tag:theconversation.com,2011:/au/topics/riset-42099/articlesRiset – The Conversation2024-03-28T05:29:25Ztag:theconversation.com,2011:article/2263682024-03-28T05:29:25Z2024-03-28T05:29:25ZCara baru yang efektif untuk deteksi cemaran BPA dalam kemasan plastik<hr>
<p><em>Universitas Islam Indonesia (UII) mendukung The Conversation Indonesia (TCID) dalam penerbitan siniar ini.</em></p>
<hr>
<p>Kehidupan modern sangat bergantung pada penggunaan kemasan makanan. Beberapa bahan yang sering digunakan adalah plastik dan berbagai jenis polimer, seperti polietilena tereftalat (PET), polivinil klorida (PVC), polietilena (PE), polipropilena (PP), polistirena (PS), polikarbonat (PC), dan melamin. </p>
<p>Bahan-bahan ini sering digunakan untuk mengemas makanan, terutama air minum dalam botol karena kombinasi menarik dari sifat mekanis, penyerapan kelembapan yang rendah, ketahanan, dimensi yang baik, dan stabilitas termalnya.</p>
<p>Salah satu bahan tambahan untuk membuat botol plastik adalah bisfenol-A (BPA). Senyawa ini dapat meningkatkan sifat mekanis seperti kekerasan, kejernihan, dan berat yang ringan. BPA juga dapat berfungsi sebagai stabilisator atau antioksidan untuk berbagai jenis plastik seperti PVC.</p>
<p>Namun, meskipun memiliki keuntungan tersebut, penggunaan BPA juga berdampak negatif terhadap kesehatan manusia karena BPA dalam botol plastik dapat terlepas dan terurai lebih cepat ketika terpapar langsung oleh sinar matahari atau panas. </p>
<p>Sebuah penelitian mengatakan, BPA yang terserap darah dalam dosis tinggi dapat memiliki efek serius pada organ manusia, seperti hati, serta dapat menyebabkan kanker payudara, kanker prostat, dan tumor.</p>
<p>Episode SuarAkademia terbaru ini mengulas <a href="https://doaj.org/article/2b82ac644756445a94bf4eb44740ac56">hasil riset Ganjar Fadillah, Dosen jurusan Kimia dari fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Islam Indonesia (UII), yang mempelajari langkah baru dalam mendeteksi keberadaan zat BPA</a>.</p>
<p>Ganjar mengembangkan sebuah sensor yang berasal dari <em><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0169433219328740#:%7E:text=Titanium%20dioxide%20(TiO2)%20nanorods,UV%20light%20for%20150%20min.">Ti02-nanorods</a></em>. Sensor ini diciptakan untuk memudahkan pengujian dalam melihat kandungan BPA yang ada dalam air.</p>
<p>Sensor yang dikembangkan Ganjar ini menyederhanakan pengukuran kandungan BPA dibandingkan cara pengukuran yang sudah ada sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan, sensor ini dapat menghasilkan pengukuran yang akurat dengan tambahan bantuan kecerdasan artifisial (AI) dan pengembangannya saat ini berbasis <em>smart phone</em> sehingga publik nantinya dapat dengan mudah mengetahui kandungan BPA dalam kandungan air atau bahan tertentu.</p>
<p>Ganjar juga sedang mengembangkan alat ukur kandungan BPA dalam air yang bekerja seperti <em>test pack</em> (alat deteksi kehamilan). Alat ini nantinya akan memudahkan masyarakat untuk mengetahui apakah air yang dikonsumsi mengandung BPA atau tidak.</p>
<p>Simak obrolan lengkapnya hanya di <em>SuarAkademia</em>–ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/226368/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Universitas Islam Indonesia (UII) mendukung The Conversation Indonesia (TCID) dalam penerbitan siniar ini. Kehidupan modern sangat bergantung pada penggunaan kemasan makanan. Beberapa bahan yang sering…Muammar Syarif, Podcast ProducerLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2262392024-03-21T06:34:15Z2024-03-21T06:34:15ZApakah ada 7.513 surel belum dibaca di ‘inbox'mu? Menurut riset, itu tidak bijaksana<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/583079/original/file-20240314-18-q0ect0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=60%2C13%2C2965%2C2018&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/email-inbox-phone-outdoors-list-new-2135776669">Tero Vesalainen/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Bagaimana caramu mengelola <em>email</em> (surel)? Apakah kamu jenis orang dengan “<a href="https://www.theguardian.com/technology/2021/oct/04/email-is-a-zombie-that-keeps-rising-from-the-dead-the-endless-pursuit-of-inbox-zero"><em>inbox</em> (kotak masuk) nol</a>”, atau apakah kamu sengaja membiarkan ribuan pesan belum dibaca?</p>
<p><a href="https://informationr.net/infres/article/view/604/326">Studi baru kami</a>, yang terbit di jurnal <a href="https://informationr.net/infres"><em>Information Research</em></a>, menemukan bahwa membiarkan semua surel tak terbaca di kotak masuk kemungkinan besar akan membuatmu tidak puas dengan pengelolaan catatan pribadimu.</p>
<p>Dalam riset berbasis survei eksplorasi, kami bertanya kepada peserta bagaimana mereka menangani catatan pribadi seperti tagihan, langganan, dan hal serupa lainnya,—di antaranya <a href="https://arxiv.org/abs/2204.13282">banyak dikirimkan melalui surel</a>.</p>
<p>Kami menemukan bahwa sebagian besar responden meninggalkan catatan elektronik mereka di surel. Hanya separuh item, seperti tagihan dan dokumen-dokumen, yang disimpan di lokasi lain, seperti komputer atau <em>cloud</em>. Namun, kotak masuk yang tidak teratur dapat menimbulkan masalah, termasuk tagihan hilang dan kehilangan jejak korespondensi penting.</p>
<h2>Risiko kehilangan jejak email</h2>
<p>Menerima tagihan, perpanjangan asuransi, dan dokumen rumah tangga lainnya melalui surel <a href="https://www.questline.com/blog/top-reasons-customers-choose-paperless-billing">menghemat waktu dan uang</a>, dan mengurangi penggunaan kertas yang tidak perlu.</p>
<p>Namun, ada risiko jika kamu tidak selalu memantau catatan elektronik. Responden dalam penelitian kami melaporkan masalah seperti <a href="https://www.dailytelegraph.com.au/news/nsw/drivers-fined-millions-since-new-no-vehicle-registration-sticker-system-%20diperkenalkan-in-nsw/news-story/040a82526edc73eb8c23bce47fd1b8f9">registrasi kendaraan yang tidak berlaku lagi</a>, gagal membatalkan <a href="https://newsroom.ing.com.au/unused-subscriptions-and-forgotten-outgoings-could-cost-each-aussie%20-up-to-1261-a-year/">langganan yang tidak diinginkan</a>, dan mengabaikan pemotongan pajak karena terlalu kesulitan menemukan kuitansi.</p>
<p>Hal ini menunjukkan denda keterlambatan dan kelalaian email lainnya dapat menyebabkan kerugian finansial setiap tahunnya.</p>
<p>Selain biaya finansial, penelitian menunjukkan bahwa tidak memilah dan mengelola catatan elektronik akan mempersulit pengumpulan informasi yang dibutuhkan pada saat pajak, atau untuk situasi berisiko tinggi lainnya, seperti pengajuan pinjaman.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/why-do-i-get-so-much-spam-and-unwanted-email-in-my-inbox-and-how-can-i-get-rid-of-it-208665">Why do I get so much spam and unwanted email in my inbox? And how can I get rid of it?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Temuan kami</h2>
<p>Kami mensurvei lebih dari 300 responden yang berbeda mengenai pengelolaan arsip elektronik pribadi mereka. Kebanyakan dari mereka berasal dari Australia, tapi kami juga menerima tanggapan dari negara lain, seperti Inggris, Amerika Serikat (AS), Swiss, Portugal, dan lain-lain.</p>
<p>Sebanyak dua pertiga responden menggunakan surel mereka untuk mengelola catatan pribadi, seperti tagihan, kwitansi, langganan, dan lainnya. Dari jumlah tersebut, kami menemukan bahwa setelah responden membaca email mereka, sekitar separuh dari mereka akan mengurutkan surel ke dalam folder. Sementara itu, separuh lainnya akan membiarkan saja semuanya di kotak masuk.</p>
<p>Meskipun sebagian besar mereka menyortir surel kantor mereka ke dalam folder, mereka cenderung tidak mengurutkan email pribadi mereka dengan cara yang sama.</p>
<p>Hasil riset juga menunjukkan bahwa hanya separuh (52%) responden yang membiarkan seluruh emailnya di kotak masuk merasa puas dengan pengelolaan arsipnya, dibandingkan dengan 71% responden yang mengurutkan emailnya ke dalam folder.</p>
<p>Dari responden yang menyimpan dokumen mereka di <em>cloud</em> (Google Drive, iCloud, Dropbox, dan sejenisnya), 83% melaporkan puas dengan pengelolaan arsip mereka.</p>
<p>Penelitian ini bersifat eksploratif, sehingga perlu penelitian lebih lanjut untuk melihat apakah temuan kami dapat diterapkan secara universal. Namun, analisis statistik kami mengungkapkan praktik-praktik pengelolaan surel terkait dengan hasil yang lebih memuaskan, dan praktik-praktik yang sebaiknya dihindari.</p>
<h2>Apa risiko membiarkan pesan <em>ngendon</em> di kotak masuk?</h2>
<p>Berdasarkan tanggapan dari responden, kami mengidentifikasi tiga masalah utama yang mungkin muncul ketika kamu membiarkan semua surelmu tetap berada di kotak masuk.</p>
<p><em>Pertama</em>, pengguna bisa kehilangan jejak tugas yang harus diselesaikan. Misalnya, tagihan yang harus dibayar bisa saja luput dari perhatian, tenggelam oleh surel lain.</p>
<p><em>Kedua</em>, mengandalkan pencarian untuk menemukan email kembali mengharuskan kamu tahu persis apa yang kamu cari. Misalnya, pada masa-masa pelaporan pajak, pencarian tanda terima sumbangan amal bergantung pada ingatan apa yang harus dicari, serta kata-kata yang tepat dalam email yang berisi tanda terima tersebut. Kalau tidak ingat, akan susah untuk menemukannya.</p>
<p><em>Ketiga</em>, banyak tagihan dan laporan tidak dikirimkan sebagai lampiran pada email, <a href="https://publications.archivists.org.au/index.php/asa/article/view/10421">melainkan sebagai <em>hyperlink</em></a>. Jika kamu mengganti bank atau penyedia layanan lain, <em>hyperlink</em> tersebut mungkin tidak dapat diakses di kemudian hari. </p>
<p>Tidak dapat mengakses slip gaji yang hilang dari perusahaan lama juga dapat menyebabkan masalah, seperti yang ditunjukkan oleh <a href="https://ia.acs.org.au/article/2019/court-finds-robodebt-unlawful.html">skandal Robodebt</a> atau <a href="https://www.abc.net.au/news/2024-03-14/ato-reignites-old-debts-individuals-businesses-struggle/%20103578746">kasus menghidupkan kembali utang lama</a> di Kantor Pajak Australia.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/581489/original/file-20240313-24-614jwk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=270%2C779%2C3168%2C2001&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Close-up of a mouse cursor selecting an inbox link with one unread email." src="https://images.theconversation.com/files/581489/original/file-20240313-24-614jwk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=270%2C779%2C3168%2C2001&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/581489/original/file-20240313-24-614jwk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=407&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/581489/original/file-20240313-24-614jwk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=407&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/581489/original/file-20240313-24-614jwk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=407&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/581489/original/file-20240313-24-614jwk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=512&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/581489/original/file-20240313-24-614jwk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=512&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/581489/original/file-20240313-24-614jwk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=512&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Kamu bisa menerapkan beberapa praktik sederhana dalam pengelolaan surelmu untuk meminimalkan stres dan kerugian finansial.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/email-menu-on-monitor-screen-127894817">kpatyhka/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>4 tips untuk pengelolaan arsip yang lebih baik</h2>
<p>Ketika kami meminta responden untuk memilih lokasi yang diinginkan untuk menyimpan catatan pribadi mereka, mereka cenderung memilih format yang lebih terkelola dibandingkan perilaku mereka saat ini. Hanya 8% responden yang tidak menyortir semua surel yang ada di kotak masuk mereka.</p>
<p>Temuan kami menyarankan serangkaian praktik yang dapat membantumu memantau catatan elektronikmu dan mencegah stres atau kerugian finansial:</p>
<ul>
<li><p>urutkan surelmu ke dalam folder kategori, atau simpan catatan di folder di <em>cloud</em> atau di komputer</p></li>
<li><p>unduh dokumen yang tidak dilampirkan ke email atau dikirimkan langsung kepadamu—seperti tagihan listrik dan semua slip gajimu</p></li>
<li><p>masukkan pembaruan penting di kalendermu sebagai pengingat, dan</p></li>
<li><p>hapus email sampah dan berhenti berlangganan, sehingga kotak masukmu dapat diubah menjadi daftar hal-hal yang harus dilakukan.</p></li>
</ul>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/do-you-answer-emails-outside-work-hours-do-you-send-them-new-research-shows-how-dangerous-this-can-be-160187">Do you answer emails outside work hours? Do you send them? New research shows how dangerous this can be</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<img src="https://counter.theconversation.com/content/226239/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Matt Balogh sebelumnya menerima dana dari Beasiswa Beasiswa Pelatihan Penelitian Pemerintah Australia.</span></em></p>Mengelola catatan elektronik memerlukan tenaga. Namun menggunakan beberapa tip sederhana untuk mengubah kotak masuk menjadi daftar tugas dapat mencegah banyak masalah.Matt Balogh, Adjunct Lecturer, University of New EnglandLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2248712024-03-01T08:41:37Z2024-03-01T08:41:37ZBahaya terlalu mengandalkan tes IQ: keterampilan kognitif penting justru tidak diukur<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/579130/original/file-20240221-30-c7urzw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=56%2C28%2C6190%2C4139&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/female-pupil-desk-taking-school-exam-541632589">SpeedKingz/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Banyak orang yang keberatan dengan tes kecerdasan. Ada yang bilang nilai tes <em>intelligence quotient</em> (IQ) terlalu sering disalahgunakan. Beberapa orang menganggap tes semacam ini tidak adil bagi anak-anak, karena jika mereka “gagal” dalam tes ini, mereka akan menerima kualitas pendidikan menengah yang lebih buruk dibandingkan teman-temannya yang “berhasil” – sehingga mereka akan dirugikan seumur hidup.</p>
<p>Beberapa orang menolak tes IQ karena alasan pribadi: betapa stresnya mereka saat mengikuti tes. Banyak yang meragukan bahwa hasil yang mereka peroleh benar-benar cerminan diri dan merefleksikan mereka potensi di masa depan. </p>
<p>Seberapa bermanfaatkah tes IQ – dan keterampilan serta kualitas apa yang tidak bisa diukur melalui tes ini?</p>
<p>Lebih dari 30 tahun yang lalu, saya menemukan <a href="https://homepages.abdn.ac.uk/j.crawford/pages/dept/pdfs/Intelligence_2000_Stability_IQ.pdf">arsip unik setengah terlupakan</a> yang berisi lebih dari 89 ribu tipe tes IQ dari tahun 1932. Sampel ini mencakup sampel nasional anak-anak Skotlandia yang lahir pada tahun 1921-dan saat ini sudah berusia sekitar 76 tahun.</p>
<p>Tujuan saya sederhana: menemukan penduduk lokal yang cocok dengan arsip dan membandingkan kemampuan mental mereka saat ini dengan hasil tes mereka pada tahun 1932. Sebuah gambaran <a href="https://doi.org/10.1136/bmj.322.7290.819">dengan cepat muncul</a> menghubungkan skor IQ yang lebih rendah dengan usia kematian yang lebih awal dari perkiraan dan demensia yang timbul lebih awal.</p>
<p>Perang dunia kedua menghasilkan beberapa keganjilan yang tidak terduga. Laki-laki muda dengan nilai IQ masa kanak-kanak yang lebih tinggi lebih sering meninggal dalam dinas aktif. Anak perempuan dengan nilai lebih tinggi lebih sering menjauh dari daerah tersebut.</p>
<p>Saya bersepeda keliling Aberdeen, Skotlandia, untuk belajar lebih banyak tentang sejarah sosialnya, dan mengenal sekolah dasar tempat anak-anak mengikuti ujian pada tahun 1932. Rata-rata nilai IQ sering kali berbeda secara signifikan antar sekolah. Siswa yang bersekolah di daerah yang padat penduduknya cenderung mempunyai nilai ujian yang kurang baik.</p>
<p>Penelitian kami selanjutnya menunjukkan bahwa orang-orang dengan IQ lebih tinggi terlibat dalam <a href="https://www.bmj.com/content/363/bmj.k4925">aktivitas yang lebih merangsang secara intelektual</a>, seperti membaca novel yang rumit atau mempelajari alat musik. Namun, kita tidak dapat mengetahui apakah memiliki IQ yang tinggi membuat orang mencari aktivitas tersebut atau apakah orang yang memiliki keingintahuan intelektual mengembangkan IQ yang lebih tinggi karena mereka terlibat dalam tugas-tugas kognitif yang kompleks sepanjang hidup.</p>
<p>Dan itu adalah pertanyaan penting. Orang-orang dari latar belakang yang lebih miskin, seperti lingkungan yang kurang beruntung di Kota Aberdeen, mungkin tidak mempunyai kesempatan untuk mengejar kepentingan intelektual karena kurangnya waktu dan sumber daya.</p>
<p>Untuk memberikan informasi yang lebih baik tentang pekerjaan saya, saya mencari penduduk lokal yang memiliki pengalaman panjang mengajar di Aberdeen. Pandangan mereka juga diamini oleh para pekerja di bidang kesehatan masyarakat dan psikologi.</p>
<p>Guru tersebut memperingatkan saya untuk tidak lupa bahwa tes IQ telah digunakan selama bertahun-tahun untuk memajukan “<a href="https://via.library.depaul.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1270&context=law-review">rasisme ilmiah”</a> dan mereka khawatir bahwa tidak lama lagi, para pendukung tes IQ sayap kanan akan ingin menggunakan data Skotlandia yang ditemukan kembali ini untuk mencari dasar genetik dari kecerdasan. Karena khawatir tersebut, saya melihat kembali alasan survei pada tahun 1932 mengenai kemampuan mental anak-anak sekolah Skotlandia.</p>
<p>Survei ini didanai oleh Eugenics Society (eugenika adalah ilmu untuk meningkatkan kualitas umat manusia melalui pemilihan sifat-sifat keturunan yang “baik”) dengan bantuan dari Rockefeller Foundation. Prioritas bersama mereka adalah untuk menunjukkan hubungan antara ukuran keluarga besar dan kemampuan mental di bawah rata-rata.</p>
<p>Pada saat itu, hubungan negatif antara IQ seorang ibu dan kepemilikan anak mudah terlihat. Namun, reformasi pendidikan setelah tahun 1945, yang menyebabkan lebih banyak anak perempuan menyelesaikan pendidikan tinggi, menghasilkan hubungan yang jauh lebih kompleks antara IQ ibu, prestasi pendidikan, usia pertama kali melahirkan, dan kesuburan seumur hidup.</p>
<p>Hal ini menimbulkan kekhawatiran publik kontemporer bahwa rata-rata kemampuan mental masyarakat umum diturunkan karena hilangnya begitu banyak pemuda yang dianggap memiliki kemampuan di atas rata-rata selama perang dunia pertama. Surat kabar berpendapat bahwa anak-anak sekolah perlu dinilai dan diseleksi untuk memberikan pendidikan yang lebih baik kepada mereka yang paling mungkin menerima manfaat.</p>
<p>Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tes IQ dapat memberi tahu kita sesuatu tentang keberhasilan akademis atau risiko demensia, banyak yang tidak tercakup dalam tes tersebut. Tidak dapat disangkal bahwa sistem ini telah lama digunakan untuk alasan yang tidak jelas, sering kali sebagai alasan untuk mengurangi dana pada jenis sekolah tertentu, sehingga menciptakan sistem dua tingkat.</p>
<p>Mayoritas anak-anak, mereka yang tidak mengikuti atau lulus ujian masuk ala IQ di sekolah swasta atau sekolah dasar, akan memiliki banyak kualitas yang tidak diukur dalam tes IQ. Mereka mungkin juga mungkin mengalami keterlambatan perkembangan.</p>
<h2>Yang tidak diukur oleh tes IQ</h2>
<p>Jadi, apa yang tidak bisa diukur oleh tes IQ? Penelitian menunjukkan bahwa skor IQ <a href="https://theconversation.com/iq-tests-are-humans-getting-smarter-158837">meningkat sekitar 3 poin per dekade</a> selama sebagian besar abad ke-20, namun <a href="https://psycnet.apa.org/record/2012-26835-000">mungkin menurun</a> selama sekitar 30 tahun terakhir.</p>
<p>Beberapa ahli berpendapat hal ini mencerminkan perubahan kurikulum sekolah atau mungkin hanya kompleksitas kehidupan modern. Perolehan “pengetahuan isi” (membaca dan menghafal) pernah menjadi landasan ujian umum dan berkaitan dengan kinerja tes IQ.</p>
<p>Misalnya, kita tahu bahwa memori kerja <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1041608002000493">terkait dengan</a> kinerja tes IQ. Namun, penelitian telah mengungkap bahwa <a href="https://doi.org/10.1111/j.1467-9280.2005.01641.x">disiplin diri sebenarnya merupakan prediktor yang lebih baik</a> terhadap hasil ujian dibandingkan IQ.</p>
<p>Saat ini, anak-anak di negara Barat diajari pemecahan masalah ilmiah secara kolektif, dikombinasikan dengan keterampilan antarpribadi dan kerja sama tim, yang memerlukan lebih sedikit hafalan. Hal ini sebenarnya dapat membuat siswa cenderung tidak mendapat nilai tinggi dalam tes IQ, meskipun metode-metode ini membantu umat manusia secara keseluruhan menjadi lebih pintar. Bagaimanapun, pengetahuan terus berkembang, dan sering kali merupakan hasil kolaborasi penelitian yang sangat besar.</p>
<p>Jenis “pembelajaran prosedural” ini mengarah pada kesadaran diri yang matang, stabilitas emosi, pengakuan terhadap pikiran dan perasaan orang lain, serta pemahaman tentang dampak individu terhadap kinerja kelompok. Yang terpenting, kurangnya keterampilan ini dapat menghambat pemikiran rasional. Penelitian menunjukkan bahwa ketika kita mengabaikan atau gagal memahami perasaan kita, <a href="https://oro.open.ac.uk/31984/#:%7E:text=We%20conclude%20that%20emotions%20%20dan,untuk%20pedagang%20perilaku%20dan%20kinerja.">kita lebih mudah dimanipulasi oleh perasaan tersebut</a>.</p>
<p>IQ tinggi juga tidak serta merta melindungi dari bias atau kesalahan. Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa orang dengan IQ tinggi bisa <a href="https://www.thetimes.co.uk/article/review-the-intelligence-trap-why-smart-people-do-stupid%20-hal-hal-dan-cara-membuat-keputusan-bijaksana-oleh-david-robson-mengesankan-dan-dapat%20dibaca-tgr72mshs/">sangat rentan terhadap kesalahan</a>, seperti menemukan pola meskipun tidak ada, atau tidak relevan.</p>
<p>Hal ini dapat menyebabkan bias konfirmasi dan kesulitan untuk menyerah pada suatu ide, solusi atau proyek meskipun ide tersebut tidak lagi berfungsi. Hal ini juga dapat menghalangi penalaran rasional. Namun, kelemahan tersebut terlewatkan oleh tes IQ.</p>
<figure class="align-right ">
<img alt="Image of Albert Einstein." src="https://images.theconversation.com/files/577001/original/file-20240221-30-nfj86z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/577001/original/file-20240221-30-nfj86z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=800&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/577001/original/file-20240221-30-nfj86z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=800&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/577001/original/file-20240221-30-nfj86z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=800&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/577001/original/file-20240221-30-nfj86z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1005&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/577001/original/file-20240221-30-nfj86z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1005&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/577001/original/file-20240221-30-nfj86z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1005&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Einstein menghargai kreativitas dan intuisi.</span>
<span class="attribution"><span class="source">wikipedia</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Banyak lompatan besar dalam kecerdikan manusia didorong oleh kreativitas, kolaborasi, persaingan, intuisi atau rasa ingin tahu, bukan hanya IQ individu. Misalnya saja Albert Einstein, yang sering dipuji sebagai seorang jenius.</p>
<p>Dia tidak pernah mengikuti tes IQ, tetapi orang-orang terus-menerus <a href="https://timesofindia.indiatimes.com/life-style/parenting/moments/5-genius-kids-who-have-an-iq-%20skor-lebih%20tinggi-dari-albert-einstein/photostory/99929937.cms">berspekulasi tentang IQ-nya</a>. Namun, dia <a href="https://www.weforum.org/agenda/2019/08/albert-einstein-quotes-inspiring-clever-funny-famous/#:%7E:text=%E2%80%20%9C%20penting%20hal%20adalah%20bukan,dari%20ini%20misteri%20setiap%20hari.%E2%80%9D">sering memuji rasa ingin tahu dan intuisinya</a> sebagai kekuatan pendorong utama keberhasilan ilmiah-dan ini bukanlah kualitas yang diukur dengan tes IQ.</p>
<p>Etos sekolah modern tidak didorong oleh preferensi untuk hanya mendidik anak-anak yang dalam seleksi memenuhi standar minimum tes mental. Sekolah mengakui bahwa hasil pendidikan tidak ditentukan semata-mata oleh kemampuan bawaan tetapi juga dipengaruhi oleh semua pengalaman sebelumnya yang memengaruhi kompetensi emosional, motivasi, keingintahuan intelektual, wawasan dan penalaran intuitif.</p>
<p>Ketika partisipan lokal dalam survei tahun 1932 diwawancarai pada usia lanjut, mereka berbicara dengan hangat tentang masa sekolah mereka – khususnya tentang persahabatan. Mereka jarang menyebutkan pendidikan mereka. Pembelajaran pengetahuan konten, dengan ancaman hukuman fisik, tidak dianggap baik. Beberapa orang ingat pernah mengikuti tes IQ pada tahun 1932 dan merasa senang karena sebagian besar sekolah tidak lagi melakukan tes IQ seperti itu kepada anak-anak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/224871/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Lawrence Whalley menerima dana dari Pemerintah Skotlandia, Henry Smith Charity, BBSRC, MRC, Alzheimer's Research Trust, The Wellcome Trust.</span></em></p>Mayoritas anak-anak yang tidak mengikuti atau lulus ujian masuk ala IQ di sekolah swasta atau sekolah tata bahasa, akan memiliki banyak kualitas yang tidak diukur dalam tes IQ.Lawrence Whalley, Emeritus Professor of Mental Health, University of AberdeenLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2140872023-09-25T10:02:40Z2023-09-25T10:02:40ZBagaimana jurnal ‘predator’ melemahkan penelitian dan kepercayaan masyarakat terhadap akademisi<p>Di Amerika Serikat (AS), pembayar pajak mendanai banyak <a href="https://theconversation.com/the-us-has-ruled-all-taxpayer-funded-research-must-be-free-to-read-whats-the-benefit-%20of-open-access-189466">penelitian universitas</a>. Temuan yang dipublikasikan di jurnal ilmiah sering kali menghasilkan terobosan besar di bidang kedokteran, keamanan kendaraan, keamanan pangan, peradilan pidana, hak asasi manusia, dan topik lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.</p>
<p>Standar penerbitan di jurnal ilmiah seringkali tinggi. Pakar independen dengan tekun meninjau dan mengomentari penelitian yang dikirimkan – tanpa mengetahui nama penulis atau universitas afiliasinya. Mereka kemudian merekomendasikan apakah jurnal sebaiknya menerima, merevisi, atau menolak sebuah artikel. Jika diterima, karya tersebut kemudian diedit dengan cermat sebelum diterbitkan.</p>
<p>Namun dalam <a href="https://mdanderson.libanswers.com/faq/206446">semakin banyak kasus</a>, standar ini tidak ditegakkan.</p>
<p>Beberapa jurnal membebankan biaya kepada akademisi untuk mempublikasikan penelitian mereka – tanpa terlebih dahulu mengedit atau meneliti karya tersebut dengan standar etika atau editorial apapun. Publikasi berorientasi profit ini <a href="https://DOI.org/10.1038/d41586-019-03759-y">sering dikenal sebagai jurnal predator</a> karena merupakan publikasi yang mengklaim sebagai jurnal ilmiah yang sah namun ‘memangsa’ akademisi yang tidak menaruh curiga untuk membayar untuk mempublikasikan dan sering salah menggambarkan praktik penerbitan mereka. </p>
<p>Terdapat <a href="https://mdanderson.libanswers.com/faq/206446">sekitar 996 penerbit</a> yang menerbitkan lebih dari 11.800 jurnal predator pada tahun 2015. Jumlah tersebut kira-kira sama dengan jumlah <a href="https://oaspa.org/">jurnal akademis yang sah dan memiliki akses terbuka</a> – tersedia bagi pembaca tanpa biaya dan diarsipkan di perpustakaan yang didukung oleh lembaga pemerintah atau akademis – yang diterbitkan pada waktu yang hampir bersamaan. Pada tahun 2021, perkiraan lain menyebutkan ada 15.000 <a href="https://blog.cabells.com/2021/09/01/mountain-to-climb/">jurnal predator</a>.</p>
<p>Tren ini dapat melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap validitas penelitian di berbagai bidang, mulai dari kesehatan dan pertanian hingga ekonomi dan jurnalisme.</p>
<p>Kami adalah <a href="https://scholar.google.com/citations?user=xXJ-XxEAAAAJ&hl=en">akademisi di bidang jurnalisme</a> dan <a href="https://scholar.google.com/citations?user=LyEoOLQAAAAJ&hl=en&oi=ao">etika media</a> yang melihat dampak negatif penerbitan predator terhadap bidang jurnalisme dan komunikasi massa. Kami percaya, penting bagi masyarakat untuk memahami bagaimana masalah ini berdampak pada masyarakat secara lebih luas.</p>
<p>Dalam kebanyakan kasus, <a href="https://doi.org/10.1038/d41586-020-00031-6">penelitian yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ini</a> bersifat biasa-biasa saja dan tidak dikutip oleh akademisi lain. Namun dalam kasus lain, <a href="https://www.nature.com/articles/d41586-021-00239-0">penelitian yang dilaksanakan dengan buruk</a> – <a href="https://www.chemistryworld.com/news%20/report-calls-for-urgent-action-to-tackle-predatory-publishers/4015520.article">sering kali mengenai sains</a> – dapat menyesatkan ilmuwan dan menghasilkan temuan yang tidak benar.</p>
<h2>Praktik yang menyesatkan</h2>
<p>Penerbitan di jurnal dianggap sebagai bagian penting dari aktivitas seorang akademisi karena tanggung jawab profesor umumnya mencakup menyumbangkan pengetahuan baru dan cara memecahkan masalah di bidang penelitiannya. Menerbitkan penelitian sering kali menjadi bagian penting bagi para akademisi untuk mempertahankan pekerjaan mereka, mendapatkan promosi atau menerima jabatan – seperti ungkapan lama dari dunia akademis, “kamu menerbitkan maka kamu ada”.</p>
<p>Penerbit predator sering menggunakan penipuan untuk membuat para akademisi mengirimkan karya mereka. Hal ini termasuk <a href="https://www.elsevier.com/reviewers/what-is-peer-review">janji tinjauan sejawat</a> palsu yang melibatkan pakar independen yang meneliti penelitian terkait. Taktik lainnya termasuk kurangnya transparansi dalam membebankan biaya kepada penulis untuk mempublikasikan penelitian mereka.</p>
<p>Meskipun biayanya bervariasi, salah satu penerbit menginfokan bahwa tarif yang berlaku adalah US$60 (sekitar Rp921.942) per halaman yang dicetak. Seorang penulis melaporkan membayar $250 (sekitar Rp. 3.841.425) untuk menerbitkan di jurnal yang sama. Sebaliknya, jurnal yang sah membebankan biaya yang sangat kecil, atau tidak ada biaya sama sekali, untuk menerbitkan naskah setelah editor dan pakar independen lainnya meninjau makalah tersebut dengan cermat.</p>
<p>Jurnal semacam ini – sekitar 82,3% di antaranya berlokasi di negara-negara berkembang, termasuk <a href="https://doi.org/10.1016/j.joi.2018.10.008">India, Nigeria, dan Pakistan</a> – dapat ‘memangsa’ akademisi muda yang berada di bawah tekanan kuat dari universitas untuk mempublikasikan penelitian.</p>
<p>Akademisi muda bergaji rendah dan mahasiswa doktoral, yang mungkin memiliki kemampuan bahasa Inggris dan keterampilan penelitian serta menulis yang terbatas, juga sangat rentan terhadap pemasaran agresif penerbit, sebagian besar melalui email.</p>
<p>Penulis yang mempublikasikan di jurnal palsu dapat menambahkan artikel ini ke <em>resume</em> mereka, namun artikel seperti itu jarang dibaca dan dikutip oleh akademisi lain. <a href="https://doi.org/10.1177/1077695820947259">Bahkan, dalam beberapa kasus</a>, artikel tidak pernah diterbitkan, meskipun sudah dibayar.</p>
<p>Penerbit predator juga biasanya memiliki topik yang sangat luas. Misalnya, satu perusahaan yang berbasis di Singapura bernama <em>PiscoMed Publishing</em>, memiliki 86 jurnal di berbagai bidang yang mencakup studi agama dan pengobatan Cina hingga farmasi dan biokimia. Sebaliknya, penerbit nonpredator cenderung lebih fokus dan membatasi luasnya topik mereka.</p>
<p><em>The Conversation</em> menghubungi semua jurnal yang disebutkan dalam artikel ini untuk memberikan komentar dan tidak menerima tanggapan mengenai standar dan etika kerja mereka.</p>
<p>Jurnal lain, <a href="http://www.ijhssnet.com/"><em>International Journal of Humanities and Social Science</em></a>, menyatakan bahwa jurnal tersebut menerbitkan publikasi di sekitar 40 bidang, termasuk kriminologi, bisnis, hubungan internasional, linguistik, hukum, musik, antropologi dan etika. Kami menerima email dari jurnal ini, ditandatangani oleh pemimpin redaksinya yang terafiliasi dengan salah satu universitas di AS.</p>
<p>Namun ketika kami menelepon universitas tersebut, kami diberitahu bahwa mereka tidak mempekerjakan siapapun dengan nama itu. Salah seorang staf di Departemen Seni mengatakan bahwa editor tersebut tidak lagi bekerja di sana.</p>
<p>Sangat sulit bagi orang yang membaca suatu penelitian, atau menonton segmen berita tentang penelitian tertentu, untuk mengenali bahwa penelitian tersebut muncul di jurnal predator.</p>
<p>Dalam beberapa kasus, nama jurnal ini hampir sama dengan nama jurnal asli atau memiliki <a href="https://beallslist.net">nama umum seperti</a> <em>Academic Sciences</em> dan <em>BioMed Press</em>.</p>
