tag:theconversation.com,2011:/ca/topics/kesehatan-anak-52728/articlesKesehatan anak – The Conversation2023-11-07T05:27:13Ztag:theconversation.com,2011:article/2162712023-11-07T05:27:13Z2023-11-07T05:27:13ZBagaimana cuaca panas terik memperburuk kesehatan mental<p>Komunitas ilmuwan dari <a href="https://www.nasa.gov/image-article/nasa-september-2023-temperature-data-shows-continued-record-warming/">Goddard Institute of Space Studies (GISS) NASA</a> merilis laporan pada 14 September 2023 bahwa musim panas tahun ini menjadi yang terpanas di bumi sejak pencatatan global dimulai pada 1880. </p>
<p>Gabungan suhu rata-rata pada Juni, Juli, dan Agustus mencapai 0,23°C lebih hangat dibandingkan dengan musim panas lainnya dalam sejarah. Selain itu, suhu Bumi 1,2 °C lebih hangat dibandingkan dengan rata-rata musim panas antara 1951 dan 1980.</p>
<p>Cuaca panas 2023 memang terjadi di seluruh belahan dunia. </p>
<p><a href="https://public.wmo.int/en/media/press-release/earth-had-hottest-three-month-period-record-unprecedented-sea-surface">Organisasi Metereologi Dunia (WMO) pada 6 September melaporkan</a> bahwa suhu permukaan laut global yang mencapai tingkat tertinggi selama tiga bulan berturut-turut. </p>
<p>Selain itu, penurunan luasan es laut di Antratika ke tingkat terendah turut menyumbang peningkatan suhu Bumi. </p>
<p>Sejauh ini perubahan iklim bagi tubuh manusia banyak dikaitkan dengan berkurangnya pemenuhan air seperti dehidrasi dan <a href="https://www.cdc.gov/climateandhealth/effects/default.htm">masalah kesehatan fisik lainnya</a>. </p>
<p>Sementara itu, <a href="https://doi.org/10.1016/S2542-5196(23)00104-3">penelitian terbaru</a> menunjukkan bahwa cuaca ekstrem tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tapi juga berdampak signifikan pada kesehatan mental. </p>
<p>Penelitian <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34649848/">lainnya pada 2021</a> menyatakan bahwa negara berpendapatan rendah dan menengah mendapat paparan kesehatan mental yang serius disebabkan oleh perubahan cuaca yang ekstrem. </p>
<p>Sayangnya, aspek ini masih terabaikan, sehingga belum ada penanganan yang tepat untuk mencegah dan menanggulangi dampak negatif yang muncul. </p>
<h2>Pengaruh cuaca panas pada mental</h2>
<p>Perubahan cuaca ekstrem memengaruhi aktivitas keseharian seseorang. Dalam kondisi perubahan suhu, individu melakukan berbagai upaya penyesuaian agar dapat bertahan dalam situasi tersebut. Penyesuaian dilakukan pada aspek fisik dan juga psikologis. Kegagalan penyesuaian dapat menimbulkan berbagai masalah. </p>
<p>Beberapa pengaruh dari paparan cuaca panas yang berkepanjangan pada perubahan kognitif misalnya <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6068666/">perubahan fungsi otak</a> dan <a href="https://doi.org/10.1007/s40279-016-0657-z">kelelahan mental</a>.</p>
<p>Selain itu, cuaca panas yang terjadi siang dan malam juga memengaruhi kualitas tidur seseorang. Penelitian <a href="https://www.cell.com/one-earth/fulltext/S2590-3322(22)00209-3?_returnURL=https%3A%2F%2Flinkinghub.elsevier.com%2Fretrieve%2Fpii%2FS2590332222002093%3Fshowall%3Dtrue">menunjukkan</a> bahwa tingginya suhu menimbulkan masalah tidur seseorang dan menyebabkan insomnia.</p>
<p>Dalam aspek perilaku, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa cuaca panas menimbulkan gejolak emosi seseorang sehingga <a href="https://doi.org/10.1007/s40641-019-00121-2">meningkatkan stres dan agresi</a>. Pada beberapa kasus, kesulitan pengelolaan emosi dan perilaku selama melewati masa suhu tinggi dalam jangka panjang dapat memengaruhi intensi seseorang untuk melakukan <a href="https://doi.org/10.1038/s41558-018-0222-x">tindak bunuh diri</a>. </p>
<p>Anak-anak merupakan kelompok yang juga rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti malnutrisi yang disebabkan oleh <a href="https://concernusa.org/news/climate-change-and-hunger/">kelaparan </a>. Cuaca panas juga mengakibatkan ruang belajar menjadi tidak nyaman dan dapat menurunkan performa <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0360132323006340">kognitif anak</a>. </p>
<h2>Suhu panas di Indonesia</h2>
<p>Sebagai negara tropis yang dilewati oleh garis khatulistiwa, Indonesia menjadi negara yang tidak terhindarkan dari suhu panas yang hampir merata di berbagai daerah. </p>
<p><a href="https://www.bmkg.go.id/press-release/?p=bmkg-fenomena-cuaca-panas-terik-terjadi-beberapa-hari-terakhir-ini-penjelasannya&tag=press-release&lang=ID">Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)</a> menyatakan bahwa pada September lalu suhu di sejumlah wilayah Indonesia mencapai 35,4-38 °C. </p>
<p>Salah satu daerah dengan suhu tertinggi adalah Kertajati Jawa Barat dengan suhu mencapai 38,6 °C. Panas terik itu terjadi karena minimnya tingkat pertumbuhan awan sehingga penyinaran matahari pada siang hari menjadi sangat panas. </p>
<p>Selain itu, kecepatan angin, tutupan awan, dan kelembaban udara yang rendah juga berkontribusi pada meningkatnya suhu di Indonesia. Dengan demikian, dampak suhu panas bagi kesehatan mental bagi penduduk Indonesia kemungkinan juga besar. </p>
<h2>Efek mental masih kurang dipedulikan</h2>
<p>Permasalahan kesehatan mental yang ditimbulkan dari efek cuaca panas belum banyak menjadi perhatian masyarakat. </p>
<p>Kesadaran pentingnya kesehatan mental yang masih rendah mengakibatkan masyarakat cenderung abai pada perubahan-perubahan psikologis yang dialami. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. </p>
<p><em>Pertama</em>, stigma masyarakat tentang layanan kesehatan mental. Masyarakat Indonesia masih memiliki anggapan bahwa seseorang yang memiliki masalah kesehatan mental merupakan aib. Apa yang dialami tidak patut untuk diketahui oleh orang lain termasuk konselor atau terapis.</p>
<p><em>Kedua</em>, kurangnya kesadaran pentingnya kesehatan mental. Kesehatan mental dianggap sebagai masalah yang akan dengan sendirinya berkurang tanpa melalui bantuan atau metode khusus. </p>
<p>Ketika seseorang mengeluh tentang masalah psikologis yang dialami, respons yang muncul adalah meminta untuk sabar dan lebih dekat dengan kegiatan keagamaan. Meskipun faktanya, permasalahan psikologis dapat dirasakan oleh siapapun dengan latar belakang apapun.</p>
<p><em>Ketiga</em>, layanan kesehatan mental yang terbatas dan belum inklusif. Ketersediaan layanan kesehatan mental juga memengaruhi seseorang untuk mengunjungi tenaga profesional ketika mengalami permasalahan psikologis.</p>
<p>Khususnya di era digital, pemanfaatan teknologi mestinya mampu mendekatkan layanan kesehatan mental dengan masyarakat dan lebih inklusif.</p>
<h2>Menjaga kesehatan mental selama cuaca panas</h2>
<p>Selain menjaga kebugaran fisik selama menghadapi cuaca panas, masyarakat juga perlu melakukan berbagai upaya untuk menjaga kesehatan mental. Tetap melakukan aktivitas di dalam ruangan seperti meditasi dan rileksasi menggunakan musik dapat membantu seseorang untuk meredam stres yang disebabkan oleh suhu yang tinggi. </p>
<p>Apabila upaya tersebut tidak menghasilkan perubahan signifikan, kita dapat menggunakan layanan profesional untuk mendapatkan penanganan yang lebih efektif. Pelayanan kesehatan mental di Puskesmas atau unit layanan lain dapat digunakan sebagai alternatif untuk memperoleh penanganan yang tepat.</p>
<p>Dalam proses meningkatkan resiliensi selama menghadapi gelombang cuaca panas, peran komunitas untuk saling memberikan dukungan dan pendampingan sesama anggota sangat penting. Bagaimana komunitas merespon suatu peristiwa dapat memengaruhi seluruh anggota di dalamnya.</p>
<p>Komunitas yang mampu memberikan penguatan positif untuk mampu bertahan pada situasi sulit, seperti cuaca panas, dapat membantu meningkatkan kemampuan seseorang menyesuaikan diri. </p>
<p>Peran komunitas terkecil seperti keluarga, karang taruna, pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PKK), dan komunitas-komunitas lainnya dapat dimaksimalkan untuk mengelola kesehatan mental individu di masyarakat.</p>
<p>Petugas kesehatan dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak pada bidang kesehatan mental dapat bersinergi dengan komunitas untuk dapat menyelenggarakan program penguatan kesehatan mental. Sehingga masyarakat dapat lebih tangguh dan adaptif selama fase cuaca panas yang panjang. </p>
<p>Walau <a href="https://www.bmkg.go.id/iklim/prakiraan-musim.bmkg">musim hujan diperkirakan mulai datang bulan ini</a>, ke depan panas terik akan makin sering terjadi akibat dari perubahan iklim.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/216271/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Siti Aminah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Permasalahan kesehatan mental yang ditimbulkan dari efek cuaca panas belum banyak menjadi perhatian masyarakat.Siti Aminah, Lecturer at Department of Educational Psychology and Guidance, Faculty of Education and Psychology, Universitas Negeri YogyakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2132292023-09-22T09:59:19Z2023-09-22T09:59:19ZMengapa bayi menangis ketika baru lahir dari ibunya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/547362/original/file-20230816-21-5r1861.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=2%2C0%2C995%2C664&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/newborn-baby-78559918">Shutterstock</a></span></figcaption></figure><blockquote>
<p>Mengapa bayi selalu menangis ketika dilahirkan oleh ibunya? - Nam, 12 tahun, Hanoi, Vietnam</p>
</blockquote>
<p>Ketika bayi lahir, mereka semua tampak menangis. Kita sering melihat hal ini <a href="https://www.goldderby.com/gallery/best-tv-births-ranked-worst-to-best/tvs-most-memorable-births-little-house-ont-the-prarie/">di TV</a>.</p>
<p>Namun, tidak semua bayi yang baru lahir langsung menangis. Inilah yang terjadi.</p>
<h2>Apa yang terjadi saat lahir?</h2>
<p>Ketika seorang bayi lahir, mereka berpindah dari tubuh ibu mereka yang hangat, dan keluar dari dunia mereka yang gelap dan berair ke dunia yang lebih sejuk, lebih kering, dan lebih terang.</p>
<p>Proses ini sedikit meremas. Saat bayi keluar dari ibunya, udara yang lebih dingin menyentuh kulitnya yang basah. </p>
<p>Udara yang lebih dingin membuat mereka terkesiap. Mereka juga terkesiap ketika bidan atau dokter menyentuh tubuh mereka untuk membantu mereka datang ke dunia.</p>
<p>Hembusan napas tersebut adalah napas pertama mereka, yang biasanya disertai dengan tangisan. Dan ketika hal ini terjadi, napas atau tangisan tersebut memicu <a href="https://www.youtube.com/watch?v=zTXmaVgobNw">perubahan yang luar biasa</a> tentang bagaimana bayi mendapatkan oksigen dan memindahkannya ke seluruh tubuh mereka.</p>
<h2>Perubahan apa yang terjadi?</h2>
<p>Di dalam rahim, bayi bergantung pada ibunya untuk mendapatkan oksigen - melalui <a href="https://theconversation.com/explainer-what-is-placenta-28851">plasenta</a> dan <a href="https://theconversation.com/ive-always-wondered-whats-behind-the-belly-button-84598">tali pusar</a>.</p>
<p>Plasenta terlihat seperti panekuk dan menyaring darah yang kaya oksigen dari ibu. Tali pusar kemudian memompanya ke bayi yang belum lahir.</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/543140/original/file-20230817-17-84peqv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Bayi yang belum lahir dengan tali pusar dan plasenta" src="https://images.theconversation.com/files/543140/original/file-20230817-17-84peqv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/543140/original/file-20230817-17-84peqv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/543140/original/file-20230817-17-84peqv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/543140/original/file-20230817-17-84peqv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/543140/original/file-20230817-17-84peqv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/543140/original/file-20230817-17-84peqv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/543140/original/file-20230817-17-84peqv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Plasenta, di sebelah kiri, dan tali pusar bekerja sama untuk mengirimkan oksigen dari darah ibu ke bayi yang belum lahir.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-illustration/3d-rendered-medically-accurate-illustration-fetus-727111807">Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Namun, begitu bayi lahir, napas atau tangisan pertama mereka memicu berbagai macam perubahan pada cara jantung mereka menggerakkan darah ke seluruh tubuh mereka. Jadi, alih-alih menghirup cairan dari dalam rahim, mereka sekarang dapat menghirup udara dan memasukkan oksigen ke dalam paru-paru mereka seperti yang kita lakukan. </p>
<p>Proses kelahiran juga mengeluarkan air dari paru-paru bayi, sehingga memungkinkan mereka untuk bekerja dengan baik.</p>
<p>Tangisan bayi yang baru lahir adalah suara yang sangat <a href="https://www.romper.com/p/why-do-babies-cry-at-birth-the-answer-will-probably-surprise-you-18746386">membahagiakan</a> orang tua dan petugas kesehatan . Hal ini karena biasanya berarti bayi dalam keadaan sehat dan tidak memerlukan bantuan tambahan untuk bernapas.</p>
<p>Namun tidak semua bayi yang baru lahir menangis. Dan itu tidak selalu merupakan sesuatu yang perlu dikhawatirkan.</p>
<h2>Mengapa tidak semua bayi menangis?</h2>
<p>Kadang-kadang peralihan ini untuk memindahkan oksigen ke seluruh tubuh seperti kita <a href="https://www.hopkinsmedicine.org/health/conditions-and-diseases/persistent-pulmonary-hypertension#:%7E:text=Dalam%20persistent%20pulmonary%20hypertension%2C%20juga,%20sulit%20lahir%2C%20atau%20lahir%20asfiksia.">tidak terjadi dengan lancar</a>.</p>
<p>Mungkin ada masalah dengan jantung bayi, atau mungkin ada kelahiran yang sulit. Misalnya, bayi mungkin sangat kekurangan oksigen di dalam rahim dan membutuhkan bantuan untuk mulai bernapas saat dilahirkan. </p>
<p>Kadang-kadang ada penundaan pada bayi yang menangis. </p>
<p>Bayi yang lahir melalui operasi caesar - ketika dokter mengoperasi ibu untuk mengangkat bayi keluar dari rahimnya - mungkin lebih <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s00404-019-05208-7">lambat</a> untuk bernapas dan menangis. Hal ini karena mereka tidak memiliki cairan yang diperas dari paru-paru seperti yang terjadi pada bayi yang dilahirkan melalui vagina. </p>
<p>Kadang-kadang bayi yang baru lahir tidak menangis sama sekali.</p>
<p>Bayi yang lahir di dalam air (dikenal sebagai <a href="https://www.bellybelly.com.au/birth/doulas/preparing-for-a-water-birth/"><em>waterbirth</em></a>) mungkin memiliki banyak air hangat di sekitar mereka dan bahkan tidak menyadari bahwa mereka telah dilahirkan. Hal ini karena mereka tidak merasakan udara dingin saat mereka datang ke dunia; mereka sering kali berada dalam dekapan ibunya di dalam air. Jadi, mereka cenderung hanya <a href="https://www.sarawickham.com/questions-and-answers/whats-an-aqua-apgar/">bernapas dengan tenang</a>, dan berubah menjadi merah muda (menunjukkan bahwa mereka mendapatkan oksigen yang cukup), tanpa menangis.</p>
<hr>
<p><em>Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/213229/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Hannah Dahlen menerima dana dari NHMRC dan ARC. Beliau berafiliasi dengan The Australian College of Midwives</span></em></p>Menangis memicu perubahan dalam cara bayi yang baru lahir mendapatkan oksigen. Tetapi tidak semua bayi baru lahir menangis, dan itu tidak selalu menjadi masalah.Hannah Dahlen, Professor of Midwifery, Associate Dean Research and HDR, Midwifery Discipline Leader, Western Sydney UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2069502023-09-14T07:37:14Z2023-09-14T07:37:14ZEkonomi Indonesia terbesar di ASEAN, tapi 1 dari 5 anak mengalami ‘stunting’, mengapa?<p>Indonesia telah menjadi negara dengan <a href="https://www.uobgroup.com/asean-insights/indonesia-fact-sheet.page">ekonomi terbesar di Asia Tenggara</a> dan <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/11/02/daftar-20-negara-ekonomi-terkuat-di-dunia-2022-indonesia-masuk-daftar#:%7E:text=Secara%20global%2C%20Indonesia%20masuk%20dalam%2020%20negara%20dengan%20ekonomi%20terbesar.&text=Sementara%20Indonesia%20berada%20di%20posisi,diapit%20Spanyol%20dan%20Arab%20Saudi.">terbesar ke-17</a> di dunia pada 2022. Meski demikian, satu dari lima anak di bawah dua tahun di negeri ini mengalami kurang gizi kronis. </p>
<p>Angka <em>stunting</em> (anak dengan ukuran tinggi kurang dari standar) di Indonesia <a href="https://www.badankebijakan.kemkes.go.id/angka-stunting-tahun-2022-turun-menjadi-216-persen/">mencapai 21,6% pada 2022</a>, sebuah angka <a href="https://kidb.adb.org/explore?filter%5Bindicator_id%5D=3020005&filter%5Beconomy_code%5D=AFG%2CARM%2CAUS%2CAZE%2CBAN%2CBHU%2CBRU%2CCAM%2CCOO%2CFIJ%2CFSM%2CGEO%2CHKG%2CIND%2CINO%2CJPN%2CKAZ%2CKGZ%2CKIR%2CKOR%2CLAO%2CMAL%2CMLD%2CMON%2CMYA%2CNAU%2CNEP%2CNIU%2CNZL%2CPAK%2CPHI%2CPLW%2CPNG%2CPRC%2CRMI%2CSAM%2CSIN%2CSOL%2CSRI%2CTAJ%2CTAP%2CTHA%2CTIM%2CTKM%2CTON%2CTUV%2CUZB%2CVAN%2CVIE&filter%5Byear%5D=2000%2C2001%2C2002%2C2003%2C2004%2C2005%2C2006%2C2007%2C2008%2C2009%2C2010%2C2011%2C2012%2C2013%2C2014%2C2015%2C2016%2C2017%2C2018%2C2019%2C2020%2C2021%2C2022%2C2023&grouping=indicators&showRegions=1">tertinggi kedua di ASEAN setelah Timor Leste</a>. Masalah ini masih menjadi masalah kesehatan utama yang dihadapi Indonesia. </p>
<p><em>Stunting</em> selama masa kanak-kanak akan berdampak terhadap kesehatan seumur hidup. </p>
<p>UNICEF <a href="http://kesmas.ulm.ac.id/id/wp-content/uploads/2019/02/BUKU-REFERENSI-STUDY-GUIDE-STUNTING_2018.pdf">menyatakan Indonesia</a> adalah salah satu negara berkembang dengan prevalensi <em>stunting</em> yang tinggi karena masuk dalam lima besar kasus <em>stunting</em> dari 88 negara di dunia.</p>
