Menu Close
Ilustrasi tumpukan surat dengan tulisan tangan. maxpixel.net, CC BY-SA

Dari surat-surat pribadi menjadi gerakan HAM global: kisah sahabat pena antara penulis Inggris dan tahanan politik Indonesia tahun 1965

“Dari pengalaman saya […] saya tahu banyak tentang kehidupan di penjara. Jika saya penulis seperti Anda, mungkin saya dapat mengarang cerita tentang kehidupan di penjara […] kesedihan dan kesenangan seorang narapidana. ” – Pudji Aswati, seorang narapidana politik dalam surat yang ia tulis pada 25 April 1983.

Surat Pudji ini dikirim ke Patricia Cleveland-Peck, penulis asal Inggris yang mulai menulis surat kepada para tahanan politik di seluruh dunia sebagai bagian dari sebuah kampanye yang diprakarsai oleh Perkumpulan Agama Sahabat (Quaker). Quaker, sebuah denominasi agama Kristen yang didirikan di Inggris pada abad ke-17, sangat terlibat dalam advokasi untuk tahanan politik.

Mengirim kartu pos dan surat kepada tahanan-tahanan politik dan otoritas pemerintah telah menjadi bagian yang integral dari kampanye hak asasi manusia, terutama di negara-negara Barat, seperti yang dilakukan oleh Amnesty International. Anggota organisasi ini diminta untuk menulis permohonan kepada pemerintah di berbagai negara atas nama tahanan politik untuk menjamin keselamatan dan pembebasan mereka.

Pudji dan suaminya, Gatot Lestario, merupakan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia pada pertengahan 1960-an. Hampir setengah juta orang dibunuh dan banyak yang dipenjara, kebanyakan tanpa melewati pengadilan, karena afiliasi mereka dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dengan menerima surat, para tahanan merasa terhubung dengan dunia luar. Bagi narapidana politik Indonesia, melakukan korespondensi dengan sahabat pena dari luar Indonesia berbeda jauh dengan stigmatisasi yang mereka alami di negara sendiri.

Narapidana perempuan di Malang, Jawa Timur. Pudji (kedua dari kiri) menunjukkan kerajinan tangan sulam kepada seorang penjaga. Patricia Cleveland-Peck

Kampanye yang berasal dari surat-surat pribadi

Surat pribadi adalah bentuk komunikasi yang intim.

Ketika dianalisis secara sensitif dan etis, surat-surat memberikan gambaran penting bagi sejarawan tentang hubungan emosional yang dibangun secara kuat antara para penulis surat.

Saya menganalisis surat yang ditulis Pudji dan Cleveland-Peck. Surat-surat tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara keduanya ini berkembang dari sebuah surat pro-forma menjadi sesuatu yang lebih mendalam.

Kedua perempuan ini menulis tentang keluarga, impian, hobi, dan aktivitas sehari-hari mereka.

Pada Juli 1985, pihak berwenang mengeksekusi hukuman mati Gatot.

Ketika berita ini sampai ke Cleveland-Peck, dia menulis surat kepada Pudji untuk menyatakan belasungkawa yang mendalam.

Pudji menanggapi surat tersebut dengan menulis:

Surat Anda sangat berarti bagi saya karena Anda menganggap kami sebagai manusia yang memiliki perasaan dan pikiran. Bisa dibayangkan betapa besar kerugian saya; sepertinya sekarang saya berdiri sendiri menghadapi tantangan ini. Tidak ada lagi penghibur yang mendorong saya untuk tidak kehilangan harapan. Saya tidak hanya kehilangan seorang suami, tapi juga seorang guru. Tapi saya harus berani, betapa pun sulit dan pahitnya itu.

Cleveland-Peck memberi saya koleksi surat-surat pribadinya. Ada lebih dari 100 surat yang menunjukkan bukti korespondensi antara kedua perempuan ini, surat-surat lainnya berasal dari sahabat pena dan para pendukung Pudji dan Gatot.

Surat Pudji dan artikel penggalangan dana yang ditulis Cleveland-Peck. Vannessa Hearman

Cleveland-Peck tertarik kepada kecerdasan Pudji yang tajam dan kedua perempuan tersebut melakukan korespondensi selama satu dekade.