<h2>Para akademisi tertipu</h2>
<p>Dalam <a href="https://doi.org/10.3138/jsp-2021-0023">studi tahun 2021</a>, kami menyurvei dan mewawancarai pakar di Amerika Utara, Afrika, Asia, Australia, dan Eropa yang terdaftar sebagai anggota dewan editorial atau pengulas untuk dua <a href="https://www.piscomed.com/">jurnalisme predator</a> dan jurnal komunikasi massa.</p>
<p>Satu perusahaan, <a href="https://www.davidpublisher.com"><em>David Publishing</em></a>, memberikan alamat toko pengiriman dan kotak surat Delaware, Amerika Serikat, dan menggunakan nomor telepon California Selatan, Amerika Serikat. Dikatakan bahwa mereka menerbitkan 52 jurnal dalam 36 disiplin ilmu, termasuk filsafat, ilmu olahraga dan pariwisata.</p>
<p>Beberapa akademisi mengatakan bahwa mereka terdaftar sebagai penulis di jurnal tersebut tanpa izin. Bahkan, satu nama masih muncul sebagai penulis beberapa tahun setelah akademisi tersebut meninggal.</p>
<p>Studi terbaru kami pada tahun 2023 mensurvei dan mewawancarai sampel penulis dari 504 artikel di salah satu jurnal predator yang berfokus pada jurnalisme dan komunikasi massa.</p>
<p>Kami ingin mengetahui mengapa para penulis ini – mulai dari mahasiswa pascasarjana hingga profesor tetap – memilih untuk mengirimkan karya mereka ke jurnal ini dan seperti apa pengalaman mereka.</p>
<p>Meskipun sebagian besar penulis berasal dari negara-negara berkembang atau negara lain seperti Turki dan Cina, penulis lainnya menyebutkan bahwa mereka berafiliasi dengan universitas-universitas terkemuka di Amerika, Kanada, dan Eropa.</p>
<p>Banyak orang yang kami hubungi tidak menyadari sifat predator jurnal tersebut. Salah satu penulis mengatakan bahwa dia baru mengetahui praktik-praktik yang dipertanyakan di jurnal tersebut setelah membaca unggahan <em>online</em> yang “memperingatkan orang untuk tidak membayar”.</p>
<h2>Kurangnya kepedulian</h2>
<p>Beberapa orang yang kami ajak bicara tidak mengungkapkan kekhawatirannya mengenai implikasi etis dari penerbitan di jurnal predator, termasuk ketidakjujuran terhadap rekan penulis dan universitas serta potensi penipuan terhadap penyandang dana penelitian. Kami menemukan bahwa beberapa penulis mengundang koleganya untuk membantu membayar biaya sebagai imbalan karena mencantumkan nama mereka pada sebuah artikel, meskipun mereka tidak melakukan penelitian atau penulisan apapun.</p>
<p>Faktanya, kami mendengar banyak alasan untuk menerbitkan artikel di jurnal semacam itu.</p>
<p>Hal ini termasuk penantian yang lama untuk <em>peer review</em> dan <a href="https://www.tandfonline.com/action/journalInformation?show=journalMetrics&journalCode=rjop20">tingkat penolakan yang tinggi</a> dari <a href="https://www.tandfonline.com/action/journalInformation?show=journalMetrics&journalCode=rjos20">jurnal terkemuka</a>.</p>
<p>Dalam kasus lain, para akademisi mengatakan bahwa universitas mereka lebih mementingkan jumlah karya yang terbit, dibandingkan kualitas publikasi yang menerbitkan karya mereka.</p>
<p>“Sangat penting bagi saya untuk memilikinya saat itu. Saya tidak pernah membayar lagi. Tapi mendapat promosi. Itu diakui oleh institusi saya sebagai publikasi penuh. Saya mendapat keuntungan… dan hal itu berhasil,” kata seorang penulis dari Timur Tengah kepada kami dalam sebuah wawancara.</p>
<h2>Mengapa isu ini penting</h2>
<p>Penerbit predator menciptakan hambatan besar dalam upaya memastikan bahwa penelitian baru mengenai topik-topik penting memiliki dasar yang kuat dan jujur.</p>
<p>Hal ini dapat berdampak pada penelitian kesehatan dan medis, serta bidang lainnya. Salah seorang <a href="https://doi.org/10.2519/jospt.2017.0101">ahli kesehatan</a>, menyebutkan adanya risiko bahwa para ilmuwan dapat memasukkan temuan yang salah ke dalam praktik klinis mereka.</p>
<p>Standar yang tinggi sangat penting di semua bidang penelitian. Para pengambil kebijakan, pemerintah, pendidik, pelajar, jurnalis, dan pihak-pihak lainnya harus dapat mengandalkan temuan-temuan penelitian yang kredibel dan akurat dalam pengambilan keputusan mereka, tanpa terus-menerus memeriksa ulang validitas sumber.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/214087/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dalam beberapa kasus, sulit bagi akademisi untuk mengetahui jurnal mana yang tidak kredibel – sementara di sisi lain, mereka mendapat tekanan untuk segera menerbitkan jurnal.Eric Freedman, Professor of Journalism and Chair, Knight Center for Environmental Journalism, Michigan State UniversityBahtiyar Kurambayev, Associate Professor of Media, KIMEP UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2096042023-07-12T08:40:44Z2023-07-12T08:40:44ZPemerintah Indonesia mengekang riset lingkungan yang tidak disukainya, tindakan ini berbahaya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/536989/original/file-20230712-15-6xjlvf.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Shutterstock</span> </figcaption></figure><p>September tahun lalu, pemerintah Indonesia melarang beberapa ilmuwan terkemuka untuk meneliti di hutan tropisnya yang sangat luas. Kebanyakan mereka sudah meneliti topik ini sejak puluhan tahun silam.</p>
<p>Alasannya, sebagian besar karena menerbitkan riset yang menyatakan bahwa populasi orangutan kalimantan dalam bahaya. Mereka juga menuliskan <a href="https://www.thejakartapost.com/opinion/2022/09/14/orangutan-conservation-needs-agreement-on-data-and-trends.html">artikel opini</a> yang menyanggah <a href="https://www.thejakartapost.com/opinion/2022/09/26/forestry-ministry-responds.html">klaim pemerintah seputar pulihnya populasi orangutan</a>. </p>
<p>Kegiatan para peneliti ini jelas membikin berang seseorang yang berkuasa. Tak butuh waktu lama, Kementerian Lingkungan dan Kehutanan menerbitkan surat yang menuduh para peneliti tersebut menulis dengan “itikad buruk” yang dapat “mendiskreditkan” pemerintah. Walhasil mereka <a href="https://news.mongabay.com/2022/10/as-indonesia-paints-rosy-picture-for-orangutans-scientists-ask-wheres-the-data/">tidak boleh lagi masuk ke hutan untuk meneliti</a>. </p>
<p>Saya bersama kolega menerbitkan <a href="https://www.cell.com/current-biology/fulltext/S0960-9822(23)00550-X">hasil riset</a> yang menelaah risiko tentang ulah pemerintah Indonesia ini.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/536710/original/file-20230711-19-tn2pnk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="deforestasi Indonesia" src="https://images.theconversation.com/files/536710/original/file-20230711-19-tn2pnk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/536710/original/file-20230711-19-tn2pnk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/536710/original/file-20230711-19-tn2pnk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/536710/original/file-20230711-19-tn2pnk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/536710/original/file-20230711-19-tn2pnk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/536710/original/file-20230711-19-tn2pnk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/536710/original/file-20230711-19-tn2pnk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Deforestasi masih terjadi di Indonesia, tapi angkanya terus menurun.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Mengkhawatirkan nan mengejutkan</h2>
<p>Reaksi pemerintah Indonesia adalah sinyal yang mengkhawatirkan. </p>
<p>Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang spektakuler. Hutan tropisnya juga merupakan <a href="https://rainforests.mongabay.com/amazon/countries.html">salah satu yang terluas di dunia</a>.</p>
<p>Populasi dan pertumbuhan ekonomi negara kepulauan ini terus menggeliat. Sayangnya, tren tersebut telah mengorbankan keutuhan alam Indonesia <a href="https://rainforests.mongabay.com/deforestation/2000/Indonesia.htm">sejak beberapa dekade silam</a>.</p>
<p>Di sisi lain, aksi pemerintah juga mengejutkan. Sejak beberapa tahun, angka pembabatan hutan jauh berkurang hingga dua per tiga dari sebelumnya. Pemerintah juga <a href="https://www.reuters.com/world/asia-pacific/indonesia-cites-deforestation-decline-stricter-controls-2023-06-26/">agresif</a> mengatasi pembalakan liar, pembakaran hutan, dan perambahan untuk perkebunan. Pencapaian ini luar biasa.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/empat-masalah-tentang-kebakaran-hutan-yang-bisa-mengganjal-target-emisi-indonesia-2030-193550">Empat masalah tentang kebakaran hutan yang bisa mengganjal target emisi Indonesia 2030</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Jadi, apa alasan sikap keras pemerintah terhadap para peneliti? Ini kemungkinan terjadi karena Indonesia sudah mencatatkan pencapaian yang positif di bidang lingkungan. Para penguasa menginginkan prestasi mereka diakui, bukan dikritik.</p>
<p>Sikap adil dari peneliti dan pengakuan mereka tentang kemajuan yang terjadi memang penting. Namun, hal yang jauh lebih pokok adalah bagaimana pemerintah menghormati kerja-kerja para ilmuwan, meskipun hasilnya bukanlah sesuatu yang mereka (pemerintah) ingin dengar. </p>
<p>Aksi represif ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Tiga tahun lalu, peneliti David Gaveau dideportasi dari Indonesia setelah <a href="https://theconversation.com/alternative-data-setting-the-record-straight-on-the-scale-of-indonesias-2019-fires-173593">menayangkan perkiraan</a> angka kebakaran hutan yang lebih besar dari versi pemerintah. </p>
<p>Bagi peneliti lokal dan luar negeri, tekanan ini sangat terasa. Banyak dari mereka yang curhat kepada saya ataupun kawan-kawan. Mereka merasa dipaksa untuk menerbitkan berita baik, atau setidaknya menghindari penyiaran berita buruk.</p>
<h2>Pemerintah harus terbuka terhadap kritik yang benar</h2>
<p>Pelaku konservasi dan peneliti sudah lama menentang <a href="https://www.philstar.com/headlines/2022/09/29/2213088/philippines-still-deadliest-country-asia-environmentalists-global-witness#:%7E:text=According%20to%20a%20report%20by,%2C%20and%20Nicaragua%20(15).">pengekangan ataupun kekerasan</a> di negara-negara berkembang pemilik hutan yang luas <a href="https://www.globalwitness.org/en/press-releases/global-witness-reports-227-land-and-environmental-activists-murdered-single-year-worst-figure-record/">seperti</a> Brazil, Colombia, Filipina, dan Republik Demokratik Kongo. </p>
<p>Upaya mereka dilakukan karena ada tekanan besar yang mengancam keberadaan hutan. Permintaan ataupun perkembangan ekonomi kerap mengarah pada eksploitasi rimba-rimba yang tersisa.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-angka-kebakaran-hutan-2019-jauh-lebih-besar-dibanding-data-pemerintah-174787">Riset: angka kebakaran hutan 2019 jauh lebih besar dibanding data pemerintah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Penurunan deforestasi menunjukkan pengelolaan hutan Indonesia dalam beberapa hal memang <a href="https://www.globalforestwatch.org/dashboards/country/IDN/?category=summary&location=WyJjb3VudHJ5IiwiSUROIl0%3D&map=eyJkYXRhc2V0cyI6W3sib3BhY2l0eSI6MC43LCJ2aXNpYmlsaXR5Ijp0cnVlLCJkYXRhc2V0IjoicHJpbWFyeS1mb3Jlc3RzIiwibGF5ZXJzIjpbInByaW1hcnktZm9yZXN0cy0yMDAxIl19LHsiZGF0YXNldCI6InBvbGl0aWNhbC1ib3VuZGFyaWVzIiwibGF5ZXJzIjpbImRpc3B1dGVkLXBvbGl0aWNhbC1ib3VuZGFyaWVzIiwicG9saXRpY2FsLWJvdW5kYXJpZXMiXSwiYm91bmRhcnkiOnRydWUsIm9wYWNpdHkiOjEsInZpc2liaWxpdHkiOnRydWV9LHsiZGF0YXNldCI6InRyZWUtY292ZXItbG9zcyIsImxheWVycyI6WyJ0cmVlLWNvdmVyLWxvc3MiXSwib3BhY2l0eSI6MSwidmlzaWJpbGl0eSI6dHJ1ZSwicGFyYW1zIjp7InRocmVzaG9sZCI6MzAsInZpc2liaWxpdHkiOnRydWUsImFkbV9sZXZlbCI6ImFkbTAifX1dfQ%3D%3D&showMap=true">membaik</a>. Namun, masih ada beberapa aspek yang patut menjadi perhatian.</p>
<p>Dalam beberapa dekade terakhir, banyak hutan telah dibabat dan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan bubur kayu. Perburuan mineral penting yang mendukung transisi hijau, seperti nikel, <a href="https://news.mongabay.com/2023/06/red-floods-near-giant-indonesia-nickel-mine-blight-farms-and-fishing-grounds/">turut merusak</a> perikanan dan sungai.</p>
<p>Ada juga pembangunan jalan yang terus meningkat di seluruh Indonesia. </p>
<p>Infrastruktur jalan seperti duri yang menerobos masuk ke alam raya. Ketika jalan terbangun, hutan-hutan dapat terambah seperti ikan yang dikuliti. Buldoser, gergaji mesin, hingga peralatan pertambangan dapat masuk. Akibatnya <a href="https://www.cell.com/trends/ecology-evolution/fulltext/S0169-5347(09)00206-7?_returnURL=https%3A%2F%2Flinkinghub.elsevier.com%2Fretrieve%2Fpii%2FS0169534709002067%3Fshowall%3Dtrue">amat merusak</a>.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/536713/original/file-20230711-23-a38esp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="jalan kebun sawit" src="https://images.theconversation.com/files/536713/original/file-20230711-23-a38esp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/536713/original/file-20230711-23-a38esp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/536713/original/file-20230711-23-a38esp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/536713/original/file-20230711-23-a38esp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/536713/original/file-20230711-23-a38esp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/536713/original/file-20230711-23-a38esp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/536713/original/file-20230711-23-a38esp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Ketika jalan masuk ke dalam hutan, jauh lebih mudah untuk mengubahnya menjadi perkebunan atau menebangnya.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Selama beberapa dekade, Indonesia terus menerus dilanda <a href="https://news.mongabay.com/2020/12/indonesias-five-most-consequential-environmental-stories-of-2020/">bencana lingkungan</a>, mulai dari kehilangan hutan yang masif hingga asap mematikan dari terbakarnya tumbuhan.</p>
<p>Untuk mencegah bencana serupa tidak terjadi, Indonesia membutuhkan komunitas sains yang dinamis, terbuka, dan terbebas dari kekangan pemerintah.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/209604/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Bill Laurance menerima dana dari berbagai organisasi ilmiah dan filantropi. Dia adalah direktur Center for Tropical Environmental and Sustainability Science di James Cook University di Cairns, Australia. Dia juga mendirikan dan mengarahkan ALERT (the Alliance of Leading Environmental Researchers & Thinkers) sebuah kelompok advokasi sains dan konservasi.
</span></em></p>Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah memangkas laju deforestasi. Itulah mengapa aksi pengekangan terbaru terhadap para peneliti di negeri ini sangat mengejutkan.Bill Laurance, Distinguished Research Professor and Australian Laureate, James Cook UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2057842023-05-16T16:26:17Z2023-05-16T16:26:17ZApakah Wikipedia sumber yang baik? 2 pustakawan universitas menjelaskan kapan memakainya dan kapan sebaiknya kita hindari<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/526605/original/file-20230516-29-yzevkg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Beberapa profesor kini memberikan tugas pengeditan Wikipedia sebagai alternatif dari karya riset tradisional.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/in-this-photo-illustration-a-wikipedia-logo-is-displayed-on-news-photo/1247525116">(Nikolas Kokovlis/NurPhoto via Getty Images)</a></span></figcaption></figure><p>Apa yang muncul di benakmu ketika memikirkan Wikipedia?</p>
<p>Mungkin kamu terbayang akan mengklik tautan demi tautan untuk mempelajari suatu topik, diikuti dengan topik lainnya, dan begitu seterusnya. Bisa jadi juga, kamu pernah mendengar seorang guru atau pustakawan memberitahumu bahwa bacaan di Wikipedia tidak reliabel.</p>
<p>Sebagai <a href="https://scholar.google.com/citations?user=CgwmgHoAAAAJ&hl=en&oi=ao">pustakawan riset</a> dan <a href="https://udayton.edu/directory/libraries/garnai.php">pengajaran</a>, kami tahu bahwa orang punya kekhawatiran tentang penggunaan Wikipedia dalam karya akademik. Meski begitu, ketika berinteraksi dengan mahasiswa sarjana dan pascasarjana yang melakukan berbagai riset, kami juga melihat bagaimana Wikipedia bisa menjadi sumber penting untuk mendapatkan informasi latar belakang, pengembangan topik, dan mencari informasi lebih lanjut.</p>
<h2>Bagaimana sebenarnya cara kerja Wikipedia?</h2>
<p><a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Perihal">Wikipedia</a>, yang diluncurkan <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Wikipedia">pada tahun 2001</a>, adalah suatu ensiklopedi daring gratis yang dijalankan oleh organisasi nirlaba Wikimedia Foundation dan ditulis secara kolaboratif oleh para penggunanya.</p>
<p><a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Sepuluh_Aturan_Sederhana_untuk_Menyunting_Wikipedia">Ada 10 peraturan</a> dan <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Pancapilar">5 pilar</a> dalam berkontribusi ke situs ini. Lima pilar tersebut menegaskan Wikipedia sebagai ensiklopedi daring yang bebas akses, dengan artikel-artikel yang akurat dan mengutip sumber-sumber kredibel, serta para editor – disebut ‘Wikipedians’ – yang menghindari bias dan memperlakukan satu sama lain dengan hormat.</p>
<p><a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Kebijakan_dan_pedoman">Sejumlah kebijakan dan panduan</a> kemudian mengembangkan 5 pilar itu dengan menjabarkan beragam praktik baik untuk penulisan dan pengeditan di Wikipedia. Beberapa hal umum yang bertentangan dengan panduan-panduan ini, misalnya, termasuk <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Memberitahukan_kontribusi_yang_dibayar">pengeditan berbayar</a> dan <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Vandalisme">vandalisme</a>, yang merujuk pada praktik pengeditan artikel dengan niatan jahat, bersifat ofensif, atau berupaya mencemarkan nama baik secara sengaja (<em>libel</em>).</p>
<p>Berikut adalah beberapa hal yang kami pandang sebagai kelebihan dan kekurangan bagi mahasiswa dalam menggunakan Wikipedia sebagai sumber informasi riset dan tugas mereka, meski prinsip-prinsip ini juga tentu bisa berlaku bagi masyarakat umum.</p>
<h2>Kelebihan Wikipedia</h2>
<p><strong>1. Informasi dasar tersedia untuk hampir semua topik</strong></p>
<p>Selain bersifat gratis dan selalu sedia, <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Pedoman_tata_letak">desain halaman artikel-artikel Wikipedia yang terstandardisasi</a> serta sistem tautan yang merujuk ke artikel lain membantu pembaca untuk dengan cepat melacak informasi-informasi dasar terkait topik yang mereka cari – utamanya siapa, apa, kapan, di mana, dan kenapa.</p>
<p>Dalam pengalaman kami, banyak mahasiswa datang ke perpustakaan dengan suatu topik tertentu di kepala mereka – sebut saja, hak pilih di Amerika Serikat (AS) pada era Rekonstruksi – tapi dengan pengetahuan yang masih minim terkait topik itu. Sebelum mereka mencari artikel-artikel atau buku ilmiah yang biasanya mereka butuhkan untuk menyelesaikan tugas mereka, mahasiswa menjadi terbantu dengan pemahaman awal tentang kata kunci dan konsep yang berkaitan dengan topik itu.</p>
<p>Ini kemudian membantu memastikan bahwa mereka bisa mencoba beragam variasi kata kunci dan frase ketika mereka melakukan strategi pencarian dalam katalog atau basis data akademik.</p>
<p><strong>2. Adanya catatan dan daftar pustaka mendorong pembaca untuk mempelajari topik lebih dalam lagi</strong> </p>
<p>Metafora “<a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Lubang_kelinci_wiki">lubang hitam Wiki</a>” adalah perilaku <em>browsing</em> yang nyata, yang menggambarkan bagaimana orang lompat dari topik ke topik lainnya tanpa henti. Ini merupakan cerminan betapa mudahnya navigasi situs Wikipedia.</p>
<p>Mahasiswa bisa mencari informasi berharga seperti ilmuwan dan figur penting di balik suatu topik dengan menelusuri ke bawah hingga bagian “Catatan” dan “Referensi” dari suatu laman Wikipedia. Di sini, mereka bisa mencari siapa yang menulis berbagai sumber yang digunakan dalam artikel tersebut, sekaligus informasi sitasi yang dibutuhkan untuk melacak buku dan artikel penting lainnya.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Women work together at a table with laptops" src="https://images.theconversation.com/files/515345/original/file-20230314-6394-ntrn39.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/515345/original/file-20230314-6394-ntrn39.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/515345/original/file-20230314-6394-ntrn39.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/515345/original/file-20230314-6394-ntrn39.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/515345/original/file-20230314-6394-ntrn39.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/515345/original/file-20230314-6394-ntrn39.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/515345/original/file-20230314-6394-ntrn39.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Mahasiswa membuat dan mengedit artikel Wikipedia tentang seniman perempuan marjinal pada suatu ajang ‘<em>edit-a-thon</em>’ di Queens College, New York.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://commons.wikimedia.org/wiki/File:WikiWomen%27s_Edit-a-thon_at_Queens_College_01.jpg">Wikimedia Commons</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>3. Mahasiswa bisa menjadi editor</strong></p>
<p>Mahasiswa bisa menulis konten, membagikan informasi dan mengutip dengan benar sumber ilmiah di Wikipedia dengan menjadi editor. Siapa pun bisa dengan sigap menjadi salah satu editor pertama yang melakukan perubahan atas suatu artikel <a href="https://www.cnn.com/2022/05/20/tech/wikipedia-editors-breaking-news/index.html">seiring kejadian itu berlangsung</a>. Mereka yang punya akses ke sumber-sumber ilmiah, baik tertulis maupun daring melalui perpustakaan, <a href="https://infomational.com/2014/12/01/on-information-privilege/">bisa mengembangkan konten Wikipedia lebih jauh lagi</a> dengan membagikan informasi akademik yang aksesnya terkunci atau jurnal berbayar.</p>
<p><a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Edit-a-thon">Gelaran “<em>edit-a-thon</em>” Wikipedia</a> adalah ajang yang mengundang orang-orang untuk berkumpul demi mengedit artikel dalam topik-topik tertentu atau topik lain yang mungkin saja tidak banyak mendapat perhatian. Sejumlah perguruan tinggi di AS telah menyelenggarakan <em>edit-a-thon</em> terkait <a href="https://library.pratt.edu/event/2023/01/12/wikipedia-edit-a-thon.html">seniman orang kulit hitam</a>, <a href="https://news.unl.edu/newsrooms/today/article/edit-a-thon-to-increase-women-s-history-on-wikipedia/">sejarah perempuan</a>, hingga <a href="https://enews.wvu.edu/articles/2023/02/15/-amplifying-appalachia-art-feminism-wikipedia-edit-a-thon-set-for-march">kelompok-kelompok seniman yang beragam di wilayah Appalachia</a> di AS bagian timur.</p>
<p>Beberapa <a href="https://wikiedu.org/blog/2019/04/19/5-reasons-to-do-a-wikipedia-writing-assignment-next-term/">profesor memberikan tugas pengeditan Wikipedia</a> sebagai alternatif dari karya riset tradisional. Praktik ini membuat mahasiswa terlibat dengan literasi digital dan mengajarkan mereka tentang <a href="https://www.insidehighered.com/news/2022/11/09/more-professors-now-embrace-wikipedia-classroom">bagaimana pengetahuan di masyarakat itu dibangun dan dibagikan</a>.</p>
<h2>Kekurangan Wikipedia</h2>
<p><strong>1. Ada bias gender dan sistemik</strong></p>
<p>Sifat urun daya (<em>crowdsource</em>) dari Wikipedia bisa berujung pada pengecualian sejumlah suara dan topik tertentu. Meski semua bisa mengedit, tidak semua melakukannya.</p>
<p>Terkait <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Bias_gender_di_Wikipedia">bias gender</a>, Wikipedia mengakui bahwa sebagian besar kontributor adalah laki-laki, hanya ada sedikit biografi tentang perempuan, dan topik-topik yang mendapat perhatian besar dari perempuan masih minim.</p>
<p>Dinamika kurangnya representasi ini juga bisa kita lihat pada ranah-ranah lain, terutama ras dan etnis. Hampir <a href="https://wikiedu.org/blog/2021/08/10/changing-the-face-of-wikipedia">90% editor Wikipedia di AS mengaku kulit putih</a>, yang kemudian bisa berujung pada nihilnya topik, perspektif, dan sumber tertentu.</p>
<p><strong>2. Persyaratan pengutipan bisa mengeksklusi sumber-sumber penting</strong></p>
<p>Wikipedia mensyaratkan bahwa informasi yang dilampirkan dalam artikel <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Sumber_tepercaya">dipublikasikan oleh sumber yang reliabel</a>. Meski ini seringkali menjadi aspek penting untuk mengkonfirmasi kredibilitas suatu informasi, ini bisa juga jadi hambatan untuk topik-topik yang jarang mendapat perhatian di surat kabar atau jurnal ilmiah. </p>
<p>Untuk beberapa topik, misalnya seperti masyarakat adat di Kanada, <a href="https://thecanadianencyclopedia.ca/en/article/indigenous-oral-histories-and-primary-sources">sejarah lisan</a> bisa jadi sumber yang penting, namun bisa jadi tidak lolos sebagai sumber referensi suatu artikel Wikipedia.</p>
<p><strong>3. Tidak semua sumber yang dikutip itu bebas akses</strong></p>
<p>Beberapa sumber yang dijadikan referensi bisa jadi aksesnya berbayar. Kemudian, karena sitasi <a href="https://scholarlykitchen.sspnet.org/2022/11/01/guest-post-wikipedias-citations-are-influencing-scholars-and-publishers/">mendorong lalu lintas (<em>traffic</em>) dan pendapatan</a> ke suatu situs, penerbit akademik punya kepentingan untuk membuat publikasi-publikasi mereka dikutip, meskipun sebenarnya aksesnya tidak gratis. Meski demikian, mahasiswa juga bisa menggunakan perpustakaan institusi mereka untuk mendapatkan akses teks penuh untuk sumber yang mereka temui di artikel-artikel Wikipedia.</p>
<p><strong>4. Artikel-artikel sering berubah</strong> </p>
<p>Walau Wikipedia punya kelebihan karena selalu memperbarui informasi, sifat artikel yang tidak kekal ini bisa membuatnya sulit diandalkan sebagai sumber informasi. Mahasiswa bisa melacak tanggal saat mereka mendapatkan informasi tertentu di Wikipedia, mengingat isi laman tersebut bisa jadi berbeda saat mereka kembali mengaksesnya pada kemudian hari. </p>
<p>Laman “<em>Talk</em>” dari suatu artikel Wikipedia menyajikan informasi dan diskusi tentang perubahan yang terjadi pada artikel, dan situs <a href="https://web.archive.org/">Internet Archive Wayback Machine</a> bisa dipakai untuk melihat versi-versi sebelumnya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/205784/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Berikut sejumlah kelebihan dan kekurangan dari penggunaan Wikipedia oleh mahasiswa dalam riset dan tugas mereka.Bridget Retzloff, Assistant Professor and Digital Pedagogy Librarian, University of DaytonKaty Kelly, Professor of Marketing and Engagement, University of DaytonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2016862023-03-29T03:29:39Z2023-03-29T03:29:39ZPenggunaan ChatGPT tak perlu dilarang: layanan AI bisa mendukung riset dan pendidikan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/518102/original/file-20230329-22-ywbon9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Etika dan batas-batas penggunaan ChartGPT perlu kita perkenalkan kepada para mahasiswa. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/woman-laptop-working-internet-16094040/">Pexels/Matheus Bertelli</a></span></figcaption></figure><p>Banyak sekolah dan universitas terkemuka di dunia, termasuk di <a href="https://www.reuters.com/technology/top-french-university-bans-use-chatgpt-prevent-plagiarism-2023-01-27/">Prancis</a>, <a href="https://www.cambridge-news.co.uk/news/cambridge-news/cambridge-university-among-elite-universities-26361465">Inggris</a> dan <a href="https://www.usatoday.com/story/news/education/2023/01/30/chatgpt-going-banned-teachers-sound-alarm-new-ai-tech/11069593002/">Amerika Serikat</a> melarang penggunaan ChatGPT dalam proses <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0262407923000994">belajar mengajar</a>.</p>
<p>Mereka khawatir bahwa penggunaan ChatGPT akan meningkatkan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2666389923000430">potensi plagiarisme</a> dan dikhawatirkan mengancam <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2666659623000033">integritas akademik</a>. Tapi, kecerdasan buatan telah mulai digunakan dalam <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0002937823001540">bidang kesehatan</a>, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1089947223000667">keperawatan</a>, dan diperdebatkan kegunaaanya dalam <a href="https://www.nature.com/articles/d41586-023-00288-7">sains</a>. </p>
<p>Jika kita lihat dari perspektif yang berbeda, ada banyak hal yang dapat kita manfaatkan dari kemuktahiran kecerdasan buatan (<em>artificial intelligence</em>, AI) untuk mempermudah pekerjaan kita di dunia akademik. Misalnya, para dosen bisa memperkenalkan ChatGPT di dalam kelas sekaligus mengedukasi mereka untuk lebih bijak dalam penggunaannya. </p>
<p>ChatGPT juga bisa kita gunakan untuk mendukung penelitian. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kami-bertanya-ke-chatgpt-dan-dr-google-hal-yang-sama-tentang-kanker-ini-jawaban-mereka-202035">Kami bertanya ke ChatGPT dan Dr Google hal yang sama tentang kanker. Ini jawaban mereka</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>ChatGPT untuk membantu riset</h2>
<p>Desember 2022 lalu, dunia digegerkan dengan suatu program AI bernama <a href="https://openai.com/blog/chatgpt">ChatGPT</a>. ChatGPT (<em>Generative Pre-Trained Transformer</em>), adalah sebuah program keluaran perusahaan OpenAI yang dapat menjawab segala pertanyaan dalam bentuk percakapan, atau bahasa alami manusia. </p>
<p>Berbeda dengan Google, ChatGPT adalah suatu “<em>chat bot</em>”. Ia bisa diajak “<em>chat</em>” mengenai apa saja. </p>
<p>Bagi orang Indonesia, hal yang juga dianggap mengagumkan adalah bahwa ChatGPT dapat digunakan langsung dalam Bahasa Indonesia. Misalnya, cukup mengetik “Buatkan puisi mengenai keindahan danau Maninjau”, maka dalam sekejap ChatGPT menghasilkan puisi empat bait mengenai topik yang diberikan.</p>
<p>Kemuktahiran ChatGPT menjadi bahan perdebatan sengit di dunia akademik. Ada yang mengagumi kecanggihan teknologi ini, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0262407923003263">tapi ada yang cemas</a> karena AI akan menggantikan keahlian dan tenaga manusia, sehingga potensi hilangnya sebagian pekerjaan semakin tinggi. </p>
<p>Para <a href="https://www.nature.com/articles/d41586-022-04397-7">dosen kewalahan</a> karena mahasiswa bisa menggunakan ChatGPT untuk menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan dengan mudah dan cepat. GhatGPT bahkan bisa membantu telaah pustaka, meringkas, atau <a href="https://ccforum.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13054-023-04380-2">menulis sebagian karya ilmiah</a> mereka. </p>
<p>Namun, kami berpandangan bahwa penggunaan ChatGPT juga membantu menunjang produktivitas akademisi, peneliti, dan mahasiswa. Berikut beberapa contoh penggunaan ChatGPT di dunia akademik:</p>
<p><strong>Menulis kode komputer</strong></p>
<p>Salah satu keterampilan utama ChatGPT terkait dengan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0262407923004189">penulisan kode komputer</a>. Misalnya, melalui instruksi “tulis kode bahasa Python untuk menghitung koefisien linear”, ChatGPT dapat menampilkan kode bahasa Phyton yang sesuai. </p>
<p>ChatGPT bahkan bisa menghasilkan model dan algoritma yang kompleks, seperti dalam <em>machine learning</em> (pembelajaran mesin). Layanan AI ini, misalnya, bisa menjawab permintaan menantang seperti “berikan contoh dalam bahasa R pengggunaan model <em>random forest</em> untuk pendugaan ciri tanah.”</p>
<p>Tentu kode tersebut tidak bisa langsung jalan karena yang diberikan hanya contoh dan perlu dimodifikasi sesuai kebutuhan. </p>
<p>Di samping itu, para pengguna pemrograman komputer dapat memakai ChatGPT untuk menjelaskan alur kerja suatu kode komputer, mencari kesalahan di suatu alur kode, menerjemahkan dari satu bahasa pemrograman ke bahasa lain.</p>
<p><strong>Menulis dan menganalisis artikel</strong> </p>
<p>Aplikasi paling kontroversial adalah ChatGPT bisa menulis seperti manusia. Hal ini yang mengagetkan banyak orang karena berarti siapa saja bisa lolos ujian jika memiliki akses ChatGPT. </p>
<p>Namun, sebenarnya kita tidak perlu takut akan kecanggihan bahasa ChatGPT. Keunggulan program ini justru bisa kita gunakan untuk membantu penulisan.</p>
<p>ChatGPT bisa diperintahkan untuk membantu menulis suatu topik menurut fokus, format, gaya, pembaca yang dituju, dan perspektif yang kita inginkan. Misalnya, kita bisa mulai dengan meminta ChatGPT merancang kerangka satu esai atau tulisan. </p>
<p>Namun, itu hanyalah titik awal. Kerangka tersebut perlu dikembangkan dengan mencari literatur ilmiah. Yang paling penting adalah mengecek kebenaran tulisan AI.</p>
<p>Sebagian penulis terkadang mengalami hambatan menulis (<em>writer’s block</em>) atau kehilangan kata saat menyusun kalimatnya. ChatGPT bisa membantu penulis untuk mengatasi masalah ini. Misalnya, dengan meminta ChatGPT memberikan ide penulisan topik satu paragraf, kita bisa melanjutkannya sehingga menghilangkan hambatan menulis.</p>
