Menu Close

Belajar di luar kampus ala #KampusMerdeka: progresif tapi PR masih banyak

Kebijakan #KampusMerdeka memperluas hak belajar di luar kampus - magang, riset lapangan, hingga proyek nirlaba - sampai 3 semester untuk setiap mahasiswa. Shutterstock

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim akhir bulan lalu mengumumkan paket kebijakan #KampusMerdeka yang diharapkan dapat menjembatani jurang yang masih lebar antara dunia akademisi dan dunia profesional.

Salah satu dari empat kebijakan yang ditawarkan yang memicu perdebatan di masyarakat adalah rencana keberadaan kurikulum yang memberikan keleluasaan untuk kegiatan pembelajaran mahasiswa di luar kampus.

Peluncuran kebijakan #KampusMerdeka oleh Menteri Pendidikan Nadiem Makarim.

Dengan skema tersebut, kegiatan pembelajaran tersebut meliputi magang, riset lapangan, wirausaha, proyek nirlaba hingga belajar di program studi lain. Kegiatan ini dapat dikonversi menjadi kredit akademik, hingga total tiga semester.

Dalam presentasinya, Nadiem menyatakan program ini dapat meningkatkan keterampilan sarjana untuk lebih adaptif dengan kebutuhan dunia profesional.

Angka pengangguran sarjana pada tahun 2019 berada pada level 6,2% - meningkat dari 5% dua tahun sebelumnya.

Data dari Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) juga menunjukkan bahwa kualitas lulusan sarjana Indonesia 20% lebih rendah dari rata-rata lulusan sarjana di negara anggota OECD.

Kami berbicara dengan akademisi, pelaku industri, serta mahasiswa untuk mendalami kebijakan ini.

Pilihan yang luas untuk mahasiswa, apakah kampus siap?

Anto Mohsin, seorang profesor kajian ilmu sains dan teknologi di Northwestern University (kampus cabang Qatar) mengatakan bahwa kebijakan ini merupakan suatu terobosan dalam pendidikan tinggi Indonesia.

Menurut pengalamannya, bahkan mahasiswa di negara seperti Amerika Serikat (AS) sendiri pada umumnya hanya melakukan magang di sela-sela liburan musim panas antara bulan Juni dan Agustus.

Beberapa universitas, misalnya Brown University di AS - mantan kampus Menteri Nadiem - menawarkan program magang yang dapat diintegrasikan dengan mata kuliah di dalam semester sehingga bisa mendapatkan nilai. Namun, skema tersebut pun memiliki prasyarat yang ketat.

Contoh kegiatan mahasiswa yang dapat dilakukan di luar kampus. (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)

“Jadi kebijakan Pak Nadiem memberikan kesempatan sampai tiga semester ini cukup revolusioner. Bahkan di universitas di AS jarang kalau sampai tiga semester untuk magang misalnya,” katanya.

Namun yang paling menarik dari kebijakan ini bagi Anto adalah kesempatan bagi mahasiswa membekali kompetensinya dengan belajar secara lintas disiplin, sesuatu yang menurutnya masih minim dilakukan di Indonesia.

“Seorang mahasiswa matematika atau sains (MIPA) jika tertarik belajar sejarah punya hak untuk mengambil mata kuliah ini di ilmu budaya. Begitu juga mahasiswa ekonomi juga bisa magang di surat kabar nasional untuk mengasah kemampuan menulis dan analisisnya,” katanya.

“Penting untuk punya keahlian yang bisa ditransfer dari satu profesi ke profesi lainnya. Di masa depan, yakinlah akan punya karir yang berubah-ubah.”


Read more: Belajar dari Amerika, kurikulum lintas disiplin bisa dongkrak kualitas universitas dan sarjana Indonesia


Ketika ditanya terkait kesiapan kampus dalam menjalankan kebijakan ini, Hizkia Yosias Polimpung, Wakil Dekan Fakultas Komunikasi di Universitas Bhayangkara Jakarta mengatakan bahwa hal tersebut bukanlah suatu masalah.

Menurutnya ada hal lain yang lebih layak dikhawatirkan.

