Menu Close
Erupsi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda Lampung, 21 Oktober 2018. Arief Adhari/Shutterstock

Dampak erupsi Gunung Anak Krakatau pada biodiversitas dan tanah

Aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau yang memicu terjadinya tsunami di Selat Sunda menyebabkan setidaknya 430 korban tewas di kawasan pantai Banten dan Lampung pada 22 Desember 2018.

Indikasi aktivitas Anak Krakatau sebagai penyebab gelombang pasang dahsyat tersebut ditunjukkan oleh perubahan tubuh Anak Krakatau akibat erupsi ini. Sebelum tsunami tinggi Anak Krakatau mencapai 338 meter, setelah tsunami tinggal 110 m. Volume Anak Krakatau berkurang sekitar 70-80%.

Ilustrasi lokasi erupsi Anak Krakatau di peta di Selat Sunda, 22 Desember 2018. Hani Santosa/Shutterstock

Di luar urusan bencana tersebut, gunung Anak Krakatau, yang terletak di tengah lautan, merupakan lokasi penelitian yang sangat menarik bagi para peneliti internasional. Area Anak Krakatau menjadi laboratorium hidup dan saksi dimulainya proses kehidupan. Pertumbuhan gunung baru dan dimulainya siklus flora dan fauna di sana menarik minat para peneliti botani, biologi, zoologi, geologi, ekologi, dan pedologi (geologi tanah).

Di balik dahsyatnya erupsi gunung, material yang dikeluarkannya merupakan bahan induk dari tanah. Dari material vulkanis ini seiring dengan waktu akan berkembang menjadi tanah yang subur.

Aktivitas vulkanik Krakatau Purba dapat ditelusuri hingga pada 416 Masehi yang dipercaya memicu gempa vulkanik dan tsunami. Erupsi Krakatau yang begitu dahsyat pada 1883 telah memusnahkan seluruh biodiversitas di Pulau Rakata, Panjang, Sertung, bahkan Pulau Sibesi, Lampung, yang berada 19 kilometer di utara. Saat itu permukaan tanah di pulau-pulau tersebut tertutup abu vulkanis dan mencapai 3 meter di Sibesi. Abu vulkanis Krakatau melapisi pesisir barat laut dan selatan Lampung.

Kala itu, volume material vulkanis yang dikeluarkan mencapai 25 kilometer kubik yang menutupi kawasan seluas 1,1 juta kilometer persegi. Ini termasuk material vulkanis yang menumpuk setinggi 40 meter di dasar laut. Terlempar dan jatuhnya kembali material vulkanis ini menyebabkan tsunami di Selat Sunda pada masa itu.

Walau erupsi kala itu terjadi di kawasan tropis, dampaknya dirasakan seluruh dunia, berupa turunnya suhu global dan kegelapan melanda hingga Eropa. Beberapa tahun berikutnya, terjadi anomali cuaca seperti turunnya salju di Cina pada musim panas. Redupnya sinar matahari menyebabkan laju foto sintesis tanaman pertanian terhambat yang berakibat gagal panen di Eropa.

Kondisi tanah

Kepulauan Krakatau di Selat Sunda merupakan puncak-puncak dari gunung api yang kakinya menapak di dasar laut. Ada Pulau Rakata, Sertung, dan Panjang yang dulu dipercaya merupakan satu kesatuan di sana. Kemudian Gunung Anak Krakatau lahir pada 1930. Gunung tersebut mengalami siklus lahir, tumbuh, hancur, tumbuh dan begitu seterusnya.

Pada April 2015, saya memimpin para peneliti ilmu tanah dari Universitas Andalas mengadakan survei di Pulau Rakata, Panjang, Anak Krakatau, dan Sibesi. Di tiap lokasi, kami mengambil tanah sampai kedalaman tertentu dan dianalisis tanahnya di laboratorium. Ternyata kadar SiO2 (silika) dari sampel yang diambil berkisar antara 52-75% dan kadar SiO2 tertinggi ditemukan pada sampel Rakata dan Sibesi. Silika termasuk unsur hara mikro dan dibutuhkan untuk membantu metabolisme tanaman dan membantu tanaman mengatasi keadaan kekeringan.

