Menu Close
Foto udara Pulau Gosong, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Aceh. (Khalis Surry/Antara)

Dibandingkan ‘menjual’ pulau ke pihak asing, pengelolaan bersama warga lokal jauh lebih baik

Mencuatnya kembali isu jual beli pulau di Indonesia menjadi salah satu topik hangat di penghujung 2022. Pulau Widi di Halmahera Selatan dijual di situs internasional Sotheby’s Concierge Auctions. Sebelumnya, beberapa pulau telah dipasarkan di situs privateislandsonline.com.

Penjualan pulau Indonesia kepada warga asing adalah isu lama. Sejak 2007, isu ini sudah muncul ke media-media nasional dan internasional. Penawaran ini mengesankan bahwa pulau yang dijual berada pada lokasi strategis, sangat cocok untuk wisata, keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga mempunyai nilai jual yang tinggi.

Selain penawaran di internet, sebenarnya ada banyak cara masyarakat global untuk mendapatkan hak pengelolaan pulau di Indonesia. Misalnya dengan modus sewa menyewa dengan orang lokal, pernikahan dengan warga lokal, dan surat kuasa khusus. Cara-cara tersebut muncul karena, di Indonesia, hanya orang ber-KTP ataupun badan hukum terdaftar di Indonesia yang secara hukum boleh mengelola kawasan di suatu pulau, bukan memiliki pulaunya.

Untuk meredam kontroversi, promotor penjualan pulau juga menggunakan trik-trik promosi, seperti pemakaian istilah “konservasi” atau “eco-friendly management” dalam iklannya. Tujuannya agar seolah-olah aktivitas ini mendukung upaya konservasi laut.

Pengelolaan pulau di Indonesia sangat kompleks karena berhadapan dengan banyaknya aturan dan administrasi. Namun, tetap saja ada yang mau melakukannya karena potensi keuntungan ekonomi yang didapat. Per tahun lalu, ada sekitar 29 investor asing yang sedang menjajaki investasi di pulau kecil–terutama yang tak berpenghuni.

Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebenarnya membolehkan penguasaan tanah di pulau kecil.

Namun, ada sejumlah risiko yang bisa timbul jika praktik penjualan pulau kepada warga asing terus berjalan. Pemerintah perlu mengkaji ulang pembolehan praktik ini dan memprioritaskan kemitraan dengan komunitas setempat sebagai solusi pengelolaan pulau kecil yang lebih berkelanjutan.

Risiko penjualan pulau

Ada dua risiko yang dapat timbul akibat penguasaan pulau oleh warga asing. Risiko pertama adalah akses masyarakat pesisir terhadap pulau menjadi terbatas.

Salah satu contohnya adalah pembatasan akses penduduk sekitar Pulau Bidadari, Nusa Tenggara Timur, yang dikuasai oleh pasangan Inggris Ernest Lewandosky dan Kathleen Mitchison. Kasus ini ramai di publik pada 2006 silam.

Ernest-Kathleen menguasai pulau atas nama PT Reefseekers Kathernest Lestari. Perusahaan dituding melarang masyarakat ataupun nelayan memasuki wilayah pulau.

Penduduk Pulau Pari, Kepulauan Seribu, berkumpul memperingati aksi protes tindakan hukum terhadap warga pengelola Pantai Perawan di kawasan tersebut. (Koalisi Selamatkan Pulau Pari)

Di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, terdapat sekitar 60 dari 110 pulau yang dikuasai pihak swasta. Untuk masuk ke kawasan tersebut, masyarakat harus mempunyai izin khusus atau mengantongi undangan dari ‘pemilik’ pulau.

Berbagai pembatasan akhirnya menyempitkan ruang gerak masyarakat sekitar pulau. Padahal, walaupun suatu pulau tak berpenghuni, masyarakat pesisir kerap memanfaatkannya untuk berkebun, ataupun tempat berlindung kala cuaca buruk.

Penguasaan suatu pulau oleh warga negara asing juga berpotensi menghasilkan benturan budaya antara pengelola dan masyarakat setempat. Isu ini menjadi penting karena warga negara asing mengelola pulaunya dengan karakter masing-masing. Jika tidak diantisipasi, benturan ini dapat berujung pada konflik agraria.

Risiko lainnya adalah kenaikan harga barang jika suatu pulau menjadi kawasan wisata. Jika ini terjadi akses warga terhadap barang–terutama kebutuhan pokok–menjadi semakin terbatas.


Read more: Tak melulu soal Laut Cina Selatan, penghidupan masyarakat di pulau-pulau kecil Natuna pun perlu perhatian


Risiko lainnya terkait dengan kepentingan negara. Undang Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengamanatkan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar untuk tiga fungsi: pertahanan dan keamanan, ekonomi, dan ekologi.

Risiko ini patut dicermati pemerintah. Dalam kasus penguasaan Pulau Bidadari, misalnya, sempat beredar rumor bahwa pengelola pulau melarang TNI memasang bendera Indonesia.

Kemitraan pengelolaan bersama masyarakat

Ketimbang mendukung investasi yang membuka ruang penguasaan oleh warga asing, pemerintah seharusnya memperkuat kemitraan dengan masyarakat setempat agar pengelolaan pulau lebih berkelanjutan.

Sekelompok nelayan di Banda Aceh. (Shutterstock)

Skema kemitraan pemerintah Papua Barat dengan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil serta warga sekitar dalam mengelola Kawasan Konservasi Kepala Burung Papua dapat menjadi contoh. Dalam skema ini, pemerintah setempat memobilisasi dana abadi dari berbagai sumber untuk sejumlah program layanan kelembagaan, pertumbuhan pendapatan masyarakat, dan peningkatan kualitas ekosistem untuk jangka panjang.

Pemerintah dapat meniru langkah pemerintah Papua Barat dengan mendukung berbagai kerja sama pengelolaan pulau kecil yang sesuai karakter daerah masing-masing.

Kementerian Kelautan dan Perikanan sebenarnya memiliki program Mitra Bahari yang memungkinkan pihak swasta bekerja sama dengan masyarakat untuk mengelola pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemerintah tinggal memperkuat program tersebut dengan membuat sistem pendanaan yang lebih sederhana.

Selain pihak swasta, peran badan usaha milik negara (BUMN) juga sangat penting karena memiliki dana yang besar dan dapat merangkul berbagai lapisan masyarakat.


Read more: 3 cara untuk mengutamakan masyarakat dalam perlindungan ekosistem laut


Pengelolaan bersama amat penting mengingat terbatasnya kas negara untuk mengembangkan infrastruktur pulau, seperti pelabuhan, jaringan listrik, dan lain sebagainya.

Harapannya, pendanaan bersama dapat mengoptimalkan pengelolaan pulau-pulau kecil, terutama sebanyak 111 pulau di daerah terluar, secara berkelanjutan dan meningkatkan peran masyarakat.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now