<p>Selain itu, kita bisa meminta ChatGPT memperbaiki tulisan – seperti meningkatkan kejelasan dan membuatnya lebih langsung atau akurat. Untuk bahasa Inggris (atau bahasa asing lainnya), mintalah ChatGPT untuk menjelaskan kesalahan struktur dan tata bahasa, serta bagaimana memperbaikinya.</p>
<p>Artikel ilmiah dalam bahasa Inggris kadang rumit dan susah diringkas. Mintalah chatGPT meringkas poin-poin penting dari satu paragraf artikel ilmiah. </p>
<p>Dengan bantuan tersebut, mahasiswa bisa dilatih untuk meningkatkan ketrampilan pemahaman artikel ilmiah. Bahkan, ChatGPT bisa juga diminta untuk menulis surat, membuat lelucon, puisi, lirik lagu dan lainnya.</p>
<h2>Keterbatasan</h2>
<p>ChatGPT menggunakan algoritma pembelajaran mesin yang disebut <em>Large Learning Model</em>, yang dapat memproses sejumlah besar data teks, termasuk buku, berita, halaman Wikipedia, dan jutaan situs web. </p>
<p>Dengan “mempelajari” data yang cukup besar, model tersebut bisa mempelajari pola dan struktur bahasa dan bisa menginterpretasikan segala pertanyaan.</p>
<p>Saat ini, ChatGPT dianggap sebagai <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2772485923000066">AI yang paling canggih</a>, namun tidak bebas dari kesalahan dan keterbatasan. Kalimat yang dihasilkan sangat mengesankan tapi kontennya terkadang sangat dangkal, tidak tepat, atau bahkan salah. </p>
<p>Untuk itu, hasil ChatGPT harus kita periksa dan validasi. <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0740257023000138">Beberapa reviu</a> termasuk oleh penulis dan para kolega kami menemukan bahwa pemanfaatan ChatGPT untuk topik yang belum memiliki cukup informasi di dunia maya, dapat berakhir dengan munculnya jawaban yang sama sekali tidak akurat.</p>
<p>Ada kesalahpahaman bahwa ChatGPT dianggap sebagai sumber pengetahuan. Mempercayai sepenuhnya hasil ChatGPT cukup berbahaya dan meracuni pikiran kritis. Padahal sebenarnya, ChatGPT adalah “alat” yang memodelkan bahasa, bukan pengetahuan. </p>
<p>Misal saja, kita bisa bertanya “Berikan satu contoh aplikasi AI di dunia pertanian”.</p>
<p>ChatGPT bisa jadi menjawab seperti ini:</p>
<blockquote>
<p>“Penggunaan <em>drone</em>: AI dapat digunakan pada <em>drone</em> untuk memetakan lahan pertanian dan memberikan informasi tentang kondisi tanaman, curah hujan, dan penggunaan air. Hal ini dapat membantu petani dalam membuat keputusan yang tepat terkait penggunaan sumber daya dan waktu panen yang optimal.”</p>
</blockquote>
<p>Walau jawabannya cukup meyakinkan, namun jika seorang petani membeli <em>drone</em> dan meminta ChatGPT memetakan lahan pertanian, sang petani tentu akan kebingungan. </p>
<p>Untuk mendapatkan informasi “kondisi tanaman, curah hujan, dan penggunaan air” dengan <em>drone</em>, seorang pengguna perlu mempelajari prinsip <em>remote sensing</em> (pengindraan jarak jauh), pengolahan data, penggunaan perangkat lunak, dan pengetahuan teknis lainnya. </p>
<p>Sementara ini, jawaban ChatGPT seolah lebih cocok untuk menjawab topik penelitian S3, bukan jawaban teknis praktis.</p>
<p>Jangan berharap ChatGPT untuk menuliskan penelitian kita. Kreativitas adalah bagian penting dari penelitian – AI tidak dapat melakukan hal itu. </p>
<p>Bahkan, dunia penerbit jurnal kini telah menerapkan peraturan ketat terkait ChatGPT. Baru-baru ini, kami menerima email dari Direktur Pelaksana Jurnal Elsevier tentang <a href="https://www.elsevier.com/about/policies/publishing-ethics#Authors">kode etik</a> penggunaan ChatGPT bagi penulis artikel ilmiah. </p>
<p>Para penulis artikel ilmiah harus menyatakan apakah menggunakan ChatGPT ketika menyusun artikel tersebut, dan ada <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2352556823000176#bib0020">pedoman</a> yang harus diikuti para editor dan reviewer. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/chatgpt-membunuh-tugas-esai-murid-dan-mahasiswa-para-filsuf-bilang-itu-omong-kosong-202602">ChatGPT membunuh tugas esai murid dan mahasiswa? Para filsuf bilang itu omong kosong</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>AI dalam pendidikan dan pengajaran</h2>
<p>Dengan mengetahui keterbatasannya, dosen dan mahasiswa bisa memanfaatkan ChatGPT mulai dari membantu mengatasi hambatan menulis, pemecahan masalah, hingga penulisan kode komputer. </p>
<p>Kita tidak perlu melarang penggunaan ChatGPT. Justru, kita perlu memperkenalkan penggunaan AI yang bertanggung jawab dan mendiskusikan etika penggunaakannya dalam pendidikan.</p>
<p>Tapi bagimana dengan mahasiswa yang memakai ChatGPT untuk menulis tugas mereka?</p>
<p>Rancanglah pertanyaan atau tugas yang mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis, bukan jawaban yang bisa disalin langsung dari buku teks atau halaman situs. </p>
<p>Ajak para mahasiswa mengecek jawaban yang diberikan oleh ChatGPT. Dengan ini, misalnya, kita bisa melatih mahasiswa untuk memberikan jawaban yang lebih kritis dari pemberian ChatGPT.</p>
<p>Di dalam kelas, para dosen bisa mengajak mahasiswa membahas satu topik lebih mendalam dan memperlihatkan jawaban ChatGPT. Jelaskan kebenaran, kekurangan atau kesalahan dari jawaban tersebut. </p>
<p>Harapannya, mahasiswa akan mengetahui kedangkalan pengetahuan ChatGPT dan mengapresiasi pemikiran kritis dan kreativitas yang hanya bisa dilakukan dengan pemikiran manusia. </p>
<p>Walaupun ChatGPT bisa membantu dalam penulisan, akademisi perlu memiliki keterampilan untuk komunikasi. AI tidak bisa merumuskan pertanyaan penelitian, merancang eksperimen, dan menginterpretasikan hasil penelitian. Selain itu akademisi perlu basis pengetahuan yang kuat sehingga dapat mengidentifikasi bias, mengajukan pertanyaan kritis, dan memastikan keakuratan dan validitas temuan penelitian.</p>
<p>AI tidak akan membuat kita kehilangan pekerjaan. Dengan merangkul perkembangan teknologi, maka keterampilan kita bisa meningkat, tugas-tugas baru akan muncul ketika pekerjaan rutin suatu hari diambil alih oleh AI. </p>
<p>Selamat memasuki dan menikmati dunia AI.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/201686/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kemuktahiran ChatGPT menjadi bahan perdebatan sengit di dunia akademik.Budiman Minasny, Professor in Soil-Landscape Modelling, University of SydneyDian Fiantis, Professor of Soil Science, Universitas AndalasWirastuti Widyatmanti, Dosen Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2021022023-03-20T13:58:04Z2023-03-20T13:58:04ZRiset: bias gender dalam penelitian membuat olahraga perempuan jadi makin sulit maju<p>Sepanjang sejarah, dunia olahraga cenderung memprioritaskan kelompok tertentu dan menyampingkan kelompok lainnya.</p>
<p>Selama ini ada gagasan yang melekat bahwa seorang atlet perlu menunjukkan karakter maskulinitas tradisional. Setiap individu yang tidak menunjukkan sifat ini sering kali rentan dilecehkan, dikesampingkan, atau dikucilkan.</p>
<p>Secara historis, femininitas memang kerap dianggap sebagai karakter yang nonatletik. Penelitian menemukan beberapa atlet memiliki persepsi bahwa menjadi “perempuan” dan “atlet” merupakan dua identitas yang <a href="https://link.springer.com/article/10.1023/B:SERS.0000018888.48437.4f">hampir berlawanan</a>.</p>
<p>Karena alasan ini dan lainnya, olahraga perempuan menjadi sulit berkembang, tidak seperti olahraga laki-laki pada umumnya. Meskipun mulai ada kemajuan sekarang ini, <a href="https://doi.org/10.1080/1750984X.2022.2150981">penelitian baru kami</a> menunjukkan bahwa masih tetap ada kesenjangan gender yang besar dalam penelitian mengenai olahraga.</p>
<p>Kami menemukan bahwa studi-studi tentang psikologi olahraga – yang membahas strategi yang digunakan para atlet untuk mencapai performa maksimalnya – secara demoninan melibatkan partisipan laki-laki.</p>
<p>Misalnya, dalam seluruh penelitian psikologi olahraga yang kami lihat dari tahun 2010 sampai 2020, 62% partisipannya adalah laki-laki dewasa dan anak laki-laki. Selanjutnya, sekitar 22% dari studi psikologi olahraga yang kami teliti memiliki sampel yang sepenuhnya terdiri dari partisipan laki-laki. Sebaliknya, riset yang murni menggunakan partisipan perempuan dan anak perempuan hanya sebesar 7%.</p>
<p>Perempuan mungkin melakukan aktivitas olahraga secara berbeda dari laki-laki. Seperti halnya riset di bidang kedokteran, basis bukti yang didapat hanya dari pengalaman dan tubuh laki-laki akan memberikan rekomendasi yang tidak memadai dan tidak efektif untuk diterapkan pada perempuan.</p>
<h2>Sudah ada kemajuan</h2>
<p>Kemajuan dalam olahraga perempuan sudah terbukti adanya, dan terus berlanjut setiap tahun. Kesenjangan gender dalam olahraga rekreasi maupun profesional perlahan menyempit.</p>
<p>Keterlibatan perempuan dalam olahraga terus berkembang. Jumlah anak perempuan yang berpartisipasi dalam olahraga di sekolah menengah atas di Amerika Serikat (AS), misalnya, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00913847.2020.1852861?journalCode=ipsm20">meningkat sebesar 262% antara tahun 1973 dan 2018</a>.</p>
<p>Di Australia, partisipasi perempuan dan anak perempuan dalam olahraga antara tahun 2015 dan 2019 <a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fspor.2021.710666/full">tumbuh lebih cepat daripada partisipasi laki-laki dan anak laki-laki</a>.</p>
<p>Kemajuan serupa juga terjadi dalam olahraga profesional, dan minat publik akan hal ini pun meningkat secara signifikan. Misalnya, Piala Dunia Kriket Wanita 2020 mencatat rekor dalam kehadiran penonton, dengan laga finalnya berlangsung di stadion Melbourne Cricket Ground (MCG), Victoria di depan <a href="https://mcg.org.au/whats-on/latest-news/2020/march/records-tumble-as-australia-claims-icc-womens-t20-world-cup">86.174 penggemar</a>.</p>
<p>Banyak olahraga yang tengah memasuki era profesionalisasi baru yang kompleks, <a href="https://theconversation.com/the-afl-has-consistently-put-the-womens-game-second-is-it-the-best-organisation-to-run-aflw-180665">seperti yang terjadi pada Australian Football League Women (AFLW)</a>.</p>
<p>Terlepas dari tren positif ini, tetap ada masalah-masalah besar.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/the-tokyo-olympics-are-billed-as-the-first-gender-equal-games-but-women-still-lack-opportunities-in-sport-165280">The Tokyo Olympics are billed as the first gender equal Games, but women still lack opportunities in sport</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Bias gender dalam penelitian</h2>
<p>Setiap kemajuan yang diharapkan dalam olahraga perempuan tentunya harus didukung oleh basis bukti mendasar.</p>
<p>Sebagai peneliti kesehatan mental di bidang olahraga tingkat elit, kami berharap dapat memberi dampak nyata melalui penelitian terapan yang ketat. Tim kami sebelumnya telah menyelidiki pengalaman kesehatan mental berdasarkan gender di antara atlet elit dan menemukan bahwa perempuan mengalami gejala gangguan kesehatan mental yang lebih signifikan dan <a href="https://bmjopensem.bmj.com/content/7/1/e000984">kejadian negatif yang lebih sering, seperti diskriminasi atau kesulitan keuangan</a>.</p>
<p>Penelitian semacam ini sangat penting untuk dapat memberi informasi mengenai layanan dan sistem yang mendukung performa maksimal para atlet. Tetapi penelitian tersebut juga harus mewakili targetnya dengan imbang. Jika tidak, kemajuan yang diharapkan akan terbatas.</p>
<p>Sekarang kita sudah paham bahwa bidang penelitian medis dan ilmiah banyak memberikan contoh bagaimana partisipasi gender yang tidak setara telah menyebabkan efek kesehatan yang negatif. Karena hanya pengalaman dan tubuh laki-laki yang <a href="https://www.science.org/doi/10.1126/science.1115616">dianggap sebagai norma</a>, masih sering terjadi pemahaman yang tidak akurat tentang penyebab penyakit, alat kesehatan, serta metode perawatan bagi perempuan.</p>
<p>Ini pun juga berlaku bagi penelitian medis dan ilmiah dalam olahraga.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1368861182723985408"}"></div></p>
<h2>Temuan kami</h2>
<p>Seiring olahraga menjadi semakin kompetitif dan penuh tekanan, psikologi olahraga sangat penting untuk mendukung atlet dalam lingkungan yang penuh stres ini.</p>
<p>Menyusul kekhawatiran tentang bias gender dalam penelitian ilmiah, kami bermaksud memahami apakah studi dalam bidang olahraga dan psikologi olahraga sudah cukup representatif.</p>
<p>Kami mencatat gender partisipan seluruh penelitian yang diterbitkan dalam jurnal psikologi olahraga dan latihan fisik pada tahun 2010, 2015 dan 2020, untuk memperkirakan keseimbangan gender selama satu dekade terakhir. Ini termasuk studi tentang topik-topik seperti: kesehatan fisik dan mental, kepribadian dan motivasi, latihan dan pengembangan atlet, kepemimpinan, dan keterampilan mental.</p>
<p>Dalam lebih dari 600 penelitian yang melibatkan hampir 260.000 partisipan, terdapat tingkat ketidakseimbangan gender yang signifikan.</p>
<p>Ketidakseimbangan ini bervariasi, tergantung pada area yang diteliti. Sementara penelitian psikologi olahraga berfokus pada performa dan atletnya, psikologi latihan fisik lebih fokus pada kesehatan dan partisipasi. Temuan kami menunjukkan bahwa kecenderungan untuk melibatkan partisipan laki-laki dibandingkan perempuan dalam studi psikologi olahraga, hampir empat kali lebih tinggi daripada dalam studi psikologi latihan fisik. </p>
<p>Kami juga mengidentifikasi bahwa studi-studi yang secara khusus mengeksplorasi tema-tema yang berkaitan dengan kinerja (seperti latihan, keterampilan mental, atau pengambilan keputusan) semua sampelnya melibatkan lebih sedikit perempuan dan anak perempuan, dibandingkan dengan yang berfokus pada topik-topik seperti kesehatan, kesejahteraan, atau aktivisme.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1488520065830076432"}"></div></p>
<h2>Apa arti temuan kami?</h2>
<p>Temuan kami, <a href="https://doi.org/10.1123/wspaj.2021-0028">serta temuan lainnya</a>, mengindikasikan sejumlah kesimpulan yang mengkhawatirkan.</p>
<p>Dalam praktik olahraga saat ini, strategi dan pendekatan yang direkomendasikan oleh penelitian untuk atlet perempuan dan anak perempuan sebenarnya tidak cukup mewakili kebutuhan mereka.</p>
<p>Di antara banyak faktor, topik seperti metode latihan, manajemen cedera, dan psikologi performa sangat penting untuk performa olahraga. Tapi dalam beberapa hal ini, atau bahkan bisa jadi dalam semua aspek tersebut, pengalaman atlet perempuan berbeda dengan atlet laki-laki.</p>
<p>Perubahan kebijakan telah mewujudkan perbedaan yang signifikan terhadap kesetaraan gender dalam olahraga. </p>
<p>Tetapi, peneliti dan badan pendanaan harus mengikuti kemajuan ini, guna memastikan bahwa para peneliti, termasuk kami, mengembangkan pemahaman dan metode yang benar-benar mewakili semua kelompok yang ingin kami layani. Hanya dengan cara itu olahraga perempuan dapat benar-benar berkembang.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/202102/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Courtney Walton menerima dana dari McKenzie Postdoctoral Research Fellowship di University of Melbourne, Australia. Ia menjadi penasihat sejumlah organisasi olahraga elit nasional.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Caroline Gao terafiliasi dengan Orygen dan Monash University. Ia menerima tunjangan dana dari Departemen Kesehatan, Pemerintah Negara Bagian Victoria, untuk proyek-proyek yang tidak terkait dengan artikel ini. Ia juga merupakan penyelidik dalam proyek yang didanai oleh NHMRC, NIH, HCF, dan MRFF.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Simon Rice menerima dana dari NHMRC, MRFF dan The University of Melbourne. Ia menjadi penasihat di sejumlah organisasi olahraga elit internasional.</span></em></p>Penelitian mengenai psikologi olahraga dan latihan fisik – yang membahas strategi yang digunakan atlet untuk mencapai performa puncak – sebagian besar menggunakan partisipan laki-laki.Courtney C Walton, Research Fellow & Psychologist, Mental Health in Elite Sports, The University of MelbourneCaroline Gao, Senior Research Fellow, Biostatistician, Centre for Youth Mental Health, The University of MelbourneSimon Rice, Associate Professor & Clinical Psychologist, Mental Health in Elite Sports, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1996392023-02-10T05:33:38Z2023-02-10T05:33:38ZChatGPT: riset kami tunjukkan AI bisa membuat naskah akademik selevel artikel jurnal – tak heran banyak publikasi melarangnya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/509236/original/file-20230209-26-tpk81g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p>Beberapa penerbit jurnal ilmiah terbesar di dunia kini telah <a href="https://www.theguardian.com/science/2023/jan/26/science-journals-ban-listing-of-chatgpt-as-co-author-on-papers">melarang atau membatasi</a> para penulisnya untuk memakai ChatGPT, bot percakapan berbasis kecerdasan buatan (AI).</p>
<p>Bot ini memakai informasi dari berbagai sudut internet untuk menghasilkan jawaban-jawaban yang cukup baik untuk berbagai pertanyaan. Oleh karenanya, para penerbit khawatir bahwa karya yang tidak akurat atau karya hasil plagiasi bisa saja masuk ke dalam laman-laman literatur akademik yang mereka publikasikan.</p>
<p>Beberapa peneliti bahkan mendaftarkan bot ini sebagai rekan penulis (<em>co-author</em>) dalam studi – penerbit merespons ini dengan melarangnya. Tapi kepala editor <em>Science</em>, salah satu jurnal ilmiah ternama di dunia, mengambil satu langkah lebih dan memutuskan untuk mengharamkan penggunaan teks hasil olahan ChatGPT dalam bentuk maupun untuk tujuan apapun dalam naskah-naskah yang diajukan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/major-publishers-are-banning-chatgpt-from-being-listed-as-an-academic-author-whats-the-big-deal-198765">Major publishers are banning ChatGPT from being listed as an academic author. What’s the big deal?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Tak heran bahwa penggunaan bot percakapan semacam ini menjadi perhatian banyak publikasi akademik. Riset terbaru kami, yang terbit di <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1544612323000363"><em>Finance Research Letters</em></a>, menunjukkan bahwa ChatGPT mampu menuliskan artikel akademik dalam bidang keuangan yang layak masuk jurnal ilmiah.</p>
<p>Tentu performa bot ini punya kekurangan dalam beberapa aspek. Tapi, tinggal kami tambahkan saja keahlian dan wawasan kami, kemudian program ini sudah bisa melampaui berbagai keterbatasannya di mata para penelaah jurnal.</p>
<p>Meski demikian, kami berpandangan bahwa para penerbit dan peneliti tak serta merta harus menganggap ChatGPT sebagai ancaman. Kami menganggap ChatGPT bisa menjadi alat bantu yang potensial dalam melakukan penelitian – sebutlah asisten elektronik yang murah atau bahkan gratis.</p>
<p>Pemikiran kami begini: jika semudah itu mendapatkan jawaban-jawaban yang bagus dari ChatGPT, mungkin para peneliti tinggal mengambil langkah esktra untuk bisa memakainya demi menghasilkan riset yang luar biasa.</p>
<p>Misalnya, kami pertama menanyakan ChatGPT untuk menghasilkan empat bagian umum dalam studi: ide penelitian, kajian literatur (suatu evaluasi atau reviu dari studi-studi yang sudah dilakukan sebelumnya tentang topik ini), data, dan rekomendasi untuk proses pengujian dan penyelidikan lanjutan. Kami hanya menentukan tema umum dan bahwa hasilnya harus bisa terbit dalam “jurnal keuangan yang bagus”.</p>
<p>Ini adalah versi satu dari penggunaan ChatGPT kami. Untuk versi dua, kami memasukkan hampir 200 abstrak terkait studi-studi relevan yang sudah ada ke dalam jendela ChatGPT. Kami kemudian meminta program untuk mempertimbangkan hal-hal ini saat merancang empat tahap penelitian tersebut.</p>
<p>Kemudian untuk versi tiga, kami menambahkan “keahlian domain” – input dari peneliti dan akademisi. Kami membaca jawaban-jawaban yang dihasilkan oleh bot tersebut dan memberikan rekomendasi perbaikan. Dengan begitu, kami mengintegrasikan keahlian kami dengan kemampuan ChatGPT.</p>
<p>Hingga akhirnya, kami meminta panel berisi 32 penelaah untuk masing-masing mereviu satu versi bagaimana ChatGPT bisa digunakan untuk menghasilkan studi. Mereka diminta menilai apakah karya-karya tersebut cukup komprehensif, tepat, dan apakah menawarkan kebaruan yang cukup untuk bisa terbit dalam jurnal keuangan yang “bagus”.</p>
<p>Pelajaran utama yang kami ambil adalah bahwa seluruh studi yang kami hasilkan dengan bantuan ChatGPT dianggap layak oleh para penelaah ahli. Ini cukup mencengangkan: suatu bot percakapan dianggap mampu menghasilkan ide-ide riset berkualitas.</p>
<p>Ini tentu memantik banyak <a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=4304470">pertanyaan fundamental</a> terkait makna dari kreativitas dan kepemilikian ide-ide kreatif – pertanyaan-pertanyaan yang tak ada satu pun bisa menjawab.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Lecture theatre" src="https://images.theconversation.com/files/504747/original/file-20230116-16-fkca7k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/504747/original/file-20230116-16-fkca7k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/504747/original/file-20230116-16-fkca7k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/504747/original/file-20230116-16-fkca7k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/504747/original/file-20230116-16-fkca7k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/504747/original/file-20230116-16-fkca7k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/504747/original/file-20230116-16-fkca7k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">ChatGPT bisa membantu mendemokratisasi proses penelitian.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/woman-lecturing-students-university-lecture-theatre-478472935">Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Kelebihan dan kekurangan</h2>
<p>Hasil ini juga menggarisbawahi beberapa potensi kelebihan dan kekurangan dari ChatGPT. Kami menemukan bahwa nilainya bisa berbeda-beda untuk bagian riset yang berbeda. Dalam kasus kami, bagian ide penelitian dan data cenderung meraih skor tinggi. Sementara, skor untuk bagian kajian literatur dan rekomendasi pengujian lebih rendah, meski tetap bisa diterima.</p>
<p>Dugaan kami adalah bahwa ChatGPT unggul dalam mengambil serangkaian teks eksternal lalu menghubungkannya (yang merupakan inti dari ide penelitian), atau mengambil bagian-bagian yang mudah diidentifikasi dalam suatu dokumen lalu membuat beberapa penyesuaian saja (contohnya ringkasan data – segmen teks yang mudah dikenali dalam kebanyakan artikel ilmiah).</p>
<p>Kelemahan dari platform ini terlihat ketika tugasnya lebih kompleks, misalnya ketika ada terlalu banyak tahapan dalam proses konseptual. Kajian literatur dan pengujian bisa dianggap masuk dalam kategori ini. ChatGPT cenderung unggul dalam beberapa tahapan, tapi tidak semua – dan para penelaah pun melihat ini.</p>
<p>Meski demikian, kami mampu mengatasi keterbatasan ini dalam versi penggunaan ChatGPT kami yang paling canggih (versi tiga), ketika kami berkolaborasi dengan bot tersebut untuk menghasilkan rancangan studi yang layak. Seluruh segmen dalam rancangan studi yang kami hasilkan meraih skor tinggi dari penelaah. Ini menunjukkan bahwa peran para peneliti belum mati.</p>
<h2>Dampak etis</h2>
<p>ChatGPT adalah alat. Dalam riset kami, kami menunjukkan bahwa, dengan penanganan hati-hati, ia bisa digunakan untuk menghasilkan rancangan penelitian keuangan yang layak. Bahkan tanpa penanganan lebih, ia masih mampu menghasilkan karya yang masih relatif oke.</p>
<p>Jelas, ini punya implikasi etis bagi penelitian.</p>
<p>Sebelumnya saja, integritas riset telah menjadi <a href="https://www.nature.com/articles/d41586-020-02847-8">problem mendesak</a> dalam dunia akademik. Situs seperti <a href="https://retractionwatch.com/">RetractionWatch</a> rutin menyampaikan hasil penelitian yang palsu, hasil plagiasi, atau bahkan benar-benar salah. Apakah ChatGPT bisa memperparah hal ini?</p>
<p>Jawaban singkatnya, bisa jadi. Tapi kita tak bisa mengembalikan susu yang sudah tumpah. Teknologi ini hanya akan menjadi lebih canggih (dan dengan sangat cepat). Bagaimana caranya kita mengakui atau meregulasi peran ChatGPT dalam riset dalam pertanyaan besar yang perlu dijawab di kemudian hari.</p>
<p>Tapi temuan kami juga berguna dalam hal ini – dengan menemukan bahwa versi kolaborasi ChatGPT yang paling superior adalah yang melibatkan keahlian sang peneliti, kami menunjukkan bahwa masukan dari peneliti manusia masih sangat penting dalam menghasilkan riset yang layak.</p>
<p>Untuk saat ini, kami berpandangan bahwa peneliti sebaiknya melihat ChatGPT sebagai asisten, bukan ancaman. Bisa jadi, alat ini berguna bagi kelompok peneliti yang biasanya kesulitan mendapatkan sumber daya finansial untuk menyewa bantuan riset tradisional (manusia) – yaitu para peneliti negara berkembang, mahasiswa pascasarjana, dan peneliti pada awal karir. </p>
<p>Sangat memungkinkan bahwa ChatGPT (maupun program serupa) bisa membantu mendemokratisasi proses penelitian.</p>
<p>Tapi para peneliti perlu sadar akan banyaknya larangan penggunaan teknologi ini dalam penulisan dan pengajuan naskah akademik. Cukup jelas bahwa ada banyak pandangan berbeda terkait penggunaan teknologi ini, jadi perlu kehati-hatian lebih dalam penggunaannya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/199639/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Beberapa orang beranggapan ChatGPT mengancam dunia pendidikan dan riset, tapi bot ini bisa jadi bermanfaat bagi akademisi dan peneliti.Brian Lucey, Professor of International Finance and Commodities, Trinity College DublinMichael Dowling, Professor of Finance, Dublin City UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1991742023-02-08T05:40:56Z2023-02-08T05:40:56ZBolak-balik kontroversi BRIN: bagaimana birokratisasi dan politisasi membuat BRIN hilang arah sebagai lembaga ilmiah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/508828/original/file-20230208-14-w545ek.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.youtube.com/watch?v=SPTMKYHV5W0">(Badan Riset dan Inovasi Nasional - Youtube/Fair Use)</a></span></figcaption></figure><p>Beberapa waktu ke belakang, kontroversi bertubi-tubi menerpa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).</p>
<p>Media melaporkan BRIN terlibat <a href="https://koran.tempo.co/read/berita-utama/479944/kala-dana-riset-brin-kesasar-lewat-dpr">program pelatihan masyarakat</a> yang menguntungkan pundi-pundi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), proses <a href="https://koran.tempo.co/read/berita-utama/479952/apa-isi-surat-protes-para-peneliti-ke-brin">relokasi gedung dan alat laboratorium</a> di Bandung yang terbata-bata, hingga macetnya pengelolaan aset sampai-sampai membuat salah satu <a href="https://koran.tempo.co/read/berita-utama/479970/brin-hentikan-sistem-peringatan-tsunami">sistem deteksi dini tsunami menjadi terbengkalai</a>.</p>
<p>Polemik bukanlah hal baru bagi “<em>superagency</em>” yang telah menyerap berbagai lembaga riset negara ini – dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) hingga Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN).</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/gabut-di-rumah-nuansa-lipi-nisasi-hingga-ancaman-mati-suri-riset-indonesia-kisah-para-peneliti-yang-terombang-ambing-setelah-akuisisi-brin-175529">Gabut di rumah, nuansa "LIPI-nisasi", hingga ancaman mati suri riset Indonesia: kisah para peneliti yang terombang-ambing setelah akuisisi BRIN</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sejak diresmikan pemerintah hampir dua tahun lalu, BRIN disorot akibat resistensi banyak peneliti atas <a href="https://theconversation.com/gabut-di-rumah-nuansa-lipi-nisasi-hingga-ancaman-mati-suri-riset-indonesia-kisah-para-peneliti-yang-terombang-ambing-setelah-akuisisi-brin-175529">proses integrasinya yang kurang lancar</a>, hingga kekhawatiran <a href="https://theconversation.com/bunuh-diri-penelitian-indonesia-forum-guru-besar-tolak-dewan-pengarah-brin-yang-rawan-dipolitisasi-163044">politisasi melalui “Dewan Pengarah”</a> yang diisi figur politik.</p>
<p>Para penulis, bersama Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), berpandangan bahwa berbagai permasalahan ini mengakar pada setidaknya dua hal – birokratisasi dan politisasi terhadap institusi yang seharusnya menjaga marwahnya sebagai lembaga riset. </p>
<p>BRIN sudah jadi wacana pemerintah sejak ditetapkan dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/117023/uu-no-11-tahun-2019">Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019</a> tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek), kemudian resmi berdiri lewat <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/178084/perpres-no-78-tahun-2021">Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021</a>.</p>
<p>Desain kelembagaan BRIN yang tertuang dalam landasan hukum tersebut sejak awal sudah menunjukkan tiga karakter dominan, yakni <a href="https://www.kompas.id/baca/opini/2022/01/18/independensi-lembaga-riset?status=sukses_login&status=sukses_login&utm_source=kompasid&utm_medium=login_paywall&utm_campaign=login&utm_content=https%3A%2F%2Fwww.kompas.id%2Fbaca%2Fopini%2F2022%2F01%2F18%2Findependensi-lembaga-riset&status_login=login">birokratisasi, sentralisasi dan kendali</a>, dibandingkan upaya pengembangan dan penguatan kelembagaan riset dan ekosistem pengetahuan.</p>
<h2>Birokratisasi berlebihan</h2>
<p>Birokrasi kini telah menjadi mesin administratif yang menggerakkan BRIN. Ini semakin terlihat dengan dominannya pendekatan institusionalisme BRIN seiring dengan penggabungan berbagai lembaga di bawah satu atap – termasuk setidaknya empat lembaga riset plus segudang peneliti yang sebelumnya bernaung di lingkup kementerian.</p>
<p>Namun, tanpa strategi transisi yang memadai dan pemahaman yang baik akan keragaman karakter lembaga riset yang dipersatukan, pendekatan ini akan cenderung berpusat pada sekadar mendisiplinkan soal “gedung, pegawai, dan nomenklatur anggaran”. </p>
<p>Berbagai kekhawatiran ini pun mulai terbukti mendekati masa dua tahun BRIN berjalan, di antaranya:</p>
<ul>
<li>kegagalan BRIN mengintegrasikan anggaran riset yang awalnya diprediksi bisa mencapai Rp 26 triliun, hingga menjadi <a href="https://www.beritasatu.com/news/963073/setahun-brin-mampu-hemat-anggaran-riset-rp-19-triliun/?utm_source=berita.com&utm_medium=article&utm_campaign=Terkait">hanya 6,1 triliun</a> pada tahun anggaran 2022;</li>
<li>resistensi dari berbagai kementerian atau lembaga yang perisetnya beralih ke BRIN;</li>
<li>hingga penolakan dan hambatan yang dihadapi BRIN untuk mengambil alih berbagai sumber daya termasuk peralatan <a href="https://news.detik.com/berita/d-5939326/eks-kepala-eijkman-pemindahan-alat-lab-oleh-brin-tak-sesuai-prosedur">laboratorium dari kementerian atau lembaga asal</a>.</li>
</ul>
<p>Kondisi BRIN saat ini, secara kelembagaan, kebijakan yang diambil, serta pilihan-pilihan programnya memperlihatkan betapa lembaga ini telah bertransformasi menjadi <a href="https://www.universityworldnews.com/post.php?story=20210810230729793"><em>overarching scientific authority</em></a> (otoritas ilmiah pengurus segala bidang dan fungsi) yang mengkhawatirkan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/buyarnya-mimpi-teknokrat-pembentuk-ide-brin-saatnya-komunitas-ilmiah-berhenti-naif-dan-anti-politik-159913">Buyarnya mimpi teknokrat pembentuk ide BRIN. Saatnya komunitas ilmiah berhenti naif dan anti-politik</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>BRIN menjelma menjadi lembaga birokratis yang bertanggung jawab atas <a href="https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/01/31/kewenangan-terlalu-besar-brin-perlu-pengawas">kebijakan, implementasi, dan pengendalian riset</a> yang harusnya terpisah, serta mengurusi terlalu banyak aspek administrasi dari kegiatan saintifik – termasuk SDM periset pemerintah, kebijakan riset dan inovasi, tak terkecuali masalah perizinan riset.</p>
<p>Ini membuatnya kehilangan roh sebagai lembaga saintifik.</p>
<p>Selain itu, sebagaimana peringatan ALMI sejak lama, jika lembaga-lembaga ilmiah dioperasikan dengan model <a href="https://nasional.tempo.co/read/1451204/3-sikap-ilmuwan-muda-soal-brin-jadi-badan-otonom">korporatisme negara (<em>state corporatism</em>)</a> – ketika pemerintah melakukan sentralisasi berbagai keputusan dan kebijakan di suatu sektor layaknya melalui asosiasi bisnis – ia juga menjadi terekspos terhadap <a href="https://theconversation.com/buyarnya-mimpi-teknokrat-pembentuk-ide-brin-saatnya-komunitas-ilmiah-berhenti-naif-dan-anti-politik-159913">kepentingan politik kekuasaan dan pasar</a>.</p>
<h2>Politisasi wadah ilmiah</h2>
<p>Kondisi lembaga riset pemerintah ini kemudian semakin jauh dari harapan ketika integritas saintifiknya justru menjadi bahan <a href="https://www.science.org/doi/pdf/10.1126/science.372.6541.449">legitimasi dan alat dari partai politik</a>. </p>