Lokasi penelitian tanah di Kepulauan Krakatau, April 2015. Author provided

Kadar belerang tertinggi didapatkan pada sampel Anak Krakatau diikuti oleh sampel dari Panjang, Rakata dan Sibesi. Belerang diperlukan tanaman untuk pembentukan enzim dan protein.

Kadar unsur hara makro yang diperlukan tananaman untuk tumbuh antara lain kalsium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K) dan fosfor (P). Kalsium dari sampel Anak Krakatau lebih tinggi dibandingkan sampel lainnya mencapai 6,4%, Mg 5%, K 2% dan P 1%. Hal ini memberikan indikasi material Anak Krakatau lebih baru dibandingkan dengan yang lainnya. Tingginya kadar unsur hara makro esensial ini berarti kebutuhan tanaman tersedia secara alami dan tidak diperlukan penambahan dengan pupuk anorganik.

Kalsium dibutuhkan tanaman untk memicu reaksi pada titik-titik tumbuh tanaman seperti pada pucuk daun dan ujung akar. Jika tanaman kekurangan kalsium maka pertumbuhannya terhambat. Magnesium berperan dalam pembentukan zat hijau daun atau khlorofil dan sebagai aktivator beberapa enzim tanaman,

Sampel Anak Krakatau juga memiliki indeks pelapukan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan sampel dari Panjang, Rakata, dan Sibesi. Indeks pelapukan yang masih rendah memberikan indikasi proses pelapukan mineral primer masih pada tahap awal dan masih banyak cadangan unsur hara makro tersimpan pada tanah.

Kadar karbon organik tertinggi didapatkan pada tanah dari Sibesi yang mencapai 4,28% diikuti sampel dari Rakata, Panjang dan Anak Krakatau yang paling sedikit hanya 0,14%. Tanah Sibesi yang mempunyai bahan organik tanah yang lebih tinggi berarti ketersediaan nutrisi untuk pertumbuhan tanaman lebih banyak dibandingkan tanah di 3 pulau lainnya.

Kadar karbon organik ini berasal dari hasil pelapukan bahan organik seperti dari akar, dedaunan dan mikroorganisme yang ada di tanah. Kadar bahan organik akan bertambah seiring waktu dan meningkatnya proses suksesi tanaman.

Interaksi dari organisme yang ada di tanah akan meningkatkan kesuburan tanah. Material hasil erupsi merupakan material anorganik. Jika telah terjadi revegetasi (tumbuhnya tanaman lagi) di lapisan abu vulkanis, maka bertambah material organik pada material anorganik abu vulkanis yang dibutuhkan tanaman. Proses pengayakan unsur hara ini berlangsung secara bertahap.

Tanah di Kepuluauan Krakatau masih tergolong muda dan termasuk ordo Entisols jika menggunakan sistem Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff-USDA). Entisols merupakan tanah yang baru terbentuk dan hanya memiliki lapisan tanah atas berhumus yang tipis. Tekstur tanah masih kasar, didominasi butiran pasir, mempunyai kandungan glas vulkan yang tinggi (>30%). Ini berarti tanah mempunyai cadangan mineral primer yang tinggi dan ketika mineral primer melapuk akan dikeluarkan unsur hara yang dibutuhkan tanaman.

Kolonisasi dan suksesi biota

Lalu, bagaimana corak vegetasi di kawasan gunung tersebut setelah berkali-kali disapu oleh lava dan awan panas yang membawa abu vulkanis? Terdapat perbedaan yang signifikan antara vegetasi yang dijumpai di Pulau Rakata, Sertung, dan Panjang dari penelitian Tagawa dkk pada 1982. Neonauclea calycina (Bengkal Batu) mendominasi di Rakata.

Di Pulau Rakata ditemukan Timonius compressicaulis (pohon Binasi) dan Dysoxylum caulostachyum (pohon Kedoya) yang tidak ditemukan sebelumnya. Hasil penelitian para ahli zoologi dan botani E.R. Schmidt dan rekan-rekannya pada 1993 menunjukkan ada pertambahan satu sampai tiga spesies tanaman dari tahun 1982 yaitu 7 spesies di Rakata, di Sertung ada 3, di Panjang 4 (bertambah 3) dan di Anak Krakatau 4 (bertambah 3).

