Menu Close

Diplomasi Digital: Bagaimana perwakilan Indonesia memanfaatkan Instagram untuk diplomasi ekonomi?

Diplomasi digital
Bakhtiar Zen/Shutterstock

Diplomasi ekonomi menduduki peran sentral dalam kebijakan luar negeri Indonesia sejak pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Tujuan utamanya antara lain untuk memperkuat hubungan dengan mitra strategis sekaligus menjajaki peluang dengan pasar potensial.

Jokowi pun berulang kali mengimbau diplomat dan perwakilan Indonesia di luar negeri untuk memaksimalkan fungsi dan perannya dalam mendorong manfaat ekonomi – khususnya di bidang perdagangan, investasi dan pariwisata – serta giat memasarkan produk Indonesia di wilayah tugasnya.

Dalam menjalankan diplomasi ini, tak hanya Kementerian Luar Negeri, Indonesia pun melibatkan instansi pemerintah lain seperti Kementerian Perdagangan dan Kementerian Investasi.

Namun, selama masa pandemi COVID-19, tantangan untuk menjalankan diplomasi ekonomi ini menjadi sulit karena terbatasnya metode diplomasi konvensional seperti tatap muka, dan membuat upaya diplomasi beralih ke dunia maya. Sebagai contoh, pada 2020 dan 2021, pameran dagang terbesar milik Indonesia, Trade Expo Indonesia, dilakukan secara virtual karena alasan pandemi.

Sebagian aktivitas diplomasi ini kemudian beralih ke instrumen digital seperti media sosial, termasuk Instagram.

Untuk melihat pergeseran ini, kami meneliti 15 akun Instagram milik perwakilan Indonesia di luar negeri. Terdapat lebih dari 3000 unggahan Instagram yang kami analisis untuk melihat bagaimana perwakilan Indonesia memanfaatkan media sosial dalam upaya diplomasi ekonomi.

Berdiplomasi lewat Instagram

Penggunaan media sosial untuk diplomasi sudah banyak dilakukan oleh entitas negara, khususnya sebagai instrumen komunikasi dengan publik negara lain. Dalam diplomasi, media sosial dapat menstimulasi emosi dan persepsi positif tentang suatu negara dan menjadi medium untuk komunikasi tahap awal.

Sebagai contoh, Amerika Serikat (AS) dan Inggris memiliki unit diplomasi khusus yang fokus pada pengembangan strategi diplomasi digital.

Penggunaan media sosial dalam diplomasi ekonomi, sebagai salah satu varian diplomasi yang fokus pada pengelolaan relasi dan transaksi ekonomi antarnegara, berperan cukup penting. Pelaku bisnis asing merupakan salah satu target utama diplomasi ekonomi dan Instagram menyediakan instrumen yang ideal untuk ini.

Mantan diplomat India, Kishan Rana, mengamati bahwa negara-negara, khususnya negara berkembang cenderung menjalankan diplomasi ekonominya melalui empat tahapan, yakni promosi dan penjualan (promotion and salesmanship), pembentukan jejaring (networking), pembentukan citra negara (country promotion), dan pengelolaan aturan di bidang ekonomi (regulatory management).

Masing-masing strategi ini melibatkan jenis aktivitas yang berbeda. Tahap penjualan, misalnya, fokus pada pengenalan produk ke pasar luar negeri. Sedangkan pembentukan jejaring fokus pada kegiatan advokasi dan penguatan koneksi antara pelaku bisnis domestik dan asing.

Kami melakukan dua riset terpisah untuk melihat bagaimana perwakilan Indonesia di luar negeri memanfaatkan Instagram untuk diplomasi ekonomi. Riset pertama, masih dalam proses review, fokus pada volume, sebaran, dan pola unggahan Instagram yang dilakukan oleh kedutaan dan konsulat Indonesia di luar negeri.

Riset kedua, dalam tahap penulisan, meneliti pola Instagram dari Indonesian Trade Promotion Centre (ITPC), yakni kantor perwakilan dagang Indonesia yang berada di bawah Kementerian Perdagangan.

Total, kami mengamati tiga akun milik Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dengan engagement publik tertinggi (KBRI Phnom Penh di Kamboja, KBRI Seoul di Korea Selatan, dan KBRI Nur Sultan di Kazakhstan) dan 12 akun milik ITPC yang tersebar di kawasan Asia Timur, Amerika, Afrika, dan Eropa.

Total unggahan berjumlah lebih dari 3.000 selama kurun waktu 2020 hingga 2022. Seluruh unggahan ini lalu dikelompokkan menjadi empat kategori sesuai dengan tahapan diplomasi ekonomi negara berkembang untuk melihat aktivitas mana yang paling dominan.

Untuk akun KBRI, engagement tertinggi digunakan sebagai batasan untuk pengumpulan data mengingat saat ini Indonesia memiliki sekitar 130 kantor perwakilan dengan akunnya masing-masing.

