tag:theconversation.com,2011:/fr/topics/gender-42472/articlesGender – The Conversation2024-03-13T02:09:41Ztag:theconversation.com,2011:article/2254322024-03-13T02:09:41Z2024-03-13T02:09:41ZKenaikan partisipasi perempuan di bidang STEM lambat: terhambat sejak hulu hingga hilir<p>Menurut Sima Bahous, Direktur Eksekutif UN Women, salah satu bentuk perjuangan keseteraan gender adalah membentuk program untuk <a href="https://www.unwomen.org/en/news-stories/statement/2023/02/statement-building-a-future-of-scientific-progress-and-gender-equality">mendorong perempuan masuk dan berkarier di bidang STEM</a> (<em>science, technology, engineering</em>, dan <em>mathematics</em>). </p>
<p>Representasi gender yang setara dapat berkontribusi <a href="https://www.nber.org/papers/w21913">menurunkan kesenjangan upah berdasarkan gender</a> (<em>gender pay gap</em>), karena menurut World Economic Forum, <a href="https://www.weforum.org/agenda/2021/10/stem-degrees-most-valuable/">bidang STEM merupakan bidang yang memiliki remunerasi atau pemberian imbalan yang lebih tinggi</a> dibandingkan dengan bidang lain, seperti kerja keperawatan (<em>care work</em>).</p>
<p>Dengan meningkatnya representasi perempuan di bidang STEM, akan semakin banyak pula individu yang berfokus pada isu-isu perempuan dalam STEM. Misalnya, proses desain sabuk pengaman mobil yang selama ini <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/15389588.2019.1630825">membahayakan perempuan</a>, karena boneka peraga yang digunakan untuk uji keselamatan didesain dengan ukuran badan laki-laki, dapat diperbaiki. </p>
<p>Contoh lainnya, pengembangan obat dan alat kesehatan bisa mulai mempertimbangkan kebutuhan perempuan, seperti alat kontrasepsi yang lebih aman dan nyaman untuk perempuan, atau menggeser fokus ke pengembangan alat kontrasepsi untuk laki-laki, karena pil kontrasepsi yang ada sekarang memberikan dampak hormonal yang dapat <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430882/">mengganggu keseharian perempuan</a>.</p>
<p>Sayangnya, tingkat kenaikan partisipasi perempuan yang masuk di bidang STEM masih sangat lambat. Secara global, sejak tahun 2015 sampai 2023, persentase perempuan di bidang STEM hanya meningkat sebanyak 1,6%, dari <a href="https://www3.weforum.org/docs/WEF_GGGR_2023.pdf">27,6% menjadi 29,2%</a>. Sementara di Indonesia, jumlah perempuan yang bekerja <a href="https://indonesiabusinesspost.com/insider/a-closer-look-at-gender-inequality-in-indonesias-tech-industry/">di sektor teknologi hanya sebesar 27%</a>, jumlah akademisi perempuan <a href="https://pddikti.kemdikbud.go.id/asset/data/publikasi/Statistik%20Pendidikan%20Tinggi%202020.pdf">di institut teknologi hanya sebesar 35,7%</a>, dan dokter perempuan yang <a href="https://womenlead.magdalene.co/2021/01/28/tenaga-kesehatan-perempuan-sulit-naik-jabatan/">menempuh studi spesialis hanya sebanyak 41,6%.</a>.</p>
<p>Lambatnya kenaikan ini disebabkan oleh banyak faktor yang tersebar dari hulu hingga hilir. Berikut beberapa di antaranya:</p>
<h2>1. Kuatnya stereotip gender</h2>
<p>Di bagian ‘hulu’, masyarakat memiliki stereotip gender yang sangat kuat dalam mengarahkan preferensi setiap individu untuk memilih jenis pekerjaan yang sesuai dengan gender yang dilekatkan pada dirinya. Perempuan seringkali diasosiasikan, distereotipkan, dan diarahkan untuk fokus pada kerja-kerja keperawatan. Hal ini mempersulit perempuan untuk masuk ke dalam STEM. </p>
<p>Bahkan, tekanan lingkungan membuat perempuan yang sudah memiliki pendidikan berlatar belakang STEM, memiliki orientasi karier (<em>career oriented</em>), tidak ingin menikah di usia muda atau segera memiliki anak, tetap mengalami kesulitan untuk masuk dan berkarier di STEM dibanding laki-laki. Inilah mengapa bidang STEM masih didominasi laki-laki.</p>
<h2>2. Bias algoritma</h2>
<p>Dalam proses pengiklanan lowongan kerja, terdapat bias algoritma yang menyebabkan perempuan tidak terpapar iklan lowongan kerja sebanyak laki-laki. <a href="https://pubsonline.informs.org/doi/abs/10.1287/mnsc.2018.3093">Penelitian yang dilakukan oleh peneliti</a> dari London Business School, Inggris dan Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat (AS), menunjukkan bahwa iklan pekerjaan di bidang STEM yang awalnya ditujukan untuk semua gender, secara algoritmik, justru bersifat diskriminatif gender. </p>
<p>Algoritma iklan bekerja untuk mengoptimalkan dan mementingkan efektivitas biaya. Namun, perempuan muda merupakan kelompok demografis dengan biaya iklan yang lebih mahal dibandingkan dengan laki-laki. Akibatnya, secara empiris, iklan lebih banyak ditampilkan kepada kelompok demografis laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini tentu merugikan perempuan sebagai calon pekerja di bidang STEM.</p>
<h2>3. ‘Employer’ tidak adil sejak awal</h2>
<p>Dalam proses rekrutmen, perempuan juga menghadapi bias gender dari <em>employer</em>. <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/08912432221137910">Penelitian eksperimental</a> terhadap 213 manajer di bidang STEM di Inggris menunjukkan bahwa manajer laki-laki cenderung memiliki <em>in-group gender favoritism</em> dalam merekrut calon pegawai. Secara lebih spesifik, manajer laki-laki cenderung mementingkan kemampuan calon pegawai perempuan untuk bekerja lembur, namun tidak mementingkan kemampuan ini pada calon pegawai laki-laki. </p>
<p>Padahal, secara umum jumlah pegawai dan manajer laki-laki di bidang STEM relatif lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Hal ini mengakibatkan semakin kecilnya kemungkinan perempuan dapat memiliki kesempatan untuk masuk dan diterima sebagai pekerja.</p>
<h2>4. Diskriminasi di tempat kerja</h2>
<p>Pada bagian ‘hilir’, ketika sudah berhasil masuk, perempuan juga masih mengalami diskriminasi karena tidak seimbangnya persentase gender di sana. Perempuan tidak dianggap sebagai figur otoritas, meskipun ia telah menjadi atasan. Perempuan harus menunjukkan legitimasinya sebagai seorang profesional dengan cara melakukan usaha ekstra untuk membangun relasi yang positif dengan kolega di kantor. Usaha semacam ini tidak perlu dilakukan oleh laki-laki dengan posisi yang sama. </p>
<p>Bahkan, terdapat <a href="https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(18)30861-4/fulltext#articleInformation">efek ‘<em>glass-cliff</em>’</a> bagi perempuan, yaitu mudahnya perempuan untuk diturunkan dari posisi pemimpin ketika ia melakukan kesalahan dibandingkan dengan laki-laki dengan posisi dan kesalahan yang sama.</p>
<p>Misalnya, ketika perempuan melakukan kesalahan dalam menentukan kebijakan atau mengambil keputusan, ia akan mendapatkan penilaian yang lebih buruk dibandingkan laki-laki. Perempuan juga akan dinilai lebih tidak kompeten, sehingga meningkatkan risiko untuk diturunkan dari posisinya.</p>
<h2>Perlunya dukungan di setiap level</h2>
<p>Ketika sudah berhasil memasuki industri STEM, perempuan masih membutuhkan dukungan untuk dapat maju dan berhasil di kariernya. <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1932202X17735305?journalCode=joac">Kajian literatur</a> yang bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesuksesan akademisi perempuan di STEM, menunjukkan perlunya upaya katalisasi agar perempuan dapat bertahan dan menembus ‘<em>glass-ceiling</em>’ di STEM.</p>
<p>Penelitian ini menggunakan model sosio-ekologis dan menunjukkan bahwa agar perempuan dapat mengembangkan talenta dan karier di STEM, perlu ada dukungan di berbagai level: (1) Level individu, untuk mengembangkan karakteristik dan nilai diri; (2) Level relasi, berupa dukungan sosial yang positif; (3) Level institusi, berupa dukungan dari atasan dan kebijakan di institusi; Hingga (4) level kultural, berupa perubahan budaya kerja di STEM yang umumnya tidak ramah bagi perempuan. </p>
<p>Tantangan untuk mendorong perempuan masuk ke STEM harus diatasi di semua jenjang, dari hulu hingga ke hilir. Harapannya, upaya ini tidak hanya berdampak pada level individu saja (seperti aktualisasi diri perempuan), namun juga untuk masyarakat luas (kesetaraan hak dan penghargaan terhadap perempuan secara umum). Untuk mencapai cita-cita ini, perlu ada investasi di semua jenjang, karena berinvestasi pada perempuan adalah berinvestasi pada peradaban.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/225432/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Cantyo Atindriyo Dannisworo menerima dana dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), namun tidak terkait dengan artikel ini. </span></em></p>Tingkat kenaikan partisipasi perempuan yang masuk di bidang STEM masih sangat lambat. Apa saja faktor penyebabnya?Cantyo Atindriyo Dannisworo, Lecturer in Psychology, PhD student, and Adult Clinical Psychologist, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2247632024-03-12T10:40:24Z2024-03-12T10:40:24ZMengatasi ketimpangan gender di pendidikan tinggi: perlu fasilitas fisik sadar gender<p><a href="https://www.un.org/womenwatch/osagi/pdf/factsheet2.pdf">Kesetaraan gender</a> bukan soal lebih mendukung perempuan dibandingkan laki-laki, melainkan tentang mengakui persamaan hak, tanggung jawab, dan peluang perempuan dan laki-laki. Kesetaraan gender hanya dapat diraih jika kita bisa sama-sama mempertimbangkan kepentingan perempuan dan laki-laki serta mengakui keragaman kelompok lintas gender.</p>
<p><a href="https://sdgs.bappenas.go.id/17-goals/goal-5/">Dalam konteks pembangunan</a>, kesetaraan gender bisa tercapai ketika perempuan dan laki-laki memiliki prospek dan peluang yang setara untuk berkontribusi di masyarakat. Menghilangkan persyaratan jenis kelamin pada suatu lowongan pekerjaan adalah salah satu contoh membuka peluang yang sama bagi laki-laki maupun perempuan. </p>
<p>Namun, pada praktiknya, kesetaraan gender masih sulit diwujudkan karena tanpa disadari, cara berpikir dan perilaku sehari-hari kita masih bias gender. Ini menyebabkan masih kentalnya ketimpangan gender di ruang-ruang sosial, termasuk di institusi pendidikan tinggi. Padahal, Pasal 6 <a href="https://diktis.kemenag.go.id/prodi/dokumen/UU-Nomor-12-Tahun-2012-ttg-Pendidikan-Tinggi.pdf">Undang-undang No. 12 Tahun 2012</a> tentang Pendidikan Tinggi mengamanatkan penyelenggaraan pendidikan tinggi yang nondiskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).</p>
<h2>Ketimpangan gender di pendidikan tinggi</h2>
<p>Merujuk <a href="https://www.inasp.info/sites/default/files/2018-04/Gender%20Toolkit.pdf">INASP (<em>International Network for Advancing Science and Policy</em>)</a>, terdapat beberapa bentuk ketimpangan gender di pendidikan tinggi yang kerap terjadi. </p>
<p><strong>1. Partisipasi yang tidak setara</strong></p>
<p>Secara global, partisipasi perempuan di pendidikan tinggi lebih rendah. Mengutip <a href="https://www3.weforum.org/docs/WEF_GGGR_2023.pdf"><em>Global Gender Gap Report 2023</em></a> yang diterbitkan oleh World Economic Forum, subindeks ketimpangan capaian pendidikan secara global adalah 95,2%. Dalam bidang studi tertentu seperti sains dan teknik, <a href="https://www.pwc.co.uk/who-we-are/her-tech-talent/time-to-close-the-gender-gap.html">representasi mahasiswa perempuan masih kurang</a>. </p>
<p>Fenomena yang sama juga terjadi di Indonesia. Studi <a href="https://al-kindipublisher.com/index.php/jbms/article/download/4575/3928">tahun 2023</a> mengungkapkan bahwa jumlah mahasiswa perempuan hanya sepersembilan dari laki-laki pada program studi teknik sipil di Universitas Malikussaleh, Aceh. </p>
<p>Memang, jika hanya dilihat dari jumlah mahasiswa yang terdaftar, data Statistik Pendidikan Tinggi (<a href="https://pddikti.kemdikbud.go.id/mahasiswa">PDDIKTI</a>) per Februari 2024 menunjukkan jumlah mahasiswa perempuan mencapai 3.250.158 orang, lebih banyak dibandingkan mahasiswa laki-laki yang sebanyak 3.099.783 orang. Mahasiswa laki-laki juga cenderung rentan <em>drop-out</em> karena tuntutan ekonomi yang mengharuskannya bekerja alih-alih berkuliah. </p>
<p>Namun, di balik keunggulannya secara jumlah, persentase lulusan perempuan yang bekerja di sektor formal hanya sebesar 35,57%, lebih rendah dari laki-laki yang mencapai 43,97%, menurut <a href="https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTE3MCMy/persentase-tenaga-kerja-formal-menurut-jenis-kelamin.html">data Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) 2022</a>. Ini menunjukkan bahwa investasi dalam pendidikan tinggi belum sepenuhnya mencapai kesetaraan gender.</p>
<p><strong>2. Senioritas jabatan dan kesenjangan pendapatan</strong></p>
<p>Sementara di internal perguruan tinggi, isu yang sering muncul adalah perihal keterwakilan staf akademik perempuan, kesenjangan gender dalam jabatan yang melebar seiring dengan senioritas, dan kesenjangan dalam pendapatan. </p>
<p>Mengutip <a href="https://www.ksi-indonesia.org/assets/uploads/original/2020/01/ksi-1580375202.pdf">laporan</a> Knowledge Sector Innitiative, hasil kerja sama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan pemerintah Australia, jabatan penting seperti dekan, ketua, direktur, dan rektor di perguruan tinggi masih didominasi oleh laki-laki (lebih dari 50%).</p>
<p>Staf akademik perempuan kesulitan untuk berkarir lebih tinggi karena memiliki beban ganda-bekerja di kampus sekaligus mengurus rumah tangga. Terhambatnya karir perempuan juga seringkali terjadi ketika cuti kehamilan. Mereka harus melepas jabatan yang dimiliki tanpa kepastian untuk memperolehnya kembali setelah cuti selesai. </p>
<p>Kesenjangan jabatan tersebut pada akhirnya berdampak pada kesenjangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat diperparah dengan adanya tambahan pendapatan (tunjangan) yang diasosiasikan dengan laki-laki sebagai kepala keluarga, seperti tunjangan anak dan istri.</p>
<p>Sedikitnya jumlah staf akademik perempuan di manajemen perguruan tinggi dapat berpengaruh terhadap keputusan-keputusan strategis yang dihasilkan, salah satunya adalah dalam hal pembangunan fasilitas fisik. Padahal, fasilitas fisik yang tidak mempertimbangkan aspek gender dapat memperlebar kesenjangan antara laki-laki dan perempuan.</p>
<h2>Mengarusutamakan fasilitas fisik sadar gender</h2>
<p>Salah satu cara untuk mengarusutamakan gender di perguruan tinggi adalah membangun fasilitas fisik yang ramah gender. Bagaimana caranya?</p>
<p><strong>1. Libatkan perempuan sejak dalam perencanaan</strong></p>
<p>Dominasi staf senior laki-laki dalam pengambilan keputusan di perguruan tinggi dapat mengabaikan suara perempuan. Padahal, jumlah mahasiswa perempuan di Indonesia secara umum lebih banyak, yang artinya perempuanlah pengguna mayoritas fasilitas yang ada di perguruan tinggi. </p>
<p>Oleh karena itu, staf perempuan perlu dilibatkan sejak tahap perencanaan atau tahap desain sebelum pembangunan fasilitas fisik dilakukan. Mahasiswa perempuan juga harus dimintai pendapatnya dalam bentuk angket atau survei. </p>
<p><strong>2. Komitmen perguruan tinggi</strong></p>
<p>Komitmen pimpinan perguruan tinggi juga sangat penting dalam menentukan keberhasilan pengarusutamaan gender melalui fasilitas fisik. Pimpinan perguruan tinggi dapat memberikan kebijakan strategis yang mewajibkan seluruh elemen kampus untuk lebih peduli tentang pentingnya fasilitas kampus yang berperspektif gender.</p>
<p><strong>3. Peran pemerintah</strong></p>
<p>Ketika pemahaman atau komitmen pimpinan perguruan tinggi masih terbatas, pemerintah pusat perlu mengambil peran untuk mendorong perencanaan pembangunan fasilitas fisik yang berperspektif gender, terutama yang bersumber dari belanja pemerintah pusat.</p>
<p>Selama lebih dari dua dekade, isu kesetaraan gender telah menjadi fokus utama dalam berbagai kebijakan pemerintah Indonesia. Salah satu tonggak penting dalam perjalanan ini adalah <a href="https://jdih.setkab.go.id/puu/buka_puu/4437/INPRES%20NO%209%20TH%202000.pdf">Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional</a>.</p>