<p>Pelembagaan BRIN dengan <a href="https://theconversation.com/bunuh-diri-penelitian-indonesia-forum-guru-besar-tolak-dewan-pengarah-brin-yang-rawan-dipolitisasi-163044">“Dewan Pengarah” di pucuknya</a> – saat ini dipimpin oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri – yang berupaya memastikan riset searah dengan Pancasila, misalnya, adalah bentuk ketidakpercayaan terhadap integritas ilmiah dan upaya menyetir lembaga sains secara ideologis. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bunuh-diri-penelitian-indonesia-forum-guru-besar-tolak-dewan-pengarah-brin-yang-rawan-dipolitisasi-163044">"Bunuh diri penelitian Indonesia": forum guru besar tolak Dewan Pengarah BRIN yang rawan dipolitisasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Selain itu, akhir-akhir ini media juga melaporkan potensi politisasi melalui rangkaian program Masyarakat Bertanya BRIN Menjawab (MBBM). Program kemitraan antara Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan BRIN ini, yang dikemas dalam bentuk diseminasi riset dan pelatihan untuk masyarakat, <a href="https://koran.tempo.co/read/berita-utama/479944/kala-dana-riset-brin-kesasar-lewat-dpr">disebut-sebut menguntungkan anggota Dewan secara finansial maupun elektoral</a> di daerah pemilihan (dapil) mereka.</p>
<p>Namun, alih-alih menjawab isu politisasi, beberapa anggota Dewan justru semakin menjadikan BRIN sebagai landasan untuk memajukan agenda politik tertentu.</p>
<p>Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, misalnya, berdalih bahwa kontroversi BRIN-DPR di atas <a href="https://nasional.tempo.co/read/1687337/kinerja-brin-jadi-sorotan-sekjen-pdip-hasto-kristiyanto-itu-karena-sistem-proporsional-terbuka">disebabkan pemilihan umum (pemilu) yang menggunakan sistem proporsional terbuka</a>. Komentar ini ia lontarkan di tengah <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230126135307-32-905170/sidang-mk-arteria-beber-alasan-pdip-ingin-pemilu-sistem-coblos-partai">gugatan uji materi Perkara No. 114/PUU-XX/2022 di Mahkamah Konstitusi</a> yang hendak mengubah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup.</p>
<p>Merespons beragam kontroversi BRIN, Komisi VII DPR kemudian <a href="https://tekno.tempo.co/read/1686065/komisi-vii-rekomendasikan-audit-dan-ganti-kepala-brin-mpi-beri-apresiasi">merekomendasikan audit khusus anggaran BRIN</a> tahun 2022 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hingga <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/02/03/21075751/kepala-brin-disebut-tak-terpengaruh-desakan-mundur-dari-komisi-vii-dpr">mendesak pemerintah mencopot Kepala BRIN</a> Laksono Tri Handoko.</p>
<p>Tapi, apakah dengan sebatas pergantian Kepala BRIN akan mengubah situasi di BRIN jika kelembagaannya masih tersentralisasi dan dekat dengan politik kekuasaan?</p>
<p>Sebagai lembaga otoritas ilmiah, BRIN seharusnya menjaga integritas ilmiahnya dan tidak memperlihatkan pemihakan pada satu lembaga atau kekuatan politik. </p>
<h2>Restorasi marwah riset dan pengetahuan</h2>
<p>ALMI, sebagai wadah ilmuwan muda, mengajak semua pihak untuk terus meneguhkan semangat membangun integritas sains.</p>
<p>Dalam <a href="https://almi.or.id/pernyataan-sikap-almi-terhadap-integritas-dan-kelembagaan-sains-pemerintah/">pernyataan posisinya</a>, ALMI menegaskan perlunya mengembalikan tujuan dan fungsi awal BRIN untuk memfasilitasi penguatan ekosistem riset dan pengembangan inovasi demi kemajuan pengetahuan dan teknologi, penguatan kebijakan, serta pencerdasan publik – dan melepaskan berbagai fungsi berlebih yang tak berkaitan.</p>
<p>ALMI menolak keterlibatan atau penyalahgunaan BRIN untuk kepentingan politik tertentu, baik dalam kebijakan dan penganggaran yang tidak berorientasi pada upaya kemajuan pengembangan riset dan inovasi. </p>
<p>Restorasi riset ini menuntut perlunya evaluasi secara mendasar, terutama dalam hal penataan kelembagaan, sistem birokrasi, dan SDM para peneliti. Prinsipnya, BRIN sebagai lembaga riset dan inovasi berkewajiban merawat otonomi keilmuan, menjaga independensi, integritas sains, serta kebebasan akademik para penelitinya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/199174/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Herlambang P Wiratraman merupakan Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Zulfa Sakhiyya merupakan Direktur Komunikasi Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).</span></em></p>Desain kelembagaan BRIN yang tertuang dalam landasan hukumnya sejak awal sudah memuat karakter birokratisasi, sentralisasi dan kendali yang meredupkan upaya penguatan riset dan ekosistem pengetahuan.Herlambang P Wiratraman, Secretary General of ALMI and Assistant Professor of Constitutional Law and Human Rights, Universitas Gadjah Mada Zulfa Sakhiyya, Communication Director of ALMI, and Associate Professor at the Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1958292022-12-06T08:08:20Z2022-12-06T08:08:20ZYang hilang jika Twitter bubar: testimoni saksi mata yang berharga hingga data mentah perilaku manusia, maupun wadah bagi akun-akun ‘troll’<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/499212/original/file-20221206-19-8o2ip2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Twitter menghasilkan banyak data yang tidak tersedia di tempat lain.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/the-twitter-logo-is-seen-in-this-photo-illustration-in-news-photo/1244760225">STR/NurPhoto via Getty Images</a></span></figcaption></figure><p>Apa kesamaan antara peneliti keamanan siber yang membangun sistem <a href="https://ieeexplore.ieee.org/abstract/document/7752338">deteksi kerentanan dan ancaman digital</a>, pengamat yang <a href="https://www.wired.com/story/california-fire-twitter/">melacak persebaran kebakaran hutan</a>, serta tenaga kesehatan profesional yang berupaya <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5308155/">memprediksi angka pendaftaran asuransi kesehatan</a>?</p>
<p>Ketiganya mengandalkan data dari Twitter.</p>
<p>Twitter adalah layanan ‘mikroblog’. Artinya, ia didesain untuk membagikan unggahan berisi teks, audio, dan klip video yang pendek-pendek. Kemudahan berbagi informasi dengan jutaan orang lain di seluruh dunia membuat Twitter sangat populer untuk percakapan langsung (<em>real-time</em>).</p>
<p>Entah itu individu yang mencuit tentang tim olahraga favoritnya, ataupun organisasi dan figur publik yang memakai Twitter untuk meraih audiens yang lebih luas, platform ini telah berkembang menjadi bagian dari catatan kolektif manusia selama satu dekade lebih.</p>
<p>Arsip Twitter memberikan kita <a href="https://blog.twitter.com/en_us/a/2015/full-archive-search-api">akses lengkap dan instan</a> untuk setiap cuitan publik. Ini memposisikan Twitter tak hanya sebagai arsip perilaku manusia secara kolektif tapi juga layanan pengecekan fakta dan kredensial di tingkat global.</p>
<p>Sebagai <a href="https://scholar.google.com/citations?user=JpFHYKcAAAAJ&hl=en">peneliti yang mempelajari media sosial</a>, saya percaya bahwa fungsi-fungsi ini sangat berharga bagi akademisi, pembuat kebijakan, dan siapa pun yang memakai data agregat untuk mendapat wawasan tentang perilaku manusia.</p>
<p>Menjamurnya modus <a href="https://www.wired.com/story/twitter-blue-check-verification-buy-scams/">penipuan dan peniruan</a> merek (<em>brand impersonation</em>) atau perusahaan, <a href="https://www.washingtonpost.com/technology/2022/11/14/twitter-fake-eli-lilly/">hengkangnya banyak pengiklan</a>, hingga <a href="https://www.nytimes.com/2022/11/17/technology/twitter-elon-musk-ftc.html">kekacauan di internal perusahaan</a> membuat banyak orang <a href="https://mashable.com/article/elon-musk-twitter-future">mempertanyakan masa depan</a> platform tersebut. Jika Twitter bangkrut, kehilangan yang ditimbulkan akan sangat terasa di seluruh dunia.</p>
<h2>Analisis perilaku manusia</h2>
<p>Dengan koleksi cuitannya yang luar biasa besar, Twitter menyajikan cara-cara baru untuk mengukur diskursus publik secara kuantitatif, alat-alat baru untuk memetakan persepsi publik, serta menawarkan jendela untuk memahami perilaku manusia secara makro.</p>
<p><a href="https://library.oapen.org/viewer/web/viewer.html?file=/bitstream/handle/20.500.12657/51412/9781003024583_10.4324_9781003024583-8.pdf">Jejak atau catatan digital</a> tentang aktivitas manusia semacam ini mengizinkan peneliti di berbagai bidang, dari ilmu sosial hingga kesehatan, untuk menganalisis beragam fenomena.</p>
<p>Lewat kecerdasan terbuka (<em>open source intelligence</em>) sampai sains masyarakat (<em>citizen science</em>), Twitter tak hanya berperan sebagai “alun-alun digital” (<em>digital public square</em>), tapi juga memfasilitasi riset untuk memahami perilaku yang sulit dideteksi dengan metode-metode penelitian tradisional.</p>
<p>Sebagai contoh, kesediaan orang membayar untuk kebijakan atau layanan yang bertujuan melawan krisis iklim selama ini banyak diukur melalui survei. Data sentimen pubik di Twitter membekali peneliti dan pembuat kebijakan dengan <a href="https://doi.org/10.1016/j.jpubeco.2020.104161">alat-alat baru untuk mengevaluasi perilaku ini</a> demi merancang aksi iklim yang lebih baik.</p>
<p>Para peneliti kesehatan publik bahkan telah menemukan hubungan antara <a href="https://doi.org/10.2196%2F17196">mencuit tentang HIV dengan prevalensi HIV</a>. Mereka bisa mengukur <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0219550">sentimen di tingkat lokal (<em>neighborhood</em>)</a> untuk memahami kondisi kesehatan secara umum di daerah tersebut.</p>
<h2>Tempat dan waktu</h2>
<p>Data dari Twitter yang memuat penandaan geografis (<em>geotagged data</em>) sangat bermanfaat dalam beragam bidang, termasuk <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0131469">penggunaan lahan urban</a> dan <a href="https://doi.org/10.1080/24694452.2017.1421897">ketahanan bencana</a>. Kemampuan untuk mengidentidikasi lokasi dari serangkaian cuitan juga membantu peneliti untuk menghubungkan informasi dalam suatu cuitan dengan tempat dan waktu.</p>
<p>Misalnya, peneliti bisa mengkorelasi cuitan dengan kode pos untuk mengidentifikasi <a href="https://theconversation.com/matching-tweets-to-zip-codes-can-spotlight-hot-spots-of-covid-19-vaccine-hesitancy-169596">titik-titik konsentrasi orang-orang meragukan vaksin</a>.</p>
<p>Twitter selama ini sangat berharga dalam bidang kecerdasan terbuka (<a href="https://doi.org/10.1109/ICCCN49398.2020.9209602"><em>open source intelligence</em></a> atau OSINT), terutama untuk melacak kejahatan perang. OSINT menggunakan <em>crowdsourcing</em> (urun daya) untuk mengidentifikasi lokasi diambilnya suatu foto atau video.</p>
<p>Di Ukraina, penyelidik HAM telah <a href="https://www.grid.news/story/global/2022/04/11/in-ukraine-war-crimes-are-being-captured-on-social-media/">memakai Twitter dan TikTok</a> untuk mencari bukti pelanggaran.</p>
<p><em>Open source intelligence</em> juga terbukti berguna dalam mengungkap kondisi medan perang. Misalnya, analis OSINT begitu cepat menemukan bukti bahwa misil yang meledak di Przewodow, Polandia dekat perbatasan Ukraina pada November 15 lalu, kemungkinan merupakan rudal antipesawat S-300 dan kemungkinan bukanlah rudal yang ditembakkan Rusia.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1592629251161075712"}"></div></p>
<h2>Pengujian kredensial dan verifikasi</h2>
<p>Meski misinformasi <a href="https://doi.org/10.1126/science.aap9559">beredar luas di Twitter</a>, platform tersebut juga berperan sebagai mekanisme verifikasi global.</p>
<p>Pertama, banyak orang merupakan pengguna Twitter maupun platform media sosial lain. Melalui <em>crowdsourcing</em> yang cukup jelas, media sosial berupaya mengambil peran sebagai penyaji informasi yang otoritatif dan mengurangi ketidakjelasan yang dihadapi orang ketika mencari informasi baru. Para platform ini melakukan fungsi pengujian kredensial yang beberapa ahli sebut sebagai “<a href="https://www.google.com/books/edition/Media_Technologies/zeK2AgAAQBAJ">algoritma relevansi publik</a>” – mereka seakan telah menggantikan peran keahlian teknis atau bisnis dalam mengidentifikasi apa yang perlu orang ketahui.</p>
<p>Twitter juga melakukan pengujian kredensial secara resmi. Sebelum pengambilalihan oleh Elon Musk, mekanisme verifikasi Twitter memberi tanda centang biru di profil figur publik. Ini berperan sebagai cara mudah untuk menentukan apakah suatu cuitan <a href="https://www.politico.com/news/2022/11/13/washington-gets-increasingly-freaked-out-by-twitter-00066647">benar-benar berasal dari seseorang atau suatu organisasi</a>, atau bukan. </p>
<p>Meski masalah seperti <a href="https://doi.org/10.1126/science.aau2706">berita palsu</a>, <a href="https://doi.org/10.2105/AJPH.2020.305940">misinformasi</a>, dan <a href="https://aclanthology.org/W18-5110/">ujaran kebencian</a> memang nyata adanya, kemampuan pengujian kredensial ditambah dengan banyaknya orang yang memakai platform ini secara <em>real-time</em> membuat Twitter sebagai <a href="https://doi.org/10.1177/1940161214540942">pengecek fakta</a> dan penyaji informasi yang relatif kredibel.</p>
<h2>Alun-alun digital</h2>
<p>Peran ganda Twitter dalam membangun komunikasi langsung dan bertindak sebagai wasit informasi otoritatif, sangatlah penting bagi akademisi, jurnalis, dan lembaga pemerintah.</p>
<p>Selama pandemi, misalnya, banyak lembaga kesehatan publik <a href="https://doi.org/10.2196/24883">mengandalkan Twitter</a> untuk mempromosikan perilaku yang memitigasi risiko penularan.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1592676469305905152"}"></div></p>
<p>Kala terjadi bencana alam atau situasi darurat lain, Twitter menjadi arena yang penting untuk <a href="https://doi.org/10.1016/j.ipm.2019.102107">mengumpulkan data saksi mata dari publik</a>. Pada saat Badai Harvey di AS, misalnya, peneliti menemukan bahwa pengguna merespons dan berinteraksi <a href="https://doi.org/10.1007/s11069-020-04016-6">paling banyak dengan cuitan dari akun Twitter ‘centang biru’ (terverifikasi)</a>, terutama lembaga pemerintah.</p>
<p>Akun Twitter resmi juga membantu dalam penyebaran informasi secara cepat ketika terjadi <a href="https://doi.org/10.1016/j.chb.2015.06.044">krisis kontaminasi air</a> di West Virginia, AS. Data Twitter pun bermanfaat dalam <a href="https://doi.org/10.1016/j.trc.2021.102976">proses evakuasi ketika badai</a>.</p>
<p>Tak hanya itu, Twitter telah menjadi cara penting bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam diskursus publik.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1593334136969666560"}"></div></p>
<p>Nilai nyata Twitter adalah memberdayakan orang untuk terhubung dengan satu sama lain secara <em>real-time</em> dan sebagai arsip perilaku kolektif. </p>
<p>Berbagai <a href="https://qz.com/1143475/the-un-is-the-international-organization-with-the-most-followers-on-twitter">organisasi internasional</a>, <a href="https://fcw.com/workforce/2012/09/the-50-most-followed-agencies-on-twitter/206197/">lembaga pemerintah</a>, dan <a href="https://icma.org/articles/article/top-local-government-twitter-users">pemerintah lokal</a> pun memahami ini. Mereka telah menginvestasikan sumber daya secara signifikan di Twitter dan kini mengandalkan platform tersebut. Edwar Markey, seorang anggota senat AS, bahkan mengatakan bahwa Twitter “<a href="https://www.politico.com/amp/news/2022/11/17/ed-markey-deep-dive-00069221">esensial</a>” bagi masyarakat Amerika. </p>
<p>Jika Twitter berujung kolaps, untuk saat ini belum ada calon pengganti yang jelas.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/195829/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Anjana Susarla tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Jika Twitter bubar, akan banyak sumber data berharga dan metode berbagi informasi yang akan turut hilang. Padahal banyak aktivis, jurnalis, petugas kesehatan umum, hingga ilmuwan mengandalkan hal ini.Anjana Susarla, Professor of Information Systems, Michigan State UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1942622022-11-15T05:21:07Z2022-11-15T05:21:07ZIlmuwan dunia serukan 4 rekomendasi sebagai tindak lanjut G20 2022 di Bali<p>Seiring bertambah <a href="https://theconversation.com/menjelang-cop27-tiga-peringatan-dari-ilmuwan-iklim-ke-para-pemimpin-dunia-193872">parahnya krisis iklim</a>, dan setelah <a href="https://theconversation.com/covid-19-recovery-some-economies-will-take-longer-to-rebound-this-is-bad-for-everyone-162023">diporak-porandakan COVID-19</a>, dunia makin menyadari pentingya kesiapan pandemi dan ketahanan iklim global. Namun, meski <a href="https://theconversation.com/tiga-model-solusi-atasi-kerentanan-kesehatan-dunia-yang-makin-kompleks-dan-lintas-disiplin-191349">berdampak luas dan saling terkait</a>, hingga kini masih sedikit solusi efektif dan kolaboratif berbasis sains dari negara-negara dunia untuk mengatasi dua tantangan tersebut.</p>
<p><a href="https://theconversation.com/g20-tersulit-dalam-sejarah-mampukah-indonesia-mengakhiri-konferensi-internasional-ini-dengan-sukses-194028">Peran Indonesia pada G20 tahun ini</a> menjadi momentum yang strategis bagi pemerintah bersama komunitas sains Indonesia dan dunia untuk memimpin upaya ini.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/g20-2022-bali-memahami-istilah-penting-dan-tujuan-berkumpulnya-kepala-negara-ekonomi-terbesar-di-dunia-194342">G20 2022 Bali: memahami istilah penting dan tujuan berkumpulnya kepala negara ekonomi terbesar di dunia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pada tahun ini, misalnya, kesiapan pandemi dan ketahanan iklim global menjadi prioritas utama <a href="https://s20indonesia.org"><em>Science20</em> (S20)</a> – salah satu kelompok keterlibatan (<em>engagement group</em>) G20 – yang kepemimpinannya tahun ini dipegang <a href="https://aipi.or.id">Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)</a>.</p>
<p>Lewat rangkaian forum resmi antara komunitas sains anggota G20, kami para ilmuwan S20 menerbitkan rekomendasi kebijakan kesehatan dan iklim global yang kami tuangkan dalam <a href="https://www.science.org.au/files/userfiles/about/documents/s20-communique-final-22-sept-2022.pdf">Deklarasi S20</a> (<em>S20 Communique</em>).</p>
<p>Ada beberapa hal yang kami rekomendasikan untuk menjadi prioritas para pemimpin negara G20. Ini termasuk membangun sistem kesehatan global, memperkuat sains dan teknologi multidisiplin, hingga memperkuat kesinambungan riset dan kebijakan untuk iklim, pandemi, dan ekonomi.</p>
<p>Sebagai pemegang presidensi G20 tahun ini, bagaimana Indonesia dapat mendorong komunitas internasional mewujudkan agenda penting tersebut?</p>
<p>Saya bersama para ilmuwan S20 merekomendasikan setidaknya 4 langkah yang bisa dilakukan oleh Indonesia dengan melibatkan negara dan komunitas sains global.</p>
<p><strong>1. Tegaskan komitmen terhadap kebijakan berbasis sains</strong></p>
<p>Dalam gelaran G20, Indonesia perlu mengajak para pemimpin negara untuk berkomitmen melaksanakan rekomendasi ilmuwan dalam Deklarasi S20. KTT G20 pada pertengahan November ini menjadi momentum yang tepat untuk menegaskan komitmen ini.</p>
<p>Tanpa komitmen bersama, buah pikir dan kesepakatan para ilmuwan dunia yang terkumpul selama proses panjang G20 hanya akan menjadi sekedar formalitas dan pernyataan hampa.</p>
<p>Presiden Joko “Jokowi” Widodo juga harus menghentikan tren antisains yang <a href="https://theconversation.com/data-bicara-setidaknya-64-dosen-mahasiswa-dan-individu-lain-jadi-korban-pelanggaran-kebebasan-akademik-selama-2019-2022-193722">banyak terjadi</a> di era pemerintahannya – dari <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200822183537-20-538156/akun-epidemiolog-pandu-riono-diretas-dunia-akademis-terancam">represi kritik terhadap penanganan pandemi</a> hingga <a href="https://theconversation.com/dari-pencekalan-hingga-deportasi-ilmuwan-mengapa-represi-antisains-menteri-siti-nurbaya-terus-menguat-191082">pencekalan peneliti lingkungan</a>. </p>
<p>Apalagi di tengah peringatan keras para peneliti akan parahnya krisis iklim di <a href="https://theconversation.com/menjelang-cop27-tiga-peringatan-dari-ilmuwan-iklim-ke-para-pemimpin-dunia-193872">Konferensi Iklim PBB (COP27)</a> belum lama ini, ditambah pengalaman COVID-19, menjadi syarat mutlak bagi Indonesia dan negara dunia untuk menempatkan sains dalam perumusan kebijakan kesehatan dan iklim.</p>
<p><strong>2. Dorong sistem kesehatan dunia yang tahan krisis</strong></p>
<p>Seperti yang kami tuangkan dalam Deklarasi S20, pandemi COVID-19 telah menjadi alarm bahwa infrastruktur kesehatan kita – dari level nasional hingga global – <a href="https://theconversation.com/we-were-on-a-global-panel-looking-at-the-staggering-costs-of-covid-17-7m-deaths-and-counting-here-are-11-ways-to-stop-history-repeating-itself-190658">masih cukup rapuh</a>. </p>
<p>Ketergantungan pada kebijakan yang reaktif, ketimbang pencegahan dan kesiapan global, telah membuat banyak negara gagal membendung krisis kesehatan global.</p>
<p>Oleh karena itu, Indonesia perlu mendorong negara G20 dan komunitas sains internasional untuk memastikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengkoordinasikan sistem kesehatan global yang resilien terhadap ancaman kesehatan dunia.</p>
<p>Beberapa inisatif kesehatan global – termasuk <a href="https://www.who.int/news/item/17-10-2022-one-health-joint-plan-of-action-launched-to-address-health-threats-to-humans--animals--plants-and-environment"><em>‘One Health’ Joint Plan of Action</em></a> gagasan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lain yang berupaya melawan ancaman kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan secara terintegrasi – kini mulai mempertimbangkan hal di atas. Prinsip-prinsip Deklarasi S20 bisa memperkuat inisiatif semacam itu dan menjadi landasan untuk inisiatif WHO lainnya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/g20-sektor-kesehatan-4-strategi-memperkuat-respons-warga-untuk-melawan-pandemi-masa-depan-183375">G20 Sektor Kesehatan: 4 strategi memperkuat respons warga untuk melawan pandemi masa depan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>WHO juga wajib memetakan pusat-pusat unggulan riset kesehatan setiap negara dan memastikan terjadinya keterhubungan di antara sistem kesehatan tersebut. Selama pandemi, misalnya, kita mulai melihat beragam kerja sama yang krusial dalam membendung COVID-19 – dari <a href="https://theconversation.com/sains-terbuka-mendorong-riset-global-untuk-hadapi-coronavirus-mengapa-peran-indonesia-minim-131615">pembagian data genom virus</a> via bank genetik hingga <a href="https://myhealth.ucsd.edu/Coronavirus/134,263">kolaborasi pembuatan vaksin</a>.</p>
<p>Dengan prinsip-prinsip Deklarasi S20 lainnya seperti sistem “alarm pandemi” global, kemudahan akses data terbuka antara beragam insitusi riset, dan rantai pasok vaksin dan obat yang lebih siap, harapannya setiap negara bisa merespons krisis dengan lebih cepat di tingkat lokal.</p>
<p><strong>3. Bangun ekonomi pascapandemi secara berkelanjutan</strong></p>
<p>Langkah ketiga yang harus dilakukan Indonesia bersama para pemimpin dunia, terutama dalam membangun ketahanan iklim global, adalah menekankan keberlanjutan dalam pembangunan ekonomi G20 selepas COVID-19.</p>
<p>Para pemimpin dunia perlu menggencarkan <a href="https://theconversation.com/negara-maju-harus-ambil-peran-lebih-banyak-dalam-perubahan-iklim-122214">komitmen mereka masing-masing</a> – misalnya seperti yang tertuang dalam dokumen komitmen iklim (<a href="https://theconversation.com/kesepakatan-cop26-glasgow-memuat-4-poin-penting-apakah-aksi-iklim-indonesia-sudah-sesuai-jalur-172206"><em>Nationally Determined Contribution</em></a>, atau NDC) tiap negara – untuk memastikan pemangkasan emisi karbon dan transisi hijau dalam aktivitas ekonomi yang spesifik pada situasi lokal. </p>
<p>Penekanan krisis iklim sebagai ancaman eksistensial, sebagaimana tertuang dalam Deklarasi S20, harus menjadi pengingat kembali bagi Indonesia dan pimpinan G20 atas target-target yang sebelumnya sudah tertuang dalam <a href="https://theconversation.com/apa-itu-cop27-ini-penjelasan-istilah-istilah-rumit-dalam-konferensi-iklim-tahunan-dunia-193744">Perjanjian Paris</a> dan <a href="https://sdgs.un.org/goals">Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs 2030)</a>. </p>
<p>Slogan yang diusung Indonesia dan negara G20 tahun ini, misalnya, yakni “Pulih Bersama, Lebih Kuat,” sulit tercapai jika dalam upaya mendongkrak produktivitas dan membangun infrastruktur, pembuat kebijakan tidak berupaya meraih emisi bebas karbon (<em>net-zero</em>).</p>
<p><strong>4. Membangun jaringan pendanaan riset kesehatan dan iklim yang multidisiplin</strong></p>
<p>Mencegah, mengantisipasi, dan merespons tantangan kompleks seperti pandemi dan perubahan iklim membutuhkan pendekatan multisektor dan <a href="https://theconversation.com/the-one-health-concept-must-prevail-to-allow-us-to-prevent-pandemics-148378">multidisiplin</a>. Namun, pendanaan riset di tingkat negara G20 maupun global cenderung belum banyak menarget inisiatif riset – terutama kesehatan, energi, dan iklim – yang lintas disiplin. </p>
<p>Oleh karena itu, Indonesia melalui AIPI sebagai pimpinan S20 tahun ini dapat mendorong terbentuknya konsorsium dan sistem pendanaan riset multidisiplin di antara ilmuwan negara G20 maupun lebih luas, terutama yang bertujuan untuk mendukung mitigasi krisis iklim dan kesiapan pandemi.</p>
<p>Ini penting karena pembuatan kebijakan iklim dan pandemi memerlukan <a href="https://theconversation.com/why-science-needs-the-humanities-to-solve-climate-change-113832">perspektif ilmu sosial dan humaniora</a> agar tetap inklusif dan menjamin tidak ada satupun <a href="https://minorityrights.org/wp-content/uploads/old-site-downloads/download-524-The-Impact-of-Climate-Change-on-Minorities-and-Indigenous-Peoples.pdf">orang yang tertinggal</a>.</p>
<p>Berbagi dukungan finansial, pengetahuan, dan teknologi – tentu disertai dengan prinsip keterbukaan dan akses data – juga menjadi langkah wajib untuk mendukung agenda riset multidisiplin dalam isu kesehatan dan iklim.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/194262/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Berry Juliandi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Di gelaran G20 2022, kesiapan pandemi dan ketahanan iklim global menjadi prioritas utama para ilmuwan dunia. Berikut 4 rekomendasi kami untuk Indonesia dan negara-negara dunia.Berry Juliandi, Dean, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, IPB UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1925532022-10-22T05:36:07Z2022-10-22T05:36:07ZMenjawab miskonsepsi tentang “dekolonisasi sains”: mengapa pembebasan riset dari dominasi Barat bukanlah sikap anti-ilmiah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/490841/original/file-20221020-1690-byjykg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/_YzGQvASeMk">(Unsplash/Prateek Katyal)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Wacana “<a href="https://theconversation.com/decolonise-science-time-to-end-another-imperial-era-89189">dekolonisasi sains</a>” makin berkembang di kalangan akademisi negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk membebaskan agenda riset mereka dari dominasi Barat (“eurosentrisme”).</p>
<p>Dalam <a href="https://theconversation.com/dekolonisasi-sains-pentingnya-memerdekakan-ilmu-pengetahuan-dari-ketergantungan-pada-dunia-barat-178540">artikel saya</a> di <em>The Conversation Indonesia</em> (TCID) awal tahun ini, saya menjelaskan bagaimana konsep ini penting bagi peneliti Indonesia, terutama di rumpun ilmu sosial, untuk melepaskan diri dari narasi ilmiah yang cenderung kolonialis. Ini juga jadi momen penting bagi mereka untuk mengangkat wawasan lokal ke dalam agenda riset.</p>
<p>Meski demikian, wacana dekolonisasi sains masih mendapat kritik dari beberapa peneliti.</p>
<p>Dalam <a href="https://theconversation.com/menjawab-ketidakjelasan-agenda-dekolonisasi-ilmiah-benarkah-pendidikan-sains-di-indonesia-dijajah-pemikiran-barat-180871">salah satu artikel di TCID</a>, misalnya, seorang rekan akademisi Indonesia melayangkan kritik terhadap analisis saya sebelumnya.</p>
<p>Sang penulis menjabarkan beberapa argumen utama: 1) wacana membebaskan sains dari dominasi Barat bisa memicu sikap anti-ilmiah, serta 2) dunia pendidikan dan kurikulum Indonesia mengadopsi sains yang berangkat dari tradisi lokal maupun budaya global sehingga tak serta merta eurosentris.</p>
<p>Bagi saya, tidak ada satu pun mazhab atau konsep yang perlu dibela secara mutlak, terlebih dalam ilmu sosial yang bergerak sangat cair. Dekolonisasi sains pun demikian. </p>
<p>Hanya saja, kita perlu pahami dulu mengapa gerakan dekolonisasi sains <a href="https://www.wiley.com/en-us/Colonialism+and+Modern+Social+Theory-p-9781509541294">dianggap bermanfaat oleh pelaku sains</a>, terutama mereka di negara berkembang dan yang berkutat dalam ilmu sosial.</p>
<p>Meski artikel sanggahan tersebut mengajukan kritik yang valid dan berguna untuk memperdalam diskusi, saya perlu menunjukkan satu-dua kekeliruan yang menyertai kritik tersebut.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/dekolonisasi-sains-pentingnya-memerdekakan-ilmu-pengetahuan-dari-ketergantungan-pada-dunia-barat-178540">Dekolonisasi sains: pentingnya memerdekakan ilmu pengetahuan dari ketergantungan pada dunia Barat</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Dekolonisasi tidak anti-sains</h2>
<p>Satu kritik terhadap dekolonisasi sains berbunyi bahwa lepas dari <a href="https://theconversation.com/how-controversial-racist-research-opens-door-for-a-decolonisation-drive-117870">pengaruh Barat</a> – sebagai penghasil teori sains utama di era modern – sama dengan menanggalkan prinsip sains dan metode ilmiah.</p>
<p>Saya ingin merespons ini dengan mengajak kita menyadari, sebagaimana telah disampaikan banyak akademisi, bahwa penyebaran sains secara global adalah <a href="https://theconversation.com/decolonise-science-time-to-end-another-imperial-era-89189">efek samping dari penjajahan, kolonisalisme, dan imperialisme</a>.</p>
<p>Hal ini mengakibatkan sains tersebut senantiasa erat dengan persoalan kuasa.</p>
<p>Di sini, dominasi negara imperialis kerap meminggirkan pemikiran alternatif dan konteks lokal. Pelaku sains non-Barat seakan hanya merupakan objek pengetahuan yang tak punya otoritas untuk menyelediki diri sendiri.</p>
<p><a href="https://theconversation.com/bagaimana-perkembangan-ilmu-pengetahuan-pada-masa-penjajahan-melupakan-peran-orang-pribumi-141774">Sepanjang sejarah</a>, alih-alih mendapat manfaat dari kolaborasi internasional, mereka sering berujung sekadar sebagai <a href="https://theconversation.com/riset-gaya-helikopter-siapa-yang-untung-dari-riset-internasional-di-indonesia-102166">“pengamat”, “pembantu”</a>, atau bahkan hanya dilibatkan dalam riset agar <a href="https://www.gicnetwork.be/silent-voices-publications/">terlihat “inklusif” saja</a>.</p>
<p>Di artikel saya sebelumnya, saya juga memberi contoh bagaimana watak kolonialis ini muncul – dari pandangan dalam ilmu sosial yang cenderung rasis dan <a href="https://theconversation.com/how-controversial-racist-research-opens-door-for-a-decolonisation-drive-117870">menggambarkan orang non-kulit putih</a> sebagai pihak yang tidak cerdas, hingga penamaan fauna dan flora dalam riset biologi di Indonesia yang <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09502386.2020.1780281">menyingkirkan wawasan suku-suku lokal</a>.</p>
<p>Pada akhirnya, dekolonisasi sains bukanlah menolak metode ilmiah itu sendiri, melainkan mengajak untuk mempertanyakan sifat kolonialis yang terbawa dalam penyebaran sains dari negara Barat maupun kolaborasi ilmiah dengan negara berkembang.</p>
<h2>Peran penting dekolonisasi dalam riset dan pendidikan tinggi</h2>
<p>Kritik lain adalah anggapan bahwa sistem pendidikan yang berbasis sains modern, secara keseluruhan harus dirombak ulang hanya karena kita setuju dengan perspektif dekolonisasi.</p>
<p>Dalam artikel di atas yang mengkritik dekolonisasi, misalnya, sang penulis membela pendidikan di Indonesia.</p>
<p>Ia berargumen bahwa sistem pendidikan kita tidaklah didominasi Barat karena berakar pada tradisi sebelum masa kolonial (dari <a href="http://e-journal.unipma.ac.id/index.php/JA/article/viewFile/4168/2253">politik etis Belanda</a> hingga wawasan Ki Hajar Dewantara), serta mengadopsi budaya sains global (seperti <a href="https://www.degruyter.com/document/doi/10.31826/9781463232405/pdf#page=189">matematika lintas era</a> termasuk <a href="https://books.google.com.au/books?hl=en&lr=&id=Boc0JjGRPF0C&oi=fnd&pg=PR7&dq=renaissance+and+islam+science&ots=WxnC9xSia1&sig=4uSMwcAorlcqBlbwzSlIqhwozd8#v=onepage&q=renaissance%20and%20islam%20science&f=false">zaman keemasan Islam</a>, India, Cina dan Barat).</p>
<p>Menurut saya, kurikulum di jenjang sekolah sedikit berbeda konteks. Muatan pendidikan dari SD hingga SMA berbicara penyampaian sains dasar dan universal, yang memang perlu dipahami semua pelajar.</p>
<p>Dekolonisasi, di sisi lain, lebih menyangkut kurikulum di pendidikan tinggi yang mulai memasuki tataran pengetahuan yang lebih kritis.</p>
<p>Di dunia Barat seperti Inggris Raya (UK), berbagai kurikulum universitas <a href="https://www.keele.ac.uk/equalitydiversity/equalityframeworksandactivities/equalityawardsandreports/equalityawards/raceequalitycharter/keeledecolonisingthecurriculumnetwork/#keele-manifesto-for-decolonising-the-curriculum">mulai mengalami dekolonisasi</a> – misalnya dengan <a href="https://www.timeshighereducation.com/campus/decolonising-curriculum-how-do-i-get-started">mendiversifikasi literatur</a> dari akademisi non-Barat hingga banyak memakai metode riset yang lebih <a href="https://sites.google.com/sheffield.ac.uk/coloniality-in-research">mengangkat suara subjek dari negara dunia Selatan</a> – sebagai upaya menyeimbangkan perspektif sains dari berbagai budaya.</p>
