Menu Close

Bagaimana awal mula lahirnya ide tentang ras dan diskriminasi warna kulit?

Seorang anak laki-laki mengikuti sebuah aksi protes. Freepik

Desember lalu, Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, meminta maaf atas praktik perbudakan yang dilakukan negaranya di masa lalu dan menyebutnya sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan”. Salah satu contoh perbudakannya adalah ketika Belanda memperdagangkan sebanyak 600.000 orang Afrika ke benua Amerika pada tahun 1814.

Kejahatan yang pernah dilakukan Belanda selama 250 tahun itu salah satunya dilatarbelakangi oleh kentalnya keyakinan akan konsep ras yang membagi dan membedakan manusia ke dalam kelompok-kelompok secara hierarkis. Dalam konsep ini, ada kelompok “si putih” yang membangun secara sistemik struktur yang menyubordinasi kelompok lainnya melalui serangkaian hak istimewa.

Konsepsi ini membentuk pola interaksi yang timpang. Kelompok kulit putih merasa berhak mengatur kehidupan kelompok lain, termasuk menjadikan mereka sebagai komoditas.

Sampai sekarang, ketimpangan ini masih terjadi di banyak tempat dalam berbagai bentuk diskriminasi. Gerakan sosial seperti Black Lives Matter, misalnya, merupakan salah satu reaksi paling nyata dari konstruksi ras.

Sejarah munculnya “kulit putih” dan “kulit hitam”

Pada mulanya, orang-orang Eropa tidak pernah mengklaim diri mereka sebagai kulit putih (Whites). Tidak pula melihat ke-putih-an (whiteness) mereka sebagai nilai lebih.

Kata “putih” awalnya ditujukan kepada orang-orang Eropa dan pertama kali digunakan oleh Thomas Middleton dalam naskah drama The Triumph of Truth yang dipentaskan pada awal abad ke-15. Drama ini menceritakan seorang raja di Afrika yang sedang berada di tengah orang-orang Inggris dan berujar, “Saya melihat keheranan di wajah orang-orang kulit putih ini”.

Pada era sebelum pementasan itu, karakter yang berkulit gelap digambarkan dengan ciri fisiknya seperti “kehitaman” atau “coklat keabu-abuan”. Akan tetapi, deskripsi ini tidak pernah dimaksudkan untuk membedakan maupun menganggap mereka lebih rendah dari orang kulit putih. Deskripsi kulit hitam pun merujuk ke banyak kelompok, seperti orang-orang Spanyol, Arab, dan India.

Perbedaan warna kulit, yang menjadi dasar pembedaan ras, adalah kenyataan faktual. Hanya saja, konsep ras sendiri sebenarnya tidak berangkat dari realitas biologis itu. Ras adalah sebuah ide, bukan fakta.

Geraldine Heng, profesor sejarah dari University of Texas, mengatakan bahwa ada sebuah proses yang disebut race-making (pembentukan ras).

Proses inilah yang berujung pada praktik dan tekanan untuk mengonstruksi identitas manusia, menjadikan adanya tingkat yang lebih tinggi pada suatu kelompok manusia dibanding kelompok manusia lainnya. Singkatnya, ras adalah sesuatu yang dibayangkan, diidentifikasi, dan diinstitusionalkan oleh kekuasaan.

Menurut Kwame Anthony Appiah, profesor filsafat dan hukum dari New York University, ras adalah hasil konstruksi dari biologisasi (biologizing) budaya dan atau ideologi, bukan sebuah ide yang saintifik.

Mengapa “putih”?

Lalu kenapa di antara semua atribut fisik yang melekat pada diri seseorang, ke-putih-an dipilih menjadi patokan pengategorian?

Tanpa disadari, citra “putih” sebagai sesuatu yang “baik” telah lama melekat dalam pikiran manusia.

Luh Ayu Saraswati, profesor di bidang perempuan, gender, dan seksualitas the University of Hawai'i, membedah persepsi “putih” ini hingga jauh ke masa prakolonial di Indonesia.

Ia menelisik kisah Ramayana yang mengasosiasikan putih sebagai warna kebaikan, dengan menggambarkan tokoh Sita (tokoh protagonis dalam cerita tersebut) sebagai perempuan berkulit putih yang cantik bercahaya. Kebalikannya, Rawana (tokoh antagonis) dideskripsikan berkulit gelap dengan pandangan mata menakutkan seperti “ular berbisa yang berbahaya”.

Dengan demikian, citra positif “putih” dan citra negatif “hitam” terbentuk secara bersamaan. Citra negatif “hitam” itu adalah hasil hermeneutic blackness, sebuah tahap ketika ke-hitam-an tidak hanya merujuk kepada ciri-ciri fisik, tetapi juga diasosiasikan dengan sesuatu yang buruk dan jahat. Proses ini menghasilkan perasaan negatif terhadap “hitam” yang merasuk ke dalam diri.

