tag:theconversation.com,2011:/ca/topics/twitter-59500/articlesTwitter – The Conversation2024-01-28T18:43:53Ztag:theconversation.com,2011:article/2220602024-01-28T18:43:53Z2024-01-28T18:43:53ZRiset: ujaran kebencian terhadap capres meningkat di media sosial jelang Pemilu 2024<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/571572/original/file-20230920-21-z0r5fh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=25%2C0%2C5576%2C2650&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ilustrasi ujaran kebencian di dunia maya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/fake-news-sharing-cyber-bullying-hate-2257240445">winnond/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia tinggal menghitung hari, penyebaran ujaran kebencian yang menargetkan tokoh-tokoh politik diperkirakan akan semakin meningkat, seperti yang <a href="https://www.atlantis-press.com/proceedings/iccd-19/125919037">terjadi pada Pemilu 2019</a>.</p>
<p>PBB mendefinisikan <a href="https://www.un.org/en/hate-speech/understanding-hate-speech/what-is-hate-speech#:%7E:text=To%20provide%20a%20unified%20framework,person%20or%20a%20group%20on">ujaran kebencian</a> sebagai komunikasi apa pun yang menyerang individu atau menggunakan bahasa yang merendahkan atau diskriminatif terhadap individu berdasarkan agama, etnis, kebangsaan, ras, warna kulit, keturunan, atau jenis kelamin.</p>
<p>Selama Pemilu 2019, terdapat lebih dari <a href="https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1039&context=jsgs">200.000 <em>mention</em> di Twitter</a> yang berisi ujaran kebencian yang ditargetkan kepada calon presiden, Joko “Jokowi” Widodo dan Prabowo Subianto, beserta calon wakil presiden mereka masing-masing.</p>
<p>Jumlah tersebut mencapai sekitar <a href="https://blog.twitter.com/in_id/topics/events/2019/124-juta-tweet-seputar-pemilihan-umum-2019">0,2%</a> dari total <em>tweet</em> terkait pemilu pada tahun 2019. Sebagai perbandingan, dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) tahun 2016, ujaran kebencian menyumbang antara <a href="https://csmapnyu.org/news-views/news/did-hate-speech-on-twitter-rise-during-and-after-trump-s-2016-election-campaign">0,1% dan 0,3%</a> dari total satu miliar <em>tweet</em> terkait pemilu.</p>
<p>Sebagai bagian dari peran saya sebagai peneliti untuk <a href="https://greaterinternetfreedom.org/">proyek Pemantauan Ujaran Kebencian (Greater Internet Freedom) Harmful Speech Monitoring</a>, yang didukung oleh media nirlaba independen <a href="https://internews.org/areas-of-expertise/disinformation-misinformation/">Internews</a>, saya melakukan pengamatan terhadap platform-platform media sosial selama periode Juni-Juli 2023. Saya menemukan bahwa pola yang sama muncul dalam Pemilu 2024.</p>
<p><a href="https://docs.google.com/spreadsheets/d/183yUIXhncG2P3sGaEyG5JN70HL1fa1Zl6Epwzs2lYhE/edit#gid=0">Penelitian saya</a> menemukan setidaknya 60 contoh ujaran kebencian (terutama di Twitter), dengan 45 di antaranya mengandung nuansa politik. Beberapa komentar ofensif ditujukan kepada tiga calon presiden - Prabowo, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo. Hal ini sudah terjadi bahkan sebelum ketiganya secara resmi ditetapkan sebagai kandidat oleh KPU.</p>
<h2>Ujaran kebencian terhadap calon presiden di X</h2>
<p>Penelitian saya berfokus pada platform X (dulunya dikenal sebagai Twitter), karena menurut <a href="https://mediaindonesia.com/politik-dan-%20Hukum/622252/publik-masih-beli-informasi-sesat-di-media-sosial">Laporan Survei Nasional</a> dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Twitter mengandung informasi yang paling mengganggu dibandingkan dengan platform media sosial lainnya.</p>
<p>Saya menggunakan <a href="https://www.researchgate.net/publication/336094446_Using_keywords_analysis_in_CDA_evolving_discourses_of_the_knowledge_economy_in_education#fullTextFileContent">analisis kata kunci dan kontekstual</a> untuk mengidentifikasi ujaran kebencian dalam penelitian saya. </p>
<p>Kata kunci yang saya gunakan antara lain nama-nama politikus (“anies baswedan”, “anies”, “prabowo subianto”, “prabowo”, “ganjar pranowo”, “ganjar”), serta frasa-frasa umum lainnya seperti “pilpres” atau “pemilihan presiden” dan “pemilu 2024”.</p>
<p>Pada 31 Agustus 2023, <a href="https://docs.google.com/spreadsheets/d/183yUIXhncG2P3sGaEyG5JN70HL1fa1Zl6Epwzs2lYhE/edit#gid=0">60 unggahan ujaran kebencian</a> yang saya identifikasi telah dibagikan sebanyak 6.827 kali di X, YouTube, dan TikTok.</p>
<p>Salah satu akun dengan nama samaran, misalnya, mengunggah <a href="https://twitter.com/MJOEJOEF/status/1683403332214456321">konten kebencian</a> tentang Ganjar Pranowo sebagai pembohong dan pecandu pornografi. Hal itu sebagai tanggapan atas <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/12/04/happy-happy-husbands-central-java-governor-says-porn-ok-for-married-men.html">pernyataan</a> Ganjar di <a href="https://www.youtube.com/watch?v=ksbAAktR27U"><em>podcast</em></a> YouTube pada tahun 2019 bahwa “tidak ada yang salah dengan menonton film porno” dan “saya menyukainya”. Faktanya, mayoritas orang Indonesia <a href="https://www.neliti.com/publications/63228/pornography-manifestation-in-internet-media-content-analysis-on-popular-local-po">menganggap</a> menonton film porno tidak dapat diterima secara moral.</p>
<p>Akun anonim lainnya menyebarkan <a href="https://twitter.com/roby_bakar3000/status/1674627710214340608">sentimen negatif</a> tentang Prabowo Subianto terkait perannya dalam pembelian jet tempur bekas, yang akhir-akhir ini juga <a href="https://www.reuters.com/world/asia-pacific/indonesia-confirms-buying-used-fighter-jets-800-million-after-deal-criticised-2023-06-14/">memicu kecaman dari masyarakat</a>.</p>
<p>Unggahan tersebut menggunakan tagar seperti #Prabohong #Bahaya (Prabowo pembohong dan berbahaya). Twitter kemudian menangguhkan akun tersebut karena melanggar <a href="https://help.twitter.com/en/rules-and-policies/hateful-conduct-policy">kebijakan profil kebencian</a>.</p>
<p>Anies Baswedan juga menjadi sasaran ujaran kebencian di X. Di pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta tahun 2017, Anies mendapat <a href="https://talenta.usu.ac.id/politeia/article/view/1083">dukungan besar</a> dari <a href="https://www.iseas.edu.sg/images/pdf/ISEAS_Perspective_2019_49.pdf">kelompok Islam garis keras</a>. Ini banyak diyakini menjadi salah satu <a href="https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jispo/article/view/8923">faktor utama yang membantunya</a> memenangkan Pilgub. </p>
<p>Pada bulan Juli, sebuah akun <em>troll</em> dengan hampir 42.000 pengikut mengunggah video berdurasi satu menit yang menampilkan Anies bersama beberapa pemuka agama Islam dalam sebuah acara. Para pemuka agama tersebut menyebutkan bahwa Anies adalah satu-satunya gubernur di dunia yang menerima 65 penghargaan dalam setahun.</p>
<p>Menurut pengguna akun tersebut, hal itu adalah sebuah kebohongan. Akun itu memuat tagar #GubernurTukangNgibul. Postingan tersebut menerima 42 komentar, sebagian besar mengungkapkan kebencian terhadap Anies.</p>
<h2>Dampaknya di dunia nyata</h2>
<p>Yang membuat ujaran kebencian berbahaya di Indonesia adalah hal tersebut dapat berujung pada <a href="http://repository.umi.ac.id/3179/2/Similarity%20Check%20ANALYSIS%20OF%20HATE.pdf">tindakan negatif yang berlebihan di dunia nyata (<em>offline</em>)</a>, <a href="https://transparency.fb.com/en-gb/policies/community-standards/dangerous-individuals-organizations/">termasuk dalam bentuk</a> hasutan dan ajakan untuk melakukan kekerasan terhadap warga sipil dan untuk terlibat dalam tindakan kriminal lainnya.</p>
<p>Pada tahun 2016, misalnya, unggahan-unggahan bernada kebencian dan bertema agama di media sosial terhadap calon gubernur Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, yang merupakan seorang Kristen, <a href="https://brill.com/view/journals/gr2p/15/2-3/article-p135_004.xml">berubah menjadi unjuk rasa besar-besaran</a> di Jakarta oleh sejumlah kelompok Islam konservatif. Mereka menuntut Ahok dipenjara karena telah menistakan agama Islam. Ahok kemudian <a href="https://www.theguardian.com/world/2019/jan/24/ahok-jakartas-former-governor-released-after-jail-term-for-blasphemy">divonis hukuman</a> dua tahun penjara karena hal tersebut.</p>
<h2>Apa yang bisa kita lakukan</h2>
<p>Pengguna dapat melaporkan unggahan dan akun yang melanggar kebijakan X tentang kekerasan dan <a href="https://help.twitter.com/en/rules-and-policies/violent-entities">kebijakan konten kebencian</a>.</p>
<p>Namun, platform ini harus meninjau dan mengevaluasi unggahan yang dilaporkan sebelum bertindak, sehingga pada saat X akhirnya menghapus konten, beberapa konten sudah terlanjur viral dan memengaruhi publik.</p>
<p>Pemerintah, organisasi hak-hak sipil, lembaga swadaya masyarakat, dan platform media sosial harus bekerja sama untuk meningkatkan kesadaran akan isu ini menjelang Pemilu bulan depan.</p>
<p>Untuk mengatasi ujaran kebencian dan disinformasi, mereka harus bekerja sama dalam memantau dan menganalisis konten semacam itu ketika ditandai, mengidentifikasi aktor dan akar masalah di balik konten tersebut, serta merumuskan peraturan yang lebih kuat untuk melindungi para korban.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/222060/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Program Greater Internet Freedom (GIF) Harmful Speech Monitoring Fellowship 2023 didanai oleh USAID dan diselenggarakan oleh Internews.</span></em></p>Penelitian saya menemukan setidaknya 60 kasus ujaran kebencian dalam rentang waktu dua bulan yang menargetkan ketiga calon presiden Pemilu 2024.Jati Savitri Sekargati, PhD Candidate in Media and Journalism, Glasgow Caledonian UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2198152023-12-18T13:40:09Z2023-12-18T13:40:09ZPenyebaran konten ilegal di media sosial juga tanggung jawab platform. Bagaimana mengaturnya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/566299/original/file-20231218-25-ulg976.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=35%2C0%2C5955%2C3188&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ilustrasi akses konten ilegal.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/rear-view-businesswoman-using-laptop-marble-2381344003">ImageFlow/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Konten ilegal adalah segala jenis informasi elektronik yang <a href="https://aptika.kominfo.go.id/2021/05/ragam-sanksi-bagi-penyelenggara-sistem-jika-langgar-ketentuan-pse-privat/">melanggar hukum</a> di suatu negara. Di Indonesia, yang termasuk kategori ini antara lain perjudian, ujaran kebencian, mis/disinformasi, penipuan, pornografi, dan pencemaran nama baik. </p>
<p>Penyebaran konten ilegal di media sosial telah menjadi tantangan besar di Indonesia. </p>
<p>Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) <a href="https://pr2media.or.id/publikasi/pengaturan-konten-ilegal-dan-berbahaya-di-media-sosial-riset-pengalaman-pengguna-dan-rekomendasi-kebijakan/">menunjukkan</a>, konten ilegal yang dilaporkan Kominfo kepada penyelenggara sistem elektronik hingga Maret 2023 mencapai hampir 1,4 juta konten.</p>
<p>Jumlah terbanyak ada di Twitter (sekarang X), diikuti Facebook dan Instagram, dengan jenis terbanyak adalah pornografi, perjudian, dan penipuan. </p>
<p><a href="https://pr2media.or.id/publikasi/kertas-kajian-regulasi-pengaturan-konten-ilegal-di-media-sosial/">Survei PR2Media</a>, sebuah lembaga riset yang berfokus pada <a href="https://pr2media.or.id/publikasi-list/">regulasi media</a>, terhadap 1.500 pengguna media sosial di 38 provinsi si Indonesia menunjukkan seluruh responden menyatakan sering menjumpai konten ilegal di media sosial. Tiga jenis yang paling sering dijumpai adalah ujaran kebencian, mis/disinformasi, dan penipuan. </p>
<p>Di tengah maraknya penyebaran konten ilegal ini, hingga kini kita belum memiliki regulasi yang mendorong <a href="https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/08/23/platform-media-sosial-dituntut-tegas-atur-konten-ilegal">tanggung jawab detail</a> penyelenggara media sosial seperti X, Facebook, YouTube, dan TikTok untuk memitigasi konten ilegal, seperti yang telah ada di Uni Eropa. </p>
<h2>Aturan untuk platform masih kurang di Indonesia</h2>
<p>Jumlah pengguna media sosial di Indonesia terus bertambah, yang hingga Januari 2023 mencapai <a href="https://datareportal.com/reports/digital-2023-indonesia">167 juta pengguna</a>, atau 60,4% populasi penduduk. Platform terpopuler adalah YouTube diikuti Facebook, TikTok, Instagram, X, dan LinkedIn.</p>
<p>Namun, dengan variasi konten yang makin beragam, instrumen regulasi yang ada saat ini belum memadai untuk mengatasi penyebaran konten ilegal. Ini berbeda dengan Uni Eropa.</p>
<p>Uni Eropa telah memiliki <em><a href="https://commission.europa.eu/strategy-and-policy/priorities-2019-2024/europe-fit-digital-age/digital-services-act_en">Digital Services Act</a></em>. Aturan yang disahkan pada 2022 dan baru diterapkan pada 2024 ini mengatur cara seluruh jenis penyelenggara layanan internet mengatasi konten ilegal di platformnya. Platform yang diatur mulai dari mesin pencari, layanan jual beli, hingga media sosial terbuka. </p>
<p>Seiring dengan besarnya pengaruh platform media sosial terhadap masyarakat, munculnya <a href="https://www.dw.com/en/what-impact-will-the-eus-digital-services-act-have/a-66631337">Digital Services Act</a> bertujuan meminta pertanggungjawaban platform dalam menciptakan lingkungan digital yang lebih aman dan akuntabel dengan membatasi penyebaran konten ilegal.</p>
<p><a href="https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/en/ip_23_2413">Kewajiban setiap platform pun berbeda</a>, disesuaikan dengan jumlah penggunanya di Uni Eropa. Khusus untuk media sosial terbuka berukuran besar, kewajiban mereka mencakup membuat laporan tentang cara platform media sosial melakukan pengaturan (moderasi) konten dan memitigasi risiko yang muncul akibat desain dan penggunaan platform.</p>
<p><a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3469443">Pengaturan (moderasi) konten</a> adalah kegiatan penyelenggara media sosial dalam menilai, menandai, membatasi akses, lalu menghapus konten ilegal dan berbahaya atau akun yang mengunggah konten tersebut guna melindungi penggunanya. </p>
<p>Indonesia belum mengatur tata cara penyelenggara media sosial mengatur konten ilegal. Terlepas kontroversinya, sejauh ini <a href="https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%202016.pdf">Undang Undang Informasi dan Transaksi Eletronik</a> (UU ITE) dan peraturan turunannya yang mengatur konten di internet. Hanya saja, pengaturannya lebih berfokus pada tanggung jawab pemerintah dan pengguna media sosial, sementara tanggung jawab penyelenggara sistem elektronik belum detail.</p>
<p>Ini menjadi masalah besar mengingat yang berkuasa dalam mengatur (misalnya: menghapus) konten di media sosial adalah platformnya, sedangkan pemerintah memiliki kuasa yang terbatas karena bisa saja penyelenggara media sosial tidak mengabulkan aduan dari pemerintah karena alasan melanggar kebebasan berpendapat.</p>
<p>Ini pernah terjadi ketika <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2022/06/24/123000765/pemerintah-ancam-blokir-google-facebook-whatsapp-dkk-alasannya-apa-?page=all">pemerintah mengancam memblokir Facebook</a> pada tahun 2022 karena belum melakukan pendaftaran ke Kominfo. Namun, warganet mengecam tindakan ini.</p>
<h2>Mulai dari revisi UU ITE</h2>
<p>Mengingat pentingnya peran penyelenggara media sosial dalam menentukan efektivitas moderasi konten, tim peneliti PR2Media menilai pengaturan tanggung jawab konten bisa dimasukkan ke dalam Peraturan Pemerintah sebagai turunan dari <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231205203426-32-1033333/poin-poin-pasal-penting-yang-berubah-dalam-revisi-uu-ite-jilid-ii">UU ITE yang baru saja direvisi</a>. Revisi yang kedua ini mengatur tanggung jawab platform secara umum, sementara pengaturan teknisnya diserahkan kepada Peraturan Pemerintah.</p>
<p>Berikut ada beberapa usulan regulasi yang bisa dimasukkan ke Peraturan Pemerintah:</p>
<ol>
<li> Pemerintah sebaiknya mewajibkan penyelenggara media sosial menyampaikan mekanisme yang mereka gunakan untuk mengenali dan menentukan konten ilegal, baik melalui kecerdasan buatan, manusia, maupun kombinasi keduanya. </li>
</ol>
<p>Hingga saat ini, informasi tentang jumlah moderator manusia yang dipekerjakan di Indonesia belum pernah diumumkan platform. Mengingat keberagaman masyarakat Indonesia, moderator manusia pun idealnya mewakili keberagaman itu</p>
<ol>
<li><p>Platform wajib menyediakan informasi bagi pengguna yang mengalami penangguhan konten atau akunnya. Informasi tersebut memuat penjelasan mengenai pelanggaran yang dilakukan, cara penyelenggara media sosial mendeteksi pelanggaran, dan langkah banding yang dapat ditempuh oleh pengguna.</p></li>
<li><p>Platform wajib menyediakan mekanisme banding untuk pengguna yang tidak puas dengan keputusan moderasi konten. Pemrosesan konten ilegal oleh penyelenggara media sosial tidak selalu memuaskan semua pihak. Untuk itu, penyelenggara media sosial wajib menyediakan sistem yang memungkinkan pengguna atau pemerintah mengajukan banding. </p></li>
<li><p>Platform wajib mempublikasikan laporan tahunan tentang aduan dari masyarakat dan pemerintah terkait konten ilegal serta tindakan penyelenggara media sosial dalam menindaklanjutinya. Laporan itu terdiri dari aduan yang diterima dari pengguna dan pemerintah Indonesia, jumlah total konten yang dikenai sanksi dan jumlah total akun ditangguhkan, dan jumlah banding terhadap keputusan sanksi terhadap konten atau akun.</p></li>
<li><p>Pemerintah memberikan sanksi jika sistem moderasi tidak ditegakkan oleh platform. Sanksi ini idealnya didasarkan pada tingkat “kegagalan” dari sistem yang dimiliki platform untuk memitigasi konten ilegal. Jadi sanksinya bukan kasus per kasus, tapi dengan melihat sistem yang sudah ditegakkan platform untuk mematuhi regulasi.</p></li>
</ol>
<p>Hingga sekarang, belum ada resep regulasi di negara mana pun yang sudah teruji efektif meredam konten ilegal di media sosial. <em>Digital Services Act</em> di Uni Eropa juga masih dalam proses pemberlakuan. </p>
<p>Oleh karena itu, penyusunan Peraturan Pemerintah sebagai turunan UU ITE perlu melibatkan diskusi yang berkualitas dengan para pemangku kepentingan, termasuk penyelenggara media sosial.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/219815/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Engelbertus Wendratama tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Indonesia belum memiliki regulasi yang dapat mendorong tanggung jawab detail platform media sosial untuk memitigasi penyebaran konten ilegal.Engelbertus Wendratama, Peneliti, PR2MediaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1996122023-02-14T07:29:55Z2023-02-14T07:29:55ZBagaimana perusahaan teknologi gagal melindungi pekerja dan pengguna perempuan – dan apa yang harus dilakukan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/509977/original/file-20230214-22-95l74z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=2%2C5%2C1994%2C1991&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Platform media sosial tak hanya gagal melindungi pengguna perempuan, namun juga pekerjanya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.freepik.com/free-vector/cyber-bullying-concept-illustration_28569625.htm">storyset/freepik</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Mulai dari <a href="https://theconversation.com/why-elon-musks-first-week-as-twitter-owner-has-users-flocking-elsewhere-193857">labilnya</a> kebijakan Elon Musk sebagai pemilik baru Twitter, <a href="https://www.nytimes.com/2022/11/09/technology/meta-layoffs-facebook.html">keputusan Meta</a> untuk memberhentikan lebih dari 11.000 pegawainya, hingga <a href="https://www.ft.com/content/28f7e49f-09b3-407f-82f8-56683f5d0663">anjloknya saham-saham teknologi</a>, industri media sosial lagi-lagi dilanda kekacauan. Namun, di saat gelombang kejutan ini menarik banyak sekali perhatian publik, tak banyak yang membicarakan dampaknya pada perempuan. </p>
<p>Perusahaan-perusahaan besar gagal melindungi perempuan di kedua sisi layar: para pekerja mereka dan para pengguna layanan. Ini mengapa langkah-langkah yang diambil untuk <a href="https://www.theguardian.com/technology/2023/feb/04/online-safety-bill-needs-tougher-rules-on-misogyny-say-peers">mengatur perusahaan media sosial</a> harus mengikutsertakan perlindungan khusus bagi perempuan.</p>
<p>Pelecehan daring, seperti yang <a href="https://arxiv.org/abs/1902.03093">telah berulangkali dikonfirmasi oleh penelitian akademik</a> dan <a href="https://www.amnesty.org/en/latest/research/2018/03/online-violence-against-women-chapter-1-1/">kelompok sipil</a>, kerap menyasar pengguna perempuan. </p>
<p>Salah satu kebijakan Musk setelah membeli Twitter adalah untuk memperkenalkan verifikasi demi memangkas jumlah akun palsu. Akun-akun tersebut <a href="https://www.compassioninpolitics.com/three_quarters_of_those_experiencing_online_abuse_say_it_comes_from_anonymous_accounts">kerap dikutip</a> sebagai sumber utama kekerasan dalam media sosial. Namun, <a href="https://www.cleanuptheinternet.org.uk/post/what-do-elon-musk-s-blue-tick-experiments-mean-for-the-uk-s-online-safety-bill">proses otentifikasi</a> yang diperkenalkan Musk hanyalah sekadar meminta akun-akun “centang biru” untuk membayar tarif bulanan – dan kebijakan ini telah dicabut menyusul protes warga Twitter. </p>
<p>Langkah ini lebih terlihat seperti cara untuk meningkatkan pemasukan alih-alih strategi keamanan daring yang efektif. Parahnya lagi, di saat bersamaan, Musk juga mengambil tindakan kontroversial dengan <a href="https://www.euronews.com/next/2023/01/18/which-controversial-figures-has-elon-musk-reinstated-on-twitter">mengembalikan akun</a> beberapa figur terkenal yang sebelumnya diblokir karena wacana misogini. Ini termasuk <a href="https://www.theguardian.com/technology/2022/aug/06/andrew-tate-violent-misogynistic-world-of-tiktok-new-star">Andrew Tate</a>, yang mendefinisikan dirinya sendiri sebagai <em>influencer</em> “seksis”.</p>
<p>Terlepas kacaunya pendekatan kepemimpinan Musk, keputusan-keputusan ini mengindikasikan adanya tren yang merebak dalam industri sosial media, dengan konsekuensi yang luas bagi perempuan.</p>
<p>Faktanya, selama beberapa tahun terakhir, platform seperti Twitter, Facebook, YouTube, dan TikTok telah merespons derasnya tuntutan publik dengan mangadopsi pedoman yang lebih ketat terhadap <a href="https://www.epe.admin.cam.ac.uk/five-things-you-should-know-about-digital-gender-based-violence-dgbv-and-ways-curb-it">ujaran kebencian berbasis gender</a>. Namun, perubahan ini kebanyakan diterapkan lewat <a href="https://mckinneylaw.iu.edu/iiclr/pdf/vol32p97.pdf">regulasi mandiri</a> dan kemitraan sukarela dengan sektor publik. Pendekatan ini membuat perusahaan bebas untuk menarik kembali keputusannya, seperti apa yang dilakukan oleh Musk.</p>
<p>Di samping itu, menyensor figur di internet atau mempromosikan verifikasi akun tidak betul-betul mengatasi penyebab utama kekerasan dalam media sosial. Desain aktual platform dan model bisnis perusahaan memainkan peran yang lebih sentral. </p>
<p>Platform media sosial berusaha untuk menjaga kita terus berada di dunia maya demi menghasilkan data yang membawa profit dan menjaga audiens untuk bisnis iklan mereka. Mereka melakukan ini melalui algoritma yang menciptakan <a href="https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/01/08/073100182/echo-chamber-dan-filter-bubble-alasan-sulit-lepas-dari-jeratan-hoaks?page=all">ruang gema</a>. Artinya, kita akan terus melihat konten yang sama dengan apapun yang membuat kita pertama kali tertarik untuk mengkliknya. </p>
<p>Namun riset menunjukkan bahwa hal ini turut memfasilitasi <a href="https://intpolicydigest.org/how-social-media-is-fueling-divisiveness/">peredaran pesan-pesan yang “memecah belah”</a>. Sistem tersebut juga mendukung <a href="https://research-information.bris.ac.uk/en/publications/from-individual-perpetrators-to-global-mobilisation-strategies-th">penyebaran seksisme di dunia maya</a>, dan mendorong pengguna yang pernah menonton suatu konten problematis masuk ke dalam “<a href="https://www.theguardian.com/society/2022/oct/30/global-incel-culture-terrorism-misogyny-violent-action-forums">lubang hitam</a>” unggahan yang seragam.</p>
<p>Sementara platform-platform ini menjadi problematis bagi para pengguna perempuan, banyak dari perusahaan di baliknya juga gagal melindungi pekerja perempuan yang turut membangun dan mengelola jaringan media sosial.</p>
<h2>Redundansi perusahaan teknologi</h2>
<p>Bagaimana perusahaan media sosial memperlakukan karyawannya perlu dilihat dari lensa gender, apalagi mengingat bagaimana perusahaan-perusahaan ini melakukan PHK massal dan strategi pemangkasan beban lainnya sebagai reaksi terhadap <a href="https://www.businessinsider.com/economic-downturn-tech-industry-layoffs-stock-plunge-funding-slowdown-2022-6?r=US&IR=T">lesunya pasar</a>.</p>
<p>Salah satu kelompok yang paling terimbas (menurut hasil pengamatan yang saya tuliskan di <a href="https://septemberpublishing.org/product/the-threat-why-digital-capitalism-is-sexist-and-how-to-resist/">buku saya yang baru saja diterbitkan</a>) adalah <a href="https://www.theverge.com/2019/2/25/18229714/cognizant-facebook-content-moderator-interviews-trauma-working-conditions-arizona">moderator media sosial</a>. </p>
<p>Para moderator ini bertugas membersihkan platform dari konten-konten yang melanggar standar komunitas. Mereka terus menerus terpapar ujaran kebencian yang bersifat misoginis, foto-foto kekerasan seksual dan pornografi non-konsensual. <a href="https://www.washingtonpost.com/technology/2020/05/12/facebook-content-moderator-ptsd/">Staf perempuan</a> – utamanya – kerap terpicu oleh konten-konten ini. Banyak dari mereka yang kemudian <a href="https://www.theverge.com/2020/5/12/21255870/facebook-content-moderator-settlement-scola-ptsd-mental-health">kena masalah kesehatan mental</a>, termasuk depresi, kecemasan, dan sindrom stres pascatrauma.</p>
<p>Perusahaan media sosial dan subkontraktor internasional mereka (yang banyak menyuplai tenaga alihdaya) menerapkan kebijakan-kebijakan lain yang juga melanggar hak karyawan, khususnya moderator perempuan. Salah satu yang terbaru adalah <a href="https://www.theguardian.com/business/2021/mar/26/teleperformance-call-centre-staff-monitored-via-webcam-home-working-%20pelanggaran">menempatkan kamera dengan kecerdasan buatan</a> di rumah moderator yang bekerja dari jarak jauh. Langkah ini merupakan intrusi yang sangat brutal bagi perempuan, apalagi mereka sudah sering menghadapi pelecehan atau masalah keamanan di ruang publik.</p>
<p>Pelecehan daring dan perlakuan terhadap pekerja berimbas pada semua gender. Namun, ada dampak khusus yang harus ditanggung perempuan dari kekerasan di media sosial. Sebuah <a href="https://onlineviolencewomen.eiu.com/">studi dari The Economist</a> menunjukkan bahwa ketakutan terhadap adanya agresi baru mendorong sembilan dari 10 korban yang disurvei mengubah habit dunia maya mereka – 7% bahkan keluar dari pekerjaannya.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Woman looks at laptop; home in background; remote working." src="https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Moderator menghapus unggahan yang melanggar standar komunitas di media sosial sehingga sering terpapar konten yang mengganggu (<em>disturbing</em>).</span>
<span class="attribution"><span class="source">fizkes/Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Solusi spesifik untuk kebencian di dunia maya</h2>
<p>Seperti layaknya pekerja perempuan dan pengguna yang menghadapi isu-isu spesifik akibat kebijakan – atau tidak adanya kebijakan – media sosial, intervensi untuk meningkatkan keamanan dan kesejahteraan mereka pun juga harus spesifik.</p>
<p>Buku saya membahas bagaimana kapitalis digital – termasuk tetapi tidak terbatas pada perusahaan media sosial – mengecewakan pengguna dan pekerja perempuan, dan <a href="https://gen-pol.org/2019/11/when-technology%20-memenuhi-misogyny-multi-level-intersectional-solutions-to-digital-gender-based-violence/">bagaimana cara mengatasinya</a>. Di antara perubahan yang saya sarankan adalah intervensi untuk membuat platform lebih bertanggung jawab.</p>
<p><a href="https://bills.parliament.uk/bills/3137">Rancangan Undang-Undang Keamanan Daring</a> di Inggris, misalnya, dirancang untuk memberi regulator otoritas untuk mendenda atau menuntut perusahaan yang lalai menghapus konten-konten berbahaya (<em>harmful</em>). Namun, penting bagi perubahan kebijakan di area ini untuk mengidentifikasi perempuan sebagai kategori pengguna yang dilindungi, dan rancangan undang-undang ini <a href="https://demos.co.uk/blog/the-online-safety-bill-will-it-protect-women-online/">masih belum mempertimbangkan hal tersebut</a>. Komitmen transparansi terkait algoritma dan regulasi platform seputar bisnis penambangan data juga dapat membantu, tetapi sejauh ini belum – atau belum sepenuhnya – terintegrasi ke sebagian besar undang-undang nasional dan internasional.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/panel-ahli-uu-perlindungan-data-pribadi-rentan-makan-korban-dan-belum-jamin-proteksi-data-yang-kuat-191018">Panel ahli: UU Perlindungan Data Pribadi rentan makan korban dan belum jamin proteksi data yang kuat</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Dan karena pekerja juga harus mendapatkan perlindungan yang sama besarnya dengan pengguna, penting untuk memastikan bahwa <a href="https://www.wired.co.uk/article/facebook-content-moderators-ireland">mereka bisa berserikat</a> dan harus ada dorongan bagi para pemberi kerja untuk menghormati kewajiban mereka memerhatikan tenaga kerjanya. Ini misalnya termasuk melarang pengawasan yang invasif di tempat kerja.</p>
<p>Satu solusi terkait pengguna dan pekerja perempuan: sudah waktunya bagi raksasa media sosial untuk menerapkan strategi-strategi spesifik untuk melindungi perempuan di kedua sisi layar.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/199612/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Lilia Giugni berafiliasi dengan GenPol - Gender & Policy Insights, wadah pemikir feminis yang berbasis di Inggris, dan dengan Royal Society of Arts.</span></em></p>Perempuan membutuhkan perlindungan yang lebih baik dari kebencian online dan misogini, baik saat menggunakan media sosial maupun saat bekerja di perusahaan teknologi.Lilia Giugni, Assistant professor, University of BristolLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1978002023-02-09T10:50:20Z2023-02-09T10:50:20Z20 tahun LinkedIn: bagaimana kemunculan jenis ‘influencer’ baru mengubah sang raksasa jejaring bisnis<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/509115/original/file-20230209-22-dn1h0z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C26%2C6000%2C3961&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">LinkedIn bertahan dua dekade di tengah menjamurnya berbagai platform media sosial.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/JLj_NbvlDDo">souvik banerjee/unsplash</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Ketika seseorang menyebut media sosial, LinkedIn mungkin tak serta merta muncul di benak kita. Tapi tak ada yang bisa menyangkal bahwa situs jejaring bisnis ini tahan banting: LinkedIn kini genap berusia 20 tahun sejak pertama kali berdiri di Silicon Valley, Amerika Serikat (AS). </p>
<p>LinkedIn adalah buah pikiran dari Reid Hoffman. Ia adalah pengusaha asal AS yang pernah bekerja untuk sebuah platform media sosial milik Apple sebelum meluncurkan platfom miliknya sendiri, <a href="https://www.inc.com/business-insider/reid-hoffman-on-the-failure-of-his-first-company.html">SocialNet</a>, pada 1997. Sayangnya, situs kencan dan jejaring profesional tersebut kandas dalam dua tahun setelah gagal menemukan cukup basis pengguna.</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/501502/original/file-20221216-21-tfee6k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Pendiri LinkedIn, Reid Hoffman, berbicara di sebuah konferensi" src="https://images.theconversation.com/files/501502/original/file-20221216-21-tfee6k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/501502/original/file-20221216-21-tfee6k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=696&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/501502/original/file-20221216-21-tfee6k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=696&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/501502/original/file-20221216-21-tfee6k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=696&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/501502/original/file-20221216-21-tfee6k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=875&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/501502/original/file-20221216-21-tfee6k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=875&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/501502/original/file-20221216-21-tfee6k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=875&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Penemu LinkedIn, Reid Hoffman.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/160866001@N07/48814467481/in/photolist-2hnyUvF-Ecm2i5-F1Sjoc-Js96ox-F1Sha4-F7Kyz1-7PVv2R-EckLrm-dGB3Lw-EGtAKd-F7Kv7j-2hnyUow-7oyoNH-7nXaKT-F7KsUo-EcFpL2-5udhLS-jKZ6WQ-diuQqH-bv49kH-EwLR-bv472k-jKYJ1e-9nxoQG-bv46vt-4D3F5r-bv49Ak-k97YS-bv48Q8-bv49tn-cfyudY-bv46HZ-bv48qD-5u8Uhv-2V5HDP-k98hj-dxt8Ua-5udiVW-7PZioG-dxt7Lz-5udiQ7-an2zqu-3j7kwf-5udiEU-RM59bM-bv47ir-cfywxd-an2zs1-5udiKb-cfyuyG">Marco Verch</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Hoffman kemudian menjadi manajer senior di PayPal, dan mengantungi uang dalam jumlah besar ketika platform pembayaran digital itu dibeli oleh eBay pada 2002. Uang inilah yang membantunya mendirikan LinkedIn bersama mantan kolega-koleganya di SocialNet pada 28 Desember 2002. Hoffman menjadi CEO pertama LinkedIn sebelum akhirnya menjadi <a href="https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/executive-chairman"><em>executive chairman</em></a>. </p>