<p>Pemerintah perlu lebih tegas dalam mendorong kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk mengidentifikasi dan mengatasi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh manfaat dari kebijakan dan program pembangunan, sesuai Inpres yang berlaku.</p>
<p><strong>4. Standar desain ramah gender</strong></p>
<p>Sejak tahun <a href="https://fiskal.kemenkeu.go.id/files/warta-fiskal/file/edisi_2_2015.pdf">2015</a>, pemerintah telah mengalokasikan dana dari surat berharga syariah negara (SBSN) sebagai instrumen baru untuk membangun fasilitas fisik di perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PTKIN) dan perguruan tinggi negeri (PTN).</p>
<p>Dari <a href="https://perpustakaan.bappenas.go.id/e-library/file_upload/koleksi/migrasi-data-publikasi/file/Unit_Kerja/Deputi%20Bidang%20Perencanaan%20Pendanaan%20Pembangunan/DPP%20SBSN%20TA%202023.pdf">Daftar Prioritas Proyek SBSN</a> yang ditetapkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, total alokasi pendanaan SBSN untuk pendidikan tinggi dari tahun 2015-2023 mencapai Rp17 triliun, terdistribusi sebesar Rp9,6 triliun untuk 58 PTKIN dan Rp7,4 triliun untuk 52 PTN. </p>
<iframe title="Alokasi SBSN 2015-2023" aria-label="Grouped Columns" id="datawrapper-chart-8UeX7" src="https://datawrapper.dwcdn.net/8UeX7/1/" scrolling="no" frameborder="0" style="width: 0; min-width: 100% !important; border: none;" height="300" data-external="1" width="100%"></iframe>
<p>Dapat dibayangkan besarnya dampak yang dihasilkan jika modalitas anggaran SBSN tersebut juga dimanfaatkan untuk pengarusutamaan gender di perguruan tinggi. Caranya adalah dengan mengatur standar desain bangunan yang dapat dirujuk oleh seluruh pihak yang terkait, mulai dari perguruan tinggi sampai pelaku jasa konstruksi.</p>
<p>Standar desain tersebut sangatlah krusial karena seringkali pimpinan perguruan tinggi menyerahkan urusan perencanaan gedung ke konsultan perencana yang belum tentu memahami desain bangunan berperspektif gender.</p>
<p>Beberapa tahun yang lalu Kementerian PUPR telah menerbitkan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/104477/permen-pupr-no-14prtm2017-tahun-2017">Peraturan Menteri PUPR nomor 14 tahun 2017</a> tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung. Di dalamnya, telah tercantum secara rinci bagaimana prinsip desain universal agar terdapat kesetaraan penggunaan ruang.</p>
<p>Perencanaan bangunan gedung untuk pengguna disabilitas telah sangat baik dijabarkan, tetapi aspek kesetaraan gender masih belum sepenuhnya tercakup. Sebagai contoh perbandingan luasan antara toilet laki-laki dan perempuan yang masih disamakan. Sementara, fakta di lapangan perempuan lebih sering mengantre karena ketersediaan toilet yang terbatas, dibandingkan dengan laki-laki.</p>
<p>Desain fasilitas kampus yang berperspektif gender juga dapat diraih dengan memfokuskan perencanaan pada penciptaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi perempuan. Tempat-tempat yang tersembunyi, kurang pencahayaan, atau terisolir sedapat mungkin diminimalisir untuk menghindari kriminalitas dan tindakan kekerasan seksual. </p>
<p>Untuk melengkapi <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Download/95205/PermenPUPR14-2017.zip">pedoman teknis</a> bangunan dari Kementerian PUPR, sesuai kewenangannya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Kementerian Agama dapat menetapkan petunjuk teknis terkait kesetaraan gender di lingkup pembelajaran dan penelitian. Muatan substansi yang diatur misalnya, bagaimana desain laboratorium praktik agar alat laboratorium dapat diakses secara adil oleh mahasiswa laki-laki dan perempuan. </p>
<p>Studi <a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/feduc.2023.1194968/full">tahun 2023</a> menemukan bahwa perempuan lebih banyak mencatat daripada mengoperasikan peralatan laboratorium. Penyebabnya dapat disebabkan oleh karakteristik alat praktek yang terlalu besar atau berat, atau ukuran prasarana lain seperti kursi dan meja yang tidak nyaman untuk mayoritas perempuan. Kursi dan meja perlu dipilih dengan mempertimbangkan aspek ergonomis yang <a href="https://www.jstage.jst.go.jp/article/jhe1972/37/1/37_1_45/_pdf/-char/en">dimensi ukurannya</a> dapat berbeda antara laki-laki dan perempuan.</p>
<p>Selain aspek kenyamanan, aspek keselamatan juga perlu menjadi perhatian. Pemilihan alat pelindung diri seperti helm, baju, sepatu serta perkakas praktik lain perlu mempertimbangkan data <em>anthropometric</em> (ukuran tubuh) laki-laki dan perempuan.</p>
<p>Melalui langkah-langkah ini, harapannya, kesetaraan gender di perguruan tinggi dapat dicapai, sehingga tercipta lingkungan yang inklusif dan mendukung bagi semua mahasiswa, apapun gendernya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/224763/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Kalihputro Fachriansyah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kesetaraan gender di pendidikan tinggi juga dapat dicapai melalui pengarusutamaan fasilitas fisik sadar gender. Bagaimana caranya?Kalihputro Fachriansyah, PhD Student in Education, Practice and Society, University College London, National Development Planning Agency (BAPPENAS)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2193342024-02-13T02:37:56Z2024-02-13T02:37:56ZBagaimana mengintegrasikan ‘Gender Equality and Social Inclusion’ (GESI) di sekolah?<p>Ketidaksetaraan sosial, baik berdasarkan jenis kelamin, etnisitas, orientasi seksual, atau disabilitas, memiliki dampak serius terhadap pembangunan berkelanjutan karena <a href="https://www.jstor.org/stable/1097547">masyarakat yang tidak inklusif</a> rentan terhadap konflik, ketidakstabilan, dan ketidakadilan. </p>
<p>Kesetaraan gender, contohnya, masih menjadi isu utama di berbagai lapisan masyarakat. <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/BF03549793">Ketidaksetaraan gender</a> masih terlihat dalam bidang pekerjaan, pendidikan, dan kehidupan sehari-hari. Hingga saat ini, akses dan partisipasi di dunia usaha dan industri masih didominasi oleh laki-laki terutama di bidang sains, teknologi, teknik dan matematika (STEM).</p>
<p>Perempuan juga masih terbatas dalam menentukan pilihan kariernya. Di bidang pendidikan, kesetaraan akses dan partisipasi perempuan di daerah-daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar), istilah untuk menyebut wilayah Indonesia dengan kondisi geografis terpencil dan kondisi sosial, ekonomi dan budaya yang kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional, masih rendah.</p>
<p>Selain itu, kekerasan berbasis gender yang mayoritas korbannya adalah perempuan masih banyak terjadi. Bahkan, di wilayah 3T, akses perempuan terhadap layanan kesehatan reproduksi dan prakelahiran masih terbatas. Isu kesehatan mental pada perempuan juga masih banyak ditemukan.</p>
<h2>GESI untuk kesetaraan</h2>
<p>Pendidikan berperan penting dalam mencapai kesetaraan gender dan inklusi sosial. Hal ini tercermin dalam <a href="https://pusdiklat.perpusnas.go.id/regulasi/download/6">Undang-undang No. 20 Tahun 2003</a> tentang Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Pemerintah, dengan dasar hukum ini, menetapkan landasan bagi sistem pendidikan yang inklusif, menjamin hak dan kesempatan yang sama dalam pendidikan berkualitas bagi semua warga negara, tanpa memandang jenis kelamin.</p>
<p><em>Gender Equality and Social Inclusion</em> (GESI) merupakan sebuah konsep yang menjadi fokus utama dalam <a href="https://www.econstor.eu/handle/10419/148736">pembangunan sosial</a> dan <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/BF03549793">ekonomi global</a>. </p>
<p>GESI bertujuan untuk menciptakan masyarakat adil dan inklusif, yang di dalamnya, setiap individu memiliki <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13264821003629253">akses setara</a> terhadap sumber daya, peluang, dan keputusan. GESI tidak hanya sebatas pada kesetaraan gender tetapi juga mencakup berbagai dimensi keberagaman untuk <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36693669/">menciptakan masyarakat yang lebih adil dan seimbang</a>.</p>
<p>Inklusi sosial sendiri merupakan perluasan konsep gender yang semakin terbuka, dengan fokus pada usaha untuk meningkatkan martabat dan kemandirian individu sebagai kunci utama menuju pencapaian kualitas hidup yang optimal. <a href="http://repository.iainponorogo.ac.id/1377/1/it%2C%2B2.pdf">GESI</a> menjadi <em>role model</em> dalam menanggulangi kesenjangan dan kerentanan sosial.</p>
<h2>Integrasi GESI dengan kurikulum berbasis lingkungan</h2>
<p>Selain GESI, pemerintah juga memiliki program Adiwiyata, atau yang lebih dikenal sebagai <a href="https://www.sekolahijau.com/literasi-program-adiwiyata/tentang-program-adiwiyata/"><em>Green School</em></a>. </p>
<p>Secara internasional, program ini merupakan inisiatif berupa penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran lingkungan di kalangan siswa. Tujuannya adalah agar setiap anggota komunitas sekolah - termasuk siswa, guru, staf, karyawan, unsur pimpinan sekolah, dan bahkan orang tua siswa - dapat aktif berpartisipasi dalam usaha pelestarian lingkungan, menciptakan lingkungan yang sehat, dan menghindari dampak negatif terhadap ekosistem.</p>
<p>Sekolah Adiwiyata tidak secara eksplisit dirancang sebagai program berbasis GESI. Namun, <a href="https://www.bio-conferences.org/articles/bioconf/abs/2023/15/bioconf_macific2023_06002/bioconf_macific2023_06002.html">hasil penelitian kami</a> membuktikan bahwa sekolah yang berstatus Adiwiyata lebih peduli terhadap pembentukan karakter siswa melalui nilai-nilai seperti kepedulian, tanggung jawab, dan kerja sama.</p>
<p>Hasil <a href="https://www.researchgate.net/publication/377761896_Peduli_Lingkungan_dan_Peduli_Sesama_dalam_Terumbu_Karang_Kesetaraan_Membangun_Inklusi_Sosial_Melalui_Kurikulum_Sekolah_Hijau">penelitian yang dilakukan</a> di Provinsi Kepulauan Riau tersebut juga menunjukkan bahwa program sekolah Adiwiyata muncul sebagai tanggapan atas kebutuhan mendesak untuk menciptakan generasi yang peduli lingkungan dan memiliki kesadaran akan dampak perilaku mereka terhadap bumi. Pelaksanaan program ini tidak hanya berhenti pada pengelolaan sampah atau penanaman pohon, tetapi merambah ke seluruh spektrum inti pendidikan, dari kurikulum pembelajaran hingga partisipasi aktif warga sekolah.</p>
<p>Integrasi GESI dalam kurikulum sekolah, semestinya bersifat terbuka dan inklusif. Apa saja yang diperlukan untuk memastikan integrasi ini terjadi?</p>
<p><strong>1. Keterlibatan</strong></p>
<p>Implementasi GESI di sekolah-sekolah dapat dilakukan dengan melibatkan seluruh warga sekolah ketika menyusun dan mengembangkan peraturan serta pedoman praktik untuk menciptakan lingkungan sekolah yang ramah GESI. Keterlibatan warga sekolah termasuk komite sekolah, guru, siswa, orang tua siswa dan masyarakat di sekitar lingkungan sekolah.</p>
<p>Pelibatan warga sekolah ini bukan hanya semata-mata untuk memastikan berjalannya aturan. Melainkan juga untuk membangun kesadaran bersama dalam menciptakan warga sekolah yang berorientasi GESI.</p>
<p><strong>2. Sosialisasi dan pelatihan</strong></p>
<p>Sekolah juga perlu melakukan sosialisasi dan pelatihan secara berkala untuk meningkatkan kesadaran siswa tentang pentingnya GESI. Sosialisasi ini sebagai bentuk transfer ilmu pengetahuan antar warga sekolah. </p>
<p>Kemudian, sekolah juga perlu melakukan pelatihan berkala untuk menumbuhkan pemahaman konsep serta praktik GESI di sekolah.</p>
<p><strong>3. Fasilitas ramah GESI</strong></p>
<p>Sekolah wajib menyediakan akses fasilitas yang ramah GESI, seperti fasilitas sanitasi yang layak dan aman untuk semua gender serta penyandang disabilitas. Fasilitas ramah GESI ini untuk memastikan bahwa sekolah-sekolah sudah terintegrasi dengan kurikulum berbasis GESI. Hal ini sekaligus merupakan aplikasi dari peraturan mengenai pengarusutamaan gender pada satuan pendidikan.</p>
<p><strong>4. Kolaborasi</strong></p>
<p>Sekolah juga perlu membangun kolaborasi dengan organisasi dan kelompok masyarakat untuk mendukung GESI di sekolah. Peraturan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan sebaiknya tidak hanya diwujudkan dalam tataran formalitas seperti membentuk satuan tugas. Sekolah juga memerlukan kegiatan-kegiatan yang berdampak luas untuk membangun kesadaran bersama dalam mencegah kekerasan berbasis gender di lingkungan sekolah.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/219334/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nikodemus Niko menerima dana Penelitian Fundamental dari Kementerian Ristek Dikti. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Azhari Setiawan menerima dana dari Dirjen DIKTI, Kemendikbudristek, Hibah DIKTI Kompetitif Nasional, Skema Penelitian Dasar , Penelitian Fundamental Reguler.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Casiavera menerima dana dari Direktorat Riset, Teknologi dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DRTPM).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Khairi Rahmi menerima dana dari Kemendikbud.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Rizky Octa Putri Charin Tulisan ini merupakan hasil Penelitian Fundamental Reguler, Skema Penelitian Dasar Kompetitif Nasional yang didanai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Herry Wahyudi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Masyarakat yang tidak inklusif rentan terhadap konflik, ketidakstabilan, dan ketidakadilan. Salah satu cara untuk mengatasai hal ini adalah mengintegrasikan GESI dengan pendidikan.Nikodemus Niko, Lecturer, Universitas Maritim Raja Ali HajiAzhari Setiawan, Lecturer, Universitas Maritim Raja Ali HajiCasiavera, Lecturer, Universitas Maritim Raja Ali HajiHerry Wahyudi, Lecturer, Universitas Maritim Raja Ali HajiKhairi Rahmi, Lecturer, Universitas Maritim Raja Ali HajiRizky Octa Putri Charin, Lecturer, Universitas Maritim Raja Ali HajiLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2122342023-08-31T02:43:55Z2023-08-31T02:43:55ZBerhenti menyebutnya sebagai pilihan: faktor biologis pendorong homoseksualitas<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/544635/original/file-20230824-29-2qnokh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Faktor biologis membentuk preferensi seksual.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/lgbt-lesbian-couple-moments-happiness-concept-575079754?src=-1-53">Rawpixel.com/SHutterstock.com</a></span></figcaption></figure><p>Di berbagai budaya, <a href="https://doi.org/10.1126/science.aat7693">2-10% orang melaporkan memiliki hubungan sesama jenis</a>. Di Amerika Serikat, <a href="https://www.statista.com/topics/1249/homosexuality/">1-2,2% perempuan dan laki-laki</a>, masing-masing mengidentifikasi diri mereka sebagai gay. </p>
<p>Terlepas dari angka-angka ini, <a href="https://www.pewresearch.org/global/2013/06/04/the-global-divide-on-homosexuality/">banyak orang masih menganggap perilaku homoseksual sebagai pilihan anomali atau tidak normal</a>. Namun, para ahli biologi telah <a href="https://us.macmillan.com/books/9780312253776">mendokumentasikan perilaku homoseksual pada lebih dari 450 spesies</a>, berdebat bahwa perilaku sesama jenis bukanlah pilihan yang tidak wajar, dan bahkan mungkin memainkan peran penting dalam populasi.</p>
<p>Dalam <a href="https://doi.org/10.1126/science.aat7693">majalah <em>Science</em> edisi 2019</a>, ahli genetika Andrea Ganna dari Broad Institute of MIT dan Harvard, dan rekannya, menjelaskan survei terbesar yang pernah dilakukan untuk gen yang terkait dengan perilaku seks sesama jenis. Dengan menganalisis DNA hampir setengah juta orang dari Amerika Serikat dan Inggris, mereka menyimpulkan bahwa gen menyumbang antara 8% dan 25% dari perilaku seks sesama jenis.</p>
