tag:theconversation.com,2011:/fr/topics/dunia-riset-42792/articlesDunia riset – The Conversation2019-07-14T05:21:52Ztag:theconversation.com,2011:article/1200002019-07-14T05:21:52Z2019-07-14T05:21:52ZStrategi menghindari trauma bagi peneliti saat riset di daerah rawan bencana<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/283527/original/file-20190710-44457-a5xj69.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Korban tsunami di Palu, 11 Oktober 2018. Peneliti yang melibatkan partisipan korban bencana harus menyadari adanya risiko re-trauma bagi partisipan.
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/palu-indonesia-october-11th-2018-victims-1210776760?src=xwWOR-JDAR6qH8dis1iEpA-1-76&studio=1">Fajrul Islam/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir bandang, dan kebakaran hutan tak hanya meninggalkan trauma mendalam bagi para korban di lokasi bencana, tapi juga para peneliti yang menggali data di daerah rawan bencana. Peneliti sebaiknya menyusun rencana menghadapi situasi darurat di lapangan.</p>
<p>Sebuah riset di Australia melaporkan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26789530">81 persen peneliti yang mewawancarai penyintas bencana kebakaran</a> menderita gejala-gejala stres akibat trauma sekunder yaitu trauma yang ditimbulkan akibat terpapar pengalaman trauma orang lain. Indikasi stres ini mulai dari munculnya rasa sedih berlebihan, mati rasa secara emosi, hingga gangguan tidur dan konsentrasi, terutama jika mereka pernah merasakan trauma yang sama dengan partisipan riset. </p>
<p>Pelajaran yang mahal dapat diambil dari tewasnya sepasang peneliti gunung berapi dari Prancis <a href="https://link.springer.com/article/10.1007%2FBF00569946">Catherine dan Maurice Kafft</a> akibat awan panas gunung Unzen Jepang pada 1991. Juga dari kasus bunuh diri akibat depresi pada 1986 dalam kasus <a href="https://www.latimes.com/archives/la-xpm-1988-04-30-mn-2023-story.html">Valery Legasov</a>, ahli kimia dan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Uni Soviet yang menyelidiki penyebab meledaknya reaktor nuklir <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Chernobyl_disaster">Chernobyl</a> di Ukraina era Uni Soviet. </p>
<p>Artikel ini terinspirasi dari pengalaman penulis saat <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2212420918304588">mengumpulkan data di daerah pasca bencana di Aceh</a> selama enam bulan pada 2017. Ada beberapa saran untuk para peneliti yang bersiap akan meneliti di daerah rawan bencana, yaitu menyusun rencana kontingensi guna merespons ketidakpastian atau ancaman di luar kontrol diri sendiri, meningkatkan kemampuan berhadapan dengan partisipan yang sensitif, dan mencegah terjadinya stres akibat trauma sekunder. </p>
<p>Sayangnya, walau persiapan ini sangat penting sebagaimana <a href="https://dartcenter.org/sites/default/files/DCE_JournoTraumaHandbook.pdf">jurnalis meliput di daerah konflik dan rawan</a>, belum ada universitas yang mengajarkan tahap-tahap persiapan ini untuk para peneliti mereka dan mahasiswa riset doktoral. </p>
<h2>Susun rencana kontingensi</h2>
<p>Kini riset terkait bencana alam makin meningkat seiring dengan meningkatnya kejadian bencana alam di dunia. Pada dekade 1970-an, secara global tercatat sekitar 100 bencana alam yang dilaporkan setiap tahunnya, dari banjir, gempa hingga tsunami. Namun setelah tahun 2.000 <a href="https://ourworldindata.org/natural-disasters">angka bencana</a> yang dilaporkan meningkat tiga kali lipat lebih tiap tahunnya.</p>
<p>Dampak bencana, dari berbagai sisi ilmu pengetahuan, merupakan fenomena menarik bagi para peneliti. Melalui riset para ilmuwan berupaya mencari cara mencegah dan memitigasinya serta meningkatkan ketahanan penduduk di area rawan bencana. Namun demikian, mencari data di area bencana membutuhkan persiapan agar peneliti mampu menghadapi keadaan yang berpotensi menimbulkan masalah di lapangan. </p>
<p>Agar tetap aman hingga riset selesai, peneliti di daerah rawan bencana perlu menyusun beberapa rencana untuk menjaga keamanan peneliti dan partisipan riset. Rencana tersebut berupa langkah-langkah prosedural untuk menurunkan risiko terjadinya korban, baik dalam bentuk <a href="http://www.princeton.edu/%7Eoa/safety/protocol">protokol keselamatan</a>, kebijakan, ataupun petunjuk teknis, tergantung pada tingkat kekuatan pelaksanaan rekomendasi tersebut. </p>
<p>Berdasarkan pengalaman, peneliti perlu menyusun rencana kontingensi yang lebih lengkap daripada sekadar protokol keselamatan. Rencana kontingensi mencakup: </p>
<ol>
<li>Kemungkinan terjadinya bencana tertentu, jenisnya, kapasitas, dan kerentanan masyarakat di sekitarnya </li>
<li>Rencana evakuasi di mana saja peneliti berada, termasuk tempat berkumpul dengan keluarga saat terpisah ketika bencana terjadi<br></li>
<li><a href="https://theconversation.com/bagaimana-jejaring-sosial-dapat-menyelamatkan-hidup-saat-terjadi-bencana-103849">Faktor yang berpotensi mendukung evakuasi</a> seperti perilaku masyarakat, pengetahuan terhadap jalur evakuasi, <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/mice.12113">tendensi arah gerak massa, dan kepatuhan terhadap aturan evakuasi</a>. </li>
</ol>
<p>Saya merasakan manfaat dari rencana kontingensi gempa dan tsunami yang sudah saya uji beberapa kali sebelum pengumpulan data di Aceh pada 2017. Ketika suatu hari benar-benar terjadi gempa besar, <a href="https://theconversation.com/meninjau-ulang-strategi-peringatan-dini-tsunami-di-indonesia-cermin-dari-palu-104238">sistem peringatan dini tsunami</a> diaktifkan dan terjadi banyak kecelakaan lalu lintas akibat upaya evakuasi yang dilakukan masyarakat, saya mengajak partisipan melaksanakan apa yang ada dalam rencana kontingensi tersebut. </p>
<p>Saat itu kami memilih untuk berjalan kaki dan berkumpul di tempat yang aman dan diperkirakan cukup tinggi dan tak terdampak tsunami. Di sana kami menunggu hingga beberapa jam, baru kemudian bergerak menuju tempat berkumpul lain di daerah aman yang telah menjadi kesepakatan dengan keluarga dan tercatat dalam rencana kontingensi gempa dan tsunami yang telah kami susun sebelumnya. </p>
<p>Dengan cara tersebut kami tidak terjebak dalam arus lalu lintas yang berbahaya akibat kepanikan warga saat evakuasi terjadi dan selamat dari bencana gempa (dan potensi tsunami). </p>
<h2>Menghadapi partisipan yang sensitif</h2>
<p>Dalam penelitian yang melibatkan partisipan yang terdampak bencana, penting bagi periset untuk menyadari adanya risiko bangkitnya trauma lagi bagi partisipan. </p>
<p>Memang sebagian besar responden memiliki <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1077800403009003001">kondisi mental yang cukup kuat untuk menyelesaikan wawancara</a>. Partisipan yang kuat memiliki <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1111/j.0963-7214.2005.00347.x?journalCode=cdpa">cara sendiri untuk menyelesaikan masalah</a> dan percaya bahwa manfaat penelitian lebih besar daripada stres yang dihasilkan sebagai efek samping dari wawancara yang dilakukan. </p>
