tag:theconversation.com,2011:/es/topics/perlindungan-perempuan-45219/articlesPerlindungan perempuan – The Conversation2024-02-22T05:16:03Ztag:theconversation.com,2011:article/2230382024-02-22T05:16:03Z2024-02-22T05:16:03ZMengapa tren kohabitasi melanda Indonesia meski tak sesuai nilai hukum dan agama?<p>Praktik kohabitasi dan kelahiran anak di luar pernikahan (<em>nonmarital childbearing</em>) menjadi fenomena demografi yang <a href="https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/74654">semakin umum terjadi di kota-kota besar</a> di Indonesia. <a href="https://www.jstor.org/stable/2953824">Kohabitasi</a>, kerap disebut sebagai “kumpul kebo” oleh masyarakat, merupakan kondisi ketika pasangan hidup atau tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah.</p>
<p>Generasi muda mulai mengalami pergeseran pandangan terhadap relasi dan pernikahan. Pernikahan dianggap sebagai institusi normatif dengan regulasi yang kompleks. Di sisi lain, mereka melihat kohabitasi sebagai hubungan yang murni, <a href="https://link.springer.com/book/10.1007/978-3-319-31442-6">refleksi dari cinta dan daya tarik mutualisme</a>.</p>
<p>Dalam teorinya tentang <a href="https://www.jstor.org/stable/25699059">“<em>Second Demographic Transition</em>”</a> (SDT), Ron Lesthaeghe, profesor demografi dan sains sosial dari Belgia, mengajukan pandangan bahwa pernikahan telah kehilangan statusnya sebagai bentuk persatuan konvensional yang berdasar pada norma dan nilai sosial. Sebagai gantinya, kohabitasi telah menjadi bentuk baru pembentukan keluarga.</p>
<p>Bagaimana tren kohabitasi di dunia dan praktiknya di Indonesia?</p>
<h2>Tren kohabitasi</h2>
<p>Perbedaan regulasi hukum, budaya, dan struktur ekonomi menyebabkan variasi yang signifikan dalam pola dan tren kohabitasi di berbagai negara. Di sebagian besar negara di <a href="https://www.jstor.org/stable/23025433">Eropa barat dan utara, Amerika Serikat (AS), Kanada, Australia, dan Selandia Baru</a>, kohabitasi telah memperoleh pengakuan hukum. </p>
<p><a href="https://www.jstor.org/stable/41857400">Di Belanda</a>, misalnya, <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/9781118374085.ch2">tingkat kelaziman kohabitasi di Belanda</a> mencapai 50%, dengan durasi rata-rata lebih dari empat tahun, dan kurang dari separuh dari pasangan kohabitasi ini melanjutkan ke pernikahan. Sejak 1998, negara ini mengakui berbagai bentuk <em>partnership formation</em> (pembentukan relasi) melalui <em>Civil Solidarity Pact (Pacs)</em>. </p>
<p>Pakta ini mengatur kontrak kohabitasi, termasuk kohabitasi yang terdaftar maupun tidak, sekaligus merinci hak dan kewajiban dalam ikatan kohabitasi yang lebih fleksibel daripada pernikahan. Hal ini termasuk dukungan finansial, perumahan, pajak, dan hak-hak sosial lainnya. Adanya pakta ini membantu mengurangi diskriminasi terhadap anak-anak tidak sah (<em>illegitimate children</em>, atau sering disebut sebagai “anak haram” di Indonesia) dan menyediakan dukungan substansial bagi orang tua tunggal. </p>
<p>Sementara, di <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6070151/">Asia</a>, kohabitasi tidak mendapatkan pengakuan legal karena pengaruh budaya, tradisi, dan agama. Kohabitasi cenderung terjadi dalam periode singkat dan sering dianggap sebagai tahap awal menuju pernikahan karena tradisi keluarga yang mengharuskan pasangan menikah.</p>
<p>Di Jepang, contohnya, data dari <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0192513X11409333"><em>National Fertility Survey</em></a> menunjukkan bahwa sekitar 25% pasangan melakukan kohabitasi dengan rata-rata durasi sekitar 2 tahun, dan sekitar 58% dari total pasangan kohabitasi melanjutkan ke jenjang pernikahan. Data tersebut juga menunjukkan bahwa kelahiran anak di luar pernikahan hanya sekitar 2% atau terendah di antara negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang rata-ratanya sebesar 36,3%.</p>
<h2>Alasan kohabitasi di Indonesia</h2>
<p>Di Indonesia, studi tahun 2021 yang berjudul <em>“<a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3955803">The Untold Story of Cohabitation</a>”</em>, mengungkap bahwa kohabitasi lebih umum terjadi di wilayah Indonesia Timur, yang mayoritas penduduknya non-Muslim.</p>
<p>Hasil analisis saya terhadap data dari <a href="https://portalpk.bkkbn.go.id/tabulasi/">Pendataan Keluarga 2021 (PK21)</a> milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), misalnya, menemukan 0,6% penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi. Dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9% di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3% berusia kurang dari 30 tahun, 83,7% berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6% tidak bekerja, dan 53,5% lainnya bekerja secara informal.</p>
<p>Penelitian yang saya lakukan di Manado (belum dipublikasikan) mengungkap tiga alasan mengapa pasangan memilih melakukan kohabitasi.</p>
<p><strong>1. Beban finansial</strong></p>
<p>Di Manado, pasangan cenderung memilih kohabitasi sebagai alternatif karena mereka belum siap secara finansial untuk menanggung biaya pernikahan. Mereka memilih menunda pernikahan guna mengumpulkan biaya untuk membayar mahar yang besarannya ditentukan oleh status sosial, pendidikan, dan level pekerjaan yang lebih tinggi.</p>
<p>Salah satu responden wawancara menyatakan bahwa dia harus menunggu hingga empat tahun agar pasangannya mampu mengumpulkan mahar sebesar Rp50 juta.</p>
<p><strong>2. Rumitnya prosedur perceraian</strong></p>
<p>Faktor lain yang mendorong pasangan memilih kohabitasi adalah karena mereka tidak perlu melalui prosedur birokrasi perceraian yang rumit dan mahal ketika memutuskan berpisah. </p>
<p>Dalam prosesnya, perceraian membutuhkan banyak biaya, mulai dari biaya perkara, jasa pengacara, hingga pembagian harta gana-gini, hak asuh anak, dan lain-lain.</p>
<p>Selain itu, dalam ajaran agama Kristen dan Katolik, yang dianut oleh mayoritas penduduk kota Manado, terdapat ayat: “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia,” (Markus 10:6-9). Artinya, secara hukum agama, suami istri yang bercerai hanya diperbolehkan menikah lagi ketika pasangannya sudah meninggal.</p>
<p><strong>3. Penerimaan sosial</strong></p>
<p>Adanya penerimaan sosial terhadap pasangan kohabitasi menjadi faktor pendorong kohabitasi di Manado. Penerimaan ini dipengaruhi oleh nilai budaya yang menempatkan hubungan individu di atas formalitas pernikahan, serta faktor ekonomi yang seragam di kalangan masyarakat lokal, yang membuat mereka lebih toleran terhadap praktik kohabitasi.</p>
<p>Selain itu, pasangan kohabitasi di Manado memiliki komitmen serius dan tetap berorientasi pada pernikahan. Rata-rata pasangan di Manado menjalani kohabitasi selama 3-5 tahun. Biasanya, pasangan akan memutuskan untuk menikah setelah mereka memiliki 2-3 anak dan saat mereka memiliki kebutuhan administratif tertentu, semisal pendaftaran anak ke sekolah.</p>
<h2>Dampak kohabitasi</h2>
<p>Perempuan dan anak menjadi pihak yang paling terdampak secara negatif oleh kohabitasi. Dalam konteks ekonomi, karena tidak ada peraturan yang mengatur kohabitasi, tidak ada jaminan keamanan finansial bagi anak dan ibu selayaknya dalam hukum terkait perceraian. Ayah tidak memiliki kewajiban hukum untuk memberikan dukungan finansial dalam bentuk pemberian nafkah (alimentasi). Ketika pasangan kohabitasi berpisah, <a href="https://www.larcier-intersentia.com/en/common-core-better-law-european-family-law-9789050954754.html">tidak ada kerangka regulasi</a> yang mengatur pembagian aset dan finansial, alimentasi, hak waris, penentuan hak asuh anak, dan masalah-masalah lainnya.</p>
<p>Dalam konteks kesehatan, dampak negatif kohabitasi dapat dirasakan melalui penurunan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/019027250506800304">kepuasan hidup dan masalah kesehatan mental</a>. Kurangnya komitmen dan kepercayaan antara pasangan, serta ketidakpastian mengenai masa depan, dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi pada pasangan kohabitasi. </p>
<p>Berdasarkan data PK21, 69,1% pasangan kohabitasi mengalami konflik dalam bentuk tegur sapa, 0,62% mengalami konflik yang lebih serius seperti pisah ranjang hingga pisah tempat tinggal, dan 0,26% lainnya mengalami konflik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Selain itu, tekanan dari <a href="https://www.taylorfrancis.com/chapters/edit/10.4324/9781315148458-19/changing-marriage-patterns-asia-gavin-jones">stigma sosial</a> dan harapan yang tidak realistis dari keluarga atau masyarakat, seperti harus mapan finansial dalam waktu singkat agar dapat segera menikah, dapat memperburuk kondisi mental pasangan kohabitasi.</p>
<p>Anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi juga sering mengalami <a href="https://doi.org/10.1111/j.0022-2445.2004.00088.x">dampak negatif</a>, termasuk gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan, kesehatan, dan emosional. Anak dapat mengalami kebingungan identitas dan memiliki perasaan tidak diakui karena adanya stigma dan <a href="https://scholarship.law.ufl.edu/flr/vol63/iss2/2/">diskriminasi terhadap status “anak haram”</a>, bahkan dari anggota keluarga sendiri. Hal ini menyulitkan mereka untuk menempatkan diri dalam struktur keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.</p>
<h2>Solusi yang mungkin</h2>
<p>Alih-alih “mengkuhum” pasangan kohabitasi, pemerintah dan pembuat kebijakan perlu fokus untuk mengurangi hambatan dalam melangsungkan pernikahan.</p>
<p>Salah satu tindakan intervensi yang dapat dilakukan adalah melalui pembentukan gerakan komunitas yang berkolaborasi dengan pemimpin masyarakat (dalam lingkup komunitas gereja, adat, atau satuan lingkungan setempat), untuk melakukan sosialisasi ke masyarakat terkait pentingnya menyesuaikan mahar pernikahan dengan kemampuan ekonomi calon pengantin.</p>
<p>Selain itu, edukasi mengenai dampak negatif kohabitasi dan anak di luar pernikahan juga penting, agar generasi muda lebih sadar dan bijak dalam mempersiapkan kehidupan masa depan, termasuk merencanakan pernikahan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/223038/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Yulinda Nurul Aini tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kohabitasi tidak lazim di Indonesia, tapi masih banyak dilakukan terutama di wilayah Indonesia Timur. Mengapa demikian?Yulinda Nurul Aini, Peneliti Ahli Muda, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2227482024-02-12T13:08:19Z2024-02-12T13:08:19ZApa yang gagal dilihat oleh ketiga capres-cawapres soal buruh perempuan?<p>Isu perburuhan dan perempuan belum menjadi diskursus serius bagi ketiga pasangan calon (paslon) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Meski masing-masing paslon menawarkan visi dan misinya terkait buruh dan perempuan, masih ada ruang kosong yang perlu diisi untuk menjawab tantangan diskriminasi dan ketimpangan relasi ke depannya. </p>
<p>Paslon <a href="https://mmc.tirto.id/documents/2023/10/20/1241-amin-visi-misi-program.pdf">Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar</a>, misalnya, menawarkan apa yang mereka sebut sebagai “28 Simpul Kesejahteraan” bagi kelompok buruh dan perempuan. Agenda khusus dalam visi misi mereka ini menjanjikan sistem pengupahan yang adil, bantuan pangan, perlindungan sosial, program pelatihan dan beasiswa, perlindungan bagi buruh hingga pelibatan dalam proses perumusan kebijakan. </p>
<p>Pasangan ini juga menyatakan komitmennya dalam menjamin pemenuhan hak perempuan dari segi perlindungan terhadap tindak kekerasan, mulai dari proses pencegahan hingga rehabilitasi, implementasi cuti hamil dan melahirkan bagi ibu dan ayah, serta menyediakan fasilitas pengasuhan anak yang terjangkau dan ruang laktasi di ruang publik bagi ibu menyusui.</p>
<p>Paslon <a href="https://va.medcom.id/2023/pemilu/others/PRABOWOGIBRAN_VISI_MISI.pdf">Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka</a>, mencanangkan inklusivitas dan kesejahteraan buruh secara umum dari sisi penguatan sumber daya manusia (SDM), penegakan hak asasi manusia (HAM), pemerataan ekonomi, hingga reformasi hukum.</p>
<p>Mereka berkomitmen untuk menerapkan pemutusan kebijakan yang bersifat inklusif dan berperspektif gender serta memprioritaskan upaya pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, salah satunya dari segi penegakan hukum yang berlaku. Penguatan SDM dilakukan dengan memberikan bantuan pendidikan kepada anak-anak petani, nelayan, guru, hingga buruh untuk melanjutkan pendidikan dari jenjang S1 hingga S3. </p>
<p>Sementara itu, paslon <a href="https://visimisiganjarmahfud.id/assets/docs/Visi_Misi_Ganjar_Pranowo_dan_Mahfud_MD_031123.pdf">Ganjar Pranowo-Mahfud MD</a> menawarkan ide yang sedikit berbeda. Mereka menjanjikan kesejahteraan buruh dan perempuan melalui bantuan hunian dengan mekanisme pembayaran yang mudah dan murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, kesempatan dan perlindungan kerja bagi buruh, fasilitas pengasuhan anak yang terjangkau di sektor formal maupun informal hingga fasilitas cuti melahirkan bagi ibu dan suami dengan jaminan upah dan tunjangan tetap 100%. </p>
<p>Visi dan misi setiap paslon sejatinya telah mewadahi sebagian kebutuhan kelompok buruh, utamanya buruh perempuan. Lantas, apa yang kurang dari komitmen mereka?</p>
<h2>Masih ada kekosongan</h2>
<p><strong>Pertama</strong>, visi dan misi paslon Prabowo-Gibran tentang isu perburuhan dan perempuan baru sampai pada tahap normatif. Paslon ini baru pada tahap penggunaan terminologi inklusif dan berperspektif gender tanpa kepekaan untuk mewujudkannya dalam rumusan kebijakan yang konkret untuk membantu meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja perempuan.</p>
<p>Isu seperti <a href="https://www.ilo.org/global/topics/care-economy/WCMS_838653/lang--en/index.htm">fasilitas pengasuhan anak</a> maupun kebijakan cuti hamil dan melahirkan bagi ibu dan ayah masih luput dari perhatian. </p>
<p>Paslon ini juga belum mengelaborasi misi penegakan hukum untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Hal yang patut menjadi perhatian adalah mekanisme penegakan hukum seperti apa yang akan dilakukan serta bagaimana memastikan bahwa hal tersebut dapat menjunjung aspek kesetaraan gender. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, fasilitas pengasuhan anak yang ditawarkan Ganjar-Mahfud diproyeksikan akan menjangkau hingga ke level akar rumput, baik di sektor formal ataupun informal. Namun, paslon ini luput dalam meninjau kebutuhan lain yang tidak kalah penting bagi buruh perempuan, yaitu terkait <a href="https://internationalbreastfeedingjournal.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13006-022-00499-0">ruang laktasi</a> yang nyaman di ruang kerja maupun ruang publik. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, fasilitas pengasuhan anak yang digagas oleh Anies-Muhaimin baru pada level <a href="https://news.detik.com/pemilu/d-7148366/anies-janjikan-daycare-di-kantor-dan-40-hari-cuti-melahirkan-bagi-suami">perkantoran dan perusahaan</a>. Fasilitas ini belum menjangkau buruh perempuan pada sektor informal, seperti buruh pertanian, kehutanan, dan perikanan yang <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/04/21/sektor-apa-yang-paling-banyak-serap-pekerja-wanita">lebih dari 30% pekerjanya</a> adalah buruh perempuan. </p>
<p>Tak hanya itu, ketiga paslon masih belum menjamin standar kualitas dan keterjangkauan fasilitas pengasuhan anak bagi kelompok miskin. </p>
