Menu Close

Bagaimana pengangkatan penjabat kepala daerah sebelum Pemilu 2024 rawan maladministrasi dan mengancam demokrasi

Pelantikan Penjabat Kepala Daerah. Irwansyah Putra/Antara Foto

Indonesia akan menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) kelima pascareformasi pada 2024 mendatang.

Pemilu yang akan dilaksanakan secara serentak ini memiliki berbagai dampak, salah satunya terkait masa jabatan kepala daerah yang selesai sebelum 2024. Sebanyak 101 kepala daerah telah berakhir masa jabatannya pada 2022, dan 170 kepala daerah akan berakhir pada 2023.

Artinya, ada ratusan daerah yang akan memerlukan penjabat (PJ) atau orang yang menjabat sementara. Konsekuensi ini memunculkan beberapa masalah, mulai dari tidak adanya aturan hukum yang jelas hingga maladministrasi dalam pengangkatan PJ.

Masalah dalam pengangkatan penjabat kepala daerah

Menurut Perludem, setidaknya ada tujuh masalah terkait pengangkatan penjabat kepala daerah pada masa transisi menuju Pemilu 2024:

(1) PJ akan terjadi dengan jumlah daerah yang banyak,

(2) masa jabatan PJ kepala daerah yang panjang,

(3) dasar hukum pengisian PJ kepala daerah tidak terkodifikasi dengan baik,

(4) tidak adanya dasar hukum penunjukan PJ kepala daerah,

(5) kemungkinan diangkatnya personel TNI atau Polri,

(6) adanya kekhawatiran menghidupkan kembali narasi desentralisasi melalui peran besar pemerintah dalam penunjukan PJ kepala daerah,

dan (7) adanya potensi beban ganda PJ yang mengakibatkan tata kelola pemerintahan daerah berjalan tidak efektif dan pelayanan publik terlambat.

Beberapa kekhawatiran tersebut, dalam praktiknya, telah terjadi. Saat pengangkatan sejumlah PJ kepala daerah pada Mei 2022, ada lima PJ gubernur dan 43 PJ bupati dan wali kota yang dilantik Menteri Dalam Negeri (Mendagri)tanpa landasan peraturan pemerintah yang memadai.

Saat ini, peraturan terkait pengangkatan PJ kepala daerah hanya merujuk pada Pasal 201 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Peraturan tersebut belum memadai karena tidak memuat secara spesifik bagaimana mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas terkait pengisian PJ kepala daerah pada masa transisi menuju Pemilu serentak 2024.

Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian meminta pemerintah membuat peraturan pelaksana tindak lanjut ketentuan pengangkatan PJ kepala daerah yang menjadi turunan Pasal 201 UU Pilkada. Tujuannya agar pengangkatan PJ kepala daerah tidak melanggar prinsip-prinsip demokrasi, memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel.

Jika tetap tidak ada landasan pelaksanaan yang jelas, proses pengangkatan PJ kepala daerah bisa berujung pada maladministrasi. Ini sudah terbukti terjadi.

Laporan Ombudsman menemukan tiga poin maladministrasi terkait proses pengangkatan PJ kepala daerah yang dilakukan oleh Mendagri.

Pertama, maladministrasi terkait keterbukaan informasi. Indonesia Corruption Watch (ICW), misalnya, pernah mengirimkan permohonan ke Pejabat Pengelola Informasi (PPID) maupun Mendagri pada 17 Mei 2022 untuk membuka informasi mengenai dokumen aturan teknis dan proses pengisian posisi PJ Kepala Daerah.

Namun tidak ada tanggapan apapun dari pihak pemerintah. Pengabaian ini sama saja dengan melanggar UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Kedua, maladministrasi dalam proses pengangkatan PJ kepala daerah itu sendiri, misalnya mengangkat individu yang berasal dari unsur TNI aktif. Salah satu contohnya adalah Brigjen Andi Chandra As'Aduddin yang diangkat sebagai PJ Bupati Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku, pada Mei 2022 ketika ia masih menjabat prajurit aktif.

Kemunduran demokrasi

Demokrasi sebagai sistem memang bukan suatu hal yang bersifat permanen. Suatu negara - yang menerapkan demokrasi - bisa saja mengalami fenomena kemunduran demokrasi yang jenis dan tingkatannya berbeda-beda, mulai dari democratic regression, democratic backsliding, democratic recission.

Setidaknya ada empat indikator yang dapat meruntuhkan demokrasi yang disebabkan oleh tindakan pemerintah:

  1. Ketika terjadi pelanggaran aturan dasar bernegara (konstitusi) yang kemudian melemahkan prinsip pembatasan kekuasaan dan melemahkan peran dan fungsi lembaga-lembaga demokrasi.
  2. Ketika pemerintah menyangkal legitimasi oposisi politik. Ini ditandai dengan, misalnya, menuduh oposisi melakukan tindakan makar.
  3. Ketika pemerintah bersifat represif, dengan memperkuat peran militer menjadi semakin intimidatif.
  4. Melakukan pembatasan kebebasan sipil dan media, pembatasan terhadap kritik dan protes, serta pelemahan dan kriminalisasi pers.

Pengangkatan penjabat kepala daerah dalam praktiknya telah memenuhi tiga dari empat indikator kemunduran demokrasi.

Penolakan terhadap aturan-aturan pelaksanaan demokrasi menunjukkan adanya pelanggaran terhadap konstitusi oleh pemerintah. Pemerintahan terlihat tidak patuh terhadap pertimbangan hukum dalam putusan MK untuk membuat mekanisme dan prosedur penunjukan PJ kepala daerah.

Pemerintah pun bisa dibilang bertindak represif dengan mengangkat PJ kepala daerah yang merupakan TNI aktif. Ini sama saja dengan memperkuat peran militer di ranah sipil.

Pemerintah juga secara tidak langsung telah melakukan pembatasan kebebasan sipil. Pengabaian terhadap permohonan organisasi masyarakat sipil mengindikasikan pembatasan terhadap kritik dan protes.

Temuan di atas menandakan bahwa persoalan pengangkatan penjabat kepala daerah tersebut dapat mengakibatkan kemunduran demokrasi Indonesia yang semakin dalam.

Indeks demokrasi global Indonesia saat ini saja masih rendah. Laporan indeks demokrasi yang dirilis oleh The Economist Inteligence Unit (EIU) awal Februari 2023 menunjukkan indeks demokrasi Indonesia berada di bawah Kolombia, Malaysia, dan Filipina. Indonesia masuk kategori demokrasi cacat (flawed democracy).

Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Freedom Haouse yang menetapkan status demokrasi Indonesia belum sepenuhnya demokratis (partly free).

Hukum tertinggi negara, yakni Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, jelas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Seharusnya pemerintah lebih mengedepankan aturan hukum dibandingkan keinginan berkuasa.

Pengangkatan PJ kepala daerah semestinya dilaksankan berdasarkan aturan hukum yang terukur sesuai prinsip demokrasi. Ke depan, pemerintah harus lebih peka terhadap masukan-masukan dari kelompok masyarakat sipil, apa lagi terkait hal-hal krusial yang menyangkut kesejahteraan rakyat, seperti pengangkatan pemimpin daerah.

Pemerintah harus membuktikan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, bukan oleh penguasa, elit politik, maupun oligarki.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now