<p>Namun demikian ada juga partisipan yang mungkin menolak untuk menjawab pertanyaan wawancara karena ingin menghindari<a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26540082">gejala trauma ulang</a> (seperti kilasan ingatan yang mengerikan, mimpi buruk atau reaksi trauma lainnya). </p>
<p>Reaksi menghindar tersebut bisa jadi adalah bagian dari mekanisme adaptasi terhadap trauma, namun mungkin juga merupakan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23318005">gejala depresi, kecemasan, atau PTSD (post traumatic stress disorder)</a>. Jika ini terjadi, peneliti sebaiknya berusaha memahami kondisi partisipan dan berhati-hati memilih waktu yang tepat untuk wawancara. Tunggulah hingga keluarga mereka yang meninggal selesai dimakamkan, partisipan telah memiliki tempat berteduh yang layak, dan mereka memiliki akses terhadap bantuan hidup pasca bencana. </p>
<p>Peneliti juga perlu memfasilitasi partisipan untuk mendapat bantuan psikologis ketika wawancara menimbulkan munculnya gejala trauma. </p>
<p>Strategi lainnya adalah menyusun urutan pertanyaan wawancara dengan meletakkan pertanyaan paling sulit dan sensitif di bagian akhir wawancara. Sebaiknya juga ada sesi tanya-jawab setelah wawancara untuk mengurangi stres. Yang paling penting adalah selalu menerapkan pendekatan komunikasi yang baik, misalkan prinsip <a href="https://books.google.com.au/books/about/Talking_with_Patients.html?id=iTFrAAAAMAAJ&redir_esc=y">‘CARE’ communication</a> , yang terdiri dari elemen ‘Comfort, Acceptance, Responsiveness dan Empathy’, yang memperhitungkan faktor kenyamanan, penerimaan, daya respons, dan rasa empati. </p>
<p>Sebagai referensi tambahan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menerbitkan <a href="https://www.who.int/mental_health/publications/guide_field_workers/en/">pedoman bagi relawan</a> yang dapat dimanfaatkan oleh para peneliti yang mencari data dan interview di daerah rawan bencana. </p>
<h2>Mencegah stres karena trauma sekunder</h2>
<p>Peneliti yang bersentuhan dengan partisipan yang mengalami trauma psikologis dan terpapar dengan kisah mereka saat memberikan bantuan kepada mereka juga berisiko menderita stres akibat trauma sekunder. </p>
<p>Stres akibat trauma sekunder ini dapat terjadi sebagai akibat akrabnya interaksi peneliti dengan penyintas bencana. </p>
<p>Gejala trauma sekunder antara lain munculnya rasa takut berlebihan, mudah terkejut, gangguan tidur, gangguan fisik seperti jantung mudah berdebar, tangan mudah berkeringat, dan sesak nafas. Gejala tersebut serupa dengan gangguan stres setelah trauma (<em><a href="https://hellosehat.com/penyakit/post-traumatic-stress-disorder-ptsd/">post traumatic stress disorder, PTSD</a></em>), bedanya ada pada sumber trauma. Penderita PTSD mengalami sendiri trauma tersebut, sedangkan penderita trauma sekunder terpapar trauma karena mendengar kisah atau berinteraksi akrab dengan penderita trauma. </p>
<p>Untuk mencegah dan mengatasi trauma sekunder, peneliti sebaiknya membiasakan hidup sehat, termasuk mengkonsumsi makanan sehat, olahraga, manajemen stres yang baik, dan menjaga kualitas tidur. </p>
<p>Jika peneliti merasakan adanya terlintas keinginan untuk bunuh diri, maka dia perlu konsultasi psikologis untuk mengidentifikasi faktor risiko. Perlu ada konsultan yang dapat dihubungi lewat telepon jika ada krisis mental. </p>
<p>Bila keadaan lebih buruk mungkin terjadi, misalnya peneliti memang pernah mencoba bunuh diri, maka perlu ditambahkan upaya menghindarkan diri sendiri dari kesempatan bunuh diri. Misalnya menyingkirkan benda tajam dari sekelilingnya, selalu mengevaluasi diri, dan upaya serius lainnya. </p>
<p>Persiapan penelitian sebaiknya mempertimbangkan kemungkinan adanya masalah di lapangan. Saran tersebut di atas mungkin bermanfaat pada saat mempersiapkan dan pelaksanaan riset di lapangan. </p>
<p>Refleksi pasca penelitian juga penting agar peneliti terus belajar dan memproduksi pengetahuan baru untuk mengatasi masalah lain dalam riset berikutnya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/120000/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rosaria Indah menerima dana dari LPDP (Lembagai Pengelola Dana Pendidikan) untuk program PhD di University of Sydney.</span></em></p>Peneliti yang bersentuhan dengan partisipan yang mengalami trauma psikologis juga berisiko menderita stres akibat trauma sekunder.Rosaria Indah, PhD Student, University of SydneyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/839842017-09-14T10:11:46Z2017-09-14T10:11:46ZIndonesia ingin jadi No. 1 di ASEAN, tapi dalam dunia ilmu pengetahuan kolaborasi lebih penting<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/185813/original/file-20170913-23106-1ilmwio.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Studi menunjukkan di abad 21 semakin banyak publikasi ilmiah yang merupakan hasil kerja tim.</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Setelah untuk pertama kalinya mengalahkan Thailand dalam jumlah publikasi akademis, Indonesia optimis segera mengejar Singapura dan Malaysia—yang lebih produktif—di 2019. Namun, di abad 21 dunia ilmu pengetahuan lebih membutuhkan kolaborasi daripada kompetisi. </p>
<p>Untuk mengukur pencapaian akademis Indonesia, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti), juga beberapa universitas, biasanya mengandalkan jumlah artikel ilmiah yang diterbitkan di jurnal yang masuk dalam indeks Scopus (salah satu basis data akademis terbesar di dunia) dan peringkat universitas dunia.</p>
<p>Bulan lalu <a href="http://sumberdaya.ristekdikti.go.id/index.php/2017/08/07/publikasi-internasional-indonesia-lampaui-thailand-dirjen-ghufron-apresiasi-dosen-dan-peneliti/">kementerian mengumumkan</a> bahwa Indonesia telah melampaui Thailand dalam hal jumlah publikasi yang ditulis akademisi Indonesia (9.349 artikel untuk Indonesia dan 8.204 untuk Thailand sampai 31 Juli 2017). Itu artinya Indonesia ada di posisi ketiga di ASEAN, di bawah Malaysia dan Singapura.</p>
<p>Masih harus dilihat apakah Indonesia bisa tetap di posisi ketiga setelah 2017 berakhir. Namun Kemristekdikti optimis Indonesia tak lama lagi Indonesia akan menyamai Singapura, yang ada di posisi kedua, dan di akhir 2019 bahkan bisa menyalip Malaysia dan menjadi nomor satu di ASEAN.</p>
<p>Data yang dikutip menteri adalah kabar baik yang harus kita puji. Kita juga harus berbangga. Namun, kita juga perlu secara kritis memeriksanya.</p>
<h2>Jangan hanya lihat jumlah publikasi</h2>
