Menu Close
Australia dan Indonesia keduanya bukan pengklaim resmi di Laut Cina Selatan. Shutterstock

Dapatkah Indonesia-Australia bekerja sama mengatasi tantangan di Laut Cina Selatan?

Cina semakin dekat ke tujuannya untuk mengambil kendali de facto di Laut Cina Selatan (LCS). Amerika Serikat telah merespons dengan mengirimkan kapal perang dan helikopter secara rutin. Namun, ini tampaknya tak akan menghentikan derap maju Cina di LCS dan ketegangan antara AS dan Cina akan terus meningkat.

Australia dan Indonesia memiliki kepentingan bersama yaitu memastikan perdamaian dan keamanan di LCS karena kesejahteraan kedua negara ini melekat pada jalur perdagangannya. Namun untuk meminimalkan peluang konflik, dua kekuatan tengah ini harus fokus pada menghadapi tantangan yang muncul dari LCS, seperti penangkapan ikan ilegal.

Kerja sama kekuatan tengah di Laut Cina Selatan?

Di antara cendekiawan Indonesia dan Australia telah terjadi debat panjang mengenai bagaimana dua negara ini sebaiknya, masing-masing, bereaksi terhadap sengketa-sengketa di LCS. Namun akhir-akhir ini, ada diskusi mengenai bagaimana kekuatan tengah seperti Australia dan Indonesia, bisa memainkan peran konstruktif dalam menghadapi tantangan-tantangan LCS bersama-sama.

Kekuatan tengah secara longgar diartikan sebagai negara-negara yang kekuatan geopolitik dan ekonominya “tidak besar juga tidak kecil”. Mereka seringkali berperan sebagai pembangun koalisi yang orientasinya multilateral. Mereka bekerja di bawah hukum internasional untuk membatasi ambisi-ambisi para kekuatan besar. Kekuatan tengah juga memperkuat pengaruh kekuatan kecil melalui pembentukan rezim dan organisasi-organisasi internasional.

Gagasan bahwa kekuatan tengah harus membentuk satu komunitas untuk menyelesaikan masalah-masalah di wilayah tidaklah baru. Mantan Menteri Luar Negeri Australia Gareth Evans telah menyerukan kekuatan-kekuatan tengah di Asia untuk memperbarui aktivismenya demi menengahi relasi kekuatan-kekuatan besar. Ahli strategi seperti Brendan Taylor dan William Tow, juga Sukjoon Yoon dan C.J. Jenner, telah mengajak komunitas kekuatan tengah untuk membantu menengahi sengketa-sengketa di LCS dan mendorong kerja sama dalam menyelesaikan tantangan keamanan yang terkait.

Australia dan Indonesia (dan kadang Korea Selatan) kerap ditunjuk sebagai kekuatan tengah yang seharusnya memimpin komunitas itu. Kedua negara memiliki kekuatan ekonomi dan strategis yang cukup, keduanya secara resmi bukan pengklaim (non-claimant) di sengketa LCS, dan tujuan keamanan kedua negara ini sama. Indonesia dan Australia sama-sama mengadvokasi tatanan internasional yang didasari peraturan untuk membatasi ambisi kekuatan-kekuatan besar yang menghalangi kepentingan negara-negara yang lebih kecil.


Baca juga: Pentingnya ASEAN melibatkan masyarakat sipil untuk memecahkan persoalan regional


Wilayah kerja sama yang memungkinkan?

Dapatkah Australia dan Indonesia secara efektif menengahi ketegangan antara kekuatan-kekuatan besar ini? Adakah ruang untuk kerja sama bagi dua kekuatan tengah untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan LCS?

Mediasi, menurut Profesor Andrew O’Neil bisa jadi sulit karena Canberra dan Jakarta memiliki tantangan strategisnya sendiri-sendiri.

Australia terlalu dekat dengan AS untuk menjadi “pihak netral”. Sementara Indonesia dianggap sebagai pengklaim tidak resmi dalam sengketa LCS, karena ada tumpang tindih antara Nine-Dash Line, garis demarkasi yang diklaim Cina, dan Laut Natuna Utara. Faktor-faktor ini membatasi kemampuan kedua negara untuk memainkan peran bermakna dalam memediasi ketegangan di LCS.

Namun, ada ruang untuk kerja sama kekuatan tengah dalam menangani tantangan spesifik dan sumber konflik di LCS.

Sebagai langkah awal, mereka bisa berfokus pada hal-hal di luar isu tradisional keamanan laut, seperti penangkapan ikan ilegal dan pembajakan, karena kedua isu ini berpotensi memantik konflik antarnegara.

Ada kebutuhan spesifik untuk mengatasi masalah penangkapan ikan berlebihan dan ilegal di LCS. Seperti pernah dibahas di The Conversation tahun lalu, sumber ikan yang menipis dan eksploitasi berlebihan terhadap telah mendorong para nelayan di wilayah tersebut untuk mencari ikan lebih jauh lagi. Pertengkaran antara nelayan dan patroli laut semakin kerap dan berpotensi untuk mengibarkan sentimen nasionalisme di masing-masing negara yang terlibat.

Suatu rezim wilayah harus dibangun untuk menyelesaikan masalah penangkapan ikan berlebihan. Rezim itu harus memastikan pengelolaan sumber perikanan yang lestari dan menangani isu legalitas penangkapan ikan di laut terbuka.

Australia dan Indonesia dapat berperan penting untuk mendorong rezim tersebut terbentuk. Di bawah Presiden Joko Widodo, Indonesia telah menjadikan penanganan penangkapan ikan ilegal sebagai prioritas. Sementara, Australia, dengan pengalaman dan keahlian di bidang kelola perikanan dan kelautan bisa membantu dalam hal pengembangan kapasitas.

Tahun depan akan ada Australia-ASEAN Leaders’ Summit yang pertama dan ini bisa menjadi tempat untuk memulai percakapan berkait kerangka manajemen perikanan.

Australia dan Indonesia harus juga memperbarui forum-forum keamanan yang telah ada, seperti Pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN+ dan Forum Regional ASEAN. Forum-forum ini kerap dikritik karena menjadi ajang bincang-bincang tak terarah. Para cendekiawan dan pembuat kebijakan juga sering terpecah soal apakah kita harus membuat forum keamanan baru atau tidak.

Bagaimanapun, forum-forum ini memberi kesempatan interaksi bagi para pembuat kebijakan. Australia dan Indonesia telah berperan aktif dalam mendorong diskusi tentang keamanan maritim di forum-forum ini. Kecenderungan ini perlu dilanjutkan.

Kekuatan tengah mungkin saja kurang dalam hal kemampuan militer dan ekonomi dibandingkan dengan kekuatan-kekuatan besar. Namun mereka bisa menghalangi ambisi kekuatan besar jika kekuatan tengah bekerja sama.

Yang paling penting dari kepemimpinan kekuatan tengah adalah kemauan politik yang kuat. Wilayah yang aman dan damai akan menguntungkan semua negara. Semua pihak, dengan demikian, harus menanamkan kemauan politik masing-masing untuk menjaganya.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now