<p>Ketika mereka mulai memberi ruang lebih besar pagi ilmuwan non-Barat dalam silabus mereka sendiri, mengapa kita tidak melihat relevansinya dengan kurikulum (pendidikan tinggi) di tanah air? </p>
<p>Dekolonisasi sains tidak pernah menganggap bahwa seluruh konten pendidikan yang selama ini kita kenal harus ditanggalkan, atau sains yang kita pelajari di sekolah seolah-olah tidak memiliki manfaat.</p>
<p>Pengusung dekolonisasi tetap memegang teguh prinsip sains sebagai landasan penting bagi semua pelajar dan peneliti.</p>
<p>Namun, di saat yang sama, pengusung dekolonisasi percaya bahwa nalar kritis kita bisa (dan harus) menggugat berbagai narasi sains yang tak selalu mencerminkan realita di masyarakat atau yang lahir dari kolonialisme – termasuk relasi kuasa dalam riset.</p>
<p>Ini mengapa dekolonisasi harus dipahami sebagai upaya yang sifatnya lebih dari sekadar ‘anti-Barat’.</p>
<p>Sekadar menyebutkan pengaruh sistem pendidikan abad terdahulu atau terjebak nostalgia sains yang berlandaskan identitas keagamaan atau sejarah masa lalu, tidaklah cukup.</p>
<h2>Bahaya menganaktirikan pengetahuan yang bersumber dari konteks lokal</h2>
<p>Selain itu, pengkritik dekolonisasi sains juga mempertanyakan sejauh mana batasan dari dekolonisasi.</p>
<p><a href="https://theconversation.com/menjawab-ketidakjelasan-agenda-dekolonisasi-ilmiah-benarkah-pendidikan-sains-di-indonesia-dijajah-pemikiran-barat-180871">Mereka bertanya</a>, misalnya, apakah wacana dekolonisasi ini akan sampai menghapus dominasi Bahasa Indonesia dalam kurikulum yang “menjajah” bahasa daerah?</p>
<p>Jawaban singkatnya, ‘bisa’ – pelestarian bahasa lokal adalah salah satu cara. Namun, poin utamanya tak melulu tentang bahasa yang dipakai dalam pendidikan atau riset, melainkan bagaimana wawasan lokal atau peneliti lokal bisa mendapat porsi yang penting dalam khasanah pengetahuan dan sains.</p>
<p>Satu contoh yang cenderung sensitif namun bisa menjadi titik awal dekolonisasi pengetahuan di Indonesia adalah isu Papua.</p>
<p>Bagi banyak pihak, upaya untuk membicarakan Papua dengan melibatkan orang Papua tidak sering dilakukan karena <a href="https://papua.lipi.go.id/2021/08/can-the-victims-speak-locality-in-conflict-resolution-in-papua/">terlampau politis</a>. Padahal, agenda dekolonisasi sains persis bermain di titik itu: berani mengakui bahwa sains sarat dengan kandungan politis dan narasi kolonial – termasuk kentalnya <a href="https://indoprogress.com/2020/12/7-buku-soal-papua-yang-dilarang-indonesia-tetapi-penting-dibaca-didiskusikan/">dominasi sejarah versi negara</a> yang menyingkirkan perspektif peneliti Papua.</p>
<p>Selain itu, semakin banyak kita bisa <a href="https://theconversation.com/bukan-salju-tapi-jamu-saatnya-kita-melibatkan-wawasan-lokal-dalam-pembelajaran-sains-di-indonesia-186769">menyertakan studi atau riset lokal ke dalam silabus</a>, semakin mudah mahasiswa merefleksikan bahan kuliah mereka dengan realita keseharian. </p>
<p>Kesadaran ini tidak hanya berlangsung dalam ilmu sosial. Seni pun, misalnya studi musik, semakin berupaya untuk <a href="https://www.researchgate.net/publication/339236086_We_Are_All_Musicologists_Now_or_the_End_of_Ethnomusicology">menghapus dikotomi (pembedaan) antara “musik etnik” dan “musik modern”</a>.</p>
<p>Untuk menyukseskan upaya ini, para peneliti dan dosen musik tak bisa hanya terus mempelajari ‘kanon klasik’ atau teori musik <em>mainstream</em> (arus utama). Jika mereka tak memperluas cakrawala ilmiah dengan mempelajari wawasan musik lokal, mereka akan senantiasa terjebak pada apa yang dianggap benar sejak era penjajahan.</p>
<p>Inilah tujuan awal dekolonisasi sains, agar pengetahuan lokal tidak ditempatkan lebih rendah dari teori besar ala Barat yang sering kita rujuk. Kita bisa memulai ini dengan memperbanyak arsip kita terlebih dahulu: mengajak ilmuwan di Indonesia untuk mempublikasikan riset yang mengandung wawasan lokal. </p>
<p>Berdasarkan studi <a href="http://www.scielo.org.za/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S2223-03862020000200019">sejarah</a>, <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/1473095213499216?casa_token=vRDZGZwcihkAAAAA%3Aq71tV86Ycq-JxwZ3KYUrUxDQUaHRMg1xJ9locUXcC09Yh02-55ml2GSEgmeWd0qPj2pbVtTJCUrt0g">sosiologi</a>, dan <a href="https://nycstandswithstandingrock.files.wordpress.com/2016/10/linda-tuhiwai-smith-decolonizing-methodologies-research-and-indigenous-peoples.pdf">antropologi</a>, pandangan sains yang eurosentris pun bisa berbahaya karena menutupi narasi lokal yang tidak pernah terangkat.</p>
<p>Sebagian besar pengurus Fakultas Ilmu Sosial di Indonesia yang saya ketahui juga belum menyadari betapa politisnya pengaruh literatur terhadap cakrawala mahasiswa. Cara berpikirnya masih terpaku pada apa yang dianggap ‘kanon klasik’ dan teori besar. Perspektif seperti ini sudah kedaluwarsa. </p>
<p>Dengan demikian, agenda dekolonisasi sains –- yang menurut saya masih sangat terbuka – mungkin hanya terlihat jelas bagi mereka yang bisa melihat bahwa pengetahuan ilmiah yang ada masih bias dan sangat terbatas.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/192553/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fajri Siregar tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dekolonisasi sains bukanlah menolak metode ilmiah, melainkan mengajak kita mempertanyakan sifat kolonialis yang terbawa dalam penyebaran sains dari negara Barat.Fajri Siregar, PhD Candidate, University of AmsterdamLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1919542022-10-20T03:50:42Z2022-10-20T03:50:42ZLebih dari 1 dari 5 orang Amerika tidak menginginkan anak<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/488254/original/file-20221005-17-3sjl4v.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Masyarakat Amerika Serikat memutuskan untuk bebas anak pada usia yang jauh lebih muda dari yang diperkirakan sebelumnya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/young-couple-viewed-from-behind-walks-down-a-street-with-news-photo/614380516?adppopup=true">Photo via Smith Collection/Gado/Getty Images</a></span></figcaption></figure><p>Kekhawatiran tentang turunnya angka kelahiran datang dari berbagai sumber seperti <a href="https://www.nbcnews.com/think/opinion/pope-francis-claims-pets-replacing-children-many-families-selfish-s-ncna1287140">Paus Fransiskus</a> dan CEO Tesla <a href="https://twitter.com/elonmusk/status/1545046146548019201">Elon Musk</a>. Keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam Dobbs v. Jackson dapat <a href="https://www.washingtonpost.com/outlook/2022/06/24/dobbs-roe-forced-pregnancy/">memaksa perempuan untuk melahirkan di luar kehendak mereka</a>, sementara <a href="https://www.thetimes.co.uk/article/should-we-tax-the-childless-j7h9c297r">media Inggris</a> baru-baru ini bahkan mengusulkan pemungutan pajak untuk orang-orang yang tidak memiliki anak.</p>
<p>Media secara konsisten menunjukkan peningkatan jumlah orang Amerika yang <a href="https://www.cnbc.com/2022/07/20/birth-rate-financial-hesitancy.html">memiliki lebih sedikit anak</a> atau <a href="https://www.businessinsider.com/us-birth-fertility-rate-decline-having-baby-millennials-kids-cost-2021-6">sama sekali tidak ingin menjadi orang tua</a>.</p>
<p>Namun, berapa banyak masyarakat Amerika yang ingin tetapi tidak dapat memiliki anak atau masih berencana untuk menjadi orang tua di masa depan? Berapa banyak yang secara sadar membuat pilihan untuk tidak pernah punya anak?</p>
<p>Meski <a href="https://www.census.gov/topics/health/fertility/data.html">statistik resmi di Amerika Serikat</a> dan negara lain melacak angka kesuburan, mereka tidak memberikan informasi tentang orang-orang yang belum memiliki anak. Ada banyak tipe berbeda dari orang-orang yang tidak memiliki anak: orang yang tidak menginginkan anak; orang yang menginginkan anak tetapi tidak dapat memilikinya; orang yang berencana untuk memiliki anak di masa depan; orang yang masih tidak yakin mereka akan memiliki anak; dan orang yang tidak yakin mereka menginginkan anak.</p>
<p><a href="https://doi.org/10.1038/s41598-022-15728-z">Dalam studi pada tahun 2022</a> terhadap 1.500 orang dewasa di Michigan, Amerika Serikat, <a href="https://scholar.google.com/citations?user=HVJX9_gAAAAJ&hl=en">kami</a> <a href="https://scholar.google.com/citations?user=kcD2PeYAAAAJ&hl=en">menemukan</a> bahwa 21,64% orang dewasa tidak ingin memiliki anak dan karena itu memilih untuk tidak memiliki anak. Meskipun survei kami tidak representatif secara nasional, <a href="https://www.census.gov/quickfacts/fact/table/US,MI/PST045221">Sensus 2021</a> menunjukkan bahwa Michigan secara demografis mirip dengan Amerika Serikat dalam hal usia, ras, pendidikan, dan pendapatan. Jika pola yang kami amati di Michigan mencerminkan tren nasional, itu berarti 50 hingga 60 juta orang dewasa Amerika tidak memiliki anak.</p>
<h2>Mengidentifikasi orang-orang yang tidak ingin memiliki anak</h2>
<p>Untuk mengidentifikasi orang-orang yang tidak ingin memiliki anak, kami memberi setiap peserta tiga pertanyaan:</p>
<ul>
<li>Apakah Anda memiliki, atau pernah memiliki, anak biologis, tiri, atau adopsi? </li>
<li>Apakah Anda berencana untuk memiliki anak biologis atau anak adopsi di masa mendatang?</li>
<li>Apakah Anda ingin memiliki atau dapat memiliki anak biologis atau adopsi?</li>
</ul>
<p>Responden dapat menjawab “ya”, “tidak”, atau “Saya tidak tahu” untuk setiap pertanyaan. Kami mengklasifikasikan responden yang menjawab “tidak” untuk ketiga pertanyaan sebagai kelompok orang yang tidak menginginkan anak.</p>
<p>Perkiraan kami tentang jumlah penduduk yang tidak menginginkan anak jauh lebih tinggi daripada <a href="https://www.jstor.org/stable/4122892">studi-studi nasional sebelumnya</a>, yang menempatkan persentase antara 2% dan 9%. Hal ini kemungkinan terjadi karena pengukuran kami berfokus pada keinginan seseorang untuk memiliki anak, bukan kemampuannya. Hal ini penting karena seseorang dapat tidak menginginkan anak meskipun mereka bisa memiliki anak secara biologis.</p>
<p><iframe id="TnFhC" class="tc-infographic-datawrapper" src="https://datawrapper.dwcdn.net/TnFhC/3/" height="400px" width="100%" style="border: none" frameborder="0"></iframe></p>
<p>Estimasi kami juga sedikit lebih rendah dari perkiraan awal – 27% – dari <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0252528">studi tahun 2021</a> yang <a href="https://theconversation.com/far-more-adults-dont-want-children-than-previously-thought-163142">kami tulis sekitar satu tahun yang lalu</a>. Studi asli tidak mengizinkan responden untuk menjawab “Saya tidak tahu” untuk pertanyaan-pertanyaan ini. Oleh sebab itu, responden yang ragu-ragu tidak dapat dipisahkan dari mereka yang tidak menginginkan anak. Kami terkejut bahwa setelah menyempurnakan pengukuran kami untuk membedakan kelompok-kelompok unik ini, kami masih mengamati begitu banyak orang dewasa yang tidak menginginkan anak.</p>
<p>Kira-kira separuh jumlah orang dewasa dalam penelitian kami merupakan orang tua. Akan tetapi, orang dewasa yang tidak menginginkan anak adalah kelompok non-orang tua terbesar.</p>
<h2>Mereka memutuskan sejak dini</h2>
<p>Orang-orang, terutama perempuan, yang mengatakan bahwa mereka tidak menginginkan anak sering kali dianggap bahwa mereka akan berubah pikiran. Namun, kami menemukan bahwa kemungkinan besar nyatanya tidaklah demikian. </p>
<p>Dalam penelitian kami, orang-orang melaporkan bahwa mereka membuat keputusan untuk tidak memiliki sejak dini, paling sering pada usia remaja dan 20-an. Selain itu, bukan hanya anak muda yang mengaku tidak menginginkan anak. Banyak perempuan yang memutuskan untuk tidak menginginkan anak di usia remajanya akhirnya tidak memilikinya ketika mereka sudah tua.</p>
<p><iframe id="3RBq6" class="tc-infographic-datawrapper" src="https://datawrapper.dwcdn.net/3RBq6/2/" height="400px" width="100%" style="border: none" frameborder="0"></iframe></p>
<p>Temuan kami berasal dari <a href="https://doi.org/10.1300/J002v02n02_01">penelitian yang dilakukan pada tahun 1970-an</a>, yang menemukan bahwa orang dewasa yang tidak menginginkan anak cenderung mengambil keputusan di kemudian hari setelah menunda menjadi orang tua selama bertahun-tahun. Keputusan sebelumnya mungkin mencerminkan perubahan norma dalam memutuskan menjadi orang tua dan adalanya peningkatan pengakuan dan penerimaan <a href="https://time.com/241/having-it-all-without-having-children/">gaya hidup orang-orang yang tidak memiliki anak</a>.</p>
<h2>Kurangnya populasi bukanlah masalahnya</h2>
<p>Terlepas dari pernyataan Elon Musk bahwa ada krisis populasi, <a href="https://fortune.com/2022/07/11/elon-musk-underpopulation-crisis-un-population-report/">populasi global akan terus tumbuh</a>.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1545046146548019201"}"></div></p>
<p>Pertumbuhan ini dapat memiliki efek negatif pada perubahan iklim – dan <a href="https://theconversation.com/a-long-fuse-the-population-bomb-is-still-ticking-50-years-after-its-publication-96090">beberapa peneliti berpendapat</a> bahwa salah satu cara terbaik untuk <a href="https://www.science.org/content/article/best-way-reduce-your-carbon-footprint-one-government-isn-t-telling-you-about">mengurangi emisi karbon</a> adalah dengan memiliki lebih sedikit anak.</p>
<p>Sementara itu, keputusan Dobbs memiliki implikasi yang mengerikan bagi jutaan orang Amerika yang tidak menginginkan anak: Sebagian besar dari mereka sekarang berisiko dipaksa untuk memiliki anak meskipun tidak menginginkannya.</p>
<p>Masalah yang mempengaruhi orang Amerika yang tidak menginginkan anak melampaui kebebasan reproduksi. Misalnya, <a href="https://www.shrm.org/resourcesandtools/hr-topics/people-managers/pages/childless-workers.aspx">kebijakan di tempat kerja tentang keseimbangan kehidupan dan pekerjaaan sering kali menguntungkan mereka yang memiliki anak</a>. Karena begitu banyak penduduk yang tidak menginginkan anak, kami yakin kebutuhan kelompok ini memerlukan perhatian lebih dari para pembuat kebijakan.</p>
<hr>
<p><em>Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/191954/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Zachary P. Neal menerima dana dari National Science Foundation dan Institute for Public Policy and Social Research.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Jennifer Watling Neal menerima dana dari National Institute of Mental Health dan Institute for Public Policy and Social Research.</span></em></p>Orang-orang yang mengatakan mereka tidak menginginkan anak sering diberi tahu bahwa mereka akan berubah pikiran. Namun, studi baru menemukan sebaliknya.Zachary P. Neal, Associate Professor of Psychology, Michigan State UniversityJennifer Watling Neal, Professor of Psychology, Michigan State UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1923152022-10-13T06:19:59Z2022-10-13T06:19:59ZMembebaskan biaya penulis dapat mendorong kemajuan jurnal akses terbuka: belajar dari Kanada<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/489253/original/file-20221011-23-tluy4x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Jurnal akses terbuka membuat penelitian tinjauan sejawat tersedia bagi siapa saja yang tertarik.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p>Jurnal akses terbuka adalah jurnal akademis yang gratis dan tersedia untuk dibaca oleh siapapun tanpa harus membayar biaya berlangganan. Jurnal ini terbit melalui sistem penelaah sejawat. Untuk menebus pendapatan yang hilang, banyak jurnal malah membebankan biaya penulis kepada peneliti yang ingin menerbitkan penelitian mereka di jurnal tersebut. Biaya ini dapat mencapai <a href="https://doi.org/10.7717/peerj.2264">ribuan dolar per artikel</a>, dan dibayarkan dari hibah penelitian yang didanai publik.</p>
<p>Biaya ini membuat <a href="https://doi.org/10.29173/cais1262">penduduk Kanada menghabiskan jutaan dolar setiap tahun</a> untuk membiayai penerbit besar <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0127502">yang margin keuntungannya menyaingi perusahaan besar se Pfizer</a>. Namun, <a href="https://doi.org/10.5281/zenodo.4558704">ribuan jurnal akses terbuka ada yang tidak memungut biaya penulis</a>. Ini membuktikan bahwa penerbitan di jurnal akses terbuka tidak harus semahal ini.</p>
<p>Saya merupakan pustakawan akademik di McGill University, Kanada, yang bekerja sebagai pakar dalam penerbitan akses terbuka. Menurut <a href="https://doi.org/10.3998/jep.153">penelitian yang saya lakukan dengan seorang rekan</a>, Kanada memiliki <a href="https://doi.org/10.7939/DVN/EPSJJR">hampir 300 jurnal akses terbuka tanpa biaya</a>. Ini merupakan hal yang penting karena biaya penulis menjadi<a href="https://doi.org/10.1162/qss_a_00157"> penghalang bagi banyak peneliti untuk membuat karya mereka tersedia bagi siapa saja yang tertarik</a>.</p>
<h2>Biaya penerbitan</h2>
<p>Biaya umum penerbitan jurnal akademik meliputi gaji untuk penyunting naskah, penata huruf dan penerjemah, dan biaya untuk infrastruktur teknis, seperti pengelola laman dan sistem pengiriman. Ada juga biaya yang terkait dengan jurnal non-akses terbuka, seperti pengelolaan <em>paywall</em>, sistem pembayaran langganan, dan gaji untuk staf penjualan.</p>
<p>Menerbitkan jurnal membutuhkan uang, <a href="https://doi.org/10.12688/f1000research.27468.2">tetapi jumlah itu hanya 10% - 15% dari biaya yang dibebankan penerbit kepada penulis untuk membuat karya mereka dapat diakses secara terbuka</a>. Biaya penulis tidak proporsional dengan biaya penerbitan dan <a href="https://doi.org/10.1162/qss_a_00016">berkorelasi dengan prestise</a>, <a href="https://doi.org/10.4119/unibi/2931061">pengaruh</a>, dan <a href="https://doi.org/10.1002/asi.22673">model keuntungan jurnal</a>.</p>
<p>Dalam lingkungan ini, <a href="https://blogs.lse.ac.uk/impactofsocialsciences/2019/06/04/the-gold-rush-why-open-access-will-boost-publisher-profits/">biaya penulis akan terus meningkat selama seseorang dapat membayarnya</a>. Ini juga berarti bahwa penerbitan akses terbuka memberikan hak istimewa kepada <a href="https://doi.org/10.1162/qss_a_00091">sekelompok peneliti tertentu</a>.</p>
<h2>Studi kasus</h2>
<p>Perpustakaan McGill University mendukung jurnal sains akses terbuka tanpa biaya yang disebut <a href="https://seismica.library.mcgill.ca/"><em>Seismica</em></a>, yang menerbitkan penelitian penelahaan sejawat dalam ilmu seismologi dan gempa bumi. <em>Seismica</em> merupakan cara alternatif untuk mengatasi kenaikan biaya penulis, <a href="https://doi.org/10.1126/science.abf8491">yang bisa mencapai lebih dari C$10,000</a> (Rp111,140,869) yang <a href="https://www.forbes.com/sites/madhukarpai/2020/11/30/how-prestige-journals-remain-elite-exclusive-and-exclusionary/">untuk publikasi di <em>Nature</em> yang menjadi kontroversi</a>.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1331609521236680704"}"></div></p>
<p><a href="https://seismica.library.mcgill.ca/about/editorialTeam">Tim editorial <em>Seismica</em></a> terbentuk dari sebuah komunitas yang terdiri dari hampir 50 peneliti dan ilmuwan internasional. Perpustakaan McGill menanggung biaya teknis untuk <em>Seismica</em>, termasuk <a href="https://www.doi.org/index.html">pendaftaran pengenal objek digital (DOI)</a>, perawatan dan pengelolaan laman, dan juga pengelolaan platform pengiriman naskah.</p>
<p>Tenaga sukarela yang disediakan oleh tim <em>Seismica</em> menangani pengerjaan jurnal: meminta pengulas, meninjau naskah yang masuk, dan menerbitkan manuskrip yang diterima. Jurnal ini juga bertanggung jawab untuk membuat pedoman penulisnya sendiri, memperbarui situs lamannya, dan mempromosikan dirinya sendiri. <em>Seismica</em> memberi penulis templat yang telah diformat untuk meningkatkan efisiensi perancangan dan produksi.</p>
<p>Perpustakaan McGill adalah salah satu dari banyak perpustakaan Kanada yang mendukung jurnal dengan cara ini. Dari hampir 300 jurnal akses terbuka gratis di Kanada yang kami teliti, 90% darinya didukung oleh perpustakaan akademik.</p>
<h2>Nilai komunitas</h2>
<p>Jurnal bukan sekadar tentang menerbitkan makalah. Agar berhasil, mereka harus diakui dan dihargai oleh masyarakat. Di <em>Seismica</em>, upaya dan sumber daya yang signifikan telah digunakan untuk <a href="https://doi.org/10.31223/X5304V">membangun komunitas masyarakat akar rumput</a>. Dalam budaya <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3999612/">yang menuntut akademisi untuk menerbitkan sesuatu (<em>publish or perish</em> </a>, meluncurkan jurnal baru saja tidak cukup — jurnal harus dihargai dan menanggapi kebutuhan komunitasnya untuk menarik jumlah penulis yang mendaftar.</p>
<p>Sebagai <a href="https://doi.org/10.1111/1600-0498.12290">bagian dari layanan untuk profesi mereka</a>, penyunting dan penelaah sejawat mendedikasikan waktu mereka untuk jurnal. Beberapa peneliti dan penyunting tidak puas dengan menyediakan tenaga sukarela untuk perusahaan penerbitan yang menghasilkan keuntungan jutaan dolar. Jurnal yang dipimpin oleh para akademisi tanpa biaya memberikan alternatif yang menarik. Hal ini tentunya menjadi <a href="https://doi.org/10.31223/X5304V">faktor yang memotivasi</a> tim redaksi di <em>Seismica</em>.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1284884715510497281"}"></div></p>
<p><em>Seismica</em> merupakan jurnal sains akses terbuka gratis yang unik. Penelitian kami mengidentifikasi bahwa <a href="https://doi.org/10.3998/jep.153">jurnal STEM Kanada hampir 40% lebih kecil kemungkinannya untuk memiliki akses terbuka daripada jurnal di disiplin lain</a>. Hal ini juga berlaku secara global. Satu studi menemukan bahwa jurnal humaniora dan ilmu sosial mewakili <a href="https://doi.org/10.6087/kcse.277">60% jurnal akses terbuka tanpa biaya</a>, dibandingkan dengan 22% dalam jurnal sains dan 17 persen dalam jurnal kedokteran.</p>
<p>Selain itu, jurnal sains dan kedokteran merupakan mayoritas dari jurnal akses terbuka yang mengenakan biaya. Hal ini karena jurnal-jurnal ini baru mengenakan biaya untuk penulis; dan biasanya peneliti yang menerbitkan di jurnal tersebut juga memiliki hibah yang lebih besar yang bisa membayar biaya ini.</p>
<h2>Model penerbitan di masa mendatang</h2>
<p>Karena biaya penulis yang dibebankan oleh <a href="https://doi.org/10.18352/lq.10280">penerbit besar semakin meningkat</a>, perpustakaan, universitas, dan lembaga pendanaan harus mendorong model penerbitan alternatif. Tanpa biaya, jurnal akses terbuka dapat melayani kebutuhan ini, tetapi dapat menjadi <a href="https://doi.org/10.7717/peerj.1990">sulit</a> dan memerlukan <a href="https://www.scienceeurope.org/our-resources/action-plan-for-diamond-open-access/">dukungan</a>.</p>
<p>Misalnya, Kanada memiliki <a href="https://www.sshrc-crsh.gc.ca/funding-financement/programs-programmes/scholarly_journals-revues_savantes-eng.aspx">hibah untuk mendukung jurnal dalam ilmu sosial dan humaniora</a>. Namun, tidak ada hibah seperti itu di tingkat federal untuk jurnal sains dan medis. Kanada juga telah memimpin peluncuran <a href="http://partnership.erudit.org/principles">model pendanaan koperasi untuk jurnal akses terbuka</a>.</p>
<p>Dalam hal ini, fokusnya juga pada seni dan humaniora dan ilmu sosial. Perpustakaan, universitas, lembaga pendanaan, dan penerbit nirlaba Kanada harus terus bekerja sama untuk memastikan sistem penerbitan yang berkelanjutan dan terjangkau untuk semua disiplin ilmu.</p>
<p>Biaya penulis membatasi akses terbuka yang terjangkau bagi para peneliti, terutama mereka yang tidak memiliki dana hibah. Mendukung jurnal akses terbuka tanpa biaya merupakan salah satu jalan menuju kemajuan.</p>
<hr>
<p><em>Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/192315/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Jessica Lange menerima dana dari Canadian Association of Research Libraries (CARL) - dana Riset Pustakawan.</span></em></p>Beberapa jurnal akses terbuka, jurnal tanpa pungutan biaya bagi pembaca, mewajibkan peneliti membayar untuk penerbitan. Menghapus biaya penulis membantu lebih banyak peneliti mempublikasikan karyanya.Jessica Lange, Scholarly Communications Librarian, McGill UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1888452022-08-17T03:55:58Z2022-08-17T03:55:58ZRiset: peneliti perempuan di Indonesia masih tertinggal dalam publikasi riset politik dan hubungan internasional<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/479550/original/file-20220817-20-54dr38.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/thefirebottle/122895549/in/album-72057594078756047/">(Flick/Firebottle)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini kami terbitkan dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus.</em></p>
<hr>
<p>Kesenjangan gender di dunia kerja adalah salah satu tantangan utama yang dihadapi hampir semua sektor, termasuk di pendidikan tinggi.</p>
<p>Selain ketimpangan jumlah pada komposisi gender dosen dan profesor, di mana profesor laki-laki <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/1468-0432.t01-1-00012">jauh lebih banyak</a> daripada perempuan, dalam publikasi akademik ternyata juga ada <a href="https://academic.oup.com/isp/article-abstract/14/4/507/1863857">kesenjangan yang cukup signifikan</a>. </p>
<p>Berbagai riset tentang gender dari segi akademik <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/ps-political-science-and-politics/article/gender-and-journal-authorship-in-eight-prestigious-political-science-journals/68A43495D68B6750D69DF18B8799C953">di negara-negara maju</a> menemukan bahwa publikasi ilmiah, terutama di kalangan dosen dan peneliti ilmu politik, masih cenderung didominasi oleh peneliti laki-laki.</p>
<p>Kami pun tertarik untuk mencari tahu apakah hal serupa juga terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia.</p>
<p>Sebagai studi kasus, Indonesia adalah negara yang sangat patut untuk dicermati. Dengan populasi terbesar keempat di dunia, dan negara demokrasi terbesar nomor tiga setelah India dan Amerika Serikat (AS), khazanah ilmu politik dan hubungan internasional (HI) di tanah air memainkan peran sentral di kawasan Indo-Pasifik.</p>
<p>Bagaimanakah dinamika gender dalam riset HI selama 20 tahun terakhir? Apakah laki-laki dan perempuan menunjukkan produktivitas dan preferensi tema publikasi yang berbeda? Topik apa yang paling sering diteliti oleh ilmuwan HI laki-laki dan perempuan di Indonesia?</p>
<p>Untuk menjawab pertanyaan di atas, <a href="https://aseas.univie.ac.at/index.php/aseas/article/view/6286/7423">riset kami</a> yang terbit pada Juni 2022 menelusuri jurnal-jurnal HI yang telah terakreditasi pada tingkat tertinggi di portal publikasi <a href="https://sinta.kemdikbud.go.id/">Sinta</a> kelolaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek).</p>
<p>Dalam riset tersebut, kami melihat tujuh jurnal HI papan atas di Indonesia (Tabel 1) dan mendata 783 artikel yang terbit selama periode 2000-2019.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/479430/original/file-20220816-1865-dlw01.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/479430/original/file-20220816-1865-dlw01.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/479430/original/file-20220816-1865-dlw01.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=331&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/479430/original/file-20220816-1865-dlw01.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=331&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/479430/original/file-20220816-1865-dlw01.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=331&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/479430/original/file-20220816-1865-dlw01.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=416&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/479430/original/file-20220816-1865-dlw01.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=416&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/479430/original/file-20220816-1865-dlw01.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=416&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Tabel 1. Tujuh Jurnal HI Papan Atas di Indonesia.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(SINTA)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Produktivitas, kolaborasi, dan bahasa: peneliti perempuan tertinggal tapi ada harapan</h2>
<p><strong>Pertama</strong>, kami mendapati pola di jurnal-jurnal HI Indonesia yang serupa dengan pola global, yakni dominasi laki-laki dalam publikasi ilmiah (Grafik 1).</p>
<p>Pola ini konsisten selama 20 tahun terakhir, kecuali pada 2009-2011, di mana jumlah publikasi penulis tunggal perempuan lebih banyak daripada laki-laki.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/479434/original/file-20220816-1490-nioe5y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/479434/original/file-20220816-1490-nioe5y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/479434/original/file-20220816-1490-nioe5y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=239&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/479434/original/file-20220816-1490-nioe5y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=239&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/479434/original/file-20220816-1490-nioe5y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=239&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/479434/original/file-20220816-1490-nioe5y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=300&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/479434/original/file-20220816-1490-nioe5y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=300&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/479434/original/file-20220816-1490-nioe5y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=300&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Grafik 1. Jumlah publikasi berdasarkan gender dan tipe penulis selama 2000-2019.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://aseas.univie.ac.at/index.php/aseas/article/view/6286/7423">(Prihatini & Prajuli, 2022)</a>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>Kedua</strong>, penulis HI di Indonesia juga cenderung sedikit yang melakukan kolaborasi. Dari tujuh jurnal yang kami teliti, hanya satu yang memiliki persentase artikel ilmiah kolaboratif di atas 30%.</p>
<p>Hal ini bisa disebabkan beberapa faktor, mulai dari minimnya kebijakan yang mendorong kerjasama akademik, rendahnya keinginan untuk mengembangkan pendekatan transdisiplin, besarnya beban administratif dosen sehingga sulit meluangkan waktu untuk riset kolaboratif, hingga perbedaan mentalitas antara jurnal yang berumur muda dan tua.</p>
<p>Namun, dalam aspek gender, kami mendapati temuan yang sangat menarik: ternyata peneliti laki-laki lebih suka berkolaborasi dengan sesama laki-laki (Grafik 2).</p>
<p>Komposisi gender tim penulis yang paling dominan, misalnya, adalah tim penulis yang seluruhnya laki-laki (<em>all-male authors</em>), yakni sebesar 33% hingga 52%. Sebaliknya, tim penulis yang seluruhnya perempuan jumlahnya sedikit (<em>all-female authors</em>), yakni hanya 5% sampai 25%.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/479435/original/file-20220816-2827-qc727f.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/479435/original/file-20220816-2827-qc727f.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/479435/original/file-20220816-2827-qc727f.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=331&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/479435/original/file-20220816-2827-qc727f.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=331&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/479435/original/file-20220816-2827-qc727f.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=331&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/479435/original/file-20220816-2827-qc727f.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=416&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/479435/original/file-20220816-2827-qc727f.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=416&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/479435/original/file-20220816-2827-qc727f.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=416&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Grafik 2. Sebaran komposisi gender tim penulis berdasarkan jurnal ilmiah.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Prihatini & Prajuli, 2022)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>Ketiga</strong>, kami juga mengamati kecenderungan bahwa artikel berbahasa Inggris lebih banyak ditulis oleh penulis laki-laki daripada perempuan.</p>
<p>Namun, peneliti perempuan terlihat berusaha mengejar ketertinggalan ini. Selama 10 tahun terakhir, misalnya, jumlah artikel berbahasa Inggris yang ditulis perempuan (Grafik 3) meningkat signifikan – bahkan menyalip artikel berbahasa Inggris dari peneliti laki-laki (Grafik 4) dalam 5 tahun terakhir.</p>