<p>Ini adalah masa ketika orang-orang menyadari pentinngnya keterhubungan individu dan interaksi <em>peer-to-peer</em> (rekan ke rekan). Platform LinkedIn diluncurkan pada Mei 2003, sebelum Myspace dan Facebook ada. Tapi ketika keduanya maupun platform lain seperti <a href="https://www.nytimes.com/2022/11/02/opinion/elon-musk-twitter-friendster.html">Friendster</a> menyasar pasar konsumen, Hoffman selalu memfokuskan LinkedIn pada dunia bisnis. </p>
<h2>Bagaimana LinkedIn bertumbuh</h2>
<p>LinkedIn awalnya dirancang sebagai tempat bagi pengguna untuk membagikan CV dan membangun jejaring dengan orang-orang yang dapat memberikan mereka rekomendasi profesional. Butuh waktu bagi LinkedIn untuk menemukan pijakannya – melalui inovasi yang memungkinkan pengguna menggunggah daftar kontak mereka (2004), serta membuka lowongan pekerjaan (2005) dan membuat profil publik (2006). </p>
<p>LinkedIn masuk ke ranah internasional pada akhir dekade 2000-an, membuka kantor di Inggris pada 2008, dan meluncurkan versi bahasa Spanyol dan Prancis pada tahun yang sama. Jeff Weiner, sebelumnya dari Yahoo, masuk sebagai CEO setahun berselang, seiring dengan metamorfosis perusahaan menjadi bisnis yang serius. </p>
<p>Platform tersebut menghasilkan laba dari <a href="https://www.businessofapps.com/data/linkedin-statistics/">fitur-fitur premium</a> yang memungkinkan pengguna untuk melakukan hal-hal seperti mengirimkan pesan ke luar jaringan mereka, mengirimkan <em>email</em> dan mengakses portal analisis data. LinkedIn juga menyediakan tempat dan paket iklan untuk membantu perekrut menggaet pencari kerja yang sesuai kebutuhan. </p>
<p>LinkedIn merambah pasar saham pada 2011 dengan <a href="https://ipwatchdog.com/2011/05/22/linkedin-ipo-huge-success-valuation-of-8-79-billion/id=17041/">valuasi senilai US$9 miliar (Rp 136,24)</a>. Hasil penjualan sahamnya mendanai sejumlah besar akuisisi yang secara bertahap menghadirkan berbagai fitur baru ke dalam platform, seperti kemampuan mengunggah artikel (2015) dan video (2017). </p>
<p>Microsoft kemudian mengakuisisi LinkedIn pada tahun 2016 lewat transaksi senilai US$26 miliar. Dengan bergabungnya Hoffman ke jajaran eksekutif raksasa teknologi asal Seattle tersebut, dan Weiner masih menjadi CEO LinkedIn hingga sekarang, Microsoft menerapkan kepemilikan yang cenderung <a href="https://www.cnbc.com/2019/12/27/linkedin-ceo-jeff-weiner-is-ok-with-microsofts-hands-off-approach.html">minim intervensi</a>. </p>
<h2>Diuntungkan pandemi</h2>
<p>Kini, LinkedIn bisa dikatakan sebagai media sosial terbesar ketujuh setelah Facebook/Messenger, YouTube, WhatsApp, Instagram, Twitter dan Tik Tok. Pada 2021, platform tersebut memiliki hampir 824 juta pengguna dari 200 negara dan wilayah. Sekitar 6% (49 juta) adalah pelanggan premium yang membayar minimal $29,99 (atau sekitar Rp 450 ribu) per bulan. </p>
<p>Fokus bisnis LinkedIn tak hanya berhasil menarik basis pengguna kelas atas, tapi juga <a href="https://thesocialshepherd.com/blog/linkedin-statistics#:%7E:text=Most%20of%20LinkedIn's%20Users%20are,2%25%20are%2055%20and%20older.">anak muda</a>. Mayoritas (59%) pengguna berusia 25-34, disusul oleh kelompok usia 18-24 (20%) dan 35-54 (18%). Perusahaan berhasil membukukan pemasukan <a href="https://www.globaldata.com/data-insights/technology--media-and-telecom/linkedin-annual-revenue/#:%7E:text=Overview%20of%20LinkedIn's%20Annual%20Revenue%3A&text=In%202021%2C%20LinkedIn's%20yearly%20revenue,year%2C%20driven%20by%20marketing%20solutions.">US$10 miliar lebih</a> pada 2021. </p>
<p><strong>Media sosial terbesar dunia</strong></p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/500447/original/file-20221212-99176-ejlefp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Grafik media sosial dengan pengguna terbanyak" src="https://images.theconversation.com/files/500447/original/file-20221212-99176-ejlefp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/500447/original/file-20221212-99176-ejlefp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=303&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/500447/original/file-20221212-99176-ejlefp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=303&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/500447/original/file-20221212-99176-ejlefp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=303&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/500447/original/file-20221212-99176-ejlefp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=380&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/500447/original/file-20221212-99176-ejlefp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=380&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/500447/original/file-20221212-99176-ejlefp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=380&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Semua data adalah pengguna aktif bulanan pada Januari 2022, kecuali LinkedIn yang hanya memberikan data jumlah pengguna.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.statista.com/statistics/272014/global-social-networks-ranked-by-number-of-users/">Statista</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kondisi pandemi <a href="https://www.forbes.com/sites/williamarruda/2021/10/27/how-linkedin-can-help-you-make-a-leap-during-the-great-resignation/?sh=17927ea625d9">membawa kemujuran</a> untuk LinkedIn, dengan interaksi di platform meningkat 43% dan aktivitas berbagi konten naik 30%. LinkedIn menuai untung dari bergesernya cara orang berjejaring, dan ini berkaitan dengan <a href="https://www.scientificamerican.com/article/a-massive-linkedin-study-reveals-who-actually-helps-you-get-that-job/">temunan dari sejumlah studi</a> bahwa koneksi profesional kita yang paling lemah – misalnya sekadar kolega dari seorang kolega – justru yang paling berperan memberikan kita informasi penting yang pada akhirnya mengarahkan kita ke lowongan atau pekerjaan-pekerjaan impian.</p>
<p>Pada masa ketika hambatan ruang dan waktu menjadi kurang relevan dan panggilan Zoom mudah ditemui di mana-mana, ini jadi momen yang tepat untuk berhubungan kembali dengan para kenalan ini. Apalagi, dengan <a href="https://mashable.com/article/job-hunting-after-pandemic-linkedin-zoom">banyaknya orang yang mempertanyakan situasi kerjanya masing-masing</a>, LinkedIn menjadi tempat ideal untuk melihat unggahan orang lain dan berkomunikasi dengan mereka. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/quiet-quitting-mengapa-bekerja-lebih-sedikit-itu-bagus-untukmu-dan-juga-bosmu-189422">_Quiet quitting_: mengapa bekerja lebih sedikit itu bagus untukmu -- dan juga bosmu</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Ini berarti LinkedIn memegang peranan sentral dalam fenomena <em>great resignation</em> – merujuk pada fenomena meroketnya jumlah pekerja yang mengundurkan diri setelah pandemi COVID-19 pecah. Layaknya sebagian besar pengguna LinkedIn, gerakan ini pun didominasi oleh kelompok milenial. Unggahan soal pindah atau keluar dari pekerjaan menarik banyak <em>likes</em> dan komentar, <a href="https://www.bbc.com/worklife/article/20211214-great-resignation-into-great-reshuffle">menginspirasi</a> orang untuk melakukan hal yang sama. Fakta bahwa sangat banyak orang yang terhubung lewat LinkedIn menggandakan efek tersebut dan menjadikannya sebagai katalis maupun solusi utama bagi pemberi kerja. </p>
<p><strong>Pertumbuhan pengguna LinkedIn dari waktu ke waktu</strong></p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/500453/original/file-20221212-113221-uu5no9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Grafik menunjukkan pertumbuhan jumlah pengguna LinkedIn dari waktu ke waktu" src="https://images.theconversation.com/files/500453/original/file-20221212-113221-uu5no9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/500453/original/file-20221212-113221-uu5no9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=289&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/500453/original/file-20221212-113221-uu5no9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=289&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/500453/original/file-20221212-113221-uu5no9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=289&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/500453/original/file-20221212-113221-uu5no9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=363&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/500453/original/file-20221212-113221-uu5no9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=363&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/500453/original/file-20221212-113221-uu5no9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=363&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://99firms.com/blog/linkedin-statistics/">Berbagai sumber</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Berjumpa dengan ‘<em>work-fluencer</em>’</h2>
<p>Peran LinkedIn sebagai magnet isu-isu terkait pekerjaan menentukan bagaimana platform tersebut berkembang. Misalnya, kini muncul kategori <em>influencer</em> media sosial baru: “<a href="https://www.businessinsider.co.za/linkedin-tiktok-workers-employees-oversharing-about-jobs-work-side-hustle-2022-11"><em>work-fluencer</em></a>”. </p>
<p>Perusahaan semakin menemukan bahwa profil dan unggahan karyawan mereka dapat mengekspresikan merek (<em>brand</em>) lebih baik daripada akun resmi perusahaan. Ini memungkinkan mereka mengembangkan jaringan bisnis jauh lebih cepat dan alami.</p>
<p>Ketika dilakukan dengan baik, unggahan dari karyawan umumnya jauh lebih baik daripada humas korporasi. Ketimbang sekadar mengkurasi artikel soal pencapaian dan kesuksesan profesional, orang-orang semakin terbuka dan jujur mengenai kehidupan kerja mereka sehari-hari.</p>
<p>Lebih dari 13 juta pengguna LinkedIn telah mengubah profil mereka menjadi “mode kreator”, demi mendapatkan paparan yang lebih besar terhadap unggahan mereka. Banyak yang menggunakan tagar <a href="https://www.linkedin.com/feed/hashtag/?keywords=careertiktok">#careertiktok</a> untuk mengunggah hal-hal seperti gaji ataupun <em>vlog</em> yang menceritakan kejadian terkait pekerjaan mereka – dan unggahan dengan tagar ini telah ditonton hingga 1.5 miliar kali. </p>
<p>“Obrolan kantor” yang kini berpindah ke ruang daring merepresentasikan perubahan soal seberapa banyak yang diungkapkan orang-orang di internet terkait pekerjaan mereka. Pekerja kini mengangkat isu-isu tabu soal transparansi gaji, diskriminasi, dan praktik buruk menjatuhkan kolega di lingkup profesional. Sejumlah profesi seperti pengacara, pengusaha, dan ahli humas pun memanfaatkan unggahan mereka sebagai bisnis pemasaran konten dan usaha sampingan lain yang menguntungkan. </p>
<p>Perubahan ini memungkinkan LinkedIn menikmati kepercayaan dan pertumbuhan komunitas yang bisa membuat media sosial lain iri, 20 tahun semenjak platform ini didirikan. Tentu saja ini bukan tanpa tantangan –- <a href="https://www.cnbc.com/2022/12/10/not-just-twitter-linkedin-has-fake-account-problem-its-trying-to-fix.html">akun palsu</a>, misalnya, masih jadi permasalahan. Dan tak dapat dihindarkan, LinkedIn juga menarik banyak <em>spam</em>, yang mungkin saja merupakan salah satu alasan mengapa platform ini tak mendapatkan interaksi harian sebanyak media sosial lainnya. </p>
<p>Di sisi lain, LinkedIn diuntungkan oleh tidak adanya kompetitor langsung yang setingkat dengannya. Yang paling dekat mungkin grup Facebook atau Reddit. Tapi, fokus LinkedIn yang murni pada korporasi akan selalu jadi nilai plus dibanding keduanya.</p>
<p>Di saat platform tradisional seperti Facebook dan Twitter mengalami kesulitan, LinkedIn memiliki peluang emas untuk terus sukses sebagai platform besar yang fokus ke bidang tertentu.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/197800/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Theo Tzanidis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sementara raksasa media sosial lainnya menggelepar, LinkedIn sukses bertahan.Theo Tzanidis, Senior Lecturer in Digital Marketing, University of the West of ScotlandLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1975702023-01-11T02:31:17Z2023-01-11T02:31:17ZTak hanya adab buruk: mengapa media sosial membuat perdebatan konstruktif sulit terjadi di ruang maya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/503869/original/file-20230110-15-met8rg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Teknologi justru bisa jadi batu sandungan bagi upaya orang-orang untuk mencari kesamaan dan jalan tengah.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/illustration/two-women-fighting-on-social-media-royalty-free-illustration/1150261610">(Johanna Svennberg/iStock via Getty Images)</a></span></figcaption></figure><p>Perdebatan yang sehat adalah bagian dari masyarakat maupun dalam hubungan yang kuat. Tapi, tampaknya cukup sulit bagi banyak orang untuk terlibat perdebatan konstruktif di internet. Orang-orang <a href="https://doi.org/10.1016/j.chb.2013.06.004">lebih sedikit mencapai jalan tengah</a> di ruang maya ketimbang saat terlibat perselisihan tatap muka.</p>
<p>Sudah ada banyak literatur tentang psikologi di balik perdebatan <em>online</em>, dari riset tentang <a href="https://doi.org/10.1177/0956797617713798">teks versus suara</a>, bagaimana orang bisa <a href="https://doi.org/10.1145/2998181.2998213">menjadi <em>troll</em> di internet</a>, sampai panduan bagaimana <a href="https://www.theguardian.com/society/2021/feb/16/how-to-have-better-arguments-social-media-politics-conflict">caranya berargumentasi dengan baik</a>. Tapi ada faktor lain yang kerap dilupakan: desain media sosial itu sendiri.</p>
<p>Saya dan beberapa kolega mendalami <a href="https://doi.org/10.1145/3449230">bagaimana desain medsos mempengaruhi perselisihan <em>online</em></a>, dan sebaliknya, bagaimana caranya mendesainnya untuk menumbuhkan perdebatan yang konstruktif.</p>
<p>Kami menyurvei dan mewawancarai 257 orang tentang pengalaman mereka terlibat perdebatan <em>online</em> dan bagaimana desain medsos yang baik bisa memperbaiki suasana. Kami menanyakan fitur-fitur mana saja dari 10 platform medsos yang mempermudah maupun mempersulit keterlibatan dalam perdebatan <em>online</em>, dan kenapa. (Saya ingin jujur terlebih dahulu: saya menerima pendanaan riset dari Facebook.)</p>
<p>Yang kami temukan, orang-orang seringkali menghindari diskusi <em>online</em> terkait topik-topik yang menantang karena takut mengganggu hubungan mereka. Dan ketika membicarakan perselisihan, karakternya tak selalu sama di tiap medsos. Orang-orang bisa menghabiskan banyak waktu di suatu situs medsos dan tak melibatkan diri dalam perdebatan (misalnya Youtube) atau sama sekali tak bisa menghindar dari perdebatan di beberapa platform tertentu (misalnya Facebook dan WhatsApp).</p>
<p><iframe id="EEN5Q" class="tc-infographic-datawrapper" src="https://datawrapper.dwcdn.net/EEN5Q/1/" height="400px" width="100%" style="border: none" frameborder="0"></iframe></p>
<p>Berikut adalah hal-hal yang responden kami ceritakan terkait pengalaman mereka memakai Facebook, WhatsApp, dan Youtube, yang merupakan tempat paling banyak sekaligus paling sedikit terjadi perdebatan <em>online</em>.</p>
<h1>Facebook</h1>
<p>Sebanyak 70% dari partisipan kami pernah terlibat perdebatan melalui Facebook, dan banyak dari mereka mengungkapkan pengalaman yang negatif. Orang-orang mengatakan mereka merasa sulit membuka diri karena selalu ada audiens: teman-teman mereka di Facebook.</p>
<p>Seorang partisipan berbicara tentang Facebook, “Terkadang kita tidak mengakui kegagalan kita karena selalu ada orang yang melihat.” Perselisihan memicu perkelahian besar yang melibatkan audiens yang lebih luas, ketimbang dua atau lebih orang yang mencoba memberikan pandangan mereka untuk mencari jalan tengah.</p>
<p>Orang-orang juga mengatakan cara Facebook mendesain fitur komentar mencegah interaksi yang bermakna, karena banyak komentar yang tersembunyi secara otomatis dan diperpendek. Ini kemudian mencegah orang-orang untuk melihat konten dan berpartisipasi dalam diskusi.</p>
<h1>WhatsApp</h1>
<p>Kontras dengan itu, para responden mengatakan bahwa berdebat melalui platform pesan pribadi seperti WhatsApp membuat mereka “bisa jujur dan menjalin obrolan yang jujur.” Platform ini menjadi tempat populer untuk perdebatan <em>online</em>, dengan 76% partisipan kita mengatakan bahwa mereka pernah berdebat di sana.</p>
<p>Pengorganisasian pesannya juga membuat orang bisa “fokus ke diskusi yang sedang berjalan.” Dan, berbeda dengan pengalaman melakukan obrolan tatap muka, seseorang yang menerima pesan di WhatsApp bisa memilih kapan mereka akan membalasnya. Menurut para responden, hal ini membantu dialog <em>online</em> karena mereka jadi punya lebih banyak waktu untuk memikirkan respons mereka dan melangkah mundur sesaat dari tensi emosional ketika dalam situasi tersebut. Namun, hal ini terkadang membuat mereka terlalu lama membalas pesan sehingga beberapa orang mengatakan bahwa mereka merasa diabaikan.</p>
<p>Secara umum, partisipan kami merasa privasi yang mereka dapat di WhatsApp penting untuk mewujudkan keterbukaan diri dan menjadi otentik di ruang maya, dan jauh lebih banyak lagi orang sepakat bahwa mereka bisa membicarakan topik kontroversial melalui platform pribadi ketimbang yang publik seperti Facebook.</p>
<h1>YouTube</h1>
<p>Sangat sedikit orang melaporkan bahwa mereka terlibat perdebatan di Youtube, dan opini mereka terkait YouTube bergantung dengan fitur mana yang mereka pakai. Ketika memakai fitur komentar, orang mengatakan bahwa mereka “bisa menulis sesuatu yang kontroversial tanpa ada orang yang akan membalasnya”, sehingga “terasa seperti hanya memberikan <em>review</em> ketimbang menjalin obrolan.” Para pengguna merasa mereka bisa terlibat perdebatan dalam kolom <em>chat</em> saat video <em>live</em> berlangsung, dengan catatan bahwa kanal tersebut tidak sedang memoderatori diskusi.</p>
<p>Berbeda dengan Facebook dan WhatsApp, YouTube cenderung fokus ke konten video. Para penggunanya suka dengan kenyataan bahwa “mereka bisa fokus ke satu video tertentu, tanpa harus membela suatu isu secara keseluruhan,” dan bahwa “orang bisa membuat video panjang untuk benar-benar menjelaskan sesuatu.” Mereka juga suka bahwa video mampu memfasilitasi lebih banyak isyarat sosial ketimbang interaksi <em>online</em> pada umumnya, mengingat kita “bisa melihat ekspresi wajah seseorang dalam video yang mereka produksi.”</p>
<p>Proses moderasi di seantero platform YouTube menuai respons yang beragam. Beberapa orang merasa mereka bisa “bebas berkomentar tanpa persekusi” sementara yang lain mengatakan bahwa beberapa video yang dihapus sesuai kebijakan YouTube “biasanya disebabkan alasan yang konyol atau tidak masuk akal.” Orang-orang juga merasa bahwa ketika kreator memoderatori kolom komentar mereka dan “langsung menyaring hal-hal yang mereka tidak suka,” hal ini dapat mencegah pengguna menjalin diskusi terkait topik-topik menantang.</p>
<h2>Mendesain ulang media sosial demi perdebatan yang lebih baik</h2>
<p>Kami menanyakan partisipan tentang bagaimana beberapa usulan rancangan interaksi bisa memperbaiki pengalaman mereka saat berdebat di internet. Kami menunjukkan panel gambar yang menjelaskan fitur-fitur yang bisa ditambahkan ke platform medsos, seperti kemampuan untuk menghapus konten provokatif, memblokir pengguna yang merusak percakapan, dan memakai emoji untuk menyampaikan emosi dalam teks.</p>
<p>Orang-orang juga bersemangat terkait suatu proses intervensi yang membantu pengguna “berganti kanal” dari suatu ruang <em>online</em> publik ke ruang yang privat. Ini melibatkan suatu aplikasi yang dapat melakukan intervensi dalam suatu argumen di unggahan publik, kemudian menyarankan penggunanya berpindah ke obrolan privat. Satu orang mengatakan bahwa “dengan cara ini, orang tidak akan terganggu dan dipaksa terlibat dalam suatu diskusi <em>online</em> yang tak benar-benar melibatkan mereka.” Ada responden lain yang mengatakan, “ini akan membantu orang menghindari rasa malu akibat berdebat di ruang publik.”</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/410035/original/file-20210707-25-9d0ns0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="A comic displays five tiles in which people are arguing in a comment section, and the app intervenes suggesting the users move to a private message instead." src="https://images.theconversation.com/files/410035/original/file-20210707-25-9d0ns0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/410035/original/file-20210707-25-9d0ns0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=910&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/410035/original/file-20210707-25-9d0ns0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=910&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/410035/original/file-20210707-25-9d0ns0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=910&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/410035/original/file-20210707-25-9d0ns0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1144&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/410035/original/file-20210707-25-9d0ns0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1144&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/410035/original/file-20210707-25-9d0ns0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1144&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Satu cara platform medsos bisa melakukan intervensi: memindahkan perdebatan keluar dari diskusi publik.</span>
<span class="attribution"><span class="source">'Someone Is Wrong on the Internet: Having Hard Conversations in Online Spaces'</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nd/4.0/">CC BY-ND</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Intervensi, tapi dengan hati-hati</h2>
<p>Secara umum, orang-orang yang kami wawancarai merasa optimis secara hati-hati terkait potensi bahwa desain yang baik bisa memperbaiki nuansa perdebatan <em>online</em>. Mereka berharap bahwa desain bisa membantu mereka menemukan kesamaan dan jalan tengah dengan orang lain di internet.</p>
<p>Meski demikian, orang-orang juga cukup waspada akan potensi teknologi untuk justru berujung menganggu ketika terjadi suatu interaksi antarpengguna yang sensitif. Misalnya, suatu intervensi yang berniatan baik namun naif bisa saja menjadi bumerang dan terasa “menyeramkan” atau “berlebihan.” Salah satu intervensi kami melibatkan pemaksaan suatu periode jeda sementara (<em>timeout</em>) selama 30 detik. Ini dirancang untuk memberikan waktu agar pengguna bisa menenagkan diri. Namun, para responsen kami merasa ini justru bisa membuat orang lebih frustrasi dan makin merusak perdebatan.</p>
<p>Pengembang media sosial bisa mengambil langkah untuk membina perdebatan konstruktif di ruang maya melalui desain. Tapi, temuan kami menyiratkan bahwa proses desain tersebut perlu mempertimbangkan bagaimana intervensi-intervensi yang diberikan justru bisa menjadi bumerang, menganggu, atau bahkan konsekuensi lain bagi para pengguna.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/197570/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Amanda Baughan menerima pendanaan riset dari Facebook.</span></em></p>Proses di balik layanan dan sistem interaksi di media sosial punya kekuatan untuk membentuk bagaimana kita menjalin perdebatan di ruang maya.Amanda Baughan, PhD Student in Computer Science & Engineering, University of WashingtonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1973482023-01-06T09:42:18Z2023-01-06T09:42:18ZTwitter dan Elon Musk: mengapa ‘absolutisme’ kebebasan berbicara bisa mengancam hak asasi manusia<p>Meski Elon Musk adalah sosok yang telah sukses membangun kekayaan dari berbagai bisnis termasuk mobil listrik, proses pengambilalihan Twitter selama beberapa bulan ke belakang tampaknya tak semulus yang ia harapkan.</p>
<p>Tak lama setelah ia <a href="https://www.theguardian.com/technology/2022/oct/27/elon-musk-completes-twitter-takeover">membeli platform media sosial tersebut</a> seharga US$ 44 miliar (hampir Rp 700 triliun), Musk mengatakan dirinya “<a href="https://www.bbc.co.uk/news/business-63524219">tak punya pilihan</a>” selain memecat ribuan pegawai Twitter.</p>
<p>Musk kemudian menuai kiritik atas keputusannya mengubah lencana verifikasi “centang biru” menjadi layanan langganan bulanan. Sosok yang kerap menganggap dirinya sebagai seseorang yang percaya bahwa “kebebasan berbicara adalah harga mati” (<a href="https://www.theguardian.com/technology/2022/apr/14/how-free-speech-absolutist-elon-musk-would-transform-twitter">“<em>free speech absolutism</em>”</a>) itu juga memiliki rencana untuk <a href="https://time.com/6227031/twitter-misinformation-midterm-elections/">mengurangi moderasi konten</a> – dan ini patut dikhawatirkan oleh para pengguna.</p>
<p>Moderasi, yakni proses skrining dan pemblokiran <a href="https://yalebooks.yale.edu/book/9780300261431/custodians-internet/">konten <em>online</em> yang tidak bisa diterima</a>, telah ada sejak awal hadirnya internet. Ia berevolusi menjadi <a href="https://www.siliconrepublic.com/business/facebook-content-moderation-automated">fitur yang penting dan canggih</a> seiring meningkatnya ujaran kebencian, misinformasi, dan konten ilegal. Proses ini tak semestinya dikerdilkan begitu saja.</p>
<p>Langkah-langkah yang dirancang untuk memperlemah filter ini berpotensi memunculkan lebih banyak konten yang berdampak buruk terhadap psikis atau bahkan fisik seseorang (<em>harmful content</em>). Ini bisa punya dampak serius terhadap hak asasi manusia (HAM), baik di dunia maya maupun nyata.</p>
<p>Tak hanya pemerintah yang mengemban tanggung jawab untuk melindungi HAM – <a href="https://www.ohchr.org/sites/default/files/Documents/Publications/GuidingPrinciplesBusinessHR_EN.pdf">bisnis pun juga</a>. Saat beberapa jenis HAM yang berbeda bertabrakan, sebagaimana seringkali terjadi, konflik perlu dikelola dan ditengahi dengan baik.</p>
<p>Media sosial kini telah menjadi cara yang luar biasa ampuh bagi orang di seluruh dunia untuk menikmati hak asasi mereka akan kebebasan berekspresi. Ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, maupun membagikan berbagai jenis informasi dan ide.</p>
<p>Tapi, kebebasan berekspresi juga bukan tanpa batasan. Hukum HAM internasional melarang propaganda perang, sekaligus advokasi terkait kebencian berbasis bangsa, ras, atau agama yang memuat ajakan aktif untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, dan kekerasan. Ini juga termasuk batasan-batasan untuk <a href="https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/international-covenant-civil-and-political-rights">menjamin penghormatan</a> atas hak atau reputasi seseorang dari serangan tak berdasar.</p>
<p>Jadi, Twitter, serupa dengan platform <em>online</em> lainnya, punya tanggung jawab untuk menghormati kebebasan berekspresi. Tapi di saat yang sama, ia juga punya tanggung jawab untuk tak membiarkan kebebasan tersebut sepenuhnya <a href="https://documents-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G18/096/72/PDF/G1809672.pdf?OpenElement">melangkahi hak asasi lain</a>.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1588591603622772736"}"></div></p>
<p>Selama ini, misalnya, orang sering menggunakan <em>harmful content</em> untuk meredam kebebasan berekspresi orang lain. Terkadang, ancaman daring bisa tumpah ke dunia nyata dan menimbulkan <a href="https://www.ohchr.org/en/statements/2022/02/statement-irene-khan-special-rapporteur-promotion-and-protection-freedom-opinion">dampak emosional dan fisik yang besar</a>.</p>
<p>Langkah-langkah untuk menhilangkan moderasi konten, pada akhirnya berisiko melemahkan tanggung jawab perusahaan untuk melindungi HAM. Bagi beberapa pihak, kebebasan berekspresi yang tak terbatas hampir pasti berujung pada terlanggarnya kebebasan yang sama pada pihak lain. Dampak buruknya pun belum tentu berhenti di situ.</p>
<p>Musk mengklaim bahwa Twitter akan menjadi suatu “balai kota” (<em>town square</em>) yang lebih demokratis. Tapi, tanpa moderasi konten, balai kota versi Musk ini bisa menjadi <a href="https://www.theguardian.com/commentisfree/2022/oct/01/molly-russell-was-trapped-by-the-cruel-algorithms-of-pinterest-and-instagram">disfungsional dan berbahaya</a>.</p>
<p>Twitter – lagi-lagi, seperti kebanyakan platform media sosial lainnya – telah lama dihubungkan dengan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/0170840621994501">ujaran-ujaran rasis dan misoginis</a>. Setelah munculnya <a href="https://www.washingtonpost.com/technology/2022/10/28/musk-twitter-racist-posts/">pengumuman resmi bahwa Musk membeli Twitter</a>, cuitan rasis pun kembali bertebaran.</p>
<p>Meski Musk berupaya meyakinkan kita bahwa Twitter tidak akan <a href="https://www.irishtimes.com/business/2022/11/03/twitter-wont-be-a-hellscape-musk-promises-advertisers-theyre-not-so-sure/">menjadi “neraka”</a>, penting untuk mengingat bahwa moderasi konten tak sama dengan penyensoran. Bahkan, moderasi justru bisa <a href="https://www.techdirt.com/2022/03/30/why-moderating-content-actually-does-more-to-support-the-principles-of-free-speech/">memfasilitasi dialog yang otentik dan jujur</a> karena meredam spam dan ungkapan-ungkapan toksik yang seringkali merusak komunikasi di media sosial.</p>
<h2>Ramah pengguna?</h2>
<p>Moderasi juga menawarkan perlindungan. Tanpanya, Twitter rawan kehilangan pengguna yang bisa hengkang ke platform-platform alternatif yang mereka anggap lebih aman dan <a href="https://www.forbes.com/sites/jemimamcevoy/2021/06/17/last-years-advertising-boycott-of-facebook-led-to-change-but-not-where-you-think-report-finds/?sh=34321b754522">lebih cocok secara ideologis</a>.</p>
<p>Pengiklan-pengiklan yang berharga juga <a href="https://theconversation.com/tech-giants-need-to-take-more-responsibility-for-the-advertising-that-makes-them-billions-107025">akan mudah pergi</a> dari ruang <em>online</em> yang mereka rasa memecah belah dan riskan. General Motors merupakan salah satu perusahaan besar yang pertama mengumumkan <a href="https://www.cnbc.com/2022/10/28/gm-temporarily-suspends-advertising-on-twitter-following-elon-musk-takeover.html">pemberhentian sementara</a> iklan di Twitter selepas Musk menjadi bos Twitter.</p>
<p>Tentu saja, kita tidak tahu pasti Twitter versi Musk pada akhirnya akan berujung seperti apa. Tapi ada <a href="https://www.nytimes.com/2022/10/28/technology/twitter-elon-musk-content-moderation.html">beberapa kabar</a> yang telah muncul bahwa tim moderasi konten akan dibubarkan dan diganti dengan suatu “dewan moderasi”.</p>
<p>Jika ini mirip dengan konsep dewan pengawas (<a href="https://about.meta.com/actions/oversight-board-facts/"><em>oversight board</em></a>) di Meta, keputusan terkait konten akan dialihdayakan ke suatu kelompok eksternal yang mewakili pandangan-pandangan yang beragam. Tapi jika kendali internal dan akuntabilitas di Twitter lebih buruk, <em>harmful content</em> bisa menjadi monster yang lebih susah untuk ditaklukkan.</p>
<p>Pengabaian tanggung jawab semacam itu beresiko melanggar kewajiban Twitter untuk melindungi HAM, dan efek negatif terhadap individu yang terdampak <em>harmful content</em> maupun pendekatan HAM secara umum yang dipakai oleh platform daring.</p>
<p>Jadi, ketika seorang pebisnis yang (amat) kaya mengklaim bahwa ia “membebaskan” Twitter demi kemanusiaan, ia juga memperoleh kendali komersial atas suatu ruang sosial yang selama ini dianggap relatif demokratis. Apa yang ia lakukan di beberapa waktu ke depan akan punya dampak serius terhadap <a href="https://profilebooks.com/work/the-age-of-surveillance-capitalism/">HAM di era digital</a>.</p>
<p>Moderasi konten sama sekali bukan “panasea” (obat mujarab penyembuh segalanya), dan anggapan bahwa media sosial adalah “<a href="https://www.theguardian.com/technology/2020/may/28/zuckerberg-facebook-police-online-speech-trump">hakim kebenaran</a>” merupakan klaim yang problematik karena berbagai alasan. Kita pun tak boleh lupa dampak emosional dan psikis yang harus dialami pekerja moderator konten, yang tiap hari mengawasi “<a href="https://yalebooks.yale.edu/book/9780300261479/behind-the-screen/">sisi terburuk dari umat manusia</a>” demi melindungi layar-layar kita.</p>