<p>Sebelumnya, peraturan standar kualitas tempat pengasuhan anak telah diatur dalam <a href="https://repositori.kemdikbud.go.id/12860/1/Permendikbud%20No.%20137%20Tahun%202014%20-%20SN-PAUD.pdf">Permendikbud No 137/2004</a>, seperti standar ruangan yang aman dan bersih untuk anak, standar kompetensi staf dan rasio penjagaan staf terhadap anak, media belajar anak yang edukatif, hingga nutrisi yang diberikan. Sayangnya, peraturan ini telah dicabut dan tidak lagi berlaku secara hukum. </p>
<p><a href="https://kumparan.com/kumparannews/kpai-20-daycare-berkualitas-tak-baik-pemerintah-harus-turun-tangan-1sNDoSucXSs/1">Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)</a> mencatat sebanyak 20% tempat pengasuhan anak memiliki kualitas tidak baik dan 6% berada pada standar kualitas sangat tidak baik. Belum lagi, <a href="https://kumparan.com/kumparannews/riset-kpai-44-persen-daycare-di-9-provinsi-tak-berizin-1sNBIs25l7d/full">44%</a> tempat pengasuhan anak tidak memiliki izin yang sah secara hukum.</p>
<p>Implikasinya, keselamatan dan kesejahteraan anak-anak tidak terjamin, sehingga dapat mengganggu proses tumbuh kembangnya. Di samping itu, ketiadaan izin yang sah akan menyebabkan minimnya pengawasan dari pihak otoritas terhadap aktivitas tempat pengasuhan anak tersebut. </p>
<p>Tempat pengasuhan anak yang terjangkau seringkali memiliki standar kualitas yang rendah. Sementara, tempat pengasuhan anak yang berkualitas baik kerap dipatok dengan harga tinggi <a href="https://www.academia.edu/26451611/Social_Policy_and_Practices_of_Childcare_Services_in_Jakarta_An_Assessment">hingga bisa mencapai Rp3.000.000 per bulannya</a>. </p>
<p>Di luar itu semua, ketiga paslon belum memiliki gambaran terkait dengan mekanisme pelaporan apabila terjadi kasus kekerasan terhadap buruh perempuan. Adanya <a href="https://theprakarsa.org/pelanggaran-hak-buruh-perkebunan-sawit-studi-kasus-di-kalimantan-barat-dan-sulawesi-tengah/">subordinasi</a>–kondisi ketika satu gender dianggap lebih baik dibanding gender lainnya-menempatkan buruh perempuan pada posisi yang sangat rentan. </p>
<p>Akibatnya, penyelesaian kasus kekerasan terhadap buruh perempuan dan pelanggaran HAM lainnya masih belum berpihak kepada korban.</p>
<h2>Secercah harapan bagi buruh perempuan</h2>
<p>Terlepas dari kekurangannya, visi dan misi ketiga paslon menjadi secercah harapan bagi titik awal upaya perlindungan dan peningkatan kesejahteraan bagi kelompok buruh perempuan. Selama ini, regulasi yang mengatur dan menjamin kesejahteraan buruh perempuan di sektor informal masih belum optimal.</p>
<p>Ini penting mengingat banyaknya buruh perempuan yang bekerja pada sektor informal dengan risiko tinggi yang kerap terlewat dari upaya perlindungan dan pemenuhan hak.</p>
<p>Sebagai contoh, <a href="https://www.unicef.org/indonesia/media/4391/file">belum adanya regulasi</a> yang mewajibkan sektor perkebunan untuk menyediakan fasilitas pengasuhan anak menyebabkan <a href="https://www.unicef.org/indonesia/media/4391/file">buruh perempuan di sektor perkebunan sawit</a> tak memiliki akses terhadap fasilitas yang berkualitas dan terjangkau. </p>
<p>Akibatnya, mereka memilih untuk menitipkan anaknya kepada keluarga atau menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada anak pertamanya. Hal ini membuat pengawasan orangtua terhadap anak menjadi tidak ideal. <a href="https://theprakarsa.org/pelanggaran-hak-buruh-perkebunan-sawit-studi-kasus-di-kalimantan-barat-dan-sulawesi-tengah/">Penelitian</a> di Sulawesi Tenggara, misalnya, menemukan adanya kasus pelecehan terhadap anak yang disebabkan kurang optimalnya penjagaan anak akibat ketiadaan fasilitas tempat pengasuhann. </p>
<p>Ketimpangan relasi antara kelompok buruh dan pemberi kerja juga memperburuk kasus-kasus pelanggaran terhadap hak-hak buruh perempuan. </p>
<p>Sebagai contoh, <a href="https://theprakarsa.org/pelanggaran-hak-buruh-perkebunan-sawit-studi-kasus-di-kalimantan-barat-dan-sulawesi-tengah/">penelitian</a> yang dilakukan oleh <a href="https://theprakarsa.org/">The PRAKARSA</a> terhadap buruh perkebunan sawit di Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah menunjukkan masih banyak praktik-praktik pelanggaran.</p>
<p>Hal ini meliputi diskriminasi berbasis gender dari segi upah serta pemenuhan hak untuk mendapatkan cuti haid, kehamilan, melahirkan, dan hak untuk memberikan ASI yang layak. Belum lagi <a href="https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/06/16/buruh-perempuan-di-kebun-sawit-masih-rentan-alami-kekerasan-seksual">pelanggaran lainnya</a> yang masih menghantui buruh perempuan perkebunan sawit, seperti kurangnya akses terhadap perlindungan dan keselamatan kerja hingga kasus kekerasan di tempat kerja. </p>
<p>Pemimpin ke depannya harus menjadikan isu buruh perempuan dalam agenda pembangunan secara konkret, bukan hanya isu-isu politis. Mengingat, di ranah praktis, masih banyak buruh perempuan yang bekerja pada sektor berisiko tinggi yang berhak mendapat perlindungan dan pemenuhan kesejahteraan sebagai hak dasarnya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/222748/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Eka Afrina terafiliasi dengan The PRAKARSA</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Eksanti Amalia Kusuma Wardhani terafiliasi dengan The PRAKARSA. </span></em></p>Visi dan misi ketiga paslon menjadi secercah harapan bagi buruh perempuan, namun masih ada kekosongan dalam program yang mereka janjikan.Eka Afrina Djamhari, Peneliti Kebijakan Sosial, The PrakarsaEksanti Amalia Kusuma Wardhani, Junior Researcher, The PrakarsaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1996122023-02-14T07:29:55Z2023-02-14T07:29:55ZBagaimana perusahaan teknologi gagal melindungi pekerja dan pengguna perempuan – dan apa yang harus dilakukan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/509977/original/file-20230214-22-95l74z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=2%2C5%2C1994%2C1991&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Platform media sosial tak hanya gagal melindungi pengguna perempuan, namun juga pekerjanya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.freepik.com/free-vector/cyber-bullying-concept-illustration_28569625.htm">storyset/freepik</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Mulai dari <a href="https://theconversation.com/why-elon-musks-first-week-as-twitter-owner-has-users-flocking-elsewhere-193857">labilnya</a> kebijakan Elon Musk sebagai pemilik baru Twitter, <a href="https://www.nytimes.com/2022/11/09/technology/meta-layoffs-facebook.html">keputusan Meta</a> untuk memberhentikan lebih dari 11.000 pegawainya, hingga <a href="https://www.ft.com/content/28f7e49f-09b3-407f-82f8-56683f5d0663">anjloknya saham-saham teknologi</a>, industri media sosial lagi-lagi dilanda kekacauan. Namun, di saat gelombang kejutan ini menarik banyak sekali perhatian publik, tak banyak yang membicarakan dampaknya pada perempuan. </p>
<p>Perusahaan-perusahaan besar gagal melindungi perempuan di kedua sisi layar: para pekerja mereka dan para pengguna layanan. Ini mengapa langkah-langkah yang diambil untuk <a href="https://www.theguardian.com/technology/2023/feb/04/online-safety-bill-needs-tougher-rules-on-misogyny-say-peers">mengatur perusahaan media sosial</a> harus mengikutsertakan perlindungan khusus bagi perempuan.</p>
<p>Pelecehan daring, seperti yang <a href="https://arxiv.org/abs/1902.03093">telah berulangkali dikonfirmasi oleh penelitian akademik</a> dan <a href="https://www.amnesty.org/en/latest/research/2018/03/online-violence-against-women-chapter-1-1/">kelompok sipil</a>, kerap menyasar pengguna perempuan. </p>
<p>Salah satu kebijakan Musk setelah membeli Twitter adalah untuk memperkenalkan verifikasi demi memangkas jumlah akun palsu. Akun-akun tersebut <a href="https://www.compassioninpolitics.com/three_quarters_of_those_experiencing_online_abuse_say_it_comes_from_anonymous_accounts">kerap dikutip</a> sebagai sumber utama kekerasan dalam media sosial. Namun, <a href="https://www.cleanuptheinternet.org.uk/post/what-do-elon-musk-s-blue-tick-experiments-mean-for-the-uk-s-online-safety-bill">proses otentifikasi</a> yang diperkenalkan Musk hanyalah sekadar meminta akun-akun “centang biru” untuk membayar tarif bulanan – dan kebijakan ini telah dicabut menyusul protes warga Twitter. </p>
<p>Langkah ini lebih terlihat seperti cara untuk meningkatkan pemasukan alih-alih strategi keamanan daring yang efektif. Parahnya lagi, di saat bersamaan, Musk juga mengambil tindakan kontroversial dengan <a href="https://www.euronews.com/next/2023/01/18/which-controversial-figures-has-elon-musk-reinstated-on-twitter">mengembalikan akun</a> beberapa figur terkenal yang sebelumnya diblokir karena wacana misogini. Ini termasuk <a href="https://www.theguardian.com/technology/2022/aug/06/andrew-tate-violent-misogynistic-world-of-tiktok-new-star">Andrew Tate</a>, yang mendefinisikan dirinya sendiri sebagai <em>influencer</em> “seksis”.</p>
<p>Terlepas kacaunya pendekatan kepemimpinan Musk, keputusan-keputusan ini mengindikasikan adanya tren yang merebak dalam industri sosial media, dengan konsekuensi yang luas bagi perempuan.</p>
<p>Faktanya, selama beberapa tahun terakhir, platform seperti Twitter, Facebook, YouTube, dan TikTok telah merespons derasnya tuntutan publik dengan mangadopsi pedoman yang lebih ketat terhadap <a href="https://www.epe.admin.cam.ac.uk/five-things-you-should-know-about-digital-gender-based-violence-dgbv-and-ways-curb-it">ujaran kebencian berbasis gender</a>. Namun, perubahan ini kebanyakan diterapkan lewat <a href="https://mckinneylaw.iu.edu/iiclr/pdf/vol32p97.pdf">regulasi mandiri</a> dan kemitraan sukarela dengan sektor publik. Pendekatan ini membuat perusahaan bebas untuk menarik kembali keputusannya, seperti apa yang dilakukan oleh Musk.</p>
<p>Di samping itu, menyensor figur di internet atau mempromosikan verifikasi akun tidak betul-betul mengatasi penyebab utama kekerasan dalam media sosial. Desain aktual platform dan model bisnis perusahaan memainkan peran yang lebih sentral. </p>
<p>Platform media sosial berusaha untuk menjaga kita terus berada di dunia maya demi menghasilkan data yang membawa profit dan menjaga audiens untuk bisnis iklan mereka. Mereka melakukan ini melalui algoritma yang menciptakan <a href="https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/01/08/073100182/echo-chamber-dan-filter-bubble-alasan-sulit-lepas-dari-jeratan-hoaks?page=all">ruang gema</a>. Artinya, kita akan terus melihat konten yang sama dengan apapun yang membuat kita pertama kali tertarik untuk mengkliknya. </p>
<p>Namun riset menunjukkan bahwa hal ini turut memfasilitasi <a href="https://intpolicydigest.org/how-social-media-is-fueling-divisiveness/">peredaran pesan-pesan yang “memecah belah”</a>. Sistem tersebut juga mendukung <a href="https://research-information.bris.ac.uk/en/publications/from-individual-perpetrators-to-global-mobilisation-strategies-th">penyebaran seksisme di dunia maya</a>, dan mendorong pengguna yang pernah menonton suatu konten problematis masuk ke dalam “<a href="https://www.theguardian.com/society/2022/oct/30/global-incel-culture-terrorism-misogyny-violent-action-forums">lubang hitam</a>” unggahan yang seragam.</p>
<p>Sementara platform-platform ini menjadi problematis bagi para pengguna perempuan, banyak dari perusahaan di baliknya juga gagal melindungi pekerja perempuan yang turut membangun dan mengelola jaringan media sosial.</p>
<h2>Redundansi perusahaan teknologi</h2>
<p>Bagaimana perusahaan media sosial memperlakukan karyawannya perlu dilihat dari lensa gender, apalagi mengingat bagaimana perusahaan-perusahaan ini melakukan PHK massal dan strategi pemangkasan beban lainnya sebagai reaksi terhadap <a href="https://www.businessinsider.com/economic-downturn-tech-industry-layoffs-stock-plunge-funding-slowdown-2022-6?r=US&IR=T">lesunya pasar</a>.</p>
<p>Salah satu kelompok yang paling terimbas (menurut hasil pengamatan yang saya tuliskan di <a href="https://septemberpublishing.org/product/the-threat-why-digital-capitalism-is-sexist-and-how-to-resist/">buku saya yang baru saja diterbitkan</a>) adalah <a href="https://www.theverge.com/2019/2/25/18229714/cognizant-facebook-content-moderator-interviews-trauma-working-conditions-arizona">moderator media sosial</a>. </p>
<p>Para moderator ini bertugas membersihkan platform dari konten-konten yang melanggar standar komunitas. Mereka terus menerus terpapar ujaran kebencian yang bersifat misoginis, foto-foto kekerasan seksual dan pornografi non-konsensual. <a href="https://www.washingtonpost.com/technology/2020/05/12/facebook-content-moderator-ptsd/">Staf perempuan</a> – utamanya – kerap terpicu oleh konten-konten ini. Banyak dari mereka yang kemudian <a href="https://www.theverge.com/2020/5/12/21255870/facebook-content-moderator-settlement-scola-ptsd-mental-health">kena masalah kesehatan mental</a>, termasuk depresi, kecemasan, dan sindrom stres pascatrauma.</p>
<p>Perusahaan media sosial dan subkontraktor internasional mereka (yang banyak menyuplai tenaga alihdaya) menerapkan kebijakan-kebijakan lain yang juga melanggar hak karyawan, khususnya moderator perempuan. Salah satu yang terbaru adalah <a href="https://www.theguardian.com/business/2021/mar/26/teleperformance-call-centre-staff-monitored-via-webcam-home-working-%20pelanggaran">menempatkan kamera dengan kecerdasan buatan</a> di rumah moderator yang bekerja dari jarak jauh. Langkah ini merupakan intrusi yang sangat brutal bagi perempuan, apalagi mereka sudah sering menghadapi pelecehan atau masalah keamanan di ruang publik.</p>
<p>Pelecehan daring dan perlakuan terhadap pekerja berimbas pada semua gender. Namun, ada dampak khusus yang harus ditanggung perempuan dari kekerasan di media sosial. Sebuah <a href="https://onlineviolencewomen.eiu.com/">studi dari The Economist</a> menunjukkan bahwa ketakutan terhadap adanya agresi baru mendorong sembilan dari 10 korban yang disurvei mengubah habit dunia maya mereka – 7% bahkan keluar dari pekerjaannya.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Woman looks at laptop; home in background; remote working." src="https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/508333/original/file-20230206-15-ysb1s7.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Moderator menghapus unggahan yang melanggar standar komunitas di media sosial sehingga sering terpapar konten yang mengganggu (<em>disturbing</em>).</span>
<span class="attribution"><span class="source">fizkes/Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Solusi spesifik untuk kebencian di dunia maya</h2>
<p>Seperti layaknya pekerja perempuan dan pengguna yang menghadapi isu-isu spesifik akibat kebijakan – atau tidak adanya kebijakan – media sosial, intervensi untuk meningkatkan keamanan dan kesejahteraan mereka pun juga harus spesifik.</p>
<p>Buku saya membahas bagaimana kapitalis digital – termasuk tetapi tidak terbatas pada perusahaan media sosial – mengecewakan pengguna dan pekerja perempuan, dan <a href="https://gen-pol.org/2019/11/when-technology%20-memenuhi-misogyny-multi-level-intersectional-solutions-to-digital-gender-based-violence/">bagaimana cara mengatasinya</a>. Di antara perubahan yang saya sarankan adalah intervensi untuk membuat platform lebih bertanggung jawab.</p>
