Menu Close

Demi alasan kemanusiaan, Indonesia sebaiknya terima kembali WNI mantan anggota ISIS

Kondisi salah satu penampungan pengungsi dan warga di Suriah. Mohammed Badra/EPA

Keberadaan puluhan orang, di antaranya anak-anak dan kaum perempuan, yang mengaku Warga Negara Indonesia (WNI), di antara pejuang kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), Al-Hawl, di Suriah akhir Maret lalu membangkitkan kembali perdebatan tentang kebijakan pemerintah Indonesia untuk menerima kembali mereka.

Tahun 2017, Indonesia memutuskan menerima kembali 17 WNI yang dideportasi dari perbatasan Suriah-Irak bergabung dengan ISIS di Suriah.

Terkait temuan baru bulan Maret lalu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Indonesia belum memberikan sikap resminya. Juru bicara Kemenlu Arrmanatha Nasir mengatakan pemerintah harus melakukan proses verifikasi sebelum bisa menerima kembali mereka.

Saya yang meneliti isu terorisme dalam beberapa tahun terakhir berpendapat bahwa WNI ini sebaiknya dipulangkan karena alasan kemanusiaan dan status hukum mereka yang bukan pengungsi. Namun, tentu saja penerimaan mereka dilakukan setelah melalui proses verifikasi dan deradikalisasi.

Alasan kemanusiaan

Kita tidak bisa membiarkan mereka para anggota ISIS yang merupakan WNI tinggal di sana karena dua hal. Pertama, kita akan membiarkan mereka untuk diadili oleh sistem hukum yang berlaku di Irak dan Suriah. Sementara, penegakan hukum di Suriah tidak berjalan baik. Laporan dari Amnesty International menyebutkan bahwa penyiksaan kerap terjadi di penjara di Suriah. Kondisi yang sama terjadi di Irak

Selain itu, kita berarti membiarkan mereka tinggal di berbagai tempat penampungan yang kondisinya memprihatinkan. Satu tempat penampungan yang seharusnya diisi oleh 20.000 orang saja saat ini harus menampung 60.000 orang. Apalagi mengingat bahwa 90% pejuang ISIS yang berada di tempat penampungan di kota Al-Hawl merupakan perempuan dan anak-anak.

Melihat dari status hukum

Status hukum WNI yang pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS bukanlah pengungsi.

Menurut Konvensi tentang Status Pengungsi 1951, pengungsi didefinisikan sebagai mereka yang terusir dari negaranya kemudian terpaksa hijrah ke negeri orang karena takut atau khawatir menjadi korban kekerasan atau persekusi atas nama ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial dan partai politik tertentu. Menurut Konvensi tahun 1951, pendatang yang berstatus sebagai pengungsi tidak boleh dikembalikan ke negara asal karena akan membahayakan keselamatan mereka.

Sedangkan, orang-orang Indonesia ini pergi ke Suriah atas kehendak sendiri. Mereka juga tidak meninggalkan Indonesia maupun diusir dari Indonesia karena alasan SARA. Maka, mereka bukanlah pengungsi dalam pengertian hukum internasional. Mereka menyalahgunakan visa kunjungan ke negara lain (misalnya Turki) untuk bergabung dengan ISIS di Suriah.

Oleh karena itu, negara penerima juga memiliki kewenangan untuk mendeportasi (mengembalikan) mereka ke negara asal karena penyalahgunaan visa ini. Dan menurut hukum internasional, pemerintah Indonesia tidak punya alasan untuk menolak mereka.

Kasus negara lain

Negara-negara lain, utamanya negara-negara Eropa, bertindak lebih tegas terhadap warga negaranya yang bergabung dengan ISIS.

Kebijakan dari beberapa negara Eropa, seperti Inggris Inggris, Prancis, Belanda dan Jerman mencerminkan keengganan mereka untuk menerima kembali mereka. Sejak 2013, setidaknya ada 800 warga negara-negara tersebut yang masih terkatung-katung nasibnya.

Beberapa negara yang mau menerima kembali warganegaranya memberikan persyaratan yang sangat kompleks. Salah satunya adalah menjalani pengadilan terlebih dahulu, seperti yang dilakukan di Jerman. Intinya, sulit bagi mantan anggota ISIS untuk bisa pulang ke negeri asalnya di Eropa begitu saja.

Namun kasus ini juga pelik. Karena jika dibiarkan, orang-orang akan kehilangan kewarganegaraannya dan ini merupakan pelanggaran HAM yang serius.

Namun, jika mereka dibiarkan pulang begitu saja, hal ini akan menimbulkan ancaman menularnya virus ekstremisme.

Perdebatan ini terlihat dalam kasus Shamima Begum, warga negara Inggris yang bergabung dengan ISIS bersama dengan suaminya, seorang warna negara Belanda, Yago Riedijk.

Kebijakan kontroversial?

Kembali ke Indonesia, alasan utama pemerintah menerima kembali WNI mantan anggota ISIS tahun 2017 adalah alasan kemanusiaan.

Selain itu, pemerintah Indonesia wajib menerima kembali mereka karena status WNI tersebut bukanlah pengungsi. Mereka datang karena menyalahgunakan visa kunjungannya dan kemudian dideportasi.

Namun tentu saja, proses penerimaan kembali WNI tersebut tidaklah serta merta.

Pemerintah sudah menjelaskan bahwa proses penerimaan kembali tersebut disertai proses verifikasi yang panjang dan lama.

Proses itu termasuk memeriksa apakah mereka benar-benar WNI. Lalu apabila benar WNI, bagaimana kondisi psikologis dan tingkat radikalisme orang tersebut. Proses ini melibatkan berbagai instansi. Mulai dari Kemenlu, pihak imigrasi, kepolisian, hingga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memiliki peran penting.

Saat ini, 17 WNI tersebut dilaporkan masih berada dalam pengawasan BNPT serta otoritas keamanan lainnya.

Meskipun demikian, keputusan penerimaan kembali eks anggota ISIS tetap ditentang. Pihak yang kontra menganggap kebijakan tersebut membahayakan keamanan negara, karena eks anggota ISIS itu bisa menyebarkan ideologi kekerasan setelah kembali ke Indonesia.

Yang Indonesia sebaiknya lakukan

Proses penerimaan kembali 17 WNI mantan anggota ISIS tahun 2017 membuktikan bahwa pemerintah bisa menerima kembali WNI yang masih terdampar di Suriah.

Alasan kemanusiaan yang digunakan pemerintah sudah tepat.

Untuk menjawab kekhawatiran kemungkinan adanya penyebaran nilai-nilai radikalisme, pemerintah harus memastikan bahwa proses penerimaan mereka kembali dilakukan secara seksama dan teliti.

Sama seperti yang sudah dilakukan sebelumnya, pemerintah perlu melakukan verifikasi dulu terkait peran dari setiap anggota ISIS yang dipulangkan ke Indonesia. Apabila mereka hanya sekadar korban indoktrinasi, tentu mereka akan diperlakukan secara berbeda dengan mereka yang menjadi pejuang.

Yang jelas, apapun peran yang mereka jalankan, semuanya wajib menjalani program deradikalisasi untuk dapat kembali be-reintegrasi dan menjalani kehidupan yang normal sebagai WNI yang baik.

Ariza Muthia berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,800 academics and researchers from 4,938 institutions.

Register now