tag:theconversation.com,2011:/au/topics/partai-politik-49224/articlesPartai Politik – The Conversation2024-03-01T14:39:10Ztag:theconversation.com,2011:article/2248552024-03-01T14:39:10Z2024-03-01T14:39:10ZMenjamin keterwakilan suara rakyat: sudahkah ambang batas parlemen jadi solusi tepat?<p>Mahkamah Konstitusi (MK) melalui <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_9657_1709186459.pdf">Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023</a> memutuskan bahwa ambang batas parlemen sebesar 4% yang diatur dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/37644/uu-no-7-tahun-2017">Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu)</a> sudah tidak bisa berlaku lagi. MK mengamanatkan DPR RI dan pemerintah untuk melakukan perubahan melalui revisi UU Pemilu sebelum berlangsungnya Pemilu 2029.</p>
<p>Ambang batas parlemen atau <em>parlimentary threshold</em> adalah syarat persentase minimum bagi partai politik untuk bisa mendapatkan kursi di parlemen. Hingga Pemilu 2024 ini, partai politik peserta pemilu harus mendapatkan paling sedikit 4% dari total suara sah nasional untuk bisa masuk ke Senayan.</p>
<p>Putusan MK ini menuai <a href="https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/02/29/putusan-mk-soal-ambang-batas-parlemen-tuai-pro-dan-kontra">pro kontra</a> di tengah masyarakat. Pihak yang pro mengklaim bahwa putusan ini dapat menguatkan kedaulatan rakyat, karena pihak yang sudah dipilih oleh rakyat di suatu daerah dan mendapatkan suara tinggi, meskipun persentasenya secara nasional di bawah 4%, dapat tetap masuk ke senayan. Sementara pihak yang kontra menyatakan bahwa penentuan ambang batas bukanlah kewenangan MK melainkan kewenangan lembaga pembentuk UU, dalam hal ini DPR bersama pemerintah.</p>
<p>Terlepas dari pro kontra tersebut, putusan MK ini sebenarnya cukup masuk akal untuk menjaga proporsionalitas keterwakilan masyarakat dan memenuhi prinsip keadilan wakil rakyat.</p>
<p>Kini tugas pembentuk UU dan masyarakat adalah memahami detail dampak dan tindak lanjut putusan MK tersebut serta mengawasi jalannya revisi UU Pemilu di DPR. </p>
<h2>Menjaga proporsionalitas keterwakilan masyarakat</h2>
<p>Sejak Pemilu 2009, pemerintah dan DPR selalu menaikkan ambang batas dengan tujuan penyederhanaan jumlah partai politik, namun tidak menyertai cara penghitungan untuk menentukan ambang batasnya.</p>
<p>Pada Pemilu 2009, ambang batas ditetapkan sebesar 2,5%, kemudian dinaikkan pada Pemilu 2014 menjadi 3,5%. Lalu dinaikkan lagi menjadi 4% pada Pemilu 2019 dan masih berlaku pada Pemilu 2024. Tidak ada dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka minimal 4%.</p>
<p>Pada dasarnya, penentuan ambang batas parlemen bermanfaat untuk <a href="https://www.polyas.com/election-glossary/election-threshold">menjaga stabilitas politik</a> dengan tidak mengikutsertakan partai-partai yang memperoleh suara yang relatif kecil. Namun, manfaat ini dapat diperdebatkan karena cenderung membatasi keberagaman pendapat dalam kehidupan masyarakat yang demokratis.</p>
<p><a href="https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19790&menu=2">Alasan utama pemerintah Indonesia</a> menaikkan ambang batas adalah untuk menyederhanakan partai politik yang ada di parlemen Indonesia agar tercipta efisiensi dalam menyelenggarakan pemerintah, karena partai politik yang berhasil lolos ke parlemen merupakan partai politik yang mendapatkan dukungan kuat dari masyarakat. Ini diharapkan dapat melahirkan anggota parlemen yang berkualitas dan benar-benar dapat mewakili, setidaknya sebagian besar, suara rakyat.</p>
<p>Namun, <a href="https://perludem.org/wp-content/uploads/2016/11/Buku-Ambang-Batas-Perwakilan.pdf">sejumlah ahli berpendapat</a> bahwa penyederhanaan partai tidak melulu dilakukan hanya dengan mengurangi jumlah partai di parlemen, melainkan jumlah partai relevan, yang dilihat melalui penguasaan kursi di parlemen.</p>
<p>Artinya, partai yang banyak bisa menciptakan sistem kepartaian yang lebih sederhana apabila penguasaan kursi parlemen terkonsentrasi ke sedikit partai. Sebaliknya, partai yang sedikit di parlemen belum tentu menciptakan kepartaian sederhana apabila penguasaan kursi parlemen merata. Jadi yang lebih ditekankan adalah efektifitas partai bekerja, bukan secara kuantitasnya.</p>
<p>Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada tahun 2020 <a href="https://perludem.org/2020/01/15/perludem-peningkatan-ambang-batas-parlemen-tak-berdampak-penyederhanaan-partai/">menyampaikan</a> bahwa penyederhanaan sistem partai tidak hanya dengan menaikkan ambang batas, karena kenaikan angka ambang batas justru akan memperbanyak jumlah suara yang terbuang sia-sia.</p>
<p><a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_9657_1709186459.pdf">Pada Pemilu 2019</a>, contohnya, terdapat lebih dari 13 juta suara yang terbuang, padahal pada <a href="https://www.mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_9657_1709186459.pdf">Pemilu 2014</a> ketika ambang batas parlemennya sebesar 3,5%, hanya 2,9 juta suara yang terbuang. Suara terbuang ini adalah suara dari masyarakat yang memilih calon anggota DPR, namun calon anggota tersebut tidak dapat masuk ke parlemen karena partainya tidak memenuhi ambang batas yang ditentukan. </p>
<p><a href="https://perludem.org/2020/01/15/perludem-peningkatan-ambang-batas-parlemen-tak-berdampak-penyederhanaan-partai/">Perludem pernah merekomendasikan</a> bahwa daripada menaikkan ambang batas, akan lebih efektif jika mengurangi jumlah kursi di setiap daerah pemilihan (dapil) saja.</p>
<p>Sebagai gambaran, secara umum, tiap dapil biasanya memiliki jumlah kursi antara 3 hingga 10 kursi. Apabila dihitung menggunakan sistem penghitungan metode <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/05/18/15165871/cara-penghitungan-suara-dpr-dprd-dan-dpd-dalam-pemilu">Sainte-Laguë </a>(menghitung suara setiap partai, kemudian membagi kursi awal berdasarkan jumlah suara), jika suatu partai memperoleh 100 ribu suara, maka partai tersebut akan diberikan satu kursi awal.</p>
<p>Kemudian partai yang sudah mendapatkan kursi akan dibagi dengan bilangan angka ganjil dan dipertemukan dengan jumlah suara dari partai lain, kemudian ditentukan partai dengan hasil terbesar untuk mendapatkan kursi selanjutnya. Kemudian diulangi langkah sampai kursi terbagi semua.</p>
<p>Tujuan metode penghitungan ini adalah agar setiap partai mendapat kursi yang sebanding dengan suara yang mereka dapatkan. Ini membuat pembagian kursi di parlemen lebih adil untuk partai politik.</p>
<p>Akan tetapi, jika mekanisme penghitungan diubah dengan diperkecil jumlah kursinya, serta yang dipilih merupakan yang benar-benar suaranya terbanyak, maka sistem ini akan membuat wakil yang terpilih di dapil tersebut merupakan wakil yang benar-benar mendapatkan suara mayoritas dari konstituen di wilayah tersebut, terlepas partainya merupakan partai besar ataupun tidak. </p>
<h2>Mekanisme pengambilan suara di parlemen</h2>
<p>Penentuan proporsionalitas keterwakilan di parlemen juga sebenarnya bertujuan untuk memastikan anggota yang terpilih benar-benar memiliki legitimasi untuk mewakili rakyat di dapilnya, sehingga bisa mengakomodasi kebutuhan rakyat tersebut. Hal ini sejalan dengan <a href="https://www.dpr.go.id/tentang/hak-kewajiban">kewajiban anggota DPR</a>, yaitu menyerap dan menghimpun aspirasi konstituennya, menampung dan menindaklanjuti aspirasi dari pengaduan masyarakat, serta bertanggung jawab secara moral dan politis kepada konstituen dapilnya. </p>
<p>Faktanya, <a href="https://jurnal.jentera.ac.id/index.php/jentera/issue/download/5/5">pengambilan keputusan</a> dalam rapat kerja DPR dilakukan melalui pendapat fraksi, dan tidak memuat pandangan pribadi dari masing-masing anggota DPR. Akibatnya, sulit untuk memastikan masing-masing anggota DPR berpendapat untuk mewakili kepentingan konstituennya.</p>
<p>Mekanisme semacam ini justru membuat anggota DPR lebih bertanggungjawab kepada partainya masing-masing, alih-alih kepada masyarakat yang memilihnya.</p>
<p>Jika melihat mekanisme <em>voting</em> di negara lain, <a href="https://votes.parliament.uk/votes/commons/division/1747#noes">Inggris misalnya</a>, <em>voting</em> yang diberikan merupakan pilihan masing-masing anggota, bukan pandangan partai yang seolah-olah sudah merepresentasikan suara semua anggota. Bahkan hasil <em>voting</em> yang diberikan juga dipublikasikan secara transparan kepada publik, sehingga publik bisa mengetahui masing-masing nama serta asal partai politiknya pada setiap keputusan yang diambil. </p>
<p>Hal yang sama juga dilakukan pada <a href="https://jurnal.jentera.ac.id/index.php/jentera/issue/download/5/5">mekanisme <em>voting</em> di Amerika Serikat (AS)</a>. Sebagai contoh, ketika parlemen AS sedang membahas Rancangan UU mengenai paket bantuan pandemi, terdapat satu anggota dari Partai Republik yang mendukung RUU tersebut, meskipun Partai Republik saat itu secara institusi memiliki sikap yang berbeda. </p>
<h2>Tindak lanjut putusan MK</h2>
<p>Sudah jadi kewajiban bagi pemerintah dan DPR untuk merevisi aturan mengenai ambang batas dalam UU Pemilu. Dalam perubahannya, diperlukan justifikasi yang rasional.</p>
<p>Selain penentuan besaran ambang batas, pemerintah dan DPR juga dapat mempertimbangkan penyederhanaan partai melalui alokasi jumlah kursi pada masing-masing dapil.</p>
<p>Lebih jauh lagi, dalam menyikapi keterwakilan suara masyarakat di parlemen, alangkah baiknya jika revisi UU Pemilu juga perlu disertai dengan perubahan pada <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/121709/uu-no-13-tahun-2019">UU No. 13 Tahun 2019</a> tentang Perubahan Ketiga UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta peraturan turunannya yang mengatur mengenai mekanisme pengambilan keputusan dalam pembahasan kerja-kerja legislatif.</p>
<p>Prinsip utama yang perlu diperhatikan dalam memperbaiki mekanisme keterwakilan rakyat dalam lembaga legislatif adalah bahwa anggota DPR terpilih membawa mandat suara masyarakat yang memilih mereka, sehingga pertanggungjawaban utamanya adalah kepada konstituen atau pemilihnya.</p>
<p>Oleh karenanya, perdebatan dan pengambilan keputusan di parlemen harus sepenuhnya mengutamakan kepentingan dan kebutuhan rakyat, bukan kepentingan dari para elite politik semata.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/224855/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dio Ashar Wicaksana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perubahan ambang batas parlemen perlu dilakukan untuk menjaga proporsionalitas keterwakilan masyarakat dan memenuhi prinsip keadilan wakil rakyat.Dio Ashar Wicaksana, PhD Student, Australian National UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2233852024-02-13T15:15:18Z2024-02-13T15:15:18ZRiset tunjukkan sikap partai politik terhadap isu iklim, transformasi digital, dan pembangunan IKN<p>Besok, 14 Februari 2024, tidak kurang dari 200 juta penduduk Indonesia akan berkesempatan memberikan suaranya untuk memilih presiden dan wakil presiden serta jajaran wakil rakyat yang akan menjabat selama lima tahun ke depan.</p>
<p>Dengan masa kampanye yang cukup singkat, kurang lebih dua bulan, para kandidat telah <a href="https://www.kompas.id/baca/riset/2024/01/08/persona-daring-para-capresdi-media-sosial">memanfaatkan ruang digital, terutama media sosial, sedemikian rupa</a>, sebagai saluran untuk menggaet suara pemilih.</p>
<p>Mengingat hampir <a href="https://nasional.tempo.co/read/1692894/kpu-sebut-60-persen-pemilih-indonesia-di-pemilu-2024-didominasi-kelompok-muda">60%</a> dari total <a href="https://www.kpu.go.id/berita/baca/11702/dpt-pemilu-2024-nasional-2048-juta-pemilih">204 juta</a> daftar pemilih tetap (DPT) adalah pemilih muda, partai-partai politik kemudian membangun strategi agar diminati pemilih. </p>
<p>Center for Digital Society (CfDS) dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), Universitas Gadjah Mada, melakukan kajian analisis Big Data selama satu tahun terakhir untuk melihat narasi yang hendak dibawa oleh partai politik peserta Pemilu 2024. Secara khusus, kajian ini melihat narasi mereka di media sosial terkait tiga isu yang cukup hangat diperbincangkan dalam beberapa tahun terakhir, yaitu perubahan iklim, transformasi digital, dan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN).</p>
<p>Kajian analisis Big Data ini fokus pada media sosial X (dulunya Twitter) dan fokus pada lima partai politik pemenang Pemilu 2019, yaitu PDI-Perjuangan (PDIP), Gerindra, Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Nasdem. Ini karena <a href="https://populicenter.org/wp-content/uploads/2023/11/Rilis-Surnas-Populi-Center-Nov-2023.pdf">sejumlah lembaga survei memprediksi</a> bahwa lima partai politik yang kemungkinan besar akan mendapatkan suara terbanyak pada Pemilu 2024 tidak akan jauh berbeda dari partai politik pemenang Pemilu 2019 lalu.</p>
<h2>Isu perubahan iklim</h2>
<p>Komitmen global, utamanya <a href="https://www.un.org/en/climatechange/paris-agreement">Paris Agreement</a> pada tahun 2015, telah membentuk nilai bersama bahwa pengurangan emisi gas karbon merupakan agenda utama. Dasar ini yang seharusnya mendorong pemimpin di Indonesia untuk turut menjadikan perubahan iklim sebagai agenda penting, dan secara sadar telah masuk dalam kesadaran publik.</p>
<p>Namun, kajian analisis kami menunjukkan bahwa tidak semua partai politik fokus membahas isu perubahan iklim dalam ruang digital. </p>
<p>Dari lima partai pemenang Pemilu 2019, hanya PDIP dan Golkar yang fokus terhadap isu perubahan iklim, itu pun perbincangannya masih sangat minim. PDIP hanya memperbincangkan 11 kali di X sepanjang 2023, sedangkan Golkar hanya 18 kali.</p>
<h2>Isu transformasi digital</h2>
<p>Dorongan transformasi digital bukanlah hal yang baru. Terbukti sejak tahun 2014, Presiden Joko “Jokowi” Widodo beserta jajarannya berupaya memberikan keadilan teknologi bagi seluruh wilayah di Indonesia. </p>
<p>PDIP menjadi partai yang mendominasi perbincangan tentang isu ini. Isu ini bahkan telah menjadi isu prioritas bagi calon presiden (capres) yang diusung PDIP, yaitu Ganjar Pranowo.</p>
<p>Di sisi lain, Golkar dan Nasdem sangat minim memperbincangkan tentang transformasi digital. Unggahan mereka terkait isu tersebut hanya kurang dari 8 cuitan di X. Sedangkan Gerindra dan PKB terpantau tidak pernah memperbincangkan isu transformasi digital di sosial media mereka masing-masing, setidaknya sampai memasuki tahapan kampanye Pemilu pada bulan November 2023.</p>
<h2>Isu IKN</h2>
<p>Gagasan pemindahan ibu kota melalui proyek pembangunan IKN di Kalimantan Timur telah menjadi agenda prioritas selama periode kedua kepemimpinan Jokowi. Serangkaian persiapan telah dilakukan baik dari aspek regulasi maupun kesiapan pendanaan.</p>
<p>Dari aspek regulasi, ada <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/269494/uu-no-21-tahun-2023">Undang-undang (UU) No. 21 Tahun 2023</a> tentang Perubahan atas UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/207619/perpres-no-63-tahun-2022">Peraturan Presiden (Perpres) No. 63 Tahun 2022</a> tentang Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. Sedangkan dari segi kesiapan pendanaan, telah banyak investasi yang masuk dari perusahaan dalam maupun luar negeri.</p>
<p>Terkait isu IKN, seluruh partai politik pemenang Pemilu 2019 memiliki kesamaan visi, yakni bahwa IKN merupakan proyek isu strategis.</p>
<p>Secara berurutan, PDIP menjadi partai yang paling sering memperbincangkan tentang IKN, sebanyak 62 cuitan. Ini dapat dipahami karena PDIP merupakan partai tempat bernaungnya Jokowi, presiden yang menginisiasi dimulainya pembangunan IKN.</p>
<p>Sementara Nasdem menjadi partai yang paling sedikit memperbincangkan tentang IKN, hanya 11 cuitan. Nasdem saat ini bisa disebut berada di kubu yang berseberangan dengan pemerintah. Partai ini mengusung kandidat capres Anies Baswedan beserta pasangannya, Muhaimin Iskandar.</p>
<p>Paslon ini <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231212213220-617-1036428/anies-kritik-ikn-kalau-masalahnya-ada-di-jakarta-jangan-ditinggalkan">kerap mengkritik</a> ambisi pembangunan IKN dengan alasan bahwa masalah di Jakarta tidak akan selesai hanya dengan memindahkan ibu kota.</p>
<p>Sementara itu, Golkar membicarakan isu ini sebanyak 23 cuitan, sedangkan Gerindra PKB masing-masing 22 dan 15 cuitan. Ini menujukkan bahwa partai politik menganggap IKN sebagai isu prioritas dalam Pemilu 2024, bahkan tampaknya skala prioritasnya di atas isu perubahan iklim apalagi transformasi digital.</p>
<p>Telaah lebih detail atas cuitan yang disampaikan oleh masing-masing partai politik menemukan adanya kecenderungan unggahan di media sosial.</p>
<p>Kecenderungan tersebut adalah baik PDIP, PKB, Gerindra, Golkar dan Nasdem kerap mengunggah cuitan berupa foto sosok tokoh yang disertai kutipan. Artinya, dimensi ‘ketokohan’ tersirat. Tujuannya untuk membangun nuansa bahwa tokoh tersebut mendukung, atau tidak mendukung, semisal berkaitan dengan program <em>food estate</em> ataupun pembangunan IKN.</p>
<p>Sebenarnya secara tidak langsung, partai-partai tersebut memiliki motif melakukan <em>endorsement</em> pada kader-kadernya ataupun calon yang diusungnya, hanya saja dengan menitikberatkan pada isu-isu yang relevan guna menegaskan sikap mereka masing-masing terhadap isu tersebut.</p>
<p>Temuan-temuan riset ini diharapkan dapat menjadi pendorong bagi peningkatan pengetahuan pemilih muda terkait posisi partai politik dalam tiga isu hangat yang tengah diperbincangkan publik.</p>
<p>Harapannya, pemilih muda dapat terhindar dari bibit-bibit kampanye negatif yang muncul pada masa kampanye di ruang digital dan lebih mengedepankan dimensi substantif tentang partai politik manakah yang mengusung isu pemilih muda.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/223385/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Seluruh partai politik pemenang Pemilu 2019 memiliki kesamaan visi, yakni bahwa IKN merupakan proyek isu strategis.Arga Pribadi Imawan, Lecturer, Universitas Gadjah Mada Ayom Mratita Purbandani, Mahasiswa, Universitas Gadjah Mada Falah Muhammad, Research Assistant, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2194982023-12-18T03:03:18Z2023-12-18T03:03:18Z‘Memasarkan’ isu perubahan iklim dalam kampanye Pemilu 2024: kiat untuk politikus dan tim sukses<p>Di Indonesia, pendekatan untuk memberdayakan politikus untuk mengampanyekan isu perubahan iklim di masyarakat masih minim. Gerakan-gerakan pembangunan kesadaran yang bermunculan sejak dua-tiga tahun terakhir masih berkutat pada pembangunan kesadaran masyarakat, khususnya anak muda.</p>
<p>Padahal, pemberdayaan politikus penting untuk membangun kapasitas kebijakan perubahan iklim di Indonesia. Bukan cuma soal cuaca, perubahan iklim berdampak ke segala lini: kebakaran hutan, kenaikan air laut, inflasi pangan, hingga kesehatan mental.</p>
<p>Terlebih lagi, ketertarikan politikus terhadap isu perubahan iklim masih kurang. <a href="https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/10/19/politisi-belum-banyak-menyuarakan-isu-perubahan-iklim">Riset kami</a> dari Monash Climate Change Communication (MCCCRH) Indonesia Node menunjukkan bahwa politikus tidak menjadikan isu perubahan iklim sebagai isu utama selama 3,5 tahun terakhir. </p>
<p>Riset kami, yang sedang dalam tahap penyuntingan, menganalisis posting media sosial akun 157 politikus Indonesia yang berkaitan dengan isu perubahan iklim. Hasilnya, hanya 106 (67,5%) dari total akun yang pernah memosting tentang perubahan iklim.</p>
<p>Di sisi lain, diskusi grup terpumpun (FGD) yang kami lakukan pada Februari 2023 kepada kelompok politikus, konsultan politik, dan jurnalis senior di Indonesia mendapati kesadaran politikus untuk membangun narasi dan mengkampanyekan isu perubahan iklim terbilang tinggi. Akan tetapi, mereka tidak tahu bagaimana cara menjual isu tersebut ke kalangan pemilih.</p>
<p>Isu perubahan iklim memang tidak mudah dimengerti oleh setiap kalangan, apalagi sebagian besar pemilih kita adalah <a href="https://webapi.bps.go.id/download.php?f=7nU+kec/vddhqZ7gAKSzaiCQW0jNWogM3O1hU2oZ7fEh7F7KvR0qKe8IDy0Y6gkz7pZcWvZj/CxxWF+HI3FZUSirlZynFlgUHEWAWfQnow4KVuVziJIUFiWoGVRchO53xMYUXlStpiEZvu0rZMDXMpJD61r6UMAnAUraNhNJOdIV91N4wjzH0mnfubiH7foZ+869sDmW5hDV01mL6UyH+FdPdYnqXDTyIiXada3bY0t/FXyj5N7vGTYYwCDg7yxmrtYhm5PALoNIqOKKWI6DMA==">lulusan SMP dan SMA</a>. </p>
<p>Nah, kami menganggap Pemilu Serentak 2024 menjadi momen yang pas untuk membangun kesadaran dan kapasitas politikus. Dalam ‘pasar’ gagasan politik, kami menganggap politikus adalah pihak yang akan memasok ide, isu, dan gagasan untuk perubahan iklim. Merekalah yang seharusnya berperan sebagai penjual ide-ide dan kebijakan terkait perubahan iklim, untuk memenuhi permintaan ide dan kebijakan dari sisi pemilih. Lantas, bagaimana seharusnya para politikus memulai langkah kampanye perubahan iklim?</p>
<h2>Kenali topiknya</h2>
<p>FGD kami menemukan banyak politikus yang tidak paham mengenai isu perubahan iklim. Terlebih lagi ketika mereka minim terpapar berita mengenai perubahan iklim. </p>
<p>Minimnya pengetahuan membuat politikus cenderung tidak banyak membuka dialog dan membahas isu perubahan iklim. Mereka merasa khawatir pembahasan itu menjadi bumerang bagi diri mereka sendiri.</p>
<p>Riset kami menelaah 983 konten dengan analisis pemodelan topik. Sejauh ini, topik perubahan iklim yang dibicarakan para politikus Indonesia masih fokus pada isu kebijakan dan ekonomi makro seperti kepemimpinan Indonesia dalam G20 dan kemitraan ekonomi global.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/16060382/embed" title="Interactive or visual content" class="flourish-embed-iframe" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:600px;" sandbox="allow-same-origin allow-forms allow-scripts allow-downloads allow-popups allow-popups-to-escape-sandbox allow-top-navigation-by-user-activation" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/16060382/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/16060382" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<p>Di lain sisi, topik yang lebih dekat dan bersentuhan dengan keseharian masyarakat seperti ketahanan pangan, pentingnya air bersih, perubahan iklim, dan keterlibatan generasi muda dalam perubahan iklim justru jarang diperbincangkan oleh politikus di akun sosial media mereka. Padahal, generasi muda justru memiliki <a href="https://theconversation.com/riset-awal-tunjukkan-nilai-kesadaran-perubahan-iklim-gen-z-di-indonesia-sangat-tinggi-150958">kepedulian tinggi terhadap isu perubahan iklim</a>.</p>
<h2>Langkah membangun narasi</h2>
<p>Kabar baiknya, para politikus bersedia diberi pelatihan dan pengetahuan mengenai isu perubahan iklim. Mereka ingin lebih percaya diri ketika berbicara mengenai isu tersebut kepada pemilih.</p>
<p>Hal tersebut melecut kami untuk menerbitkan buku <a href="https://www.monash.edu/__data/assets/pdf_file/0008/3453875/BOOK_-Navigasi-Isu-Perubahan-Iklim-di-Pemilu-2024.pdf"><em>Navigasi Isu Perubahan Iklim di Pemilu 2024: Panduan Komunikasi untuk Politikus</em>.</a> Buku ini menjadi panduan dasar untuk mengetahui fakta mengenai perubahan iklim dan apa manfaatnya mengetahui isu ini bagi politikus. </p>
<p>Buku kami juga menjelaskan bagaimana membangun narasi perubahan iklim, praktik terbaik komunikasi perubahan iklim di kampanye, serta kebijakan perubahan iklim. </p>
<p>Untuk membangun narasi perubahan iklim, penting bagi politikus untuk menyesuaikan strategi kampanye perubahan iklim berdasarkan kategori demografi sosial. Kampanye perubahan iklim untuk umat Islam, misalnya, memiliki strategi yang berbeda dengan ibu rumah tangga.</p>
<p>Menetapkan pemilih berdasarkan kategori demografi sosial yang beragam di Indonesia menjadi langkah penting pertama yang akan menentukan langkah-langkah strategis selanjutnya seperti memilih media massa sebagai mitra kunci, ataupun media sosial. </p>
<h2>Pendekatan 4P</h2>
<p>Kami juga menganggap pendekatan model pemasaran politik 4P layak digunakan dalam mengampanyekan perubahan iklim. Pendekatan ini dicetuskan oleh pakar psikologi sosial dan pemasaran politik dari Maria Curie-Sklodowska University, <a href="https://books.google.com/books/about/Political_Marketing.html?id=82hsBgAAQBAJ">Wojciech Cwalina</a>, pada 2015.</p>
<p>Model 4P mencakup pendekatan produk (<em>product</em>), pemasaran dorong (<em>push marketing</em>), pemasaran tarik (<em>pull marketing</em>), dan jajak pendapat (<em>polling</em>).</p>
<p>Dalam konteks perubahan iklim, produk dapat berupa komitmen politik, misalnya komitmen politik terkait rencana energi terbarukan. </p>
<p>Sementara itu, <em>push marketing</em> artinya <a href="https://books.google.com/books/about/Advertising_and_Promotion.html?id=kd43vgAACAAJ&redir_esc=y">strategi pemasaran</a> yang melibatkan langsung pemilih atau audiens melalui berbagai saluran komunikasi. Bentuk dari <em>push marketing</em> dapat berupa optimalisasi media sosial dalam menyebarluaskan produk atau narasi perubahan iklim terkait rencana energi terbarukan tersebut untuk menjaring lebih banyak pemilih di kelompok usia muda.</p>
<p><em>Push marketing</em> juga perlu ditunjang oleh <em>pull marketing</em>. Pendekatan ini bertumpu pada <a href="https://www.researchgate.net/publication/46966230_Advertising_and_Promotion_An_Integrated_Marketing_Communication_Perspective">strategi untuk menarik minat publik secara organik</a>. Misalnya, usaha menarik perhatian media melalui seruan kampanye yang agresif meskipun bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang berlaku.</p>
<p>Elemen penting terakhir adalah polling atau jajak pendapat. Tujuannya untuk mengukur persepsi atau opini publik sebagai acuan dalam <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/rwm3.20695">merancang narasi kampanye</a>. </p>
<p>Politikus, misalnya, dapat menghelat jajak pendapat secara rutin untuk mengetahui sentimen publik terhadap perubahan iklim dan mengukur efektivitas kampanye yang telah dilakukan.</p>
<h2>Tanggung jawab yang perlu dimulai</h2>
<p>FGD dan riset yang kami lakukan bertujuan untuk membuat isu perubahan iklim lebih merakyat sekaligus terakomodasi dalam kebijakan strategis di berbagai lini otoritas di Indonesia. Pasalnya, isu perubahan iklim bukan sesuatu yang dapat ditangani hanya dengan satu kebijakan. </p>
<p>Kiat-kiat ini pun kami buat bukan hanya menjadi bekal praktis, tapi juga untuk merangsang politikus agar melaksanakan tanggung jawabnya bekerja untuk kepentingan publik.</p>