Dalam sebuah wawancara pada tahun 1971, petinju kawakan asal Amerika Serikat (AS), Muhammad Ali, mempertanyakan mengapa warna hitam selalu identik dengan hal-hal yang buruk seakan “yang putih itu baik, yang hitam tidak”. Ali mencontohkan adanya istilah blackmail untuk pemerasan, anak bebek dianggap buruk rupa karena berwarna hitam, dan kucing hitam dianggap pembawa sial.

Konstruksi dan diskriminasi ras berkembang seiring dengan kolonialisme. Misalnya, pada masa Hindia Belanda, pemerintah kolonial membagi masyarakatnya menjadi tiga kategori: Eropa, Timur Asing, dan Bumiputra. Tiga kategori itu secara harfiah merujuk pada tempat, namun memiliki konotasi ras. Sementara itu, arti dari tempat sendiri tak selalu sama dengan asal.

Ann Laura Stoler, profesor antropologi dan sejarah dari The New School for Social Research, AS, mengistilahkan struktur masyarakat kolonial ini sebagai bentuk dari “negara taksonomik”, yakni negara yang administrasi pemerintahannya bertugas mendefinisikan sekaligus menafsirkan segala hal yang melegitimasi sekelompok orang agar dapat dihimpun ke dalam ras tertentu. Proses ini tidak dilakukan melalui kajian ilmiah yang teliti, tetapi berasal dari niat untuk memudahkan kontrol atas masyarakat yang dikuasainya.

Pengelompokan ras seperti itu dicitrakan seolah-olah adalah kondisi alamiah, padahal sepenuhnya politis. Ras kulit putih yang dalam masyarakat kolonial dikonstruksikan sebagai yang lebih unggul ini kemudian menjadi dalih bagi praktik perbudakan.

Selama era kolonialisme Belanda pula, citra putih yang superior semakin berkembang dan menguat melalui kebijakan segregasi rasial (pemisahan berdasarkan ras) ini. Kelompok kulit putih (orang-orang Eropa) digambarkan sebagai simbol moralitas, keberadaban, dan berorientasi maju. Citra serba baik di masa kolonialisme ini berlanjut hingga era kemerdekaan. Oleh kapitalisme, konstruksi ke-putih-an ini ‘dirawat’ di ruang publik melalui media massa.

Dalam buku Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Feminitas, dan Globalisasi dalam Iklan Sabun (2003), Aquarini Priyatna Prabasmoro, guru besar bidang ilmu sastra dan gender Universitas Padjadjaran, menjelaskan bahwa citra tubuh merupakan sebuah permainan yang terancang amat baik, salah satunya melalui iklan sabun.

Kita ingat bagaimana dahulu, di tahun 1990-an, aktris Tamara Bleszynski dan Sophia Latjuba yang menjadi model Lux dan Giv, dua merek sabun mandi terkenal kala itu, digambarkan sebagai perwujudan ideal dari perempuan Indonesia: berwajah blasteran dan berkulit putih.

Dekonstruksi ras

Zaman sekarang mulai muncul upaya dekonstruksi ras untuk menghilangkan citra superioritas kulit putih.

Perjuangan ini mulai mencuat sejak Alek Wek, model perempuan asal Sudan, tampil di sampul majalah Elle edisi AS pada 1997.

Wek yang berkulit gelap berpose di depan layar di bawah arahan pengarah gaya kreatif Prancis, Gilles Besimon. Ketika itu, ia mendobrak citra cantik gadis sampul tradisional yang berkulit putih dan berambut pirang lurus. Sejak itulah definisi cantik terus berubah, tidak lagi dimonopoli oleh golongan kulit putih.

Namun, konstruksi ras yang telah dibangun sejak masa kolonial tidak mudah dirobohkan.

Kita dapat melihat bagaimana film nonanimasi “The Little Mermaidmenuai kecaman dari banyak orang karena Walt Disney Pictures, rumah produksi film ini, melakukan perubahan yang signifikan terhadap tokoh Ariel yang tak lagi berkulit putih. Banyak pengguna internet di berbagai platform menuliskan sikap sinis yang rasis.

Walt Disney memang sedang gencar memproduksi film dengan berpegang pada prinsip inklusivitas. Hal ini dilakukan salah satunya untuk menjawab isu white-washing (pengkulitputihan) yang menerpa industri film Hollywood.

Permintaan maaf PM Rutte, meskipun tidak secara eksplisit menyinggung soal superioritas kulit putih, layak diapresiasi. Kita perlu melihat ini sebagai upaya dekonstruksi ras oleh negara bekas penjajah yang dulunya membangun pengaruhnya melalui konstruksi ras.

Apa yang dilakukannya merupakan langkah besar lain untuk membangun ulang perspektif kita tentang kesetaraan manusia yang sengaja dihilangkan oleh konsep ras.

Ras bukan takdir yang harus diterima, tapi konstruksi sosial yang harus dibongkar.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now