<p>Meski terjadi penurunan kejadian <em>stunting</em> di Indonesia selama dekade terakhir, tapi angka ini masih belum sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pada 2024, yaitu masing-masing di bawah 20% dan <a href="https://paudpedia.kemdikbud.go.id/kabar-paud/berita/19-kl-sepakat-ketahanan-pangan-dan-percepatan-penurunan-stunting-tetap-menjadi-prioritas-rpjm-hingga-tahun-2024?do=MTM5MC01Mzc3NTcwYQ==&ix=MTEtYmJkNjQ3YzA=">14%</a>.</p>
<p>Meski pemerintah telah melakukan beberapa intervensi, prevalensi <em>stunting</em> di Indonesia yang masih tinggi menunjukkan bahwa penanganannya masih berjalan lambat. Kita perlu mengurai penyebabnya yang begitu banyak dan kompleks dari level mikro hingga makro.</p>
<h2>Stunting dan efek domino</h2>
<p><em>Stunting</em> secara luas didefinisikan sebagai pertumbuhan yang terbatas. </p>
<p>Maksudnya, status gizi balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umurnya. Pengukuran tingkat <em>stunting</em> dilakukan menggunakan <a href="https://www.who.int/data/nutrition/nlis/info/malnutrition-in-children">standar pertumbuhan anak dari WHO</a>.</p>
<p><em>Stunting</em> merupakan penanda dari kekurangan gizi kronis dan dampaknya panjang. Dampak negatif <em>stunting</em> meliputi peningkatan cacat dan angka kematian bayi, serta penurunan kinerja dan perkembangan kognitif. </p>
<p>Selain itu, terjadi peningkatan risiko infeksi, perkembangan psikomotor yang buruk, dan <a href="https://www.researchgate.net/publication/343022358_Social-cultural_aspect_of_stunting_A_systematic_review">keterlambatan perkembangan anak</a></p>
<p>Dalam jangka panjang, anak dengan <em>stunting</em> dapat memiliki IQ rendah yang mengakibatkan penurunan kinerja di sekolah. Efek dominonya berlanjut: menurunkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan yang layak. Pada akhirnya, <em>stunting</em> menurunkan kualitas hidup anak saat dewasa. </p>
<p>Selain itu, anak dengan <em>stunting</em> juga berisiko menderita <a href="https://www.cochranelibrary.com/cdsr/doi/10.1002/14651858.CD011695.pub2/full">obesitas</a>. Dampak lanjutannya adalah dapat meningkatkan risiko berbagai <a href="https://prosiding.respati.ac.id/index.php/PIC/article/view/114/109">penyakit tidak menular</a> seperti diabetes, hipertensi, dan kanker suatu hari nanti.</p>
<h2>Banyak sekali penyebabnya</h2>
<p><em>Stunting</em> umumnya disebabkan oleh penyebab langsung dan tidak langsung yang terjadi dalam jangka waktu lama. Penyebab langsung <a href="https://stikes-nhm.e-journal.id/JOB/article/view/531">yaitu</a> asupan makanan yang tidak memadai (energi, makronutrien, dan mikronutrien) dalam jangka waktu lama, kelahiran prematur, dan infeksi. </p>
<p>Penyebab tidak langsung <a href="https://oamjms.eu/index.php/mjms/article/download/4659/5262/34102#:%7E:text=Stunting%20can%20be%20caused%20by,poor%20health%20services%20%5B4%5D.">meliputi</a> usia ibu saat hamil, ibu kurang gizi, kondisi sosial ekonomi budaya, pendidikan, sistem pangan, perawatan kesehatan, infrastruktur dan layanan air dan sanitasi. </p>
<p>Berat badan dan khususnya panjang saat lahir adalah indikator yang baik dari status gizi anak pada masa depan. Bayi yang terlahir dengan berat rendah (<2,5 kg) berisiko terkena <em>stunting</em> 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan bayi dengan berat lahir normal. </p>
<p>Berat saat lahir yang rendah mengindikasikan bayi tidak tumbuh dengan kecepatan normal di dalam rahim selama kehamilan.</p>
<p>Tinggi dan berat badan ibu juga <a href="https://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/prosidingkesmas/article/download/4064/2024">berkorelasi kuat pada kasus stunting</a>. Hal ini berkaitan dengan malnutrisi ibu yang pada akhirnya memengaruhi perkembangan bayi. Walaupun demikian, hal ini tentunya dapat dicegah dengan pemberian asupan nutrisi yang baik pada ibu dan anak. </p>
<p>Menurut WHO, praktik menyusui yang tidak optimal, termasuk menyusui yang tertunda, pemberian ASI yang tidak eksklusif, dan penghentian menyusui dini berperan signifikan terhadap terjadinya kasus <em>stunting</em>. </p>
<p>Pemberian makanan pendamping ASI yang prematur atau sebelumna waktunya juga memiliki efek merugikan pada bayi karena lebih berisiko terjangkit <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0939475312001512">penyakit menular (https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/11053507/)</a></p>
<p>Selain itu, pemberian makanan pada bayi sebelum 6 bulan ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap perkembangan panjang atau berat badan anak. </p>
<p>Faktor lainnya yang mempengaruhi <em>stunting</em> pada anak adalah <a href="https://www.cochranelibrary.com/cdsr/doi/10.1002/14651858.CD011695.pub2/full">infeksi diare berulang</a> . </p>
<p>Diare akut (lebih dari tiga kali sehari) dalam empat minggu dikaitkan dengan risiko mengalami <em>stunting</em> yang lebih tinggi. Anak kecil lebih rentan terhadap diare dan infeksi cacing ketika rumah memiliki fasilitas kebersihan yang buruk atau minum dari air yang tidak layak konsumsi. </p>
<p>Infeksi ini menyebabkan anak kehilangan nafsu makan, sehingga mengkonsumsi makanan lebih sedikit dari yang dibutuhkan. </p>
<p>Selain itu, diare dapat mengurangi penyerapan nutrisi di usus karena makanan tidak sempat diserap tapi segera keluar dari tubuh. Infeksi juga dapat menyebabkan demam sehingga tubuh membakar lebih banyak makanan dan mengerahkan energi untuk melawan infeksi, alih-alih menggunakannya untuk perkembangan fisik. </p>
<p>Oleh karena itu, diare dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan bila tidak diimbangi dengan makanan berkualitas dan tidak segera diobati. </p>
<h2>Faktor tidak langsung</h2>
<p>Keluarga yang tinggal di daerah <a href="http://ejournal2.bkpk.kemkes.go.id/index.php/bpk/article/view/1349">pedesaan lebih berisiko mengalami <em>stunting</em></a> . Penyebabnya, mereka kekurangan akses layanan kesehatan dan infrastruktur terkait, seperti jalan raya, yang mempermudah akses ke dokter, klinik, dan sumber pangan bergizi tinggi. </p>
<p>Sarana prasarana kesehatan fisik seperti dokter, inkubator yang berfungsi, fasilitas laboratorium, dan poliklinik rawat jalan, juga lebih terbatas di daerah pedesaan. Padahal, fasilitas ini mendukung diagnosis, penyembuhan, dan monitoring perkembangan kesehatan ibu dan anak.</p>
<p>Hubungan antara lama pendidikan ibu dan risiko <em>stunting</em> juga didukung oleh <a href="https://stikes-nhm.e-journal.id/JOB/article/view/531">berbagai penelitian</a>. Pengasuh yang berpendidikan lebih tinggi biasanya memiliki pengetahuan gizi dan cenderung lebih memberikan vitamin A, garam beryodium, imunisasi lengkap, akses sanitasi yang lebih baik untuk anak. </p>
<p>Kesehatan mental pada ibu juga dapat menjadikan anak terabaikan gizinya, sehingga berkontribusi pada munculnya kasus <em>stunting</em>. </p>
<p>Selain itu, pendidikan juga berkontribusi pada ekonomi, yang juga berkaitan dengan <em>stunting</em>. Anak-anak dari rumah tangga miskin juga lebih berisiko mengalami <em>stunting</em> karena keterbatasan konsumsi makanan bergizi berkualitas tinggi dan akses layanan kesehatan.</p>
<p>Program dan pengamatan gizi di desa pada 1980-an juga <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0260265">diakui Bank Dunia</a> berperan penting dalam menurunkan prevalensi <em>stunting</em> di Indonesia. Namun, program ini mengalami kemunduran dan kehilangan perhatian dari pemerintah sejak 2014. </p>
<p>Kemunduran ini terkait dengan desentralisasi kekuasaan yang juga mengurangi efektivitas program peningkatan status gizi anak. Karena manajemen yang <a href="https://documents1.worldbank.org/curated/en/913341532704260864/pdf/128954-REVISED-WB-Nutrition-Book-Aiming-High-11-Sep-2018.pdf">lemah dan tata kelola yang buruk</a> dan tidak merata di setiap daerah.</p>
<p>Kemampuan mengatasi beragam penyebab di atas, yang begitu banyak, baik melalui kebijakan, anggaran, sumber daya maupun implementasi akan menentukan seberapa cepat Indonesia mampu keluar dari masalah rumit <em>stunting</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/206950/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Tantri Liris Nareswari tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pengasuh yang berpendidikan lebih tinggi biasanya memiliki pengetahuan gizi dan cenderung lebih memberikan vitamin A, garam beryodium, imunisasi lengkap, akses sanitasi yang lebih baik untuk anak.Tantri Liris Nareswari, Lecturer, Institut Teknologi SumateraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2084612023-08-03T08:53:58Z2023-08-03T08:53:58ZTiga faktor utama penyebab industri susu formula leluasa jualan produk lewat tenaga kesehatan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/540945/original/file-20230803-17-rfc6b9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Bayi yang baru lahir merupakan "sasaran" perusahaan susu formula.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/photo-of-baby-laying-on-fleece-blanket-3341189/">Pexels/Natalie Bond</a></span></figcaption></figure><p>Dalam banyak <a href="https://www.kompas.id/baca/ilmiah-populer/2022/02/23/pemasaran-susu-formula-tidak-etis-melibatkan-tenaga-kesehatan">laporan</a> <a href="https://www.kompas.id/baca/investigasi/2022/09/27/hari-hari-yang-menentukan">beberapa tahun terakhir</a>, pemberian susu formula bayi jamak <a href="https://media.neliti.com/media/publications/103546-ID-tingkat-kepatuhan-pelaksanaan-pp-no-33-t.pdf">dilakukan oleh tenaga kesehatan</a>. </p>
<p>Umumnya, susu formula diberikan dalam bentuk <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/public-health-nutrition/article/violations-of-the-international-code-of-marketing-of-breastmilk-substitutes-indonesia-context/18D7DB0EF1FC86C3E105372247118EE6">sampel</a> atau pun paket setelah ibu melahirkan bersama dengan perlengkapan persalinan lain, seperti gurita ibu, wadah plasenta atau ari-ari, dan pembalut perempuan. </p>
<p>Persoalannya, ‘inisiatif’ memberi susu formula bayi ini sebetulnya telah dilarang oleh pemerintah dengan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/5245/pp-no-33-tahun-2012">Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012</a> tentang pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif. </p>
<p>Namun demikian, ancaman sanksi berupa teguran lisan hingga pencabutan izin praktik tenaga kesehatan pun tidak mampu membendung praktik buruk ini untuk tetap tumbuh subur bak cendawan pada musim hujan.</p>
<h2>Lebih banyak mudarat daripada manfaat</h2>
<p>Tidak disanksikan lagi bahwa pemberian susu formula pada bayi lebih banyak membawa <a href="https://www.bmj.com/content/375/bmj.n2202.full">keburukan ketimbang sebaliknya</a>, baik secara kesehatan maupun ekonomi. </p>
<p>Bayi menjadi <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5013784/">lebih rentan</a> terhadap masalah pencernaan dan perkembangan kecerdasannya dapat terhambat. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli susu tidaklah sedikit. Rata-rata keluarga dengan pendapatan bulanan sekitar Rp 2 juta harus menyisihkan sekitar 10% <a href="https://www.kompas.id/baca/investigasi/2022/09/28/belanja-susu-formula-bebani-masyarakat-miskin">untuk membeli susu formula</a>. </p>
<p>Namun, mengapa distribusi susu formula oleh banyak tenaga kesehatan tetap tinggi? Padahal seharusnya para tenaga kesehatan profesional ini berperan sebagai penerang sekaligus fasilitator utama kesehatan.</p>
<p>Masalah ini terjadi paling tidak karena tiga masalah di level kesadaran dan pengetahuan, pemasaran agresif, dan implementasi regulasi. </p>
<p><em>Pertama</em>, yang membuat praktik ini langgeng adalah rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya ASI bagi bayi. </p>
<p>Menurut <a href="https://www.who.int/indonesia/news/detail/03-08-2020-pekan-menyusui-dunia-unicef-dan-who-menyerukan-pemerintah-dan-pemangku-kepentingan-agar-mendukung-semua-ibu-menyusui-di-indonesia-selama-covid-19">Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)</a>, di Indonesia, bayi di bawah usia 6 bulan yang mendapat ASI eksklusif hanya 50%, dan anak usia 23 bulan yang masih diberi ASI hanya 5%. Artinya, secara umum hanya separuh anak Indonesia yang mendapat gizi ideal dalam dua tahun pertama kehidupannya. </p>
<p>Selain itu, pada 2019, cakupan ASI eksklusif di Indonesia tercatat <a href="https://www.kemkes.go.id/downloads/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-2019.pdf">hanya 67,74%</a>. </p>
<p>Angka tersebut menunjukkan bahwa persentase pemberian ASI eksklusif di Indonesia perlu ditingkatkan untuk memenuhi <a href="https://www.globalbreastfeedingcollective.org/media/1921/file#:%7E:text=BREASTFEEDING%20RATES,-Globally%2C%20the%20rates&text=The%20global%20target%20for%202030,80%25%20and%2060%25%20respectively.">target global 70% pada 2030</a></p>
<p>Melihat rendahnya angka pencapaian di atas, tentu saja kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pada masyarakat mengingat di Indonesia <a href="https://www.kompas.id/baca/investigasi/2022/09/28/konselor-asi-sulit-diakses-warga">masyarakat cukup kesulitan</a> untuk mendapatkan layanan konseling menyusui.</p>
<p>Hal ini diduga berkontribusi pada rendahnya cakupan ASI eksklusif. Selain itu, penyematan istilah-istilah teknis seperti DHA (<em>docosahexaenoc acid</em>), EPA (<em>eicosapentaenoic acid</em>), ARA (<em>arachidonic acid</em>) pada produk susu, terdengar ‘akademis’ dan ‘cerdas’.</p>
<p>Walau masyarakat umum tidak tahu kepanjangan dan kegunaan dari istilah di atas, tapi istilah-istilah ini merupakan magnet tersendiri. </p>
<p>Masyarakat pikir dengan memberi susu formula bayi yang mengandung zat-zat di atas dapat membantu perkembangan anaknya. Tidak jarang muncul anggapan bahwa susu formula bayi lebih bisa mencukupi kebutuhan gizi dibandingkan dengan ASI. </p>
<p><em>Kedua</em>, penetrasi agresif dari industri susu sebagai strategi pemasaran susu formula. </p>
<p>Harus diakui bahwa industri susu formula memburu ‘celah’ regulasi. Mereka bisa masuk tanpa harus berhadapan dengan pemerintah. Sebagai contoh, <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/117331/permenkes-no-15-tahun-2014">Peraturan Menteri Kesehatan No. 15 Tahun 2014</a> menyatakan bahwa produsen atau distributor dilarang melakukan kegiatan yang dapat menghambat program pemberian ASI eksklusif. </p>
<p>Salah satunya adalah penggunaan tenaga kesehatan untuk memberikan informasi tentang susu formula bayi kepada masyarakat. </p>
<p>Selain itu, peraturan itu menyatakan tenaga kesehatan tidak boleh menerima hadiah atau bantuan dari mereka, tapi boleh menerima bantuan untuk tujuan pelatihan atau kegiatan lain sejenis. Di sinilah ‘celah’ tercipta. Tenaga kesehatan kerap diundang dalam kegiatan berbalut ‘peningkatan kapasitas’ (<em>capacity building</em>), lengkap dengan fasilitas menginap di hotel yang disponsori oleh industri susu formula. </p>
<p>Tentu saja pada satu sisi hal ini terjadi karena peraturan memang tidak secara detail meregulasi aktivitas-aktivitas lain yang disamarkan sebagai promosi. Di atas kertas, tidak ada peraturan yang mereka langgar. Mereka ‘hanya’ memfasilitasi para tenaga kesehatan untuk seminar atau pelatihan. </p>
<p>Sedangkan dari sisi tenaga kesehatan, tawaran untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dapat diambil karena menganggap tak ada aturan yang dilanggar di sana. </p>
<p>Faktor <em>ketiga</em>, implementasi dari peraturan yang belum maksimal membuat praktik ini semakin menjamur. </p>
<p>Sanksi tegas berupa dicabutnya izin praktik tenaga akibat hal ini belum pernah terjadi. Selain itu, para pelanggar mudah berkelit dengan alasan bahwa susu itu diperuntukkan bagi bayi yang alergi atau untuk ibu yang ASI-nya tidak lancar. </p>
<p>Hal ini sebagaimana tertuang pada peraturan yang memperbolehkan susu formula bagi bayi dengan indikasi medis. Kalau sudah begitu, apakah masyarakat umum dapat membuktikan? Bukankah penilaian ‘indikasi medis’ terhadap pasien adalah ranah tenaga kesehatan? Setahu saya belum pernah ada sidang kasus tenaga kesehatan yang diduga menerima “hadiah pelatihan” dari perusahaan susu formula.</p>
<h2>Lalu apa langkahnya?</h2>
<p>Langkah penting yang bisa diambil dalam meminimalkan penggunaan susu formula bayi adalah edukasi menyusui. Kesadaran ini harus didorong sejak sebelum hamil sehingga efektif dalam membantu mempersiapkan ibu dan mempromosikan inisiasi menyusui setelah melahirkan. </p>
<p>Beberapa <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0266613822003278">riset mutakhir</a> menunjukkan bahwa edukasi menyusui dapat mendorong pemberian ASI eksklusif pada bayi. </p>
<p>WHO pun telah merekomendasikan <a href="https://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/program-pranatal-untuk-keberhasilan-menyusui">tujuh kontak edukasi</a> menyusui selama hamil dan setelah melahirkan. Upaya edukasi ini adalah upaya termudah, bukan untuk menjegal bisnis industri susu formula, tapi untuk meningkatkan mutu kesehatan generasi bangsa selanjutnya. </p>
<p>Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan kemauan dan kesungguhan untuk menjalankan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/5245/pp-no-33-tahun-2012">peraturan</a>, termasuk mengawasi pemasaran oleh perusahaan susu formula.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/208461/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ririn Wulandari merupakan pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Bandar Lampung.