<p>Dampak perubahan iklim telah terjadi dan telah dirasakan oleh Indonesia. Politikus sebagai pembuat kebijakan memiliki tanggung jawab untuk mencari solusi atas krisis eksistensial yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/219498/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Upaya membangun kesadaran dan literasi iklim sebagian besar hanya berfokus ke pemilih atau komunitas. Padahal, dalam pemilu kali ini, membangun literasi politisi juga sama pentingnya.Garnita Mulyani, Research Assistant, Monash UniversityDerry Wijaya, Associate Professor of Data Science, Monash UniversityIka Karlina Idris, Associate Professor, Monash UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2157782023-10-17T08:47:57Z2023-10-17T08:47:57ZTerjebak dinasti politik: apa dampaknya dan bagaimana partai bisa lepas dari jerat ini?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/554197/original/file-20231017-25-js674m.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=4%2C1%2C1017%2C677&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Presiden Joko Widodo (kiri) dengan dua putranya, Gibran Rakabuming Raka (kedua kiri) dan Kesang Pangarep (ketiga kiri), makan siang bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) beserta anak dan jajarannya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.instagram.com/p/CrVhCpYvVZD/?img_index=1">Akun Instagram @jokowi</a></span></figcaption></figure><p>Dinasti politik sering dianggap sebagai <a href="https://www.sup.org/books/title/?id=24504">antitesis</a> dari hadirnya demokrasi. Namun, tampaknya hal ini justru telah menjadi bagian dari demokrasi modern.</p>
<p>Mantan Presiden Mesir <a href="https://news.detik.com/internasional/d-4914463/profil-hosni-mubarak-eks-presiden-mesir-yang-meninggal-dunia">Hosni Mubarak</a> dan mantan pemimpin diktator Libya <a href="https://www.kompas.com/global/read/2021/09/18/141115270/muammar-gaddafi-diktator-libya-dan-kejatuhannya?page=all">Muammar Gaddafi</a>, misalnya, merupakan dua contoh pemimpin politik yang merancang dinasti mereka. Mereka mendorong anak-anaknya untuk melanjutkan kepemimpinan yang mereka bangun untuk terus memiliki kuasa dalam <a href="https://www.theguardian.com/world/2020/dec/14/arab-spring-autocrats-the-dead-the-ousted-and-those-who-survived">proses pemerintahan</a>.</p>
<p>Di Indonesia sendiri, istilah dinasti politik bukanlah hal yang asing kita dengar. Mulai dari dinasti <a href="https://news.republika.co.id/berita/mum051/sejarah-dinasti-atut-di-banten">Ratu Atut</a> di Banten, dinasti <a href="https://kumparan.com/nizar-azof/dinasti-politik-fuad">Fuad Amin</a> di Bangkalan, Madura, dinasti <a href="https://www.suara.com/lifestyle/2023/10/10/121529/dinasti-syahrul-yasin-limpo-di-pemerintahan-keluarganya-orang-yang-berkuasa-di-sulawesi-selatan">Limpo</a> di Sulawesi Selatan dan beberapa dinasti lainnya.</p>
<p>Hari ini, publik sedang melihat makin jelasnya langkah Presiden Joko “Jokowi” Widodo perlahan membangun dinasti politiknya dengan membawa kedua anaknya masuk ke dalam dunia politik. Terkini, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) minimal tetap 40 tahun, kecuali jika sudah pernah menjabat kepala daerah.</p>
<p>Putusan ini diyakini banyak pihak sarat akan kepentingan dinasti politik Jokowi guna membuka jalan bagi putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang saat ini menjabat Wali Kota Solo, untuk bisa maju sebagai cawapres di Pemilu 2024. Terlebih lagi Ketua MK saat ini, Anwar Usman, adalah ipar Jokowi.</p>
<p>Sebelumnya, putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, terpilih menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meskipun baru beberapa hari resmi bergabung dengan partai tersebut, bahkan baru saja terjun ke dunia politik.</p>
<p>Selain PSI, sejumlah partai di Indonesia pun tampaknya sudah terjebak di pusaran dinasti politik. Partai Demokrat, contohnya, kini dipimpin oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan pendiri dan sosok penting dalam partai Demokrat sekaligus presiden yang berkuasa selama satu dekade (2004-2014). AHY meraih jabatan Ketua Umum Partai Demokrat kurang lebih empat tahun setelah ia terjun ke politik. Ini tentunya waktu yang sangat singkat.</p>
<p>Dinasti politik tampaknya sulit dihindari. Partai politik kerap terjebak melanggengkan dinasti politik dari internalnya, kebanyakan demi mempertahankan eksistensinya. Bisakah partai lepas dari jerat dinasti?</p>
<h2>Mengapa partai bisa terjebak dalam dinasti politik?</h2>
<p>Dalam buku yang berjudul <a href="https://www.amazon.com/Democratic-Dynasties-Family-Contemporary-Politics/dp/1107123445">“Democratic Dynasties”</a>, sejumlah penulis mencoba membahas dinasti politik yang terjadi di India–yang bisa menjadi gambaran dari dinamika politik yang terjadi hari ini di Indonesia.</p>
<p>Di India, dinasti politik dianggap sebagai fenomena modern yang sulit dihindari. Sebab, partai politik itu sendiri yang, baik langsung maupun tidak langsung, mendukung hadirnya proses dinasti di tubuh partai. Proses kaderisasi partai politik tampaknya justru mendorong terjadinya dinasti dengan mudah karena dinasti politik dianggap memberikan keuntungan tersendiri bagi <a href="https://www.amazon.com/Democratic-Dynasties-Family-Contemporary-Politics/dp/1107123445">partai</a>.</p>
<p>Di Indonesia, sejumlah partai politik <a href="https://pemerintahan.umm.ac.id/files/file/orang%20kuat%20partai%20di%20aras%20lokal.pdf">menganggap</a> bahwa mereka atau calon kader yang berada dalam garis keluarga dengan politikus senior telah memiliki reputasi tersendiri dan lebih mudah dikenal oleh publik, dan ini dilihat sebagai suatu keuntungan. Ini pada akhirnya membuat partai terus mendorong hadirnya keluarga politik bertumbuh di Indonesia.</p>
<p>Di samping itu, kader yang berasal dari dinasti politik biasanya telah memiliki akses sumber daya yang jauh lebih <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-55211990">mumpuni</a>. Mereka telah siap dengan sumber daya kampanye, mulai dari pendanaan, relawan, hingga dukungan media. </p>
<p>Selain itu, partai menganggap pihak keluarga kemungkinan lebih <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/government-and-opposition/article/abs/politics-of-loyalty-understanding-voters-attitudes-after-primary-elections/300A24BC2A41EAE3A0F310ABFC70570F">loyal</a> dan dipercaya oleh elit partai, sehingga mereka punya akses terhadap proses kaderisasi yang lebih mudah dan cepat. Bahkan, jika partai tersebut telah memiliki sejarah panjang dan memiliki pengaruh yang kuat, kecenderungan timbulnya dinasti politik biasanya akan <a href="https://mediaindonesia.com/opini/339393/dinasti-politik">lebih kuat</a>. </p>
<p>Fenomena dinasti politik juga erat kaitannya dengan pihak tertentu yang mengambil keuntungan dengan adanya hubungan khusus dengan pengambil <a href="https://www.kompas.id/baca/riset/2020/08/03/melacak-akar-politik-dinasti">kebijakan</a> hingga akhirnya terbentuk <a href="https://www.jstor.org/stable/24575580">birokrasi patrimonial</a> (hubungan birokrasi antara patron dan klien yang bersifat pribadi). Kondisi ini membuat urusan yang semestinya dijalankan secara profesional, seperti putusan MK, berakhir dengan mengakomodasi kepentingan masing-masing.</p>
<p>Bagi partai politik, dinasti juga sering digunakan sebagai jalan pintas untuk menaikkan elektabilitas dan popularitas partai. Ini bisa menjadi strategi cepat untuk memenangkan pemilu.</p>
<h2>Dampak dinasti politik</h2>
<p>M.E. McMillan dalam bukunya yang berjudul <a href="https://link.springer.com/book/10.1057/9781137297891">“Fathers and Sons: The Rise and Fall of Political Dynasty in the Middle East”</a> mencoba menjabarkan bagaimana kekuasaan di banyak wilayah Timur, seperti Libya, Mesir, Arab Saudi dan lain-lain, negara tersebut dikonsentrasikan di tangan satu individu atau keluarga.</p>
<p>Di sana, banyak pemimpin yang akhirnya dengan sengaja melakukan dinasti politik demi membangun sistem yang dapat mengamankan kekuasaan mereka. Contohnya adalah Ali Abdallah Saleh, Presiden Yaman periode 1990–2012, yang pada akhir 2010 berniat <a href="https://www.aljazeera.com/news/2017/12/5/yemen-who-was-ali-abdullah-saleh">mengubah konstitusi</a> agar putranya bisa menggantikannya sebagai pemimpin. </p>
<p>Sama halnya dengan mantan pemimpin Irak, Saddam Hussein, yang meneruskan kepresidenan kepada salah satu dari dua putranya, Uday atau Qusayy. Untungnya, era Saddam dan semua pemikiran tentang dinasti Hussein berakhir setelah invasi AS ke Irak pada 2003. </p>
<p>Ini semua pada akhirnya menciptakan sistem yang membuat kekuasaan, hak istimewa, dan kemakmuran hanya dinikmati oleh sekelompok kecil elit. Sementara mayoritas penduduk dibiarkan kehilangan kendali atau tak lagi memiliki pengaruh. </p>
<p>Lebih jauh lagi, dinasti politik dapat meningkatkan risiko korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan. Sistem yang mengutamakan hubungan pribadi dan loyalitas daripada aturan formal dan transparansi akhirnya rentan terhadap praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.</p>
<p><a href="https://jiap.ub.ac.id/index.php/jiap/article/view/535">Penelitian</a> membuktikan bahwa semakin meningkatnya dinasti politik yang terjadi, semakin buruk akibatnya pada pertumbuhan ekonomi bahkan bisa melahirkan kemiskinan yang parah di suatu daerah. Dalam beberapa kasus, dinasti politik dapat <a href="https://jurnal.polines.ac.id/index.php/orbith/article/view/357">memfasilitasi praktik korupsi</a>, terutama jika keluarga memiliki kontrol yang kuat atas lembaga politik dan ekonomi.</p>
<p>Selain masalah ekonomi, masalah krisis kader dan kepemimpinan jelas akan menjadi tantangan dari partai politik tersebut. Jika partai <a href="https://journal3.uin-alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/view/16079">bergantung pada dinasti politik</a>, ini dapat <a href="https://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jkpp/article/view/436">menghalangi regenerasi dan inovasi</a> di dalam partai itu sendiri. </p>
<p>Jika posisi politik terus-menerus didominasi oleh anggota keluarga yang sama, kesempatan bagi individu yang berbakat dari luar keluarga untuk mendapatkan kesempatan memimpin jadi <a href="https://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jkpp/article/view/436">terhalang</a>. Lagi pula, tidak ada jaminan jika anggota dari keluarga politik tertentu dapat mengulang kesuksesan pendahulunya. Pada akhirnya, ini dapat merugikan reputasi partai secara jangka panjang. </p>
<h2>Melepaskan diri dari dinasti politik</h2>
<p>Demi mencegah hal-hal buruk tersebut terjadi, partai semestinya mulai memikirkan upaya untuk mencegah terjadinya dinasti politik. </p>
<p>Beberapa upaya dapat ditempuh partai politik adalah mulai dari internal partai. Penting bagi partai politik untuk menetapkan aturan yang jelas tentang proses seleksi kandidat, termasuk batasan bagi anggota keluarga pemimpin partai untuk mencalonkan diri dalam posisi tertentu. Langkah ini perlu didukung dengan pendidikan politik kepada anggota dan kader partai tentang bahaya dinasti politik dan pentingnya regenerasi dalam kepemimpinan.</p>
<p>Tahapan tersebut akan efektif jika dilandasi dengan transparansi, sehingga prosesnya dapat dipantau dan dievaluasi oleh anggota partai dan publik.</p>
<p>Selain itu, sudah saatnya partai politik mengedepankan <a href="https://journal.univpancasila.ac.id/index.php/selisik/article/view/651">sistem meritokrasi</a> (berdasarkan prestasi dan kompetensi) dalam seleksi kandidat, sehingga kualifikasi, pengalaman, dan integritas yang menjadi pertimbangan utama, bukan hubungan keluarga.</p>
<p>Terakhir, partai politik butuh mendorong partisipasi aktif masyarakat dan media dalam mengawasi proses politik, termasuk seleksi kandidat oleh partai.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/215778/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Wawan Kurniawan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Partai politik kerap kali sulit menghindari dinasti politik. Bisakah partai lepas dari jerat ini?Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2116452023-08-16T15:16:39Z2023-08-16T15:16:39ZApa kata kaum muda tentang politik? Riset ungkap kriteria figur dan partai yang diidamkan generasi ‘zaman now’<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/543035/original/file-20230816-17-gx4a3y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=18%2C0%2C3132%2C2097&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pelajar yang menjadi pemilih pemula merekam maskot Pemilu 2024 Sura dan Sulu menggunakan ponselnya saat mengikuti kegiatan sosialisasi oleh KPU Kabupaten Badung, Bali.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1691996709&getcod=dom">Fikri Yusuf/Antara Foto</a></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini merupakan bagian dari rangkaian serial “#PemilihMuda2024”</em></p>
<p>Pemilih muda (rentang usia 17-39 tahun), utamanya generasi milenial dan generasi Z, akan menjadi <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230702150842-617-968559/kpu-ungkap-milenial-dominasi-pemilih-pemilu-2024">penyumbang suara terbesar</a> dalam Pemilu 2024. Jumlahnya mencapai lebih dari 107 juta, atau <a href="https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/07/02/kpu-tetapkan-dpt-pemilu-2024-56-persen-pemilih-ada-di-pulau-jawa">50-60%</a> dari <a href="https://www.kpu.go.id/berita/baca/11702/dpt-pemilu-2024-nasional-2048-juta-pemilih">total 204 juta</a> daftar pemilih tetap (DPT) secara nasional.</p>
<p>Artinya, secara tidak langsung mereka akan menjadi <a href="https://osf.io/7dbtr/download">penentu kebijakan negara</a> dalam politik praktis.</p>
<p>Namun, bagaimana pandangan para kaum muda sendiri terhadap politik elektoral?</p>
<p>Sejak Mei 2023 hingga saat ini, saya melakukan riset mengenai dinamika dan interaksi antara berbagai kelompok individu di Pulau Derawan, Kalimantan Timur. Salah satu subtema pembahasannya adalah pandangan kelompok muda terhadap politik dan Pemilu 2024.</p>
<p>Riset ini melibatkan delapan responden dari berbagai latar belakang profesi dan menggunakan metode wawancara mendalam. Mereka adalah aparatur sipil negara, pedagang pernak-pernik, nelayan, dan sejarawan lokal. Seluruhnya adalah profesi yang banyak berinteraksi dengan masyarakat, sehingga wawancara mendalam dengan mereka bisa mewakili sebagian besar pendapat masyarakat Pulau Derawan.</p>
<p>Rentang usia mereka adalah 30-45 tahun, terdiri dari tiga perempuan dan lima laki-laki. Jumlah penduduk di Pulau Derawan sendiri saat ini hanya sekitar <a href="https://beraukab.bps.go.id/publication/2021/09/24/81d189a520efcb61063e4cf4/kecamatan-pulau-derawan-dalam-angka-2021.html">1.506 orang</a>, dan sebagian besar dari mereka termasuk generasi milenial (lahir tahun 1981-1996) dan generasi Z (lahir tahun 1997-2012). </p>
<p>Hasil temuan sementara mengindikasikan adanya dua pandangan yang terbelah terhadap politik. </p>
<p>Pertama, ada yang tertarik dengan politik, sehingga mereka memiliki kriteria dan harapan terhadap para pemimpin politik – figur dan partai politik.</p>
<p>Kedua, ada yang tidak tertarik dengan politik atau dikenal sebagai <a href="http://ppid.sulsel.bawaslu.go.id/wp-content/uploads/2020/11/VOL-1-NO-2AGUSTUS-2020.pdf#page=6">apolitis</a>, yang menyebabkan mereka tidak memiliki kriteria terhadap calon pemimpin atau pandangan terhadap politik.</p>
<h2>Figur dan partai politik di mata kaum muda</h2>
<p>Partai politik dan figur-figur politik sebenarnya adalah dua entitas yang tak terpisahkan. Ini karena keberhasilan partai politik <a href="https://online-journal.unja.ac.id/jisip/article/view/14624">hampir selalu dipengaruhi</a> oleh figur partai politik itu sendiri. Mereka yang mampu memenangkan hati rakyat akan turut memperbesar pengaruh partai politik tersebut.</p>
<p>Enam dari delapan narasumber saya yang mewakili kelompok muda mengaku tertarik dan peduli dengan politik. Sedangkan sisanya apolitis.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/543036/original/file-20230816-17-df25mz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/543036/original/file-20230816-17-df25mz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/543036/original/file-20230816-17-df25mz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/543036/original/file-20230816-17-df25mz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/543036/original/file-20230816-17-df25mz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/543036/original/file-20230816-17-df25mz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/543036/original/file-20230816-17-df25mz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sosialisasi pemilu untuk pemilih pemula KPU Kabupaten Badung, Bali.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1691996712&getcod=dom">Fikri Yusuf/Antara Foto</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Mereka yang peduli dengan politik menjabarkan lebih detail seperti apa kriteria figur pemimpin, figur politik, serta partai politik yang mereka harapkan.</p>
<p>Secara garis besar, ada empat kriteria yang mereka harapkan dari siapa pun pemimpin yang terpilih dari kontestasi politik.</p>
<p><strong>Pertama</strong> adalah seiman. Dua dari tiga narasumber perempuan memandang agama sebagai modal utama untuk memilih calon pemimpin masa depan. “Seiman” adalah kata yang pertama kali mereka sebut sebagai kriteria figur politik yang mereka harapkan. Mereka meyakini bahwa ajaran agama mereka - Islam - adalah yang terbaik, sehingga individu yang seiman dianggap cocok untuk memimpin mereka.</p>
<p><strong>Kedua</strong> adalah yang memahami kondisi di daerah. Bagi para pemilih muda, baik laki-laki maupun perempuan. Pemahaman terhadap kondisi daerah setempat merupakan hal wajib yang harus dikuasai oleh calon pemimpin politik. Ini mencakup penguasaan bahasa daerah, adat istiadat, dan budaya setempat. Tidak hanya sekadar selebrasi dan datang kampanye dengan mengenakan pakaian daerah.</p>
<p>Kriteria kedua tersebut, menurut saya, mencerminkan perbedaan mendasar pandangan politik di antara kelompok muda di daerah dan di kota-kota besar.</p>
<p>Kaum muda di daerah, khususnya di Pulau Derawan dan umumnya di Kalimantan Timur, tidak berpikir terlalu ambisius mengenai politik nasional. Mereka lebih tertarik pada isu-isu yang berlangsung di daerah karena berkenaan langsung dengan kehidupan sehari-hari mereka. </p>
<p>Di kota-kota besar, termasuk ibu kota Jakarta, <a href="https://publikasi.mercubuana.ac.id/files/journals/16/articles/1659/submission/original/1659-3696-1-SM.pdf">pandangan politik kaum mudanya</a> terkadang lebih luas dan melewati batas-batas regional. Menurut saya, ini terjadi karena kelompok muda di kota besar lebih mudah mendapatkan informasi, termasuk dari media <em>mainstream</em>. Ini membuat mereka lebih mudah terpengaruh oleh perkembangan isu-isu terkini, termasuk dalam menentukan arah politik. </p>
<p>Paparan informasi dari media membuat kaum muda dapat dengan cepat mengetahui perkembangan isu-isu nasional, yang kemudian memungkinkan mereka berpikir, berdiskusi, dan merumuskan berbagai formulasi terkait isu tersebut.</p>
<p>Paparan informasi tentunya memberikan dampak positif bagi para kaum muda, membuat mereka menjadi lebih berpengetahuan luas. Namun, ini seringkali secara tidak langsung membuat mereka melupakan masalah yang ada di lingkungan mereka sendiri. Ini karena mereka menganggap bahwa lebih aktif dalam diskusi nasional dapat membuat mereka lebih “terlihat” dan “terkenal.”</p>
<p>Kriteria <strong>ketiga</strong> adalah politikus atau calon pemimpin harus mampu bekerja berdasarkan kepentingan masyarakat dan aktif memperjuangkan aspirasi masyarakat di daerah.</p>
<p>Contohnya, kaum muda ini mengharapkan adanya pemimpin yang kebijakannya dapat membantu mereka untuk mendapatkan beasiswa guna melanjutkan pendidikan di luar Kalimantan, memberikan bantuan agar mereka bisa bekerja di berbagai institusi, dan dapat meningkatkan infrastruktur di daerah.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/543037/original/file-20230816-23-9ux53x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/543037/original/file-20230816-23-9ux53x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/543037/original/file-20230816-23-9ux53x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/543037/original/file-20230816-23-9ux53x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/543037/original/file-20230816-23-9ux53x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/543037/original/file-20230816-23-9ux53x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/543037/original/file-20230816-23-9ux53x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=502&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Petugas Panita Pemungutan Suara (PPS) memberikan informasi terkait tahapan Pemilu 2024 kepada sejumlah pelajar saat kegiatan sosialisasi di Badung, Bali.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1691996724&getcod=dom">Fikri Yusuf/Antara Foto</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>Keempat</strong> adalah memiliki karakter sederhana dan tidak koruptif. Banyak juga kaum muda yang tidak terlalu memprioritaskan isu agama. Dari delapan narasumber, hanya dua yang memprioritaskan isu agama. Sisanya mereka lebih mengutamakan kualitas dari figur-figur politik tersebut.</p>
<p>Misalnya, mereka lebih suka figur-figur yang tidak pernah terlibat dalam kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme. Menurut mereka, Indonesia telah dirusak oleh perilaku koruptif. Oleh karena itu, calon pemimpin dengan catatan buruk atau pernah dicurigai terlibat dalam kasus korupsi tidak akan menjadi idola bagi mereka.</p>
<p>Selain itu, “kesederhanaan” juga menjadi kriteria bagi kelompok muda dalam memilih figur-figur politik. Sebagian besar dari mereka menganggap bahwa gaya hidup glamor para politikus adalah contoh buruk dan tidak pantas ditampilkan di depan publik. Ini karena para kaum muda meyakini bahwa penghasilan politikus yang menjadi pemimpin daerah atau negara berasal dari pajak masyarakat.</p>
<p>Temuan riset saya senada dengan hasil penelitian <a href="https://s3-csis-web.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com/doc/Final_Rilis_Survei_CSIS_26_September_2022.pdf?download=1">CSIS</a> yang menyatakan bahwa pemimpin masa depan harus memiliki karakter yang jujur, tidak korupsi dan sederhana.</p>
<h2>Mengapa masih banyak yang apolitis?</h2>
<p>Dua dari delapan narasumber perwakilan kelompok muda di Pulau Derawan menyatakan dua alasan utama mengapa mereka dan kawan-kawan sebaya mereka menjadi apolitis.</p>
<p><strong>Pertama</strong> adalah kurangnya pengenalan terhadap sosok calon pemimpin baik di tingkat daerah maupun nasional. Politikus baru sering kali muncul hanya pada saat masa kampanye, sehingga pemilih muda tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang calon pemimpin tersebut. Ini kemudian membuat pemilih muda merasa bahwa politikus cenderung menjaga jarak dengan masyarakat dan hanya hadir ketika ada kepentingan elektoral.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/543039/original/file-20230816-15-l6iqv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/543039/original/file-20230816-15-l6iqv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/543039/original/file-20230816-15-l6iqv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/543039/original/file-20230816-15-l6iqv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/543039/original/file-20230816-15-l6iqv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/543039/original/file-20230816-15-l6iqv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/543039/original/file-20230816-15-l6iqv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Warga melintas di depan alat peraga gambar serta nomor urut partai politik peserta Pemilu 2024 di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1691750723&getcod=dom">Yulius Satria Wijaya/Antara Foto</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>Kedua</strong> adalah adanya kekhawatiran terhadap kritik, hujatan, dan penilaian berlebihan dari politikus senior kepada politikus junior. Ini dialami salah satunya oleh Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo, yang disebut “<a href="https://nasional.tempo.co/read/1742620/duduk-perkara-gibran-disebut-anak-ingusan-oleh-panda-nababan-pdip">anak ingusan</a>” oleh Panda Nababan, politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), karena santer diisukan akan maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.</p>
<h2>Referensi pemilih muda dalam memilih</h2>
<p>Bagi pemilih muda, terutama pemilih pemula di rentang usia 16-18 tahun, yang paling umum terjadi adalah mengikuti arahan atau pilihan orang tua atau keluarga terdekat lain ketika hendak mencoblos kandidat dalam pemilu.</p>
<p>Ini karena mereka yang berada pada usia tersebut masih tergolong “<a href="https://www.gramedia.com/literasi/klasifikasi-remaja/">remaja pertengahan</a>”. Pada usia ini mereka mulai <a href="https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/jka/article/view/3954">mengalami konflik terhadap kemandirian dan kontrol</a> diri. Otonomi dalam berpikir, termasuk menentukan pilihan mulai tumbuh pada usia ini. </p>
<p>Namun, dalam beberapa situasi, mereka mungkin masih bingung dalam menentukan pilihan sehingga pendapat kedua dan “bimbingan” dari orang sekitar, termasuk orang tua, menjadi perlu.</p>
<p>Kendati demikian, banyak pula pemilih muda yang sudah memiliki preferensi sendiri dalam memilih pemimpin politik dan tidak mau “dikekang” oleh pilihan orang tuanya. Tentunya hal ini sangat tergantung pada <a href="https://blog.ecampuz.com/6-macam-karakter-tipe-generasi-di-indonesia/">karakteristik generasi</a> itu sendiri. Ada yang cenderung menyukai kebebasan, fleksibilitas, kemandirian, teknologi media sosial, dan <em>internet of things</em> (IoT).</p>
<p>Yang lebih penting, ketika berbicara tentang pemilih dari kelompok muda di daerah, preferensi mereka cenderung tertuju pada calon pemimpin yang memahami kondisi di daerah dan bersedia bekerja berdasarkan aspirasi mereka, mengingat bahwa pemimpin tersebut akan mendapatkan penghasilan dari dana publik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211645/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dadang Ilham Kurniawan Mujiono menerima dana dari National University of Singapore dan Universitas Mulawarman untuk keperluan riset tugas akhir/disertasi di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur, Indonesia.</span></em></p>Riset menemukan dua pandangan berbeda kaum muda terhadap politik.
