Menu Close

Dua tantangan legislasi DPR yang baru

Ali Lutfi/EPA

Bulan ini, 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 yang terpilih dilantik. Dari jumlah itu, terdapat terdapat 286 (49,74%) wajah baru dan selebihnya 289 (50,26%) adalah petahana.

Mereka adalah perwakilan sembilan partai politik. PDIP memiliki 128 kursi, Golkar 85 kursi, Gerindra 78, Nasdem 59 kursi, PKS 50 kursi, Demokrat 54 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa 48 kursi, PAN 44 kursi, dan PPP 19 kursi.

Anggota dewan yang baru dilantik tersebut mewarisi segudang masalah yang diwarisi kepada anggota yang baru.

Setidaknya ada dua tantangan yang dihadapi oleh anggota DPR masa bakti 2019-2024.

Tantangan pertama adalah mengejar target jumlah Undang-Undang (UU) yang disahkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Saat ini jumlahnya semakin sedikit dan tidak memenuhi target.

Yang kedua adalah mengembalikan kepercayaan publik terhadap anggota dewan yang hilang akibat mengabaikan aspirasi publik, terutama dalam membentuk undang-undang.

Penuhi target Prolegnas

DPR Periode 2014-2019 hanya mengesahkan 84 Rancangan Undang-Undang (RUU) – 35 RUU berasal dari 189 RUU di dalam Prolegnas lima tahunan atau sekitar 18,5%; dan 49 lainnya RUU dari luar Prolegnas.

Jumlah tersebut menurun bila dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mampu mengesahkan 125 RUU, yaitu 69 RUU dari 247 RUU yang tercantum di Prolegnas (sekitar 28%) dan 56 RUU dari luar Prolegnas.

Jumlah yang sedikit tersebut pun bermasalah.

Setidaknya 10 RUU yang diketok DPR menjelang akhir masa jabatan dianggap kontroversial, baik dari segi prosedur pembentukan maupun subtansi. Hanya dalam 15 hari, DPR mengesahkan 10 RUU tersebut.

Undang-Undang (UU) itu adalah tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (yang biasa disebut dengan MD3), Komisi Pemberantasan Korupsi, Sumber Daya Air, Budi Daya Pertanian, dan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara, Pesantren, Perkoperasian, Ekonomi Kreatif, dan Perkawinan.

Dari sepuluh UU tersebut, tiga RUU tidak terencana, yaitu RUU MD3, RUU KPK dan RUU Perkawinan. Ketiga RUU tersebut masuk melalui RUU kumulatif terbuka.

RUU kumulatif terbuka adalah RUU di luar Prolegnas, yang dapat diajukan oleh DPR atau presiden dalam keadaan tertentu..

Ada 49 RUU kumulatif pada periode 2014-2019, lebih dari setengah RUU yang disahkan. Padahal, periode sebelumnya hanya 45% dari RUU yang disahkan.

RUU kumulatif yang disahkan kemarin juga melanggar UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

UU yang dapat dibahas melalui jalur kumulatif terbuka hanya mencakup RUU tentang pengesahan perjanjian internasional, akibat putusan Mahkamah Konstitusi, tentang anggaran pendapatan dan belanja negara, tentang pembentukan daerah provinsi dan kabupaten/kota, dan tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang.

Hilangnya kepercayaan publik

Saat ini kepercayaan rakyat terhadap DPR sangat rendah. Menurut hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan pada Oktober 2019, DPR adalah lembaga negara yang memperoleh kepercayaan dari masyarakat paling rendah.

Menurut survei tersebut, responden lebih percaya kepada KPK dan Presiden Jokowi, ketimbang DPR. .

Rendahnya tingkat kepercayaan publik tersebut tidak lepas dari kinerja DPR dalam membentuk undang-undang yang mengesampingkan aspirasi rakyat. Itu sebabnya, undang-undang yang dihasilkan DPR dan pemerintah tersebut memicu terjadinya polemik.

Pembahasan RUU juga dilakukan di penghujung masa jabatan dengan tidak membuka ruang partisipasi rakyat dan tidak melibatkan pemangku kepentingan terkait.

Misalnya, pada pembahasan RUU KPK; jangankan adanya partisipasi publik, KPK sebagai lembaga yang paling terdampak saja tidak dilibatkan. Pembahasannya dilakukan secara diam-diam.

Di beberapa UU, bahkan kapan RUU tersebut dibahas saja publik tidak tahu. Pembahasannya juga dilakukan ditempat yang tidak normal, seperti di hotel.. Publik tahu hanya sesaat sebelum disahkan dalam paripurna.

Selain tidak melibatkan partisipasi publik, beberapa RUU bahkan mengakomodir kepentingan elit politik dan kelompok-kelompok yang dekat dengan kejahatan seperti korupsi.

Misalnya dalam revisi UU MD3 dilakukan hanya untuk membagi rata kursi pimpinan MPR, yang awalnya hanya lima orang manjadi 10 orang.

DPR dan pemerintah juga telah menyetujui revisi UU Pemasyarakatan. Salah satu poin revisinya, mempermudah pembebasan bersyarat bagi koruptor. .

Padahal, korupsi adalah kejahatan luar biasa yang seharusnya juga diberantas dengan upaya luar biasa. Bukan sebaliknya.

Itulah yang menyebabkan publik hilang kepercayaan. Tidak heran kemudian terjadi gelombang besar demonstrasi mahasiswa pada 23-30 September 2019.

Publik menganggap DPR telah melakukan kejahatan legislasi dengan cara mengesahkan banyak undang-undang bermasalah dalam waktu singkat.

Tugas DPR yang baru

Publik berharap DPR yang baru akan lebih banyak mendengarkan aspirasi rakyat daripada berbicara.

Selain itu, DPR baru harus lebih produktif, setidaknya dalam menyelesaikan sisa pembahasan Prolegnas periode sebelumnya. DPR periode lalu menyisakan 154 RUU yang belum selesai.

DPR baru juga harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap undang-undang kontroversial yang disahkan dipenghujung masa jabatan DPR sebelumnya.

Tidak hanya terhadap UU yang mendapat respon penolakan publik, tapi terhadap seluruh UU yang dibahas dan disahkan DPR disahkan buru-buru itu karena patut diduga banyak terselip kejahatan legislasi.

DPR kini diuji, terutama dalam memperjuangkan kepentingan rakyat yang sering bertolak belakang dengan kepentingan elit politik.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now