</span></em></p>Sanksi tegas berupa dicabutnya izin praktik tenaga akibat hadiah pelatihan dari perusahaan belum pernah terjadi. Mereka berkelit bahwa susu itu untuk ibu yang ASI-nya tidak lancar.Ririn Wulandari, PhD Student at School of Healthcare, University of LeedsLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1954482022-12-01T04:33:47Z2022-12-01T04:33:47ZKenapa pelibatan laki-laki dalam mencegah penularan HIV dari ibu ke anak begitu penting?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/498402/original/file-20221201-14-qla30.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Petugas tenaga kesehatan melakukan screening dengan tes cepat HIV/AIDS kepada warga di Gasibu, Bandung, 20 November 2022. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1668932130&getcod=dom">ANTARA FOTO/Novrian Arbi/nz </a></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini untuk memperingati Hari AIDS Sedunia pada 1 Desember.</em></p>
<p>Pertumbuhan HIV di Indonesia merupakan salah satu yang tercepat di dunia, dengan <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33226314/">peningkatan kematian akibat AIDS naik 60% </a> dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun: dari 24.000 pada 2010 ke 38.000 pada 2018. </p>
<p>Peningkatan kasus HIV tidak hanya ditemukan pada <a href="https://www.unaids.org/en/topic/key-populations">kelompok berisiko</a> seperti lelaki seks dengan lelaki, pekerja seks, dan pengguna jarum suntik. <a href="https://www.kemkes.go.id/downloads/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin%202020%20HIV.pdf">Hampir separuhnya (46%)</a> justru ditemukan pada kelompok tidak berisiko, termasuk ibu rumah tangga.</p>
<p>Peningkatan penularan HIV pada ibu rumah tangga memperbesar peluang penularan HIV <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33226314/">menyebar pada penduduk pada umumnya</a>. Penularan HIV bisa terjadi <a href="http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/43728/1/9789241596015_eng.pdf">dari ibu ke anak</a> saat masa kehamilan, melahirkan, dan menyusui. </p>
<p>Salah satu masalahnya adalah ibu dengan HIV di Indonesia cenderung <a href="https://theconversation.com/riset-ungkap-bagaimana-para-perempuan-indonesia-yang-hidup-dengan-hiv-aids-berjuang-melawan-stigma-128115">terlambat mengetahui status HIV-nya</a>. Bahkan, sebagian dari mereka baru mengetahui status HV-nya ketika suaminya sudah sakit keras bahkan meninggal karena AIDS.</p>
<p>Lalu, bagaimana melibatkan pasangan (suami) dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) ketika deteksi HIV pada ibu dan pasangannya seringkali terlambat? </p>
<p>Studi tentang keterlibatan pasangan dalam PPIA yang telah dilakukan di Afrika menunjukkan keterlibatan pasangan berdampak positif terhadap penurunan penularan HIV dari ibu ke anak. Pelibatan ini juga <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6550447/">meningkatkan kesehatan ibu</a> dengan HIV secara fisik maupun mental saat masa kehamilan, melahirkan dan menyusui. </p>
<h2>Mengapa pencegahan gagal?</h2>
<p>Meski Indonesia telah melakukan upaya PPIA sejak hampir dua dekade yang lalu, <a href="https://data.unicef.org/topic/hivaids/emtct/">cakupan pelayanannya cenderung stagnan</a> dengan semakin banyak penularan HIV dari ibu ke anak.</p>
<p>Pelayanan PPIA yang terdiri dari pemeriksaan HIV, pengobatan antiretroviral (ARV) untuk menekan <em>viral load</em>, konsultasi terkait metode melahirkan dan menyusui yang aman bagi ibu dan anak, <a href="https://siha.kemkes.go.id/portal/files_upload/Pedoman_Manajemen_PPIApdf.pdf">telah terintegrasi</a> dengan pelayanan kesehatan ibu dan anak sejak 2012. </p>
<p>Integrasi pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak diharapkan dapat meningkatkan akses ibu pada pelayanan HIV. Upaya ini juga dapat menghindari stigma karena setiap ibu hamil yang mengakses pelayanan prenatal akan mendapatkan pemeriksaan HIV.</p>
<p>Namun demikian, pada 2020, <a href="https://siha.kemkes.go.id/portal/perkembangan-kasus-hiv-aids_pims#">hanya sebagian ibu hamil</a> yang mendapatkan pemeriksaan HIV dan hanya 30% di antaranya yang mendapatkan pengobatan ARV. Kondisi ini masih sangat jauh dari <a href="https://www.unaids.org/sites/default/files/media_asset/2021_start-free-stay-free-aids-free-final-report-on-2020-targets_en.pdf">target yang ditetapkan Program Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk HIV/AIDS (UNAIDS)</a> demi mengeliminasi penularan HIV, dengan cakupan 90% pemeriksaan HIV dan 90% pengobatan ARV. </p>
<p>Banyak <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0198329"></a><a href="https://www.researchgate.net/publication/337058026_Utilization_Factors_of_Prevention_Mother_to_Child_HIV_Transmission_PMTCT_Program_Among_Pregnant_Women">penelitian</a> yang telah berupaya untuk mengeksplorasi penyebab rendahnya akses dan pemanfaatan pelayanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6550447/"></a><a href="https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/70917/9789241503679_eng.pdf">Keterlibatan pasangan</a> menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan ibu untuk memanfaatkan pelayanan PPIA.</p>
<p>Dukungan pasangan, baik secara emosional, finansial dan fisik, mampu meningkatkan akses terhadap pemeriksaan HIV dan kepatuhan pengobatan ARV para ibu.</p>
<p>Negara-negara di benua Afrika, yang memiliki prevalensi HIV yang cukup signifikan, telah banyak mengeksplorasi keterlibatan pasangan dalam PPIA, faktor-faktor yang mendukung atau menghambat keterlibatan pasangan, serta dampak dari keterlibatan dalam membantu mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. </p>
<p>Di Indonesia, keterlibatan pasangan belum diupayakan secara mendalam dan umumnya hanya menjadi salah satu dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi akses dan pemanfaatan pelayanan PPIA.</p>
<h2>Tantangan dan manfaat melibatkan pasangan</h2>
<p>Pelayanan PPIA yang umumnya diberikan pada ibu hamil merupakan bagian dari kesehatan ibu dan anak yang kerap dipandang sebagai urusan perempuan semata. </p>
<p>Padahal, budaya patriarki sering menempatkan pengambilan keputusan di tangan laki-laki, termasuk terkait akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh perempuan. </p>
<p>Studi di Afrika menunjukkan keterlibatan pasangan dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dapat menurunkan penularan tersebut. Pelibatan ini juga <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6550447/">bermanfaat positif bagi kesehatan ibu</a> dengan HIV, baik secara fisik maupun mental dari masa kehamilan hingga menyusui. </p>
<p><a href="https://reproductive-health-journal.biomedcentral.com/articles/10.1186/1742-4755-7-12"></a><a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29104275/">Keterlibatan pasangan</a> itu bentuknya mendukung ibu dalam mengakses pelayanan kesehatan berupa dukungan emosional. Misalnya, mengingatkan kapan ibu harus mengunjungi pelayanan kesehatan dan mengantarkan ke fasilitas kesehatan. Pasangan juga hadir pada saat kunjungan, ikut mendiskusikan kesehatan ibu dan anak termasuk metode melahirkan yang aman, pemenuhan gizi, perilaku seksual yang aman, serta memberi dukungan dalam kepatuhan pengobatan ARV. </p>
<p>Keterlibatan pasangan ini perlu dijaga agar tidak memperkuat persepsi peran laki-laki sebagai ‘pelindung’ perempuan dan meningkatkan kesenjangan ‘kuasa’ antara perempuan dan laki-laki.</p>
<p>Kabar baiknya, suami-suami Indonesia telah didorong untuk terlibat dalam pelayanan antenatal atau pemeriksaan kehamilan dan persiapan kelahiran melalui kampanye suami siaga <a href="https://assets.researchsquare.com/files/rs-114665/v1_covered.pdf?c=1631847380">sejak 1999</a>. <a href="https://academic.oup.com/heapol/article/32/8/1203/3897345?login=true">Hasilnya</a>, sebagian besar dari mereka telah terlibat dalam pelayanan antenatal dengan menemani saat pemeriksaan kehamilan maupun mendiskusikan rencana melahirkan.</p>
<p>Keterlibatan pasangan dalam pelayanan antenatal cukup berbeda dengan pelayanan PPIA karena HIV yang masih berkaitan erat dengan stigma di kalangan masyarakat, petugas kesehatan, bahkan di antara pasangan. </p>
<p>Stigma ini sering mencegah pemeriksaan HIV oleh ibu dan pasangannya serta meningkatkan kekerasan dalam rumah tangga karena pasangan yang positif HIV dianggap tidak setia. Ini yang menjelaskan ibu dengan HIV di negeri ini cenderung terlambat terdeteksi status HIV-nya. </p>
<h2>Perlu riset lebih banyak</h2>
<p>Dampak positif dari keterlibatan pasangan dalam pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) telah terbukti dalam <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6550447/">studi di negara lain</a>.</p>
<p>Namun dengan keterlambatan deteksi HIV di Indonesia, kita perlu meneliti soal keterlibatan pasangan dalam PPIA.</p>
<p>Kajian tentang relevansi, konteks, dan dampak keterlibatan pasangan pada akses dan cakupan pemeriksaan HIV pada ibu dan perempuan usia reproduktif perlu diperbanyak.</p>
<p>Permasalahan HIV di Indonesia begitu kompleks karena melibatkan banyak faktor. Mulai dari sistem pelayanan kesehatan, komitmen politik, stigma dan diskriminasi, dukungan pasangan dan keluarga, serta pengetahuan dan kesadaran individu. </p>
<p>Studi terkait keterlibatan pasangan dalam PPIA akan lebih memberikan pengetahuan dan ‘amunisi’ bagi pembuat kebijakan dan pelaksana program PPIA sebelum memutuskan untuk lebih mendorong keterlibatan suami. Misalnya, dengan memperkuat lagi program suami siaga khususnya di kalangan keluarga dengan kondisi sosial ekonomi menengah ke bawah. </p>
<p>Kita juga perlu meningkatkan kesetaraan gender dan menantang nilai gender tradisional bahwa kesehatan ibu dan anak hanyalah urusan perempuan. Selain itu, pelayanan kesehatan ibu dan anak perlu dimodifikasi agar lebih ‘ramah’ pada ibu dengan HIV serta pasangannya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/195448/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Marya Yenita Sitohang tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dengan peningkatan kasus HIV di kalangan ibu rumah tangga Indonesia, penularan HIV dari ibu ke anak semakin nyata. Upaya pencegahan seringnya hanya menargetkan ibu tanpa melibatkan pasangannya.Marya Yenita Sitohang, Peneliti Kesehatan Masyarakat, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1853972022-06-29T02:59:54Z2022-06-29T02:59:54ZRiset: pandemi COVID-19 akibatkan anak-anak Indonesia mengalami dampak bertumpuk<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/471302/original/file-20220628-23-g9d50m.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin Rubella pada murid Taman Kanak-Kanak Aisyiyah saat pelaksanaan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) di Pontianak, Kalimantan Barat, 31 Mei 2022.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1653976512">ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang/tom</a></span></figcaption></figure><p>Pandemi COVID-19 yang berkepanjangan dan kini memasuki tahun ketiga berdampak besar pada mayoritas penduduk di segala bidang kehidupan. Anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan mengalami penurunan kualitas hidup dan kesejahteraan karena mereka masih bergantung pada keluarga. </p>
<p>Riset terbaru dari <a href="https://smeru.or.id/en/publication/analysis-social-and-economic-impacts-covid-19-households-and-strategic-policy">UNICEF, UNDP, Program Kemitraan Indonesia-Australia untuk Perekonomian (Prospera), dan SMERU Research Institute</a> menemukan bahwa anak-anak Indonesia menghadapi berbagai tantangan mulai dari guncangan ekonomi dan kerawanan pangan, terganggunya akses layanan kesehatan, hingga munculnya tekanan psikologis. </p>
<p>Riset ini berfokus untuk melihat dampak sosial-ekonomi pandemi COVID-19 terhadap rumah tangga pada 2020 dengan melibatkan lebih dari 12.000 rumah tangga di seluruh Indonesia. Penelitian ini memperlihatkan berbagai berbagai tantangan yang dialami anak-anak selama pandemi dan alternatif kebijakan yang bisa mengatasinya. </p>
<h2>Guncangan ekonomi, kerawanan pangan, dan kesehatan anak</h2>
<p>Riset menemukan bahwa sekitar tiga perempat rumah tangga yang memiliki anak mengalami penurunan pendapatan. Rumah tangga tersebut kini menjadi rawan miskin, serta harus mengurangi jenis, jumlah, atau kualitas makanan yang dikonsumsi untuk menekan pengeluaran. </p>
<p>Upaya adaptasi tersebut justru dapat mengganggu kesehatan karena anak berisiko menjadi lebih sering mengkonsumsi makanan yang kurang bergizi. </p>
<p>Dalam jangka panjang, kerawanan pangan dapat menyebabkan <a href="https://www.apa.org/pi/ses/resources/indicator/2012/06/household-food-insecurities">efek berbahaya pada kesehatan dan perkembangan anak</a>. Beberapa di antaranya adalah peningkatan kasus rawat inap, kekurangan zat besi, risiko perkembangan, dan masalah perilaku.</p>
<p>Seorang nenek di Serang, Banten, menjelaskan dalam wawancara bahwa ia mengubah konsumsi susu formula untuk cucunya yang berusia di bawah 5 tahun menjadi susu kental manis dengan harga yang lebih murah. Perubahan itu kemudian berdampak pada kesehatan anak.</p>
<p>“Sebelum pandemi COVID-19, cucu saya biasa minum susu D** (merek susu formula). Sekarang dia hanya minum susu kental manis. Saya kadang kasihan ke dia, karena kalau susu kental manis kandungan gulanya banyak. Jadinya dia sering sakit gigi,” kata nenek tersebut pada 10 Desember 2020.</p>
<h2>Terganggunya akses ke layanan kesehatan</h2>
<p>Studi ini menemukan bahwa 13% rumah tangga dengan anak berusia di bawah lima tahun tidak dapat memperoleh layanan imunisasi. Walau jumlahnya mungkin tampak relatif kecil, semua anak tetap memerlukan imunisasi rutin untuk tumbuh dan berkembang serta terhindar dari risiko infeksi penyakit menular.</p>
<p>Selain imunisasi, rumah tangga dengan anak penyandang disabilitas pun mengalami gangguan akses terhadap layanan kesehatan. </p>
<p>Sekitar 36,7% rumah tangga tersebut belum bisa mendapatkan terapi dan layanan kesehatan lain yang dibutuhkan anaknya. Ini terjadi karena gangguan di layanan medis, takut tertular virus, atau kekurangan dana. </p>
<p>Misalnya, seorang ibu di Kulon Progo mengungkapkan bahwa kondisi anaknya yang penyandang disabilitas memburuk karena tidak adanya terapi teratur dan asupan vitamin rutin. </p>
<p>“Sejak pandemi COVID-19 saya (sengaja) menghentikan terapi rutin anak di rumah sakit karena takut tertular virus corona. Sejak berhenti terapi, dia tidak minum vitamin untuk tulang. Sejak berhenti terapi anak saya sering mengeluh kakinya sakit, perkembangan kakinya juga terganggu. Dokter mengajarkan saya cara memijit kaki anak saya untuk terapi di rumah, tapi anak saya ya masih mengeluh kesakitan” kata informan itu pada 18 Desember 2020.</p>
<h2>Tekanan psikologis dan kesehatan mental</h2>
<p>Kebijakan penutupan sekolah, isolasi sosial, dan ketidakpastian ekonomi menyebabkan anak-anak mengalami tekanan psikologis. </p>
<p>Sekitar 45% rumah tangga mengatakan anak-anak mereka mengalami masalah perilaku. Lalu 20% rumah tangga yang memiliki anak-anak menunjukkan bahwa anak-anak mereka sulit berkonsentrasi. Beberapa dari mereka cenderung mudah marah, sedih, dan insomnia. </p>
<p>Bagi anak sekolah, masalah ini bisa terjadi karena kurangnya interaksi yang bermakna dengan guru dan teman. Selain itu, gangguan dari anggota keluarga lainnya juga mengganggu konsentrasi anak selama pembelajaran jarak jauh. </p>
<p>Seorang ibu di Klungkung Bali menyoroti situasi belajar di rumah yang kurang kondusif karena anak berusia di bawah lima tahun mengganggu saudaranya yang lebih tua saat belajar di rumah. </p>
<p>“Anak saya yang masih balita sering menganggu kakaknya yang sedang belajar daring. Saya jadi mudah marah karena harus mengurus banyak hal: mengajari anak belajar, dan mengasuh anak balita supaya dia tidak ganggu kakaknya. Saat saya <em>ngajarin</em> anak, saya sepertinya juga tidak terlalu paham, mungkin karena saya memang tidak punya pengalaman menjadi guru” kata informan pada 14 Desember 2020. </p>
<h2>Upaya untuk mencegah keadaan lebih buruk</h2>
<p>Masalah-masalah yang terjadi di atas memang kompleks selama pandemi masih berlangsung. Untuk mengurangi dampak yang lebih buruk, riset ini merekomendasikan tiga hal.</p>
<p><strong>Pertama,</strong> pemerintah perlu melanjutkan <a href="https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/siaran-pers/siaran-pers-pemerintah-prioritaskan-penanganan-pandemi-perlindungan-sosial-dan-dukungan-umkm-selama-masa-pembatasan-kegiatan/">skema perlindungan sosial</a> untuk membantu rumah tangga selama masa pemulihan ini. Upaya tambahan juga diperlukan untuk melengkapi bantuan transfer tunai dengan pesan promosi kesehatan dan gizi, serta memastikan bahwa makanan bergizi tersedia dan terjangkau.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, petugas kesehatan perlu bekerja sama dengan kader kesehatan setempat untuk memantau kesehatan anak-anak dan memberikan perawatan yang diperlukan. Mereka perlu secara aktif menjangkau orang tua yang mungkin melewatkan imunisasi dan pemeriksaan kesehatan selama pandemi.</p>
<p><strong>Terakhir,</strong> pemerintah perlu menyadari adanya kesulitan yang dihadapi anak-anak dalam belajar yang berpengaruh pada kondisi kesehatan mental mereka. Pemerintah perlu bekerja sama dengan komunitas sekolah dan orang tua untuk memberikan pembelajaran dan dukungan psikologis bagi anak-anak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/185397/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Penelitian ini merupakan hasil kolaborasi The SMERU Research Institute, UNICEF, UNDP, dan PROSPERA. Penelitian ini didanai oleh UNDP, UNICEF, dan PROSPERA.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Penelitian ini merupakan hasil kolaborasi The SMERU Research Institute, UNICEF, UNDP, dan PROSPERA. Penelitian ini didanai oleh UNDP, UNICEF, dan PROSPERA..</span></em></p>Kebijakan penutupan sekolah, isolasi sosial, dan ketidakpastian ekonomi menyebabkan anak-anak mengalami tekanan psikologis.Sylvia Andriyani Kusumandari, Junior Researcher, SMERU Research InstituteMichelle Andrina, Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1815142022-04-25T06:07:23Z2022-04-25T06:07:23ZAngka stunting naik di 6 provinsi: tiga strategi untuk menurunkannya hingga level desa<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/459252/original/file-20220422-20-68e7v9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) mengukur berat badan bayi di Posyandu Bougenvile, Pemancar, Depok, Jawa Barat, 6 April 2022. Jawa Barat mengejar target zero stunting pada 2023.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1649217315">ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww</a></span></figcaption></figure><p>Satu dari empat anak Indonesia mengalami masalah gizi buruk berlarut-larut sehingga pertumbuhan tinggi badannya di bawah rata-rata (<em>stunting</em>). </p>
<p>Angka itu merupakan hasil <a href="https://www.litbang.kemkes.go.id/buku-saku-hasil-studi-status-gizi-indonesia-ssgi-tahun-2021/">Studi Status Gizi Indonesia (SSGI)</a> Kementerian Kesehatan terbaru yang menyatakan angka <em>stunting</em> tahun 2021 masih tinggi, 24,4 %. Angka ini memang menurun 3,3 % dibandingkan studi serupa pada 2019, tapi masih jauh dari target pemerintah yang ditetapkan 14 % pada 2024.</p>
<p><em>Stunting</em> masih menjadi masalah serius karena tidak hanya berdampak terhadap perkembangan motorik dan verbal anak, tapi meningkatkan risiko penyakit degeneratif dan kejadian kesakitan. </p>
<p><em>Stunting</em> dapat juga mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan sel-sel neuron terhambat sehingga anak berisiko mengalami 7% <a href="https://journal.fkm.ui.ac.id/bikfokes/article/view/4647/1177">penurunan perkembangan kognitif</a></p>
<p>Dengan target yang cukup tinggi, penurunan 3-3,5 persen prevalensi <em>stunting</em> per tahun, Indonesia butuh suatu loncatan inovasi mengingat rata-rata penurunan <em>stunting</em> per tahun di Indonesia hanya <a href="https://www.litbang.kemkes.go.id/buku-saku-hasil-studi-status-gizi-indonesia-ssgi-tahun-2021/">2,0 % (2013-2021)</a>. </p>
<h2>Kebijakan pemerintah</h2>
<p>Di tengah upaya pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19, pemerintah memang tetap berkomitmen untuk mengatasi masalah <em>stunting</em>.</p>
<p>Untuk mempercepat penurunan angka stunting, pemerintah telah meluncurkan Strategi Nasional (STRANAS) Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) pada 2018. Strategi tersebut menjadi panduan untuk mendorong terjadinya kerja sama antarlembaga untuk memastikan konvergensi seluruh program terkait pencegahan anak kerdil (stunting) untuk periode 2018 hingga 2024. </p>
<p>Di level regulasi, untuk menguatkan intervensi dan kelembagaan yang bertanggung jawab dalam mempercepat penurunan <em>stunting</em>, pemerintah mengeluarkan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/174964/perpres-no-72-tahun-2021">Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan <em>Stunting</em></a>. Tim penurunan stunting melibatkan Wakil Presiden sebagai Ketua Pengarah, didampingi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) ditunjuk jadi Ketua Pelaksana. </p>
<p>Sebenarnya, hampir sebagian besar provinsi telah menunjukkan penurunan angka stunting. Kendati demikian, masih terdapat <a href="https://www.litbang.kemkes.go.id/buku-saku-hasil-studi-status-gizi-indonesia-ssgi-tahun-2021/">6 provinsi</a> yang menunjukkan kenaikan prevalensi <em>stunting</em>, yakni Papua, Kalimantan Utara, Papua Barat, Banten, Jambi, dan Kepulauan Riau. </p>
<p>Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (<a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/131386/perpres-no-18-tahun-2020">RPJMN</a>), pemerintah telah menetapkan target prevalensi <em>stunting</em> hingga 14 % pada 2024. Target ini diharapkan tercapai agar bonus demografi Indonesia pada 2030 bisa dimanfaatkan secara optimal dengan lahirnya generasi yang produktif.</p>
<p>Kondisi saat ini, masih terdapat 27 provinsi yang memiliki masalah gizi yang bersifat akut-kronis (prevalensi status gizi <em>stunted</em> ≥ 20 % dan <em>wasted</em> ≥ 5 %).</p>
<p>Kondisi <em>stunted</em> atau <em>stunting</em> merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama. Ini mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau <a href="http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/subdit-penyakit-diabetes-melitus-dan-gangguan-metabolik/cegah-stunting-dengan-perbaikan-pola-makan-pola-asuh-dan-sanitasi">pendek (kerdil) dari standar usianya.</a></p>
<p>Sementara <em>wasted</em> atau <em>wasting</em> adalah kondisi ketika seorang anak memiliki berat badan rendah tidak sesuai dengan tinggi badan yang seharusnya.</p>
<h2>Perlu fokus pada indikator kunci</h2>
<p>Jika melihat determinan masalah gizi pada <a href="https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-2018_1274.pdf">Riset Kesehatan Dasar 2018</a> dibandingkan dengan SSGI 2021, masih terdapat beberapa indikator yang perlu mendapat perhatian lebih.</p>