Ada yang tertarik dengan politik, ada yang tidak tertarik dengan politik (apolitis).Dadang I K Mujiono, Faculty member of International Relations Department, Universitas MulawarmanLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2114392023-08-14T09:35:11Z2023-08-14T09:35:11ZPemilih muda 2024: apa saja yang dibutuhkan kaum muda menurut survei?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/542551/original/file-20230814-28-5zqk0u.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C5991%2C3988&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ilustrasi pemilih muda memasukan kertas suara.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/man-exercises-his-right-vote-during-2158264555">alfawardana/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini merupakan bagian dari rangkaian serial “#PemilihMuda2024”</em></p>
<p>Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 dan 2019, pemilih muda (rentang usia 17-39 tahun) mulai dipandang sebagai <a href="https://www.theindonesianinstitute.com/anak-muda-sebagai-pemilih-rasional-pada-pemilu-dan-pilkada-serentak-2024/">kelompok pemilih “primadona”</a> oleh para peserta pemilu. Bukan hanya karena mereka jumlahnya yang besar, tapi juga karena generasi muda dianggap membawa ide-ide baru yang bisa mendorong perubahan.</p>
<p>Untuk Pemilu 2024 nanti, jumlah pemilih muda akan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230702150842-617-968559/kpu-ungkap-milenial-dominasi-pemilih-pemilu-2024">mendominasi</a> total pemilih nasional, yakni sebesar <a href="https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/07/02/kpu-tetapkan-dpt-pemilu-2024-56-persen-pemilih-ada-di-pulau-jawa">50-60%</a> atau lebih dari 107 juta dari jumlah <a href="https://www.kpu.go.id/berita/baca/11702/dpt-pemilu-2024-nasional-2048-juta-pemilih">204 juta</a> daftar pemilih tetap (DPT).</p>
<p>Oleh karena itu, hal-hal terkait pemilih muda ini patut menjadi perhatian utama, khususnya bagi penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta peserta pemilu yang mencakup partai politik dan kandidat presiden, wakil presiden dan anggota legislatif.</p>
<p>Namun, sejumlah <a href="https://www.ui.ac.id/pemilih-muda-jangan-golput/">riset dan survei</a> menunjukkan bahwa dalam konteks politik elektoral, pemilih muda cenderung berada di antara dua pusaran: antusiasme dan apatisme politik. Di satu sisi mereka antusias mencari tahu seputar pemilu, tapi di sisi lain mereka bisa apatis dalam perilaku politik sehingga lebih memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya alias golput (golongan putih).</p>
<p>Survei menunjukkan bahwa pada Pemilu 2019, jumlah pemilih yang tidak menggunakan suaranya mencapai <a href="https://dataindonesia.id/ragam/detail/data-pemilih-golput-saat-pemilu-turun-drastis-pada-2019">34,7 juta</a> atau 18,02% dari total DPT 2019 yang sebanyak 192,77 juta orang. Dari angka tersebut, jumlah pemilih muda yang golput diperkirakan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190404174723-32-383507/survei-pemilu-milenial-golput-diprediksi-di-atas-40-persen">cukup signifikan</a>.</p>
<p>Ini tidak bisa dibiarkan. Penyelenggara dan peserta pemilu perlu memiliki inisiatif strategi untuk mendorong pemilih muda berpartisipasi aktif dalam politik. Ini penting guna memastikan bahwa keputusan politik yang diambil <a href="https://dpm.fmipa.unesa.ac.id/meningkatkan-partisipasi-pemilih-dan-mencegah-politik-uang-dalam-pemilu/">mewakili keinginan dan aspirasi seluruh rakyat</a>.</p>
<p>Namun sebelumnya, penyelenggara dan peserta pemilu perlu lebih dulu mengetahui hal apa saja yang sebenarnya yang dibutuhkan dan diinginkan para pemilih muda dalam Pemilu 2024.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/542553/original/file-20230814-27-bxxy9p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/542553/original/file-20230814-27-bxxy9p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/542553/original/file-20230814-27-bxxy9p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/542553/original/file-20230814-27-bxxy9p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/542553/original/file-20230814-27-bxxy9p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/542553/original/file-20230814-27-bxxy9p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/542553/original/file-20230814-27-bxxy9p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Suasana di suatu tempat pemungutan suara saat Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/indonesia-medan-april-17-2019-election-1372918496">PLOO Galary/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) melakukan jajak pendapat sejak Mei 2022, dan masih berlangsung sampai sekarang, dengan model angket kepada para pemilih muda berusia 17-30 tahun.</p>
<p>Dari jajak pendapat tersebut, kami menemukan setidaknya ada dua hal yang dibutuhkan anak muda terkait Pemilu 2024 – yang ternyata adalah hal mendasar tapi kerap luput dari perhatian.</p>
<h2>1. Informasi tentang kandidat</h2>
<p>Dari setiap angket yang kami sebar, mayoritas pemilih muda mengaku bahwa mereka memerlukan informasi terkait rekam jejak para kandidat – capres-cawapres, caleg dan parpol itu sendiri.</p>
<p>Banyak dari mereka yang, ketika menceritakan pengalaman saat mencoblos pada Pemilu 2019, mengatakan bahwa mereka mendapatkan informasi terkait para kandidat <a href="https://ojs.uajy.ac.id/index.php/jik/article/view/676">sekadar dari meme</a>, dan detail yang mereka dapatkan hanya seputar wajah dan bendera partainya – ini sebagian besar memang berlaku pada caleg. Para pemilih itu masih kesulitan memperoleh informasi rekam jejak, program dan visi misi para caleg.</p>
<p>Oleh karena itu, untuk Pemilu 2024, KPU dan para caleg perlu menyediakan ruang untuk sosialisasi informasi rekam jejak, visi misi dan program parpol beserta para kandidatnya. Mereka juga perlu memastikan media penyampaiannya sesuai dengan kriteria pemilih muda, misalnya melalui media sosial.</p>
<p>Nah, karena <a href="https://pemilu.tempo.co/read/1737974/catat-tahapan-pemilu-2024-masa-kampanye-selama-75-hari">periode kampanyenya</a> sangat pendek, yakni dari 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024 atau hanya selama 75 hari, bakal peserta pemilu baiknya sudah mulai mempersiapkan gagasannya dari jauh-jauh hari agar mampu menyampaikan pesannya dengan efektif.</p>
<h2>2. Kapan dan di mana harus mencoblos</h2>
<p>Selain informasi tentang kandidat, informasi yang juga paling banyak dicari oleh pemilih muda adalah tentang waktu penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Hingga kini, masih banyak yang belum tahu kapan, tepatnya hari apa dan tanggal berapa, pemungutan suara dilakukan, di mana mereka bisa mencoblos.</p>
<p>Bahkan banyak pemilih pemula yang masih bertanya-tanya bagaimana caranya memilih ketika sudah berada di bilik suara nanti. Banyak pula dari mereka yang belum tahu apakah mereka terdaftar sebagai pemilih atau tidak. </p>
<p>Itu semua sebenarnya adalah hal-hal teknis yang sangat mendasar yang seharusnya sudah diketahui oleh para pemilih. Artinya, penyelenggara pemilu belum maksimal dalam melakukan sosialisasi. </p>
<p>Ke depannya, perlu ada kerja sama berbagai pihak, termasuk media, organisasi masyarakat sipil, organisasi keagamaan, lembaga akademik, bahkan <em>influencer</em> media sosial untuk menyebarluaskan informasi tentang penyelenggaraan pemilu secara menyeluruh.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/542555/original/file-20230814-25-mljc9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/542555/original/file-20230814-25-mljc9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/542555/original/file-20230814-25-mljc9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/542555/original/file-20230814-25-mljc9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/542555/original/file-20230814-25-mljc9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/542555/original/file-20230814-25-mljc9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/542555/original/file-20230814-25-mljc9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Jumlah kertas suara pada Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2019.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/bojonegoro-april-17-2019-election-day-1376977049">Wahyu Budiyanto Toa/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Jangan sampai sosialisasi dilakukan ketika waktunya sudah mepet dengan hari pemungutan suara. Dan jangan hanya fokus mendorong anak muda mencoblos di hari H, seperti bekerja sama dengan <em>tenants</em> di mal-mal untuk memberikan diskon pada pembeli yang bisa menunjukkan jari bertintanya. Dorongan dan ajakan persuasif harus dimulai dari sekarang.</p>
<h2>Pemilih muda makin kritis</h2>
<p>Dalam setiap periode pemilu, hampir selalu ada <a href="http://eprints.ipdn.ac.id/16/2/Isi.pdf">kecenderungan perubahan dinamika</a> dan tensi politik. Pada Pemilu 2019, misalnya, tensi politik kental dengan <a href="https://www.researchgate.net/profile/Nabil-Lintang-Pamungkas/publication/342109222_Relasi_Politik_dan_Isu_Agama_Dinamika_Politik_PKS_dan_Aksi_Bela_Islam_pada_Pemilu_Serentak_2019/links/5ee739a1a6fdcc73be7bbb8b/Relasi-Politik-dan-Isu-Agama-Dinamika-Politik-PKS-dan-Aksi-Bela-Islam-pada-Pemilu-Serentak-2019.pdf">polarisasi agama</a> sampai membuat orang memusuhi kerabatnya yang memiliki pilihan politik yang berbeda. Ini kemudian memicu terciptanya <a href="http://repo.apmd.ac.id/961/">ujaran-ujaran kebencian</a> terutama di media sosial.</p>
<p>Untuk Pemilu 2024, tren <a href="https://philpapers.org/rec/HEYIP">politik identitas</a> berbasis agama kemungkinan besar akan meredup. Namun ada dua tantangan krusial lain yang akan terjadi.</p>
<p><strong>Pertama</strong> adalah sikap <a href="https://journal.ugm.ac.id/jurnalpemuda/article/view/36729/23894">apolitis (tidak peduli atau berminat pada politik) kaum muda</a> terhadap politik elektoral.</p>
<figure class="align-left ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/542554/original/file-20230814-18-nwyn4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/542554/original/file-20230814-18-nwyn4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/542554/original/file-20230814-18-nwyn4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/542554/original/file-20230814-18-nwyn4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/542554/original/file-20230814-18-nwyn4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/542554/original/file-20230814-18-nwyn4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/542554/original/file-20230814-18-nwyn4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Warga mengantre untuk melalukan pengecekan daftar pemilih tetap (DPT) online di Pasuruan.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/pasuruan-indonesia-29-may-2023-online-2313389261">Muhammad Luqman Hakim/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Para kaum muda zaman sekarang cenderung sangat kritis dalam melihat kebijakan negara. Misalnya, mereka berani <a href="http://e-journal.stispolwb.ac.id/index.php/jisip/article/view/91">maju bersuara menentang</a> Rancangan Undang-Undang (RUU) atau pengesahan UU yang dianggap merugikan masyarakat dan prosesnya tidak melibatkan publik.</p>
<p>Terhadap politik kebijakan mereka jelas tidak apolitis. Namun, kesadaran mereka terhadap buruknya kebijakan publik, ditambah dengan maraknya <a href="https://ojs.uajy.ac.id/index.php/jik/article/view/186">korupsi oleh politikus dan pejabat negara</a>, dapat membuat kaum muda menjadi apatis terhadap politik elektoral. Mereka jadi malas dengan parpol dan calegnya.</p>
<p><strong>Kedua</strong> adalah maraknya penyebaran disinformasi dan berita palsu, terutama di media sosial.</p>
<p>Media sosial kini tampaknya <a href="https://theconversation.com/jelang-pemilu-2024-saatnya-media-sosial-jadi-panggung-kampanye-yang-berkualitas-189950">sudah menjadi wadah utama</a> untuk melakukan kampanye politik, menyampaikan informasi politik dan membangkitkan partisipasi masyarakat.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/jelang-pemilu-2024-saatnya-media-sosial-jadi-panggung-kampanye-yang-berkualitas-189950">Jelang Pemilu 2024, saatnya media sosial jadi panggung kampanye yang berkualitas</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Berita buruknya, media sosial juga kerap <a href="https://mediaindonesia.com/opini/577152/tantangan-disinformasi-politik-di-medsos-pada-pemilu-2024">disalahgunakan</a> untuk menyebarkan disinformasi politik dan hoaks.</p>
<p>Pada Pemilu 2019, Bawaslu <a href="https://www.bawaslu.go.id/sites/default/files/hasil_pengawasan/DATA%20PELANGGARAN%20PEMILU%20TAHUN%202019%204%20NOVEMBER%202019-dikompresi.pdf">mencatat terdapat 486 kasus</a> dugaan pelanggaran kampanye di media sosial, termasuk dalam bentuk penyebaran hoaks.</p>
<figure class="align-right ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/542556/original/file-20230814-30-u6epi2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/542556/original/file-20230814-30-u6epi2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/542556/original/file-20230814-30-u6epi2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/542556/original/file-20230814-30-u6epi2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/542556/original/file-20230814-30-u6epi2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/542556/original/file-20230814-30-u6epi2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/542556/original/file-20230814-30-u6epi2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sura dan Sulu, ikon Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/blitar-east-java-indonesia-june-12th-2316301927">Mang Kelin/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sementara itu Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) <a href="https://www.metrotvnews.com/read/bJECnA1a-mafindo-deteksi-berita-hoaks-pemilu-meningkat-sejak-awal-2023">telah mendeteksi</a> adanya tren kenaikan jumlah disinformasi politik terkait penyelenggaraan Pemilu 2024 sejak awal 2023. Sepanjang triwulan pertama 2023, Mafindo menemukan sekitar 664 kasus hoaks di media sosial, terutama YouTube, Facebook, dan Tiktok. Ini lebih tinggi dibandingkan triwulan pertama 2022 yang sebanyak 534.</p>
<p>Konten hoaksnya sebagian besar adalah informasi palsu yang mendelegitimasi penyelenggaraan pemilu. Ada pula yang menjatuhkan figur-figur bakal capres dan menyerang partai-partai politik pendukungnya.</p>
<p>Berita baiknya, sebenarnya jika dibandingkan dengan pemilih senior (usia 40 tahun ke atas), kaum muda cenderung lebih <em>aware</em> dengan aktivitas konfirmasi dan klarifikasi, termasuk mengecek fakta, terhadap berita-berita yang tersebar baik di media sosial maupun di media <em>mainstream</em>. Pemilih senior biasanya lebih “<em>baper</em>” alias lebih mudah terpengaruh oleh berita-berita politik.</p>
<p>Namun, hal ini juga membuat pemilih muda menjadi cenderung melihat figur ketimbang parpol. Ini karena, kembali lagi, mereka kurang mendapat informasi tentang rekam jejak parpolnya.</p>
<p>Oleh karena itu, peserta pemilu harus memanfaatkan platform-platform digital dengan baik dan fokus pada penyebaran informasi tentang rekam jejak, program, serta visi misi mereka.</p>
<p>Penyelenggara dan peserta pemilu harus sepenuhnya terbuka dan memenuhi keinginan masyarakat, terutama para pemilih muda. Anggaran triliunan untuk penyelenggaraan Pemilu 2024 harus digunakan anggaran sebaik-baiknya untuk memberikan informasi dan literasi yang benar, tepat dan menyeluruh, jangan sampai hanya habis untuk politik uang.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211439/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Arfianto Purbolaksono tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pemilih muda makin kritis. Mereka menginginkan informasi mengenai rekam jejak, program dan visi misi para kandidat Pemilu 2024. Penyelenggara pemilu harus memfasilitasi ini.Arfianto Purbolaksono, Research and Program Manager, The Indonesian InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2056242023-05-14T02:44:43Z2023-05-14T02:44:43ZPolitik identitas tidak akan laku dalam Pemilu 2024, tapi paslon tetap akan siapkan strategi ini<p><a href="https://philpapers.org/rec/HEYIP">Politik identitas</a> kerap dikaitkan dengan agenda, aksi, dan aktivitas politik oleh anggota kelompok <a href="https://brill.com/view/title/56578?language=en">berbasis identitas</a>. Mereka mengorganisasi dan memobilisasi diri untuk melawan ketidakadilan karena struktur, sistem, atau praktik hegemoni yang dialami kelompoknya.</p>
<p>Praktik politik identitas <a href="https://www.heritage.org/progressivism/commentary/uncovering-the-origins-identity-politics">lahir di Amerika Serikat (AS)</a> pada 1974 dengan misi melawan ketidakadilan berbasis ras, kelas, gender, etnisitas dan kelompok minoritas sosial lainnya. Contohnya adalah perjuangan perempuan kulit hitam di AS yang saat itu menjadi warga kelas dua.</p>
<p>Kala itu, yang diperjuangkan adalah kesetaraan untuk semuanya tanpa mengabaikan kepentingan bersama.</p>
<p>Namun, para intelektual di bidang politik berpendapat bahwa politik identitas dalam masyarakat demokratis modern dan konteks elektoral zaman sekarang ini <a href="https://www.proquest.com/openview/4b59307ca9749231a6d0120476d981ec/1?pq-origsite=gscholar&cbl=2034428">nuansanya sangat berbeda</a>. Politik identitas yang dulunya merupakan alat perjuangan, sekarang bergeser menjadi <a href="https://sisterdistrict.com/b/research/identity-politics/">alat perebutan kekuasaan</a> oleh elit politik untuk meraih suara dalam pemilu, dengan cara menciptakan rasa takut dan benci masyarakat terhadap lawan politiknya. </p>
<p>Masyarakat Indonesia, khususnya warga ibu kota Jakarta dan sekitarnya, tentu masih ingat panasnya suasana politik dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta (Pilgub) 2017. Sejumlah <a href="https://mail.csis.or.id/uploads/attachments/post/2019/01/10/politik_identitas_dalam_pemilu_2019__proyeksi_dan_efektivitas.pdf">riset</a> menunjukkan bahwa Pilgub DKI menjadi salah satu kontes politik yang sangat kental dengan nuansa politik identitas. Nuansa itu bahkan <a href="http://repository.uki.ac.id/5201/">terus berlanjut</a> hingga Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.</p>
<p>Pilgub 2017 dan Pilpres 2019 <a href="http://www.ejurnal.ubk.ac.id/index.php/communitarian/article/view/316">diwarnai oleh isu agama</a>, mulai dari kasus penistaan agama Islam oleh petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Pilgub, strategi <a href="https://mail.csis.or.id/uploads/attachments/post/2019/01/10/politik_identitas_dalam_pemilu_2019__proyeksi_dan_efektivitas.pdf">mendulang suara pemilih Muslim dengan memanfaatkan Aksi 212</a> oleh kandidat calon gubernur Anies Baswedan, dukungan oleh ijtima’ ulama <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180916155110-32-330617/ijtimak-ulama-ii-sepakat-dukung-prabowo-di-pilpres-2019">Gerakan Nasional Penjaga Fatwa (GNPF)</a> MUI untuk kandidat calon presiden Prabowo Subianto, hingga <a href="https://mail.csis.or.id/uploads/attachments/post/2019/01/10/politik_identitas_dalam_pemilu_2019__proyeksi_dan_efektivitas.pdf">langkah petahana Presiden Joko “Jokowi” Widodo meminang Ma'ruf Amin – petinggi Nadhlatul Ulama – sebagai calon wakil presiden</a>).</p>
<p>Kini, jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, pertanyaan seputar apakah politik identitas akan kembali dieksploitasi oleh para elit politik mulai bergulir.</p>
<p>The Conversation Indonesia mengadakan diskusi dengan para pakar di bidangnya mengenai isu ini. Para pakar tersebut sepakat bahwa politik identitas kemungkinan besar tidak akan laku lagi untuk digunakan sebagai alat menarik suara pemilih.</p>
<p>Ini secara tidak langsung menunjukkan masyarakat Indonesia, terutama pemilih muda dari kalangan milenial dan generasi Z, sudah makin kritis.</p>
<h2>‘Pasar’ politik identitas menurun</h2>
<p>Menurut Ismail Fahmi, dosen informatika dari Universitas Islam Indonesia (UII), politik identitas masih akan digunakan dalam konteks negatif untuk menyerang lawan politik dalam Pemilu 2024 nanti, namun tidak untuk mempromosikan pasangan calon (paslon) karena tidak akan laku lagi.</p>
<p>Pihak yang berkontestasi, misalnya, masih bisa menggunakan Gerakan 212 untuk menjelekkan lawan politiknya. Namun, mereka tampaknya tidak akan berani menyatakan bahwa mereka didukung oleh 212. Ini karena generasi pemilih masa kini <a href="https://ojs.mahadewa.ac.id/index.php/stilistika/article/view/773">sudah lebih kritis</a>, sehingga mereka sadar bahwa dukungan kelompok tertentu tidak berhubungan dengan kualitas program yang ditawarkan oleh paslon itu.</p>
<p>Argumentasi Ismail ini sejalan dengan hasil pengamatan Provetic Indonesia, lembaga konsultan berbasis analisis data, yang menemukan bahwa berdasarkan jumlah percakapan di dunia maya dan ketertarikan pengguna internet, terjadi perubahan perilaku konsumsi informasi dari sebelum pandemi COVID-19 ke masa setelah pandemi.</p>
<p>Kepada The Conversation Indonesia, Shafiq Pontoh, praktisi media sosial yang juga Chief Strategy Officer Provetic Indonesia, mengungkapkan bahwa pada masa pascapandemi ini, masyarakat sudah menjadi sangat melek digital. Sebab, mereka <a href="https://ojs.mahadewa.ac.id/index.php/stilistika/article/view/773">‘dipaksa’ menggunakan</a> teknologi selama masa pembatasan sosial di era pandemi.</p>
<p>Pandemi secara tidak langsung telah menciptakan “generasi <em>search</em>”, generasi yang <a href="https://ojs.mahadewa.ac.id/index.php/stilistika/article/view/773">ahli dalam mencari informasi</a> sehingga mereka lebih kebal terhadap doktrin-doktrin politik.</p>
<p>Hasil pengamatan Provetic juga menemukan bahwa warganet kini lebih tertarik dengan konten-konten inspiratif dan tutorial ketimbang konten kekerasan dan kontroversi negatif. Kanal YouTube politikus Partai Golkar sekaligus mantan bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, sempat menjadi salah satu kanal milik politikus yang paling berhasil meraih simpati warganet, karena kontennya berisi kegiatan-kegiatan inspirasional.</p>
<p>Menurut Provetic, kelompok milenial (lahir dalam rentang tahun 1980-1996) cenderung mencari konten terkait <em>parenting</em> dan karier, karena sebagian besar kelompok ini sekarang sudah menikah dan baru memiliki anak.</p>
<p>Sementara, <a href="https://ojs.unikom.ac.id/index.php/jamika/article/view/2678">generasi Z</a> (yang lahir mulai tahun 1997 sampai 2012) pun tampaknya bukan “pasar” politik identitas. <a href="https://www.jurnalrisetkomunikasi.org/index.php/jrk/article/view/653/128">Studi</a> menunjukkan bahwa persentase literasi digital generasi Z relatif tinggi karena mampu memilih konten <em>website</em> dan media sosial kredibel. Kemampuan mereka dalam menghargai perbedaan, seperti agama, budaya, gender, dan status sosial, bahkan sangat tinggi.</p>
<p>Hal ini membuat generasi Z <a href="https://www.jurnalrisetkomunikasi.org/index.php/jrk/article/view/653">lebih kritis terhadap informasi</a> yang mereka terima. Jika ada isu yang viral, mereka cenderung mempertanyakan lebih dulu apakah itu konten marketing dan bagaimana kebenarannya.</p>
<p>Alih-alih mengeksploitasi makna identitas secara tradisional, Ismail mengungkap ada tren menarik terkait strategi menggaet pemilih. Berdasarkan hasil pengamatan Ismail, partai politik atau tim suksesnya sudah mulai mendekati berbagai target <em>niche</em> yang fokus dan kegiatannya tidak berkaitan dengan politik. Contohnya kelompok penggemar sepak bola, bulutangkis, film, dan hobi seperti <em>skateboard</em>.</p>
<p>“Mereka tidak membicarakan politik. Tapi [aktor politik] bisa masuk lewat kelompok-kelompok ini, dan yang ditawarkan pada mereka pastinya adalah gagasan dan program. Ini karena para <em>niche</em> ini punya <em>skills</em>, sehingga paslon (pasangan calon) akan terdorong untuk bisa memberikan manfaat yang relevan untuk mereka,” ungkap Ismail.</p>