<p><a href="https://theconversation.com/au/topics/social-media-and-society-125586" target="_blank"><img src="https://images.theconversation.com/files/479539/original/file-20220817-20-g5jxhm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=144&fit=crop&dpr=1" width="100%"></a></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/197348/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sarah Glozer menerima dana dari Economic and Social Research Council (ESRC) Inggris. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Emily Jane Godwin menerima dana dari Engineering and Physical Sciences Research Council (EPSRC) untuk posisinya sebagai mahasiswa PhD.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Rita Mota tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Moderasi konten masih akan tetap memegang peranan penting pada era digital.Sarah Glozer, Senior Lecturer in Marketing & Society, University of BathEmily Jane Godwin, PhD Candidate in Cyber Security, University of BathRita Mota, Assistant Professor, Department of Society, Politics and Sustainability, ESADELicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1965882022-12-30T06:19:44Z2022-12-30T06:19:44ZDari Twitter ke Mastodon: apakah orang-orang siap untuk media sosial yang demokratis?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/500983/original/file-20221214-1197-ti4f2d.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Mastodon tampak menjadi alternatif yang paling layak untuk Twitter.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p>Sejak Twitter diambil alih oleh Elon Musk baru-baru ini, Mastodon telah menjadi sorotan. Beberapa pengguna Twitter sekarang mulai mencobanya, sementara yang lain kesulitan untuk memahami jaringan alternatif ini dan cara kerjanya. Mastodon menawarkan sekilas tentang media sosial yang dijalankan secara demokratis — tetapi apakah kita siap untuk hal tersebut?</p>
<p>Ironisnya, banyak pembicaraan tentang Mastodon terjadi di Twitter. Orang-orang khawatir tentang apa yang akan (atau tidak akan) dilakukan Musk dengan “ruang publik” yang baru ia dapatkan, termasuk membatalkan penangguhan permanen <a href="https://www.rollingstone.com/politics/politics-news/elon-musk-reverse-donald-trump-twitter-ban-1351312/">Donald Trump dari Twitter setelah serangan di US Capitol pada 6 Januari 2021</a>.</p>
<p>Tanggapan terhadap pengambilalihan Twitter oleh Musk merupakan semacam <em>deplatforming</em> (pengawasaranaan) yang dipaksakan sendiri. Ini terjadi bersamaan ketika <a href="https://www.theguardian.com/media/2022/nov/01/mastodon-twitter-elon-musk-takeover">minat terhadap Mastodon yang melonjak</a>.</p>
<p>Namun, orang-orang yang telah beralih ke Mastodon kini menyadari bahwa ini bukanlah pengganti yang sederhana untuk Twitter. Yang dijumpai di Mastodon adalah kumpulan dari beragam komunitas online semi-independen yang mungkin sulit untuk dipahami.</p>
<p>Meskipun beberapa akan menyerah dan berhenti menggunakannya, pengguna-pengguna lain menyadari bahwa Mastodon menawarkan pandangan sekilas ke dunia media sosial yang dimiliki dan dioperasikan secara independen. Ini sangatlah berbeda dari platform korporat yang biasa kita gunakan.</p>
<p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.instagram.com/p/CRoAsW0LE7c","accessToken":"127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20"}"></div></p>
<h2>Perangkat lunak sumber terbuka</h2>
<p>Pada dasarnya, Mastodon merupakan perangkat lunak sumber terbuka (open-source software) yang dapat dipasang di komputer manapun untuk memfasilitasi komunitas online atau <em>“instance”</em> (<em>server</em>). Ada sejumlah <a href="https://www.theguardian.com/technology/2022/nov/08/mastodon-what-is-it-how-do-i-join-use-find-best-server-list-change-elon-musk-twitter-leaving-social-network-alternative?CMP=Share_iOSApp_Other">penjelasan yang bagus tentang cara kerja Mastodon</a>, tetapi yang menjadi pembeda utamanya adalah pengguna dapat bersatu untuk membuat dan menjalankan <em>instance</em> mereka sendiri.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/what-is-mastodon-the-twitter-alternative-people-are-flocking-to-heres-everything-you-need-to-know-194059">What is Mastodon, the 'Twitter alternative' people are flocking to? Here's everything you need to know</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><em>Server-server</em> ini dapat sebesar <a href="https://mastodon.social/explore">mastodon.social</a> dengan 160.000 pengguna atau sekecil <a href="https://libertarians.social/about">libertarians.social</a> dengan 15 anggota. <em>server</em> yang terpisah seperti ini kemudian dapat saling berhubungan, seperti dengan bertukar email di perangkat klien yang terpisah.</p>
<p>Saya telah mengoperasikan <em>server</em> Mastodon di University of Alberta selama lebih dari setahun. Tim peneliti saya <a href="http://dx.doi.org/10.4135/9781529782943.n40">melakukan eksperimen dan menjalankan lokakarya untuk siswa dan kelompok masyarakat</a>.</p>
<h2>Kembali ke masa depan</h2>
<p>Mastodon tergabung dalam <a href="https://fediverse.party/">gerakan yang lebih besar bernama Fediverse</a>. Menurut pakar Robert Gehl, Fediverse merupakan “jaringan komunitas online yang sangat kecil yang bersatu melalui teknologi dan nilai sosial bersama.”</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/citizens-social-media-like-mastodon-can-provide-an-antidote-to-propaganda-and-disinformation-192491">Citizens' social media, like Mastodon, can provide an antidote to propaganda and disinformation</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kelompok-kelompok yang memilih untuk bergabung dengan Fediverse sering merasa ingin kembali ke web yang bersifat partisipatif namun telah menghilang dengan adanya privatisasi Internet, seperti yang sudah dipercayai beberapa orang, <a href="https://www.versobooks.com/books/3927-internet-for-the-people">seperti ahli teknologi Ben Tarnoff</a>.</p>
<p>Faktanya, ini adalah gerakan yang kembali menghidupkan konsep netizen, <a href="https://www.wiley.com/en-us/Netizens%3A+On+the+History+and+Impact+of+Usenet+and+the+Internet-p-9780818677069">sebuah istilah yang muncul pada pertengahan 1990-an</a> tetapi sebagian besar menghilang dari percakapan populer sejak itu:</p>
<blockquote>
<p>“Ada orang-orang yang secara daring aktif berkontribusi terhadap pengembangan Internet. Mereka memahami nilai kerja kolektif dan aspek komunal dari komunikasi publik. Mereka mendiskusikan dan memperdebatkan topik dengan cara yang konstruktif … Sebagai warga Net, <a href="http://www.columbia.edu/%7Erh120/ch106.txt">saya menyadari bahwa mereka adalah Netizen</a>.”</p>
</blockquote>
<p>Faktanya, perangkat lunak Fediverse dirancang untuk mendorong netizen <a href="https://mashable.com/article/eugen-rochko-mastodon-interview">melalui pembinaan komunitas kecil yang erat</a> di mana anggota diberikan kendali penuh atas aturan, kebijakan, dan norma sosial pada platform mereka. <a href="https://monoskop.org/images/c/cc/Mansoux_Aymeric_Abbing_Roel_Roscam_2020_Seven_Theses_on_the_Fediverse_and_the_Becoming_of_FLOSS.pdf">Jauh dari utopia</a>, bergaul seringkali berarti kerja keras dan kompromi dengan anggota setiap komunitas.</p>
<h2>Tren menuju desentralisasion</h2>
<p>Pendiri Twitter, Jack Dorsey, telah berinvestasi dalam proyek media sosial terdesentralisasi yang <a href="https://www.businessinsider.com/elon-musk-twitter-jack-dorsey-launches-beta-bluesky-social-app-2022-10">disebut BlueSky</a>. Proyek ini menjanjikan pengguna untuk memiliki kemungkinan dalam memilih platform mereka sendiri sambil tetap terhubung ke jejaring sosial mereka.</p>
<p>Media sosial terdesentralisasi adalah tren Silicon Valley terbaru, tetapi model bisnis yang mendasari inisiatif ini tetaplah sama. Data pribadi dijual kepada pengiklan dalam bentuk <a href="https://hbr.org/podcast/2019/06/surveillance-capitalism">kapitalisme pengawasan</a> yang membahayakan privasi dan memonetisasi interaksi pengguna. Ini adalah konsumsi yang disamarkan sebagai partisipasi.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/494479/original/file-20221109-19-5qd9p2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="dua ilustrasi jaringan — yang biru menunjukkan sumber pusat daya, dan yang kuning menunjukkan beberapa node yang saling terhubung" src="https://images.theconversation.com/files/494479/original/file-20221109-19-5qd9p2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/494479/original/file-20221109-19-5qd9p2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=250&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/494479/original/file-20221109-19-5qd9p2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=250&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/494479/original/file-20221109-19-5qd9p2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=250&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/494479/original/file-20221109-19-5qd9p2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=314&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/494479/original/file-20221109-19-5qd9p2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=314&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/494479/original/file-20221109-19-5qd9p2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=314&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Jaringan terdesentralisasi berarti bahwa kekuasaan tidak pernah berada hanya di tangan satu entitas.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sebaliknya, Fediverse menghindari praktik ini dan melindungi otonomi dan hak data penggunanya. Kritik terhadap Fediverse menggunakan poin ini untuk menyatakan bahwa <a href="https://write.as/eloquence/why-mastodon-and-the-fediverse-are-doomed-to-fail">proyek perangkat lunak ini tidak memiliki model bisnis yang berkelanjutan</a> karena hanya mengandalkan kebaikan dan donasi untuk membayar tagihan.</p>
<p>Mengesampingkan kemungkinan <a href="https://theconversation.com/canadas-public-broadcaster-should-use-mastodon-to-provide-a-social-media-service-194116"> media sosial sebagai kanal publik</a>, kenyataan finansial ini tetap menghantui mereka yang mungkin menginvestasikan waktu dan tenaga untuk membangun komunitas online di Fediverse.</p>
<p>Beberapa hal mengenai perangkat lunak ini masih perlu diperhatikan. seperti apakah perangkat tersebut akan terus ditingkatkan dan dipelihara, dan bagaimana masalah virus dan keamanan akan ditangani. Namun, dengan basis pengguna yang cukup besar untuk mencapai <a href="https://medium.com/newco/the-anti-network-effect-a303e02df956">efek jaringan</a> yang signifikan, sangat mungkin bahwa Fediverse dapat menjadi elektronik milik bersama yang berkembang pesat dan alternatif yang layak untuk media sosial milik korporat.</p>
<h2>Perpindahan ke milik bersama</h2>
<p>Untuk menjadi alternatif yang layak, langkah pertama yang perlu dilakukan Mastodon adalah menciptakan kesadaran publik yang lebih luas akan alternatif nonkomersial ini. Elon Musk membantu melakukan ini, walaupun mungkin secara tidak sengaja.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1588530762579849216"}"></div></p>
<p>Langkah selanjutnya adalah membangun keterampilan dan sumber daya digital untuk menggunakan alternatif ini. Di sinilah lembaga pendidikan dan koalisi masyarakat dapat berperan.</p>
<p>Di saat yang sama, percakapan antara developer Fediverse dan pengguna perlu diperkuat untuk meningkatkan kegunaan, keandalan, dan keamanan perangkat lunak.</p>
<p>Terakhir, dan mungkin yang paling penting, banyak dari kita harus menemukan keinginan individu dan kolektif untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar atas tata kelola sistem media kita. Mungkin kita dapat mulai dengan meninjau kembali istilah “netizen” dan membuatnya kembali bermakna.</p>
<hr>
<p><em>Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/196588/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Gordon A. Gow menerima dana dari Social Sciences and Humanities Research Council (SSHRC).</span></em></p>Mastodon adalah perangkat lunak sumber terbuka yang memungkinkan jaringan media sosial terdesentralisasi. Ini beroperasi secara berbeda dari platform media sosial milik perusahaan yang umum digunakan.Gordon A. Gow, Professor, Sociology/Media & Technology Studies, University of AlbertaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1961992022-12-08T10:57:01Z2022-12-08T10:57:01ZApakah ‘centang biru’ Twitter suatu simbol prestise atau bukti identitas? Dan apa yang terjadi jika siapapun bisa membelinya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/499758/original/file-20221208-6068-uu5no9.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(DALL-E)</span></span></figcaption></figure><p>Menyusul akuisisi Twitter oleh Elon Musk pada 27 Oktober, orang terkaya di dunia ini mengusulkan berbagai perubahan kontroversial terkait platform tersebut. <a href="https://www.theguardian.com/technology/2022/nov/05/elon-musk-doesnt-know-what-hes-doing-says-former-twitter-executive">Terdapat bukti yang semakin jelas</a> bahwa Musk tampak berimprovisasi seiring jalan. Musk mencuitkan berbagai usulan ini, <a href="https://time.com/6228045/elon-musk-twitter-free-speech-future/">layaknya pikiran-pikiran yang beterbangan di kepala</a>, langsung dari akun Twitternya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pakar-menjawab-elon-musk-membeli-twitter-apa-yang-perlu-kita-waspadai-182130">Pakar Menjawab: Elon Musk membeli Twitter, apa yang perlu kita waspadai?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Salah satu ide Musk, yang utamanya bertujuan untuk <a href="https://fortune.com/2022/11/04/elon-musk-blue-checkmark-8-dollars-twitter-revenues-status-symbol/">meningkatkan pendapatan Twitter</a>, adalah <a href="https://www.theguardian.com/technology/2022/nov/01/musk-charging-twitter-verified-accounts">menarik biaya US$8</a> jika pengguna ingin mendapatkan status terverifikasi (<em>verified</em>). Status ini berbentuk tanda centang biru di sebelah nama pengguna, dan selama ini banyak dianggap prestisius.</p>
<p>Beberapa hari kemudian, perubahan terhadap verifikasi sebagai produk berbayar <a href="https://www.bbc.com/news/technology-63530872">berjalan di beberapa negara</a> di bawah skema langganan Twitter Blue.</p>
<h2>Lebih dari sekadar verifikasi</h2>
<p>Menurut Twitter, centang biru menandakan bahwa <a href="https://help.twitter.com/en/managing-your-account/about-twitter-verified-accounts">suatu akun itu otentik</a>. Saat ini, ada tujuh kategori “<em>public interest accounts</em>” (akun yang relevan bagi kepentingan publik), seperti akun lembaga negara, organisasi media dan jurnalis, serta <em>influencer</em> yang berdampak bagi masyarakat.</p>
<p>Tapi, dalam upaya Twitter melawan peniruan dan penipuan, ikon biru kecil yang tampaknya biasa saja ini punya peran lebih dari sekadar alat verifikasi sederhana.</p>
<p>Di kacamata publik, suatu status <em>verified</em> juga menandakan prestise sosial. Lencana ini adalah <a href="https://pesquisa.bvsalud.org/global-literature-on-novel-coronavirus-2019-ncov/resource/pt/covidwho-1643999">simbol status yang amat didambakan</a>, sebagian besar karena proses skrining Twitter membuatnya sangat sulit didapatkan.</p>
<p>Sebelumnya, centang biru ini memang punya sejarah yang kontroversial. Setelah mendapat kecaman secara luas <a href="https://nymag.com/intelligencer/2017/11/twitter-stops-verifying-users-after-verifying-jason-kessler.html">karena memverifikasi akun-akun pengusung ideologi supremasi kulit putih</a> pada 2017, Twitter menghentikan sementara proses verifikasinya selama <a href="https://www.vox.com/22444961/twitter-verification-process-verified-blue-checkmark-jack-dorsey">lebih dari tiga tahun</a>.</p>
<p>Ada ketidakselarasan yang cukup mendasar antara niatan Twitter memberlakukan centang biru dengan apa yang akhirnya dipersepsikan oleh publik – sesuatu yang <a href="https://twitter.com/TwitterSupport/status/928654369771356162">bahkan diakui oleh tim Twitter Safety</a> pada tahun 2017.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"928654369771356162"}"></div></p>
<p>Tapi mereka tidak menyelesaikan masalah ini. Tak lama setelah Twitter kembali melanjutkan verifikasi akun secara sistematis pada 2021, prosesnya mulai gagal lagi. <a href="https://timesofindia.indiatimes.com/gadgets-news/twitter-gave-blue-tick-to-bots-fake-accounts/articleshow/84379245.cms">Bot dan akun palsu</a> berujung turut diberi centang biru.</p>
<p>Publik pun masih bingung apa arti sebenarnya dari centang biru ini, dan kemudian memandangnya <a href="https://pesquisa.bvsalud.org/global-literature-on-novel-coronavirus-2019-ncov/resource/pt/covidwho-1643999">sebagai simbol prestise</a>.</p>
<h2>Bangsawan dan wong cilik</h2>
<p>Usulan kebijakan serba improvisasi ala Musk bisa jadi merefleksikan preferensi pribadinya untuk berinteraksi dengan akun <em>verified</em>.</p>
<p>Musk sendiri berkali-kali menyatakan ungkapan “<a href="https://twitter.com/elonmusk/status/1588739131815112704"><em>power to the people</em></a>” (kembalikan kekuasaan pada rakyat) dan keinginan untuk membongkar sistem “<a href="https://twitter.com/elonmusk/status/1587498907336118274"><em>lords and peasants</em></a>” (bangsawan dan wong cilik) antara akun <em>verified</em> versus <em>non-verified</em>. Namun, saya melakukan analisis data terhadap 1.493 cuitan Musk selama 2022, dan menemukan bahwa lebih dari setengah (57%) interaksinya adalah dengan akun <em>verified</em>.</p>
<p>Artinya status <em>verified</em> pada kenyatannya membuat suatu akun layak mendapatkan perhatian Musk. Sehingga, Musk bisa dibilang turut memandang centang biru sebagai simbol prestise, sama seperti orang lain (kecuali Twitter).</p>
<p>Di sini, usulan untuk membanderol centang biru seharga US$8 tak hanya kurang bijak, tapi, ironisnya juga bisa mendorong lebih banyak lagi pemalsuan dan kerugian di platform.</p>
<p>Suatu kesalahan fatal adalah kenyataan bahwa “verifikasi berbayar”, logikanya, sama saja bukanlah verifikasi.</p>
<h2>Membedakan asli dan palsu</h2>
<p>Meski tidak sempurna dan masih jauh dari transparan, setidaknya sistem verifikasi Twitter berkiblat pada praktik verifikasi yang dilakukan jurnalis dan peneliti untuk membedakan antara fakta dan fiksi, serta yang asli dan palsu.</p>
<p>Ini membutuhkan waktu, dan tidak bisa dibeli begitu saja.</p>
<p>Terlepas dari kekurangannya, proses verifikasi utamanya berhasil mengidentifikasi cukup banyak aktivitas terlarang di platform, sekaligus membantu menyorot akun-akun yang relevan dengan kepentingan publik. Sebaliknya, sistem verifikasi berbayar Musk hanya bisa memverifikasi <a href="https://twitter.com/oneunderscore__/status/1588604417141448704">bahwa seseorang punya US$8</a>.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1588604417141448704"}"></div></p>
<p>Verifikasi berbayar tidak bisa menjamin bahwa sistem tidak akan dieksploitasi untuk merugikan masyarakat. Contohnya, kita sudah melihat bahwa <em>influencer</em> teori konspirasi seperti <a href="https://twitter.com/rothschildmd/status/1588977836328890368">“QAnon John”</a> bisa saja mendapat legitimasi melalui pembelian centang biru.</p>
<h2>Membuka keran bagi bot</h2>
<p>Dalam skala yang lebih besar, problemnya menjadi semakin parah. Saat ini sudah cukup sulit untuk <a href="https://theconversation.com/fact-check-us-what-is-the-impact-of-russian-interference-in-the-us-presidential-election-146711">mendeteksi dan mencegah bot dan jaringan <em>troll</em></a> meracuni lanskap informasi dengan disinformasi dan spam.</p>
<p>Kini, dengan harga semurah US$800, musuh asing bisa meluncurkan jaringan 100 akun bot yang <em>verified</em>. Semakin banyak suatu pihak bisa membayar, semakin besar legitimasi yang bisa mereka beli di ruang publik.</p>
<p>Makin parah lagi, Musk <a href="https://twitter.com/somebadideas/status/1588876465915166721">menyatakan secara publik</a> bahwa akun <em>verified</em> yang membayar US$8 akan diberikan visibilitas lebih di platform, sementara akun <em>non-verified</em> akan lebih terkubur akibat algoritma.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/twitter-mencabut-larangan-misinformasi-covid-ini-risiko-besar-bagi-kesehatan-masyarakat-196141">Twitter mencabut larangan misinformasi COVID: ini risiko besar bagi kesehatan masyarakat</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Ia percaya bahwa hal ini akan menumpas ujaran kebencian dan akun palsu karena akun <em>verified</em> akan mendapat prioritas di pencarian, balasan, dan <em>mention</em>. Namun, yang akan terjadi justru sebaliknya: mereka yang punya cukup uang akan mendominasi ruang publik – bayangkan bot Rusia dan penebar spam iklan mata uang kripto.</p>
<p>Pertimbangkan juga bahwa kemampuan untuk berpartisipasi secara anonim di media sosial selama ini punya banyak manfaat positif. Ini termasuk rasa aman bagi <a href="https://www.esafety.gov.au/industry/tech-trends-and-challenges/anonymity">kelompok marjinal dan rentan</a>.</p>
<p>Membekali pengguna dengan cara untuk mengelola ruang publik dan personal mereka sangatlah <a href="https://firstmonday.org/ojs/index.php/fm/article/view/5615">krusial bagi identitas diri dan budaya <em>online</em></a>. Artinya, menghukum orang yang ingin tetap anonim di Twitter <a href="https://www.globalpolicyjournal.com/blog/29/10/2021/online-abuse-banning-anonymous-social-media-accounts-not-answer">bukanlah jawaban yang tepat</a>.</p>
<p>Yang juga bisa parah, menghubungkan profil media sosial ke sistem verifikasi berbayar bisa menyebabkan kerugian jika akun seseorang dibobol dan seorang pencuri mendapatkan identitas mereka melalui catatan transaksi.</p>
<h2>Konsekuensi bertubi-tubi</h2>
<p>Ide-ide Musk sudah mulai menyebabkan serangkaian konsekuensi yang tak disengaja pada platform. Beberapa waktu lalu, akun dengan centang biru banyak mengubah nama mereka ke “Elon Musk” dan juga disertai gambar profil untuk <a href="https://www.indy100.com/science-tech/elon-musk-twitter-verified-prank">memparodikan dirinya</a>. Sebagai respons, Musk mencuitkan <a href="https://twitter.com/elonmusk/status/1589390597798125568">usulan kebijakan baru</a> bahwa akun Twitter yang terlibat peniruan akan diskors (<em>suspended</em>) kecuali mereka spesifik menyatakan diri sebagai akun “parodi”.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1589390597798125568"}"></div></p>
<p>Pengguna <a href="https://twitter.com/elonmusk/status/1589396236464898048">bahkan tidak akan mendapat peringatan</a>, sebagaimana yang dialami komedian Kathy Griffin dan duua juta pengikutnya. Mereka kaget ketika <a href="https://twitter.com/bennyjohnson/status/1589401140482883584">akun Griffin diskors</a> karena memparodikan Musk.</p>
<p>Visi Musk terkait verifikasi pengguna tidak selaras dengan Twitter maupun komunitas peneliti internet.</p>
<p>Meski sistem yang ada selama ini punya kekurangan, setidaknya ia berjalan sistematis, agak transparan, dan tampak akuntabel. Keputusannya juga bisa direvisi jika mendapatkan kritik yang valid dari publik.</p>
<p>Sebaliknya, pendekatan kebijakan Musk justru otokratik dan tidak transparan. Setelah <a href="https://www.livemint.com/news/world/chief-twit-elon-musk-named-sole-director-of-twitter-dissolves-board-report-11667260099197.html">membubarkan dewan direksi</a>, kini sang “<em>Chief Twit</em>” memegang seluruh kuasa dan hampir tidak ada akuntabilitas.</p>
<p>Yang tersisa adalah visi mengkhawatirkan tentang ruang publik <em>online</em> yang rentan dan penuh masalah: dalam dunia di mana semua orang terverifikasi, tidak ada yang terverifikasi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/banyak-orang-mulai-hijrah-dari-twitter-tapi-semudah-itukah-memindahkan-jaringan-komunitas-kita-ke-platform-yang-baru-194176">Banyak orang mulai hijrah dari Twitter -- tapi semudah itukah memindahkan jaringan komunitas kita ke platform yang baru?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><em>Catatan penerjemah: saat artikel terjemahan ini terbit, layanan verifikasi berbayar Twitter tengah <a href="https://www.washingtonpost.com/technology/2022/11/11/twitter-fake-verified-accounts/">disetop untuk sementara waktu</a> dan rencana peluncurannya kembali <a href="https://www.cnbc.com/2022/11/22/musk-twitter-blue-relaunch-delayed-may-use-new-color-checks-for-organizations.html">masih tertunda</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/196199/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Timothy Graham menerima dana dari Australian Research Council melalui Discovery Early Career Researcher Award (DE220101435), 'Combatting Coordinated Inauthentic Behaviour on Social Media'. Ia juga menerima pendanaan dari Australian Government Department of Defence.</span></em></p>Setelah mengakuisisi Twtter, Elon Musk mengusulkan bahwa pengguna bisa ‘membeli’ lencana verifikasi dengan harga hanya US$8. Sistem yang problematis ini akan punya konsekuensi yang luas.Timothy Graham, Associate Professor, Queensland University of TechnologyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1961412022-12-08T03:00:34Z2022-12-08T03:00:34ZTwitter mencabut larangan misinformasi COVID: ini risiko besar bagi kesehatan masyarakat<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/499487/original/file-20221207-22-8jjsi8.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pembatasan misinformasi COVID-19 di Twitter telah dinonaktifkan. </span> <span class="attribution"><span class="source">Foto AP/Jeff Chiu</span></span></figcaption></figure><p>Para peneliti dan pakar kesehatan masyarakat sangat prihatin tentang kemungkinan dampak dari keputusan Twitter untuk tidak lagi menegakkan <a href="https://www.washingtonpost.com/technology/2022/11/29/twitter-covid-misinformation-policy/">kebijakan misinformasi COVID-19</a>. Kebijakan itu diunggah secara diam-diam di halaman aturan situs, dan terdaftar efektif per 23 November 2022. </p>
<p>Misinformasi kesehatan bukanlah hal baru. Kasus klasiknya adalah misinformasi yang sempat dinyatakan benar tapi sekarang tidak terbukti. Misalnya <a href="https://www.nature.com/articles/d41586-020-02989-9">hubungan antara autisme dan vaksin MMR</a> berdasarkan studi yang tidak kredibel terbitan 1998. </p>
<p>Informasi yang salah tersebut berdampak parah bagi kesehatan masyarakat. Misalnya, negara-negara dengan gerakan anti-vaksin yang cukup kuat ke vaksin difteri-tetanus-pertusis (DTP) <a href="https://doi.org/10.1016/s0140-6736(97)04334-1">menghadapi insiden pertusis yang lebih tinggi</a> pada akhir abad ke-20.</p>
<p>Sebagai <a href="https://scholar.google.com/citations?user=JpFHYKcAAAAJ&hl=en">peneliti yang mempelajari media sosial</a>, saya percaya bahwa mengurangi moderasi konten adalah langkah signifikan ke arah yang salah. Apalagi, pertempuran yang dihadapi platform media sosial dalam memerangi misinformasi dan disinformasi semakin intens. Dalam misinformasi medis, pertaruhannya lebih tinggi.</p>
<h2>Misinformasi di media sosial</h2>
<p>Ada tiga perbedaan utama antara bentuk misinformasi sebelumnya dan misinformasi yang tersebar di media sosial.</p>
<p><strong>Pertama,</strong> media sosial memungkinkan misinformasi <a href="https://doi.org/10.1038/s41598-020-73510-5">menyebar dalam skala, kecepatan, dan cakupan yang jauh lebih besar</a>.</p>
<p><strong>Kedua,</strong> konten yang sensasional dan memicu emosi <a href="https://doi.org/10.1038/s41598-021-01813-2">lebih cenderung menjadi viral di media sosial</a>, sehingga kebohongan lebih mudah menyebar daripada kebenaran.</p>
<p><strong>Ketiga,</strong> platform digital seperti Twitter <a href="https://doi.org/10.1145/3449152">memainkan peran <em>gatekeeping</em> (menjaga gawang)</a> dalam cara mereka menggabungkan, menyusun, dan memperkuat konten. Ini berarti informasi yang salah tentang topik yang memicu emosi, seperti vaksin, dapat dengan mudah menarik perhatian.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/gE9dFM4Bs0k?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Cara menemukan informasi yang salah secara online.</span></figcaption>
</figure>
<p>Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut penyebaran misinformasi selama pandemi sebagai <a href="https://www.who.int/health-topics/infodemic#tab=tab_1">infodemik</a>. Ada banyak bukti bahwa misinformasi terkait COVID-19 di media sosial <a href="https://doi.org/10.2196/37367">mengurangi penggunaan vaksin</a>. Pakar kesehatan masyarakat telah memperingatkan bahwa misinformasi di media sosial <a href="https://doi.org/10.2196/30642">sangat menghambat kemajuan</a> menuju kekebalan kawanan (<em>herd immunity</em>), melemahkan kemampuan masyarakat untuk menangani varian baru COVID-19.</p>
<p>Misinformasi di media sosial <a href="http://dx.doi.org/10.1136/bmjgh-2020-004206">memicu keraguan publik</a> tentang keamanan vaksin. Studi menunjukkan bahwa keragu-raguan vaksin COVID-19 didorong oleh <a href="https://doi.org/10.3390/vaccines9060593">kesalahpahaman tentang kekebalan kawanan dan kepercayaan pada teori konspirasi</a>.</p>
<h2>Memerangi misinformasi</h2>
<p>Kebijakan dan sikap moderasi konten platform media sosial terhadap informasi yang salah sangat penting untuk memerangi misinformasi. Ketiadaan kebijakan moderasi konten yang kuat di Twitter cenderung membuat algoritme kurasi dan rekomendasi konten yang meningkatkan penyebaran misinformasi dengan <a href="https://doi.org/10.1145/3449152">meningkatkan efek ruang gema</a>. Misalnya, algoritme mempertajam perbedaan paparan konten. Bias algoritme dalam sistem rekomendasi <a href="https://doi.org/10.1177/1461444818801010">juga dapat semakin menonjolkan disparitas layanan kesehatan global</a> dan disparitas rasial dalam penyerapan vaksin.</p>
<p>Ada bukti bahwa beberapa platform yang kurang diatur seperti Gab, media sosial AS yang basis penggunannya adalah warga sayap kanan, <a href="https://www.nature.com/articles/s41598-020-73510-5/tables/2">memperkuat dampak paparan informasi dari sumber yang tidak dapat diandalkan</a> dan meningkatkan misinformasi COVID-19. </p>
<p>Ada juga bukti bahwa ekosistem misinformasi dapat memikat pengguna platform media sosial yang berinvestasi dalam moderasi konten <a href="https://doi.org/10.1038/d41586-020-01452-z">untuk menerima misinformasi</a> dari platform yang lebih sedikit melakukan moderasi.</p>
<p>Bahayanya bukan cuma wacana anti-vaksin yang lebih besar di Twitter. Pidato-pidato “beracun” dapat menyebar ke platform online lain yang mungkin berinvestasi dalam memerangi misinformasi medis.</p>
<p>Pemantau vaksin COVID-19 Kaiser Family Foundation mengungkapkan bahwa kepercayaan publik terhadap informasi COVID-19 dari sumber resmi seperti pemerintah <a href="https://www.kff.org/coronavirus-covid-19/dashboard/kff-%20covid-19-vaccine-monitor-dashboard/#(mis)information">telah turun secara signifikan</a>, dengan konsekuensi serius bagi kesehatan masyarakat. Misalnya, kepercayaan pemilih Partai Republik AS terhadap Badan Pengawasan Obat-Obatan dan Makanan AS (FDA) menurun dari 62% menjadi 43% selama Desember 2020 - Oktober 2022.</p>
<p>Pada 2021, <a href="https://www.hhs.gov/sites/default/files/surgeon-general-misinformation-advisory.pdf">seorang penasihat Surgeon General (Departemen Kesehatan dan Layanan Masyarakat) AS</a> mengidentifikasi bahwa kebijakan moderasi konten platform media sosial perlu:</p>
<ul>
<li>memperhatikan desain algoritma rekomendasi.</li>
<li>memprioritaskan deteksi dini misinformasi.</li>
<li>memperkuat informasi dari sumber informasi kesehatan online yang kredibel.</li>
</ul>
<p>Prioritas ini memerlukan <a href="https://nam.edu/identifying-credible-sources-of-health-information-in-social-media-principles-and-attributes/">kemitraan antara organisasi layanan kesehatan dan platform media sosial</a> untuk mengembangkan pedoman praktik terbaik untuk mengatasi misinformasi kesehatan. Pengembangan dan penegakan kebijakan moderasi konten yang efektif membutuhkan perencanaan dan sumber daya.</p>
<p>Berdasarkan apa yang diketahui para peneliti tentang misinformasi COVID-19 di Twitter, saya percaya bahwa pengumuman bahwa perusahaan ini tidak akan lagi melarang misinformasi terkait COVID-19 adalah menyusahkan, lebih buruk dari yang saya katakan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/196141/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Anjana Susarla tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kebijakan dan sikap moderasi konten platform media sosial terhadap informasi yang salah (misinformasi) sangat penting untuk memerangi misinformasi.Anjana Susarla, Professor of Information Systems, Michigan State UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1958292022-12-06T08:08:20Z2022-12-06T08:08:20ZYang hilang jika Twitter bubar: testimoni saksi mata yang berharga hingga data mentah perilaku manusia, maupun wadah bagi akun-akun ‘troll’<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/499212/original/file-20221206-19-8o2ip2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Twitter menghasilkan banyak data yang tidak tersedia di tempat lain.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/the-twitter-logo-is-seen-in-this-photo-illustration-in-news-photo/1244760225">STR/NurPhoto via Getty Images</a></span></figcaption></figure><p>Apa kesamaan antara peneliti keamanan siber yang membangun sistem <a href="https://ieeexplore.ieee.org/abstract/document/7752338">deteksi kerentanan dan ancaman digital</a>, pengamat yang <a href="https://www.wired.com/story/california-fire-twitter/">melacak persebaran kebakaran hutan</a>, serta tenaga kesehatan profesional yang berupaya <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5308155/">memprediksi angka pendaftaran asuransi kesehatan</a>?</p>