<p>Contohnya, persentase ibu yang melahirkan anak lahir hidup dalam dua tahun terakhir dan anak lahir yang mendapatkan inisiasi menyusu dini (IMD) kurang dari satu jam setelah dilahirkan mengalami penurunan dari <a href="https://www.litbang.kemkes.go.id/buku-saku-hasil-studi-status-gizi-indonesia-ssgi-tahun-2021/">58,2 % pada 2018 menjadi 48,6 % pada 2021</a>. </p>
<p>Padahal, IMD merupakan menjadi langkah awal dan vital untuk keberhasilan proses menyusui secara eksklusif. Saat IMD dilakukan, terjadi sentuhan kulit ke kulit yang sangat bermanfaat karena bayi mendapatkan bakteri baik dari kulit ibu yang berguna untuk kekebalannya.</p>
<p>Selain itu, persentase anak lahir hidup dengan berat badan lahir rendah (BBLR) juga meningkat dari <a href="https://www.litbang.kemkes.go.id/buku-saku-hasil-studi-status-gizi-indonesia-ssgi-tahun-2021/">6,2 % menjadi 6,6 %</a>. Kejadian BBLR terkait erat dengan <em>stunting</em> dan menjadi indikator kinerja untuk mengukur capaian dampak jangka menengah dalam upaya pencegahan <em>stunting</em>.</p>
<p>Meski demikian, beberapa determinan masalah gizi dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional tercatat sudah meningkat meski masih berkisar 1-2% (2020 dibanding 2021). </p>
<p>Indikator yang meningkat adalah persentase bayi berusia kurang dari 6 bulan yang mendapatkan <a href="https://www.bps.go.id/indicator/30/1340/1/persentase-bayi-usia-kurang-dari-6-bulan-yang-mendapatkan-asi-eksklusif-menurut-provinsi.html">ASI eksklusif</a> dan persentase perempuan berusia 15-49 tahun yang melahirkan di <a href="https://www.bps.go.id/indicator/30/1352/1/persentase-perempuan-pernah-kawin-berusia-15-49-tahun-yang-proses-melahirkan-terakhirnya-di-fasilitas-kesehatan-menurut-daerah-tempat-tinggal.html">fasilitas kesehatan.</a></p>
<h2>Tugas pemimpin</h2>
<p>Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting dari pemerintah pusat berfokus pada lima pilar yang mengutamakan komitmen, visi, dan komunikasi dari kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota dan pemerintah desa; meningkatkan intervensi spesifik dan intervensi sensitif; serta memanfaatkan data, riset dan inovasi. </p>
<p>Masalahnya, program ini berpeluang tajam di hilir namun tumpul di hulu. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan bahwa banyak intervensi gizi untuk penurunan <em>stunting</em> di daerah yang <a href="https://stunting.go.id/percepatan-penurunan-stunting-di-daerah-harus-tepat-sasaran/">belum terintegrasi dan konvergen</a>. </p>
<p>Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah perlu memperhatikan beberapa hal.</p>
<p>Pertama, menguatkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang jelas, berjenjang, dan periodik. Di level provinsi, kabupaten dan kota, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) harus melakukan rapat koordinasi agar kegiatan dari perencanaan sampai pelaksanaan di level tingkat desa dapat dilaksanakan tepat sasaran. </p>
<p>Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) sebagai pelaksana pada level daerah dan bupati dan walikota merupakan pemegang peran kunci. </p>
<p>Pemerintah daerah perlu melibatkan kader, bidan, dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dalam koordinasi ini. Ada 1,2 juta kader di lapangan yang bisa dikerahkan untuk mendampingi keluarga yang yang disasar program <em>anti-stunting.</em> </p>
<p>Karena ada keterlibatan banyak pihak, evaluasi dan pengawasan yang terstruktur dan periodik harus dilakukan. Misalnya setiap 3 atau 6 bulan secara berjenjang oleh BKKBD, bupati, wali kota dan pejabat pada level kabupaten dan kota. </p>
<p>Kedua, memastikan bahwa semua pihak memahami langkah spesifik yang harus dilakukan.</p>
<p>Para kader terpilih yang bersinggungan langsung dengan keluarga sasaran harus mendapatkan informasi yang tepat. Pelatihan khusus dapat diadakan dan para kader harus memenuhi standar tes tertentu. Harapannya, para kader memiliki pengetahuan yang tepat yang bisa disampaikan kembali kepada masyarakat. </p>
<p>Selain itu, dengan luasnya informasi tentang kesehatan ibu dan anak, pelatihan secara berkala perlu dilakukan agar para kader memahami perkembangan informasi terbaru sekaligus mempertajam pemahamannya.</p>
<p>Ketiga, aparat desa harus memahami petunjuk teknis dan berbagi pengalaman terbaik seputar penggunaan Dana Desa.</p>
<p><a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/174964/perpres-no-72-tahun-2021">Peraturan Presiden No. 72 tahun 2021 tetang Percepatan Penurunan Stunting</a> memberikan mandat pemerintah desa untuk mempercepat penurunan <em>stunting</em> di tingkat desa. </p>
<p>Dengan sekitar <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/22/berapa-jumlah-desakelurahan-di-indonesia#:%7E:text=10%20Provinsi%20dengan%20Jumlah%20Desa%2FKelurahan%20Terbanyak%20(Jun%202021)&text=Berdasarkan%20data%20Direktorat%20Jenderal%20Kependudukan,34%20provinsi%20di%20seluruh%20Indonesia.">80.000 desa dan kelurahan di Indonesia</a>, harus ada penjelasan secara detail tentang pelaksanaan penggunaan dana desa untuk mengurangi angka <em>stunting.</em></p>
<p>Seluruh aparat desa perlu memahami tahapan yang harus dilakukan hingga ke petunjuk teknis dan contoh praktik terbaik dari desa yang berhasil menurunkan angka <em>stunting</em>. Jika itu diimplementasikan, pengurangan <em>stunting</em> mungkin akan signifikan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/181514/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Annisa Nurul Ummah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Masih terdapat 6 provinsi yang menunjukkan kenaikan prevalensi stunting, yakni Papua, Kalimantan Utara, Papua Barat, Banten, Jambi, dan Kepulauan Riau.Annisa Nurul Ummah, Statistisi Pertama, Badan Pusat StatistikLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1763762022-04-11T04:01:52Z2022-04-11T04:01:52ZRiset: makanan bayi dan anak di Indonesia kurang beragam. Mengapa bisa begitu dan apa dampaknya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/456789/original/file-20220407-14-9jalpe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Petugas kesehatan mengukur tinggi badan bayi di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di Kedaton, Bandar Lampung, 21 Maret 2022. Promosi makanan beragam pendamping ASI untuk bayi berusia enam bulan di level Posyandu penting untuk mencegah gizi buruk pada anak.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1647844209">ANTARA FOTO/Ardiansyah/nym</a></span></figcaption></figure><p>Makanan pendamping air susu ibu (MPASI) yang sehat dan beragam penting bagi <a href="https://data.unicef.org/topic/nutrition/diets/">pertumbuhan bayi dan anak</a>. Sebaliknya, kurang beragamnya makanan bayi dan anak dapat meningkatkan risiko <a href="https://academic.oup.com/jn/article/137/2/472/4664571?login=false#165117032">kekurangan zat gizi mikro</a> (seperti vitamin B12, vitamin A, kalsium, zat besi, asam folat dan zinc), <a href="https://systematicreviewsjournal.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13643-020-01289-7">anemia</a>, <a href="https://bmcpediatr.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12887-019-1897-5">stunting</a>, serta terhambatnya perkembangan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0899900721003324?via%3Dihub">kognitif</a> dan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7729803/">motorik anak</a>.</p>
<p>Badan Kesehatan Dunia (WHO) <a href="https://www.who.int/data/nutrition/nlis/info/infant-and-young-child-feeding">merekomendasikan</a> agar setiap bayi berusia enam bulan mulai mengkonsumsi makanan pendamping, di samping ASI hingga usia dua tahun. Untuk memastikan bahwa makanan pendamping air susu ibu yang diberikan berkualitas, maka makanan tersebut perlu diberikan secara beragam.</p>
<p>Masalahnya, pada 2020, hanya <a href="https://data.unicef.org/topic/nutrition/diets/">satu dari tiga anak</a> di dunia yang memenuhi keanekaragaman makanan minimal. Di Indonesia, sebuah penelitian berskala nasional menununjukkan hanya <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">sekitar separuh</a> dari anak-anak usia 6-23 bulan yang mengkonsumsi makanan beraneka ragam pada 2007-2017. </p>
<p>Riset <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">saya pada 2021 dengan sampel 14.990 anak berusia 6-23 bulan di Indonesia menunjukkan</a> keanekaragaman makanan pada bayi dan anak dipengaruhi oleh berbagai faktor di beberapa level, seperti individu, rumah tangga, sistem pelayanan kesehatan, dan komunitas.</p>
<h2>Jenis makanan yang beragam</h2>
<p>Pada 2017, kelompok Penasihat Ahli Teknis tentang pemantauan gizi (TEAM) di bawah naungan WHO mendefinisikan bahwa <a href="https://www.who.int/publications/i/item/9789240018389">keanekaragaman makanan minimal</a> pada bayi dan anak adalah konsumsi makanan harian dengan minimal lima dari total delapan kelompok makanan.</p>
<p>Kelompok makanan itu meliputi: (1) padi-padian, akar-akaran dan umbi-umbian; (2) kacang-kacangan; (3) produk susu seperti susu, keju; (4) daging-dagingan seperti daging sapi, unggas, ikan; (5) telur; (6) buah dan sayur kaya vitamin A; (7) buah dan sayur lainnya, dan (8) air susu ibu.</p>
<p>Di Indonesia, pedoman gizi seimbang diatur dalam <a href="http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK%20No.%2041%20ttg%20Pedoman%20Gizi%20Seimbang.pdf">Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 14 Tahun 2014</a>, termasuk di dalamnya pesan “Syukuri dan nikmati aneka ragam makanan”. Dalam pedoman tersebut, makanan beragam terdiri dari makanan pokok, lauk-pauk, sayuran dan buah-buahan. </p>
<p>Tidak ada pesan spesifik mengenai keanekaragaman minimal yang harus dikonsumsi oleh bayi dan anak.</p>
<h2>Faktor penyebab</h2>
<p>Salah satu temuan riset saya adalah <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">rata-rata bayi dan anak di Indonesia</a> mengkonsumsi 2-3 jenis kelompok makanan pada usia enam bulan, kemudian meningkat menjadi 4-5 jenis kelompok makanan saat mencapai usia 12 bulan ke atas. </p>
<p>Jika dilihat dari jenis kelompok makanannya, makanan jenis padi-padian, akar-akaran, dan umbi-umbian mendominasi konsumsi makanan harian pada bayi dan anak.</p>
<p>Sebaliknya, konsumsi kacang-kacangan serta buah dan sayuran jenis lainnya adalah kelompok makanan dengan konsumsi terendah. Meski masih tergolong rendah, konsumsi makanan hewani seperti daging-dagingan, telur dan produk susu meningkat dalam satu dekade terakhir.</p>
<p>Pemberian makanan pendamping ASI pada bayi dan anak begitu <a href="https://dx.doi.org/10.1111%2Fmcn.12088">kompleks dan kontekstual</a>. Tidak hanya faktor anak dan ibu, tapi kondisi komunitas dan sosial juga menjadi pilar yang menentukan praktik pemberian makanan pendamping ASI. </p>
<p>Sejalan dengan <a href="https://dx.doi.org/10.1111%2Fmcn.12088">teori tersebut</a>, riset saya <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">menunjukkan</a> keanekaragaman makanan pada bayi dan anak di Indonesia dipengaruhi oleh faktor mikro (individu dan rumah tangga) hingga makro sistem sosial (sistem kesehatan dan komunitas).</p>
<p>Di level individu, konsumsi makanan yang bervariasi pada bayi dan anak <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">cenderung meningkat</a> sejalan dengan meningkatnya usia anak. Hal ini karena anak yang lebih tua lebih siap untuk menerima makanan dengan tekstur dan rasa yang berbeda. </p>
<p>Mereka lebih familiar dengan variasi makanan daripada anak berusia lebih muda yang baru mengenal makanan.</p>
<p>Di level ramah tangga, anak dari ibu dengan tingkat pendidikan yang <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">lebih tinggi cenderung mengkonsumsi makanan lebih beragam</a>. Sebab, ibu yang teredukasi memiliki lebih banyak informasi dan lebih baik dalam hal memahami informasi baru, termasuk informasi gizi. </p>
<p>Meski begitu, pendidikan formal bukanlah satu-satunya cara untuk meningkatkan pengetahuan tentang gizi. Pemberian edukasi di level sistem kesehatan dapat dilakukan melalui pelayanan pemeriksaan kehamilan. Ibu yang memiliki <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">riwayat kunjungan kehamilan</a> di fasilitas pelayanan kesehatan terbukti lebih baik dalam memberikan makanan yang beragam pada anaknya.</p>
<p>Selama kunjungan tersebut, tenaga kesehatan dan kader kesehatan berperan dalam memberikan konseling dan edukasi gizi pada ibu.</p>
<p>Anak yang berasal dari keluarga dengan <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">status ekonomi tinggi</a> memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapat makanan bervariasi karena daya beli yang lebih besar untuk memperoleh makanan bervariasi.</p>
<p>Di sisi lain, di level komunitas, anak yang tinggal di <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">daerah pedesaan dan Indonesia bagian timur</a> cenderung makan makanan yang kurang bervariasi. Hal ini kemungkinan karena keterbatasan akses dan ketersediaan pangan, serta status sosial ekonomi yang lebih rendah. Faktor ini berkaitan dengan ketimpangan pendapatan dan ekonomi.</p>
<p>Dengan demikian, masalah ini bisa diatasi dengan intervensi struktural dan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran ibu dan ayah melalui media massa dan promosi kesehatan di level puskesmas dan masyarakat. </p>
<h2>Pentingnya akses terhadap media informasi</h2>
<p>Ibu yang memiliki akses terhadap media informasi memiliki <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">peluang 21% lebih tinggi</a> untuk memberikan anaknya makanan yang beragam dibandingkan dengan ibu yang tidak mengakses media. </p>
<p>Bahkan, akses terhadap media informasi bisa <a href="https://doi.org/10.1017/S1368980021004559">menurunkan kesenjangan variasi makanan antara si kaya dan si miskin</a>. Dengan adanya akses informasi, setiap ibu berpeluang untuk memberikan makanan yang lebih bervariasi pada anaknya, bahkan jika ia berasal dari status sosial ekonomi rendah.</p>
<p>Misalnya, ibu bisa menyiasati jenis makanan yang mahal (seperti daging sapi) dengan bahan makanan lain yang lebih terjangkau (seperti ikan air tawar dan telur). </p>
<p>Di samping itu, ibu bisa membuat menu makanan menjadi lebih bervariasi dengan memanfaatkan bahan pangan lokal yang ada di sekitarnya. </p>
<p>Pengayaan informasi gizi pada ibu bisa diperoleh melalui berbagai media cetak maupun elektronik. Berbekal kecanggihan teknologi saat ini, ibu dapat mengakses informasi kapan pun dan di mana pun dari ujung jari via ponsel. </p>
<p>Dalam hal peningkatan kualitas makanan pendamping air susu ibu pada anak, <a href="https://doi.org/10.1111/mcn.12603">peran media massa</a> dalam menyampaikan pesan-pesan gizi dan kesehatan telah terbukti. Mekanismenya adalah melalui modifikasi pengetahuan dan sikap secara simultan di komunitas atau lebih dikenal dengan promosi perubahan perilaku dan sosial. </p>
<p>Media massa dapat digunakan menjadi kendaraan yang efektif, terlebih jika dilakukan bersinergi dengan upaya-upaya lain. Misalnya terintegrasi dengan program konseling dan edukasi gizi di fasilitas pelayanan kesehatan dan sejalan dengan konteks sosial budaya yang berlaku di wilayah setempat.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/176376/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span> </span></em></p>Jika dilihat dari jenis kelompok makanannya, makanan jenis padi-padian, akar-akaran dan umbi-umbian mendominasi konsumsi makanan harian pada bayi dan anak.Bunga A. Paramashanti, Lecturer and researcher at the Department of Nutrition, Faculty of Health Sciences, Universitas Alma AtaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1738382021-12-22T07:34:10Z2021-12-22T07:34:10ZApakah anak Anda takut pada jarum suntik? Berikut cara mempersiapkan mereka untuk vaksin COVID<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/437691/original/file-20211215-15-i0pp86.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/vaccinating-child-174165788">Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Pengalaman anak Anda pada jarum suntik pada tahun-tahun awal mereka dapat <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/7636457/">mempengaruhi persepsi mereka</a> tentang jarum suntik dan bagaimana mereka bereaksi terhadap vaksinasi berikutnya. Jadi, penting untuk mengurangi kemungkinan pengalaman negatif.</p>
<p>Tapi apa yang dapat dilakukan orang tua untuk membantu mempersiapkan anak mereka untuk vaksin COVID-19 atau suntikan lainnya?</p>
<h2>Ketakutan atau fobia?</h2>
<p>Kebanyakan anak <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/jan.13818">takut pada jarum</a>. Tapi untuk beberapa anak tertentu, ketakutan ini lebih serius dan dapat didefinisikan sebagai fobia jarum.</p>
<p>Fobia jarum adalah respons atau reaksi yang sangat menakutkan terhadap kehadiran jarum, misalnya, untuk diambil darah atau disuntik. Kecemasan dan ketakutan ini tidak sebanding dengan ketakutan yang muncul saat ada ancaman, dan orang-orang akan menghindari jarum suntik sebisa mungkin.</p>
<p>Dalam beberapa kasus serius, tingkat kecemasan yang disebabkan hanya dengan melihat jarum dapat menyebabkan perasaan pusing, mual, peningkatan keringat, kehilangan kesadaran, dan pingsan.</p>
<p>Hampir <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/2377960818759442">satu dari lima</a> anak (19%) berusia 4-6 memiliki fobia jarum, dan ini menurun menjadi satu dari sembilan (11%) pada usia 10-11. Di antara orang dewasa, <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/2377960818759442">sekitar 3,5-10%</a> memiliki fobia jarum.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-anak-anak-butuh-risiko-rasa-takut-dan-keriangan-ketika-bermain-82336">Mengapa anak-anak butuh risiko, rasa takut, dan keriangan ketika bermain</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Saat bekerja sebagai perawat, saya masih mengingat Emma, gadis berusia lima tahun, yang ketakutan akan jarum suntik. Saya ingat wajah kecilnya, kemarahan dan ketakutan, air mata, serta jeritannya hanya karena melihat jarum.</p>
<p><a href="https://www.routledge.com/Clinical-Applications-of-the-Therapeutic-Powers-of-Play-Case-Studies-in/Prendiville-Parson/p/book/9780367341091">Ketakutannya yang meningkat</a> ini disebabkan oleh tes darah, suntikan, dan prosedur medis yang sebelumnya ia alami. Dan itu tidak menjadi lebih mudah dijalani sampai dia mendapat bantuan terapi profesional.</p>
<h2>Mengurangi kemungkinan pengalaman negatif</h2>
<p>Saat membuat jadwal vaksinasi, pertimbangkan untuk meminta perawat menyisihkan waktu ekstra untuk bersiap.</p>
<p>Ketika anak-anak datang untuk divaksinasi, sebagian besar perawat mengantisipasi bahwa anak tersebut mungkin khawatir dan gugup, atau sangat takut akan suntikan.</p>
<p>Perawat dapat membantu dengan meminta anak untuk menegangkan dan mengendurkan otot-otot mereka agar tidak pingsan. Mereka bisa menyarankan anak-anak untuk mengambil napas dalam-dalam, menahannya, dan menghembuskannya perlahan. Mereka juga dapat meminta anak untuk menggoyangkan jari kaki mereka sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Worried girl sits on her mother's lap, looking at a tablet." src="https://images.theconversation.com/files/433881/original/file-20211125-17-tlqa1t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/433881/original/file-20211125-17-tlqa1t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/433881/original/file-20211125-17-tlqa1t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/433881/original/file-20211125-17-tlqa1t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/433881/original/file-20211125-17-tlqa1t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/433881/original/file-20211125-17-tlqa1t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/433881/original/file-20211125-17-tlqa1t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Mengalihkan perhatian anak pada suatu hal lain dapat membantu mereka untuk terlena dari ketakutan mereka atas jarum suntik.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/small-girl-her-mother-wearing-protective-1858030414">Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Jika anak benar-benar tertekan – misalnya, dengan berteriak, menendang, dan mengatakan bahwa mereka tidak menginginkan suntikan itu – orang tua dapat menunda jadwal sehingga anak memiliki kesempatan untuk mengembangkan beberapa strategi koping. Ini berpotensi mencegah berkembangnya fobia jarum.</p>
<p>Orang tua adalah advokat terbaik untuk anak mereka, yang mengetahui cara untuk mendukung mereka selama imunisasi.</p>
<h2>Bagaimana cara mempersiapkan anak Anda untuk ini?</h2>
<p>Langkah pertama adalah mempertimbangkan kapan harus memberitahu mereka jadwal vaksin yang akan diambil. Untuk anak di bawah lima tahun, kerangka waktu yang lebih pendek akan lebih baik; misalnya pada hari yang sama.</p>
<p>Untuk anak-anak berusia lima hingga enam tahun, Anda dapat memberi tahu mereka satu atau dua hari sebelumnya; dan untuk yang berumur tujuh tahun, bisa seminggu sebelumnya.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Little boy plays with stuffed toys wearing face masks." src="https://images.theconversation.com/files/433880/original/file-20211125-25-1rtdt0x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/433880/original/file-20211125-25-1rtdt0x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/433880/original/file-20211125-25-1rtdt0x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/433880/original/file-20211125-25-1rtdt0x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/433880/original/file-20211125-25-1rtdt0x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/433880/original/file-20211125-25-1rtdt0x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/433880/original/file-20211125-25-1rtdt0x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Pertimbangkan waktu yang tepat, sesuai dengan usia mereka.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/child-plays-roleplaying-games-baby-bay-2046114410">Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tapi jika anak Anda memang memiliki fobia jarum, mereka mungkin memerlukan bantuan yang signifikan di lingkungan yang aman untuk mencurahkan pikiran dan perasaan mereka, dan mempelajari beberapa strategi manajemen stres.</p>
<h2>Mendapatkan bantuan dari terapis</h2>
<p>Terapis yang berkualifikasi, terapis kehidupan anak, dan psikolog anak dapat membantu. Setelah membangun hubungan saling percaya dengan terapis, sesi terapi medis melibatkan skenario bermain peran untuk membuat anak tidak sadar akan hadirnya peralatan medis.</p>
<p>Ini sering dimulai dengan peralatan medis mainan lalu beralih ke peralatan medis asli.</p>
<p>Terapis memberikan informasi kepada anak dengan menunjukkan kepada mereka bagaimana segala sesuatunya bekerja. Anak kemudian dapat mengembangkan penguasaan dengan menyuntikkan boneka atau <em>teddy</em> mereka, sementara terapis memberikan isyarat untuk mengatasi strategi dan ketahanan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/dapatkah-yoga-membantu-menyembuhkan-gangguan-mental-98795">Dapatkah yoga membantu menyembuhkan gangguan mental?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Beberapa anak membutuhkan satu atau dua sesi, tapi mereka yang memiliki fobia jarum mungkin memerlukan hingga sepuluh sesi atau lebih.</p>
