Menu Close
Warga Muslim Rohingya Muslim menanti jatah bantuan makanan dekat tempat pengungsian di Kutupalong Bangladesh. www.shutterstock.com

Dengan pengaruhnya di ASEAN dan posisinya sebagai anggota tidak tetap DK PBB, bagaimana peran Indonesia dalam resolusi konflik Rohingya?

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru saja merilis sebuah laporan menuduh militer Myanmar melakukan genosida. Sejak Agustus 2017, ratusan ribu orang-orang Rohingya, minoritas Muslim dan etnis di Myanmar, melarikan diri dari persekusi dan kekerasan oleh militer Myanmar ke negara tetangga Bangladesh.

PBB juga menyerukan jenderal-jenderal di Myanmar untuk disidang di Pengadilan Kriminal Internasional.


Read more: Explainer: why the UN has found Myanmar’s military committed genocide against the Rohingya


Indonesia, negara tetangga Myanmar dan anggota dari Perhimpunan Negara-Negara di Asia Tenggara (ASEAN), akan menjadi anggota tidak tetap dari Dewan Keamanan PBB (DK PBB) mulai 1 Januari 2019.

Apa yang Indonesia dapat lakukan untuk membantu menyelesaikan krisis pengungsi Rohingya?

Tanggapan dari dunia internasional

Kejahatan terhadap Rohingya yang disebut dalam laporan PBB termasuk pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, perbudakan seksual, persekusi dan perbudakan.


Read more: Rohingya crisis: a year since it shocked the world, what's changed?


Sebagai tanggapan, ASEAN, melalui Perkumpulan Anggota Parlemen di ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR), memberikan rekomendasi ke DK PBB untuk membawa kasusnya ke Pengadilan Kriminal Internasional.

Tantangan untuk Indonesia

Diplomat senior Indonesia Abdulkadir Jailani menyatakan bahwa memiliki kursi di DK PBB, yang dianggap sebagai organ terkuat di PBB, merupakan kesempatan luar biasa bagi Indonesia untuk mempertunjukkan pengaruh diplomatiknya dalam mewujudkan perdamaian.

Salah satu isu penting di kawasan yang Indonesia harus hadapi sebagai anggota non-permanen DK PBB adalah krisis Rohingya.

Analis Sian Troath menyarankan bahwa Indonesia harus mengambil peran sebagai “mediator dan pemimpin” dalam menyelesaikan krisis.

Akan tetapi, mengingat peran ganda sebagai negara anggota ASEAN dan anggota non-permanen DK PBB, Indonesia akan menghadapi tantangan besar jika Indonesia mau menindaklanjuti permintaan APHR untuk membawa kasus Rohingya ke Pengadilan Kriminal Internasional. Status Indonesia sebagai negara non-pihak dari Statuta Roma mungkin akan membuat masalah.


Read more: ASEAN countries should find a solution to end the persecution of Rohingya


Seorang perempuan Rohingya menangis saat duduk di sebuah jalan dekat tempat pengungsian di Tuangiri, Teknaf, Bangladesh. Abir Abdullah/EPA

Apa yang dapat Indonesia lakukan?

Setidaknya yang bisa Indonesia lakukan adalah memantau dengan seksama kemajuan kasus Rohingya.

Tahap pra-peradilan di Pengadilan Kriminal Internasional terhadap dugaan deportasi Rohingya di awal September memutuskan bahwa kasus tersebut dapat lanjut ke tahap pengadilan.

Putusan ini seharusnya menjadi dorongan bagi Indonesia untuk menyelesaikan krisis Rohingya.

Penasihat Khusus PBB untuk Pencegahan Genosida menyambut putusan ini. Jaksa penuntut dari Pengadilan Kriminal Internasional Fatou Bensouda telah meluncurkan investigasi pendahuluan terhadap kasusnya.

Sebagai “pemimpin” ASEAN, Indonesia dapat saja memberikan tekanan lebih untuk mengakhiri krisis pengungsi Rohingya.

Akan tetapi, upaya repatriasi sukarela, atau mengizinkan warga Rohingya kembali ke Myanmar secara sukarela tidaklah cukup.


Read more: The Rohingya repatriation deal: what is at stake and what needs to be done


Ketua dari Misi Pencari Fakta Independen Internasional tentang Myanmar, Marzuki Darusman, menyatakan bahwa repatriasi harus diikuti dengan, diantaranya pengakuan kewarganegaraan Rohingya.

Jika Indonesia, dalam perkataan Abdulkadir Jailani, ingin membuat “sebuah kontribusi penting … mewujudkan perdamaian”, maka anggota non-permanen baru DK PBB ini harus memainkan peran kunci dalam mendorong dunia internasional dan DK PBB itu sendiri untuk menyelesaikan krisis Rohingya.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now