<p><a href="https://www.nature.com/news/sex-redefined-1.16943">Banyak penelitian telah membuktikan bahwa jenis kelamin (seks) bukan hanya laki-laki atau perempuan</a>. Sebaliknya, ini adalah sebuah kontinum yang muncul dari susunan genetik seseorang. Meskipun demikian, kesalahpahaman tetap ada bahwa ketertarikan sesama jenis adalah pilihan yang menanggung kecaman atau <a href="https://www.apa.org/pi/lgbt/resources/just-the-facts">konversi</a>, dan mengarah pada diskriminasi dan penganiayaan.</p>
<p><a href="https://wjsulliv.wixsite.com/sullivanlab">Saya seorang ahli biologi molekuler</a> dan tertarik dengan penelitian baru ini karena penelitian ini semakin memperjelas kontribusi genetik terhadap perilaku manusia. </p>
<p>Sebagai penulis buku <a href="https://www.penguinrandomhouse.com/books/608709/pleased-to-meet-me-by-bill-sullivan/9781426220555/">“<em>Pleased to Meet Me: Genes, Germs, and the Curious Forces That Make Us Who We Are</em>,”</a> saya telah meneliti secara ekstensif mengenai kekuatan biologis yang bersekongkol untuk membentuk kepribadian dan perilaku manusia, termasuk faktor-faktor yang memengaruhi ketertarikan seksual.</p>
<h2>Perburuan ‘gen <em>gay</em>’</h2>
<p>Temuan baru ini konsisten dengan beberapa penelitian sebelumnya tentang anak kembar yang mengindikasikan ketertarikan sesama jenis adalah sifat yang dapat diturunkan.</p>
<figure class="align-left ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/290580/original/file-20190902-175663-baya3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/290580/original/file-20190902-175663-baya3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=1200&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/290580/original/file-20190902-175663-baya3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=1200&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/290580/original/file-20190902-175663-baya3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=1200&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/290580/original/file-20190902-175663-baya3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1508&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/290580/original/file-20190902-175663-baya3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1508&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/290580/original/file-20190902-175663-baya3w.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1508&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa gen bertanggung jawab atas antara 8% dan 25% dari ketertarikan terhadap sesama jenis.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-illustration/dna-multi-color-isolated-on-white-717211195?src=-1-47">Guru 3D</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Studi 2019 adalah yang terbaru dalam perburuan “gen gay” yang dimulai pada 1993, ketika Dean Hamer <a href="https://doi.org/10.1126/science.8332896">mengaitkan homoseksualitas laki-laki dengan bagian kromosom X</a>. Seiring dengan meningkatnya kemudahan dan keterjangkauan pengurutan genom, kandidat gen tambahan telah muncul dengan potensi hubungan dengan perilaku homoseksual. Apa yang disebut <a href="https://doi.org/10.1038/s41598-017-15736-4">studi asosiasi seluruh genom mengidentifikasi sebuah gen yang disebut <em>SLITRK6</em></a>, yang aktif di daerah otak yang disebut <em>diencephalon</em> yang berbeda ukurannya antara orang yang homoseksual atau heteroseksual.</p>
<p>Studi genetik pada tikus telah menemukan kandidat gen tambahan yang dapat memengaruhi preferensi seksual. Sebuah studi pada 2010 <a href="https://doi.org/10.1186/1471-2156-11-62">mengaitkan preferensi seksual dengan gen yang disebut <em>fucose mutarotase</em></a>. Ketika gen tersebut dihapus pada tikus betina, mereka tertarik pada bau betina dan lebih suka menaiki betina daripada jantan.</p>
<p>Penelitian lain telah menunjukkan bahwa <a href="https://doi.org/10.1038/nature06089">gangguan pada gen yang disebut <em>TRPC2</em></a> dapat menyebabkan tikus betina bertingkah laku seperti tikus jantan. <a href="https://doi.org/10.1126/science.1069259">Tikus jantan yang tidak memiliki <em>TRPC2</em></a> tidak lagi menunjukkan agresi jantan-jantan, dan mereka memulai perilaku seksual terhadap jantan dan betina. Diekspresikan di otak, <em>TRPC2</em> berfungsi dalam pengenalan feromon, bahan kimia yang dilepaskan oleh salah satu anggota spesies untuk mendapatkan respons dari spesies lain.</p>
<p>Dengan adanya beberapa kandidat gen yang dikaitkan dengan homoseksualitas, tampaknya sangat tidak mungkin bahwa ada satu gen “gay”. Gagasan ini didukung lebih lanjut oleh <a href="https://doi.org/10.1126/science.aat7693">studi baru</a>, yang mengidentifikasi lima lokus genetik baru (posisi tetap pada kromosom) yang berkorelasi dengan aktivitas seksual sesama jenis: dua lokus yang muncul pada laki-laki dan perempuan, dua lokus pada laki-laki, dan satu lokus pada perempuan.</p>
<h2>Bagaimana gen-gen ini dapat memengaruhi perilaku seks sesama jenis?</h2>
<p>Saya kira menarik bahwa beberapa gen dari para laki-laki yang diidentifikasi dalam penelitian Ganna berhubungan dengan sistem penciuman, sebuah temuan yang memiliki kesamaan dengan penelitian pada tikus. </p>
<p>Kelompok Ganna menemukan varian gen lain yang mungkin terkait dengan regulasi hormon seks, yang sebelumnya telah disarankan oleh para ilmuwan lain untuk memainkan peran besar dalam membentuk otak dengan cara-cara yang memengaruhi perilaku seksual. </p>
<figure class="align-right ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/290575/original/file-20190902-175691-1l5i9pk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/290575/original/file-20190902-175691-1l5i9pk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=846&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/290575/original/file-20190902-175691-1l5i9pk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=846&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/290575/original/file-20190902-175691-1l5i9pk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=846&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/290575/original/file-20190902-175691-1l5i9pk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1063&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/290575/original/file-20190902-175691-1l5i9pk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1063&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/290575/original/file-20190902-175691-1l5i9pk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1063&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Kondisi di dalam rahim selama kehamilan diduga memengaruhi preferensi seksual anak.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/beautiful-pregnant-woman-shopping-bags-outdoors-503149633?src=-1-18">Anna Om/Shutterstock.com</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Laki-laki dengan kondisi genetik yang disebut <a href="https://ghr.nlm.nih.gov/condition/androgen-insensitivity-syndrome">sindrom ketidaksensitifan androgen</a> dapat mengembangkan alat kelamin perempuan dan biasanya dibesarkan sebagai anak perempuan, meskipun secara genetik adalah laki-laki - dengan kromosom X dan Y - dan mereka tertarik pada laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa testosteron diperlukan untuk “memaskulinisasi” otak prenatal; jika hal tersebut tidak terjadi, anak tersebut akan tumbuh menjadi laki-laki.</p>
<p>Demikian pula, anak perempuan yang memiliki kondisi genetik yang disebut <a href="https://www.nichd.nih.gov/health/topics/cah">hiperplasia adrenal kongenital</a> terpapar dengan kadar hormon laki-laki yang sangat tinggi seperti testosteron saat berada di dalam rahim, yang dapat membuat otak mereka menjadi maskulin dan meningkatkan kemungkinan terjadinya lesbianisme. </p>
<p>Ada kemungkinan juga bahwa pergeseran hormon selama kehamilan dapat memengaruhi bagaimana otak janin dikonfigurasi. Pada tikus, <a href="https://doi.org/10.1210/en.2011-0277">manipulasi hormon selama kehamilan</a> menghasilkan keturunan yang menunjukkan perilaku homoseksual.</p>
<h2>Mengapa perilaku homoseksual ada?</h2>
<p>Beberapa hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan bagaimana homoseksualitas dapat bermanfaat dalam melanggengkan gen keluarga. Salah satu gagasan melibatkan konsep seleksi kerabat, yakni orang-orang bekerja untuk memastikan penerusan gen keluarga mereka ke generasi berikutnya. Paman dan bibi gay, misalnya, adalah “<a href="https://doi.org/10.1177/0956797609359623">penolong dalam sarang</a>” yang membantu membesarkan anak-anak anggota keluarga lain untuk memelihara silsilah keluarga.</p>
<p>Gagasan lain menyatakan bahwa homoseksualitas adalah “sifat yang dipertukarkan”. Sebagai contoh, gen tertentu pada perempuan membantu meningkatkan kesuburan mereka, tapi <a href="https://doi.org/10.1111/j.1743-6109.2008.00944.x">jika gen ini diekspresikan pada laki-laki</a>, gen ini akan membuatnya cenderung menjadi homoseksual.</p>
<p>Perilaku seksual sangat beragam dan diatur oleh mekanisme yang canggih di seluruh kerajaan hewan. Seperti halnya perilaku kompleks lainnya, tidak mungkin untuk memprediksi seksualitas dengan menatap sekuens DNA seolah-olah itu adalah bola kristal. Perilaku tersebut muncul dari konstelasi ratusan, bahkan mungkin ribuan dari gen, dan bagaimana mereka diatur oleh lingkungan.</p>
<p>Meskipun tidak ada “gen gay” tunggal, ada banyak bukti tentang dasar biologis untuk orientasi seksual yang diprogram ke dalam otak sebelum kelahiran berdasarkan campuran genetika dan kondisi prenatal, tidak ada yang dipilih oleh janin.</p>
<hr>
<p><em>Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/212234/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Bill Sullivan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sebuah studi baru terhadap hampir 500.000 orang menemukan bahwa banyak gen yang memengaruhi perilaku seks sesama jenis.Bill Sullivan, Professor of Pharmacology & Toxicology, Indiana UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2121652023-08-30T06:38:40Z2023-08-30T06:38:40ZBisakah perempuan punya penis? Bagaimana memahami perbedaan pengakuan pendapat tentang pengakuan gender<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/544369/original/file-20230823-15-vp3r31.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Instalasi Another Place karya Anthony Gormley telah menjadi situs terbaru dari perselisihan mengenai gender.</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Anggota kelompok kecil pembela hak-hak perempuan, <a href="https://news.sky.com/story/liverpool-resisters-criticised-for-anti-trans-sticker-stunt-on-crosby-beach-statues-11477713">Liverpool ReSisters</a>, telah menyatakan bahwa “perempuan tidak memiliki penis”. </p>
<p>Mereka tampaknya sangat yakin akan hal ini, sampai-sampai menempelkan stiker yang menyatakan hal tersebut di area genital beberapa patung yang membentuk karya seni Anthony Gormley, <a href="https://www.visitliverpool.com/things-to-do/another-place-by-antony-gormley-p160981"><em>Another Place</em></a> di Pantai Crosby dekat Liverpool. Ini adalah aksi yang menarik perhatian. Namun apakah mereka benar? Tergantung apa yang mereka maksud dengan “perempuan”.</p>
<p>Klaim itu mungkin terdengar aneh. Kita mungkin berpikir bahwa sudah jelas apa arti “perempuan”. Dan itu sebagian karena ada mitos tentang laki-laki dan perempuan yang sudah lama mengakar kuat di masyarakat kita. Bunyinya seperti ini:</p>
<blockquote>
<p>Ada dua jenis manusia. Satu jenis, laki-laki, memiliki penis, testis, dan kromosom XY, dan jenis lainnya, perempuan, memiliki vulva, rahim, payudara, dan kromosom XX. Setiap orang memiliki salah satu dari keduanya. Laki-laki dan perempuan memiliki karakter yang berbeda yang secara alami berasal dari tubuh mereka yang berbeda, dan oleh karena itu cocok untuk peran sosial yang berbeda.</p>
</blockquote>
<p>Selama setengah abad terakhir ini, kita telah mengetahui bahwa hampir tidak ada satu pun dari mitos ini yang benar.</p>
<p>Tubuh manusia memiliki berbagai macam konfigurasi yang <a href="https://www.nature.com/news/sex-redefined-1.16943">tidak sesuai dengan pembagian antara laki-laki dan perempuan</a>, dan tidak ada hubungan langsung antara jenis kelamin seseorang dan sifat-sifatnya. Sistem organisasi sosial berdasarkan jenis kelamin membatasi pilihan orang tanpa alasan yang jelas. Sistem ini memastikan bahwa laki-laki secara keseluruhan memiliki kekuasaan, kesempatan, dan status yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan.</p>
<p>Selain itu, banyak orang memiliki suatu perasaan subjektif mengenai diri mereka sebagai laki-laki, perempuan, jenis kelamin lain, atau tidak sama sekali, yang dikenal sebagai identitas gender. Identitas gender tidak ditentukan oleh tipe tubuh, kepribadian, atau peran sosial seseorang. Melainkan, ini adalah masalah bagaimana seseorang merasa paling nyaman dalam menavigasi masyarakat gender kita. </p>
<p>Orang trans adalah orang yang identitas gendernya berbeda dengan cara mereka dikategorikan sebagai laki-laki atau perempuan pada saat lahir berdasarkan tubuh mereka.</p>
<h2>Membongkar mitos</h2>
<p>Mitos bahwa laki-laki dan perempuan memiliki karakter yang berbeda dan cocok untuk peran sosial yang berbeda membuatnya tampak seperti ada satu hal yang terjadi di sini - jenis kelamin biologis - yang memiliki berbagai implikasi alami. Beberapa feminis menyarankan bahwa lebih baik berpikir bahwa ada dua hal yang terjadi: <a href="https://www.medicalnewstoday.com/articles/232363.php">jenis kelamin biologis, dan juga gender,</a> yang dapat dianggap sebagai dampak sosial dari memiliki suatu jenis kelamin biologis dalam masyarakat yang berada dalam cengkeraman mitos yang baru saja saya jelaskan.</p>
<p>Namun, apakah kita berpikir dalam hal satu hal (seks atau jenis kelamin) atau dua hal (seks dan gender), ini terlalu sederhana. Gender/seks sebenarnya adalah sekelompok hal yang kompleks dan beraneka ragam yang saling berkaitan dan berinteraksi dalam berbagai cara.</p>
<p>Untuk mengetahui mengapa demikian, coba pikirkan tentang berbagai cara yang dapat kita gunakan untuk mengelompokkan orang berdasarkan gender/seks. Bahkan jika kita hanya membatasi fokus kita pada tubuh manusia, kita akan memiliki banyak pilihan: apakah kita harus berfokus pada kromosom, atau alat kelamin, atau karakteristik seks sekunder seperti payudara dan jenggot? Masing-masing akan memberikan hasil yang berbeda tentang siapa yang masuk dalam kategori yang mana. </p>
<p>Dan ketika kita beralih untuk melihat dunia sosial, hasilnya akan semakin berantakan. Jika kita fokus pada orang-orang yang dianggap dan diperlakukan sebagai perempuan atau laki-laki, kita akan mendapatkan hasil yang berbeda dalam konteks yang berbeda. Melihat identitas gender akan memberikan hasil yang lebih banyak lagi, seperti halnya melihat bagaimana orang menyesuaikan diri dengan stereotip karakter gender (menjadi peduli, misalnya) dan bagaimana orang diklasifikasikan secara hukum.</p>
<h2>Apa yang harus kita maksudkan?</h2>
<p>Nah, jika gender/seks adalah satu hal tunggal, maka akan ada satu jawaban yang pasti untuk pertanyaan, “Apakah perempuan bisa memiliki penis?” Namun, seperti yang telah kita lihat, jauh lebih masuk akal untuk berpikir bahwa gender/seks bukanlah satu hal tunggal, melainkan banyak hal yang berbeda tapi saling berkaitan. Dan itu berarti kita tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut sampai kita mengetahui aspek seks/gender apa yang ingin kita tangkap dengan kata “perempuan ”. </p>
<p>Lebih penting lagi, kita juga perlu menanyakan aspek seks/gender apa yang harus kita coba tangkap, mengingat apa yang ingin kita capai dan situasi yang kita hadapi. Sebagai contoh, untuk tujuan medis tertentu - tes untuk berbagai jenis kanker, misalnya - akan sangat berguna untuk membagi orang berdasarkan organ reproduksi internal mereka. </p>