<h2>Kandidat akan tetap siapkan strategi politik identitas</h2>
<p>Meskipun kemungkinan besar tak lagi laris untuk menggaet suara pemilih dalam Pemilu 2024, politik identitas pasti masih akan dipersiapkan sebagai strategi kampanye oleh pasangan calon yang nanti akan bertarung.</p>
<p>Namun, apakah strategi tersebut akan diaktifkan atau tidak, ini tergantung perkembangan politik nanti.</p>
<p>Wawan Mas'udi, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menjabarkan hasil penelitiannya terhadap strategi paslon dalam pilkada kabupaten 2017 di Yogyakarta. Ia menemukan bahwa ada satu kabupaten yang seluruh paslonnya menyiapkan 3 strategi politik: strategi politik program, strategi politik uang, dan strategi politik identitas.</p>
<p>Paslon yang yakin menang — berdasarkan survei lokal dengan selisih suara 80% — ternyata hanya menggunakan strategi politik program. Menurut tim suksesnya, politik uang yang disiapkan tidak dipakai, karena untuk apa membayar pemilih kalau sudah bisa menang dengan program.</p>
<p>Wawan meyakini bahwa di Pemilu 2024 nanti, semua paslon akan siapkan tiga strategi itu juga.</p>
<p>“Strategi programnya disiapkan dan akan ditampilkan lebih dulu di depan publik. Kemudian jika mereka merasa strategi program tidak cukup untuk menggaet pemilih, mereka akan menuju ke ceruk masa tertentu yang paling bisa mereka yakinkan secara politik melalui politik identitas,” kata Wawan.</p>
<p>Meski demikian, menurutnya, publik sudah semakin cerdas untuk memilah mana yang perlu dipilih, dibiarkan, atau dipertimbangkan, terutama di media sosial. Tingginya level literasi digital publik saat ini diharapkan akan membantu meyakinkan politikus bahwa penggunaan politik identitas justru akan membunuh mereka, bukan memperkuat.</p>
<h2>Peran berbagai pihak</h2>
<p>Di era digital sekarang ini, menurut Ismail, <a href="https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=B2ZlEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1&dq=buzzer+di+era+digital&ots=bL7T4p83OR&sig=6-HK2SDKtzHlGOTE8HJ4L05Y9qQ&redir_esc=y#v=onepage&q=buzzer%20di%20era%20digital&f=false"><em>buzzer</em></a> semakin merajalela menjelang Pemilu 2024. Para <em>buzzer</em> inilah yang kemungkinan akan tetap mempertahankan politik identitas yang negatif untuk memecah belah pemilih.</p>
<p>Terkait ini, ada 4 pihak yang memegang peran penting untuk menghadang penyebaran misinformasi dan disinformasi.</p>
<p>Pertama adalah akademisi. Ini karena akademisi mampu memberikan pencerahan pada publik dengan landasan keilmuan dan data. Sayangnya, kata Ismail, tidak banyak akademisi yang bisa mengikuti pola <em>buzzer</em>, karena sebagian besar waktu mereka berfokus pada mengajar.</p>
<p>Kedua adalah media. Menurut Wawan, media-media perlu mengangkat lebih banyak isu tentang program yang ditawarkan paslon. Peran media ini akan sangat membantu dalam membangun iklim politik yang jauh lebih sehat.</p>
<p>Ketiga adalah aturan hukum untuk mitigasi. Wawan mengatakan bahwa perlu ada aturan yang bisa memaksa kandidat dan parpol untuk menjunjung strategi politik berbasis program. Ini karena penyelenggara pemilu belum punya perangkat regulasi untuk membawa praktik politik identitas negatif ke ranah hukum.</p>
<p>Keempat, dan yang paling penting, adalah pemilih itu sendiri.</p>
<p>Rizki Dian Nursita, dosen hubungan internasional dari UII, menekankan bahwa pemilih harus mampu menyeleksi apakah sebuah konten itu benar atau hoaks, dan harus bijak dalam mendistribusikan informasi maupun menyuarakan opini di ruang publik. Jika ingin menyampaikan atau merespons sesuatu, hendaknya dilakukan dengan cara yang baik dan bijak, sebisa mungkin hindari <em>labelling</em> atau <em>naming</em> yang kontraproduktif.</p>
<p>Pemilih juga harus memiliki alternatif perspektif, karena kalau hanya terpaku pada satu akun atau satu sumber, maka akan jadi bias karena tidak bisa membandingkan dengan pendapat berbeda.</p>
<h2>Tidak ada yang salah dengan politik identitas</h2>
<p>Para pakar sepakat bahwa pada dasarnya tidak ada yang salah dengan praktik politik identitas. Sebab, lahirnya praktik itu sendiri bertujuan untuk memperjuangkan keadilan dan kepentingan bersama.</p>
<p>Wawan menyebutkan bahwa sekarang banyak kelompok yang menggunakan identitas sosial untuk memperjuangkan kepentingannya, seperti kelompok kelompok perempuan atau minoritas gender lainnya. Menurutnya, memang seperti itu peruntukan politik identitas yang sebenarnya.</p>
<p>“Pokoknya, jangan untuk menegasikan atau membuat kelompok lain merasa mereka tidak pantas ada di sini karena identitasnya beda. Penggunaan politik identitas akan bahaya kalau sudah menjadi alat untuk mengeksekusi,” ujar Wawan.</p>
<p>Sedangkan, Rizki mengatakan bahwa identitas tidak bisa dilepaskan dari politik. Setiap partai politik saja punya identitas dan ideologi masing-masing, dan tidak salah jika mereka menonjolkan identitas itu. Yang bahaya adalah ketika identitas itu dipolitisasi dan digunakan sebagai alat untuk membuat masyarakat terpecah belah dan membangun tembok-tembok pemisah.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/205624/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Politik identitas diprediksi tidak akan laku lagi untuk digunakan sebagai alat menarik suara pemilih pada Pemilu 2024.Nurul Fitri Ramadhani, Politics + Society Editor, The Conversation IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1744092022-04-22T12:45:35Z2022-04-22T12:45:35ZAktivisme mahasiswa 10 tahun terakhir: banyak golput, menjaga jarak dari politik praktis, tapi peka isu demokrasi dan HAM<p>Mahasiswa punya peran penting dalam proses demokrasi. Partisipasi mereka selalu menarik untuk dilihat dan dipelajari terutama terkait dengan aktivisme sosial politik.</p>
<p>Di Indonesia, mahasiswa tampil dalam berbagai momen yang menentukan arah bangsa, dari <a href="https://tirto.id/sejarah-demonstrasi-mahasiswa-yang-mengancam-menumbangkan-rezim-eiBo">Era Tritura 1966</a> yang diikuti berdirinya rezim Orde Baru sampai gerakan <a href="https://historia.id/galeri/articles/potret-demonstrasi-dari-masa-ke-masa-PyjRo">Reformasi 1998</a> yang menandai lahirnya rezim demokrasi.</p>
<p>Bagaimana potret aktivisme mahasiswa pada era modern?</p>
<p>Saya bersama tim dari Program Studi Ilmu Politik di Universitas Brawijaya menggelar <a href="https://www.researchgate.net/publication/356775084_Aktivisme_dan_Partisipasi_Mahasiswa_Pasca_Reformasi_Kajian_Awal">survei</a> tentang aktivisme mahasiswa untuk mendapatkan gambaran termutakhir mengenai pola partisipasi politik mereka, identifikasi ideologi dan keyakinan, dan penilaian umum mereka terhadap rezim politik – terutama dalam 10 tahun terakhir.</p>
<p>Survei ini kami lakukan secara daring pada periode Agustus-Oktober 2020 terhadap mahasiswa aktif minimal semester 3 yang tersebar di 26 perguruan tinggi di Indonesia baik swasta, negeri, umum ataupun keagamaan.</p>
<p>Terdapat 497 responden yang mengisi kuisioner secara lengkap dan terverifikasi. </p>
<p>Kami menemukan bahwa aktivisme mahasiswa tampak masih menjaga jarak dari politik elektoral (pemilu) dan segenap kegiatan perebutan kekuasaan melalui partai politik, namun peka terhadap isu demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).</p>
<h2>Partisipasi elektoral yang rendah</h2>
<p>Pertama, kami menanyakan mahasiswa mengenai keterlibatan aktif mereka dalam proses politik elektoral, dalam hal ini pemilu selama satu dekade ke belakang.</p>
<p>Dari jawaban yang disampaikan, jumlah mahasiswa yang mencoblos hanya 27%, sementara 73% lainnya mengaku tidak terlibat (golput). Ini senada dengan <a href="https://www.republika.co.id/berita/qmprp1428/lsi-partisipasi-pemilih-berpendidikan-rendah-tertinggi">temuan survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI)</a> yang menemukan partisipasi pemilih berusia di bawah 21 tahun saat Pilkada 2020 hanya sebesar 39%. </p>
<p>Menurut saya, partisipasi elektoral yang rendah ini bisa jadi disebabkan dua kondisi: mahasiswa mungkin menolak terlibat dalam politik partisan, atau ingin menegaskan independensi mereka dari mobilisasi politik.</p>
<p>Selain itu, terdapat juga indikasi kuat bahwa mahasiswa yang merantau memiliki keterbatasan dalam mengurus pendaftaran pemilu.</p>
<p>Studi tahun 2019 di Malang, Jawa Timur, misalnya, menemukan bahwa lebih dari setengah (51,6%) mahasiswa responden <a href="https://core.ac.uk/download/pdf/229621922.pdf">kekurangan informasi mengenai formulir A5</a> (memilih di lokasi berbeda dari domisili asal), dan sebagian lainnya memilih golput karena malas melalui tahapan administrasi untuk formulir tersebut.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/459299/original/file-20220422-18-cb8nhf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/459299/original/file-20220422-18-cb8nhf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/459299/original/file-20220422-18-cb8nhf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=490&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/459299/original/file-20220422-18-cb8nhf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=490&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/459299/original/file-20220422-18-cb8nhf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=490&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/459299/original/file-20220422-18-cb8nhf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=616&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/459299/original/file-20220422-18-cb8nhf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=616&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/459299/original/file-20220422-18-cb8nhf.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=616&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Gambar 1: Keterlibatan dalam politik elektoral.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Aminuddin & Ramadlan, 2021(</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Bagi mereka yang terlibat dalam pemilu pun, secara umum kami menemukan tiga pola penting.</p>
<p>Pertama, para mahasiswa tersebut menyatakan pentingnya keterlibatan dalam politik elektoral dengan cara mencoblos saat pemilu atau pilkada (total 97% setuju).</p>
<p>Banyak dari mereka menganggap ajang tersebut sebagai satu-satunya mekanisme yang sah dalam perebutan kekuasaan (total 83% setuju).</p>
<p>Kedua, meski demikian, para mahasiswa memiliki tingkat persetujuan yang sangat rendah terkait keterlibatan dalam mobilisasi atau kampanye politik (total 55% tidak setuju), menjadi <em>buzzer</em> atau konsultan politik (total 67% tidak setuju), serta relawan bagi partai dan kandidat (total 51% tidak setuju).</p>
<p>Mereka bahkan cenderung tidak ingin terlibat dalam gugatan sengketa pemilu (total 64% tidak setuju).</p>
<p>Sekalipun mereka terlibat mobilisasi, para mahasiswa melakukannya sebatas sebagai bentuk <a href="https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/politico/article/view/30478/29359">solidaritas kekerabatan</a> yang kuat dengan sesama mahasiswa, atau terlibat secara tidak langsung seperti memberi dukungan logistik ke tempat pemungutan suara (TPS). </p>
<p>Ketiga, mahasiswa cenderung lebih menyetujui keterlibatan dalam bentuk aktivitas pengawasan pemilu, serta pemberian edukasi dan literasi politik terhadap masyarakat (total 88% setuju).</p>
<p>Ini adalah tanda bahwa idealisme mahasiswa terhadap penyelenggaraan pemilu yang berkualitas sebenarnya masih sangat tinggi.</p>
<p>Di sini, sosialisasi dan ajakan yang masif dari lembaga seperti <a href="https://bawaslu.go.id/en/berita/tiga-pilihan-partisipasi-mahasiswa-dalam-pilkada-2020">Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)</a> menjadi penting agar mahasiswa mendapat pengetahuan dan akses untuk berpartisipasi dalam pengawasan pemilu.</p>
<p>Sementara, perluasan edukasi dan literasi politik lebih banyak berkaitan dengan kampanye anti politik uang (<em>money politics</em>) yang masif melalui berbagai kegiatan kemahasiswaan, termasuk pengabdian masyarakat dan <a href="https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/view/611">Kuliah Kerja Nyata (KKN)</a>. </p>
<p>Berdasarkan hal-hal di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa sikap apolitis mahasiswa terhadap proses elektoral lebih banyak disebabkan upaya mereka untuk menjaga jarak dari tarikan kepentingan aktor politik praktis – terutama partai politik beserta caleg yang mereka usung.</p>
<h2>Peka isu demokrasi dan HAM</h2>
<p>Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, muncul gejolak demonstrasi mahasiswa bersama dengan gerakan buruh dan kelompok masyarakat lainnya dalam menyuarakan isu-isu nasional.</p>
<p>Gerakan mahasiswa ini terlihat saat muncul upaya <a href="https://www.antaranews.com/berita/2472481/tujuh-tahun-jokowi-ratusan-mahasiswa-gelar-aksi-sampaikan-12-tuntutan">pelemahan KPK</a>, terganggunya hak pekerja akibat <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54611952">UU Cipta Kerja</a>, serta <a href="https://www.idntimes.com/news/indonesia/santi-dewi/kemunduran-demokrasi-di-bawah-kepemimpinan-jokowi/1">merosotnya kebebasan berekspresi</a> di Indonesia.</p>
<p>Secara umum, isu-isu tersebut terkait erat dengan demokrasi dan HAM, serta mendapatkan respons serta sambutan luas di berbagai daerah. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/459300/original/file-20220422-16-egvfdt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/459300/original/file-20220422-16-egvfdt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/459300/original/file-20220422-16-egvfdt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=463&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/459300/original/file-20220422-16-egvfdt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=463&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/459300/original/file-20220422-16-egvfdt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=463&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/459300/original/file-20220422-16-egvfdt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=582&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/459300/original/file-20220422-16-egvfdt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=582&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/459300/original/file-20220422-16-egvfdt.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=582&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Gambar 2: Pandangan terhadap rezim politik.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Aminuddin & Ramadlan, 2021)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Penilaian mahasiswa terhadap kinerja rezim politik memperlihatkan hal yang tidak jauh berbeda dengan berbagai demonstrasi di atas.</p>
<p>Para responden dalam survei kami menyatakan penolakan (total 65% tidak setuju) saat kami tanya apakah kehidupan politik di Indonesia semakin demokratis dalam satu dekade terakhir.</p>
<p>Mereka juga mendukung pernyataan bahwa penegakan keadilan hukum berjalan dengan buruk (total 80% setuju) selama periode ini.</p>
<p>Tren di atas bisa jadi merupakan cerminan dari ideologi sosial politik mahasiswa. Berdasarkan survei kami, mahasiswa memang cenderung punya preferensi yang kuat terhadap isu-isu demokrasi dan HAM.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/459302/original/file-20220422-18-obztzn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/459302/original/file-20220422-18-obztzn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/459302/original/file-20220422-18-obztzn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=806&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/459302/original/file-20220422-18-obztzn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=806&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/459302/original/file-20220422-18-obztzn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=806&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/459302/original/file-20220422-18-obztzn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1013&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/459302/original/file-20220422-18-obztzn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1013&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/459302/original/file-20220422-18-obztzn.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1013&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Gambar 3: Tingkat kesetujuan terhadap isu sosial politik.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Aminuddin & Ramadlan, 2021)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Para responden, misalnya, menyatakan dukungan kuat terhadap kebebasan berbicara dan berorganisasi (total 97,5% setuju), pembatasan terhadap keistimewaan pejabat (total 94,7% setuju), kebebasan memilih agama dan kepercayaan (total 81,7% setuju), hingga kebebasan untuk menentukan orientasi seksual dan gender (total 71,4% setuju).</p>
<p>Bahkan, mayoritas juga menolak menguatnya peran oligarki (total 58% tidak setuju) hingga menguatnya pengaruh otoritas keagamaan dalam urusan politik (total 65,4% tidak setuju).</p>
<h2>Kekuatan politik yang masih signifikan</h2>
<p>Penelitian ini memberikan potret terkini terhadap aktivisme politik mahasiswa dalam kurun 10 tahun terakhir. Di sini, kita bisa melihat beberapa kesimpulan umum.</p>
<p>Terlepas dari tingginya angka golput di kalangan mahasiswa, mereka sebenarnya masih mempertahankan idealisme dengan cara menjaga jarak dengan politik praktis.</p>
<p>Idealisme ini juga terlihat dari kenyataan bahwa mereka lebih suka terlibat dalam pemberian edukasi dan penguatan literasi politik, ketimbang masuk dalam pusaran mobilisasi dan dukungan terhadap partai dan kandidat.</p>
<p>Hal ini juga terwujud dalam berbagai pilihan aksi – mulai demonstrasi sampai perdebatan publik di media sosial – terutama terkait topik yang erat dengan kualitas demokrasi dan perlindungan HAM di Indonesia.</p>
<p>Idealisme ini, beserta jumlah mereka yang juga cukup besar, membuat mahasiswa tetap sebagai kekuatan politik yang signifikan dan patut diperhitungkan dalam perpolitikan Indonesia ke depannya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/174409/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Riset kami menemukan bahwa aktivisme mahasiswa masih menjaga jarak dari politik elektoral dan perebutan kekuasaan melalui partai politik, namun peka terhadap isu demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).M Faishal Aminuddin, Senior Lecturer, Department of Political Science, Universitas BrawijayaM Fajar Shodiq Ramadlan, Dosen, Universitas BrawijayaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1815792022-04-20T03:13:47Z2022-04-20T03:13:47ZMengapa masa jabatan Presiden harus dibatasi?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/458751/original/file-20220420-24727-6mgarp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=137%2C5%2C3856%2C2491&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Seruan mahasiswa tolak penundaan pemilu 2024.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1648464033">Muhammad Adimaja/Antara Foto</a></span></figcaption></figure><iframe style="border-radius:12px" src="https://open.spotify.com/embed/episode/6MYSQpOS29XLMZx0H7VJba?utm_source=generator" width="100%" height="232" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p><a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/03/04/11361721/parpol-usung-wacana-pemilu-ditunda-dan-jokowi-3-periode-bisa-jadi-tumbal?page=all">Jajaran petinggi negara dan elit partai politik</a> gencar menggaungkan wacana-wacana untuk <a href="https://theconversation.com/tiga-alasan-mengapa-penundaan-pemilu-2024-harus-ditolak-178652">menunda pemilihan umum (pemilu) 2024</a> maupun <a href="https://kabar24.bisnis.com/read/20220313/15/1510034/wacana-presiden-3-periode-pengamat-usulan-oligarki">memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode</a>. </p>
<p>Wacana tersebut pertama kali diungkapkan <a href="https://ekonomi.bisnis.com/read/20220114/9/1488951/kontroversi-penundaan-pemilu-bahlil-itu-bukan-pendapat-saya">oleh Menteri Investasi, Bahlil Lahaladia</a>, yang mengklaim bahwa para pengusaha meminta pemilu 2024 diundur demi menjaga kepastian dan stabilitas perekonomian dan investasi di tanah air.</p>
<p>Bak gayung bersambut, partai koalisi pendukung pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, diikuti Menteri Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, juga menggaungkan rencana penundaan pemilu agar Jokowi dapat berkuasa lebih lama lagi. </p>
<p>Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menegaskan bahwa wacana penundaan pemilu dan perpanjangan periode jabatan presiden bertentangan dengan prinsip demokrasi.</p>
<p>Di negara demokrasi manapun, masa jabatan pemimpin selalu dibatasi hanya sampai jangka waktu tertentu. Pembatasan tersebut bertujuan untuk menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan dan maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme.</p>
<p>Dalam episode ini, kami berdiskusi lebih lanjut dengan Titi tentang wacana penundaan pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi menjadi tiga periode dan bagaimana seharusnya masyarakat merespons.</p>
<p>Dengarkan obrolan lengkapnya di SuarAkademia - <em>ngobrol</em> seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/181579/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Di negara demokrasi manapun, masa jabatan pemimpin selalu dibatasi hanya sampai jangka waktu tertentu.Nurul Fitri Ramadhani, Politics + Society Editor, The Conversation IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1708672021-12-22T08:25:02Z2021-12-22T08:25:02ZHalaman opini pada koran lokal membantu mengurangi polarisasi politik: temuan dari Amerika<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/429245/original/file-20211029-24-8zehf4.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C4827%2C3613&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Jurnalisme opini dapat membuat orang gusar -- atau dapat menyatukan mereka.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/group-of-people-reading-one-newspaper-royalty-free-image/102759526?adppopup=true">momentimages/Getty Images</a></span></figcaption></figure><p>Jika Anda tidak tahu apa itu jurnalisme opini, Anda tidak sendirian. Banyak orang yang juga tidak mengetahui hal itu. </p>
<p>Walau tidak banyak yang tahu, di Amerika Serikat (AS), artikel editorial, kolom opini, dan artikel opini yang dikirimkan pembaca kepada editor di halaman opini editorial (<em>op-ed</em>), berperan menjembatani perpecahan politik sekaligus membantu berita lokal untuk tetap eksis.</p>
<p><a href="https://news.gallup.com/poll/225755/americans-news-bias-name-neutral-source.aspx">Menurut survei oleh Gallup pada 2017</a>, dua pertiga responden berpendapat bahwa media berita tidak membedakan antara fakta dan opini. Pendapat terkait ini jumlahnya meningkat dari sekitar 42% responden pada 1984. </p>
<p>Pada polling lain, <a href="https://www.americanpressinstitute.org/publications/reports/survey-research/confusion-about-whats-news-and-whats-opinion-is-a-big-problem-but-journalists-can-help-solve-it/">hanya 43%</a> orang AS yang mengatakan bahwa <a href="https://theconversation.com/journalists-believe-news-and-opinion-are-separate-but-readers-cant-tell-the-difference-140901">mereka dapat dengan mudah membedakan antara berita dan opini online</a>). Setengah dari orang AS tidak familier dengan istilah “op-ed”.</p>
<p>Ketika garis pemisah antara opini dan berita kabur di benak banyak orang AS, <a href="https://www.axios.com/media-trust-crisis-2bf0ec1c-00c0-4901-9069-e26b21c283a9.html">kepercayaan pada media akan jatuh</a>. Sumber berita lokal -– surat kabar harian dan program berita televisi lokal -– dianggap lebih <a href="https://knightfoundation.org/articles/local-news-is-more-trusted-than-national-news-but-that-could-change/">terpercaya, peduli, dan tidak memihak</a> daripada sumber berita nasional. Namun, kepercayaan itu juga runtuh.</p>