<p>Ketiganya mengandalkan data dari Twitter.</p>
<p>Twitter adalah layanan ‘mikroblog’. Artinya, ia didesain untuk membagikan unggahan berisi teks, audio, dan klip video yang pendek-pendek. Kemudahan berbagi informasi dengan jutaan orang lain di seluruh dunia membuat Twitter sangat populer untuk percakapan langsung (<em>real-time</em>).</p>
<p>Entah itu individu yang mencuit tentang tim olahraga favoritnya, ataupun organisasi dan figur publik yang memakai Twitter untuk meraih audiens yang lebih luas, platform ini telah berkembang menjadi bagian dari catatan kolektif manusia selama satu dekade lebih.</p>
<p>Arsip Twitter memberikan kita <a href="https://blog.twitter.com/en_us/a/2015/full-archive-search-api">akses lengkap dan instan</a> untuk setiap cuitan publik. Ini memposisikan Twitter tak hanya sebagai arsip perilaku manusia secara kolektif tapi juga layanan pengecekan fakta dan kredensial di tingkat global.</p>
<p>Sebagai <a href="https://scholar.google.com/citations?user=JpFHYKcAAAAJ&hl=en">peneliti yang mempelajari media sosial</a>, saya percaya bahwa fungsi-fungsi ini sangat berharga bagi akademisi, pembuat kebijakan, dan siapa pun yang memakai data agregat untuk mendapat wawasan tentang perilaku manusia.</p>
<p>Menjamurnya modus <a href="https://www.wired.com/story/twitter-blue-check-verification-buy-scams/">penipuan dan peniruan</a> merek (<em>brand impersonation</em>) atau perusahaan, <a href="https://www.washingtonpost.com/technology/2022/11/14/twitter-fake-eli-lilly/">hengkangnya banyak pengiklan</a>, hingga <a href="https://www.nytimes.com/2022/11/17/technology/twitter-elon-musk-ftc.html">kekacauan di internal perusahaan</a> membuat banyak orang <a href="https://mashable.com/article/elon-musk-twitter-future">mempertanyakan masa depan</a> platform tersebut. Jika Twitter bangkrut, kehilangan yang ditimbulkan akan sangat terasa di seluruh dunia.</p>
<h2>Analisis perilaku manusia</h2>
<p>Dengan koleksi cuitannya yang luar biasa besar, Twitter menyajikan cara-cara baru untuk mengukur diskursus publik secara kuantitatif, alat-alat baru untuk memetakan persepsi publik, serta menawarkan jendela untuk memahami perilaku manusia secara makro.</p>
<p><a href="https://library.oapen.org/viewer/web/viewer.html?file=/bitstream/handle/20.500.12657/51412/9781003024583_10.4324_9781003024583-8.pdf">Jejak atau catatan digital</a> tentang aktivitas manusia semacam ini mengizinkan peneliti di berbagai bidang, dari ilmu sosial hingga kesehatan, untuk menganalisis beragam fenomena.</p>
<p>Lewat kecerdasan terbuka (<em>open source intelligence</em>) sampai sains masyarakat (<em>citizen science</em>), Twitter tak hanya berperan sebagai “alun-alun digital” (<em>digital public square</em>), tapi juga memfasilitasi riset untuk memahami perilaku yang sulit dideteksi dengan metode-metode penelitian tradisional.</p>
<p>Sebagai contoh, kesediaan orang membayar untuk kebijakan atau layanan yang bertujuan melawan krisis iklim selama ini banyak diukur melalui survei. Data sentimen pubik di Twitter membekali peneliti dan pembuat kebijakan dengan <a href="https://doi.org/10.1016/j.jpubeco.2020.104161">alat-alat baru untuk mengevaluasi perilaku ini</a> demi merancang aksi iklim yang lebih baik.</p>
<p>Para peneliti kesehatan publik bahkan telah menemukan hubungan antara <a href="https://doi.org/10.2196%2F17196">mencuit tentang HIV dengan prevalensi HIV</a>. Mereka bisa mengukur <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0219550">sentimen di tingkat lokal (<em>neighborhood</em>)</a> untuk memahami kondisi kesehatan secara umum di daerah tersebut.</p>
<h2>Tempat dan waktu</h2>
<p>Data dari Twitter yang memuat penandaan geografis (<em>geotagged data</em>) sangat bermanfaat dalam beragam bidang, termasuk <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0131469">penggunaan lahan urban</a> dan <a href="https://doi.org/10.1080/24694452.2017.1421897">ketahanan bencana</a>. Kemampuan untuk mengidentidikasi lokasi dari serangkaian cuitan juga membantu peneliti untuk menghubungkan informasi dalam suatu cuitan dengan tempat dan waktu.</p>
<p>Misalnya, peneliti bisa mengkorelasi cuitan dengan kode pos untuk mengidentifikasi <a href="https://theconversation.com/matching-tweets-to-zip-codes-can-spotlight-hot-spots-of-covid-19-vaccine-hesitancy-169596">titik-titik konsentrasi orang-orang meragukan vaksin</a>.</p>
<p>Twitter selama ini sangat berharga dalam bidang kecerdasan terbuka (<a href="https://doi.org/10.1109/ICCCN49398.2020.9209602"><em>open source intelligence</em></a> atau OSINT), terutama untuk melacak kejahatan perang. OSINT menggunakan <em>crowdsourcing</em> (urun daya) untuk mengidentifikasi lokasi diambilnya suatu foto atau video.</p>
<p>Di Ukraina, penyelidik HAM telah <a href="https://www.grid.news/story/global/2022/04/11/in-ukraine-war-crimes-are-being-captured-on-social-media/">memakai Twitter dan TikTok</a> untuk mencari bukti pelanggaran.</p>
<p><em>Open source intelligence</em> juga terbukti berguna dalam mengungkap kondisi medan perang. Misalnya, analis OSINT begitu cepat menemukan bukti bahwa misil yang meledak di Przewodow, Polandia dekat perbatasan Ukraina pada November 15 lalu, kemungkinan merupakan rudal antipesawat S-300 dan kemungkinan bukanlah rudal yang ditembakkan Rusia.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1592629251161075712"}"></div></p>
<h2>Pengujian kredensial dan verifikasi</h2>
<p>Meski misinformasi <a href="https://doi.org/10.1126/science.aap9559">beredar luas di Twitter</a>, platform tersebut juga berperan sebagai mekanisme verifikasi global.</p>
<p>Pertama, banyak orang merupakan pengguna Twitter maupun platform media sosial lain. Melalui <em>crowdsourcing</em> yang cukup jelas, media sosial berupaya mengambil peran sebagai penyaji informasi yang otoritatif dan mengurangi ketidakjelasan yang dihadapi orang ketika mencari informasi baru. Para platform ini melakukan fungsi pengujian kredensial yang beberapa ahli sebut sebagai “<a href="https://www.google.com/books/edition/Media_Technologies/zeK2AgAAQBAJ">algoritma relevansi publik</a>” – mereka seakan telah menggantikan peran keahlian teknis atau bisnis dalam mengidentifikasi apa yang perlu orang ketahui.</p>
<p>Twitter juga melakukan pengujian kredensial secara resmi. Sebelum pengambilalihan oleh Elon Musk, mekanisme verifikasi Twitter memberi tanda centang biru di profil figur publik. Ini berperan sebagai cara mudah untuk menentukan apakah suatu cuitan <a href="https://www.politico.com/news/2022/11/13/washington-gets-increasingly-freaked-out-by-twitter-00066647">benar-benar berasal dari seseorang atau suatu organisasi</a>, atau bukan. </p>
<p>Meski masalah seperti <a href="https://doi.org/10.1126/science.aau2706">berita palsu</a>, <a href="https://doi.org/10.2105/AJPH.2020.305940">misinformasi</a>, dan <a href="https://aclanthology.org/W18-5110/">ujaran kebencian</a> memang nyata adanya, kemampuan pengujian kredensial ditambah dengan banyaknya orang yang memakai platform ini secara <em>real-time</em> membuat Twitter sebagai <a href="https://doi.org/10.1177/1940161214540942">pengecek fakta</a> dan penyaji informasi yang relatif kredibel.</p>
<h2>Alun-alun digital</h2>
<p>Peran ganda Twitter dalam membangun komunikasi langsung dan bertindak sebagai wasit informasi otoritatif, sangatlah penting bagi akademisi, jurnalis, dan lembaga pemerintah.</p>
<p>Selama pandemi, misalnya, banyak lembaga kesehatan publik <a href="https://doi.org/10.2196/24883">mengandalkan Twitter</a> untuk mempromosikan perilaku yang memitigasi risiko penularan.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1592676469305905152"}"></div></p>
<p>Kala terjadi bencana alam atau situasi darurat lain, Twitter menjadi arena yang penting untuk <a href="https://doi.org/10.1016/j.ipm.2019.102107">mengumpulkan data saksi mata dari publik</a>. Pada saat Badai Harvey di AS, misalnya, peneliti menemukan bahwa pengguna merespons dan berinteraksi <a href="https://doi.org/10.1007/s11069-020-04016-6">paling banyak dengan cuitan dari akun Twitter ‘centang biru’ (terverifikasi)</a>, terutama lembaga pemerintah.</p>
<p>Akun Twitter resmi juga membantu dalam penyebaran informasi secara cepat ketika terjadi <a href="https://doi.org/10.1016/j.chb.2015.06.044">krisis kontaminasi air</a> di West Virginia, AS. Data Twitter pun bermanfaat dalam <a href="https://doi.org/10.1016/j.trc.2021.102976">proses evakuasi ketika badai</a>.</p>
<p>Tak hanya itu, Twitter telah menjadi cara penting bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam diskursus publik.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1593334136969666560"}"></div></p>
<p>Nilai nyata Twitter adalah memberdayakan orang untuk terhubung dengan satu sama lain secara <em>real-time</em> dan sebagai arsip perilaku kolektif. </p>
<p>Berbagai <a href="https://qz.com/1143475/the-un-is-the-international-organization-with-the-most-followers-on-twitter">organisasi internasional</a>, <a href="https://fcw.com/workforce/2012/09/the-50-most-followed-agencies-on-twitter/206197/">lembaga pemerintah</a>, dan <a href="https://icma.org/articles/article/top-local-government-twitter-users">pemerintah lokal</a> pun memahami ini. Mereka telah menginvestasikan sumber daya secara signifikan di Twitter dan kini mengandalkan platform tersebut. Edwar Markey, seorang anggota senat AS, bahkan mengatakan bahwa Twitter “<a href="https://www.politico.com/amp/news/2022/11/17/ed-markey-deep-dive-00069221">esensial</a>” bagi masyarakat Amerika. </p>
<p>Jika Twitter berujung kolaps, untuk saat ini belum ada calon pengganti yang jelas.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/195829/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Anjana Susarla tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Jika Twitter bubar, akan banyak sumber data berharga dan metode berbagi informasi yang akan turut hilang. Padahal banyak aktivis, jurnalis, petugas kesehatan umum, hingga ilmuwan mengandalkan hal ini.Anjana Susarla, Professor of Information Systems, Michigan State UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1958152022-12-02T10:03:15Z2022-12-02T10:03:15ZGaya manajemen ‘hardcore’ Elon Musk: sebuah studi kasus tentang apa yang seharusnya tak dilakukan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/498654/original/file-20221202-12-83slty.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=5%2C2%2C1911%2C1074&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Belajar dari akuisisi Twitter, Elon Musk memberi contoh apa yang tak boleh ditiru dalam perubahan organisasi.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/195832109@N05/52145885539/">Ezhan Javed/flickr</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Sepak terjang Elon Musk di Twitter akan menjadi standar emas mengenai apa yang tak seharusnya dilakukan dalam melakukan perubahan organisasi. </p>
<p><a href="https://journals.aom.org/doi/abs/10.5465/annals.2016.0095">Bukti menunjukkan</a> bahwa perubahan organisasi yang sukses membutuhkan, di antaranya: visi yang jelas dan menarik yang dikomunikasikan secara efektif; partisipasi karyawan; dan keadilan dalam menerapkan perubahan tersebut. Kepercayaan terhadap pimpinan pun memegang peran <a href="https://journals.aom.org/doi/abs/10.5465/annals.2016.0095">penting</a>. </p>
<p>Musk, orang terkaya di dunia, agaknya terburu-buru untuk menjadikan Twitter sebagai ladang uang. Kenyataanya, butuh waktu untuk memahami betul syarat-syarat perubahan organisasi yang sukses. <a href="https://journals.aom.org/doi/abs/10.5465/annals.2016.0095">Dua dari tiga</a> upaya merubah organisasi berujung gagal. Ini mengakibatkan biaya besar, <a href="https://pubsonline.informs.org/doi/abs/10.1287/mnsc.1100.1273">tenaga kerja yang tertekan</a>, dan hilangnya talenta yang berharga. </p>
<p>Manajemen perubahan secara umum saja sering berjalan tak sesuai rencana – tapi saat ini kita bahkan kesulitan menebak apakah Musk sama sekali punya rencana atau tidak.</p>
<h2>Gaya Musk yang ‘amat sangat <em>hardcore</em>’</h2>
<p>Sejak mengambil alih Twitter pada 27 Oktober, Musk memaksa karyawan kembali bekerja di kantor, menghapus makan siang karyawan, dan <a href="https://www.nytimes.com/2022/11/15/technology/elon-musk-twitter-fired-criticism.html">memberhentikan</a> sekitar 3.700 pegawai –- setengah dari tenaga kerja Twitter. Banyak yang baru menyadari bahwa mereka telah “ditendang” ketika para karyawan ini tak lagi bisa <a href="https://www.theguardian.com/technology/2022/nov/04/twitter-layoffs-elon-musk-revenue-drop">mengakses laptop mereka</a>.</p>
<p>Hanya beberapa hari setelahnya, <a href="https://www.nytimes.com/2022/11/15/technology/elon-musk-twitter-fired-criticism.html">muncul kabar</a> bahwa Musk memiliki tim untuk menyisir pesan pribadi para karyawan di aplikasi Slack dan <a href="https://www.nytimes.com/2022/11/15/technology/elon-musk-twitter-fired-criticism.html">memecat mereka</a> yang mengkritiknya. </p>
<p>Pada Rabu pertengahan bulan lalu, Musk mengirimkan ultimatum yang meminta staf untuk menyatakan komitmennya terhadap gaya bekerja baru Twitter yang “amat sangat <em>hardcore</em>” – yang menurut Musk berarti “menjalani jam kerja panjang yang sangat intens”. Pekerja diberi waktu hingga pukul 5 sore esoknya untuk menerima ultimatum ini, atau mengambil pesangon. </p>
<p>Kabarnya, sekitar 500 karyawan memilih <a href="https://www.reuters.com/technology/after-elon-musks-ultimatum-twitter-employees-start-exiting-2022-11-18/">menuliskan pesan selamat tinggal</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Tweet from Twitter employee Leah Culver: " src="https://images.theconversation.com/files/496687/original/file-20221122-15-2fp8s6.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/496687/original/file-20221122-15-2fp8s6.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=239&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/496687/original/file-20221122-15-2fp8s6.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=239&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/496687/original/file-20221122-15-2fp8s6.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=239&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/496687/original/file-20221122-15-2fp8s6.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=301&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/496687/original/file-20221122-15-2fp8s6.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=301&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/496687/original/file-20221122-15-2fp8s6.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=301&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Twitter</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Musk tampaknya tak mengantisipasi reaksi ini. Mendekati tenggat waktu komitmen “<em>hardcore</em>”-nya, ia mulai mengundang staf yang dianggap penting ke rapat dan berusaha membujuk mereka untuk bertahan.</p>
<p>Ia pun membatalkan larangan kerja dari rumah, dan <a href="https://www.bloomberg.com/news/articles/2022-11-17/musk-softens-remote-work-mandate-to-retain-twitter-staffers">mengirimkan surel ke staf</a> berisi klarifikasi bahwa “yang Anda butuhkan untuk persetujuan (bekerja dari rumah) hanyalah tanggung jawab manajer Anda agar memastikan bahwa Anda memberikan kontribusi yang sangat baik”.</p>
<p>Upaya ini gagal. Sangat banyak karyawan yang memutuskan hengkang hingga Twitter terpaksa <a href="https://www.bloomberg.com/news/articles/2022-11-17/musk-softens-remote-work-mandate-to-retain-twitter-staffers?srnd=premium&sref=QnKyEnuc&leadSource=uverify%20wall">melarang semua staf memasuki kantor</a> selama beberapa hari – karena kebingungan karyawan mana yang masih bekerja di sana dan memiliki akses masuk.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Twitter kehilangan setengah pekerjanya dalam waktu kurang dari sebulan." src="https://images.theconversation.com/files/496660/original/file-20221122-24-qapv1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/496660/original/file-20221122-24-qapv1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/496660/original/file-20221122-24-qapv1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/496660/original/file-20221122-24-qapv1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/496660/original/file-20221122-24-qapv1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/496660/original/file-20221122-24-qapv1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/496660/original/file-20221122-24-qapv1r.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Twitter kehilangan setengah pekerjanya dalam waktu kurang dari sebulan.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Jeff Chiu/AP</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>PHK dan restrukturisasi adalah hal lumrah saat terjadi perubahan organisasi. Namun, bagaimana hal ini dikelola memiliki <a href="https://psycnet.apa.org/buy/2016-07814-001">efek</a> yang signifikan, baik terhadap mereka yang pergi maupun yang tinggal. Jika Anda ingin karyawan Anda tetap berkomitmen dan merespon krisis dengan baik, menyebut mereka pemalas dan mengancam mereka jelas tak membantu.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/thinking-of-breaking-up-with-twitter-heres-the-right-way-to-do-it-195002">Thinking of breaking up with Twitter? Here’s the right way to do it</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pilihan itu penting</h2>
<p>Tapi bagaimana dengan SpaceX dan Tesla – dua perusahaan yang memberikan Musk ketenaran dan kekayaan? Tidakkah kesuksesan perusahaan-perusahaan tersebut membuktikan bahwa ia pemimpin yang baik? </p>
<p>Tidak semudah itu. Ada perbedaan besar antara perusahaan yang memiliki misi tertentu, seperti SpaceX, dan platform seperti Twitter. </p>
<p>Ketika ada tujuan bersama untuk mencapai sesuatu yang luar biasa atau yang belum pernah dilakukan sebelumnya, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1053482212000629?casa_token=KV2BSOHMY2sAAAAA:mKXmNigQSkRramqQQDrYRliLH3h4iS-NMSGniS7CwDR_LVDAnRvQ-pCR7gK2lSBomq2Ued5xMA">karyawan</a> kerap rela bekerja dengan durasi yang lama di tengah situasi sulit.</p>
<p>Mereka akan memilih bekerja habis-habisan dengan jam kerja panjang jika mereka merasa sejalan dengan tujuan organisasi atau ketika mereka merasa pekerjaan mereka penting. Tapi poinnya adalah bahwa mereka <em>memilih</em>. </p>
<p>Seperti cuitan <a href="https://www.bbc.com/news/business-63672307">salah satu pegawai Twitter</a> setelah Musk mengirimkan surel “<em>hardcore</em>”-nya:</p>
<blockquote>
<p>Saya tak mau bekerja untuk seseorang yang mengancam kami berkali-kali melalui email, bahwa hanya ‘orang-orang luar biasa yang seharusnya bekerja di sini’ ketika saya sudah bekerja 60-70 jam tiap minggunya.</p>
</blockquote>
<h2>Musk mengabaikan hal-hal dasar</h2>
<p>Sebenarnya, ada banyak pekerja Tesla maupun SpaceX <a href="https://muse.jhu.edu/article/797952/summary">yang tak bahagia dengan pekerjaannya</a>. Banyak pula yang melayangkan gugatan mengenai kondisi kerja mereka dan gaya manajemen Musk.</p>
<p>Musk dipuji karena <a href="https://modelthinkers.com/mental-model/musks-5-step-design-process">pemikirannya</a> soal penyempurnaan desain produk (<em>iterative design</em>) dan pemecahan masalah teknik. Menantang model lama yang tak lagi berguna memang penting. Tapi <a href="https://journals.aom.org/doi/abs/10.5465/annals.2016.0095">hal-hal mendasar</a> mengenai kepemimpinan dan perubahan organisasi pun masih tetap esensial –- dan soal ini, Musk gagal total. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pakar-menjawab-elon-musk-membeli-twitter-apa-yang-perlu-kita-waspadai-182130">Pakar Menjawab: Elon Musk membeli Twitter, apa yang perlu kita waspadai?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Ketika para pegawainya –- orang-orang biasa yang bukan konglomerat dan harus membayar sewa atau cicilan rumah -– berusaha memahami apa sebetulnya makna “<em>hardcore</em>”, dan bagaimana hal tersebut akan mempengaruhi kemampuan mereka untuk memiliki kehidupan di luar pekerjaan, Musk justru mencuitkan survei (<em>polling</em>) informal yang menanyakan ke pengikutnya apakah mantan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sebaiknya diizinkan kembali menggunakan Twitter.</p>
<p>Kemudian, ketika Trump menolak untuk kembali ke platform tersebut, Musk mencuit: </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/496428/original/file-20221121-14-gfq5yp.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/496428/original/file-20221121-14-gfq5yp.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=525&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/496428/original/file-20221121-14-gfq5yp.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=525&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/496428/original/file-20221121-14-gfq5yp.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=525&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/496428/original/file-20221121-14-gfq5yp.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=659&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/496428/original/file-20221121-14-gfq5yp.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=659&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/496428/original/file-20221121-14-gfq5yp.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=659&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kemungkinan bahwa ada pejabat eksekutif selain Musk yang bisa mengirimkan pesan serupa di media sosial hampir-hampir tak bisa dipercaya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/banyak-orang-mulai-hijrah-dari-twitter-tapi-semudah-itukah-memindahkan-jaringan-komunitas-kita-ke-platform-yang-baru-194176">Banyak orang mulai hijrah dari Twitter -- tapi semudah itukah memindahkan jaringan komunitas kita ke platform yang baru?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Beberapa menilai bahwa kekacauan ini adalah wujud obsesi Musk untuk menunjukkan betapa pentingnya dirinya (<em>ego trip</em>) – teori yang tampak masuk akal berkaca dari upaya Musk sebelumnya <a href="https://edition.cnn.com/2022/07/08/tech/elon-musk-twitter-deal-exit/index.html">untuk keluar dari kesepakatan akuisisi Twitter</a>. Aksinya membawa risiko besar pada keberlangsungan bisnis, bahkan jika Twitter masih punya cukup karyawan untuk menjalankan platform tersebut. </p>
<p>Yoel Roth, mantan kepala keamanan dan kepercayaan publik Twitter yang mengundurkan diri pada 10 November, <a href="https://www.nytimes.com/2022/11/18/opinion/twitter-yoel-roth-elon-musk.html">menulis seminggu setelah ia hengkang</a>:</p>
<blockquote>
<p>Hampir segera setelah proses akuisisi selesai, gelombang <em>trolling</em> rasis dan antisemit bermunculan di Twitter. Pengiklan yang khawatir – termasuk General Mills, Audi, dan Pfizer – memutuskan mengurangi atau menghentikan sementara iklan mereka di platform, dan mengakibatkan krisis di internal Twitter untuk melindungi pemasukan iklan yang berharga.</p>
</blockquote>
<p>Tapi lebih kuat lagi daripada para pengiklan, catat Roth, adalah pasar aplikasi digital milik Apple dan Google:</p>
<blockquote>
<p>Kegagalan mengikuti pedoman Apple dan Google akan menimbulkan bencana besar – berisiko membuat Twitter dikeluarkan dari <em>app stores</em> dan membuat miliaran calon pengguna kesulitan mengakses layanan Twitter. </p>
</blockquote>
<p>Organisasi merupakan sistem interdependen yang rumit, didukung oleh jaringan proses perilaku. Menciptakan <a href="https://journals.aom.org/doi/abs/10.5465/annals.2016.0095">perubahan yang sukses</a> membutuhkan penyelarasan tujuan individu, kelompok kerja dan organisasi. </p>
<p>Bahkan jika si “burung biru kecil” – lambang dari platform Twitter – masih bisa tetap “terbang” sekarang, sistem yang dipimpin oleh manusia yang membuatnya bisa terus berjalan tengah berada dalam ancaman besar.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/195815/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Libby (Elizabeth) Sander tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Manajemen perubahan sering berjalan tak sesuai rencana – tapi saat ini kita bahkan kesulitan menebak apakah Musk punya rencana atau tidakLibby (Elizabeth) Sander, MBA Director & Assistant Professor of Organisational Behaviour, Bond Business School, Bond UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1941762022-11-08T11:41:09Z2022-11-08T11:41:09ZBanyak orang mulai hijrah dari Twitter – tapi semudah itukah memindahkan jaringan komunitas kita ke platform yang baru?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/494065/original/file-20221108-16-2yg3md.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Gejolak di internal markas Twitter memicu adanya kemungkinan migrasi massal pengguna platform tersebut. Apa yang akan terjadi jika orang berbondong-bondong meninggalkan Twitter?</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://newsroom.ap.org/detail/MuskTwitter/baf8b7c63202419e98834b39dd2aa722/photo">(AP Photo/Jeff Chiu)</a></span></figcaption></figure><p>Ketika Elon Musk resmi mengakuisisi Twitter dengan nilai US$ 44 miliar (sekitar Rp 690 triliun) pada 27 Oktober 2022, ia mengumumkan bahwa “sang burung kini bebas” (“<em><a href="https://twitter.com/elonmusk/status/1585841080431321088">the bird is freed</a></em>”). Banyak orang di situs mikroblog ini kemudian melihat hal tersebut sebagai alasan untuk ‘terbang’ ke platform lain.</p>
<p>Selama 48 jam berikutnya, misalnya, saya melihat banyak sekali orang di linimasa Twitter saya mengumumkan bahwa mereka akan hengkang dari platform ini, atau setidaknya sedang bersiap-siap untuk pergi. Tagar #GoodbyeTwitter, #TwitterMigration, dan #Mastodon kemudian <a href="https://www.wired.com/story/twitter-users-flock-to-other-platforms-as-the-elon-musk-era-begins/">menjadi populer</a>. Mastodon, sebuah platform jejaring sosial yang bersumber terbuka (<em>open source</em>) dan terdesentralisasi, mencatat kenaikan lebih dari 100.000 pengguna baru hanya dalam beberapa hari, berdasarkan <a href="https://hci.social/web/@mastodonusercount@bitcoinhackers.org">hitungan suatu bot</a>.</p>
<p>Sebagai seorang peneliti ilmu informasi yang <a href="https://scholar.google.com/citations?user=D9LfKkAe7d0C&hl=en">mengkaji komunitas daring</a>, saya melihat bahwa migrasi media sosial seperti ini bukanlah hal baru. Platform medsos biasanya memang tidak bertahan selama-lamanya. Tergantung umur dan kebiasaan daring Anda, kemungkinan ada beberapa platform yang Anda lewatkan atau yang pernah Anda gunakan dulu dan masih eksis sampai sekarang, walaupun dalam tampilan yang berbeda, seperti Space, LiveJournal, Google+, dan Vine.</p>
<p>Ketika suatu platform medsos tumbang atau popularitasnya menurun, terkadang para komunitas yang ada di sana pelan-pelan hilang, kadang juga mereka berpindah ke platform yang lain. Gejolak di Twitter saat ini menyebabkan banyak penggunanya mempertimbangkan untuk meninggalkan platform tersebut.</p>
<p>Beberapa riset terkait migrasi platform medsos di masa lalu menunjukkan beberapa kemungkinan dan tantangan yang bisa muncul ke depannya bagi para netizen yang memutuskan untuk pindah.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/DWkB9GLzWj0?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Akuisisi Twitter oleh Elon Musk menyebabkan gejolak di dalam internal perusahaan dan juga membuat banyak pengguna mempertimbangkan untuk meninggalkan platform tersebut.</span></figcaption>
</figure>
<p>Beberapa tahun lalu, saya memimpin <a href="http://dx.doi.org/10.1145/3392847">proyek riset</a> dengan Brianna Dym dari University of Maine, Amerika Serikat (AS). Kami memetakan migrasi platform dari hampir 2.000 orang selama periode hampir dua dekade. Komunitas yang kami amati adalah ‘<a href="https://www.teenvogue.com/story/how-do-we-define-fandom-stitch-fan-service"><em>transformative fandom</em></a>’ – para kelompok penggemar serial budaya populer dan sastra yang kemudian membuat karya seni dan fiksi penggemar (<em>fan fiction</em>) menggunakan karakter-karakter dan latar-latar tersebut.</p>
<p>Kami memilih ini karena jaringan komunitas tersebut cukup besar dan telah berkembang di berbagai ruang daring yang berbeda. Beberapa orang yang sama yang menulis <em>fan fiction</em> serial Buffy the Vampire Slayer di Usenet pada tahun 1990-an, juga menulis <em>fan fiction</em> Harry Potter di platform LiveJournal pada tahun 2000-an dan <em>fan fiction</em> Star Wars di Tumblr pada tahun 2010-an.</p>
<p>Dengan menanyakan para partisipan tentang pengalaman mereka berpindah platform – kenapa mereka pergi, kenapa mereka memilih platform tertentu, dan tantangan yang mereka hadapi saat melakukannya – kita bisa melihat faktor-faktor yang bisa jadi menentukan sukses atau gagalnya sebuah platform. Kita juga bisa melihat apa saja konsekuensi negatif yang berpotensi dihadapi komunitas saat melakukan migrasi.</p>
<h2>“Kamu aja dulu”</h2>
<p>Terlepas dari seberapa banyak orang yang pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Twitter, dan meski mereka memutuskan hijrah secara bersamaan, menciptakan komunitas di platform lain adalah perjuangan yang cukup menantang. Migrasi seperti ini sebagian besar didorong oleh efek jaringan. Artinya, nilai dari platform baru tergantung dari siapa saja yang sudah ada di sana.</p>
<p>Pada tahap-tahap awal migrasi yang merupakan momen kritis, pengguna harus berkoordinasi dengan satu sama lain untuk saling mendorong kontribusi di platform baru. Ini adalah hal yang cukup sulit. Pada akhirnya, ini menjadi – dalam kata-kata salah satu partisipan kami – apa yang disebut dalam teori permainan (<em>game theory</em>) sebagai ’<em>game of chicken</em>‘. Di sini, tidak ada yang ingin pindah sebelum teman-temannya pindah, dan tidak ada yang mau menjadi yang pertama karena takut bahwa mereka akan sendirian di platform baru tersebut.</p>
<p>Untuk alasan ini pula, 'kematian’ suatu platform – entah karena kontroversi, tidak disukai, ataupun efek kompetisi – seringkali merupakan proses yang lambat dan bertahap. Seorang partisipan menjelaskan turunnya popularitas Usenet layaknya “mengamati suatu mal yang makin hari makin sepi sampai akhirnya tutup”.</p>
<h2>Rasanya tidak akan sama</h2>
<p>Dorongan beberapa pihak untuk meninggalkan Twitter mengingatkan saya tentang <a href="https://slate.com/technology/2018/12/tumblr-fandom-adult-content-ban-livejournal.html">larangan konten dewasa di Tumblr</a> pada tahun 2018. Jauh sebelum itu, saya juga teringat perubahan kebijakan serta pergantian kepemilikan LiveJournal pada tahun 2007.</p>
<p>Orang-orang yang meninggalkan LiveJournal dan pindah ke platform lain, seperti Tumblr, mengatakan bahwa mereka merasa agak kurang diterima di sana. Meski Elon Musk tidak serta merta mematikan sistem moderasi konten ketika ia mulai menguasai Twitter pada akhir Oktober lalu, ada <a href="https://www.washingtonpost.com/technology/2022/10/28/musk-twitter-racist-posts/">kenaikan tingkat ujaran kebencian (<em>hate speech</em>)</a> di platform tersebut. Beberapa pengguna nampaknya merasa lebih berani untuk melanggar kebijakan konten platform karena menganggap akan ada beberapa perubahan besar di bawah rezim Musk.</p>
<p>Jadi, apa yang mungkin terjadi jika banyak pengguna Twitter memutuskan untuk pergi?</p>
<p>Yang membuat Twitter khas bukanlah teknologinya, melainkan dinamika dan susunan interaksi yang terjadi di platform tersebut. Peluangnya nol bahwa pengalaman di Twitter, seperti yang ada sekarang, bisa direkonstruksi kembali di platform lain. </p>
<p>Migrasi medsos dalam bentuk apapun kemungkinan akan menghadapi banyak tantangan yang sebelumnya mewarnai proses migrasi platform di masa lampau: kehilangan konten, komunitas yang terfragmentasi, jejaring sosial yang terputus, hingga norma komunitas yang bergeser.</p>
<p>Tapi Twitter bukanlah satu komunitas saja – ia merupakan koleksi banyak komunitas dengan norma dan motifnya masing-masing. Beberapa komunitas bisa jadi lebih mudah bermigrasi ketimbang komunitas lain.</p>
<p>Misalnya, bisa jadi komunitas K-Pop di Twitter mengkoordinasi perpindahan ke Tumblr. Saya juga melihat sejumlah besar komunitas akademik di Twitter mengkoordinasi perpindahan ke Mastodon. Komunitas lain bisa jadi sejak awal sudah hadir di platform Discord dan Reddit, lalu tinggal menunggu aktivitas mereka di Twitter memudar seiring berkurangnya perhatian orang terhadap komunitas mereka di sana.</p>
<p>Tapi, seperti temuan riset kami, proses migrasi selalu ada pengorbanannya. Bahkan bagi beberapa komunitas yang relatif kecil, beberapa orang tetap akan tersesat dan hilang akibat proses migrasi.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1586525904997863427"}"></div></p>
<h2>Ikatan komunitas</h2>
<p>Riset yang kami lakukan juga menunjukkan beberapa rekomendasi desain untuk mendukung proses migrasi, dan juga gambaran bagaimana suatu platform bisa memanfaatkan pudarnya minat di platform lain.</p>
<p>Fitur untuk mengunggah secara lintas platform (<em>cross-posting</em>) menjadi cukup penting untuk memuluskan jalan mereka yang masih menimbang-nimbang. Mereka bisa jadi masih enggan untuk sepenuhnya memutus relasi dengan platform lama, tapi tertarik untuk mencoba platform baru dengan cara membagikan konten yang sama di dua tempat sekaligus.</p>