<p>Untuk tujuan melacak jenis diskriminasi tertentu - calon pekerja yang tidak diterima karena mereka yang merekrutnya berpikir bahwa mereka akan segera hamil dan mengambil cuti melahirkan, misalnya - masuk akal untuk berfokus pada bagaimana tubuh seseorang dilihat oleh orang-orang di sekitarnya. </p>
<p>Dan jika kita ingin membagi orang menjadi mereka yang dapat melakukan pekerjaan perawatan dengan baik dan mereka yang tidak dapat melakukannya, maka tidak ada aspek gender/jenis kelamin yang dapat membantu kita untuk melakukan hal ini. Karena keterampilan yang dibutuhkan untuk pekerjaan perawatan tidak ada hubungannya dengan gender/jenis kelamin.</p>
<h2>Mengapa hal ini penting saat ini</h2>
<p>Saat ini, pemerintah Inggris <a href="https://www.gov.uk/government/consultations/reform-of-the-gender-recognition-act-2004">sedang berkonsultasi</a> mengenai apakah mereka harus membuat perubahan pada Undang-Undang Pengakuan Gender tahun 2004, undang-undang yang saat ini mengatur agar orang-orang trans dapat mengubah jenis kelamin resmi mereka, termasuk jenis kelamin pada akta kelahiran mereka. Mengingat waktu protes mereka, cukup masuk akal untuk mengasumsikan bahwa ketika Liverpool ReSisters mengatakan bahwa “perempuan tidak memiliki penis”, mereka mengacu pada bagaimana jenis kelamin legal seseorang harus diputuskan. </p>
<p>Namun, ada alasan yang bagus untuk berpikir bahwa yang penting bagi gender legal sebenarnya adalah identitas gender. Hal ini karena fungsi penanda gender legal adalah untuk memungkinkan orang bergerak dalam masyarakat gender dengan cara-cara tertentu - dan identitas gender adalah masalah bagaimana seseorang merasa paling nyaman dalam menavigasi masyarakat gender. </p>
<p>Orang-orang trans yang dipaksa untuk bergerak di tengah masyarakat dengan cara yang pada dasarnya bertentangan dengan identitas gender mereka melaporkan bahwa hal ini merupakan pengalaman yang sangat menyedihkan dan berbahaya, dan ada banyak alasan untuk meyakini bahwa laporan tersebut benar adanya. Menanggapi kerugian ini dengan serius, menurut saya, berarti pengakuan negara atas gender seseorang seharusnya memperhatikan identitas gender.</p>
<p>Jika hal ini benar, apa artinya klaim Liverpool ReSisters bahwa “perempuan tidak memiliki penis”? Nah, karena identitas gender tidak ditentukan oleh jenis alat kelamin yang dimiliki seseorang, maka seseorang dengan identitas gender perempuan bisa saja memiliki penis. Dengan kata lain, ya, beberapa perempuan memiliki penis.</p>
<p><em>Untuk pandangan lain terkait topik ini, <a href="https://theconversation.com/why-self-identification-should-not-legally-make-you-a-woman-103372">klik di sini</a></em></p>
<hr>
<p><em>Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/212165/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Katharine Jenkins sebelumnya telah menerima dana dari Arts and Humanities Research Council.</span></em></p>Pemerintah Inggris sedang berkonsultasi untuk mengubah undang-undang pengakuan gender. Inilah yang perlu kamu ketahui.Katharine Jenkins, Assistant Professor of Philosophy, University of NottinghamLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2070512023-07-05T10:02:43Z2023-07-05T10:02:43ZBagaimana orang-orang aseksual menjalani hubungan romantis<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/535757/original/file-20230705-21-zrj432.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Bendera kelompok aseksual.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/rendering-3d-illustration-asexual-pride-flag-royalty-free-image/1351003585?phrase=asexual+pride+flag&adppopup=true">Queso/iStock via Getty Images</a></span></figcaption></figure><p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00224490409552235">Meskipun diperkirakan 1% orang mengidentifikasi diri mereka sebagai aseksual</a> – orientasi seksual yang sering didefinisikan sebagai absennya ketertarikan seksual – orang-orang aseksual tetap relatif tidak kelihatan dan jarang diteliti. Karena alasan-alasan ini, mereka sering menjadi sasaran <a href="https://doi.org/10.1080/19419899.2013.774162">diskriminasi dan stereotip</a>.</p>
<p>Sebagai contoh, ada asumsi umum bahwa semua orang yang aseksual pasti juga “aromantis” - bahwa mereka tidak tertarik untuk menjalin hubungan romantis atau tidak bisa melakukannya.</p>
<p>Namun, hal itu jauh dari kebenaran. Aseksualitas ada dalam sebuah spektrum, dan ada berbagai macam cara orang-orang yang termasuk kelompok ini memandang dan mengalami seksualitas dan percintaan.</p>
<p><a href="https://www.doi.org/10.3389/fpsyg.2022.912978">Dalam penelitian yang terbit tahun lalu</a> yang saya lakukan dengan beberapa rekan akademisi Michigan State University di Amerika Serikat (AS) dan juga beberapa rekan peneliti lain, kami menyurvei orang-orang dalam spektrum aseksual yang waktu itu berada dalam hubungan romantis. Kami ingin mempelajari lebih lanjut tentang bagaimana kelompok aseksual mengalami hubungan romantis dan mengangkat pengalaman mereka – yang banyak di antaranya ternyata tidak jauh berbeda dengan pengalaman orang-orang di luar spektrum aseksual.</p>
<h2>Spektrum seksualitas yang sering diabaikan</h2>
<p>Di luar <a href="https://www.researchgate.net/scientific-contributions/Alexandra-Brozowski-2230892618">pekerjaan saya sebagai peneliti psikologi</a>, saya adalah seseorang yang termasuk dalam kelompok aseksual.</p>
<p>Secara khusus, saya adalah seorang <a href="https://demisexuality.org/articles/what-is-gray-asexuality/"><em>gray-asexual</em></a> heteroromantis: Saya adalah seseorang yang merasakan ketertarikan romantis terhadap orang dengan jenis kelamin atau gender lain, tetapi saya mengalami ketertarikan seksual yang berfluktuasi atau terbatas. </p>
<p>Namun, dalam penelitian yang ada, saya hanya menemukan sedikit contoh orang seperti saya. Sebagian besar penelitian tampaknya berfokus pada orang-orang yang benar-benar aseksual, bukan mereka yang ada di area abu-abu.</p>
<p>Di media populer, sosok-sosok aseksual bahkan jarang sekali muncul. <a href="https://www.themiamihurricane.com/2019/10/30/on-asexuality-the-big-bang-theory-and-representation/">Ketika mereka ada sekalipun</a>, mereka sering digambarkan sebagai orang yang aneh, robotik, dan tidak mampu mencintai. Dalam budaya arus utama, ada juga unsur penyangkalan dengan banyak orang yang percaya bahwa aseksualitas itu mustahil - bahwa mereka yang mengidentifikasi diri sebagai aseksual pasti memiliki sesuatu yang salah dalam diri mereka, seperti masalah hormonal. Ada anggapan bahwa mungkin mereka hanya “<a href="https://medium.com/@acegirl/being-asexual-does-not-mean-we-havent-found-the-right-person-yet-459eb3938312">belum menemukan orang yang tepat</a>” saja atau perlu “berusaha lebih keras”.</p>
<p>Jadi, penelitian ini lahir dari pengalaman saya sebagai orang yang berada dalam spektrum aseksual. Karena itulah, sangat penting bagi saya untuk membahas semua orang aseksual yang berbeda di luar sana dan memberikan suara bagi komunitas saya.</p>
<p>Banyak orang aseksual memilih untuk menjalin hubungan; hanya saja mereka mungkin menjalani prosesnya dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa orang mungkin berpartisipasi dalam <a href="https://www.brook.org.uk/your-life/non-monogamous-relationships/">hubungan nonmonogami</a>. Yang lain mungkin terpaksa mengungkapkan identitas dan preferensi mereka dengan cara yang berbeda, bertanya-tanya kapan – dan apakah perlu – mereka membuka diri kepada calon pasangan, karena takut reaksinya akan kurang positif dan menyebabkan kesulitan dalam menjalin hubungan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Seseorang membawa poster yang bertuliskan '_The 'A' is for Asexual_'." src="https://images.theconversation.com/files/492845/original/file-20221101-25187-aalrfp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/492845/original/file-20221101-25187-aalrfp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=482&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/492845/original/file-20221101-25187-aalrfp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=482&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/492845/original/file-20221101-25187-aalrfp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=482&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/492845/original/file-20221101-25187-aalrfp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=605&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/492845/original/file-20221101-25187-aalrfp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=605&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/492845/original/file-20221101-25187-aalrfp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=605&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Banyak orang secara keliru beranggapan bahwa orang yang aseksual lebih kecil kemungkinannya untuk menjalin hubungan romantis.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/news-photo/participant-holds-a-sign-that-says-the-a-is-for-asexual-news-photo/835534248?phrase=asexual&adppopup=true">Robert Perry/Getty Images</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Namun, banyak orang aseksual mengamini <em><a href="https://www.gsrc.princeton.edu/split-attraction#:%7E:text=According%20to%20the%20split%20attraction,the%20same%20for%20some%20people.">Split Attraction Model</a></em>, yakni teori yang menunjukkan bagaimana ketertarikan romantis dan seksual merupakan dua pengalaman yang berbeda, dan oleh karena itu, seseorang dapat mengalami seks tanpa cinta dan cinta tanpa seks. Dengan pemikiran ini, memungkinkan bagi orang aseksual untuk mengidentifikasi diri mereka dengan orientasi romantis dan kemudian mengejar hubungan asmara, karena keduanya merupakan pengalaman yang berbeda.</p>
<h2>Hubungan yang berpusat pada asmara</h2>
<p>Untuk penelitian kami, kami mencoba memahami pemisahan (<em>split</em>) ini. Kami menyurvei 485 orang yang mengidentifikasi diri mereka berada dalam spektrum aseksual dan pada saat itu berada dalam hubungan romantis. </p>
<p>Para partisipan mengidentifikasi diri sebagai heteroromantis (tertarik secara romantis pada lawan gender), biromantis (tertarik secara romantis pada lebih dari satu gender), homoromantis (tertarik secara romantis pada gender yang sama), panromantis (tertarik secara romantis pada semua gender atau identitas gender apapun), dan banyak lagi. Ini menunjukkan keragaman yang signifikan di antara corak ketertarikan romantis kelompok ini.</p>
<p>Kami kemudian bertanya kepada mereka tentang kepuasan hubungan mereka, tingkat keterlibatan mereka dalam hubungan, dan bagaimana mereka memandang alternatif-alternatif hubungan di luar hubungan mereka. </p>
<p>Selain itu, kami juga mengeksplor <em><a href="https://www.attachmentproject.com/blog/four-attachment-styles/">attachment orientation</a></em> mereka. Hal ini didefinisikan sebagai cara orang mendekati relasi-relasi tedekat mereka. Ini juga biasanya terbentuk pada masa kanak-kanak dan merupakan pola yang berlanjut hingga dewasa.</p>
<p>Orang cenderung menunjukkan suatu “<em>anxious attachment style</em>” yang sering ditandai dengan perasaan khawatir akan ditinggalkan dan rasa cemas akan potensi hilangnya hubungan; suatu “<em>avoidant attachment style</em>” yang berarti seseorang mungkin mendorong orang lain menjauh atau takut akan keintiman emosional; atau “<em>secure attachment style</em>” yakni saat orang merasa aman dalam emosi mereka dan dapat mempertahankan hubungan yang bertahan lama.</p>
<p>Pada akhirnya, hasil penelitian kami secara umum konsisten dengan <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/1475-6811.00035">penelitian sebelumnya</a> tentang hubungan dalam segala bentuknya. Seperti halnya hubungan-hubungan tersebut, kami menemukan bahwa orang-orang aseksual yang lebih puas dan lebih menginvestasikan diri, cenderung lebih berkomitmen dalam hubungan mereka. Ketika mereka tidak mendambakan orang lain atau tidak melihat kesendirian sebagai alternatif yang lebih baik, hubungan mereka cenderung lancar dan berkembang. </p>
<p>Pola-pola <em>attachment orientation</em> yang timbul juga secara umum konsisten dengan penelitian sebelumnya pada kelompok seksualitas lain. Sama seperti <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1475-6811.2012.01423.x">studi</a> yang dilakukan terhadap bentuk hubungan lain, individu aseksual yang menghindar (<em>avoidant</em>) secara romantis juga kurang berkomitmen, kurang puas, dan kuran menginvestasikan diri dalam hubungan mereka, sebagaimana yang bisa dibayangkan. </p>
<p>Namun, ada juga beberapa inkonsistensi dengan penelitian sebelumnya. Sebagai contoh, di antara orang-orang aseksual, <em>anxious attachment style</em> sebenarnya berkorelasi dengan komitmen dan kepuasan yang lebih tinggi. Pada jenis <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4939067/">hubungan lainnya</a>, cenderung terjadi hal yang sebaliknya.</p>
<p>Meskipun begitu, saya berharap penelitian ini akan membantu menormalisasi gagasan bahwa orang aseksual bisa saja terlibat dan sukses dalam hubungan romantis. Ternyata orang aseksual dapat mengalami cinta romantis seperti halnya orang dengan orientasi seksual lainnya: dengan kesempatan yang sama untuk meraih kegembiraan dan perkembangan, tantangan yang sama dalam menghadapi konflik dan kompromi, dan kemungkinan yang sama untuk berkomitmen seumur hidup.</p>
<hr>
<p><em>Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara berkontribusi dalam penerjemahan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/207051/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Alexandra Brozowski tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ada asumsi bahwa orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai aseksual itu juga ‘aromantis’ – bahwa mereka tidak tertarik atau tidak bisa menjalin hubungan romantis. Benarkah?Alexandra Brozowski, Research Associate, Michigan State UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2067602023-06-03T04:54:27Z2023-06-03T04:54:27ZJudith Butler: memahami gagasan filsafat bahwa gender tidak biologis, tapi performatif<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/529718/original/file-20230602-15-z260dg.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C0%2C1260%2C1005&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Judith Butler, filsuf Amerika Serikat yang sangat berpengaruh di bidang gender.</span> <span class="attribution"><span class="source">Miquel Taverna/Wikimedia Commons</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Sulit untuk berani membesar-besarkan pentingnya peran dan kontribusi filsuf dan ahli teori gender asal Amerika Serikat (AS), Judith Butler, baik bagi kalangan intelektual maupun komunitas <em>queer</em> (istilah payung untuk minoritas seksual yang mengidentifikasi dirinya bukan heteroseksual, heteronormatif, atau biner gender). Faktanya, banyak buku-buku ilmiah, mata kuliah di universitas, klub penggemar, laman media sosial dan komik yang didedikasikan untuk pemikiran Butler. </p>
<p>“Mereka” (panggilan pilihan Butler) tidak sendirian menciptakan teori <em>queer</em> dan perluasan identitas gender saat ini, tetapi karya mereka sering dikreditkan dalam membantu membuat perkembangan ini menjadi mungkin.</p>
<p>Banyak juga gerakan politik yang mengilhami karya Butler. Butler pernah bekerja untuk <a href="https://outrightinternational.org/insights">Komisi Hak Asasi Manusia Gay dan Lesbian Internasional</a>, berbicara pada protes <a href="http://occupywallst.org/">Occupy Wall Street</a> (gerakan protes sosial yang di Zuccotti Park, distrik keuangan Wall Street New York, pada September 2011), membela kampanye <a href="https://bdsmovement.net/news/judith-butler-rashid-khalidi-and-over-150-other-scholars-condemn-censorship-intimidation-israel">Boycott, Divestment and Sanctions (BDS) </a> (aksi mendukung boikot, divestasi dan sanksi terhadap Israel atas apa yang dilakukannya di Palestina). Tindakan Butler yang paling terkenal adalah menolak menerima <a href="https://mronline.org/2010/06/20/judith-butler-turns-down-civil-courage-award-from-berlin-pride-i-must-distance-myself-from-this-racist-complicity/">penghargaan keberanian sipil (Civil Courage Award)</a> di Berlin karena penyelenggaranya melontarkan komentar-komentar rasis.</p>
