Menu Close
Seoul, Korea Selatan. Ekonomi Korea Selatan tumbuh pesat hingga pada 2017 PDB per kapita mencapai hampir US$30.000. www.shutterstock.com

Bagaimana Korea Selatan dan Taiwan mengembangkan ekonomi mereka dengan cepat, sementara Malaysia dan Indonesia tertinggal

Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, dan Indonesia semuanya menderita penjajahan Jepang selama Perang Dunia II. Tetapi berpuluh-puluh tahun masa damai sesudah perang berakhir hanya Korea Selatan dan Taiwan yang mampu menghidupkan dan menumbuhkan ekonomi mereka kembali dan menjadi kaya. Tingkat PDB (Produk Domestik Bruto) per kapita mereka - yaitu pendapatan semua orang di negara tersebut jika terdistribusi secara merata - setara dengan negara maju di dunia Barat.

Saat ini kita sudah akrab dengan produk Korea Selatan, mulai dari mobil, elektronik, hingga perawatan kulit. Sementara Taiwan, terkenal dengan mengekspor minyak yang sudah melalui proses pemurnian, 40% komponen elektronik penting di seluruh dunia, dan komputer, seperti Acer dan Asus.

Dibandingkan dengan Korea Selatan dan Taiwan, Malaysia stagnan sesudah mencapai level pendapatan menengah ke atas. Sementara itu, Indonesia masih berjuang di tingkat pendapatan menengah ke bawah.

Mengapa beberapa negara tumbuh lebih cepat daripada yang lain?

Salah satu faktor utamanya adalah perusahaan lokal yang inovatif.

Kisah empat ekonomi

Sekitar dua dekade setelah Perang Dunia II, tepatnya pada 1967, Malaysia terdepan dalam PDB per kapita di antara empat negara di atas. Malaysia unggul dengan US$317, Taiwan $281, Korea Selatan $161, dan Indonesia hanya $54.

Dalam dua tahun, Taiwan menyusul Malaysia. Dan pada 1977, giliran Korea yang membalapnya. Pada 2003, dengan pendapatan per kapita sebesar $14.209, Korea telah meningkatkan PDB per kapita hampir 90 kali lipat dibandingkan dengan tahun 1967. Taiwan hampir mendekati Korea dengan pendapatan per kapita $14.120.

Pengamat menjuluki pertumbuhan keempat negara ini, bersama dengan Jepang, Hong Kong, Thailand, dan Singapura pada 1980-an dan 1990-an sebagai Keajaiban Asia. PDB per kapita mereka tumbuh dua kali lebih cepat antara 1965 hingga 1990 dibandingkan dengan negara-negara Barat yang lebih maju di Eropa dan Amerika Utara.

Peningkatan PDB per kapita di negara-negara ini disertai dengan pengurangan kemiskinan dan penyempitan kesenjangan antara si kaya dan si miskin.

Krisis Keuangan Asia 1997 menghantam ekonomi-ekonomi negara ini. Korea mengalami penurunan PDB per kapita sebesar 33,4%, Taiwan sebesar 8,5%, Malaysia sebesar 29,6%, dan Indonesia sebesar 56,4%. Krisis ini membawa Indonesia kembali ke tingkat pendapatan rendah.

Namun pada 2017, pendapatan rata-rata di Korea pada 2017 telah tumbuh lagi menjadi hampir $30.000 (Rp424 juta). Taiwan tumbuh menjadi $24.000 (Rp339 juta). Sementara Malaysia dan Indonesia tertinggal masing-masing dengan $9,952 (Rp140 juta) dan $3,847 (Rp54 juta).

Mengapa beberapa ekonomi tumbuh lebih cepat daripada yang lain?

Ekonom menggunakan PDB per kapita sebagai indikator tingkat produktivitas suatu negara, yaitu mengukur jumlah output yang dihasilkan dalam suatu periode. Semakin tinggi PDB per kapita suatu perekonomian, semakin tinggi produktivitas warganya.

PDB Korea Selatan dan Taiwan yang tinggi mencerminkan tingkat produktivitas yang tinggi dibandingkan dengan Malaysia dan Indonesia.

Tiga hal yang menentukan produktivitas suatu negara: tenaga kerja, modal, dan sesuatu yang dikenal sebagai total faktor produktivitas (TFP), yang mewakili efisiensi dan teknologi. Sebagai contoh, sistem manajemen yang lebih baik untuk mengurangi birokrasi menandai efisiensi yang lebih baik, sementara penggunaan teknologi untuk mengotomatisasi tugas-tugas yang sebelumnya memakan banyak waktu jika dilakukan secara manual, menandai penggunaan teknologi.

Menurut Buku Data Produktivitas Organisasi Asia 2018, TFP berkontribusi 14% terhadap pertumbuhan ekonomi Korea antara tahun 1970-2016 dan 24% untuk Taiwan. Sementara itu, TFP hanya berkontribusi 5% pada pertumbuhan Malaysia, dan untuk Indonesia, persentasenya bahkan jauh lebih rendah: di angka 1%. Ini menandakan sangat sedikitnya kemajuan teknologi di Indonesia.