<p>Mengimpor jaringan mereka dari platform lama juga membantu pengguna untuk mempertahankan komunitas mereka. Misalnya, <a href="https://twitodon.com/">ada</a> <a href="https://pruvisto.org/debirdify/">beberapa</a> <a href="https://fedifinder.glitch.me/">cara</a> bagi pengguna baru di Mastodon untuk menemukan orang-orang yang mereka ikuti di Twitter. Bahkan pesan-pesan ‘selamat datang’ yang sederhana, panduan bagi pengguna baru, dan cara-cara mudah unntuk menemukan pengguna baru lainnya bisa sangat membantu memuluskan proses perpindahan.</p>
<p>Dalam hal ini, penting juga untuk mengingat bahwa platform memang secara sengaja mempersulit proses migrasi. Tidak ada insentif bagi mereka untuk membantu para pengguna pindah. Sebagaimana yang ditulis wartawan teknologi kawakan Cory Doctorow, ini adalah “<a href="https://doctorow.medium.com/how-to-leave-dying-social-media-platforms-9fc550fe5abf">situasi penyanderaan</a>” (<em>hostage situation</em>). Media sosial membujuk orang dengan kehadiran teman-teman mereka, lalu ancaman kehilangan jejaring sosial tersebut membuat mereka bertahan di platform.</p>
<p>Tapi, jika pun ada harga yang harus dibayar demi meninggalkan platform, para komunitas bisa jadi sangat tangguh. Layaknya para pengguna LiveJournal dalam studi kami yang berhasil memindahkan jejaring mereka ke Tumblr, nasib Anda tidak selamanya terikat di Twitter.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/194176/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Casey Fiesler tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Gejolak di Twitter membuat banyak komunitas ingin hengkang. Tapi, riset menemukan suatu komunitas tidak akan bisa sepenuhnya sukses memindahkan jejaring mereka dari satu platform ke platform lain.Casey Fiesler, Associate Professor of Information Science, University of Colorado BoulderLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1733282021-12-07T06:11:56Z2021-12-07T06:11:56ZMundurnya Jack Dorsey dari Twitter tidak menunjukkan masa depan meyakinkan untuk media sosial<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/436035/original/file-20211207-141979-1q974r4.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C3323%2C2119&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Bukan Mark Zuckerberg.</span> <span class="attribution"><span class="source">EPA</span></span></figcaption></figure><p>Jack Dorsey <a href="https://www.theguardian.com/technology/2021/nov/29/twitter-chief-executive-jack-dorsey">mengumumkan secara mendadak mundur</a> dari CEO Twitter di platform itu sendiri. Dorsey membeberkan <a href="https://twitter.com/jack/status/1465347002426867720">surat pengunduran diri</a> di media sosial yang ia ikut dirikan; cuitan itu mengingatkan saya pada <a href="https://www.theguardian.com/technology/2021/nov/11/elon-musk-sells-some-tesla-stock-but-was-it-really-because-of-twitter-poll">cuitan-cuitan kontrovesial</a> Elon Musk. Kita bisa bayangkan Dorsey duduk santai menikmati reaksi dan spekulasi yang kemudian muncul.</p>
<p>Ini bukan surat <em>resign</em> pertama Dorsey dari Twitter - ia dipaksa mundur dari jabatan CEO pada 2008, lalu kembali menjadi <em>executive chairman</em> tiga tahun kemauan. Surat ini belum tentu juga menjadi yang terakhir.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1465347002426867720"}"></div></p>
<p>Menurut email yang dikirim kepada staf Twitter saat mengumumkan pengunduran dirinya, Dorsey mengatakan bahwa menurut dia, perusahaan itu harus “berdiri sendiri, bebas dari pengaruh atau arahan pendiri”. </p>
<p>Dalam keriuhan yang muncul setelah ia mengumumkan berita itu di Twitter, Dorsey menekankan bahwa itu keputusan dia sendiri. Lalu apa yang bisa kita simpulkan di sini?</p>
<h2>Krisis paruh baya media sosial</h2>
<p>Keputusan Dorsey bukannya tidak disangka. Sudah setahun lebih ia berada dalam <a href="https://www.vox.com/recode/2020/3/1/21160375/jack-dorsey-twitter-elliott-management-paul-singer-ceo">tekanan besar</a> dari investor untuk mempercepat pertumbuhan Twitter dan memperbaiki kinerja keuangannya. </p>
<p>Investor Wall Street telah mengkritik kiprah Dorsey di luar Twitter, termasuk aplikasi pembayaran raksasa Square, yang ia dirikan saat mundur dari Twitter sebelumnya, <a href="https://markets.businessinsider.com/news/currencies/jay-z-jack-dorsey-nfts-and-smart-contracts-to-tidal-2021-6">dan juga</a> <a href="https://www.crunchbase.com/person/jack-dorsey">proyek-proyek futuristik</a> terkait <a href="https://techcrunch.com/2021/02/12/jack-dorsey-and-jay-z-invest-23-6-million-to-fund-bitcoin-development/">desentralisasi</a> (menghilangkan kendali korporasi tradisional) di internet dan keuangan. </p>
<p>Saya melihat kesamaan antara Dorsey dan taipan digital lain seperti Jeff Bezos dan Musk. Seperti Dorsey, Bezos dan Musk menjalankan dua perusahaan, Amazon/Blue Origin dan Tesla/SpaceX, sekaligus mencari bentuk-bentuk kesenangan dan petualangan baru; Bezos berupaya <a href="https://www.nytimes.com/2021/06/07/business/jeff-bezos-space.html">mencapai orbit</a> dan Musk <a href="https://www.theverge.com/2018/2/6/16983744/spacex-tesla-falcon-heavy-roadster-orbit-asteroid-belt-elon-musk-mars">melontarkan mobil sport</a> Tesla Roadster ke luar angkasa.</p>
<p>Pada kasus Twitter, ada pula dimensi media sosial. Platform seperti Twitter, Facebook, dan YouTube kian dibebani kontroversi politis dan masalah rumit seperti disinformasi, pelanggaran privasi, dan ujaran kebencian.</p>
<p>Twitter, <a href="https://edition.cnn.com/2021/10/27/tech/vijaya-gadde-twitter-risk-takers/index.html">misalnya</a>, menjadi saluran pribadi Donald Trump sebelum akhirnya melarang dia, dan saat ini bergelut dengan masalah <a href="https://techhq.com/2021/09/data-privacy-backlash-pushes-apple-twitter-to-shield-users-more/">ujaran kebencian</a> sebagai isu global. </p>
<p>Situasi yang dihadapi para platform ini kadang disebut sebagai <a href="https://michailbukin147.medium.com/coping-with-the-social-media-midlife-crisis-7bb67951b686">krisis paruh baya media sosial</a>.</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/435060/original/file-20211201-15-qq52e7.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Cartoon of Donald Trump on a Twitter bird" src="https://images.theconversation.com/files/435060/original/file-20211201-15-qq52e7.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/435060/original/file-20211201-15-qq52e7.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=737&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/435060/original/file-20211201-15-qq52e7.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=737&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/435060/original/file-20211201-15-qq52e7.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=737&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/435060/original/file-20211201-15-qq52e7.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=926&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/435060/original/file-20211201-15-qq52e7.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=926&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/435060/original/file-20211201-15-qq52e7.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=926&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Jangan melupakan sejarah.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-illustration/cartoon-july-26-2018-donald-trump-1142678024">Anton Khodakovskiy</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Karena tidak ada solusi sederhana, maka masuk akal bila seseorang seperti Dorsey lebih senang menciptakan hal-hal baru ketimbang memperbaiki yang sudah ada. Mungkin lebih masuk akal untuk menyerahkan kendali kerajaan pada orang lain dan pergi mencari petualangan baru.</p>
<p>Dorsey menyebut “ego pendiri” dalam pesan perpisahan pada Twitter dan stafnya; ini tidak lain adalah sindiran pada Mark Zuckerberg, yang sama sekali tidak menunjukkan gelagat akan mundur dari Facebook/Meta. Sebaliknya, Zuckerberg ingin mengembangkan pengaruh perusahaannya lebih lanjut dengan meningkatkan operasinya pada <a href="https://theconversation.com/metaverse-five-things-to-know-and-what-it-could-mean-for-you-171061">versi realitas virtual internet</a> yang dikenal sebagai <a href="https://theconversation.com/mark-zuckerberg-wants-to-turn-facebook-into-a-metaverse-company-what-does-that-mean-165404">metaverse atau 3Dweb</a>.</p>
<p>Saat Facebook membuat pengumuman besar perubahan jenama menjadi Meta pada Oktober 2021, Dorsey mengeluarkan cuitan berisi ketidaksetujuannya pada keputusan Zuckerberg untuk tetap di Facebook. Dorsey mengatakan ia mencintai Twitter, tapi saya menduga ia memprediksi masa-masa sulit perusahaan media sosial dan bahkan konsep dasar platform-platform ini.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1464865985471471616"}"></div></p>
<p>Menurut saya, sudah berakhir masa developer muda ingin berkarir di Google, Facebook, atau Twitter. Mereka kini lebih tertarik mencari untung lewat NFT dan membuat aplikasi untuk metaverse (non-Meta). Sementara itu, regulator <a href="https://telecom.economictimes.indiatimes.com/news/tech-regulation-leads-the-agenda-at-uk-g7-forum/88020130">semakin mengawasi</a> nama-nama besar Silicon Valley atas standar etika mereka dalam konten dan data pengguna. Dan jika masa depan ada pada metaverse, maka seperti apa posisi Twitter sebagai platform microblogging dengan pengguna yang sempit di era 3Dweb.</p>
<h2>Bab baru Jack</h2>
<p>Setelah Dorsey menyerahkan kendali Twitter pada <em>chief technology officer</em> <a href="https://www.cnbc.com/2021/11/29/twitter-ceo-jack-dorsey-is-expected-to-step-down-sources-say.html">Parag Agrawal</a>, ia akan memiliki lebih banyak waktu untuk fokus pada Square. Perusahaan layanan pembayaran ini bernilai 100 miliar dolar AS (Rp 1.400 triliun) - dua kali lipat Twitter - dan salah satu fokus utamanya adalah membuat mata uang kripto menjadi mainstream.</p>
<p>Square <a href="https://fintechmagazine.com/digital-payments/whats-next-jack-dorsey-will-he-focus-more-fintech">memiliki bitcoin</a> dalam neraca keuangannya dan berencana meluncurkan pasar kripto terdesentralisasi bernama tbDEX, dan kemungkinan juga bergerak pada penambangan bitcoin (penciptaan bitcoin baru). Dorsey juga menjadi <em>angel investor</em> di berbagai proyek, termasuk aplikasi streaming musik <a href="https://markets.businessinsider.com/news/currencies/jay-z-jack-dorsey-nfts-and-smart-contracts-to-tidal-2021-6">Tidal</a>; musisi Jay Z menjadi investor juga di situ.</p>
<p>Dalam banyak hal, lanskap mata uang kripto mewarisi sikap bebas dan santai platform media sosial pada awal kemunculannya. <em>Start-up</em> desentralisasi seperti platform keuangan <a href="https://compound.finance/">Compound</a>, pasar kripto <a href="https://uniswap.org/">Uniswap</a> dan pembuat mata uang <a href="https://makerdao.com/en">MakerDao</a> kini mendapat untung besar dan semakin populer.</p>
<p>Perusahaan ini didominasi orang-orang jenius eksentrik seperti pencipta Uniswap <a href="https://www.coindesk.com/markets/2020/12/08/hayden-adams-king-of-the-defi-degens/">Hayden Adams</a> dan pendiri MakerDao <a href="https://www.linkedin.com/in/runebentsenchristensen?originalSubdomain=dk">Rune Christensen</a></p>
<p>Saya selalu mengatakan pada mahasiswa saya, kita sedang hidup pada <a href="https://fs.blog/principles-age-acceleration/">era akselerasi</a>: teknologi berkembang lebih cepat dari kemampuan individu untuk mengejarnya. Untuk bisa selamat, kita perlu cara berpikir baru tentang teknologi.</p>
<p>CEO-CEO Silicon Valley seperti Jack Dorsey adalah katalis untuk era ini, dan kini mereka pun harus beradaptasi dan merombak dunia yang mereka ciptakan. Dorsey memiliki keuntungan karena sudah satu langkah masuk di dunia yang baru beberapa waktu ini. Kepergian dia dari Twitter tidak membuat saya sangat optimis pada media sosial tradisional, tapi mungkin akan memberi dorongan tambahan pada <em>start up</em> kripto dan teknologi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/173328/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Theo Tzanidis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dorsey telah menunjukkan bahwa ia berbeda dari orang-orang seperti Mark Zuckerberg yang tetap bertahan di perusahaan tradisional.Theo Tzanidis, Senior Lecturer in Digital Marketing, University of the West of ScotlandLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1724162021-11-23T09:53:57Z2021-11-23T09:53:57ZBagaimana ‘big tech’ menentukan siapa yang berkuasa atas hak dan kebebasan kita<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/433407/original/file-20211123-21-7neib9.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C6%2C4631%2C2585&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/big-five-companies-tech-company-logos-1643544484">Ascannio/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Sejak akhir abad ke-20, bagi sebagian besar dari kita, kehidupan sehari-hari telah semakin banyak berpindah ke ranah digital. Ini telah mendorong munculnya sesuatu yang disebut dimensi “<a href="https://link.springer.com/book/10.1007/978-3-319-04093-6">onlife</a>”, yang menyimbolkan betapa eratnya kehidupan <em>online</em> dan <em>offline</em> kita.</p>
<p>Suatu hari nanti, kita mungkin akan melihat hadirnya <a href="https://theconversation.com/what-is-the-metaverse-2-media-and-information-experts-explain-165731">metaverse</a>, sebuah dunia <em>online</em> yang tidak pernah mati yang menyediakan ruang-ruang digital baru untuk orang berinteraksi, bekerja, dan bermain lewat avatar.</p>
<p>Dampaknya adalah hak dan kebebasan orang semakin dibentuk oleh aturan-aturan yang ditentukan oleh perusahaan-perusahaan teknologi besar (<em>big tech</em>). Keputusan Twitter untuk membungkam mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump setelah <a href="https://www.bbc.com/news/technology-57018148">kekerasan di Capitol Hill</a>, <a href="https://verfassungsblog.de/facebook-flexing/">Facebook</a> melarang konten dari penerbit Australia, dan YouTube memblok <a href="https://edition.cnn.com/2021/09/29/tech/youtube-vaccine-misinformation/index.html">konten antivaksin</a> adalah beberapa contoh bagaimana perusahaan teknologi melebarkan peran tidak hanya sebagai penjaga gerbang (<em>gatekeepers</em>) informasi global tapi juga sebagai institusi kekuasaan privat.</p>
<p>Contoh-contoh ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan konstitusional tentang siapa yang memiliki legitimasi, siapa yang memiliki kuasa, dan bagaimana demokrasi bisa berjalan pada era digital. Ini mengarah pada bangkitnya <a href="https://academic.oup.com/icon/article/19/1/41/6224442">konstitusionalisme digital</a>, sebuah fase baru ketika hak-hak individu dan kekuasaan publik “dipindahtangankan” di antara kelompok-kelompok baru - misalnya perusahaan digital - di skala global.</p>
<h2>Permainan kekuasaan baru</h2>
<p>Konstitusionalisme digital tidak berarti merevolusi akar <a href="https://www.britannica.com/topic/constitutionalism">konstitualisme</a> modern, yaitu prinsip-prinsip yang mencakup pemerintahan yang bertanggung jawab dan akuntabel, hak-hak individu, dan negara berdasarkan hukum (<em>rule of law</em>). Namun, konstitusionalisme digital menempatkan rangka baru pada peran hukum konstitusional pada era digital.</p>
<p>Konstitualisme modern selalu mengejar dua misi: melindungi hak-hak fundamental dan membatasi kekuasaan lewat <em>checks and balances</em>.</p>
<p>Pda era digital, salah satu kekhawatiran utama adalah tentang penggunaan <a href="https://ijoc.org/index.php/ijoc/article/view/13752">kekuasaan publik</a> yang mengancam hak dan kebebasan, misalnya pembatasan internet atau pengawasan. Ini menjadi mencolok dalam <a href="https://www.theguardian.com/us-news/the-nsa-files">kasus Snowden</a> yang melibatkan seorang pegawai badan intelijen CIA membocorkan dokumen yang menunjukkan pengawasan oleh National Security Agency (NSA) di AS, yang menimbulkan perdebatan antara keamanan nasional dan privasi individu.</p>
<p>Namun perusahaan swasta kini mendominasi internet dan menerapkan aturan layanan atau panduan komunitas yang berlaku pada miliaran pengguna di seluruh dunia. Aturan ini menjadi patokan alternatif menyaingi perlindungan konstitusional atas hak-hak fundamental dan nilai-nilai demokrasi.</p>
<p>Tantangan terhadap demokrasi konstitusional tidak lagi datang dari otoritas negara. Kekhawatiran besar kini muncul dari institusi yang secara formal bersifat privat tapi mengendalikan hal-hal yang secara tradisional diatur oleh otoritas publik - tanpa batasan. Kemampuan perusahaan teknologi untuk menentukan dan memaksakan hak-hak dan kebebasan pada level global adalah wujud bertumbuhnya kekuasaan mereka atas publik.</p>
<p>Misalnya, saat Facebook atau Google memoderasi konten online, mereka membuat keputusan atas kebebasan berekspresi dan hak-hak individu lain atau kepentingan publik berdasarkan standar privat yang belum tentu sesuai dengan aturan konstitusional. Dan keputusan-keputusan ini diterapkan langsung oleh mereka, bukan oleh pengadilan.</p>
<p>Situasi ini telah memicu desakan untuk transparansi dan akuntabilitas. Skandal <a href="https://www.theguardian.com/news/2018/mar/17/cambridge-analytica-facebook-influence-us-election">Cambridge Analytica</a> yang menunjukkan betapa masifnya pengumpulan data pribadi untuk kepentingan pengiklanan politik, dan temuan dari penelitian Facebook sendiri yang menunjukkan potensi dampak berbahaya media sosial pada <a href="https://www.theguardian.com/technology/2021/sep/29/facebook-hearing-latest-children-impact">kesehatan mental anak muda</a> telah memanaskan debat terkait tanggung jawab <em>big tech</em>.</p>
<h2>Menangani kekuasaan <em>big tech</em></h2>
<p>Institusi-institusi demokrasi konstitusional masih mencari tahu bagaimana harus berhadapan dengan kekuaasan perusahaan teknologi. Dan walau negara-negara menghadapi tantangan global yang sama, reaksi mereka tidak selalu sama. Bahkan walau negara-negara demokrasi konstitusional secara umum melindungi hak-hak dan kebebasan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat demokratis, bukan berarti perlindungan ini besarnya merata di seluruh dunia. </p>
<p>Di Eropa, aturan <a href="https://eur-lex.europa.eu/legal-content/en/TXT/?uri=COM%3A2020%3A825%3AFIN">Digital Services Act</a> dan <a href="https://eur-lex.europa.eu/eli/reg/2016/679/oj">General Data Protection Regulation</a> muncul dari keinginan untuk membuat perusahaan teknologi lebih akuntabel dalam hal moderasi konten dan perlindangan data.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Mark Zuckerberg giving a speech against a blue background." src="https://images.theconversation.com/files/431538/original/file-20211111-6892-xbd77p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/431538/original/file-20211111-6892-xbd77p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/431538/original/file-20211111-6892-xbd77p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/431538/original/file-20211111-6892-xbd77p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/431538/original/file-20211111-6892-xbd77p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/431538/original/file-20211111-6892-xbd77p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/431538/original/file-20211111-6892-xbd77p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Mark Zuckerberg belum lama ini meluncurkan Oversight Board sebagai tanggapan atas munculnya kekhawatiran tentang transparansi dan akuntabilitas Facebook.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/paris-france-may-24-2018-facebook-1098814607">Frederick Legrand/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Namun AS masih melihat <em>self-regulation</em> sebagai pendekatan terbaik untuk melindungi kebebasan berekspresi pada era digital. Bahkan <a href="https://supreme.justia.com/cases/federal/us/582/15-1194/#tab-opinion-3749201">Mahkamah Agung AS</a> telah menggarisbawahi bahwa internet - terutama media sosial - memainkan peran penting sebagai forum demokratis.</p>
<p>Oleh karena itu, platform daring tidak buang waktu dalam mengkonsolidasikan kebijakan mereka. Hadirnya dewan-dewan media sosial seperti <a href="https://oversightboard.com">Facebook Oversight Board</a> telah diterima sebagai langkah baik menuju transparansi dan akuntabilitas. Namun ini juga bisa dilihat sebagai langkah untuk memperkuat kekuasaan dengan menampilkan citra yang meniru sistem konsitusional seperti “<a href="https://theconversation.com/why-facebook-created-its-own-supreme-court-for-judging-content-6-questions-answered-160349">mahkamah agung</a>”, sebagaimana yang Facebook telah lakukan.</p>
<p>Konstitusionalisme digital menawarkan beragam perspektif untuk menganalisis perlindungan hak-hak dan penggunaan kekuasaan oleh perusahaan <em>big tech</em>. Konstitusionalisme digital juga mendorong kita untuk melakukan perdebatan lebih dalam tentang bagaimana hak-hak individu dan kebebasan bukan lagi objek dalam kekuasaan negara, tapi juga bagi perusahaan <em>big tech</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/172416/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Giovanni De Gregorio tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Big tech semakin memanfaatkan kesempatan untuk memperkuat kekuasaan mereka. Banyak pertanyaan kini timbul tentang bagaimana legitimasi, hak-hak dan demokrasi di era digital.Giovanni De Gregorio, Postdoctoral Researcher in Socio-Legal Studies, University of OxfordLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1686562021-11-08T09:52:22Z2021-11-08T09:52:22ZWartawan tidak akan berhenti mengunggah tweet. Tapi apakah media perlu memberikan kontrol lebih ketat?<p>“Ini bukanlah minggu yang baik untuk jurnalisme di ABC”, ungkap <a href="https://twitter.com/SharriMarkson/status/1399244810863534087">cuitan (<em>tweet</em>) Sharri Markson</a> dari News Corp pada akhir Mei lalu – padahal waktu itu baru hari Senin.</p>
<p>Cuitan Markson mencantumkan sebuah <a href="https://www.theaustralian.com.au/business/media/christian-porter-abc-settle-defamation-case/news-story/6a3bb7aa5c8d1b186ce304ba17936cb6">link ke suatu artikel</a> dari media The Australian yang mengutip mantan Jaksa Agung Christian Porter yang sebelumnya terlibat dalam tuduhan kasus kekerasan seksual dalam reportase ABC - perusahaan media di Australia. Pasca mencabut tuduhan pencemaran nama baik yang dilayangkannya terhadap media tersebut, Porter menyebutnya sebagai “pengunduran yang memalukan oleh ABC”.</p>
<p>Selain melaporkan penyelesaian kasus itu, artikelnya juga menyampakan bahwa ABC telah memperingatkan stafnya untuk tidak mengklaim kemenangan setelah mundurnya Porter, dan mengimbau untuk berhati-hati dalam membicarakan hal tersebut.</p>
<p>Di masa yang sensitif seperti itu, orang mungkin mengira peringatan ABC kepada staf mereka hanyalah kewaspadaan. Tapi, secara tidak langsung kejadian di Australia ini juga mencerminkan persoalan tentang bagaimana organisasi media memandang unggahan jurnalis mereka di media sosial.</p>
<p>Di masa depan, isu seperti ini kemungkinan akan menjadi semakin marak seiring jurnalis menjadi lebih aktif di Twitter.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/wajah-ganda-media-di-indonesia-dalam-memberitakan-kejahatan-100194">Wajah ganda media di Indonesia dalam memberitakan kejahatan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Hak untuk <em>tweet</em>?</h2>
<p>Akhir pekan lalu, media Sydney Morning Herald menerbitkan sebuah cerita yang mengutip Anggota Senat Partai Liberal dan mantan jurnalis ABC Sarah Henderson yang mengatakan kebijakan medsos media nasional tersebut “<a href="https://www.smh.com.au/politics/federal/woefully-inadequate-abc-cops-stick-for-slack-social-media-policy-20210528-p57vze.html">sangat tidak memadai</a>”.</p>
<p>Ada dilema nyata di sini. Wartawan sebagai profesional dan karyawan tunduk pada rambu-rambu tertentu. Apa yang mereka cuit dapat dan akan memengaruhi cara orang lain memandang pekerjaan mereka.</p>
<p>Sebaliknya, sebagai warga negara, mereka juga berhak atas kebebasan berekspresi.</p>
<p>Pada bulan April, editor ekonomi The Australian, Adam Creighton, mengirim cuitan yang mengkritik kebijakan COVID-19 di Australia yang menurutnya “membungkam kebebasan berpendapat” warga negara:</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1381076856393306112"}"></div></p>
<p>Apakah <em>cri de coeur</em> (ungkapan protes keras) seperti itu memengaruhi cara pembaca memandang penilaian dan kapasitas sang editor untuk membuat suatu reportase? </p>
<p>Ataukah ia memiliki hak untuk mengatakan apa yang dia rasakan?</p>
<h2>Kapan seorang jurnalis ‘melewati batas’?</h2>
<p>ABC adalah organisasi media di Australia yang telah dengan sungguh-sungguh berusaha menyelesaikan dilema ini. Mereka memiliki empat <a href="https://www.theguardian.com/media/2021/feb/12/abc-staff-warned-they-could-be-sacked-over-rogue-tweets">panduan</a> yang bisa dikatakan cukup baik:</p>
<ul>
<li><p>jangan mencampuradukkan urusan profesional dan pribadi dengan cara yang dapat merusak kredibilitas ABC</p></li>
<li><p>jangan membuat aktivitas media sosial menghambat efektivitas Anda saat bekerja</p></li>
<li><p>jangan menyiratkan dukungan ABC atas pandangan pribadi Anda</p></li>
<li><p>jangan mengungkap informasi yang masih rahasia yang diperoleh melalui pekerjaan.</p></li>
</ul>
<p>Henderson merujuk pada dua pelanggaran pedoman ini.</p>
<p>Salah satu kasus tersebut adalah saat seorang pengacara ABC menyebut pemerintah koalisi Australia bertindak “fasis” dan Perdana Menteri Scott Morrison sebagai “manusia yang sangat buruk” di Twitter, sebelum akhirnya mengundurkan diri. Henderson mengatakan bahwa pengacara tersebut seharusnya tidak diizinkan mengundurkan diri, melaingkan langsung dipecat.</p>
<p>Contoh lain yang ia sebut melibatkan jurnalis ABC Laura Tingle yang ia sebut “mengolok-olok (<em>trolling</em>) perdana menteri” pada tahun lalu – sebuah penggunaan kata <em>trolling</em> yang tidak akurat. Tetapi, kini semakin banyak politisi (dan jurnalis) yang tampaknya menganggap setiap kritik terhadap diri mereka sendiri di media sosial sebagai <em>trolling</em>.</p>
<p>Tweet tunggal Tingle yang dianggap menyinggung <a href="https://www.news.com.au/finance/business/media/abc-boss-grilled-over-political-correspondent-laura-tingles-smug-prime-minister-tweet/%20news-story/006f6f9c2e1afc81ab7cd374edef3fce">mengatakan</a>, “kami berduka atas kehilangan begitu banyak rekan kami yang baik akibat sikap ideologis pemerintah yang kurang ajar (<em>ideological bastardry</em>). Semoga Anda merasa puas, [Perdana Menteri] Scott Morrison”.</p>
<p>Cuitan itu ia unggah larut malam setelah acara perpisahan untuk teman dan koleganya Philippa McDonald, dan dihapus keesokan paginya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/hati-hati-saat-meninggalkan-jejak-digital-di-belantara-internet-103743">Hati-hati saat meninggalkan jejak digital di belantara Internet</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Susah rasanya menuntut jurnalis ABC untuk mengabaikan atau bersikap netral atas kebijakan pemerintah yang menghambat organisasi mereka dan juga berdampak buruk pada karir rekan-rekan mereka. Meski demikian, ABC sudah berinvestasi banyak dalam membangun kredibilitas publik Tingle, dan tweet itu segera ditangani secara internal.</p>
<p>Direktur Pelaksana ABC David Anderson menyampaikan sedikit catatan – yang menurut saya masuk akal – ketika <a href="https://www.news.com.au/finance/business/media/abc-boss-grilled-over-political-correspondent-laura-tingles-smug-prime-minister-tweet/news-story/006f6f9c2e1afc81ab7cd374edef3fce">ia ditanya</a> saat sidang di Senat Australia terkait apakah organisasinya menegur Tingle. Dia menyebut tweet Tingle sebagai “keputusan yang kurang tepat”, namun mengatakan perlunya “proporsionalitas”.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1318814773765566471"}"></div></p>
<h2>Bahaya pembatasan yang berlebihan</h2>
<p>Bahaya yang lebih besar adalah bahwa jurnalis akan terjebak dalam kontroversi publik seputar pekerjaan mereka sendiri. Pada satu sisi, mereka jelas memiliki hak untuk membela diri. Namun masalahnya adalah godaan untuk terjerumus pada perdebatan remeh yang kerap dilakukan para pengkritik, dan akhirnya keluar dari standar profesional yang harusnya mereka terapkan.</p>
<p>Meskipun kontroversi publik di Ausralia itu fokus pada pelanggaran di media sosial yang tidak dihukum dengan sesuai, ada juga bahaya dan potensi ketidakadilan dalam pembatasan yang berlebihan.</p>
<p>Salah satu contoh isu penghukuman jurnalis atas aktivitas media sosial di Australia adalah yang terjadi pada komentator sepak bola SBS Scott McIntyre, yang mengunggah serangkaian tweet pada Hari Pasukan Australia dan Selandia Baru (ANZAC Day) pada tahun 2015 tentang “<a href="https://twitter.com/mcintinhos/status/591869048943706113?lang=en">pembudayaan invasi imperialis</a>”.</p>
<p>ANZAC Day adalah hari nasional di Australia dan Selandia Baru untuk memperingati semua warga Australia dan Selandia Baru yang telah bertugas dan gugur dalam peperangan, konflik dan operasi perdamaian.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/definisi-ujaran-kebencian-di-indonesia-terlalu-luas-gampang-dimanfaatkan-150743">Definisi 'ujaran kebencian' di Indonesia terlalu luas, gampang dimanfaatkan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Menteri Komunikasi pada saat itu, Malcolm Turnbull, menganggap tweet tersebut sebagai “<a href="https://www.theguardian.com/media/2015/apr/26/sbs-sports-reporter-scott-mcintyre-sacked-%20over-direspectful-anzac-tweets">pernyataan tercela yang pantas dikutuk</a>”, dan menghubungi kepala SBS, Michael Ebeid. Ebeid memecat McIntyre pada hari yang sama.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"592565174743244800"}"></div></p>
<p>Komisaris Hak Asasi Manusia, Tim Wilson kemudian dikabarkan mengatakan bahwa kebebasan berbicara McIntyre tidak dibatasi, dan bahwa klaim historisnya “akan dihakimi dengan sangat keras”.</p>
<p>Terlepas dari kredibilitas cuitannya, cuitan tersebut tidak memiliki hubungan dengan status McIntyre sebagai komentator sepak bola. Apakah keahlian dia di sepak bola menjadi kurang kredibel akibat pandangannya terkait tradisi ANZAC?</p>
<p>Kasus ini menggambarkan bahwa “kebenaran politik (<em>political correctness</em>)” dan “<em>cancel culture</em>” ada di seluruh spektrum politik — dan organisasi media akan terus bergulat dengan masalah ini seiring profil media sosial jurnalis terus berkembang.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/168656/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rodney Tiffen tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Jurnalis semestinya bebas berekspresi di media sosial. Namun, hal ini kerap menjadi dilema bagi organisasi media tempat mereka bekerja.Rodney Tiffen, Emeritus Professor, Department of Government and International Relations, University of SydneyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1705682021-10-26T04:45:13Z2021-10-26T04:45:13ZEmpat cara agar menggunakan media sosial menjadi pengalaman positif<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/428419/original/file-20211026-23-21pigl.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C534%2C7000%2C3070&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Pernahkah terlintas di benak kita beragam cara media sosial terjalin dalam kehidupan sehari-hari kita? Ini semakin nyata kita alami selama setahun terakhir; media sosial terbukti menjadi <a href="https://doi.org/10.1016/S2589-7500(20)30315-0">alat komunikasi penting</a> untuk berhubungan dengan keluarga dan teman, menyediakan dukungan sosial lewat komunitas daring, dan mendapat jawaban cepat dari pertanyaan mendesak rekan kita.</p>
<p>Di dunia, sebelum pandemi, diperkirakan <a href="https://www.statista.com/statistics/278414/number-of-worldwide-social-network-users/">3,4 miliar</a> orang menggunakan media sosial dan angka ini terus meningkat tiap tahunnya. Namun, cara kita menggunakan media sosial dapat menentukan apakah kita akan mendapatkan dampak positif atau negatif dalam hidup kita.</p>
<p>Penelitian tentang penggunaan media sosial termasuk di kalangan remaja dan dewasa menunjukkan hubungan positif, misalnya adanya <a href="https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2014.03.001">rasa ikatan</a> dengan pengguna lain dan <a href="https://doi.org/10.1177/1073274819841442">akses pada informasi</a>. Namun, akibat negatif terkait kesehatan mental, termasuk <a href="https://doi.org/10.1007/s10615-020-00752-1">depresi dan gangguan kecemasan</a>, juga ditemukan.</p>
<p>Penelitian kami fokus pada bagaimana teknologi digital mempengaruhi perilaku manusia, dan bagaimana kita bisa menggunakan teknologi ini untuk meningkatkan kesehatan kita.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/OHQ4fhWoeLs?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Laporan CNN tentang hubungan antara media sosial dan depresi.</span></figcaption>
</figure>
<h2>Perbandingan sosial dan media sosial</h2>
<p>Ungkapan “comparison is the thief of joy” (membanding-bandingkan akan merusak kegembiraan) berlaku juga di penggunaan media sosial. Peneliti telah menemukan hubungan antara penggunaan media sosial dan <a href="https://doi.org/10.1002/hbe2.227">FOMO (<em>fear of missing out</em> atau takut ketinggalan) dan pembandingan sosial</a>.</p>