<p>Hal-hal yang dilakukannya kerap menimbulkan kontroversi. Beberapa gerakan sayap kanan dan tokoh agama yang meyakini peran gender konservatif melihat Butler sebagai ancaman bagi masyarakat. Ini ironis, mengingat karya-karya Butler selalu mempertahankan komitmen terhadap keadilan, kesetaraan, dan antikekerasan.</p>
<h2>Teori Performativitas Gender</h2>
<p>Peninggalan paling berpengaruh dalam karya Butler adalah teori performativitas gender. Dalam seluruh karya Butler selama beberapa dekade, teori ini telah melalui proses penyempurnaan, tetapi paling banyak dibahas secara langsung dalam buku “<a href="https://www.routledge.com/Gender-Trouble-Feminism-and-the-Subversion-of-Identity/Butler/p/book/9780415389556">Gender Trouble</a>” (1990), “<a href="https://www.routledge.com/Bodies-That-Matter-On-the-Discursive-Limits-of-Sex/Butler/p/book/9780415610155">Bodies That Matter</a>” (1993), dan “<a href="https://www.routledge.com/Undoing-Gender/Butler/p/book/9780415969239">Undoing Gender</a>” (2004).</p>
<p>Dalam karya-karya tersebut, Butler menantang pemahaman esensialis tentang gender: termasuk asumsi bahwa maskulinitas dan feminitas adalah sesuatu yang diberikan secara alamiah atau biologis, bahwa maskulinitas harus dilakukan oleh tubuh laki-laki dan feminitas oleh tubuh perempuan, dan bahwa tubuh-tubuh tersebut secara alamiah menginginkan “lawannya”. </p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/488903/original/file-20221010-59059-ekiemt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="buku 'Gender Trouble' karya Judith Butler" src="https://images.theconversation.com/files/488903/original/file-20221010-59059-ekiemt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/488903/original/file-20221010-59059-ekiemt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=932&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/488903/original/file-20221010-59059-ekiemt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=932&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/488903/original/file-20221010-59059-ekiemt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=932&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/488903/original/file-20221010-59059-ekiemt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1171&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/488903/original/file-20221010-59059-ekiemt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1171&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/488903/original/file-20221010-59059-ekiemt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1171&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption"></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Hidup dalam komunitas gay dan lesbian, Butler telah melihat bagaimana bahkan di kalangan feminis, asumsi-asumsi ini sering kali mengakibatkan kehidupan yang tidak layak bagi mereka yang tidak mengikuti ekspektasi gender.</p>
<p>Oleh karena itu, Butler mulai menantang cara-cara yang selama ini digunakan untuk menampilkan maskulinitas dan feminitas –– yang biasanya juga dianggap sebagai cara yang benar untuk “melakukan” gender. Butler menggunakan konsep “norma” gender untuk menggambarkan kebingungan tentang apa yang “ada” dengan apa yang “seharusnya”, kebingungan yang menghalangi kita untuk melihat kemungkinan cara hidup yang lain sebagai sesuatu yang sah atau bahkan membayangkan adanya kemungkinan seperti itu.</p>
<p>Sebaliknya, Butler mengusung konsep bahwa gender tidak bersifat biologis, tetapi performatif. Istilah performativitas tidak hanya berarti kinerja. Kita dapat memahaminya jika menggunakan istilah ahli bahasa <a href="https://plato.stanford.edu/entries/austin-jl/">konsep, J.L. Austin</a>, tentang ujaran performatif yang mengacu pada pernyataan yang menghasilkan apa yang dinyatakannya. Contohnya adalah pernyataan “Saya sekarang menyatakan kamu sebagai suami dan istri”. Jika diucapkan oleh seseorang yang secara sosial punya wewenang untuk mengucapkannya, pernyataan itu bisa menciptakan pasangan suami istri.</p>
<p>Butler berpendapat bahwa gender bekerja dengan cara ini: ketika kita menamai seorang anak sebagai “perempuan” atau “laki-laki”, kita secara tidak langsung berkontribusi dalam menciptakan mereka sebagai sesuatu yang seperti itu. Dengan menyebut orang lain (atau diri kita sendiri) sebagai laki-laki atau perempuan, kita sedang dalam proses menciptakan dan mendefinisikan kategori-kategori tersebut.</p>
<p>Beberapa teori gender <a href="https://plato.stanford.edu/entries/feminism-gender/">membedakan antara jenis kelamin biologis dan gender sosial</a>, tetapi Butler menganggap hal ini kontraproduktif. Bagi Butler, membicarakan jenis kelamin biologis yang ada di luar makna sosialnya adalah hal yang tidak masuk akal. Jika memang ada, kita tidak dapat menemukannya, karena kita terlahir ke dalam dunia yang sudah memiliki pemahaman tertentu mengenai gender, dan dunia tersebut kemudian secara retrospektif memberi tahu kita makna anatomi kita. Kita tidak dapat mengenal diri kita sendiri di luar makna sosial tersebut. Faktanya, sebagian besar karya Butler memang mengingatkan kita semua bahwa kita tidak dapat sepenuhnya mengenal diri kita sendiri.</p>
<figure class="align-left zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/488904/original/file-20221010-59048-cedhj0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="buku 'Undoing Gender' karya Judith Butler" src="https://images.theconversation.com/files/488904/original/file-20221010-59048-cedhj0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/488904/original/file-20221010-59048-cedhj0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=898&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/488904/original/file-20221010-59048-cedhj0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=898&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/488904/original/file-20221010-59048-cedhj0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=898&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/488904/original/file-20221010-59048-cedhj0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1128&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/488904/original/file-20221010-59048-cedhj0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1128&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/488904/original/file-20221010-59048-cedhj0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1128&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption"></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pada titik ini, Butler sering dituduh berpikir bahwa gender sepenuhnya disebabkan oleh bahasa dan tidak ada hubungannya dengan tubuh atau bahwa kita dapat dengan mudah memutuskan jenis kelamin kita saat kita bangun di pagi hari. </p>
<p>Padahal maksudnya bukan itu. Maksud Butler adalah kita mereproduksi gender tidak hanya melalui cara berbicara yang diulang-ulang, tapi juga melalui perbuatan. Kita berpakaian dengan cara tertentu, melakukan latihan tertentu di tempat olahraga, menggunakan bahasa tubuh tertentu, mengunjungi dokter spesialis tertentu, dan seterusnya. Melalui pengulangan seperti itu, gender diperkuat, lapis demi lapis, hingga tampak tak terhindarkan.</p>
<p>Namun, pekerjaan menciptakan dan mendefinisikan ulang gender ini tidak pernah selesai - agar norma-norma gender dapat bertahan, norma-norma tersebut harus terus diulang. Ini berarti dalam jangka panjang, norma-norma gender pada dasarnya terbuka untuk berubah. Kita tidak akan pernah bisa membuat norma-norma tersebut benar-benar “benar”, dan jika kita berhenti melakukannya, atau melakukannya dengan cara yang berbeda, kita berpartisipasi dalam mengubah maknanya. Hal ini membuka kemungkinan bagi gender untuk berubah.</p>
<p>Ini bukanlah cara yang mudah untuk dipikirkan, karena mereka menantang beberapa asumsi yang paling kita kenal tentang apa itu manusia, apa itu gender, dan bagaimana bahasa bekerja. Inilah salah satu alasan mengapa tulisan Butler terkenal sebagai tulisan yang “sulit”. Namun, popularitas karya mereka menunjukkan bahwa ada banyak orang yang merasa kehidupan mereka tidak cukup dijelaskan dengan cara berpikir “akal sehat”.</p>
<h2>Kehidupan yang menyedihkan, rentan dan nonkekerasan</h2>
<p>Selama 20 tahun terakhir, tulisan Butler telah meluas melampaui gender ke bidang-bidang lain, seperti pengucilan dan penindasan politik. Tema yang mendasari sebagian besar karyanya yang terbaru ini adalah keprihatinan tentang bagaimana beberapa individu tidak dianggap sebagai manusia.</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/488922/original/file-20221010-82270-ms2dzr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="buku 'Bodies That Matter' karya Judith Butler" src="https://images.theconversation.com/files/488922/original/file-20221010-82270-ms2dzr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/488922/original/file-20221010-82270-ms2dzr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=801&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/488922/original/file-20221010-82270-ms2dzr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=801&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/488922/original/file-20221010-82270-ms2dzr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=801&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/488922/original/file-20221010-82270-ms2dzr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1006&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/488922/original/file-20221010-82270-ms2dzr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1006&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/488922/original/file-20221010-82270-ms2dzr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1006&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption"></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Butler merangkum tema-tema tersebut dalam konsep <em>grievable life</em> (kehidupan yang menyedihkan), yang menarik perhatian pada cara-cara di mana beberapa kehidupan tidak diratapi secara terbuka, karena mereka tidak pernah diakui secara terbuka sebagai orang yang benar-benar hidup sejak awal. Butler memberikan contoh bahwa penderita HIV/AIDS yang meninggal dunia namanya jarang masuk kolom berita kematian di koran-koran besar AS, demikian juga dengan para tahanan di Teluk Guantanamo, warga Palestina yang dibunuh oleh militer Israel, warga kulit hitam yang dibunuh oleh polisi AS, dan para pengungsi serta orang-orang tanpa kewarganegaraan yang meninggal saat melintasi perbatasan.</p>
<p>Mereka dibiarkan saja menjalani kehidupan yang tidak layak dan berbahaya, serta menghadapi ancaman kematian tanpa akuntabilitas publik yang serius. Dalam dunia neoliberal yang mengglobal pada saat ini, semakin banyak orang yang hidup dalam situasi seperti itu, tanpa dukungan sosial yang memadai, layanan kesehatan, lingkungan yang berkelanjutan, maupun akses ke ruang publik. Butler menyebut situasi ini sebagai kerawanan.</p>
<p>Seringkali pengucilan terhadap kelompok tertentu ini dijustifikasi melalui bingkai yang memosisikan mereka sebagai ancaman terhadap keamanan, dan demi mempertahankan keamanan ini, dibenarkan untuk memberlakukan kerawanan pada orang lain. Contohnya seperti yang dilakukan oleh pemerintah AS setelah <a href="https://www.bbc.com/indonesia/dunia-58084150">peristiwa 9/11</a> dalam <em>war on terror</em> (perang melawan teroris – strategi perang AS yang menyasar segala aspek yang, menurut AS, bertujuan memberantas terorisme).</p>
<figure class="align-left zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/490495/original/file-20221018-18-q01g9x.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="buku 'Frames of War' karya Judith Butler" src="https://images.theconversation.com/files/490495/original/file-20221018-18-q01g9x.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/490495/original/file-20221018-18-q01g9x.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=908&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/490495/original/file-20221018-18-q01g9x.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=908&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/490495/original/file-20221018-18-q01g9x.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=908&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/490495/original/file-20221018-18-q01g9x.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1141&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/490495/original/file-20221018-18-q01g9x.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1141&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/490495/original/file-20221018-18-q01g9x.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1141&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption"></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Untuk melawan pandangan semacam itu, Butler memunculkan konsep etika nirkekerasan. Konsep ini didasarkan pada pemahaman bahwa kita menjadi diri kita sendiri hanya melalui hubungan dengan orang lain. Ini artinya tidak ada kehidupan yang sepenuhnya aman dan independen. Kita tidak dapat memilih dengan siapa kita berbagi planet ini dan semua orang selalu dapat menyakiti kita. Pada akhirnya, jika kita ingin bertahan hidup bersama, kita harus belajar untuk mengakui dan hidup dengan kerentanan bersama, sesulit apa pun itu.</p>
<p>Hal ini mungkin terdengar idealis, namun ini bukanlah etika yang mengasumsikan bahwa manusia itu “baik”. Etika ini dimulai dari anggapan bahwa mereka tidak baik. Melakukan tindakan tanpa kekerasan akan selalu ambivalen dan sulit, terutama di dunia yang penuh dengan kekerasan. Namun, kita perlu menyadari bahwa kapasitas kita untuk menjalani kehidupan yang layak bergantung pada kondisi-kondisi yang mendukung kehidupan yang juga memungkinkan orang lain (manusia dan non-manusia) untuk hidup.</p>
<p>Butler menemukan penerapan performatif dari pendekatan ini dalam beberapa aksi protes bersama, seperti gerakan Occupy Wall Street_ di New York dan protes <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Gezi_Park_protests">Gezi Park</a> di Turki tahun 2013, di mana orang-orang dari berbagai latar belakang berkumpul untuk menyerukan dunia yang lebih adil dan setara. </p>
<p>Butler mengingatkan kita bahwa kerentanan tidak selalu buruk; kerentanan adalah sesuatu yang memungkinkan kita untuk hidup. Semua tubuh harus terbuka terhadap dunia dan orang lain. Mereka harus bisa menerima dan memberi: makan, bernapas, berbicara, dan menjalin relasi yang intim. Tubuh yang tidak mampu melakukan hal ini tidak akan bisa hidup. Pada akhirnya, Butler mengingatkan kita, sering kali secara puitis, bahwa untuk menjadi diri kita sendiri sepenuhnya, kita saling membutuhkan satu sama lain.</p>
<hr>
<p><em>Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/206760/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Anna Szorenyi tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Meskipun terkadang kontroversial, Judith Butler sangat berpengaruh dan karyanya berlandaskan pada komitmen terhadap keadilan dan kesetaraan.Anna Szorenyi, Lecturer in Gender Studies, University of AdelaideLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2035582023-04-20T02:12:52Z2023-04-20T02:12:52ZApa itu ‘toxic masculinity’ dan dari mana asalnya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/520173/original/file-20230411-22-4z7ae3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Jacob Elordi as Nate in Euphoria. HBO</span> </figcaption></figure><p>Sulit untuk menghindari istilah <em>toxic masculinity</em> akhir-akhir ini.</p>