“Mengubah kurikulum tentu makan biaya, tapi itu bisa dilakukan dan sejalan dengan ongkos perubahan. Yang saya khawatirkan justru kalau kampus memfasilitasi mengambil kuliah di kampus lain [atau pertukaran pelajar], kan harus ada kerja sama,” katanya.

“Ada ketakutan bahwa bisa ada disparitas dari kampus top. Mereka mungkin akan ‘jual mahal’ dengan kampus yang relatif belum berjam terbang tinggi.”

Dari 4.670 perguruan tinggi di Indonesia, baru 96 universitas yang memiliki akreditasi A. Hanya 11 yang memiliki status prestisius sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH), di antaranya Universitas Indonesia (UI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Selain itu, tiga universitas dengan jumlah mahasiswa asing dan pertukaran pelajar tertinggi sejak 2016 merupakan PTN-BH. Angka tertinggi dimiliki Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan hampir 1.300 mahasiswa.

“Jadi bisa saja kampus yang belum top nanti kerja samanya hanya dengan yang belum top juga. Akhirnya bisa relatif tidak akseleratif dalam mencapai tujuan pak menteri,” kata Hizkia.

Baik untuk rekrutmen, tapi tidak semua mahasiswa merasakan

Rois Ivand, seorang anggota tim rekrutmen pegawai sebuah perusahaan multinasional yang berbasis di Jakarta mengatakan program ini bisa bermanfaat baik untuk mahasiswa maupun perusahaan.

“Masa percobaan untuk kandidat level awal yang hanya 3 bulanan seringkali tidak cukup untuk menilai kandidat,” katanya.

“Kebanyakan proyek berjalan itu lebih dari sekadar 1-3 bulan. Dengan masa yang lebih panjang, akan lebih fleksibel untuk perusahaan memberikan kesempatan belajar pada mahasiswa dengan berbagai opsi magangnya akan seperti apa.”

Gilang Rizky Pratama, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Fakultas Teknik (BEM KMFT) UGM berpendapat senada dengan Rois bahwa durasi yang lebih panjang akan membantu mahasiswa dalam mencari pengalaman di dunia profesional.

Namun, ia mengatakan bahwa apabila Kemendikbud tidak menyelesaikan permasalahan struktural dalam pendidikan tinggi Indonesia, tidak semua mahasiswa akan bisa merasakan manfaat ini.

“Ini adalah program level selanjutnya. Padahal pendidikan tinggi sendiri masih lemah dalam akses pendidikan, ketimpangan kualitas kampus, kemampuan membayar biaya kuliah, dan seterusnya,” katanya.


Read more: Pendidikan, setelah 20 tahun Reformasi


Berdasarkan data dari Bank Dunia, pendidikan tinggi di Indonesia baru menyerap sekitar 36% anak lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), jauh lebih rendah dari Thailand (49%) dan Brasil (51%).

Di awal 2020 ini, hampir separuh mahasiswa sarjana (sekitar 44%) sendiri berasal dari 20% rumah tangga terkaya di Indonesia, sementara 40% rumah tangga termiskin hanya berkontribusi pada sekitar 20% saja dari jumlah mahasiswa.

“Pemerintah fokus ke bagaimana meningkatkan mahasiswa yang sudah kuliah dan seakan lupa dengan yang masih kesulitan.”

Hizkia juga mengomentari perbedaan kultur akademik dan semangat pembelajaran luar kampus yang cukup drastis antar mahasiswa di berbagai universitas di Indonesia.

“Ada bias pada universitas top di Indonesia, mahasiswa di sana relatif termotivasi dan kompetisi cukup tinggi dalam meraih prestasi. Di kampus lain yang belum maju, bahkan mahasiswa hanya masuk kelas untuk dapat gelar,” katanya.

Ia mencontohkan mahasiswa di universitas papan atas yang rajin terlibat dalam forum internasional, tergabung organisasi nirlaba internasional dan magang di perusahaan multinasional bahkan tanpa skema #KampusMerdeka diterapkan.

“Kalau kultur akademik universitas terbentuk, kebijakan ini sebenarnya tidak perlu, karena dengan sendirinya akan terjadi.”


Read more: Insularitas akademis membuat Indonesia tertatih dalam dunia riset sosial


Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now