<p>Terapis juga dapat mengajarkan beberapa tips atau prosedur medis lainnya pada orang tua untuk mendukung anak mereka selama masa penyuntikan.</p>
<h2>Menggunakan teknik terapi bermain di rumah</h2>
<p>Perkenalkan beberapa mainan peralatan medis dalam waktu bermain anak Anda dan perhatikan apakah mereka penasaran atau menghindarinya.</p>
<p>Jika mereka penasaran dan mencari informasi lebih lanjut, tunjukkan dan beri tahu mereka tentang jadwal vaksin mereka yang akan datang dan mengapa mereka membutuhkannya. Anda bisa mengatakan, misalnya, bahwa vaksin itu akan membantu menghentikan mereka, dan banyak orang lain, dari penularan virus corona, dan itu juga akan menjaga kakek-nenek mereka.</p>
<p>Anak-anak sudah tahu dari media dan sekolah bahwa COVID telah membuat kita semua tinggal di rumah karena COVID telah membuat banyak orang sakit, dan mereka tidak bisa bernapas dengan baik. Anda dapat menjelaskan bahwa perlindungan dari vaksin akan membantu mereka untuk dapat kembali ke taman kanak-kanak atau sekolah dan bertemu dengan teman-teman mereka.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Child practices vaccinating a doll." src="https://images.theconversation.com/files/433879/original/file-20211125-17-hr39iw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/433879/original/file-20211125-17-hr39iw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/433879/original/file-20211125-17-hr39iw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/433879/original/file-20211125-17-hr39iw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/433879/original/file-20211125-17-hr39iw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/433879/original/file-20211125-17-hr39iw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/433879/original/file-20211125-17-hr39iw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Perhatikan bagaimana anak Anda merespons mainan alat-alat medis.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/girl-child-makes-injection-wooden-syringe-1994012915">Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Untuk anak yang menghindari mainan alat medis ini, teknik distraksi dapat membantu. Pertimbangkan untuk memperkenalkan mainan atau benda baru yang dapat menarik perhatian anak segera sebelum dan selama penyuntikan. Bisa dengan mainan sensorik, game, atau aplikasi digital.</p>
<h2>Alat apa yang digunakan para terapis bermain?</h2>
<p>Untuk Emma, setelah mengembangkan hubungan bermain terapeutik, saya memperkenalkan dan mempraktikkan <a href="https://www.youtube.com/watch?v=cyApK8Z_SQQ">Teknik Sarung Tangan Ajaib</a>. Untuk anak-anak dengan imajinasi yang baik, mereka dapat belajar untuk rileks dan berpura-pura memiliki <a href="https://doi.org/10.1111/j.1460-9592.2012.03860.x">sarung tangan tak terlihat ajaib</a> yang membuat lengan mereka – dan diri mereka sendiri – merasa tenang dan rileks.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/cyApK8Z_SQQ?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Leora Kuttner berlatih teknik sarung tangan ajaib.</span></figcaption>
</figure>
<p>Untuk anak-anak lain, saya telah menggunakan <a href="https://www.buzzy4shots.com.au/">Buzzy</a>, alat getar mekanis yang terlihat seperti lebah, yang dikembangkan oleh dokter dan seorang peneliti penyakit asal Amerika, Amy Baxter. Alat ini memiliki satu set pendingin dan getaran yang <a href="https://www.buzzy4shots.com.au/pages/buzzy-research-clinical-trials">menghambat sensasi rasa sakit</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/analisis-psikologi-kenapa-badut-itu-menakutkan-bagi-kita-124698">Analisis psikologi kenapa badut itu menakutkan bagi kita</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Jika anak Anda memiliki pengalaman negatif selama vaksinasi, dan Anda ingin mengakses bantuan profesional, mintalah saran kepada dokter umum Anda untuk mendapatkan penanganan dari terapis bermain atau terapis kehidupan anak atau psikolog anak di daerah Anda.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/173838/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Judi Parson tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Australia telah menyetujui vaksin Pfizer COVID untuk anak berusia 5-11 tahun, dengan peluncuran pada 10 Januari. Berikut cara mempersiapkan anak Anda jika mereka takut jarum suntik.Judi Parson, Senior Lecturer, Child Play Therapy, Deakin UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1407112020-12-03T03:09:19Z2020-12-03T03:09:19ZDigital babysitting: balita terlalu lama nonton layar ponsel bahayakan kesehatan mereka<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/370992/original/file-20201124-13-1erjyym.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Lama paparan layar digital pada anak-anak sebaiknya kurang dari satu jam per hari.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/search/baby%20smartphone/">Andrea Piacquadio/Pexels.com</a></span></figcaption></figure><p>Orang tua sebaiknya mengurangi paparan layar <em>smartphone</em> pada anak di bawah lima tahun jika ingin anak-anaknya lebih sehat. </p>
<p>Sebab, memberi anak-anak balita <em>smartphone</em> alih-alih membuat mereka melek teknologi, yang terjadi justru <a href="https://www.liebertpub.com/doi/10.1089/cyber.2017.0324">membuat mata anak lelah</a> dan <a href="https://doi.org/10.22146/bkm.26869">berpotensi merusak kesehatan mereka</a> dalam jangka panjang.</p>
<p>Sebuah riset di Yoyakarta dengan sampel 227 anak pada 2017 menunjukkan <a href="https://doi.org/10.22146/bkm.26869">anak prasekolah yang terpapar penggunaan gadget yang tinggi berisiko 1,3 kali lebih besar mengalami kelebihan berat badan</a>. Dari riset itu tampak bahwa semakin lama <em>screen time</em> (dengan demikian kurang gerak fisik), maka semakin besar indeks massa tubuh anak atau berat badan berlebih. </p>
<p>Berat badan berlebih sejak dini menyebabkan jumlah sel lemak yang terbentuk relatif banyak. Hal ini berakibat tingginya risiko obesitas saat remaja hingga dewasa. </p>
<p>Obesitas merupakan faktor risiko penyakit kencing manis, hipertensi, penyakit jantung koroner dan radang sendi. Menimbang dampak-dampak tersebut, orang tua sebaiknya mengurangi atau menghindari paparan <em>screen</em> pada balita. </p>
<h2>Layar screen yang masif</h2>
<p>Kebiasaan anak duduk tenang di depan layar digital disebut <a href="https://www.washingtonpost.com/technology/2020/04/30/zoom-virtual-babysitters-pandemic/"><em>digital babysitting</em></a>. Kini, apalagi pada pada era kerja dari rumah karena pandemi, memberi anak ponsel memang populer untuk mengatasi masalah perilaku anak agar mereka tidak mengusik aktivitas orang tua. Selain telepon pintar, paparan layar digital juga bisa melalui televisi dan komputer.</p>
<p>Peningkatan <em>screen time</em>, waktu paparan layar media digital (ponsel, laptop dan TV) per hari, mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia termasuk pola asuh orang tua terhadap anak berusia kurang dari lima tahun.</p>
<p><a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6416855/">Sebuah survei di Brasil, misalnya, menyatakan 1 dari 5 anak berusia 3-5 tahun</a> menonton layar <em>smartphone</em>, laptop atau televisi lebih dari tiga jam sehari. Survei ini juga membuktikan bahwa lamanya durasi (<em>screen time</em>) ini dipengaruhi oleh tingginya <em>screen time</em> orang tua juga. Hal ini berbahaya karena layar digital atau komputer memiliki cahaya yang cukup kuat dan cepat membuat mata lelah dan perih. </p>
<p>Masalah paparan <em>screen</em> itu dipicu oleh langkah orang tua sendiri. Misalnya,
sebuah <a href="https://www.consumeraffairs.com/news/does-your-child-have-a-digital-babysitter-071513.html">survei pada 2.400 orang tua</a> di beberapa negara secara online, menyatakan 1 dari 4 orang tua memberikan gawai kepada anak balita. Alasannya, antara lain, orang tua khawatir anaknya ketinggalan zaman teknologi dan itu praktis menenangkan balita terutama bila ada aktivitas lain yang perlu dilakukan. </p>
<p>Penggunaan ponsel ini berkaitan erat dengan lamanya <em>screen time</em> pada masyarakat secara umum. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika, misalnya, menyatakan <a href="http://indonesiabaik.id/infografis/663-masyarakat-indonesia-memiliki-smartphone-8">dua dari tiga orang Indonesia menggunakan smartphone</a>. Sekitar 55% dari pengguna <em>smartphone</em> melihat <em>smartphone</em> lebih dari 3 jam per hari, baik untuk melihat media sosial, telepon, <em>chatting</em> maupun menonton video. </p>
<h2>Fase mendapat kenikmatan</h2>
<p>Fase perkembangan anak yang cukup menantang dan memerlukan banyak waktu adalah fase balita. Ini fase perkembangan aktif dari seorang manusia. </p>
<p>Seiring dengan tingginya rasa ingin tahu dan siapnya fungsi pergerakan balita, aktivitas motorik balita cenderung tinggi. Perilaku ini didasari oleh perkembangan salah satu sistem otak balita, yakni sistem dopamin. Sistem ini merupakan sistem otak yang berfungsi sebagai pusat kenikmatan. Sistem ini bertugas memastikan nikmat atau tidaknya sebuah kegiatan atau situasi. </p>
<p>Pada keadaan normal, sistem ini akan teraktivasi ketika seseorang berolahraga atau menguasai suatu konsep atau kegiatan lain yang dipersepsikan menyenangkan oleh manusia itu. Perkembangan sistem dopamin ini melandasi aktifnya seorang anak balita. </p>
<p>Sehubungan dengan keinginan kuat untuk eksplorasi lingkungannya, anak akan merasakan kepuasan bila rasa ingin tahunya terpenuhi. Anak akan berperilaku mengikuti orang tua ke mana pun. Ia akan bereksperimen dengan segala benda yang ia lihat sehingga ia akan cenderung membuat keadaan tempat tinggal berantakan. </p>
<p>Orang tua yang tidak memahami keadaan ini akan cenderung kewalahan dan berharap anaknya tenang. Pada titik itulah, orang tua kerap “menenangkan” anaknya dengan memberinya telepon pintar yang yang tersambung ke internet. </p>
<p>Balita, umumnya, cepat tenang melihat tontotan interaktif di YouTube dan game di layar digital. Hal yang jarang disadari adalah paparan dini ini memiliki dampak negatif baik jangka pendek maupun jangka panjang pada anak. </p>
<p>Selain berdampak negatif dalam jangka pendek, seperti <a href="https://www.liebertpub.com/doi/10.1089/cyber.2017.0324">mata anak-anak lelah</a>, dalam jangka panjang <em>digital babysitting</em> juga dapat menimbulkan masalah fungsi kognitif khususnya fungsi eksekutif-<a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7643631/">kemampuan memecahkan masalah</a>- dan kesehatan fisik yang <a href="https://doi.org/10.22146/bkm.26869">terganggu karena obesitas</a>. </p>
<p>Orang dengan fungsi eksekutif yang baik akan cenderung dapat melihat peluang, kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi, mengingat pengalaman terkait sehingga dapat mengambil keputusan untuk memecahkan masalah. </p>
<p>Melihat <em>screen</em> berlebih merupakan aktivitas yang dapat meningkatkan kenikmatan (aktivasi sistem dopamin) secara cepat dibanding aktivitas lain seperti bersosialisasi dan aktivitas fisik. Balita dengan <em>screen time</em> tinggi akan cenderung memilih untuk melihat <em>screen</em> dibanding aktivitas lain seperti bermain dengan boneka atau alat bermain lainnya. </p>
<p>Kebiasaan mendapatkan kenikmatan secara praktis dan segera seperti melihat <em>screen</em> ini membuat anak tidak perlu menggunakan fungsi eksekutifnya untuk mendapatkan kenikmatan belajar atau pemecahan masalah sehingga fungsi eksekutif tidak terbiasa digunakan untuk mendapatkan kenikmatan. </p>
<p>Paparan <em>screen</em> akan membiasakan balita untuk lebih menikmati layar digital dibanding interaksi sosial atau aktivitas fisik. Alasan ini juga menjadi dasar untuk dampak kesehatan fisik balita. </p>
<p>Karena itu, <a href="http://www.aap.org/en-us/about-the-aap/aap-press-room/news-features-and-safety-tips/Pages/Children-and-Media-Tips.aspx">ahli kesehatan anak dan psikolog</a> tidak merekomendasikan <em>digital babysitting</em> karena alasan-alasan tersebut.</p>
<p>Sebaliknya, interaksi sosial dan aman antara anak dan orang tua merupakan hal yang direkomendasikan demi perkembangan kognitif, kesehatan fisik dan keterampilan sosial anak.</p>
<h2>Maksimal 1 jam per hari</h2>
<p>Fase balita merupakan fase penting untuk perkembangan berbahasa yang akan menjadi fungsi sosial.</p>
<p>Karena itu <a href="http://www.aap.org/en-us/about-the-aap/aap-press-room/news-features-and-safety-tips/Pages/Children-and-Media-Tips.aspx">Akademi Pediatrik Amerika (AAP)</a> tidak merekomendasikan adanya paparan layar digital ke anak-anak. AAP merekomendasikan agar balita lebih banyak menghabiskan waktu dengan berkomunikasi dua arah. </p>
<p>Kalau terpaksa melakukannya, APP merekomendasikan untuk membatasi <em>screen time</em> pada balita (2-5 tahun) maksimal satu jam per hari. Itu pun dengan konten yang benar-benar mendidik balita dan didampingi atau ditonton bersama oleh orang tua, sehingga balita tidak merasa sendirian.</p>
<p>Lebih sehat jika orang tua mengajak balita untuk mengidentifikasi perasaan tidak enak, melakukan aktivitas lain dalam mengatasi kebosanan, menenangkan diri dengan fokus pada napas, membicarakan cara mengatasi masalah dan mencari cara lain untuk menyalurkan emosi.</p>
<p>Dengan cara ini, orang tua menjadi tempat yang aman bagi balita untuk menyalurkan emosi. </p>
<p>Kita perlu mengubah aktivitas anak ke arah yang lebih sehat. </p>
<p>Aktivitas permainan yang tidak berhubungan dengan layar digital akan membuat balita menjadi lebih kreatif dan tidak memiliki kebiasaan mencari kesenangan dengan melihat layar digital.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/140711/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Mahaputra tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Interaksi sosial dan aman antara anak dan orang tua merupakan hal yang direkomendasikan demi perkembangan kognitif, kesehatan fisik dan keterampilan sosial anak.Mahaputra, Dosen; Psikiater, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1269532019-11-19T05:34:44Z2019-11-19T05:34:44ZRiset: pemberian antibiotik pada anak walau sedikit tetap berdampak negatif bagi kesehatan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/302047/original/file-20191117-66953-js7rv3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Resistensi terjadi ketika bakteri berubah untuk melindungi diri dari antibiotik.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/father-give-some-medicines-asian-child-490175761?src=L94jKBAwOdnNdIPbsZsDUw-1-56">shutterstock/Toey Toey </a></span></figcaption></figure><p>Di Inggris, dokter umum melayani lebih dari 300 juta pasien setiap tahunnya dan <a href="https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(16)00620-6/fulltext">paling tidak seperempatnya</a> adalah anak-anak. Hampir dua pertiga keluhannya adalah batuk, sakit tenggorokan, atau sakit telinga - penyakit yang biasa diderita anak-anak.</p>
<p>Para dokter dan perawat mengelompokkan jenis penyakit ini sebagai “infeksi saluran pernapasan akut”. Penyakit ini dianggap bisa sembuh dengan sendirinya, yang berarti antibiotik hanya memiliki sedikit manfaat atau bahkan tidak sama sekali, dan bahwa penyakit ini akan hilang dengan sendirinya. Namun, dalam setidaknya 30% kasus ini, <a href="https://academic.oup.com/jac/article/73/suppl_2/19/4841820">antibiotik selalu diberikan</a>. Berarti diperkirakan ada 13 juta resep antibiotik tidak diperlukan. Tidak hanya boros, pemberian antibiotik juga mendatangkan konsekuensi yang tidak diinginkan pada anak-anak.</p>
<p>Memang, dalam <a href="https://bjgp.org/content/early/2019/08/12/bjgp19X705089">penelitian terbaru kami</a> terhadap lebih dari 250.000 anak-anak di Inggris, kami menemukan bahwa anak-anak prasekolah yang telah mengonsumsi dua atau lebih antibiotik untuk infeksi saluran pernapasan akut di tahun sebelumnya, memiliki peluang 30% lebih besar untuk tidak memerlukan perawatan lanjutan (termasuk kebutuhan untuk rawat inap di rumah sakit) dibandingkan dengan anak-anak yang belum mengonsumsi antibiotik. Penelitian ini secara khusus tidak dilakukan terhadap anak-anak dengan kondisi kesehatan permanen, karena anak-anak ini akan lebih rentan terhadap infeksi.</p>
<h2>Masalah resistensi</h2>
<p>Sudah menjadi hal umum bahwa menggunakan antibiotik dapat <a href="https://www.bmj.com/content/340/bmj.c2096">mendorong bakteri untuk berubah</a> dan dapat menyebabkan munculnya resistensi antibiotik. Tapi banyak orang yang <a href="https://theconversation.com/we-found-reservoirs-of-antibiotic-resistant-bacteria-across-london-121322">cenderung berpikir bahwa resistensi</a> hanya terjadi untuk orang yang terlalu sering menggunakan antibiotik, dalam jangka waktu yang terlalu lama, atau pada pasien dengan kondisi medis lain yang membuat mereka semakin sakit. Ini tidak benar.</p>
<p>Mengonsumsi antibiotik apa pun (baik sesuai atau tidak) membuat pengembangan resistensi antibiotik lebih mungkin terjadi. Seperti yang ditunjukkan oleh penelitian kami, bahkan penggunaan antibiotik yang relatif sedikit memiliki implikasi dan efek kesehatan yang tidak perlu bagi anak-anak. Dan begitu Anda melihat bahwa banyak anak-anak prasekolah kerap menderita sakit lanjutan setelah mengonsumsi antibiotik, hal ini membuat temuan kami lebih relevan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/296193/original/file-20191009-3887-1699rwq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/296193/original/file-20191009-3887-1699rwq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/296193/original/file-20191009-3887-1699rwq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/296193/original/file-20191009-3887-1699rwq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/296193/original/file-20191009-3887-1699rwq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/296193/original/file-20191009-3887-1699rwq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/296193/original/file-20191009-3887-1699rwq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Semua antibiotik berdampak bagi tubuh, bahkan ketika dikonsumsi dengan dosis rendah.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/father-give-some-medicines-asian-child-490175761?src=L94jKBAwOdnNdIPbsZsDUw-1-56">Shutterstock/Toey Toey</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pada tahap ini, masih belum jelas mengapa anak-anak yang mengonsumsi lebih banyak antibiotik lebih cenderung tidak memberikan respons pada perawatan lanjutan.</p>
<p>Mungkin, karena munculnya bakteri resisten, misalnya. Bisa juga karena gangguan mikrobioma pada usus anak-anak. Dan hal ini mungkin berhubungan dengan harapan orang tua tentang perawatan lanjutan dan fakta bahwa orang tua tidak menyadari terbatasnya peran antibiotik dalam sebagian besar infeksi pada anak. Ini merupakan hal yang normal jika batuk pada anak berlangsung lebih lama dari yang Anda kira – setengah dari kasus ini <a href="https://www.bmj.com/content/347/bmj.f7027.long">berlangsung selama sepuluh hari</a> dan satu dari sepuluh kasus berlangsung selama 25 hari.</p>
<h2>Perubahan jangka panjang</h2>
<p>Tentu saja, dokter ingin memberikan perawatan terbaik untuk pasien mereka. Tapi mereka bergumul ketika memberikan meresepkan antibiotik - dengan demikian menurunkan risiko individu pasien sekaligus membahayakannya - atau tidak meresepkannya, dan menurunkan risiko bersama.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/scientists-alone-cant-solve-the-antibiotic-resistance-crisis-we-need-economists-too-116086">Scientists alone can't solve the antibiotic resistance crisis – we need economists too</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Keputusan ini tidak mudah. Dan di tengah ketidakpastian, dokter kerap keliru menggunakan sisi kehati-hatian dalam memberikan resep. Penelitian kami menemukan bahwa anak-anak yang mengonsumsi lebih banyak antibiotik, cenderung lebih mungkin untuk kembali ke dokter dalam periode 14 hari - yang secara tidak langsung akan meningkatkan beban kerja dokter dan perawat.</p>
<p>Mengingat temuan kami juga menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik yang relatif sedikit pun memiliki implikasi kesehatan jangka pendek untuk anak-anak, jelas bahwa semakin sedikit dokter meresepkan antibiotik dalam kasus seperti ini, semakin baik. Ini bukan hanya tanggung jawab dokter dan perawat, orang tua juga harus realistis tentang berapa lama penyakit anak mereka berlangsung.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/126953/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>This research was funded by the Scientific Foundation Board of the Royal College of General Practitioners (grant reference: SFB 2015-33). Dr Oliver van Hecke has received research funding from the National Institute for Health Research (School for Primary Care Research). He sits on council of the British Society for Antimicrobial Chemotherapy.</span></em></p>Antibiotik hanya memiliki sedikit manfaat atau bahkan tidak sama sekali terhadap infeksi saluran pernapasan pada anak.Oliver van Hecke, Clinical Lecturer and GP, University of OxfordLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1210492019-08-20T06:36:55Z2019-08-20T06:36:55ZStrategi menurunkan angka stunting di Indonesia: memetakan status gizi balita hingga tingkat desa<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/288514/original/file-20190819-123736-5xp5wv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Sayangilah anak-anak dengan memberikan gizi yang cukup dan memantau perkembangan mereka. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/success?u=http%3A%2F%2Fdownload.shutterstock.com%2Fgatekeeper%2FW3siZSI6MTU2NjI0MDQxMiwiYyI6Il9waG90b19zZXNzaW9uX2lkIiwiZGMiOiJpZGxfMTAwNjE0MTYzNiIsImsiOiJwaG90by8xMDA2MTQxNjM2L21lZGl1bS5qcGciLCJtIjoxLCJkIjoic2h1dHRlcnN0b2NrLW1lZGlhIn0sImlsVDhHYkUxTGxiUzE2M0gvaG8xWXUyaUR2YyJd%2Fshutterstock_1006141636.jpg&pi=33421636&m=1006141636">Kenkuza/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Dalam lima tahun terakhir, pemerintah meningkatkan <a href="http://www.anggaran.depkeu.go.id/content/Publikasi/stunting/Penanganan%20Stunting_DJA.pdf">perhatian</a> dan <a href="https://www.liputan6.com/health/read/4041227/pemerintah-gelontorkan-1322-triliun-untuk-anggaran-kesehatan?related=dable&utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.1&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com%2F">anggaran</a> untuk mempercepat penurunan angka bayi pendek (<em>stunting</em>) melalui penerbitan <a href="https://www.bappenas.go.id/id/profil-bappenas/unit-kerja/deputi-sdm/dit-kgm/contents-direktorat-kesehatan-dan-gizi-masyarakat/gerakan-nasional-percepatan-perbaikan-gizi/">peraturan presiden</a> dan menetapkan <a href="https://cegahstunting.id/wp-content/uploads/2018/04/8.-160-kab-kota-prioritas-desa-2019_FINAL_rev.4-2.pdf">160 kabupaten dan kota prioritas penanggulangan stunting</a>.</p>
<p>Masalahnya, meski <a href="http://labdata.litbang.depkes.go.id/riset-badan-litbangkes/menu-riskesnas/menu-riskesdas">prevalensi bayi stunting di Indonesia pada 2018</a> masih tinggi 30,8% atau sekitar 1 dari 3 anak balita merupakan bayi stunting, tak ada data prevalensi tingkat kecamatan dan desa yang dapat membantu menentukan area prioritas intervensi.</p>