<p>Kecenderungan ini mengindikasikan bahwa pada masa yang akan datang, penulis HI di Indonesia – baik laki-laki maupun perempuan – akan lebih sering lagi menerbitkan karyanya dalam Bahasa Inggris. Hal ini sangat baik karena dapat meningkatkan cakupan pembaca serta peluang pengutipan karya ilmiah mereka.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/479436/original/file-20220816-13995-5ffk8h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/479436/original/file-20220816-13995-5ffk8h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/479436/original/file-20220816-13995-5ffk8h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=306&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/479436/original/file-20220816-13995-5ffk8h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=306&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/479436/original/file-20220816-13995-5ffk8h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=306&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/479436/original/file-20220816-13995-5ffk8h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=385&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/479436/original/file-20220816-13995-5ffk8h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=385&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/479436/original/file-20220816-13995-5ffk8h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=385&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Grafik 3. Jumlah artikel ilmiah berbahasa Inggris yang ditulis perempuan dalam 20 tahun terakhir.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Prihatini & Prajuli, 2022)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/479438/original/file-20220816-10908-9m440y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/479438/original/file-20220816-10908-9m440y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/479438/original/file-20220816-10908-9m440y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=303&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/479438/original/file-20220816-10908-9m440y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=303&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/479438/original/file-20220816-10908-9m440y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=303&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/479438/original/file-20220816-10908-9m440y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=381&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/479438/original/file-20220816-10908-9m440y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=381&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/479438/original/file-20220816-10908-9m440y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=381&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Grafik 4. Jumlah artikel ilmiah berbahasa Inggris yang ditulis laki-laki dalam 20 tahun terakhir.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Prihatini & Prajuli, 2022)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Perempuan hadir dalam isu keamanan, tapi laki-laki abai isu gender dan lingkungan</h2>
<p><strong>Keempat</strong>, kami mendalami pola preferensi tema riset HI di antara penulis laki-laki dan perempuan (Grafik 5).</p>
<p>Dari hampir 800 artikel yang terbit, judul karya oleh penulis perempuan dan laki-laki sama-sama mengindikasikan minat terhadap isu Indonesia, ASEAN, dan Cina. Mereka juga punya minat yang kuat terkait kebijakan, diplomasi, dan pembangunan.</p>
<p>Ada juga sejumlah perbedaan minat antara mereka. Meski peneliti perempuan tidak banyak menulis terkait isu maritim, mereka masih mendominasi judul-judul dengan tema lingkungan, perempuan, dan manusia.</p>
<p>Temuan ini menunjukan adanya <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/ps-political-science-and-politics/article/you-research-like-a-girl-gendered-research-agendas-and-their-implications/6017F061B759D870183FC6D8A71C1DCF">kesamaan pola antara Indonesia dan negara-negara Barat</a>, yaitu para penulis laki-laki tidak memiliki minat besar terkait isu perempuan dan lingkungan.</p>
<p>Dalam hal kata kunci, penulis perempuan juga ternyata paling banyak menggunakan kata-kata seperti “publik”, “hak”, “budaya”, “gender”, “perempuan”, “lingkungan”, “pekerja”, “identitas”, “migran”, “sosial”, dan “budaya”. Sementara, penulis laki-laki banyak menggunakan kata “global”, “pertahanan”, “teori”, “krisis”, dan “perdagangan”.</p>
<p>Uniknya, penulis perempuan dan laki-laki sama-sama suka meneliti tema terorisme, demokrasi, strategi, dan konflik.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/479442/original/file-20220816-9536-nsnvum.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/479442/original/file-20220816-9536-nsnvum.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/479442/original/file-20220816-9536-nsnvum.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=1235&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/479442/original/file-20220816-9536-nsnvum.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=1235&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/479442/original/file-20220816-9536-nsnvum.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=1235&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/479442/original/file-20220816-9536-nsnvum.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1552&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/479442/original/file-20220816-9536-nsnvum.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1552&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/479442/original/file-20220816-9536-nsnvum.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1552&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Grafik 5. Preferensi kata kunci riset HI antara peneliti laki-laki dan perempuan.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Prihatini & Prajuli, 2022)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Terkait isu keamanan (<em>security</em>), penulis perempuan dan laki-laki ternyata memiliki minat yang sama-sama tinggi – bahkan menjadi topik favorit secara umum di bidang HI. Padahal, <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/politics-and-gender/article/abs/women-in-international-relations/A5C27C99B2238D9C494F296FE8D4BB3E">riset di AS</a> sebelumnya menemukan bahwa peneliti HI perempuan tidak setertarik laki-laki dalam mendalami topik ini.</p>
<p>Bahkan, kami tidak menemukan kesenjangan gender dalam isu yang menyangkut Asia, militer, kerjasama, dan tata kelola (<em>governance</em>).</p>
<p>Selain itu, analisis kata kunci di atas juga menunjukkan bahwa cendekiawan HI di Indonesia, terlepas dari gendernya, masih memiliki perspektif ke dalam (<em>inward-looking perspective</em>). Hal ini tidak mengejutkan karena telah sejak lama Indonesia dikenal <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/app5.203">berfokus pada negara sendiri</a>. Ini pun terlihat dalam aspek ekonomi, keamanan, maupun kebijakan luar negeri.</p>
<p>Konsekuensinya, jarak geografis (<em>proximity</em>) suatu negara dengan Indonesia mempengaruhi minat riset mereka. Di antara laki-laki maupun perempuan, topik seputar Asia, ASEAN, Cina, Jepang, dan Indonesia menjadi wilayah-wilayah paling dominan di dalam kajian HI yang muncul di jurnal-jurnal yang kami teliti.</p>
<h2>Mendorong kehadiran peneliti perempuan dalam publikasi riset</h2>
<p>Temuan riset kami menunjukkan bahwa publikasi akademik menjadi salah satu ruang yang masih sangat perlu ditelaah secara mendalam.</p>
<p>Ini penting demi mendapatkan gambaran yang lebih akurat tentang perkembangan khazanah keilmuan di Indonesia. Bidang HI yang kami dalami dalam riset ini, misalnya, menunjang peran krusial Indonesia di wilayah Asia-Pasifik.</p>
<p>Sayangnya, pemetaan kami terkait pola riset HI di Indonesia selama dua dekade terakhir menunjukkan produktivitas yang masih cenderung timpang antara peneliti laki-laki dan perempuan.</p>
<p>Dunia riset sosial di Indonesia perlu terus mencari strategi yang dapat mendukung peningkatan produktivitas serta kolaborasi, meningkatkan kehadiran buah pikir akademisi perempuan, dan mengokohkan perspektif yang memperkaya keilmuan HI Indonesia secara inklusif.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/188845/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pemetaan kami terkait pola riset HI di Indonesia selama dua dekade terakhir menunjukkan produktivitas yang masih cenderung timpang antara peneliti laki-laki dan perempuan.Ella S. Prihatini, Lecturer of International Relations, Faculty of Humanities, Binus UniversityWendy Andhika Prajuli, Lecturer in International Relations, Binus UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1882942022-08-05T09:59:46Z2022-08-05T09:59:46ZMasih ada banyak kekurangan dalam sistem ‘peer review’ publikasi riset. Bagaimana cara memperbaikinya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/477828/original/file-20220805-25-eyzlbe.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/mature-tired-businesswoman-working-on-computer-1297116610">(Shutterstock)</a></span></figcaption></figure><p>Proses telaah sejawat (<em>peer review</em>) punya peran yang sangat penting dalam dunia akademik di era modern. Sebelum sebuah karya riset baru bisa terbit di suatu jurnal akademik, sejumlah dosen dan peneliti lain secara ketat mengevaluasi bukti, metode penelitian, dan temuan serta argumen dalam studi tersebut.</p>
<p>Namun, banyak akademisi, penelaah, dan editor jurnal <a href="https://www.elsevier.com/connect/editors-update/what-researchers-think-about-the-peer-review-process">mengeluhkan beberapa masalah</a> terkait cara kerja sistem <em>peer review</em> modern. Prosesnya bisa lama, tidak transparan, kurang inklusif, dan juga mendayagunakan relawan dari kalangan akademisi yang padahal sudah mengemban beban kerja yang berat di kampus masing-masing.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/lebih-dari-sepertiga-dosen-indonesia-tidak-menerbitkan-riset-3-solusi-memperbaikinya-140248">Lebih dari sepertiga dosen Indonesia tidak menerbitkan riset: 3 solusi memperbaikinya</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Bulan lalu, salah satu dari kami (Kelly-Ann Allen) menyampaikan rasa frustrasi atas sulitnya menemukan jejaring penelaah di Twitter.</p>
<p>Unggahan itu mendapat ratusan respons, dan kini kami punya koleksi melimpah berisi kritik terkait proses <em>peer review</em> dan juga rekomendasi dari netizen akademisi tentang cara-cara untuk memperbaikinya.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1533614630638981120"}"></div></p>
<p>Berbagai rekomendasi tersebut menunjukkan masih ada banyak hal yang bisa dilakukan jurnal, penerbit, dan universitas untuk membuat proses <em>peer review</em> lebih akuntabel, adil, dan inklusif. Berikut ringkasan dari <a href="https://ro.uow.edu.au/jutlp/vol19/iss3/02/">temuan lengkap</a> kami.</p>
<h2>Tiga tantangan <em>peer review</em></h2>
<p>Kami melihat ada tiga tantangan utama terkait sistem <em>peer review</em> modern.</p>
<p>Pertama, proses <em>peer review</em> bisa berujung eksploitatif.</p>
<p>Banyak perusahaan yang menerbitkan jurnal akademik mendapatkan untung dari langganan maupun penjualan. Sementara, para penulis, editor, dan penelaah umumnya menuangkan energi dan waktu secara sukarela – sehingga pada dasarnya bekerja secara gratis.</p>
<p>Meski <em>peer review</em> sering dianggap sebagai upaya kolektif komunitas akademik, dalam praktiknya, sebagian besar pekerjaan ini dilakukan hanya oleh segelintir akademisi saja. Suatu studi terkait jurnal biomedis menemukan bahwa, pada tahun 2015, hanya 20% peneliti dan dosen saja yang melakukan <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0166387">hingga 94% pekerjaan <em>peer review</em></a>.</p>
<h2><em>Peer review</em> bisa jadi semacam ‘kotak hitam’</h2>
<p>Tantangan kedua adalah <a href="https://doi.org/10.1098/rsos.150547">minimnya transparansi</a> dalam proses <em>peer review</em>.</p>
<p><em>Peer review</em> umumnya berjalan secara anonim: peneliti tidak tahu siapa yang mengevaluasi karya mereka, dan penelaah tidak tahu karya siapa yang mereka evaluasi. Ini memang dapat mendorong kejujuran, tapi juga bisa membuat prosesnya <a href="https://doi.org/10.1111/ejn.13541">lebih tertutup dan tidak akuntabel</a>.</p>
<p>Sifat tertutup ini juga bisa meredam diskusi, melanggengkan bias dalam riset, dan juga menurunkan kualitas evaluasi karya riset.</p>
<h2>Cenderung berjalan lamban</h2>
<p>Tantangan terakhir terkait dengan kecepatan proses <em>peer review</em>.</p>
<p>Saat seorang peneliti mengirimkan karya akademik ke suatu jurnal, jika mereka <a href="https://theconversation.com/journal-papers-grants-jobs-as-rejections-pile-up-its-not-enough-to-tell-academics-to-suck-it-up-153886">lolos tahap seleksi awal</a>, mereka bisa jadi harus menunggu waktu yang sangat lama untuk proses reviu dan pada akhirnya penerbitan. Tidak jarang peneliti harus menunggu lebih dari setahun hingga karyanya diterbitkan.</p>
<p>Penundaan semacam ini buruk untuk semua pihak.</p>
<p>Bagi pembuat kebijakan, pemimpin, maupun publik, ini berarti mereka bisa saja membuat keputusan berdasarkan bukti ilmiah yang tidak terkini. Bagi akademisi, <a href="https://doi.org/10.1016/j.joi.2013.09.001">penundaan penerbitan bisa menghambat karir mereka</a> karena mereka harus menunggu publikasi yang mereka butuhkan untuk memproses kenaikan jabatan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/jalan-evolusi-bibliometrik-indonesia-104781">Jalan evolusi bibliometrik Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Akademisi mengatakan bahwa penundaan ini muncul akibat <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0166387">keterbatasan jumlah penelaah</a>. Banyak dari mereka mengaku <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01587919.2015.1055056">kewalahan dengan beban kerja di kampus</a> sehingga enggan berpartisipasi dalam proses <em>peer review</em>. Ini pun menjadi semakin semenjak pandemi COVID-19 muncul.</p>
<p>Studi juga menemukan bahwa banyak jurnal <a href="https://www.elsevier.com/connect/editors-update/what-researchers-think-about-the-peer-review-process">sangat bergantung pada penelaah dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa</a>, sehingga makin membatasi jumlah maupun keberagaman penelaah.</p>
<h2>Bisakah kita memperbaiki proses <em>peer review</em>?</h2>
<p>Jadi, apa yang bisa kita lakukan? </p>
<p>Sebagian besar saran konstruktif dari netizen akademisi terbagi menjadi tiga jenis rekomendasi:</p>
<p>Pertama, banyak dari mereka menyarankan bahwa harus ada insentif yang lebih baik untuk terlibat dalam <em>peer review</em>.</p>
<p>Misalnya, penerbit bisa membayar para penelaah (jurnal-jurnal dari <a href="https://www.aeaweb.org/journals">American Economic Association</a> sudah melakukan hal ini), atau memberi sekian persen keuntungan kepada departemen riset. Jurnal juga bisa memberikan para penelaah langganan gratis, kupon biaya publikasi, atau proses <em>review</em> yang lebih cepat untuk mereka (<em>fast track</em>).</p>
<p>Meski demikian, kita tak bisa memungkiri bahwa jika jurnal menawarkan insentif semacam ini, ada masalah-masalah lain yang bisa muncul.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/efek-kobra-dosen-indonesia-terobsesi-pada-indeks-scopus-dan-praktik-tercela-menuju-universitas-kelas-dunia-105808">Efek kobra, dosen Indonesia terobsesi pada indeks Scopus dan praktik tercela menuju universitas kelas dunia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Saran lain adalah bahwa universitas harus lebih baik lagi mengakomodasi keterlibatan dalam <em>peer review</em> sebagai bagian dari beban kerja akademik, kemudian memberi penghargaan bagi mereka yang memberi kontribusi besar bagi proses <em>peer review</em>.</p>
<p>Beberapa komentar di Twitter berpendapat bahwa profesor tetap (<em>tenured professors</em>) di suatu universitas, wajib mereviu sejumlah artikel riset setiap tahun. Beberapa yang lain menekankan pentingnya mendukung jurnal nirlaba, apalagi mengingat temuan sebuah <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/leap.1448">studi terkini</a> bahwa sekitar 140 jurnal di Australia berhenti beroperasi selama 2011-2021.</p>
<p>Sebagian besar responden sepakat bahwa konflik kepentingan harus dihindari. Beberapa menyarankan basis data berisi pakar di berbagai bidang sehingga memudahkan pencarian penelaah yang relevan.</p>
<h2>Strategi rekrutmen penelaah yang lebih inklusif</h2>
<p>Banyak responden juga mengatakan bahwa jurnal bisa memperbaiki cara mereka merekrut penelaah dan mekanisme pembagian kerjanya. Penelaah bisa diseleksi atas dasar <a href="https://ro.uow.edu.au/jutlp/vol19/iss3/01/">kepakaran metode atau konten</a> dan diminta fokus ke salah satu saja dalam proses <em>peer review</em>.</p>
<p>Responden juga mengatakan bahwa jurnal harus lebih baik lagi dalam membuat undangan yang menyasar pakar yang sesuai, dengan proses yang lebih sederhana bagi mereka untuk menerima atau menolak tawaran tersebut.</p>
<p>Beberapa akademisi lain merasa bahwa akademisi tidak tetap (<em>non-tenured</em>), peneliti doktoral, orang yang bekerja di industri yang relevan, maupun pakar yang sudah pensiun juga bisa terlibat menjadi penelaah. Ini bisa dimulai dengan lebih banyak melatih mahasiswa pascasarjana dengan kompetensi <em>peer review</em>, serta meningkatkan representasi perempuan dan minoritas.</p>
<h2>Merombak sistem reviu anonim (<em>double-blind</em>)?</h2>
<p>Respons beberapa akademisi menunjukkan tumbuhnya gerakan untuk membuat proses <em>peer review</em> menjadi terbuka, sehingga bisa jadi membuatnya lebih manusiawi dan transparan. Sebagai contoh, <a href="https://royalsocietypublishing.org/rsos/for-authors#question10">Royal Society Open Science</a> menerbitkan seluruh keputusan, dokumen reviu, dan identitas sukarela dari para penelaah.</p>
<p>Saran lain adalah untuk mempercepat proses penerbitan dengan memprioritaskan riset yang sensitif waktu dan punya urgensi tinggi.</p>
<h2>Langkah ke depan</h2>
<p>Pesan secara umum dari respons terhadap cuitan kami adalah bahwa ada kebutuhan untuk melakukan perombakan sistemik dalam proses <em>peer review</em>.</p>
<p>Ada banyak sekali ide untuk melakukannya demi kebermanfaatan ilmuwan maupun publik. Namun, pada akhirnya tetap saja ini tergantung pada jurnal, penerbit, dan universitas untuk mempraktikkannya dan menerapkan sistem <em>peer review</em> yang lebih <a href="https://theconversation.com/journal-papers-grants-jobs-as-rejections-pile-up-its-not-enough-to-tell-academics-to-suck-it-up-153886">akuntabel, adil, dan inklusif</a>.</p>
<hr>
<p><em>Para penulis mengucapkan terima kasih pada Emily Rainsford, David V. Smith, dan Yumin Lu atas kontribusi mereka pada artikel jurnal yang kami terbitkan sebelumnya, berjudul <a href="https://ro.uow.edu.au/jutlp/vol19/iss3/02/">‘Towards improving peer review: Crowd-sourced insights from Twitter’</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/188294/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Kelly-Ann Allen adalah Kepala Editor di jurnal Educational and Developmental Psychologist dan Journal of Belonging and Human Connection. Ia juga merupakan anggota Dewan Redaksi di Educational Psychology Review, Journal of Happiness and Health (JOHAH), dan Journal of School and Educational Psychology (JOSEP).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Joseph Crawford adalah Kepala Editor di Journal of University Teaching and Learning Practice.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Jonathan Reardon dan Lucas Walsh tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Proses peer review punya peran penting dalam dunia penerbitan karya akademik. Tapi, prosesnya bisa eksploitatif, tidak transparan, dan lamban. Bagaimana cara memperbaikinya?Kelly-Ann Allen, Associate Professor, School of Educational Psychology and Counselling, Faculty of Education, Monash UniversityJonathan Reardon, Researcher, Durham UniversityJoseph Crawford, Senior Lecturer, Management, University of TasmaniaLucas Walsh, Professor and Director of the Centre for Youth Policy and Education Practice, Monash UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1834422022-05-27T13:00:01Z2022-05-27T13:00:01ZLemahnya sistem pendanaan riset di Indonesia semakin terasa di tengah pandemi: berikut pengalaman para dosen<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/465753/original/file-20220527-19-l7qt0v.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(Unsplash/Dan Dimmock)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Skema pendanaan penelitian dari pemerintah Indonesia saat ini <a href="https://theconversation.com/ini-desain-dan-prinsip-pengelolaan-dana-abadi-penelitian-agar-efektif-dan-berdampak-optimal-129455">belum mampu menopang riset yang sifatnya multi-tahun</a> akibat siklus anggaran negara yang sifatnya tahunan. Ini menyulitkan dosen untuk merancang riset jangka panjang.</p>
<p>Berdasarkan <a href="http://uis.unesco.org/apps/visualisations/research-and-development-spending/">data terakhir UNESCO</a>, besaran anggaran riset yang dialokasikan pemerintah Indonesia pun masih sangat rendah (0,1% dari Pendapatan Domestik Bruto pada 2021) bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga (0,5% di Thailand, 1,3% di Malaysia, dan 2,1% di Singapura).</p>
<p>Pandemi COVID-19 yang ‘memaksa’ pemerintah untuk mengatasi krisis – sehingga menggeser anggaran dan prioritas riset – semakin memperparah kondisi ini bagi banyak peneliti dan dosen.</p>
<p>Seberapa banyak dukungan pendanaan yang diberikan untuk riset-riset yang dilakukan selama pandemi? Bagaimana nasib pendanaan riset dengan topik yang tidak berkaitan dengan pandemi secara langsung?</p>
<p>Kami di Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) melakukan <a href="https://pspk.id/wp-content/uploads/2022/04/Kilas-Kebijakan-PSPK-Membangun-Keahlian-dengan-Profesionalisme-di-Kampus-Merdeka-Kajian-Mengenai-Beban-Kerja-Dosen-di-Indonesia.pdf">wawancara mendalam dengan tiga dosen</a> di perguruan tinggi di Indonesia untuk mendapat gambaran tentang lika-liku pendanaan riset selama pandemi.</p>
<p>Berikut cerita mereka.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/memajukan-industri-pengetahuan-di-indonesia-apa-yang-bisa-dilakukan-pemerintah-102486">Memajukan industri pengetahuan di Indonesia, apa yang bisa dilakukan pemerintah?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Dana penelitian yang berkurang</h2>
<p>Pandemi berdampak pada penurunan alokasi anggaran riset yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Asumsinya, riset tidak dilaksanakan secara tatap muka atau turun lapangan ketika pandemi.</p>
<p>Berdasarkan pengalaman Shahnaz Safitri, dosen psikologi di Universitas Indonesia (UI) yang fokus pada riset efektivitas pembelajaran, penurunan dana riset pada awal pandemi mencapai 50% dari yang biasanya sekitar Rp 300 juta untuk riset sosial yang berjangka panjang. Baru pada tahun kedua pemberian dana riset mulai pelan-pelan bertambah.</p>
<p>Jumlah anggaran yang berkurang ini, menurut Shahnaz, sebenarnya masih cukup untuk desain penelitian psikologi yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Tapi, beda halnya dengan rekan-rekannya yang menggunakan pendekatan kualitatif.</p>
<p>“Untuk desain penelitian kuantitatif, dosen psikologi [di UI] biasanya memakai instrumen survei daring. Yang lebih terdampak adalah peneliti kualitatif karena harus turun lapangan, atau peneliti eksakta karena membutuhkan biaya yang besar untuk peralatan”, ujar Shahnaz. </p>
<p>Masalah yang berbeda juga diceritakan oleh Daryanto, dosen teknik elektro di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).</p>
<p>Alokasi hibah dari pemerintah selama pandemi tidak berdasarkan kebutuhan riil yang diajukan dosen peneliti. Jatah hibah kini diplot dengan kisaran angka tertentu (seperti 50 juta, 100 juta, 200 juta, dan seterusnya).</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bukan-hanya-soal-anggaran-bagaimana-dana-riset-dibelanjakan-juga-penting-112873">Bukan (hanya) soal anggaran. Bagaimana dana riset dibelanjakan juga penting</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Bagi Daryanto, pembatasan anggaran ini menyulitkan dosen dan peneliti, terutama yang berada di rumpun teknik dan eksakta karena penelitian yang dilakukan membutuhkan pembelian peralatan atau infrastruktur lainnya.</p>
<p>“Seringkali, kampus juga belum menyediakan infrastruktur yang memadai untuk riset”, kata Daryanto. </p>
<p>Meski ada penurunan dana riset secara umum di ranah non-pandemi, Aryo Wicaksono dari Universitas Airlangga (UNAIR) mengamati adanya dampak positif pasca COVID-19.</p>
<p>Menurutnya, pandemi memberikan stimulus masyarakat untuk melakukan perubahan di berbagai sektor. Aryo memprediksi tren topik riset ke depan tidak lagi membahas dampak pandemi, namun seharusnya sudah membahas proses resiliensi (<em>bounce back</em>) masyarakat terhadap krisis.</p>
<h2>Ada akar masalah yang lebih besar</h2>
<p>Selain isu besaran anggaran anggaran riset pemerintah, terdapat permasalahan lain terkait pendanaan penelitian di Indonesia.</p>
<p>Pertama, masalah pemerataan pendanaan riset.</p>
<p>Pendanaan riset yang proporsinya didominasi APBN – itu pun hanya 0,1% dari PDB untuk 2021 – seringkali hanya bisa diakses oleh perguruan tinggi unggulan dan dosen yang mempunyai jam terbang riset tinggi.</p>
<p>Daryanto menyebutkan “pola <a href="https://theconversation.com/sepak-terjang-peneliti-muda-indonesia-berkembang-pesat-tapi-masih-terbentur-banyak-tantangan-174408">pembinaan dosen muda</a> yang tidak terstruktur dengan baik” membuat dosen-dosen muda kurang mempunyai kesempatan untuk memenangkan hibah riset. Temuan ini senada dengan hasil riset <a href="http://www.reality-check-approach.com/uploads/6/0/8/2/60824721/study_14_v6_web.pdf">Reality Check Approach (2017)</a> yang menunjukkan bahwa untuk memenangkan hibah riset, dosen muda memerlukan profil “dosen senior” di dalam pengajuan proposalnya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/sepak-terjang-peneliti-muda-indonesia-berkembang-pesat-tapi-masih-terbentur-banyak-tantangan-174408">Sepak terjang peneliti muda Indonesia: berkembang pesat tapi masih terbentur banyak tantangan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kedua, pelaporan hasil riset yang masih <a href="https://theconversation.com/lebih-dari-sepertiga-dosen-indonesia-tidak-menerbitkan-riset-3-solusi-memperbaikinya-140248">berorientasi administratif</a> ketimbang aspek substansi riset.</p>
<p>Tingginya beban administrasi membuat dosen peneliti seperti Shahnaz, Aryo, dan Daryanto kekurangan motivasi untuk mendaftar hibah riset dari pemerintah.</p>
<p>“Pemerintah memang mulai berorientasi untuk kebijakan pendanaan riset berbasis luaran (<em>output</em>), namun pada kenyataannya dosen masih disibukkan dengan nota-nota bukti dan pelaporan yang kaku,” ujar Daryanto.</p>
<p>Ia menambahkan bahwa orientasi pelaporan berbasis laporan pertanggungjawaban (LPJ) keuangan menyulitkan dosen untuk melakukan hilirisasi hasil penelitian menjadi produk.</p>
<p>“LPJ keuangan kan sifatnya per termin satu tahun anggaran, sehingga sistem ini tidak memungkinkan penelitian untuk menjadi sebuah produk.”</p>
<p>Di tengah penurunan besaran hibah riset selama pandemi, kompetisi yang kurang sehat maupun beban administrasi yang berat semakin membatasi akses banyak dosen untuk mendanai riset berkualitas.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/465700/original/file-20220527-19-9m2rjb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/465700/original/file-20220527-19-9m2rjb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/465700/original/file-20220527-19-9m2rjb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=397&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/465700/original/file-20220527-19-9m2rjb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=397&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/465700/original/file-20220527-19-9m2rjb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=397&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/465700/original/file-20220527-19-9m2rjb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=498&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/465700/original/file-20220527-19-9m2rjb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=498&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/465700/original/file-20220527-19-9m2rjb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=498&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Kompetisi yang kurang sehat dan beban administrasi menghambat banyak dosen mengakses dana riset yang memadai.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Memperbaiki birokrasi riset</h2>
<p>Pengalaman dosen peneliti seperti Shahnaz, Aryo, dan Daryanto menunjukkan bahwa hambatan yang muncul akibat alokasi anggaran yang menurun selama pandemi hanyalah satu gejala tambahan dari masalah yang lebih besar – yakni ekosistem pendanaan riset yang buruk.</p>
<p>Lalu, apa yang perlu dilakukan pemerintah dalam jangka panjang?</p>
<p>Menurut Shahnaz, dalam jangka pendek, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) perlu menginisiasi suatu pusat pembelajaran (<em>learning center</em>) khususnya untuk dosen peneliti muda. Hal ini penting untuk meningkatkan peluang dosen muda mendapatkan hibah.</p>
<p>Tak hanya menjalankan fungsi peningkatan kapasitas, <em>learning centre</em> juga dapat berperan sebagai jembatan kolaborasi antarperguruan tinggi di Indonesia.</p>
<p>Kemudian, dalam jangka panjang, Aryo dan Dayanto mengusulkan pentingnya penyederhanaan birokrasi penelitian di Indonesia.</p>
<p>Daryanto menekankan pentingnya pemberian dana berdasarkan kebutuhan topik yang diteliti dosen, bukan berdasarkan pada tahun anggaran sehingga bisa meningkatkan jumlah inovasi.</p>
<p>Sementara, Aryo menyarankan untuk menguatkan prosedur etik, dan pembenahan peran penelaah proposal penelitian agar relevan dengan topik yang diajukan peneliti. </p>
<p>Ini selaras dengan <a href="https://theconversation.com/bagaimana-skema-pengelolaan-dana-abadi-penelitian-yang-ideal-komunitas-peneliti-berpendapat-129082">rekomendasi Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI)</a> pada 2019 agar pemerintah Indonesia menunjuk lembaga tepercaya untuk mengelola pemberian hibah dari Dana Abadi Penelitian supaya proses manajemen proposal penelitian menjadi lebih profesional dan terpisah dari siklus tahunan negara.</p>
<p>Krisis tentu akan datang dan pergi mengguncang dunia riset, tapi ekosistem pendanaan penelitian yang matang akan membantu dosen dan peneliti melewatinya dengan lebih baik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/183442/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Daya Sudrajat bekerja sebagai konsultan riset dan kebijakan di Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Diyon Iskandar terafiliasi dengan Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan. Ia berhubungan konsultasi dengan Kemdikbudristek. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Faris Hafizh Makarim tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pandemi COVID-19 yang ‘memaksa’ pemerintah untuk mengatasi krisis telah menggeser anggaran dan prioritas riset. Bagaimana nasib dosen dan peneliti di Indonesia?Daya Sudrajat, Konsultan Riset dan Kebijakan, Pusat Studi Pendidikan dan KebijakanDiyon Iskandar, Policy Analyst, Pusat Studi Pendidikan dan KebijakanFaris Hafizh Makarim, Policy Analyst, Pusat Studi Pendidikan dan KebijakanLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1830892022-05-20T03:01:20Z2022-05-20T03:01:20Z4 alasan mengapa mengatakan ‘do your research’ untuk memenangkan argumen tidak disarankan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/463175/original/file-20220516-64669-oosxcq.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Dua perempuan berdebat saat mereka duduk di sofa</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Cukup banyak klaim atau argumen yang diakhiri dengan kalimat singkat “lakukan penelitian Anda” (<em>do your research</em>). Untuk beberapa kasus, ini merupakan sesuatu yang berani.</p>
<blockquote>
<p>“Ayo dong, buka matamu! Lihat kebenaran dengan mata kepala sendiri!”</p>
</blockquote>
<p>Itu tampaknya nada yang tersirat ketika mengucapkannya. Jenis pernyataan ini sangat menggugah dan persuasif – dengan cara yang manipulatif secara emosional. Berikut adalah empat alasan mengapa kita harus menghindari menyuruh orang lain untuk melakukan penelitian saat mendiskusikan suatu topik.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1378479031151042560"}"></div></p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/how-to-make-good-arguments-at-school-and-everywhere-else-121305">How to make good arguments at school (and everywhere else)</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>1. Beban pembuktian</h2>
<p>Ada aturan umum dalam argumentasi: “Apa yang bisa ditegaskan tanpa bukti juga bisa ditolak tanpa bukti.” Artinya, jika kita membuat klaim tentang dunia, kita menanggung beban untuk membuktikan bahwa klaim kita itu benar. Carl Sagan dalam <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s11406-016-9779-7#auth-David-Deming">debat terkenalnya</a> memandang ini sebagai “klaim luar biasa juga memerlukan bukti yang luar biasa”.</p>
<p>Ini adalah bagian penting dari wacana publik – jika kita ingin publik setuju dengan kita, kita harus menerima beban pembuktian untuk mendukung ide-ide kita.</p>
<p>Katakanlah kita ingin membuat klaim seperti:</p>
<blockquote>
<p>“Vaksin COVID-19 adalah racun.”</p>
</blockquote>
<p>Ini adalah contoh klaim yang luar biasa. Kami memiliki rekam jejak vaksin yang aman. Untuk mulai menganggap serius klaim “racun”, kita memerlukan beberapa fakta serius untuk bisa mendukungnya.</p>
