Menu Close

Campur tangan DPR dalam riset vaksin Nusantara merusak sistem pengawasan obat dan makanan

Tindakan sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat mendukung uji klinik tahap kedua vaksin Nusantara besutan mantan Menteri Kesehatan Terawan Putranto menunjukkan pembuat undang-undang di Senayan itu miskin budaya ilmiah.

Padahal, keputusan Badan Pengawasa Obat dan Makanan (BPOM) tidak meloloskan uji tahap pertama calon vaksin tersebut merupakan langkah benar untuk melindungi keamanan dan kesehatan masyarakat.

Masalahnya, bukannya memperbaiki riset dan laporannya pada BPOM, Terawan justru mengadu kepada DPR sehingga mengembangkan wacana yang memojokkan BPOM.

Langkah politis ini berpotensi merusak sistem pengawasan obat dan makanan di Indonesia yang telah sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah dan standar internasional. Jika “perusakan” itu didukung politikus, maka kesehatan dan keamanan masyarakat akan terancam.

Otoritas ilmiah versus otoritas politik

Kasus riset vaksin Nusantara yang didukung politikus ini menunjukkan ada pertarungan panas antara otoritas ilmiah dan otoritas politik pembuat undang-undang yang dipicu oleh kepentingan peneliti dan produsen vaksin.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berkali-kali menyampaikan mengapa belum mengizinkan tahapan uji klinis Vaksin Nusantara berlanjut ke fase kedua.

Sebagai lembaga teknis ilmiah (dan bagian dari pemerintah) yang bertanggung jawab menjamin mutu, kemanjuran dan keamanan produk farmasi dan makanan, BPOM berwenang – atas perintah beberapa undang-undang – untuk menolak atau mengizinkan uji klinis dan peredarannya.

Jika suatu produk farmasi atau makanan ditolak, dibatalkan atau ditarik izin edarnya, BPOM akan dengan jelas mencantumkan status produk tersebut di laman website-nya, sehingga masyarakat memiliki rujukan yang otoritatif.

Dalam kasus-kasus yang mendapatkan perhatian besar dari masyarakat seperti ranitidin, obat penurun sekresi asam lambung berlebih, yang produknya telah beredar, BPOM menjelaskan kepada publik mengenai status produk tersebut untuk melindungi masyarakat.

Tanggung jawab BPOM adalah meregulasi dan mengawasi obat dan makanan untuk melindungi publik atau konsumen, bukan demi kepentingan produsen atau peneliti obat.

Dalam kasus Vaksin Nusantara, setelah uji klinik fase I tidak lolos karena tidak sesuai kaidah uji klinis, tugas BPOM selanjutnya adalah memberikan laporan terperinci kepada para peneliti dan produsen mengapa izin belum bisa diberikan.

Dengan cara ini, peneliti dan produsen memiliki informasi yang cukup untuk memperbaiki riset dan laporannya kepada BPOM agar produknya memiliki profil kemanjuran dan keamanan sesuai standar.

Sebagai pemilik kekayaan intelektual dan, nantinya, yang akan meraup keuntungan finansial dari sebuah produk farmasi, produsen dan peneliti memiliki akuntabilitas publik bahwa produknya aman serta memiliki kemanjuran sebagaimana yang diklaim.

Karena itu, sungguh tidak tepat ketika DPR meminta BPOM menjelaskan kepada masyarakat mengapa ada calon vaksin yang belum diedarkan di tengah masyarakat tidak diberi izin untuk dilanjutkan ke fase uji klinis berikutnya. Penjelasan ini tidak relevan bagi publik.

Justru, permintaan DPR ini seolah menimpakan kepada BPOM apa yang bukan menjadi tanggung jawabnya, sekadar untuk memojokkan BPOM.

Pentingnya standar tinggi untuk obat

Setelah BPOM menolak menerbitkan izin riset lanjutan, seharusnya produsen dan peneliti yang memiliki hak dan kewajiban menjelaskan pada masyarakat. Mereka mestinya menyampaikan apa saja kekurangannya dan apa langkah-langkah yang diambil untuk mengatasi kekurangan tersebut.

Ini praktik yang lazim dalam proses pengajuan izin edar suatu obat seperti dapat dilihat baru-baru ini dalam kasus penolakan BPOM Amerika Serikat terhadap sebuah obat dari Sanofi.

Di Indonesia, BPOM bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Kesehatan. Pola hubungan administrasi yang sama juga ada di negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan India. Walau pola hubungan ini menunjukkan hubungan atasan-bawahan antara BPOM dan presiden, tidak berarti keputusan penerbitan atau penolakan izin edar produk farmasi boleh dipengaruhi oleh tekanan politik, di luar pertimbangan ilmiah.

Ada contoh nyata tekanan politik merusak sistem pengawasan kesehatan. Situasi di Amerika Serikat semasa kepemimpinan Presiden Donald Trump yang secara politik menekan lembaga teknis sekelas Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) agar tidak mengeluarkan rekomendasi yang ketat dalam penanganan COVID-19 di negara itu telah terbukti mengundang bencana kemanusiaan.

Karena itu, kritik dari sebagian anggota DPR kepada BPOM dan langkah mereka mendatangi Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto sebagai relawan uji klinik fase 2 vaksin Nusantara merefleksikan sikap anti-ilmiah dan tidak mengedepankan pola pikir kritis.

Seolah-olah dengan cara ini mereka mengungkapkan bentuk kecintaan terhadap produk dalam negeri. Mereka mengembangkan sentimen “vaksin nasionalis”, yang sebenarnya juga tidak masuk akal karena hampir seluruh bahan baku vaksin diimpor dari luar negeri.

Sebagai wakil rakyat pembuat undang-undang, mereka bukannya mendorong lahirnya perilaku ilmiah dalam proses penerbitan izin, tapi justru mengedepankan jargon-jargon yang sama sekali tidak berhubungan dengan kajian ilmiah yang dilakukan BPOM.

DPR dukung pelanggaran hukum?

BPOM telah mengeluarkan pernyataan tidak mengizinkan uji klinis tahap kedua vaksin Nusarantara. Karena itu, langkah sebagian anggota DPR mendukung uji tahap kedua merupakan bentuk nyata mengangkangi otoritas BPOM yang menjamin kelayakan dan keamanan produk farmasi seperti vaksin.

DPR telah mendukung perilaku melanggar tatanan yang dibuat dengan semangat melindungi konsumen produk farmasi. Anggota parlemen telah memberi contoh perilaku buruk bagaimana mereka tidak mengindahkan prosedur ilmiah dalam menentukan keamanan produk farmasi yang masih dalam tahap kajian.

BPOM, seperti halnya lembaga-lembaga teknis serupa di negara-negara lain, memiliki prosedur dan tata kerja standar berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah. Proses pengambilan keputusan di lembaga teknis seperti BPOM melibatkan prosedur ilmiah dengan standar yang baku dan diterima secara internasional.

Proses ini sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan proses pengambilan keputusan politik di parlemen yang dapat dipengaruhi oleh lobi-lobi dan tekanan-tekanan politk dan ekonomi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now