<p><a href="https://bills.parliament.uk/bills/3137">Rancangan Undang-Undang Keamanan Daring</a> di Inggris, misalnya, dirancang untuk memberi regulator otoritas untuk mendenda atau menuntut perusahaan yang lalai menghapus konten-konten berbahaya (<em>harmful</em>). Namun, penting bagi perubahan kebijakan di area ini untuk mengidentifikasi perempuan sebagai kategori pengguna yang dilindungi, dan rancangan undang-undang ini <a href="https://demos.co.uk/blog/the-online-safety-bill-will-it-protect-women-online/">masih belum mempertimbangkan hal tersebut</a>. Komitmen transparansi terkait algoritma dan regulasi platform seputar bisnis penambangan data juga dapat membantu, tetapi sejauh ini belum – atau belum sepenuhnya – terintegrasi ke sebagian besar undang-undang nasional dan internasional.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/panel-ahli-uu-perlindungan-data-pribadi-rentan-makan-korban-dan-belum-jamin-proteksi-data-yang-kuat-191018">Panel ahli: UU Perlindungan Data Pribadi rentan makan korban dan belum jamin proteksi data yang kuat</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Dan karena pekerja juga harus mendapatkan perlindungan yang sama besarnya dengan pengguna, penting untuk memastikan bahwa <a href="https://www.wired.co.uk/article/facebook-content-moderators-ireland">mereka bisa berserikat</a> dan harus ada dorongan bagi para pemberi kerja untuk menghormati kewajiban mereka memerhatikan tenaga kerjanya. Ini misalnya termasuk melarang pengawasan yang invasif di tempat kerja.</p>
<p>Satu solusi terkait pengguna dan pekerja perempuan: sudah waktunya bagi raksasa media sosial untuk menerapkan strategi-strategi spesifik untuk melindungi perempuan di kedua sisi layar.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/199612/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Lilia Giugni berafiliasi dengan GenPol - Gender & Policy Insights, wadah pemikir feminis yang berbasis di Inggris, dan dengan Royal Society of Arts.</span></em></p>Perempuan membutuhkan perlindungan yang lebih baik dari kebencian online dan misogini, baik saat menggunakan media sosial maupun saat bekerja di perusahaan teknologi.Lilia Giugni, Assistant professor, University of BristolLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1675582022-01-12T07:00:44Z2022-01-12T07:00:44ZPenyintas kekerasan seksual menemukan ruang aman, dukungan, dan penghiburan di media sosial<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/439588/original/file-20220106-25-rg5n7t.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=94%2C152%2C2393%2C1639&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> <span class="attribution"><span class="source">Rifqi Riyanto/INA Photo Agency/Sipa USA</span></span></figcaption></figure><p>Dalam konteks masyarakat Indonesia yang agamis dan normatif, realita kekerasan seksual seolah menjadi sesuatu yang absurd dan ada di luar nalar.</p>
<p>Masih banyak orang yang percaya kekerasan seksual <a href="https://thisisgender.com/miskonsepsi-kekerasan-seksual/">tidak mungkin terjadi dalam masyarakat beragama</a>. Mitos lain yang kerap dirujuk untuk meremehkan kekerasan seksual adalah bahwa kekerasan seksual tidak mungkin terjadi dalam <a href="https://today.line.me/id/v2/article/EjyKPv">masyarakat yang memiliki budaya Timur seperti Indonesia</a>. </p>
<p>Temuan saya dan tim penelitian di Universitas Indonesia menggambarkan kenyataan yang berbeda. Dengan argumen bahwa internet merupakan ruang yang lain, studi ini diawali dengan keyakinan bahwa platform sosial media menyediakan ruang untuk menampilkan realitas yang dimungkiri - <a href="https://www.mdpi.com/2075-4698/10/3/51">misalnya, kekerasan seksual</a> - oleh masyarakat dominan. </p>
<p>Data penelitian kami menunjukkan kasus kekerasan seksual banyak terjadi tanpa memandang agama, hubungan sosial dan cara berpakaian. Perkosaan, pelecehan seksual, dan penyiksaan seksual terjadi dengan pelaku orang-orang terdekat dan dipercaya oleh korban. </p>
<p>Data ini sejalan dengan ramainya kasus kekerasan seksual yang diungkap ke ruang publik, yang sumbernya bukan dari media arus utama melainkan akun-akun pribadi pada platform media sosial. </p>
<p>Sedikit berbeda dengan penelitian di luar Indonesia yang justru menggambarkan <a href="https://scholarsarchive.byu.edu/facpub/4155/">media sosial menjadi ruang kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan</a>, <a href="https://fslmjournals.taylors.edu.my/facebook-group-types-and-posts-indonesian-women-free-themselves-from-domestic-violence/">data</a> <a href="https://www.atlantis-press.com/proceedings/aprish-19/125957147">penelitian kami</a> justru menunjukkan perempuan penyintas kekerasan seksual di Indonesia membagikan pengalaman kelamnya di Twitter dan Facebook untuk mencari tempat nyaman berbagi ketakutan, kekhawatiran, kesedihan dan kemarahan. </p>
<p>Di media sosial Indonesia, korban dan penyintas kekerasan seksual menemukan ruang aman yang memberi dukungan dan penguatan, serta menghindari stigma dan tekanan masyarakat. </p>
<h2>Media sosial sebagai ruang aman</h2>
<p>Dalam studi, tim peneliti melakukan pengamatan pada platform sosial media Facebook dan Twitter. Selain itu, tim peneliti juga melakukan wawancara pada sejumlah perempuan penyintas kekerasan seksual. </p>
<p>Temuan studi ini menunjukkan bahwa perempuan di Indonesia mempercayai bahwa platform media sosial adalah tempat yang tepat untuk membagikan pengalaman kekerasan seksual. </p>
<p>Walaupun para penyintas memahami bahwa sosial media tidak selalu memberikan perlindungan dan dukungan, namun mereka yakin media sosial tetap memberi ruang yang menerima realita alternatif, yang seringkali ditolak oleh masyarakat dominan. </p>
<p>Ilmuwan sosial menyatakan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1741659016652445">perempuan penyintas cenderung melakukan pengungkapan kekerasan seksual melalui platform daring</a> untuk melawan dan menanggapi pelecehan. </p>
<p>Berkaitan dengan itu Nancy Fraser, <a href="https://www.newschool.edu/nssr/faculty/Nancy-Fraser/">profesor filsafat dan politik</a> di New School for Social Research, Amerika Serikat, memperkenalkan konsep <a href="https://criticallegalthinking.com/2016/11/06/nancy-fraser-subaltern-counterpublics/">ruang publik tandingan</a> (<em>counterpublic subaltern</em>), yang menggambarkan sebuah ruang tempat anggota kelompok sosial yang dipinggirkan dan ditekan menemukan apa yang mereka butuhkan, yang tidak mereka dapatkan dari masyarakat dominan. </p>
<p>Salah satu subjek penelitian kami, DH, membagikan pengalamannya sebagai penyintas kekerasan seksual. Dalam postingannya DH mengundang pembaca untuk memberikan dukungan berupa solusi: </p>
<blockquote>
<p>“[..] Saya sama dia pacaran sudah bertahun-tahun, jadi dia nggak terima saya putusin. Dia memperkosa saya, dia pukul saya. Jadi untuk pertama kalinya dia melecehkan saya. Beberapa minggu kemudian dia kembali lagi melakukan itu kepada saya karena ketauan saya mau pulang kampung karena sudah merasa menjadi wanita yang sangat kotor. [..] Saya ketakutan saya benar-benar dihantui rasa bersalah, penyesalan, dan malu. Tolong beri solusinya dan saya mohon jangan bully saya.” (DH, penyintas)</p>
</blockquote>
<p>Postingan DH mendapatkan 27 emoji positif dan 23 <em>likes</em>. Dari 31 komentar, DH mendapatkan 17 dukungan berupa informasi apa yang sebaiknya harus dilakukan, penilaian situasi, dan dukungan penguatan. </p>
<p>Penyintas lain, NN, menggunakan menceritakan kekerasan seksual ayah tirinya. Postingan NN yang membagikan pengalaman sebagai penyintas mendapatkan 256 respon emoji positif dan 151 komentar yang mendukung.</p>
<blockquote>
<p>“Waktu SMP kelas 3 saya digrepe bapak tiri. Saat diintrogasi nggak ngaku, bilangnya saya halusinasi, di grepe ama Jin. Ngadu ke ibu tapi ibu saya ujung-ujungnya balik lagi ke orang sialan itu.” (NN, penyintas)</p>
</blockquote>
<p>Respon yang diperoleh DH dan NN menggambarkan bagaimana media sosial tidak hanya menyediakan tempat bagi kisah personal para penyintas, namun juga menawarkan ruang aman bagi para penyintas kekerasan seksual. </p>
<p>Hasil penelitian ini menunjukkan penyintas meyakini bahwa media sosial akan memberikan kenyamanan yang memperkecil ruang ancaman dan pelecehan. </p>
<p>Melalui media sosial, penyintas menemukan penguatan emosional dan psikologis, dan cenderung dapat menghindari tekanan struktur dominan. </p>
<p>Walaupun penelitian ini masih menemukan bentuk pengawasan norma dominan dari masyarakat (melalui respon negatif), namun pada saat yang sama penyintas juga menemukan bantuan hukum, psikologis, dan keamanan digital. </p>
<h2>Stigma dan pembungkaman terhadap perempuan korban kekerasan</h2>
<p>Mengapa perempuan memilih sosial media sebagai ruang aman? Perempuan penyintas dalam studi ini menyadari berbagai stigma dalam masyarakat dominan yang lahir dari <a href="https://thisisgender.com/wp-content/uploads/2020/09/010-RPH-CGS-Consent-Sexual-Ttd-Azalia.pdf">mitos tentang seksualitas dan perempuan</a>, sehingga mencari ‘ruang aman’ lain. </p>
<p>Perempuan penyintas dalam studi ini mengenali stigma yang berkaitan erat dengan seksualitas dan perempuan. Salah satu subjek penelitian berpendapat bahwa seksualitas dan hak perempuan yang berkaitan dengan seksualitas adalah salah satu topik yang sulit mendapat ruang diskusi dalam masyarakat dominan. </p>
<blockquote>
<p>“Kalau aku cerita, pasti akan mereka bilang salah sendiri kamu pakai baju ketat.” (AA, penyintas)</p>
</blockquote>
<p>Para penyintas dalam studi ini menyebutkan ada dua mitos terkait seksualitas. </p>
<p>Pertama, seksualitas adalah hal privat (dan suci). Kedua, seksualitas tabu dibicarakan dan seks tabu dilakukan di luar institusi pernikahan. </p>
<p>Mitos seksualitas tersebut menghasilkan narasi-narasi pemujaan semu terhadap perempuan seperti perempuan punya tugas mulia sebagai ibu dan istri atau perempuan yang baik akan menjaga keperawanan. </p>
<p>Akibatnya ada tuntutan bahwa perempuan baik-baik hanya melakukan hubungan seksual dan hamil dalam lembaga pernikahan. Sebaliknya, logika dominan yang sama mendudukan laki-laki dalam posisi mulia, bertugas memimpin dan melindungi keluarga, termasuk istri dan anak-anaknya. </p>
<blockquote>
<p>“Pasti orang berpendapat saya pantas mendapat kekerasan seksual dari suami, karena saya bukan istri yang baik.”(RA, penyintas)</p>
</blockquote>
<p>Pada banyak kesempatan, kekerasan seksual sulit diungkapkan karena dikaitkan dengan standar moralitas yang merujuk perempuan sebagai simbol kesucian dan kehormatan. </p>
<p>Akibatnya, perempuan penyintas kekerasan seksual seringkali dianggap berbuat aib dan disalahkan sebagai penyebab terjadinya tindakan kekerasan. Stigma tersebut yang mendorong penyintas perempuan memilih bungkam. </p>
<h2>Alternatif perlindungan dan dukungan</h2>
<p>Temuan penelitian ini menegaskan bahwa penyintas kekerasan seksual sulit menemukan perlindungan dan dukungan dalam struktur masyarakat dominan. </p>
<p>Minimnya penguatan dari struktur dominan mendorong perempuan penyintas kekerasan seksual mencari ruang aman lain, yaitu media sosial. </p>
<p>Walaupun data penelitian menunjukkan penyintas kekerasan seksual memperoleh dukungan dan penguatan dari ranah daring, kasus-kasus kekerasan seksual tetap membutuhkan dukungan dari struktur dominan. </p>
<p>Temuan penelitian ini sekaligus menguatkan alasan mengapa Rancangan Undang-Undang (RUU) Pencegahan Kekerasan Seksual (PKS) penting untuk segera disahkan. </p>
<p>Kita telah melihat adanya gerakan yang menolak pengesahan RUU PKS dengan alasan RUU itu mempromosikan perilaku seks bebas dan mendorong penyimpangan terhadap norma-norma agama dan adat ketimuran.</p>
<p>Gerakan ini justru menguatkan stigma dan mitos yang selama ini menjadi penghalang penyintas kekerasan seksual untuk mendapatkan penguatan dan perlindungan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/167558/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Endah Triastuti tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Di media sosial, korban dan penyintas kekerasan seksual menemukan penguatan emosional dan psikologis, dan cenderung dapat menghindari tekanan masyarakat.Endah Triastuti, Lecturer, Researcher, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1425612020-07-28T07:30:26Z2020-07-28T07:30:26ZPembahasan RUU PKS: menilik proses dan permasalahan legislasi<p>Awal Juli, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memutuskan untuk mengeluarkan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/07/02/15540101/16-ruu-resmi-ditarik-dari-prolegnas-prioritas-salah-satunya-ruu-pks?page=all">Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)</a> dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. </p>
<p>RUU PKS merupakan satu dari <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200702143835-32-520071/daftar-16-ruu-yang-dicabut-dari-prolegnas-termasuk-ruu-pks">16 RUU</a> yang dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020. Selain RUU PKS, RUU penting lain yang dikeluarkan antara lain RUU tentang Keamanan dan Ketahanan Siber, RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan, RUU tentang Sistem Kesehatan Nasional, dan RUU tentang Kependudukan dan Keluarga Nasional.</p>
<p>Sebelumnya, pada Januari, pemerintah dan DPR menyepakati ada <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200116194051-32-466076/daftar-50-ruu-yang-masuk-prolegnas-prioritas-2020">50 RUU</a> dalam daftar prioritas tahun ini. Beberapa RUU yang tetap dibahas termasuk RUU Cipta Kerja dan RUU Ibukota Negara.</p>
<p>Marwan Dasopang, Wakil Ketua Komisi VIII DPR yang menaungi pembahasan bidang pemberdayaan perempuan dan anak, mengusulkan penarikan RUU PKS dari Prolegnas prioritas tahun 2020 karena <a href="https://nasional.kompas.com/read/2020/07/05/22540701/ruu-pks-ditarik-dari-prolegnas-prioritas-di-saat-tingginya-kasus-kekerasan?page=all">pembahasannya sulit</a>. </p>
<p>Ia menambahkan sejak periode lalu masih terjadi perdebatan terkait judul RUU, definisi kekerasan seksual, hingga pemidanaan di dalam RUU PKS.</p>
<p>Pernyataan itu menyulut reaksi berbagai elemen masyarakat, salah satunya <a href="https://tirto.id/ruu-pks-bukan-perkara-sulit-tapi-dpr-tak-punya-kemauan-politik-fNwi">Komisi Nasional (Komnas) Perempuan</a> sebagai inisiator RUU ini.</p>
<p>Pencabutan 16 RUU dari prolegnas adalah sebagian cerminan masalah yang ada dalam legislasi kita. Setiap tahun, jumlah RUU yang dibahas menjadi undang-undang (UU) selalu tidak sesuai dengan target yang ditetapkan DPR dan pemerintah. Perbaikan perlu dilakukan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-penolakan-kubu-islam-konservatif-terhadap-ruu-pks-salah-kaprah-112366">Mengapa penolakan kubu Islam konservatif terhadap RUU PKS salah kaprah?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mekanisme pembentukan UU</h2>
<p>DPR dan pemerintah <a href="https://www.bphn.go.id/data/documents/peran_prolegnas_dalam_perencanaan_pembentukan_hukum_nasional.pdf">menyusun</a> Prolegnas untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas. </p>
<p><a href="http://bphn.go.id/data/documents/11uu012.pdf">Prolegnas</a> jangka menengah memuat arah dan kebijakan hukum nasional, dan daftar RUU yang ingin diselesaikan dalam 5 tahun (satu masa keanggotaan DPR). </p>
<p>Sementara, Prolegnas Prioritas Tahunan merupakan pelaksanaan rencana jangka menengah yang dilakukan setiap tahun. </p>
<p>Dalam pelaksanaannya, DPR dan pemerintah masing-masing membuat daftar RUU yang mereka usulkan untuk masuk dalam Prolegnas. </p>
<p>Sesuai <a href="http://bphn.go.id/data/documents/11uu012.pdf">Undang-Undang (UU) No. 12 tahun 2011</a> tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, DPR dan pemerintah kemudian membahas dan menyepakati bersama RUU apa saja yang masuk dalam Prolegnas.</p>
<p>DPR dan pemerintah kemudian membahas RUU-RUU yang disepakati melalui dua tingkat pembicaraan. </p>
