Menu Close
Deforestasi yang terjadi saat pandemi COVID-19 di Desa Salena, Palu di Sulawesi Tengah. NTARAFOTO/Basri Marzuki

COVID-19, keacuhan masyarakat, dan turunnya kualitas demokrasi: tiga faktor yang ancam upaya konservasi lingkungan di Indonesia

Penelitian tentang dampak pandemi pada lingkungan hidup di seluruh dunia menunjukkan hasil yang berbeda-beda.

Beberapa contoh baik, misalnya, adalah bagaimana kebijakan lockdown dan pembatasan sosial di berbagai negara bisa mengurangi emisi gas rumah kaca dan memperbaiki kualitas udara menjadi lebih bersih.

Di sisi lain, laporan dari Lembaga Lingkungan Eropa (EEA) mengungkap peningkatan drastis penggunaan plastik sekali pakai dan semakin besarnya beban kapasitas sistem daur ulang sampah di seluruh dunia sepanjang tahun 2020.

Banyak area konservasi dan area yang dilindungi di seluruh dunia – termasuk komunitas yang hidup di berbagai wilayah tersebut – juga mengalami dampak dari menurunnya bisnis pariwisata yang peduli lingkungan maupun berkurangnya dukungan pemerintah untuk program konservasi.

Berbagai tren yang bertolak belakang di atas juga terjadi di Indonesia, salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia.

Yang semakin mengkhawatirkan di Indonesia adalah bahwa masalah lingkungan yang terkait pandemi ini tidak hanya disertai oleh rendahnya kesadaran lingkungan tapi juga kualitas demokrasi di Indonesia yang semakin buruk.

Dampak gabungan dari faktor-faktor tersebut menghambat peluang Indonesia untuk mewujudkan kebijakan lingkungan yang lebih baik di era pasca-pandemi.

Ada sedikit capaian, tapi juga masalah baru akibat COVID-19

Seperti di berbagai negara lain, pandemi COVID-19 menghasilkan dampak yang positif maupun negatif bagi lingkungan di Indonesia.

Di satu sisi, Indonesia mengurangi laju penggundulan hutan (deforestasi) pada tahun 2020. Ini merupakan akibat dari melambatnya kondisi ekonomi global dan juga berbagai kebijakan pemerintah seperti moratorium yang menghentikan upaya deforestasi serta program perhutanan sosial.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan bahwa laju deforestasi tersebut turun sebesar 75% dari tahun 2019. Mereka klaim hal tersebut sebagai “angka deforestasi terendah” yang pernah dicapai oleh Indonesia.

Namun, di saat yang sama, pemerintah telah mengumumkan rencana kontroversial tentang Program Cetak Sawah yang mengizinkan konversi area hutan lindung menjadi daerah persawahan secara besar-besaran.

Selama pandemi, perburuan hewan oleh masyarakat yang tinggal di dekat hutan dan taman nasional juga dilaporkan meningkat akibat tantangan ekonomi.

Saat aktivitas wisata lingkungan berhenti total dan penjaga taman nasional semakin mengurangi patroli mereka, semakin banyak pula warga desa yang masuk ke daerah terlindungi untuk berburu daging hewan liar.

Tantangan baru ini memperparah berbagai faktor kelembagaan, struktural, dan budaya yang selama ini telah menghambat upaya konservasi di Indonesia, jauh sebelum pandemi COVID-19.

Seorang pekerja perkebunan kelapa sawit di Jambi membawa hasil panen. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc/16.

Di antaranya adalah celah dalam hukum perlindungan lingkungan di Indonesia, praktik rente dari industri kayu kelapa sawit, serta tradisi kebudayaan seperti diperbolehkannya pemeliharaan burung kicau yang langka. Semua hal tersebut merupakan ancaman besar terhadap keanekaragaman hayati Indonesia.

Terlalu nyaman dalam keacuhan?