<p>Istilah ini telah dikaitkan dengan <a href="https://theconversation.com/friday-essay-why-soldiers-commit-war-crimes-and-what-we-can-do-about-it-185391">kejahatan perang</a> tentara Australia di Afghanistan, rendahnya kredibilitas pemerintah mantan perdana menteri Australia Scott Morrison <a href="https://theconversation.com/grattan-on-friday-the-scott-morrison-horror-show-has-a-way-to-run-yet-188985">terhadap perempuan</a> menjelang pemilihan umum tahun ini - dan lebih jauh lagi, kebangkitan mantan president Amerika Serikat <a href="https://theconversation.com/what-sort-of-place-is-a-shithole-it-depends-on-your-gender-90342">Donald Trump</a> dan <a href="https://theconversation.com/from-trump-to-putin-why-are-people-attracted-to-tyrants-186988">kerusuhan di gedung parlemen Amerika Serika</a>. </p>
<p>Hal ini secara teratur diterapkan pada karakter budaya pop yang beragam seperti kutu buku dinosaurus yang hipersensitif, Ross Gellar dari <em>Friends</em>, pezina beralkohol <a href="https://theconversation.com/inside-the-mad-men-don-draper-and-american-masculinity-24800">Don Draper</a> di <em>Mad Men</em>, dan Nate yang kejam dan tertindas dalam <em><a href="https://theconversation.com/how-euphoria-challenges-viewers-expectations-of-what-a-television-show-should-be-179991">Euphoria</a></em>, yang secara teratur mengatakan kepada pacarnya, “Jika ada orang yang mencoba melukaimu, saya akan membunuh mereka.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/485258/original/file-20220919-875-7qpetf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="contoh tokoh toxic masculinity" src="https://images.theconversation.com/files/485258/original/file-20220919-875-7qpetf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/485258/original/file-20220919-875-7qpetf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/485258/original/file-20220919-875-7qpetf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/485258/original/file-20220919-875-7qpetf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/485258/original/file-20220919-875-7qpetf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/485258/original/file-20220919-875-7qpetf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/485258/original/file-20220919-875-7qpetf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Donald Trump adalah contoh maskulinitas beracun dalam banyak hal.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/gageskidmore">Gage Skidmore/Flickr</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p><em>Toxic masculinity</em> adalah istilah yang belum dikenal pada tahun 1990-an dan awal 2000-an. Namun sejak sekitar tahun 2015, istilah ini mulai digunakan dalam diskusi tentang laki-laki dan gender. </p>
<p>Jadi apa definisi dari <em>Toxic masculinity</em>?</p>
<p>Maskulinitas merujuk pada peran, perilaku, dan atribut yang dianggap sesuai untuk anak laki-laki dan laki-laki dalam suatu masyarakat. Singkatnya, maskulinitas mengacu pada ekspektasi masyarakat terhadap laki-laki. </p>
<p>Di banyak masyarakat, anak laki-laki dan laki-laki diharapkan untuk menjadi kuat, aktif, agresif, tangguh, berani, heteroseksual, tidak ekspresif secara emosional, dan dominan. Hal ini dipaksakan oleh sosialisasi, media, teman sebaya, dan sejumlah pengaruh lainnya. Dan hal ini terlihat dalam <a href="https://theconversation.com/inside-the-man-box-how-rigid-ideas-of-manning-up-harm-young-men-and-those-around-them-143081">perilaku banyak anak laki-laki dan laki-laki</a>.</p>
<p>Istilah <em>toxic masculinity</em> menunjuk pada versi maskulinitas tertentu yang tidak sehat bagi laki-laki dewasa dan anak laki-laki yang menyesuaikan diri dengannya dan berbahaya bagi orang-orang di sekitar mereka.</p>
<p>Frasa ini menekankan aspek-aspek terburuk dari atribut stereotip maskulin. <em>Toxic masculinity</em> diwakili oleh kualitas-kualitas seperti kekerasan, dominasi, ketidakmampuan emosional, hak seksual, dan permusuhan terhadap feminitas.</p>
<p>Versi maskulinitas ini dianggap "beracun” karena dua alasan. </p>
<p>Pertama, ini buruk bagi perempuan. Hal ini membentuk perilaku seksis dan patriarkis, termasuk perlakuan kasar atau kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian, <em>toxic masculinity</em> berkontribusi pada ketidaksetaraan gender yang merugikan perempuan dan mengistimewakan laki-laki. </p>
<p>Kedua, <em>toxic masculinity</em> berdampak buruk bagi laki-laki dewasa dan anak laki-laki itu sendiri. Norma-norma stereotip yang sempit membatasi kesehatan fisik dan emosional laki-laki serta hubungan mereka dengan perempuan, laki-laki lain, dan anak-anak.</p>
<h2>Asal-usul istilah <em>toxic masculinity</em></h2>
<p>Istilah ini <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1097184X20943254">pertama kali muncul</a> dalam <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1097184X00003001002?casa_token">gerakan pria</a> mitopoetik zaman baru pada tahun 1980-an. </p>
<p>Gerakan ini berfokus pada penyembuhan pria, menggunakan lokakarya khusus pria, retret di alam liar, dan ritus peralihan untuk menyelamatkan apa yang dianggapnya sebagai kualitas dan arketipe dasar maskulin (raja, pejuang, orang liar, dan sebagainya) dari apa yang disebut sebagai <em>toxic masculinity</em>. </p>
<p>Pada tahun 1990-an dan awal 2000-an, istilah ini menyebar ke kalangan swadaya masyarakat lainnya dan ke dalam karya akademis (misalnya, tentang <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/jclp.20105?casa_token">kesehatan mental pria</a>) . Beberapa kaum konservatif Amerika Serikat mulai menerapkan istilah ini pada pria berpenghasilan rendah, kurang pekerjaan, dan terpinggirkan, memberikan solusi seperti memulihkan keluarga yang didominasi pria dan nilai-nilai keluarga. </p>
<p><em>Toxic masculinity</em> hampir tidak ada dalam tulisan akademis - termasuk kajian feminis - hingga tahun 2015 atau lebih, selain dalam beberapa teks tentang kesehatan dan kesejahteraan pria. </p>
<p>Namun, ketika istilah ini menyebar dalam budaya populer, para akademisi dan komentator feminis mengadopsi istilah ini, biasanya sebagai singkatan untuk pembicaraan dan tindakan misoginis. Meskipun istilah ini sekarang dikaitkan dengan kritik feminis terhadap norma-norma seksis tentang kejantanan, namun bukan dari situlah istilah ini bermula. </p>
<p>Istilah ini hampir tidak ada dalam <a href="https://www.academia.edu/444498/International_Encyclopedia_of_Men_and_Masculinities_2007_">kajian tentang laki-laki dan maskulinitas</a> yang berkembang pesat sejak pertengahan 1970-an, meskipun penggunaannya dalam bidang tersebut telah meningkat dalam dekade terakhir. Namun, kajian ini telah lama membuat <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0891243205278639?casa_token=9sXi4TmHCc0AAAAA:a9jm8X3Qg0W39XvMKbZJYbZqzq7NTF_bNJT2li3N069a4IK3Xfk0ADwYbcsnFiPwva0LcoN0grkJyDA">klaim</a> bahwa konstruksi budaya tentang kejantanan itu ada, dan bahwa hal itu terkait dengan dominasi laki-laki terhadap perempuan.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/7kAqAFOHIxw?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Pelatih David Brockway menjelaskan apa itu toxic masculinity dan mengapa frasa seperti ‘man up’ sangat merusak.</span></figcaption>
</figure>
<h2>Manfaat penggunaan istilah maskulinitas toxic</h2>
<p>Jika dipahami dengan baik, istilah <em>toxic masculinity</em> memiliki beberapa manfaat. Istilah ini mengakui bahwa masalahnya adalah masalah sosial, yang menekankan pada bagaimana anak laki-laki dan laki-laki dewasa disosialisasikan dan bagaimana kehidupan mereka diatur. Hal ini menjauhkan kita dari perspektif esensialis atau determinis biologis yang menyatakan bahwa perilaku buruk laki-laki tidak dapat dihindari: <em>boys will be boys</em>.</p>
<p><em>Toxic masculinity</em> menyoroti bentuk maskulinitas tertentu dan seperangkat ekspektasi sosial yang tidak sehat atau berbahaya. Hal ini menunjukkan dengan tepat pada fakta bahwa [norma-norma maskulin stereotip] membentuk kesehatan pria, serta perlakuan mereka terhadap orang lain. </p>
<p>Istilah ini telah membantu mempopulerkan kritik feminis terhadap norma-norma gender yang kaku dan ketidaksetaraan. Istilah ini lebih mudah diakses daripada istilah akademik (seperti <a href="https://books.google.com.au/books?hl=en&lr=&id=_zhDDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PA35&dq=Hegemonic,+Nonhegemonic,+and+%E2%80%9CNew%E2%80%9D+Masculinities&ots=KB__25ZhNi&sig=rDYHMFOVDVvgeY-VRT7CN0Ftl_8&redir_esc=y#v=onepage&q=Hegemonic%2C%20Nonhegemonic%2C%20and%20%E2%80%9CNew%E2%80%9D%20Masculinities&f=false"><em>hegemonic masculinity</em></a>. Hal ini memiliki potensi untuk memungkinkan penggunaannya dalam <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0216955">mendidik</a> anak laki-laki dan laki-laki dewasa dengan cara yang mirip dengan konsep <em><a href="https://jss.org.au/what-we-do/the-mens-project/the-man-box/">Man Box</a></em> (sebuah istilah yang menggambarkan seperangkat kualitas maskulin wajib yang kaku yang membatasi laki-laki dewasa dan anak laki-laki) dan <a href="https://www.equimundo.org/programs/manhood-2-0/">alat pengajaran tentang maskulinitas</a>. </p>
<p>Dengan menekankan kerugian yang dialami oleh laki-laki dan perempuan, istilah ini memiliki potensi untuk mendorong lebih sedikit sikap defensif di kalangan laki-laki daripada istilah yang lebih politis seperti maskulinitas “patriarkis” atau “seksis”.</p>
<h2>Risiko berbahaya</h2>
<p><em>Toxic masculinity</em> juga memiliki beberapa potensi risiko. Terlalu mudah disalahartikan sebagai saran bahwa “semua pria toksik”. Hal ini dapat membuat laki-laki merasa disalahkan dan diserang - hal terakhir yang kita butuhkan jika kita ingin <a href="https://reliefweb.int/report/world/gender-equity-male-engagement">mengajak</a> laki-laki dewasa dan anak laki-laki untuk <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0886260517748414">merefleksikan secara kritis</a> tentang maskulinitas dan gender. <a href="https://www.vichealth.vic.gov.au/-/media/ProgramsandProjects/HealthInequalities/VicHealth-Framing-masculinity-message-guide-2020.pdf">Pesan persuasif</a> yang ditujukan kepada laki-laki mungkin akan lebih efektif jika menghindari bahasa maskulinitas sepenuhnya.</p>
<p>Baik menggunakan istilah <em>toxic masculinity</em> atau tidak, setiap kritik terhadap hal-hal buruk yang dilakukan oleh sebagian laki-laki atau norma-norma dominan tentang kejantanan, akan memancing reaksi defensif dan permusuhan di antara sebagian laki-laki. Kritik terhadap seksisme dan relasi gender yang tidak setara sering kali memancing <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/ajs4.137">reaksi balik</a>, dalam bentuk ekspresi yang dapat diprediksi dari sentimen <a href="https://www.vichealth.vic.gov.au/-/media/ProgramsandProjects/HealthInequalities/Attachments/VicHealth-Attitudes-to-men-and-masculinity-report-July-2020.pdf">anti-feminis</a>.</p>
<p>Istilah ini juga dapat menarik perhatian pada ketidakberuntungan laki-laki dan mengabaikan hak istimewa laki-laki. Norma-norma gender yang dominan mungkin “ toksik” bagi laki-laki, namun norma-norma tersebut juga memberikan berbagai hak <a href="https://www.goodreads.com/en/book/show/731614.The_Gender_Knot">istimewa</a> yang tidak diperoleh (ekspektasi kepemimpinan di tempat kerja, kebebasan dari pekerjaan perawatan yang tidak dibayar, memprioritaskan kebutuhan seksual mereka di atas kebutuhan perempuan) dan <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0207091&utm">menginformasikan</a> <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/15248380211030224?casa_token">beberapa perilaku berbahaya terhadap perempuan</a>. </p>
<p><em>Toxic masculinity</em> dapat digunakan secara umum dan sederhana. Penelitian selama puluhan tahun telah membuktikan bahwa konstruksi maskulinitas itu beragam,<a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/18902138.2014.892289?casa_token"> bersinggungan dengan</a> bentuk-bentuk perbedaan sosial lainnya. </p>
<p>Istilah ini dapat memperkuat asumsi bahwa satu-satunya cara untuk melibatkan laki-laki dalam kemajuan menuju kesetaraan gender adalah dengan mengembangkan maskulinitas yang <a href="https://www.vichealth.vic.gov.au/-/media/ResourceCentre/PublicationsandResources/Health-Inequalities/Healthier-Masculinities-Scoping-Review.pdf">sehat</a> atau <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/15248380211030242?casa_token">positif</a>. </p>
<p>Ya, kita perlu mendefinisikan ulang norma-norma kejantanan Namun kita juga perlu mendorong laki-laki untuk tidak terlalu percaya pada identitas dan batasan gender, berhenti <a href="https://psycnet.apa.org/doiLanding?doi=10.1037%2Fmen0000318">mengawasi kejantanan</a> dan merangkul identitas etis yang tidak terlalu ditentukan oleh gender. </p>
<p>Apapun bahasa yang kita gunakan, kita membutuhkan cara untuk menyebutkan norma-norma sosial yang berpengaruh yang terkait dengan kejantanan, mengkritik sikap dan perilaku berbahaya yang diadopsi oleh beberapa laki-laki dan mendorong kehidupan yang lebih sehat bagi laki-laki dewasa dan anak laki-laki.</p>
<hr>
<p><em>Demetrius Adyatma Pangestu dari Universitas Bina Nusantara menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/203558/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Michael Flood menerima dana dari the Australia Research Council, Australian Primary Health Care Research Institute Foundation, Jesuit Social Services, Victorian Government, dan Victorian Health Promotion Foundation.. </span></em></p>Toxic masculinity telah digunakan untuk menjelaskan segala hal, seperti terpilihnya Donald Trump menjadi presiden di Amerika Serikat. Tapi apa arti sebenarnya dari istilah toxic masculinity?Michael Flood, Professor of Sociology, Queensland University of TechnologyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2035042023-04-10T07:42:39Z2023-04-10T07:42:39Z‘Saya memilih jalan lebih jauh’: banyak perempuan muda pertama kali alami pelecehan di jalan saat memakai seragam<p>Apakah kamu ingat saat pertama kali mengalami pelecehan di ruang publik? Apa yang muncul di benak kamu? Apakah kamu ingat saat itu umur berapa, atau kamu sedang apa? Bisa jadi juga, kamu belum pernah mengalami ini. </p>
<p>Di negara seperti Australia, tempat kami mengajar, <a href="https://australiainstitute.org.au/report/everyday-sexism/">sebanyak 87% perempuan muda</a> sudah pernah mengalami pelecehan di tempat umum.</p>
<p>Dalam <a href="https://www.streetharassmentjustice.com">riset terbaru kami</a> terkait pelecehan di jalanan, kami berbicara dengan 47 perempuan dewasa dan individu LGBTQ+ tentang ingatan paling awal mereka ketika merasa menjadi objek seksual, tidak nyaman, atau tidak aman di jalan. Banyak partisipan mengatakan mereka pertama kali mengalami pelecehan di jalan ketika sedang memakai seragam. Kami mendengar variasi frase seperti “kejadiannya ketika saya memakai seragam sekolah” berulang kali dari para responden.</p>
<p>Bagi banyak orang, <a href="https://theconversation.com/whistling-and-staring-at-women-in-the-street-is-harassment-and-its-got-to-stop-38721">pelecehan di jalan</a> mulai terjadi atau menjadi lebih sering ketika memakai seragam saat tingkat pendidikan menengah atas. Tapi, beberapa partisipan merefleksikan pengalaman ketika mereka bahkan lebih muda lagi, ketika memakai seragam pada jenjang sekolah dasar.</p>
<p>Berbagai studi dari Inggris telah menunjukkan bahwa <a href="https://plan-uk.org/street-harassment/its-not-ok">35% anak perempuan</a> yang memakai seragam sekolah pernah dilecehkan secara seksual di ruang publik. Sayangnya, meski sekolah punya peran penting dalam kehidupan sehari-hari anak muda, dan meski mereka banyak mengalami insiden di jalanan, saat ini masih minim perhatian terhadap pelecehan yang dialami remaja dan anak muda saat memakai seragam.</p>
