Menu Close
Naiknya pergerakan penduduk global memudahkan penyakit menular menyebar. Lentamart

Dari desa terpencil ke kota metropolis: bagaimana globalisasi sebarkan penyakit menular

Saat ini kita dapat mencapai ke rumah dari desa paling terpencil di mana pun dalam 36 jam. Dan migrasi manusia pasti membawa “penumpang” mikroba. Ini berarti meningkatnya globalisasi dunia memberi peluang bagus penyakit menular untuk menyebar.

Pada era eksplorasi dulu (awal abad ke-15 sampai 17 saat orang-orang Eropa menjelajah di seluruh dunia), infeksi yang ada memainkan peran utama dalam membentuk sejarah manusia. Meski asal usul pandemi Flu Spanyol pada 1918 diperdebatkan secara panas, kala itu serangan virus tersebut di Eropa bersamaan dengan pergerakan banyak tentara menjelang akhir Perang Dunia I. Flu tersebut mungkin datang bersama tentara Amerika dari Kamp Funston di Kansas.

Baru-baru ini, diperkirakan HIV/AIDS muncul pada awal abad ke-20, tapi hanya pada era 1960-an virus itu menyebar di sepanjang rute transportasi di Afrika.

Negara-negara maju, terutama negara seperti Australia yang secara geografis terisolasi, kerap merasa relatif terlindungi dari epidemi. Tapi pelancong telah memasukkan kasus Ebola ke Amerika dan Eropa, membawa SARS dari Asia ke Kanada, dan virus Corona MERS dari Arab Saudi ke Korea Selatan. Baru-baru ini beberapa riset menyoroti risiko pengimporan bakteri resisten antibiotik dari negara-negara yang resistennya lebih umum.

Dampak globalisasi lebih kompleks daripada sekadar perjalanan. Sebuah laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjuk beberapa faktor yang dapat memperburuk penyebaran penyakit-penyakit menular. Ini termasuk perubahan lingkungan, demografi, ekonomi, dan teknologi.

Dampak lingkungan pada penyakit menular

Pengaruh manusia terhadap lingkungan dapat mengubah risiko dari penyakit menular dalam beberapa cara. Perubahan iklim dapat mempengaruhi prevalensi vektor serangga yang menyebarkan penyakit (seperti nyamuk, yang sering berkembang dalam suhu yang lebih hangat) dan suhu permukaan laut, yang dihubungkan dengan wabah penyakit seperti kolera karena lautan lebih hangat memungkinkan kuman berkembang.

Perambahan manusia ke habitat hewan dapat mengakibatkan paparan manusia terhadap penyakit baru, yang dikenal sebagai “zoonosis”. Hal ini yang diperkirakan bagaimana HIV menyeberang penyebarannya dari penyakit yang ada di primata lalu menginfeksi manusia. Penyakit lainnya yang asal-usulnya dari kontak dengan hewan dan lingkungan mereka termasuk SARS dari kelelawar menyebar via musang di Cina selatan, virus Hendra via kelelawar ke manusia dan kuda dan virus Nipah via kelelawar lagi ke manusia dan babi.

Manusia telah terjangkit penyakit (seperti SARS dan virus Hendra) dari kelelawar. www.shutterstock.com

Perubahan populasi dan penyakit menular

Selain peningkatan mobilitas penduduk, penyakit lain dapat menyebar akibat dari perubahan demografi. Ini termasuk peningkatan urbanisasi. Perubahan ini menyebabkan peningkatan demam berdarah (karena vektor nyamuk paling umum di kota-kota), tapi kemungkinan penurunan malaria (secara parsial karena kurangnya tempat pembiakan air tawar untuk nyamuk pembawa malaria).

Dan konflik dapat menganggu infrastruktur kesehatan publik, termasuk air bersih, sanitasi, dan program imunisasi. Hal ini dapat menyebabkan wabah penyakit di sekitar pengungsi dari negara lain dan pengungsi domestik. Kondisi kerumunan orang juga dikaitkan dengan lebih intensnya transmisi penyakit seperti tuberkulosis.

Ekonomi dan penyakit menular

Perubahan ekonomi memiliki efek beragam pada penyakit menular. Peningkatan kekayaan nasional secara umum dihubungkan dengan sebuah pergeseran dari penyakit menular ke penyakit tidak menular (seperti diabetes dan penyakit jantung). Fenomena kompleks ini dikenal sebagai “transisi epidemologi”, ketika sanitasi dan layanan kesehatan yang lebih baik menyebabkan hidup lebih panjang dan dengan demikian lebih banyak penyakit penuaan dan cidera.

Memperpanjang rantai pasokan produk makanan dapat menyebabkan wabah internasional seperti hepatitis A berhubungan dengan buah beri beku dari Cina.

Beberapa resistensi antibiotik dihubungkan dengan penggunaan antibiotik pada hewan. Antibiotik ini sering dibutuhkan karena industrialisasi produksi makanan.

“Turis medis” – pelancong dari negara-negara maju yang mengambil keuntungan dari perawatan medis standar tinggi dan berbiaya murah di negara-negara berpendapatan menengah - mungkin berisiko terhadap infeksi resisten antibiotik. Konsep ini tidak pernah terdengar bahkan 30-40 tahun lalu.

Rantai pasokan global dalam farmasi telah memungkinkan akses yang lebih murah kepada banyak obat, termasuk antiobiotik. Tapi hal ini menyebabkan kelangkaan global beberapa antiobtik. Kerusakan baru-baru ini pada fasilitas manufaktur di Puerto Rico menyebabkan kelangkaan obat di Amerika Serikat.

Obat berkualitas buruk dan praktik pemberian resep yang buruk saat standar regulasi obat longgar dapat berarti bakteri terpapar dengan konsentrasi antibiotik yang sedikit. Ini artinya beberapa bakteri tidak mati dan kemudian belajar bagaimana menghindari obat tersebut. Selain itu, obat-obatan palsu kadang-kadang dibubuhi hanya sejumlah antibiotik yang cukup untuk lulus tes pendeteksian.

Perubahan teknologi dan penyakit menular

Perubahan teknologi memiliki dampak beragam pada prevalensi penyakit dan bagaimana mereka menyebar. Meski kecepatan perjalanan udara menimbulkan banyak risiko, kita kini memiliki lebih banyak alat untuk mengawasi dan menganalisis penyakit.

Contohnya termasuk pengawasan wabah penyakit menular oleh organisasi independen seperti International Society for Infectious Diseases, yang mengoperasilkan website “desk rumor” Promed-Mail. Dan organisasi seperti ECDC yang secara reguler mempublikasikan penilaian risiko dari penyakit yang sedang berkembang.

Kemajuan dalam analisis gen dan hardware komputer memungkinkan kita untuk menunjukkan secara tepat asal-usul dari banyak patogen termasuk Ebola, infleunza, campak, infeksi yang ditularkan melalui makanan, dan bakteri resisten antibiotik. Lebih penting lagi, analisis genomik mampu mengenali cepat dan mengontrol wabah.

Potensi yang kini ada itu untuk meningkatkan pengawasan penyakit tradisional dengan sumber-sumber baru. Secara teori, kepatuhan terhadap karantina dapat diverifikasi di media sosial atau sumber wabah legionella dapat dipersempit menggunakan geo-location telepon pintar.

Tapi serupa dengan perdebatan tentang teknologi pengawasan untuk keamanan nasional, kita perlu mengeksplorasi implikasi etis dari teknologi baru tersebut lebih dahulu.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now