<p>Pembicaraan pertama dilakukan dalam rapat-rapat komisi yang terbagi ke dalam 11 Komisi. </p>
<p>Tugas komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan RUU yang termasuk dalam ruang lingkup tugas dan mitra kerja masing-masing. </p>
<p><a href="http://www.dpr.go.id/akd/index/id/Tentang-Komisi-I">Sebagai contoh, Komisi I menangani RUU di bidang pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, intelijen.</a>. Contoh lainnya, Komisi VIII menangani RUU di bidang agama, sosial, kebencanaan, dan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak - salah satunya RUU PKS.</p>
<p>Pembicaraan kedua dilakukan dalam rapat paripurna DPR yang berisi penyampaian laporan proses pembicaraan pertama, pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap anggota DPR, dan pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang ditugaskan.</p>
<p>RUU yang telah mendapat persetujuan DPR dan presiden diserahkan kepada presiden untuk disahkan menjadi UU dengan dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/terlepas-kontroversinya-ruu-pks-penting-bagi-penyandang-disabilitas-120650">Terlepas kontroversinya, RUU PKS penting bagi penyandang disabilitas</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Perjalanan panjang RUU PKS</h2>
<p>Dari 16 RUU yang dicabut dari Prolegnas Prioritas 2020, RUU PKS adalah salah satu yang paling mendapat perhatian publik dan kelompok sipil.</p>
<p>Komnas Perempuan mengusulkan RUU PKS pada tahun 2012 karena menilai Indonesia dalam situasi <a href="https://www.amnesty.id/susahnya-menjadi-korban-kekerasan-seksual-di-indonesia/">darurat</a> kekerasan seksual. </p>
<p>RUU PKS mengatur sembilan jenis <a href="https://www.alinea.id/nasional/iflc-desak-dpr-segera-sahkan-ruu-pks-b1ZQd9v08">kekerasan seksual</a>: eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.</p>
<p>RUU PKS melengkapi kekosongan hukum karena Kitab Hukum Acara Pidana (KUHP) saat ini yang ada hanya mengatur mengenai perkosaan dan pencabulan.</p>
<p>Selain itu, RUU PKS memuat restitusi, perampasan keuntungan, kerja sosial, pembinaan khusus, pencabutan jabatan, dan pengumuman putusan hakim terkait pelaku yang tidak diatur dalam KUHP.</p>
<p>Dari 2012, DPR baru meminta Komnas Perempuan untuk menyerahkan naskah akademik RUU ini pada 2016. Naskah akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap masalah tertentu dalam suatu RUU.</p>
<p>Lalu, baru di tahun 2017, DPR menyepakati RUU PKS sebagai usulan inisiatif DPR. </p>
<p>Pada 2018, pembahasan RUU PKS mulai menemui jalan berliku. </p>
<p>Beberapa anggota parlemen mulai mempermasalahkan beberapa hal yang dalam RUU, seperti pemuatan <em>marital rape</em> sebagai kekerasan dan perlindungan terhadap <em>lesbian, gay, bisexual, and transgender</em> (LGBT). Mereka menganggap ini bertentangan dengan agama. </p>
<p><em>Marital rape</em> adalah hubungan seksual antara pasangan suami istri dengan cara kekerasan, paksaan, ancaman atau dengan cara yang tidak dikehendaki pasangannya masing-masing.</p>
<p>Bahkan, ada yang menganggap adanya RUU PKS justru memberi celah masyarakat melakukan zina dan seks bebas.</p>
<p>Kebuntuan soal RUU PKS terus bertahan hingga akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019. </p>
<p>Pembahasan di tahun 2019 juga cenderung sedikit karena terpotong dengan masa pemilu serentak. Alhasil, RUU PKS dioper ke anggota dewan periode 2019-2024.</p>
<p>DPR periode 2014-2019 telah melakukan setidaknya 15 kali pembahasan dan belum bisa menelurkan UU PKS. </p>
<p>Sementara, DPR periode 2019-2024 belum satu kali pun membahas RUU PKS dan mereka sudah mengenyahkannya dari program legislasi tahun ini.</p>
<p>Ketua Baleg Supratman Andi Agtas berjanji bahwa 16 RUU yang dicabut - termasuk RUU PKS - bakal dimasukkan dalam <a href="https://www.medcom.id/nasional/politik/GNG45mrb-ruu-pks-resmi-terpental-dari-prolegnas-2020">Prolegnas tahun 2021</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-kelompok-liberal-dan-konservatif-perlu-mendukung-ruu-pks-113480">Mengapa kelompok liberal dan konservatif perlu mendukung RUU PKS</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Problematika prolegnas</h2>
<p>Prolegnas menghadapi permasalahan yang sama dari tahun ke tahun. Dari aspek jumlah, target RUU yang tercantum dalam Prolegnas selalu tidak tercapai. </p>
<p>Dari awal penggunaannya di tahun 2005, Prolegnas selalu diawali dengan target yang ambisius dan diakhiri dengan capaian yang tidak bagus.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/347496/original/file-20200715-17-9xe6ec.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/347496/original/file-20200715-17-9xe6ec.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=208&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/347496/original/file-20200715-17-9xe6ec.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=208&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/347496/original/file-20200715-17-9xe6ec.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=208&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/347496/original/file-20200715-17-9xe6ec.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=261&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/347496/original/file-20200715-17-9xe6ec.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=261&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/347496/original/file-20200715-17-9xe6ec.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=261&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Capaian legislasi dari tahun ke tahun.</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tingginya target Prolegnas dari tahun 2005 hingga 2014 selalu berujung dengan capaian RUU yang <a href="https://www.jentera.ac.id/publikasi/menggagas-prolegnas-berkualitas/">jauh lebih rendah</a>. </p>
<p>Rata-rata capaian pembentukan UU setiap tahunnya hanya 32 UU, angka itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan target rata-rata pengesahan RUU yang mencapai 74 RUU.</p>
<p>Dampaknya, Badan Legislasi (Baleg) DPR harus mengeluarkan beberapa RUU dari Prolegnas karena ketidaksanggupan memenuhi target. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pelemahan-perlindungan-terhadap-perempuan-di-era-reformasi-dalam-agenda-ruu-pks-dan-rkuhp-124087">Pelemahan perlindungan terhadap perempuan di era reformasi dalam agenda RUU PKS dan RKUHP</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Perlu pembenahan</h2>
<p>Dalam pelaksanaannya, tidak ada standar yang jelas dalam menilai RUU yang perlu dicabut dari daftar prioritas. </p>
<p>RUU PKS, misalnya, di berbagai media hanya disebutkan dikeluarkan karena pembahasannya “agak sulit” tanpa penjelasan lebih lanjut. </p>
<p>Di sisi lain, RUU Cipta Kerja yang memiliki ruang lingkup amat luas dengan materi yang sangat banyak dan kompleks, tetap <a href="https://mediaindonesia.com/read/detail/325108-tambal-sulam-prolegnas-bukti-dpr-abaikan-evaluasi.html">dibahas</a> bahkan pada saat berlangsungnya masa reses.</p>
<p>Ke depan, ada beberapa hal yang harus dibenahi dari Prolegnas.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, penentuan target Prolegnas harus mempertimbangkan kapasitas DPR, ketersediaan waktu legislasi, dan mekanisme pembahasan suatu RUU.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, syarat suatu RUU bisa dimasukkan dalam Prolegnas harus diperketat. </p>
<p>Misalnya, RUU yang diprioritaskan sudah harus dilengkapi naskah akademik dan telah memenuhi teknik penyusunan RUU yang baku sehingga pembahasan di DPR tidak lagi memperdebatkan persoalan “titik-koma”, melainkan fokus ke isi. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, DPR harus mempertimbangkan faktor berat-ringannya isi suatu RUU dalam penentuan masuk Prolegnas; misalnya dari jumlah pasalnya, luas cakupan, hingga apakah materi pengaturannya sama sekali baru atau asing.</p>
<p><strong>Keempat</strong>, DPR harus membatasi diri untuk tidak membahas RUU yang masuk di tengah tahun berjalan dan tidak masuk Prolegnas sejak awal, sehingga bisa benar-benar fokus pada RUU-RUU prioritas.</p>
<hr>
<p><em>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/142561/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Josua Satria Collins tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Jumlah rancangan undang-undang yang dibahas menjadi undang-undang setiap tahunnya selalu tidak sesuai dengan target yang ditetapkan. Perbaikan perlu dilakukan.Josua Satria Collins, Research fellow, Indonesia Judicial Research Society Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1293642020-01-09T08:57:28Z2020-01-09T08:57:28ZKinerja Komnas Perempuan lima tahun terakhir beri harapan pada perjuangan hak perempuan<p>Perjuangan perempuan Indonesia untuk bebas dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual, dan meraih kesetaraan masih panjang dengan adanya penolakan dari gerakan moralis populis terhadap Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Namun, kehadiran Komisi Nasional Anti Kekerasan pada Perempuan terus memberikan harapan. </p>
<p>Saya peneliti Setara Institute dan merupakan bagian dari tim peneliti yang menyusun “<a href="https://setara-institute.org/indeks-kinerja-ham-2019/">Indeks Kinerja Pemajuan HAM periode pemerintahan Jokowi-JK</a>”. Kami melakukan penilaian terhadap kinerja Komnas Perempuan sepanjang lima tahun lalu dan memberi skor di atas rata-rata, 4,7. Skor ini berada pada skala 1 sampai 7 – skor 1 berarti buruk dan 7 berarti baik. </p>
<p>Di tengah <a href="https://www.ifri.org/sites/default/files/atoms/files/sebastian_nubowo_indonesian_islam_2019.pdf">naiknya konservatisme dalam masyarakat</a> yang mempersempit ruang bagi hak kelompok minoritas, Komnas Perempuan telah mewujudkan diri sebagai tempat berteduh dan bersandar bagi perempuan maupun kelompok di luar heteronormativitas seksual.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-menguatkan-perlindungan-perempuan-perkuat-peran-komnas-perempuan-112797">Bagaimana menguatkan perlindungan perempuan? Perkuat peran Komnas Perempuan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kinerja komnas</h2>
<p>Secara umum, <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/about-profile-visi-misi-dan-mandat">mandat Komnas Perempuan</a> mencakup penyebarluasan pemahaman, pengkajian dan penelitian peraturan perundang-undangan, pemantauan dan pencarian fakta, pemberian saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, dan organisasi masyarakat, dan pengembangan kerja sama regional dan internasional. </p>
<p>Dari mandat tersebut, Komnas Perempuan memiliki keterbatasan dalam memengaruhi pengambilan kebijakan karena hanya dapat memberikan rekomendasi yang tidak mengikat bagi pengambil kebijakan. </p>
<p>Namun, kami melihat Komnas Perempuan telah menjalankan mandat yang dimiliki secara taktis dan strategis.</p>
<p>SETARA Institute melakukan penilaian dengan menyisir rekam jejak Komnas Perempuan dalam menjalankan mandatnya selama satu periode pertama Jokowi melalui dokumen dan literatur terkait yang diterbitkan Komnas Perempuan maupun lembaga swadaya masyarakat serta pemberitaan media. </p>
<p>Data yang terkumpul dibahas dalam forum diskusi terbatas bersama ahli yang melibatkan aktivis, akademisi, perwakilan institusi HAM nasional, dan perwakilan pemerintah. Dari kedua proses tersebut tim SETARA Institute menentukan nilai menggunakan skala <a href="https://www.britannica.com/topic/Likert-Scale">likert</a> yang mengukur persepsi suatu kondisi.</p>
<h2>Mengampanyekan hak perempuan</h2>
<p>Komnas Perempuan telah melakukan kampanye terkait hak bagi perempuan sebagai bentuk penyebarluasan pemahaman upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. </p>
<p>Sepanjang 2014 hingga 2019, badan ini gencar melakukan kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, seperti <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/pages-16-hari-anti-kekerasan-terhadap-perempuan">kampanye 16 Hari Anti Kekerasan</a> dan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48048006">kampanye mencegah kekerasan seksual bagi pengguna transportasi <em>online</em></a>.</p>
<p>Selain itu, komnas juga mengeluarkan penyataan sikap kepada publik untuk memberikan pemahaman kepada publik di samping mempertegas sikap Komnas Perempuan terkait suatu isu, seperti <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-pernyataan-sikap-komnas-perempuan-hentikan-diskriminasi-yang-akan-memicu-kekerasan-pada-lgbt">pernyataan sikap mengenai penghentian diskriminasi yang dapat memicu kekerasan terhadap LGBT</a>.</p>
<h2>Mengadvokasi kebijakan</h2>
<p>Lembaga ini melakukan advokasi hak bagi perempuan, memberikan rekomendasi pada pemerintah untuk menyusun dan mengesahkan kerangka hukum dan kebijakan, dengan mendasarkan pada kajian dan penelitian. </p>
<p>Setiap tahun Komnas Perempuan mengeluarkan <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/publikasi-catatan-tahunan">Catatan Tahunan (CATAHU) Kekerasan terhadap Perempuan</a> yang menyebutkan daftar peraturan yang bermasalah, termasuk peraturan daerah yang diskriminatif. Data peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan kekerasan terhadap perempuan digunakan sebagai pintu masuk untuk melakukan advokasi kebijakan.</p>
<p>Komnas juga melakukan pemantauan dan pencarian fakta dengan hasil berupa laporan pemantauan. CATAHU merekam berbagai narasi dan peristiwa dan tindakan kekerasan disertai konteks kekerasan dari hasil pemantauan Komnas Perempuan serta lembaga mitra di tingkat nasional maupun lokal.</p>
<p>Perspektif perempuan dalam HAM tidak hanya dihadirkan dalam catatan tersebut, namun juga melalui beberapa laporan HAM tematik yang dikeluarkan , seperti <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/reads-berdaulat-dalam-keyakinanberteguh-dalam-bhinneka">Laporan Hasil Pemantauan tentang Perjuangan Perempuan Penghayat Kepercayaan, Penganut Agama Leluhur dan Pelaksana Ritual Adat dalam Menghadapi Pelembagaan Intoleransi, Kekerasan, dan Diskriminasi Berbasis Agama</a></p>
<p>Hasil pengkajian dan pemantauan menjadi landasan pemberian rekomendasi kepada pemerintah. </p>
<p>Selama lima tahun terakhir, misalnya, Komnas Perempuan bersama aliansi masyarakat yang memiliki perhatian terhadap kekerasan seksual yang banyak dialami perempuan <a href="https://kumparan.com/kumparanstyle/komnas-perempuan-desak-pengesahan-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-1543061718607335998">mendorong pengesahan rancangan undang-undanga (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)</a> kepada pemerintah. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/gerakan-moralis-populis-di-balik-penolakan-ruu-pks-123861">Gerakan moralis populis di balik penolakan RUU PKS</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pemberian rekomendasi kerangka hukum juga dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang memiliki dampak tidak langsung memantik kekerasan terhadap perempuan, seperti <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-siaran-pers-komnas-perempuan-komnas-perempuan-meminta-pemerintah-untuk-melakukan-revisi-uu-no1-pnps-tahun-1965-dan-bersikap-tegas-pada-tindakan-intoleransi-danatau-tindakan-persekusi-jakarta-25-juli-2018">dorongan revisi Undang-Undang No. 1/Penetapan Presiden Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pada 2018</a> sebagai respon terhadap maraknya intoleransi.</p>
<h2>Membangun aliansi</h2>