Kontribusi kecil TFP terhadap perekonomian Indonesia erat kaitannya dengan rendahnya investasi negara dalam penelitian dan pengembangan. Pada 2017, Indonesia membelanjakan kurang dari 0,2% dari PDB untuk penelitian dan pengembangan. Sementara itu, Korea membelanjakan 4,55% dari PDB untuk penelitian dan pengembangan. Taiwan pada 2016 menghabiskan 3,16% dan Malaysia sekitar 1,3%.

Cara meningkatkan Total Faktor Produktivitas

Sebuah studi oleh Dana Moneter Internasional (IMF) telah menyelidiki bahwa pertumbuhan ekonomi Korea dan Taiwan bergantung pada inovasi teknologi oleh perusahaan lokal.

Pada 1960-an, Korea Selatan mendirikan 35 perusahaan milik negara di bidang energi, konstruksi, dan perbankan. Pada 1970-an, dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan publik, Korea Selatan mulai memprivatisasi perusahaan milik negara, memberikan pinjaman, dan perlindungan dari persaingan pasar ke kelompok bisnis milik keluarga, yang disebut chaebol atau keluarga konglomerat di Korea.

Sementara itu, menurut ekonom Chen Been-lon, pemerintah dan perusahaan swasta telah berperan dalam membantu Taiwan tumbuh menjadi kekuatan ekonomi seperti saat ini.

Papan elektronik. Taiwan mengekspor 40% semikonduktor dunia. www.shutterstock.com

Pada 1964, Taiwan membangun laboratorium semikonduktor di National Chiao Tung University. Laboratorium ini adalah tempat pelatihan bagi para insinyur yang menjadi tulang punggung industri semikonduktor Taiwan.

Pada 1974, Badan Penelitian dan Layanan Elektronik milik negara (ERSO) didirikan di dekat Universitas Nasional Chiao Tung. Kemudian pada 1980 ERSO menciptakan pemisahan perusahaan pertamanya bernama United Microelectronics (UMC) dengan investasi modal 40% berasal dari pemerintah.

UMC beralih menjadi pusat Taiwan untuk memperoleh teknologi chip, melatih insinyur lokal, dan membangun fondasi industri komponen eletronik Taiwan.

Dukungan untuk industri dalam negeri oleh pemerintah Korea Selatan dan Taiwan melalui pinjaman murah dan perlindungan pasar, memberikan ruang bagi perusahaan untuk meningkatkan anggaran untuk penelitian guna mengembangkan inovasi teknologi.

Mereka juga meningkatkan kualitas pendidikan serta mampu menyediakan tenaga kerja berkualitas tinggi bagi perusahaan yang membutuhkan pekerja yang sangat terampil.

Berbeda dengan strategi Korea Selatan dan Taiwan, yang pemerintah mendukung pengembangan industri dalam negeri, studi IMF di atas mencatat bahwa Malaysia mengandalkan teknologi transfer dari perusahaan multinasional.

Perusahaan multinasional enggan untuk mentransfer teknologi mereka ke perusahaan lokal sehingga membuat negara-negara tuan rumah terjebak memasok bahan baku terus-menerus. Perusahaan multinasional melindungi hak kekayaan intelektual dan pengembangan produk mereka. Selain itu, mereka juga enggan untuk melatih karyawan lokal karena khawatir mereka pindah ke perusahaan lain.

Ini adalah tantangan yang dihadapi Indonesia dan Malaysia. Karena industri dalam negeri kurang berkembang di kedua negara, perusahaan lokal tidak memiliki banyak dana untuk mendanai penelitian dan pengembangan.

Sementara Korea Selatan dan Taiwan masing-masing memiliki 15 dan sembilan perusahaan yang terdaftar dalam daftar Fortune 500, peringkat perusahaan terbesar di dunia berdasarkan pendapatan, baik Indonesia dan Malaysia masing-masing hanya memiliki satu perusahaan dalam daftar, dan keduanya adalah perusahaan minyak dan gas milik negara.

Mengejar ketertinggalan

Bukti kuat dari Korea maupun Taiwan menunjukkan bahwa untuk meningkatkan produktivitas suatu negara, industri domestik harus berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan.

Pemerintah Indonesia dilaporkan telah berencana untuk menawarkan pengurangan pajak kepada perusahaan-perusahaan yang mendukung pelatihan kejuruan dan penelitian dan pengembangan.

Bersamaan dengan insentif untuk perusahaan, baik Malaysia dan Indonesia, harus meningkatkan sektor pendidikan tinggi untuk mendukung dan meningkatkan investasi dalam penelitian dan pengembangan. Mereka juga harus secara serentak mengembangkan perusahaan domestik yang andal.

Malaysia sudah mengizinkan akademisi asing untuk mengajar dan melakukan penelitian. Indonesia pun harus mengikuti jalur ini demi memiliki universitas kelas dunia. Sektor pendidikan tinggi harus diberikan kewenangan lebih untuk mengelola rekruitmen dosen dan peneliti serta untuk menarik mahasiswa terbaik dari seluruh dunia.

Pengalaman Korea Selatan dan Taiwan dalam mendukung industri dalam negeri dan meningkatkan sektor penelitian mereka dapat menjadi contoh bagi Malaysia dan Indonesia untuk berusaha menyamainya.

Amira Swastika menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.


Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia mendukung The Conversation Indonesia sebagai mitra tuan rumah.


This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now