Kecuali Anak Krakatau, tiga pulau lainnya sudah didominasi oleh vegetasi hutan sekunder sedangkan Anak Krakatau masih berupa rerumputan dan Casuarina atau cemara laut.

Bila letusan Krakatau pada 1883 menghanguskan seluruh keanekaragaman hayati di pulau tersebut, dari manakah datangnya pepohonan itu? Pepohonan di Rakata, Panjang dan Sertung dipercaya berasal dari benih tanaman yang ada di bawah tanah yang tertimbun abu vulkanis. Ketika tebal abu vulkanis berkurang akibat tercuci air hujan, seiring waktu muncul tunas-tunas baru dari beberapa tanaman yang sebelumnya dorman di bawah lapisan abu vulkanis.

Siklus vegetasi Anak Krakatau diyakini bermula dari awal yaitu tanaman satu sel seperti alga biru-hijau, lumut kerak, rerumputan seperti yang kami temukan dalam riset pada percobaan dengan abu vulkanis dari Gunung Talang Sumatra Barat. Sedangkan untuk cemara laut, bibitnya bisa berasal dari pulau lain yang terbawa ombak sampai ke pantai anak Krakatau.

Anggrek Cymbidium finlaysonianum, Spathoglottis plicata dan Arundina graminifolia ditemukan tumbuh di dinding jurang terjal Pulau Panjang pada 1896 atau 13 tahun setelah erupsi 1883. Setahun setelah itu ditemukan juga di Rakata. Sebuah penelitian menyimpulkan sampai 1998 tercatat ada 40 spesies anggrek yang ditemukan di Kepulauan Krakatau.

Fauna yang ditemukan di Rakata, Sertung, dan Panjang pada awal 1980 mencapai 109 spesies yang terdiri dari 47 jenis burung, 17 reptil, 19 jenis kelelawar dan 6 non-volant mammals (mamalia daratan). Adapun fauna yang ditemukan para peneliti itu di Anak Krakatau berupa burung dan kupu-kupu.

Adapun aktivitas pertanian di Pulau Sibesi dimulai 1890 oleh keluarga Djamaluddin dengan menanam pohon kelapa yang bibitnya dibawa dari Lampung. Setelah itu Sibesi menjadi salah satu sentra produksi kelapa dan kopra di Provinsi Lampung.

Pada awal 2008 kakao ditanam juga di sini dan produktivitasnya tergolong tinggi. Ketika kami survei ke Sibesi pada April 2015, pohon pisang banyak ditanam penduduk. Hampir setengah dari kapal yang akan berangkat ke Kalianda Lampung berisi buah pisang.

Sedangkan fauna di Kepulauan Krakatau diawali dengan datangnya burung dan kelelawar. Mereka akan datang setelah tumbuhnya vegetasi. Fauna yang lain datang dengan cara berenang dari pulau terdekat, terbawa arus laut atau dari kapal-kapal yang singgah ke sana.

Efek abu vulkanis ke laut

Abu vulkanis Anak Krakatau yang jatuh di laut mempunyai dampak terhadap ekosistem laut. Sayangnya belum ditemukan laporan penelitian yang membahas tentang ini. Flaathen dan Gislason, peneliti Islandia, melaporkan terjadi penambahan unsur hara untuk pertumbuhan plankton yaitu besi (Fe) dan flour (F) pada air laut di sekitar Gunung Hekla Islandia ketika erupsi pada 1991 dan 2000. Peneliti Jerman Svend Duggen dan koleganya melaporkan bahwa terjadi peningkatan produktivitas biota laut setelah partikel abu vulkanis jatuh ke laut.

Unsur hara esensial seperti P (fosfor), Fe (besi), Zn (seng), Ni (nikel) dan tembaga (Cu) meningkat setelah abu vulkanis berada di laut 1-2 jam. Unsur-unsur tersebut dibutuhkan oleh fitoplankton. Fitoplankton merupakan makanan utama ikan yang ada di laut. Dalam konteks Anak Krakatau, dibutuhkan riset tentang dampak abu vulkanis terhadap biota laut.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,800 academics and researchers from 4,938 institutions.

Register now