Menu Close

Daging dan maskulinitas: kenapa sebagian laki-laki enggan menyantap makanan nabati

Shutterstock.

Makanan pengganti daging sudah menjamur di mana-mana: di warung burger, restoran mewah, ataupun supermarket.

Namun, laki-laki nampaknya punya keterikatan yang sangat intens dengan daging. Hal tersebut menjadi batu sandungan bagi pertumbuhan penjualan makanan alternatif yang mencapai 46% pada 2020 di Australia.

Sementara secara global, nilai industri substitusi daging sudah mencapai sekitar A$ 4,9 miliar (sekitar Rp 50,3 triliun).

Kami melakukan studi berbasis wawancara dengan 36 laki-laki yang baru mengunjungi restoran vegan di Sydney dan melahap burger nabati (plant-based burger). Para lelaki tersebut makan daging hewan sekitar empat-lima kali saban pekan. Tak satupun dari mereka yang secara rutin menambahkan makanan nabati dalam daftar makanan mereka.

Mengapa hal itu terjadi? Bagian ini yang paling menarik.

Banyak responden kami yang mengaitkan daging dengan maskulinitasnya. “Saya tidak mau menjadi bahan banyolan karena makan burger nabati,” ujar seseorang. Responden lainnnya menganggap burger nabati “merusak reputasi[nya] sebagai seorang pria”.

Sedangkan responden ketiga mengatakan, dia merasa bersalah memilih burger nabati: “Saya merasa telah mengorbankan kejantanan saya, maskulinitas saya. Yang paling buruk adalah ketika Anda dipaksa untuk makan karena semua orang melahapnya. Tidak ada pilihan lain.”

Kenapa sejumlah laki-laki bereaksi negatif terhadap makanan pengganti daging?

Jawaban-jawaban negatif di atas amat mengejutkan. Sebab, responden kami adalah laki-laki berusia 18-40 tahun. Generasi ini kemungkinan besar menganut flexitarianisme (yang berusaha mengurangi daging) dan lebih banyak melahap makanan nabati.

Kami percaya ada dua respons psikologis terkait jawaban-jawaban tersebut:

  • Responden kami melihat menu khusus vegan sebagai hambatan bagi kebebasan mereka untuk memilih makanan. Hal tersebut di luar dari persoalan apakah mereka menikmati burgernya. Mereka bertekad untuk mempertahankan kebebasan ini. Hal tersebut sejalan dengan gagasan reaktansi psikologis, yang menunjukkan bahwa semakin dilarang, maka orang akan cenderung semakin melanggar suatu pembatasan.

  • Di sisi lain, responden kami ingin menyenangkan kekasih atau teman yang telah membawa mereka ke restoran. Ini terkait dengan teori manajemen kesan (impression management theory), yang menjelaskan bagaimana kita berusaha untuk mengendalikan bagaimana orang lain melihat kita. Penelitian telah menunjukkan bahwa laki-laki, khususnya, dapat membeli makanan yang lebih besar dan tidak sehat sebagai bagian dari manajemen kesan. Orang-orang yang kami wawancarai harus menyeimbangkan antara bagaimana pasangan mereka melihat mereka dengan bagaimana teman-teman mereka dan laki-laki lain akan melihat pilihan mereka.

Burger nabati dengan tanda panggangan
Burger nabati sedang populer – tetapi apakah mereka cukup ‘daging’ untuk sebagian laki-laki? Shutterstock

Apa yang terjadi jika kedua teori ini bertabrakan? Anda akan mendapatkan beberapa pola yang muncul seperti ini:

  • fokus pada popularitas tren vegan. Seorang responden berusia 18 tahun memberi tahu kami: “Anda tidak perlu menjadi seorang vegan untuk pergi dan mencoba burger berbasis tumbuhan. Saya bukan seorang vegan, tetapi semua orang membicarakan burger ini. Burger ini sangat populer.” Responden lain berusia 29 tahun berkata: “Kami dulu pergi keluar dan makan steak dan burger di pub dan restoran steak… sekarang kami berbaur dengan pemakan burger nabati. Dunia yang aneh!”