<p>Komnas melaksanakan beberapa mandat di atas secara strategis dengan memahami bahwa lembaga ini tidak dapat menjadi aktor tunggal dalam penjaminan hak bagi perempuan sehingga harus bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan di setiap level, terutama di tingkat nasional. </p>
<p>Komnas Perempuan gencar berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pemerintah sebagai otoritas yang memiliki legitimasi membuat kebijakan publik. </p>
<p>Selain itu, <a href="https://setara-institute.org/indeks-kinerja-ham-2019/">Komnas Perempuan memahami bahwa penguatan akar rumput juga diperlukan sehingga institusi ini berjejaring dengan elemen masyarakat sipil dan komunitas korban</a>. Kerja sama yang dilakukan dengan berbagai pemangku kepentingan mencerminkan kesadaran Komnas Perempuan sebagai pihak yang terlibat dan fasilitator.</p>
<p>Komnas Perempuan memiliki posisi yang fleksibel untuk menjalankan strategi di atas. Lembaga ini dapat berdiri di dua kaki, yaitu di kaki pemerintah mengingat pendiriannya didasarkan pada <a href="http://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/51515/105726/F1921073708/IDN51515%20IDN.pdf">keputusan presiden</a> dan di kaki masyarakat sipil yang berpartisipasi aktif. </p>
<p>Karakter ini tidak terpisahkan dari <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/about-profile-komnas-perempuan">aspek historis</a> pendirian Komnas Perempuan yang hadir karena tuntutan masyarakat sipil agar negara menjalankan tanggung jawab menangai persoalan kekerasan terhadap perempuan. Tuntutan tersebut muncul ketika pada kerusuhan Mei 1998 banyak perempuan etnis Tionghoa mengalami kekerasan seksual.</p>
<h2>Penguatan perjuangan hak perempuan</h2>
<p>Kini <a href="https://mediaindonesia.com/read/detail/273850-komnas-perempuan-tetapkan-15-nama-anggota-periode-2020-2024">15</a> anggota Komnas Perempuan baru <a href="https://twitter.com/KomnasPerempuan/status/1214433832625004544">sudah mulai</a> menjalankan tugas untuk masa jabatan 2020-2024.</p>
<p>Langkah-langkah menghidupkan perempuan dalam ruang publik yang telah dirintis oleh Komnas Perempuan perlu didorong lebih kuat. </p>
<p>Pemerintah sebagai subyek hukum yang bertanggung jawab melakukan pemenuhan hak, termasuk bagi perempuan, seharusnya lebih akomodatif terhadap rekomendasi yang diberikan oleh Komnas Perempuan, seperti segera mengesahkan RUU PKS.</p>
<p>Di sisi lain, masyarakat sipil yang masih memiliki kegamangan jalur perjuangan pemenuhan HAM, termasuk bagi perempuan, dapat bergabung dengan aliansi yang telah dipertemukan dalam jaringan Komnas Perempuan. </p>
<p>Perjuangan penegakan hak, terutama bagi perempuan, merupakan aksi kolektif yang dapat dihidupkan melalui kepercayaan dan partisipasi aktif masyarakat sipil.</p>
<p>Terakhir, Komnas Perempuan yang telah mendapatkan kepercayaan menjadi salah satu kemudi perjuangan ini – secara kelembagaan maupun individu yang di dalamnya – harus semakin bernas melakukan advokasi. </p>
<p>Pengakomodasian berbagai ragam identitas di dalam tubuh Komnas Perempuan, termasuk pada anggota komisi, dapat menjadi langkah baik untuk menjangkau lebih luas berbagai persoalan yang dihadapi oleh perempuan dari berbagai identitas dan latar belakang.</p>
<p><em>Aisha Amelia Yasmin berkontribusi pada penerbitan artikel ini.</em></p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/129364/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Selma Theofany merupakan peneliti HAM dan perdamaian di SETARA Institute for Democracy and Peace. </span></em></p>Komnas Perempuan telah mewujudkan diri sebagai tempat berteduh dan bersandar bagi perempuan maupun kelompok marjinal lain.Selma Theofany, Researcher, Setara InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1260302019-10-30T09:05:50Z2019-10-30T09:05:50ZDi balik toko ‘online’ ada kerja perempuan yang terabaikan<p>Transaksi belanja daring (<em>online</em>) di Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir dan membuktikan bahwa kegiatan ini adalah bagian gaya hidup baru. </p>
<p>Lima tahun lalu, total nilai transaksi belanja daring tercatat <a href="https://inet.detik.com/business/d-2897117/orang-indonesia-rata-rata-habis-rp-825-ribu-buat-belanja-online">Rp 21 triliun</a>, dan pada 2017, angka itu sudah meningkat menjadi <a href="https://bisnis.tempo.co/read/898638/gubernur-bi-transaksi-belanja-online-capai-rp-75-triliun">Rp 75 triliun</a>. </p>
<p>Secara global, tahun lalu, diperkirakan ada 1,8 miliar orang di seluruh dunia yang membeli barang secara daring, dengan total nilai transaksi 2,8 triliun dolar AS dan diperkirakan akan terus tumbuh hingga <a href="https://www.statista.com/topics/871/online-shopping/">4,8 triliun dolar pada 2021</a>. </p>
<p>Selain <a href="https://www.amazon.com/">toko besar</a> <a href="https://www.ebay.com/">milik</a> <a href="https://shopee.com/">perusahaan besar</a>, ada juga toko daring berbasis media sosial (TDMS) seperti Instagram atau Facebook.</p>
<p>Bisnis berbasis media sosial ini menawarkan kemudahan karena hanya dengan gawai, akses internet, dan akun media sosial, ia dapat dijalankan dari mana saja, kapan saja. Ini lantas menarik banyak perempuan untuk terlibat di dalamnya. </p>
<p>Menurut survei pemantau lalu lintas internet <a href="https://nasional.kompas.com/read/2011/05/20/13024473/belanja.dan.jualan.online.dunianya.perempuan">Alexa</a> pada 2011, bisnis toko daring lebih diminati perempuan daripada laki-laki. Selain itu, survey oleh lembaga riset <a href="https://lifestyle.kompas.com/read/2018/03/22/155001820/80-persen-konsumen-belanja-online-orang-muda-dan-wanita?page=all">Snapcart </a> pada Januari 2018 di Indonesia menunjukkan bahwa 65% konsumen toko-toko daring ialah perempuan.</p>
<p>Selain menjadi konsumen, perempuan juga memiliki peran di sisi produksi, baik sebagai pemilik maupun pekerja.</p>
<p><a href="https://suedostasien.net/frauen-im-onlinegeschaeft-zwischen-hausarbeit-und-zweitjob/">Penelitian saya di enam kota di Indonesia pada 2018</a> menunjukkan bahwa para pekerja perempuan toko <em>online</em> ini berada di dalam kondisi kerja yang penuh kerentanan. </p>
<p>Perlu ada peraturan untuk melindungi mereka, dan perlu dibangun kesadaran para perempuan untuk meningkatkan posisi tawar dan perlindungan pada diri mereka sendiri.</p>
<h2>Kerentanan yang dihadapi</h2>
<p>Dalam pengamatan saya, ada tiga kategori pelaku ekonomi yang terlibat di dalam toko daring di media sosial. </p>
<p>Pertama, pemilik TDMS sekaligus produsen dari produk-produk yang dijual. Mereka membuat produk sendiri dan mendistribusikannya melalui TDMS milik mereka sendiri. Kedua, mereka yang bekerja sebagai <em>reseller</em> (membeli untuk menjual kembali) di TDMS yang mereka miliki. Ketiga, mereka yang memiliki TDMS dan merekrut pekerja serta bekerja sama dengan pihak lain seperti konveksi garmen rumahan.</p>
<p>Dari luar, bisnis ini sepertinya mudah dikerjakan, namun fleksibilitas dalam toko <em>online</em> menyembunyikan masalah besar. </p>
<p>Hasil penelitian kualitatif saya dalam bentuk wawancara mendalam terhadap 20 informan menunjukkan bahwa para perempuan yang bekerja di dalam bisnis TDMS bekerja dengan penuh kerentanan; mereka bekerja dengan jam kerja yang panjang dan tidak memiliki standar upah. </p>
<p>Bukan tanpa sebab perempuan yang paling banyak terlibat dalam bisnis ini. Bukan tanpa sebab pula kenapa rumah jadi tempat kerja utama dalam bisnis ini. </p>
<p>Agar tetap dapat mengurus keluarganya dengan baik, para perempuan mencoba mencari cara untuk menambah pendapatan bagi keluarga. Di sinilah mereka ‘menemukan’ bisnis TDMS. Mereka dapat tetap mengurus keluarga sambil menambah pemasukan keluarga. </p>
<p>Nancy Fraser, pengajar filsafat dan politik di New School for Social Research, AS, <a href="https://newleftreview.org/issues/II100/articles/nancy-fraser-contradictions-of-capital-and-care">menganalisis</a> soal penempatan perempuan sebagai penanggung jawab utama kerja-kerja reproduksi sosial (seperti merawat anak dan mengurus rumah).</p>
<p>Dengan kata lain, yang terjadi adalah <a href="https://indoprogress.com/2013/08/ruth-indiah-rahayu-feminisasi-dunia-kerja-menguntungkan-kapitalisme/">feminisasi kerja</a>, yaitu dorongan keterlibatan perempuan dalam toko bisnis <em>online</em> karena kebutuhan ekonomi yang menyatu dengan norma-norma patriarki.</p>
<p>Masalah lain: menyeimbangkan kerja domestik dan kerja untuk bisnis <em>online</em> itu sulit. Hal ini terutama saya temukan pada mereka yang bekerja sebagai <em>reseller</em>. Kesulitan ini terjadi karena mereka mengerjakan kerja domestik dan dagang, misalnya berkomunikasi dengan pelanggan, secara bersamaan. </p>
<p>Hal itu juga terjadi pada para pekerja yang direkrut oleh pemilik TDMS kategori ketiga. Para perempuan pemilik TDMS yang bekerja sama dengan pihak lain, seperti konveksi-konveksi garmen rumahan, biasanya merekrut pekerja perempuan dari daerah pedesaan atau pinggiran. </p>
<p>Feminisasi kerja terjadi ketika mereka direkrut karena mereka miskin dan karena mereka perempuan, sehingga dianggap memiliki fleksibilitas dan bekerja hanya untuk mencari ‘penghasilan tambahan’. </p>
<p>Di bawah sistem bisnis yang informal, para pekerja yang direkrut oleh pemilik TDMS kategori ketiga ini bekerja tanpa kontrak yang jelas dan tanpa perlindungan seperti asuransi kesehatan. </p>
<p>Mereka yang bekerja sebagai pengecek kualitas produk, pembungkus produk, administrator media sosial, atau pengirim produk ke perusahaan jasa pengiriman logistik ini menerima upah yang rendah dengan jam kerja yang panjang. </p>
<p>Selain feminisasi kerja, kondisi yang penuh kerentanan ini juga disebabkan karena kerja mereka tidak diakui sebagai kerja dalam arti sesungguhnya. </p>
<p>Seorang narasumber yang bekerja sebagai <em>reseller</em>, misalnya, mengaku tidak yakin kerjanya di TDMS adalah kerja sungguhan, meski dia setiap hari menghabiskan hingga delapan jam dalam mengoperasikan TDMS. Ia lebih melihat dirinya sebagai seorang ‘istri yang membantu suami’. </p>
<p>Ditarik lebih jauh, kesadaran ini muncul karena pada dasarnya kerja reproduksi sosial di rumah tangga tidak pernah diakui sebagai kerja. </p>
<p>Karena kerja reproduksi sosial di dalam rumah tangga tidak dianggap sungguhan, maka kerja-kerja reproduktif lainnya –termasuk kerja reproduktif di dalam TDMS– juga tidak diakui sebagai kerja sungguhan. Karena itu pula hak-hak pekerja dalam bisnis <em>online</em> cenderung diabaikan.</p>
<h2>Perlindungan dan pemberdayaan</h2>
<p>Karena kondisi kerja yang penuh kerentanan, maka perlu ada peraturan untuk melindungi mereka, misalnya memasukkan hak-hak mereka ke dalam regulasi ketenagakerjaan yang sudah ada, yaitu <a href="http://eodb.ekon.go.id/download/peraturan/undangundang/UU_13_2003.PDF">Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan</a>. </p>
<p>Para pekerja toko daring sendiri juga perlu mulai mengorganisir diri dan membentuk serikat pekerja. Di Amerika Serikat, <a href="https://www.cnbc.com/2019/08/22/how-amazon-is-fighting-back-against-workers-efforts-to-unionize.html">para pekerja perusahaan toko daring Amazon sudah mulai mengorganisir diri untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai pekerja</a>. Serikat dibutuhkan untuk memperjuangkan pemenuhan hak-hak mereka sebagai pekerja.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/126030/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fathimah Fildzah Izzati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Para pekerja perempuan di balik toko online berada di dalam kondisi kerja yang penuh kerentanan.Fathimah Fildzah Izzati, Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1240872019-09-30T12:42:33Z2019-09-30T12:42:33ZPelemahan perlindungan terhadap perempuan di era reformasi dalam agenda RUU PKS dan RKUHP<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/294496/original/file-20190927-185390-1s2g3z0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Perlindungan perempuan dalam ancaman.</span> <span class="attribution"><span class="source">Hotli Simanjuntak/EPA-EFE</span></span></figcaption></figure><p>Proses untuk buru-buru mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan, sebaliknya, menunda-nunda Rancangan Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menegaskan perempuan terus menjadi korban dalam berbagai aspek. </p>
<p>Bahwa perempuan kerap diasosiasikan sebagai warga kelas dua Indonesia bukanlah hal baru. </p>
<p><a href="https://beritagar.id/artikel/telatah/formalisasi-syariah-dan-domestikasi-perempuan">Hak-hak perempuan masih terbatas</a> dan mereka rentan menjadi <a href="https://tirto.id/masalah-kekerasan-seksual-adalah-problem-kita-semua-dieG">korban kekerasan seksual apapun afiliasi politiknya</a>. </p>
<p>Akan tetapi, akan terjadi kemunduran gerakan perempuan yang signifikan jika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan untuk tetap mengesahkan RKUHP dan membatalkan pemberlakuan RUU PKS.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pilih-karier-atau-keluarga-riset-tunjukkan-perempuan-di-jakarta-tidak-leluasa-memilih-keduanya-120663">Pilih karier atau keluarga? Riset tunjukkan perempuan di Jakarta tidak leluasa memilih keduanya</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kemunduran perlindungan perempuan</h2>
<p>Awal pergerakan perempuan Indonesia adalah di pergantian abad ke-20, sejak perempuan Indonesia <a href="https://indoprogress.com/2017/12/gerakan-perempuan-di-indonesia-pasang-surut-memperjuangkan-hak/">mendapat kesempatan untuk bersekolah dari Pemerintah Kolonial Belanda.</a>. </p>
<p>Pada masa Orde Lama, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) mencoba memberi warna pada kebijakan yang berdampak pada perempuan seperti <a href="https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/gerwani-pelopor-gerakan-perempuan-feminis-sosialis-di-indonesia">upah pekerja dan menolak poligami.
</a>. </p>
<p>Karena peristiwa 1965, transisi gerakan perempuan dari Orde Lama ke Orde Baru mengalami <a href="https://historia.id/politik/articles/perempuan-ditekan-perempuan-melawan-Dbe1q">stagnasi, meski bukan berarti tanpa perlawanan</a> dan baru menemukan arahnya lagi di masa reformasi.</p>
<p>Pada era reformasi, kemajuan perlindungan terhadap perempuan kini dihalangi dengan penundaan RUU PKS dan proses RKUHP yang buru-buru.</p>
<p>Partai-partai politik menolak untuk mengesahkan RUU PKS dengan mempermasalahkan materinya yang dianggap <a href="https://katadata.co.id/berita/2019/09/25/gagal-paham-ruu-pks-dianggap-pro-lgbt-dan-melenceng-dari-agama">berbau barat dan liberal</a>. </p>
<p>Padahal pasal-pasal dalam RUU PKS berusaha melindungi korban, baik lelaki maupun perempuan, dari segala bentuk kekerasan seksual serta mencakup tindak pidana yang belum termuat dalam KUHP dan undang-undang lainnya. </p>
<p>Pasal 11 RUU PKS menyebutkan 9 macam bentuk kekerasan seksual, termasuk di dalamnya pemaksaan perkawinan. </p>
<p>Dalam KUHP yang berlaku sekarang, <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/09/23/14401061/sejumlah-hal-ini-jadi-alasan-uu-pks-harus-segera-disahkan?page=all">materi tersebut belum merupakan delik pidana.</a></p>
<p>RKUHP yang diniatkan untuk menggantikan KUHP lama peninggalan kolonial justru memiliki pasal-pasal semakin mengkriminalisasi perempuan. </p>
<p>Pasal 417, misalnya, mendefinisikan persetubuhan di luar perkawinan sebagai tindak pidana. Meski hal ini merupakan delik aduan yang hanya bisa dilaporkan orangtua, suami, istri atau anak; namun ini dikhawatirkan bisa menciptakan ajang <a href="https://tirto.id/pasal-zina-di-rkuhp-berpotensi-lahirkan-polisi-moral-persekusi-eiBn">main hakim sendiri serta rentan menjadi kasus persekusi.