<p>Karena media sosial adalah sesuatu yang relatif baru, penelitian terkait penggunaan teknologi digital ini untuk kesehatan juga baru muncul. Misalnya, ada riset menarik yang mendalami penggunaan media sosial dalam bentuk aplikasi interaktif (apps) untuk <a href="https://doi.org/10.1186/s12966-020-01043-1">berkomunikasi dan mendukung orang-orang meraih target-target pribadi dan menjaga kesehatan jiwa dan raga</a>.</p>
<p>Karena COVID-19 memicu peningkatan <a href="https://www.camh.ca/en/health-info/mental-health-and-covid-19">masalah kesehatan mental</a>, maka penting agar kita menjadi pengguna media sosial yang sadar agar bisa menggunakannya secara positif dan efekftif.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/komunitas-online-memang-berisiko-bagi-kaum-muda-tapi-mereka-juga-merupakan-sumber-dukungan-yang-penting-168290">Komunitas online memang berisiko bagi kaum muda, tapi mereka juga merupakan sumber dukungan yang penting</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Tips untuk mendapat pengalaman online yang positif</h2>
<p>Berdasarkan pada apa yang kami ketahui dari penelitian-penelitian yang sudah ada, ada cara-cara yang kita bisa lakukan saat ini untuk membantu mengelola media sosial dalam hidup kita.</p>
<p><strong>1. Pengingat waktu sosial:</strong> Gunakan <em>timer</em> atau aplikasi penghitung waktu untuk membatasi penggunaan media sosial berlebihan. Alat bantu ini bermanfaat untuk kesehatan mental karena penelitian menunjukkan bahwa membatasi penggunaan media sosial <a href="https://doi.org/10.1521/jscp.2018.37.10.751">tidak lebih dari 30 menit sehari</a> dapat mengurangi perasaan kesepian dan depresi. Hal ini bisa kita lakukan sesederhana dengan memasang pengingat, atau menggunakan aplikasi seperti <a href="https://www.forestapp.cc/">Forest</a> atau <a href="https://findyourphonelifebalance.com/">Space</a>.</p>
<p>Menetapkan pembatasan penggunaan media sosial dapat meningkatkan produktivitas juga - media sosial dapat menjadi pengganggu dalam <a href="https://doi.org/10.1016/j.addbeh.2020.10648">kehidupan sehari-hari, pekerjaan</a>, dan <a href="https://doi.org/10.1016/j.compedu.2019.02.005">tugas-tugas akademik</a>.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/404431/original/file-20210604-17-1m8e6qe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="ALT" src="https://images.theconversation.com/files/404431/original/file-20210604-17-1m8e6qe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/404431/original/file-20210604-17-1m8e6qe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/404431/original/file-20210604-17-1m8e6qe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/404431/original/file-20210604-17-1m8e6qe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/404431/original/file-20210604-17-1m8e6qe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/404431/original/file-20210604-17-1m8e6qe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/404431/original/file-20210604-17-1m8e6qe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Membatasi penggunaan dapat meningkatkan produktivitas kita.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>2. Aktivitas sosial:</strong> Ingatlah untuk tidak terus-menerus menatap layar. Salah satu cara adalah mengubah pengaturan dan mematikan notifikasi aplikasi, menyembunyikan aplikasi di dalam folder, atau bahkan menghapus aplikasi.</p>
<p>Terapkan kegiatan bebas-dari-layar lewat kegiatan fisik reguler, yang juga membantu mencegah <a href="https://doi.org/10.1016/j.chb.2018.04.045">ketergantungan pada media sosial</a>. <a href="https://doi.org/10.1089/cyber.2020.0255">Meningkatkan kegiatan fisik</a> dan menghabiskan lebih banyak <a href="https://doi.org/10.1016/j.healthplace.2018.03.001">waktu aktif di luar ruang</a> juga dapat membantu mengurangi stres dan depresi.</p>
<p><strong>3. Cemilan sosial:</strong> Ini bukan tentang menikmati cemilan sambil menelusuri media sosial! Jika makanan dapat digolongkan pada makanan tinggi nutrisi (misalnya apel dan wortel) yang baik untuk tubuh, dan makanan rendah nutrisi (misalnya gorengan dan permen) yang tidak begitu baik bagi tubuh, maka media sosial dapat kita golongkan secara serupa: ada kegiatan media sosial yang baik untuk kita dan ada yang tidak baik.</p>
<p>Usahakan untuk menggunakan media sosial dengan cara yang memberikan kita perasaan positif atau punya tujuan berguna. Penggunaan media sosial yang produktif dan positif misalnya untuk berkomunikasi dengan teman-teman dan keluarga yang suportif, atau untuk mencari informasi berguna. Sebelum berinteraksi di media sosial, berhati-hatilah agar tidak <a href="https://doi.org/10.1016/j.adolescence.2016.12.002">berbagi berlebihan (<em>overshare</em>) atau membuat postingan di saat cemas atau stres</a> karena dapat mengakibatkan pengalaman media sosial yang negatif.</p>
<p><strong>4. Pertanggungjawaban sosial:</strong> Kita perlu bertanggung jawab untuk diri sendiri dan orang lain atas penggunaan media sosial kita. Ini bisa berarti meminta bantuan keluarga, teman, dan rekan kerja yang kita percayai untuk membantu mengingatkan kita jika kita sibuk dengan layar ponsel saat bersama mereka. Atau, kita bisa juga memanfaatkan aplikasi pengawasan media sosial di ponsel kita untuk menentukan tujuan-tujuan kita dalam bermedia sosial dan menggunakan aplikasi untuk mencatat kemajuan kita.</p>
<p>Kita perlu menganggap media sosial sebagai sebuah alat yang memerlukan sedikit pelatihan agar kita dapat menggunakannya dengan baik. Dengan mencari strategi yang sesuai dengan kita untuk mengelola penggunaannya, kita bisa mendapatkan hubungan yang positif dan sehat lewat media sosial.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/170568/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Lisa Tang terafiliasi dengan University of Guelph dan Dietitians of Canada, dan sedang menerima beasiswa doktoral dari Social Sciences and Humanities Research Council (SSHRC) dan pendanaan dari Canadian Foundation for Dietetic Research (CFDR) untuk penelitian yang tidak terkait langsung dengan artikel ini. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Stephanie K. Nishi terafiliasi dengan Universitat Rovira i Virgili, Unity Health Toronto, dan Dietitians of Canada, dan sedang menjalani postdoctoral fellowship dari Canadian Institutes of Health Research (CIHR) untuk penelitian yang tidak terkait langsung dengan artikel ini. Dia juga anggota eksekutif sukarelawan untuk organisasi nirlaba Plant-Based Canada.</span></em></p>Pandemi membuat orang menghabiskan lebih banyak waktu daring untuk sekolah, bersosialisasi, dan bekerja. Agar penggunaan berdampak positif, kita perlu mengelola waktu dan aktivitas daring kita.Lisa Tang, PhD Candidate in Family Relations and Applied Nutrition, University of GuelphStephanie K. Nishi, Postdoctoral Fellow / Visiting Lecturer, Universitat Rovira i VirgiliLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1665022021-08-27T11:01:33Z2021-08-27T11:01:33ZDalam hubungan di sosial media, yang besar bukan berarti lebih baik<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/417510/original/file-20210824-13-nxat1i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C5176%2C3445&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Saat kita melihat jaringan online kita lewat analogi pipa, bukan prisma, jumlah yang kecil akan menjadi penting dan tampak berharga.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p><em>Lebih besar pasti lebih baik</em>. Banyak dari kita berpikir bahwa pernyataan ini benar adanya dalam membangun hubungan pertemanan, koneksi, dan pengikut online. Tapi sebuah <a href="https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2019.07.032">penelitian baru menyarankan</a> bahwa kebalikan dari pernyataan itu mungkin lebih baik: pengelolaan koneksi dengan jumlah kecil – namun terpercaya – akan lebih baik untuk hubungan jangka panjang. Ini tampak berlawanan dengan pemahaman umum dan juga disertai dengan sebuah risiko.</p>
<p>Kita sering merasa dituntut dan bahkan didorong oleh media sosial untuk mengembangkan jaringan kita. Mempertimbangkan semua petunjuk lewat fitur “orang yang mungkin Anda kenal” dan “siapa yang harus diikuti”. Kita semua menginginkan agar <a href="https://doi.org/10.1111/j.1083-6101.2008.00409.x"><em>sociometri</em></a> (jumlah teman atau pengikut yang diposting di sudut profil Anda) terlihat bagus.</p>
<h2>Jaringan sosial online dan offline</h2>
<p>Kedua jaringan <em>offline</em> dan <em>online</em>, jejaring sosial kita dapat berfungsi sebagaimana <a href="https://doi.org/10.1086/323038">prisma dan pipa</a>. </p>
<p>Sebagaimana prisma, platform media sosial menyiarkan ke orang lain seberapa besar kita disukai, serta juga pendapat, minat, aktivitas, dan lainnya. Mereka menandakan siapa kita, atau tujuan kita, ke jaringan sosial.</p>
<p>Sedang sebagai pipa, platform media sosial bertindak sebagai saluran bantuan dan sumber daya. Menggunakan jaringan kita sebagai pipa merupakan cara yang penting untuk membangun hubungan. Kita memberi dan menerima saran, advokasi, sokongan, dukungan emosional, dan hal-hal nyata (<a href="http://dx.doi.org/10.1561/0300000052">seperti yang dilakukan pengusaha, misalnya</a>).</p>
<p>Studi atas <a href="https://doi.org/10.1016/0148-2963(95)00161-1">jejaring tatap muka</a> secara umum menunjukkan bahwa, baik kita menggunakan jaringan sebagai prisma atau pipa, jumlah jaringan yang lebih besar akan lebih baik.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Sekelompok pengusaha duduk di meja" src="https://images.theconversation.com/files/403861/original/file-20210601-663-unv024.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/403861/original/file-20210601-663-unv024.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/403861/original/file-20210601-663-unv024.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/403861/original/file-20210601-663-unv024.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/403861/original/file-20210601-663-unv024.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/403861/original/file-20210601-663-unv024.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/403861/original/file-20210601-663-unv024.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Dalam jaringan online, keinginan untuk menanyakan sesuatu jarang muncul.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Namun, bagaimana dengan online?</h2>
<p>Kita berbondong-bondong berpindah ke jaringan media sosial seperti Facebook, Twitter, LinkedIn, dan Instagram karena dengan media tersebut, kita mudah untuk melihat, berbagi, dan menyimpan koneksi; memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan jaringan koneksi kita kapan pun itu. </p>
<p>Itulah yang membuat koneksi <em>online</em> dan <em>offline</em> sangat berbeda. </p>
<p>Kita tidak dapat mencari dan menemukan komentar yang kita buat enam hari lalu kepada seorang teman saat duduk bersama minum kopi. Namun, kita dapat menemukan dan membagikan ulang percakapan kita pada “teman” Facebook kita tiga tahun lalu. Ternyata itu perbedaan yang sangat penting.</p>
<p>Saat kita menggunakan jejaring <em>online</em> kita sebagai pipa, bukan prisma, hal-hal kecil itu menjadi penting dan tampak berharga. Dalam <a href="https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2019.07.032">studi terbaru atas seorang pengusaha Kanada</a>, tim peneliti kami menemukan poin berlawanan ini dan menjelaskan alasannya.</p>
<p>Kami menemukan sebuah penemuan yang lebih luas.</p>
<h2>Menggunakan jaringan online</h2>
<p>Agar orang benar-benar menggunakan jaringan <em>online</em> mereka sebagai pipa untuk sumber daya dan dukungan, tiga hal perlu disatukan. </p>
<p>Pertama, kita perlu percaya bahwa kita memiliki kemampuan untuk meminta atau memberikan sumber daya atau dukungan (disebut <em>exchange</em>, pertukaran). </p>
<p>Kedua, kita perlu memiliki cara untuk benar-benar membuat pertukaran terjadi. Dan akhirnya, kita perlu keinginan itu sendiri – keinginan untuk melakukan pertukaran.</p>
<p>Semua kemampuan melihat, memindai, berbagi, mencari, dan menyimpan lewat fasilitas digital pada jaringan media sosial mempermudah kita untuk percaya bahwa kita memiliki kemampuan dan pengaturan untuk menggunakan jaringan kita sebagai pipa. </p>
<p>Kita dapat dengan cepat dan mudah menanyakan sesuatu yang dibutuhkan kepada jaringan <em>online</em> kita dan mendapatkan tanggapan yang cepat. Tapi penelitian kami menunjukkan bahwa kita tidak selalu memiliki keinginan untuk bertanya.</p>
<p>Melalui wawancara dengan para pengusaha tadi, kami menemukan bahwa alasannya mungkin karena orang benar-benar khawatir tentang apa yang akan dipikirkan orang lain. </p>
<p>Persepsi <a href="https://doi.org/10.5465/amr.2009.0382">risiko penilaian sosial</a> ini dapat menghalangi pengusaha mendapatkan sumber daya yang bermanfaat dari jaringan <em>online</em> mereka. </p>
<p>Kami menduga bukan hanya pengusaha yang mengkhawatirkan hal ini. Itu karena risiko penilaian sosial yang dirasakan adalah produk dari runtuhnya audiens, yang mengurangi kesediaan kita untuk menjangkau secara online.</p>
<p><a href="https://doi.org/10.1177/1461444810365313">Menghilangnya audiens</a> terjadi saat kita menambahkan lebih banyak orang ke jaringan <em>online</em> kita. </p>
<p>Jaringan tersebut terdiri dari semua orang yang kita kenal baik, hingga orang-orang yang hampir tidak kita kenal; mencangkup koneksi pribadi, kenalan kerja, koneksi sukarelawan, koneksi kampung halaman, dan mereka yang memiliki minat dan hobi bersama.</p>
<p>Dengan membangun jaringan yang beragam dan besar ini, dan mengundang begitu banyak orang yang berbeda untuk bergabung, keinginan kita untuk meminta bantuan berkurang. Dengan semua fitur pencarian, melihat akun lain, dan berbagi hal itu, siapa yang tahu di mana permintaan kita akan akan menemukan jawabannya?</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Ipad menampilkan gambar beberapa orang di web untuk mengilustrasikan jejaring sosial" src="https://images.theconversation.com/files/403240/original/file-20210527-17-1rvs6l1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/403240/original/file-20210527-17-1rvs6l1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=428&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/403240/original/file-20210527-17-1rvs6l1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=428&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/403240/original/file-20210527-17-1rvs6l1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=428&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/403240/original/file-20210527-17-1rvs6l1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=537&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/403240/original/file-20210527-17-1rvs6l1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=537&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/403240/original/file-20210527-17-1rvs6l1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=537&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Dalam hubungan di sosial media, yang besar bukan berarti lebih baik.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Penelitian kami mengungkapkan bahwa banyak dari kita mempertimbangakan banyak risiko penilaian sosial saat meminta apa pun kecuali informasi dari jaringan <em>online</em> kita. </p>
<p>Kita khawatir bahwa saat memberikan permohonan bantuan, orang lain akan menilai diri kita sebagai individu lemah, penuh dengan ketidakyakinan, bingung, terlalu mengambil hal secara personal atau bahkan berkelakuan tidak sopan, dan membuat kita kurang bersedia untuk mencari bantuan. </p>
<p>Implikasi sisi gelap dari <em>lebih besar lebih baik</em> di jejaring media sosial ini jarang dibahas.</p>
<p>Bila ini semua saling berhubungan, apa yang dapat kita lakukan?</p>
<p>Untuk membuat jaringan media sosial kita berguna sebagai pipa, kami menyarankan untuk membuat <em>jaringan yang dipercaya</em>. Ini dibuat khusus untuk menjaga jumlah jaringan tetap kecil — ya, kecil. </p>
<p>Hanya tambahkan orang-orang yang akan mendukung, bukan menghakimi secara negatif, atas setiap permintaan bantuan yang mungkin Anda buat — maka mereka adalah orang-orang yang dapat Anda percaya.</p>
<p>Jaringan yang dipercaya, cenderung sangat tinggi dalam menerapkan <em>norma resiprositas</em>, atau norma asas timbal balik, karena semua anggota merasa bahwa jaringan tersebut adalah tempat yang aman untuk meminta dan memberi bantuan. </p>
<p>Ini menjadi jaringan pipa yang sangat berguna di mana yang kecil – tidak besar – terasa sangat berharga.</p>
<p>Maka, jika Anda ingin menggunakan jaringan <em>online</em> Anda sebagai prisma untuk memberi sinyal pada dunia — tetaplah besar. Tapi jika Anda ingin memberi dan mendapatkan bantuan, buatlah jaringan kepercayaan kecil yang dibangun dengan tujuan khusus di media sosial. Kami pikir Anda akan senang bila telah melakukannya.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/166502/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Claudia Smith tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Jika Anda ingin memberi dan mendapatkan bantuan dari jaringan online Anda, penelitian baru menyarankan agar jumlah “teman” Anda tetap rendah.Claudia Smith, Assistant Professor, Gustavson School of Business, University of VictoriaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1568682021-03-12T05:59:23Z2021-03-12T05:59:23ZKomunitas gay di Indonesia menggunakan media sosial untuk meruntuhkan batasan dan stigma<p>Indonesia tidak memiliki hukum nasional yang melarang <a href="http://ejurnal.untag-smd.ac.id/index.php/LG/article/view/3385">homoseksualitas</a> kecuali <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/47406/uu-no-1-tahun-1974">Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan</a>. UU ini mengatur bahwa perkawinan yang sah hanya perkawinan antara pasangan heteroseksual.</p>
<p>Namun, diskriminasi yang lebih luas terjadi pada komunitas LGBTQ (<em>Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, and Queer</em>).</p>
<p>Dalam lima tahun terakhir, diskriminasi terhadap kelompok gender dan seksual minoritas di Indonesia <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/1323238X.2019.1708084">meningkat</a>. <a href="https://www.aruspelangi.or.id/">Arus Pelangi</a>, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada advokasi hak LGBTQ, mencatat berbagai tindakan diskrimnasi, mulai dari <a href="https://kbr.id/nasional/09-2019/catatan_kelam_12_tahun_persekusi_lgbt_di_indonesia/100636.html"><em>bullying</em> hingga pembunuhan</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="A screen capture of a news from Indonesian portal Detik.com. The title reads 'Sadistic! This Grobogan guy stab his gay couple to death'." src="https://images.theconversation.com/files/387979/original/file-20210305-15-1pcu7jy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/387979/original/file-20210305-15-1pcu7jy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=638&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/387979/original/file-20210305-15-1pcu7jy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=638&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/387979/original/file-20210305-15-1pcu7jy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=638&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/387979/original/file-20210305-15-1pcu7jy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=802&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/387979/original/file-20210305-15-1pcu7jy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=802&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/387979/original/file-20210305-15-1pcu7jy.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=802&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Tangkapan layar sebuah berita yang terbit di portal Detik.com.</span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://ejournal.unitomo.ac.id/index.php/jsk/article/view/1882">Media di Indonesia punya peranan penting</a> dalam menciptakan stigma terhadap komunitas LGBTQ. <a href="https://so03.tci-thaijo.org/index.php/jpss/article/view/241133">Prasangka anti-gay media</a> terlihat dari judul berita, sudut pandang pemberitaan, pemilihan kata dan pemilihan narasumber mereka. </p>
<p>Marginalisasi dan stigma tersebut menyebabkan komunitas gay di Indonesia menghindari untuk tampil di ruang publik dan media. </p>
<h2>Mengalahkan Stigma</h2>
<p><a href="https://doi.org/10.1080/17513057.2021.1952292">Kajian terbaru saya</a> menemukan bahwa komunitas gay di Indonesia menggunakan media sosial untuk mengubah stigma. </p>
<p>Saya melakukan studi ini dari Juli 2020 hingga Januari 2021, mengumpulkan data (unggahan, penjelasan unggahan (<em>caption</em>), video, dll) dari berbagai media sosial seperti TikTok, Instagram dan Twitter. Saya juga mewawancarai 10 orang gay. </p>
<p>Saya menemukan bahwa komunitas gay telah mengembangkan strategi di media sosial untuk melawan stigma. Strategi tersebut terbagi dalam empat kategori:</p>
<ol>
<li>literasi tentang gay</li>
<li>gerakan sosial</li>
<li>pengungkapan orientasi</li>
<li>berbagi keintiman.</li>
</ol>
<h2>Literasi gay</h2>
<p>American Psychiatric Association (APA) di Amerika Serikat (AS) menghapus homoseksualitas dari daftar kelainan mental dalam “Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder” pada 1973; Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) <a href="https://www.psychologytoday.com/us/blog/hide-and-seek/201509/when-homosexuality-stopped-being-mental-disorder">mengikuti langkah tersebut</a> pada 1992.</p>
<p>Hingga kini, masyarakat Indonesia terus melabel homoseksualitas sebagai perilaku seksual menyimpang. Melalui media sosial, komunitas gay mencoba melawan pelabelan itu dengan menghindari ekspresi seksualitas yang ekstrem.</p>
<p>Lewat media sosial, komunitas gay mencela tindakan yang memperburuk stigma terhadap mereka.</p>
<p>Seorang informan dengan serius menyampaikan pesan di akun Twitternya bahwa ia tidak akan mengikuti akun anonim (juga dikenal sebagai akun “alter”) yang memiliki konten pornografi.</p>
<p>Informan lain mengatakan: “Menyedihkan bahwa ada individu gay yang tidak bertanggung jawab. Mereka menciptakan dampak yang merugikan bagi seluruh komunitas gay. Tindakan mereka yang ceroboh kian mengkonfirmasi stigma. Seharusnya mereka justru menggunakan media sosial untuk mengubah stigma.”</p>
<h2>Gerakan sosial</h2>
<p>Orang Indonesia masih mencap HIV/AIDS sebagai penyakit kelompok gay dan menganggap praktik homoseksual sebagai <a href="https://www.republika.co.id/berita/pz5dme349/menyebarnya-hiv-dan-kebebasan-kaum-homoseksual">penyebab utama penularan HIV</a>.</p>
<p>Namun dengan menggunakan media sosial, komunitas gay telah mengkampanyekan kesehatan seksual dengan tujuan meningkatkan kesadaran tentang HIV/AIDS.</p>
<p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.instagram.com/p/CIm75DYn-Sz","accessToken":"127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20"}"></div></p>
<p>Salah satu pengguna Instagram, <a href="https://www.instagram.com/acepgates/">@acepgates</a>, menggunakan akunnya untuk mengirim pesan pemberdayaan bagi orang yang hidup dengan HIV/AIDS. Dia mendorong mereka untuk melakukan tes HIV secara berkala.</p>
<p>Melalui media sosial, @acepgates menampilkan dirinya sebagai orang dengan HIV/AIDS yang sehat, sukses, bahagia dan menjalani hidup sepenuhnya.</p>
<p>Temuan saya memperlihatkan komunitas gay peduli dengan kesehatan seksual seperti halnya komunitas heteroseksual. Dengan mempromosikan kesehatan seksual, komunitas gay meningkatkan kesejahteraan sosial secara umum.</p>
<h2>Pengungkapan orientasi</h2>
<p>Ada mitos yang beredar bahwa homoseksualitas adalah sebuah <a href="https://lifestyle.kompas.com/read/2016/02/09/190000923/Orientasi.Seksual.LGBT.Menular.atau.Tidak.">penyakit</a>. </p>
<p>Di Indonesia, ketika seseorang mengungkapkan bahwa dirinya adalah seorang gay, <a href="https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/02/160210_trensosial_lgbt">tidak jarang</a> orang-orang bereaksi dengan mengatakan “kamu bisa sembuh”.</p>
<p>Komunitas gay Indonesia menggunakan media sosial dalam mengungkap orientasi mereka. Salah satu cara yang paling sederhana adalah dengan mengunggah <em>icon</em> bendera pelangi di profil mereka.</p>
<p>Mereka juga menggunakan media sosial untuk mendidik masyarakat. Seorang informan mengungkapkan orientasinya dengan mengunggah video di TikTok, mengatakan: “LGBT bukanlah penyakit. Ingat itu!”</p>
<p>Unggahan itu mengundang diskusi positif di akunnya. Seorang memberikan respons dengan bercanda: “Kalau kamu mau izin tidak masuk sekolah, ibu kamu bisa menulis surat dengan alasan: anak saya sakit gay.”</p>
<p>Cara tersebut mengelola dan menghapus stigma melalui langkah yang tidak agresif namun jenaka. </p>
<p>Pada akhirnya, cara tersebut mengarah pengguna media sosial dari berbagai orientasi seksual untuk berdiskusi dengan baik. Hal tersebut mendorong publik untuk mengetahui lebih banyak tentang komunitas gay, dan bukan mencerca mereka.</p>
<h2>Berbagi keintiman</h2>
<p>Karena publik dan media mencap keintiman gay sebagai penyimpangan, komunitas gay menggunakan media sosial untuk menolak tuduhan bahwa komunitas gay menyukai pergaulan bebas.</p>
<p>Seorang informan mengatakan: “Masyarakat tidak tahu, kesetiaan penting dalam hubungan gay. Keintiman itu sakral dan indah. Kami juga berkomitmen pada hubungan monogami.”</p>
<p>Lewat serangkaian unggahan di Instagram, @acepgates mendorong sebuah diskusi yang sehat tentang apakah pacaran adalah melulu soal seks.</p>
<p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.instagram.com/p/CIzvyDPnp5V/?igshid=19442ayl1h39a","accessToken":"127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20"}"></div></p>
<h2>Media sosial sebagai ruang yang lain</h2>
<p>Dalam masyarakat yang meminggirkan LGBTQ melalui stigma, komunitas gay mengalami diskriminasi di bidang sosial, agama, ekonomi, politik dan hukum.</p>
<p>Media sosial telah menjadi ruang bagi komunitas gay untuk berbagi cerita, pengalaman, emosi, dan sikap dalam konteks kehidupan sehari-hari. </p>
<p>Mereka menumbangkan stigma dengan mengembangkan strategi kreatif dan positif di media sosial.</p>
<p>Hasil kajian ini menunjukkan adanya penguatan bagi kesadaran publik tentang komunitas gay. Lewat empat strategi tersebut, media sosial <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00918369.2018.1511131">memberikan ruang otonom bagi komunitas gay</a> untuk mendekonstruksi stigma.</p>
<p>Media sosial telah menjadi salah satu alat yang memberdayakan kelompok LGBTQ dalam membuat klaim terhadap ruang otonom. Mereka memberi komunitas gay akses ke ranah publik. </p>
<p>Hasil penelitian ini menjadi bagian dari perjalanan kita menuju masyarakat bebas stigma pada masa depan, yang mudah-mudahan tidak lama lagi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/156868/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Endah Triastuti tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Komunitas gay Indonesia menggunakan media sosial untuk meruntuhkan sigma lewat empat strategi.Endah Triastuti, Lecturer, Researcher, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1543762021-02-03T10:01:13Z2021-02-03T10:01:13ZTwitter melepas kunci akses data: mengapa platfrom media sosial harus membuka data pada peneliti<p>Setelah tertunda sejak pertengahan tahun lalu, akhir Januari kemarin Twitter mengumumkan untuk <a href="https://www.theverge.com/2021/1/26/22250203/twitter-academic-research-public-tweet-archive-free-access">membuka akses data</a> pada peneliti, terutama yang berasal dari kampus. </p>
<p>Twitter juga mengatakan akan membuka lebih banyak data kepada pengembang pihak ketiga. </p>
<p>Sebelumnya, Facebook, perusahaan penyedia platform media sosial dengan pengguna terbesar di dunia, membuka akses data Facebook dan Instagram ke peneliti melalui <a href="https://www.facebook.com/formedia/blog/crowdtangle-for-academics-and-researchers">Crowdtangle</a> -— alat yang dimiliki dan dioperasikan oleh Facebok untuk merekam percakapan publik.</p>
<p>Kebijakan kedua platform tersebut sebenarnya sudah ditunggu lama oleh para peneliti karena selama ini akses terhadap data percakapan sangat terbatas. </p>
<p>Bagi Indonesia – negara dengan salah satu pengguna media sosial terbesar, keterbukaan data penting untuk riset dan kajian yang berdampak bagi masyakarat.</p>
<p>Misalnya, penting bagi publik mengetahui data terkait iklan politik, baik isi, pemasangnya, dan kelompok pemirsa yang disasar untuk menghindari manipulasi terhadap pemilih yang menggunakan media sosial. </p>
<h2>Pentingnya data</h2>
<p>Dalam pengalaman saya bekerja di <a href="https://smartlabohiou.com/">Social Media Research Team Lab (SMART Lab)</a> di Ohio University, AS, keterbatasan data yang dibuka oleh platform media sosial sangat berpengaruh kepada topik penelitian, metode penelitian, sampel, dan hasil analisis. </p>
<p>Dalam ilmu sosial, keterbatasan data ini juga membatasi pemahaman peneliti terhadap fenomena yang terjadi. </p>
<p>Alih-alih mampu menginvestigasi sebuah fenomena dengan menggunakan <em>big data</em>, para peneliti akhirnya hanya dapat melakukan <a href="https://www.poynter.org/fact-checking/2019/these-researchers-are-getting-access-to-facebook-data-to-study-misinformation/">kajian-kajian kualitatif</a> dari unggahan di media sosial.</p>
<p>Sebagai contoh, Twitter awalnya membatasi pengumpulan data hanya pada tujuh hari terakhir.</p>
<p>Jika peneliti ingin membandingkan sebuah gerakan politik di Twitter, misalnya, yang terjadi saat ini dengan kejadian di tahun-tahun sebelumnya, maka data tidak akan tersedia. </p>
<p>Sehingga, sampel yang tersedia tidak dapat dianalisis dan dimaknai lebih lanjut. </p>
<p>Padahal, studi gerakan politik di tahun-tahun lampau penting, misalnya untuk organisasi masyarakat sipil yang ingin mengadvokasikan isu-isu publik.</p>
<p>Selain pada pembatasan waktu, Twitter juga membatasi <a href="https://www.theverge.com/2020/8/12/21364644/twitter-api-v2-new-access-tiers-developer-portal-support-developers">jumlah dan jenis data yang dikumpulkan</a>. </p>
<p>Hal ini menyulitkan peneliti yang khususnya akan menganalisis tentang jaringan penyebaran disinformasi. </p>
<p>Jaringan komunikasi merupakan <a href="https://ejournal.ukm.my/mjc/article/view/28954">akumulasi interaksi</a> yang terjadi di platform, sehingga penting untuk mengetahui siapa yang pertama kali menyebarkannya, jaringan yang mana, dan bagaimana bentuk penyebarannya. Jumlah data akan menentukan analisis mengenai jaringan ini. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/memahami-cara-kerja-buzzer-politik-indonesia-125243">Memahami cara kerja _buzzer_ politik Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Platform harus membuka data</h2>
<p>Sejak 2012, Twitter <a href="https://www.theverge.com/2012/8/20/3250218/developers-react-twitter-api-rules">membatasi</a> akses data oleh pihak ketiga, sedangkan Facebook membatasi datanya sejak dipanggil oleh Senat Amerika Serikat (AS) karena <a href="https://www.voanews.com/usa/zuckerberg-apologizes-data-breach-congressional-testimony">pelanggaran privasi</a>.</p>
<p>Meski Facebook telah membuka akses data, beberapa peneliti masih mengganggap kebijakan Facebook ini hanya strategi hubungan masyarakat (humas) semata untuk mengurangi <a href="https://www.nature.com/articles/d41586-020-00828-5">tekanan dan kritik</a> akibat skandal Cambridge Analytica dan maraknya misinformasi yang beredar di AS. </p>
<p>Selain itu, Mozilla Foundation dan beberapa peneliti juga mengatakan bahwa Facebook, Twitter, dan Google belum transparan dalam menyediakan antarmuka pemrograman aplikasi (<em>application programming interface</em>, API) terkait <a href="https://blog.mozilla.org/blog/2019/03/27/facebook-and-google-this-is-what-an-effective-ad-archive-api-looks-like/">iklan politik</a>. API memungkinkan pemogram lain untuk berinteraksi dengan sebuah sistem operasi.</p>
<p>Transparansi data, khususnya untuk kepentingan penelitian, merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan penyedia platform atas sistem dan algoritma yang mereka bangun. </p>
<p>Saat ini, dengan <a href="https://www.hootsuite.com/resources/digital-trends">4,2 miliar pengguna aktif</a> di seluruh dunia, platform media sosial merupakan ruang publik baru, tempat berbagai pihak berupaya untuk menyebarkan ide, membangun agenda, dan memengaruhi emosi publik dengan memanfaatkan media sosial. </p>
<p>Dibutuhkan kerjasama kolektif antara berbagai pihak, utamanya dari kalangan peneliti, jurnalis, dan komunitas pengembang, yang memiliki kepakaran masing-masing, untuk memastikan ruang publik di media sosial membawa lebih banyak manfaat daripada kerusakan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/ada-hoaks-di-balik-demo-membedah-keberhasilan-strategi-gaslighting-pemerintah-148533">"Ada hoaks di balik demo": membedah keberhasilan strategi _gaslighting_ pemerintah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Dampaknya untuk riset di Indonesia</h2>
<p>Sebagai negara yang dengan pengguna media sosial terbesar ketiga dan salah satu yang teraktif di dunia, media sosial merupakan bagian dari penting dari keseharian orang Indonesia. </p>