<iframe title="Prevalensi Balita Stunting di Indonesia (%), 2007-2018" aria-label="Column Chart" id="datawrapper-chart-dfniY" src="https://datawrapper.dwcdn.net/dfniY/1/" scrolling="no" frameborder="0" style="width: 0; min-width: 100% !important; border: none;" height="400" width="100%"></iframe>
<p>Saat ini informasi prevalensi status gizi anak di bawah lima tahun baru tersedia untuk tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten yang berasal dari survei Riset Kesehatan Dasar. Padahal, lima tahun lagi <a href="https://www.liputan6.com/health/read/4041227/pemerintah-gelontorkan-1322-triliun-untuk-anggaran-kesehatan?related=dable&utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.1&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com%2F">pemerintah menargetkan angka stunting bisa diturunkan hingga 19%</a>.</p>
<p>Keterbatasan informasi menjadi kendala pemerintah dalam menentukan sasaran program anti-stunting ke area yang lebih kecil. Informasi akurat terkait wilayah prioritas dan tingkat prevalensi status gizi sangat dibutuhkan untuk membantu pengambil kebijakan dalam mengalokasikan anggaran dan sumber daya lainnya pada sasaran yang tepat.</p>
<p>Melalui kerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), SMERU Research Institute baru-baru ini menyusun <a href="http://www.smeru.or.id/en/content/penyusunan-peta-status-gizi-di-indonesia">Peta Status Gizi untuk 6 kabupaten</a> (<a href="https://www.smeru.or.id/nutmap">peta bisa dilihat di sini</a>) berdasarkan data riset pemerintah dan verifikasi di lapangan. Peta ini menyediakan informasi prevalensi status gizi balita hingga ke tingkat kecamatan dan desa/kelurahan. </p>
<p>Dengan metode riset yang kredibel dan data yang akurat, peta ini menjawab kebutuhan data kesehatan atau kemiskinan di tingkat desa/kecamatan dengan biaya yang jauh lebih murah. Kami menyajikan data status gizi balita di semua desa (1518 desa) di enam kabupaten terpilih yang masuk dalam daftar kabupaten prioritas yakni Rokan Hulu Provinsi Riau, Lampung Tengah (Lampung), Tasikmalaya (Jawa Barat), Pemalang (Jawa Tengah), Jember (Jawa Timur), dan Timor Tengah Selatan (Nusa Tenggara Timur).<br>
Salah satu temuan kami, program intervensi pemerintah seperti perbaikan akses terhadap air bersih dan sanitasi layak dan program terkait kesehatan lainnya, serta perubahan perilaku masyarakat menyebabkan perbaikan status gizi anak secara umum di 6 kabupaten tersebut.</p>
<h2>Memandu intervensi yang tepat sasaran</h2>
<p>Jauh sebelum riset menyusun peta status gizi tersebut, lembaga kami berpengalaman menyusun <a href="http://povertymap.smeru.or.id/content/reports">peta kemiskinan</a> yang dibuat tahun 2000, 2010 dan 2015. Peta tersebut memberikan <a href="http://povertymap.smeru.or.id/map3/kabbydesa/3206_kabdesa">informasi tingkat kemiskinan</a> hingga ke tingkat administrasi terkecil yaitu desa/kelurahan. </p>
<p>Peta ini tersedia aksesnya untuk pemerintah dalam rangka penetapan daerah-daerah prioritas pengentasan kemiskinan. Peta tersebut juga dapat memberikan gambaran secara geografis mengenai faktor-faktor kemiskinan antar wilayah dan aspek-aspek penghidupan masyarakat secara multi-dimensional.</p>
<p>Kami mengadopsi metode <em>Small Area Estimation</em> (SAE) dari <a href="https://www.jstor.org/stable/3082050">Chris Elbers, Jean Lanjouw, and Peter Lanjouw (2003) ekonom dari Vrije Universiteit Amsterdam</a> yang populer digunakan untuk mengestimasi tingkat kemiskinan hingga ke satuan wilayah terkecil. </p>
<p>Status gizi yang ditampilkan dalam peta status gizi tersebut meliputi <em>stunting</em> (anak pendek) yang didasarkan pada tinggi badan dan umur, <em>underweight</em> (anak berat kurang) yang didasarkan pada berat badan dan umur, dan <em>wasting</em> (anak kurus) yang didasarkan pada tinggi badan dan berat badan. </p>
<p>Sumber data yang kami gunakan untuk menyusun peta gizi berasal dari <a href="http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/Data%20Riskesdas%202013.pdf">Riset Kesehatan Dasar 2013 </a> yang memuat informasi hasil ukur berat dan tinggi badan balita secara nasional hingga tingkat kabupaten/kota. Lalu data <a href="https://www.bps.go.id/publication/2011/11/22/f0f9b7483c34df5e5ae96be2/statistik-potensi-desa-indonesia-2011.html">Statistik Potensi Desa 2011</a> dan <a href="https://mikrodata.bps.go.id/mikrodata/index.php/catalog/2">Sensus Penduduk 2010</a> dari Badan Pusat Statistik.</p>
<p>Untuk menyusun peta status gizi, selain memetakan melalui estimasi menggunakan data survei dan sensus, kami juga memverifikasi 18 desa dengan mengukur tinggi dan berat badan semua balita (3.800 anak berumur 0-59 bulan) di semua desa terpilih dan wawancara mendalam dengan informan kunci. </p>
<p>Verifikasi ini untuk mengukur secara langsung status gizi balita di desa, melihat konsistensi model estimasi, dan menangkap perubahan dari faktor-faktor kurun waktu 2013 ke 2019. </p>
<p>Temuan dari studi ini menunjukkan kondisi status gizi di semua desa sampel verifikasi cenderung membaik selama kurun waktu 2013 hingga 2019. Contohnya, berdasarkan estimasi pada desa A di Kecamatan Bangun Purba Kabupaten Rokan Hulu pada 2013 memiliki angka stunting 61%. Sementara pada verifikasi tahun 2019 angka stunting ditemukan hanya sepertiganya (20%) di desa tersebut. Program-program intervensi dari pemerintah seperti perbaikan akses sanitasi dan air layak dan pendidikan orang tua mengubah status gizi di desa, tapi perlu riset lanjutan untuk bisa menunjukkan apa saja program yang paling berhasil.</p>
<p>Temuan ini sejalan dengan perubahan angka stunting di tingkat kabupaten. Riset Kesehatan Dasar 2013 menyatakan angka stunting di Kabupaten Rokan Hulu mencapai 59%, lalu riset serupa tahun lalu angkanya turun lebih dari separuhnya, tinggal 27%. </p>
<p>Pola serupa juga ditemukan di semua kabupaten studi. Hal ini menunjukkan konsistensi antara perubahan angka status gizi di tingkat desa dan perubahan angka status gizi di tingkat kabupaten pada 2013-2019. </p>
<h2>Faktor pengubah status gizi</h2>
<p>Karena perbedaan antara tahun estimasi – menggunakan data riset kesehatan dasar tahun 2013 – dan verifikasi lapangan pada tahun ini, kami juga menganalisis faktor perubahan angka status gizi di tingkat desa. Kami menemukan beberapa faktor penghidupan yang berpengaruh secara tidak langsung terhadap perubahan status gizi di desa sampel. </p>
<p>Meningkatnya rata-rata tingkat pendidikan ayah dan ibu, membaiknya sanitasi layak dan akses rumah tangga terhadap air bersih, naiknya tingkat kesejahteraan rumah tangga, dan perbaikan asupan gizi ibu dan anak baik melalui perubahan pemahaman terkait pola pengasuhan, dan terpapar oleh program-program gizi merupakan faktor-faktor yang mengubah status gizi anak-anak. </p>
<p>Sedangkan desa dengan angka status gizi yang stagnan tarkait dengan pola hidup bersih dan sehat yang tidak berjalan, ada pernikahan dini, kondisi geografis dan akses ke layanan kesehatan yang sulit, dan potensi kerawanan pangan.</p>
<p>Di desa-desa di Timor Tengah Selatan, misalnya, penurunan angka prevalensi stunting cenderung kecil/stagnan. Hal ini disebabkan oleh faktor kondisi geografis wilayah yang luas dengan penduduk yang tersebar, lalu kondisi alam yang cenderung kering dan jauhnya akses sumber air bersih, kesejahteraan rumah tangga yang rendah, dan pemahaman yang rendah terhadap makanan bergizi dan berimbang. </p>
<h2>Mencegah masa depan buruk</h2>
<p><a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/mcn.12080">Penelitian di berbagai negara berkembang</a> menyatakan stunting memiliki banyak dampak buruk pada masa depan anak-anak. Mereka yang stunting cenderung memiliki capaian pendidikan yang lebih rendah, pendapatan yang lebih rendah dan kemungkinan untuk jatuh dalam kemiskinan yang lebih besar.</p>
<p>Karena tinggi badannya yang cenderung lebih rendah, maka anak-anak yang stunting memiliki <a href="https://www.who.int/nutrition/events/2013_ChildhoodStunting_colloquium_14Oct_ConceptualFramework_colour.pdf">faktor risiko berat badan berlebih atau obesitas dan penyakit kronis lainnya ketika dewasa</a>. Perempuan yang stunting juga dapat mengakibatkan kelahiran bayi dengan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/m/pubmed/18242415/">berat badan lahir rendah (BBLR) dan komplikasi persalinan</a>. </p>
<p>Bank Dunia mencatat kurangnya tinggi anak 1% secara nasional berkorelasi dengan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0140673607600324">penurunan produktivitas ekonomi 1,4% di negara berkembang di Asia dan Afrika</a>. </p>
<p>Dan Indonesia masih menghadapi permasalahan akut kekurangan gizi di kalangan anak-anak di bawah lima tahun. </p>
<p>Sampai saat ini, pemerintah Indonesia menurunkan angka stunting dengan dua strategi: intervensi spesifik dan intervensi sensitif.</p>
<p>Di bawah kendali Kementerian Kesehatan, intervensi spesifik ditujukan untuk mencegah dan mengatasi stunting secara langsung pada ibu hamil dan balita melalui pemberian zat besi, imunisasi, makanan tambahan, dan suplementasi zat gizi mikro (misalnya zat besi, seng, dan vitamin).</p>
<p>Sedangkan intervensi sensitif yang multi-sektoral untuk mengatasi permasalahan sosioekonomi yang dapat berhubungan dengan peningkatan risiko stunting, seperti akses sanitasi dan air bersih, akses terhadap bantuan sosial, peningkatan ketahanan pangan dan peningkatan kesehatan remaja. </p>
<p>Karena itu, data prevalensi yang akurat di level terkecil sangat penting agar intervensinya tepat sasaran. <a href="https://www.smeru.or.id/nutmap/">Peta Status Gizi</a> untuk 6 kabupaten baru langkah awal untuk membantu memetakan status gizi untuk seluruh desa dan kecamatan di Indonesia sebagai bagian dari strategi nasional menurunkan angka bayi dan balita stunting.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/121049/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Elza Samantha Elmira memimpin riset penyusunan peta gizi desa di 6 kabupaten dengan dukungan teknis dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Studi ini mendapat dukungan dana dari Bank Dunia dan Tanoto Foundation.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Ridho Al Izzati terlibat dalam penyusunan analisis riset peta gizi desa di 6 kabupaten dengan dukungan teknis dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Studi ini mendapat dukungan dana dari Bank Dunia dan Tanoto Foundation.</span></em></p>Anak-anak yang stunting cenderung memiliki capaian pendidikan yang lebih rendah, pendapatan yang lebih rendah dan kemungkinan untuk jatuh dalam kemiskinan yang lebih besar.Elza Samantha Elmira, Researcher, SMERU Research InstituteRidho Al Izzati, Junior Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1189192019-06-18T06:05:47Z2019-06-18T06:05:47ZBayi menangis di pesawat terbang: bagaimana sebaiknya penumpang dan awak kabin bersikap?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/279940/original/file-20190618-118497-14zs87r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ibu membawa bayinya dalam penerbangan. Semestinya setiap dewasa berempati pada bayi yang menangis di pesawat.
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/success?u=http%3A%2F%2Fdownload.shutterstock.com%2Fgatekeeper%2FW3siZSI6MTU2MDg1NDc1NiwiYyI6Il9waG90b19zZXNzaW9uX2lkIiwiZGMiOiJpZGxfMjEzNDU4NzAxIiwiayI6InBob3RvLzIxMzQ1ODcwMS9tZWRpdW0uanBnIiwibSI6MSwiZCI6InNodXR0ZXJzdG9jay1tZWRpYSJ9LCJVSzdub1VNQnNpalhEY011QWkxd2krNkRsTWMiXQ%2Fshutterstock_213458701.jpg&pi=41133566&m=213458701&src=P13NsgANvYq5JtOk9-3UDg-1-70">ChameleonsEye/Shuttestock</a></span></figcaption></figure><p>Model dan aktris <a href="https://www.liputan6.com/showbiz/read/3986355/pilih-binatang-ketimbang-bayi-di-pesawat-angela-gilsha-panen-hujatan">Angela Gilsha menumpahkan rasa kesalnya terhadap tangisan bayi</a> yang dia dengar selama penerbangan domestik baru-baru ini. Lewat Instagram, dia menyatakan lebih memilih memperbolehkan hewan daripada bayi untuk naik pesawat. Setelah dihujat di media sosial, <a href="https://celebrity.okezone.com/read/2019/06/10/33/2064854/sempat-mengeluhkan-tangisan-bayi-di-pesawat-angela-gilsha-minta-maaf">dia minta maaf</a> atas pernyataan tersebut. </p>
<p>Penyikapan atas kasus bayi yang menangis di penerbangan cukup beragam. Kaum penentang tangisan bayi tidak segan <a href="https://www.bbc.com/news/magazine-21977785">menyarankan orang tua memberikan obat sedatif, sebuah senyawa obat penenang yang dalam dosis besar dapat menyebabkan seseorang tertidur pulas,</a> bagi anak kecil selama penerbangan. Padahal penggunaan obat sedatif bagi anak meningkatkan risiko gangguan pernapasan dan efek samping lain seperti <a href="https://www.nlg.nhs.uk/content/uploads/2013/12/IFP-053SSedation.pdf">sakit kepala, muntah, dan mual</a>. </p>
<p>Bagaimana Anda menyikapi bayi yang menangis tiada henti dalam penerbangan ribuan meter di angkasa? Apakah Anda akan membantu orang tua menenangkan si bayi, diam saja dan tutup telinga seperti patung, atau meluapkan kekesalan kepada orang tua bayi? Perusahaan penerbangan seharusnya juga membekali awak kabin keterampilan melayani penumpang bayi. </p>
<p>Sebuah riset menunjukkan saat tangisan bayi tak kunjung usai atau bahkan semakin menjadi-jadi di pesawat, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2352250X16301579">tingkat stres orang tua meningkat</a> yang berisiko pada perilaku pengasuhan negatif yang ditunjukkan orang tua. Walaupun tidak serta merta melakukan kekerasan pada bayinya di depan umum, raut muka yang ditunjukkan oleh orang tua dalam merespons tangisan bayi <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20677873/">ternyata dapat dipahami oleh bayi</a>. Si kecil dapat merasakan suasana marah yang dirasakan orang tua. Saat kondisi ini secara konsisten dirasakan oleh bayi, kualitas ikatan keterikatan orang tua dan bayinya menurun dan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4662961/">meningkatkan risiko kekerasan pada bayi</a>.</p>
<p>Karena itu, etika kepedulian dan empati perlu dipertimbangkan dalam kondisi ini. Saat bayi menangis, dia merasa tidak nyaman alias tergolong sebagai orang yang sedang mengalami kesusahan, maka mestinya orang dewasa menunjukkan kepedulian dan empati. Tangisan bayi semerdu apa pun tetap akan membuat orang tua menjadi tertekan. Lalu apakah sebagai orang dewasa kita hanya akan berdiam diri melihat orang lain kesusahan? </p>
<p>Cerita tentang penerbangan dengan tangisan bayi sudah beberapa kali menjadi kontroversi. Kasusnya bukan hanya ulah nir-empati penumpang, tapi juga oleh awak kabin pesawat. United Airlines pernah melarang terbang <a href="https://www.independent.co.uk/travel/news-and-advice/united-airlines-mother-baby-crying-flight-attendant-cabin-crew-business-class-a8557681.html">seorang pramugari dan menggelar investigasi internal terkait perlakuan pramugari tersebut saat ada bayi berusia 8 bulan menangis</a> di gendongan ibunya dalam penerbangan dari Sidney ke San Fransisco, 24 September 2018.</p>
<p>Alih-alih membantu si ibu menenangkan bayinya, pramugari tersebut menjelaskan bahwa kebijakan maskapai hanya membolehkan bayi tidak boleh menangis lebih dari lima menit. Ketika bayi tersebut tidak berhenti menangis, pramugari meminta ibu dan bayinya yang membeli tiket di kursi bisnis pindah ke kelas ekonomi agar tidak menganggu penumpang kelas bisnis lainnya. </p>
<p>Dari sejumlah kasus bayi menangis di pesawat polanya hampir sama: bayi menangis tiada henti lalu orang dewasa kesal. Penumpang lain atau awak kabin meluapkan kekesalan pada orang tua. Orang tua semakin tertekan. Bayi semakin menangis. Orang dewasa semakin kesal. Siklus tersebut terus berlangsung hingga Anda sampai di tempat tujuan. </p>
<h2>Penyebab bayi menangis di pesawat</h2>
<p>Tangisan bayi menunjukkan bahwa dia sedang dalam kondisi yang tidak nyaman. Rasa tidak nyaman ini dapat terjadi karena banyak hal, salah satunya adalah respons bayi terhadap rasa sakit.</p>
<p><a href="https://www.who.int/ith/mode_of_travel/jet_lag/en/."><em>Jet lag</em></a>, gangguan kesehatan akibat perjalanan udara yang paling populer, bukan satu-satunya gangguan kesehatan akibat perjalanan udara. Gangguan kesehatan lain yang umum terjadi adalah rasa sakit pada telinga. Perubahan tekanan udara yang sangat cepat saat pesawat lepas landas dan mendarat berisiko pada terjadinya <a href="https://medlineplus.gov/ency/article/001064.htm">cedera telinga</a>. Rasa sakit pada telinga ini terjadi tidak hanya pada orang dewasa tapi juga bayi. </p>
<p>Saat lepas landas, pramugari biasanya akan menawarkan permen untuk penumpang. Hal ini merupakan salah satu bentuk upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari cedera telinga. Sayangnya, trik ini tidak bisa dilakukan pada bayi karena <a href="https://www.who.int/nutrition/topics/complementary_feeding/en/">tekstur permen terlalu keras untuk bayi</a> dan dapat membuat bayi tersedak. Untuk mengurangi sakit telinga pada bayi saat tinggal landas dapat dilakukan dengan <a href="https://www.mayoclinic.org/healthy-lifestyle/infant-and-toddler-health/expert-answers/air-travel-with-infant/faq-20058539">menyusui bayi</a>. </p>
<p>Dampak kesehatan yang paling serius justru disebabkan oleh <a href="https://hellosehat.com/penyakit/hipoksia/">hipoksia</a>, sebuah kondisi saat jaringan tubuh kekurangan oksigen. Normalnya oksigen dalam darah sekitar 75-100 milimeter air raksa (mm Hg), bila di bawah 60 mm Hg akan terkena hipoksia dan butuh oksigen tambahan. Dalam penerbangan, hipoksia terjadi akibat turunnya <a href="https://www.infopenerbangan.com/memahami-hipoksia-di-ketinggian/">tekanan parsial oksigen</a> dalam udara yang dihirup seiring dengan ketinggian yang melebihi kemampuan fisiologi tubuh. </p>
<p>Respon tubuh terhadap <a href="https://hellosehat.com/penyakit/hipoksia/">hipoksia berbeda untuk masing-masing individu</a>. Pada bayi, hipoksia dalam jangka waktu yang lama (risiko meningkat saat penerbangan jarak jauh) dikabarkan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1719897/">dapat menyebabkan kematian mendadak</a>. Hipoksia juga terbukti menyebabkan kondisi tidak nyaman selama perjalanan udara baik <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17611205">pada bayi maupun orang dewasa</a>. Bayi menangis merupakan satu indikasi ketidaknyamanan tersebut. </p>
<h2>Etika menjadi orang tua vs etika kepedulian dan empati</h2>
<p>Dalam buku <a href="https://www.questia.com/library/120076918/the-ethics-of-parenthood">The Ethics of Parenthoods</a>, Norvin Richards menjelaskan tentang bagaimana etika yang terjadi pada interaksi orang tua dan anak pada setiap tahapan kehidupan. Seorang anak hadir di dunia karena ego orang dewasa untuk memiliki penerus. Implikasinya, segala urusan yang ditimbulkan oleh si “anak” merupakan tanggung jawab orang tuanya. </p>
<p>Selain dalam kasus bayi menangis di pesawat, kontroversi tentang etika menjadi orang tua juga muncul saat membahas tentang menyusui bayi di tempat umum. Banyak orang dewasa merasa terganggu dengan praktik menyusui di tempat umum. Orang tua diminta untuk menyusui bayinya di tempat menyusui yang belum tentu lokasinya dekat. Untuk bisa segera disusui, si bayi harus menunggu sampai ibu mendapatkan lokasi menyusui yang tepat. </p>
<p>Alhasil bayi diminta untuk berkorban menahan rasa lapar atau merasakan sensasi makan di toilet atau mungkin juga menyusu dengan kegerahan karena tertutup celemek menyusui. Berkaca pada kasus ini, bayi selalu menjadi pihak yang dirugikan karena peran orang tua sebagai makhluk sosial. </p>
<p>Menjadi orang tua sekaligus makhluk sosial tampaknya merupakan tugas yang sulit. Pertanyaan yang muncul pada etika menjadi orang tua adalah apakah orang dewasa harus memiliki hubungan biologis untuk dapat disebut sebagai orang tua? Dalam kajian etika ini, pendekatan deontologis/kewajiban etis dipakai untuk meyakinkan bahwa semua orang dewasa, walaupun tanpa hubungan biologis, seharusnya selalu berperilaku baik kepada anak.</p>
<h2>Sekali lagi empati</h2>
<p>Dalam kasus bayi menangis di pesawat dan bayi menyusu di tempat umum, kepedulian dan empati merupakan solusi yang menyenangkan semua pihak, terlepas siapa yang <a href="https://www.researchgate.net/publication/287422810_The_Ethics_of_Care_and_Empathy">menunjukkan kepedulian dan empati tersebut</a>. </p>
<p>Empati tersebut ditunjukkan oleh seorang perempuan yang naik Alaskan Airlines dari Seattle ke Denver pada 29 Juli 2017. Dalam pesawat tersebut penumpang ini melihat seorang ibu sedang berjuang menenangkan bayi dan dua balitanya yang menangis bersamaan. Dalam unggahan di media sosialnya, perempuan tersebut menggambarkan bagaimana <a href="https://www.boredpanda.com/mom-helps-crying-kids-plane-kesha-bernard/?utm_source=google&utm_medium=organic&utm_campaign=organic">rasa kepedulian dan empati telah hilang dari para penumpang lainnya</a>. Saat perempuan tersebut menawarkan bantuan, seketika ibu yang kesusahan tersebut memintanya menggendong bayinya. Ajaibnya bayinya langsung tertidur pulas. </p>
<p>Penerbangan “FlyBabies” yang diluncurkan oleh maskapai JetBlue menunjukkan bentuk empati yang lebih berimbang antara <a href="https://www.travelandleisure.com/travel-tips/airlines-airports/jetblue-crying-baby-promotion">orang tua bayi dan juga penumpang lainnya</a>. Dalam penerbangan ini, setiap kali ada seorang bayi menangis di pesawat, semua penumpang akan menerima diskon 25% untuk penerbangan JetBlue berikutnya. Walaupun hanya bersifat promotif memperingati <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Hari_Ibu">Hari Ibu 22 Desember</a>, kebijakan ini membuat penumpang lain menerima tangisan bayi dalam penerbangan.</p>
<p>Terbang bersama tangisan bayi tentu sangat melelahkan, namun bayi juga memiliki hak yang sama sebagai penumpang untuk berekspresi di pesawat. Seharusnya kru kabin tidak hanya dibekali dengan keterampilan melayani penumpang dewasa melainkan juga menangani penumpang bayi yang menangis di pesawat. Saat kru kabin menunjukkan empatinya maka orang tua dan penumpang lain akan lebih merasa tenang dan memiliki kemungkinan tertular untuk melakukan hal yang tidak emosional.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/118919/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nuzulul Kusuma Putri tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Terbang bersama tangisan bayi cukup melelahkan, namun bayi juga memiliki hak yang sama sebagai penumpang untuk berekspresi di pesawat. Awak kabin seharusnya juga terampil melayani penumpang bayi.Nuzulul Kusuma Putri, Dosen pada Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Universitas AirlanggaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1161842019-05-02T14:26:32Z2019-05-02T14:26:32ZMemburu stunting: Wacana pembangunan kesehatan Jokowi dan diskriminasi fisik untuk pekerjaan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/272157/original/file-20190502-103075-9iut1s.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Mengukur tinggi dan berat badan bayi sangat penting untuk mengetahui tingkat perkembangan mereka.