  • melindungi maskulinitas melalui pilihan makanan. Seorang laki-laki berusia 22 tahun memberi tahu kami: “Saat ini, teman-teman dapat melacak Anda di mana-mana. Saya tidak mau menjadi bahan candaan teman-teman lantaran burger nabati.” Sementara, seorang pemuda berusia 19 tahun mengatakan bahwa dia harus “menjaga apa yang (pacar saya) katakan di depan teman laki-laki saya. Saya pikir dia cukup pintar dan mengerti implikasi dari ini. Kami memiliki teman vegan, dan semua orang terus-menerus membodohinya. Teman-teman saya berpikir bahwa saya dapat menggantikan dia karena saya mengkonsumsi burger nabati. Itu sangat menjengkelkan.”

  • skeptisisme atas rasa burger nabati. Seorang berusia 32 tahun memberi tahu kami bahwa burger nabati “bagi saya rasanya tidak enak… bahkan tidak mendekati daging asli. Kita bisa mencobanya sekali, tetapi hanya itu.”

  • Kekhawatiran atas kesehatan burger nabati. Seorang berusia 21 tahun memberi tahu kami burger nabati tidak lebih baik untuk kesehatan dibandingkan dengan burger konvensional. “Mereka adalah (burger) tiruan yang sudah diolah,” katanya.

Mengapa transisi ke pangan nabati penting?

Kemunculan industri substitusi daging merupakan respons nyata terhadap seruan untuk mengubah sistem pangan kita saat ini. Pasalnya, jejak karbon dari hewan yang dibiakkan untuk daging begitu besar. Habitat asli satwa-satwa juga dibabat untuk menciptakan lebih banyak ladang, hingga perkara kesejahteraan hewan.

Ketergantungan kita pada daging juga memengaruhi kesehatan kita, baik secara individu maupun tingkat populasi. Alternatif baru untuk mengganti daging hewani merupakan awal transisi menuju pilihan makanan yang lebih berkelanjutan.

Ekskavator di hutan yang dibuka untuk peternakan
Pembukaan lahan untuk daging hewan adalah sumber utama keanekaragaman hayati dan hilangnya hutan belantara. Shutterstock

Sayangnya, pangan nabati (jika bisa menggantikan daging secara konsisten) hanya dapat membantu kita mengatasi krisis lingkungan yang tumpang tindih seperti perubahan iklim, kepunahan, hilangnya hutan belantara, dan polusi.

Kita juga perlu meningkatkan kualitas bahan baku makanan nabati dan menekan pemrosesannya agar nutrisinya tetap terjaga.


Read more: Bingung mau makan apa? Sains dapat membantu Anda memilih menu yang sehat


Memaksa orang untuk meninggalkan daging hewan bukanlah langkah awal. Sebab, reaksi seseorang terhadap hilangnya kebebasan justru bisa menjadi bumerang terhadap upaya transisi sistem pangan yang berkelanjutan.

Kita mesti mengikuti motivasi psikologis beberapa laki-laki, khususnya, yang memiliki keterikatan kuat terhadap daging hewan.

Bagaimana caranya? Pemasaran sosial (dari mulut ke mulut) akan menjadi awal yang baik – belajar dari keberhasilan berbagai kampanye sebelumnya terkait transisi menuju hal baik (kampanye untuk mengurangi konsumsi tembakau, penggunaan tabir surya, dan vaksinasi COVID).

Studi kami menunjukkan, pesan pemasaran apa pun untuk mendorong laki-laki mengambil alternatif nabati perlu disesuaikan dengan sangat hati-hati. Ini dapat mencakup:

  • Menggambarkan makanan nabati sebagai pilihan yang tepat untuk memperbaiki nutrisi, mengurangi risiko kesehatan, dan memperbaiki lingkungan. Pendekatan ini kemungkinan akan menekan reaksi negatif akibat pembatasan.

  • Menghadirkan bentuk-bentuk baru identitas maskulin. Fokusnya bisa menggambarkan bahwa makanan ‘lelaki’ adalah yang memiliki aspek perawatan tubuh maupun lingkungan agar tercipta manajemen kesan yang positif.

Meski sejumlah orang enggan ataupun tidak suka makanan nabati, industri substitusi daging diperkirakan masih akan tumbuh kuat. Kontribusinya bahkan dapat mencapai A$ 3 miliar (Rp 30,8 triliun) ke ekonomi Australia pada 2030.

Jika kita bisa membawa semua orang – bahkan yang mengklaim dirinya sebagai karnivora – bertransisi ke pangan nabati, maka industri tersebut bisa berkontribusi jauh lebih besar.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now