah</a>, meskipun mereka tetap menunjukkan keterlibatannya ketika anak belajar di rumah.</p>
<h2>Stigma terhadap kelompok rentan dalam dunia pendidikan</h2>
<p>Perceraian seharusnya dilihat sebagai kondisi netral – bebas penghakiman atau stigma terhadap orang tua maupun anaknya sebab mereka termasuk kelompok rentan. <a href="https://www.oecd-ilibrary.org/sites/dc16ec77-en/index.html?itemId=/content/component/dc16ec77-en#chapter-d1e13123">Kerentanan</a> ini dipengaruhi oleh beberapa faktor; sulitnya orangtua tunggal mendapat pekerjaan dan pendapatan yang memadai, beban pengasuhan yang timpang, hingga minimnya dukungan emosional.</p>
<p>Sayangnya, stigma tersebut masih kami temukan dalam beberapa penelitian kualitatif yang dilakukan SMERU Research Institute dengan kalangan pendidik. Hal ini justru dapat menghambat anak-anak dengan orang tua tunggal untuk bisa mendapat pendidikan secara optimal. </p>
<p>Misalnya, pada <a href="https://smeru.or.id/en/node/2181">studi diagnostik</a> bersama INOVASI tentang rendahnya capaian belajar siswa di Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 2016, sebagian informan termasuk guru acap kali menganggap ketidaktuntasan belajar murid sebagai kesalahan orang tua, terutama mereka yang bercerai. Sedangkan, motivasi belajar siswa yang rendah dianggap dampak ketidakharmonisan keluarga.</p>
<p>Pada studi kualitatif lain bersama <a href="http://www.rise.smeru.or.id/sites/default/files/publication/Infografis%20Zonasi%20RISE.pdf">program RISE di Kota Yogyakarta</a> pada 2021, sebagian guru mengganggap berbagai permasalahan siswa seperti malas, berbicara kasar, tidak semangat mengikuti pelajaran maupun kurang sopan selama pembelajaran dikarenakan kurangnya interaksi orang tua dengan anak akibat perceraian.</p>
<p>Kesalahan persepsi tersebut menyebabkan adanya kecenderungan <a href="https://theconversation.com/pandangan-negatif-pada-kelompok-miskin-tidak-hanya-salah-namun-juga-berbahaya-145755">pandangan negatif yang melekat terhadap kelompok rentan</a>. Stigma seperti ini berpotensi melanggengkan atau bahkan <a href="https://www.educationnext.org/wp-content/uploads/2022/03/ednext_XV_2_duncan.pdf">meningkatkan kesenjangan</a> tingkat pendidikan antara anak dari keluarga kaya dan miskin.</p>
<p>Apalagi, angka perceraian di Indonesia <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/03/01/kasus-perceraian-di-indonesia-melonjak-lagi-pada-2022-tertinggi-dalam-enam-tahun-terakhir#:%7E:text=Menurut%20laporan%20Statistik%20Indonesia%2C%20jumlah,tertinggi%20dalam%20enam%20tahun%20terakhir.">semakin meningkat</a> selama satu dekade terakhir, dan <a href="https://padang.viva.co.id/ragam-perkara/176-angka-perceraian-di-indonesia-tertinggi-di-asia-afrika">diklaim</a> sebagai yang paling tinggi di Asia dan Afrika. Artinya, jumlah keluarga yang masuk ke dalam kelompok rentan berpotensi semakin bertambah. </p>
<h2>Dukungan bagi orang tua tunggal</h2>
<p>Alih-alih menyalahkan orang tua, masyarakat dan pemerintah selayaknya memberikan perhatian khusus bagi keluarga yang mengalami persoalan seperti ini untuk memastikan anak-anaknya tetap mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Terdapat beberapa program yang dapat membantu anak-anak dengan orang tua tunggal mengatasi beban mental akibat stigma masyarakat dan minimnya dukungan sosial. </p>
<p><strong>Pertama</strong>, advokasi ke sekolah perlu dilakukan untuk memberikan dukungan kepada orang tua tunggal agar dapat berpartisipasi dalam pendidikan anaknya di sekolah. </p>
<p>Sebuah <a href="http://www.skicharities.org/schools-support-single-parents/">lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Zimbabwe</a>, misalnya, mendorong pihak sekolah untuk memberikan fleksibilitas waktu terkait pertemuan orang tua. Mereka juga memberikan materi pelajaran terkait struktur keluarga nontradisional sehingga siswa bisa berempati dengan kondisi temannya. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, kelompok dukungan seperti <a href="https://validnews.id/kultura/perempuan-perangkul-ibu-ibu-tunggal-indonesia">komunitas orang tua tunggal</a> juga dapat dikembangkan untuk memberikan ruang bagi orang tua tunggal berinteraksi dan berbagi kisah dengan orang lain.</p>
<p>Di Kanada, suatu eksperimen untuk menyediakan kelompok dukungan (<em><a href="https://bmcpublichealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/1471-2458-10-4">support group</a></em>) bagi ibu-ibu tunggal yang merasa kesepian menunjukkan dampak positif. Para peserta merasa lebih tenang dalam mendidik anak dan memiliki komunikasi yang lebih baik dengan anak mereka.</p>
<h2>Kebijakan berbasis komunitas</h2>
<p>Selain inisiatif masyarakat, pemerintah daerah juga dapat membantu meringankan beban orang tua tunggal melalui kebijakan pendidikan berbasis komunitas. Di antaranya adalah program <a href="https://www.bukittinggikota.go.id/berita/sekolah-keluarga-membekali-keluarga-kemampuan-mendidik-dan-membesarkan-anak-dengan-baik-dan-benar">Sekolah Keluarga</a> (SK) di Bukittinggi dan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/32923">Jam Belajar Masyarakat</a> (JBM) di Yogyakarta.</p>
<p>Riset menunjukkan bahwa kedua kebijakan tersebut berdampak positif pada <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwi12NmQvtL_AhUR-DgGHbW5Bi4QFnoECCIQAQ&url=https%3A%2F%2Fjptam.org%2Findex.php%2Fjptam%2Farticle%2Fdownload%2F1153%2F1033%2F2310&usg=AOvVaw0ZUI3lGFmQE8qbZr5XPO4f&opi=89978449">peningkatan kualitas pengasuhan orang tua</a> serta <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwj6hre7wdL_AhUp8DgGHZ_oCEgQFnoECCIQAQ&url=https%3A%2F%2Fjournal.student.uny.ac.id%2Fojs%2Findex.php%2Fpgsd%2Farticle%2Fdownload%2F10365%2F9922&usg=AOvVaw20QO-4Pni_FNwj545CXy4i&opi=89978449">motivasi belajar siswa dan partisipasi orang tua</a> dalam pendidikan anaknya. </p>
<p>Walaupun kedua kebijakan tersebut tidak secara spesifik ditujukan untuk mengatasi kendala yang dihadapi kelompok rentan, temuan kami menunjukkan ibu-ibu tunggal banyak merasakan manfaat.</p>
<p>Menurut peserta, mereka tidak hanya merasakan kestabilan emosi tapi juga bisa membangun komunikasi yang lebih bagus dengan anak yang pada akhirnya membawa perubahan positif pada capaian belajar anaknya. Sebelum mengikuti SK, misalnya, seorang ibu yang bercerai dan berasal dari kelompok ekonomi lemah mengatakan bahwa anaknya mengalami kendala akademis pada tujuh mata pelajaran. Setelah menerapkan ilmu pengasuhan yang diberikan program SK, dan juga berbagi dengan peserta lain, materi yang tidak tuntas berkurang menjadi satu mata pelajaran saja.</p>
<p>Sementara pada pelaksanaan JBM, masyarakat dalam satu rukun warga (RW) turut memonitor anak usia sekolah dan memastikan lingkungan yang kondusif pada jam-jam belajar yang sudah disepakati. Akibatnya, hasil observasi partisipatif kami menunjukkan ibu-ibu tunggal di sebuah bantaran kali terbantu dengan adanya pengawasan yang diberikan oleh tetangganya ketika ia harus bekerja.</p>
<p>Berdasarkan praktik baik di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tanggung jawab pengasuhan anak – terutama dari kelompok rentan – seharusnya tidak dibebankan pada keluarga saja, seperti peribahasa yang berbunyi “<em>it takes a village to raise a child</em>” (butuh peran orang sekampung untuk bisa membesarkan seorang anak).</p>
<p><a href="https://rise.smeru.or.id/en/publication/sociocultural-drivers-local-educational-innovations-findings-indonesia">Kolaborasi dan dukungan</a> dari pihak sekolah, komunitas, dan pemerintah menjadi hal yang patut diusahakan agar semua anak mendapatkan pendidikan yang berkualitas, terlepas dari latar belakang keluarganya. </p>
<p>Namun, perlu dicatat bahwa meski dampak dari kebijakan berbasis komunitas cukup menggembirakan, <a href="https://theconversation.com/bagaimana-aksi-kolektif-orang-tua-bisa-dorong-sekolah-menghasilkan-kebijakan-berkualitas-untuk-semua-siswa-belajar-dari-yogyakarta-203528">keterlibatan ibu masih mendominasi pengasuhan anak</a>. Arah kebijakan ke depan perlu lebih <a href="https://plan-international.or.id/id/pentingnya-peran-ayah-dalam-pengasuhan/">mendorong pelibatan ayah</a> baik di rumah, sekolah, maupun komunitas.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/209527/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Risa Nihayah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>
Alih-alih menyalahkan orang tua tunggal dan melanggengkan stigma, masyarakat dan pemerintah perlu memberi dukungan khusus bagi mereka untuk memastikan semua anak mendapat pendidikan berkualitas.
Risa Nihayah, Peneliti Kualitatif, SMERU Research Institute
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/191954
2022-10-20T03:50:42Z
2022-10-20T03:50:42Z
Lebih dari 1 dari 5 orang Amerika tidak menginginkan anak
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/488254/original/file-20221005-17-3sjl4v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Masyarakat Amerika Serikat memutuskan untuk bebas anak pada usia yang jauh lebih muda dari yang diperkirakan sebelumnya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/young-couple-viewed-from-behind-walks-down-a-street-with-news-photo/614380516?adppopup=true">Photo via Smith Collection/Gado/Getty Images</a></span></figcaption></figure><p>Kekhawatiran tentang turunnya angka kelahiran datang dari berbagai sumber seperti <a href="https://www.nbcnews.com/think/opinion/pope-francis-claims-pets-replacing-children-many-families-selfish-s-ncna1287140">Paus Fransiskus</a> dan CEO Tesla <a href="https://twitter.com/elonmusk/status/1545046146548019201">Elon Musk</a>. Keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam Dobbs v. Jackson dapat <a href="https://www.washingtonpost.com/outlook/2022/06/24/dobbs-roe-forced-pregnancy/">memaksa perempuan untuk melahirkan di luar kehendak mereka</a>, sementara <a href="https://www.thetimes.co.uk/article/should-we-tax-the-childless-j7h9c297r">media Inggris</a> baru-baru ini bahkan mengusulkan pemungutan pajak untuk orang-orang yang tidak memiliki anak.</p>
<p>Media secara konsisten menunjukkan peningkatan jumlah orang Amerika yang <a href="https://www.cnbc.com/2022/07/20/birth-rate-financial-hesitancy.html">memiliki lebih sedikit anak</a> atau <a href="https://www.businessinsider.com/us-birth-fertility-rate-decline-having-baby-millennials-kids-cost-2021-6">sama sekali tidak ingin menjadi orang tua</a>.</p>
<p>Namun, berapa banyak masyarakat Amerika yang ingin tetapi tidak dapat memiliki anak atau masih berencana untuk menjadi orang tua di masa depan? Berapa banyak yang secara sadar membuat pilihan untuk tidak pernah punya anak?</p>
<p>Meski <a href="https://www.census.gov/topics/health/fertility/data.html">statistik resmi di Amerika Serikat</a> dan negara lain melacak angka kesuburan, mereka tidak memberikan informasi tentang orang-orang yang belum memiliki anak. Ada banyak tipe berbeda dari orang-orang yang tidak memiliki anak: orang yang tidak menginginkan anak; orang yang menginginkan anak tetapi tidak dapat memilikinya; orang yang berencana untuk memiliki anak di masa depan; orang yang masih tidak yakin mereka akan memiliki anak; dan orang yang tidak yakin mereka menginginkan anak.</p>
<p><a href="https://doi.org/10.1038/s41598-022-15728-z">Dalam studi pada tahun 2022</a> terhadap 1.500 orang dewasa di Michigan, Amerika Serikat, <a href="https://scholar.google.com/citations?user=HVJX9_gAAAAJ&hl=en">kami</a> <a href="https://scholar.google.com/citations?user=kcD2PeYAAAAJ&hl=en">menemukan</a> bahwa 21,64% orang dewasa tidak ingin memiliki anak dan karena itu memilih untuk tidak memiliki anak. Meskipun survei kami tidak representatif secara nasional, <a href="https://www.census.gov/quickfacts/fact/table/US,MI/PST045221">Sensus 2021</a> menunjukkan bahwa Michigan secara demografis mirip dengan Amerika Serikat dalam hal usia, ras, pendidikan, dan pendapatan. Jika pola yang kami amati di Michigan mencerminkan tren nasional, itu berarti 50 hingga 60 juta orang dewasa Amerika tidak memiliki anak.</p>
<h2>Mengidentifikasi orang-orang yang tidak ingin memiliki anak</h2>
<p>Untuk mengidentifikasi orang-orang yang tidak ingin memiliki anak, kami memberi setiap peserta tiga pertanyaan:</p>
<ul>
<li>Apakah Anda memiliki, atau pernah memiliki, anak biologis, tiri, atau adopsi? </li>
<li>Apakah Anda berencana untuk memiliki anak biologis atau anak adopsi di masa mendatang?</li>
<li>Apakah Anda ingin memiliki atau dapat memiliki anak biologis atau adopsi?</li>
</ul>
<p>Responden dapat menjawab “ya”, “tidak”, atau “Saya tidak tahu” untuk setiap pertanyaan. Kami mengklasifikasikan responden yang menjawab “tidak” untuk ketiga pertanyaan sebagai kelompok orang yang tidak menginginkan anak.</p>
<p>Perkiraan kami tentang jumlah penduduk yang tidak menginginkan anak jauh lebih tinggi daripada <a href="https://www.jstor.org/stable/4122892">studi-studi nasional sebelumnya</a>, yang menempatkan persentase antara 2% dan 9%. Hal ini kemungkinan terjadi karena pengukuran kami berfokus pada keinginan seseorang untuk memiliki anak, bukan kemampuannya. Hal ini penting karena seseorang dapat tidak menginginkan anak meskipun mereka bisa memiliki anak secara biologis.</p>
<p><iframe id="TnFhC" class="tc-infographic-datawrapper" src="https://datawrapper.dwcdn.net/TnFhC/3/" height="400px" width="100%" style="border: none" frameborder="0"></iframe></p>
<p>Estimasi kami juga sedikit lebih rendah dari perkiraan awal – 27% – dari <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0252528">studi tahun 2021</a> yang <a href="https://theconversation.com/far-more-adults-dont-want-children-than-previously-thought-163142">kami tulis sekitar satu tahun yang lalu</a>. Studi asli tidak mengizinkan responden untuk menjawab “Saya tidak tahu” untuk pertanyaan-pertanyaan ini. Oleh sebab itu, responden yang ragu-ragu tidak dapat dipisahkan dari mereka yang tidak menginginkan anak. Kami terkejut bahwa setelah menyempurnakan pengukuran kami untuk membedakan kelompok-kelompok unik ini, kami masih mengamati begitu banyak orang dewasa yang tidak menginginkan anak.</p>
<p>Kira-kira separuh jumlah orang dewasa dalam penelitian kami merupakan orang tua. Akan tetapi, orang dewasa yang tidak menginginkan anak adalah kelompok non-orang tua terbesar.</p>
<h2>Mereka memutuskan sejak dini</h2>
<p>Orang-orang, terutama perempuan, yang mengatakan bahwa mereka tidak menginginkan anak sering kali dianggap bahwa mereka akan berubah pikiran. Namun, kami menemukan bahwa kemungkinan besar nyatanya tidaklah demikian. </p>
<p>Dalam penelitian kami, orang-orang melaporkan bahwa mereka membuat keputusan untuk tidak memiliki sejak dini, paling sering pada usia remaja dan 20-an. Selain itu, bukan hanya anak muda yang mengaku tidak menginginkan anak. Banyak perempuan yang memutuskan untuk tidak menginginkan anak di usia remajanya akhirnya tidak memilikinya ketika mereka sudah tua.</p>
<p><iframe id="3RBq6" class="tc-infographic-datawrapper" src="https://datawrapper.dwcdn.net/3RBq6/2/" height="400px" width="100%" style="border: none" frameborder="0"></iframe></p>
<p>Temuan kami berasal dari <a href="https://doi.org/10.1300/J002v02n02_01">penelitian yang dilakukan pada tahun 1970-an</a>, yang menemukan bahwa orang dewasa yang tidak menginginkan anak cenderung mengambil keputusan di kemudian hari setelah menunda menjadi orang tua selama bertahun-tahun. Keputusan sebelumnya mungkin mencerminkan perubahan norma dalam memutuskan menjadi orang tua dan adalanya peningkatan pengakuan dan penerimaan <a href="https://time.com/241/having-it-all-without-having-children/">gaya hidup orang-orang yang tidak memiliki anak</a>.</p>
<h2>Kurangnya populasi bukanlah masalahnya</h2>
<p>Terlepas dari pernyataan Elon Musk bahwa ada krisis populasi, <a href="https://fortune.com/2022/07/11/elon-musk-underpopulation-crisis-un-population-report/">populasi global akan terus tumbuh</a>.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1545046146548019201"}"></div></p>
<p>Pertumbuhan ini dapat memiliki efek negatif pada perubahan iklim – dan <a href="https://theconversation.com/a-long-fuse-the-population-bomb-is-still-ticking-50-years-after-its-publication-96090">beberapa peneliti berpendapat</a> bahwa salah satu cara terbaik untuk <a href="https://www.science.org/content/article/best-way-reduce-your-carbon-footprint-one-government-isn-t-telling-you-about">mengurangi emisi karbon</a> adalah dengan memiliki lebih sedikit anak.</p>
<p>Sementara itu, keputusan Dobbs memiliki implikasi yang mengerikan bagi jutaan orang Amerika yang tidak menginginkan anak: Sebagian besar dari mereka sekarang berisiko dipaksa untuk memiliki anak meskipun tidak menginginkannya.</p>
<p>Masalah yang mempengaruhi orang Amerika yang tidak menginginkan anak melampaui kebebasan reproduksi. Misalnya, <a href="https://www.shrm.org/resourcesandtools/hr-topics/people-managers/pages/childless-workers.aspx">kebijakan di tempat kerja tentang keseimbangan kehidupan dan pekerjaaan sering kali menguntungkan mereka yang memiliki anak</a>. Karena begitu banyak penduduk yang tidak menginginkan anak, kami yakin kebutuhan kelompok ini memerlukan perhatian lebih dari para pembuat kebijakan.</p>
<hr>
<p><em>Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/191954/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Zachary P. Neal menerima dana dari National Science Foundation dan Institute for Public Policy and Social Research.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Jennifer Watling Neal menerima dana dari National Institute of Mental Health dan Institute for Public Policy and Social Research.</span></em></p>
Orang-orang yang mengatakan mereka tidak menginginkan anak sering diberi tahu bahwa mereka akan berubah pikiran. Namun, studi baru menemukan sebaliknya.