Pudji memang perempuan yang luar biasa, namun dia dipenjara pada 1968 karena ia adalah anggota Gerwani (Gerakan Perempuan Indonesia), organisasi perempuan bersayap kiri. Gerwani dilarang oleh penguasa militer karena mendukung dugaan kudeta yang dilakukan oleh PKI pada 1965. Mereka menangkap Pudji dan suaminya, Gatot, seorang pengurus PKI, di Blitar Selatan, Jawa Timur. Gatot divonis hukuman mati sedangkan Pudji dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun.

Cleveland-Peck melakukan kampanye untuk membebaskan para tahanan politik Indonesia bersama sahabat pena lainnya melalui Quaker, Amnesty International dan kampanye hak asasi manusia TAPOL. Untuk menghormati persahabatannya dengan Pudji, Cleveland-Peck juga mendirikan Pudji Fund (kemudian berganti nama menjadi Rehabilitation Fund for Prisoners of Conscience (RFPC)).

Gerakan yang sedang berkembang

Didirikan pada 1986, Pudji Fund membantu memberikan dukungan keuangan kepada Pudji dan mantan tahanan lainnya.

“Kriteria saya untuk distribusi sederhana,” kata Cleveland-Peck kepada saya. “Dana ini dimaksudkan untuk membantu tahanan politik tanpa kekerasan memulai kembali kehidupan mereka setelah dibebaskan. Jika uangnya ada, saya menolak permintaan yang tidak masuk akal.”

Pada 1989, Quaker mendanai perjalanan Cleveland-Peck untuk menjumpai Pudji. Kedua perempuan itu akhirnya bertemu di sebuah rumah yang didiami Pudji dengan mantan narapidana lainnya di daerah pinggiran Malang, Jawa Timur. Pada saat itu, Pudji sudah terjangkit penyakit kanker yang menyerangnya pertama kali di penjara.

Pertemuan tersebut merupakan pertemuan pertama dan terakhir mereka. Pada 1992, Cleveland-Peck menerima surat dari salah satu mantan narapidana perempuan tentang kematian Pudji.

Patricia Cleveland-Peck (kanan) bersama Pudji Aswati (kedua dari kanan) akhirnya bertemu di rumah Pudji Aswati di Malang, Jawa Timur, pada 1989. Dennis Cleveland-Peck, Author provided

Dana yang menyandang nama Pudji berkembang pesat dengan mendukung mantan tahanan-tahanan politik di Indonesia, Chili, Meksiko, Afrika Selatan, dan Filipina.

Dana tersebut bertahan karena ada sumbangan rutin, termasuk dari mantan sahabat-sahabat pena Gatot dan Pudji, sebagian besar merupakan hasil dari artikel yang ditulis Cleveland-Peck dalam buletin Quaker.

Pada 2018, RFPC, sebutan dana tersebut pada saat itu, akhirnya dihentikan. RFPC tidak semapan dan didanai baik seperti badan amal lain yang serupa Prisoners of Conscience. Namun, upaya Cleveland-Peck menjamin bahwa para tahanan Indonesia dikenang lama setelah mereka pergi.

“Puji adalah orang yang penting dalam hidup saya. Dana tersebut sepenuhnya dimotivasi oleh Pudji dan korespondensi awal saya dengan dia. Saya senang menjelaskan kepada penerima lain bahwa saya melakukan ini untuk mengingat Pudji. Para tahanan Indonesia dan pengalaman yang mereka alami sangat penting untuk hal tersebut,” kata Cleveland-Peck.

Indonesia berusaha untuk mengabaikan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama tahun 1965 dan 1966 dan melakukan stigmatisasi terhadap mantan tahanan politik. Persahabatan seperti Cleveland-Peck dengan Pudji menantang kekejaman tersebut.

Surat dua perempuan ini dan korespondensi serupa lainnya yang terarsip di seluruh dunia dapat membantu sebuah bangsa memahami lebih mendalam tentang orang-orang yang terpinggirkan dan dibungkam oleh negara.

Ayesha Muna menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now