<p>Kita perlu melihat lebih dari sekadar jumlah publikasi. Basis data bibliometrik SCImago <a href="http://www.scimagojr.com/countryrank.php?year=2016">mencatat pada tahun 2016</a> Indonesia menghasilkan 11.470 publikasi, yang dikutip (sitasi) sebanyak 4.604 kali. Thailand menghasilkan 14.176 publikasi yang dikutip 11.331 kali.</p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/Nzt3m/4/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" allowfullscreen="allowfullscreen" webkitallowfullscreen="webkitallowfullscreen" mozallowfullscreen="mozallowfullscreen" oallowfullscreen="oallowfullscreen" msallowfullscreen="msallowfullscreen" width="100%" height="380"></iframe>
<p>Yang menarik dicermati, jumlah sitasi Indonesia (4.604) bahkan lebih kecil dari Vietnam yang menghasilkan 4.970 sitasi dari “hanya” 5.563 publikasi tahun lalu. </p>
<p>Ada beberapa alasan mengapa satu karya ilmiah dikutip atau tidak. Pada dasarnya sitasi menandakan suatu tulisan dianggap relevan oleh peneliti lain. Data SCImago menunjukkan sitasi Indonesia jauh di bawah Thailand, Singapura, dan Malaysia.</p>
<p>Data ini menunjukkan Indonesia harus bekerja lebih keras untuk menghasilkan publikasi yang akan dikutip akademisi lain. Indonesia tidak hanya perlu menerbitkan lebih banyak publikasi, tetapi juga membuatnya lebih relevan bagi peneliti lain.</p>
<h2>Peringkat universitas</h2>
<p>Sitasi penting karena ia terkait dengan kinerja universitas dalam kalkulasi peringkat universitas. Ada banyak jenis peringkat universitas dunia. Tetapi yang dianggap paling bisa diandalkan dan menyeluruh adalah Times Higher Education. Peringkat Times mengonfirmasi posisi Indonesia dibandingkan Thailand, Singapura, dan Malaysia.</p>
<p>Peringkat Times menggunakan <a href="https://www.timeshighereducation.com/student/advice/world-university-rankings-explained">lima indikator</a>: pengajaran, riset, <em>sitasi</em>, visi internasional, dan dampak riset ke industri. Peringkat Times terbaru mencantumkan <a href="https://www.timeshighereducation.com/world-university-rankings/2018/world-ranking#!/page/0/length/25/locations/SG/sort_by/rank/sort_order/asc/cols/stats">dua universitas di Singapura</a> di 100 teratas, menjadikan Singapura sebagai yang terbaik dibanding tiga negara lain.</p>
<p>Tiga negara lain tidak memiliki universitas di 100 teratas tetapi <a href="https://www.timeshighereducation.com/world-university-rankings/2018/world-ranking#!/page/0/length/25/locations/MY/sort_by/rank/sort_order/asc/cols/stats">Malaysia mencatatkan sembilan</a> universitas di seluruh daftarnya yang berisi lebih dari 1.000 institusi. Salah satu universitas Malaysia masuk di 400 teratas.</p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/pentingnya-asean-melibatkan-masyarakat-sipil-untuk-memecahkan-persoalan-regional-84005">Pentingnya ASEAN melibatkan masyarakat sipil untuk memecahkan persoalan regional</a></em></p>
<hr>
<p>Thailand mencatat 10 universitas di daftar tersebut, salah satunya masuk 600 teratas.</p>
<p>Sementara, tiga dari universitas terbaik di <a href="https://www.timeshighereducation.com/world-university-rankings/2018/world-ranking#!/page/0/length/25/locations/ID/sort_by/rank/sort_order/asc/cols/stats">Indonesia</a>—Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Indonesia—masuk dalam 1.000 teratas dan Institut Pertanian Bogor ada di kelompok 1.000+.</p>
<p>Tahun ini <a href="https://www.timeshighereducation.com/world-university-rankings/2017/young-university-rankings#!/page/0/length/25/sort_by/rank/sort_order/asc/cols/stats">Times Higher Education’s Young University Rankings</a>, yaitu daftar 200 universitas top dunia yang usianya di bawah 50, mencantumkan satu universitas di Singapura, enam di Malaysia, dan satu di Thailand. Tak ada satu pun dari Indonesia.</p>
<p>Peringkat Times Higher Education menunjukkan Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar mengalahkan jumlah publikasi Malaysia atau Singapura di 2019 tetapi juga meningkatkan relevansi risetnya.</p>
<h2>Abad kolaborasi demi ilmu pengetahuan</h2>
<p>Pemerintah telah berupaya memberi insentif dalam bentuk <a href="http://research.ui.ac.id/research/id/pengumuman/pengumuman-insentif-artikel-pada-jurnal-internasional-tahun-2016/">uang</a> agar akademisi menerbitkan lebih banyak tulisan akademis, tetapi akademisi Indonesia harus bisa berupaya lebih jauh dari itu.</p>
<p>Riset menemukan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4076783/">dunia ilmu abad 21</a> adalah era untuk bekerja dengan peneliti lain dari disiplin yang berbeda dan bahkan dengan pemangku kepentingan publik lainnya di luar dunia akademis. Pendekatan kolaboratif ini bisa menjadi model bagi Indonesia dalam upayanya meningkatkan kualitas pendidikan tinggi. Kerja sama seperti ini bisa memfasilitasi visi bersama sehingga masalah-masalah kompleks bisa diatasi dengan lebih baik.</p>
<p><a href="http://www.kellogg.northwestern.edu/faculty/jones-ben/htm/Teams.ScienceExpress.pdf">Riset lain</a> menunjukkan tren sejak 1960an bahwa publikasi yang ditulis oleh tim peneliti lebih banyak jumlahnya, lebih sering dikutip, dan memberi dampak ilmiah yang lebih besar dibandingkan publikasi yang dikerjakan oleh penulis tunggal.</p>
<p>Studi-studi ini—keduanya ditulis oleh tim—berargumen bahwa kerja sama tim semakin penting dalam produksi pengetahuan.</p>
<h2>Kolaborasi, bukan kompetisi</h2>
<p>Kemristekdikti perlu lebih fokus meningkatkan riset yang dikerjakan oleh tim dan mendorong kolaborasi antara peneliti Indonesia dan peneliti luar negeri, terutama dengan negara dan universitas dengan reputasi baik dalam hal publikasi ilmiah.</p>
<p>Data dari SCImago di bawah ini menunjukkan persentase publikasi Indonesia yang dikerjakan oleh tim penulis yang lebih dari satu negara terus menerus turun sementara persentase Singapura naik terus.</p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/vp9Np/1/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" allowfullscreen="allowfullscreen" webkitallowfullscreen="webkitallowfullscreen" mozallowfullscreen="mozallowfullscreen" oallowfullscreen="oallowfullscreen" msallowfullscreen="msallowfullscreen" width="100%" height="305"></iframe>
<p>Selain <a href="http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2017/02/PERMEN-NOMOR-20-TAHUN-2017-TENTANG-TUNJANGAN-PROFESI-DAN-TUNGANGAN-KEHORMATAN-SA.pdf">peraturan menteri</a> tentang insentif bagi cendekiawan yang menulis artikel ilmiah, kementerian juga sebaiknya mengalokasikan hibah riset yang secara spesifik mendorong proyek kolaboratif.</p>
<p>Kolaborasi sebaiknya dilakukan oleh peneliti Indonesia dan peneliti luar negeri untuk menghindari <a href="https://theconversation.com/insularity-leaves-indonesia-trailing-behind-in-the-world-of-social-research-53973">kecupetan</a> dunia akademis.</p>