Zachary P. Neal, Associate Professor of Psychology, Michigan State University
Jennifer Watling Neal, Professor of Psychology, Michigan State University
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/183919
2022-05-27T06:38:55Z
2022-05-27T06:38:55Z
Pelajaran dari ‘Encanto’ dan Turning Red: kita tidak bisa bahagia selamanya, tapi keluarga bisa membantu ini
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/465448/original/file-20220526-19-qo0vf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">© 2022 Disney/Pixar. All Rights Reserved</span></span></figcaption></figure><p>Dalam film <em>Turning Red</em> (2022), seorang anak perempuan yang berusia 13 tahun, Meilin “Mei” Lee, berubah menjadi panda merah setiap kali dia menunjukkan emosi yang berlebihan: baik marah, sedih, atau bersemangat. </p>
<p>Dia mulai percaya bahwa emosi yang kuat adalah hal yang memalukan dan mencoba untuk menekannya.</p>
<p>Dalam film <em>Encanto</em> (2021), keluarga Madrigal yang multi-generasi menyimpan emosi mereka satu sama lain, menyebabkan rumah mereka runtuh.</p>
<p>Seperti dalam film <em>Inside Out</em> (2015) dan <em>Frozen</em> (2013) sebelumnya, film-film ini tidak ada penjahatnya, yang menjadi penjahat adalah menjadi emosi para karakter.</p>
<p>Hanya ketika karakter belajar untuk merangkul semua perasaan mereka – dan menyadari bahwa mereka bukan penjahat dalam cerita kita – mereka dapat menjadi diri mereka yang sebenarnya yang otentik.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/XdKzUbAiswE?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<h2>Emosi itu penting</h2>
<p>Keyakinan atas diri sendiri adalah cara seseorang melihat karakter mereka, tujuan mereka, dan keyakinan yang akan menentukan identitas mereka.</p>
<p>Mengembangkan keyakinan tersebut sangat penting tidak hanya untuk anak yang sedang berkembang, tetapi juga bagi bagi orang dewasa. Keyakinan diri yang positif dan kuat merupakan bagian integral dari kebahagiaan.</p>
<p>Bagian penting dari hal ini adalah kemampuan untuk merasakan dan mengekspresikan semua emosi kita. Namun banyak orang tua, seperti ibu Mei, Ming, dalam <em>Turning Red</em>, berjuang untuk hidup secara otentik, sering kali harus memasang wajah berani dan menyembunyikan gejolak batin mereka.</p>
<p>Menekan rasa takut dan ragu pada diri sendiri membuat kita berhadapan dengan risiko lebih besar untuk penyakit kronis dan depresi, sedangkan <a href="https://psycnet.apa.org/buy/1988-27259-001">membuka diri itu baik</a> untuk tubuh, pikiran dan jiwa.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/what-the-world-can-learn-from-the-buddhist-concept-loving-kindness-171354">What the world can learn from the Buddhist concept loving-kindness</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Ketika orang tua tidak menunjukkan bagaimana sebaiknya mengekspresikan dan menyuarakan perasaan, anak-anak diajari untuk menekan emosi mereka. Hal ini membatasi kemampuan mereka untuk tumbuh dan <a href="https://books.google.com.au/books?hl=en&lr=&id=8hjoyCFTu6IC&oi=fnd&pg=PA1&dq=g+mate,+2011&ots=EWRHe9DUhb&sig=3UCLyYqBDSlSXxNYDgVJtWYXxsA#v=onepage&q=g%20mate%2C%202011&f=false">membentuk rasa keterikatan yang aman</a>.</p>
<p><a href="https://self-compassion.org/wp-content/uploads/publications/LearyJPSP.pdf">Rasa menyayangi diri sendiri</a> artinya baik pada diri sendiri dan memahami bahwa semua orang punya kekurangan. Di <em>Encanto</em>, saudara perempuan Mirabel, Isabela dan Luisa semuanya percaya bahwa mereka perlu menekan emosi mereka, dan mereka mengganggap mereka gagal jika tidak berhasil melakukannya.</p>
<p>Rasa menyanyangi diri sendiri dapat melindungi dari kita emosi negatif ketika membayangkan peristiwa yang menyedihkan. Ini memiliki efek yang lebih besar daripada harga diri, dan dapat membantu kita mengakui peran kita dalam peristiwa-peristiwa sulit tanpa diliputi oleh emosi negatif.</p>
<p>Emosi yang kuat seringkali dianggap sebagai kelemahan, namun menghubungkannya dengan rasa ingin tahu dan belas kasih bisa menjadi kunci untuk menemukan identitasmu.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/tQwVKr8rCYw?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<h2>Mengekspresikan emosi dapat membantu kita tumbuh</h2>
<p>Kedua film ini sangat memahami pentingnya mengekspresikan dan mengenali emosi kita, dan bagaimana ini berperan dalam membentuk hubungan dengan orang lain. Hubungan sosial yang positif menghasilkan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4290532/">hormon cinta oksitosin</a>, melepaskan dopamin dan mengurangi kecemasan.</p>
<p>Saat Mei dari <em>Turning Red</em> berbagi dengan teman-temannya tentang dirinya yang sebenarnya, emosinya menjadi tidak terlalu berlebihan.</p>
<p>Ketika keluarga Madrigal Encanto mengetahui bahwa mereka diizinkan untuk mengekspresikan ketakutan mereka satu sama lain, keluarganya bisa bangkit.</p>
<p>Film-film ini memberikan kesempatan bagi orang tua dan anak-anak untuk berbicara tentang bagaimana kita mengenali emosi kita, dan bagi orang tua untuk membantu anak-anak mereka menghadapi kesulitan mereka dengan penuh kasih sayang – daripada menghindarinya.</p>
<p>Film <em>Inside Out</em> dapat membantu kita memahami semua emosi itu normal dan tidak perlu ditakuti. Karakter yang dipersonifikasikan sebagai <em>Joy</em> (rasa bahagia), <em>Sadness</em> (rasa sedih), <em>Fear</em> (rasa takut), dan <em>Anger</em> (rasa marah) dapat membantu anak-anak belajar memahami emosi yang tidak nyaman.</p>
<p>Ketika anak-anak menggunakan emosi untuk memandu perasaan mereka, ini memberi mereka kesempatan untuk tumbuh.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/AcfmHoUiNnw?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<h2>Mengasuh anak dengan kasih sayang</h2>
<p>“<a href="https://www.deepdyve.com/lp/springer-journals/d-j-siegel-m-hartzell-parenting-from-the-inside-out-how-a-deeper-self-vDdxAVkAPu?msclkid=e0e2bf64c39e11eca43edab23045786b">Mengasuh anak dari dari dalam keluar</a>” adalah konsep psikologis yang berarti orang tua perlu menjaga dunia emosional mereka sendiri untuk menjaga dunia emosional anak mereka.</p>
<p>Ketika orang tua memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang diri mereka sendiri, mereka dapat membentuk keterikatan yang lebih kuat dengan anak-anak mereka. Hal ini juga membantu ketika orang tua memahami <a href="https://www.startingblocks.gov.au/other-resources/factsheets/brain-development-in-children/">perubahan perkembangan otak</a> anak-anak, bagaimana emosi berubah dan berubah seiring anak tumbuh, dan bagaimana hal ini dapat mempengaruhi pengalaman sebagai orang tua.</p>
<p>Memahami hal ini dapat membantu membesarkan anak-anak. Membantu anak-anak untuk mengungkapkan emosi mereka membantu mereka mengenali emosi mereka.</p>
<p>Memberi semangat kepada anak tidak selalu mudah bagi orang tua, apalagi jika mereka tidak tumbuh dengan cara seperti itu. Memperlakukan anak-anak dengan <a href="https://www.pprc.gg/wp-content/uploads/2014/07/C.Proctor.UPSR_.Humanistic-Psychologist.pdf">memberi penghargaan positif tanpa syarat</a> berarti memberi anak-anak (dan diri sendiri) pengertian dan cinta penuh. Ini akan membuat anak-anak siap untuk sukses.</p>
<p>Film-film terbaru ini dapat menjadi titik awal yang sempurna untuk memulai percakapan yang sulit untuk membantu anak-anak mengurangi rasa takut dan tumbuh lebih banyak.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/yes-the-terrible-twos-are-full-on-but-lets-look-at-things-from-a-childs-perspective-177633">Yes, the 'terrible twos' are full-on – but let's look at things from a child's perspective</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<hr>
<p><em>Arina Apsarini dari Binus University menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/183919/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Cher McGillivray tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>
Hanya ketika karakter belajar bagaimana merangkul semua emosi mereka, mereka bisa menjadi diri mereka yang sebenarnya dan otentik.
Cher McGillivray, Assistant Professor, Bond University
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/172886
2021-12-03T11:11:45Z
2021-12-03T11:11:45Z
Tumbuh kembang anak usia dini sangat memengaruhi capaian pendidikan: 3 aspek yang perlu Indonesia perhatikan
<p>Selama dua dekade terakhir, sistem pendidikan di Indonesia mengalami perubahan progresif dari <a href="https://indonesiabaik.id/infografis/anggaran-pendidikan-terus-bertambah">segi anggaran</a> hingga <a href="https://ojs.stkippgri-lubuklinggau.ac.id/index.php/JS/article/view/1192">kurikulum</a>. Namun, ini tidak serta merta diikuti dengan peningkatan capaian belajar siswa.</p>
<p>Skor murid Indonesia dalam tes global <a href="https://theconversation.com/skor-siswa-indonesia-dalam-penilaian-global-pisa-melorot-kualitas-guru-dan-disparitas-mutu-penyebab-utama-128310"><em>Programme for International Students Assessment</em> (PISA)</a> yang mengukur capaian belajar di usia 15 tahun, misalnya, cukup rendah dari 2009-2018. Indonesia hampir selalu menduduki <a href="https://www.oecd.org/pisa/PISA-results_ENGLISH.png">10 peringkat terbawah</a> dengan skor <a href="https://qz.com/1759506/pisa-2018-results-the-best-and-worst-students-in-the-world/">di bawah rerata 79 negara peserta</a>.</p>
<p><a href="https://www.tanotofoundation.org/en/media/publications/unlocking-childrens-potential-to-learn/">Penelitian kami</a> dengan Tanoto Foundation tahun ini menunjukkan bahwa intervensi yang lebih baik pada anak usia dini (0-6 tahun) bisa jadi solusi untuk mendukung upaya peningkatan capaian pendidikan.</p>
<p>Studi kami menekankan perlunya perbaikan pada setidaknya tiga aspek: sistem Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), pemenuhan asupan gizi anak, hingga pola pengasuhan anak (<em>parenting</em>) oleh orang tua.</p>
<p>Hal ini selaras dengan <a href="https://www.unicef.org/media/57926/file/A-world-ready-to-learn-advocacy-brief-2019.pdf.">riset</a> yang mengatakan bahwa sekitar 85% proses pembentukan kognisi dan otak anak terjadi hingga usia 6 tahun.</p>
<p>Kualitas hidup anak pada usia dini memiliki <a href="https://www.unicef.org/media/57926/file/A-world-ready-to-learn-advocacy-brief-2019.pdf">dampak yang signifikan</a> pada perkembangan kognitif mereka saat tumbuh dewasa, dan pada akhirnya memengaruhi capaian pendidikan pada jenjang berikutnya di sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah (SMP-SMA).</p>
<h2>1. Perbaikan pada sistem PAUD</h2>
<p>Di Indonesia, PAUD dirancang untuk anak usia 0-6 tahun. <a href="https://jdihn.go.id/files/4/2003uu020.pdf">Bentuknya bisa berupa</a> pendidikan formal (seperti Taman Kanak-Kanak), pendidikan non-formal (seperti Kelompok Bermain (KB) atau Taman Penitipan Anak (TPA)), dan pendidikan informal yang diselenggarakan keluarga atau lingkungan sekitar.</p>
<p><a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2843915">Studi yang diinisiasi oleh Bank Dunia</a> selama 2009-2016 menunjukkan bahwa PAUD berkontribusi pada capaian belajar kelompok anak usia 0-6 tahun, dan bahkan hingga masa awal SD yakni 6-9 tahun.</p>
<p>Studi tersebut juga menunjukkan bahwa anak yang mengakses PAUD mengembangkan kemampuan berbahasa dan kemampuan sosial mereka lebih awal.</p>
<p>Sayangnya, sistem PAUD di Indonesia masih belum optimal – dari segi akses, kualitas, pendanaan, hingga sumber daya yang tersedia di berbagai institusi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kb-vaksinasi-dan-sd-inpres-telah-bantu-indonesia-kurangi-kemiskinan-selama-75-tahun-tapi-tantangan-ke-depan-masih-banyak-144498">KB, vaksinasi, dan SD Inpres telah bantu Indonesia kurangi kemiskinan selama 75 tahun, tapi tantangan ke depan masih banyak</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Saat ini, terdapat <a href="https://www.unicef.org/indonesia/sites/unicef.org.indonesia/files/2020-06/The-State-of-Children-in-Indonesia-2020.pdf">ketimpangan jumlah PAUD</a> di berbagai wilayah. Dari total sekitar 205.000 PAUD di Indonesia, sebanyak sekitar 38.000 berada di Jawa Timur, sedangkan hanya terdapat 939 dan 629 berada di Papua dan Kalimantan Utara.</p>
<p>Kualitas PAUD di Indonesia pun masih perlu banyak perbaikan.</p>
<p>Hanya terdapat <a href="https://www.unicef.org/indonesia/sites/unicef.org.indonesia/files/2020-06/The-State-of-Children-in-Indonesia-2020.pdf">32% tenaga pengajar PAUD</a> yang memiliki gelar sarjana pendidikan, sementara 68% lainnya merupakan lulusan SMA.</p>
<p>Sekitar 80% PAUD di Indonesia juga <a href="https://www.unicef.org/indonesia/sites/unicef.org.indonesia/files/2020-06/The-State-of-Children-in-Indonesia-2020.pdf">tidak memegang akreditasi</a> dari Badan Akreditasi Nasional (BAN). Padahal, ini penting untuk menjamin mutu dari pendidikan anak usia dini.</p>
<p>Mayoritas PAUD yang belum terakreditasi ini berupa layanan non-formal, dan biasanya beroperasi di rumah warga, garasi, maupun posyandu.</p>
<p>Selain itu, dari total anggaran pendidikan nasional (tahun ini sekitar <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2021/01/pagu-anggaran-kemendikbud-tahun-2021-sebesar-rp815-triliun">Rp 550 triliun</a>, hanya <a href="https://ptk.datadik.kemdikbud.go.id/">1,33%</a> dialokasikan untuk PAUD. Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) merekomendasikan setidaknya <a href="https://www.unicef.org/indonesia/sites/unicef.org.indonesia/files/2020-06/The-State-of-Children-in-Indonesia-2020.pdf">10% anggaran pendidikan</a> setiap negara dialokasikan untuk PAUD.</p>
<p>Banyak PAUD, misalnya di <a href="https://bppauddikmasntt.kemdikbud.go.id/index.php/11-artikel/71-pendidikan-anak-usia-dini-paud-merupakan-investasi-masa-depan-anak-bangsa">provinsi Nusa Tenggara Timur</a>, juga terletak cukup <a href="https://bppauddikmasntt.kemdikbud.go.id/index.php/11-artikel/71-pendidikan-anak-usia-dini-paud-merupakan-investasi-masa-depan-anak-bangsa">jauh dari tempat tinggal penduduk</a>.</p>
<p>Berbagai hal di atas membuat orangtua cenderung memilih anak tetap tinggal di rumah tanpa merasa perlu mengakses PAUD. Akhirnya, mereka melewatkan periode emas dalam tumbuh kembang anak.</p>
<h2>2. Pentingnya asupan gizi anak</h2>
<p><a href="https://www.thelancet.com/series/ECD2016">Rangkaian riset tahun 2016</a> yang diterbitkan jurnal terkemuka <em>The Lancet</em> mengatakan bahwa aspek lain yang harus diperhatikan untuk memaksimalkan tumbuh kembang anak pada usia 0-3 tahun adalah kesehatan dan gizi.</p>
<p>Kumpulan studi tersebut juga mengungkapkan bahwa pemenuhan gizi yang baik meningkatkan kesejahteraan anak saat dewasa – termasuk pendapatan dan capaian belajar.</p>
<p>Salah satu indikator capaian Indonesia dalam asupan gizi anak bisa dilihat dari angka <a href="https://theconversation.com/strategi-menurunkan-angka-stunting-di-indonesia-memetakan-status-gizi-balita-hingga-tingkat-desa-121049"><em>stunting</em></a> (tubuh pendek akibat kekurangan gizi).</p>
<p><a href="https://globalnutritionreport.org/resources/nutrition-growth-commitment-tracking/indonesia/">Laporan Nutrisi Global (GNR)</a> pada tahun 2018 menunjukkan adanya penurunan angka <em>stunting</em> pada balita di Indonesia. Angkanya turun dari 42% pada tahun 2000, menjadi 27.67% pada tahun 2019.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/strategi-menurunkan-angka-stunting-di-indonesia-memetakan-status-gizi-balita-hingga-tingkat-desa-121049">Strategi menurunkan angka stunting di Indonesia: memetakan status gizi balita hingga tingkat desa</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Meski laporan tersebut menunjukkan progres di tingkat nasional, hal ini tidak terjadi secara seragam di tingkat daerah.</p>
<p>Berdasarkan <a href="https://persi.or.id/wp-content/uploads/2020/11/event8-02.pdf">data tahun 2019 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes)</a>, misalnya, provinsi seperti Bali dapat menekan proporsi stunting hingga 14,42%, sementara di Nusa Tenggara Timur angkanya menyentuh 43,82%.</p>
<p><a href="https://smeru.or.id/id/content/pengujian-metode-small-area-estimation-sae-untuk-pembuatan-peta-status-gizi-di-indonesia">Studi yang dilakukan lembaga riset SMERU</a> di Kabupaten Rokan Hulu, Riau, menunjukkan bahwa penuntasan stunting didorong berbagai faktor di tingkat daerah – dari akses ke air bersih dan sanitasi, suplai pangan, akses transportasi, hingga komitmen pemerintah desa.</p>
<p>Memperhatikan masalah gizi ini adalah langkah penting untuk mendukung peningkatan capaian pendidikan di Indonesia.</p>
<p>Sebuah <a href="https://bmcresnotes.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13104-018-3909-1">riset di Etiopia</a> mengungkapkan bahwa capaian pendidikan yang rendah secara statistik banyak terjadi pada anak-anak yang mengalami masalah gizi buruk dibandingkan pada anak-anak yang asupan gizinya baik.</p>
<h2>3. Gaya pengasuhan (<em>parenting</em>) berperan besar</h2>
<p>Rangkaian riset <a href="https://www.thelancet.com/series/ECD2016"><em>The Lancet</em></a> di atas juga menekankan bahwa tumbuh kembang dan kemampuan kognitif anak dapat semakin optimal jika diperkuat dengan gaya pengasuhan yang baik dari orang tua.</p>
<p>Ini berarti menjamin lingkungan yang stabil bagi anak, melindungi mereka dari ancaman, serta memastikan relasi dengan orang di sekitar yang penuh dengan kasih sayang.</p>
<p>Berdasarkan <a href="https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/30992">studi tahun 2018 dari Bank Dunia</a>, gaya pengasuhan baik beserta pemberian bantuan uang tunai (<em>cash transfer</em>) – terutama pada keluarga kurang mampu – membantu memesatkan perkembangan kognitif, linguistik, dan sosio-emosional anak di Kolumbia, Meksiko, Nigeria, dan Peru.</p>
<p>Saat ini, berbagai instansi pemerintah maupun lembaga non-pemerintah (NGO) berupaya mengembangkan berbagai program untuk meningkatkan kualitas pengasuhan dari orang tua di Indonesia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/antara-pola-asuh-otoritatif-dan-otoriter-mana-yang-lebih-baik-untuk-anak-indonesia-145713">Antara pola asuh otoritatif dan otoriter: mana yang lebih baik untuk anak Indonesia?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), misalnya, memperkenalkan <a href="https://kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2135/kemen-pppa-membangun-anak-dengan-road-map-pengasuhan-berbasis-hak-anak">Peta Jalan Pengasuhan Anak</a> yang berisi panduan menerapkan gaya pengasuhan yang baik bagi anak di berbagai lingkungan, termasuk keluarga. Tanoto Foundation juga memiliki <a href="https://sigap.tanotofoundation.org/p/pengasuhan-anak-0-3-tahun/">jaringan Rumah Anak SIGAP</a> yang menawarkan edukasi kepada masyarakat terkait pengasuhan dan pembelajaran anak.</p>
<p>Sayangnya, masih terdapat tantangan dalam implementasinya di Indonesia.</p>
<p><a href="https://www.worldbank.org/en/country/indonesia/publication/the-promise-of-education-in-indonesia">Kajian lain dari Bank Dunia</a> menunjukkan bahwa berbagai program terkait pola pengasuhan anak sering mengalami kendala dalam komunikasi dengan target orang tua. Banyak orang tua sering melewatkan informasi krusial di tahap usia tertentu pada masa perkembangan anak.</p>
<p>Baik pemerintah maupun non-pemerintah yang menyelenggarakan program harus berkoordinasi dengan lebih baik terkait keterampilan yang ingin dibangun pada orang tua, serta cara sosialisasinya supaya lebih mudah diadopsi.</p>
<h2>Butuh kerjasama lintas bidang dan sektor</h2>
<p>Intervensi anak usia dini adalah upaya yang kompleks, bersifat lintas disiplin, dan memerlukan dukungan lintas sektor – dari pendidikan hingga kesehatan.</p>
<p>Studi yang kami lakukan, misalnya, menegaskan pentingnya pemerintah menjamin kerjasama antar kementerian dan dinas, serta ketersediaan dana yang optimal untuk menyusun kebijakan yang menyasar pemenuhan asupan gizi dan pendidikan anak pada usia dini.</p>
<p>Riset kami juga menekankan pentingnya data mengenai kemajuan belajar anak (seperti PISA) yang diinisiasi oleh pemerintah di tingkat nasional maupun daerah. </p>
<p>Harapannya, hal ini bisa membantu pemetaan yang lebih akurat bagi pembuatan kebijakan, program, dan pengembangan riset terkait pendidikan anak.</p>
<p>Hal-hal di atas adalah pekerjaan bersama yang menantang, namun intervensi pada anak usia dini yang lebih optimal akan memberi dampak yang signifikan bagi peningkatan capaian belajar siswa di Indonesia.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini terbit melalui dukungan dari Tanoto Foundation. Monica Agnes Sylvia, Innovation Analyst di Tanoto Foundation dan juga Belynda McNaughton, konsultan pendidikan independen, berkontribusi dalam penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/172886/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Gita Nasution merupakan Visiting Scholar di Department of Anthropology, School of Culture, History and Language, College of Asia and Pacific, Australian National University (ANNU). Ia memperoleh gelar PhD Antropologi dari departemen yang sama, dengan fokus penelitian pada bidang gender dan pola asuh anak di Indonesia.</span></em></p>
Studi kami menyarankan pentingnya tiga intervensi tumbuh kembang pada anak usia dini: perbaikan sistem PAUD, pemenuhan asupan gizi anak, hingga pola pengasuhan anak oleh orang tua.
Gita Nasution, PhD Candidate, Australian National University
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/168196
2021-09-17T09:50:15Z
2021-09-17T09:50:15Z
Membedah ‘childfree’ secara ekonomi: berapa biaya membesarkan anak?