<p>Seperti hampir semua hal lain dalam politik Amerika, <a href="https://www.journalism.org/2020/01/24/us-media-polarization-and-the-2020-election-a-nation-divided/">kepercayaan publik terhadap media terpolarisasi menurut afiliasi partai</a>: pendukung partai Demokrat mempercayai media jauh lebih banyak daripada Partai Republik. Kade paling ideologis dari masing-masing partai pun memiliki gagasan sangat berbeda tentang kepercayaan media.</p>
<p>Mengingat kebingungan dan ketidaksepakatan ini, tampaknya tidak mungkin jurnalisme opini dapat menjadi pengaruh positif. Tapi, penelitian kami menunjukkan hasil sebaliknya.</p>
<p>Kami adalah <a href="https://scholar.google.com/citations?user=RSOzvUAAAAAJ&hl=id&oi=ao">peneliti</a> yang mempelajari <a href="https://scholar.google.com/citations?user=BeWPCGEAAAAJ&hl=id&oi=ao">politik</a> dan <a href="https://scholar.google.com/citations?user=AzPHmwYAAAAJ&hl=id&oi=ao">media</a>. Kami menemukan bahwa <a href="https://doi.org/10.1093/joc/jqy051">koran lokal</a> – dan <a href="https://www.cambridge.org/home-style-opinion">jurnalisme opini lokal</a> khususnya – dapat menjembatani perpecahan politik dan menarik lebih banyak pembaca.</p>
<h2>Forum komunitas yang hidup</h2>
<p>Jurnalisme opini bukanlah pemberitaan; ia berbeda karena ada sudut pandang yang dinyatakan. Jurnalisme opini memiliki tiga format dasar: editorial; kolom opini, atau <em>op-ed</em>; dan surat kepada editor.</p>
<p>Editorial adalah suara suatu media yang ditulis oleh dewan redaksi, sering kali terdiri dari editor, pemilik, dan anggota komunitas. <em>Op-ed</em> biasanya ditulis oleh kolumnis profesional atau pemimpin komunitas. Surat ditulis oleh pembaca biasa.</p>
<p><em>Op-ed</em> memastikan bahwa <a href="https://doi.org/10.1177/107769901008700204">perspektif dari kalangan non-jurnalis</a> muncul di surat kabar untuk membantu masyarakat umum <a href="https://doi.org/10.1111/j.%201747-1346.2008.00122.x">menafsirkan peristiwa besar</a>. Harapannya, artikel itu dapat <a href="https://www.nowpublishers.com/article/Details/QJPS-16112">mempengaruhi pikiran pembaca</a> tentang suatu masalah. </p>
<p>Halaman <em>op-ed</em> yang baik mirip seperti balai warga yang memungkinkan pembaca untuk mendiskusikan dan memperdebatkan isu-isu penting baik bagi komunitas mereka maupun di luarnya.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/402440/original/file-20210524-15-6sxk37.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="A screenshot from Desert Sun newspaper column by editor Julie Makinen with the headline, 'The Desert Sun opinion pages are taking a summer vacation from national politics. You can help us!'" src="https://images.theconversation.com/files/402440/original/file-20210524-15-6sxk37.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/402440/original/file-20210524-15-6sxk37.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=249&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/402440/original/file-20210524-15-6sxk37.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=249&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/402440/original/file-20210524-15-6sxk37.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=249&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/402440/original/file-20210524-15-6sxk37.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=312&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/402440/original/file-20210524-15-6sxk37.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=312&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/402440/original/file-20210524-15-6sxk37.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=312&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pada bulan Juni 2019, Editor Desert Sun Julie Makinen mengumumkan perubahan besar untuk halaman opini surat kabar: tidak ada politik nasional.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.desertsun.com/story/opinion/columnists/2021/03/31/desert-sun-opinion-page-study-shows-experiment-curbed-polarization/4826254001/">Desert Sun screenshot</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Namun, krisis ekonomi membuat halaman opini berita lokal di AS semakin sulit untuk menyadari potensinya sebagai forum komunitas yang dinamis. Pendapatan yang turun dan jumlah staf yang berkurang memaksa media lokal untuk <a href="https://www.pewresearch.org/fact-tank/2013/10/08/in-print-newspapers-cut-opinion/">menggunakan lebih banyak kolumnis sindikasi dari luar komunitas surat kabar</a> dan yang karyanya biasanya memiliki fokus nasional. Beberapa koran bahkan telah meniadakan posisi editor opini.</p>
<p>Tanpa staf khusus untuk mencari penulis komunitas dan mengedit karya mereka, ruang <em>syndicated column</em> (artikel suatu kolumnis yang terbit di beragam media) akan diisi lebih banyak konten yang berfokus pada <a href="https://www.cjr.org/criticism/bret-%20stephens-op-ed-new-york-times-wall-street-journal.php">konflik ideologis “kanan versus kiri”</a> antara <a href="https://doi.org/10.1093/joc/jqz039">dua ekstrem politik nasional</a> AS, dan bukan pada masalah lokal.</p>
<h2>Tidak ada lagi politik nasional?</h2>
<p><a href="https://www.cambridge.org/core/elements/home-style-opinion/646C3D86BDCB2E370CEB0A5D51083171#fndtn-information">Buku kami</a> menunjukkan bahwa yang dapat terjadi adalah sebaliknya: menghilangkan berita politik nasional di halaman opini dan menghidupkan kembali konten opini lokal dapat membantu surat kabar menarik pembaca dan meredakan ketegangan di komunitas mereka. </p>
<p>Harian <a href="https://www.desertsun.com/">The Desert Sun</a> di Palm Springs, California, <a href="https://www.desertsun.com/story/opinion/2019/%2006/07/desert-sun-opinion-pages-taking-break-national-politics-july-help-us/1369621001/">mencoba cara ini pada bulan Juli 2019</a>: tidak ada kolom sindikasi, tidak ada kartun tentang politik nasional, tidak ada surat tentang Presiden Donald Trump saat itu.</p>
<p>Kami mengukur bagaimana eksperimen ini mengubah materi yang dipublikasikan dan sikap orang-orang di komunitas.</p>
<p>Keputusan itu menciptakan perubahan besar. Pada bulan Juni, bulan sebelum perubahan ini, setengah dari halaman op-ed The Desert Sun merupakan kolom sindikasi nasional. Sepertiga dari semua kolom membahas Trump. </p>
<p>Pada bulan Juli, kolom sindikasi nasional menghilang, begitu pula semua tulisan yang menyebut Trump. </p>
<p>Topik California menjadi fokus kurang dari setengah dalam semua kolom pada bulan Juni. Tapi, pada bulan Juli, 96% tulisan berfokus pada California. </p>
<p>Penyebutan partai Demokrat dan Republik turun lebih dari setengah, dari 25% dari semua kolom menjadi 10%.</p>
<p>Isu-isu lokal lalu memenuhi halaman: isu-isu seperti pelestarian seni dan budaya, lalu lintas dan pengembangan pusat kota, serta pendidikan dan lingkungan mendapat lebih banyak perhatian. Dalam momen ini, karakter unik Palm Springs bersinar.</p>
<p>Kami menyurvei pembaca sebelum dan sesudah eksperimen The Desert Sun, di Palm Springs. Kami membandingkannya dengan surat kabar Ventura County Sun, media lokal kota Ventura, yang tidak mengubah halaman opininya. </p>
<p>Apakah perubahan dalam jurnalisme opini mengubah cara berpikir dan perasaan orang tentang lawan politik mereka?</p>
<p>Ternyata, polarisasi politik – ketika orang merasa jauh dari pihak yang berbeda pandangan – melambat secara signifikan di Palm Springs dibandingkan dengan Ventura pada kelompok-kelompok tertentu:</p>
<ul>
<li>Mereka yang membaca koran;</li>
<li>Mereka yang tahu banyak tentang politik; dan</li>
<li>Orang yang paling banyak berpartisipasi dalam politik.</li>
</ul>
<p>Kelompok-kelompok ini adalah orang-orang dengan kemungkinan tertinggi untuk berbagi pandangan dan memberi tahu orang lain. Mereka juga berpotensi menyebarkan pengaruh surat kabar ke komunitas yang lebih luas. </p>
<p>Bahkan, meski hanya sebagian kecil dari komunitas yang membaca koran secara teratur – total sirkulasi The Desert Sun lebih dari 26.000 eksemplar – perubahan seperti ini tetap memiliki efek yang lebih besar.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Two boxing gloves that represent Red and Blue America, pushing against each other." src="https://images.theconversation.com/files/402441/original/file-20210524-15-tgyilu.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/402441/original/file-20210524-15-tgyilu.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=502&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/402441/original/file-20210524-15-tgyilu.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=502&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/402441/original/file-20210524-15-tgyilu.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=502&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/402441/original/file-20210524-15-tgyilu.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=631&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/402441/original/file-20210524-15-tgyilu.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=631&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/402441/original/file-20210524-15-tgyilu.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=631&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Ketika halaman opini berfokus pada politik nasional dan partisan, komunitas menjadi terpolarisasi secara politis.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/cultural-wars-royalty-free-image/1254512635?adppopup=true">wildpixel/Getty Images</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pembaca The Desert Sun menikmati perubahan: jumlah pembaca online untuk opini <a href="https://www.desertsun.com/story/opinion/columnist/2021/03/31/desert-sun-opinion-page-%20study-shows-experiment-curbed-polarization/4826254001/">hampir dua kali lipat di bulan Juli</a>. Dalam survei setelah eksperimen, hampir lima kali lebih banyak pembaca <a href="https://www.desertsun.com/story/opinion/2019/08/16/desert-sun-survey-readers-approve-local-news-only-editorial-page/2033233001/">mengatakan mereka menyetujui dan tidak menyetujui eksperimen ini</a>. </p>
<p>Eksperimen tersebut membantu surat kabar merekrut lebih banyak penulis opini yang terus berkontribusi di bulan-bulan berikutnya.</p>
<h2>Berinvestasi lagi pada opini</h2>
<p>Pendukung berita lokal dapat memetik pelajaran dari penelitian ini dengan mengumpulkan uang untuk membayar posisi editor opini dan mendanai pemikiran kreatif seperti eksperimen The Desert Sun.</p>
<p>Jika mereka tidak melakukan itu, maka halaman opini akan layu dan tidak lagi mencerminkan komunitas mereka. </p>
<p>Halaman opini lokal saja memang tidak akan memulihkan model ekonomi yang mendukung surat kabar dalam beberapa dekade terakhir. Tapi penelitian kami menunjukkan hal tersebut dapat menggaet sejumlah pembaca untuk menjembatani beberapa kesenjangan politik yang dapat membuat komunitas di AS terpisah.</p>
<p>Dengan menjaga fokus pada isu-isu lokal, halaman opini dapat berperan kecil memulihkan kepercayaan dan membantu surat kabar lokal bertahan di masa-masa sulit ini.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/170867/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Halaman depan harusnya menjadi balai warga, tempat pembaca berdiskusi dan berdebat atas isu penting bagi komunitas dan sekitarnya.Johanna Dunaway, Associate Professor of Communication, Texas A&M UniversityJoshua P. Darr, Assistant Professor of Political Communication, Louisiana State University Matthew P. Hitt, Associate Professor of Political Science, Colorado State UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1596442021-09-15T08:42:33Z2021-09-15T08:42:33ZKaum muda diremehkan di panggung politik: kita perlu dorong peran dan pengakuan mereka sebagai pemimpin dan politikus<p>Banyak orang Indonesia masih menganggap kaum muda sebagai sekumpulan orang yang apatis, apolitis, atau hanya sekadar sebagai suatu kelompok pemilih.</p>
<p>Bahkan, di ruang politik formal pun, <a href="https://www.medcom.id/pilar/kolom/4KZ4g3Wb-menuju-representasi-politik-anak-muda%5D(https://tirto.id/bagaimana-keterwakilan-perempuan-dan-anak-muda-di-dpr-2019-2024-ejwt)">data menunjukkan</a> bahwa dari total 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2014-2019, hanya sekitar 4% saja (atau 24 orang) yang berusia kurang dari 30 tahun.</p>
<p>Tanpa <a href="https://indoprogress.com/2020/10/prinsip-prinsip-dasar-pendidikan-demokratis-1-terbuka-akan-kelemahan/">partisipasi yang bermakna</a> dari kaum muda, demokrasi hanya menjadi suatu ajang pemilihan politik semata. Supaya demokrasi bisa inklusif, kaum muda harus punya <a href="https://www.upforlearning.org/wp-content/uploads/2018/04/education-change-and-youth-engagement-YA-web.pd">peran aktif</a> dan berdaya sebagai pemangku kepentingan serta pemecah masalah di komunitas mereka. </p>
<p>Sayangnya, kaum muda ini masih menghadapi berbagai tantangan dalam memberikan dampak yang luas – khususnya dalam ruang politik formal seperti institusi publik dan partai politik.</p>
<h2>Diremehkan di ruang politik yang eksklusif</h2>
<p>Banyak orang di Indonesia <a href="https://www.youthaodtoolbox.org.au/sites/default/files/documents_global/National%20Youth%20Participation%20Strategy%20in%20Mental%20Health%20Report.pdf">memiliki persepsi</a> bahwa usia muda menandakan belum matangnya pengalaman maupun kemampuan seseorang untuk terjun ke dunia politik. </p>
<p>Sebagai gambaran, pada 2019, Mahkamah Konstitusi menolak <a href="https://www.antaranews.com/berita/1204007/mk-tolak-gugatan-politisi-psi-soal-syarat-usia-kepala-daerah">permohonan uji materi oleh beberapa politikus muda</a> dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk menurunkan syarat usia calon kepala daerah.</p>
<p>Saat ini, seseorang harus <a href="https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/277231/mk-tolak-turunkan-usia-pencalonan-kepala-daerah">berusia minimal 30 tahun</a> untuk menjadi gubernur, dan 25 tahun untuk jadi bupati atau wali kota.</p>
<p>Anggapan tentang minimnya kompetensi politik kaum muda berakar pada pandangan masyarakat bahwa mereka sebatas bagian atau sumber dari masalah, atau seringkali sebagai <a href="https://www.kompas.id/baca/dikbud/2018/08/06/generasi-muda-aset-bangsa-yang-menentukan">‘aset’</a> – yakni diperlakukan sebatas <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46426433">subyek yang perlu dibimbing orang dewasa</a> agar mencapai visi atau tujuan tertentu. <a href="http://journal.undiknas.ac.id/index.php/fisip/article/view/2938/954">Budaya senioritas</a> juga memperkuat persepsi ini.</p>
<p>Padahal, berbagai <a href="https://www.adb.org/sites/default/files/publication/466811/youth-engagement-sdgs.pdf">studi</a> menunjukkan bahwa kaum muda memiliki kapasitas dalam memimpin dan membangun gerakan.</p>
<p>Banyak kaum muda telah membuktikan mereka mampu menjadi <a href="https://youtheconomicopportunities.org/sites/default/files/uploads/resource/6962_Youth_Participation_in_Development.pdf">pendidik, relawan,</a> hingga <a href="https://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PA00JP6S.pdf?utm_source=youth.gov&utm_medium=federal-links&utm_campaign=reports-and-resources">memberi masukan pada program</a> terkait berbagai macam isu seperti pengurangan risiko bencana, perlindungan anak dan perempuan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-standar-pemerintah-untuk-anak-muda-yang-ideal-buta-kesenjangan-dan-minim-dukungan-negara-153427">Riset: standar pemerintah untuk "anak muda yang ideal" buta kesenjangan dan minim dukungan negara</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Partisipasi kaum muda dalam politik pun masih didominasi oleh mereka yang berlatar belakang <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20191015143233-4-107148/ini-8-anggota-dpr-milenial-berharta-miliaran-rupiah">kelas sosial dan ekonomi menengah-atas</a> dan memiliki privilese untuk mengakses berbagai sumber daya. </p>
<p>Politisi muda di DPR atau institusi publik saat ini, misalnya, kebanyakan memiliki <a href="https://www.wartaekonomi.co.id/read251597/10-anggota-dpr-muda-dan-harta-kekayaannya-jumlahnya-bikin-ngelus-dada">kekayaan besar</a> dan berpendidikan tinggi. Banyak yang juga masuk ke politik karena <a href="https://news.detik.com/kolom/d-4748156/politisi-muda-demokrasi-dan-privilege">anggota keluarga</a> mereka sebelumnya terlibat di suatu partai.</p>
<p>Selain itu, <a href="https://justassociates.org/sites/justassociates.org/files/pracpaper_youngwomenindonesia_online.compressed.pdf">laporan tahun 2017</a> dari Institute of Development Studies di University of Sussex, Inggris, menemukan bahwa di antara kaum muda Indonesia, partisipasi politik perempuan masih sangat rendah. Mereka mengalami banyak hambatan termasuk <a href="https://justassociates.org/sites/justassociates.org/files/pracpaper_youngwomenindonesia_online.compressed.pdf">norma sosial di Indonesia</a> yang belum mendukung peran aktif perempuan di ruang publik.</p>
<p>Padahal, menurut Anne Phillips, profesor ilmu politik di London School of Economics (LSE), Inggris, di dalam sistem politik perlu ada bentuk keterwakilan secara acak yang mencerminkan komposisi berbagai kelompok masyarakat – yang ia sebut sebagai ‘<a href="https://oxford.universitypressscholarship.com/view/10.1093/0198294158.001.0001/acprof-9780198294153"><em>politics of presence</em></a>’ – sehingga kepentingan semua kelompok tersalurkan dengan baik. </p>
<h2>Mendorong partisipasi kaum muda yang bermakna</h2>
<p>Representasi politik kaum muda itu penting, namun tidak cukup.</p>
<p>Untuk mewujudkan partisipasi mereka yang bermakna, ada tiga hal yang juga perlu dilakukan.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, mengingat kaum muda adalah kelompok yang beragam, partai politik dan pemangku kepentingan perlu lebih banyak <a href="https://www.jstor.org/stable/10.7721/chilyoutenvi.17.1.0033?seq=1">membangun ruang yang inklusif dan demokratis</a> untuk mereka.</p>
<p>Sistem pemilu dan regenerasi partai politik harus dibenahi untuk menjamin kaum muda bisa terpilih secara demokratis berdasarkan kompetensi mereka – tanpa harus mengandalkan privilese atau koneksi keluarga.</p>
<p>Namun, selain itu, representasi politik juga tidak hanya tentang jumlah. </p>
<p>Pemangku kepentingan perlu lebih sensitif melihat kelompok muda mana yang masih tersisih – contohnya <a href="https://justassociates.org/sites/justassociates.org/files/pracpaper_youngwomenindonesia_online.compressed.pdf">perempuan</a>, <a href="https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/75388/kesetaraan-akses-politik-penyandang-disabilitas">penyandang disabilitas</a>, dan <a href="https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/politicon/article/view/9035/4486">masyarakat adat</a> – beserta tantangan apa saja yang mereka hadapi terkait identitasnya tersebut.</p>
<p>Upaya yang dapat dilakukan adalah memperbanyak pembahasan berbasis riset dan bukti mengenai situasi kelompok rentan, dan memberikan akses partisipasi dan dorongan lebih kepada kelompok tersebut. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, memastikan penguatan kapasitas orang muda untuk bisa memberikan dampak yang besar di ruang politik.</p>
<p>Dukungan yang diberikan dapat berupa upaya membangun kapasitas <a href="https://indoprogress.com/2020/10/prinsip-prinsip-dasar-pendidikan-demokratis-2-komitmen-mendalam-terhadap-demokrasi/">berpikir kritis</a> serta memperkuat pengetahuan mereka mengenai <a href="https://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PA00JP6S.pdf?utm_source=youth.gov&utm_medium=federal-links&utm_campaign=reports-and-resources">demokrasi dan hak warga negara</a>.</p>
<p>Salah satu upaya ini adalah “<a href="https://latihlogika.com/">Latih Logika</a>”, platform kursus daring tentang muatan berpikir kritis yang dikembangkan oleh Communication for Change (C4C), dan juga didukung lembaga kami, sejak 2019.</p>
<p>Pelatihan semacam ini bisa mendukung kapasitas kaum muda untuk berkomunikasi di ruang politik formal, serta meningkatkan kemampuan analisis mereka terkait berbagai permasalahan sosial dan politik.</p>
<p>Masalah lain yang juga sering ada dalam program bagi kaum muda adalah perspektif yang terlalu berpusat pada visi generasi lama tentang bagaimana partisipasi politik kaum muda yang “ideal” dilakukan.</p>
<p>Berbagai <a href="https://tirto.id/lucunya-indonesia-yang-melanggar-yang-menjadi-duta-gfg2">program berbasis 'duta’</a>, misalnya, seperti Duta Pancasila atau Duta Anti-Narkoba sekedar menjadi gerakan yang melanggengkan visi generasi lama dan jarang memberi ruang bagi kaum muda mengkritisi isu penting seperti diskriminasi warga negara atau kebijakan rehabilitasi pengguna narkotika.</p>
<p>Hal ini dapat <a href="https://puskapa.medium.com/partisipasi-anak-dan-kegagapan-kita-para-orang-dewasa-da978164e779">mengesampingkan beragam kelompok muda</a> dengan potensi dan kebutuhan yang juga penting didengar.</p>
<p>Padahal, saat ini pun terdapat ancaman bagi aktivis muda terkait kebebasan berekspresi, misalnya <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/08/21/20064971/ylbhi-sejumlah-remaja-dituding-lakukan-penodaan-agama-karena-video-tiktok?page=all">pembungkaman kritik melalui UU ITE</a>.</p>
<p>Upaya membangun partisipasi kaum muda harus bersamaan dengan melindungi kebebasan sipil mereka, serta <a href="https://www.idea.int/sites/default/files/publications/intergenerational-dialogue-for-democracy.pdf">menjamin akuntabilitas</a> negara dengan melibatkan partisipasi mereka dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, menciptakan ruang bagi terwujudnya kemitraan antara kaum muda dan kelompok generasi lebih tua untuk saling berbagi kuasa dan transfer ilmu. </p>
<p>Salah satu bentuk upaya ini adalah mendorong adanya <a href="https://youtheconomicopportunities.org/sites/default/files/uploads/resource/6962_Youth_Participation_in_Development.pdf">dialog lintas-generasi</a> untuk saling belajar dan memahami.</p>
<p>Saat ini, misalnya, model <a href="https://www.youthpower.org/resources/youth-advisory-councils-eight-steps-consider-you-engage">Panel Penasihat Muda</a> (<em>Youth Advisory Council</em>) di berbagai lembaga pembangunan banyak diadopsi untuk mendorong partisipasi kaum muda dalam penyusunan program dan kebijakan.</p>
<p>Ruang diskusi yang terbuka memungkinkan kaum muda dan generasi di atasnya untuk meruntuhkan tembok-tembok stereotip yang sering disematkan kepada kedua belah pihak, serta mengurangi kemungkinan munculnya konflik. Dialog perlu dilakukan dengan cara-cara konstruktif dan demokratis yang mengakomodasi kebutuhan dan peran setara antar kedua belah pihak.</p>
<p>Membangun partisipasi politik yang bermakna tidak hanya selesai dengan memberikan akses pada kaum muda untuk berpolitik.</p>
<p>Kaum muda memerlukan lingkungan yang <a href="https://mediaindonesia.com/opini/359762/anak-muda-dan-partai-politik">lebih setara dan inklusif</a>, sehingga bisa memiliki dampak yang lebih luas di tingkat institusi publik maupun partai dan organisasi politik.</p>
<hr>
<p><em>Asep Ridwan Wahyudi, peserta Belajar Kerja di PUSKAPA, turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/159644/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Banyak orang di Indonesia memiliki persepsi bahwa usia muda menandakan belum matangnya pengalaman maupun kemampuan seseorang untuk terjun ke dunia politik.Nadira Irdiana, Research and Advocacy Associate (Social Inclusion and Protection), PUSKAPARyan Febrianto, Research and Advocacy Associate, PUSKAPASiti Ainun Nisa F, Research and Advocacy Assistant, PUSKAPALicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1672762021-09-03T07:25:01Z2021-09-03T07:25:01ZBaliho kosong nyaring bunyinya: apa yang dicari anak muda di Pemilu 2024?<iframe src="https://open.spotify.com/embed/episode/17piJsbAEOBks5dK81AY8Q" width="100%" height="232" frameborder="0" allowtransparency="true" allow="encrypted-media"></iframe>