<p>Indonesia mungkin bisa memulai kerja sama dengan tetangga sendiri. Akademisi Indonesia mungkin tidak perlu bersaing dengan akademisi Thailand, Singapura, dan Malaysia. Yang harus mereka lakukan adalah berkolaborasi dengan mereka.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/83984/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dicky Pelupessy tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Jumlah publikasi ilmiah Indonesia meningkat terus dan menyalip Thailand. Ini kabar baik. Tapi daripada bersaing dengan negara ASEAN, Indonesia butuh kolaborasi dalam meningkatkan mutu pendidikan.Dicky Pelupessy, Lecturer, Faculty of Psychology, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/834702017-09-05T10:20:41Z2017-09-05T10:20:41ZMenelusuri hubungan antara riset dasar dan penerapannya di kehidupan sehari-hari<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/184665/original/file-20170905-28027-4bdzgz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=6%2C0%2C4281%2C2848&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Riset dasar dan terapan berkelindan dalam ekosistem dua-arah. </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Apa hubungan antara memesan kendaraan menggunakan <a href="https://www.uber.com/">Uber</a> dan ilmu geometri abad ke-19 dan teori relativitas Einstein? </p>
<p>Cukup banyak, ternyata. </p>
<p>Uber dan aplikasi mobile berbasis lokasi amat bergantung pada GPS untuk menghubungkan pengguna dengan mobil-mobil yang berada di sekitarnya. Teknologi GPS membutuhkan jaringan satelit untuk mengirimkan data dari dan ke bumi. </p>
<p>Tetapi jangan lupa, satelit tidak akan dapat menyalurkan informasi dengan benar apabila jam di sistemnya gagal memperhitungkan perbedaan waktu di luar angkasa—salah satu prinsip teori relativitas Einstein. Teori Einstein yang masyhur itu bergantung pada geometri Riemannian, yang muncul di abad ke-19 untuk menjelaskan bagaimana ruang dan kurva berinteraksi-tapi saat itu dianggap <a href="https://global.oup.com/academic/product/the-symbolic-universe-9780198500889">tidak orisinal</a> dan tak ada gunanya.</p>
<p>Inti cerita ini bukan hanya tentang ahli matematika yang tidak mendapatkan penghargaan yang selayaknya. Namun, kisah ini menunjukkan perdebatan lama tentang nilai ilmu dasar dan kecendekiawanan. Seberapa jauh hubungan antara inovasi yang terjadi di pasar sektor swasta, yang mendorong kemakmuran ekonomi secara luas, dan riset ilmu dasar?</p>
<p>Pertanyaan ini penting. Banyak <a href="https://doi.org/10.1126/science.aal0890">pemasukan pajak dan sumber-sumber lain digunakan untuk mendanai penelitian-penelitian</a> di pusat-pusat akademis, laboratorium pemerintahan, dan tempat lain. Namun apa keuntungan yang kita dapat dari investasi besar untuk penemuan baru? Apakah penelitian ilmiah secara meyakinkan menghasilkan kemajuan yang dapat digunakan secara praktis? </p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/nNjkn/2/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" allowfullscreen="allowfullscreen" webkitallowfullscreen="webkitallowfullscreen" mozallowfullscreen="mozallowfullscreen" oallowfullscreen="oallowfullscreen" msallowfullscreen="msallowfullscreen" width="100%" height="500"></iframe>
<p>Ada dua cara pandang yang bertolak belakang dalam melihat nilai penelitian dasar. Contohnya, sesudah Perang Dunia II pendiri National Science Foundation, badan negara independen Amerika Serikat yang mendukung riset-riset dasar, menggambarkan penelitian ilmiah sebagai <a href="https://www.nsf.gov/od/lpa/nsf50/vbush1945.htm#ch3">lumbung berharga pengetahuan baru yang dapat diterapkan</a>. </p>
<p>Sebaliknya, cara pandang “menara gading” cenderung melihat sains sebagai kegiatan yang terisolasi dan jarang menghasilkan penerapan praktis. Ini mirip dengan ide bahwa <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Project_Hindsight">inovasi yang terjadi di sektor swasta jarang bergantung</a> pada penelitian di universitas atau laboratorium pemerintah.</p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/UNVJn/2/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" allowfullscreen="allowfullscreen" webkitallowfullscreen="webkitallowfullscreen" mozallowfullscreen="mozallowfullscreen" oallowfullscreen="oallowfullscreen" msallowfullscreen="msallowfullscreen" width="100%" height="500"></iframe>
<p>Jika satu perspektif lebih tepat dibandingkan yang lain, implikasinya besar untuk kebijakan–terutama sejauh mana pemerintah mendanai penelitian ilmiah. Sementara, pengeluaran Pemerintah Federal Amerika Serikat untuk riset dasar (sebagai bagian dari PDB atau sebagai bagian dari anggaran federal) telah menurun selama beberapa dekade terakhir. </p>
<p>Maka itu kami <a href="http://science.sciencemag.org/cgi/doi/10.1126/science.aam9527">merancang sebuah penelitian untuk memeriksa</a> hubungan antara penemuan yang dipatenkan dan penelitian ilmiah. </p>
<h2>Berapa derajat keterpisahan?</h2>
<p>Riset mengenai topik ini sering kali meneliti apakah ilmuwan di universitas atau pusat penelitian memproduksi paten atau memulai usaha sendiri; itu mendukung kesimpulan adanya hubungan langsung antara <a href="https://doi.org/10.17226/13001">ilmuwan dan penerapan</a>. </p>
<p>Jenis penelitian semacam itu mengandung persoalan. Misalnya, penemuan-penemuan seperti Riemann yang diceritakan di awal dapat diterapkan oleh siapa pun yang akhirnya mendapatkan informasi soal penemuan tersebut, bahkan bertahun-tahun sesudah masa peneliti pertama. Lebih lanjut, sebuah penelitian dapat menginsipirasi penelitian lain yang pada akhirnya diterapkan. Artinya, pada akhirnya ada hubungan tak langsung antara riset dan inovasi yang didukungnya. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/insularitas-akademis-membuat-indonesia-tertatih-dalam-dunia-riset-sosial-79196">Insularitas akademis membuat Indonesia tertatih dalam dunia riset sosial</a></em></p>
<hr>
<p>Untuk mencatat hubungan langsung dan tak langsung antara penelitian dasar dan penerapan terkait, kami mempelajari hubungan antara 4,8 juta paten yang diterbitkan <a href="https://www.uspto.gov/">United States Patent and Trademark Office</a> antara 1976 dan 2015 dan keseluruhan 32 juta artikel jurnal yang diterbitkan sejak Perang Dunia II yang disusun dalam indeks di basis data <a href="https://clarivate.com/products/web-of-science/">Web of Science</a>.</p>
<p>Kebanyakan paten didaftarkan oleh lembaga bisnis. Ini merepresentasikan inovasi yang berpotensi dipasarkan. Dan kebanyakan artikel ilmiah mengalir dari universitas dan latar penelitian lainnya. </p>
<p>Maka menggunakan mereka sebagai alat ukur bukan hanya membantu penelusuran hubungan antara sains ke penemuan, tapi juga aliran pengetahuan dari lembaga-lembaga penelitian nirlaba ke perusahaan-perusahaan. (Data dengan jumlah besar dan mudah diakses untuk penelitian semacam ini baru tersedia di dekade terakhir; penelitian kami menerima manfaat dari era Big Data.) </p>
<p>Untuk menemukan kaitannya, kami menciptakan peta dengan gaya “jejaring sosial” yang menghubungkan paten dengan tulisan ilmiah menggunakan kutipan atau sitasi di tiap-tiap tulisan. Metode ini memanfaatkan fakta bahwa baik tulisan ilmiah dan paten menyediakan referensi dasar yang mereka gunakan. Kami menulis algoritma yang menemukan jarak terdekat dari dua hal-berdasarkan jumlah tulisan penghubung atau paten yang dikutip- dan secara efektif mengidentifikasi “garis keturunan ilmiah” di setiap paten/penemuan, bila ada. </p>