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/421831/original/file-20210917-25-m6kjr0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> <span class="attribution"><a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><iframe src="https://open.spotify.com/embed/episode/7BcRj0y9YNjH8OQ6ycsLF1" width="100%" height="232" frameborder="0" allowtransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>
<p>Media sosial akhir-akhr ini ramai setelah <a href="https://tirto.id/arti-childfree-dan-hal-yang-harus-dipertimbangkan-menurut-psikolog-giT5">beberapa</a> <a href="https://mojok.co/ajr/pojokan/memutuskan-childfree-kayak-gitasav-nggak-masalah-yang-penting-bukan-demi-terlihat-edgy/">selebritas</a> mengungkapkan keputusan mereka untuk tidak memiliki anak, atau yang sering disebut keputusan untuk “<em>childfree</em>”.</p>
<p>Hal ini kemudian diikuti dengan pro kontra dari warganet.</p>
<p>Tidak sedikit di antara mereka senada untuk tidak memiliki anak. Mereka menyebut berbagai alasan seperti <a href="https://tirto.id/ketika-lingkungan-menjadi-dasar-untuk-tak-punya-anak-dj5d">parahnya krisis iklim</a>, untuk <a href="https://www.theguardian.com/lifeandstyle/2020/jul/07/dont-know-if-you-want-a-baby-this-is-how-i-found-my-answer">alasan moral</a>, atau sesederhana karena <a href="https://www.reuters.com/world/china/cost-having-child-china-2021-06-01/">mahalnya biaya</a> membesarkan anak.</p>
<p>Meskipun belum ada risetnya di Indonesia, media online Tirto, misalnya, pada tahun 2016 <a href="https://tirto.id/mahalnya-biaya-membesarkan-anak-bofH">mengestimasi</a> bahwa biaya bagi suatu keluarga kelas menengah untuk membesarkan anak di Jakarta bisa menyentuh hingga Rp 3 miliar.</p>
<p>Untuk membedah lebih dalam tentang hal ini, di episode terbaru <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=TWaTIqdvTb2mDvpQkHHZgw&dl_branch=1">podcast #SuarAkademia</a>, editor ekonomi kami, Yessar Rosendar berbicara dengan Lengga Pradipta, peneliti kependudukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).</p>
<p>Lengga menyampaikan berbagai hal, dari berkembangnya tren childfree di Indonesia, biaya ekonomi dalam membesarkan anak, dampaknya pada populasi, hingga stigma yang ada di masyarakat seputar keputusan untuk <em>childfree</em>.</p>
<p>Dengarkan episode lengkapnya di <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=TWaTIqdvTb2mDvpQkHHZgw&dl_branch=1">SuarAkademia</a> - ngobrol seru isu terkini bareng akademisi dan peneliti.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/168196/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Untuk membedah lebih dalam tentang tren 'childfree', di episode terbaru SuarAkademia, kami berbicara dengan Lengga Pradipta, peneliti kependudukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education Editor
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/146212
2020-10-13T08:23:43Z
2020-10-13T08:23:43Z
Bahaya ketika orang tua membagi foto dan video anak di media sosial (sharenting)
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/362608/original/file-20201009-21-y09zxz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=6%2C12%2C4263%2C2938&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Beberapa orang anak mengenakan pakaian adat berswafoto ketika akan menampilkan pertunjukan seni dan budaya, di Medan, Sumatera Utara.</span> <span class="attribution"><span class="source">ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi/pd/16</span></span></figcaption></figure><p>Saat ini, bukan hal yang aneh ketika orang tua membagi foto dan video anak mereka di media sosial. </p>
<p>Para orang tua ini dengan bangga menampilkan anak beserta diri mereka dalam satu foto maupun video disertai dengan ungkapan kebanggaan terhadap kepintaran sang anak.</p>
<p>Kebiasaan tersebut dikenal dengan sebutan <a href="https://law.emory.edu/elj/content/volume-66/issue-4/articles/sharenting-children-privacy-social-media.html"><em>sharenting</em> </a> yang berasal dari kata <em>oversharing</em> dan <em>parenting</em> yang bisa diartikan sebagai salah satu pola pengasuhan yang cenderung membagikan berbagai sisi perkembangan anak melalui media sosial. </p>
<p>Perilaku <em>sharenting</em> ini diperkirakan mulai ada sejak media sosial hadir dan banyak orang tua yang melakukannya tanpa menyadari risiko dan dampak yang terjadi pada anak mereka. </p>
<p>Artikel ini berusaha membahas beberapa akibat negatif dari aksi <em>sharenting</em> dan apa yang bisa kita lakukan untuk mencegahnya. </p>
<h2><em>Sharenting</em>: antara eksploitasi dan komersialisasi anak</h2>
<p>Setiap orang tua bisa melakukan <em>sharenting</em>, baik mereka orang biasa maupun orang terkenal. </p>
<p>Orang tua ini dengan bangga membagikan foto dan video anak mereka sejak masih dalam janin hingga mereka lahir dan tumbuh. </p>
<p>Umumnya orang tua merasa bahwa <em>sharenting</em> bukan hal yang salah karena tidak ada yang dirugikan. </p>
<p>Namun ahli hukum hak anak-anak dari Amerika Serikat Stacey B. Steinberg dalam penelitiannya <a href="https://scholarship.law.ufl.edu/facultypub/779/">mengatakan</a> praktik <em>sharenting</em> berisiko menimbulkan perasaan tidak nyaman anak karena privasi sang anak disebarluaskan di media sosial. Rasa tidak nyaman tersebut akan muncul ketika sang anak telah mengerti dan merasa terganggu dengan perilaku orang tuanya.</p>
<p>Ketidaknyamanan itu berasal dari praktik <em>sharenting</em> yang berujung <a href="http://journals.ums.ac.id/index.php/komuniti/article/view/10703">mengeksploitasi</a> sang anak. Dengan kemasan foto dan video yang menarik, orang tua menjadikan anak model iklan di media sosial. Tak jarang, orang tua kemudian membuat akun media sosial atas nama sang anak dan kemudian mengisi akun tersebut dengan berbagai iklan.</p>
<p>Praktik mengeksploitasi anak tersebut bukan hal yang asing di kalangan artis atau selebgram. <em>Sharenting</em> pun akhirnya berujung pada praktik <a href="http://repository.unair.ac.id/98415/4/4.BAB%20I.pdf">komersialisasi anak</a> ketika ada ikatan kontrak sebagai imbal jasa membagi foto atau video anak berpose dengan sebuah produk atau jasa. </p>
<p>Bahkan di luar negeri, <a href="https://nasional.kompas.com/read/2008/07/22/11431276/">praktik menjual foto bayi</a>, termasuk untuk iklan produk komersial, juga marak terjadi, dan tentu saja menimbulkan pro dan kontra, termasuk di kalangan artis itu sendiri. </p>
<p>Bentuk-bentuk <em>sharenting</em> di atas dapat menghilangkan hak anak. Bisa jadi setelah dewasa sang anak merasa tidak ingin momen-momen saat dirinya masih kecil dilihat banyak orang, namun foto-foto atau video tersebut sudah beredar dan menjadi milik publik. </p>
<p>Di sisi lain, karena sudah dijual hak komersialnya, sang anak sudah tidak memiliki hak lagi atas berbagai foto dan video momen-momen masa kecilnya tersebut. </p>
<h2>Bahaya lain <em>sharenting</em></h2>
<p>Selain eksploitasi dan komersialisasi, terdapat bahaya lain ketika foto dan video anak banyak beredar di sosial media. Salah satunya adalah penyalahgunaan foto dan video anak oleh akun-akun media sosial yang berorientasi pada tindak kriminal seperti pelecehan anak, penjualan anak maupun penculikan. </p>
<p>Di Indonesia, kasus pelecehan anak di media online menunjukkan angka yang memprihatinkan. Kasus kejahatan seksual anak di media online <a href="https://kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2304/kemen-pppa-lakukan-literasi-digital-demi-cegah-anak-jadi-korban-predator-seks">naik hampir 60%</a> pada 2019 dibanding setahun sebelumnya.</p>
<p>Dari data tersebut terlihat bahwa ancaman kejahatan seksual di media online tidak dapat diremehkan. </p>
<p>Kasus paling mengerikan adalah ketika ditemukannya <a href="https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-39336094">grup pedofil bernama “Candy” di akun Facebook </a>. Grup tersebut telah memiliki anggota hingga 7.000 orang. Di grup Facebook tersebut terpampang foto-foto maupun video anak-anak di bawah umur yang dicuri dari akun orang tua mereka. Mengerikan bukan?</p>
<h2>Apa yang harus dilakukan</h2>
<p>Sejatinya <em>sharenting</em> bukanlah hal yang tabu sama sekali. Akan tetapi risiko seperti eksploitasi, komersialisasi, dan tindakan kriminal atas anak akibat <em>sharenting</em> perlu ditanggapi dengan serius dan membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak untuk mencegahnya. </p>
<p>Orang tua harus memiliki pengetahuan yang cukup dalam menggunakan media sosial dan memahami privasi anak. Dan untuk dapat memahami hal tersebut diperlukan kemampuan <a href="https://www.researchgate.net/publication/338081711_Literasi_Media_dan_Digital_di_Indonesia_Sebuah_Tinjauan_Sistematis">literasi digital </a> yaitu sebuah keterampilan dalam memahami dan menggunakan informasi digital. Dengan kemampuan literasi digital yang memadai maka orang tua akan selektif dalam menentukan foto atau video mana yang pantas dibagi ke media sosial.</p>
<p>Melindungi privasi anak dengan aksi menutup wajah anak yang dilakukan beberapa artis yang tidak mau privasi anaknya terganggu merupakan sebuah langkah bijak karena telah menghargai privasi anak. Ini seperti yang dilakukan pasangan artis penyanyi Raisa dan pasangannya aktor Hamish Daud. </p>
<p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.instagram.com/p/CF9bH1-HK3a","accessToken":"127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20"}"></div></p>
<p>Di sisi lain masyarakat diharapkan menjadi garda pengaman untuk aktif mengontrol atau melapor ke pihak berwenang bila ada penyalahgunaan penggunaan media sosial. Kemudian, pihak pemerintah semestinya lebih mempertegas sangsi terhadap penyalahgunaan pendistribusian foto dan video milik orang lain.</p>
<p><em>Michael Wolter berkontribusi dalam penerbitan artikel ini</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/146212/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>
Bahaya apa saja yang mengintai ketika orang tua membagi foto anak-anak mereka di media sosial
Rahmat Edi Irawan, Dosen Ilmu Komunikasi, Binus University
Merry Fridha, Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/145713
2020-09-11T02:55:06Z
2020-09-11T02:55:06Z
Antara pola asuh otoritatif dan otoriter: mana yang lebih baik untuk anak Indonesia?
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/357105/original/file-20200909-18-1pcklkl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C3%2C1278%2C846&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kebudayaan mempengaruhi pola asuh pada anak </span> <span class="attribution"><span class="source">Sasin Tipchai/Pixabay</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Budaya berpengaruh pada pola pengasuhan anak. </p>
<p>Penerapan pola asuh di negara-negara Barat yang memiliki rasa individualitas yang tinggi. Ini berbeda dengan penerapan pola asuh di negara-negara Asia yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan. </p>
<p><a href="https://spectrum.library.concordia.ca/974123/1/ECRQ%28Rev3July15%291.pdf">Penelitian</a> menunjukkan bahwa pola pengasuhan yang paling cocok untuk anak-anak di negara Barat adalah pola pengasuhan otoritatif. </p>
<p>Diana Baumrind, ahli psikologi perkembangan dari Amerika Serikat mengartikan <a href="https://search.proquest.com/docview/1023944456?fromopenview=true&pq-origsite=gscholar">pengasuhan otoritarif</a> sebagai pengasuhan yang hangat, tanggap terhadap kebutuhan anak, namun juga tegas dengan memberikan batasan dan aturan. </p>
<p>Hasil <a href="https://spectrum.library.concordia.ca/974123/1/ECRQ%28Rev3July15%291.pdf">penelitian</a> di atas menunjukkan pengasuhan otoritatif yang bersifat mendukung kemandirian anak tampak sejalan dengan prinsip dalam budaya Barat. </p>
<p>Sayangnya, tidak semua penelitian menemukan manfaat pola pengasuhan otoritatif pada masyarakat dari budaya Timur. </p>
<p>Namun, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01494929.2020.1712573?journalCode=wmfr20">penelitian terbaru kami</a> menunjukkan bahwa pola pengasuhan otoritarif memiliki dampak positif bagi anak yang berasal dari budaya Barat maupun Timur. </p>
<h2>Hasil riset</h2>
<p>Kami melakukan penelitian pada 2015 dengan melibatkan 387 orang tua yang berasal dari Indonesia dan Australia untuk mewakili dua budaya yang berbeda. </p>
<p>Dalam penelitian ini, kami meminta para orang tua yang memiliki anak dengan usia yang berkisar antara 2-10 tahun ini untuk mengisi kuisioner guna melihat dampak pengasuhan otoritatif terhadap pengelolaan emosi dan perilaku anak. </p>
<p>Berdasarkan kuesioner yang mereka isi, kami menemukan bahwa pengasuhan otoritatif berdampak positif pada anak yang berasal dari budaya Barat maupun budaya Timur. </p>
<p>Anak yang diasuh dengan cara otoritatif menunjukkan pengelolaan emosi yang baik dan tidak banyak menunjukkan perilaku bermasalah seperti marah-marah, berkelahi, dan berteriak. Semakin sering orangtua menerapkan pengasuhan otoritatif, semakin baik pengelolaan emosi anak dan semakin berkurang perilaku bermasalahnya. </p>
<p>Sementara itu, orang tua melaporkan pengelolaan emosi yang buruk pada anak yang mendapatkan pola pengasuhan yang berseberangan dengan pola pengasuhan otoritatif yaitu pola pengasuhan otoriter. Berbeda dengan pola asuh otoritarif, pola asuh otoriter cenderung menuntut dan mengendalikan anak tanpa kompromi dan memicu munculnya lebih banyak perilaku bermasalah pada anak. </p>
<p>Penelitian kami mencatat dampak negatif dari pola pengasuhan otoriter oleh orang tua dengan budaya Barat maupun Timur. Semakin sering orang tua menerapkan pengasuhan otoriter, semakin kurang baik pengelolaan emosi anak dan semakin sering anak menampakkan perilaku bermasalah. </p>
<p>Hasil penelitian kami ini mendukung hasil dari <a href="http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.821.6217&rep=rep1&type=pdf">riset-riset sebelumnya</a> yang menyatakan bahwa pengasuhan otoritatif berdampak positif bagi perkembangan sosial emosi anak. </p>
<p>Penelitian kami membuktikan bahwa pengasuhan otoritatif berdampak positif pada keluarga dari budaya Timur yang menekankan harmonisasi dan kepatuhan pada orangtua.</p>
<p>Sebaliknya, pengasuhan otoriter yang banyak dijalankan oleh orang tua dari budaya Timur dengan tujuan agar anak menjadi disiplin dan patuh pada otoritas malah menimbulkan dampak yang negatif bagi perkembangan sosial dan emosi anak. </p>
<p>Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam situasi saat ini, pengasuhan otoritatif masih menjadi pilihan yang terbaik bagi para orang tua baik dari budaya Barat dan Timur. </p>
<h2>Dampak baik pengasuhan otoritatif</h2>
<p>Berbeda dengan pengasuhan otoriter, pengasuhan otoritatif justru mendorong anak untuk mengekspresikan pemikiran dan bernegosiasi. </p>
<p>Orang tua dengan pengasuhan otoritatif terbuka terhadap pandangan anak, melibatkan anak dalam pembuatan aturan dan batasan. </p>
<p>Selain itu, pengasuhan otoritatif tidak sama dengan <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1002/cd.128?casa_token=A3CQqf6ybBkAAAAA:3a-aXeNuBHM8hKXQ6pslmzQYzQl3s2y0i1EplsrEsHfD7WqNKpJdz1Y6P9IMvXL-BJ1G8BMgvhz6VQ">pengasuhan permisif</a> yang cenderung membebaskan dan memanjakan anak. Batasan tetap dibutuhkan untuk menumbuhkan disiplin dan kontrol diri. Dengan demikian, pengasuhan otoritatif tidak ketat dan keras seperti pengasuhan otoriter namun tidak lunak seperti pengasuhan permisif. Kebebasan dan kontrol diseimbangkan. </p>
<p><a href="https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/46576216/Newman__Gozu__et_al.__2015.pdf?1466191760=&response-content-disposition=inline%3B+filename%3DRelationship_between_Maternal_Parenting.pdf&Expires=1599571442&Signature=DeKz5ZQo9dvEfmpUKjRaObsKSNUg6wpFbDVt99BtY2ly7mP1qbGsyVWlcgwUUX5IW1BvaneYu7AoMf3LYC%7EQD6n10hENc7PwST6PXeGUUlnUj0A7%7EYA9zuQ7AZtZEQi5%7EUBVvDSMukG2kQaof8tLs-7xEdDseDNBuC72EGwTPLboVE33y9nRFfG%7EPXx0JX9gCFN-rosY0Q%7EdRfFzhqnwM9s00qQ43MoxPv%7EKg4rzqCx5Sfxl9kcwiAQ%7ERuBxQ3gioX4ggEnNg0TUXdIhwAJ1leT2M-Zf%7EyQB6E6iRAn2BA5wgljt%7EvvEDpV2a0johI-prJ9SFd7z3ZGjf8TqeQIuKg__&Key-Pair-Id=APKAJLOHF5GGSLRBV4ZA">Penelitian </a> menunjukkan bahwa pengasuhan otoritatif berdampak positif pada perkembangan sosial dan emosi anak, dan juga pada prestasi sekolahnya. </p>
<p>Anak yang diasuh dengan pengasuhan otoritatif lebih mandiri, percaya diri, memiliki kontrol diri dan dapat menjalin relasi sosial dengan baik. </p>
<p>Selain itu, dibandingkan dengan pengasuhan otoriter dan permisif, anak yang diasuh dengan pengasuhan otoritatif menunjukkan perilaku bermasalah yang lebih sedikit. Mereka mampu menyesuaikan diri dengan situasi lingkungan dengan lebih baik sehingga jarang mengalami masalah seperti kecemasan, menarik diri, dan depresi, ataupun agresi (menyerang orang lain). </p>
<h2>Menerapkan pola asuh otoritatif</h2>
<p>Berikut adalah cara menjalankan pengasuhan otoritatif pada anak:</p>
<p><strong>1.Pertama,</strong></p>
<p>Penting bagi orang tua untuk mendengarkan anak dan berusaha memahami kebutuhan serta sudut pandangnya. Dengan mendengarkan, orang tua menunjukkan perhatian dan kepeduliannya. </p>
<p><strong>2.Kedua,</strong></p>
<p>Tunjukkan sikap yang hangat dengan memuji anak atas perilakunya yang baik dan meluangkan waktu bersama. </p>
<p><strong>Ketiga,</strong> </p>
<p>Berikan kesempatan anak untuk berbicara dan membiarkannya mengambil keputusan sendiri. </p>
<p><strong>Keempat,</strong>
Ajak anak berbicara mengenai aturan dan batasan. Penting bagi orang tua untuk menjelaskan alasan di balik aturan dan mendiskusikan berbagai akibat yang mungkin terjadi apabila aturan dilanggar. Pada saat inilah terjadi komunikasi dan negosiasi antara orang tua dan anak. </p>
<p>Tentu saja tidak mudah untuk menjalankan pengasuhan otoritatif, orang tua butuh kesabaran, ketenangan, dan keuletan. Namun apabila orangtua mencoba melakukannya, niscaya hal ini akan mendatangkan kebaikan pada anak kini dan nanti.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/145713/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Agnes Maria Sumargi mendapat dukungan dana dari The Parenting and Family Support Centre - University of Queensland, Universitas Indonesia, dan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya untuk melakukan penelitian pada artikel ini. Saat ini ia juga terafiliasi dengan The Parenting and Family Support Centre sebagai mitra peneliti (affiliate research member). </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Divna Haslam has received grants from a range of granting bodies and is a contributory author to the Triple P—Positive parenting program. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Ania Filus dan Lia Mawarsari Boediman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>
Kami melakukan penelitian pada tahun 2015 dengan melibatkan 387 orang tua yang berasal dari Indonesia dan Australia untuk mewakili dua budaya yang berbeda.
