Menu Close

Dampak makan daging terhadap perubahan iklim sebenarnya tidak sebesar yang kita bayangkan

Dua ekor sapi ternak merumput di tanah publik dekat Gunung Steens, Oregon. BLM/Greg Shine, CC BY

Ketika dampak perubahan iklim semakin mengkhawatirkan, gerakan mengurangi makan daging menjadi gerakan yang populer. Para aktivis lingkungan mendesak masyarakat untuk mengurangi makan daging untuk menyelamatkan lingkungan. Beberapa aktivis telah menyerukan pemberlakuan pajak atas daging untuk mengurangi konsumsi daging.

Klaim yang mendasari argumen ini menyatakan bahwa secara global, produksi daging menghasilkan lebih banyak gas rumah kaca dibanding yang dihasilkan seluruh sektor transportasi. Namun, klaim ini terbukti salah, seperti yang akan saya tunjukkan dalam artikel ini. Dan klaim yang salah ini telah menyebabkan asumsi yang salah tentang keterkaitan antara daging dan perubahan iklim.

Penelitian saya fokus pada cara-cara peternakan mempengaruhi kualitas udara dan perubahan iklim. Dalam pandangan saya, ada banyak alasan untuk memilih protein hewani atau protein nabani. Namun, tidak memilih daging dan produk daging bukanlah ‘obat mujarab’ bagi lingkungan sebagaimana dipercayai para aktivis. Dan jika dilakukan secara ekstrem, itu juga bisa memiliki konsekuensi gizi yang berbahaya.

Produksi ternak global berdasarkan wilayah (susu dan telur dinyatakan dalam protein). FAO, CC BY-ND

Apa hubungan antara daging dan gas rumah kaca?

Banyak orang menduga bahwa ternak adalah sumber terbesar gas rumah kaca (GRK) di seluruh dunia. Sebagai contoh, sebuah analisis tahun 2009 yang diterbitkan oleh organisasi Worldwatch Institute yang berbasis di Washington D.C., Amerika Serikat menyatakan bahwa 51% emisi GRK global berasal dari pemeliharaan dan pengolahan ternak.

Menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat, sumber terbesar emisi GRK Amerika pada tahun 2016 adalah produksi listrik (28% dari total emisi), transportasi (28%) dan industri (22%). Sektor pertanian secara keseluruhan menyumbang hanya sebesar 9%. Dari sektor peternakan hewan secara keseluruhan menyumbang kurang dari setengah jumlah ini, yaitu 3,9% dari total emisi gas rumah kaca AS. Angka tersebut sangat berbeda dari klaim yang mengatakan ternak memberikan sumbangan GRK lebih banyak dari sektor transportasi.

Mengapa kesalahpahman ini terjadi? Pada tahun 2006, Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) menerbitkan sebuah penelitian berjudul “Bayangan Panjang Peternakan (Livestock’s Long Shadow),” yang mendapat perhatian luas secara global. Disebutkan bahwa ternak memberikan kontribusi sebesar 18% emisi gas rumah kaca dunia. FAO menarik kesimpulan yang mengejutkan: Peternakan memberikan kontribusi yang lebih banyak dalam kerusakan lingkungan dibanding semua moda transportasi digabung.

Klaim terakhir ini salah, dan telah dikoreksi oleh Henning Steinfeld, salah seorang penulis senior laporan tersebut. Masalah dari laporan tersebut ada pada metodologi analisis. Analis FAO menggunakan penilaian atas siklus hidup yang komprehensif untuk mempelajari dampak iklim dari ternak, tetapi menggunakan metode yang berbeda ketika mereka menganalisis transportasi.

Untuk ternak, mereka mempertimbangkan setiap faktor yang terkait dengan produksi daging. Ini termasuk emisi dari produksi pupuk, mengubah lahan dari hutan menjadi padang rumput, menanam pakan, dan emisi langsung dari hewan (bersendawa dan pupuk kandang) dari lahir hingga mati.

Namun, ketika mereka melihat jejak karbon transportasi, mereka mengabaikan dampak pada iklim proses pembuatan bahan baku dan bagian-bagian kendaraan, perakitan kendaraan dan pemeliharaan jalan, jembatan, dan bandara. Sebaliknya, mereka hanya mempertimbangkan emisi yang dikeluarkan oleh knalpot mobil, truk, kereta api, dan pesawat terbang. Akibatnya, perbandingan FAO tentang emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan dengan sektor transportasi menjadi sangat terdistorsi.

Para peneliti telah mengidentifikasi beberapa opsi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan. Garis merah mewakili kisaran potensial penurunan GRK untuk setiap proses peternakan. Herrero et al, 2016, via Penn State University, CC BY-NC-SA

Saya menunjukkan kesalahan ini dalam sebuah pidato kepada sesama ilmuwan di San Francisco pada 22 Maret 2010, yang menyebabkan membanjirnya liputan media. Sebagai catatan, FAO segera mengakui kesalahannya. Sayangnya, klaim awal agensi tersebut bahwa ternak bertanggung jawab atas bagian terbesar dari emisi gas rumah kaca dunia telah menerima pemberitaan luas. Hingga hari ini, kami berjuang untuk merevisi pemberitaan tersebut.