<h2>Sains tak diam di menara gading</h2>
<p>Kami menemukan hubungan yang tersebar luas antara penelitian ilmiah dan penerapan praktis di masa depan. </p>
<p>Meskipun ada tulisan ilmiah yang tak pernah dikutip di karya-karya sesudahnya, 80% artikel-artikel ilmiah yang dikutip paling tidak satu kali dapat dihubungkan dengan sebuah paten sesudahnya. Sementara, 61% paten terhubung dengan setidaknya satu artikel ilmiah. Bahkan, rata-rata, kebanyakan artikel dan paten di bidang sains hanya berjarak satu atau dua rujukan dari area studi lain. </p>
<p>Rata-rata jarak antara paten dari karya ilmiah di bidang-bidang abstrak seperti matematika lebih jauh daripada bidang lain seperti ilmu komputer, yang rata-rata jaraknya mendekati satu. Ini mengisyaratkan lebih banyak hubungan langsung antara riset dan penerapan. </p>
<p>Lebih penting lagi, paten-paten dengan dampak terbesar (berdasarkan ukuran penilaian pasar) cenderung yang paling ilmiah, dan bergantung secara langsung pada kemajuan ilmiah daripada paten-paten lainnya. </p>
<p>Secara keseluruhan, penemuan kami menunjukkan penelitian dasar itu penting. Kemajuan dalam bidang sains tidak seperti ungkapan “pohon yang tumbang di hutan tak terdengar oleh siapa pun”. Sebaliknya, mengamati anatomi sains, kami menemukan hubungan yang tersebar luas dengan paten-paten, terutama paten yang paling bernilai. </p>
<h2>Menuju Kuadran Pasteur</h2>
<p>Penelitian kami juga memberi pengaruh penting dalam hal memaksimalkan potensi dampak penelitian ilmiah. Apa cara terbaik bagi ilmuwan untuk memilih apa yang akan mereka teliti?</p>
<p>Pandangan romantis mengenai sains adalah ia utamanya didorong oleh rasa penasaran: Seorang peneliti memilih area penelitian karena dia terpukau oleh hal tersebut, terlepas dari potensi penerapannya-bahkan, fokus pada penerapan dianggap bertentangan dengan sains “sungguhan”. </p>
<p>Sebaliknya, penemuan kami menunjukkan bahwa penelitian yang paling dekat dengan penerapannya paling berpotensi memiliki dampak untuk pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Artikel-artikel ilmiah yang secara langsung dikutip oleh paten cenderung sangat sukses dalam pengembangan sains-dikutip dan dirujuk terus menerus oleh ilmuwan-ilmuwan lain. </p>
<p>Jadi fokus pada persoalan nyata sehari-hari dapat mendorong tidak hanya penerapan langsung tapi juga ilmu baru yang menawarkan kemungkinan kemajuan luar biasa bagi pemahaman kita atas dunia. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/181576/original/file-20170809-32177-5mrlcs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/181576/original/file-20170809-32177-5mrlcs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/181576/original/file-20170809-32177-5mrlcs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=464&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/181576/original/file-20170809-32177-5mrlcs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=464&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/181576/original/file-20170809-32177-5mrlcs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=464&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/181576/original/file-20170809-32177-5mrlcs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=584&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/181576/original/file-20170809-32177-5mrlcs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=584&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/181576/original/file-20170809-32177-5mrlcs.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=584&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Riset berdiam di dua sumbu: Seberapa banyak didorong oleh rasa ingin tahu dan seberapa banyak oleh solusi kehidupan nyata?</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://judithcurry.com/2013/05/15/pasteurs-quadrant/">Climate Etc.</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tipe penelitian dengan orientasi penerapan semacam ini masuk dalam “<a href="https://www.brookings.edu/book/pasteurs-quadrant/">Kuadran Pasteur</a>”, dinamai dari ilmuwan ternama abad ke-19. Sebagai peneliti, <a href="https://www.chemheritage.org/historical-profile/louis-pasteur">Louis Pasteur</a> fokus pada isu-isu praktis seperti keselamatan makanan. Namun usahanya untuk menghilangkan kuman-kuman berbahaya dari susu, contohnya, pada saat yang sama membawanya pada salah satu pengetahuan paling penting dalam biologi modern: bahwa <a href="http://ocp.hul.harvard.edu/contagion/germtheory.html">kuman-kuman menyebabkan penyakit-penyakit spesifik</a>.</p>
<p>Jadi intinya ini bukan hanya soal riset dasar versus riset terapan. Keduanya penting, tapi tampaknya meneliti di wilayah yang menyentuh kedua hal tersebut akan membawa pada hasil yang paling berguna. Seperti apa yang Pasteur lakukan: membingkai eksplorasi yang didorong keilmuan dengan tujuan memecahkan persoalan-persoalan nyata. </p>
<p>Singkatnya, kami menemukan ada begitu banyak riset ilmiah dasar yang menghasilkan terapan praktis. Sebagian besar hubungan antara riset dasar dan penerapannya tidak bersifat langsung, yang menunjukkan ada begitu banyak lapisan dan bagaimana riset dasar dapat bermanfaat untuk penerapan praktis. </p>
<p>Namun sains yang berhubungan dengan penerapan ternyata memiliki dampak besar dalam keilmuan itu sendiri. Mengikuti teladan Pasteur dapat menjadi cara jitu untuk melakukan penelitian. </p>
<hr>
<p><em>Sachin Waikar membantu dalam penulisan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/83470/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Benjamin F. Jones receives funding from Alfred P. Sloan Foundation. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Mohammad Ahmadpoor tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penelitian baru menelusuri hubungan antara karya ilmiah dengan inovasi yang dipatenkan, memetakan bagaimana masyarakat diuntungkan oleh riset ilmiah dasar.Benjamin F. Jones, Professor of Entrepreneurship and Strategy, J. L. Kellogg School of Management, Northwestern UniversityMohammad Ahmadpoor, Postdoctoral Fellow of Strategy, J. L. Kellogg School of Management, Northwestern UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/806982017-09-05T07:25:03Z2017-09-05T07:25:03ZTeknologi digital berpotensi memicu revolusi sains dalam penelitian sosial<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/182507/original/file-20170818-28123-oysjx6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=14%2C7%2C4785%2C2694&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pada akhirnya, dengan penelitian sosial berbasis internet, ilmuwan akan dapat memahami manusia lebih dari manusia tersebut memahami diri mereka sendiri.