<p>Temuan dari <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09540253.2023.2193206">riset baru kami</a> menunjukkan bahwa pelecehan yang terkait dengan pengalaman sekolah adalah isu serius yang selama ini jarang dibahas.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/urgensi-memberantas-kekerasan-seksual-di-sekolah-salah-satu-dosa-besar-dunia-pendidikan-181202">Urgensi memberantas kekerasan seksual di sekolah -- salah satu dosa besar dunia pendidikan</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Di luar gerbang sekolah</h2>
<p>Kita tahu bahwa anak muda mengalami pelecehan <a href="https://researchdirect.westernsydney.edu.au/islandora/object/uws:55181/">seksual</a>, <a href="https://www.glsen.org/sites/default/files/2019-10/GLSEN%202015%20National%20School%20Climate%20Survey%20%28NSCS%29%20-%20Executive%20Summary.pdf">homofobik, maupun transfobik</a> dari rekan sejawat mereka dan bahkan guru ketika di sekolah.</p>
<p>Tapi, para partisipan juga memberi tahu kami terkait pelecehan yang terjadi di luar lingkungan sekolah. Pelakunya adalah orang asing (biasanya laki-laki dewasa, atau sekelompok laki-laki dewasa), ketika mereka mengenakan seragam dan, oleh karena itu, dengan jelas dikenali sebagai anak sekolahan.</p>
<p>Ini bentuknya beragam, dari <em>catcalling</em> (melontarkan komentar seksual ketika berpapasan), memelototi, bersiul, membuntuti dengan kendaraan, masturbasi di tempat umum atau menggesekkan kemaluan pada korban atau penyintas (biasanya ketika berangkat ke sekolah memakai transportasi umum), hingga serangan seksual dan pemerkosaan.</p>
<p>Salah satu responden tingkat pendidikan menengah atas mengatakan:</p>
<blockquote>
<p>berjalan dari sekolah ke rumah […] itulah saat paling sering terjadi pelecehan yang saya alami […] Begitu saya berhenti memakai seragam, kejadiannya berkurang. Jadi, ini menjijikkan karena beragam alasan.</p>
</blockquote>
<p>Sebagaimana ungkapan responden lain, pengalaman-pengalaman ini sangat menakutkan tidak hanya karena apa yang sedang terjadi saat itu, tapi juga karena pelaku bisa “tahu kamu sekolah di mana” dengan melihat seragam.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Close-up of a uniform jacket, shirt and tie." src="https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/518101/original/file-20230329-18-cx7vs0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Riset di Inggris menemukan 35% anak perempuan pernah mengalami pelecehan saat memakai seragam di tempat umum.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Robin Worrall/Unsplash</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/">CC BY-NC</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Dianggap ‘seksi’</h2>
<p>Kenapa anak muda – terutama perempuan muda dan anak perempuan – secara rutin sering mengalami pelecehan saat memakai seragam sekolah? Kami menemukan bahwa hal ini didorong secara kebudayaan melalui stigma “anak sekolahan (perempuan) yang seksi” (“<em>sexy school girl</em>”). </p>
<p>Sebagaimana dijelaskan salah satu narasumber:</p>
<blockquote>
<p>ketika kita ke pencarian gambar Google dan mencari “murid laki-laki” (<em>school boy</em>), hasil yang akan keluar adalah gambar anak laki-laki berusia lima tahun, tapi kemudian pencarian “murid perempuan” (<em>school girl</em>) akan menghasilkan foto kostum anak sekolah perempuan yang seksi.</p>
</blockquote>
<p>Para partisipan mendiskusikan pengalaman mereka menjadi sasaran karena dilihat sebagai sosok yang rentan dan (secara paradoks) polos sekaligus objek seksual.</p>
<blockquote>
<p>Ini adalah bagian dari daya tariknya bagi mereka (para pelaku), kepolosan seorang anak sekolah perempuan, dan seorang anak perempuan yang merasa takut dalam situasi itu tampak menggairahkan bagi mereka, dan mereka benar-benar menikmati itu.</p>
</blockquote>
<p>Narasumber lain menceritakan pada kami:</p>
<blockquote>
<p>Saya berubah dari anak yang polos jadi anak yang merasa tidak nyaman dan tidak tahu kenapa saya dijadikan objek seksual – dan saya tidak memahami itu karena saya belum paham makna dari seks yang sebenarnya.</p>
</blockquote>
<p>Karena berusia sangat muda, banyak partisipan seringkali tidak memiliki kerangka atau bahasa untuk memahami pengalaman mereka. Bagi banyak di antara mereka, pengalaman ini merupakan rutinitas yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka begitu saja.</p>
<p>Seringkali, baru setelah bertahun-tahun setelah pengalaman membekas ini, mereka kemudian bisa mengartikulasikannya sebagai pelanggaran seksual dan merefleksikan dampaknya.</p>
<h2>Mencoba menghindari pelecehan</h2>
<p>Sepanjang riset wawancara kami, banyak partisipan mendiskusikan bagaimana mereka mengubah penampilan mereka atau mengubah rute yang mereka tempuh ke sekolah. Mereka kerap fokus pada mengubah perilaku mereka sendiri dan <a href="https://policy.bristoluniversitypress.co.uk/the-right-amount-of-panic">membuat hidup mereka lebih sengsara</a> sebagai upaya menghindari pelecehan lebih lanjut. Misalnya:</p>
<blockquote>
<p>Saya memilih jalan lebih jauh. Saya pergi melewati jalanan utama, menghindari jalan kecil, bahkan ketika jalannya lebih jauh, agar bisa ekstra aman.</p>
</blockquote>
<p>Dalam jangka panjang, para partisipan umumnya mendeskripsikan perasaan tidak aman, senantiasa terjaga, dan cenderung tidak mempercayai laki-laki di ruang publik.</p>
<h2>‘Bagaimana jika ada pedofil di kereta?’: respons sekolah</h2>
<p>Sayangnya, ketika ada laporan, sekolah kerap melanggengkan pandangan bahwa para korban-penyintas adalah pihak yang bertanggung jawab atas pelecehan yang mereka alami.</p>
<p>Berbagai partisipan memberi tahu kami bagaimana mereka kerap diingatkan tentang kebijakan seragam sekolah (misalnya kewajiban terkait panjang rok atau seragam) ketika mereka meminta bantuan dari guru.</p>
<p>Seorang partisipan menceritakan pengalaman ketika guru mereka bertanya:</p>
<blockquote>
<p>Kenapa kamu memakai rok (pendek) seperti ini? Kamu sedang mencoba menarik perhatian siapa? Bagaimana jika ada pedofil di kereta saat pulang dari sekolah dan mereka berpikir “ini hari keburuntunganku”.</p>
</blockquote>
<p>Beberapa yang lainnya tidak mencari bantuan dari guru karena masalah terkait penampilan di sekolah – mereka merasa pasti akan disalahkan atas apa yang terjadi.</p>
<p>Respons semacam ini mengajarkan pada anak muda untuk berpikir bahwa pelecehan di jalanan, dan bentuk-bentuk lain dari kekerasan berbasis gender, adalah salah mereka. Ini juga memberi tahu mereka bahwa tubuh mereka adalah titik risiko yang perlu dikelola dan dijaga supaya menghindari pelecehan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kasus-pemaksaan-jilbab-bagaimana-iklim-politik-pengaruhi-kebijakan-seragam-sekolah-188087">Kasus pemaksaan jilbab: bagaimana iklim politik pengaruhi kebijakan seragam sekolah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pelecehan berseragam tidaklah ‘normal’</h2>
<p>Meski sekolah dan konteks yang berkaitan dengan sekolah sering menjadi tempat terjadinya gangguan (<em>harm</em>) bagi para partisipan kami, sekolah tetap punya peran yang sangat penting. Pelecehan terhadap murid berseragam tak seharusnya dipandang sebagai bagian yang “normal” dalam proses pendewasaan anak.</p>
<p>Ada kebutuhan mendesak untuk menghadirkan suatu kerangka bagi anak muda untuk memahami pengalaman-pengalaman mereka.</p>
<p>Upaya pendidikan harus menantang ide bahwa pelecehan sebaiknya ditahan-tahan dan dilewati saja sebaik mungkin. Sebaliknya, sekolah harus membantu anak muda memahami bahwa pelecehan adalah bentuk kekerasan, dan menawarkan ruang yang aman dan mendukung untuk bisa berbicara dengan rekan sejawat dan orang dewasa tenang pengalaman mereka. </p>
<p>Ini harusnya dimasukkan sebagai bagian dari pendidikan seks dan hubungan (<em>relationships</em>) yang sudah ada, dengan <a href="https://www.bodysafetyaustralia.com.au/">cara yang tepat usia</a>.</p>
<p>Yang juga penting, respons terhadap pelecehan tak boleh menyalahkan anak muda itu sendiri. Sudah saatnya praktik-praktik usang, seperti mengukur panjang seragam, tak lagi dilakukan.</p>
<p>Seperti ungkapan salah satu partisipan riset kami, “panjang rok saya tidak mempengaruhi seberapa baik saya belajar”.</p>
<hr>
<p><em>Jika merasa bahwa kamu atau orang yang kamu kenal membutuhkan bantuan, silakan membuka <a href="https://carilayanan.com">portal Cari Layanan</a>.</em></p>
<p><em>Di sana, kalian bisa melakukan pencarian bantuan penanganan kekerasan yang tepat berdasarkan kategori kasus dan layanan yang dibutuhkan, beserta lokasi kantor terdekat dan kontaknya – dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK) hingga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/203504/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Bianca Fileborn menerima pendanaan dari Australian Research Council, ACON, dan Victorian Department of Justice and Community Services. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Jess Hardley tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Riset baru menunjukkan bahwa pelecehan terhadap anak muda ketika memakai seragam sekolah adalah isu serius yang masih jarang mendapat perhatian.Bianca Fileborn, Senior Lecturer in Criminology, The University of MelbourneJess Hardley, Research Assistant in Criminology, The University of MelbourneLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2003622023-03-01T02:32:04Z2023-03-01T02:32:04ZMasalah pakaian, ‘catcalling’, budaya patriarki: 3 faktor penghambat karier perempuan pegiat konservasi alam<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/511738/original/file-20230222-25-tz08fo.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Praktisi konservasi pemula (Lilis dan Elif) naik perahu kembali ke daratan utama setelah kegiatan pemantauan populasi kalong di Bualemo, Sulawesi Tengah.</span> </figcaption></figure><p><em>Artikel ini terbit untuk memperingati <a href="https://www.internationalwomensday.com/">Hari Perempuan Internasional</a> pada 8 Maret 2023.</em></p>
<p>Sektor konservasi alam masih <a href="https://conbio.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/csp2.395">belum inklusif kepada perempuan</a>. Hal ini menghambat upaya mengatasi perubahan iklim dan penurunan biodiversitas (keanekaragaman hayati). </p>
<p>Padahal, <a href="https://www.ohchr.org/en/documents/reports/analytical-study-gender-responsive-climate-action-full-and-effective-enjoyment">keterlibatan perempuan</a> terbukti penting untuk memperkuat <a href="https://www.nature.org/en-us/about-us/who-we-are/our-science/how-women-contribute-to-conservation/">program pelestarian alam yang berkelanjutan</a>.</p>
<p>Sebagai peneliti yang terlibat dalam beberapa lembaga konservasi di Indonesia, saya melihat keterlibatan maupun kepemimpinan perempuan masih kurang karena berbagai hambatan.</p>
<p>Para pengambil kebijakan perlu menyadari hambatan ini serta mengatasinya untuk meningkatkan partisipasi dan kepemimpinan perempuan dalam konservasi biodiversitas.</p>
<h2>Tiga penghambat partisipasi perempuan</h2>
<p>Saya mengamati ada tiga hambatan perempuan untuk bergiat di sektor konservasi, mulai dari stigma, keamanan dalam bekerja, hingga kebijakan organisasi.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=390&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=390&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=390&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=490&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=490&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/511557/original/file-20230221-24-3rwx9q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=490&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Penulis sedang mengecek koloni kelelawar di Sulawesi (kiri), dan pegiat konservasi Nuruliawati (kanan) sedang melakukan sensing di Sumatra sebagai bagian dari perencanaan wisata gajah yang memperhatikan prinsip kesejahteraan satwa.</span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>Hambatan pertama</strong> adalah adanya anggapan <a href="https://conbio.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/csp2.36">perempuan tidak cocok memiliki pekerjaan dengan aktivitas yang berat</a> seperti di konservasi yang membutuhkan penelitian lapangan.</p>
<p>Pandangan yang beredar di masyarakat kita cenderung ‘memagari’ perempuan dalam bingkai pernikahan semata, di mana berkeluarga seolah-olah menjadi satu-satunya tujuan hidup.</p>
<p>Kalaupun bekerja, perempuan diharapkan berkegiatan yang membuatnya selalu di dalam ruangan. Ketika ingin beraktivitas di lapangan, perempuan kerap menghadapi hambatan struktural, misalnya: pengasuhan anak dan pengelolaan rumah tangga yang lebih dibebankan kepada perempuan. Akhirnya, perempuan pun ‘terpaksa’ memilih pekerjaan kantoran. </p>
<p>Anggapan dan ekspektasi sosial ini menyebabkan perempuan sulit membangun karier di bidang konservasi. </p>
<p>Perempuan menjadi salah satu kelompok dengan <a href="https://doi.org/10.21203/rs.3.rs-1132018/v1">risiko stres yang tinggi di sektor konservasi</a>. Perempuan lebih rentan tertekan secara mental akibat pertanyaan-pertanyaan yang menghakimi terkait status pernikahan dan berkeluarga, serta hal lain yang mungkin tidak sesuai dengan anggapan sosial.</p>
<p>Saya pun sering dicecar pertanyaan kenapa belum menikah. </p>
<p>Pertanyaan ini, sayangnya, kerap diajukan bukan untuk memahami pilihan saya, melainkan untuk menyalahkan keinginan saya bekerja di hutan untuk kegiatan konservasi. Saya dianggap tidak sukses karena belum menjadi pegawai negeri sipil, dan disarankan mengambil pekerjaan ‘feminin’ – misalnya di bank.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/perempuan-adat-krusial-bagi-hutan-tapi-jadi-korban-berlapis-krisis-iklim-195741">Perempuan adat krusial bagi hutan, tapi jadi korban berlapis krisis iklim</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><strong>Hambatan kedua</strong> adalah risiko pelecehan seksual.</p>
<p>Keamanan pribadi menjadi perhatian utama bagi perempuan, apalagi ketika masyarakat kerap meminimalkan bahkan menormalkan pelecehan seksual.</p>
<p>Pekerjaan di sektor konservasi kerap mengharuskan pegiatnya untuk berkemah di hutan atau tinggal di tempat terpencil selama berpekan-pekan bahkan berbulan-bulan. Situasi ini membuat perempuan lebih rentan mengalami pelecehan seksual.</p>
<p>Pernah terjadi, saat saya berdua saja di mobil dengan supir setelah melakukan survei, pengemudi tersebut bertanya, “Mbak, tadi malam tidak pakai <em>bra</em> ya?”. </p>
<p>Saya tertegun. Rasa marah dan takut bercampur aduk. Saya merasa takut karena saat itu kami sedang melalui jalanan di tengah pegunungan. </p>
<p>Tak jarang beberapa orang mencoba menjodohkan saya dengan laki-laki lajang hingga yang sudah beristri. </p>
<p>Godaan (<em>catcalling</em>) maupun candaan yang bernada pelecehan juga menjadi makanan saya sehari-hari di lapangan. </p>
<p>Masalah yang saya alami merupakan gunung es dari <a href="https://conbio.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/csp2.36">kerentanan perempuan di sektor konservasi.</a> Sebab, saya juga mendengar cerita senada dari kolega perempuan lainnya.</p>
<p>Tidak adanya ruang aman dan masih kentalnya budaya patriarki di struktur sosial, berisiko mengikis motivasi perempuan untuk terus berkarier di bidang konservasi.</p>
<p>Beberapa lembaga konservasi di Indonesia sudah memiliki kebijakan <em>safeguard</em> yang melek gender. Upaya perumusan strategi konservasi juga mulai inklusif terhadap perempuan seiring meningkatnya kesadaran gender. Walau demikian, kebijakan yang sama justru jarang terdengar untuk praktisi dan peneliti (staf) di internal lembaga konservasi. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/511615/original/file-20230222-29-i49d2i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Praktisi konservasi asli Sulawesi Tengah, Asnim Alyoihana Lanusi, yang berkiprah selama lebih dari 20 tahun di konservasi berbasis masyarakat. Asnim berkampanye soal kebanggaan satwa di Pulau Salibabu, Kepulauan Talaud, perbatasan utara Indonesia.</span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>Hambatan ketiga</strong> adalah kebijakan organisasi yang membatasi keterlibatan perempuan. </p>