Dalam laporan penilaian terbarunya, FAO memperkirakan bahwa ternak menghasilkan 14,5% dari emisi GRK global yang berasal dari kegiatan manusia. Tidak ada penilaian lengkap yang sebanding untuk sektor transportasi secara keseluruhan. Namun, seperti yang telah ditunjukkan oleh Steinfeld, emisi langsung dari transportasi versus ternak bisa dibandingkan, dan hasilnya 14% dari emisi transportasi berbanding 5% dari peternakan.

Berhenti mengkonsumsi daging tidak akan menyelamatkan lingkungan

Banyak orang masih mempercayai bahwa mengurangi konsumsi daging menjadi satu kali seminggu akan membuat perbedaan yang signifikan terhadap lingkungan. Tetapi menurut sebuah studi baru-baru ini, bahkan jika orang Amerika menghilangkan semua protein hewani dari diet mereka, mereka hanya akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 2,6%. Menurut penelitian kami di University of California, Davis, jika praktik Senin Tanpa Daging diadopsi oleh semua orang Amerika, kita hanya akan melihat pengurangan emisi GRK sebesar 0,5%.

Selain itu, perubahan teknologi, genetik, dan manajemen yang telah terjadi di pertanian Amerika selama 70 tahun terakhir telah membuat produksi ternak lebih efisien dan menghasilkan lebih sedikit gas rumah kaca. Menurut basis data statistik FAO, total emisi gas rumah kaca langsung dari peternakan AS telah menurun 11,3% sejak 1961, sementara produksi daging ternak meningkat lebih dari dua kali lipat.

Permintaan atas daging meningkat di negara-negara berkembang, dengan tingginya permintaan dari kawasan Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Tenggara. Tetapi konsumsi daging per kapita di wilayah ini masih tertinggal apabila dibandingkan dengan negara maju. Pada tahun 2015, rata-rata konsumsi daging per kapita tahunan di negara-negara maju adalah 92 kilogram, bandingkan dengan 24 kilogram di Timur Tengah dan Afrika Utara dan 18 kilogram di Asia Tenggara.

Namun, mengingat pertumbuhan populasi yang diperkirakan akan tumbuh pesat di negara berkembang, tentu akan ada peluang bagi negara-negara seperti Amerika Serikat untuk membawa praktik pemeliharaan ternak berkelanjutan mereka ke negara berkembang.

Di negara-negara berkembang, memelihara ternak seperti kambing di Kenya merupakan sumber makanan dan pendapatan penting bagi banyak petani dan penggembala skala kecil. Loisa Kitakaya, CC BY-SA

Harga dari industri peternakan

Menghapus peternakan dari sektor pertanian Amerika Serikat akan menurunkan sedikit emisi gas rumah kaca, tetapi juga akan membuat lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan gizi. Banyak kritik mengatakan jika petani hanya memelihara tanaman, mereka dapat menghasilkan lebih banyak makanan dan lebih banyak kalori per orang. Tetapi manusia juga membutuhkan banyak nutrisi mikro dan makro yang penting untuk kesehatan.

Sulit untuk membuat argumen yang meyakinkan bahwa Amerika Serikat memiliki defisit kalori, mengingat tingginya angka nasional obesitas orang dewasa dan anak. Selain itu, tidak semua bagian tanaman dapat dimakan atau diinginkan. Memelihara ternak adalah cara untuk menambah nilai gizi dan nilai ekonomis pada tanaman pertanian.

Sebagai salah satu contoh, energi pada tanaman yang dikonsumsi ternak paling sering terkandung dalam selulosa, yang tidak dapat dicerna manusia dan banyak mamalia lainnya. Tetapi sapi, domba, dan hewan lainnya dapat memecah selulosa dan melepaskan energi matahari yang terkandung dalam sumber daya yang luas ini. Menurut FAO, sebanyak 70% dari semua lahan pertanian secara global adalah tanah yang hanya dapat digunakan sebagai lahan penggembalaan untuk ternak.

Populasi dunia saat ini diproyeksikan mencapai 9,8 miliar orang pada tahun 2050. Memberi makan orang sebanyak ini akan menimbulkan tantangan besar. Daging lebih padat nutrisi per sajian daripada pilihan vegetarian, dan hewannya sebagian besar mengkonsumsi makanan yang tidak cocok untuk manusia. Memelihara ternak juga menawarkan penghasilan yang sangat dibutuhkan bagi petani skala kecil di negara berkembang. Di seluruh dunia, ternak menyediakan mata pencaharian bagi 1 miliar orang.

Perubahan iklim menuntut perhatian cepat, dan industri peternakan meninggalkan jejak lingkungan besar secara keseluruhan yang mempengaruhi udara, air, dan tanah. Hal ini, dikombinasikan dengan populasi dunia yang meningkat pesat, mendorong kita untuk terus bekerja demi efisiensi yang lebih besar dari industri peternakan. Saya percaya tempat untuk memulai semua itu adalah dengan fakta berbasis sains.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now