<p>Pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, kelompok pemilih anak muda berpotensi menjadi kekuatan politik besar yang akan menentukan wajah demokrasi di Indonesia selama bertahun-tahun ke depan.</p>
<p>Sebagai gambaran, misalnya, saat ini <a href="https://theconversation.com/riset-standar-pemerintah-untuk-anak-muda-yang-ideal-buta-kesenjangan-dan-minim-dukungan-negara-153427">lebih dari setengah populasi Indonesia</a> terdiri dari Milenial (24-39 tahun) dan Gen Z (6-23 tahun).</p>
<p>Di ranah politik, jumlah pemilih <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190404174723-32-383507/survei-pemilu-milenial-golput-diprediksi-di-atas-40-persen">berusia kurang dari 40 tahun</a> pada Pemilu 2019 diperkirakan sekitar <a href="https://lokadata.id/artikel/berebut-suara-pemilih-muda">30%</a>-<a href="https://tirto.id/hasil-survei-lipi-40-persen-suara-di-pemilu-didominasi-milenial-dbGF">40%</a>; angka ini diprediksi <a href="https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/03/25/generasi-muda-cenderung-ingin-regenerasi/">meningkat menjadi 60%</a> pada Pemilu 2024.</p>
<p>Untuk memahami preferensi dan sikap politik kelompok muda, di episode terbaru <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=NTldgyemTH2ff_tlB5C3Ug&dl_branch=1"><em>podcast</em> SuarAkademia</a>, kami berbicara dengan Ahmad Khoirul Umam, peneliti politik di Universitas Paramadina, Jakarta.</p>
<p>Umam menceritakan berbagai hal, termasuk temuan menarik dalam survei yang ia lakukan terhadap anak muda, apakah <a href="https://tirto.id/baliho-puan-airlangga-ahy-saat-pandemi-mending-buat-bantu-warga-giqs">maraknya baliho calon presiden (capres)</a> adalah cara efektif menggaet pemilih muda, tren <em>buzzer</em> di media sosial, serta berbagai isu politik yang menjadi fokus utama kelompok anak muda sejak Reformasi.</p>
<p>Dengarkan episode lengkapnya di <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=NTldgyemTH2ff_tlB5C3Ug&dl_branch=1">SuarAkademia</a> – ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi dan peneliti.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/167276/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Untuk memahami preferensi dan sikap politik kelompok muda, di episode terbaru podcast SuarAkademia, kami berbicara dengan Ahmad Khoirul Umam, peneliti politik di Universitas Paramadina, Jakarta.Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1589762021-04-15T07:14:57Z2021-04-15T07:14:57ZHarta, jabatan, dan kekuasaan: bagaimana sistem presidensial dorong perpecahan partai politik di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/394996/original/file-20210414-23-1lnuj4m.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=33%2C58%2C5526%2C3309&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">M Risyal Hidayat/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Bulan lalu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dalam sebuah Kongres luar biasa yang <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2021/03/06/moeldoko-splits-democratic-party-poses-threat-to-sbys-ascendancy.html">kontroversial</a> di Medan, Sumatera Utara.</p>
<p>Terpilihnya Moeldoko “mendepak” Agus Harimurti Yudhoyono, putra pertama mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) - Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat.</p>
<p>Awal bulan ini, pemerintah <a href="https://nasional.kompas.com/read/2021/03/31/15382331/demokrat-kubu-moeldoko-tak-disahkan-pemerintah-ahy-kabar-baik-bagi-demokrasi">menolak</a> permohonan pengesahan kepengurusan Partai Demokrat yang diajukan kubu Moeldoko. Dengan demikian Agus tetap menjadi ketua umum.</p>
<p>Perpecahan di Partai Demokrat - walau tidak berlangsung lama - bukanlah perpecahan partai politik Indonesia yang pertama. Sebelumnya, Partai Persatuan Pembangunan (<a href="https://www.thejakartapost.com/news/2016/02/19/govt-gives-nod-to-initial-ppp-leadership.html">PPP</a>) dan <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/09/05/golkarsplitairlanggasetspartymeetinginvites-bambangssupporters.html">Partai Golkar</a> juga sempat terbelah.</p>
<p>Saya <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13569775.2017.1413499?journalCode=ccpo20">meneliti</a> bagaimana partai-partai dan sistem partai di Indonesia mengalami perubahan sejak jatuhnya Soeharto yang disusul perubahan pada sistem pemilihan umum (pemilu) demokratis dan langsung.</p>
<p>Sistem presidensial di Indonesia menciptakan dinamika politik yang sangat khas. Sistem ini mendorong terbentuknya faksi-faksi dalam partai politik berupa perpecahan yang terdorong bukan karena perbedaan ide-ide kebijakan, namun demi harta, jabatan, dan kekuasaan.</p>
<h2>Dampak sistem presidensial</h2>
<p>Secara umum, ciri sistem presidensial adalah dua sumber kekuasaan dan cara mempertahankan kekuasaan yang berbeda: presiden dan parlemen sama-sama dipilih secara langsung, dan presiden hanya bisa diturunkan lewat proses pemakzulan.</p>
<p>Selama Orde Baru, Soeharto memiliki kekuasaan yang sangat besar dan tidak diawasi; Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hanya lembaga tertinggi negara di atas kertas.</p>
<p>Soeharto mengendalikan Golkar - partai rezim - dan berhasil menekan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan PPP yang ketika itu dianggap partai semi-oposisi.</p>
<p>Setelah Orde Baru jatuh, kekuasaan perundang-undangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menguat sangat pesat.</p>
<p>Meski demikian, masa-masa awal Reformasi diwarnai ketidakpastian.</p>
<p>Penurunan Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid pada 2001 adalah akibat kemelut antara DPR, MPR, dan sang presiden yang memiliki perbedaan pandang jauh dengan parlemen tentang apa yang menjadi otoritasnya.</p>
<p>Karena kekisruhan pasca kejatuhan Gus Dur, pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia diadakan pada 2004.</p>
<p>Sistem presidensial cenderung mendorong pembentukan faksi-faksi (faksionalisme) tersendiri, terutama berkaitan pada adanya dualisme antara presiden dan partainya. Karena presiden dipilih langsung, ia tidak bergantung pada parlemen (dan partai politik) layaknya seorang perdana menteri.</p>
<p>Faksionalisme dalam sistem presidensial tentu saja bukan sekadar soal peraturan-peraturan yang mendorong organisasi atau institusi partai yang baik.</p>
<p>Partai politik dapat <a href="https://journals.sagepub.com/toc/saaa/39/1">terpecah</a> jika demokrasi dalam partai tinggi, jika ekonomi politik partai tidak menguntungkan satu pihak saja, jika partai tidak terlalu terpusat, jika peraturan internal (misalnya soal keanggotaan atau pemilihan ketua) tidak terlalu jelas, dan seterusnya.</p>
<p>Perpecahan internal juga tidak akan mudah menyebabkan munculnya partai-partai baru karena banyak tantangan dari luar.</p>
<p>Di Indonesia, partai baru tidak memiliki peluang sukses yang realistis karena, misalnya, tingginya ambang batas elektoral, peraturan yang menuntut jumlah cabang yang banyak, dan tingginya biaya kampanye.</p>
<p>Di sini, sistem presidensial telah membawa setidaknya tiga dampak.</p>
<p>Pertama, terbentuknya partai-partai politik dengan tujuan untuk mendukung calon presiden (atau calon pemegang jabatan penting lainnya).</p>
<p>Partai Demokrat, <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2013/07/02/national-scene-wiranto-officially-runs-president.html">Partai Hanura</a>, <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2014/03/20/a-bumpy-road-prabowo-despite-gerindra-s-rise.html">Gerindra</a>, dan <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2014/03/18/newly-established-nasdem-aims-high-general-election.html">Partai NasDem</a> adalah contoh-contoh utama.</p>
<p>Hal ini hanya mungkin terjadi dalam suatu sistem politik yang memungkinkan orang-orang kaya untuk membangun kendaraan-kendaraan politik dari nol.</p>
<p>Sistem presidensial mendorong munculnya pemimpin-pemimpin karismatik yang memiliki kendaraan politik sendiri.</p>
<p>Faksionalisme dalam partai-partai semacam ini tidak banyak terjadi jika kepemimpinan partai sangat kuat (misalnya Prabowo Subianto di Gerindra).</p>
<p>Tapi faksionalisme meningkat jika pemimpin partai - dalam kasus ini SBY di Partai Demokrat - mengizinkan adanya persaingan atau tidak mampu mencegah persaingan.</p>
<p>Kedua, munculnya orang-orang luar seperti Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang sukses tanpa memiliki partai sendiri - atau paling tidak tanpa akar kuat di salah satu partai besar.</p>
<p>Dalam situasi ini, sistem presidensial akan menciptakan dualisme antara si orang luar dan mesin partai. Ini tampak dalam <a href="https://doi.org/10.1080/00074918.2015.1110684">ketegangan antara Jokowi dan Megawati Soekarnoputri</a>, pemimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).</p>
<p>Ketiga, selama beberapa tahun terakhir Jokowi telah menjadi presiden yang sangat kuat dan tampaknya mampu secara tidak langsung mencampuri konflik internal partai-partai lain untuk menciptakan faksi yang mendukung dia. Contohnya yang terjadi di PPP, Golkar, dan mungkin juga di Partai Demokrat.</p>
<p>Perpecahan dalam Partai Demokrat kemarin bisa dilihat memiliki karakter campuran ketiga dampak di atas.</p>
<h2>Jalan keluar</h2>
<p>Partai-partai politik di Indonesia berkolusi dan membangun koalisi-koalisi besar; platform mereka tidak jauh berbeda satu sama lain.</p>
<p>Nyaris tidak ada perbedaan antara partai sayap kiri dan sayap kanan. Partai-partai itu telah menjadi bagian suatu kartel dan telah terlibat dalam banyak kasus korupsi di tingkat nasional dan daerah.</p>
<p>Perpecahan dalam partai terjadi sebagai bentuk faksionalisme berciri klientelisme - dengan kata lain rebutan soal uang, jabatan, dan kekuasaan.</p>
<p>Sebaliknya, faksionalisme berbasis kebijakan - sesuatu yang jarang bahkan tidak ada di Indonesia - terjadi karena ideologi politik. Perpecahan antara kelompok-kelompok dalam partai terjadi karena perbedaan ide dan strategi politik.</p>
<p>Indonesia membutuhkan partai-partai dengan platfrom yang jelas, yang mewakili spektrum politik sepenuhnya, dari sayap kiri hingga kanan.</p>
<p>Untuk mendorong ini, DPR dan pemerintah perlu memulai adanya aturan ketat soal partai dan pendanaan kandidat serta pemilihan calon berdasarkan aturan mengikat dalam prosedur internal partai. </p>
<p>Mungkin dengan itu, nantinya kelompok-kelompok internal partai tidak lagi memandang organisasi mereka sebagai alat-alat kekuasaan dan keuntungan diri. Namun, kelompok-kelompok itu bisa mulai berdebat soal isu-isu politik yang kompleks tentang keuangan, ekonomi, lingkungan dan kesehatan demi kepentingan para pemilih Indonesia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/158976/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Andreas Ufen tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sistem presidensial di Indonesia menciptakan dinamika politik yang sangat khas.Andreas Ufen, Adjunct professor, University of HamburgLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1570452021-03-29T09:05:26Z2021-03-29T09:05:26ZGerakan politik anak muda - contohnya gerakan mahasiswa - mampu bergerak cepat, tapi sulit melanjutkan perjuangan di luar jalanan<p>Berbagai gerakan anak muda di Hong Kong, Thailand, dan Indonesia pada tahun-tahun terakhir, – serta yang saat ini <a href="https://time.com/5943708/myanmar-youth-protests/">berlangsung di Myanmar</a> – melanjutkan tradisi anak muda sebagai kekuatan politik penting. </p>
<p>Dalam sejarah panjangnya, gerakan anak muda memiliki berbagai potensi dan tantangan yang khas. </p>
<p>Gerakan mahasiswa – salah satu jenis gerakan anak muda – misalnya memiliki potensi sebagai kekuatan yang relatif lebih mudah memobilisasi diri. </p>
<p>Namun, gerakan anak muda juga memiliki kesulitan untuk menghilangkan mitos sebagai kekuatan moral dan melembagakan gerakan mereka pasca mobilisasi di jalanan. </p>
<h2>Bergerak cepat</h2>
<p>Jumlah mereka yang banyak dan berdekatan, serta relatif memiliki waktu luang lebih banyak menjadi keuntungan bagi anak muda.</p>
<p>Gerakan anak muda cenderung mudah untuk memobilisasi diri. Gerakan mahasiswa merupakan salah satu wujudnya. </p>
<p>Kedekatan geografis mempermudah mereka untuk saling berkomunikasi dan merencanakan sebuah aksi. </p>
<p>Di kota-kota yang memiliki kampus-kampus yang letaknya berdekatan, mobilisasi cenderung lebih mudah dilakukan. </p>
<p>Misalnya, gerakan mahasiswa Thailand 1973 akan sulit terjadi tanpa <a href="http://dspace.lib.hawaii.edu/bitstream/10790/3259/prizzia.r-1975-0014.pdf">konsentrasi</a> kampus-kampus yang berada di Bangkok. </p>
<p>Antara 6 hingga 15 Oktober 1973, gerakan mahasiswa Thailand di bawah koordinasi The National Student Center of Thailand (NSCT) berhasil menumpahkan ratusan ribu mahasiswa ke jalan untuk meminta pembebasan 13 rekan aktivis mereka sekaligus amandemen konstitusi yang dianggap hanya melanggengkan rezim junta militer di bawah pimpinan Jenderal Thanom Kittikachorn. </p>
<p>Awal gerakan mahasiswa Cina tahun 1989 juga bermula dari mobilisasi oleh mahasiswa yang <a href="https://www.journals.uchicago.edu/doi/abs/10.1086/231399?casa_token=eGgQHbi0OfEAAAAA:aaB37Ei8q5yW01xnHs3_Zq7-RqJNZhsBVw-39IKUhuwzXadqdstOG_O5eiYXz-mbZqB1hx1-Bzo">tinggal</a> bersama di asrama seperti di Universitas Beijing. </p>
<p>Mereka juga terbantu oleh konsentrasi sekitar 67 universitas yang berada di Beijing yang memudahkan komunikasi dan mobilisasi mahasiswa di tahun 1989. </p>
<p>Mahasiswa juga cenderung memiliki banyak waktu luang. Dalam waktu senggangnya, mahasiswa dapat mendiskusikan isu-isu sosial politik terkini yang pada akhirnya menumbuhkan kesadaran kritis dan politis. </p>
<p>Hal ini menjadikan mereka sebagai kelompok yang mudah tertarik ke dalam agitasi untuk merencanakan aksi kolektif. </p>
<p>Untuk memanfaatkan waktu luang, peran kelompok-kelompok formal dan informal di dalam kampus adalah penting. Kelompok-kelompok ini merupakan wahana mengisi waktu luang dengan beragam corak ideologinya dan pengetahuan yang ditawarkan. </p>
<p>Protes mahasiswa Myanmar tahun 1988 sulit terjadi tanpa peranan <a href="https://eric.ed.gov/?id=ED580529">kelompok diskusi</a> yang mulai aktif di Yangon sejak tahun 1984. Kelompok diskusi ini rutin bertemu mendiskusikan buku sastra dan sejarah yang dilarang oleh rezim. </p>
<p>Sebelum gerakan mahasiswa Indonesia 1998 turun ke jalan, <a href="https://www.sup.org/books/title/?id=5947">kelompok-kelompok diskusi</a> di kampus juga menjadi kendaraan bagi mahasiswa belajar teori-teori sosial kritis sekaligus ruang untuk membedah perilaku rezim otoriter Orde Baru. </p>
<p>Unit kegiatan pers kampus juga memiliki peranan besar menjadi tempat belajar bersama perkembangan sosial politik di bawah Orde Baru. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/cara-cara-mengatasi-ancaman-terhadap-gerakan-mahasiswa-124582">Cara-cara mengatasi ancaman terhadap gerakan mahasiswa</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Gerakan selepas dari jalanan</h2>
<p>Salah satu tantangan bagi gerakan mahasiswa adalah hasrat menjadi gerakan moral. </p>
<p>Konsep gerakan moral menyatakan bahwa mahasiswa ingin bersih dari kepentingan politik dan menjaga kemurnian gerakan dengan menolak beraliansi dengan kelompok sosial lain. </p>
<p>Keinginan ini adalah ilusi karena mahasiswa tidak mampu mendorong perubahan sendirian. </p>
<p>Esensi dari gerakan sosial adalah aksi kolektif yang kerap muncul dari kegelisahan dan amarah banyak kelompok dengan berbagai latar belakang. </p>
<p>Berusaha menjaga suatu gerakan tetap eksklusif justru akan mengurangi kekuatan fundamental gerakan sosial yaitu <a href="https://press.princeton.edu/books/hardcover/9780691639611/power-in-numbers">jumlah</a>. </p>
<p>Gerakan mahasiswa di Indonesia kerap mendengungkan posisi sebagai gerakan moral. </p>
<p>Protes mahasiswa di tahun 1965-66 <a href="https://www.upress.umn.edu/book-division/books/student-activism-in-asia">memulai</a> tradisi gerakan anak muda sebagai gerakan moral. Keyakinan ini bertahan hingga 1998. </p>
<p>Mengubur mitos gerakan moral adalah langkah pertama dalam membangun gerakan yang memiliki potensi lebih besar menghasilkan dampak bermakna.</p>
<p>Tantangan lain dari gerakan mahasiswa adalah kesulitan untuk melakukan institusionalisasi gerakan pasca mobilisasi di jalan. </p>
<p>Gerakan mahasiswa jarang ikut – secara sistematis – dalam membangun rezim baru karena ketidakmampuan mereka untuk mempertahankan gerakan dalam jangka panjang. </p>
<p>Kelemahan ini lumrah terjadi karena status mahasiswa adalah sementara. Lemahnya institusionalisasi gerakan ini mengakibatkan lemahnya kendali mereka terhadap agenda perubahan yang awalnya diusung. </p>
<p>Sesudah presiden BJ Habibie dilantik setelah Soeharto lengser, misalnya, upaya sistematis mengubah protes di jalanan menjadi gerakan politik hanya berhasil dilakukan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). </p>
<p>Keduanya menjadi basis sosial bagi berdirinya Partai Keadilan dan PRD yang mengikuti Pemilu 1999. Tapi, keduanya tidak terlalu berhasil mengontrol arah reformasi karena <a href="https://www.kpu.go.id/dmdocuments/modul_1d.pdf">perolehan</a> yang minim dalam pemilu. </p>
<p>PRD bahkan tidak berhasil mendapatkan satu kursi pun di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu 1999. </p>
<p>Namun tidak semua gerakan yang dimotori anak muda berakhir dengan kegagalan pelembagaan gerakan. </p>
<p>Pengalaman Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood) di Mesir mengajarkan bahwa ada peluang bagi gerakan yang dimotori anak muda untuk merebut kekuasaan. </p>
<p>Meski demikian, perlu kita catat bahwa Ikhwanul Muslimin telah <a href="https://press.princeton.edu/books/paperback/9780691163642/the-muslim-brotherhood">membangun</a> basis pergerakannya selama berpuluh-puluh tahun sebelum sampai pada puncaknya memenangi pemilihan umum pada 2012 dengan menggunakan Partai Kebebasan dan Keadilan (Freedom and Justice Party). </p>
<p>Perlu diingat pula bahwa merebut kekuasaan tidak berarti suatu gerakan kemudian mampu mewujudkan seluruh agendanya. </p>
<p>Satu tahun setelah presiden Mohamed Morsi merebut kursi presiden dengan dukungan Ikhwanul Muslimin, ia berusaha <a href="http://press.georgetown.edu/book/georgetown/arab-fall">mengubah</a> Konstitusi Mesir dan memberi lebih banyak kekuasaan kepada dirinya. Langkah tersebut memicu protes besar dari kelompok sekuler yang kemudian dimanfaatkan oleh militer untuk melakukan kudeta. </p>
<p>Hal yang perlu disadari adalah agenda gerakan saat merebut kekuasaan tidak serta merta selalu terwujud saat gerakan sudah terlembaga.</p>
<p>Tenaga dan waktu yang anak muda miliki untuk bergerak jelas menjadi keuntungan bagi mereka.</p>
<p>Tapi kedua hal tersebut tidaklah cukup. </p>
<p>Kemampuan mobilisasi semata tanpa kemampuan untuk melembagakan gerakan tidak akan memiliki dampak yang lebih jauh selain menggoyang dan menurunkan sebuah rezim.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/157045/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Muhammad Fajar menerima dana dari The Indonesian Scholarship and Research Support Foundation (ISRSF)</span></em></p>Anak muda mampu bergerak dalam jumlah besar secara cepat. Namun salah satu tantangan utama mereka adalah mempertahankan hidup gerakan selepas dari jalanan.Muhammad Fajar, Postdoctoral Fellow, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1436072020-08-04T10:01:39Z2020-08-04T10:01:39ZGibran lawan kotak kosong di Solo? Begini mekanisme calon tunggal dalam Pilkada<p>Gibran Rakabuming Raka, putra pertama Presiden Joko “Jokowi” Widodo, mendapat dukungan sangat kuat sebagai <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200717143735-32-525888/pdip-resmi-usung-gibran-putra-jokowi-calon-wali-kota-solo">calon wali kota Surakarta</a> di Jawa Tengah hingga terbuka kemungkinan ia menjadi calon tunggal dalam pemilihan tersebut.</p>
<p>Gibran awalnya mendapat dukungan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang memiliki 30 kursi dari total 45 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Surakarta. </p>
<p>Ia kemudian mendapat <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200803143931-32-531639/gerindra-resmi-ikut-usung-gibran-rakabuming-di-pilkada-solo">dukungan</a> dari Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, dan Partai Golkar, yang masing-masing menguasai tiga kursi di DPRD.</p>
<p>Dengan dukungan 39 kursi di DPRD, besar kemungkinan Gibran menjadi satu-satunya calon wali kota Surakarta untuk periode 2020-2025 yang pemilihannya dijadwalkan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak pada 9 Desember 2020.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pentingnya-menghindari-bias-kognitif-dalam-memilih-pemimpin-yang-baik-saat-pemilu-142664">Pentingnya menghindari bias kognitif dalam memilih pemimpin yang baik saat pemilu</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mekanisme calon tunggal</h2>
<p><a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt578e1c1341856/undang-undang-nomor-10-tahun-2016">Undang-Undang (UU) No. 10 tahun 2016</a> tentang Pilkada mensyaratkan partai politik (parpol) atau gabungan parpol dapat mendaftarkan pasangan calon jika memiliki minimal 20 persen dari total kursi DPRD.</p>
<p>Di Surakarta, ini berarti pasangan calon membutuhkan dukungan minimal 9 kursi.</p>
<p>UU tersebut juga menjelaskan mengenai mekanisme calon tunggal. Ada lima kemungkinan calon tunggal akan melenggang dalam Pilkada.</p>
<p>Pertama, calon tunggal terjadi jika sampai batas akhir pendaftaran dan berakhirnya masa perpanjangan pendaftaran, hanya ada satu calon yang dinyatakan memenuhi syarat berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).</p>
<p>Kedua, terdapat beberapa pasangan yang mendaftar akan tetapi berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh KPUD hanya satu pasangan yang memenuhi syarat, dan setelah masa pendaftaran diperpanjang terdapat pasangan lain mendaftar akan tetapi tidak memenuhi syarat. </p>
<p>Ketiga, beberapa pasangan memenuhi syarat pendaftaran, namun sejak masa penetapan calon sampai dimulainya masa kampanye terdapat pasangan lain yang berhalangan tetap seperti kandidat meninggal dunia atau kandidat tidak dapat melaksanakan tugas secara permanen.</p>
<p>Calon tunggal terjadi jika parpol atau koalisi parpol pendukung pasangan yang berhalangan tersebut tidak mengusulkan pergantian calon atau calon pengganti yang diajukan tidak memenuhi syarat.</p>
<p>Keempat, calon tunggal juga bisa terjadi jika sejak kampanye dimulai sampai dengan pemungutan suara, ada pasangan calon lain berhalangan tetap dan parpol atau koalisi parpol tidak mengusulkan pengganti atau mengajukan pengganti tapi tidak memenuhi syarat.</p>
<p>Kelima, calon tunggal juga bisa terjadi jika pasangan calon lain terdiskualifikasi seperti memalsukan ijazah atau petahana menggunakan fasilitas negara bagi kepentingan kampanye sehingga menyebabkan satu pasangan calon yang memenuhi syarat. </p>
<p>Secara teknis, pelaksanaan pemilihan calon tunggal tidak jauh berbeda dengan pemilihan dengan pasangan calon lebih dari satu. </p>
<p>Pemilih akan disuguhi dua kotak dalam kertas suara. Kotak pertama adalah gambar pasangan calon tunggal dan kotak kedua adalah kotak kosong yang tidak bergambar. </p>
<p>Setiap pemilih diminta untuk mencoblos salah satu kotak tersebut. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/celah-hukum-dalam-aturan-dana-kampanye-pilkada-serentak-2020-bisa-picu-banyak-kecurangan-138202">Celah hukum dalam aturan dana kampanye pilkada serentak 2020 bisa picu banyak kecurangan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Bagaimana jika calon tunggal kalah?</h2>
<p>Kotak kosong menang jika calon tunggal tidak mampu mendapatkan suara lebih dari
50 persen dari suara sah.</p>