<p>Sayangnya, riset-riset tentang Indonesia dengan menggunakan kajian kuantitatif dari pengumpulan <em>big data</em> di media sosial masih terbatas. </p>
<p>Hal ini tidak saja merugikan kalangan peneliti, namun juga berdampak pada kualitas informasi yang beredar di masyarakat. </p>
<p>Meski jurnalis dan komunitas cek fakta sudah terlatih mengecek kebenaran informasi, namun kemampuan ini perlu diimbangi dengan kemampuan menganalisis sumber penyebaran hoaks, mengenali pola penyebaran informasi, mengenali pihak yang membangun agenda pada sebuah isu, dan mengenali perilaku bot dan akun-akun palsu. </p>
<p>Dengan demikian, jurnalis tidak akan terjebak memberitakan agenda-agenda yang memang secara sistematis dibangun dan digaungkan di media sosial oleh pihak-pihak tertentu, misalnya <a href="https://theconversation.com/memahami-cara-kerja-buzzer-politik-indonesia-125243">pendengung-pendengung (<em>buzzer</em>)</a> <a href="https://www.cnbcindonesia.com/tech/20191004161417-37-104536/wow-jadi-segini-bayaran-buzzer-politik-di-indonesia">bayaran aktor politik</a>.</p>
<p>Selama ini, dalam konteks politik Indonesia, pemerintah menggunakan alasan bahwa publik terperdaya hoaks sebagai narasi utama untuk <a href="https://theconversation.com/ada-hoaks-di-balik-demo-membedah-keberhasilan-strategi-gaslighting-pemerintah-148533">mengalihkan isu</a>, <a href="https://theconversation.com/pembatasan-internet-di-papua-ancam-demokrasi-dan-kebebasan-berpendapat-seluruh-rakyat-indonesia-122263">mematikan akses internet</a>, bahkan <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/04/06/criticism-not-an-insult-polices-plan-to-nab-slanderers-of-govt-over-covid-19-questioned.html">membungkam kritik terhadap pemerintah</a>. </p>
<p>Dengan semakin terbukanya platform atas data mereka, maka peneliti dan jurnalis dapat mengimbangi narasi tersebut berdasarkan data-data dari platform. </p>
<p>Di sisi lain, peneliti juga dapat membantu platform memberikan peringatan dan memahami lebih baik jaringan penyebaran hoaks di Indonesia, maupun perilaku masyarakat dalam menggunakan media sosial.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/154376/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ika Karlina Idris tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sebagai ruang publik baru, media sosial memiliki data penting bukan saja untuk penelitian ilmiah, tapi juga agar peneliti dapat terlibat mengatasi berbagai permasalahan di masyarakat.Ika Karlina Idris, Dosen Paramadina Graduate School of Communication, Paramadina University Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1507432020-11-30T04:22:01Z2020-11-30T04:22:01ZDefinisi ‘ujaran kebencian’ di Indonesia terlalu luas, gampang dimanfaatkan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/371701/original/file-20201127-18-72w9ax.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://pixabay.com/illustrations/apps-social-media-networks-internet-426559/">Gerd Altman/Pixabay</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Kasus ujaran kebencian - yang baru-baru ini berujung vonis <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201119092502-12-571726/jerinx-divonis-1-tahun-2-bulan-penjara-kasus-idi-kacung-who">penjara</a> untuk musikus I Gede “Jerinx” Ari Astina - tidak jarang terjadi.</p>
<p>Pada 2018, misalnya, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mencatat <a href="https://www.beritasatu.com/jaja-suteja/nasional/561294/2019-polri-catat-kasus-hoax-meningkat-tajam">255 kasus</a> terkait ujaran kebencian. </p>
<p>Vonis Jerinx kembali memunculkan pro dan kontra terkait definisi ujaran kebencian di dunia maya. </p>
<p>Tidak hanya di Indonesia, pro dan kontra juga terjadi di negara-negara lain yang memiliki kebijakan terkait dengan ujaran kebencian, seperti <a href="https://www.forbes.com/sites/federicoguerrini/2020/03/03/the-problems-with-germanys-new-social-media-hate-speech-bill/?sh=5008036b592a">Jerman</a>, <a href="https://www.thehindu.com/opinion/lead/define-the-contours-of-hate-in-speech/article32655176.ece">India</a>, dan <a href="https://www.straitstimes.com/singapore/parliament-hate-speech-may-be-handled-differently-elsewhere-but-singapore-must-be-strict">Singapura</a>. </p>
<p>Pendefinisian ujaran kebencian di beberapa negara itu dikhawatirkan menekan kebebasan berpendapat, menghalangi demokrasi, dan memperbesar ruang atas sensor konten di internet.</p>
<p>Dalam konteks pendefinisian ujaran kebencian di Indonesia, ada dua masalah yang patut kita diskusikan lebih lanjut. </p>
<p>Pertama, definisi ujaran kebencian yang cenderung terlalu luas. </p>
<p>Kedua, asumsi sederhana terhadap efek media sosial. Apakah sebuah unggahan seorang individu di akun media sosial pribadinya mampu menimbulkan dampak destruktif? </p>
<h2>Mendefinisikan ujaran kebencian</h2>
<p>Hingga saat ini, <a href="https://asiacentre.org/wp-content/uploads/2020/07/Hate-Speech-in-Southeast-Asia-New-Forms-Old-Rules.pdf">tidak ada definisi tunggal</a> yang digunakan secara global untuk mendefinisikan ujaran kebencian. </p>
<p><a href="https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000233231">Laporan</a> UNESCO pada 2015 justru menyebutkan bahwa meskipun terdapat beberapa kesepakatan internasional terkait definisi ujaran kebencian, tetap diperlukan ruang untuk pendefinisian berdasar konteks lokal di masing-masing daerah.</p>
<p>Berdasarkan beberapa <a href="https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000233231">konvensi internasional</a>, definisi ujaran kebencian dikelompokkan menjadi empat kategori. </p>
<p>Pertama, definisi yang melihat ujaran kebencian sebagai penyebaran pesan yang mengandung kebencian atas ras atau etnis tertentu. Kedua, definisi yang menimbang ujaran kebencian sebagai seruan terhadap permusuhan, diskriminasi, dan kejahatan. </p>
<p>Kategori ketiga mencakup ujaran kebencian sebagai hasutan untuk melakukan tindak terorisme. Dan dalam kategori keempat, ujaran kebencian didefinisikan sebagai hasutan untuk melakukan genosida. </p>
<p>Dalam tiga dari empat definisi tersebut, sebuah pesan dikategorikan sebagai ujaran kebencian apabila memiliki unsur ajakan untuk melakukan tindakan kekerasan.</p>
<p>Selain konvensi internasional, definisi terkait ujaran kebencian juga dirumuskan oleh platform media sosial. Definisi ini kemudian dijadikan dasar perusahaan media sosial untuk melakukan tindakan atas sebuah konten yang dianggap bermasalah. </p>
<p>Perusahaan media sosial mengimplementasikan definisi ini secara global tanpa memandang hukum lokal sebuah negara. </p>
<p><a href="https://www.facebook.com/communitystandards/hate_speech">Facebook</a>, misalnya, mendefinisikan ujaran kebencian sebagai serangan langsung kepada orang terkait karakteristik yang menurut Facebook harus dilindungi, seperti ras, etnis, kewarganegaraan, dan lain sebagainya. </p>
<p>Lebih lanjut, Facebook menjelaskan serangan langsung sebagai ujaran keras atau tidak memanusiakan, stereotip berbahaya, merendahkan, pengucilan, atau pengasingan. </p>
<p><a href="https://help.twitter.com/en/rules-and-policies/hateful-conduct-policy">Twitter</a> dan <a href="https://support.google.com/youtube/answer/2801939?hl=en">Youtube</a> juga memiliki definisi yang senada dengan Facebook terkait ujaran kebencian. </p>
<p>Pendefinisian ujaran kebencian oleh platform-platform tersebut menekankan pada batasan isu dan bentuk serangan.</p>
<p>Di Indonesia sendiri, definisi ujaran kebencian dapat ditemui di UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (<a href="https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%202016.pdf">UU ITE</a>) dan surat edaran Polri. </p>
<p>UU ITE melarang “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)”. </p>
<p>Sementara <a href="http://remotivi.or.id/amatan/565/diskursus-hate-speech-ilmu-pengetahuan-yang-tunduk-pada-surat-edaran-aparat">Surat Edaran Kepala Polri No. SE/6/X/2015</a> menjelaskan bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP. </p>
<p>Bentuk tindak pidana tersebut adalah penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, hasutan, penyebaran berita bohong, dan tindakan yang memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, atau konflik sosial. </p>
<p>Berbeda dengan konvensi internasional dan platform sosial media, definisi di Indonesia ini memiliki bentuk tindakan dan cakupan isu yang luas. </p>
<p>Definisi yang luas ini berpotensi menjadikan dua aturan ini sebagai aturan karet yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/yang-luput-dibicarakan-dari-kasus-jerinx-kita-tak-punya-aturan-jelas-melawan-hoax-misinformasi-dan-disinformasi-145172">Yang luput dibicarakan dari kasus Jerinx:
kita tak punya aturan jelas melawan hoax, misinformasi dan disinformasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Dampak unggahan</h2>
<p>Denis McQuail, profesor komunikasi di
University of Amsterdam, Belanda, <a href="https://uk.sagepub.com/en-gb/eur/mcquail%E2%80%99s-media-and-mass-communication-theory/book243524">berargumen</a> bahwa audiens bukan makhluk pasif yang menyerap keseluruhan pesan yang mereka terima. </p>
<p>Penerimaan pesan ditentukan oleh beberapa faktor, seperti media, lingkungan, rangkaian pengalaman, serta keyakinan yang telah mereka miliki sebelumnya. </p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13698230.2019.1576006?casa_token=HktEN96tGGQAAAAA%3A11J7fFNoUjw_rNmcaEyqFk7XHU3RGm_FHQp8FTg4ZDx_ChUmB6INw_vqJf9o2R4oZobPpoJXJr3qBek&journalCode=fcri20">Katherine Gelber</a>, profesor ilmu politik dan kebijakan publik di University of Queensland, Australia, berargumen bahwa ujaran kebencian bisa berdampak destruktif apabila pengirim pesan memiliki kekuatan relasional dan struktural atas target audiensnya baik secara formal maupun informal. </p>
<p>Kekuatan relasional dan struktural mengacu pada kemampuan pemilik pesan untuk berada di posisi yang lebih superior dibanding audiensnya sehingga dapat memberikan pengaruh atas pesan yang diberikan. Posisi yang superior ini didapatkan melalui legitimasi formal (misalnya jabatan) maupun informal (posisi sosial). </p>
<p>Misalnya, cuitan Donald Trump memiliki kekuatan besar karena jabatannya sebagai <a href="https://twitter.com/realDonaldTrump">presiden Amerika Serikat</a>; atau postingan Abdul Somad yang memiliki <a href="https://www.instagram.com/ustadzabdulsomad_official/?hl=en">jutaan pengikut</a> di Instagram juga memiliki kekuatan besar akibat posisi sosial dia sebagai tokoh agama. </p>
<p><a href="https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000233231">Studi</a> lainnya menambahkan bahwa selain popularitas komunikator, faktor lain yang berpengaruh adalah kondisi emosi audiens, bentuk pesan yang berupa ajakan, serta konteks sejarah dan sosial. </p>
<p>Oleh karena itu, asumsi bahwa sebuah pesan - apalagi berupa unggahan di akun pribadi - oleh seorang individu dapat langsung memengaruhi perilaku individu lain tanpa melihat lebih jauh posisi individu tersebut di masyarakat dan konteks sosial cenderung menyederhanakan hubungan media dan audiens.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/uu-ite-untuk-kasus-kekerasan-seksual-tepatkah-144876">UU ITE untuk kasus kekerasan seksual, tepatkah?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Literasi digital dan narasi sandingan</h2>
<p>Bagaimanapun, ujaran kebencian di dunia digital merupakan isu serius dan sepatutnya diantisipasi. </p>
<p>Ujaran kebencian seringkali diasosiasikan dengan meningkatnya kejahatan terhadap kaum minoritas, seperti terjadi pada <a href="https://edition.cnn.com/2018/10/27/us/pittsburgh-synagogue-active-shooter/index.html">penembakan di sinagoge di Amerika Serikat</a> dan tragedi etnis <a href="https://www.ft.com/content/2003d54e-169a-11e8-9376-4a6390addb44">Rohingya di Myanmar</a>.</p>
<p>Menurut saya, selain perlu meninjau ulang definisi ujaran kebencian, para pemangku kepentingan perlu melakukan beberapa aksi kolaborasi.</p>
<p>Pertama, sosialisasi literasi digital dan cara berpikir kritis kepada pengguna internet, baik dalam kapasitas mereka sebagai pencipta maupun penikmat konten.</p>
<p>Pengguna perlu memiliki pemahaman atas tentang perbedaan karakteristik media sosial dan konvensional, cara bermedia sosial yang baik, perlunya verifikasi informasi yang diterima, hingga pemahaman risiko atas konten yang mereka buat atau sebarkan. </p>
<p>Kedua, perlunya menghadirkan narasi kontra yang dapat menandingi konten terkait ujaran kebencian yang telah beredar. Konten positif dan narasi terkait keberagaman perlu dibuat lebih masif dan menarik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/150743/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dewa Ayu Diah Angendari tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Batasan definisi ujaran kebencian di Indonesia terlalu luas. Ada pula asumsi unggahan seseorang di medsos pribadi bisa berdampak sangat besar.Dewa Ayu Diah Angendari, Lecturer at Department of Communication Science; Researcher at Center for Digital Society, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1373852020-04-28T06:57:59Z2020-04-28T06:57:59ZRiset COVID-19: sikap menyalahkan orang lain dominan di percakapan Twitter di Indonesia dan Malaysia<p>Seiring dengan makin menyebarnya COVID-19 di negara-negara Asia Tenggara, masyarakat di Indonesia dan Malaysia ternyata cenderung menyalahkan orang lain sebagai penyebab pandemi ini.</p>
<p>Di Indonesia, orang-orang percaya bahwa virus tersebut masuk ke Indonesia karena pemerintah lalai mencegah pekerja dan wisatawan Cina masuk ke wilayah Indonesia. Pada 28 April, Indonesia telah mencatat <a href="https://www.covid19.go.id/">9.096 kasus positif COVID-19</a> dengan angka kematian tertinggi di wilayah Asia Tenggara.</p>
<p>Sementara itu di Malaysia, masyarakatnya cenderung menyalahkan sekelompok Muslim yang mengumpulkan 16.000 anggotanya dalam <a href="https://www.nst.com.my/news/nation/2020/04/583127/sri-petaling-tabligh-gathering-%20tetap-msias-terbesar-covid-19-cluster">acara tabligh akbar</a>. </p>
<p>Acara tersebut telah menyebabkan <a href="https://www.nst.com.my/news/nation/2020/03/577797/time-help-tabligh-participants-not-blame-them-says-dr%20-noor-hisham">kenaikan drastis kasus positif COVID-19 di Malaysia</a>. Hingga 28 April, Malaysia mencatat hampir <a href="https://www.worldometers.info/coronavirus/">6.000 kasus positif</a> </p>
<p>Kami menemukan adanya kesamaan ini setelah meneliti percakapan Twitter di Indonesia dan Malaysia, sepanjang Maret 2020. </p>
<p>Sejak pertama diumumkannya kasus positif pada Januari, percakapan tentang COVID-19 telah membanjiri <a href="https://time.com/5802802/social-media-coronavirus/">media sosial dan internet</a>, termasuk juga di Indonesia dan Malaysia.</p>
<p>Mengingat <a href="https://theconversation.com/lack-of-internet-access-in-southeast-asia-poses-challenges-for-students-to-study-online-amid-covid-19-%20pandemic-133787">pengguna media sosial yang sangat aktif</a> di kedua negara tersebut, kami berusaha menganalisis percakapan media sosial untuk membantu memahami opini publik tentang COVID-19.</p>
<p>Dalam penelitian terbaru kami yang belum dipublikasikan ini, kami menemukan bagaimana sikap menyalahkan orang lain ternyata mendominasi percakapan seputar stigma tentang COVID-19 di kedua negara.</p>
<h2>Dari stigma lalu menyalahkan orang lain</h2>
<p>Sejak COVID-19 pertama kali dilaporkan di Cina, jumlah kasus stigmatisasi dan prasangka terkait pandemik ini meningkat di seluruh dunia.</p>
<p>Kasus-kasus tersebut tersebut termasuk pandangan <a href="https://edition.cnn.com/2020/04/10/opinions/how-to-fight-bias-against-asian-americans-covid-19-liu/index.html">bias terhadap keturunan Cina</a>, <a href="https://www.thestar.com.my/lifestyle/health/2020/03/17/fighting-against-the-stigma-of-covid-19">pasien COVID-19</a>, dan bahkan para <a href="https://www.nst.com.my/world/world/2020/03/579698/covid-19-philippines-health-care-workers-suffer-abuse-stigma">tenaga medis</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/330967/original/file-20200428-110761-xova2t.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/330967/original/file-20200428-110761-xova2t.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=738&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/330967/original/file-20200428-110761-xova2t.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=738&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/330967/original/file-20200428-110761-xova2t.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=738&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/330967/original/file-20200428-110761-xova2t.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=927&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/330967/original/file-20200428-110761-xova2t.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=927&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/330967/original/file-20200428-110761-xova2t.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=927&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Beberapa kasus terkait stigma COVID-19 di Indonesia dan Malaysia.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Authors</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Penelitian kami mengumpulkan 450.000 percakapan Twitter yang terjadi sepanjang Maret 2020 untuk mengetahui apa saja stigma terkait COVID-19 yang didiskusikan oleh publik di Indonesia dan Malaysia.</p>
<p>Mengingat besarnya jumlah pesan ditampilkan berulang-ulang di Twitter, kami pun hanya menganalisis cuitan awal alias tidak mengikutkan “retweet”. Hal ini menyisakan hanya 23.527 cuitan.</p>
<p>Melalui metode pengampilan sampel yang acak dan sederhana, kami memilih 6.932 cuitan. Ada 5.983 cuitan berasal dari Indonesia dan 949 sisanya dari Malaysia. Kami kemudian menganalisisnya menggunakan analisis konten kuantitatif dengan melibatkan dua asisten untuk turut membantu dalam proses analisis data.</p>
<p>Di Indonesia, kami menemukan bahwa mayoritas stigma yang ada ternyata berkaitan dengan prasangka terhadap orang Cina. Lebih jauh, sentimen tersebut berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang masih <a href="https://jakartaglobe.id/news/immigration-allows-entry-of-49-chinese-workers-%20walaupun-larangan">memperbolehkan wisatawan dan pekerja dari Cina untuk datang ke Indonesia</a>, meskipun pada saat itu pandemi telah terjadi di beberapa negara.</p>
<p>Selain itu, ada juga sentimen yang kuat bahwa rakyat Cina memang pantas terkena virus sebagai balasan atas <a href="https://www.nytimes.com/2018/09/08/world/asia/china-uighur-muslim%20-detention-camp.html">penindasan yang mereka lakukan terhadap Muslim di Uighur</a>.</p>
<p>Sementara itu, di Malaysia, sebagian besar cuitan menyalahkan sekelompok Muslim yang mengadakan <a href="https://www.nst.com.my/news/nation/2020/%2003/577797%20/%20waktu-membantu-tabligh-peserta-bukan-menyalahkan-mereka-kata-dr-noor-hisham">tabligh akbar di Sri Petaling, Malaysia</a> yang mengakibatkan banyak peserta terinfeksi.</p>
<p>Panitia penyelenggara acara tersebut menjadi sasaran stigma karena kecerobohan mereka yang tetap mengambil risiko mengadakan acara, meskipun telah ada peringatan dari otoritas setempat mengenai COVID-19.</p>
<h2>Teori tentang stigma</h2>
<p>Sosiolog dari Amerika Serikat Erving Goffman mendefinisikan stigma sebagai <a href="https://www.journals.uchicago.edu/doi/10.1086/223949?mobileUi=0">atribut yang mendiskreditkan orang lain dan yang merupakan hasil dari konstruksi sosial</a>. Adapun stigma muncul karena kondisi fisik seseorang, karakter yang negatif, atau latar belakang ras, jenis kelamin, dan etnis.</p>
<p>Dalam penelitian ini, kami menemukan bahwa objek stigma yang dominan dari kedua negara seputar COVID-19 adalah latar belakang seseorang.</p>
<p>Di Malaysia, stigma yang berkaitan dengan ‘latar belakang’ seseorang mencapai 95,8%, sementara sisanya berkaitan dengan ‘karakter negatif’ sebesar 4,2%. Di Indonesia, kami menemukan sebesar 69,3% stigma berkaitan dengan ‘latar belakang’ seseorang, diikuti dengan 28,1% stigma pada ‘karakter’, dan sebesar 2,6% terkait dengan ‘kondisi fisik’.</p>
<p>Konsep stigma memiliki setidaknya lima faktor, yaitu <a href="https://nca.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/17544750.2012.664443">pelabelan, asosiasi negatif, pemisahan, kehilangan status, dan kemampuan mengendalikan</a>.</p>
<p>Faktor pertama, yaitu pelabelan, berkaitan dengan “<a href="https://doi.org/10.1080/17544750.2012.664443">upaya memberikan label buruk pada kondisi yang terjadi</a>”.</p>
<p>Selama pandemi COVID-19 di Indonesia dan Malaysia, stigma semacam ini termasuk menggunakan kata-kata “Cina” atau “orang Cina” untuk menggambarkan penyakit tersebut.</p>
<p>Faktor kedua, asosiasi negatif, yakni menggunakan asosiasi negatif untuk menyebut orang yang memiliki penyakit atau bahkan anggota keluarga dari pasien yang terinfeksi dan kasus yang terkonfirmasi.</p>
<p>Faktor ketiga, dimensi pemisahan, terlihat dari adanya upaya memutuskan kontak dengan pasien COVID-19.</p>
<p>Faktor keempat, kehilangan status, menunjukkan situasi saat pasien atau keluarganya kehilangan hak istimewa atau status sosial mereka, termasuk perumahan, pendidikan, pekerjaan, dan perawatan kesehatan akibat terinfeksi COVID-19.</p>
<p>Faktor terakhir, kemampuan mengendalikan. Hal ini terkait dengan kapasitas seseorang untuk mengendalikan situasi guna menghindari kondisi yang tidak baik, termasuk tanggung jawab untuk menghindari dirinya terjangkit COVID-19.</p>
<p>Di Malaysia, dimensi stigma yang mendominasi faktor terkait dengan kegagalan
kelompok agama yang disebut di atas dalam mengendalikan acaranya (83,3%), diikuti oleh faktor ‘pelabelan’ (14,6%), dan ‘pemisahan’ (2,1%).</p>
<p>Di Indonesia, kami menemukan bahwa stigma yang mendominasi terkait ‘pelabelan’ (86,1%), diikuti dengan faktor ‘kemampuan mengendalikan/tanggung jawab’ (7,9%), ‘asosiasi negatif’ (3%), ‘pemisahan’ (2%), dan ‘kehilangan status’ (1%).</p>
<h2>Hal lain di luar stigma</h2>
<p>Meski pada awalnya kami bertujuan menganalisis stigma yang muncul terkaitan dengan COVID-19, namun berdasarkan hasil penelitian kami ternyata cuitan yang mengandung stigma tidak sedominan cuitan yang merespons aksi yang dilakukan pemerintah.</p>
<p>Di Indonesia, sebagian besar cuitan ternyata berisi kritik dan sentimen negatif terhadap pemerintah Indonesia dan kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19. Sementara itu, di Malaysia, sebagian besar cuitan terkait dengan imbauan pemerintah untuk tinggal di rumah.</p>
<p>Khusus di Indonesia, kami menemukan bahwa percakapan yang terkait dengan stigma sangat kecil, kurang dari 6% (310 cuitan), jika dibandingkan dengan kritik terhadap kinerja buruk pemerintah dalam menangani pandemi yang berada di angka 84,6% (4,987 cuitan).</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/137385/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penelitian terbaru kami menemukan bagaimana sikap menyalahkan orang lain ternyata mendominasi percakapan seputar stigma tentang COVID-19 di Indonesia dan MalaysiaIka Karlina Idris, Dosen Paramadina Graduate School of Communication, Paramadina University Nuurrianti Jalli, Senior Lecturer at Faculty of Communication and Media Studies, Universiti Teknologi MARALicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1265022019-11-13T01:55:50Z2019-11-13T01:55:50ZTwitter larang iklan politik, tapi perusak riil demokrasi adalah Facebook dan Google<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/300574/original/file-20191107-12450-yqt89x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Twitter harus mendapatkan pujian atas langkahnya, tetapi perusahaan microblogging ini masih berdampak kecil dibandingkan dengan Facebook dan Google.</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock </span></span></figcaption></figure><p>Akhirnya, ada kabar baik dari dunia antah-berantah media sosial. CEO Twitter Jack Dorsey telah mengumumkan bahwa, efektif per 22 November, platform <em>microblogging</em> ini akan melarang semua iklan politik secara global.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1189634360472829952"}"></div></p>
<p>Ini adalah sebuah langkah penting yang diambil oleh Twitter. Hal ini terjadi ketika Facebook dan CEO-nya Mark Zuckerberg berada di bawah tekanan yang kian besar untuk menangani sejumlah misinformasi dan disinformasi yang tersebar melalui iklan politik berbayar di Facebook.</p>
<p>Zuckerberg baru-baru ini mengatakan dalam dengar pendapat di Kongres Amerika Serikat bahwa Facebook tidak mempunyai rencana untuk memeriksa fakta iklan politik, dan dia tidak menjawab <a href="https://www.theguardian.com/technology/live/2019/oct/23/libra-mark-zuckerberg-testifies-live-facebook-cryptocurrency-latest-updates">sebuah pertanyaan langsung</a> dari anggota Kongres Alexandria Ocasio-Cortez apakah Facebook akan menghapus iklan politik yang ternyata tidak benar. Jelas bukan sebuah pertanda yang baik.</p>
<p>Beberapa hari setelah rentetan kemunculan Zuckerberg di depan komite kongres, Twitter menunjukkan sikapnya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/merchants-of-misinformation-are-all-over-the-internet-but-the-real-problem-lies-with-us-123177">Merchants of misinformation are all over the internet. But the real problem lies with us</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Twitter, perusahaan <em>microblogging</em> kecil jika dibandingkan dengan Facebook dan Google, dipuji atas langkah bijaksananya. Meski begitu, dengan belum berubahnya kedua raksasa (Facebook dan Google), maka larangan iklan politik di Twitter akan berdampak kecil pada pemilihan umum di seluruh dunia.</p>
<h2>Sebuah gejala flu demokrasi</h2>
<p>Penting untuk menyebut Google dalam permasalahan iklan politik ini. Perusahaan ini sering berada di luar radar, bersembunyi di balik Facebook yang menerima sebagian besar kritikan.</p>
<p>Platform media sosial global menyuntikkan racun ke dalam sistem demokrasi liberal di seluruh dunia. Informasi yang keliru dan kebohongan langsung mereka izinkan untuk disebar dalam platform mereka, sebagian bertanggung jawab atas perpecahan antara kubu politik yang berbeda yang semakin mendalam di sebagian besar negara demokrasi liberal yang mapan.</p>
<p>Dengan adanya penargetan pemilih secara mikro sebagaimana terungkap oleh skandal Cambridge Analytica menunjukkan bawah sistem demokrasi lama berada di bawah tekanan yang ekstrem. Ini jelas dicontohkan oleh kelumpuhan parlemen Inggris atas isu Brexit dan pembelahan politik yang begitu mendalam di Amerika Serikat.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/why-you-should-talk-to-your-children-about-cambridge-analytica-94900">Why you should talk to your children about Cambridge Analytica</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pelarangan iklan politik mengurusi satu gejala flu demokrasi yang disebabkan oleh platform tersebut. Akar penyebab flu adalah karena bahwa platform media sosial tidak lagi hanya platform - mereka adalah penerbit.</p>
<p>Sampai mereka mengakui hal ini dan setuju untuk mematuhi kerangka hukum dan etika yang terkait dengan penerbitan, demokrasi kita tidak akan pulih.</p>
<h2>Bukan platform tapi penerbit</h2>
<p>Menjadi sebuah penerbit itu kompleks dan jauh lebih mahal dibanding menjadi sebuah platform. Kita harus merekrut staf editorial (kecuali kalau kita dapat membuat algoritme canggih yang cukup untuk melakukan kerja-kerja editorial) untuk mengecek fakta, mengedit, dan mengkurasi konten. Dan kita harus menjadi warga korporat yang baik, yang memiliki tanggung jawab sosial. </p>
<p>Meyakinkan platform tersebut untuk menerima peran mereka sebagai penerbit adalah cara jangka panjang dan berkelanjutan untuk menangani masalah konten beracun saat ini.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/1iCVn_JvOiQ?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
</figure>
<p>Menerima status penerbit dapat menjadi solusi “win-win”, karena perusahaan-perusahaan media sosial membangun kembali kepercayaan dengan publik dan pemerintah dengan memangku tanggung jawab secara sosial dan etika, menghentikan peracunan terhadap demokrasi kita. </p>
<p>Mark Zuckerberg mengklaim bahwa para pengguna Facebook dapat mempublikasikan kebohongan dan informasi yang keliru (misinformasi) karena itu adalah bagian dari kebebasan berpendapat. Bukan. Kebebasan berpendapat adalah sebuah hak dan sebuah keistimewaan, dan karena itu memiliki tanggung jawab dan batasan. </p>
<p>Contoh dari pembatasan adalah peraturan tentang pencemaran nama baik dan undang-undang diskriminasi dan fitnah rasial. Dan itu hanya kerangka hukum. Kerangka etis yang kuat yang berlaku untuk penerbitan harus ditambahkan di sini. </p>
<h2>Oligopoli kepemilikan</h2>
<p>Lalu, ada masalah oligopoli media sosial global. Tidak pernah terjadi dalam sejarah adanya pemusatan kepemilikan dalam sebuah industri sebagaimana ditunjukkan oleh perusahaan media sosial. Inilah mengapa masalah ini sangat serius. Ini berada di level global, memyentuh miliaran manusia dan melibatkan uang serta keuntungan dengan jumlah yang luar biasa.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/the-fightback-against-facebook-is-getting-stronger-124120">The fightback against Facebook is getting stronger</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Salah satu pendiri Facebook, Chris Hughes, menunjukkan dengan tepat dalam <a href="https://www.nytimes.com/2019/05/09/opinion/sunday/chris-hughes-facebook-zuckerberg.html">artikelnya</a> di New York Times mengatakan bahwa Komisi Perdagangan Federal Amerika bertindak salah ketika mereka mengizinkan Facebook membeli Instagram dan WhatsApp.</p>
<p>Hughes ingin agar Facebook dibubarkan dan menunjuk pada upaya dari bagian masyarakat sipil AS yang bergerak ke arah ini. Dia menulis:</p>
<blockquote>
<p>Gerakan pelayan publik, cendekiawan, dan aktivis ini layak mendapat dukungan kami. Mark Zuckerberg tidak dapat memperbaiki Facebook, tapi pemerintah kami bisa.</p>
</blockquote>
<p>Kemarin, saya memposting di timeline Facebook saya untuk pertama kalinya sejak skandal Cambridge Analytica pecah. Saya menyatakan bahwa setelah pengumuman Twitter, bola sekarang tepat di tangan Facebook dan Google.</p>
<p>Karena alasan penelitian dan profesional, saya tidak dapat menghapus akun Facebook saya. Tapi saya dapat berjanji untuk tidak menjadi pengguna Facebook yang aktif sampai perusahaan itu mau tumbuh dan memikul tanggung jawab sosialnya sebagai penerbit etis yang meningkatkan demokrasi kita alih-alih melemahkannya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/126502/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Johan Lidberg tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Belum pernah sebelumnya dalam sejarah manusia yang tercatat kita pernah melihat industri mana pun mencapai tingkat konsentrasi kepemilikan yang ditunjukkan oleh perusahaan media sosial.Johan Lidberg, Associate Professor, School of Media, Film and Journalism, Monash UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1247702019-10-14T01:25:00Z2019-10-14T01:25:00ZRiset: bagaimana pendengung dan pasukan siber ancam demokrasi dan kebebasan berekspresi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/296176/original/file-20191009-3860-r90q9c.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/fake-news-disinformation-false-information-propaganda-1459168472?src=_QHSr4R0XGERgGMUfYSt1Q-1-22"> Chumakov Oleg/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Pasukan siber di Indonesia yang sengaja membelah opini publik bukan omong kosong.</p>
<p>Hasil riset terbaru dari <a href="https://comprop.oii.ox.ac.uk/research/cybertroops2019/">Oxford Internet Institute (OII) tentang disinformasi</a>–informasi palsu yang <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Disinformasi">sengaja dibuat dan disebar untuk menipu banyak orang</a>–dalam skala global dan manipulasi informasi di ruang media sosial menunjukkan bahwa di Indonesia ada partai politik dan politikus serta kontraktor swasta membentuk pasukan siber. </p>
<p>Dari riset yang digelar oleh ahli teknologi dan demokrasi Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard dari Universitas Oxford Inggris tahun 2017-2018 itu diketahui bahwa pasukan dunia maya menciptakan akun palsu di media sosial baik berbentuk manusia maupun robot untuk mendukung politikus atau partai politik tertentu, menyerang oposisi, dan membelah opini publik. </p>
<p>Propaganda di Indonesia umumnya lebih banyak dilakukan oleh <a href="https://www.reuters.com/article/us-indonesia-election-socialmedia-insigh/in-indonesia-facebook-and-twitter-are-buzzer-battlegrounds-as-elections-loom-idUSKBN1QU0AS">pendengung (<em>buzzer</em>) terutama untuk kepentingan pemilihan umum</a>. </p>
<p>Strategi komunikasi yang digunakan oleh pasukan bayaran ini adalah melakukan disinformasi dan mengamplifikasi pesan dalam media sosial melalui pembuatan tagar atau mempercepat sirkulasi disinformasi. </p>
<p>Pasukan siber ini umumnya temporer dan bekerja berdasarkan pesanan. Tidak ada organisasi formal dan permanen yang terbentuk. </p>
<p>Bila politikus dan partai politik tak menahan diri, media sosial akan menjadi alat untuk merusak demokrasi karena mereka memakainya untuk menyebarkan informasi yang tidak akurat, terutama terkait pemilihan umum dan pengawasan kebijakan publik.</p>
