Menu Close
Indonesia belum memikirkan diplomasi digital secara sungguh-sungguh. Shutterstock

Era baru diplomasi digital dan mengapa Indonesia harus menyambutnya?

Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah pengguna internet seluruh dunia naik hampir tiga kali lipat, mencapai hampir 3,6 miliar pengguna pada 2017.

Banyak yang berpendapat bahwa internet telah menjadi salah satu inovasi yang paling transformatif.

Interaksi sosial telah berubah drastis. Masyarakat telah berubah menjadi yang disebut sebagai masyarakat berjejaring (networked society.) Hampir semua orang di dunia terhubung dan informasi mengalir dengan bebas.

Dengan keterhubungan semacam itu, informasi didapat, disimpan, diproses, dikelola, dan dibagi dengan cara yang hampir sama sekali berbeda dari cara-cara di masa lalu.

Ketika komunikasi antara calon politikus dan pemilih menjadi lebih dekat lewat media sosial, politik juga menjadi lebih digital. Kita melihat ini dalam pemilihan presiden Amerika Serikat 2012, pemilu Prancis 2017, atau kemenangan Donald Trump yang kontroversial.

Dalam politik luar negeri, internet telah membawa “perubahan-perubahan” dalam cara berdiplomasi. Cuitan dari Barack Obama, aktivitas media sosial kedutaan, dan dorongan meluas diplomasi budaya, telah menambah sarana baru untuk diplomasi. Dengan ini, istilah diplomasi digital muncul.

Apa itu diplomasi digital?

Istilah diplomasi siber dan diplomasi digital telah digunakan berganti-gantian. Namun mereka sebenarnya berbeda.

Diplomasi digital merujuk pada penggunaan teknologi yang lebih luas, terutama internet dan inovasi berbasis ICT lainnya dalam kegiatan diplomasi. Sementara itu, diplomasi siber merujuk pada strategi untuk menangani berbagai masalah, seperti keamanan, yang muncul dalam ruang siber.

Diplomasi digital sering diasosiasikan dengan kegiataan diplomasi publik oleh negara (melalui penggunaan media sosial yang gencar, contohnya). Namun diplomasi digital lebih dari hanya diplomasi publik.

Aktivitas digital memiliki peran dalam negosiasi, proses pembuatan kebijakan, dan manajemen krisis yang terkait dengan diplomasi.

Contohnya meski mengalami epidemic virus Zika pada 2015 dan 2016, pemerintah Brasil berhasil meyakinkan masyarakat internasional dengan menggunakan media sosial mengenai kesiapan mereka menjadi tuan rumah Olimpiade 2016 dan Piala Dunia.

Beberapa pakar kesehatan telah menyarankan Olympiade Rio 2016 ditunda atau dipindah. Namun Brasil cepat mengeluarkan pernyataan di situs web mereka dan akun media sosial dan di situs Olimpiade resmi bahwa mereka mencoba usaha terbaik untuk mengamankan kegiatan tersebut dari virus Zika.

Indonesia dan diplomasi digital

Indonesia adalah satu dari beberapa negara yang semakin banyak menggunakan teknologi digital dalam diplomasi internasional. Menurut sebuah survei, Indonesia menempati posisi ke-38 dari 209 negara di Digital Diplomacy Review 2017.

Peringkat ini menurun dibanding peringkat tahun lalu, ketika Indonesia menempati satu posisi lebih tinggi. Indonesia berada di belakang negara-negara Eropa yang memiliki teknologi tinggi seperti Prancis dan Inggris, dan juga negara-negara Asia seperti Jepang dan India. Namun, Indonesia berada di depan negara-negara Asia.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada Center for Digital Society menempatkan Indonesia di peringkat ke-9 di antara 203 negara untuk kegiatan diplomasi digital.