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/success?u=http%3A%2F%2Fdownload.shutterstock.com%2Fgatekeeper%2FW3siZSI6MTU1NjgwNDE4OSwiYyI6Il9waG90b19zZXNzaW9uX2lkIiwiZGMiOiJpZGxfMTEwNTQ3MzIyMSIsImsiOiJwaG90by8xMTA1NDczMjIxL21lZGl1bS5qcGciLCJtIjoxLCJkIjoic2h1dHRlcnN0b2NrLW1lZGlhIn0sIldVV3pPNUYwMzNTSXFSUGlUODhsTVY3cWVucyJd%2Fshutterstock_1105473221.jpg&pi=41133566&m=1105473221&src=qU-PugxtzQNR2kWrBiwJdA-1-7">Bookzv/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Dengan nada menggelitik Presiden Joko Widodo baru-baru ini mengatakan “negara lain sudah bicara <em>big data</em>, <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/02/12/11242151/jokowi-negara-lain-sudah-bicara-big-data-kita-stunting-belum-selesai">kita belum bisa menyelesaikan masalah stunting</a>”. </p>
<p>Ya, benar. Angka anak kurang tinggi pada populasi anak di bawah lima tahun di Indonesia mencapai <a href="https://lifestyle.bisnis.com/read/20181102/106/855929/riskesdas-2018-stunting-menurun-tapi-diabetes-dan-penyakit-tidak-menular-melonjak">30,8%, menurut Survei Riset Kesehatan Dasar 2018</a>. Walau angka ini turun sekitar 6% dibanding survei serupa lima tahun lalu, jumlah tersebut tetap tinggi. </p>
<p>Isu anak kurang tinggi merupakan salah satu terobosan utama dalam <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/02/12/11242151/jokowi-negara-lain-sudah-bicara-big-data-kita-stunting-belum-selesai">narasi pemerintahan Jokowi</a>. Presiden meminta dinas kesehatan daerah harus menurunkan angka stunting “menjadi 20%, menjadi 10%, dan hilang” karena tak mungkin sumber daya manusia kita bersaing dengan negara lain jika stunting setinggi itu. Bagaimana cara mengatasi masalah stunting, yakni keadaan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak yang tampak dari tinggi badan anak jauh di bawah rata-rata populasi anak seusianya, juga menjadi materi <a href="https://nasional.kontan.co.id/news/ini-kata-sandiaga-dan-maruf-amin-soal-stunting-di-indonesia">debat calon wakil presiden pertengahan Maret lalu</a>. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/272283/original/file-20190502-103075-2mb89y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/272283/original/file-20190502-103075-2mb89y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=440&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/272283/original/file-20190502-103075-2mb89y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=440&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/272283/original/file-20190502-103075-2mb89y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=440&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/272283/original/file-20190502-103075-2mb89y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=552&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/272283/original/file-20190502-103075-2mb89y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=552&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/272283/original/file-20190502-103075-2mb89y.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=552&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Tak hanya isu kesehatan, stunting kini juga menjadi isu pembangunan ekonomi.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://www.pusdatin.kemkes.go.id/folder/view/01/structure-publikasi-pusdatin-buletin.html">Buletin Jendela Edisi 2018/Kemenkes</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Berbeda dari berat badan, tinggi badan anak berkaitan erat dengan status gizi dalam jangka panjang. Stunting merupakan cerminan kekurangan gizi dalam jangka panjang. Selain pertumbuhan ukuran tubuh, stunting juga berimplikasi pada gangguan perkembangan fungsi organ-organ secara menyeluruh, termasuk fungsi kognitif. Pemahaman ini belakangan memicu kekhawatiran pemerintah akan tingkat produktivitas sumber daya manusia. </p>
<p>Karena itu, intervensi terhadap masalah stunting lantas menjadi topik pemersatu berbagai aktor pembangunan melalui pendekatan kesejahteraan pada era pemerintahan Jokowi. Bank Dunia, misalnya, baru-baru ini berkomitmen <a href="http://projects.worldbank.org/P164686?lang=en">menggelontorkan pinjaman lunak sebesar Rp5,8 trilliun (US$ 400 juta) </a> untuk program <a href="https://www.worldbank.org/en/news/feature/2018/12/20/indonesia-making-the-money-work-to-reduce-child-stunting">lintas sektor yang melibatkan pemerintah</a> di berbagai tingkatan untuk lima tahun ke depan. Empat sektor utama yang menjadi target pendanaan ini adalah intervensi kesehatan, nutrisi, pendidikan, dan sanitasi. </p>
<p>Namun, ada sisi yang tenggelam dari diskusi soal stunting yakni kepanikan moral terkait stunting dan dampaknya yang dapat memperparah diskriminasi fisik dalam pasar kerja, seperti syarat tinggi badan untuk pekerjaan tertentu (polisi, tentara, pramugari, dan lainnya).</p>
<h2>Tak hanya soal kesehatan, juga diskriminasi fisik</h2>
<p>Sebuah riset di <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4892290/">jurnal Nutrition Reviews</a> menunjukkan bahwa kurangnya tinggi badan pada usia dewasa merupakan dampak dari dua masa krusial pertumbuhan vertikal. Yang pertama, pertumbuhan di dalam kandungan hingga usia 2 tahun. Pada masa ini kebutuhan nutrisi paling besar dibandingkan dengan masa lain dalam siklus hidup, dan paling rentan akan kondisi-kondisi yang mengganggu pertumbuhan, seperti infeksi berulang (penyakit diare misalnya). </p>
<p>Yang kedua, pertumbuhan pada usia remaja tepat sebelum dimulainya masa pubertas. Periode usia ini merupakan kesempatan bagi seorang anak untuk tumbuh tinggi (<em>catch-up growth</em>). Tapi kecil kemungkinan seseorang yang sudah mengalami stunting pada usia awal dapat mengejar ketertinggalan pertumbuhan fisiknya. Singkatnya, seseorang dengan tinggi badan dewasa yang kurang dari rata-rata bisa jadi merupakan produk dari kegagalan sistemik pada masa lampau, dan kini menjadi korban dari kegagalan sistemik pemerataan kesempatan masa kini.</p>
<p>Hingga hari ini, misalnya, <a href="http://makassar.tribunnews.com/2019/01/25/bri-buka-lowongan-kerja-batasnya-sampai-24-februari-lakukan-ini-agar-surat-lamaranmu-diterima?page=all">tinggi badan masih dijadikan prasyarat untuk melamar berbagai lowongan pekerjaan</a> baik di sektor publik <a href="http://banjarmasin.tribunnews.com/2016/06/09/syarat-tinggi-badan-sulit-dipenuhi-pendaftar-polisi-di-balangan">seperti kepolisian</a> dan <a href="https://tirto.id/syarat-dan-cara-daftar-rekrutmen-perwira-prajurit-karier-tni-2018-cX9y">militer</a> maupun perusahaan seperti <a href="https://sekolahpramugari.co.id/kriteria-fisik-pramugari-yang-dicari-maskapai.html">penerbangan</a> dan <a href="http://bangka.tribunnews.com/2018/09/03/ptkai-buka-lowongan-jadi-pramugari-dan-pramugara-kereta-api-cek-syaratnya">kereta api</a>. </p>
<p>Batas bawah tinggi badan paling rendah yang didapati penulis dari menelusuri pengumuman lowongan pekerjaan di Indonesia adalah sekitar 150 sentimeter untuk perempuan dan 163 cm untuk laki-laki untuk sejumlah posisi yang hanya membutuhkan tingkat pendidikan SMA. Bila dibandingkan dengan data <a href="http://antropometriindonesia.org/index.php/detail/artikel/4/10/data_antropometri">Perhimpunan Ergonomi Indonesia</a>, kedua batas tinggi ini merupakan besaran tinggi di bawah rata-rata (50 persentil) bagi kedua populasi jenis kelamin di Indonesia (155 cm untuk perempuan dan 169 cm untuk laki-laki). </p>
<p><a href="https://lapor.go.id/laporan/detil/lowongan-pekerjaan-terbatas-untuk-orang-dengan-tinggi-badan-150-cm">Permasalahan diskriminasi tinggi badan pada usia dewasa jarang diungkit sebagai isu nasional</a>. Hingga kini belum ada komitmen politik untuk menerapkan prinsip kesetaraan dan anti-diskriminasi yang melarang pencantuman tinggi badan dalam pengumuman lowongan kerja.</p>
<p>Karena itu, alih-alih hanya menjadi permasalahan kesehatan, stunting kini menjadi isu pembangunan ekonomi. Dengan membingkai stunting sebagai isu produktivitas sumber daya manusia, masalah ini dijadikan kambing hitam untuk lemahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. </p>
<p>Selain ada bantuan dari <a href="http://projects.worldbank.org/P164686?lang=en">Bank Dunia</a> di atas, sebuah sekretariat penanggulangan stunting akan dijalankan di bawah komando Kantor Wakil Presiden RI selama lima tahun ke depan. Terdapat 1.000 desa yang dijadikan lokasi prioritas untuk intervensi stunting. Pemilihan desa dilakukan dengan mengkombinasikan data statistik kesehatan (Riskesdas 2018) dan data rumah tangga miskin yang menjadi penerima berbagai bentuk program bantuan sosial.</p>
<h2>Kepanikan moral</h2>
<p>Dalam ilmu sosiologi, kepanikan moral digambarkan sebagai proses membangkitkan kepedulian sosial terhadap sebuah isu. Menurut Stanley Cohen, sosiolog dari London School of Economics, dalam bukunya “<a href="https://www.amazon.com/Devils-Moral-Panics-Routledge-Classics/dp/0415610168">Folk Devils and Moral Panics</a>”, kepanikan moral terjadi saat “sebuah kondisi, episode, orang, atau kelompok orang muncul sebagai ancaman terhadap nilai dan kepentingan sosial.” </p>
<p>Kepanikan moral yang berhubungan dengan isu kesehatan masyarakat sering terjadi, di antaranya, seruan <a href="https://rumahcemara.or.id/perang-yang-boros-anggaran-dan-gagal/">‘perang terhadap narkotik’</a> dan <a href="https://www.dw.com/id/kriminalisasi-lgbt-halangi-penanggulangan-hiv-aids/a-44485339">kriminalisasi homoseksualitas</a> di tengah kepanikan akan infeksi HIV. Singkat kata, kepanikan moral yang tidak disadari akan berujung kepada marjinalisasi kelompok masyarakat yang biasanya memang sudah rentan, dan justru kontraproduktif terhadap usaha perbaikan taraf kesehatan masyarakat.</p>
<p>Karena itu, dalam konteks isu stunting di Indonesia, pengamat sosial tidak boleh lengah dengan kemungkinan munculnya diskriminasi terhadap kekerdilan atau tinggi badan. Untuk memahami permasalahan tinggi badan pada populasi, pemerintah harus sadar bahwa keberadaan populasi produktif saat ini yang mengalami diskriminasi kesempatan kerja karena ketimpangan pertumbuhan pada masa lampau. Besaran populasi yang terdampak oleh stunting pada masa lampau pun belum pernah terungkap.</p>
<p>Kepanikan moral menggambarkan sebuah narasi yang meliyankan sekelompok orang dengan suatu karakteristik tertentu. Dengan membingkai kondisi stunting sebagai ancaman produktivitas negara dalam wacana publik tanpa disertai kebijakan yang mengkoreksi ketidakadilan kesempatan kerja karena diskriminasi tinggi badan, maka program pengentasan stunting malah potensial dapat mendiskriminasi lebih lanjut populasi yang sudah rentan. </p>
<h2>Pendekatan inklusif</h2>
<p>Walau demikian, bukan berarti isu stunting tidak dapat menjadi katalis pembangunan kesehatan. Konvergensi perencanaan program dan anggaran lintas sektoral dan berbagai lapis kepemerintahan merupakan satu langkah lebih dekat kepada visi ‘kesehatan dalam seluruh kebijakan’ demi mencapai Indonesia yang sejahtera.</p>
<p>Namun pewacanaan mengenai stunting tidak boleh memarjinalkan masyarakat yang rentan. Sebagai alternatif, prinsip pendekatan kesehatan masyarakat yang tidak meminggirkan akan selalu bercermin kepada kebutuhan lapis masyarakat yang berisiko mengalami diskriminasi. Hal ini memerlukan pendekatan yang memanusiakan manusia, yang memahami kondisi kesenjangan sosial, budaya, dan ekonomi yang melatarbelakangi stunting, dan kebutuhan warga negara yang terdampak akibat stunting pada masa kanak-kanak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/116184/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ade Prastyani (Asty) saat ini bekerja sebagai peneliti untuk Kelompok Kerja Kesehatan di Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Tulisan ini tidak mewakili opini resmi TNP2K, pemerintah Republik Indonesia, maupun mitra-mitranya.</span></em></p>Kepanikan moral terkait stunting dan dampaknya dapat memperparah diskriminasi fisik dalam pasar kerja, seperti syarat tinggi badan untuk pekerjaan tertentu.Ade W. Prastyani, New Mandala Indonesia Correspondent Fellow, Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1079002018-12-10T08:37:41Z2018-12-10T08:37:41ZKrisis kepercayaan penyebab cakupan imunisasi anak Indonesia menurun 5 tahun terakhir<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/249001/original/file-20181205-186079-xv97sy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Vaksinasi MR untuk siswa Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu Ummul Quro Bogor, Agustus 2017.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/51170438@N08/36632382211/in/photolist-XLncab-8Wkmmw-WKDXUW-XP5wYK-nh5pok-nh5viL-6PmY3F-6PmXN4-b9hSzp-Jxww6b-6PmXWk-6Pr8ey-29bBM6e-WMTGYn-Y2oKc8-XP5xd2-Y2oKGg-XLnb5W-M3W3WQ-Tsu7j4-4MqfCS-286o1No-286wghN-26r5B2b-29bNAKH-286o1Gw-26qVKRJ-286o1m1-29bNAW4-LMFJVh-M3XKNs-Y2oKQx-27xq2RK-T4hugS-8Whhve-Y2oKAp-27Hy8bB-XLnciN-26r5ArU-26r5Aqm-wgVBx9-NpBsGs-MJ6RQm-28VhB7p-uwjGKw-pXRXCr-8WG5JA-nh5v9Y-MsK1Hg-nh5vYq">Ummul Quro Bogor/Flickr</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Program Imunisasi di Indonesia dalam lima tahun terakhir tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Hasil <a href="http://www.depkes.go.id/article/view/18110200003/potret-sehat-indonesia-dari-riskesdas-2018.html">Riset Kesehatan Dasar 2018 Kementerian Kesehatan RI</a> menunjukkan cakupan status <a href="http://www.depkes.go.id/article/view/18043000011/berikan-anak-imunisasi-rutin-lengkap-ini-rinciannya.html">imunisasi dasar lengkap (IDL)</a> pada anak (usia 12-23 bulan) menurun dari 59,2% (2013) menjadi 57,9% (2018). </p>
<p>Artinya, dari sekitar 6 juta anak berusia 12-23 bulan <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/05/18/2018-jumlah-penduduk-indonesia-mencapai-265-juta-jiwa">hanya sekitar 2,5 juta anak saja yang lengkap imunisasinya</a>. Jumlah anak yang belum diimunisasi lengkap itu hampir setara dengan separuh jumlah penduduk Singapura. </p>
<p>Sebaliknya anak yang diimunisasi tapi tidak lengkap meningkat dari 32,1% menjadi 32,9% pada periode yang sama. Angka imunisasi dasar lengkap anak di pedesaan <a href="http://www.depkes.go.id/article/view/18110200003/potret-sehat-indonesia-dari-riskesdas-2018.html">lebih rendah (53,8%)</a> dibandingkan anak-anak di perkotaan (61,5%). Dua kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan untuk masa depan kesehatan anak-anak.</p>
<p>Stagnasi cakupan imunisasi tidak saja terlihat dari cakupan imunisasi dasar lengkap yang menurun tersebut tapi juga penundaan atau penolakan sebagian masyarakat terhadap program pengebalan tubuh seperti <a href="https://theconversation.com/di-balik-gagalnya-target-cakupan-imunisasi-mr-di-indonesia-106000">kampanye imunisasi campak (measles) dan rubella (IMR)</a> tahap kedua di 28 provinsi luar Pulau Jawa. </p>
<p>Setelah <a href="https://theconversation.com/cara-mengejar-target-vaksinasi-campak-dan-rubella-di-luar-jawa-103333">tidak mencapai target</a> dalam tiga bulan imunisasi massal, program tersebut diulur lagi waktunya hingga 31 Desember 2018. Kini, dari 395 kabupaten dan kota yang disasar, <a href="https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4283007/belum-penuhi-target-imunisasi-mr-diperpanjang-hingga-31-desember-2018">baru di 102 kabupaten dan kota</a> yang mencapai 95% cakupan imunisasi MR.</p>
<p>Pelaksanaan kampanye MR ini tidak hanya mengejar target cakupan 95%, melainkan membentuk <a href="http://www.depkes.go.id/article/view/18110200002/kemenkes-lanjutkan-kampanye-imunisasi-mr-sampai-desember.html">kekebalan kelompok</a> sehingga bisa melindungi orang lain, bahkan yang tidak diimunisasi sekali pun. </p>
<h2>“Penyakit hati” ragu-ragu</h2>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S235239641630398X">Riset terbaru di <em>Lancet</em></a> yang memaparkan situasi global tingkat kepercayaan masyarakat terhadap vaksin di 67 negara, menemukan berbagai faktor kompleks penyebab timbulnya keraguan terhadap program imunisasi; di antaranya politik, sejarah, hubungan dengan petugas kesehatan, dan faktor emosional. </p>
<p>Badan Kesehatan Dunia (WHO) menggambarkan <a href="https://www.who.int/immunization/programmes_systems/vaccine_hesitancy/en/">keraguan terhadap vaksin</a> (imunisasi) terjadi saat seseorang menunda atau menolak mendapatkan pelayanan imunisasi yang tersedia. Kondisi ini bersifat kompleks dan spesifik, sangat bervariasi dari waktu ke waktu, berbeda antar tempat dan juga untuk tiap jenis vaksinnya. </p>
<p>Suatu <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14760584.2018.1541406?scroll=top&needAccess=true">riset meta-analisis kualitatif</a>–dari berbagai penelitian yang sudah dipublikasikan online–tentang faktor pendorong keraguan terhadap vaksin di beberapa negara berpenghasilan tinggi, sebenarnya tidak menunjukkan sesuatu yang mengejutkan. Umumnya penolakan orang tua terhadap vaksinasi bervariasi untuk tiap vaksin, sesuai dengan konteks sosial-budaya, keadaan sosial dan pengalaman pribadi masing-masing.</p>
<p>Walau latar belakang para orang tua sangat heterogen, pola pengambilan keputusan orang tua terhadap vaksinasi memiliki gambaran yang mirip. Faktor-faktor inilah yang mempengaruhi orang tua menolak atau menerima program imunisasi atau vaksin tertentu. </p>
<p>Dari riset meta-analisis tersebut ditemukan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14760584.2018.1541406">pentingnya norma sosial dan dukungan dari kelompok pro-vaksin</a>, agar vaksinasi menjadi “hal yang normal dilakukan” bagi mayoritas orang tua. Ini agar mereka menerima vaksinasi tanpa pikiran berpikir dua kali. Kemudahan akses, dan adanya rekomendasi tentang pentingnya imunisasi oleh pemerintah dan sumber yang dipercaya berkontribusi besar agar vaksinasi dapat diterima sebagai norma sosial bagi orang tua.</p>