</a></p>
<p>Selain rentan kriminalisasi, pasal ini juga memperburuk peluang pernikahan anak karena orangtua yang khawatir dengan anaknya yang sudah melakukan persetubuhan sehingga buru-buru dinikahkan paksa. </p>
<p>Menurut data UNICEF, prevalensi pernikahan dini di Indonesia pemicunya adalah ekonomi dan <a href="https://katadata.co.id/infografik/2018/08/09/perkawinan-anak-di-indonesia-mengkhawatirkan">satu dari 9 perempuan di Indonesia telah menikah sebelum usia 18 tahun.</a></p>
<p>Pernikahan usia dini memiliki konsekuensi signifikan pada kesehatan pada perempuan. Perempuan Indonesia yang melakukan pernikahan dini berpeluang kecil melanjutkan pendidikan dan meninggikan risiko kehamilan yang berisiko. </p>
<p>Ditambah lagi, data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menunjukkan dalam 80% kasus, <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2019/07/24/22402761/hanya-20-persen-kekerasan-seksual-terhadap-anak-dilakukan-orang-asing">pelaku utama kekerasan seksual adalah anggota keluarga dekat.</a></p>
<p>Contoh lain, Pasal 414 dan 416 yang sebetulnya bertujuan mencegah perilaku berisiko dan penularan HIV/AIDS malah menjadikan bentuk-bentuk promosi alat kontrasepsi sebagai tindak pidana. </p>
<p>Persentase perempuan di bawah usia 18 tahun yang berprofesi sebagai pekerja seksual sendiri mencapai 30% di Indonesia. Kuatnya prasangka dan stigma masyarakat akan profesi pekerja seks serta minimnya akses untuk peningkatan kualitas hidup membuat perempuan-perempuan ini semakin rentan dieksploitasi. </p>
<p>Usaha perbaikan dalam peraturan bukannya tak ada sama sekali.</p>
<p><a href="https://pih.kemlu.go.id/files/UU_no_21_th_2007%20tindak%20pidana%20perdagangan%20orang.pdf">Undang-Undang (UU) No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang</a>, <a href="https://pih.kemlu.go.id/files/UUNo23tahun2003PERLINDUNGANANAK.pdf">UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak</a>, <a href="http://www.kpai.go.id/hukum/undang-undang-uu-ri-no-11-tahun-2012-tentang-sistem-peradilan-anak">UU No. 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Pidana Anak</a> dan kebijakan yang memperhitungkan penyakit menular seksual dalam skema Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan inisiatif positif yang harus diapresiasi. </p>
<p>Tapi semua ini belum cukup memberikan implikasi signifikan karena kompleksitas permasalahan dan terbatasnya kehendak politik, baik pemerintah pusat maupun daerah.</p>
<p>Di sisi lain, ketika perempuan berusaha memperjuangkan haknya dalam koridor hukum malah mereka justru mendapat hukuman. </p>
<p>Baiq Nuril, seorang guru di Lombok, Nusa Tenggara Barat, justru dihukum karena melaporkan pelecehan seksual yang diterimanya dari atasan - meskipun akhirnya <a href="https://regional.kompas.com/read/2019/08/01/13060011/baiq-nuril-bebas-dari-jerat-hukum-amnesti-dikabulkan-hingga-diundang-ke?page=all">mendapat amnesti dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo</a>.</p>
<p>Rizky Amelia, sekretaris di Dewan Jaminan Sosial Nasional, melaporkan atasannya yang melakukan pelecehan seksual. Alih-alih si atasan dipecat, malah <a href="https://metro.tempo.co/read/1235095/kasus-rizky-amelia-kepres-pemberhentian-pejabat-bpjs-tk-digugat">Rizky yang diberhentikan</a>.</p>
<p>Sebuah survei online yang dilakukan pada <a href="https://magdalene.co/story/93-percent-survivors-stay-silent-about-their-rapes-online-survey">tahun 2016 menunjukkan bahwa 93% korban kekerasan seksual</a> enggan melapor ke polisi. Diduga, <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49014401">budaya permisif atas kekerasan seksual yang masih melekat di publik</a> membuat korban enggan melaporkan kejadian yang menimpa mereka.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/putusan-baiq-nuril-ma-abaikan-produk-hukumnya-sendiri-yang-ingin-lindungi-perempuan-di-pengadilan-120092">Putusan Baiq Nuril: MA abaikan produk hukumnya sendiri yang ingin lindungi perempuan di pengadilan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Perempuan belum merdeka</h2>
<p>Puluhan tahun setelah Indonesia merdeka, upaya perempuan untuk mengusahakan keadilan justru terpenjara oleh institusi formal hukum dan melemahkan nilai juang perempuan.</p>
<p>Apabila kebijakan pemerintah kolonial memposisikan perempuan sebagai objek jajahan; maka perlu dipertanyakan apakah elit pengambil kebijakan kini memiliki perspektif yang sama dengan pemerintah kolonial? </p>
<p>Bukankah tujuan RKUHP adalah keluar dari perspektif kolonial dengan melahirkan KUHP karya anak bangsa? </p>
<p>Semangat pembuat undang-undang dan kecenderungan wacana yang berkembang di publik cenderung <a href="https://kolom.tempo.co/read/1243489/pemberdayaan-perempuan-versus-ketahanan-keluarga/full&view=ok">mengungkung dan mendomestifikasi perempuan. </a></p>
<p>Sulit untuk melihat bahwa ada agenda atau wacana progresif ke depan dari pembuat kebijakan bagi perempuan Indonesia. </p>
<p>Pengesahan RKUHP yang terburu-buru dan penundaan RUU PKS dengan alasan dibuat-buat akan semakin menjepit para korban, terutama perempuan Indonesia. </p>
<p>Mengutip Pramoedya Ananta Toer, mengesahkan RUU PKS dan menunda pengesahan RKUHP adalah cara kita untuk berusaha sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya demi masa depan perempuan Indonesia. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-menguatkan-perlindungan-perempuan-perkuat-peran-komnas-perempuan-112797">Bagaimana menguatkan perlindungan perempuan? Perkuat peran Komnas Perempuan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<img src="https://counter.theconversation.com/content/124087/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Gita Putri Damayana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pengesahan RKUHP dan pembatalan RUU PKS adalah kemunduran bagi gerakan perempuan.Gita Putri Damayana, Researcher at PSHK and lecturer at Jentera Law School, Indonesian Center for Law and Policy Studies (PSHK)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1200922019-07-11T04:32:21Z2019-07-11T04:32:21ZPutusan Baiq Nuril: MA abaikan produk hukumnya sendiri yang ingin lindungi perempuan di pengadilan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/283621/original/file-20190711-44505-lx38og.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C1597%2C1051&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Gedung Mahkamah Agung RI</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/e/ee/Gedung_Mahkamah_Agung_RI.JPG">Lukman Tomayahu/Wikimedia Commons </a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Tahun lalu, Mahkamah Agung (MA) Indonesia <a href="http://pa-ende.net/index.php/2018-12-07-07-37-58/2019-01-03-00-24-56/laporan-keadaan-perkara/8-mahkamah-agung-news/22-mahkamah-agung-ri-berpartisipasi-dalam-dialog-yudisial-regional-asia-tenggara-2018">mengingatkan para hakim di Asia Tenggara</a> agar “memastikan penghapusan stereotip gender dalam memberikan keadilan”. </p>
<p>MA memang telah mengeluarkan pedoman yang menerapkan kesetaraan gender dan prinsip-prinsip non-diskriminasi dalam mengadili kasus perempuan di pengadilan lewat <a href="http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2017/bn1084-2017.pdf">Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017</a>.</p>
<p>Tapi MA tampaknya mengingkari produk hukumnya sendiri lewat putusan terbarunya dalam kasus <a href="http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2017/07/Amicus-Curiae-Sahabat-Pengadilan-Baiq-Nuril.pdf">Baiq Nuril Maknun</a>.</p>
<p>MA <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/07/06/07570571/ma-tolak-pk-baiq-nuril-jaksa-agung-harap-tak-ada-lagi-tuduhan-kriminalisasi">menolak gugatan peninjauan kembali</a> (PK) yang diajukan Baiq Nuril, mantan tenaga honorer Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 7 Mataram yang dihukum karena menyebarkan konten bermuatan asusila yang dikirim Muslim, kepala sekolah SMAN tersebut. Putusan ini memperkuat vonis pengadilan sebelumnya yang menghukum Baiq enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsidier tiga bulan kurungan. Baiq Nuril dianggap terbukti merekam percakapan Muslim. Perbuatan Baiq dinilai membuat keluarga besar atasannya malu.</p>
<h2>Pedoman sudah ada</h2>
<p>Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dikeluarkan seiring dengan maraknya pemberitaan mengenai<a href="https://mediaindonesia.com/read/detail/71165-rata-rata-vonis-kejahatan-seksual-cuma-51-bulan"> kekerasan seksual di Indonesia</a>. MA menyusun pedoman tersebut dengan meminta masukan kepada akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan Komisi Nasional Anti Kekerasan pada Perempuan (Komnas Perempuan) melalui serangkaian rapat, diskusi, dan konsultasi publik. </p>
<p>Hasilnya pada Agustus 2017, MA <a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt598af94b94acd/penting-urgensi-terbitnya-perma-pedoman-mengadili-perkara-perempuan/">mengesahkan pedoman penanganan perempuan berhadapan dengan hukum pada Agustus 2017</a>. Berbagai kalangan, mengapresiasi pedoman itu sebagai <a href="http://mappifhui.org/2018/07/24/cerita-perubahan-perma-no-3-tahun-2017-terobosan-hukum-bagi-perempuan-dalam-sistem-peradilan/">terobosan hukum bagi perempuan dalam sistem peradilan </a>. </p>
<p>Pedoman tersebut bertujuan, pertama, membantu para hakim memahami dan menerapkan kesetaraan gender dan prinsip-prinsip non-diskriminasi. Kedua, membantu hakim mengidentifikasi situasi dimana terdapat perlakuan yang tidak setara atau dibedakan yang berujung pada diskriminasi terhadap perempuan. Dan ketiga, berkontribusi bagi pelaksanaan sistem peradilan yang menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam proses persidangan dan pengadilan.</p>
<p>Lewat pedoman itu, MA sebagai salah satu cabang kekuasaan di negara ini, berupaya menjamin dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk bebas dari perlakuan diskriminatif yang dijamin oleh <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/node/1011/uud-1945-undang-undang-dasar-1945/">Undang-undang Dasar 1945</a>. </p>
<p>Sebagai garda terakhir penegakan hukum, hakim dapat mengoreksi upaya yang telah dilakukan aparat penegak hukum sebelumnya terkait kerentanan akibat diskriminasi gender. Walaupun belum ada penelitian mengenai dampak hadirnya pedoman ini dalam kasus-kasus MA, namun kehadirannya tetap penting.</p>
<h2>Pedoman tidak dilaksanakan</h2>
<p>Sayangnya, pedoman tersebut tampaknya tidak dilaksanakan oleh MA dalam kasus Baiq Nuril.</p>
<p>Aparat penegak hukum–mulai dari kepolisian yang melakukan penyelidikan dan penyidikan, jaksa yang melakukan penuntutan, hingga hakim yang mengadili perkara–telah gagal menimbang keberanian Baiq Nuril dalam mengungkap kasus pelecehan seksual ini.</p>
<p>MA gagal dalam mendeteksi relasi kuasa yang tidak seimbang antara Baiq Nuril sebagai guru hononer dan atasannya yang menjabat sebagai kepala sekolah. Padahal dalam pedomannya, MA menjelaskan relasi kuasa sebagai hubungan hierarkis yang tidak setara dan bergantung pada status sosial, budaya, pengetahuan, pendidikan, atau ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya dan merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah.</p>
<p>Pedoman itu juga menjelaskan bahwa dalam memeriksa suatu perkara yang melibatkan perempuan, hakim disarankan agar mempertimbangkan pula ketidaksetaraan status sosial antara para pihak yang berperkara. Tapi, tak satupun pertimbangan ketimpangan relasi yang diberikan para Hakim Agung yang memutus perkara tersebut. </p>
<p>Selain itu, dalam pedoman MA tersebut, hakim diminta mempertimbangkan kesetaraan gender dan stereotip gender dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis. Hakim lalu disarankan agar menggali nilai-nilai dan membuat penafsiran agar dapat menjamin kesetaraan gender, perlindungan yang setara dan non-diskiriminatif. </p>
<p>Dengan mengikuti pedoman ini, hakim di <a href="https://icjr.or.id/icjr-beri-apresiasi-perluasan-tafsir-unsur-perkosaan/">Pengadilan Negeri Bengkulu</a>, misalnya, pernah menafsirkan bujuk rayu dan janji menikahi sebagai unsur ancaman kekerasan yang memaksa seorang perempuan bersetubuh dengan laki-laki. Lelaki itu kemudian dipidana melakukan tindak pidana perkosaan. </p>
<p>Namun MA mengabaikan pedoman yang sudah ada dan memandang perlu menghukum Baiq untuk membuat jera dirinya dan masyarakat Indonesia dalam merekam percakapan pribadi. Majelis hakim menilai perbuatan Baiq bertentangan dengan nilai-nilai agama, sosial, dan budaya. Majelis juga menilai perbuatan Baiq Nuril merugikan Muslim dan mencoreng kehormatan dia dan keluarganya. </p>
<p>Namun, majelis luput mempertimbangkan bahwa perbuatan Muslim juga bertentangan dengan nilai-nilai yang menjadi rujukan dalam memutus serta melindungi kehormatan perempuan yang telah dilecehkannya. </p>
<h2>Preseden buruk</h2>
<p>Putusan MA dalam kasus Baiq Nuril memberi pertanda buruk yang akan menyulitkan perempuan mengungkap kekerasan seksual karena proses pengadilan yang diskriminatif dan tidak adil justru akan memenjarakan mereka.</p>
<p>Banyak hakim yang tidak mengetahui tentang pedoman baru yang disahkan MA tahun 2017 ini. Dalam beberapa perkara perkosaan misalnya, gaya hidup bahkan pengalaman seksual perempuan digunakan terdakwa atau pengacaranya untuk melemahkan kredibilitas kesaksiannya. </p>
<p>Dalam sebuah <a href="http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2019/06/Executive-Summary-KS.pdf">perkara di Lubuk Pakam di Sumatera Utara</a>, hakim menganggap perempuan pelapor sebagai perempuan nakal, karena pernah bersetubuh dengan pacar sebelumnya, suka mabuk-mabukan. Akibatnya, hakim memutuskan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perkosaan.</p>
<p>Lalu, hakim di pengadilan negeri Muara Bulian di Jambi juga pernah menghukum seorang perempuan yang melakukan aborsi atas kandungannya akibat diperkosa <a href="https://www.voaindonesia.com/a/vonis-korban-perkosaan-yang-gugurkan-kandungan-di-jambi-dikritik-tajam/4493385.html">oleh kakak kandungnya sendiri</a>. Padahal, <a href="https://kompas.id/baca/polhuk/2018/08/13/banyak-hakim-yang-tak-pahami-peraturan-ma/">hakim semestinya mempertimbangkan ketimpangan relasi di antara kakak-adik tersebut dan dampak psikis</a> yang dideritanya.</p>
<p>Putusan Baiq Nuril dan putusan-putusan lain yang tidak memihak perempuan dapat menyebabkan <a href="https://www.vice.com/en_us/article/vbnbgb/why-dont-people-report-sexual-assault-trump-kavanaugh">minimnya pelaporan</a> terhadap kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan. </p>
<p><em>Ninik Rahayu dari Ombudsman Republik Indonesia dan