<p>Jika ini terjadi, UU mengamanatkan pemilihan ulang pada periode pemilihan serentak <a href="https://nasional.kompas.com/read/2018/06/27/18000791/bagaimana-jika-kotak-kosong-menang-pilkada?page=all">berikutnya</a>. </p>
<p>Calon tunggal yang dinyatakan “kalah” dapat kembali mencalonkan diri dengan mengikuti mekanisme awal termasuk juga susunan parpol pendukung yang mungkin saja berbeda. </p>
<p>Secara politik, tidak ada jaminan parpol atau koalisi parpol lama akan mendukung calon tunggal yang kalah tersebut.</p>
<p>Pada Pilwalkot Makassar di Sulawesi Selatan pada 2018, <a href="https://www.cnnindonesia.com/pilkadaserentak/nasional/20180709093718-32-312619/kotak-kosong-menang-wali-kota-makassar-di-tangan-kemendagri">kotak kosong dinyatakan menang</a> dengan memperoleh 53 persen suara sedangkan calon tunggal, pasangan Munaffri Arifuddin-Rachmatika Dewi, hanya memperoleh 47 persen suara. </p>
<p>Karena tidak ada ada pasangan calon terpilih, maka pemerintah menugaskan penjabat sementara untuk memimpin hingga pemilihan berikutnya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-temukan-tiga-penyebab-praktik-kecurangan-pada-pemilu-2014-dan-2019-130188">Riset temukan tiga penyebab praktik kecurangan pada pemilu 2014 dan 2019</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Calon tunggal dalam demokrasi</h2>
<p>Keberadaan calon tunggal dapat dikaitkan dengan <a href="https://ecommons.cornell.edu/bitstream/handle/1813/54621/INDO_96_0_1381338354_11_34.pdf?sequence=1">kemunduran demokrasi</a> dan menguatnya oligarki politik.</p>
<p>Mekanisme pemilihan di Indonesia saat ini sangat berbasis pasar dan modal sehingga memunculkan kesempatan bagi satu kelompok politik untuk mendominasi.</p>
<p>Tahun lalu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut bahwa seseorang butuh dana setidaknya <a href="https://nasional.tempo.co/read/1273602/ongkos-pilkada-mahal-tito-karnavian-yang-gak-bayar-ketemu-saya/full&view=ok">Rp30 miliar</a> jika ingin menjadi calon bupati.</p>
<p>Pilkada Indonesia sangat pragmatis dan menyebabkan dinamika politik yang mendorong munculnya calon tunggal dalam arena Pilkada. </p>
<p>Menurut saya ada beberapa sebab mendasar munculnya calon tunggal.</p>
<p>Pertama, ada satu kelompok politik yang terlalu menguasai dan dominan sehingga tidak terdapat ruang interaksi kekuasaan yang berimbang. </p>
<p>Hal ini diperparah dengan kepentingan elite untuk selalu berada dalam lingkaran kekuasaan. </p>
<p>Pada posisi inilah Gibran berada. </p>
<p>Dominasi PDI-P di Surakarta, mesin elektoral Jokowi, dan kekuatan modal adalah tiga unsur begitu kuatnya posisi Gibran dalam arena politik di Surakarta.</p>
<p>Kedua, ada kandidat yang sangat populer dan tingkat elektabilitas tinggi, sehingga calon yang lain melihat tidak ada peluang mengalahkan kandidat tersebut. </p>
<p>Ini biasanya terjadi pada kandidat dengan posisi petahana yang memiliki modal konstituen.</p>
<p>Sebenarnya, keberadaan “kotak kosong” dapat menjadi simbol perlawanan publik terhadap kepentingan elite. </p>
<p>Kemenangan kotak kosong pada Pilwalkot Makasar 2018 menunjukkan bahwa keinginan elite dan publik tidak selalu berbanding lurus. </p>
<p>Mekanisme kotak kosong setidaknya dapat menjadi metode untuk memperkecil dominasi kepentingan elite terhadap kehendak publik. </p>
<hr>
<p><em>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/143607/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Arizka Warganegara tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Undang-undang telah mengatur soal calon tunggal dalam Pilkada, termasuk jika kotak kosong menang.Arizka Warganegara, Lecturer at Department of Government Studies, Universitas LampungLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1119912019-03-14T08:57:58Z2019-03-14T08:57:58ZPartai politik mana yang paling populer di jagad maya Indonesia?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/262878/original/file-20190308-150683-13gg17s.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">shutterstock</span> </figcaption></figure><p>Setengah dari 260 juta penduduk Indonesia kini terhubung dengan internet, dan rata-rata menghabiskan hampir <a href="https://digitalreport.wearesocial.com/">9 jam per hari online</a>. <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2016/08/09/indonesia-se-asias-digital-powerhouse.html">Penelitian bersama Google-Temasek</a> memperkirakan bahwa Indonesia akan memiliki 215 juta pengguna internet pada tahun 2020, menjadikannya peringkat keempat pemakai internet terbanyak di dunia. </p>
<p>Meski ratusan juta orang di Indonesia menghabiskan banyak waktu di internet, hanya sedikit yang diketahui tentang pemanfaatan internet oleh partai-partai politik di Indonesia untuk berhubungan langsung dengan pemilih dan menyebarkan pesan-pesan politik mereka melalui kampanye virtual. </p>
<p>Sementara itu, dalam beberapa tahun terakhir makin jelas terlihat bagaimana partai-partai politik di negara-negara lain, misalnya di <a href="https://www.statista.com/topics/3723/social-media-and-politics-in-the-united-states/">Amerika Serikat</a> dan <a href="https://www.bbc.com/news/uk-politics-41349409">Inggris</a>, memanfaatkan media sosial dan menggencarkan pemasaran politik secara digital dalam pemilu. </p>
<p>Apakah partai-partai di Indonesia sudah memaksimalkan potensi media sosial untuk mendulang pemilih untuk menang pemilu? Dan adakah korelasi antara jumlah kursi di parlemen serta usia partai terhadap popularitas mereka di internet? </p>
<h2>Popularitas partai di media sosial</h2>
<p>Untuk menjawab pertanyaan di atas, kami meneliti penggunaan internet oleh 16 partai politik peserta pemilu 2019. Kami mengamati akun-akun media sosial yang didaftar oleh partai ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai akun resmi mereka untuk periode kampanye jelang Pemilu 2019. Masa observasi riset kami berlangsung sepanjang 23 September 2018 hingga 4 Desember 2018. </p>
<p>Kami menemukan bahwa semua partai, kecuali Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyebarluaskan materi kampanye mereka kepada publik. Namun, pemanfaatan dan kinerja platform media sosial partai ternyata beragam tingkatannya. Mayoritas partai menggunakan empat platform: Facebook, Twitter, Instagram, dan YouTube. Lima partai tidak memiliki akun di YouTube. </p>
<p>Rata-rata partai politik di Indonesia telah menggunakan Facebook selama 4 tahun, Twitter selama 5 tahun, dan Instagram selama 2 tahun. Temuan ini menunjukkan bahwa Twitter adalah platform media sosial yang paling mapan yang digunakan oleh partai. Bahkan ada lima partai yang telah menggunakan Twitter selama lebih dari enam tahun. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/261661/original/file-20190301-110115-1y85kta.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/261661/original/file-20190301-110115-1y85kta.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=426&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/261661/original/file-20190301-110115-1y85kta.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=426&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/261661/original/file-20190301-110115-1y85kta.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=426&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/261661/original/file-20190301-110115-1y85kta.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=536&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/261661/original/file-20190301-110115-1y85kta.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=536&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/261661/original/file-20190301-110115-1y85kta.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=536&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Boxplot usia partai dan pemanfaatan media sosial.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Perhitungan penulis</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) adalah partai dengan <a href="https://www.facebook.com/PDIPerjuangan/">akun Facebook paling tua</a>. Bergabung dengan situs jejaring sosial ini sejak 2008, dua tahun sejak Facebook terbuka untuk siapa pun di atas 13 tahun yang memiliki alamat email. Sementara itu, <a href="https://www.facebook.com/amanatnasional/">Partai Amanat Nasional (PAN)</a> telah bergabung dengan Facebook selama 8 tahun terakhir, diikuti oleh <a href="https://www.facebook.com/HumasPartaiKeadilanSejahtera/">Partai Keadilan Sejahtera (PKS)</a> yang akunnya telah terdaftar sejak 7 tahun lalu. </p>
<p>Namun, menarik untuk dicatat bahwa meski menjadi tiga partai politik Indonesia pertama yang membuat akun Facebook, popularitas PDI-P (sekitar 1,5 juta <em>follower</em>), PAN (187.000), dan PKS (615.000) di Facebook jauh lebih rendah daripada <a href="https://www.facebook.com/gerindra/">Gerindra</a> dengan sekitar 3,6 juta <em>follower</em> dan <a href="https://www.facebook.com/psi.or.id/">Partai Solidaritas Indonesia</a> dengan sekitar 2,9 juta <em>follower</em>.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/262872/original/file-20190308-150700-1cu45mi.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/262872/original/file-20190308-150700-1cu45mi.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/262872/original/file-20190308-150700-1cu45mi.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=425&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/262872/original/file-20190308-150700-1cu45mi.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=425&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/262872/original/file-20190308-150700-1cu45mi.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=425&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/262872/original/file-20190308-150700-1cu45mi.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=534&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/262872/original/file-20190308-150700-1cu45mi.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=534&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/262872/original/file-20190308-150700-1cu45mi.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=534&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Usia partai dan popularitas online.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Penulis</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Studi kami juga menemukan bahwa usia partai tidak menentukan popularitas partai di dunia maya. Gerindra yang didirikan hanya 10 tahun yang lalu telah menjadi partai yang paling populer di semua media sosial, kecuali YouTube. </p>
<p>Partai yang lebih tua seperti Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) jauh tertinggal dalam mengumpulkan dukungan online. </p>
<p>Akun Golkar di Twitter yang dilaporkan kepada KPU sebagai akun resmi media sosial partai selama kampanye 2019, sebagai contoh, ada empat; @2DPP-Golkar, @fraksigolkar, @GoJo2019, dan @GolkarBalitbang. Akun @2DPP-Golkar <a href="https://twitter.com/search?q=%402DPP-Golkar%20&src=typd">tidak dapat ditemukan</a>, sementara <a href="https://twitter.com/fraksigolkar">@fraksigolkar</a> memiliki 10.200-an pengikut. Selanjutnya <a href="https://twitter.com/GoJo2019">@GoJo2019</a>, yang merupakan akun Relawan Golkar Jokowi, hanya memiliki 200-an <em>followers</em>. Dan <a href="https://twitter.com/GolkarBalitbang">@GolkarBalitbang </a> diikuti oleh 881 akun di Twitter. </p>
<p>Kondisi serupa terjadi di kubu PPP. Di jagad Twitter, partai ini mengusung 2 akun; <a href="https://twitter.com/DPP_PPP">@DPP_PPP</a> dengan 38.100-an pengikut, dan <a href="https://twitter.com/sahabatgusrommy">@sahabatgusrommy</a> yang hanya memiliki 1.140 <em>followers</em>. Demikian pula, PDI-P sebagai pemenang dalam pemilu 1999 dan 2014, popularitasnya di media sosial jauh di belakang partai yang lebih muda. </p>
<h2>Transisi digital</h2>
<p>Partai politik di Indonesia tampaknya masih meraba-raba dalam penggunaan media digital sebagai alat untuk menyebarkan informasi. Para pengurus partai memiliki prioritas yang berbeda-beda terkait peningkatan popularitas virtual mereka. </p>
<p>Beberapa partai menganggap popularitas di Facebook atau Twitter tidak terlalu penting. Atau, mereka belum benar-benar memahami strategi berkampanye di media sosial. </p>
<p>Partai Demokrat adalah salah satu partai yang lemah dalam strategi berkampanye di internet. Partai ini menggunakan “kode” baru yang berasal dari nomor urut partai untuk Pemilu 2019: 14. </p>
<p>Kode yang mereka gunakan adalah “S14P” (dibaca: “siap”) dan mereka membuat akun-akun media sosial yang sama sekali baru dengan menggunakan kode ini. Sepertinya manajer media sosial Partai Demokrat ingin kode ini menunjukkan pada warganet bahwa Demokrat siap untuk memenangkan pesta demokrasi 2019. Menariknya, partai ini menjalankan akun resmi lain di Twitter sejak 2011 (@PDemokrat) dengan sekitar 88.500 pengikut dan 10.600 tweets. Sementara, semua akun media sosial yang mereka daftarkan ke KPU menggunakan kode “S14P” dan hanya memiliki segelintir pengikut. </p>
<p>Kami menilai keputusan untuk mendaftarkan akun media sosial yang sama sekali baru adalah kurang tepat. Ini menunjukkan elit Demokrat tidak memperhatikan dengan saksama strategi membangun isu dan menjaring pemilih via internet. </p>
<p>Untuk mempertahankan keterlibatan publik dan untuk meningkatkan loyalitas mereka kepada partai, akun media sosial harus selalu konsisten sehingga jumlah pengikut atau <em>likes</em> dapat terus tumbuh. </p>
<p>Salah strategi ini ternyata tidak unik di Demokrat saja. Partai-partai lain, seperti Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), mendaftarkan banyak akun baru di media sosial kepada KPU sebagai media sosial resmi mereka untuk pemilu 2019 daripada mempertahankan akun yang lebih mapan dan lebih populer.</p>
<h2>Kursi di parlemen</h2>
<p>Setelah memantau popularitas partai-partai politik di media sosial, kami kemudian memeriksa apakah ada hubungan antara kursi partai di parlemen hasil Pemilu 2014 dan popularitas mereka di media sosial. </p>
<p>Kami menggunakan paket <em>corrplot</em> yang tersedia di aplikasi perangkat lunak <a href="https://www.rstudio.com/">RStudio</a> untuk memvisualisasikan matriks korelasi antara kursi partai dan usia akun media sosial mereka. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/262873/original/file-20190308-150693-74n5jw.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/262873/original/file-20190308-150693-74n5jw.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/262873/original/file-20190308-150693-74n5jw.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=425&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/262873/original/file-20190308-150693-74n5jw.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=425&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/262873/original/file-20190308-150693-74n5jw.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=425&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/262873/original/file-20190308-150693-74n5jw.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=534&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/262873/original/file-20190308-150693-74n5jw.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=534&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/262873/original/file-20190308-150693-74n5jw.gif?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=534&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Matriks korelasi.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Penulis</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Gambar di atas menunjukkan bahwa kursi partai hanya memiliki korelasi kuat dan positif (0,67) dengan usia akun Facebook. Kami menyimpulkan ada korelasi antara usia akun medsos dengan jumlah kursi di parlemen hasil pemilu 2014. Semakin tua umur akun Facebook sebuah partai, sebagai contoh, kecenderungannya adalah partai tersebut memiliki kursi yang semakin banyak di parlemen.</p>
<p>Sementara, usia partai memiliki korelasi yang lemah dan negatif dengan popularitas di Facebook / F_L (-0,22) dan YouTube / Y_S (-0,21). Kami berkesimpulan partai yang lebih tua kurang populer di Facebook dan YouTube dibandingkan dengan partai yang lebih muda.</p>
<p>Hal penting lain dari temuan kami adalah bahwa popularitas partai di berbagai platform media sosial memiliki korelasi yang kuat dan positif. Jumlah <em>likes</em> di Facebook sejalan dengan volume pengikut Instagram / I_F (0,80). Hal yang sama berlaku dengan jumlah pelanggan YouTube dan pengikut Twitter, dengan skor 0,75.</p>
<p>Menariknya, usia akun Facebook milik partai dan jumlah <em>likes</em> memiliki skor korelasi yang lebih lemah (0,44) dibandingkan dengan usia akun Instagram / I_A dan pengikut Instagram (0,76) atau di YouTube (0,7) dan Twitter (0,67). </p>
<p>Dengan demikian, riset ini menyimpulkan pola popularitas partai di internet berbeda-beda tergantung pada jenis media sosial. Facebook tampaknya memiliki kecepatan yang lebih rendah dibandingkan dengan platform media sosial lainnya dalam hal mendulang minat atau dukungan publik.</p>
<h2>Prediksi hasil pemilu</h2>
<p>Riset tentang penggunaan media sosial oleh partai politik di Indonesia masih akan terus berkembang, mengikuti kian bergeliatnya pemanfaatan jalur ini sebagai wahana berkampanye dan mendulang dukungan. Dengan volume pengguna internet yang terus meningkat, sangat besar peluang bagi partai dan politikus untuk menggunakan akun-akun sosial mereka demi menguatkan profil politik.</p>
<p>Namun, di sisi lain, sebagaimana riset kami menunjukkan, untuk saat ini mayoritas partai di Indonesia belum memanfaatkan internet sebagai medium berkampanye dan merebut dukungan massa. Dan popularitas di jagad maya belum secara akurat diterjemahkan sebagai tingkat kesuksesan elektoral.</p>
<p>Dengan kata lain, kami menemukan bahwa media sosial di Indonesia–baik oleh partai, politikus, dan pemilih–belum terlalu signifikan digunakan sebagai wadah aktivisme politik (<em>political activism</em>). </p>
<p>Itu sebabnya, keriuhan di media sosial belum benar-benar bisa menjadi tolak ukur keberhasilan partai menggiring isu dan mendulang dukungan suara di pemilu. Interaksi di media sosial di Indonesia belum bisa digunakan untuk memprediksi hasil kontestasi politik, baik itu legislatif maupun eksekutif.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/111991/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sudahkah partai-partai di Indonesia memaksimalkan potensi media sosial untuk mendulang pemilih di pemilu?Ella S. Prihatini, Endeavour scholar and PhD candidate, The University of Western AustraliaHadrian Geri Djajadikerta, Associate Dean Research, School of Business and Law, Edith Cowan UniversityMuhammad Sigit Andhi Rahman, Lecturer in International Relations, President UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1003172018-07-20T08:36:58Z2018-07-20T08:36:58ZRiset tunjukkan sepertiga pemilih Indonesia terima suap saat pemilu<p>Praktik membagikan uang atau barang untuk mempengaruhi seseorang agar memilih seorang calon legislator atau calon presiden dalam pemilihan umum (pemilu) – atau yang biasa disebut sebagai praktik jual beli suara atau politik uang – begitu merajalela di Indonesia.</p>
<p><a href="http://bellschool.anu.edu.au/news-events/events/5471/buying-votes-indonesia-partisans-personal-networks-and-winning-margins">Penelitian doktoral saya </a> mengenai praktik jual beli suara di Indonesia menemukan bahwa satu di antara tiga orang pemilih terpapar oleh praktik ini pada pemilu 2014. Hal ini menempatkan Indonesia ke dalam peringkat ketiga negara di dunia yang paling banyak melakukan politik uang ketika pemilu. </p>
<p>Saya mengolah data dari berbagai macam survei yang dilakukan antara tahun 2006 dan 2016 dengan jumlah responden lebih dari 800.000 orang di seluruh Indonesia.</p>
<p>Artikel saya berusaha menjawab mengapa praktik jual beli suara begitu mengakar di Indonesia meski dianggap tabu oleh masyarakat dan fakta bahwa praktik ini hanya membawa pengaruh sedikit pada hasil pemilu.</p>
<h2>Praktik jual beli suara: masa lalu dan masa sekarang</h2>
<p>Praktik jual beli suara sudah ada sejak pemilu pertama Indonesia pada 1955. Salah satu partai tertua Indonesia, Partai Nasional Indonesia (PNI), yang didirikan oleh Presiden Soekarno, membagikan <a href="https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/herbert-feith-indonesia-election-of-1955.pdf">uang kepada tokoh-tokoh pada tingkat lokal</a> agar bisa memenangkan pemilu.</p>
<p>Pada saat masa Orde Baru, membeli suara pemilih <a href="https://www.amazon.com/Elections-Indonesia-Order-Beyond-Democracy/dp/0700713522">dianggap bukan strategi yang populer </a>karena partai politik pada saat itu melihat tidak ada untungnya melakukan praktik ini dengan sistem pemilu yang selalu memenangkan partai pemerintah, yaitu Golkar. Meskipun demikian, Golkar beberapa kali dilaporkan
<a href="https://www.uvic.ca/research/centres/capi/assets/docs/Schiller_Indonesian_Elections.pdf">membagikan uang</a> untuk memobilisasi dukungan massa. </p>
<p>Praktik jual beli suara <a href="http://repec.giga-hamburg.de/pdf/giga_06_wp37_ufen.pdf">hampir tidak terdengar pada pemilu 1999 </a>, ketika Indonesia baru berubah menjadi negara demokrasi setelah runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Saat itu, kompetisi terjadi antar partai, dan bukan antar kandidat, yang menurut saya berperan penting dalam mendorong maraknya praktik jual beli suara ini. </p>
<p>Saya perhatikan praktik jual beli suara mulai berkembang pada pemilu 2009, setelah pemerintah memperbolehkan individual kandidat untuk berkompetisi di dalam pemilu. Fakta bahwa setiap kandidat bersaing tidak hanya dengan calon lainnya dari partai yang berbeda tapi juga bersaing dengan kandidat lainnya dalam satu partai memperparah keberadaan praktik jual beli suara. </p>
<p>Praktik jual beli suara masih ada sampai sekarang. Dalam penelitian saya di lapangan selama 13 bulan pada 2013 dan 2014, saya menemukan kebanyakan para kandidat ini sangat terbuka dalam mendiskusikan berapa banyak uang yang mereka bagikan kepada para pemilih dan bagaimana mereka terlibat dalam praktik jual beli suara ini. </p>
<p>Praktik jual beli suara ini ada di mana-mana sehingga seorang mantan anggota parlemen pernah menantang saya dalam sebuah wawancara agar saya memotong jarinya jika saya bisa menemukan anggota parlemen yang terpilih tanpa membeli suara pemilih. </p>
<p>Meskipun jumlah kasus praktik jual beli suara di Indonesia tinggi, tidak banyak yang mengetahui berapa cakupannya dan bagaimana praktik ini mempengaruhi hasil pemilu. Riset saya berusaha menjawab kedua pertanyaan ini. </p>
<p>Menggunakan data survei yang dikumpulkan setelah pemilu 2014, saya menemukan bahwa setidaknya 33% dari pemilih pernah ditawari suap. Hal ini berarti bahwa dari 187 juta total jumlah pemilih, hampir 62 juta orang menjadi target praktik jual beli suara. Angka ini menempatkan Indonesia di nomor ketiga negara-negara di dunia yang melakukan praktik jual beli suara, setelah Uganda dan Benin. </p>
<h2>Menyebar melawan semua norma dan hukum</h2>
<p>Di kebanyakan negara, termasuk Indonesia, praktik jual beli suara dianggap ilegal dan tabu oleh masyarakat. </p>
<p><a href="http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt59ba5511ab93b/node/534/undang-undang-nomor-7-tahun-2017">Undang-Undang Pemilu yang baru saja disahkan</a> menganggap praktik ini sebagai sebuah bentuk kejahatan. Hukuman maksimal bagi para pelaku adalah denda sebesar Rp48 juta dan empat tahun penjara. </p>
<p>Orang yang menerima suap untuk memilih calon tertentu juga mendapat label negatif dari masyarakat karena dianggap tidak dapat melaksanakan mandat demokrasi yang telah diberikan. </p>
<p>Menyadari bahwa praktik jual beli suara bukanlah praktik yang lazim di kalangan masyarakat, saya berasumsi bahwa akan sulit bagi saya untuk menanyakan topik ini kepada responden karena kemungkinan besar mereka akan berbohong karena takut dihukum dan juga diasingkan secara sosial. </p>