</span> <span class="attribution"><span class="source">Montri Nipitvittaya/www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Melalui alat-alat seperti teleskop dan mikroskop, manusia telah berhasil mempelajari organisme dan dunia fisik di sekitar mereka. </p>
<p>Namun, meski telah lama kita mempelajari perilaku manusia dan masyarakat, kita tidak memiliki alat sehebat teleskop atau mikroskop untuk mengamati pola perilaku manusia. </p>
<p>Sekarang, teknologi digital dan kemampuannya memproses data yang dihasilkan manusia dalam jumlah besar dapat menjadi alat penelitian sosial yang perkasa.</p>
<p>Internet mirip dengan teleskop dalam kemampuannya memungkinkan kita mengamati sesuatu dengan cara yang sebelumnya tidak dapat dilakukan. Dengan teknologi digital, ilmuwan dapat mengamati sikap dan perilaku sejumlah besar manusia. Teknologi digital memungkinkan pengamatan dan percobaan dalam skala raksasa. </p>
<p>Pengumpulan <a href="https://theconversation.com/explainer-what-is-big-data-13780"><em>Big Data</em></a> dan kemampuan untuk melakukan percobaan sosial menggunakan internet bisa menjadi awal revolusi sains dalam penelitian sosial. Namun ada pertimbangan-pertimbangan etis yang juga perlu diperhatikan. </p>
<h2>Bagaimana revolusi sains terjadi</h2>
<p>Revolusi sains selalu dimulai dengan penemuan alat baru. </p>
<figure class="align-left ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/182508/original/file-20170818-28123-16yuhz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/182508/original/file-20170818-28123-16yuhz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=912&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/182508/original/file-20170818-28123-16yuhz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=912&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/182508/original/file-20170818-28123-16yuhz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=912&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/182508/original/file-20170818-28123-16yuhz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1146&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/182508/original/file-20170818-28123-16yuhz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1146&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/182508/original/file-20170818-28123-16yuhz.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1146&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Instrumen Tycho Brahe untuk mengukur lintang dan bujur objek-objek luar angkasa.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Wikimedia Commons/Tycho Brahe [Public domain]</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Contohnya, lima ratus tahun yang lalu <a href="http://www.space.com/21950-who-invented-the-telescope.html">sesudah penemuan teleskop</a>, bangsawan Denmark Tycho Brahe menggunakannya untuk mengamati objek-objek luar angkasa. </p>
<p>Ia mengumpulkan data lokasi planet-planet. Meski tak paham arti dari data yang ia kumpulkan, ia terus menghimpunnya. </p>
<p>Data yang Brahe kumpulkan menjadi dasar penghitungan <a href="http://chandra.harvard.edu/edu/formal/icecore/The_Astronomers_Tycho_Brahe_and_Johannes_Kepler.pdf">ahli matematika Johannes Keppler</a>. Ia menemukan pola dari data yang Brahe himpun dan menemukan bahwa planet bergerak dalam bentuk elips. </p>
<p>Seratus tahun kemudian, <a href="http://earthobservatory.nasa.gov/Features/OrbitsHistory/page2.php">Isaac Newton menemukan rumus teori gravitasi</a> yang memicu revolusi dalam memahami cara alam bekerja. Dengan memahami gravitasi kita tidak saja memahami pergerakan planet dan bintang, tapi manusia juga berhasil menciptakan teknologi seperti satelit, perjalanan luar angkasa, dan <em>Global Positioning System</em> (GPS). </p>
<p>Dari kisah itu kita dapat melihat bahwa kemajuan dalam bidang sains berawal murni dari pengumpulan data yang dimungkinkan oleh penemuan alat pengamatan baru. Ahli matematika menemukan pola dari data yang ada, menghasilkan teori-teori dan merevolusi pemahaman kita mengenai alam semesta. </p>
<p>Begitu juga dengan ahli biologi, mereka melihat ke bawah mikroskop dan melihat mikroorganisme, sel dan benda-benda kecil lainnya yang membentuk kehidupan. Ini membawa kita ke dobrakan-dobrakan di sains tentang kehidupan, dari penemuan penyembuhan beragam penyakit sampai penyuntingan gen. </p>
<h2>Tantangan dalam penelitian sosial</h2>
<p>Berbeda dari ilmuwan yang mempelajari ilmu alam atau ilmu pasti, ilmuwan sosial menemui masalah mendasar dalam menguji dan mengeksplorasi teori-teori baru. </p>
<p>Metode ilmiah untuk melakukan penelitian adalah pengamatan dan percobaan. Ahli fisika tentu tidak mewawancarai elektron-elektron yang mereka teliti. Ahli biologi tidak mewawancarai DNA. Hanya ilmuwan sosial yang harus mengajukan pertanyaan pada subjek penelitian mereka. </p>
<p>Ini tidak berarti bahwa dalam penelitian sosial tak dilakukan percobaan dan pengamatan skala besar dalam penelitian sosial. <a href="http://everythingisobvious.com/the-book/">Mereka ada tapi sangat terbatas</a>. Metode yang umum digunakan untuk penelitian sosial kuantitatif adalah menggunakan survei. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/182510/original/file-20170818-28160-1vcz7yu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/182510/original/file-20170818-28160-1vcz7yu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/182510/original/file-20170818-28160-1vcz7yu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/182510/original/file-20170818-28160-1vcz7yu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/182510/original/file-20170818-28160-1vcz7yu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/182510/original/file-20170818-28160-1vcz7yu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/182510/original/file-20170818-28160-1vcz7yu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Ahli fisika tidak mewawancarai elektron-elektron, ahli biologi tidak mewawancarai DNA. Hanya ilmuwan sosial yang harus mengajukan pertanyaan pada subjek penelitian mereka.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Dragon Images/www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Masalah yang jelas-jelas dihadapi ilmuwan ketika meneliti menggunakan survei adalah lemahnya ingatan orang-orang mengenai perilaku atau sikap mereka sendiri. Contohnya, seseorang mungkin akan memberikan kisaran angka yang besar ketika ditanya <a href="http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0139004">berapa kali mereka mengecek telepon selular mereka dalam sehari</a>. Terlebih, meski jarang terjadi, ada <a href="https://www.researchgate.net/profile/Robert_Fisher12/publication/285890624_Social_desirability_bias_and_the_validity_of_indirect_questioning/links/5833349408ae004f74c5a5e3/Social-desirability-bias-and-the-validity-of-indirect-questioning.pdf">insentif bagi orang untuk berbohong</a>. </p>
<h2>Teknologi digital dapat merevolusi penelitian sosial</h2>
<p>Teknologi digital dapat merekam perilaku dan sikap manusia. Telepon dengan teknologi GPS mencatat data pergerakan kita. Bank dan perusahaan kartu kredit merekam pola pengeluaran kita. Dan media sosial menangkap perasaan dan pemikiran kita. </p>
<p>Kita kadang tidak perlu lagi bertanya pada orang-orang, kita hanya perlu mengamati perilaku daring mereka. </p>
<p>Dalam penelitian sosial, percobaan sulit dilakukan karena membutuhkan kelompok pengendali untuk dibandingkan dengan subjek-subjek yang diujicoba, dan sangat sulit untuk memastikan lingkungan pengendali. Peneliti sosial tidak dapat menciptakan kondisi-kondisi kehidupan sosial yang berbeda karena kita tidak dapat menciptakan dunia-dunia paralel.</p>
<p>Menggunakan internet, kita dapat mengendalikan lingkungan digital. internet menyediakan peluang bagi ilmuwan untuk melakukan eksperimentasi</p>
<h2>Potensi penelitian</h2>
