Menu Close
Milea (Vanesha Prescilla (left)) dan Dilan (Iqbal Ramadhan) dalam sebuah adegan di trailer resmi film Dilan 1991. www.youtube.com

Film Dilan: Potret nostalgia remaja zaman Orde Baru

Hanya tigatiga hari setelah hari pertama pemutarannya pada akhir bulan Februari lalu, Dilan 1991 mencetak sukses luar biasa dengan menarik minat dua juta penonton ke gedung bioskop untuk menonton film tersebut. Film yang merupakan kisah lanjutan dari Dilan 1990 ini diharapkan mampu mengulang sukses film pertamanya tersebut yang telah menjadi film terlaris kedua sepanjang sejarah perfilman Indonesia. Dilan 1990 yang dirilis tahun lalu ditonton oleh 6.2 juta penonton.

Karena sangat populer, Presiden Joko “Jokowi” Widodo bahkan menggunakan judul film tersebut sebagai salah satu slogan dalam kampanye pemilihan presiden (pilpres) yang diikutinya. Jokowi membuat istilah Digital Melayani yang disingkat menjadi “Dilan”. Istilah ini merujuk kepada pembaruan sistem pelayanan elektronik pemerintah kepada publik.

Dari aspek alur cerita, Dilan 1991 sebenarnya secara umum tidak berbeda dengan film-film genre drama komedi romantik Hollywood. Sekuel ini meneruskan cerita romantis antara Dilan (Iqbal Ramadhan) dan Milea (Vanesha Prescilla).

Namun, serial film Dilan menjadi menarik karena latar belakang cerita film dapat menjadi semacam jendela, bagi remaja masa kini yang dilahirkan pada tahun 1990-an, untuk melihat potret kehidupan atau pergaulan remaja di kota besar, seperti Bandung, pada masa ketika Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru pimpinan presiden Soeharto.

Penulis novel Dilan, Pidi Baiq dan sutradara film Dilan 1990 dan Dilan 1991 Fajar Bustomi mampu menggambarkan sebuah episode dinamika kehidupan remaja di kota Bandung dalam balutan budaya politik Orde Baru. Genre drama remaja romantis menjadi pilihan tepat sebagai medium penyampaian sisi sejarah sebuah bangsa secara halus dan ringan.

Potret kecil tentang Indonesia di era Orde Baru

Setelah lebih dari 30 tahun berkuasa, akhirnya pemerintahan Soeharto jatuh pada tahun 1998. Rata-rata usia penonton Dilan yang masih remaja lahir pada periode awal reformasi dan setidaknya berusia 18 hingga 20-an.

Jadi mereka tidak mengalami sebuah masa ketika pemerintahan Soeharto berkuasa. Kepemimpinan Soeharto diyakini membuat jutaan orang Indonesia menjadi korban kekerasan rezim Orde Baru.

Kala itu, pemerintahan Soeharto, juga menciptakan sebuah kebijakan politis yang menempatkan figur ibu di dalam posisi domestik. Peran perempuan ditempatkan tidak lebih sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga, yang mempunyai tugas utama mengurusi rumah tangga, membantu suami dan mendidik anak-anak agar menjadi generasi muda yang berjiwa Pancasila.

Posisi domestik ini tidak memungkinkan perempuan berkiprah secara luas yang setara dengan laki-laki. Budayawan feminis Julia Suryakusuma menyebut ideologi patriarki Orde Baru ini sebagai paham yang berpusat pada Ibu“.

Di dalam film ini, figur ibu dari Dilan dan Milea, yang diperankan masing-masing oleh Ira Wibowo dan Happy Salma, sangat sibuk mengurusi rumah tangga. Keduanya sama-sama membantu anak-anak mereka di dalam maupun di luar rumah, bahkan memberikan dorongan bagi hubungan Dilan dan Milea. Sementara para suami, yang dua-duanya berprofesi sebagai tentara, tampak sering tak terlihat dalam film ini.

Dalam sebuah adegan, Ibu Dilan memberitahu Milea lewat telepon bahwa Dilan ditangkap polisi karena ketahuan membawa senjata milik ayahnya untuk dipakai dalam penyerbuan geng motor. Adegan ini terasa dramatis karena mengingatkan saya tentang dekatnya militer dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sipil di zaman Orde Baru.

Narasi dan perspektif Remaja

Serial film Dilan ini dibuat berdasarkan novel trilogi dengan judul yang sama karya Pidi Baiq. Novel tersebut menceritakan kisah cinta remaja, kehidupan sekolah, solidaritas antar teman beserta konflik antar mereka dan dengan generasi yang lebih tua.

Alur ceritanya mengingatkan saya kepada sebuah film drama remaja musikal Hollywood yang berjudul Grease. Grease bercerita tentang hubungan romantis antara Sandy (Olivia Newton-John), seorang siswi, dengan Danny (John Travolta), seorang anggota geng motor. Pada akhir cerita, Sandy digambarkan mengubah dandanan rambut dan bajunya mirip seperti anggota geng motor, demi cintanya kepada Danny.

Namun dalam Dilan, Milea mengambil sikap tegas tidak menyukai keterlibatan Dilan dan pertemanannya dengan sebuah geng motor. Milea berkali-kali mencoba "menarik” Dilan keluar dari pergaulan dan perkelahian geng motor namun gagal. Grease dan Dilan sama-sama memperlihatkan bagaimana anak-anak muda ini sedang menjajaki sisi-sisi kehidupan remaja dalam dunianya yang masih labil secara emosional.

Dalam dua novel pertama yang telah diadaptasi sebagai film, penonton mengikuti alur cerita dari sudut pandang Milea, sedangkan pada novel atau bagian terakhir trilogi yang juga akan difilmkan, giliran Dilan yang akan menjadi narator.

Dan ketika nanti trilogi novel Dilan ini semuanya selesai diadaptasi ke dalam film, penonton barangkali bisa memahami bagaimana uniknya jika sebuah cerita yang sama disampaikan oleh dua orang yang berbeda. Di manakah letak perbedaannya dan di manakah titik temunya?

Namun yang mungkin paling ditunggu oleh penonton adalah ini: kejelasan dari apa sebenarnya motivasi Dilan bergabung dalam sebuah geng motor. Apakah Dilan sedang melampiaskan kekesalannya atau kemarahannya kepada sang Ayah karena sering tak nampak di rumah? Jika narasi yang disampaikan Milea tidak menjawab pertanyaan ini, mungkin jawabannya ada pada saat Dilan sendiri yang akan bercerita di bagian akhir dari trilogi cerita ini.

Sekuel yang kreatif

Dalam dua tahun terakhir, film Dilan telah diterima dengan baik oleh para penontonnya. Namun saya melihat sekuel memang seharusnya tidak hanya berhenti menjadi alat untuk mengulang kesuksesan komersial film sebelumnya. Film sekuel juga harus memperkaya visi dan imajinasi penontonnya. Sebab, saya yakin bahwa penonton akan semakin cerdas dan tentunya mereka akan menuntut sebuah sekuel yang “lebih berkualitas” dari film sebelumnya. Dan ini menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi para pembuat film.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now