pengajar tidak tetap pusat pendidikan dan latihan Badan Pengembangan dan Sumber Daya Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/120092/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Choky R. Ramadhan pernah menerima dana penelitian dari Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) terkait perempuan berhadapan dengan hukum di pengadilan.</span></em></p>Mahkamah Agung tampaknya mengingkari produk hukumnya sendiri lewat putusan terbarunya dalam kasus Baiq Nuril Maknun. MA memiliki pedoman tentang mengadili perkara terkait perempuan.Choky R. Ramadhan, Dosen Hukum Acara Pidana/ Ketua MaPPI FHUI, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1127972019-03-10T08:53:55Z2019-03-10T08:53:55ZBagaimana menguatkan perlindungan perempuan? Perkuat peran Komnas Perempuan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/262863/original/file-20190308-150697-1n2h51w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=13%2C0%2C4571%2C2577&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pengunjuk rasa membawa poster di Women's March 2018.</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com/ kiwiofmischief</span></span></figcaption></figure><p>Sementara upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di beberapa negara lain mengalami beberapa <a href="https://theconversation.com/bill-cosby-exposed-by-the-media-but-it-was-women-who-brought-him-down-95720">perkembangan positif</a> dengan menguatnya dampak gerakan <a href="https://theconversation.com/id/topics/metoo-45316">#MeToo</a>, perlindungan terhadap perempuan Indonesia belum membaik.</p>
<p>Mayoritas perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual dan fisik. Menurut <a href="https://indonesia.unfpa.org/sites/default/files/pub-pdf/State_of_World_Population_Report_SWOP_2017.pdf">data</a> yang dirilis pemerintah–dibantu United Nations Population Fund (UNFPA) pada Maret 2017, sepertiga populasi perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual dan fisik. </p>
<p>Berakhirnya kasus kekerasan seksual mahasiswa Universitas Gadjah Mada dengan <a href="https://nasional.tempo.co/read/1172178/kasus-agni-di-ugm-berujung-damai/full&view=ok">kesepakatan damai</a> dan <a href="https://www.smh.com.au/world/asia/i-went-to-prison-and-he-got-promoted-indonesia-s-metoo-moment-20181218-p50n2p.html">dikriminalisasinya perempuan yang melaporkan pelaku pelecehan seksual</a>, menunjukkan bahwa budaya impunitas, di mana pelaku kekerasan bisa bebas dari hukuman, masih mengakar. </p>
<p>Saya mengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan mengemban tugas sehari-hari sebagai Direktur Amnesty International Indonesia, organisasi yang memperjuangkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan hak-hak asasi perempuan. Saya juga ayah dari seorang putri, yang membuat saya memiliki kepentingan yang sangat tinggi untuk memperjuangkan perlindungan perempuan demi masa depan anak saya.</p>
<p>Beberapa analis telah menjelaskan <a href="https://theconversation.com/conservative-rejection-of-indonesias-anti-sexual-violence-bill-misplaced-111683">pentingnya mendorong pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual</a> (RUU PKS) untuk menguatkan upaya perlindungan perempuan. Analis yang lain melihat bahwa perlindungan terhadap perempuan dapat meningkat jika lebih banyak <a href="https://theconversation.com/bagaimana-mendongkrak-keterwakilan-perempuan-di-dpr-89541">perempuan mewakili rakyat dalam parlemen</a>.</p>
<p>Di luar analisis-analisis yang penting tersebut, saya berargumen bahwa untuk mendorong penguatan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, pemerintah dan DPR perlu memperkuat <a href="https://www.komnasperempuan.go.id/">Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan</a> (Komnas Perempuan) sebagai “lembaga negara yang independen” untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia, dengan memperkuat landasan hukumnya dengan sebuah undang-undang khusus.</p>
<p>Saat ini landasan hukum pembentukan Komnas Perempuan berdasarkan keputusan presiden. Dengan penguatan landasan hukum, lembaga ini dapat diberikan kewenangan untuk membantu pemerintah dalam pembuatan kebijakan publik yang berperspektif gender hingga kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sehingga bisa membawa pelaku kekerasan berbasis gender ke pengadilan. </p>
<h2>Posisi subordinat Komnas Perempuan</h2>
<p>Komnas Perempuan berdiri pada Oktober 1998, beberapa bulan sesudah jatuhnya rezim Soeharto. </p>
<p>Berkat dorongan aktivis gerakan perempuan yang menuntut pertanggungjawaban negara atas kekerasan yang dialami perempuan pada kerusuhan Mei 1998, Bacharuddin Jusuf Habibie yang kala itu menggantikan Soeharto yang telah mengundurkan diri, mengeluarkan keputusan presiden untuk mendirikan Komnas Perempuan. </p>
<p>Selama 17 tahun terakhir, Komnas Perempuan melakukan pencatatan kasus kekerasan terhadap perempuan, dan dari tahun ke tahun jumlah laporan kekerasan ini meningkat.</p>
<iframe title="Chart: Peningkatan laporan kasus kekerasan terhadap perempuan&nbsp;" aria-describedby="" src="https://datawrapper.dwcdn.net/holsd/2/" scrolling="no" frameborder="0" width="100%" height="400"></iframe>
<p>Per Maret 2019, Komnas Perempuan mencatat terdapat 406.178 kasus, meningkat 16,5% dari tahun sebelumnya. </p>
<p>Namun, disebabkan landasan hukumnya, sejauh ini posisi Komnas Perempuan masih berada di bawah badan eksekutif, ketimbang berdiri secara independen dan setara dengan badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Posisi sub-ordinat Komnas Perempuan, menurut saya, merupakan pangkal dari lemahnya upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis gender.</p>
<p>Penguatan landasan hukum Komnas Perempuan akan menguatkan posisi komisi ini dalam beberapa aspek: </p>
<h2>1. Daya tawar lebih kuat dalam negosiasi perundang-undangan</h2>
<p>Status Komnas Perempuan saat ini masih lebih berkarakter gerakan sosial, bahkan kerap terlihat seperti organisasi non pemerintah pada umumnya. Sebenarnya itu tidak keliru. Tetapi karakter ini cenderung membuat Komnas Perempuan terpinggirkan dari proses pembuatan kebijakan publik. Dari pengamatan saya, Komnas Perempuan lebih jarang terlibat secara resmi dan intensif dalam konsultasi dengan DPR, dibanding Komnas HAM, apalagi KPK.</p>
<p>Dengan penguatan landasan hukum yang memberikan Komnas Perempuan posisi yang setara dan independen dengan badan eksekutif, legislatif, yudikatif, Komnas Perempuan akan memiliki daya tawar dan terlibat langsung dalam negosiasi perundang-undangan. </p>
<p>Untuk konteks saat ini, misalnya, jika Komnas Perempuan memiliki posisi independen dan setara dengan badan pemerintahan lain, komisi ini bisa berbicara langsung dan mengawal pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di parlemen agar memastikan RUU tersebut berperspektif gender. </p>
<h2>2. Memandu pembuatan kebijakan publik soal perempuan</h2>
<p>Dengan posisinya yang lebih kuat, Komnas Perempuan bisa mendorong pembuatan dan pengawasan kebijakan publik lain yang berhubungan dengan perempuan, misalnya dalam bidang pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals—SDGs). </p>
<p>Komnas Perempuan bukan hanya dapat memantau rencana dan pelaksanaan dari target SDGs tersebut, tetapi juga menjadikan keputusan hasil pemantauannya sebagai pedoman tindakan sekaligus cambuk bagi badan-badan pemerintah. Setiap rencana pemerintah wajib dikonsultasikan dengan Komnas Perempuan. Apalagi, menurut PBB, dan juga menurut catatan Komnas Perempuan untuk kasus Indonesia, pencapaian program yang terdahulu dengan Milenium Development Goals (MDGs) menunjukkan kegagalannya sebagian disebabkan oleh lemahnya pengawasan. </p>
<h2>3. Menyelidiki kasus kekerasan terhadap perempuan</h2>
<p>Lembaga ini juga perlu diberi kewenangan yang menempatkannya menjadi bagian dari sistem peradilan pidana. Untuk itu, penguatan landasan hukum Komnas Perempuan dalam bentuk undang-undang sebaiknya memberi mandat untuk melakukan penyelidikan, seperti mandat yang dimiliki Komnas HAM. Lebih baik lagi jika mandatnya meliputi wewenang penyidikan dan penuntutan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi sehingga mampu membawa pelaku ke pengadilan, sekaligus tentunya membawa kebutuhan sebuah pengadilan khusus yang hakim-hakimnya memiliki perspektif gender. </p>
<p>Hal-hal ini perlu dirumuskan secara lengkap dalam naskah UU. Wewenang ini juga meliputi perlindungan saksi dan korban perempuan, termasuk reparasi bagi korban, tanpa harus menunggu vonis hakim atas pelaku.</p>
<p>Sejak pendiriannya, Komnas Perempuan sempat melibatkan diri dalam kerja-kerja penyelidikan Komnas HAM atas peristiwa-peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran HAM yang berat. Meski pun mandatnya terbatas pada kekerasan terhadap perempuan, dan meski keterlibatan itu sebatas pada komisioner-komisioner atau staf-stafnya, keterlibatan itu telah melengkapi kelemahan Komnas HAM yang kerap luput dalam mengidentifikasi kasus-kasus pelanggaran HAM berbasis jender.</p>
<p>Sebagai contoh, dalam penyelidikan Komnas HAM untuk kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur pada tahun 1999, tanpa keterlibatan aktivis dan anggota Komnas Perempuan, antara lain Kamala Chandrakirana, Zumrotin, dan Nursyahbani Katjasungkana, maka kasus-kasus perkosaan yang sistematis terhadap perempuan nyaris luput dari penyelidikan. </p>
<p>Saya pernah berkesempatan dua kali bekerja bersama dua mantan Ketua Komisi ini. Pertama, bersama Saparinah Sadli dalam <a href="https://www.liputan6.com/news/read/31129/kpp-ham-trisakti-terjadi-kejahatan-kemanusiaan">Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Trisakti, Semanggi I dan II</a> pada 2001 yang menyelidiki penembakan mahasiswa yang berunjuk rasa pada sepanjang 1998/1999. </p>
<p>Selain mempengaruhi proses dan kualitas hasil pencarian fakta, keterlibatannya sebagai Ketua Komnas Perempuan memperlihatkan integritas moral yang tinggi, terutama ketika pihak-pihak tertentu mendiskreditkan KPP dengan menggalang massa dan adanya oknum elite TNI yang menolak panggilan penyelidikan. </p>
<p>Kedua, ketika bersama Kamala Chandrakirana bekerja dalam <a href="https://www.bphn.go.id/data/documents/05KP006.pdf">Tim Pencari Fakta (TPF) untuk kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib pada 2004 </a>. Munir meninggal di pesawat Garuda Indonesia ketika terbang menuju Amsterdam. Hasil otopsi menunjukkan ia diracun. </p>
<p>Peran Kamala begitu penting dalam memeriksa saksi dan menggali keterangan-keterangan saksi khususnya saksi perempuan serta memeriksa dokumen-dokumen yang diperoleh dari Garuda Indonesia, Badan Intelijen Negara (BIN) dan badan-badan resmi lainnya.</p>
<p>Dengan memberi kewenangan penyelidikan kepada Komnas Perempuan, mereka nantinya dapat membentuk tim pencari fakta untuk bermacam-macam kasus kekerasan seksual. Ini akan membantu negara khususnya pemerintah dalam memperkuat upaya penghapusan atau setidaknya penurunan angka kekerasan terhadap perempuan.</p>
<h2>Tanggung jawab pemerintah</h2>
<p>Pada November 2017, ketika bertatap muka dengan para komisioner Komnas Perempuan, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengajak masyarakat untuk <a href="https://www.rappler.com/indonesia/berita/189553-presiden-jokowi-angka-kekerasan-terhadap-perempuan">menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan</a>.</p>
<p>Namun, menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan tidak bisa diwujudkan hanya dengan ajakan retoris. Tugas mengurangi kekerasan adalah tanggungjawab pemerintah dengan memberlakukan kebijakan-kebijakan yang melindungi perempuan. </p>
<p>Maka, pemerintahan Jokowi seyogyanya, perlu mulai bergerak untuk memperkuat status hukum Komnas Perempuan untuk memungkinkan komisi ini mendobrak dominannya cara pandang dan praktik yang cenderung patriarkis dan merendahkan harkat dan martabat perempuan, akibat tak dibekali perspektif kesetaraan gender. </p>
<p>Penguatan Komnas Perempuan akan memperkuat keputusan Presiden Habibie yang di tengah turbulensi politik 1998 dapat merespons aspirasi perempuan dengan begitu serius dan berani membentuk Komnas Perempuan, setelah sebelumnya juga membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta untuk menyelidiki perkosaan terhadap perempuan dalam kerusuhan rasial 1998.</p>
<p>Melanjutkannya dengan memperkuat posisi Komnas Perempuan dalam pengambilan keputusan publik pemerintahan maupun dengan penambahan wewenang hukum untuk menyelidiki, menyidik, menuntut, dan mengadili kasus-kasus kekerasan berbasis gender, bukan hanya akan menyediakan mekanisme keluhan bagi korban, tetapi juga mengisi kekosongan hukum agar para pelaku kekerasan tidak terus merasa bebas dari penghukuman. </p>
<p>Pemberian posisi yang lebih kuat tersebut merupakan langkah yang dibutuhkan jika Indonesia benar-benar ingin memperbaiki situasi perlindungan perempuan dan penghormatan atas kesetaraan berbasis gender, dengan lebih berpihak pada hak-hak korban. Sudah waktunya kita mendengarkan suara-suara korban.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/112797/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Usman Hamid adalah Direktur Amnesty International Indonesia. </span></em></p>Untuk mendorong penguatan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, pemerintah dan DPR perlu memperkuat Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Komnas Perempuan)Usman Hamid, Lecturer, Indonesia Jentera School of LawLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1106012019-02-18T07:07:09Z2019-02-18T07:07:09ZPerempuan tidak melapor ketika dilecehkan di kantor karena tidak ada yang mendengar mereka<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/256326/original/file-20190130-42594-sqe9h3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=16%2C8%2C5373%2C3579&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Di Australia, kebanyakan perempuan tidak melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya di tempat kerja bahkan ketika kekerasan tersebut telah melewati batas kewajaran</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://images.theconversation.com/files/248883/original/file-20181204-34151-91bqj3.jpg">shutterstock.com</a></span></figcaption></figure><p>Ada alasan mengapa mereka yang mengalami pelecahan seksual–terutama di tempat kerja–tidak melaporkan pelecehan yang dialaminya saat itu juga. Melaporkan pelecehan tersebut dapat malah mengakibatkan korban mengalami pengucilan, mematikan kariernya, atau bahkan mengancam keberlangsungan pekerjaannya.</p>
<p><a href="https://www.humanrights.gov.au/sites/default/files/document/publication/AHRC_WORKPLACE_SH_2018.pdf">Sebuah survei yang dilakukan oleh Komisi Hak Asasi Manusia di Australia (AHRC) pada 2018</a>
mengenai pelecehan seksual di Australia menemukan bahwa sebagian besar pelecehan seksual terjadi di tempat kerja. Sebagai contoh, di industri media dan telekomunikasi, 81% pekerjanya dilaporkan mengalami pelecehan seksual dalam lima tahun terakhir.