Agnes Maria Sumargi, Dosen Fakultas Psikologi , Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Ania Filus, Director, Outcomes Research and Analytics , University of Sheffield
Divna Haslam, Senior Research Fellow (Faculty of Law/ Health) & Clinical Psychologist, Queensland University of Technology
Lia Mawarsari Boediman, Ketua Program Studi Psikologi Profesi Universitas Indonesia, Universitas Indonesia
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/114690
2019-04-25T10:24:49Z
2019-04-25T10:24:49Z
Pilih kasih orang tua terhadap anak ternyata berdampak panjang. Ini tips untuk mencegahnya
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/269274/original/file-20190415-147483-14vd7su.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=31%2C0%2C3548%2C2358&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pilih kasih dapat berdampak pada hubungan antara saudara kandung.</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Banyak saudara kandung, ketika mereka berkumpul saat sudah dewasa, bercanda mengenai siapa yang jadi anak kesayangan. Namun, apakah ini cuma candaan semata?</p>
<p>Dalam satu studi, para peneliti bertanya pada orang dewasa apakah ibunya punya anak favorit ketika masih kecil. Hampir <a href="https://doi.org/10.1111/j.1741-3737.2009.00650.x">85% responden</a> menjawab ya.</p>
<p>Tapi tentu ketika kita sudah mulai dewasa, rasa sebal kita terhadap anak yang difavoritkan berkurang? Tapi ternyata tidak juga. Kekecewaan terhadap orang tua yang pilih kasih ternyata berefek panjang.</p>
<p>Sangat mungkin <a href="https://doi.org/10.1111/j.1467-8721.2008.00601.x">kita masih merasa kecewa hingga kita dewasa</a> terhadap saudara kandung yang jadi anak kesayangan.</p>
<h2>Apakah pilih kasih memang ada, atau hanya terlihat seperti itu?</h2>
<p>Ternyata orang tua memang <a href="http://dx.doi.org/10.1037/a0026321">menunjukkan perilaku yang berbeda ke masing-masing anak-anak mereka</a> dan, tentu saja, anak-anak memiliki standar yang berbeda untuk melihat perbedaan ini.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/266195/original/file-20190327-139374-1i7mxxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/266195/original/file-20190327-139374-1i7mxxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/266195/original/file-20190327-139374-1i7mxxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/266195/original/file-20190327-139374-1i7mxxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/266195/original/file-20190327-139374-1i7mxxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/266195/original/file-20190327-139374-1i7mxxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/266195/original/file-20190327-139374-1i7mxxv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Perbedaan kecil dalam cara orang tua memperlakukan anak-anak mereka punya konsekuensi kecil di hubungan mereka nanti saat dewasa.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Peneliti telah mempelajari fenomena ini dengan mengamati anak-anak ketika mereka berinteraksi dengan orangtuanya. Mereka meminta anak-anak dan orang tua tersebut untuk menceritakan interaksi tersebut. Seberapa sering orang tua dan anak tertawa dan bermain bersama? Seberapa sering mereka bertengkar dan berselisih?</p>
<p>Penilaian mereka nantinya dibandingkan dengan saudara kandung lainnya untuk menentukan apakah satu anak mendapat perhatian positif atau negatif lebih banyak dari yang lain.</p>
<p>Satu temuan yang menarik dalam penelitian ini adalah ketika perbedaan perlakuan orang tua kepada anak-anaknya kecil, konsekuensinya kecil hingga hampir tidak ada.</p>
<p>Hanya ketika <a href="https://psycnet.apa.org/record/2011-27537-001">perbedaan perlakukan ke masing-masing anak besar</a> maka perbedaan ini akan berpengaruh pada kesehatan anak-anak dan hubungan di antara mereka.</p>
<h2>Masalah yang dihadapi orang tua memiliki peran</h2>
<p>Penelitian mengenai berbagai jenis hubungan menunjukkan bahwa bagian penting dari bagaimana kita akrab dengan orang lain adalah tentang <a href="http://dx.doi.org/10.1037/0000100-000">cocok tidaknya kepribadian kita dengan mereka</a>. Dari sana, kita bisa memutuskan apakah kita bisa dekat dengan orang itu atau tidak. Hal ini juga berlaku untuk orang tua dan anak.</p>
<p>Walau kebanyakan orang tua mencintai dan merawat semua anaknya, mereka mau tidak mau akan menemukan anak yang lebih cocok dengan mereka. Satu anak mungkin lebih bergaul, yang lain mungkin lebih sering marah, yang ketiga lebih mudah belajar.</p>
<p>Perbedaan-perbedaan dalam bagaimana orang tua memperlakukan anak-anaknya <a href="https://doi.org/10.1177/1088868313498308">dipengaruhi oleh gen anak-anak mereka</a>. Para orang tua memperlakukan kembar identik, yang kesamaan DNA 100%, lebih setara daripada ketika mereka merawat kembar non-identik, yang kemiripan DNA-nya hanya memiliki 50%.</p>
<p>Semakin berbeda kepribadian anak-anak, maka semakin berbeda pula perlakuan orang tua terhadap mereka.</p>
<p>Pendorong lain, tentu saja, adalah umur anak. Orang tua berinteraksi dan mendisiplinkan anaknya berdasarkan perubahan umur yang menunjukkan kemampuan mereka. Perbedaan umur dan kepribadian anak-anak mendasari perbedaan perlakuan orang tua yang dilihat oleh anak-anak.</p>
<p>Namun, sementara umur dan kepribadian adalah alasan mengapa satu anak mendapat perhatian lebih dari orang tua dibanding yang lain, masalah yang lain adalah tekanan yang dihadapi orang tua. Ketika orang tua mengalami <a href="http://dx.doi.org/10.1037/0012-1649.39.1.990">kesulitan finansial, masalah kesehatan mental, atau konflik pasangan</a>, pilih kasih menjadi semakin terlihat.</p>
<h2>Dampak terhadap kesehatan fisik dan mental</h2>
<p>Sayangnya, sikap pilih kasih dapat memecah belah saudara kandung. Sikap pilih kasih juga membuat saudara kandung menjadi tidak dekat satu sama lain, baik di masa kecil maupun dewasa.</p>
<p>Ini merupakan beberapa temuan dari pilih kasih yang <a href="https://doi.org/10.1111/j.1741-3737.2009.00650.x">dirasakan</a>, maupun yang <a href="https://doi.org/10.1111/j.1469-7610.2011.02484.x">diamati</a>. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/266194/original/file-20190327-139345-17lqjz3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/266194/original/file-20190327-139345-17lqjz3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/266194/original/file-20190327-139345-17lqjz3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/266194/original/file-20190327-139345-17lqjz3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/266194/original/file-20190327-139345-17lqjz3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/266194/original/file-20190327-139345-17lqjz3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/266194/original/file-20190327-139345-17lqjz3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Menyisakan waktu untuk berduaan dengan anak tiap hari penting.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Banyak yang menganggap anak yang menjadi favorit diuntungkan karena perlakuan spesial tersebut. Walau ini memang benar jika kasus pilih kasihnya tidak begitu terlihat. Penelitian menunjukkan bahwa tidak ada anak yang diuntungkan ketika pilih kasihnya terlihat mencolok. Ketika pilih kasihnya antara satu anak dengan anak yang lain cukup tak imbang, hal ini dapat menyebabkan masalah <a href="https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2012.01.017">kesehatan fisik dan mental</a>.</p>
<p>Alasan untuk ini belum terlalu jelas. Bisa saja terjadi karena ketidakadilan. Atau ketika mereka difavoritkan, mereka takut untuk tidak menjadi anak favorit lagi.</p>
<p>Namun yang perlu diketahui dari temuan ini adalah <a href="https://doi.org/10.1111/j.1467-8624.1997.tb01929.x">penjelasan orang tua tentang mengapa mereka memperlakukan tiap anak berbeda dapat mengubah pandangan</a> anak-anak. Penjelasan yang baik dari orang tua akan membuat tingkat stres anak lebih rendah. </p>
<h2>Lima tips menjadi orang tua lebih adil</h2>
<ol>
<li><p>Sadar. Langkah pertama adalah sadar hal tersebut terjadi, dan cari bantuan dari pasangan, anggota keluarga, teman, atau ahli—untuk mengerti mengapa itu terjadi. Sebagai pengingat, pilih kasih sangat mungkin terjadi ketika tingkat stres Anda tinggi.</p></li>
<li><p>Dengar. Ketika anak Anda mengeluh atau Anda melihat anak-anak Anda bertengkar di mana mereka menyebut salah satu dari mereka mendapat lebih, jangan abaikan itu. Peka terhadap perasaan anak dan cari tahu mengapa mereka dapat merasa seperti itu.</p></li>
<li><p>Berikan penjelasan. Kadang, anak-anak memang perlu diperlakukan berbeda, seperti ketika satu anak sedang sakit, terluka, atau punya kebutuhan spesial. Ketika ini terjadi, jelaskan agar tidak terjadi kesalahpahaman.</p></li>
<li><p>Hindari membandingkan anak-anak. Walau alami untuk bilang “Kenapa kamu tidak bisa jadi lebih seperti kakakmu?”, hal ini menjadi perbandingan yang tidak adil. Coba fokus terhadap apa yang tiap anak lakukan dengan baik, tanpa mengadu mereka satu sama lain.</p></li>
<li><p>Sisakan waktu sendiri untuk tiap anak. Sebanyak mungkin, coba cari waktu 10 menit tiap hari untuk dihabiskan berdua dengan tiap anak agar mereka punya perhatian penuh Anda. Lakukan aktivitas apa saja yang mereka sukai dengan Anda.</p></li>
</ol>
<p><em>Reza Pahlevi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/114690/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sheri Madigan menerima dana dari Social Sciences and Humanities Research Council, Canada Research Chairs program dan Alberta Children's Hospital Foundation.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Jennifer Jenkins menerima dana dari Canadian Institutes of Health Research, Social Sciences dan Humanities Research Council, Bernard van Leer Foundation, Atkinson Charitable Foundation, Lawson Foundation dan Margaret dan Wallace McCain Family Foundation.</span></em></p>
Ini tips untuk menghindari orang tua bersikap pilih kasih
Sheri Madigan, Assistant Professor, Canada Research Chair in Determinants of Child Development, Owerko Centre at the Alberta Children’s Hospital Research Institute, University of Calgary
Jennifer Jenkins, Atkinson Chair of Early Child Development and Education and Director of the Atkinson Centre, University of Toronto
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/109576
2019-01-21T10:04:50Z
2019-01-21T10:04:50Z
Belajar musik sejak dini bisa bantu anak belajar membaca
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/253899/original/file-20190115-152974-1n9fi98.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C2%2C1000%2C555&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Memberikan pendidikan musik dini bagi anak-anak bisa menjadi strategi untuk meningkatkan minat baca mereka.
</span> <span class="attribution"><span class="source">shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Neurosains telah menemukan hubungan yang jelas antara musik dan penguasaan bahasa. Sederhananya, belajar musik di tahun-tahun awal sekolah dapat membantu anak-anak belajar membaca.</p>
<h2>Musik, Bahasa, dan Otak</h2>
<p>Proses pengembangan kemampuan bermusik dan berbahasa tumpang tindih di otak. Dari perspektif evolusi, otak manusia mengembangkan kemampuan bermusik jauh lebih dahulu sebelum adanya bahasa dan kemudian menggunakan pemrosesan itu untuk <a href="http://rstb.royalsocietypublishing.org/content/370/1664/20140089">menciptakan dan mempelajari bahasa</a>. </p>
<p>Saat lahir, bayi memahami bahasa seolah-olah bahasa adalah musik. Mereka memberikan respons pada irama dan melodi dari bahasa sebelum mereka mengerti apa arti dari kata-kata yang diucapkan</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/ueqgenARzlE?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Bayi dan anak-anak meniru bahasa dengan menggunakan elemen irama dan melodi tadi. Gaya bicara bernyanyi inilah yang kita kenal dan kita cintai pada balita.</p>
<h2>Anak yang memiliki keterampilan musik dapat memiliki kemampuan membaca yang lebih baik</h2>
<p><a href="https://www.eduplace.com/marketing/nc/pdf/fw_p42-43.pdf">Kemampuan membaca</a> meliputi kemampuan berbicara, dan untuk belajar untuk dapat berbicara, anak-anak harus terlebih dahulu dapat membedakan suara ucapan dari suara lainnya. Musik <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0093934X12001617">membantu mereka melakukan hal tersebut</a>. </p>
<p>Membaca pada dasarnya adalah proses memberikan arti pada kata-kata yang ada di dalam suatu tulisan. Ada beberapa keterampilan yang membantu kita untuk menemukan arti kata-kata tadi. Salah satunya keterampilan untuk membedakan antara suara yang terdengar dalam kata-kata, dan kelancaran membaca.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/semangat-membaca-di-pelosok-menantang-anggapan-minat-baca-rendah-82023">Semangat membaca di pelosok menantang anggapan minat baca rendah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kelancaran dalam membaca mencakup kemampuan untuk menyesuaikan pola tekanan dan intonasi sebuah frasa, seperti dari marah menjadi bahagia, serta kemampuan untuk memilih nada suara yang tepat, seperti kata tanya dan kata seru. Keterampilan dalam membedakan intonasi ini dapat <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0378595513002098">ditingkatkan dengan latihan musik</a>. </p>
<p>Anak yang memiliki keterampilan musik juga memiliki <a href="http://mp.ucpress.edu/content/29/2/147">keterampilan membaca yang lebih baik</a>. Musik juga dapat memberikan kita petunjuk mengenai kesulitan yang dihadapi anak ketika membaca.</p>
<p><a href="http://www.pnas.org/content/111/40/14559.short">Sebuah penelitian</a> menemukan bahwa anak berumur tiga atau empat tahun yang dapat mengikuti irama musik dengan stabil lebih siap untuk membaca pada umur lima tahun dibanding dengan anak yang tidak dapat mengikuti irama musik pada kelompok umur yang sama.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/244251/original/file-20181107-74757-5uojcy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/244251/original/file-20181107-74757-5uojcy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/244251/original/file-20181107-74757-5uojcy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/244251/original/file-20181107-74757-5uojcy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/244251/original/file-20181107-74757-5uojcy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/244251/original/file-20181107-74757-5uojcy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/244251/original/file-20181107-74757-5uojcy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Anak-anak juga harus diajari membaca musik. Hal ini bertujuan untuk memperkuat hubungan antara simbol dan suara yang penting untuk belajar membaca.</span>
<span class="attribution"><span class="source">from www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Apa yang Orang Tua dan Guru dapat lakukan</h2>
<p>Belajar bahasa <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/desc.12172">dimulai dari sejak dini </a> ketika orang tua berbicara dan menyanyi kepada anak-anak mereka. Ikatan antara bayi dengan orang tua dan komunitasnya utamanya terbentuk melalui suara, jadi Anda bernyanyi untuk bayi Anda dapat membentuk ikatan dengan mereka dan merangsang jaringan pendengaran mereka. </p>
<p>Membawa balita ke kelas musik dengan kurikulum yang baik dan berkualitas tinggi setiap minggu akan membangun keterampilan bermusik yang terbukti sangat efektif dalam membantu proses belajar membaca. Sangat penting untuk mencari kelas dengan kegiatan yang mencakup gerakan dan menyanyi. Mereka harus menggunakan instrumen musik–atau mainan yang mengeluarkan musik–yang berkualitas baik.</p>
<p>Ketika mereka menuju masa prasekolah (PAUD)–waktu yang dianggap penting untuk mengembangkan bahasa anak-anak–cari program pembelajaran musik dengan kurikulum yang baik dan diberikan setiap hari oleh pendidik yang berkualitas. Lagu-lagu, irama, dan aktivitas ritmik yang diberikan anak-anak kita di prasekolah dan tempat penitipan anak sebenarnya mempersiapkan mereka untuk membaca.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/anak-anak-dan-media-sosial-tidak-selalu-kabar-buruk-85328">Anak-anak dan media sosial: tidak selalu kabar buruk</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Program musik harus membangun kemampuan bermusik anak secara bertahap. Mereka harus mendorong anak anak untuk bernyanyi sesuai dengan melodi, menggunakan instrumen dan selanjutnya mengenai bentuk-bentuk musik yang terstruktur dan juga improvisasi musik.</p>
<p>Anak-anak juga harus diajari untuk membaca notasi musik dan simbol saat mempelajari musik. Pembelajaran ini memperkuat koneksi antara simbol dan suara, yang juga penting dalam membaca kata-kata.</p>
<p>Yang terpenting, mempelajari musik secara aktif adalah kunci belajar bahasa yang baik. Hanya mendengarkan musik saja tidak banyak membantu perkembangan bahasa anak-anak, malahan dapat menghambat kemampuan mereka untuk <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1467-9922.2006.00374.x">membedakan kata-kata</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/244252/original/file-20181107-74778-14jna23.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/244252/original/file-20181107-74778-14jna23.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/244252/original/file-20181107-74778-14jna23.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/244252/original/file-20181107-74778-14jna23.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/244252/original/file-20181107-74778-14jna23.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/244252/original/file-20181107-74778-14jna23.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/244252/original/file-20181107-74778-14jna23.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Orang tua harus mencari program musik berkualitas baik untuk balita mereka.</span>
<span class="attribution"><span class="source">from www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Hal ini bukan berarti anak-anak membutuhkan kesunyian untuk belajar. Sebaliknya, mereka membutuhkan berbagai suara di sekitar mereka dan kemampuan untuk memilih apa yang dibutuhkan oleh otak mereka dalam memberikan stimulasi buat pendengaran mereka. Beberapa siswa membutuhkan suara untuk dapat fokus, sedangkan beberapa siswa lainnya membutuhkan keheningan. Setiap preferensi tadi dipengaruhi oleh jenis pembelajaran yang mereka lakukan.</p>
<p>Suara di sebuah ruangan tidak hanya dipengaruhi tingkat kebisingan. Hal ini juga berkaitan dengan kualitas suara yang timbul. Rem yang melengking setiap tiga menit, AC yang keras, musik yang bisa membantu sebagian orang tapi menggangu sebagian yang lain, serta suara-suara lainnya, semua berdampak pada kemampuan anak untuk belajar</p>
<p>Guru dapat memperbolehkan siswanya untuk antusias dalam pelajaran yang diberikan dengan membuat kebisingan dalam batas yang wajar, namun sediakan <em>headphone</em> untuk menyaring suara di ruang kelas Anda bagi siswa yang membutuhkannya.</p>
<h2>Musik Bagi Semua</h2>
<p>Jaringan sistem pendengaran kita adalah sistem yang pertama dan terbesar di dalam otak kita yang berfungsi untuk mengumpulan informasi. Musik dapat meningkatkan kemampuan jaringan yang membantu pemrosesan bahasa dalam otak. Musik mempersiapkan anak-anak untuk belajar membaca serta mendukung hobi membaca mereka.</p>
<p>Sayangnya, anak dari keluarga atau komunitas terpinggirkan yang mungkin tidak mendapatkan pelajaran musik yang baik di sekolahnya. Padahal, <a href="https://www.abc.net.au/events/dstm/">penelitian</a> menunjukkan bahwa merekalah yang dapat memperoleh manfaat terbesar dari pembelajaran musik.</p>
<p>Sementara kita mencari cara untuk meningkatkan hasil pembelajaran membaca dari anak-anak, lebih banyak pendidikan musik pada masa prasekolah (PAUD) dan sekolah dasar mungkin dapat menjadi salah satu cara yang dapat kita tempuh.</p>
<p><em>Artikel ini diterjemahkan dari edisi Bahasa Inggris oleh Ariza Muthia</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/109576/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Anita Collins adalah _fellow_ yang bekerja pada Music, Mind & Well-being institute di University of Melbourne.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Misty Adoniou menerima dana dari dari Direktorat Pendidikan dan Pelatihan ACT untuk penelitian penulisan di sekolah menengah.</span></em></p>
Mempelajari musik di tahun-tahun pertama pendidikan anak dapat membantu anak belajar untuk membaca.
Anita Collins, Adjunct assistant professor, University of Canberra
Misty Adoniou, Associate Professor in Language, Literacy and TESL, University of Canberra
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/99377
2018-07-09T10:49:17Z
2018-07-09T10:49:17Z
Mengapa anak-anak berbohong, dan apakah ini normal?
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/226662/original/file-20180709-122274-1bs13pu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=1%2C2%2C997%2C663&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">"Tidak, saya tidak memakan kuenya." </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Anak-anak biasanya mulai berbohong ketika memasuki usia prasekolah, atau di antara usia <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2612240/">dua atau empat tahun</a>. Upaya tipu muslihat yang disengaja ini membuat orang tua khawatir bila anak mereka kelak menjadi pelaku penyimpangan sosial dalam skala yang kecil. </p>
<p>Namun dari perspektif psikologi perkembangan, kebohongan yang dilakukan oleh anak-anak bukanlah sesuatu yang mengkhawatirkan. Pada kenyataannya, berbohong merupakan satu hal yang menandai adanya perkembangan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26431737">pikiran</a> anak, atau kesadaran diri anak bahwa orang lain memiliki keinginan, perasaan, dan keyakinan yang berbeda dengan dirinya. </p>
<p>Ketika seorang anak melakukan klaim palsu semisal “Ayah bilang aku boleh makan es krim”, mereka menggunakan kesadaran pikiran orang lain untuk menanamkan pengetahuan yang palsu.</p>
<p>Ketika berbohong itu sendiri mungkin tidak dibenarkan secara sosial, kemampuan untuk mengetahui apa yang orang lain pikirkan dan rasakan adalah kecakapan sosial yang penting. Ini mungkin <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27337508">berhubungan dengan</a> empati, sifat kerja sama, dan kepedulian terhadap orang lain ketika mereka merasa kecewa.</p>
<h2>Bagaimana berbohong berubah seiring bertambahnya usia</h2>
<p>Ketika anak kecil berbohong untuk pertama kalinya, mereka lebih melakukannya sebagai humor ketimbang kebohongan efektif. Misalnya, anak-anak yang mengklaim bahwa mereka tidak memakan kue apa pun sedangkan mulutnya masih mengunyah kue, atau menyalahkan anjingnya karena telah mencoret tembok rumah. </p>
<p>Anak kecil mungkin mengetahui mereka dapat mengelabui orang lain, tapi mereka belum bisa melakukannya dengan mahir. </p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/uFlO7lPUeIc?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Sebelum usia delapan tahun, anak-anak sering kali mengaku bahwa mereka telah berbohong. Sebuah <a href="http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1080/01650250143000373">studi</a> menunjukkan, anak-anak usia tiga sampai tujuh tahun diminta untuk tidak melihat mainan yang dirahasiakan (Barney) yang diletakkan di samping mereka. Tetapi hampir semua anak melakukan itu, dan hampir semua berbohong (yang meningkat seiring bertambahnya usia).</p>
<p>Tapi secara keseluruhan, anak-anak dalam kelompok tersebut juga mengalami kesulitan untuk mempertahankan kebohongan mereka. Mereka yang berusia tiga sampai lima tahun dapat menjaga raut muka datar mereka saat berbohong, meskipun pada akhirnya cenderung mengakui kebohongan mereka. </p>
<p>Sedangkan mereka yang berusia enam dan tujuh tahun akan lebih ahli dalam menyembunyikan kebohongan mereka, misalnya dengan pura-pura tidak tahu atau pun dengan sengaja tidak menyebut nama Barney. </p>
<p>Seiring pertambahan usia dan berkembangnya kemampuan memahami cara pikir orang lain, mereka semakin lihai melakukan kebohongan yang mudah dipercaya oleh orang lain. Mereka juga semakin pandai <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3483871/">menjaga kebohongannya</a> secara berkelanjutan. </p>
<p>Perkembangan moral juga terjadi. Anak yang lebih muda cenderung berbohong untuk keuntungannya sendiri, sedangkan mereka yang lebih dewasa lebih mengantisipasi <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/1467-8624.00098">perasaan buruk terhadap dirinya</a> apabila berbohong. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kapan-sebaiknya-anak-indonesia-belajar-bahasa-inggris-99450">Kapan sebaiknya anak Indonesia belajar bahasa Inggris?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Anak yang lebih dewasa dan remaja juga dapat lebih menggambarkan hubungan di antara bentuk-bentuk kebohongan yang berbeda. Misalnya, kebohongan dengan tujuan kebaikan, bagi mereka, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2581483/">dianggap lebih tepat</a> dibandingkan kebohongan yang bersifat <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2864928/">membahayakan atau demi melanggar aturan</a>. </p>
<p>Meskipun jarang terdapat studi yang memperkirakan frekuensi berbohong yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja, para remaja kerap kali ditemukan berbohong kepada orang tua dan gurunya mengenai sesuatu yang dianggap sebagai urusan pribadi mereka.</p>
<p>Sebuah <a href="https://link.springer.com/article/10.1023/B:JOYO.0000013422.48100.5a">studi</a> menemukan bahwa 82% remaja di Amerika Serikat mengakui bahwa dalam setahun terakhir, mereka telah berbohong kepada orang tuan soal uang, konsumsi alkohol, obat terlarang, pertemanan, kencan, pesta, atau melakukan hubungan seks. </p>
<p>Kebanyakan dari mereka berbohong soal pertemanan (67%) maupun konsumsi alkohol dan obat terlarang (65%). Yang mengejutkan adalah hanya sedikit dari mereka yang berbohong soal melakukan hubungan seks (32%). </p>
<p>Ketika membaca skenario singkat para remaja yang berbohong, mereka cenderung menganggap kebohongan tersebut dapat diterima apabila itu untuk membantu seseorang atau menyimpan rahasia pribadi, tetapi tidak jika itu untuk menyakiti atau melukai seseorang.</p>
<h2>Apakah kebohongan dapat menyebabkan permasalahan?</h2>
<p>Terlepas dari prevalensinya, kebohongan yang dilakukan oleh anak-anak jarang sekali menyebabkan permasalahan. Penting juga untuk mengingat banyak dari orang dewasa yang berbohong—terkadang untuk kebaikan, semisalnya berbohong untuk menjaga perasaan orang lain, dan terkadang ketika sakit. Meskipun perkiraanya bervariasi, sebuah <a href="https://msu.edu/%7Elevinet/Serota_etal2010.pdf">studi</a> menunjukkan sekitar 40% dari orang dewasa di AS mengakui bahwa mereka telah melakukan kebohongan dalam 24 jam terakhir.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/tHCDnKhppw8?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Dalam beberapa kasus, kebohongan yang parah dapat membawa masalah, jika mereka melakukan hal tersebut bersamaan dengan beberapa perilaku lain yang tidak semestinya. Misalnya, ketidakjujuran melalui kebohongan yang muncul sebagai bagian dalam gangguan psikologis bagi orang yang memiliki <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3826598/">kecenderungan memberontak</a>.</p>
<p>Anak-anak dengan gangguan tingkah laku atau ODD dapat menyebabkan kekacauan yang cukup besar di rumah atau sekolah melalui upaya perlawanan berulang dan dapat membahayakan orang lain dan benda-benda sekitar. Tapi untuk mendiagnosisnya, perbuatan bohong tersebut harus diikuti dengan sekelompok gejala lain, misalnya menolak untuk patuh terhadap figur otoritas, terus melanggar aturan, dan tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/truth-is-everyone-lies-all-the-time-6749">Truth is, everyone lies all the time</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kasus lainnya dalam masalah pengasuhan orang tua adalah ketika berbohong dapat digunakan anak untuk menutupi masalah kesehatan mental lainnya karena takut atau malu. Sebagai contoh, seorang anak atau remaja yang menderita kecemasan berat mungkin melakukan kebohongan besar untuk menghindari situasi yang membuat mereka takut (misalnya sekolah, pesta, kuman). Mereka juga berbohong untuk menghindar dari <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2904965/">stigma gangguan kesehatan mental</a>. </p>
<p>Dalam hal ini, konsultasi dengan dokter atau ahli kesehatan mental (seperti psikolog atau psikiater) Anda akan membantu memperjelas apakah kebohongan yang mereka lakukan merupakan indikasi masalah kesehatan mental. </p>
<h2>Orang tua dan guru membuat perubahan</h2>
<p>Ketika berbohong merupakan bagian dari perkembangan anak yang normal, orang tua dan guru dapat membantu anak-anak dalam mengungkap kebenaran dengan tiga cara. </p>
<p>Pertama, hindari memberi hukuman yang berat atau berlebihan. Dalam sebuah <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22023095">studi</a> yang membandingkan sekolah di Afrika Barat yang memberlakukan hukuman berat (seperti memukulnya dengan tongkat, menampar, dan mencubit) dengan sekolah yang memberlakukan teguran (seperti disuruh keluar atau diomelin), menunjukkan bahwa siswa di sekolah yang memberlakukan hukuman berat lebih cenderung memiliki murid yang menjadi pembohong yang efektif.</p>
<p>Anak-anak dari keluarga yang memiliki aturan ketat dan tidak mau membuka dialog juga <a href="https://link.springer.com/article/10.1023/B:JOYO.0000013422.48100.5a">menunjukkan frekuensi berberbohong</a> yang lebih sering. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/225835/original/file-20180703-116147-qvqv1d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Dengan mengetahui apakah anak Anda berusaha membohongi Anda dengan sengaja, Anda akan bisa merancang respons yang lebih efektif.</span>
<span class="attribution"><span class="source">from www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kedua, ajak anak-anak berdiskusi tentang skenario emosional dan moral. Sesungguhnya “pelatihan emosi ini” dapat membantu anak-anak memahami kapan berbohong dapat dikatakan sangat membahayakan, bagaimana hal tersebut dapat berdampak pada orang lain, dan bagaimana perasaan mereka ketika mereka berbohong. Anak-anak semakin <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1467-8624.1992.tb03601.x">mengantisipasi kebanggaan</a> ketika menceritakan kebenaran, dan orang tua dapat menekankan aspek positif ketika mereka berkata jujur. </p>
<p>Ketiga, pastikan kebohongan itu benar-benar kebohongan. Anak-anak yang masih sangat muda cenderung untuk memadukan kehidupan nyata dan imajinasi, sementara anak-anak yang lebih dewasa dan orang dewasa seringkali memiliki argumen yang berbeda satu sama lain. Jika anak-anak mengakui adanya kekerasan fisik dan seksual, pernyataannya ini harus selalu diselidiki. Dengan membedakan apakah ada upaya penipuan yang disengaja, orang tua dan guru dapat menargetkan respons mereka secara efektif. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kualitas-buruk-pelajar-indonesia-akibat-proses-belajar-tidak-tuntas-apa-yang-bisa-dilakukan-97999">Kualitas buruk pelajar Indonesia akibat proses belajar tidak tuntas. Apa yang bisa dilakukan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kebohongan yang dilakukan anak adalah perkembangan yang normal</h2>
<p>Berbohong adalah suatu hal yang normal dan sebuah tanda penting bahwa kecakapan kognitif yang lain juga berkembang. </p>
<p>Jika kebohongan dilakukan terus menerus dan merusak kemampuan anak untuk menjalani kehidupan sehari-hari ada baiknya berkonsultasi dengan ahli kesehatan mental atau dokter Anda. </p>
<p>Tetapi dalam situasi lain, ingatlah bahwa berbohong hanyalah satu cara anak belajar untuk mengendalikan dunia sosial. Keterbukaan dan diskusi yang hangat untuk menceritakan kebenaran pada akhirnya akan membantu mengurangi kebohongan anak-anak saat mereka berkembang.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/99377/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Carol Newall terafiliasi dengan Black Dog Institute</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Penny Van Bergen tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>
Anak berbohong bukanlah sesuatu yang mengkhawatirkan. Hal tersebut berarti anak Anda berkembang secara normal.