<p>Mungkin ada penelitian yang menunjukkan bahwa vaksin beracun atau menyebabkan reaksi merugikan yang signifikan. Tapi itu masih tugas kita untuk memberikan bukti itu – dan tidak ada yang perlu menganggap kita serius sampai kita membuktikannya.</p>
<p>Setelah bukti itu diberikan, kita dapat mengevaluasi apakah bukti itu dapat diandalkan dan terkait dengan klaim utama.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1368501856398417921"}"></div></p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/feel-free-to-disagree-on-campus-by-learning-to-do-it-well-151019">Feel free to disagree on campus ... by learning to do it well</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>2.Bias konfirmasi</h2>
<p><a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s10670-019-00128-z">Pikiran kita tidak selalu bekerja dengan lambat, masuk akal, dan disengaja</a> – karena hal itu akan melelahkan. Sebaliknya kami menggunakan apa yang disebut heuristik (jalan pintas mental) untuk memungkinkan kami bertindak dan berperilaku cepat.</p>
<p>Kami menggunakan heuristik untuk membuat pilihan saat mengemudi di jalan, atau memutuskan cara mana yang harus dihindari dalam pertandingan sepak bola, atau kapan harus mengecilkan api saat memasak. Ada terlalu banyak keputusan kecil yang harus dibuat setiap hari dengan jalan pintas ini.</p>
<p>Bias kognitif mirip dengan heuristik tetapi memiliki perbedaan penting - yakni ia datang dengan bias yang ada.</p>
<p>Jenis bias kognitif tertentu adalah bias konfirmasi: yang memiliki kecenderungan untuk menafsirkan fakta dan informasi dengan apa yang sudah kita yakini. Misalnya, jika kita tidak percaya pada pemerintah, kita cenderung mempercayai berita tentang korupsi dan penipuan dari pejabat terpilih kita.</p>
<p>Masalah yang muncul dengan bias konfirmasi adalah bahwa hal itu membawa kita untuk secara tidak rasional memprioritaskan jenis informasi tertentu di atas yang lain. Jauh lebih sulit untuk mengubah pikiran kita ketika mereka sudah <a href="https://www.scielosp.org/article/csp/2020.v36suppl2/e00136620/en/">siap untuk mempercayai hal-hal tertentu – tentang vaksin</a>, misalnya. Dalam pencarian informasi, kita akan mencari sumber yang mendukung klaim yang telah kita setujui atau menolak klaim yang tidak kita sukai. Jika kita sudah curiga atau takut pada vaksin dan seseorang mengatakan “lakukan penelitian Anda tentang bahaya vaksin”, kita lebih cenderung memilih kasus tentang efek vaksin yang merugikan.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1487850816392527872"}"></div></p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/first-impressions-count-and-have-an-impact-on-the-decisions-we-make-later-on-175034">First impressions count, and have an impact on the decisions we make later on</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>3. Kebajikan intelektual yang buruk</h2>
<p>Seseorang yang memberitahu orang lain untuk melakukan penelitian biasanya ingin orang untuk bisa memahami argumennya. Itu bukan diskusi atau debat. Ini seperti mencari justifikasi atas argumennya dengan cara yang tidak kritis.</p>
<p>Kita semua mencari validasi untuk argumen, tetapi kita perlu melakukan lebih dari ini. Kita harus menyambut kritik dengan tulus.</p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00131857.2020.1811680?casa_token=bhBSUXcvnf8AAAAA%3AHxrtenEgshLuxyoR5CjvTz_a5pkCWZA3ikdWn4hO8EsKE3tMLifZ9eRqyEjQ7fZ_ETlXsSzBkEO7uw">Demokrasi yang efektif membutuhkan</a> bahwa kita terlibat satu sama lain menggunakan kebajikan intelektual seperti kejujuran, pikiran terbuka, dan ketelitian. Kita harus menjadi pencari kebenaran, yang mengevaluasi bukti dan menguji kredibilitas segala sesuatu.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/changing-your-mind-about-something-as-important-as-vaccination-isnt-a-sign-of-weakness-being-open-to-new-information-is-the-smart-way-to-make-choices-167856">Changing your mind about something as important as vaccination isn't a sign of weakness – being open to new information is the smart way to make choices</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>4. Harapan yang tidak masuk akal</h2>
<p>Kita tidak bisa berharap bahwa setiap orang akan memiliki waktu untuk memeriksa secara menyeluruh setiap publikasi tentang topik tertentu. Bahkan jika hanya butuh sepuluh menit untuk membaca artikel ilmiah tentang keamanan vaksinasi (yang merupakan perkiraan kasar untuk makalah yang panjangnya ribuan kata), penelitian yang efektif akan membuat kita membaca setidaknya setengah lusin dari itu untuk memahami apa yang ahli dalam bidang itu katakan.</p>
<p>Dan itu baru membaca. Belum lagi waktu untuk mempelajari berbagai istilah dan kosa kata di bidang itu, serta belajar tentang perbedaan pendapat dan aliran pemikiran, atau untuk membentuk pendapat kita sendiri tentang kualitas penelitian itu.</p>
<p>Yang kita bisa lakukan adalah setidaknya memeriksa argumen orang lain selama berjam-jam. Jika si pendebat mengajukan bukti mereka, kita masih perlu melakukan penelitian tentang apakah bukti itu akurat – tetapi setidaknya sekarang kita berbicara tentang menit, bukan jam.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Pencil placed on scientific journal paper with highlighted sections" src="https://images.theconversation.com/files/444464/original/file-20220204-15-1xnssd6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/444464/original/file-20220204-15-1xnssd6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/444464/original/file-20220204-15-1xnssd6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/444464/original/file-20220204-15-1xnssd6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/444464/original/file-20220204-15-1xnssd6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/444464/original/file-20220204-15-1xnssd6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/444464/original/file-20220204-15-1xnssd6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Penelitian yang layak akan mengharuskan seseorang memiliki waktu dan keahlian untuk membaca dan menilai artikel panjang oleh para ahli asli.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Menjadi lebih baik dalam berdebat</h2>
<p>Salah satu kebajikan paling mendasar dalam mendengarkan satu sama lain dan meningkatkan kualitas wacana kita adalah rasa ingin tahu. Salah satu bahaya nyata bagi hidup kita adalah menjadi tidak tertarik pada perspektif lain – atau, lebih buruk lagi, menjadi tidak tertarik pada kebenaran itu sendiri.</p>
<p>Kita tidak akan pernah memiliki gambaran lengkap tentang masalah sosial dan ilmiah yang kompleks. Hidup kita sendiri sibuk dan kompleks dan kita tidak punya waktu untuk menyelidiki dengan benar setiap topik yang diajukan kepada kita. Jika seseorang ingin dianggap serius, paling tidak yang bisa dia lakukan adalah menyampaikan argumennya secara utuh.</p>
<p>Kita masih dapat terlibat berdiskusi dengan yang lain, tetapi kami harus jujur tentang informasi dan dari mana kita mendapatkannya.</p>
<p>Tidak ada gunanya menyuruh orang lain untuk melakukan pekerjaan yang harus seharusnya kita kerjakan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/actually-its-ok-to-disagree-here-are-5-ways-we-can-argue-better-121178">Actually, it's OK to disagree. Here are 5 ways we can argue better</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<hr>
<p><em>Arina Apsarini dari Binus University menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/183089/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Luke Zaphir berafiliasi dengan Proyek Critical Thinking dari University of Queensland</span></em></p>Kita semua pernah mendengar “lakukan penelitian Anda!” dari orang-orang yang ingin membujuk kita untuk menerima sudut pandang mereka. Masalahnya adalah itu tidak mungkin untuk meyakinkan siapa pun.Luke Zaphir, Researcher, UQ Critical Thinking Project, The University of QueenslandLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1789202022-03-10T11:30:36Z2022-03-10T11:30:36ZMahasiswa sering diminta menghindari Wikipedia untuk riset. Padahal, situs tersebut adalah sumber terpercaya<p>Pada awal setiap tahun akademik, kita sering menanyakan para mahasiswa baru suatu pertanyaan: siapa saja di antara kalian pernah diberitahu guru di sekolah agar tidak memakai Wikipedia?</p>
<p>Kemungkinan besar, banyak di antara mereka yang akan mengangkat tangan.</p>
<p>Padahal, ensiklopedia daring ini mengandung informasi yang instan, gratis, dan dapat diandalkan. Jadi kenapa banyak guru masih sangsi terhadap Wikipedia?</p>
<p>Wikipedia memiliki beragam kebijakan yang ditegakkan oleh komunitasnya terkait netralitas, reliabilitas, dan signifikansi. Ini berarti <a href="https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/9/92/Instructor_Basics_How_to_Use_Wikipedia_as_a_Teaching_Tool.pdf">seluruh informasi</a> “harus disajikan secara akurat dan tanpa bias”; sumbernya harus berasal dari pihak ketiga; dan suatu artikel Wikipedia harus punya signifikansi serta hanya dibuat jika sebelumnya telah ada “liputan pihak ketiga terkait topik ini dalam publikasi atau sumber yang terpercaya”.</p>
<p>Wikipedia juga bersifat gratis, nirlaba, dan telah <a href="https://wikimediafoundation.org/wikipedia20/">beroperasi selama lebih dari dua dekade</a>, membuatnya jadi suatu kisah sukses di internet.</p>
<p>Pada suatu era yang semakin susah untuk membedakan antara kebenaran dan informasi palsu, Wikipedia hadir sebagai alat yang aksesibel untuk mendukung proses cek fakta dan melawan misinformasi.</p>
<h2>Mengapa Wikipedia adalah sumber kredibel?</h2>
<p>Banyak guru mengatakan bahwa siapa pun dapat mengedit suatu halaman Wikipedia, tidak hanya ahli di bidang tersebut saja.</p>
<p>Tapi ini tidak membuat informasi di Wikipedia menjadi meragukan. Hampir mustahil, misalnya, bagi teori konspirasi untuk bertahan lama di Wikipedia.</p>
<p>Untuk artikel yang populer, komunitas daring Wikipedia yang berisi <a href="https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/9/92/Instructor_Basics_How_to_Use_Wikipedia_as_a_Teaching_Tool.pdf">relawan, administrator, dan <em>bot</em></a> memastikan bahwa pengeditan yang dilakukan berbasis sitasi dari sumber yang dapat diandalkan. Artikel yang populer biasanya diulas dan diperiksa hingga ribuan kali.</p>
<p>Beberapa pakar media, seperti Amy Bruckman, seorang profesor di Georgia Institute of Technology, Amerika Serikat (AS), bahkan mengatakan bahwa suatu artikel Wikipedia yang melewati proses yang sangat ketat ini bisa jadi adalah <a href="https://au.pcmag.com/social-media/87504/wikipedia-the-most-reliable-source-on-the-internet">sumber informasi paling terpercaya</a> yang pernah ada.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1454764093576040451"}"></div></p>
<p>Artikel akademik di jurnal – sumber bukti ilmiah yang paling umum – biasanya hanya melalui <a href="https://theconversation.com/shifting-toward-open-peer-review-156043"><em>peer-review</em> (telaah sejawat) dari maksimal tiga orang</a> lalu tidak pernah diedit lagi.</p>
<p>Artikel di Wikipedia yang tidak melewati pengeditan yang terlalu banyak bisa jadi tidak se-kredibel artikel yang populer. Tapi, sangat mudah bagi kita untuk mengecek bagaimana suatu artikel di Wikipedia dibuat dan dimodifikasi.</p>
<p>Seluruh modifikasi dari suatu artikel terarsip dan dapat diakses di halaman <a href="https://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Bird&action=history">“<em>history</em>” (riwayat)</a>. Perseteruan antara para editor terkait konten artikel tersebut juga tersimpan dalam halaman <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Talk:Bird">“<em>talk</em>” (pembicaraan)</a>.</p>
<p>Untuk menggunakan Wikipedia secara efektif, siswa perlu diajari bagaimana caranya menemukan dan menganalisis segmen-segmen tersebut dalam suatu artikel, sehingga mereka bisa dengan mudah mengevaluasi kredibilitas dari artikel tersebut.</p>
<h2>Apakah informasi di Wikipedia terlalu sederhana?</h2>
<p>Banyak guru juga mengatakan bahwa informasi di Wikipedia terlalu sederhana dan mendasar, terutama untuk level mahasiswa.</p>
<p>Argumen ini berasumsi bahwa seluruh proses cek-fakta harus melibatkan riset mendalam – tapi ini <a href="https://hapgood.us/2017/03/04/how-news-literacy-gets-the-web-wrong">bukanlah cara terbaik</a> untuk melakukan investigasi awal secara daring terkait suatu topik. Riset yang mendalam sebaiknya dilakukan nanti, ketika kita sudah memastikan validitas dari sumber tersebut.</p>
<p>Meski demikian, beberapa guru cukup khawatir jika siswa perlu diajarkan caranya mengevaluasi informasi secara kilat, yang bisa berarti secara dangkal.</p>
<p>Jika kita melihat kompetensi umum di Kurikulum Australia, ada poin “<a href="https://www.australiancurriculum.edu.au/f-10-curriculum/general-capabilities/critical-and-creative-thinking/">berpikir secara kritis dan kreatif</a>” yang mendorong kemampuan analisis secara luas dan mendalam. Tenaga pendidik yang menggabungkan antara literasi “kritis” dan “media” cenderung percaya bahwa analisis materi di internet harusnya dilakukan secara pelan dan teliti.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/430128/original/file-20211104-13-1ajc79d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Primary school student writing on notepad with laptop open." src="https://images.theconversation.com/files/430128/original/file-20211104-13-1ajc79d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/430128/original/file-20211104-13-1ajc79d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=385&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/430128/original/file-20211104-13-1ajc79d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=385&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/430128/original/file-20211104-13-1ajc79d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=385&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/430128/original/file-20211104-13-1ajc79d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=483&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/430128/original/file-20211104-13-1ajc79d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=483&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/430128/original/file-20211104-13-1ajc79d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=483&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Siswa perlu diajarkan caranya menggunakan halaman ‘talk’ (pembicaraan) dan ‘history’ (riwayat) di Wikipedia.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/kid-self-isolation-using-computor-his-1707140332">Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tapi, realitanya kita saat ini hidup di suatu <a href="https://firstmonday.org/article/view/519/440">“ekonomi perhatian” (<em>attention economy</em>)</a> yakni saat semua orang dan semua hal di internet <a href="https://www.edsurge.com/news/2018-12-19-recalibrating-our-approach-to-misinformation">berlomba-lomba mendapatkan atensi kita</a>. Waktu kita sangatlah berharga, sehingga terjebak mendalami suatu konten daring yang kredibilitasnya meragukan, dan kemungkinan jatuh ke lubang misinformasi, menyia-nyiakan suatu komoditas yang mahal harganya – yakni perhatian dan tenaga kita.</p>
<h2>Wikipedia bisa mendukung literasi media yang lebih baik</h2>
<p>Riset menunjukkan bahwa anak-anak di Australia tidak mendapat pengajaran yang cukup dalam mengidentifikasi berita bohong.</p>
<p>Hanya <a href="https://theconversation.com/we-live-in-an-age-of-fake-news-but-australian-children-are-not-learning-enough-about-media-literacy-141371">satu dari lima</a> anak muda Australia pada 2020 melaporkan terlibat satu tahun terakhir dalam suatu kelas yang membantu mereka menentukan apakah suatu berita atau artikel dapat dipercaya.</p>
<p>Para pelajar jelas <a href="https://www.utas.edu.au/social-change/publications/insights/insight-five-media-literacy-in-australian-schools">membutuhkan lebih banyak pendidikan literasi media</a>, dan Wikipedia bisa jadi instrumen pembelajaran yang bagus.</p>
<p>Satu cara adalah menggunakannya untuk “<a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3048994"><em>lateral reading</em></a>” (membaca dan mencari informasi secara paralel). Artinya, saat menghadapi klaim yang meragukan di internet, siswa bisa segera membuka tab browser baru dan membaca lebih lanjut terkait topik tersebut dari sumber yang terpercaya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-mendeteksi-berita-bohong-panduan-ahli-untuk-anak-muda-89098">Bagaimana mendeteksi berita bohong—panduan ahli untuk anak muda</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Wikipedia adalah sumber daya yang tepat di ruang kelas untuk tujuan ini, bahkan untuk anak usia sekolah dasar (SD). Saat menemui informasi yang asing, siswa bisa diajak untuk mengakses halaman Wikipedia yang relevan untuk melakukan cek-fakta. Jika informasi asing tersebut tidak bisa diverifikasi, siswa bisa membuangnya.</p>
<p>Bagi yang sudah lebih lihai dalam melakukan verifikasi informasi, bisa juga <a href="https://www.huffpost.com/entry/opinion-fake-news-web-literacy-propaganda-fact-checkers_n_5c1812f5e4b0432554c332e3">langsung merujuk ke ke sumber-sumber kredibel</a> di bagian bawah tiap artikel Wikipedia.</p>
<p>Pada masa depan, kami berharap para mahasiswa baru masuk ke ruang kuliah kami dalam keadaan sudah memahami nilai dan manfaat dari Wikipedia. Jika terjadi, ini berarti bahwa suatu pergeseran budaya yang luas telah berhasil terjadi di tingkat sekolah dasar dan menengah.</p>
<p>Pada era krisis iklim dan pandemi, semua orang harus bisa membedakan antara fakta dan fiksi. Wikipedia bisa jadi bagian dari solusi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/178920/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rachel Cunneen menerima dana dari ACT Education Directorate; University of Canberra dan juga US Embassy di Australia.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Mathieu O'Neil menerima dana dari ACT Education Directorate; University of Canberra dan juga US Embassy di Australia. Ia terafiliasi dengan Digital Commons Policy Council. </span></em></p>Pada suatu era yang semakin susah untuk membedakan antara kebenaran dan informasi palsu, Wikipedia hadir sebagai alat yang aksesibel untuk mendukung proses cek fakta dan melawan misinformasi.Rachel Cunneen, Senior Lecturer in English and Literacy Education., University of CanberraMathieu O'Neil, Associate Professor of Communication, News and Media Research Centre, University of CanberraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1785372022-03-08T05:33:54Z2022-03-08T05:33:54Z“Bukan lagi bidang laki-laki”: kiprah ilmuwan perempuan Indonesia dalam memajukan ilmu tanah<p>Kiprah perempuan dalam dunia sains selama ini kerap menemui adanya “tembok kaca” yang menghambat mereka untuk memiliki pengaruh yang bermakna.</p>
<p>Di ranah yang secara tradisional didominasi oleh laki-laki ini, misalnya, ilmuwan perempuan seringkali kesulitan <a href="https://theconversation.com/sepak-terjang-peneliti-muda-indonesia-berkembang-pesat-tapi-masih-terbentur-banyak-tantangan-174408">meraih posisi kepemimpinan</a> atau terlibat dalam <a href="https://theconversation.com/menghancurkan-tembok-kaca-yang-menghalangi-perempuan-dalam-sains-internasional-141127">kolaborasi riset internasional</a>.</p>
<p>Untuk mendalami hal ini, kami melakukan studi tentang peranan ilmuwan perempuan dalam ilmu tanah – bidang yang digeluti tim penulis – melalui survei pada akademisi di universitas dan pusat penelitian di Indonesia. Hasil studi tersebut terbit di jurnal ilmiah internasional <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S266700622200017X"><em>Soil Security</em></a> pada edisi Maret 2022. </p>
<p>Sampai akhir tahun 1990-an, tim penulis mengamati bagaimana bidang ilmu tanah sering dianggap sebagai bidang yang “berat” bagi perempuan secara fisik dan mental. Jumlah mahasiswi yang menempuh pendidikan tinggi dalam bidang ilmu tanah kala itu juga masih sangat sedikit, rata-rata kurang dari 5% dari total jumlah mahasiswa.</p>
<p>Penelitian saat itu umumnya fokus pada survei tanah untuk pembukaan lahan pertanian dan transmigrasi di Sumatera dan Kalimantan. Pekerjaan fisik seperti ini sangat mempengaruhi persepsi ilmuwan atau calon ilmuwan perempuan yang hendak berkiprah di bidang ini.</p>
<h2>Perubahan tren pada generasi muda</h2>
<p>Survei kami di 27 kampus negeri di Indonesia menemukan bahwa selama 2016-2021, jumlah mahasiswa baru pada program yang terkait dengan ilmu tanah meningkat menjadi sekitar 1.700 mahasiswa baru per tahun dibanding sekitar 1000 mahasiswa di tahun 2014. </p>
<p>Yang lebih menggembirakan, persentase mahasiswi juga meningkat setiap tahun dari rerata 45% di tahun 2014 dan mencapai 55% pada 2020.</p>
<p>Peningkatan ini mencerminkan adanya pergeseran fokus penelitian ilmu tanah. </p>
<p>Sejak 20 tahun lalu, topik riset ilmu tanah berkembang dari survei tanah ke peningkatan produksi pangan dan kelestarian lingkungan. Seiring perkembangan teknologi informasi, penelitian tidak harus di lapangan, tapi bisa dikerjakan di rumah kaca, laboratorium, dan komputer. Ini membuat akses bidang ilmu tanah menjadi lebih ramah bagi ilmuwan perempuan.</p>
<h2>Bukan lagi bidang laki-laki</h2>
<p>Kabar baik lainnya, kami mendapatkan data bahwa di beberapa pusat riset pertanian, jumlah staf perempuan mengimbangi staf laki-laki.</p>
<p>Misalnya, ini terlihat di <a href="https://bbsdlp.litbang.pertanian.go.id/ind/">Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian</a> di Kementerian Pertanian. Mulai tahun 2019, lembaga ini dipimpin oleh Dr. Husnain, seorang peneliti perempuan di bidang ilmu tanah.</p>
<p>Kami juga <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2667006222000168">menginventarisasi</a> makalah yang terbit dalam seminar nasional ilmu tanah selama 20 tahun terakhir. Data tersebut mengungkap adanya kesetaraan jumlah antara peneliti perempuan dan laki-laki.</p>
<p>Ini membuktikan bahwa ilmu tanah bukan lagi bidang yang hanya bisa dikerjakan oleh ilmuwan laki-laki. </p>
<p>Survei kami pun mengungkap bahwa mahasiswa tidak menganggap gender sebagai masalah dalam dunia sains. Mereka memandang bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama, dan penghargaan harus diberikan berdasarkan kapasitas dan kinerja.</p>
<h2>Masih banyak pekerjaan rumah di universitas</h2>
<p>Sayangnya, peningkatan jumlah mahasiswi dan perubahan sikap terhadap ilmu tanah ternyata tidak dibarengi dengan meningkatnya dosen perempuan. Jumlah dosen perempuan dalam ilmu tanah tetap berada pada kisaran 30% dan tidak ada perubahan sejak 10 tahun lalu.</p>
<p>Data kami juga mengungkap bahwa dosen perempuan memiliki kesempatan yang lebih rendah dibandingkan dosen laki-laki dalam mendapatkan gelar S3 (doktor). Dosen perempuan dalam ilmu tanah bergelar doktor hanya 16%, sedangkan dosen laki-laki mencapai 42%.</p>
<p>Guru Besar Ilmu Tanah perempuan pertama di Indonesia – yakni <a href="http://tanah.faperta.unand.ac.id/index.php?option=com_k2&view=item&id=62:profesor-perempuan-pertama-nurhayati-hakim-bidang-ilmu-tanah-akhiri-masa-bakti&Itemid=333">Prof. Nurhajati Hakim</a> di Universitas Andalas – pun baru ditetapkan guru besar pada 1990.</p>
<p>Saat ini, jumlah profesor ilmu tanah perempuan hanya 3% dibanding profesor laki-laki yang mencapai 12%. Dosen perempuan juga lebih sedikit menduduki posisi kepemimpinan di lingkup pendidikan tinggi (jabatan tertinggi mereka adalah Dekan, Wakil Dekan, Direktur Pascasarjana, dan Wakil Rektor). </p>
<p>Data ini menunjukkan adanya hambatan karir secara struktural bagi para akademisi perempuan di kampus-kampus Indonesia. Kendala ini berkaitan dengan nilai-nilai sosial, budaya, maupun hambatan organisasi.</p>
<p>Pemerintah Indonesia sebenarnya telah berupaya memperjuangkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sejak tahun 2000. Namun, setelah 20 tahun, hasilnya belum banyak terlihat di lingkup pendidikan tinggi.</p>
<p>Menjaga <a href="https://theconversation.com/riset-dalam-dunia-akademik-perempuan-indonesia-menanggung-beban-terbesar-selama-pandemi-155136">keseimbangan antara karier dan kehidupan keluarga</a> juga merupakan tantangan bagi sebagian besar dosen perempuan. Dalam survei kami, banyak akademisi perempuan cenderung memprioritaskan keluarga daripada pekerjaan.</p>
<p>Dalam budaya tertentu di beberapa daerah, perempuan tidak terbiasa berbicara tentang ambisi mereka untuk mendapatkan posisi yang lebih tinggi. Dalam organisasi pun, peran kepemimpinan masih banyak diberikan kepada laki-laki sehingga ilmuwan perempuan kurang terwakili dalam posisi kepemimpinan organisasi akademik. </p>
<h2>Menuju kesetaraan gender</h2>
<p>Menutup kesenjangan gender dalam dunia sains membutuhkan kebijakan yang inklusif, serta komitmen dan pemahaman yang jelas dari semua pihak yang terlibat.</p>
<p>Peneliti ilmu tanah kini tidak bisa lagi sekadar fokus meningkatkan produksi pangan, tapi juga harus mengamati <a href="https://theconversation.com/pemanasan-global-dan-pembangunan-bisa-menghentikan-peran-lahan-gambut-menjaga-karbon-keluar-dari-atmosfer-152681">perubahan iklim</a>, <a href="https://theconversation.com/riset-kebun-sawit-baru-menghasilkan-emisi-dua-kali-lipat-dibanding-kebun-lama-131333">gas rumah kaca</a>, mikroba tanah, <a href="https://theconversation.com/bencana-di-batu-bagaimana-perubahan-iklim-dan-kerusakan-kawasan-hulu-sungai-memperparah-risiko-banjir-bandang-172052">kerusakan tanah</a> dan lingkungan. Hal ini menuntut adanya kerja sama lintas disiplin ilmu maupun demografi untuk menjawab tantangan pengelolaan tanah yang berkelanjutan.</p>
<p>Komunitas akademik yang mempunyai keseimbangan gender dan inklusi beragam suku dan budaya akan menghasilkan tim yang lebih produktif serta inovasi ilmiah yang lebih besar.</p>
<p>Oleh karena itu, kita perlu terus mendukung ilmuwan perempuan Indonesia untuk memiliki peran dan kesempatan yang lebih besar dalam memajukan pendidikan ilmu tanah. Pada akhirnya, ini akan meningkatkan peluang penelitian serta pengelolaan pertanian untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.</p>
<p>Selama ini ilmu tanah dan pertanian di Indonesia berfokus untuk meningkatkan kebutuhan pangan sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (<a href="https://www.sdg2030indonesia.org/page/8-apa-itu"><em>Sustainable Development Goal</em></a>, atau SDG).</p>
<p>Namun, selain kebutuhan pangan, ada juga 16 SDG lainnya termasuk kesehatan, kesetaraan gender, jaminan pendapatan, perlindungan terhadap bencana, dan perubahan iklim. Semakin beragam para akademisi, akan semakin besar kemungkinan semua aspek pembangunan berkelanjutan ini dapat dicapai.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/178537/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penelitian kami tentang peranan ilmuwan perempuan dalam ilmu tanah menunjukkan bahwa bidang ini bukan lagi hanya bidang milik laki-laki.Dian Fiantis, Professor of Soil Science, Universitas AndalasAnne Nurbaity, Soil Biology, Soil Science, Universitas PadjadjaranBudiman Minasny, Professor in Soil-Landscape Modelling, University of SydneySri Rahayu Utami, Professor in Soil Geochemistry, Universitas BrawijayaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1785402022-03-06T03:43:15Z2022-03-06T03:43:15ZDekolonisasi sains: pentingnya memerdekakan ilmu pengetahuan dari ketergantungan pada dunia Barat<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/450015/original/file-20220304-21-zx9407.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Produksi pengetahuan yang terjadi di berbagai negara berkembang selama ini banyak berkiblat pada perspektif kolonial.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/AdmO8NNe9gU">(Unsplash/Jean Beller)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Di komunitas akademik global, ada pandangan bahwa ilmuwan Indonesia menyerap perkembangan sains layaknya mengikuti sebuah tren belaka.</p>
<p>Ini terlihat dalam ilmu sosial dan humaniora. Perkembangan teori di lingkup global kerap jadi acuan akademisi Indonesia dalam pengajaran, penelitian, dan bahkan sebagai bahan obrolan antara sesama akademisi.</p>
<p>Pada <a href="https://perpustakaan.setneg.go.id/index.php?p=show_detail&id=10391">periode 1990-an</a>, misalnya, semua ilmuwan tergelitik untuk bicara <em>postmodernism</em> (sikap kritis dan skeptis terhadap wawasan ilmu modern). Sementara pada <a href="https://perpustakaan.setneg.go.id/index.php?p=show_detail&id=10391">dekade 2000-an</a>, perspektif <em>cultural studies</em> (membedah politik dan sejarah dari beragam budaya yang ada saat ini) menjadi juara setelah menurunnya popularitas teori sosial lainnya.</p>
<p>Ajakan untuk lepas dari tradisi “ikut-ikutan” ini sebenarnya sudah muncul sejak puluhan tahun yang lalu.</p>
<p>Pada 1986, ilmuwan politik Muhammad Rusli Karim via Harian Kompas menjelaskan pentingnya ilmuwan Indonesia mencari teorinya sendiri. Sastrawan dan sosiolog Ignas Kleden pun berupaya memperkenalkan wacana <a href="https://bersiasat.id/ini-pikiran-kami/">“indigenisasi”</a> (pembumian wawasan adat di Indonesia) terhadap ilmu sosial.</p>
<p>Ide-ide tersebut sayangnya hanya terdengar sayup di tengah dominasi ilmu sosial global yang pro-pembangunan. </p>
<p>Dewasa ini, ada momentum baru bagi komunitas akademik Indonesia untuk melepaskan diri dari ketergantungan teori asing, yakni melalui gerakan “<a href="https://theconversation.com/decolonise-science-time-to-end-another-imperial-era-89189">dekolonisasi sains</a>” (dekolonisasi pengetahuan).</p>
<p>Meski belum banyak diadopsi oleh ilmuwan Indonesia, dekolonisasi sains menawarkan pijakan penting supaya dunia pendidikan tinggi dan dan sains di Indonesia bisa menemukan suaranya sendiri.</p>
<h2>Memerdekakan sains dari watak kolonialis</h2>
<p>Dekolonisasi sains adalah ajakan keluar dari dominasi produksi pengetahuan yang berkiblat pada negara kolonial – lebih khususnya <a href="https://theconversation.com/how-controversial-racist-research-opens-door-for-a-decolonisation-drive-117870">dunia Barat (eurosentrisme)</a> – agar muncul lebih banyak ruang ilmiah bagi akademisi di penjuru dunia lain.</p>
<p>Dalam pandangan dekolonisasi, ilmu pengetahuan kini terpusat di peradaban Barat, sementara pelaku sains dari wilayah yang mereka jajah selalu hanya jadi objek pengetahuan.</p>
<p>Dengan demikian, “kita”, para ilmuwan negara non-Barat, tidak memiliki otoritas untuk menyelediki diri sendiri, apalagi mengangkat derajat pengetahuan yang barangkali sudah tersedia dari berbagai abad terdahulu di komunitas yang kita kenal.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-perkembangan-ilmu-pengetahuan-pada-masa-penjajahan-melupakan-peran-orang-pribumi-141774">Bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan pada masa penjajahan melupakan peran orang pribumi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Bahkan, pandangan sains yang berwatak kolonialis ini <a href="https://theconversation.com/how-controversial-racist-research-opens-door-for-a-decolonisation-drive-117870">seringkali bersifat rasis</a> – seperti menggambarkan orang “kulit berwarna” atau masyarakat negara Selatan sebagai pihak yang tidak cerdas atau abnormal.</p>
<p>Upaya untuk lepas dari dominasi ini, khususnya di pendidikan tinggi, sudah dimulai sejak munculnya <a href="https://www.wiley.com/en-us/Colonialism+and+Modern+Social+Theory-p-9781509541294">gerakan dekolonisasi pada dekade 1960</a> di Afrika Timur.</p>
<p>Dekolonisasi sains pada era saat ini merupakan bagian dari gerakan emansipatif (pembebasan) yang lebih luas. Misalnya, ini juga didorong oleh gerakan sosial lain di luar universitas yang menyuarakan hak asasi manusia (HAM) dan keadilan sosial – dari Black Lives Matter hingga #Metoo. </p>
<p>Tapi, hal yang paling penting dari dekolonisasi sains adalah upaya untuk keluar dari kemutlakan sains yang lahir dari proses penjajahan.</p>
<p>Setidaknya, ini adalah tujuan besar para ilmuwan yang mendorong wacana dekolonisasi. Sebagian besar dari penulis tersebut berasal dari Amerika Latin, Asia Selatan, dan juga Afrika.</p>
<h2>Dekolonisasi sains di Indonesia</h2>
<p>Sayangnya, hampir tidak ada ilmuwan sosial dari Indonesia yang turut meramaikan diskursus tersebut.</p>
<p>Hal ini cukup ironis. Ilmuwan sosial <a href="https://www.e-ir.info/2017/01/21/interview-walter-mignolopart-2-key-concepts/">Walter Mignolo</a>, misalnya, menekankan bagaimana Indonesia pernah punya peran besar dalam dekolonisasi politik global, yakni melalui Konferensi Asia Afrika.</p>