Meskipun COVID-19 merupakan virus yang menyebar dari hewan ke manusia dan dipercaya bersumber dari pasar hewan liar di Cina, persepsi masyarakat Indonesia terkait hubungan antara keanekaragaman hayati dan kesehatan umum masih belum banyak berubah.

Di akhir 2020, kami membuat sebuah survei untuk mencari tahu lebih banyak tentang sikap masyarakat Indonesia terhadap konservasi hewan liar.

Dalam survei tersebut, sebanyak 1.200 responden yang dipilih secara acak dari seluruh Indonesia ditanya apakah mereka mengetahui dan/atau prihatin tentang fakta bahwa banyak hewan yang dijual di pasar Indonesia terancam atau hampir punah.

Hanya minoritas, sekitar 43,9% yang mengatakan mereka sadar dan juga khawatir. Sebesar 16,3% lainnya mengatakan sadar terkait isunya tapi tidak khawatir. Sementara itu, sebesar 9,8% tidak sadar maupun khawatir.

Angka tersebut mengindikasikan adanya keperluan mendesak untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak dan risiko jangka panjang dari terancamnya keanekragaman hayati serta upaya perusakan lingkungan yang terus menerus.

Indonesia perlu kualitas pendidikan yang lebih baik untuk mencapai ini. Namun, kenyataannya kurikulum nasional dan juga buku paket untuk pelajar sekolah mengandung sedikit sekali pendidikan tentang lingkungan.

Sebaliknya, justru pendidikan agama dan karakter mengambil porsi besar dalam kurikulum. Ini mencerminkan adanya fokus yang berlebihan pada nilai moral dan nasionalisme dalam sistem pendidikan Indonesia.

Ancaman yang timbul dari melemahnya demokrasi

Selain kerusakan lingkungan akibat pandemi dan kesadaran masyarakat yang rendah tentang isu konservasi, turunnya kualitas demokrasi Indonesia beberapa tahun terakhir membawa ancaman baru terhadap upaya perlindungan lingkungan.

Pemerintah semakin sering membungkam opini kritis dan menangkap orang-orang yang melawannya. Kini masyarakat semakin susah menyuarakan pendapatnya, misalnya, ketika ada praktik korupsi dalam sektor kehutanan atau saat timbul dampak negatif dari suatu proyek infrastruktur terhadap lingkungan.

Duet maut populisme dan konservatisme agama - yang terus meningkat sejak pertengahan 2010-an – juga merupakan bentuk tantangan lain.

Melalui narasi anti-sains, gerakan-gerakan ini tidak hanya memperlambat respons Indonesia terhadap COVID-19, tapi juga mendorong intervensi pemerintah atas riset-riset yang kritis soal deforestasi dan kebakaran hutan.

Perubahan yang dilakukan terhadap struktur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2019, ditambah dengan terbitnya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (atau Omnibus Law) yang kontroversial pada tahun 2020, juga berpotensi menimbulkan dampak buruk pada lingkungan.

Pekerja di Jawa Barat berdemonstrasi untuk melawan penerbitan UU Cipta Kerja. ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/hp.

Melalui perubahan struktur, KPK kehilangan berbagai kekuatan dan kapasitasnya yang sebelumnya sangat efektif dalam mengekspos korupsi dan kolusi di sektor kehutanan.

Sementara UU Cipta Kerja telah berkontribusi besar dalam melemahkan regulasi perlindungan lingkungan serta membatasi kemampuan masyarakat sipil dalam menentang berbagai proyek yang bermasalah dan mengancam lingkungan.

Pada akhirnya, kombinasi antara masalah lama dan juga tren baru menciptakan dampak negatif yang besar bagi lingkungan Indonesia di era pasca-pandemi.

Indonesia harus segera mengatasi kemerosotan kualitas demokrasi yang sedang terjadi, tidak hanya untuk merawat reputasi demokrasinya tapi juga untuk mendukung upaya yang lebih baik dalam melindungi warisan alam yang tiada duanya.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now