Penny Van Bergen, Senior Lecturer in Educational Psychology, Macquarie University
Carol Newall, Senior Lecturer in Early Childhood, Macquarie University
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/99450
2018-07-06T10:12:40Z
2018-07-06T10:12:40Z
Kapan sebaiknya anak Indonesia belajar bahasa Inggris?
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/226456/original/file-20180706-122274-1sdrmkx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=16%2C2%2C982%2C708&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pentingnya pemaparan terhadap bahasa kedua (asing) ketika anak-anak sudah mendapatkan paparan yang cukup terhadap bahasa ibunya. </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Penggunaan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari semakin banyak di Indonesia. Kita dapat mendengar orang berbicara bahasa Inggris di kantor, bank, sekolah, tempat wisata, dan banyak tempat publik lainnya. Beberapa orang melakukannya dengan <a href="https://theconversation.com/bahasa-gado-gado-a-break-from-norma-sosial-dan-tabu-yang-mengekang-82523">sedikit mencampuradukkan</a> dengan bahasa Indonesia. </p>
<p><a href="http://www.gbgindonesia.com/en/education/article/2014/private_education_in_indonesia_international_schools_on_the_rise.php">Sekolah internasional dengan kurikulum berbahasa Inggris telah menjadi favorit baru</a> bagi para orang tua. Di sekolah semacam ini, semua guru menggunakan pengantar bahasa Inggirs di dalam kelas saat berkomunikasi dengan para murid nya. Program dengan pengantar bahasa Inggris ini telah tersedia mulai dari taman kanak-kanan. </p>
<p>Banyak yang merasa takut apabila anak menerima paparan bahasa Inggris lebih awal <a href="https://www.nytimes.com/2010/07/26/world/asia/26indo.html">dapat mengganggu perkembangan bahasanya</a>. Beberapa orang tua dan beberapa pihak khawatir jika anak akan kehilangan bahasa ibunya yaitu bahasa Indonesia. </p>
<p>Saya meneliti tentang pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua pada 2017 dengan mewawancarai 7 orang tua di Jakarta. Orang tua ini percaya bahwa pentingnya memaparkan anak-anak mereka dengan bahasa kedua (asing) ketika anak-anak mereka juga sudah mendapatkan paparan yang cukup terhadap bahasa ibunya. </p>
<p>Berdasarkan penelitian yang tidak dipublikasikan ini dan teori lainnya, saya ingin menjelaskan kapan waktu terbaik untuk memperkenalkan bahasa Inggris kepada anak-anak sebagai bahasa kedua mereka. </p>
<h2>Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua</h2>
<p>Bahasa pertama, atau juga disebut dengan bahasa ibu, <a href="https://www.researchgate.net/publication/234696369_Bilingualism_Basic_Principles">adalah bahasa yang pertama kali anak pelajari</a>. Bagi orang Indonesia, bahasa pertama mungkin bahasa Indonesia atau bahasa dari etnis mereka. </p>
<p>Apa yang orang Indonesia sebut sebagai bahasa kedua? Jawabannya adalah tergantung. Bagi orang-orang dengan budaya Jawa yang kuat dan menggunakan bahasa Jawa untuk percakapan sehari-hari mereka, bahasa kedua mereka mungkin bahasa Indonesia. Sementara untuk orang yang menggunakan bahasa Indonesia untuk berinteraksi sehari-harinya, bahasa kedua mereka mungkin salah satu bahasa etnis mereka atau bahasa asing.</p>
<p>Artinya, bahasa yang muncul setelah bahasa pertama adalah bahasa kedua. Di Indonesia, oleh karena itu, bahasa Inggris bisa menjadi bahasa kedua karena adopsinya datang setelah bahasa ibu atau bahasa pertama.</p>
<h2>Popularitas penggunaan bahasa Inggris di sekolah Indonesia</h2>
<p>Memiliki keterampilan berkomunikasi dengan orang lain dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda adalah salah satu kunci keberhasilan di era global saat ini. Dalam hal ini, kebutuhan untuk dapat berbahasa Inggris sebagai salah satu bahasa yang paling banyak diucapkan di dunia dianggap penting.</p>
<p>Kesadaran akan pentingnya hal tersebut, beberapa sekolah, termasuk taman kanak-kanak, menyediakan program belajar bahasa Inggris untuk para muridnya. Beberapa bahkan mengadopsi kurikulum ‘internasional’ yang diperkenalkan oleh lembaga pendidikan terkemuka seperti <a href="http://www.cambridgeinternational.org/">Cambridge International</a> dan <a href="https://www.ibo.org/">International Baccalauriette</a>. Sedangkan sekolah lain mengembangkan kurikulum mereka sendiri dan menjadi sekolah dengan program bilingual.</p>
<p>Penelitian yang baru-baru ini dilakukan oleh Kelompok Konsultan Sekolah Internasional (ISC) menunjukan jumlah sekolah berbasis internasional pada 2018 berjumlah <a href="https://www.relocatemagazine.com/articles/education-schools-the-changing-face-of-international-education-in-indonesia-apac1">195</a>, meningkat dari tahun sebelumnya yakni 192. Pada 2017, ISC mengatakan Indonesia memiliki sekolah internasional dengan <a href="https://www.relocatemagazine.com/articles/education-international-schools-in-southeast-asia-whats-new-fmurchie">jumlah paling banyak</a> di Asia Tenggara, diikuti oleh Thailand dengan 181, Malaysia 170, Kamboja 114, Vietnam 111, dan Singapura 110. </p>
<h2>Mitos bilingual dan membongkarnya</h2>
<p>Terlepas dari pertumbuhan sekolah internasional yang cepat di Indonesia, beberapa orang tua justru merasa khawatir karena mereka beranggapan tren ini akan mengubah anak-anak menjadi bilingual.</p>
<p>Mereka takut anak-anak mereka yang dapat berbicara lebih dari satu bahasa dapat mengurangi kemampuannya untuk menguasai suatu bahasa. Kekhawatiran lain didasarkan pada keyakinan bahwa anak-anak bilingual akan selalu mencampuradukkan bahasa.</p>
<p>Pakar bahasa Francois Grosjean telah menyebut kekhawatiran ini sebagai sebuah mitos. Dia <a href="https://www.francoisgrosjean.ch/myths_en.html">juga mematahkan mitos tentang bilingual ini</a>. Sejauh ini, teori-teori yang berdasar atas riset terhadap bilingualisme telah membuktikan bahwa:</p>
<p><strong>Bilingualisme tidak dapat menghambat pembelajaran bahasa anak</strong> </p>
<p>Anak-anak bilingual harus berurusan dengan dua bahasa atau lebih. Namun, anak-anak bilingual memiliki kemampuan yang sama dengan anak yang hanya bisa berbicara dengan satu bahasa dalam menguasai bahasa baru. Teori ini mengatakan bahwa bahasa yang diucapkan dalam konteks keluarga tidak akan menimbulkan efek negatif terhadap bahasa kedua anak-anak. Faktanya, bahasa akan memperkaya proses pembelajaran bahasa anak-anak, karena mereka masih bisa berkomunikasi dengan siapa saja yang tidak berbicara bahasa kedua. </p>
<p><strong>Anak bilingual tidak selalu mencampuradukkan bahasa yang mereka pelajari</strong></p>
<p>Mereka dapat dengan cepat belajar berbicara dengan satu bahasa kepada seseorang yang tidak mengerti bahasa Inggris, misalnya kepada pengasuhnya dan kakek nenek mereka. Anak juga dapat “berusaha untuk berbicara hanya dengan satu bahasa jika mereka merasa penting untuk berkomunikasi”.</p>
<h2>Belajar bahasa Inggirs: nanti atau sekarang?</h2>
<p>Grosjean telah memperkenalkan proses akuisisi bahasa kedua - setelah menguasai bahasa ibu - yang disebut <a href="https://www.jstor.org/stable/j.ctt13x0ft8"><em>sequential or successive way</em> (cara berurutan)</a>. Pakar bilingualisme Josiane F. Hamers menyebut metode Grosjean sebagai <a href="https://www.brad.ac.uk/staff/pkkornakov/bilHermeneus2000.htm">cara <em>consecutive</em> (berurutan)</a>. </p>
<p>Orang tua yang berpartisipasi dalam wawancara penelitian membagikan pandangan mereka terhadap pentingnya melengkapi anak mereka dengan kemampuan berbahasa Inggris yang memadai untuk bersaing di pasar global. </p>
<p>Namun, pertanyaan tentang kapan sebaiknya anak mereka mempelajari bahasa Inggris, orang ini terbagi menjadi dua kubu. </p>
<p>Kebanyakan dari orang tua dalam penelitian saya setuju bahwa Metode Grosjean adalah metode terbaik karena memberi anak kesempatan untuk belajar bahasa ibu mereka terlebih dahulu. Mereka percaya dengan mempelajari bahasa ibu terlebih dulu dengan baik sebelum belajar bahasa asing akan membantu anak untuk dapat memahami budaya bahasa pertamanya. </p>
<p>Bagi kelompok ini, waktu yang baik untuk anak mempelajari bahasa lain adalah setelah mereka cukup terpapar dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu mereka. Para orang tua setuju bahwa anak berusia empat tahun adalah usia ideal anak untuk mempelajari bahasa kedua. </p>
<p>Namun, di kubu lain justru menganggap bahwa belajar bahasa Inggris dapat dilakukan sejak tahun-tahun awal anak belajar bahasa. Mereka percaya bahwa anak-anak dapat memperoleh dua bahasa atau lebih pada saat yang sama dari awal. Ini merupakan keterampilan yang digambarkan Grosjean sebagai <a href="https://www.francoisgrosjean.ch/myths_en.html"><em>simultaneous bilingualism</em></a></p>
<p>Kedua perspektif tersebut menunjukkan bahwa anak-anak dapat memperoleh bahasa kedua, baik secara bersamaan maupun berurutan. Sangat menarik untuk dicatat bahwa kedua kubu tidak khawatir bahwa belajar bahasa kedua di sekolah akan mengakibatkan hilangnya bahasa pertama.</p>
<p>Mereka percaya begitu keluar dari konteks atau lingkungan sekolah, anak-anak mereka akan tetap menggunakan bahasa Indonesia, sebagai bahasa dominan, terutama dalam konteks keluarga dan sosial.</p>
<p>Orang dapat kehilangan kemampuan mereka untuk berbicara suatu bahasa hanya setelah mereka tidak menggunakan bahasa tersebut secara berulang. Ini tidak mungkin terjadi kepada anak-anak ini, karena mereka masih menggunakan bahasa Indonesia selepas sekolah. </p>
<p>Oleh karena itu, penting untuk mendorong anak agar belajar bahasa Inggris ketika mereka sudah menguasai bahasa ibu mereka. Setelah anak sudah menguasai bahasa ibu mereka, kekhawatiran tentang kehilangan bahasa pertama dan keterlambatan dalam pengembangan bahasa tidak akan ada lagi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/99450/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Novi Rahayu Restuningrum menerima dana dari beasiswa DIKTI untuk program PhD di Monash University, Australia dari 2011-2015</span></em></p>
Paparan dini terhadap bahasa kedua (bahasa asing) tidak akan mengganggu perkembangan bahasa anak. Beberapa mitos telah dipatahkan.
Novi Rahayu Restuningrum, Lecturer in English, Universitas Yarsi
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/95600
2018-04-25T10:57:53Z
2018-04-25T10:57:53Z
Anak Anda suka pilih-pilih makanan? Coba lima cara ini agar saat makan jadi lebih sehat dan menyenangkan
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/216283/original/file-20180425-175038-1131vrg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Rasa kemandirian saat makan amatlah normal bagi anak karena mereka belajar membedakan makanan berdasarkan rasa, tekstur, tampilan.</span> </figcaption></figure><p>Jika anak Anda di rumah suka pilih-pilih makanan, Anda tidak sendirian. Hampir 50 % orang tua mengatakan anak mereka (yang berusia prasekolah) suka <a href="https://dx.doi.org/10.1016/j.jada.2003.10.024">pilih-pilih makanan</a>.</p>
<p>Memilih-milih makanan tentu saja dapat merepotkan. Di satu sisi, orang tua cemas apakah anak memakan cukup makanan yang “baik”, tidak terlalu banyak makanan “yang buruk” (atau secara umum, cukup makan). Di sisi lain, kita juga cemas akan makanan yang terbuang.</p>
<p>Terkadang, tarik-ulur yang terjadi dapat membuat waktu makan jadi tidak menyenangkan. Dan merencanakan makanan sesuai selera anak bisa jadi hampir mustahil.</p>
<p>Tapi ada kabar baik: Beberapa perilaku yang biasa ditunjukkan oleh anak yang suka pilih-pilih makanan (<em>picky eaters</em>), seperti menolak makanan baru dan hanya ingin makanan tertentu—makanan favorit—<a href="https://dx.doi.org/10.1016/j.appet.2007.09.009">adalah normal</a>.</p>
<p>Riset menunjukkan bahwa seiring waktu dan pengenalan berulang kali—tanpa paksaan—kebanyakan anak-anak akan menerima <a href="https://doi.org/10.1016/S0195-6663(82)80053-6">makanan baru</a>. </p>
<p>Anda juga bisa bernapas lega: Mayoritas anak-anak yang tergolong suka pilih-pilih makanan tidak mesti memiliki pola makan yang amat terbatas, atau perkembangan yang <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8203317">kurang optimal</a>.</p>
<p>Sebagai peneliti nutrisi, kami telah mengadakan beberapa studi terhadap keluarga dan menemukan beberapa strategi yang bisa Anda gunakan untuk menciptakan waktu makan yang lebih menyenangkan, dan lebih sehat.</p>
<p>Berikut ini lima hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi stres saat makan dan membantu anak Anda memiliki pola makan yang lebih sehat.</p>
<h2>1. Geser persepsi Anda</h2>
<p>Langkah pertama bagi orang tua yang kewalahan adalah menggeser persepsi. </p>
<p>Pada masa prasekolah, pertumbuhan yang melambat (dibandingkan dengan pertumbuhan pesat saat bayi) dapat mempengaruhi asupan pola makan. Begitu pula perubahan psikologis seperti berkembangnya rasa kemandirian si anak.</p>
<p>Karena mereka sudah memiliki selera dan keinginan untuk bertindak, anak-anak prasekolah lebih suka makan sendiri. Mereka juga dapat membentuk opini sendiri tentang makanan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/197420/original/file-20171202-5416-1ly8eba.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/197420/original/file-20171202-5416-1ly8eba.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/197420/original/file-20171202-5416-1ly8eba.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/197420/original/file-20171202-5416-1ly8eba.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/197420/original/file-20171202-5416-1ly8eba.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/197420/original/file-20171202-5416-1ly8eba.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/197420/original/file-20171202-5416-1ly8eba.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dengan mengatakan anak kita “suka pilih-pilih makanan”, kita sebenarnya melabeli perilaku yang sebenarnya wajar sebagai ketidakpatuhan. </p>
<p>Ketika anak menolak makanan tertentu dan kita memandang mereka “tidak patuh”, interaksi dengan anak sering kali membuat stres. Kita cenderung berfokus bagaimana caranya supaya anak mematuhi permintaan kita, ketimbang bagaimana caranya mempromosikan hubungan yang sehat <a href="https://doi.org/10.1186/s12966-017-0520-0">dengan makanan</a>.</p>
<p>Maka ucapan seperti “ayo tinggal tiga suap lagi” pun kerap terdengar. Ini bisa memicu Anda dan anak untuk makin sering tidak sepakat.</p>
<p>Saking seringnya ketidaksepakatan (serta tekanan) ini terjadi, pada beberapa situasi bahkan Anda tidak berusaha lagi untuk membujuk anak makan. Anda akan mengalah, menuruti selera mereka dan membiarkan kebiasaan makan yang tak sehat menang.</p>
<p>Ketimbang memandang anak sebagai tidak patuh, kita bisa menganggap tanda kemandirian ini sebagai sesuatu yang amat normal bagi anak seumuran mereka.</p>
<p>Anak memang akan membeda-bedakan makanan berdasarkan parameter yang mereka kenal, seperti rasa, tekstur, penampilan makanan, dan apakah mereka sudah mengenal makanan itu sebelumnya.</p>
<p>Pusatkan perhatian Anda untuk memupuk pola makan anak yang sehat tanpa memberi tekanan. Nikmatilah waktu yang dihabiskan bersama saat makan. Jangan terlalu memikirkan asupan makanan anak.</p>
<h2>2. Akomodasi, tapi jangan selalu menuruti keinginan mereka</h2>
<p>Mengakomodasi selera anak adalah strategi yang membuat kedua belah pihak menang. Anak mendapatkan kemandirian, sambil memakan makanan yang Anda persiapkan. </p>
<p>Ketika merencanakan masakan, tanyalah anak apa yang ingin mereka makan selama seminggu ke depan. Atau ajak mereka berbelanja dan minta mereka mengambil sayuran yang mereka ingin coba. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/197421/original/file-20171202-5424-1kcwx48.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/197421/original/file-20171202-5424-1kcwx48.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/197421/original/file-20171202-5424-1kcwx48.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/197421/original/file-20171202-5424-1kcwx48.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/197421/original/file-20171202-5424-1kcwx48.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/197421/original/file-20171202-5424-1kcwx48.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/197421/original/file-20171202-5424-1kcwx48.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Ini bukan berarti Anda harus makan nugget ayam tiap malam. Melainkan jika Anda akan memasak makanan Thailand yang pedas, cobalah buat juga versi yang tidak terlalu pedas untuk anak.</p>
<p>Anda juga patut mencoba membiarkan anak menyajikan makanan mereka sendiri, sehingga mereka bisa mengatur takaran yang mereka suka (misalnya, apakah ayam ini pakai saus atau tidak).</p>
<h2>3. Biarkan anak mencicipi makanan baru</h2>
<p>Jangan memaksa anak untuk memakan makanan yang mereka tidak suka. Jika mereka tidak suka brokoli, itu tidak apa-apa.</p>
<p>Peneliti di Inggris pernah menguji beberapa metode untuk membujuk anak kecil menyukai sayuran. Hasilnya? Setelah 14 hari, strategi yang paling sukses adalah kombinasi dari paparan harian yang berulang, menawarkan hadiah non-makanan untuk mencoba makanan yang tak disukai, serta orang tua makan makanan <a href="https://dx.doi.org/10.1016/j.appet.2014.12.216">yang sama dengan anak</a>.</p>
<p>Bahkan jika anak Anda menolak suatu makanan, coba dan cobalah terus (tanpa memaksa). Diperlukan sekitar 10-15 kali paparan bagi anak untuk menyukai <a href="https://doi.org/10.1016/S0195-6663(82)80005-6">makanan yang baru.</a>. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/197422/original/file-20171202-5406-hr5y3d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/197422/original/file-20171202-5406-hr5y3d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/197422/original/file-20171202-5406-hr5y3d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/197422/original/file-20171202-5406-hr5y3d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/197422/original/file-20171202-5406-hr5y3d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/197422/original/file-20171202-5406-hr5y3d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/197422/original/file-20171202-5406-hr5y3d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Lebih mudah buat kita untuk membuat anak mencicipi makanan baru, jadi mulailah dengan menawarkan porsi kecil. </p>
<p>Pemberian hadiah seperti stiker dapat meningkatkan penerimaan anak terhadap makanan baru (dan membuat perkenalan dengan makanan baru lebih menyenangkan). Pujilah anak ketika mereka mencoba makanan baru, tapi tetaplah netral ketika mereka memilih tidak mau memakannya.</p>
<h2>4. Jadilah teladan</h2>
<p>Makan bersama anak, ketika menawarkan makanan baru, juga penting. Jangan harap anak Anda mau makan sayuran, jika Anda sendiri tidak memakannya!</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/197423/original/file-20171202-5392-pqkxl9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/197423/original/file-20171202-5392-pqkxl9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/197423/original/file-20171202-5392-pqkxl9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/197423/original/file-20171202-5392-pqkxl9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/197423/original/file-20171202-5392-pqkxl9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/197423/original/file-20171202-5392-pqkxl9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/197423/original/file-20171202-5392-pqkxl9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Anak-anak yang orang tuanya menjadi teladan makan makanan sehat, dilaporkan <a href="https://www.dx.doi.org/10.1016/j.appet.2014.08.008">tidak terlalu “pilih-pilih”</a> dan lebih mungkin mencoba sayuran yang tak disukai, dan juga makan lebih banyak <a href="https://dx.doi.org/10.1016/j.jada.2010.10.050">buah dan sayuran</a>.</p>
<h2>5. Anak-anak bisa jadi asisten koki yang hebat!</h2>
<p>Melibatkan seluruh keluarga dalam persiapan makanan dapat mengurangi stres saat makan. </p>
<p>Anda tidak perlu melakukannya sendirian. Coba minta tolong anak mencuci bahan makanan ketika Anda sedang mengiris, atau menata meja ketika makanan masih dimasak dalam oven.</p>
<p>Riset menunjukkan, anak-anak yang terlibat dalam persiapan makanan memiliki tabiat <a href="https://dx.doi.org/10.5888/pcd11.140267">yang lebih positif</a> terhadap makanan dan lebh mungkin memakan makanan yang <a href="https://dx.doi.org/%20%20%20%2010.1016/j.appet.2014.03.030">mereka bantu persiapkan</a>. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/197424/original/file-20171202-5406-9gi9uu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/197424/original/file-20171202-5406-9gi9uu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=392&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/197424/original/file-20171202-5406-9gi9uu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=392&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/197424/original/file-20171202-5406-9gi9uu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=392&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/197424/original/file-20171202-5406-9gi9uu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=493&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/197424/original/file-20171202-5406-9gi9uu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=493&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/197424/original/file-20171202-5406-9gi9uu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=493&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dengan memberi anak jabatan asisten koki, Anda meningkatkan konsumsi makanan sehat mereka dalam jangka pendek, dan mengajarkan perilaku seumur hidup.</p>
<p>Coba lihat beberapa tugas dapur yang cocok dilakukan anak <a href="http://www.eatrightontario.ca/en/Articles/Child-Toddler-Nutrition/Cooking-with-Kids.aspx">sesuai usia mereka!</a> </p>
<p>Jika perlu ide tentang resep makanan yang ramah anak, coba lihat resep lezat yang dibuat oleh <a href="https://www.uoguelph.ca/gfhs/resources/gfhs-cookbooks">peneliti di Guelph Family Health Study</a>.</p>
<p>Dengan membolehkan anak mengembangkan selera, kesukaan, dan kegembiraan terhadap makanan sehat, maka saat makan keluarga akan lebih menyenangkan dalam jangka pendek. Pola makan anak Anda pun jadi lebih baik dalam jangka panjang.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/95600/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Kathryn Walton menerima dana dari Canadian Foundation for Dietetic Research.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Jess Haines menerima dana dari Canadian Institutes for Health Research, U.S. National Institutes of Health, Canadian Foundation for Innovation, Canadian Foundation for Dietetic Research, dan the Ontario Ministry of Agriculture, Food, and Rural Affairs.</span></em></p>
Tidak perlu stres jika anak suka pilih-pilih makanan. Dua ahli nutrisi punya lima strategi yang layak Anda coba.