<p>Tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan keamanan vaksin merupakan faktor yang sangat penting. Kepercayaan masyarakat yang rendah dapat menyebabkan masyarakat enggan dan menolak program imunisasi. Contohnya di Ukraina, WHO melaporkan [adanya kejadian luar biasa (KLB) campak] dengan total kasus <a href="https://www.precisionvaccinations.com/level-1-international-travel-alert-issued-cdc-measles-epidemic-ukraine">mencapai 28.182 kasus</a> dengan 13 kematian hingga Agustus 2018 akibat adanya <a href="https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(18)31984-6/fulltext">kecemasan tentang keamanan vaksin</a>, ketidakpercayaan terhadap pemerintahan, dan sistem kesehatan yang jelek.</p>
<h2>Gerakan pro-vaksinasi</h2>
<p>Kasus lain yang menunjukkan dampak faktor emosional bisa dilihat dari Kejadian Luar Biasa (KLB) campak di California, AS yang menyebar di beberapa negara bagian AS pada 2015. Dari 188 kasus campak, umumnya terjadi pada mereka yang tidak divaksinasi karena adanya aturan “pembebasan vaksin karena alasan pribadi atau kepercayaan”. </p>
<p>Kejadian luar biasa ini menjadi titik kritis bagi orang tua pro-vaksin yang membuat sebuah gerakan untuk membatalkan aturan ini. Pencabutan aturan ini akhirnya berhasil <a href="https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(18)32608-4/fulltext?rss=yes">diloloskan oleh Senat California</a>. </p>
<p>Gerakan di California juga menggunakan pendekatan emosional melalui imbauan dari seorang anak penderita Leukemia bernama Rhett yang mengajak orang-orang untuk divaksinasi. Para kelompok pro-vaksin juga membagikan kisah-kisah emosional dan kesaksian pribadi menggunakan platform YouTube dan Facebook. Dalam hal ini, <a href="https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(18)32608-4/fulltext?rss=yes">kisah Rhett</a> adalah cara ampuh untuk menggugah emosi dan mengubah pikiran orang untuk mendukung vaksinasi.</p>
<p>Di Italia, guru-guru yang peduli program vaksinasi juga dimobilisasi untuk mendesak pemerintah agar mempertahankan aturan <a href="https://www.thetimes.co.uk/article/italian-teachers-demand-mmr-proof-in-vaccine-row-gv6r05glk">vaksinasi wajib bagi setiap anak</a>. Mereka tidak ingin anak-anak yang tidak divaksinasi di dalam kelas menjadi sumber penyakit bagi murid lainnya. Inisiatif seperti ini perlu diperjuangkan sebagai contoh untuk memotivasi orang lain.</p>
<h2>Pendekatan persuasif dan melawan hoax</h2>
<p><a href="https://www.vaccineconfidence.org/bbc-investigation-on-dangers-of-fake-news-echo-risks-to-vaccine-confidence/">Investigasi dari BBC</a> terhadap berita palsu (<em>hoax</em>) di Afrika dan India menunjukkan bahaya penyebaran informasi tidak akurat lewat media massa atau media sosial macam Facebook pada sentimen dan perilaku publik, termasuk merusak kepercayaan masyarakat terhadap vaksin. Kondisi ini memicu penolakan terhadap vaksinasi dan <a href="http://www.vaccineconfidence.org/">meningkatkan risiko wabah penyakit</a>. </p>
<p>Fenomena ini juga terjadi di Indonesia, salah satu negara dengan <a href="https://www.statista.com/statistics/265153/number-of-internet-users-in-the-asia-pacific-region/">pemakaian internet tertinggi</a> di dunia setelah India dan Cina. Banyak orang tua di Indonesia memilih <a href="https://hellosehat.com/parenting/kesehatan-anak/hoax-tentang-vaksin-yang-salah/">tidak memvaksinasi</a> anaknya atau <a href="http://kaltim.tribunnews.com/2018/08/02/masih-ada-orangtua-tolak-vaksin-mr">menolak vaksin</a> yang disiapkan pemerintah akibat pengaruh <em>hoax</em>. </p>
<p>Rupanya salah satu topik <em>hoax</em> yang paling banyak beredar di masyarakat Indonesia adalah <a href="http://mediaindonesia.com/read/detail/102937-hoax-terbanyak-soal-info-kesehatan"><em>hoax</em> tentang kesehatan</a>. Lebih mengkawatirkan lagi, <a href="https://inet.detik.com/cyberlife/d-3775895/orang-indonesia-gampang-percaya-internet">65% orang Indonesia</a> menelan mentah-mentah informasi (yang belum tentu akurat) yang beredar di internet. Di sinilah salah satu tantangan terberat program imunisasi untuk menangkal berbagai pemberitaan negatif tentang vaksin lewat media sosial.</p>
<p>Belajar dari negara dengan tingkat kepercayaan tertinggi terhadap program imunisasi misalnya <a href="http://www.ekathimerini.com/234550/article/ekathimerini/news/vaccine-confidence-rising-in-greece-report-says">Slovenia dan Yunani</a>, kita bisa lihat bahwa meningkatnya kepercayaan masyarakat akan program imunisasi karena masyarakatnya percaya bahwa vaksin aman dan efektif dalam mencegah penyakit. </p>
<p>Untuk itu, Kementerian Kesehatan juga menjalin kerja sama Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) atau Forum Anti Fitnah, Hasut dan Hoax untuk <a href="https://www.facebook.com/groups/fafhh/permalink/513830642282809/">menangkal berita hoax MR </a></p>
<p>Gerakan pro vaksin dengan menggunakan pendekatan persuasif emosional juga telah dilakukan berbagai pihak di Indonesia. Misalnya, <a href="https://health.detik.com/true-story/d-4138394/banyak-hoax-jadi-motivasi-grace-melia-gigih-kampanyekan-vaksin-rubella">Grace Melia</a>, seorang ibu dari anak yang menderita Congenital Rubella Syndrome (CRS). Ia gigih kampanyekan Vaksin Rubella dengan membangun jejaring dengan orang tua yang mengalami beban yang sama dengannya untuk saling berbagi lewat <a href="http://www.femina.co.id/true-story/grace-melia-pendiri-rumah-ramah-rubella">Rumah Ramah Rubella</a>.</p>
<p>Dari sisi birokrasi, Kementerian Kesehatan berusaha keras menjalin kerja sama, termasuk dengan melibatkan <a href="http://ksp.go.id/ksp-kampanye-mr-diteruskan-hingga-tuntas/index.html">Kantor Staf Kepresidenan</a>, untuk mensukseskan Imunisasi MR. <a href="https://mui.or.id/produk/fatwa-no-33-tahun-2018/">Majelis Ulama Indonesia</a> juga telah menerbitkan fatwa bahwa vaksinasi MR dibolehkan karena kondisi darurat. Termasuk di dalamnya upaya Indonesia sebagai anggota Organization of Islamic Cooperation (OIC), untuk menyediakan <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2018/11/23/oic-members-agree-special-team-create-halal-vaccines.html">vaksin yang halal</a>.</p>
<h2>Apa lagi yang bisa dilakukan?</h2>
<ul>
<li><p>Perlu penelitian mengenai persepsi masyarakat lokal tentang imunisasi atau vaksin tertentu. Identifikasi isu lokal dan <em>influencer</em> kunci penting untuk meningkatkan kepercayaan akan program imunisasi. </p></li>
<li><p>Para pemangku kepentingan, para profesional kesehatan dengan tokoh agama lokal harus membangun dialog untuk memberikan informasi yang benar tentang vaksinasi melalui pengaruh pemimpin agama di tingkat lokal.</p></li>
<li><p>Perlu ada hotline atau pusat informasi imunisasi yang gampang diakses; baik secara online maupun secara langsung di dinas kesehatan setempat, ruang tunggu rumah sakit, puskesmas atau klinik untuk membantu meredakan berita hoax dan memungkinkan orang tua yang ragu-ragu untuk mau memvaksinasi anaknya. </p></li>
<li><p>Pendekatan emosional seperti Rumah Ramah Rubella perlu digalakkan di seluruh Indonesia, sebagai gerakan moral melindungi masa depan anak. </p></li>
<li><p>Seperti di Italia dan beberapa negara lain di dunia, sudah saatnya pemerintah Indonesia mewajibkan orang tua memberikan imunisasi dasar yang lengkap sebagai satu syarat sebelum anak-anak itu memasuki sekolah dasar. </p></li>
</ul>
<p>Pada akhirnya, membangun kepercayaan masyarakat dalam program imunisasi adalah upaya mengubah dan mempengaruhi pikiran seseorang bahwa imunisasi adalah satu metoda pencegahan penyakit yang paling efektif.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/107900/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ermi Ndoen tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pentingnya norma sosial dan dukungan dari kelompok pro-vaksin, agar vaksinasi menjadi “hal yang normal dilakukan” bagi mayoritas orang tua.Ermi Ndoen, Peneliti Kesehatan Masyarakat, Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) KupangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/953732018-04-20T08:51:57Z2018-04-20T08:51:57ZDari ibu yang bahagia lahir bayi yang sehat<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/215717/original/file-20180420-163975-2683rn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=1%2C1%2C997%2C523&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Satu dari delapan perempuan di dunia menderita depresi ketika hamil dan sesudah melahirkan. Padahal kebahagiaan ibu dan calon ibu menentukan kesehatan si bayi.</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p><em>Ini adalah artikel pertama dalam seri tulisan dengan tema “Kesehatan Ibu dan Anak” dalam rangka memperingati hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April.</em></p>
<hr>
<p>Perempuan mengalami depresi saat kehamilan dan sesudah melahirkan adalah hal yang umum terjadi. <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17370048">Satu dari delapan ibu</a> di seluruh dunia menderita depresi baik ketika mengandung atau sesudah melahirkan. Di negara-negara berkembang dan miskin, perbandingannya bisa naik menjadi <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3302553/">satu dari tiga perempuan</a>. </p>
<p>Beberapa dari kita pernah mendengar cerita depresi yang berkaitan dengan kehamilan dari teman dan saudara. Beberapa di antaranya bahkan memiliki akhir yang menyedihkan seperti kasus <a href="https://www.goodhousekeeping.com/health/a43999/postpartum-depression-elizabeth-greg-ludlam/">bunuh diri</a> dan <a href="http://people.com/crime/st-louis-mom-murder-suicide-postpartum-depression/">pembunuhan</a>.</p>
<p>Dalam suatu forum santai dengan beberapa teman yang sedang belajar di tingkat doktor di University of Melbourne, saya mendapati semua teman-teman perempuan saya mengalami depresi pasca kelahiran atau dalam kondisi yang lebih sederhana yang dikenal dengan <em>baby blues</em>, terutama ketika menjadi ibu pertama kali.</p>
<p>Keadaan paling sulit untuk ibu adalah mengatasi depresi sendirian. Tanda-tanda yang biasa dialami oleh mereka yang depresi ini adalah perasaan sedih, pesimis mengenai masa depan, merasa tidak bertenaga dan kurang semangat. Banyak yang beranggapan bahwa perasaan depresi saat hamil dan menyusui adalah keadaan yang wajar dan ketika ibu mengeluhkan suasana perasaannya, ia mungkin akan dipandang tidak mampu menjadi ibu yang baik.</p>
<p>Tidak semua perempuan menyadari bahwa mereka sedang mengalami gejala depresi. Mereka merasa nestapa, namun mereka juga tidak memiliki cukup pengetahuan tentang mengapa hal itu terjadi pada mereka dan apa yang harus dilakukan. Sebagian besar mencoba mengabaikan masalahnya dan berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya baik-baik saja. Sedikit sekali dari mereka yang berusaha mencari bantuan. </p>
<h2>Penyebab ketidakbahagiaan</h2>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/215701/original/file-20180420-163995-1uye1r4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Tekanan sosial dan budaya yang memberi penilaian baik buruknya seorang ibu juga berkontribusi menimbulkan depresi pada ibu.</span>
<span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock,com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://www.springer.com/gp/book/9781441915252">Kekhawatiran berlebihan terhadap keselamatan bayi </a> bisa menimbulkan perasaan depresi pada ibu hamil dan menyusui. Beberapa ibu memiliki ketakutan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada bayinya. </p>
<p><a href="https://www.springer.com/gp/book/9781441915252">Kurangnya kepercayaan diri perempuan</a> terhadap kemampuannya dalam mengasuh juga bisa menyebabkan depresi. Sebagian wanita merasa tidak mampu dan tidak siap menjadi seorang ibu karena tidak memiliki pengatahuan tentang kehamilan dan bagaimana mengasuh bayi. Ketidakpercayaan diri ini bahkan lebih kuat pada perempuan yang kehidupan ekonominya sangat berat. </p>
<p>Tekanan sosial-budaya yang membentuk definisi gambaran ibu yang baik di masyarakat juga bisa menentukan depresi pada ibu. </p>
<h2>Akibat fatal bagi bayi</h2>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/215702/original/file-20180420-163991-1jups4o.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Ibu yang depresi juga menyebabkan stres pada anak.</span>
<span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Wanita hamil dan ibu menyusui yang tidak bahagia dapat memperburuk hubungan ibu dan bayi. Emosi negatif ini tidak hanya memengaruhi sang ibu, namun juga si bayi. </p>
<p>Perempuan hamil yang mengalami depresi cenderung kurang peduli terhadap kebutuhan pribadinya. Mereka kehilangan nafsu makan dan oleh karenanya menemui risiko mengalami gizi buruk selama kehamilan. </p>
<p>Hal ini dapat berakibat pada meningkatnya risiko <a href="http://www.who.int/whosis/whostat2006NewbornsLowBirthWeight.pdf">bayi lahir dengan berat yang rendah</a>. Bayi berat lahir rendah (BBLR) bisa menjadi sebab berbagai masalah kesehatan, diantaranya seperti hambatan perkembangan psikologis, <em>stunting</em> (kerdil), berkembangnya penyakit kronis, dan bahkan kematian bayi dan anak. </p>
<p>Bayi dan anak-anak dari ibu yang mengalami depresi berpotensi mengalami gangguan kesehatan. Selain BBLR, bayi juga bisa menderita <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3083253/">ukuran kepala yang kecil dan masalah makan dan tidur</a>. Di beberapa negara, depresi pada ibu juga dikaitkan dengan <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/j.1750-8606.2008.00077.x">diare pada anak dan program imunisasi yang tidak lengkap</a>.</p>
<p>Anak-anak dari ibu yang mengalami depresi, pengetahuan kognitifnya juga akan terhambat seperti <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21651606">keterlambatan bahasa dan IQ yang rendah</a>. </p>
<p>Semua risiko ini bahkan mungkin berlanjut hingga mereka remaja. </p>
<p>Depresi pada ibu juga mempengaruhi produksi air susu ibu (ASI). Beberapa teman mengatakan bahwa ASI mereka tidak berproduksi sama sekali ketika mereka dalam keadaan depresi. Situasi ini menghalangi bayi mendapat manfaat dari kandungan nutrisi ASI yang kaya, pada akhirnya menghambat tumbuh kembang bayi. </p>
<p>Ibu yang mengalami depresi juga menghadapi <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007%2F978-1-4419-1526-9_6">kesulitan</a> dalam memahami ekspresi emosional bayinya. Kondisi ini dapat menyebabkan stres pada bayi karena ibu tidak menjawab kebutuhannya secara benar. Semakin lama, ibu-ibu ini melihat dirinya sebagai ibu yang gagal atau wanita yang tidak bisa menjadi ibu, sebuah penilaian yang makin memperburuk keadaannya. </p>
<p>Secara keseluruhan, dampak-dampak yang disebutkan di atas dapat menimbulkan <a href="https://www.researchgate.net/publication/288664748_Lifetime_costs_of_perinatal_anxiety_and_depression">beban keuangan</a> pada keluarga karena mereka harus mengeluarkan biaya ekstra untuk biaya kesehatan anak, yang mungkin akan dialami seumur hidup. </p>
<p>Perkembangan kognitif yang terganggu juga berakibat pada biaya tambahan untuk pendidikan khusus dan terapi lain yang diperlukan sang anak. Orangtua juga kehilangan waktu produktifnya karena harus menyediakan waktu khusus untuk merawat dan mengasuh anaknya. </p>
<h2>Apa yang harus dilakukan</h2>
<p>Memberikan perhatian pada kehidupan emosi dan psikologis ibu-ibu ini sangatlah penting. </p>
<p>Banyak ibu di Indonesia manganggap kebutuhan bayinya lebih penting daripada dirinya. Anggapan ini mengakibatkan wanita mengesampingkan kesehatan psikologisnya demi sang anak. Sebelum mencari dukungan dari orang-orang di sekitarnya, ibu perlu mengenali dan jujur pada diri sendiri bahwa ia mengalami suasana emosi yang kurang menguntungkan. </p>
<p>Perhatian dan dukungan untuk memastikan ibu merasa bahagia selama kehamilan dan menyusui sangatlah penting. Dukungan awal harus berasal dari keluarga. </p>
<p>Suami memegang peran penting untuk membantu ibu yang mengalami depresi. Mereka harus membuka diri untuk menerima kondisi pasangannya dan tidak bersikap menghakimi. Begitu ibu merasa diterima dan dipahami, maka mereka dapat lebih mudah menghadapi kesulitannya dalam kehidupan sehari-hari di rumah, sebelum akhirnya mencari pertolongan kepada ahli. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/215706/original/file-20180420-163991-dggcvz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Para suami juga memiliki peran penting dalam mendukung kesehatan mental istri ketika mengandung dan melahirkan.</span>
<span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Bentuk dukungan lain seharusnya datang dari fasilitas kesehatan setempat dan juga petugas kesehatan. Indonesia sudah mengembangkan sebuah <a href="https://www.google.co.id/search?q=Pedoman+pelayanan+antenatal+terpadu&oq=Pedoman+pelayanan+antenatal+terpadu&aqs=chrome..69i57.2078j0j9&sourceid=chrome&ie=UTF-8">pedoman</a> yang menyoroti peran petugas kesehatan lokal dalam memberi bantuan bagi para ibu untuk mengidentifikasi masalah depresi yang mereka hadapi. </p>
<p>Penelitian saya saat ini tentang peran petugas kesehatan di Surabaya, Jawa Timur menunjukkan bahwa meski kesadaran masyarakat terkait isu ini meningkat, peran petugas kesehatan belum optimal dalam mendukung ibu yang depresi. <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.2753/IMH0020-7411350105">Penelitian</a> terkini menemukan bahwa setidaknya satu dari lima perempuan di Surabaya mengalami depresi sesudah melahirkan. </p>
<p>Pedoman nasional menyebutkan bahwa fasilitas kesehatan lokal harus menyediakan layanan spesifik yang membantu perempuan mengungkapkan perasaan mereka. Petugas kesehatan juga harus mendapatkan pelatihan agar bisa memberikan dukungan psikologis bagi ibu yang menderita depresi. </p>
<p>Namun, Indonesia kekurangan data untuk memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan pedoman ini. Hal tersebut merupakan tantangan yang harus diatasi. Data yang lengkap akan memudahkan kita untuk mencari apa yang kurang sehingga pelayanan yang diberikan bagi ibu yang depresi bisa ditingkatkan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/95373/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Endang Surjaningrum tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Emosi positif sang ibu ternyata berpengaruh terhadap kesehatan anak.Endang Surjaningrum, Lecturer in Psychology, Universitas AirlanggaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.