<p>Berdasarkan asumsi tersebut, saya kemudian melakukan sebuah survei eksperimen yang diharapkan dapat mendorong pemilih untuk memberikan jawaban yang lebih jujur. Berbeda dengan survei biasanya, survei saya menggunakan seperangkat pertanyaan terselubung dan tidak langsung yang tidak akan mengintimidasi responden agar mereka bisa berkata jujur. </p>
<p>Survei yang saya kembangkan ini berdasarkan metode yang dilakukan di Nikaragua dan Libanon yang dibuat untuk mengantisipasi ketika responden berbohong mengenai fakta bahwa mereka disuap. </p>
<p>Ternyata hasil riset saya menunjukkan bahwa asumsi saya di atas salah. Baik menggunakan survei biasa maupun survei eksperimen, keduanya menunjukkan bahwa pemilih Indonesia secara terbuka mengakui bahwa mereka menerima suap untuk memilih kandidat tertentu. Hal ini menandakan bahwa praktik jual beli suara di Indonesia tidaklah setabu seperti yang diperkirakan sebelumnya. </p>
<p>Pada masa kampanye pemilu 2014, saya menjadi saksi bagaimana istilah semacam NPWP dan golput menjadi begitu populer di kalangan para pemilih. NPWP yang biasanya merupakan singkatan dari Nomor Pokok Wajib Pajak, diplesetkan menjadi <em>Nomer Piro, Wani Piro</em>, yang diambil dari bahasa Jawa yang artinya menanyakan kepada kandidat, mereka berani bayar berapa agar pemilih memilih mereka. </p>
<p>Sementara itu, golput yang biasanya merujuk pada pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya, saat itu diplesetkan menjadi “golongan penerima uang tunai”.</p>
<h2>Meski dampaknya kecil, jumlah kasus tetap banyak</h2>
<p>Meskipun praktik jual beli suara banyak ditemukan di Indonesia, dampaknya pada hasil pemilu tergolong rendah. Penelitian saya menunjukkan bahwa praktik jual beli suara ini hanya mempengaruhi sekitar 11% dari total hasil suara. </p>
<p>Saya menawarkan dua penjelasan mengapa hal ini bisa terjadi. Pertama, kandidat salah target. Penelitian saya menunjukkan bahwa bukannya menargetkan pemilih loyal, para calon justru banyak menyasar pemilih yang tidak terikat yang belum tentu akan memberikan suara mereka. </p>
<p>Pemilih loyal, yang jumlahnya terbatas (hanya 15% dari jumlah seluruh pemilih), itu juga diperebutkan oleh banyak kandidat yang bersaing, sehingga membuat mereka sulit untuk disasar. </p>
<p>Kedua, kecenderungan para tim sukses (broker) untuk meraup keuntungan dari kandidat dengan membesar-besarkan jumlah pemilih loyal juga mengakibatkan mengapa dampak praktik jual beli suara begitu rendah. Banyak pemilih yang disuap bukanlah pemilih yang loyal terhadap kandidat. Pemilih ini mungkin menerima duitnya, tapi mereka memilih calon yang lain. </p>
<p>Selain itu, banyak tim sukses yang bahkan bekerja untuk beberapa kandidat, termasuk yang berasal dari partai politik yang berbeda, yang kemudian memungkinkan terjadinya pembelotan besar-besaran. </p>
<p>Namun, jika praktik jual beli suara terbukti tidak efektif, mengapa masih banyak ditemui? </p>
<p>Dalam studi ini, saya telah menghitung bahwa rata-rata margin kemenangan yang membedakan seorang kandidat yang lolos dengan yang tidak, hanya 1,65%. </p>
<p>Jadi, jika praktik jual beli suara ternyata bisa mempengaruhi hingga 11%, tidak heran jika banyak kandidat politik masih menggunakan strategi ini karena praktik ini mungkin saja memberi mereka kemenangan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/100317/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Burhanuddin Muhtadi menerima beasiswa dari Australian Awards Scholarship (AAS) untuk program PhD-nya. Dia juga mendapat dana AAS; the Australian National University; Money Politics in Southeast Asia Project, proyek riset kolaboratif tentang politik uang; dan juga kantor dimana dia pernah bekerja, Indikator and Lembaga Survei Indonesia, untuk riset PhDnya.</span></em></p>Praktik jual beli suara sangat mengakar di Indonesia disamping penolakan dari masyarakat dan fakta bahwa praktik ini hanya sedikit mempengaruhi hasil pemilihan.Burhanuddin Muhtadi, Lecturer, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah JakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/922792018-02-26T10:18:36Z2018-02-26T10:18:36ZPolarisasi politik tak melulu buruk—asalkan dua syarat terpenuhi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/207472/original/file-20180222-152351-b1vp8l.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=32%2C6%2C2122%2C1414&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kecenderungan polarisasi politik di Indonesia efek dari kampanye ketat dan brutal selama pemilihan presiden (Pilpres) 2014 lalu antara Presiden Joko Widodo (kiri) dan Prabowo Subianto. </span> <span class="attribution"><span class="source">REUTERS/Darren Whiteside/Beawiharta</span></span></figcaption></figure><p>Polarisasi politik di masyarakat, saat warga terbelah ke dalam dua kutub yang berseberangan atas sebuah isu, kebijakan, atau ideologi, telah membentuk wajah politik Indonesia belakangan ini. </p>
<p>Kecenderungan itu merupakan efek dari kampanye ketat dan brutal selama pemilihan presiden (pilpres) 2014 lalu antara Joko Widodo (Jokowi) yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Prabowo Subianto, mantan jenderal di era Soeharto yang mendirikan Partai Gerindra. </p>
<p>Tren polarisasi itu berlanjut pada pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017, dan tampaknya akan berlanjut pada pilpres 2019 nanti jika koalisi partai politik yang bertarung tidak banyak berubah.</p>
<p>Ada kekhawatiran besar bahwa menguatnya polarisasi politik akan merusak kepercayaan (<em>trust</em>) di masyarakat. Sikap saling percaya merupakan elemen dasar dari modal sosial bagi demokrasi. </p>
<p><a href="https://books.google.com/books?id=J93o05MH3v8C&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false;%20https://www.jstor.org/stable/pdf/3088895.pdf?refreqid=excelsior%3A7827474c172d451a8d964058887d54bd">Banyak penelitian telah membuktikan</a> bahwa sikap saling percaya antarwarga adalah fondasi mikro yang akan mendorong anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Lewat berbagai saluran sukarela, partisipasi politik itu pada akhirnya akan menyuburkan demokrasi. </p>
<p>Karena itu, terkikisnya sikap saling percaya warga dikhawatirkan akan berpengaruh pada keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik. Rendahnya partisipasi politik, seperti rendahnya penggunaan hak pilih dan keterlibatan warga dalam kampanye maupun pengambilan kebijakan publik, berpengaruh pada <a href="https://books.google.co.id/books/about/Participation_in_America.html?id=9K5fdvfmGREC&redir_esc=y">rendahnya mutu demokrasi</a>. </p>
<p>Apakah polarisasi politik benar-benar mengkhawatirkan?</p>
<h2>Polarisasi massa</h2>
<p>Politik Amerika Serikat adalah contoh elite dan warganya terbelah antara kaum liberal dan konservatif, Partai Republik dan Partai Demokrat. Inggris adalah contoh lain yang mengalami polarisasi politik dalam spektrum kiri-kanan, terutama direpresentasikan oleh Partai Buruh dan Partai Konservatif. </p>
<p>Namun, polarisasi tidak hanya dibentuk oleh ideologi. Menurut ilmuwan politik <a href="https://books.google.com/books?id=B82_x2v_CGQC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false">James Q. Wilson (2012)</a>, komitmen kuat terhadap kandidat dalam pemilu dapat berpengaruh pada terbentuknya polarisasi di kalangan pemilih.</p>
<p>Polarisasi politik adalah fenomena baru dalam perpolitikan Indonesia. Setidaknya, sejak rezim Soeharto menjalankan politik deideologisasi dan massa mengambang, di antaranya lewat kebijakan partai politik tidak boleh memiliki cabang di bawah tingkat kabupaten, indoktrinasi wajib Pancasila, dan undang-undang yang mewajibkan organisasi masyarakat berasas tunggal Pancasila, perdebatan dan kontestasi ideologis atas sebuah kebijakan absen dalam politik kita. </p>
<p>Keterbukaan di era demokrasi, sesudah lengsernya Soeharto, tak serta merta mendorong debat ideologis di masyarakat. Presidensialisme multi-partai yang kita anut pasca-reformasi justru mendorong munculnya pragmatisme politik: partai-partai politik berkoalisi berdasarkan kepentingan jangka pendek, seperti memperoleh kursi kabinet, tanpa mempertimbangkan ideologi. </p>
<p>Dalam banyak kasus, polarisasi umumnya merupakan perpanjangan perbedaan garis politik yang tumbuh di kalangan elite di legislatif, yang kemudian mempengaruhi perilaku politik warga. Misalnya, perbedaan posisi elite Partai Demokrat dan Republik di Amerika atas isu aborsi pada era 1990-an membuat publik Amerika terbelah dan mengadopsi posisi elite yang mereka dukung.</p>
<p>Namun, dalam politik mutakhir Indonesia, polarisasi lebih merupakan fenomena populer yang berkembang di tingkat massa, ketimbang elite politik. </p>
<p>Kecenderungan non-ideologis politik kepartaian Indonesia membuat elite politik bisa bermanuver ke segala arah. Umumnya mereka bergerombol di kutub koalisi yang berkuasa. Tentu banyak motifnya, tapi mudah untuk menemukan dorongan keuntungan ekonomi dan politik di baliknya. </p>
<p>Misalnya, tidak lama setelah Jokowi memenangkan kursi presiden pada pilpres 2014, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan mengubah haluan koalisi menjadi pendukung Jokowi, yang membuat mereka memperoleh kursi di kabinet. Partai-partai ini meninggalkan Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera di kubu oposisi. </p>
<p>Perubahan koalisi ini tidak serta merta diikuti pendukungnya. Komitmen pemilih terhadap kandidat yang mereka dukung tampak lebih kuat ketimbang pragmatisme elite. </p>
<p>Komentar dan perdebatan politik para pengguna media sosial memperlihatkan jelas bagaimana polarisasi politik terus berlangsung. Para pendukung masing-masing calon presiden pada pilpres 2014 lalu tetap mempertahankan sikap antagonisme mereka hingga kini.</p>
<h2>Partisipasi politik</h2>
<p><a href="https://ir.uiowa.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=3391&context=etd;">Studi terbaru</a> tentang polarisasi politik mengungkap bahwa polarisasi justru mendorong peningkatan partisipasi politik masyarakat. <a href="https://books.google.com/books?id=LVHF3roJPU0C&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false">Sarjana politik Alan Abramowitz (2010)</a>, misalnya, menemukan bukti selama pemilihan presiden Amerika pada 2004 dan 2008, para pemilih termotivasi oleh polarisasi politik yang terjadi saat itu. Jumlah pemilih yang lebih tinggi dan keterlibatan dalam kegiatan kampanye adalah hasilnya. Abramowitz menyimpulkan bahwa mereka yang berpartisipasi adalah mereka yang terpolarisasi. </p>
<p>Banyak yang menyaksikan bahwa pilpres Indonesia 2014 telah membelah banyak ikatan keluarga dan teman. Namun, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih mencapai 70%. Angka partisipasi itu cukup tinggi dibandingkan misalnya pengguna hak pilih di Amerika pada pilpres 2016 yang hanya 55%. </p>
<p>Begitu juga dengan pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta. Jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih dalam pilgub DKI 2017 mencapai <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Gubernur_DKI_Jakarta_2017#cite_note-48">78%</a> sementara <a href="https://kpujakarta.go.id/file_data/Hasil%20Penghitungan%20Suara%20Provinsi%20DKI%20Jakarta%20Pemilu%20Gubernur%20dan%20Wakil%20Gubernur%20Tahun%202012.pdf">pada 2012 66.7%</a>** </p>
<p>Selain itu, ada fakta penting lain yang muncul: banyak orang menjadi lebih sadar akan politik, ingin tahu tentang kandidat dan kebijakan yang mereka tawarkan, dan berpartisipasi dalam melakukan kampanye untuk kandidat yang mereka dukung. Singkatnya, polarisasi telah mengaktifkan mereka yang sebelumnya tidak terlibat dalam politik untuk lebih aktif dalam politik.</p>
<p>Para pemilih juga menjadi lebih aktif mengawasi kinerja pemerintah. Sementara pendukung Presiden Jokowi terus mendukung setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah, mereka yang sebelumnya tidak mendukungnya terus-menerus mengkritik setiap kebijakan yang diambil pemerintah. </p>
<p>Dengan bantuan media sosial, mudah bagi kedua kelompok untuk menyebarkan opini terkait kebijakan yang mereka setujui atau tidak setujui. Efeknya, pemerintah tidak hanya dituntut lebih transparan dan akuntabel, namun juga harus memiliki justifikasi yang rasional untuk tiap kebijakannya jika tidak ingin dikritik habis-habisan.</p>
<h2>Posisi kandidat</h2>
<p>Dampak lain dari menguatnya polarisasi massa adalah para kandidat terdorong untuk membedakan kebijakan yang mereka tawarkan kepada para pemilih. Bagi kandidat, itu penting untuk mempertahankan pendukung setia mereka. Bagi pemilih, polarisasi semacam itu akan membantu mereka memilih kandidat yang tepat. </p>
<p><a href="https://www.annualreviews.org/doi/abs/10.1146/annurev.polisci.9.070204.105138">Geoffrey C. Layman dkk</a> menegaskan bahwa perbedaan kebijakan yang lebih jelas antara kandidat akan memungkinkan warga untuk melihat perbedaan posisi kandidat atas suatu kebijakan, sehingga mendorong mereka memberi suara berdasarkan kebijakan. </p>
<p>Pendeknya, polarisasi politik tak melulu berefek buruk. Ia justru berpotensi meningkatkan partisipasi pemilih dan memperkuat dukungan partisan para kandidat. </p>
<p>Tentu saja, polarisasi politik akan memperkuat demokrasi dengan dua kondisi. Pertama, para elite tidak terdorong untuk terus mengeksploitasi politik identitas dan menggunakan kampanye negatif untuk menyerang kelemahan lawan. Upaya-upaya tersebut, seperti tampak pada pilpres 2014 dan pemilihan gubernur Jakarta 2017 lalu, hanya melahirkan kompetisi yang tidak sehat. </p>
<p>Kedua, publik tidak terus-menerus saling menebar kabar bohong dan ujaran kebencian lewat media sosial. Ini kontraproduktif bagi proses demokrasi. Penegakan hukum oleh aparat kepolisian boleh jadi satu cara mengurangi penyebaran kabar bohong dan ujaran kebencian. Kita berharap media massa, sebagai salah satu pilar demokrasi, juga institusi pendidikan dan keagamaan, dapat turut menanamkan kesadaran publik tentang perlunya bersikap etis dan kritis dalam politik. Bukan malah sebaliknya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/92279/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Testriono tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Asalkan eksploitasi politik identitas dihindari dan publik menahan diri dari menyebar kabar bohong, polarisasi bisa bermanfaat.Testriono, Researcher at the Center for the Study of Islam and Society (PPIM), Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah JakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/908252018-02-05T10:48:07Z2018-02-05T10:48:07Z“Selera politik” pemilih muda Indonesia—partai lama, capres sipil<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/204338/original/file-20180131-157466-hw7nct.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C4%2C2824%2C1727&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Anak muda berjalan melewati billboard di salah satu mall di Jakarta. </span> <span class="attribution"><span class="source">Reuters/Beawiharta</span></span></figcaption></figure><p>Dalam Pemilu 2014, pemilih muda di Indonesia—mereka yang memiliki hak pilih dan berusia 17-25 tahun—mencapai hampir <a href="http://essay.utwente.nl/65694/">30%</a> dari total pemilih. Jumlah mereka yang sangat signifikan ini menjadikan kaum muda Indonesia sebagai salah satu faktor penentu kalah-menang partai-partai yang akan beradu di pemilu tahun depan. </p>
<p>Namun, preferensi politik pemilih muda masih kurang terpetakan dengan baik. <a href="http://nasional.kompas.com/read/2014/04/04/1513405/Skeptis.pada.Parpol.Mayoritas.Pemilih.Muda.Berpotensi.Golput">Sebuah kajian</a> pada tahun 2014 memperkirakan generasi muda Indonesia cenderung apatis terhadap perkembangan politik dan tidak se-nasionalistik generasi lain di Tanah Air. Lebih dari 53% mereka yang berpartisipasi dalam survei pra-Pemilu 2014 itu mengaku akan memilih langkah golput. </p>
<p>Pemilih muda Indonesia adalah golongan yang memiliki singgungan dengan politik lewat <a href="https://dr.ntu.edu.sg/handle/10220/19846">cara yang agak berbeda</a> dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Generasi baru ini memiliki sedikit memori kolektif tentang Orde Lama dan Orde Baru. Mereka biasa mengakses internet untuk mencari informasi dan haus akan gelombang perubahan.</p>
<p>Sebagai peneliti ilmu politik dengan minat pada politik pemilu saya berusaha mencari tahu seperti apa sebetulnya “selera politik” anak muda Indonesia melalui survei online yang saya lakukan pada bulan Oktober-Desember 2017. </p>
<p>Saya menemukan kebanyakan pemilih muda penganut kesetaraan gender—mereka tidak merasa pemimpin laki-laki lebih baik dari perempuan. Mereka juga tidak ideologis, dan sangat independen dalam menentukan pilihan politik mereka. Mereka tidak mau dipengaruhi keluarga maupun teman. </p>
<p>Pemilih muda lebih memilih partai-partai yang sudah lama berdiri ketimbang partai baru. Mereka juga lebih senang pemimpin dari kalangan sipil ketimbang militer. </p>
<h2>Preferensi partai politik</h2>
<p>Sebanyak 235 orang responden berpartisipasi dalam riset yang dibantu penyebarluasannya lewat kontak para mahasiswa dan dosen di berbagai universitas di Indonesia. </p>
<p>PDI-Perjuangan keluar sebagai peringkat pertama partai preferensi pemilih muda. Terhadap pertanyaan “Bila esok adalah hari Pemilu, saya akan memilih partai politik apa?”, 33,33% responden menjawab PDI-Perjuangan, partai yang mendominasi peraihan suara di Pemilu 2014. </p>
<p>Partai yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri itu keluar sebagai <a href="http://www.kpu.go.id/index.php/pages/detail/2008/11/Pemilu-1999">jawara pada 1999</a> dengan meraup 33,74% suara sah dan tahun 2014 sebanyak <a href="http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/05/140509_rekapitulasi_kpu">18,95 persen</a>. </p>
<p>Partai lain yang diminati oleh pemilih muda adalah Gerindra (15,81%) dan Demokrat (12,39%). Temuan lain yang menarik adalah 13,25% responden memilih untuk abstain. Artinya, sebagian pemilih muda masih berpotensi menjadi “massa mengambang” di Pemilu 2019. </p>
<p>Apa saja faktor yang menjadi pertimbangan pemilih muda dalam memilih partai? Survei menunjukkan beberapa temuan menarik. Sebanyak 61,1% responden riset mengaku memilih partai politik berdasarkan sosok ketua umumnya. Meski demikian, tercatat 13,2% memilih menjawab sangat tidak setuju bila pilihan terhadap partai ditentukan oleh figur pemimpinnya. </p>
<p>Sebanyak 77% responden menyatakan dukungan terhadap partai yang memiliki rekam jejak baik. Namun temuan ini tidak dapat menjelaskan lebih rinci rekam jejak yang seperti apa yang dianggap baik dan menarik minat pemilih muda. </p>
<p>Unsur ideologi partai politik ternyata tidak terlalu mendominasi pertimbangan pemilih muda Indonesia. Hal ini terlihat dari jumlah responden yang setuju dan tidak setuju dengan pernyataan “Saya memilih partai politik berdasarkan ideologi tertentu, misalnya partai Islam atau partai nasionalis” terbagi 50-50.</p>
<p>Temuan ini sedikit banyak menopang kajian <a href="https://tompepinsky.files.wordpress.com/2017/06/tjd2014.pdf">Tom Pepinsky (2014)</a> yang menengarai partai Islam di Indonesia tidak bisa mendulang suara mayoritas pemilih, tidak seperti partai-partai Islam di Tunisia dan Mesir. Pemilih muda tidak memandang ideologi Islam atau nasionalis sebagai faktor pembeda yang sangat tegas di antara partai-partai yang berlaga di Pemilu.</p>
<p>Terkait dengan persepsi pemilih muda terhadap kepemimpinan perempuan di dunia politik, riset mendapati 59% responden tidak setuju dengan pernyataan “Laki-laki lebih mumpuni daripada perempuan untuk menjabat sebagai ketua partai politik”. Sebanyak 31% responden bahkan menjawab sangat tidak setuju atas pernyataan tersebut. </p>
<p>Tingkat penerimaan terhadap kesetaraan gender dalam hal kepemimpinan di dunia politik ini berkebalikan dari survei <a href="http://www.worldvaluessurvey.org/wvs.jsp">World Value Survey</a> pada tahun 1999 dan 2005, di mana sebanyak 58% dan 59% responden setuju dengan pernyataan “Laki-laki adalah pemimpin politik yang lebih baik daripada perempuan”. Temuan ini mengindikasikan bahwa pemilih muda tidak selalu melihat pria sebagai politikus yang lebih hebat daripada perempuan. </p>
<p>Pemilih muda Indonesia yang terlibat dalam survei mayoritas meminati partai yang sudah lebih lama berdiri daripada partai yang relatif baru didirikan. Partai-partai baru hanya didukung oleh 31% responden, dan ini menunjukkan bahwa kharisma partai yang sudah lebih berpengalaman masih sangat kuat di benak pemilih. </p>
<p>Bila partai baru ingin berjaya di Pemilu 2019, mereka harus berusaha lebih keras untuk menggarap kelompok pemilih muda karena survei ini mengindikasikan dukungan terbesar tetap diarahkan kepada partai yang mengantungi “jam terbang” yang lebih banyak.</p>
<h2>Calon presiden</h2>
<p>Dalam riset ini, mayoritas responden (58,3%) mengaku mendukung calon presiden (capres) yang dinominasikan oleh partai yang dipilih untuk pemilu legislatif.</p>
<p>Pemilih muda Indonesia masih melihat faktor partai politik sebagai salah satu yang berpengaruh dalam menentukan pemilu presiden. Hal ini mengindikasikan bahwa partai dan capres masih sangat mempengaruhi, dan penting untuk diselami lebih lanjut apakah preferensi ini mencair bila capres diajukan oleh koalisi partai politik. </p>
<p>Pemilih muda Indonesia yang disurvei juga menunjukkan preferensi yang lebih kuat terhadap capres dengan latar belakang sipil, bukan militer. Sebanyak 57,5% responden mengaku tidak setuju atau sangat tidak setuju dengan pernyataan “Presiden sebaiknya memiliki latar belakang militer”. </p>
<p>Temuan ini tidak terlalu mengejutkan karena pemilih muda memang cenderung melihat capres yang kuat bukan hanya mereka yang pernah berkarier di sektor militer. Capres sipil justru memiliki peluang yang lebih besar untuk menang di alam demokrasi Indonesia saat ini, berkaca dari kesuksesan Joko Widodo di 2014 saat mengalahkan pesaingnya yang memiliki pengalaman di militer, Prabowo Subianto. </p>
<h2>Lingkar pengaruh</h2>
<p>Dalam hal “selera” memilih partai politik, calon legislatif (caleg), atau calon presiden, kebanyakan pemilih muda Indonesia yang terlibat dalam survei ini mengaku keputusan mereka tidak dipengaruhi oleh orang tua dan saudara kandung serumah. </p>
<p>Nyaris 70% responden memilih tidak setuju atau sangat tidak setuju terhadap pernyataan “Saya memilih caleg dan capres yang sama dengan pilihan keluarga”. </p>
<p>Mereka yang memilih sangat tidak setuju mencapai 35%, sementara mereka yang mengaku sangat setuju adalah 3,4%. Hasil ini menunjukkan bahwa generasi muda cenderung mandiri dalam memilih, tidak ingin mengikuti preferensi lingkar pengaruh terdekat.</p>
<p>Grafik serupa namun lebih tajam lagi tingkat kontrasnya terjadi di pernyataan yang menguji dampak pengaruh pertemanan terhadap keputusan memilih caleg atau capres di pemilu. Mereka yang sangat tidak setuju terhadap kalimat “Pilihan saya terhadap caleg dan capres dipengaruhi oleh teman” menembus 41%, sementara yang memilih sangat setuju hanyalah 1,7%. Dengan kata lain, pemilih muda cenderung sangat independen ketika memilih anggota legislatif dan presiden, tidak terlalu meniru teman sepergaulan.</p>
<p>Survei eksperimental terhadap pemilih muda di Indonesia ini menunjukkan beberapa temuan yang penting untuk dijadikan acuan strategi partai yang ingin menggarap serius kelompok yang merupakan 30% konstituen nasional. </p>
<hr>
<p><em>Artikel ilmiah mengenai penelitian di atas dapat diakses di <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0277539518300116">sini</a></em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/90825/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ella S. Prihatini tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Seorang peneliti ilmu politik mencari tahu “selera politik” anak muda Indonesia.Ella S. Prihatini, Endeavour scholar and PhD candidate, The University of Western AustraliaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.