Kathryn Walton, Registered Dietitian, PhD Candidate in Applied Nutrition, University of Guelph
Jess Haines, Associate Professor of Applied Nutrition, University of Guelph
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/95064
2018-04-24T09:30:39Z
2018-04-24T09:30:39Z
Kadar testosteron yang rendah mungkin membuat laki-laki jadi ayah yang lebih baik
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/216097/original/file-20180424-57578-y4m9u4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Anda yang baru menjadi orang tua mungkin sudah tahu (dan merasakan) betapa tidur nyenyak di malam hari merupakan sebuah kemewahan. Tapi yang tidak banyak orang tahu adalah, tangisan bayi dapat memicu penurunan kadar testosteron pada beberapa laki-laki. Dan ini kabar baik.</p>
<p>Testosteron yang rendah membuat laki-laki jadi lebih berempati dan tidak terlalu agresif, sehingga membuat mereka jadi ayah yang lebih baik.</p>
<p>Informasi tentang perubahan hormonal pada laki-laki ini didapat dari sebuah studi yang saya lakukan bersama mahasiswa Patty Kuo dari <a href="http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/dev.21370/abstract">University of Michigan</a>. </p>
<p>Studi itu memberi wawasan mengenai pengasuhan (<em>parenting</em>) oleh laki-laki, dan mampu membantu mereka jadi ayah yang lebih pengayom.</p>
<p>Suara tangisan bayi dapat memicu serangkaian tanggapan emosional, baik terhadap ayah maupun ibu. Mereka bisa merasakan empati, gangguan, atau kemarahan. Respon terbaik tentu saja empati, karena kemarahan dapat memicu perilaku agresif yang mungkin berbahaya bagi bayi.</p>
<p>Riset kami menunjukkan bahwa ketika para laki-laki melihat bayi mereka menangis atau tidak nyaman, dan kadar testosteron mereka menurun, mereka jadi <a href="http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/dev.21370/abstract">lebih mengayomi</a> dan sensitif ketika menangani bayi. </p>
<p>Kami juga menemukan bahwa ketika para ayah mengaku berempati dan memiliki hubungan asmara dengan ibu si bayi, mereka jadi ayah yang lebih sensitif.</p>
<h2>Mencari kaitan hormonal</h2>
<p>Meski laki-laki yang memiliki anak punya kadar testosteron lebih rendah ketimbang mereka yang tak punya anak, banyak studi sebelumnya tidak selalu berhasil menemukan kaitan antara keterlibatan ayah-anak dan kadar testosteron mereka.</p>
<p>Kami sudah mengetahui bahwa laki-laki mengalami penurunan testosteron dan mengaku lebih berempati ketika mendengar bayi menangis. Tapi kami masih bertanya-tanya apakah respon serupa juga akan dialami ketika yang dihadapi adalah bayi mereka sendiri. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/127129/original/image-20160617-11098-18doefn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/127129/original/image-20160617-11098-18doefn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/127129/original/image-20160617-11098-18doefn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/127129/original/image-20160617-11098-18doefn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/127129/original/image-20160617-11098-18doefn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/127129/original/image-20160617-11098-18doefn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/127129/original/image-20160617-11098-18doefn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Bayi yang menangis.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://www.shutterstock.com/cat.mhtml?lang=en&language=en&ref_site=photo&search_source=search_form&version=llv1&anyorall=all&safesearch=1&use_local_boost=1&autocomplete_id=&searchterm=father%20and%20baby&show_color_wheel=1&orient=&commercial_ok=&media_type=images&search_cat=&searchtermx=&photographer_name=&people_gender=&people_age=&people_ethnicity=&people_number=&color=&page=1&inline=173470385">From www.shutterstock.com</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Untuk itu, kami menggunakan paradigma riset umum untuk menilai kedekatan hubungan bayi dan orang tua, yang diberi nama <a href="http://www.childdevelopmentmedia.com/articles/mary-ainsworth-and-attachment-theory/">Strange Situation</a>. </p>
<p>Para ayah dipisahkan dari bayi mereka dengan interval tiga menit, kemudian dipertemukan kembali. Para bayi jelas terlihat resah ketika dipisahkan, dan meminta ditenangkan oleh sang ayah ketika dipertemukan.</p>
<p>Setelah itu, kami meminta para ayah untuk berinteraksi dengan bayi mereka selama 15 menit dan meminta mereka mengajari anak beberapa tugas sulit. Lalu kami mengamati seberapa sensitif dan mengganggu mereka ketika berinteraksi dengan anak.</p>
<p>Kami juga mengumpulkan air liur para ayah sebelum dan sesudah interaksi, setelah dpisahkan, dan setelah tugas mengajar untuk mengukur kadar testosteron mereka. Sehingga kami bisa melihat perubahannya seiring waktu.</p>
<p>Ketika para ayah mengalami penurunan testosteron dalam jumlah banyak setelah berpisah dengan bayi mereka yang menangis, mereka jadi lebih sensitif ketika mengerjakan tugas mengajar.</p>
<p>Kami mengamati beberapa hal seperti apakah para ayah mendukung upaya bayi mereka dalam mengerjakan tugas, ataukah berhenti dan merespon si bayi jika mereka frustrasi dengan tugasnya.</p>
<p>Dalam proses ini, kami telah menyibak petunjuk lain yang berperan dalam pengasuhan yang baik oleh ayah, karena riset sebelumnya telah menunjukkan bahwa pengasuhan yang sensitif dan responsif oleh ayah punya kaitan dengan perkembangan kognitif, emosi, serta sosial anak.</p>
<p>Penemuan ini punya dampak penting dalam menyusun intervensi untuk membantu para ayah dalam pengasuhan anak, sebab kita sekarang mengetahui caranya membantu para ayah menangani anak mereka yang resah.</p>
<p>Mengapa demikian? Peningkatan testosteron sebagai respon terhadap tangisan bayi, yang dikombinasikan dengan ketidakmampuan ayah dalam menenangkan bayi, dapat memicu kekasaran dan kecenderungan tindakan agresif yang dapat menempatkan anak dalam bahaya.</p>
<p>Berdasarkan studi kami, kami percaya bahwa empati ayah dan penurunan testosteron berpengaruh terhadap bagaimana mereka merespon. Sebagai contoh, jika para ayah menganggap tangisan bayi sebagai tanda keresahan dan berempati kepada bayinya, maka mereka akan mengalami penurunan testosteron.</p>
<p>Pada gilirannya ini akan membantu respon yang mengayomi.</p>
<p>Atau, ketika para ayah menganggap tangisan bayi sebagai gangguan dan mereka tak mampu menenangkan si bayi, maka mereka mengalami peningkatan testosteron, yang justru memudahkan respon yang negatif atau mengganggu.</p>
<p>Upaya intervensi dapat diarahkan untuk menolong para ayah menenangkan bayi mereka dengan cara yang benar.</p>
<h2>Ketika ayah menenangkan bayi, mereka juga merasa lebih nyaman</h2>
<p><a href="http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25440811">Studi lain</a> yang dilaksanakan bersama kolega saya Carolyn Dayton dari Wayne State University menunjukkan bahwa para ayah kerap menggunakan strategi yang lebih sedikit untuk menenangkan bayi mereka (mengayun dan memeluk) ketimbang para ibu, di tahun pertama setelah bayi lahir. </p>
<p>Kami tidak tahu apakah ini akibat para ayah kurang terlibat dalam pengasuhan bayi ketimbang para ibu, atau memang para ayah tidak punya strategi sebanyak ibu karena mereka tidak pernah mempelajarinya.</p>
<p>Di sini, penyedia layanan kesehatan dapat menawarkan bantuan dan mengajari para ayah dan ibu teknik menenangkan bayi yang efektif.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/127131/original/image-20160617-11107-1x461bv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/127131/original/image-20160617-11107-1x461bv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/127131/original/image-20160617-11107-1x461bv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/127131/original/image-20160617-11107-1x461bv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/127131/original/image-20160617-11107-1x461bv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/127131/original/image-20160617-11107-1x461bv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/127131/original/image-20160617-11107-1x461bv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Bayi bahagia, ayah bahagia.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://www.shutterstock.com/cat.mhtml?lang=en&language=en&ref_site=photo&search_source=search_form&version=llv1&anyorall=all&safesearch=1&use_local_boost=1&autocomplete_id=&search_tracking_id=0HpkPUS5a9ODgf3RpIhCPg&searchterm=happy%20fathers%20%20and%20babies&show_color_wheel=1&orient=&commercial_ok=&media_type=images&search_cat=&searchtermx=&photographer_name=&people_gender=&people_age=&people_ethnicity=&people_number=&color=&page=1&inline=434347906">From www.shutterstock.com</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Ketika para ayah sama terlibatnya dengan para ibu dalam menenangkan bayi, mereka merasa lebih efektif sebagai ayah. Juga, para ibu merasa tidak terlalu terganggu oleh tangisan bayi setelah setahun. </p>
<p>Penemuan-penemuan ini menunjukkan bahwa para ayah yang terlibat dalam pengasuhan, serta mampu menenangkan bayi dengan efektif, berperan dalam kebahagiaan keluarga secara umum.</p>
<h2>Perubahan hormonal terjadi mulai kehamilan—bagi laki-laki</h2>
<p>Perempuan mengalami serangkaian perubahan sepanjang kehamilan, misalnya pertambahan berat badan, mengidam makanan tertentu, serta kekurangan energi. Sementara itu, transisi yang dialami laki-laki tidak terlalu terlihat, dan beberapa riset menunjukkan bahwa banyak perubahan terjadi setelah kelahiran bayi.</p>
<p>Studi <a href="http://edelsteinlab.psych.lsa.umich.edu/pubs/Edelstein%20et%20al%20AJHB%20in%20press.pdf">University of Michigan (UM)</a> yang dipimpin oleh psikolog Robin Edelstein menemukan bahwa laki-laki mengalami perubahan hormonal bahkan sebelum mereka menjadi ayah.</p>
<p>Perubahan ini bisa jadi dampak perubahan psikologis yang mereka alami seiring persiapan menjadi ayah, perubahan dalam hubungan asmara atau bahkan perubahan fisik yang dialami bersama pasangannya yang tengah hamil. </p>
<p>Perubahan hormonal ayah dapat memiliki dampak penting bagi pola pengasuhan ketika si bayi telah lahir.</p>
<p>Dalam studi itu, periset University of Michigan memeriksa sampel air liur 29 pasangan yang tengah menanti anak pertama. Periset memeriksa empat hormon prenatal, termasuk testosteron, pada empat waktu terpisah (12, 20, 28 dan 36 pekan) sepanjang kehamilan untuk mengukur perubahan yang mungkin terjadi.</p>
<p>Laki-laki yang mengalami penurunan testosteron paling banyak amat mengayomi bayi dan pasangan mereka mengatakan para laki-laki ini amat membantu di rumah.</p>
<p>Sementara itu, perempuan menunjukkan peningkatan prenatal yang tinggi untuk keempat hormon itu, yang sesuai dengan temuan riset sebelumnya terhadap ibu hamil.</p>
<p>Para laki-laki mulai mengalami pengurangan testosteron berbulan-bulan sebelum mereka memasuki ruang persalinan. Fenomena ini memiliki dampak amat penting bagi perkembangan bayi mereka setelah lahir.</p>
<p>Seperti yang disebutkan sebelumnya, karena testosteron kerap dihubungkan dengan tindakan agresif, maka laki-laki yang kadar testosteronnya sudah turun ini mungkin saja lebih siap dengan tanggung jawab baru mereka sebagai orang tua. </p>
<p>Mereka pun dapat menyediakan pengasuhan dan kasih sayang yang responsif yang baik bagi perkembangan bayi yang sehat.</p>
<p>Kita perlu riset lebih mendalam. Saat ini, yang kita tahu dari beberapa studi hanyalah bahwa perubahan biologis telah terjadi ketika para laki-laki sedang bersiap-siap untuk menjadi ayah. Kita juga tahu bahwa para laki-laki jelas mampu untuk menenangkan serta mengasuh bayi mereka yang menangis.</p>
<p>Sebagai tambahan, kita juga tahu bahwa ayah yang berempati dalam hubungan asmara dengan pasangan mereka yang juga mengalami penurunan testosteron sebagai respon terhadap bayi menangis, dapat mengasuh anak sehingga memperbaiki perkembangan kognitif, emosional, serta sosial anak. </p>
<p>Saat ini, mungkin perempuan lebih terlibat dalam pengasuhan anak ketimbang laki-laki, tetapi akumulasi penelitian selama 40 tahun terakhir telah merekam peran ayah dalam kesehatan serta perkembangan anak. Dan hasilnya jelas.</p>
<p>Ayah zaman sekarang jauh lebih terlibat dalam pengasuhan anak ketimbang zaman dahulu. Meski demikian, masih banyak riset yang menunjukkan para ayah sebagai orang tua kelas dua dalam hidup anak.</p>
<p>Kehadiran ayah itu penting bagi hidup anak. Kasih sayang dan pengasuhan mereka, instruksi dan pengajaran, juga dukungan keuangan, mempengaruhi kesehatan emosi anak, kompetensi sosial dan perkembangan kognitif.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/95064/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Brenda Volling receives funding from the National Institute of Child Health and Human Development</span></em></p>
Testosteron yang rendah itu hal bagus untuk menjadi ayah yang pengayom. Begini alasannya.
