Menu Close
Gugatan telah diajukan kepada Facebook, karena diduga melebih-lebihkan statistik videonya selama bertahun-tahun. www.shutterstock.com

Ekonomi atensi: Facebook bawa pembaca, tapi tak mencetak uang untuk situs berita

Facebook dan jurnalisme berkualitas adalah persahabatan yang tidak mudah. Beberapa tajuk berita menyebutkan “kebohongan” platform tersebut soal metrik video “menghancurkan” jurnalisme. Beberapa situs media juga mengeluhkan bahwa perubahan algoritme pada Januari menyebabkan jumlah kunjungan dari rujukan Facebook “anjlok”.

Komisi Konsumen dan Persaingan Australia saat ini sedang melakukan penyelidikan mengenai platform digital untuk mempelajari dampak platform media sosial, mesin pencari, dan agregator konten lainnya di pasar media lokal. Di Inggris, Cairncross Review, lembaga penguji kualitas jurnalisme yang dipimpin oleh editor senior The Economist Dame Frances Cairncross, juga melakukan hal serupa. Mereka sedang mencari cara mempertahankan kualitas jurnalisme dalam era perubahan pasar.

Penelitian saya menunjukkan bahwa penyelidikan ini harus memperhatikan dampak Facebook dan apa yang telah kita pelajari selama ini tentang platform tersebut.

Pelajaran pertama: metrik yang dibesar-besarkan

Anda mestinya tidak percaya pada semua metrik yang ditawarkan perusahaan platform teknologi.

Sebuah artikel di The Atlantic mengungkapkan Facebook digugat secara hukum karena diduga melaporkan statistik videonya selama bertahun-tahun dengan tidak akurat, “melebih-lebihkan jumlah waktu yang dihabiskan menonton sebanyak 900% persen.”

Artikel itu menyatakan bahwa “ratusan jurnalis” kehilangan pekerjaan mereka setelah Facebook membujuk perusahaan-perusahaan berita untuk berinvestasi dalam video. Facebook menyangkal klaim-klaim ini.

The Spinoff, sebuah perusahaan media digital asli di Selandia Baru, baru-baru ini mengeluarkan sebuah artikel soal dampak Facebook dengan analisis serupa. Mereka menyebutkan bahwa statistik video palsu Facebook “menghancurkan jurnalisme Selandia Baru” karena perusahaan-perusahaan berita menurut ketika Facebook mendorong mereka untuk berinvestasi dalam produksi video online.

Media Selandia Baru telah rusak seiring dengan keinginan obsesif Facebook untuk tumbuh dengan segala cara.

Pelajaran kedua: ketergantungan pada traffic

Anda mestinya tidak bergantung pada kunjungan (traffic) dari Facebook.

Laporan dari Tow Center for Digital Journalism menunjukkan bahwa di Amerika Serikat kehadiran perusahaan-perusahaan berita di Facebook cukup signifikan. Laporan tersebut menemukan bahwa sekitar 80% dari outlet berita lokal menggunakan platform sosial ini.

Selain itu, dua penelitian baru menunjukkan bagaimana perusahaan-perusahaan berita bergantung pada Facebook untuk mengarahkan kunjungan ke situs berita mereka. Penelitian saya sendiri dari empat perusahaan berita Selandia Baru menunjukkan bahwa 24% kunjungan berita mereka berasal dari media sosial, dan sebagian besar berasal dari Facebook. gabungan dari platform sosial dan mesin pencari mendorong 47% dari kunjungan ke situs berita Selandia Baru.

Sebuah penelitian yang lebih besar yang meliputi 12 surat kabar dan penyiar di Eropa, yang dilakukan oleh Reuters Institute for the Study of Journalism, mencatat:

… organisasi berita sedang menanamkan investasi besar di media sosial dan melaporkan menerima jumlah kunjungan yang signifikan dari media sosial.

Studi-studi ini mengkonfirmasi ketergantungan perusahaan-perusahaan berita kepada Facebook dalam hal kunjungan ke situs mereka, meski tingkat ketergantungan berbeda antarmedia. Studi Reuters menemukan bahwa perubahan algoritme Facebook pada Januari berdampak buruk pada beberapa kunjungan situs perusahaan berita. Namun, tingkat keparahan dampak berbeda antarmedia. Misalnya, Le Monde telah melihat interaksinya anjlok hampir sepertiga, tapi untuk The Times pengunjungnya bertambah.

Di Selandia Baru, The Spinoff mengalami penurunan besar dalam kunjungan situsnya setelah perubahan algoritme Facebook: kunjungan dari platform ini anjlok dari 50% menjadi 30%. Kami telah melihat penurunan serupa di negara lain juga.

Nieman Lab, media online yang melaporkan tentang inovasi media digital, menemukan bahwa tidak semua media mengalami penurunan referral traffic setelah perubahan algoritme Facebook. Beberapa organisasi media nirlaba diuntungkan.

Intinya: Penurunan refferal dari Facebook ke penerbit tidak universal, dan bahwa penurunan tersebut menunjukkan adanya sumber-sumber lain untuk kunjungan amatlah penting.

Memang, akan bijaksana bagi semua outlet berita untuk meningkatkan kunjungan langsung mereka yang memberikan keterlibatan dan monetisasi pengguna yang lebih baik.

Pelajaran ketiga: jangan lakukan demi uang

Facebook tidak menghasilkan banyak uang untuk Anda.

Penelitian saya menunjukkan jika perusahaan berita mengabaikan Facebook, mereka hampir tidak akan kehilangan uang. Untuk perusahaan yang diteliti, kunjungan media sosial mencapai 0,03%-0,14% dari total pendapatan mereka, dan penyebaran artikel melalui media sosial 0,009%-0,2% dari total pendapatan. Angka-angka ini tidak memperhitungkan pendapatan iklan dari platform atau penambahan pelanggan berbayar.

Alasan perusahaan berita terus mendistribusikan konten mereka di platform media sosial adalah karena mereka mendapatkan atensi pengguna media sosial. Perusahaan-perusahaan berita percaya bahwa mereka dapat mengubah ini menjadi uang. Namun, sejauh ini belum begitu berhasil.

Namun, beberapa penerbit berita melaporkan bahwa mereka telah memperoleh pelanggan digital dari platform ini. Studi Reuters mencatat bahwa Facebook memberikan perusahaan media keterlibatan khalayak yang “dianggap paling hemat biaya untuk mendorong jumlah pelanggan digital.”

Intinya adalah tidak ada data untuk memverifikasi seberapa sukses penerbit-penerbit berita mampu mengkonversi atensi pengguna media sosial menjadi langganan digital. Google, Facebook, Amazon, dan Apple semuanya menawarkan, atau sedang dalam proses menawarkan, layanan berlangganan digital kepada penerbit-penerbit berita, tapi kita masih harus lihat dulu apakah layanan-layanan ini akan betul-betul membantu perusahaan media.


Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Gracesillya Febriani, Ahmad Nurhasim, dan Prodita Sabarini.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now