<h2>Paradoks media sosial</h2>
<p>Laporan <a href="https://comprop.oii.ox.ac.uk/research/cybertroops2019/">Oxford Internet Institute</a> merupakan sebuah kritik terhadap peran teknologi digital dalam demokrasi. </p>
<p>Awalnya Internet dianggap sebagai bentuk ideal <a href="https://victorsampedro.com/wp-content/uploads/2012/12/Papacharissi-The-Virtual-Sphere-Revisited-Handbook.pdf">dari ruang publik versi Habermas</a> yang memungkinkan terjadinya diskursus rasional antara rakyat dan penguasa secara langsung. </p>
<p>Selain itu <a href="https://poseidon01.ssrn.com/delivery.php?ID=571066117002114070015064108082115090125008047064079009011007093029118005000093027064096057055058008048005071012122000109013090105052000035040122121086006005031110086026000115066106087111123025086027067119123106123068112126068124084022087090017068072&EXT=pdf">internet merupakan pilar kelima dalam demokrasi</a> yang ikut mengontrol tiga cabang utama dalam sistem demokrasi: legislatif, eksekutif, dan legislatif dan satu institusi informal media massa. Internet akan menjadi katalis yang akan membuat sistem demokrasi menjadi sempurna. </p>
<p>Tapi data riset Oxford Internet menunjukkan terjadinya efek bumerang.</p>
<p>Teknologi digital yang seharusnya mengemansipasi demokrasi, ternyata malah mendegradasi dengan menciptakan polarisasi dan perpecahan publik dalam prosesnya. Elit politik menjadikan internet, terutama media sosial seperti Twitter, YouTube, dan Facebook, sebagai medium propaganda baru untuk menyebarkan disinformasi dan misinformasi – informasi keliru tapi penyebarnya tidak tahu itu salah. </p>
<p>Pada akhirnya informasi yang tidak akurat dan faktual akan mendistorsi pengetahuan publik. Hal ini membuat publik kehilangan kerangka acuan sehingga tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik, terutama terkait pemilihan pemimpin dan pengawasan kebijakan publik. </p>
<p>Fakta tersebut menunjukkan bahwa teknologi digital hanya mengamplifikasi kesenjangan kekuasaan dalam sistem demokrasi yang telah terjadi selama ini. Perdebatan publik dalam sosial media bukanlah untuk mengembangkan diskursus demokrasi, tapi merupakan perpanjangan kepentingan dari elit politik. </p>
<h2>Fenomena global</h2>
<p>Ada dua konsep yang harus dibedakan antara pasukan siber dan pendengung (<em>buzzer</em>) dan bagaimana mereka bekerja mengancam demokrasi. </p>
<p>Konsep pertama mengacu kepada lembaga yang terorganisasi dan penggunaan strategi untuk melakukan <a href="https://www.jstor.org/stable/26508115">propaganda disinformasi</a>. Sedangkan pendengung merupakan <a href="https://www.businessinsider.com/indonesia-election-buzzers-election-propaganda-2018-8">orang terkenal dan punya banyak pengikut yang dibayar untuk menyebarluaskan propaganda</a> melalui media sosial. </p>
<p>Hal ini menjadi fenomena global, bahkan terjadi di negara demokrasi maju seperti di Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman. </p>
<p>Kiprah mereka dalam ruang media sosial terjadi di 70 negara, termasuk Indonesia, pada 2017 dan 2018. </p>
<p>Temuan riset Oxford menunjukkan propaganda via media sosial ini dijalankan secara terorganisasi oleh pasukan siber di lima platform sosial media yang berbeda: Facebook, Twitter, YouTube, WhatsApp, dan Instagram. </p>
<p>Gugus tugas siber ini dibentuk oleh lima kategori organisasi: pemerintah, politikus dan partai politik, kontraktor swasta, lembaga nirlaba, dan individu dan tokoh berpengaruh (<em>influencer</em>). Pasukan siber ini kemudian menggunakan akun media sosial palsu baik yang berbentuk manusia, algoritme robot (bot), gabungan manusia dan algoritme robot (<em>cyborg</em>), dan akun hasil peretasan. Dari akun-akun inilah propaganda dikemas dan dikelola untuk kepentingan mengarahkan opini dan pengetahuan publik. </p>
<p>Pesan propaganda ditujukan untuk: (1) kampanye pro-pemerintah atau pro-aktor politik, (2) menyerang oposisi, (3) mengalihkan isu, (4) memecah masyarakat, dan (5) menekan partisipasi melalui serangan terhadap individu. </p>
<p>Selain menciptakan pesan yang efektif untuk propaganda, pasukan siber menggunakan lima strategi berbeda untuk mencapai tujuan komunikasinya: </p>
<p>a. Menciptakan disinformasi dalam bentuk meme, video, situs berita palsu, dan manipulasi konten media untuk menyesatkan publik.</p>
<p>b. Secara massal melaporkan sebuah konten atau akun (<em>mass reporting</em>) dengan tujuan sebagai sebuah sensor agar konten atau akun ditutup oleh pengelola platform. </p>
<p>c. Internet <em>troll</em> (trolling) atau meretas identitas sebuah akun dan menyebarkan informasi personal akun tersebut kepada publik (<em>doxing</em>).</p>
<p>d. Menggunakan data (<em>data-driven</em>), pasukan siber menargetkan segmen pengguna tertentu dengan bantuan hasil analisis data, sehingga disinformasi bisa semakin efektif.</p>
<p>e. Amplifikasi pesan, yakni pasukan siber berfungsi untuk membuat sebuah pesan menjadi topik pembicaraan di sosial media, misalnya dengan mempromosikan tagar agar menjadi populer. </p>
<h2>Tingkat propaganda</h2>
<p>Strategi pesan dan komunikasi yang tepat akan menentukan keberhasilan sebuah propaganda. Apalagi ketika organisasi pelaku memiliki kapasitas tinggi untuk melakukan kegiatannya, terutama ketika pasukan ini berbentuk permanen dan memiliki dukungan infrastruktur dan pendanaan yang memadai. </p>
<p>Sebagai contoh, negara otoritarian, baik yang berbentuk monarki seperti Arab Saudi atau republik seperti Cina, yang membentuk pasukan siber secara formal dan permanen akan memiliki tingkat probabilitas keberhasilan yang tinggi dalam menjalankan propaganda. </p>
<p>Hal inilah yang menjadi kekhawatiran global, bahwa media sosial digunakan oleh rezim otoriter untuk menekan perbedaan dalam opini publik demi melanggengkan kekuasaan. Kebebasan berekspresi juga terancam karena pendapat yang berlawanan dengan pemerintah diserang balik dengan disinformasi dan akun media sosialnya diretas dan disebar.</p>
<p>Dalam konteks Indonesia, tingkat manipulasi propaganda di Indonesia masih dalam kapasitas rendah karena pelaku utama bukan negara. Tipe karakteristik pesan dan strategi komunikasi belum mencapai tingkat yang kompleks, sehingga sebenarnya masalah ini masih bisa diantisipasi oleh negara dan publik.</p>
<h2>Pentingnya literasi</h2>
<p>Pendidikan politik dan literasi informasi bisa menjadi kunci untuk memerangi propaganda melalui sosial media. Selain itu aktor-aktor politik, baik politikus maupun partai politik, harus bisa menahan diri untuk tidak mengerahkan pasukan siber untuk memenangkan perebutan kekuasaan dalam pemilu. </p>
<p>Saat ini perusahaan pemilik <a href="https://www.npr.org/2019/08/20/752882615/twitter-and-facebook-shut-down-fake-propaganda-accounts-run-by-chinese-governmen">platform sosial media secara global melakukan tindakan preventif</a> dengan menutup akun-akun palsu, <a href="https://www.cnbc.com/2019/10/04/facebook-removes-coordinated-fake-accounts-in-uae-egypt-nigeria-and-indonesia.html">termasuk di Indonesia</a>. </p>
<p>Upaya bersama dari masyarakat, pemerintah, dan pengelola sosial media menjadi keniscayaan untuk membuat ruang sosial media menjadi arena diskursus rasional, dan bukan alat propaganda politik.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/124770/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Whisnu Triwibowo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Politikus dan partai politik di Indonesia harus bisa menahan diri untuk tidak mengerahkan pasukan siber untuk memenangkan perebutan kekuasaan dalam pemilu dan membelah opini publik terkait kebijakanu .Whisnu Triwibowo, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1178302019-05-28T05:39:50Z2019-05-28T05:39:50ZPembatasan internet setelah kerusuhan 22 Mei: Keamanan publik lebih utama ketimbang kebebasan bermedia sosial<p>Pemerintah Indonesia pekan lalu menerbitkan kebijakan tidak populer berupa <a href="https://www.cnbcindonesia.com/finitech/20190522144725-37-74298/whatsapp-medsos-dibatasi-pemerintah-sampai-25-mei-2019">pembatasan sementara dan sebagian penggunaan enam media sosial</a> (Facebook,<a href="https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20190523204246-185-397935/kominfo-sebut-6-medsos-yang-terkena-pembatasan">WhatsApp, Twitter, Line, Instagram, dan YouTube</a>) sebagai respons atas tindakan anarkis para pengunjuk rasa di Jakarta yang menolak penetapan hasil pemilihan presiden <a href="https://pemilu.tempo.co/read/1208332/kronologi-detail-kerusuhan-aksi-22-mei-versi-kapolri">pada 21 dan 22 Mei</a>. </p>
<p>Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan <a href="https://nasional.tempo.co/read/1208261/wiranto-bilang-pembatasan-fitur-medsos-untuk-keamanan-nasional/full&view=ok">Wiranto mengatakan</a> pembatasan tersebut itu untuk kepentingan keamanan nasional, yakni mencegah provokasi dan penyebaran hoaks gambar dan video terkait rusuh 22 Mei dan penetapan hasil pemilu 2019 via aplikasi tersebut yang berpotensi memicu kerusuhan lebih luas. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mendasarkan keputusan tersebut pada <a href="https://kominfo.go.id/content/detail/18868/siaran-pers-no-106hmkominfo052019-tentang-pembatasan-sebagian-fitur-platform-media-sosial-dan-pesan-instan/0/siaran_pers">Undang-Undang Informasi dan Transaksi Eletronik</a>, terutama <a href="https://ngada.org/uu19-2016.htm">Pasal 40</a> yang mengamanatkan pemerintah melindungi kepentingan umum dan wajib mencegah <a href="https://kominfo.go.id/content/detail/18866/siaran-pers-no-105hmkominfo052019-tentang-imbauan-tak-sebar-konten-aksi-kekerasan-dan-ujaran-kebencian/0/siaran_pers">penyebaran konten elektronik</a> aksi kekerasan, hasutan yang provokatif, dan ujaran kebencian. </p>
<p>Beberapa jam sebelum media sosial dibatasi, kerusuhan tersebut mengakibatkan ratusan orang terluka dan duka <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190523153339-20-397825/anies-korban-tewas-aksi-21-22-mei-8-orang-730-luka-luka">kematian 8 orang</a> dan meninggalkan <a href="https://news.detik.com/berita/d-4562755/kisah-pilu-ricuh-22-mei-mobil-hangus-hingga-dagangan-dijarah">kerusakan banyak bangunan dan kendaraan</a>. Belakangan kerugian ekonominya diprediksi <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20190523182959-4-74705/kadin-kerugian-pusat-belanja-akibat-demo-22-mei-rp-15-t">setidaknya mencapai Rp1,5 triliun</a>. Ratusan orang yang diduga perusuh <a href="https://nasional.tempo.co/read/1208535/polri-tetapkan-300-orang-sebagai-tersangka-kerusuhan-22-mei">ditetapkan sebagai tersangka</a>. </p>
<p>Akhir pekan lalu atau setelah tiga hari pembatasan, pemerintah <a href="https://kominfo.go.id/content/detail/18918/siaran-pers-no-107hmkominfo052019-tentang-normalisasi-fitur-platform-media-sosial-dan-pesan-instan/0/siaran_pers">mencabut pembatasan media sosial</a> saat kondisi keamanan Jakarta telah pulih. </p>
<p>Beberapa pegiat hak asasi manusia dan akademisi mengkritik keputusan pembatasan tersebut dengan mengatakan pembatasan akses terhadap sosial media adalah bagian dari <a href="https://news.detik.com/kolom/d-4562045/mengevaluasi-pembatasan-akses-medsos-pada-22-mei">pemberangusan hak asasi terutama kebebasan berbicara</a> dan menurunkan kualitas demokrasi. </p>
<p>Saya berpendapat terdapat penilaian yang kurang tepat dalam menafsirkan hak kebebasan tersebut. Dalam konteks ini, saya setuju bahwa keamanan publik lebih diutamakan ketimbang kebebasan berbicara via media sosial. </p>
<p>Dengan tulisan ini, saya menawarkan pemikiran alternatif untuk memperkaya diskusi publik terkait pembatasan media sosial. </p>
<h2>Ragam model keadilan</h2>
<p>Penggiat HAM atau akademisi yang memprotes pembatasan media sosial perlu menjelaskan dasar etis mana yang mereka pakai dalam membela kebebasan berbicara karena dalam memahami konsep keadilan terdapat keragaman sudut pandang. </p>
<p>Setidaknya, ada tiga model keadilan yang biasa dijadikan dasar etis terkait pengambilan kebijakan untuk kepentingan rakyat. </p>
<p>Model <a href="https://www-jstor-org.proxy2.cl.msu.edu/stable/pdf/1812738.pdf?refreqid=excelsior%3Ab95072406b6d9bbb2ec181db49980c9e">utilitarianisme</a>-nya Jeremy Bentham memprioritaskan kemaslahatan bersama, sehingga kepentingan umum yang lebih besar lebih dikedepankan ketimbang kepentingan kelompok yang lebih kecil. </p>
<p>Model <a href="https://link-springer-com.proxy1.cl.msu.edu/content/pdf/10.1007/BF01049382.pdf">keadilan distributif (<em>distributive justice</em>)</a>-nya John Rawl menekankan kepentingan dan kebutuhan kelompok khusus, terutama untuk melindungi kelompok marginal.</p>
<p>Sementara, <a href="https://www.iep.utm.edu/sen-cap/">kerangka kapabilitas (<em>capability framework</em>)</a>-nya Amartya Sen menitikberatkan pada kepentingan perseorangan dalam masyarakat, sehingga ukuran yang dipakai adalah keadilan pada tingkat individu.</p>
<p>Para menentang kebijakan pembatasan media sosial mestinya memberikan argumen yang lebih holistik di tengah upaya pemerintah meredakan tensi tinggi di ruang publik. Ketika pemerintah mengambil keputusan pembatasan media sosial berdasarkan etika utilitarianism, apakah tepat mengkritiknya dengan sudut pandang keadilan distributif? Dialog tidak bisa terjadi karena kedua pihak memiliki perbedaan pilihan nilai. </p>
<h2>Pluralisme konsep HAM</h2>
<p>Mengacu kepada <a href="https://www.ohchr.org/EN/UDHR/Documents/UDHR_Translations/eng.pdf">Piagam Deklarasi Hak Asasi Manusia</a>, ada lebih kurang 29 kategori hak, dan kebebasan untuk berekspresi atau beropini hanya salah satu manifestasinya (Pasal 19). Deklarasi ini juga menegaskan pelaksanaan sebuah hak asasi terbatasi oleh hukum yang berlaku dan juga oleh hak asasi lainnya (Pasal 29). </p>
<p>Pada konteks kasus kerusuhan 22 Mei, ketika pemerintah memutuskan untuk membatasi akses terhadap media sosial (membatasi kebebasan berpendapat) demi menjaga hak untuk hidup tanpa ketakutan (Pasal 3), tidak bisa disimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM. Skala prioritas dapat ditetapkan dalam kondisi khusus ketika hak-hak tersebut berbenturan.</p>
<p>Preseden penyebaran misinformasi dan disinformasi yang melahirkan kerusakan lebih luas di beberapa negara berkembang bisa dilihat pada kasus <a href="https://www.wired.com/story/how-facebooks-rise-fueled-chaos-and-confusion-in-myanmar/?fbclid=IwAR3JfFBdrr4FUuVaVuqrh1ZtuvLqlO5SJe8NjSRjTOtG0PvVSPE5x1Xo5Is">pengusiran Rohingya di Myanmar</a>, kerusuhan setelah serangan <a href="https://www.nytimes.com/2018/04/21/world/asia/facebook-sri-lanka-riots.html?fbclid=IwAR2awJqtSC-KyVPp6V2rxICsS72vH59FDWVEGrJPsirYd9aWvTxoVE-ksuw">bom bunuh diri di Sri Lanka </a> dan <a href="https://www.scmp.com/news/asia/south-asia/article/2155270/death-fake-news-indian-authorities-blame-irresponsible-and?fbclid=IwAR3Bq3xh-kMzWEomgC4vP42OjYQ1zoDowrACAPueGuR9iojx_aOxZA52sxM">kasus pembunuhan di India</a>. Kasus-kasus tersebut memakan korban jiwa dan bisa menjadi kerangka acuan dalam pembuatan prioritas kebijakan terkait media sosial. </p>
<p>Tindakan preventif yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang mengutamakan perlindungan keamanan publik di atas kebebasan mengeluarkan pendapat, dengan meredam penyebaran misinformasi dan disinformasi, dapat dipahami. Bahkan perlu didukung untuk menjaga keamanan publik. </p>
<p>Informasi palsu yang berkembang melalui media sosial bisa memantik kerusuhan yang lebih besar di tengah massa yang sedang emosional. Dalam <a href="https://www.politico.com/magazine/story/2016/12/fake-news-history-long-violent-214535?fbclid=IwAR3WZtCTBE2cu-UdN579kyFnc4hdaGBDQaOfs0tU7pWPjOZ-T28Y2uYVJD8">kesejarahannya persebaran informasi palsu bisa memicu konflik sosial</a>.</p>
<h2>Internet, media sosial, dan informasi palsu</h2>
<p>Ada kesalahpahaman dalam ruang pengetahuan publik yang menyamakan media sosial sebagai internet atau media sosial sebagai sumber informasi yang valid. Dalam ekosistem internet, media sosial hanya salah satu sub-sistem untuk pertukaran informasi. Karena itu, pemblokiran akses terhadap beberapa platform media sosial tidak berarti menutup akses terhadap informasi dan komunikasi. </p>
<p>Facebook, WhatsApp, Twitter dan tiga media sosial lainnya hanya bagian kecil dari medium untuk berkomunikasi yang disediakan infrastruktur internet. Pun secara teknis, jaringan internet tidak mungkin ditutup secara permanen. Publik dapat menggunakan fasilitas Virtual Private Network (VPN) untuk menggunakan jalur pintu belakang. </p>
<p>Jadi argumen anti-pembatasan media sosial yang mengatakan bahwa <a href="https://theconversation.com/aksi-demo-22-mei-pembatasan-akses-media-sosial-lukai-hak-rakyat-untuk-berekspresi-dan-mendapat-informasi-117602">pemerintah melukai kebebasan berkomunikasi dan menerima informasi</a> tidak sepenuhnya benar karena hanya tiga media sosial yang dibatasi dari keseluruhan ekosistem. Selain itu, menyebarkan informasi palsu, kebencian, dan agitasi dalam ruang publik bukan bagian dari kategori kebebasan berbicara dan berpendapat. </p>
<p>Dalam kacamata hukum, apabila kebijakan pembatasan akses ini dianggap merugikan masyarakat, maka gugatan bisa diajukan melalui pengadilan. Jadi dalam sistem demokrasi Indonesia saat ini, ada mekanisme kontrol untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap melukai keadilan di masyarakat.</p>
<p>Berbeda dengan media massa yang informasinya akurat dan sudah melalui <a href="https://masscommtheory.com/theory-overviews/gatekeeping-theory/">proses <em>gatekeeping</em> (penyeleksian dan verifikasi informasi)</a>, kualitas informasi di media sosial belum tentu akurat ketika siapa pun bisa menyiarkan informasi tanpa proses verifikasi. <a href="https://www.cits.ucsb.edu/fake-news/spread">Informasi palsu ini kemudian dengan mudah tersebar</a>, terutama melalui jaringan personal via media sosial, yang kemudian <a href="https://theconversation.com/fake-news-why-people-believe-it-and-what-can-be-done-to-counter-it-70013">mengamplifikasi sebuah kebohongan menjadi informasi terpercaya</a>. Padahal sangat sulit untuk mengkoreksi kesalahan yang sudah menjadi pengetahuan publik. </p>
<p>Penelitian <a href="http://za2uf4ps7f.search.serialssolutions.com/?sid=google&auinit=E&aulast=Thorson&atitle=Belief+echoes:+The+persistent+effects+of+corrected+misinformation&id=doi:10.1080/10584609.2015.1102187&title=Political+communication&volume=33&issue=3&date=2016&spage=460&issn=1058-4609">Emily Thorson (2016) dari Syracuse University menunjukkan</a> bahwa informasi palsu yang sudah dikonsumi kemudian dipercayai, hampir tidak mungkin untuk dikoreksi. Bahkan ketika diberikan fakta empiris untuk mengoreksi data dan pemahaman yang salah sebelumnya. Dalam perspektif ini, maka mencegah persebaran informasi palsu akan jauh lebih efektif ketimbang kemudian mengkoreksi pemahaman yang salah.</p>
<p>Dengan demikian, kebebasan berpendapat bukan hak absolut karena bisa menjadi ideologi tiran. Ada aspek etis, legal, dan praktis yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan kebijakan publik termasuk pembatasan media sosial. Kebebasan berekspresi menjadi hak asasi ketika menjadi ruang untuk mengekspresikan pemikiran atau kritik, namun tidak untuk menyebarkan kebohongan, apalagi menjadi saluran kebencian dan provokasi yang potensial menyulut kerusuhan sosial yang lebih besar.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/117830/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Whisnu Triwibowo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ketika pemerintah memutuskan untuk membatasi akses terhadap media sosial demi menjaga hak untuk hidup tanpa ketakutan, tidak bisa disimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM.Whisnu Triwibowo, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1050352018-11-15T07:03:38Z2018-11-15T07:03:38ZBanyak remaja mulai meninggalkan Facebook. Ini dampak sosialnya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/244333/original/file-20181107-74778-7fh9yy.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">foto</span> </figcaption></figure><p>Selama bertahun-tahun, Facebook bertumbuh dan memiliki pengaruh yang luar biasa. Namun <a href="http://www.pewinternet.org/2018/05/31/teens-social-media-technology-2018/">laporan terbaru</a> menunjukkan bahwa pengikut Facebook–terutama di negara-negara maju–mulai berkurang. </p>
<p>Secara global, jumlah pengguna Facebook terus meningkat karena semakin banyak orang di negara berkembang yang terhubung. Di Amerika Serikat, dua dari tiga orang dewasa menggunakan Facebook tetapi jumlah tersebut tidak <a href="http://www.pewinternet.org/2018/03/01/social-media-use-in-2018/">berubah selama dua tahun terakhir</a>. Secara khusus, jumlah remaja pengguna Facebook di AS menurun.</p>
<p>Menurut Pusat Penelitian Pew, <a href="http://www.pewinternet.org/2015/04/09/teens-social-media-technology-2015/">71 persen remaja AS aktif menggunakan Facebook</a> pada tahun 2015. Saat ini, <a href="http://www.pewinternet.org/2018/05/31/teens-social-media-technology-2018/">hampir setengah dari mereka</a> masih bertahan di Facebook. Di antara mereka yang tetap bertahan, jumlah orang yang berusaha <a href="http://www.pewresearch.org/fact-tank/2018/09/05/americans-are-changing-their-relationship-with-facebook/">meminimalkan penggunaan Facebook mereka</a> terus meningkat, meskipun penggunaan mereka terhadap platform media sosial lainnya seperti Instagram terus meningkat.</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/239947/original/file-20181009-72106-4agcye.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/239947/original/file-20181009-72106-4agcye.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/239947/original/file-20181009-72106-4agcye.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=566&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/239947/original/file-20181009-72106-4agcye.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=566&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/239947/original/file-20181009-72106-4agcye.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=566&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/239947/original/file-20181009-72106-4agcye.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=711&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/239947/original/file-20181009-72106-4agcye.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=711&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/239947/original/file-20181009-72106-4agcye.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=711&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Snapchat and Instagram use grows.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Pew Research Center)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sebagai peneliti yang mempelajari “kesenjangan digital,” saya tertarik dengan variasi penggunaan internet dari kelompok satu dan yang lain, dan apakah perbedaan-perbedaan ini memiliki konsekuensi penting bagi masyarakat.</p>
<h2>Mengapa perubahan ini penting?</h2>
<p>Banyak orang khawatir dengan pengaruh Facebook: Mereka bilang Facebook <a href="https://theconversation.com/why-we-should-all-cut-the-facebook-cord-or-should-we-93929">menyebabkan kecanduan, mengumpulkan (dan mendistribusikan) terlalu banyak data pribadi</a> dan menumbuhkan sikap <a href="https://theconversation.com/why-too-much-facebook-can-leave-you-feeling-down-40023">iri hati dan depresi</a>. Dapat dimengerti bahwa nasib yang dihadapi Facebook saat ini menggembirakan bagi sebagian orang. Namun seperti semua perubahan perilaku, yang Facebook alami saat ini akan menghasilkan pemenang dan pecundang dan tentunya beberapa kejutan.</p>
<p>Beralihnya warga net dari Facebook ke media sosial lain sesuatu yang penting karena setiap platform memungkinkan atau mendorong penggunanya untuk melakukan hal yang berbeda.</p>
<p>Facebook menawarkan berbagai jenis data yang dapat dibagi menjadi tautan, teks, foto, video, dan banyak lagi. Ia memiliki berbagai fungsi. Facebook lebih sering digunakan untuk komunikasi interpersonal yang sederhana, tetapi juga berguna untuk membentuk kelompok diskusi, berbagi berita dan mengorganisir acara.</p>
<p>Meskipun ada kontroversi soal peran Facebook dalam <a href="https://theconversation.com/why-facebook-is-the-reason-fake-news-is-here-to-stay-94308">penyebaran “berita palsu”</a>, platform tersebut memainkan peran penting dalam menyebarkan berita ke orang muda. Ada <a href="https://doi.org/10.1111/j.1083-6101.2012.01574.x">bukti yang menunjukkan</a> bahwa mereka yang menggunakan media sosial untuk mendapatkan berita lebih cenderung menjadi aktif secara politik.</p>
<p>Sebaiknya, Instagram dan Snapchat, sangat fokus pada aktivitas berbagi foto. Berbagi teks, tautan atau memfasilitasi diskusi tidak dilakukan pada platform tersebut. Meskipun berita dan kejadian terkini ditampilkan di sana, mereka tidak memiliki peran sentral.</p>
<h2>Orang kaya meninggalkan Facebook</h2>
<p>Tren penurunan pengguna Facebook paling tajam terjadi di <a href="https://qz.com/1355827/do-teens-use-facebook-it-depends-on-their-familys-income/">remaja kalangan atas</a> di Amerika Serikat. Di antara mereka, Facebook digantikan oleh layanan media sosial lain seperti Snapchat dan Instagram. Meskipun kita tidak benar-benar tahu alasannya, perubahan berbasis kelas dalam pola komunikasi menimbulkan pertanyaan tentang konsekuensi sosial yang lebih luas.</p>
<figure class="align-left ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/245112/original/file-20181112-83593-16pc759.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/245112/original/file-20181112-83593-16pc759.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=250&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/245112/original/file-20181112-83593-16pc759.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=250&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/245112/original/file-20181112-83593-16pc759.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=250&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/245112/original/file-20181112-83593-16pc759.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=314&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/245112/original/file-20181112-83593-16pc759.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=314&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/245112/original/file-20181112-83593-16pc759.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=314&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Pendapatan menentukan setiap penggunanya.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://images.theconversation.com/files/239992/original/file-20181010-72127-14v68pj.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip">Pusat Penelitian Pew</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Jika kita mempertimbangkan semua potensi positif dari penggunaan Facebook dibandingan media sosial lain, Facebook memiliki fungsi yang lebih luas dan alat yang lebih ekspresif. </p>
<p>Facebook membantu kita <a href="https://doi.org/10.1111/j.1083-6101.2007.00367.x">mempertahankan hubungan dengan kenalan kita, membantu membentuk jaringan informal dan memungkinkan terbentuknya organisasi kelompok politik dan sosial</a>. Remaja kaya yang meninggalkan Facebook tidak akan lagi mendapat manfaat tersebut.</p>
<p>Di sisi lain, jika kekuatan dan pengaruh masa depan berada di tangan remaja kalangan atas, dan mereka berhenti menggunakan Facebook, hal tersebut mungkin salah satu cara masyarakat menjadi lebih terpecah belah. Kalangan menengah atas mencari cara yang lebih eksklusif untuk membentuk jaringan.</p>
<p>Algoritme Facebook memang cenderung membuat pengguna terpapar pada kehidupan dan minat orang-orang terdekat mereka, tetapi platform ini tetap memberikan informasi dari waktu ke waktu soal kehidupan kerabat lain yang tinggal jauh dari kita. Dengan meninggalkan jaringan, orang kaya bisa kehilangan cara belajar tentang kehidupan orang lain yang kurang beruntung.</p>
<h2>Video adalah bentuk teks yang baru</h2>
<p>Kita juga perlu meninjau bagaimana dampak sosial dan pendidikan yang lebih luas dari perubahan yang awalnya berbagi teks menjadi berbagi gambar dan video.</p>
<p>Ketika internet pertama kali diadopsi secara luas, email dan forum diskusi online sebagian besar berbasis teks, meningkatkan kemampuan literasi sehari-hari. Namun, secara bertahap, jumlah teks yang digunakan dalam komunikasi online telah menurun.</p>
<p>Rata-rata orang menulis sekitar <a href="https://www.theverge.com/2018/2/8/16990308/twitter-280-character-tweet-length">50 karakter</a> untuk cuitan di Twitter dan meskipun Facebook menawarkan berbagai pilihan cara untuk berinteraksi, <a href="https://blog.hootsuite.com/facebook-algorithm/">memposting video meningkatkan kemungkinan orang lain akan melihatnya</a>. Hal ini yang mendorong pergeseran dari teks ke video. Selain pemberian tagar, gambar yang dikirimkan ke Instagram dan Snapchat mungkin tidak memiliki teks yang menyertainya sama sekali.</p>
<p>Tentu saja, produksi gambar dan video memiliki seni sastra mereka sendiri, dan video dapat menjadi bentuk komunikasi yang efektif untuk perubahan politik dan sosial. Namun, ada kemungkinan bahwa pergeseran dari teks ini akan memiliki efek samping yang tak terduga.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/239995/original/file-20181010-72113-1xbv3bk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/239995/original/file-20181010-72113-1xbv3bk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/239995/original/file-20181010-72113-1xbv3bk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/239995/original/file-20181010-72113-1xbv3bk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/239995/original/file-20181010-72113-1xbv3bk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/239995/original/file-20181010-72113-1xbv3bk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/239995/original/file-20181010-72113-1xbv3bk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sebuah lingkungan media sosial yang fokus pada video mungkin akan diisi dengan pembicaraan interpersonal yang dangkal.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Kym Ellis/Unsplash)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Para peneliti awal sebelumnya berpikir komunikasi berbasis teks melalui internet akan membiarkan mereka yang memiliki status sosial yang lebih rendah dapat berpartisipasi dalam diskusi dan menciptakan perdebatan yang <a href="https://www.jstor.org/stable/2631506">lebih setara</a>, karena pembaca tidak dapat menilai yang menerbitkan post berdasarkan jenis kelamin, ras, atau kelas sosial mereka. Sekarang, tentu saja, profil media sosial yang biasanya menyediakan pembaca dengan indikasi ras dan gender dan isyarat sosial lainnya, melemahkan efek ini, tetapi pesan berbasis teks masih dapat menjangkau seluruh hambatan kelas secara lebih efektif daripada video.</p>
<p>Penting juga untuk mempertimbangkan betapa mudahnya membuat pesan yang dirancang untuk memiliki dampak sosial menggunakan media yang berbeda. Sangat mudah untuk membuat pesan video sederhana dengan ponsel, tetapi proses pembuatan video butuh keahlian lebih tinggi (dengan tambahan biaya) jika Anda ingin menggunakan teknik editing, pencahayaan, desain suara dan teknik persuasif lainnya. Lebih sulit untuk menyembunyikan indikator status seperti gender, ras dan kelas pada video daripada di teks, sehingga lebih mudah bagi mereka yang mendiskriminasi (baik secara sadar atau tidak sadar) untuk mengabaikan pesan lewat video.</p>
<h2>Masa depan</h2>
<p>Mungkin di masa depan teknologi video dan teknik pengambilan gambar akan dapat dikuasai oleh semua orang. Hal ini membawa sebuah risiko terciptanya ekosistem media sosial yang berpusat pada video, yang hanya digunakan oleh orang-orang untuk berbagi video obrolan ringan sehari-hari. Ini membuka peluang kepentingan komersial mendominasi ranah publik online dengan video. Pendidik dan orang tua dapat <a href="http://blogs.lse.ac.uk/parenting4digitalfuture/resources">membantu anak muda</a> memahami media sosial dan belajar bagaimana menggunakannya secara lebih efektif (dan aman).</p>
<p>Para akademisi, pendidik dan pembuat kebijakan kesulitan mengimbangi perilaku online yang berubah dengan cepat. Media sosial telah menjadi salah satu cara paling penting orang berkomunikasi satu sama lain dan dengan dunia. Maka kita harus berdiskusi lebih dalam soal cara kita memahami satu sama lain yang mungkin berubah karenanya. Kita juga perlu mencari keseimbangan kekuasaan antara kelompok-kelompok sosial.</p>
<p>Daripada berdebat apakah media sosial (atau perusahaan media sosial) baik atau buruk, pertanyaan kunci yang harus kita tanyakan adalah: bagaimana kelompok yang berbeda menggunakan media sosial secara berbeda dan bagaimana perbedaan itu mempengaruhi masyarakat? Ada banyak yang perlu kita pelajari.</p>
<hr>
<p><em>Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Gracesillya Febriyani</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/105035/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>David R Brake tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Banyak remaja yang berhenti menggunakan Facebook dan lebih tertarik pada platform berbagi gambar seperti Instagram dan SnapchatDavid R Brake, Researcher and Educator, University of AlbertaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.