<p>Salah satu area studi yang menjanjikan dengan adanya eksperimentasi berbasis web yaitu mempelajari bagaimana interaksi antarindividu menciptakan perilaku kolektif. Ahli sosiologi menyebutnya masalah mikro-makro, yaitu ketika keputusan individu secara agregat menciptakan fenomena sosial. </p>
<p>Sebagai contoh, kawan saya <a href="http://www.princeton.edu/%7Emjs3/index.shtml">Matthew Salganik</a>, sekarang profesor sosiologi di Princeton University, melakukan <a href="http://www.princeton.edu/%7Emjs3/musiclab.shtml">percobaan untuk meneliti bagaimana produk budaya menjadi populer</a>. Ia membuat sebuah situs web, dimana semua orang pengunjungnya dapat mendengarkan dan mengunduh lagu dari musisi yang tidak dikenal. </p>
<p>Dia memanipulasi situs tersebut dengan membangun delapan ruang virtual dan memanipulasi jumlah lagu yang diunduh di tiap ruang, menciptakan dunia-dunia paralel. </p>
<p>Dari <a href="http://exahttp://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1756-8765.2009.01030.x/fullmple.com/">percobaan tersebut</a>, Salgalnik menemukan bahwa alasan lagu-lagu yang populer menempati tangga teratas bukan disebabkan kualitasnya tapi karena banyak orang mengunduhnya. Orang-orang cenderung mendengarkan lagu yang memang sudah populer dan mengabaikan lagu-lagu yang belum pernah diunduh. Lagu-lagu yang menjadi populer berbeda di tiap-tiap “dunia”. </p>
<p>Ini hanya satu area penelitian yang dapat ditelaah. Lagu tampak tidak berbahaya. Namun bisa saja mereplikasi percobaan ini pada ideologi dan sistem kepercayaan selama kita memiliki alat mengukur perilaku yang pasti. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/182512/original/file-20170818-10986-j4qgqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/182512/original/file-20170818-10986-j4qgqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/182512/original/file-20170818-10986-j4qgqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/182512/original/file-20170818-10986-j4qgqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/182512/original/file-20170818-10986-j4qgqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/182512/original/file-20170818-10986-j4qgqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/182512/original/file-20170818-10986-j4qgqw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sebuah penelitian berbasis web menemukan alasan lagu-lagu yang populer menempati tangga teratas bukan disebabkan kualitasnya tapi karena banyak orang mengunduhnya.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Rawpixel.com/www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Pertimbangan etis</h2>
<p>Pada akhirnya, dengan penelitian sosial berbasis internet, ilmuwan akan dapat memahami manusia lebih dari mereka memahami diri mereka sendiri. </p>
<p>Kita belum sampai di sana. Saat ini, hal paling revolusioner dari internet adalah akses pada <a href="https://www.it-jurnal.com/pengertian-big-data/">Big Data</a>. Dengan data ada banyak kemungkinan dan cara menguji teori perilaku sosial. </p>
<p>Namun, sebelum kita bergerak lebih jauh, kita masih harus mendiskusikan etika penelitian sosial menggunakan teknologi digital, terutama soal persetujuan. Beberapa perusahaan teknologi sudah melakukan eksperimentasi tanpa meminta izin pada penggunanya, contohnya <a href="https://theconversation.com/consent-and-ethics-in-facebooks-emotional-manipulation-study-28596">algoritma yang Facebook</a> gunakan untuk menentukan apa yang muncul dalam linimasa pengguna. </p>
<p>Sebagian dari kita yang menggunakan media digital sudah menjadi subjek eksperimentasi. Namun banyak yang tidak sadar. </p>
<p>Janji teknologi digital sebagai alat pengamatan yang efektif untuk mempelajari perilaku manusia dan masyarakat sangat seru. Namun, sebagai peneliti sosial, kami juga harus berhati-hati. </p>
<p>Kami perlu mencari sebuah sistem yang memberikan insentif bagi semua orang untuk menghindari kemungkinan membahayakan orang lain dan memastikan etika yang baik dijunjung tinggi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/80698/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Roby Muhamad tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Teknologi digital dan kemampuannya memproses data yang dihasilkan manusia dalam jumlah besar dapat menjadi alat penelitian sosial yang perkasa.Roby Muhamad, Lecturer of Psychology, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/825362017-09-05T07:24:35Z2017-09-05T07:24:35ZMemetakan kemiskinan tidak cukup hanya menghitung jumlah orang miskin<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/182930/original/file-20170822-30538-bk3yad.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Seorang perempuan memanggul kayu di punggungnya di daerah Garut, Jawa Barat pada 2 Februari 2017. Salah satu persoalan dalam pembuatan kebijakan pengentasan kemiskinan adalah ketersediaan data, termasuk data lokasi tempat orang miskin berada. </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com </span></span></figcaption></figure><p>Dalam sepuluh tahun terakhir, meski Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi antara 5-6% per tahun, penurunan angka kemiskinan justru <a href="https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1119">stagnan</a>. </p>
<p>Lebih lanjut, pertumbuhan ekonomi tersebut diikuti dengan <a href="http://www.worldbank.org/en/news/feature/2015/12/08/indonesia-rising-divide">meningkatnya ketimpangan</a>. Ini mengindikasikan Indonesia membutuhkan strategi yang lebih efektif untuk mengentaskan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan. </p>
<p>Salah satu persoalan dalam pembuatan kebijakan pengentasan kemiskinan adalah ketersediaan data, termasuk data lokasi tempat orang miskin berada. </p>
<p>Pada Maret 2017, <a href="https://www.bps.go.id/index.php/brs/1379">angka tingkat kemiskinan Indonesia berada pada 10,64%</a>. Bila dihitung, terdapat lebih dari 27 juta manusia Indonesia yang hidup di bawah <a href="https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/23">garis kemiskinan</a>. </p>
<p>Di mana mereka tepatnya berada? Ini yang sulit diidentifikasi.</p>
<p>Sejauh ini, angka kemiskinan Indonesia tersedia hingga tingkat kabupaten/kota yang dirilis setiap tahun oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Namun, data tersebut saja tidak cukup mengingat area kabupaten/kota Indonesia cukup luas dan jumlah penduduk banyak. </p>
<p>Mengetahui di mana warga miskin berada hingga tingkat wilayah yang kecil seperti desa dan kelurahan penting bagi pemerintah, karena akan membantu dalam membuat kebijakan pengentasan kemiskinan yang lebih tepat sasaran.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/gha2xTuT188?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Sumber: http://povertymap.smeru.or.id/</span></figcaption>
</figure>
<p>Menanggapi kebutuhan tersebut, Lembaga Penelitian SMERU berupaya menyediakan angka kemiskinan hingga ke tingkat administrasi terkecil melalui <a href="http://povertymap.smeru.or.id/">Peta Kemiskinan dan Penghidupan Indonesia</a>. </p>
<h2>Ragam kedalaman dan keparahan kemiskinan</h2>
<p>Selain mengetahui jumlah orang miskin di desa dan kelurahan, pemerintah juga perlu mengetahui tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di wilayah-wilayah kecil tersebut. Wilayah-wilayah di Indonesia memiliki tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan yang beragam, sehingga alokasi dana untuk pengentasan kemiskinan perlu menimbang faktor tersebut. </p>
<p>Indeks <a href="https://sirusa.bps.go.id/index.php?r=indikator/view&id=19">“kedalaman”</a> kemiskinan menunjukkan seberapa jauh beda pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan. Dengan asumsi garis kemiskinan sama, wilayah yang rata-rata warga miskinnya hanya mampu belanja Rp10.000 sehari, misalnya, lebih dalam kemiskinannya dari wilayah yang rata-rata warga miskinnya mampu belanja Rp30.000 sehari.</p>
