Menu Close

Berpolitik di ruang siber: terpisah jarak karena pandemi COVID-19 bukan penghalang berdemokrasi

Kalau pemilihan umum elektronik dilakukan, kotak-kotak suara ini akan jadi tinggal sejarah. Adi Weda/EPA

Wabah COVID-19 telah membuat dunia terhenti.

Pandemi ini telah menewaskan lebih dari 42.000 orang di seluruh dunia. Di Indonesia, lebih dari 1.600 orang sudah terjangkit.

Semakin hari, semakin banyak kegiatan besar yang ditunda untuk mencegah penyebaran virus.

Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ditunda hingga Juni; Olimpiade di Tokyo, Jepang, ditunda hingga tahun depan; kompetisi sepakbola bergengsi English Premier League di Inggris, Serie A di Italia, dan La Liga di Spanyol dihentikan.

Di Indonesia, pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak di 270 daerah pada September pun ditunda tahun depan.

Keputusan itu menyusul kebijakan Presiden Joko “Jokowi” Widodo Presiden yang menetapkan pembatasan sosial berskala besar dan status darurat kesehatan masyarakat. Jokowi bahkan mempertimbangkan opsi pemberlakuan status darurat sipil.

Sejak Jokowi menyerukan agar masyarakat Indonesia menjaga jarak aman satu sama lain dan mengurangi kegiatan luar ruang, yaitu bekerja, belajar dan beribadah dari rumah –-yang juga dikenal dengan social distancing atau physical distancing–- praktis dunia politik di Indonesia juga berhenti.

Tapi, aktivitas politik akan menemukan rumah baru di dunia maya, yaitu dalam ruang siber.


Read more: Gerakan sosial berbasis media baru bisa redup tapi tak pernah mati: riset dari Ambon


Politik di luar dunia nyata?

Tahapan penyelenggaraan Pilkada di beberapa daerah yang terdampak diundur hingga batas waktu yang belum ditentukan karena adanya larangan berkumpul.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menunda sidang, dan Jokowi pun melakukan rapat via teleconference. Jangankan “blusukan”, untuk keluar istana saja Jokowi pasti berpikir seribu kali jika tidak mendesak.

Namun, apakah dengan diterapkannya physical distancing maka otomatis manusia berhenti menjadi mahluk politik (zoon politicon)?

Jawabnya tentu tidak.

Ruang publik yang kini dibatasi pandemi tidak menjadi alasan untuk matinya demokrasi. Ruang publik –menurut Juergen Habermas, pakar teori demokrasi dan ruang publik dari Jerman– adalah kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan masyarakat membentuk opini dan kehendak bersama terhadap dan tentang berbagai hal.

Semua kondisi itu tidak menuntut adanya ruang fisik atau kehadiran di ruang fisik.

Oleh karena itu, di kala pandemi ini, politik akan beralih ke ruang siber.

Richard N. Rosecrance, ilmuwan politik asal Amerika Serikat (AS), pada 1999 menggambarkan politik bagaimana politik semua negara secara bertahap akan berjalan ke arah virtual dalam bukunya yang berjudul “The Rise of the Virtual State”.

Menurut Rosencrance, negara-negara maju akan menghilangkan ambisi merebut teritori melalui kekuatan militer dan menggantinya dengan upaya memperoleh dominasi dan sumber daya politik yang intangible (tak berwujud). Siber akan menjadi sebuah bentuk baru dari sistem politik dunia yang virtual.

Nazli Choucri, profesor ilmu politik dari Massachusetts Institute of Technology, AS, juga mengemukakan ada kemungkinan besar bahwa isu-isu politik akan bergeser ke arena baru cyberpolitics, di mana interaksi antara kebijakan dan demokrasi terjadi.

Ruang siber politik akan menjadi sarana penyaluran kepuasan dan ketidakpuasan dari masyarakat.


Read more: UU ITE dan merosotnya kebebasan berekspresi individu di Indonesia


Politik siber kala pandemi

Sekuat dan semasif apa pun COVID-19 akan berkembang, wabah ini tidak akan bisa menghentikan manusia sebagai makhluk politik. Ranahnya saja yang berbeda, sekarang berpolitik bisa melalui dunia maya dan bisa dilakukan dari rumah.

Ruang siber di tengah-tengah physical distancing akan menjadi bagian integral dari konsolidasi demokrasi bangsa ini.

Dengan akses ke ruang siber yang semakin masif, masyarakat dan relasi sosial di Indonesia saat ini kian “terdigitalisasi”. Ruang siber akan semakin berperan penting sebagai laboratorium demokrasi ke depan.


Read more: Reformasi sampai di sini: Jokowi robohkan warisan demokrasi Indonesia


Pengambilan keputusan oleh politikus elite dapat dilakukan melalui teleconference, dan dibuat lebih terbuka agar publik masyarakat dapat mengakses. Ini tentu saja tergantung kemauan politik.

Masyarakat yang memilih untuk “rebahan” di rumah tetap dapat menggunakan hak suara jika pemilihan umum elektronik (e-pemilu) bisa dilakukan.

Cyberpolitics dapat mengumpulkan opini masyarakat melalui media sosial, misalnya, untuk kemudian disebarluarkan dalam “ruang publik baru” di dunia maya.

Di saat pandemi seperti ini, ketika kita memiliki waktu lebih banyak untuk berkontemplasi di rumah, kita bisa mulai memikirkan evolusi dalam cara-cara kita berdemokrasi.

Di era pandemi, berpartisipasi dalam kampanye digital melawan wabah adalah satu cara berdemokrasi: rakyat terlibat langsung membantu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

Dalam ranah siber yang tidak bisa disentuh, namun sangat terasa, demokrasi tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai panduan rakyat dalam berpolitik.

Marilah sama-sama berdoa kepada Tuhan kita masing-masing (berbeda pendapat adalah salah satu ciri demokrasi) agar ujian ini cepat reda.

Agar tidak ada lagi nyawa manusia yang hilang dan agar rakyat Bumi bisa kembali menggunakan ruang publik untuk berkumpul bersama orang-orang terkasihnya.

Namun, sampai saat itu tiba sebaiknya kita berpolitik dan berdemokrasi dari rumah masing-masing. Toh, tidak ada lagi faktor penghambatnya, kecuali mungkin kuota internet yang minim.


Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now