Brenda Volling, Professor of Psychology, University of Michigan
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/95373
2018-04-20T08:51:57Z
2018-04-20T08:51:57Z
Dari ibu yang bahagia lahir bayi yang sehat
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/215717/original/file-20180420-163975-2683rn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=1%2C1%2C997%2C523&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Satu dari delapan perempuan di dunia menderita depresi ketika hamil dan sesudah melahirkan. Padahal kebahagiaan ibu dan calon ibu menentukan kesehatan si bayi.</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p><em>Ini adalah artikel pertama dalam seri tulisan dengan tema “Kesehatan Ibu dan Anak” dalam rangka memperingati hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April.</em></p>
<hr>
<p>Perempuan mengalami depresi saat kehamilan dan sesudah melahirkan adalah hal yang umum terjadi. <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17370048">Satu dari delapan ibu</a> di seluruh dunia menderita depresi baik ketika mengandung atau sesudah melahirkan. Di negara-negara berkembang dan miskin, perbandingannya bisa naik menjadi <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3302553/">satu dari tiga perempuan</a>. </p>
<p>Beberapa dari kita pernah mendengar cerita depresi yang berkaitan dengan kehamilan dari teman dan saudara. Beberapa di antaranya bahkan memiliki akhir yang menyedihkan seperti kasus <a href="https://www.goodhousekeeping.com/health/a43999/postpartum-depression-elizabeth-greg-ludlam/">bunuh diri</a> dan <a href="http://people.com/crime/st-louis-mom-murder-suicide-postpartum-depression/">pembunuhan</a>.</p>
<p>Dalam suatu forum santai dengan beberapa teman yang sedang belajar di tingkat doktor di University of Melbourne, saya mendapati semua teman-teman perempuan saya mengalami depresi pasca kelahiran atau dalam kondisi yang lebih sederhana yang dikenal dengan <em>baby blues</em>, terutama ketika menjadi ibu pertama kali.</p>
<p>Keadaan paling sulit untuk ibu adalah mengatasi depresi sendirian. Tanda-tanda yang biasa dialami oleh mereka yang depresi ini adalah perasaan sedih, pesimis mengenai masa depan, merasa tidak bertenaga dan kurang semangat. Banyak yang beranggapan bahwa perasaan depresi saat hamil dan menyusui adalah keadaan yang wajar dan ketika ibu mengeluhkan suasana perasaannya, ia mungkin akan dipandang tidak mampu menjadi ibu yang baik.</p>
<p>Tidak semua perempuan menyadari bahwa mereka sedang mengalami gejala depresi. Mereka merasa nestapa, namun mereka juga tidak memiliki cukup pengetahuan tentang mengapa hal itu terjadi pada mereka dan apa yang harus dilakukan. Sebagian besar mencoba mengabaikan masalahnya dan berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya baik-baik saja. Sedikit sekali dari mereka yang berusaha mencari bantuan. </p>
<h2>Penyebab ketidakbahagiaan</h2>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Tekanan sosial dan budaya yang memberi penilaian baik buruknya seorang ibu juga berkontribusi menimbulkan depresi pada ibu.</span>
<span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock,com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://www.springer.com/gp/book/9781441915252">Kekhawatiran berlebihan terhadap keselamatan bayi </a> bisa menimbulkan perasaan depresi pada ibu hamil dan menyusui. Beberapa ibu memiliki ketakutan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada bayinya. </p>
<p><a href="https://www.springer.com/gp/book/9781441915252">Kurangnya kepercayaan diri perempuan</a> terhadap kemampuannya dalam mengasuh juga bisa menyebabkan depresi. Sebagian wanita merasa tidak mampu dan tidak siap menjadi seorang ibu karena tidak memiliki pengatahuan tentang kehamilan dan bagaimana mengasuh bayi. Ketidakpercayaan diri ini bahkan lebih kuat pada perempuan yang kehidupan ekonominya sangat berat. </p>
<p>Tekanan sosial-budaya yang membentuk definisi gambaran ibu yang baik di masyarakat juga bisa menentukan depresi pada ibu. </p>
<h2>Akibat fatal bagi bayi</h2>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Ibu yang depresi juga menyebabkan stres pada anak.</span>
<span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Wanita hamil dan ibu menyusui yang tidak bahagia dapat memperburuk hubungan ibu dan bayi. Emosi negatif ini tidak hanya memengaruhi sang ibu, namun juga si bayi. </p>
<p>Perempuan hamil yang mengalami depresi cenderung kurang peduli terhadap kebutuhan pribadinya. Mereka kehilangan nafsu makan dan oleh karenanya menemui risiko mengalami gizi buruk selama kehamilan. </p>
<p>Hal ini dapat berakibat pada meningkatnya risiko <a href="http://www.who.int/whosis/whostat2006NewbornsLowBirthWeight.pdf">bayi lahir dengan berat yang rendah</a>. Bayi berat lahir rendah (BBLR) bisa menjadi sebab berbagai masalah kesehatan, diantaranya seperti hambatan perkembangan psikologis, <em>stunting</em> (kerdil), berkembangnya penyakit kronis, dan bahkan kematian bayi dan anak. </p>
<p>Bayi dan anak-anak dari ibu yang mengalami depresi berpotensi mengalami gangguan kesehatan. Selain BBLR, bayi juga bisa menderita <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3083253/">ukuran kepala yang kecil dan masalah makan dan tidur</a>. Di beberapa negara, depresi pada ibu juga dikaitkan dengan <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/j.1750-8606.2008.00077.x">diare pada anak dan program imunisasi yang tidak lengkap</a>.</p>
<p>Anak-anak dari ibu yang mengalami depresi, pengetahuan kognitifnya juga akan terhambat seperti <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21651606">keterlambatan bahasa dan IQ yang rendah</a>. </p>
<p>Semua risiko ini bahkan mungkin berlanjut hingga mereka remaja. </p>
<p>Depresi pada ibu juga mempengaruhi produksi air susu ibu (ASI). Beberapa teman mengatakan bahwa ASI mereka tidak berproduksi sama sekali ketika mereka dalam keadaan depresi. Situasi ini menghalangi bayi mendapat manfaat dari kandungan nutrisi ASI yang kaya, pada akhirnya menghambat tumbuh kembang bayi. </p>
<p>Ibu yang mengalami depresi juga menghadapi <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007%2F978-1-4419-1526-9_6">kesulitan</a> dalam memahami ekspresi emosional bayinya. Kondisi ini dapat menyebabkan stres pada bayi karena ibu tidak menjawab kebutuhannya secara benar. Semakin lama, ibu-ibu ini melihat dirinya sebagai ibu yang gagal atau wanita yang tidak bisa menjadi ibu, sebuah penilaian yang makin memperburuk keadaannya. </p>
<p>Secara keseluruhan, dampak-dampak yang disebutkan di atas dapat menimbulkan <a href="https://www.researchgate.net/publication/288664748_Lifetime_costs_of_perinatal_anxiety_and_depression">beban keuangan</a> pada keluarga karena mereka harus mengeluarkan biaya ekstra untuk biaya kesehatan anak, yang mungkin akan dialami seumur hidup. </p>
<p>Perkembangan kognitif yang terganggu juga berakibat pada biaya tambahan untuk pendidikan khusus dan terapi lain yang diperlukan sang anak. Orangtua juga kehilangan waktu produktifnya karena harus menyediakan waktu khusus untuk merawat dan mengasuh anaknya. </p>
<h2>Apa yang harus dilakukan</h2>
<p>Memberikan perhatian pada kehidupan emosi dan psikologis ibu-ibu ini sangatlah penting. </p>
<p>Banyak ibu di Indonesia manganggap kebutuhan bayinya lebih penting daripada dirinya. Anggapan ini mengakibatkan wanita mengesampingkan kesehatan psikologisnya demi sang anak. Sebelum mencari dukungan dari orang-orang di sekitarnya, ibu perlu mengenali dan jujur pada diri sendiri bahwa ia mengalami suasana emosi yang kurang menguntungkan. </p>
<p>Perhatian dan dukungan untuk memastikan ibu merasa bahagia selama kehamilan dan menyusui sangatlah penting. Dukungan awal harus berasal dari keluarga. </p>
<p>Suami memegang peran penting untuk membantu ibu yang mengalami depresi. Mereka harus membuka diri untuk menerima kondisi pasangannya dan tidak bersikap menghakimi. Begitu ibu merasa diterima dan dipahami, maka mereka dapat lebih mudah menghadapi kesulitannya dalam kehidupan sehari-hari di rumah, sebelum akhirnya mencari pertolongan kepada ahli. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Para suami juga memiliki peran penting dalam mendukung kesehatan mental istri ketika mengandung dan melahirkan.</span>
<span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Bentuk dukungan lain seharusnya datang dari fasilitas kesehatan setempat dan juga petugas kesehatan. Indonesia sudah mengembangkan sebuah <a href="https://www.google.co.id/search?q=Pedoman+pelayanan+antenatal+terpadu&oq=Pedoman+pelayanan+antenatal+terpadu&aqs=chrome..69i57.2078j0j9&sourceid=chrome&ie=UTF-8">pedoman</a> yang menyoroti peran petugas kesehatan lokal dalam memberi bantuan bagi para ibu untuk mengidentifikasi masalah depresi yang mereka hadapi. </p>
<p>Penelitian saya saat ini tentang peran petugas kesehatan di Surabaya, Jawa Timur menunjukkan bahwa meski kesadaran masyarakat terkait isu ini meningkat, peran petugas kesehatan belum optimal dalam mendukung ibu yang depresi. <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.2753/IMH0020-7411350105">Penelitian</a> terkini menemukan bahwa setidaknya satu dari lima perempuan di Surabaya mengalami depresi sesudah melahirkan. </p>
<p>Pedoman nasional menyebutkan bahwa fasilitas kesehatan lokal harus menyediakan layanan spesifik yang membantu perempuan mengungkapkan perasaan mereka. Petugas kesehatan juga harus mendapatkan pelatihan agar bisa memberikan dukungan psikologis bagi ibu yang menderita depresi. </p>
<p>Namun, Indonesia kekurangan data untuk memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan pedoman ini. Hal tersebut merupakan tantangan yang harus diatasi. Data yang lengkap akan memudahkan kita untuk mencari apa yang kurang sehingga pelayanan yang diberikan bagi ibu yang depresi bisa ditingkatkan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/95373/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Endang Surjaningrum tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>
Emosi positif sang ibu ternyata berpengaruh terhadap kesehatan anak.
Endang Surjaningrum, Lecturer in Psychology, Universitas Airlangga
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/95063
2018-04-20T08:51:56Z
2018-04-20T08:51:56Z
Sharenting: mengapa para ibu suka sekali posting foto anak di media sosial?
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/215729/original/file-20180420-75126-l2dgqb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C998%2C667&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Senyuum! Semua orang sudah muak dengan foto-foto kita. </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Hampir setiap hari, para ibu memposting foto dan status yang menceritakan atau merayakan kehidupan anak mereka. Aktivitas ini disebut dengan istilah “<a href="https://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/sharenting">sharenting</a>” (<em>sharing + parenting</em>). </p>
<p>Meski bisa dilihat sebagai bentuk kebanggaan orang tua akan anaknya, kebiasaan ini kerap dikecam jika terlalu sering.</p>
<p><a href="https://yardi.people.si.umich.edu/pubs/Schoenebeck_ManagingChildrensIdentities15.pdf">Riset menunjukkan</a>, para ibu adalah sosok yang paling sering memposting informasi tentang anak di media sosial—terutama foto keluarga. Para ibu juga kerap dicibir dan dihakimi gara-gara sharenting ini.</p>
<p>Mereka yang terusik melabeli <a href="http://www.stfuparentsblog.com/">postingan tentang anak</a> ini “membosankan”, “berulang-ulang” dan “mengganggu”. Saking kesalnya, beberapa orang bahkan membentuk grup media sosial seperti <a href="https://twitter.com/STFUParents?ref_src=twsrc%5Egoogle%7Ctwcamp%5Eserp%7Ctwgr%5Eauthor">STFU Parents</a>, untuk menunjukkan mereka “dibikin sinting” akibat postingan tentang anak dan bayi di timeline mereka. </p>
<p>Sharenting juga telah dicap sebagai sebuah bentuk <a href="https://theconversation.com/obsessive-sharenting-could-be-more-than-digital-narcissism-30331">narsisisme digital</a>. Tak cuma itu, sharenting juga dinilai sebagai bentuk “humblebrag” yang <a href="https://en.oxforddictionaries.com/definition/humblebrag">artinya</a> berpura-pura mengeluh tetapi sebenarnya berupaya menarik perhatian orang terhadap sesuatu yang dibanggakan.</p>
<p>Ini satu <a href="http://www.huffingtonpost.co.uk/2013/10/28/are-you-a-humble-brag-parent_n_7378498.html">contoh</a> humblebrag di artikel Huffington Post: </p>
<blockquote>
<p>Hampir jatuh dalam perjalanan pulang setelah menjemput Jemima dari ujian cello LEVEL TUJUH. Aduh bodoh. </p>
</blockquote>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/215732/original/file-20180420-75123-nqhhlt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/215732/original/file-20180420-75123-nqhhlt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/215732/original/file-20180420-75123-nqhhlt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/215732/original/file-20180420-75123-nqhhlt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/215732/original/file-20180420-75123-nqhhlt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/215732/original/file-20180420-75123-nqhhlt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/215732/original/file-20180420-75123-nqhhlt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Khusus untuk media sosial.</span>
<span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kaitan antara humblebrag dan rasa bangga bisa berarti bahwa orang tua—khususnya para ibu—mengalami pergulatan batin ketika memposting tentang anak dan keluarga. Rasa bangga memang bisa memiliki makna <a href="https://theconversation.com/is-pride-a-vice-or-a-virtue-a-psychologist-explains-79225">positif dan negatif</a>, tetapi emosi ini kerap dikaitkan dengan pengasuhan yang “bagus”.</p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09540250903011350">Riset</a> menunjukkan bahwa ekspresi kebanggaan orang tua ada kaitannya dengan perkembangan moral si anak, serta pengasuhan anak yang berkualitas—yang memegang peranan amat penting dalam masa kanak-kanak. </p>
<h2>Rasa bangga adalah kunci</h2>
<p>Dalam <a href="https://oupsychology.wordpress.com/2018/02/15/digital-mothering/">riset kami</a> sendiri, kami meminta 15 ibu untuk menunjukkan kepada kami beberapa postingan tentang anak dan keluarga mereka, serta menceritakan pengalaman mereka.</p>
<p>Hasilnya, kami menemukan bahwa para ibu paling sering menggunakan kata “bangga” ketika memposting tentang anak mereka yang terkait prestasi, misalnya lomba atau lulus ujian.</p>
<p>Karena rasa bangga adalah hal yang wajar dalam pengasuhan anak yang baik, tak heran bila para ibu tidak melihat ekspresi kebanggaan mereka di media sosial sebagai sebuah masalah.</p>
<p>Sebaliknya, para peserta riset kami menggunakan “rasa bangga” sebagai alasan dan pembenaran ketika memposting konten terkait anak.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/215734/original/file-20180420-75104-k98ik3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/215734/original/file-20180420-75104-k98ik3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/215734/original/file-20180420-75104-k98ik3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/215734/original/file-20180420-75104-k98ik3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/215734/original/file-20180420-75104-k98ik3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/215734/original/file-20180420-75104-k98ik3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/215734/original/file-20180420-75104-k98ik3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Tentu saja, anak saya yang menang.</span>
<span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Riset kami juga menunjukkan bahwa ekspresi rasa bangga orang tua punya kaitan dengan meningkatnya tuntutan sosial terhadap mereka. Para orang tua, terutama para ibu, <a href="https://books.google.co.uk/books?hl=en&lr=&id=5r5obtRneqoC&oi=fnd&pg=PR9&dq=hays++intensive+mothering&ots=GUCTSDWaUD&sig=We3AMwdu_JiiMRwC7Yshlg5NIf0#v=onepage&q=hays%20%20intensive%20mothering&f=false">diharapkan</a> untuk menyediakan banyak waktu, tenaga, dan pikiran mereka. </p>
<p>Para ibu dituntut untuk memastikan agar anak tidak saja tumbuh sehat, tapi juga unggul dari teman-temannya. Media sosial adalah sebuah cara atau penyaluran bagi orang tua untuk bisa menunjukkan bahwa mereka mampu menjawab tuntutan itu.</p>
<h2>Sebuah penyebab konflik</h2>
<p>Demonstrasi digital tentang pengasuhan yang baik lama-lama jadi pelik seiring bertambahnya usia anak. </p>
<p>Satu peserta dalam riset kami, misalnya, bercerita bahwa keluarga dia bertengkar setelah suaminya memposting foto putri mereka ke Facebook. Si anak, yang tidak menyukai foto itu, meminta sang ayah untuk menghapusnya. Tapi sang ayah menolak sehingga si anak pun melaporkan ayahnya ke administrator Facebook.</p>
<p>Si anak cemas foto itu dapat dilihat oleh teman sekolahnya, yang dapat membuatnya diejek atau menerima komentar negatif. Sang ibu mengatakan pada kami bahwa Facebook dalam kasus ini berpihak pada sang ayah, dan mempertahankan foto itu.</p>
<p>Yang jadi sumber kebanggaan orang tua ternyata dapat menjadi sumber gangguan bagi kehidupan anak—baik online maupun offline.</p>
<p>Riset kami juga menunjukkan bahwa beberapa ibu percaya memposting foto atau cerita tentang anak adalah cara menghindari konflik digital, karena semua orang sama-sama dikabari.</p>
<p>Bagi para ibu, berbagi tentang anak mereka adalah sebuah cara untuk menjalin kedekatan dan memelihara hubungan dengan sesama. Cara ini juga berlaku di <a href="http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/15350770.2010.520616">dunia offline</a>, di mana para perempuan lebih sering berbagi cerita dengan anggota keluarga yang lain melalui surat dan telepon, ketimbang para pria.</p>
<p>Para ibu yang terlibat dalam studi kami menganggap, foto dan cerita anak yang mereka posting haruslah mengekspresikan kedekatan keluarga—dan sesuatu yang benar-benar baik tentang anak mereka.</p>
<p>Riset kami tidak melihat postingan para ibu ini sebagai “sharenting” semata, melainkan ekspresi online cinta dan perhatian para ibu di era digital.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/95063/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Abigail Locke menerima dana dari ESRC dan British Academy.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Charlotte Dann, Lisa Lazard, Rose Capdevila, dan Sandra Roper tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>
Banyak orang tua memposting cerita dan foto tentang anak mereka karena bangga. Tapi ini bisa memicu konflik keluarga juga.
Lisa Lazard, Senior Lecturer in Psychology, The Open University
Abigail Locke, Professor in Psychology, University of Bradford
Charlotte Dann, Lecturer in Psychology, University of Northampton
Rose Capdevila, Senior Lecturer in Psychology, The Open University
Sandra Roper, Lecturer in Applied Social Studies, University of Bedfordshire
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/93151
2018-03-12T03:06:27Z
2018-03-12T03:06:27Z
Bagaimana orang bisa jatuh cinta?
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/209855/original/file-20180312-30994-bbejrq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C4992%2C3458&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Jatuh cinta bisa terjadi hanya dalam empat menit. </span> <span class="attribution"><span class="source">Art of sun/Shutterstock</span></span></figcaption></figure><iframe src="https://open.spotify.com/embed-podcast/episode/0YGe47Oj1GrEcjv6JBz1fl" width="100%" height="232" frameborder="0" allowtransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>
<p>Banyak mitos berserakan di masyarakat dan membutuhkan sains untuk menjelaskannya secara ilmiah dan rasional. Karena itu, mulai pekan ini setiap Senin pagi The Conversation Indonesia bekerja sama dengan <a href="http://kbr.id/">Kantor Berita Radio (KBR)</a> merilis <em>podcast</em> audio Sains Sekitar Kita. Kami mengemasnya dengan gaya jurnalistik radio. Kami menjamin isinya mudah dipahami dan enak didengarkan. </p>
<p>Sains Sekitar Kita menghadirkan karya jurnalistik berkualitas karena diproduksi dengan riset yang kuat dan narasumber dari para ahli dan peneliti sains yang kredibel. Kami berharap format audio ini dapat mengisi ruang kosong jurnalisme sains via audio di radio dan internet. </p>
<p>Di tengah gelombang perubahan teknologi untuk jurnalisme yang begitu cepat, <em>podcast</em> audio adalah salah satu medium untuk menyebarkan karya jurnalistik dengan karakter digital: bisa diakses secara otomatis, kontrol ada di tangan pendengar, bisa di bawa ke mana-mana, dan selalu tersedia kapan saja. <em>Podcast</em> bisa diakses kapan pun dan di mana pun. Kami mendesain format karya jurnalistik sains ini bisa didengarkan di <em>smart phone</em>, komputer meja, laptop, dan iTunes.</p>
<p>Pekan pertama ini kami menyajikan sains di balik jatuh cinta. Pernahkah Anda jatuh cinta pada empat menit pandangan pertama dan begitu berdebar-debar saat bertemu orang yang Anda “jatuhi cinta”? </p>
<p>Berry Juliandi, ahli biologi manusia dari Institut Pertanian Bogor, menjelaskan proses biologi cinta seseorang kepada orang lain, perubahan hormonal, dan lumernya rasa deg-degan seiring waktu. Mengapa pula <em>witing tresno jalaran kulino</em> alias jatuh cinta karena biasa bertemu bisa dijelaskan menurut biologi. </p>
<p>Edisi perdana Sains Sekitar Kita ini disiapkan oleh tim dengan produser Hilman Handoni. Narator adalah Prodita Sabarini. Selamat mendengarkan!</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/93151/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Ini edisi pertama podcast audio menghadirkan sains di balik jatuh cinta. Benarkah kita bisa jatuh cinta pada empat menit pandangan pertama? Silakan dengarkan Sains Sekitar Kita.
Ahmad Nurhasim, Health+Science Editor, The Conversation
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/85328
2017-10-12T10:28:34Z
2017-10-12T10:28:34Z
Anak-anak dan media sosial: tidak selalu kabar buruk
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/189108/original/file-20171006-25764-1eg7a3i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Orang tua harus memahami apa nilai baik media sosial agar bisa membimbing anak-anak mereka menuju penggunaan positif. </span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Walaupun kita sering mendengar tentang dampak negatif media sosial terhadap anak-anak, sebetulnya penggunaan situs-situs seperti Facebook, Twitter, dan Instagram bukanlah sebuah aktivitas yang bisa disamaratakan untuk semua orang. </p>
<p>Anak-anak menggunakannya dengan sangat banyak cara—sebagian di antaranya memberi nilai tambah bagi hidup mereka. </p>
<p>Ada risiko-risiko terkait penggunaan media sosial. Tetapi penting juga memahami apa nilai baik dalam media sosial dan bagaimana membimbing anak-anak untuk memperoleh yang terbaik dari waktu online mereka. </p>
<h2>Media sosial bisa mendorong pembelajaran</h2>
<p>Media sosial adalah sebuah platform untuk berbagi ide, informasi dan sudut pandang. Ini bisa memberikan nilai pendidikan yang penting: media sosial menyampaikan informasi yang bisa diakses anak-anak muda sambil juga memberi mereka wawasan tentang bagaimana orang lain memandang dan menggunakan informasi itu.</p>
<p>Misalnya, sebuah gambar Instagram bisa memberi wawasan tangan pertama tentang bagaimana seorang artis masa kini—atau banyak artis di seluruh dunia—menafsirkan dan menerapkan teknik kubisme Picasso. Wawasan ini membuat informasi tentang Picasso menjadi nyata bagi seorang anak.</p>
<p>Wawasan ini mendukung pemahaman lebih mendalam tentang teknik-tekniknya, dan apresiasi lebih mendalam bahwa mempelajari teknik-teknik tersebut layak dilakukan.</p>
<p>Dengan begitu banyak <em>trending topic</em>, anak-anak muda bisa disodori pengetahuan “orang dalam” tentang begitu banyak subjek yang familier dengan mereka, di samping memperkenalkan mereka pada subjek-subjek baru.
<a href="http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/2379298117717257">Manfaat pendidikan bisa maksimum</a> jika memadukan informasi faktual dengan pembahasan bersama antara orang tua dan anak. Paduan ini bisa mendukung sebuah input berimbang, beragam, dan “nyata” bagi anak-anak, yang bisa membantu mereka memperdalam pemahaman mereka tentang suatu subjek.</p>
<h2>Manfaat kesehatan</h2>
<p><a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28381392">Riset menunjukkan</a> bahwa media sosial bisa memberikan manfaat signifikan bagi anak-anak dengan kondisi medis tertentu.</p>
<p>Sebuah kelompok Facebook online dengan lingkaran anggota spesifik bisa membantu anak-anak untuk berhubungan dengan orang lain yang memahami dan menceritakan kondisi mereka. Ini bisa mendukung mereka dengan memberikan rasa memiliki, ruang yang aman untuk berekspresi, dan peluang-peluang lebih baik untuk memahami dan menangani kondisi mereka.</p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/3-alasan-kita-kecanduan-ponsel-canggih-86709">3 alasan kita kecanduan ponsel canggih</a></em></p>
<hr>
<p>Media sosial juga dapat membangkitkan kesadaran masyarakat tentang problem kesehatan tertentu. Meski bukan pengganti bagi informasi medis tepercaya, sebuah gambar yang menggugah pikiran, atau akun Facebook milik seseorang yang mengalami depresi, atau sklerosis ganda, bisa menyulut pemikiran baru bagi orang lain tentang kondisi tersebut dan bagaimana hal itu mempengaruhi kehidupan sehari-hari orang yang bersangkutan.</p>
<p>Berbagi informasi kesehatan dengan cara ini <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26721292">terbukti</a> membantu memerangi stigma tentang kondisi-kondisi tersebut dalam masyarakat.</p>
<h2>Sarana-sarana sosial baru</h2>
<p><a href="http://smhp.psych.ucla.edu/pdfdocs/socialnet.pdf">Salah satu manfaat</a> menggunakan Snapchat atau Instagram adalah koneksi online reguler yang bisa membantu memperkuat persahabatan yang dijalin anak-anak muda di dunia nyata.</p>
<p>Bagi anak-anak yang merasa tersisih dalam komunitas lokal mereka, media sosial bisa membantu mereka berhubungan dengan orang-orang yang memiliki minat atau pandangan hidup yang sama.</p>
<p>Dalam beberapa kasus, remaja dengan problem kritis bisa mengandalkan jaringan sosial untuk mendapatkan dukungan dan bimbingan cepat. Ada banyak sekali kelompok yang menawarkan bantuan online semacam itu.