<p>Indonesia senantiasa mendukung upaya memerdekakan negara terjajah, tapi tidak banyak ilmuwan sosial kita melakukannya dalam ranah teori sosial.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/450180/original/file-20220306-40369-2thve0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/450180/original/file-20220306-40369-2thve0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/450180/original/file-20220306-40369-2thve0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=388&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/450180/original/file-20220306-40369-2thve0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=388&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/450180/original/file-20220306-40369-2thve0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=388&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/450180/original/file-20220306-40369-2thve0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=487&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/450180/original/file-20220306-40369-2thve0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=487&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/450180/original/file-20220306-40369-2thve0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=487&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Indonesia pernah punya peran besar dalam dekolonisasi politik global, yakni melalui Konferensi Asia Afrika. Tapi, tidak banyak ilmuwan sosial kita melakukannya dalam ranah teori sosial.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Delegations_held_a_Plenary_Meeting_of_the_Economic_Section_during_the_A-A_Conference_in_Merdeka_Building,_Bandung,_on_April_20th_1955.jpg">(Wikimedia Commons)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Alasan atas kelangkaan ini terkait erat dengan <a href="https://theconversation.com/hiruk-pikuk-bahaya-komunis-sampai-kapan-84658">pemberangusan literatur kiri atau Marxisme</a> yang terjadi sejak 1965. Kekuasaan Orde Baru ini menjadi alasan besar mengapa pemikiran pascakolonial, dekolonial, atau bahkan Marxisme tidak memiliki pijakan yang kuat dalam ilmu sosial-humaniora Indonesia.</p>
<p>Padahal, kita bisa melihat jejak-jejak lensa kolonial dalam sains di Indonesia – tidak hanya pada ilmu sosial tapi juga ilmu alam.</p>
<p>Ilmu eksakta seperti biologi dan kedokteran perlu membuka diri dengan pertama-tama mempertanyakan asal-usul seluruh fondasi ilmiahnya, terutama yang relevan dengan konteks Indonesia.</p>
<p>Peneliti biologi Sabhrina Gita Aninta, misalnya, menjelaskan bias perspektif Barat yang seakan <a href="https://medium.com/open-science-indonesia/tentang-membebaskan-sains-dari-kolonialisme-ec2d8b756196">“kaget” saat meneliti biodiversitas di wilayah ekuator</a> yang begitu kaya. Bahkan, beberapa akademisi juga mempertanyakan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09502386.2020.1780281">penamaan fauna seperti orang utan</a> yang prosesnya sarat dengan politik imperialis dan menyingkirkan wawasan Suku Dayak Iban di Kalimantan.</p>
<p>Indonesia masih menjadi rumah bagi untaian wawasan lokal yang belum kita kenali dan beri nama. Beda halnya dengan para rekan sejawat di Amerika Latin, yang berhasil melunturkan ketergantungan pada pengetahuan Barat sembari merayakan pengetahuan lokal yang mereka miliki.</p>
<p>Gagasan soal “<a href="https://pluriverse.eutenika.org"><em>pluriverse</em></a>”, yakni kumpulan wawasan yang berupaya menantang narasi pembangunan global yang sarat kepentingan bisnis dan <em>greenwashing</em> (klaim ramah lingkungan yang menyesatkan), misalnya, adalah contoh pengetahuan tandingan yang mulai populer dan diterima komunitas ilmiah global.</p>
<p>Upaya seperti ini bisa jadi inspirasi bagi ilmuwan Indonesia untuk mencoba berpikir dengan semangat dekolonisasi.</p>
<h2>Meraih derajat yang sama</h2>
<p>Selama ini, ada kejemuan di antara ilmuwan Indonesia terhadap dominasi teori yang ada. Ini kemudian mendorong mereka untuk mengikuti tren revolusi keilmuan – seringkali yang berkiblat pada dunia Barat.</p>
<p>Tapi, bisa jadi kecenderungan tersebut bersumber dari rasa inferioritas ilmuwan Indonesia yang sulit memaparkan gagasannya tanpa ditopang teori yang mereka rasa cukup “keren”.</p>
<p>Faktor ini justru semakin memperkuat dominasi pengetahuan Barat.</p>
<p>Dalam artikelnya, sosiolog <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/03906701.2020.1776919">Leon Moosavi</a> mengingatkan para akademisi agar tidak sekadar “anut grubyuk” (ikut-ikutan), dan harus segera menunggangi gerbong dekolonisasi karena sedang ramai dinaiki oleh semua orang.</p>
<p>Persoalannya di Indonesia justru terbalik karena gerbong tersebut sepi senyap, meski kereta sudah menunggu lama untuk meluncur. </p>
<p>Catatan penting lainnya adalah bahwa dekolonisasi sains bukan hanya soal kebijakan. Sudah terlalu banyak persoalan dalam ranah sains di Indonesia yang semuanya ingin dijawab dengan <a href="https://theconversation.com/malapetaka-penelitian-berideologi-mengapa-ilmu-pengetahuan-alam-harus-bebas-dari-kekangan-politis-170106">“kebijakan”</a>. Tidak demikian halnya dengan dekolonisasi sains – ini adalah persoalan tradisi akademik.</p>
<p>Dekolonisasi sains berangkat dari kemauan untuk melihat ke dalam disiplin ilmu masing-masing dan bertanya soal ada tidaknya kemungkinan untuk melakukan pencarian kebenaran tanpa harus bergantung pada pemikiran ilmuwan Barat.</p>
<p>Salah satu pemikir dekolonisasi, Gurminder Bhambra, mengingatkan bahwa dekolonisasi <a href="https://www.wiley.com/en-us/Colonialism+and+Modern+Social+Theory-p-9781509541294">bukan berarti menolak teori Barat</a> – tujuannya tidak pernah demikian.</p>
<p>Yang lebih tepat adalah perlunya menempatkan teori atau wawasan ilmiah dari dunia Selatan dalam derajat yang sama dan setara dalam produksi pengetahuan global. Hal ini yang pada akhirnya secara perlahan harus menjadi tujuan ilmuwan Indonesia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/178540/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fajri Siregar penerima beasiswa LPDP untuk studi doktoralnya. </span></em></p>Dekolonisasi sains menawarkan pijakan penting supaya dunia pendidikan tinggi dan dan sains di Indonesia bisa berhenti berkiblat pada dunia Barat dan menemukan suaranya sendiri.Fajri Siregar, PhD Candidate, University of AmsterdamLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1744082022-01-14T15:29:47Z2022-01-14T15:29:47ZSepak terjang peneliti muda Indonesia: berkembang pesat tapi masih terbentur banyak tantangan<p>Komunitas peneliti punya peran besar dalam suatu negara – terlebih peneliti muda.</p>
<p>Di Indonesia, misalnya, mereka diharapkan mendukung impian <a href="https://almi.or.id/sains45-indonesia/">menjadi negara maju pada 2045</a> melalui pembangunan berbasis ilmu pengetahuan. Mereka juga diharapkan mengatasi beragam isu dari kemiskinan hingga bencana. </p>
<p>Sebagai <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-030-55563-4_14">aktor kunci dunia riset</a> masa depan, penting bagi Indonesia memahami kondisi dan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/1360080X.2017.1330814">kebutuhan para peneliti muda</a>.</p>
<p><a href="https://drive.google.com/drive/folders/1s5S2BaMmOiyCZSa0bRfp_ZKZ2phG-D1m">Studi pendahuluan</a> yang saya lakukan bersama The Conversation Indonesia (TCID), misalnya, mencoba memahami karakter peneliti muda serta peluang dan tantangan yang mereka hadapi untuk jadi pemimpin di dunia riset.</p>
<p>Kami mengumpulkan data dan berbicara pada 283 peneliti muda yang bergelar doktor atau sedang menjalani S3.</p>
<p>Mereka berasal dari bidang kelautan, perubahan iklim, kesehatan, dan ketahanan masyarakat, serta memiliki rekam jejak kuat dalam menerbitkan karya akademik.</p>
<p>Pada 2020, kami memperkirakan ada lebih dari 14.000 peneliti muda dari total sekitar <a href="https://sinta.ristekbrin.go.id/">216.000 peneliti</a> di Indonesia.</p>
<p>Jumlah mereka pun terus meningkat, dengan kapasitas kolaborasi yang lebih inovatif dan kemampuan berkomunikasi yang jauh lebih lihai.</p>
<p>Namun, studi kami juga menemukan peneliti muda juga menghadapi beragam hambatan untuk berdampak lebih luas bagi dunia riset, dari masalah pendanaan hingga kesetaraan gender.</p>
<h2>Berkembang pesat, jago berkomunikasi, dan punya motivasi tinggi</h2>
<p>Hasil dari studi kami menunjukkan bahwa peneliti muda di Indonesia memiliki beragam kekuatan dan potensi.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, dalam empat tema penelitian tersebut, jumlah peneliti muda <a href="https://drive.google.com/drive/folders/1s5S2BaMmOiyCZSa0bRfp_ZKZ2phG-D1m">mengalami peningkatan</a> dari sekitar 2.500 pada 2010 menjadi lebih dari 14.000 pada 2020.</p>
<p>Hal ini terjadi karena ada berbagai skema baru untuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia Indonesia dalam satu dekade terakhir.</p>
<p>Di antaranya skema <a href="https://www.pmdsu.com/about-us/">Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU)</a>, beasiswa <a href="https://lpdp.kemenkeu.go.id/">Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)</a>, sampai program <a href="https://manajementalenta.brin.go.id/">Manajemen Talenta</a> inisiasi Badan Riset dan Inovasi Negara (BRIN).</p>
<p><strong>Kedua</strong>, peneliti muda sangat menyadari pentingnya berjejaring (<em>networking</em>) karena membantu memfasilitasi kolaborasi, serta mendobrak sekat antar disiplin ilmu maupun antara sains dan kebijakan.</p>
<p>Banyak peneliti muda, misalnya, aktif memperkuat peran <a href="https://almi.or.id">Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI)</a>. Ada yang membentuk jaringan baru termasuk <a href="https://i4indonesia.org/profil/">Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia (I4)</a> yang mendorong kerja sama peneliti diaspora dan dalam negeri, maupun <a href="https://uinspire.id/?r3d=2019-flash-floods">U-INSPIRE Indonesia</a> yang menjembatani wawasan kebencanaan antara pemangku kepentingan dan aktor penanggulangan bencana.</p>
<p>Selain menghubungkan peneliti dan institusi lintas negara, berbagai jaringan tersebut juga dapat meningkatkan <a href="https://theconversation.com/pembuatan-kebijakan-di-indonesia-tidak-didukung-riset-berkualitas-dan-kebebasan-akademik-128472">peran sains dalam pembuatan kebijakan</a>. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, kami melihat banyak bukti bahwa peneliti muda memiliki kemampuan komunikasi riset yang jauh lebih baik.</p>
<p>Sebelumnya, para peneliti sebatas menyebarkan hasil riset melalui jurnal ilmiah. Saat ini, mereka mulai merambah media sosial, menuliskan opini di media cetak dan online, hingga menjadi narasumber di televisi dan radio.</p>
<p>Pada 2021, misalnya, data internal dari TCID menunjukkan <a href="https://twitter.com/ConversationIDN/status/1476769807215128576?s=20">700 peneliti menerbitkan 695 artikel populer</a> di media tersebut – mayoritasnya adalah peneliti muda.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kutukan-ilmu-pengetahuan-banyak-akademisi-lebih-fokus-terdengar-pintar-daripada-membumikan-sains-pada-masyarakat-158877">Kutukan ilmu pengetahuan: banyak akademisi lebih fokus 'terdengar pintar' daripada membumikan sains pada masyarakat</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><strong>Keempat</strong>, studi kami juga menunjukkan bahwa mayoritas peneliti muda memiliki motivasi tinggi untuk menjadi pemimpin riset di Indonesia yang mendukung inovasi dunia riset.</p>
<p>Misalnya, mereka lebih berani mempercepat penyaluran hasil penelitian ke luar “zona nyaman” penelitian (seperti jurnal dan konferensi), termasuk membawa hasil riset mereka untuk <a href="https://theconversation.com/strategi-agar-ilmuwan-tidak-mudah-frustrasi-ketika-terlibat-dalam-proses-kebijakan-publik-156758">memasuki arena politik</a>. </p>
<h2>Beragam tantangan jadi peneliti kelas dunia</h2>
<p>Namun, para peneliti muda juga menghadapi tantangan terkait pendanaan, budaya penelitian dan lemahnya mentorship, hingga kesenjangan gender. </p>
<p><strong>Pertama</strong>, di bidang pendanaan, banyak responden kami kesulitan mendapat <a href="https://theconversation.com/ini-desain-dan-prinsip-pengelolaan-dana-abadi-penelitian-agar-efektif-dan-berdampak-optimal-129455">pendanaan riset yang baik</a> dari negara maupun sumber lain. Ini bisa berupa kebutuhan peralatan riset, langganan jurnal ilmiah, pembiayaan penerbitan, serta dana riset longitudinal (jangka waktu bertahun-tahun).</p>
<p>Pada saat yang sama, bisa jadi para peneliti muda juga kesulitan untuk menghasilkan proposal penelitian yang berkualitas.</p>
<p>Satu informan kunci yang bekerja sebagai penyalur dana riset menggambarkan bahwa pada 2020, hanya 4-7% proposal yang mereka terima layak didanai. Banyak peneliti hanya menjual “topik penelitian” dan bukan “nilai manfaat dari penelitian tersebut”.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bukan-hanya-soal-anggaran-bagaimana-dana-riset-dibelanjakan-juga-penting-112873">Bukan (hanya) soal anggaran. Bagaimana dana riset dibelanjakan juga penting</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Informan lain menyebutkan bahwa di lembaganya, dari 237 proposal yang diterima, hanya 99 yang baik dan hanya 11 yang akhirnya didanai. Mayoritas proposal kolaborasi riset juga memposisikan peneliti Indonesia <a href="https://theconversation.com/riset-gaya-helikopter-siapa-yang-untung-dari-riset-internasional-di-indonesia-102166">hanya sebagai kolaborator</a> dan bukan peneliti utama.</p>
<p>Padahal, para responden peneliti lulusan dalam negeri selama ini telah banyak mengalami kesulitan meraih dana riset kolaborasi akibat <a href="https://theconversation.com/para-ilmuwan-diaspora-indonesia-luncurkan-program-perjodohan-peneliti-untuk-tingkatkan-kolaborasi-internasional-145541">terbatasnya relasi</a>, yang sebelumnya sudah terhambat bahasa.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, dalam diskusi kelompok, peneliti muda juga mengakui bahwa budaya riset yang mendorong hubungan <em>mentorship</em> (pendampingan) masih lemah.</p>
<p><a href="https://www.nature.com/articles/447791a">Kajian di jurnal ternama <em>Nature</em></a> menunjukkan <em>mentorship</em> yang baik membantu peneliti muda mendapatkan masukan untuk memoles kemampuan memimpin riset. <em>Mentorship</em> mempermudah akses jejaring penelitian yang lebih luas untuk meningkatkan prestise mereka.</p>
<p>Tanpa jejaring, para peneliti akan terisolasi dan bergerak sendiri saat meneliti, menyebarluaskan hasilnya, dan tidak akan dilihat pemangku kepentingan terkait.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, responden dalam studi kami juga mengonfirmasi masih adanya masalah kesenjangan gender yang menghambat banyak peneliti muda mengembangkan kapasitas mereka sebagai pemimpin riset.</p>
<p>Hal ini sejalan dengan tren di banyak ranah riset, di <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/1360080X.2017.1330814">berbagai negara</a>.</p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0048733318300404">Riset tahun 2018</a> yang mengikuti lebih dari 6.000 peneliti internasional, misalnya, menemukan bahwa banyak peneliti perempuan di universitas mengalami hambatan perkembangan karir antara fase pasca-doktoral hingga lektor kepala (<em>associate professor</em>).</p>
<p>Peneliti perempuan juga beralih jadi peneliti utama dalam riset dengan laju yang lebih rendah dari peneliti laki-laki (hingga 20% lebih lamban).</p>
<p>Di Indonesia, ini semakin diperparah oleh <a href="https://theconversation.com/mengapa-belum-banyak-peneliti-indonesia-gunakan-perspektif-gender-dan-minoritas-dalam-riset-145635">budaya kesetaraan gender dan inklusi sosial (GESI) yang masih lemah</a>.</p>
<p><strong>Keempat</strong>, responden kami merasa bahwa sistem insentif untuk kegiatan riset mereka masih bias dan kurang mendukung.</p>
<p>Bagi peneliti muda di perguruan tinggi, misalnya, sistem angka kredit yang ada sekarang <a href="https://theconversation.com/lebih-dari-sepertiga-dosen-indonesia-tidak-menerbitkan-riset-3-solusi-memperbaikinya-140248">memberikan beban lebih pada tugas mengajar</a> – dari menyusun materi kuliah hingga evaluasi hasil belajar mahasiswa – ketimbang memproduksi riset.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/lebih-dari-sepertiga-dosen-indonesia-tidak-menerbitkan-riset-3-solusi-memperbaikinya-140248">Lebih dari sepertiga dosen Indonesia tidak menerbitkan riset: 3 solusi memperbaikinya</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Butuh dukungan “horizontal” dan “vertikal”</h2>
<p>Melihat potensi dan tantangan yang dihadapi peneliti muda Indonesia, perlu lebih banyak dukungan bagi mereka untuk <a href="https://14226776-c20f-46a2-bcd6-85cefe57153f.filesusr.com/ugd/a8b141_65db299b1e274cdc84e3de48016b9862.pdf">mengembangkan kapasitas secara “horizontal” dan juga “vertikal”</a>.</p>
<p>Secara horizontal, kebanyakan peneliti muda sebenarnya telah mendapatkannya dalam bentuk pendidikan dan pengalaman dari pekerjaan riset mereka. Secara akademik, mereka sudah memperoleh kepakaran dalam bidang sains masing-masing. </p>
<p>Namun untuk pengembangan vertikal, peneliti muda masih kurang dukungan.</p>
<p>Mereka membutuhkan bantuan untuk mengembangkan kapasitas kepemimpinan riset yang kompleks – dari kelincahan menghadapi ekosistem penelitian Indonesia yang dinamis, hingga memimpin kolaborasi yang lebih luas dengan banyak pihak secara strategis.</p>
<p>Pengembangan vertikal ini tidak dapat dilakukan secara instan melalui pelatihan.</p>
<p>Peneliti muda membutuhkan peningkatan kapasitas yang berkelanjutan. Ini dapat berupa <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0223876"><em>mentorship</em> yang terarah, pendampingan untuk kolaborasi riset, atau beragam program <em>fellowship</em></a>.</p>
<p>Kedua jenis dukungan di atas, baik horizontal maupun vertikal, akan mendukung peneliti muda untuk memiliki <a href="https://link.springer.com/article/10.1007%2Fs10734-007-9081-5">kompetensi pemimpin riset</a> yang matang.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/174408/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Mizan Bustanul Fuady Bisri menerima dana dari TCID untuk melaksanakan Studi Pendahuluan Program Science Leadership Collaborative (SLC).</span></em></p>Studi kami menemukan bahwa peneliti muda di Indonesia semakin banyak dan inovatif, tapi mereka masih menghadapi banyak tantangan pengembangan karir dan kapasitas.Mizan Bustanul Fuady Bisri, Assistant Professor, Kobe UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1748962022-01-13T15:04:06Z2022-01-13T15:04:06ZKisruh BRIN-Eijkman 101: nasib kelabu peneliti dan dunia riset Indonesia?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/440712/original/file-20220113-13-g5shrf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> </figcaption></figure><iframe src="https://open.spotify.com/embed/episode/1cvjX75jPeICQlKDZTS08b?utm_source=generator" width="100%" height="232" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p>Proses pelembagaan <a href="https://theconversation.com/id/topics/brin-78113">Badan Riset & Inovasi Nasional (BRIN)</a> – institusi raksasa baru bentukan pemerintah yang dirancang untuk menyatukan kegiatan riset di Indonesia – kembali menimbulkan kontroversi.</p>
<p>Pada awal tahun ini, misalnya, heboh kasus <a href="https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2022/01/04/aipi-peleburan-lembaga-eijkman-ke-brin-kemunduran-sains-di-indonesia">pemberhentian pegawai</a> dari salah satu badan riset ternama di Indonesia, yakni Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman.</p>
<p>Sebanyak <a href="https://fokus.tempo.co/read/1545789/nasib-peneliti-honorer-setelah-eijkman-dilebur-ke-brin">113 pegawai honorer Eijkman</a> (71 di antaranya peneliti) dianggap tak memenuhi syarat kepegawaian Aparatur Sipil Negara (ASN) menyusul proses merger lembaga tersebut di bawah panji BRIN.</p>
<p>BRIN sendiri selama setahun terakhir telah menuai berbagai pro-kontra, misalnya terkait pengangkatan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri <a href="https://theconversation.com/bunuh-diri-penelitian-indonesia-forum-guru-besar-tolak-dewan-pengarah-brin-yang-rawan-dipolitisasi-163044">sebagai Dewan Pengarah</a> di lembaga tersebut dan potensi politisasi riset yang dapat timbul.</p>
<p>Apa yang sebenarnya terjadi dalam insiden pemberhentian peneliti Eijkman? Bagaimana dampak lika-liku pembentukan BRIN yang selama ini terjadi terhadap masa depan peneliti dan dunia riset Indonesia?</p>
<p>Untuk membedahnya, di episode <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=9a730ac618c54c94">podcast SuarAkademia</a> kali ini, kami ngobrol dengan Sulfikar Amir, peneliti politik sains dan teknologi di Nanyang Technological University (NTU), Singapura.</p>
<p>Sulfikar menceritakan tentang sejarah politik sains selama Orde Baru dan Reformasi yang berujung pada pembentukan BRIN, proses birokratisasi riset yang terjadi di tengah pemberhentian pegawai Eijkman, perbedaan BRIN dengan lembaga besar serupa di Asia, hingga nasib peneliti Indonesia pada masa depan.</p>
<p>Simak episodenya di <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=9a730ac618c54c94">SuarAkademia</a> – ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/174896/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Di episode ini kami ngobrol dengan Sulfikar Amir, peneliti politik sains dan teknologi di Nanyang Technological University (NTU), Singapura untuk membedah kontroversi BRIN-Eijkman.Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1730652021-12-07T05:14:19Z2021-12-07T05:14:19ZKebijakan berbasis bukti adalah yang terbaik? Belum tentu<p>Kebijakan berbasis bukti merupakan standar emas dalam tugas advokasi, apalagi bagi seorang peneliti. Kebijakan yang tidak didukung bukti kerap dianggap sebagai <a href="http://www.smeru.or.id/sites/default/files/publication/news32.pdf">kebijakan yang gagal</a>. </p>
<p>Kebijakan yang mengandalkan bukti tentu lebih baik dibandingkan kebijakan yang sekadar didorong kepentingan penguasa. </p>
<p>Namun kebijakan berbasis bukti tidak selamanya ideal. </p>
<p>Dinamika kuasa yang timpang dan pemaknaan bukti yang cenderung beragam rentan menyebabkan pembuatan kebijakan malah menjadi eksklusif dan tidak berpihak pada kepentingan kelompok marginal.</p>
<h2>Kekuasaan menentukan bukti yang dianggap valid</h2>
<p>Klaim bahwa bukti layak dianggap valid atau tidak berkaitan erat dengan <a href="https://press-files.anu.edu.au/downloads/press/n1672/pdf/ch09.pdf">kekuasaan</a>. </p>
<p>Bukti dari lembaga besar yang didominasi oleh peneliti level global kerap dianggap lebih mudah dipercaya dibanding bukti dari lembaga akar rumput yang sebenarnya lebih dekat dengan masyarakat.</p>
<p>Misalnya, negara-negara di dunia sering menggunakan <a href="https://www.doingbusiness.org/en/doingbusiness">indeks kemudahan berbisnis</a> keluaran Bank Dunia sebagai landasan untuk mempermudah birokrasi. </p>
<p>Di Indonesia, salah satu pendorong pengembangan Undang-Undang (UU) omnibus Cipta Kerja adalah performa buruk Indonesia dalam indeks itu. UU Cipta Kerja kemudian tetap dibuat meski analisis lain menunjukkan bahwa kebijakan itu <a href="https://theconversation.com/mengapa-uu-cipta-kerja-tidak-menciptakan-lapangan-kerja-tapi-memperkuat-oligarki-147448">mengancam banyak kelompok</a>, khususnya kelompok buruh. </p>
<p>Tahun ini, Bank Dunia <a href="https://theconversation.com/scandal-involving-world-banks-doing-business-index-exposes-problems-in-using-sportslike-rankings-to-guide-development-goals-169691">menghentikan publikasi indeks</a> itu karena isu manipulasi data. Analisis lembaga besar belum tentu bebas dari masalah. </p>
<p>Selain itu, kesamaan kepentingan lembaga dan kekuasaan juga membuat bukti-bukti dari lembaga yang dekat dengan kekuasaan cenderung bisa dianggap lebih benar dibandingkan bukti yang lain. </p>
<p>Ini rentan membuat <a href="https://theconversation.com/buyarnya-mimpi-teknokrat-pembentuk-ide-brin-saatnya-komunitas-ilmiah-berhenti-naif-dan-anti-politik-159913">lembaga riset</a> dipolitisasi untuk menyediakan pembenaran atas praktik-praktik yang hanya menguntungkan kekuasaan.</p>
<p>Di samping lembaga riset, jenis riset juga kerap mempengaruhi bukti mana yang dianggap lebih valid. </p>
<p>Studi kuantitatif sering dianggap <a href="https://jech.bmj.com/content/57/7/527">lebih saintifik</a> dibandingkan studi kualitatif. Uji acak terkontrol (<em>randomised controlled trial</em> atau RCT) sering disebut sebagai <a href="https://www.povertyactionlab.org/resource/introduction-randomized-evaluations">standar emas</a> dalam evaluasi dampak, termasuk dampak kebijakan. Pendekatan ini mengukur secara kuantitatif seberapa efektif suatu kebijakan atau intervensi dengan membandingkan performa kelompok intervensi dengan kelompok non-intervensi, yang keduanya dipilih secara acak. </p>
<p>Kebijakan dianggap efektif jika performa kelompok intervensi - secara kuantitatif - lebih baik dibandingkan kelompok kontrol. </p>
<p><a href="https://www.hup.harvard.edu/catalog.php?isbn=9780674048218">Penganakemasan riset kuantitatif</a> erat kaitannya dengan dinamika kuasa dan ketimpangan gender.</p>
<p>Riset kualitatif dengan sampel terbatas yang lebih banyak dilakukan perempuan kerap dianggap lebih feminim, kurang tepercaya, dan tidak solid dibandingkan studi kuantitatif yang didominasi oleh laki-laki.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/buyarnya-mimpi-teknokrat-pembentuk-ide-brin-saatnya-komunitas-ilmiah-berhenti-naif-dan-anti-politik-159913">Buyarnya mimpi teknokrat pembentuk ide BRIN. Saatnya komunitas ilmiah berhenti naif dan anti-politik</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Bukti sering kali bersifat kontekstual</h2>
<p>Satu kebijakan atau program bisa terbukti efektif di daerah tertentu, namun ternyata gagal di konteks lain. </p>
<p>Di bidang psikologi, fenomena ini kerap dinamakan <a href="https://www.theatlantic.com/science/archive/2018/11/psychologys-replication-crisis-real/576223/">krisis replikasi</a>. Misalnya, psikolog Carol Dweck asal Amerika Serikat (AS) membuktikan pentingnya <a href="https://www.youtube.com/watch?v=-71zdXCMU6A">pola pikir berkembang</a>. Temuannya menunjukkan bahwa pelajar yang memandang bahwa intelegensi bisa dikembangkan cenderung akan berusaha lebih banyak sehingga bisa lebih sukses dibandingkan mereka yang memandang bahwa intelegensi bersifat permanen. </p>
<p>Sayangnya, intervensi pola pikir yang dilakukan di sekolah publik di Argentina tidak membuktikan hal yang sama. Pola pikir berkembang <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.3102/0162373720938041">tidak berpengaruh</a> pada sikap belajar dan performa akademis siswa di sana.</p>
<p>Di dunia pendidikan, hasil belajar kerap digunakan sebagai acuan untuk menentukan apakah kebijakan terbukti efektif atau tidak. </p>
<p>Meski memperbaiki kualitas pendidikan itu penting, kita perlu memahami bahwa tidak semua kebijakan pendidikan (harus) berorientasi pada hasil belajar. </p>
<p>Kebijakan zonasi yang membatasi seleksi nilai dalam penerimaan siswa baru belum tentu berhasil meningkatkan hasil belajar. Namun, <a href="http://www.rise.smeru.or.id/sites/default/files/publication/Infografis%20Zonasi%20RISE.pdf">temuan awal</a> menunjukkan bahwa kebijakan ini berhasil membuka akses anak-anak marginal ke sekolah negeri gratis. </p>
<p>Menghapus kebijakan zonasi hanya karena dianggap tidak efektif meningkatkan hasil belajar siswa akan berpotensi membatasi akses pendidikan anak-anak kelompok ekonomi menengah-bawah.</p>
<p>Sebaliknya, kebijakan yang berhasil meningkatkan hasil belajar siswa belum tentu tanpa problem. </p>
<p>Pelibatan orang tua dalam pendidikan sering dianggap dapat <a href="https://theconversation.com/studi-tegaskan-masifnya-dampak-orang-tua-dalam-pembelajaran-anak-kita-harus-bangun-terus-peran-mereka-selepas-pandemi-169375">meningkatkan hasil belajar siswa</a>, meski tidak sedikit juga <a href="https://academic.oup.com/sf/article-abstract/94/4/e106/2461395">bukti yang membantahnya</a>. </p>
<p>Kebijakan ini belum tentu layak diperluas karena adanya isu <a href="https://theconversation.com/survei-beban-pendampingan-belajar-anak-selama-pandemi-lebih-banyak-ke-ibu-ketimbang-ayah-143538">ketimpangan gender</a> dalam tugas-tugas pendampingan belajar. </p>
<p>Pergeseran tanggung jawab sekolah ke orang tua juga berpotensi <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01411920701243578">menstigmatisasi</a> keluarga berpenghasilan rendah, yang meski peduli pada pendidikan anaknya tapi menghadapi banyak tantangan untuk membantu anak belajar.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/survei-beban-pendampingan-belajar-anak-selama-pandemi-lebih-banyak-ke-ibu-ketimbang-ayah-143538">Survei: beban pendampingan belajar anak selama pandemi lebih banyak ke ibu ketimbang ayah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pengembangan kebijakan berbasis bukti cenderung eksklusif</h2>
<p>Idealnya, kebijakan dibuat untuk kepentingan umum, bukan hanya untuk sebagian elit.</p>
<p>Oleh karena itu, pengembangan kebijakan perlu mempertimbangkan aspirasi semua kelompok - termasuk kelompok marginal - terlepas mereka punya latar belakang sebagai peneliti atau tidak.</p>
<p>Semata menggunakan bukti sebagai landasan kebijakan bisa mengancam proses yang demokratis dalam pengembangan kebijakan.</p>
<p>Dalam demokrasi, setiap warga punya suara yang sama di mata hukum dan negara, termasuk dalam pembuatan kebijakan. </p>
<p>Sayangnya, bukti umumnya dimonopoli oleh peneliti, yang <a href="https://aaronclauset.github.io/slides/Clauset_2021_FacultyHiringAndChangingRepresentationInAcademia_BerkeleyCTEG.pdf">dominan berlatar kelas menengah</a>. </p>
<p><a href="http://pspk.web.id/kilas-pendidikan/kilas-pendidikan-edisi-17-ketimpangan-mutu-dan-akses-pendidikan-di-indonesia-potret-berdasarkan-survei-pisa-2015/">Ketimpangan pendidikan</a> serta terbatasnya <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/is-education-reform-finally-paying-off-for-indonesian-kids/">mobilitas sosial</a> di Indonesia membuat orang dari kelompok marginal sulit menjadi peneliti yang biasanya membutuhkan pendidikan tinggi. </p>
<p>Mendorong kebijakan berbasis bukti memberikan ruang penting pada peneliti menyampaikan suara, namun di sisi lain juga rentan mengabaikan suara kelompok marginal. </p>
<p>Sebuah studi menunjukkan bahwa <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01436597.2021.1882297">elit kelas menengah</a> cenderung lebih sering merepresentasikan kepentingan yang berlawanan dengan kepentingan kelompok marginal. </p>
<p>Latar belakang peneliti yang umumnya adalah kelompok terdidik juga cenderung membuat mereka mudah <a href="https://psycnet.apa.org/record/2017-53158-001">menstigma kelompok lain</a> yang pendidikannya lebih terbatas.</p>
<p>Dalam bukunya “<a href="https://www.theguardian.com/books/2020/sep/06/michael-sandel-the-populist-backlash-has-been-a-revolt-against-the-tyranny-of-merit">The Tyranny of Merit: What’s Become of the Common Good</a>”, akademisi Harvard University Michael Sandel menjelaskan bahwa eksklusivitas dalam pengembangan kebijakan yang umumnya dilakukan sebagian kecil elit cenderung membuat kelompok non elit antipati pada negara. Ia menganggap hal ini juga berkontribusi pada populisme di AS, termasuk kemenangan Donald Trump.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-kelompok-privilese-menyamankan-diri-di-tengah-ketimpangan-160354">Bagaimana kelompok privilese menyamankan diri di tengah ketimpangan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Berbasis bukti saja tidak cukup, kebijakan harus berpihak</h2>
<p>Penelitian memiliki banyak tujuan, salah satunya adalah mendorong kebijakan yang lebih baik. Untuk kepentingan ini, kita yang berprofesi sebagai peneliti, penting untuk terus menggali bukti-bukti terkait efektivitas suatu kebijakan atau intervensi. </p>
<p>Pengetahuan ini harus disebarluaskan ke publik sebagai upaya untuk mendemokratisasi pengetahuan.</p>
<p>Dengan begini, pengetahuan tidak saja dimiliki oleh kelompok berpendidikan yang punya akses lebih memadai ke aktivitas riset, buku, hasil penelitian, termasuk ke lingkar kekuasaan. </p>
<p>Sebuah <a href="https://documents1.worldbank.org/curated/en/387501468322733597/pdf/WPS6851.pdf">studi</a> tentang produk pengetahuan Bank Dunia menunjukkan bahwa 31% di antaranya tidak pernah diunduh dan 87% tidak pernah dikutip. Ini tidak saja menggambarkan penggunaan sumber daya yang kurang efisien tapi juga betapa pengetahuan sulit diakses publik.</p>
<p><a href="https://theconversation.com/id">The Conversation Indonesia</a> merupakan salah satu media tempat peneliti dapat membagikan hasil riset dan analisisnya kepada awam. Namun, perlu diingat bahwa media ini juga hanya menyediakan akses berbagi riset ke peneliti yang, seperti sudah saya sebut di atas, didominasi oleh kelas menengah.</p>
<p>Selanjutnya, peneliti perlu lebih banyak memberikan ruang bagi suara-suara yang selama ini kurang terdengar, terutama dari kelompok marginal, dalam penelitiannya.</p>
<p>Usaha yang dilakukan oleh <a href="https://projectmultatuli.org/">Project Multatuli</a>, sebuah platform yang mengusung keberpihakan pada kelompok rentan, dapat menjadi contoh. Di sana, peneliti dapat bekerja sama dengan media popular dan kelompok akar rumput untuk mengadvokasi perubahan kebijakan dan sistem dari bawah (<em>bottom-up</em>) yang lebih berpihak pada masyarakat umum.</p>
<p>Kebijakan berbasis bukti tentu lebih baik dibandingkan kebijakan tanpa bukti. Namun itu saja tidak cukup. Pengembangan kebijakan harus berbasis bukti dan mengikutsertakan suara kelompok rentan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/173065/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Isi dalam artikel ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi dimana penulis bekerja maupun afiliasinya.</span></em></p>Dinamika kuasa yang timpang dan pemaknaan bukti yang cenderung beragam rentan membuat kebijakan malah menjadi eksklusif dan tidak berpihak pada kelompok marginal.Senza Arsendy, Research and Learning Specialist, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.