Studi ini memperhitungkan jumlah besar pengguna internet di Indonesia; 132,7 juta pada 2016 menurut data Asosisi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Ini artinya Indonesia memiliki 51% tingkat penetrasi internet dari populasi 260 juta. Bayangkan bagaimana bagusnya negara ini akan menyelesaikan masalah ketika seluruh penduduk Indonesia berjejaring internet. Sebuah masyarakat terkoneksi di era digital akan lebih transparan karena individu dapat mudah membagikan informasi secara online.

Hal ini mempengaruhi aktifitas diplomasi juga. Diplomasi tidak hanya berurusan dengan sebuah “jaringan” berbagai negara dan aktor-aktor non-negara lagi. Digital diplomasi ini akan memperkenalkan rutinitas baru seperti menggelar dialog online, juga memgambil masukan online dari publik dalam proses pembuatan kebijakan.

Kini, para diplomat atau para pemimpin negara juga menggunakan platform online dalam format media sosial untuk berkomunikasi satu sama lain. Satu studi tentang penggunaan Twitter untuk komunikasi diplomatik informal selama negosiasi nuklir P5+1 (2013-2015) menunjukkan bahwa komunikasi via Twitter antara Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry dan Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif efektif untuk memperkuat kesepakatan.

Pada era masyarakat terkoneksi internet, informasi menambah pengaruh lebih kuat, karena informasi itu dapat menyebar dalam hitungan detik atau menit. Pemerintah, khususnya lembaga yang mengurusi masalah kebijakan luar negeri, seharusnya mengambil manfaat dari keadaan ini karena mereka akan mampu memperluas agenda diplomasi publik mereka dalam cara yang bahkan lebih interaktif.

Dalam lingkungan diplomasi digital yang ideal, pemerintah dapat memperjelas pesan mereka, termasuk agenda kebijakan luar negeri, dan publik dapat memiliki saluran yang lebih cepat untuk terhubung dengan pemerintah mereka.

Indonesia belum memiliki agenda yang jelas atau cetak biru dalam menggunakan diplomasi digital. Untuk merumuskan sebuah agenda digital diplomasi yang lebih komprehensif, rumusannya dapat diambil dari negara-negara yang memiliki agenda yang jelas dan mempraktikkan diplomasi digital seperti Inggris dan Swedia.

Inggris telah membuat sebuah Unit Transformasi Digital, yang ditugaskan khusus untuk pengelolaan layanan digital negara itu, termasuk juga strategi diplomasi digital mereka.

Pemerintah Swedia juga menggunakan media sosial secara luas melalui kedutaan mereka di luar negeri. Mereka juga mempublikasikan tabloid online terbaru secara reguler yang disebut Swedish Foreign Policy News sebagai cara untuk memperkuat sudut pandang kebijakan keluar negeri mereka.

Diplomasi digital belum dipikirkan serius

Meskipun pemerintah Indonesia memiliki komitmen kuat dalam mengelola disrupsi digital seperti pornografi di internet dan berambisi mempersempit kesenjangan digital, diplomasi digital belum bergaung di publik.

Yang mungkin paling bisa dikatakan sebagai agenda diplomasi digital oleh pemerintah Indonesia adalah ketika Kementerian Luar Negeri menggelar sebuah pertemuan para pakar tentang diplomasi digital Mei tahun lalu.

Pertemuan itu memutuskan bahwa diplomasi digital akan digunakan untuk beberapa agenda penting negara ini. Contohnya, diplomasi digital dapat digunakan untuk melindungi pekerja migran Indonesia di luar negeri, juga dapat digunakan untuk mempromosikan dan mengembangkan usaha kecil dan menengah kita.

Pemerintah Indonesia baru-baru ini sedang mempersiapkan sebuah draf dokumen master plan untuk diplomasi digital. Dari sini, kita dapat cukup berharap sebuah strategi konkret dalam diplomasi digital dari negara ini dalam waktu dekat.

Pemerintah Indonesia seharusnya dapat belajar banyak dari beberapa negara seperti Inggris dan Swedia dalam memperkenalkan rumusan agenda diplomasi digital dari adaptasi institusional ke pendekatan baru dalam sosialisasi kebijakan luar negeri melalui media baru.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now