<a href="https://www.parliament.vic.gov.au/publications/research-papers/download/36-research-papers/13695-wraw-lisa-heap-17aug2016">Sebuah penelitian</a>
yang dilakukan oleh Dewan Balai Perdagangan Victoria (VTHC) di tahun 2016 menemukan sebesar 64% responden berjenis kelamin perempuan pernah mengalami pelecehan seksual atau kekerasan berbasis gender di tempat kerjanya. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bekerja-dari-rumah-ternyata-membawa-dampak-buruk-bagi-para-pekerja-110360">Bekerja dari rumah ternyata membawa dampak buruk bagi para pekerja</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Di Australia, sebagian besar pelecehan seksual di tempat kerja sebagian besar tidak dilaporkan. Survei AHRC menemukan bahwa hanya 17% orang yang pernah mengalami pelecehan seksual membuat pengaduan resmi. Mereka yang mengalami pelecehan seksual tidak yakin tempat kerja mereka dapat mengatasi permasalahan yang mereka hadapi. Beberapa menyatakan bahwa mereka merasa hal tersebut akan dilihat sebagai reaksi yang berlebihan. Beberapa juga melihat bahwa akan lebih mudah bagi mereka untuk diam.</p>
<p><a href="https://www.meaa.org/campaigns/sexual-harassment-in-the-spotlight/">Sebuah survei pada tahun 2017 terhadap pekerja di industri media dan seni</a>
menemukan bahwa sebagian besar orang enggan melaporkan pelecehan seksual yang mereka alami karena takut melukai karier mereka. Studi VTHC menemukan 19% dari wanita yang pernah mengalami pelecehan meninggalkan pekerjaan mereka karena merasa tidak aman di tempat kerja. Dengan kata lain, mereka lebih suka meninggalkan tempat kerja yang berisiko daripada mengambil langkah-langkah untuk memastikan kasus pelecehan tidak terjadi lagi.</p>
<p>Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh mereka yang menyaksikan untuk menghentikan pelecehan seksual. Hampir 70% mereka yang menyaksikan terjadinya pelecehan atau mereka yang sadar akan pelecehan tersebut tidak melakukan apa-apa untuk mencegah terjadinya pelecehan tersebut atau mengurangi dampak negatif yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan sebuah budaya dimana kekerasan berbasis gender telah dianggap sebagai suatu hal yang normal. Hal ini juga tentunya menggarisbawahi masih berlangsungnya ketidaksetaraan gender baik di tempat kerja maupun secara general.</p>
<p>Ketidaksetaraan gender di tempat kerja mencerminkan bahwa hal tersebut ada dan nyata di masyarakat. Sikap dan perilaku seksis yang mengarah kepada kekerasan di luar pekerjaan tidak berhenti sebatas gerbang pabrik atau pintu keluar kantor. </p>
<p><em>Our Watch</em>, sebuah badan nasional Australia yang bergerak di pencegahan kekerasan terhadap perempuan, mengidentifikasi bahwa ketidaksetaraan gender berada di tengah-tengah berbagai bentuk kekerasan yang dialami wanita Australia di rumah mereka, dalam hubungan personal mereka dan di dalam komunitas yang lebih luas.</p>
<p><a href="https://www.ourwatch.org.au/getmedia/c81eceab-c8a0-4f3a-a6fb-2202334b398b/Change-the-story-framework-prevent-violence-women-children-AA-new.pdf.aspx">Riset yang dilakukan oleh <em>Our Watch</em></a>
mendokumentasikan penyebab utama kekerasan terhadap perempuan: normalisasi kekerasan terhadap perempuan; kontrol pria terhadap pengambilan keputusan dan batasan untuk independensi wanita; konstruksi sosial tentang maskulinitas dan femininitas; rasa tidak hormat terhadap wanita; dan hubungan teman sebaya pria yang menekankan agresi. Pemicu ini tercermin dalam struktur dan budaya tempat kerja.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/teknologi-dan-robot-akan-guncang-kebijakan-ketenagakerjaan-di-asia-dan-dunia-110296">Teknologi dan robot akan guncang kebijakan ketenagakerjaan di Asia dan dunia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Dalam sebuah <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10301763.2018.1463481">artikel ilmiah</a>
yang saya tulis bersama kolega saya–Sally Weller dan Tom Barnes–kami berpendapat bahwa peraturan di tempat kerja yang dirancang untuk melindungi perempuan tidak efektif karena peraturan tersebut gagal menjawab masalah ketidaksetaraan gender yang dialami perempuan. Ketidaksetaraan gender yang dialami oleh perempuan termasuk juga ketidaksetaraan upah berbasis gender, kerugian dan diskriminasi karena tanggung jawab perempuan untuk merawat keluarganya, dan sebagai korban kekerasan berbasis gender. </p>
<p>Pada akhirnya, ketidaksetaraan ini merusak kapasitas perempuan untuk mengajukan keluhan, merampas hak pilihan dan suara mereka dan menciptakan rasa tidak aman. Tanpa kapasitas untuk mengajukan keluhan dan menuntut hak-hak mereka, hak-hak ini tidak dapat terealisasi. Karena itu, setiap strategi yang dirancang untuk mengakhiri pelecehan seksual dan bentuk-bentuk lain dari kekerasan gender di tempat kerja harus membahas struktur dan budaya ketidaksetaraan dan seksisme yang ada.</p>
<p>Langkah pertama yang penting adalah pengakuan perusahaan bahwa ada masalah ketidaksetaraan gender di kantor mereka. Mengingat banyaknya kasus pelecehan seksual yang terdokumentasi, akan sangat membantu jika pengusaha memulai dengan mengakui bahwa kekerasan gender mungkin ada di organisasi mereka. Penerimaan ini akan mempromosikan pendekatan proaktif untuk mengatasi faktor-faktor yang mendorong kekerasan daripada pendekatan reaktif saat ini yang melihat mereka menangani keluhan ketika korban maju. Mengubah peraturan di tempat kerja untuk memastikan bahwa organisasi memiliki tugas untuk menghilangkan risiko kekerasan gender akan memperkuat ini. Namun, perubahan struktur, perilaku dan sikap yang mendorong ketimpangan juga penting.</p>
<p>Gerakan serikat buruh Victoria telah mengembangkan <a href="https://d3n8a8pro7vhmx.cloudfront.net/victorianunions/pages/4164/attachments/original/1511416569/Stop_GV_At_Work_Report_2017.pdf?1511416569">strategi yang komprehensif</a> untuk menghentikan kekerasan berbasis gender di tempat kerja. Program mereka berfokus pada, salah satunya adalah, penerapan aksi-aksi yang mendukung kesetaraan gender.</p>
<p>Pertama-tama, mereka memasukkan masalah kekerasan gender ke bidang kesehatan dan keselamatan, mewajibkan WorkSafe–semacam BPJS di Victoria, Australia–untuk menjadi lebih aktif <a href="https://d3n8a8pro7vhmx.cloudfront.net/victorianunions/pages/4164/attachments/original/1511415500/Stop_GV_at_Work_Campaign_Kit.pdf?1511415500">mengidentifikasi dan memberantas risiko terjadinya kekerasan berbasis gender</a>. </p>
<p>Kedua, serikat buruh Victoria membangun jalur pengaduan kolektif pelecehan seksual dan kekerasan gender ke hadapan komisi pekerja yang adil melalui penjaminan hak-hak mereka dalam perjanjian bersama.</p>
<p>Akhirnya, serikat buruh Victoria juga membahas seksisme dan meningkatkan kapasitas gerakan serikat pekerja untuk proaktif dalam ruang ini dengan mengadopsi program pendidikan komprehensif untuk perwakilan kesehatan dan keselamatan, delegasi serikat pekerja dan pejabat serikat pekerja.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/apakah-bekerja-lepas-jadi-pilihan-masa-depan-83818">Apakah bekerja lepas jadi pilihan masa depan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sistem hukum untuk menangani pelecehan seksual di tempat kerja bergantung pada pengaduan orang-orang yang telah mengalami pelecehan. Kita tahu bahwa mereka sedikit sekali kemungkinan korban untuk melapor. Jika mereka tetap enggan melapor, tidak akan ada banyak perubahan. Untuk perubahan nyata, kita harus mengatasi penyebab mendasar pelecehan seksual dan kekerasan gender yaitu masalah ketidaksetaraan gender.</p>
<hr>
<p><em>Ariza Muthia menerjemahkan artikel ini dari bahasa inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/110601/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Lisa Heap adalah anggota Dewan Menteri Pemerintah Victoria untuk Kesetaraan Wanita. Antara 2015 dan Januari 2018 Lisa memimpin unit Hak dan Keselamatan Wanita di Victorian Trades Hall Council (VTHC). Saat ini ia adalah kandidat Phd di RMIT University.</span></em></p>Kebanyakan perempuan tidak melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya di tempat kerja. Mereka takut akan menunjukkan reaksi berlebihan yang malah mengancam keberlangsungan karirnyaLisa Heap, Adjunct Professor at Institute of Religion, Politics and Society, Australian Catholic UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/859972017-10-23T11:11:14Z2017-10-23T11:11:14ZPelajaran dasar penanganan kejahatan seksual: dengarkan korban, jangan tanya dulu<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/191366/original/file-20171023-1728-p4c247.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Korban kekerasan seksual mungkin menjadi korban kedua kalinya saat berhadapan dengan aparat hukum karena dibombardir pertanyaan yang tidak sensitif. </span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Ketika belajar tentang pendampingan korban kekerasan seksual di Klinik Hukum Perempuan dan Anak di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mahasiswa kami dibekali pesan oleh kawan psikolog dari Yayasan Pulih: “Dengarkan dulu. Jangan banjiri dengan pertanyaan”. </p>
<p>Petunjuk tersebut terkait dengan upaya untuk melindungi pihak korban kekerasan seksual dari terjadinya <em>double victimisation</em> atau dalam tulisan ini dipadankan dengan “dikorbankan berulang-ulang”.</p>
<p>Minggu lalu Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan dalam wawancara dengan BBC Indonesia bahwa <a href="http://example.com/http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41676366">korban pemerkosaan bisa ditanya penyidik “apakah nyaman” selama pemerkosaan</a>. Apa yang dikemukakan oleh tokoh nomor satu dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia tersebut ternyata sering ditemukan dalam proses penyelidikan dan penyidikan kasus kekerasan seksual. </p>
<p>Berdasarkan <a href="https://catalogue.nla.gov.au/Record/3892315">penelitian yang saya lakukan dengan Sulistyowati Irianto pada 2006</a>, aparat penegak hukum sering mengajukan pertanyaan tentang soal kesukarelaan hubungan seksual tersebut atau apakah korban menikmati proses terjadinya hubungan seksual itu. </p>
<p>Alasan aparat mengajukan pertanyaan adalah dalam rangka mengumpulkan bukti apakah benar terjadi pemerkosaan atau kekerasan seksual. <a href="http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2016/12/Asesmen-Konsistensi-Putusan-Pengadilan-Kasus-Kasus-Kekerasan-terhadap-Perempuan.pdf">Penelitian lain</a> oleh Universitas Indonesia juga menemukan pertanyaan semacam itu tidak hanya diajukan oleh pihak kepolisian tetapi juga oleh jaksa dan hakim. </p>
<h2>Dikorbankan berulang-ulang</h2>
<p>Pertanyaan yang diajukan kepada penyintas atau korban kekerasan seksual harus dirumuskan sedemikian rupa supaya tidak menempatkan mereka pada posisi “dikorbankan berulang-ulang”. Saat mengalami kekerasan seksual, para korban mengalami tindakan yang melukai tubuh dan jiwa. </p>
<p>Pengalaman itu menyakitkan, tetapi tidak dapat dilepaskan oleh korban yang harus meneruskan hidup. Pertanyaan yang diajukan kepada korban kekerasan seksual tentang pengalamannya memaksa korban mengingat lagi situasi saat ia tidak berdaya. </p>
<p>Kekerasan seksual sering dipahami semata-mata terjadi karena hasrat seksual yang tidak terkendali. Sungguh suatu logika yang keliru tetapi terus menerus dipelihara dalam masyarakat. </p>
<p>Kekerasan seksual mestinya dilihat sebagai suatu tindakan yang lahir dari <a href="http://www.ui.ac.id/berita/mengungkap-relasi-kuasa-dalam-kejahatan-seksual.html">relasi kuasa yang timpang</a>. Relasi kuasa adalah relasi yang terbentuk antara orang perorangan, kelompok, atau golongan. Terbentuknya relasi kuasa tersebut disebabkan karena kemampuan masing-masing kelompok atau orang melakukan tawar menawar untuk mempertahankan atau memperoleh haknya. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/kampanye-antikekerasan-perempuan-menanggung-mitos-selaput-dara-dan-tes-keperawanan-86769">Kampanye antikekerasan: perempuan menanggung mitos selaput dara dan tes keperawanan</a></em></p>
<hr>
<p>Relasi kuasa muncul dan menguat pada hubungan antargender, antarjenis kelamin, antargolongan dan kelas di dalam masyarakat. Pada relasi kuasa yang lahir di antara individu atau kelompok yang posisi tawarnya tidak setara, maka akan timbul relasi kuasa yang timpang. </p>
<p>Praktik nilai budaya sering menyuburkan relasi kuasa yang timpang ini. Dampaknya adalah pada ketimpangan akses terhadap hak dan sumber daya di dalam masyarakat.</p>
<h2>Relasi kuasa timpang</h2>
<p>Korban kekerasan seksual biasanya berada pada posisi tawar yang relatif lemah. Konsekuensinya, relasi kuasa yang terjalin antara korban dan pelaku bersifat timpang. Terbentuknya relasi kuasa yang timpang disebabkan oleh faktor-faktor antara lain: usia, gender, jenis kelamin, kelas sosial, kelompok minoritas berdasarkan etnis, kepercayaan/agama, afiliasi politik, dan sebagainya. Saya telah menuliskannya lebih jauh di dalam “Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Seksual” dalam <em><a href="http://incle.org/abstrac/detail/women-and-children-law-book">Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak</a></em>.</p>
<p>Sebaliknya, pelaku berada pada posisi tawar yang lebih kuat daripada korban dalam berbagai aspek. Misalnya: usia, jabatan (kepala sekolah, guru, pejabat, anggota DPR, aparat pemerintah, polisi, tentara, dokter, atasan di perusahaan, guru mengaji, pemuka agama, dan sebagainya), kelas sosial, kelas ekonomi, dan kelompok mayoritas.</p>
<h2>Salah: berulang berarti nyaman</h2>
<p>Kasus kekerasan seksual senantiasa melibatkan persoalan relasi kuasa, bahkan juga pada kasus yang terjadi berulang. Anggapan yang mengemuka terhadap korban kekerasan seksual yang berulang adalah korban menjadi “nyaman” dengan apa yang dilakukan pelaku. </p>
<p>Penting untuk meluruskan anggapan tersebut. Hubungan seksual yang sehat seyogianya terjadi antara dua orang yang relasi kuasanya setara, mampu mengambil keputusan secara objektif. Hubungan itu harus atas dasar persetujuan kedua belah pihak. </p>
<p>Pada hubungan seksual yang dimulai dengan kekerasan dan paksaan, ketika relasi kuasa antara para pihak timpang, maka kehadiran konsensus atau persetujuan suka rela itu patut dipertanyakan. Jadi, logikanya adalah bukan “pasti ada konsensus” atas terjadinya hubungan seksual tersebut, melainkan “tidak ada konsensus”. Logika ini sekiranya diterapkan pada proses pemeriksaan kasus kekerasan seksual, akan berdampak besar. </p>
<h2>Beban pembuktian bukan pada korban</h2>
<p>Beban pembuktian atas terjadinya kekerasan seksual tidak lagi terletak pada pihak korban. Soal kesucian, sejarah seksual korban, tidak lagi menjadi hal yang terus menerus harus diceritakan oleh korban. Sebaliknya, pelaku harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. </p>
<p>Kewajiban untuk menghadirkan bukti tindak kekerasan seksual, sesungguhnya terletak pada negara, bukan pada korban. Negara seharusnya mampu menggali bukti dari sumber-sumber lain (termasuk pelaku). Bukan hanya kepentingan pelaku yang harus dilindungi sesuai dengan aturan hukum, tetapi juga kepentingan korban supaya tidak “dikorbankan berkali-kali” dalam rangka mengakses keadilan bagi dirinya. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/laki-laki-harus-dilibatkan-dalam-memerangi-kekerasan-terhadap-perempuan-85333">Laki-laki harus dilibatkan dalam memerangi kekerasan dalam perempuan</a></em></p>
<hr>
<p>Fakta bahwa korban pernah berhubungan seksual atau mengalami kekerasan seksual berulang, tidak boleh mengurangi penghormatan negara atas hak-hak korban. Bukti tersebut tidak boleh dijadikan sebagai alasan peringan oleh hakim. Sudah dijelaskan sebelumnya, pada kekerasan seksual berulang, terjadi karena korban tidak berdaya akibat relasi kuasa yang timpang. </p>
<p>Dengan demikian, ada beberapa hal yang penting untuk diperbaiki dalam sistem hukum pidana kita. Pertama, negara wajib merevisi, menghapus, dan memperbaiki peraturan perundang-undangan yang merugikan perempuan berdasarkan <a href="http://www.kontras.org/baru/Kovensi%20Diskriminasi%20Perempuan.pdf">Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan</a> yang sudah diratifikasi oleh Indonesia pada 1987. </p>
<p>Kedua, negara wajib memperbaiki <em>standard operating procedure</em> dari proses penyidikan. Misalnya: mengubah redaksional pertanyaan kepada korban dan melakukan pemeriksaan dengan menghadirkan pihak psikolog yang sudah terlatih dalam penanganan kasus kekerasan seksual. </p>
<p>Kedua hal tersebut penting dilakukan pada tahap penyelidikan, penyidikan, dan di ruang sidang dalam mengakomodir kebutuhan korban. Sudah tersedia <a href="https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-badilag/inilah-materi-pelatihan-perma-nomor-3-tahun-2017">Peraturan Mahkamah Agung No. 3/2017 terkait dengan Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum</a> untuk hakim. Perlu juga panduan demikian untuk polisi dan jaksa, khususnya untuk penggalian informasi kepada korban kekerasan seksual. </p>
<p>Ketiga, penting dipikirkan penguatan dan perluasan unit perempuan dan anak di kepolisian. Penguatan itu baik dari aspek kualitas maupun kuantitas sumber daya manusia dan dukungan lembaga. </p>
<p>Semua perbaikan tersebut penting dilaksanakan karena korban kekerasan seksual adalah manusia. Tidak ada hal yang nyaman terkait dengan kekerasan tersebut.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/85997/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Lidwina Inge Nurtjahyo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pertanyaan “apakah nyaman” saat pemerkosaan sering diajukan penyidik pada korban pemerkosaan. Pertanyaan semacam ini menempatkan penyintas pada posisi “dikorbankan berulang-ulang”.Lidwina Inge Nurtjahyo, Lecturer of law and gender studies, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.