Media sosial juga merupakan platform penting untuk mengarahkan isu-isu sosial, seperti isu-isu rasial, agar mendapatkan perhatian nasional dan internasional yang lebih besar. </p>
<p>Misalnya, <a href="https://web.facebook.com/booksnbrosllc/?_rdc=1&_rdr">klub buku online The Books N Bros</a> dibentuk oleh seorang bocah 11 tahun yang ingin membuat membaca menjadi menyenangkan bagi anak-anak sambil mempromosikan sastra Afrika-Amerika.</p>
<p>Gerakan Black Lives Matter bermula dengan sebuah tagar Twitter sebelum menjadi gerakan politik besar dan isu yang menyedot perhatian dalam pemilihan presiden AS 2016.</p>
<h2>Apa yang harus dilakukan orang tua?</h2>
<p>Suatu kesadaran tentang manfaat media sosial bisa membantu orang dewasa memahami mengapa teknologi begitu memikat bagi anak muda, potensi penggunaan postif ruang-ruang online tersebut, dan bagaimana berbicara kepada anak-anak tentang penggunaan media sosial mereka.</p>
<p>Ketika berdiskusi dengan anak-anak tentang media sosial, penting diperhatikan untuk tidak bersikap “kita-versus-mereka”. Pemahaman dan penerimaan bahwa generasi-generasi yang berbeda menggunakan teknologi secara berbeda adalah awal yang bagus. </p>
<p>Hal ini membuka peluang untuk kita saling memahami sebagai sesama pengguna teknologi, juga lebih siap ketika masalah mulai muncul, memudahkan kita membimbing anak-anak menuju penggunaan teknologi secara positif dan memberdayakan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/85328/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Joanne Orlando tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>
Anda khawatir anak Anda tersesat dalam menggunakan media sosial? Ada hal-hal baik dalam media sosial yang perlu kita kenali agar memudahkan kita memandu anak.
Joanne Orlando, Researcher: Technology and Learning, Western Sydney University
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/82996
2017-09-06T09:41:07Z
2017-09-06T09:41:07Z
Pola makan ‘clean eating’ justru dapat merusak kesehatan anak
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/183710/original/file-20170829-22730-4re8ef.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C587%2C4560%2C2525&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Banyak pola makan ekstrem justru membuat bayi kehilangan nutrisi yang diperlukan.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/CEEhmAGpYzE">Colin Maynard/Unsplash</a></span></figcaption></figure><p>Pola makan sehat “<em>clean eating</em>” amat cocok diterapkan oleh para orang tua yang ingin anak-anak mereka memiliki kebiasaan sehat sesegera mungkin. Tak terlalu mengherankan sebenarnya: “<a href="https://theconversation.com/a-dietitian-puts-extreme-clean-eating-claims-to-the-test-and-the-results-arent-pretty-63675"><em>clean eating</em></a>” adalah jargon sempurna bagi para orang tua yang selama ini berhadapan dengan rak-rak supermarket berisikan makanan bayi yang <a href="https://www.theguardian.com/science/2013/sep/10/baby-food-nutrition-weaning-breastmilk">kandungan gulanya tinggi dan bergizi rendah</a>. </p>
<p>Beberapa pola makan sehat memang menitikberatkan pada keseimbangan—misalnya mengurangi <a href="https://theconversation.com/forget-about-fats-its-processed-food-we-should-be-worried-about-59850">asupan makanan yang diproses</a> dan menambahkan asupan makanan utuh. Tetapi beberapa ada pula yang ekstrem. Contohnya, ada yang menyarankan mengurangi gluten, atau makanan utuh seperti biji-bijian serta produk susu dan olahannya, sembari menyarankan kita untuk mengonsumsi “makanan super” untuk meningkatkan kesehatan. </p>
<p>Ada alasan mengapa beberapa diet disebut diet “seimbang”, karena ada bahaya yang mengintai ketika anak-anak mengikuti pola makan yang ekstrem. Mereka tidak saja berisiko kekurangan asupan kalori, tapi juga berpotensi mengalami kurang gizi, serta defisiensi vitamin dan mineral.</p>
<h2>Kelompok makanan</h2>
<p>Gluten—sebuah protein yang terdapat dalam biji-bijian seperti gandum, gandum hitam, dan jelai (<em>barley</em>)—kerap kali menjadi target utama bagi pola makan <em>clean eating</em>. Beberapa orang memang memiliki penyakit <em>celiac</em>, yang artinya tubuh mereka memiliki reaksi peradangan terhadap gluten, tetapi kebanyakan orang tidak bermasalah dengan gluten sama sekali. </p>
<p>Berbagai organisasi kesehatan dan gizi terkemuka sedunia justru merekomendasikan produk biji-bijian atau sereal sebagai basis pola makan yang sehat. Contohnya <a href="http://www.nhs.uk/Livewell/Goodfood/Documents/The-Eatwell-Guide-2016.pdf">Badan Kesehatan Publik Inggris</a>, <a href="http://www.eatright.org/resource/food/nutrition/dietary-guidelines-and-myplate/make-your-kids-meal-a-myplate-superstar">Akademi Nutrisi dan Diet</a>, dan <a href="https://www.cnpp.usda.gov/sites/default/files/archived_projects/FGPPamphlet.pdf">Kementerian Pertanian Amerika Serikat</a>. </p>
<p>Sereal juga makanan pokok dalam <a href="http://mediterradiet.org/nutrition/mediterranean_diet_pyramid">diet di kawasan Mediterania</a> dan mengandung karbohidrat yang diperlukan <a href="http://www.nhs.uk/Livewell/loseweight/Pages/the-truth-about-carbs.aspx">tubuh manusia</a> supaya bisa berfungsi, dan merupakan bahan bakar utama bagi otot dan otak bayi, balita, dan anak-anak. Jika mereka dijauhkan dari karbohidrat, pertumbuhan mereka bisa melambat.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/181650/original/file-20170810-27661-1gdjktc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/181650/original/file-20170810-27661-1gdjktc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/181650/original/file-20170810-27661-1gdjktc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/181650/original/file-20170810-27661-1gdjktc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/181650/original/file-20170810-27661-1gdjktc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/181650/original/file-20170810-27661-1gdjktc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/181650/original/file-20170810-27661-1gdjktc.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Makanan ‘super’?</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/spinach-green-fruits-smoothie-ingredientssuper-foods-519070624?src=yVZjTQOe0R4w70dHiZWOYA-1-52">Losangela/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Selain menyarankan menghindari gluten, filosofi <em>clean eating</em> yang ekstrem juga memiliki anggapan bahwa karbohidrat itu berbeda-beda, meski <a href="https://theconversation.com/could-some-types-of-sugar-actually-be-good-for-you-55330">molekulnya sama saja</a>. Orang dibuat percaya bahwa gula rafinasi itu jahat, racun yang akan menyabotase kesehatan. Sementara itu, mereka dengan enteng mengonsumsi <em>smoothie</em> yang “hijau” atau “berprotein” yang <a href="https://www.theguardian.com/society/2016/mar/23/fruit-juices-smoothies-contain-unacceptably-high-levels-sugar">kandungan gulanya sama seperti soft drink</a> tanpa merasa bersalah. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/mengapa-saat-diet-kita-justru-mengidamkan-makanan-tak-sehat-84708">Mengapa saat diet kita justru mengidamkan makanan tidak sehat</a></em></p>
<hr>
<p>Mereka justru merasa telah memberi manfaat bagi tubuh mereka dan anak-anak, karena mengonsumsi minuman bergizi dan berserat. Mereka juga menganggap kue yang menggunakan sirup agave, madu, atau gula kelapa (untuk menggantikan gula rafinasi) sebagai alternatif untuk hidup sehat, bisa dimakan tanpa rasa bersalah.</p>
<p>Beberapa pola makan sehat yang ekstrem juga menganjurkan menghindari produk susu dan olahannya, yang jelas merupakan <a href="https://www.nutrition.org.uk/attachments/article/874/Calcium%20Counts.pdf">sumber kalsium alami yang efisien</a>. Secangkir susu atau yogurt, atau selapis keju, dapat mengandung 300-400 mg kalsium, sementara seporsi makanan non-susu lainnya tidak sampai 100 mg (kecuali ikan kecil yang dimakan bersama tulangnya).</p>
<p>Orang dewasa rata-rata memerlukan sekitar 1.000 mg kalsium tiap hari. Anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan perlu lebih banyak lagi. Remaja, misalnya, <a href="https://ods.od.nih.gov/factsheets/Calcium-HealthProfessional/">memerlukan 1.300 mg kalsium sehari</a>. Jika pola makan tidak dirancang dengan benar, diet non-susu dapat memperlambat pertumbuhan anak serta mengurangi kekuatan tulang mereka. </p>
<p>Pada saat yang bersamaan, pemberian “makanan super” seperti kubis, ubi bit, dan biji chia, belum tentu cocok bagi anak yang masih kecil. <a href="http://wholesomebabyfood.momtastic.com/kale-for-baby.htm">Kubis</a> dan <a href="http://pediatrics.aappublications.org/content/116/3/784.full">ubi bit</a> secara alamiah mengandung nitrat yang tinggi, dan dapat bersifat beracun bagi bayi. Sementara itu <a href="http://www.littlelondonmagazine.co.uk/food-should-we-be-imposing-clean-eating-on-our-children/">biji chia</a> mengembang dalam perut sehingga berpotensi membuat sakit perut. </p>
<h2>Perilaku sehat</h2>
<p>Di samping dampak secara fisik, menerapkan pola makan <em>clean eating</em> juga dapat mengubah perilaku anak terhadap makanan. Mengapa? Cara paling efektif untuk menciptakan atau meningkatkan keinginan adalah <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18501474">membatasi akses</a>. Bayi yang masih kecil, yang masih belum mengetahui keberadaan “buah terlarang” tentu tidak akan meminta makan buah itu. Tetapi ketika akses itu dibuka dan anak-anak merasakan makanan baru yang enak, mereka tidak dilengkapi kemampuan untuk mengatur keinginan alamiah mereka itu.</p>
<p>Pola makan sehat seharusnya tidak hanya mempromosikan makanan yang menunjang kesehatan fisik, tapi juga perilaku yang menunjang hubungan lebih baik dengan makanan. Tren pola makan <em>clean eating</em> jangan sampai melupakan bahwa makanan lebih dari sekadar bahan bakar bagi tubuh. Makanan adalah sesuatu yang tercipta dari berabad kebudayaan yang dinikmati orang.</p>
<p>Pada akhirnya, membantu anak menjadi sehat dan bahagia bukanlah soal “kotor” atau “bersih”, melainkan mengajari mereka menikmati makanan bergizi, dan menyadari komposisi diet yang seimbang.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/82996/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sophia Komninou tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>
Pola makan sehat bagi bayi tidak masalah, asal jangan kebablasan dan mengakibatkan bayi kekurangan gizi.
Sophia Komninou, Lecturer in Infant and Child Public Health, Swansea University
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.
tag:theconversation.com,2011:article/82336
2017-09-05T07:14:13Z
2017-09-05T07:14:13Z
Mengapa anak-anak butuh risiko, rasa takut, dan keriangan ketika bermain
<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/181743/original/file-20170811-1237-9a0m1l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=1%2C0%2C998%2C663&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ketika anak-anak menguji batasan mereka sendiri dalam permainan yang mendebarkan, mereka mengembangkan rasa percaya diri, ketangguhan, dan kemampuan mengelola risiko. </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>“Hati-hati!” “Jangan tinggi-tinggi!” “Stop!” </p>
<p>Cemas akan keselamatan anak, orang tua kerap memperingatkan anak-anak agar berhati-hati ketika bermain. Riset terbaru menunjukkan, cara pengasuhan seperti ini <a href="https://www.theatlantic.com/magazine/archive/2014/04/hey-parents-leave-those-kids-alone/358631/">terlalu protektif</a>. Selain itu, anak-anak membutuhkan kesempatan lebih banyak untuk bermain dengan <a href="http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13502930701321733">risiko</a>.</p>
<p>Permainan yang berisiko seru dan menegangkan, membuat anak-anak menguji batasan mereka dan bermain-main dengan hal-hal yang tak pasti. Mereka memanjat pohon, membangun benteng, menjelajahi wilayah dengan teman, atau bermain tangkap bendera. </p>
<p>Riset memperlihatkan, permainan berisiko punya kaitan dengan peningkatan aktivitas fisik, kemampuan sosial, kemampuan mengelola risiko, ketangguhan, dan rasa percaya diri. Temuan-temuan ini secara intuitif masuk akal saat kita <a href="http://mymodernmet.com/forest-kindergarten/">melihat anak-anak bermain</a>.</p>
<p>Yang penting untuk dipahami adalah, keputusan tentang apa yang berisiko bagi tiap-tiap anak ketika bermain bukanlah terletak di tangan orang tua atau pakar. </p>
<p>Seharusnya, anak-anak diberi ruang mental dan fisik agar mereka menentukan sendiri tingkat risiko seperti apa yang wajar bagi diri mereka: cukup menegangkan sehingga terasa <a href="http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.2304/ciec.2009.10.2.92">seru</a>, tetapi tidak terlalu jauh sehingga jadi menakutkan.</p>
<p>Pengalaman saya bertahun-tahun sebagai peneliti yang mempelajari pencegahan cedera membuat saya paham tentang persoalan apa saja yang bisa terjadi dan bagaimana mencegahnya. Namun karena saya juga seorang doktor di bidang psikologi perkembangan, saya memiliki keprihatinan bahwa kita <a href="http://www.mdpi.com/1660-4601/9/9/3134">terlalu melindungi anak-anak kita</a>. Mencegah anak kita menjelajahi ketidakpastian dapat tanpa sengaja menciptakan <a href="https://www.participaction.com/sites/default/files/downloads/Participaction-PositionStatement-ActiveOutdoorPlay_0.pdf">dampak negatif</a> terhadap kesehatan dan perkembangan anak seperti peningkatan perilaku “<a href="http://www.mdpi.com/1660-4601/12/6/6423"><em>sedentary</em></a>” (banyak duduk dan tidak aktif) juga <a href="https://doi.org/10.1177/147470491100900212">kecemasan dan fobia</a>.</p>
<h2>Harapan dan kecemasan orang tua</h2>
<p>Banyak orang tua di Kanada yang saya ajak bicara untuk penelitian saya, mengakui pentingnya permainan berisiko tetapi mereka diliputi kecemasan akan cedera serius atau penculikan. Mereka juga khawatir dilaporkan ke pejabat berwenang karena membiarkan anak mereka mengambil risiko. Kecemasan ini bisa membuat mereka kesulitan membiarkan anak dan bisa mengakibatkan <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/journal-of-psychologists-and-counsellors-in-schools/article/can-a-parent-do-too-much-for-their-child-an-examination-by-parenting-professionals-of-the-concept-of-overparenting/3E190E449B5F74EBCA43DECF7BD0470A">proteksi berlebihan</a>. </p>
<p>Namun belakangan saya menengarai tren ke arah sebaliknya: orang tua yang khawatir anaknya penakut dan tidak berani mengambil risiko. Mereka ingin tahu cara membantu anak mengambil lebih banyak risiko ketika bermain.</p>
<p>Tren ini juga mengkhawatirkan, sama halnya dengan proteksi berlebihan. Kedua pendekatan ini dapat membahayakan dan meningkatkan risiko cedera karena mereka mengabaikan kemampuan dan preferensi si anak. Bagaimana seorang anak bisa belajar mengenai dirinya sendiri dan cara dunia bekerja jika orang dewasa terus-terusan mendiktekan pada mereka apa yang bisa mereka lakukan dan cara melakukannya?</p>
<h2>Bagaimana dengan cedera?</h2>
<p>Sepanjang sejarah, saat ini adalah waktu <a href="https://journal.cpha.ca/index.php/cjph/article/download/5315/3483">teraman menjadi anak kecil di Kanada</a>. Kemungkinan meninggal akibat cedera adalah 0,0059%. Penyebab utama kematian adalah kecelakaan mobil dan bunuh diri, bukan bermain. Bahkan lebih besar kemungkinan anak harus dirawat di RS akibat cedera saat mengikuti kegiatan <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s40279-014-0289-0">olahraga terorganisir</a> ketimbang saat bermain.</p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/apakah-anak-umur-4-tahun-bisa-jadi-seksis-83169">Apakah anak umur 4 tahun bisa jadi seksis?</a></em></p>
<hr>
<p>Begitu pula dengan kemungkinan <a href="https://www.publicsafety.gc.ca/lbrr/archives/cn33598-eng.pdf">diculik orang asing</a>, angkanya sedemikian kecil sehingga statistiknya tidak dikumpulkan. Agar seimbang, para <a href="http://injuryprevention.bmj.com/content/21/5/344">pencegah cedera profesional</a> menggeser pendekatan dari berusaha menjaga anak <a href="https://www.rospa.com/faqs/detail/?id=67">seaman mungkin ke berusaha menjaga anak seaman yang diperlukan</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/181838/original/file-20170812-13490-1k6k4vu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/181838/original/file-20170812-13490-1k6k4vu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/181838/original/file-20170812-13490-1k6k4vu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/181838/original/file-20170812-13490-1k6k4vu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/181838/original/file-20170812-13490-1k6k4vu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/181838/original/file-20170812-13490-1k6k4vu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/181838/original/file-20170812-13490-1k6k4vu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Anak-anak bermain di taman Gedung BRI, Jakarta Pusat, 2007. Biarkan anak-anak mengukur sendiri risiko mereka.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/ivanlanin/1277559951/in/photolist-wacJeN-E5iYhN-zqJrJ-Ck99Mn-C1h9bE-SBWua5-WRkXfS-FXzHHS-2WTQ4H-wPJoHP-GGFD2v-WV3sjz-VkK6ZV-HxfbXG-342AKg-z7LMqx-G6isWX-ya1wjq-pz6Ye4">Ivan Lanin/Flickr</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Anak-anak secara alamiah mampu</h2>
<p>Permainan berisiko bagian penting dari sekolah-sekolah luar ruangan dan lingkungan pendidikan anak usia dini di <a href="http://childnature.ca/">Kanada</a> dan banyak tempat lain di dunia. Di tempat penitipan anak dan sekolah alam di Inggris, misalnya, murid pendidikan anak usia dini dan taman kanak-kanak membangun markas, memanjat pohon, menggunakan alat, dan menyalakan api—di bawah pengawasan ketat.</p>
<p>Seorang kepala sekolah di Selandia Baru memutuskan murid-muridnya <a href="https://www.youtube.com/watch?v=r1Y0cuufVGI">tidak membutuhkan aturan</a>. Murid-murid diizinkan memanjat pohon, membangun benteng, mengayuh sepeda—apa pun yang mereka inginkan. Sekolah tersebut adalah bagian dari suatu <a href="http://pediatrics.aappublications.org/content/139/5/e20163072">penelitian</a> yang menemukan bahwa ketika murid diperbolehkan main yang berisiko, mereka akan lebih bahagia dan sekolah juga mencatat lebih sedikit kasus perisakan dibanding sekolah yang tidak mengubah pendekatan mereka.</p>
<p>Melihat anak-anak terlibat dalam permainan berisiko membuat kita sadar bahwa mereka lebih mampu dari yang kita bayangkan. <a href="http://www.sbs.com.au/news/dateline/story/kids-gone-wild">Ketika diberi kesempatan</a>, bahkan anak-anak yang lebih kecil pun memperlihatkan kemampuan nyata berkait pengelolaan risiko dan mengukur sendiri batas mereka. </p>
<p>Kita hanya perlu membuka mata dan sungguh-sungguh melihat apa yang ada di depan kita. Dan yang paling penting, upayakanlah secara serius untuk memberi anak-anak kesempatan bereksperimen sendiri. Potensi pembelajarannya akan besar sekali. </p>
<h2>Apa yang bisa orang tua lakukan?</h2>
<p>Menerapkan batasan berlebihan dalam permainan anak atau mendorong mereka terlalu jauh mengambil risiko: keduanya problematis. Peran kita sebagai pengasuh adalah memberikan kebebasan untuk menjelajah dan bermain sesuai pilihan mereka dan mendukung mereka mengelola bahaya sungguhan yang bisa nyata-nyata dan secara serius mengancam keselamatan mereka.</p>
<p>Hal ini bisa berbeda bagi setiap anak, bergantung pada tahap perkembangan mereka, kompetensi, dan preferensi pribadi mereka. Misalnya, permainan yang memberi kesempatan pada anak untuk tersesat adalah hal biasa untuk semua umur: balita yang bersembunyi di semak-semak bisa merasa bahwa ia adalah petualang hutan. Orang tuanya mengawasi sambil memberi mereka perasaan mandiri.</p>
<p>Untuk anak yang lebih tua, permainan bisa melibatkan menjelajahi kampung atau kompleks dengan teman-temannya. Orang tua bisa membantu mempersiapkan dengan secara bertahap mengajarkan mereka tentang <a href="http://www.parachutecanada.org/injury-topics/topic/C14">keselamatan lalu lintas</a>.</p>
<p>Untuk orang tua yang kesulitan menentukan keseimbangan, laboratorium saya telah mengembangkan <a href="https://outsideplay.ca/">OutsidePlay.ca</a>, suatu alat daring yang bisa membantu orang tua mengelola ketakutan mereka dan menyusun rencana sehingga anak mereka bisa mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk permainan berisiko. </p>
<p>Rencana ini bisa sesederhana menghitung sampai 30 sebelum ikut campur dalam permainan, supaya memberi anak waktu untuk mengelola sendiri permainan mereka. Banyak orang tua yang akan kagum akan apa yang mereka lihat.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/82336/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Mariana Brussoni receives funding from the Canadian Institutes of Health Research, the Lawson Foundation and salary support from the BC Children's Hospital Research Institute.
</span></em></p>
Riset memperlihatkan bahwa anak-anak butuh kebebasan di luar ruangan untuk bermain-main dengan rasa tegang dan rasa takut. Mereka akan menemukan batasan mereka sendiri.
Mariana Brussoni, Associate Professor of Pediatrics, University of British Columbia
Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.