<p>Sedangkan indeks <a href="https://sirusa.bps.go.id/index.php?r=indikator/view&id=20">“keparahan”</a> kemiskinan menunjukkan seberapa jauh jarak pengeluaran orang termiskin di satu wilayah tertentu relatif terhadap pengeluaran rata-rata kelompok miskin di sana. Semakin tinggi angka indeksnya, semakin parah kemiskinannya, maka harus semakin terukur dan tepat sasaran alokasi dana yang dibutuhkan untuk daerah tersebut keluar dari kemiskinan.</p>
<p>Dengan mengetahui tidak hanya jumlah orang miskin namun juga tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan di wilayah yang lebih kecil akan sangat membantu pembuat kebijakan mengalokasikan anggaran lebih efisien.</p>
<p>Sebagai contoh dalam penganggaran <a href="https://www.kemenkeu.go.id/dana-desa">Dana Desa</a>, untuk tahun 2018 pemerintah menetapkan sekitar 3% dari total anggaran Dana Desa nasional dikhususkan untuk pembangunan <a href="http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/151089-%5B_Konten_%5D-scan0005.pdf">desa tertinggal</a>, yang disebut alokasi afirmatif. Sedangkan 97% dialokasikan ke semua desa termasuk desa-desa yang menerima alokasi afirmatif. </p>
<p>Sisa 97% Dana Desa ini, dibagi lagi pembagiannya melalui “alokasi dasar” dan “alokasi formula”. Untuk 2018, alokasi dasar besarannya 77% sedangkan alokasi formula besarnya 20%. </p>
<p>Semua desa akan menerima jumlah alokasi yang sama untuk alokasi dasar. Semua juga akan mendapatkan dana alokasi formula tetapi besarannya berbeda-beda, dihitung menggunakan formula-yang salah satunya-menggunakan indikator jumlah orang miskin desa. </p>
<p>Sesungguhnya, alokasi Dana Desa sebaiknya tidak hanya memperhitungkan jumlah orang miskin, tapi juga memasukkan indikator tingkat kedalaman kemiskinan suatu desa dalam <a href="http://www.djpk.depkeu.go.id/?p=3053">perhitungannya</a>.</p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/ketimpangan-mengancam-kesehatan-kesejahteraan-semua-warga-bukan-hanya-orang-miskin-81813">Ketimpangan mengancam kesehatan, kesejahtaraan semua warga — bukan hanya orang miskin</a></em></p>
<hr>
<p>Tingkat kedalaman ini mempengaruhi seberapa besar usaha yang dibutuhkan untuk mengangkat seseorang keluar dari kemiskinan. Daerah yang rata-rata pengeluaran per hari warga miskinnya Rp10.000 (sesudah dikoreksi inflasi) membutuhkan usaha lebih besar untuk mengangkat mereka dari kemiskinan ketimbang daerah yang rata-rata pengeluaran warga miskinnya Rp30.000. </p>
<p>Jika hanya mendasarkan perhitungan pada jumlah orang miskin (contoh kasus alokasi formula dana desa), maka daerah dengan jumlah orang miskin yang sama, tapi dengan kedalaman kemiskinan yang berbeda, akan mendapatkan alokasi anggaran yang sama. </p>
<p>Contohnya <a href="http://povertymap.smeru.or.id/map3/provbykab/32_provkab/table">Kabupaten Kuningan</a> di Jawa Barat memiliki jumlah orang miskin yang relatif sama dengan <a href="http://povertymap.smeru.or.id/map3/provbykab/53_provkab/table">Kabupaten Timor Tengah Selatan</a> di Nusa Tenggara Timur, namun Timor Tengah Selatan memiliki kemiskinan yang lebih dalam dan parah dibanding Kabupaten Kuningan. Agar betul-betul tepat sasaran, seharusnya, desa-desa yang kemiskinannya dalam, mendapatkan prioritas. </p>
<h2>Data kemiskinan kelurahan dan desa</h2>
<p>SMERU berhasil meluncurkan Peta Kemiskinan yang menyediakan informasi kemiskinan pada tingkat kecamatan hingga desa pertama kali di <a href="http://povertymap2000.smeru.or.id/">2000</a>, diikuti <a href="http://www.indonesiapovertymap.org/">2010</a>. </p>
<p>Pada April 2017, SMERU melakukan pemutakhiran data untuk angka kemiskinan tahun 2015. </p>
<p>Estimasi angka kemiskinan untuk daerah yang lebih kecil tersebut menggunakan metode <a href="http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/1468-0262.00399/full">Small Area Estimation </a>, yaitu cara estimasi angka kemiskinan yang memanfaatkan data konsumsi rumah tangga dari Survei Sosial Ekonomi Nasional dan data sensus penduduk. </p>
<p>Agar data kemiskinan bisa dibandingkan secara nasional dan internasional, Peta Kemiskinan menyediakan informasi angka kemiskinan menggunakan garis kemiskinan nasional dan internasional. </p>
<p>Untuk menilai akurasi dari hasil estimasi, kami berpatokan terhadap angka tingkat kemiskinan provinsi (kota dan desa) yang dirilis oleh BPS. Selain angka tingkat kemiskinan, juga tersedia <a href="https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/View/id/1488">indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan</a>.</p>
<p>Lebih lanjut, peta ini juga menyediakan indikator ketimpangan menggunakan <a href="http://finansial.bisnis.com/read/20130821/9/157881/kamus-ekonomi-apa-arti-rasio-gini">indeks Gini</a>, yang mengukur pemerataan penghasilan dari skala nol hingga satu. Angka kemiskinan dan indeks Gini tersebut tersedia untuk 34 provinsi, 497 kabupaten/kota, 6,599 kecamatan, hingga 75,267 desa di seluruh Indonesia. </p>
<p>Peta Kemiskinan dan Penghidupan 2015 ini menyediakan peta yang interaktif yang dipasang pada peta <a href="https://openstreetmap.id/"><em>Open Street Map</em></a> dan dapat diakses secara gratis.</p>
<p>Dengan menggunakan gradasi warna pengguna bisa melihat sebaran populasi orang miskin secara spasial untuk semua pulau di Indonesia.</p>
<p>Peta kemiskinan ini juga menampilkan distribusi spasial berdasarkan provinsi dan kabupaten. Peta ini juga memungkinkan untuk melihat sebaran kemiskinan berdasarkan kecamatan di sebuah provinsi, juga sebaran kemiskinan di kabupaten berdasarkan desa-desanya. </p>
<p>Peta Kemiskinan dan Penghidupan ini juga menyediakan informasi penghidupan (<em>livelihood</em>) berupa indikator pendidikan, kesehatan, infrastruktur desa, dll. </p>
<p>Dari peta kemiskinan ini kita dapat membandingkan bagaimana indikator-indikator tersebut bekerja di wilayah dengan angka tingkat kemiskinan yang tinggi dan rendah. </p>
<h2>Pengentasan kemiskinan yang efektif</h2>
<p>Pertumbuhan ekonomi seharusnya menyejahterakan bangsa. Namun, sayangnya hal itu tidak sepenuhnya terjadi untuk kasus Indonesia sebab <a href="http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00074918.2014.938405">pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif dinikmati lebih banyak oleh kelompok terkaya</a>. </p>
<p>Data yang disediakan dalam peta ini diharapkan bisa membantu berbagai pihak dalam meramu kebijakan pengentasan kemiskinan yang lebih efektif. </p>
<p>Pengambil kebijakan dapat mengetahui informasi tentang tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan agar dapat menentukan alokasi sumber daya program. </p>
<p>Data Peta Kemiskinan juga akan berguna untuk menentukan target secara tepat untuk program bantuan sosial. Jika pemerintah daerah, misalnya, ingin melaksanakan sebuah program terkait kemiskinan dan ketimpangan, informasi dari peta kemiskinan ini dapat digunakan sebagai basis lokasi kecamatan atau desa yang diprioritaskan untuk mendapatkan program. </p>
<p>Bagi kalangan akademisi, data yang disediakan peta ini dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut mengenai kemiskinan. Data yang tersedia dalam peta ini bisa digabungkan dengan beragam sumber data lainnya sehingga bisa menghasilkan analisis mengenai kemiskinan secara komprehensif. </p>
<p>Anda juga bisa mengunduh peta (dalam bentuk gambar) dan berbagai data lainnya secara gratis. Lebih jauh, Anda juga kami ajak menyumbang informasi tentang desa dengan menuliskannya dan mengirimkannya kepada kami. </p>
<hr>
<p><em>Peta Kemiskinan dan Penghidupan Indonesia dapat dikunjungi <a href="http://povertymap.smeru.or.id/">di sini</a></em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/82536/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ridho Al Izzati is affiliated with SMERU Research Institute. The Poverty and Livelihood Map project was funded by Ford Foundation. The views and opinions expressed in this article are those of the author.</span></em></p>Penurunan kemiskinan stagnan dan menjadi pekerjaan rumah yang serius bagi pembuat kebijakanRidho Al Izzati, Junior Researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.