Salah satu alasan tingginya angka engagement ketiga akun ini adalah adanya peran swasta yang dominan dalam mendorong diplomasi ekonomi di negara-negara tersebut.

Dari tiga akun ini, mayoritas unggahan adalah terkait pembentukan jejaring dengan kisaran 83% dari total unggahan. Ini mencakup aktivitas seperti penerimaan delegasi bisnis maupun perwakilan negara untuk pertemuan terkait isu ekonomi. Unggahan yang paling sedikit dilakukan adalah tentang promosi dan penjualan – semisal unggahan mengenai produk lokal Indonesia – yang hanya mencakup sekitar 6% dari total unggahan.

Untuk akun ITPC, pemilihan didasarkan pada distribusi geografis yang mewakili pasar tradisional dan nontradisional Indonesia. Ini mencakup wilayah Amerika (3 akun), Eropa (4 akun), Asia Timur (3 akun) dan Afrika (2 akun).

Berbeda dengan unggahan KBRI, pola unggahan milik ITPC mayoritas didominasi oleh aktivitas promosi dan penjualan. Dari 12 akun ITPC yang menjadi objek penelitian kami, delapan di antaranya fokus pada promosi dan penjualan dengan kisaran 40% hingga 68% dari total unggahan. Empat ITPC lain didominasi oleh unggahan terkait pembentukan jejaring, yakni ITPC Osaka (Jepang), Shanghai (Cina), Barcelona (Spanyol), dan Lagos (Nigeria).

Satu pola yang sama antara Instagram KBRI dan ITPC adalah minimnya unggahan terkait pengelolaan regulasi dengan rata-rata unggahan di bawah 10%.

Sebaran ini menunjukkan bahwa akun Instagram perwakilan Indonesia di luar negeri lebih banyak digunakan untuk dua aktivitas diplomasi ekonomi terkait promosi dan penjualan – utamanya melalui ITPC – serta pembentukan jejaring yang dimotori oleh KBRI.

Ini cenderung sejalan dengan fungsi kedutaan sebagai perwakilan negara dan ITPC sebagai ‘etalase’ produk Indonesia. Satu aspek yang masih kurang adalah informasi terkait pengelolaan regulasi, semisal informasi tentang perjanjian dagang yang dimiliki Indonesia dan bisa digunakan oleh pelaku bisnis.

Optimalisasi media sosial untuk diplomasi ekonomi

Dari riset ini, ada beberapa temuan yang bisa menjadi dasar untuk penguatan diplomasi ekonomi Indonesia melalui Instagram.

Pertama, pembagian aktivitas diplomasi ekonomi antara Kemenlu melalui KBRI dan Kementerian Perdagangan melalui ITPC sudah cukup baik: Kemenlu fokus pada pembentukan jejaring ekonomi dan Kemendag pada promosi dan penjualan.

Namun, perlu penguatan konektivitas antar instansi untuk mendorong manfaat efektivitas diplomasi ekonomi. Dalam pengamatan kami, sangat jarang terdapat upaya sinergi antar akun, misal melalui repost atau penggunaan hashtag bersama. Di luar media sosial, Kemendag dan Kemenlu juga mengembangkan platform diplomasi ekonominya masing-masing melalui Inaexport dan Ina-Access yang memiliki beberapa fungsi serupa, khususnya terkait informasi komoditas dagang.

Kedua, minimnya unggahan terkait pengelolaan regulasi, semisal informasi mengenai perjanjian dagang. Riset memang menunjukkan bahwa pemanfaatan perjanjian dagang oleh sektor swasta Indonesia - atau dikenal sebagai angka utilisasi - cenderung stagnan.

Dengan total 19 perjanjian dagang aktif dan 12 perjanjian yang sedang dalam proses negosiasi, adanya informasi terkait manfaat dan tata cara penggunaan perjanjian dagang akan sangat berguna, khususnya bagi para pelaku bisnis.

Saat ini, Kemendag memang telah memiliki portal khusus perjanjian dagang, FTA Center, namun tampaknya belum terkoneksi dengan media sosial perwakilan luar negeri. Informasi di media sosial terkait regulasi ekspor dan impor - baik bagi pihak swasta Indonesia maupun asing - akan berguna untuk memperkuat diplomasi ekonomi secara keseluruhan.

Di era digital, media sosial telah menjadi instrumen penting dalam diplomasi ekonomi dan karenanya, perlu ada upaya yang lebih strategis untuk memanfaatkannya dengan lebih serius.

Proses pengumpulan dan pengolahan data untuk riset ini dibantu oleh Annisa Putri Nindya, Fathiya Nazma, Muhammad Farhan Ardyanto dan Theo Gerald Napitupulu (alumni Program Studi Hubungan Internasional Universitas Brawijaya) serta Gregory Matthew dan Nashih Abdul Hasib (mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional Universitas Brawijaya)

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now