<p>Di Indonesia, masih ada sejumlah organisasi yang menerapkan syarat gender tertentu yang menghalangi perempuan mengambil pekerjaan lapangan. Ini terjadi secara formal di lowongan pekerjaan yang mengutamakan laki-laki, maupun secara informal menugaskan perempuan di bagian administrasi dan laki-laki di lapangan. </p>
<p>Sekalipun bekerja di suatu lembaga konservasi, saya terkadang dianggap sebagai notulen semata dibandingkan peneliti utama dan pemimpin organisasi. Ada juga perempuan-perempuan lainnya yang diharapkan membuat kopi atau menyiapkan makanan di saat laki-laki yang dianggap lebih tahu berdiskusi mengenai isu-isu keanekaragaman hayati.</p>
<p>Pembatasan tersebut menjadi salah satu sebab mengapa <a href="https://conbio.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/csp2.395">sektor konservasi masih didominasi laki-laki</a>.</p>
<p>Kondisi itu turut tercermin mulai dari jumlah peserta laki-laki di ruangan pertemuan, panel pembicara seminar (perempuan menjadi pembawa acara atau moderator), hingga di manajemen organisasi level atas yang sebagian besar diisi oleh laki-laki. </p>
<p>Dengan posisi dan tanggung jawab yang sama, laki-laki dapat dibayar lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki pun lebih sering diberikan posisi kepemimpinan daripada perempuan dengan kualifikasi yang sama.</p>
<h2>Perubahan organisasi dan solidaritas perempuan</h2>
<p>Sektor konservasi perlu berubah untuk menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi perempuan. Kerentanan dan hambatan tidak seharusnya membenarkan rendahnya keterlibatan perempuan. Ini bukan masalah yang hanya diatasi oleh perempuan, melainkan pekerjaan bersama.</p>
<p>Pemahaman dan validasi tantangan yang dihadapi oleh perempuan di tingkat organisasi penting untuk menjadi langkah awal pembenahan.</p>
<p>Untuk membangun lingkungan yang inklusif, lembaga konservasi dapat mewajibkan pelatihan bias gender terhadap pekerja di konservasi, menghilangkan syarat spesifik gender dalam lowongan pekerjaan, serta mengembangkan protokol keamanan dan perlindungan staf perempuan (termasuk mekanisme khusus menangani pelecehan seksual). </p>
<p>Langkah lainnya adalah penyediaan infrastruktur yang dibutuhkan pekerja perempuan yang memiliki anak: ruang menyusui, tempat bermain anak, dan lainnya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-masih-ada-ketidaksetaraan-gender-dalam-program-pemberdayaan-masyarakat-pesisir-128934">Riset: masih ada ketidaksetaraan gender dalam program pemberdayaan masyarakat pesisir</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Para perempuan pun bisa melawan tantangan ini dengan bersolidaritas.</p>
<p><a href="https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fcosc.2022.1006437/full#B19">Studi terbaru saya</a> menjabarkan bahwa solidaritas antarperempuan dapat efektif meningkatkan keterlibatan perempuan di sektor konservasi. Upaya pendampingan langsung melalui skema <em>mentorship</em> (bimbingan) antarperempuan dapat menjadi pelecut semangat kaum hawa untuk bergelut dalam pelestarian keanekaragaman hayati.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/511737/original/file-20230222-24-zc2v88.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Lilis dan Elif, praktisi konservasi pemula sedang memasang jaring kabut untuk pemantauan kondisi kalong di Pulau Mantawalu Daka, Sulawesi Tengah.</span>
</figcaption>
</figure>
<p><em>Mentorship</em> dapat memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan oleh praktisi pemula dalam mengatasi tantangan dan anggapan sosial yang sering dihadapi perempuan. Skema ini juga menyediakan langkah untuk membangun karier, meningkatkan kompetensi teknis, membangun jejaring, dan menjadikan pegiat ataupun peneliti konservasi lebih bersaing.</p>
<p>Akses internet dan penggunaan media sosial bisa menjadi sarana pendukung dengan meningkatkan visibilitas pencapaian perempuan.</p>
<p>Menyaksikan perempuan dapat menjadi pemimpin, menyadari perempuan memiliki ragam pilihan karier, bahkan sesederhana perempuan bisa ke hutan, bisa memotivasi perempuan generasi berikutnya untuk berani mengikuti langkah serupa. </p>
<p>Tengok saja Farwiza Farhan, pemimpin Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) yang masuk <a href="https://time.com/collection/time100-next-2022/6213894/farwiza-farhan/">tokoh global berpengaruh versi TIME 100</a>; Asnim Alyoihana Lanusi, Direktur PROGRES –- organisasi lokal untuk perlindungan satwa Sulawesi; Marsya Christyanti Sibarani, Ketua Tambora Muda - jejaring pemuda pegiat konservasi Indonesia. Ada juga rentetan perempuan inspiratif lainnya yang tergabung di <a href="https://womensearthalliance.org/indonesia/">Women’s Earth Alliance</a>. </p>
<p>Peningkatan keterlibatan dan kepemimpinan perempuan di konservasi akan memicu dan mendorong pendekatan konservasi yang juga inklusif dan menyeluruh.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/200362/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sheherazade tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ada tiga hambatan perempuan untuk bergiat di sektor konservasi, mulai dari stigma, keamanan dalam bekerja, hingga kebijakan organisasi.Sheherazade, PhD student | Conservation scientist, University of California, BerkeleyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1998942023-02-14T10:27:56Z2023-02-14T10:27:56ZTerlanjur cinta: riset tunjukkan bagaimana korban kekerasan berbasis gender terjebak dalam hubungan toksik<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/510028/original/file-20230214-24-m2xn5f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/7KQe_8Meex8">(Unsplash/Eric Ward)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Banyak pasangan merayakan Hari Valentine sebagai hari penuh cinta dan romansa. Pada kenyataannya, menjalin hubungan tak selalu tentang masa-masa indah saja. <a href="https://www.unwomen.org/en/what-we-do/ending-violence-against-women/facts-and-figures">Satu dari tiga perempuan</a> di dunia pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual di dalam hubungan. Jumlah ini belum termasuk kekerasan emosional, verbal, dan psikologis.</p>
<p>Di ruang digital, misalnya, <a href="https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/catahu-2022-bayang-bayang-stagnansi-daya-pencegahan-dan-penanganan-berbanding-peningkatan-jumlah-ragam-dan-kompleksitas-kekerasan-berbasis-gender-terhadap-perempuan">Komnas Perempuan</a> mencatat kenaikan angka <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.2466/21.16.PR0.116k22w4">kekerasan berbasis gender <em>online</em> (KBGO)</a>, dari 97 kasus pada tahun 2018 menjadi 855 kasus pada 2021. KBGO melingkupi pelecehan secara digital, pemerasan dengan konten seksual (<a href="https://theconversation.com/sextortion-bentuk-kekerasan-seksual-online-yang-memakan-banyak-korban-tapi-payung-hukumnya-masih-lemah-191966"><em>sextortion</em></a>), hingga kontrol digital oleh pasangan hingga menyebabkan rasa tertekan.</p>
<p>Meski demikian, literatur menunjukkan bahwa banyak orang <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s10896-010-9338-0#citeas">tetap mau bertahan</a> dalam hubungan kekerasan yang jelas merugikan mereka. Mengapa?</p>
<p>Dalam <a href="https://connect.springerpub.com/content/sgrpa/13/2/202">penelitian</a> yang saya dan beberapa kolega lakukan pada tahun 2022, kami menemukan bahwa perempuan dewasa muda yang menjadi korban KBGO justru bisa semakin berinvestasi dan berkomitmen dalam hubungan toksik, hingga “terlanjur cinta” untuk keluar dari hubungan tersebut. Hal ini bisa diprediksi lewat beberapa hal.</p>
<p>“<a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/0022103180900074?via%3Dihub"><em>The Investment Model</em></a>” yang diusung oleh Caryl Rusbult, profesor psikologi Vrije Universiteit di Belanda, misalnya, menjelaskan bahwa orang memiliki komitmen untuk bertahan dalam hubungan karena tiga faktor: (1) kepuasan terhadap hubungan, (2) investasi baik secara waktu, emosi, ataupun finansial, dan (3) kualitas hubungan lain di luar pasangannya – misalnya keluarga, teman, atau potensi hubungan lain di masa depan.</p>
<p>Ini berarti semakin puas seseorang di dalam hubungan, semakin besar investasinya, dan semakin rendah kualitas alternatif hubungannya, maka semakin tinggi komitmen seseorang untuk bertahan di dalam hubungan. Tapi bagaimana dinamika ini berlaku dalam hubungan kekerasan?</p>
<h2>Investasi, kepuasan, dan komitmen dalam hubungan berkekerasan</h2>
<p>Penelitian kami melibatkan 86 perempuan heteroseksual berusia 18-24 tahun di Indonesia, yang sebelumnya telah kami saring dengan skor ≥5 dalam setidaknya salah satu item instrumen <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26493569/"><em>Cyber Dating Abuse Questionnaire</em></a> (mengalami setidaknya sepuluh insiden kekerasan dalam setahun terakhir).</p>
<p>Dalam riset, kami menemukan bahwa dalam hubungan berkekerasan, individu yang menjadi korban justru akan <a href="https://psycnet.apa.org/record/1989-01841-001">berusaha lebih keras untuk “memperbaiki” hubungannya</a>. Karena merasa sudah terlanjur berinvestasi banyak secara emosi, waktu, dan finansial, mereka mengeluarkan tambahan energi – jauh lebih banyak ketimbang pasangan yang “sehat” – untuk memperjuangkan agar hubungan mereka dapat terus berlangsung.</p>
<p>Secara paradoks, hal ini pula lah yang semakin meningkatkan investasi mereka di dalam hubungan berkekerasan tersebut. Sehingga, berdasarkan <em>the investment model</em>, komitmennya terhadap hubungan akan meningkat. </p>
<p>Menariknya, individu-individu ini juga melaporkan kepuasan di dalam hubungan yang relatif tinggi. Padahal, <a href="https://psycnet.apa.org/record/1996-27008-00">studi sebelumnya</a> menunjukkan individu yang berada dalam hubungan berkekerasan memiliki kepuasan hubungan yang rendah. Tingginya tingkat kepuasan ini mungkin terjadi karena individu merasa bahwa perilaku kekerasan yang mereka alami – terutama kontrol dan pemantauan yang dilakukan pasangannya – seolah merupakan hal yang normal. </p>
<p>Bisa jadi, akibat paparan kekerasan yang terjadi berulang kali dan “dinormalisasi” dalam hubungan tersebut, korban menganggap perilaku pasangan mereka <a href="https://www.psicothema.com/pi?pii=4270">sebagai bentuk cinta, perhatian, atensi, dan kasih sayang</a>. </p>
<p><a href="https://www.psicothema.com/pi?pii=4270">Studi tahun 2015</a> dari tim peneliti psikologi Spanyol, misalnya, berargumen bahwa banyak pasangan dalam hubungan berkekerasan, terutama pasangan muda, memegang mitos terkait kasih sayang yang terdistorsi dan tidak realistis yang pada akhirnya meningkatkan kemungkinan timbulnya perilaku agresif. Obsesi, amarah, dan tindakan mengontrol seperti senantiasa menuntut lokasi atau jadwal kegiatan pasangan, misalnya, dimaknai sebagai bentuk kasih sayang.</p>
<p>Dalam konteks digital, para korban bisa semakin menjustifikasi “mitos” di atas jika dibarengi dengan ancaman oleh pasangannya. Dalam banyak kasus KBGO yang masuk ke <a href="https://komnasperempuan.go.id/catatan-tahunan-detail/catahu-2022-bayang-bayang-stagnansi-daya-pencegahan-dan-penanganan-berbanding-peningkatan-jumlah-ragam-dan-kompleksitas-kekerasan-berbasis-gender-terhadap-perempuan">Komnas Perempuan</a>, banyak korban mengaku diancam dengan penyebaran foto dan video personal mereka jika menolak berhubungan seksual atau jika memutuskan hubungan.</p>
<h2>Ladang subur kekerasan</h2>
<p>Temuan lain yang menarik dalam penelitian kami adalah, para korban yang mengalami KBGO ternyata juga berujung melakukan perilaku serupa kepada pasangannya – baik ancaman maupun kontrol atau pelanggaran privasi.</p>
<p>Ini selaras dengan literatur terdahulu yang menemukan bahwa dalam hubungan berkekerasan, perilaku semacam itu lama-lama bisa <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29294929/">dianggap sebagai norma yang wajar</a>. Bisa jadi juga, korban ingin <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/15564886.2020.1734996?journalCode=uvao20">membalas dendam terhadap perilaku pasangannya</a>.</p>
<p>Tentu, kami tidak menafikan bahwa ada banyak kasus kekerasan yang bersifat satu arah akibat ketimpangan relasi kuasa yang besar di dalam hubungan. Namun, temuan ini juga menunjukkan bahwa hubungan berkekerasan juga bisa bersifat “<em>bidirectional</em>” atau berlaku dua arah.</p>
<h2>Tindak lanjut</h2>
<p>Penelitian kami menunjukkan masih banyak masyarakat yang belum sadar akan fenomena KBGO. Masyarakat tidak menganggap serius perilaku KBGO ketika belum tampak secara langsung.</p>
<p>Pasangan yang mengontrol karena memiliki kecemburuan berlebih, misalnya, masih <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26493569/">dianggap sebagai ekspresi cinta yang diromantisasi</a>. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena penelitian menunjukkan bahwa orang yang berawal melakukan KBGO, ternyata juga <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0886260519851172">memiliki kemungkinan untuk melakukan kekerasan di dalam konteks luring</a>. </p>
<p>Lalu, apa saja yang perlu dilakukan oleh para pemegang kepentingan untuk merespons hal ini? </p>
<p><strong>Pertama</strong>, berbagai pihak perlu semakin banyak mengedukasi masyarakat terkait dengan bentuk-bentuk KBGO. Ini termasuk oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Kementerian Pendidikan (Kemdikbudristek), lembaga pendidikan, hingga organisasi dan komunitas yang bergerak di isu ini.</p>
<p>Edukasi ini terutama perlu menyasar remaja dan kelompok dewasa muda, mengingat studi menunjukkan bahwa usia ini adalah <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0886260519851172">usia rentan terjadinya KBGO</a>.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, di sisi lain, Komnas Perempuan juga harus lebih cermat dalam menangkap perkembangan bentuk-bentuk kekerasan di lapangan. Dalam konteks KBGO, jangan sampai yang tercatat hanya KBGO yang bersifat langsung, namun gagal merekam kasus yang berbasis digital – misalnya kontrol dan pemantauan di ruang maya. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, pada level kebijakan, pemerintah juga perlu memberikan landasan hukum yang kuat untuk mencegah terjadinya KBGO dan melindungi para korban.</p>
<p>Selama ini, korban yang melapor malah berujung mengalami “<a href="https://theconversation.com/pakar-menjawab-kenapa-banyak-korban-kekerasan-seksual-malah-minta-maaf-atau-menarik-laporannya-177460">reviktimisasi</a>” karena dikriminalisasi dengan <a href="https://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/-Regulasi-UU.-No.-11-Tahun-2008-Tentang-Informasi-dan-Transaksi-Elektronik-1552380483.pdf">Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)</a> atas tuduhan pencemaran nama baik pelaku, atau dengan <a href="https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2008_44.pdf">UU Pornografi</a> atas tuduhan penyebaran konten asusila.</p>
<p>Hal ini tentu membuat para korban KBGO semakin enggan menempuh jalur hukum. Orientasi pencegahan kekerasan dan perlindungan korban perlu menjadi jaminan dan agenda utama pemerintah, parlemen, dan penegak hukum. Ini termasuk dalam implementasi <a href="https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/176736/Salinan_UU_Nomor_12_Tahun_2022.pdf">Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)</a> yang terbit tahun lalu – yang menurut beberapa peneliti masih <a href="https://theconversation.com/sextortion-bentuk-kekerasan-seksual-online-yang-memakan-banyak-korban-tapi-payung-hukumnya-masih-lemah-191966">menyisakan lubang-lubang hukum</a> dalam penanganan kekerasan seksual.</p>
<p>Jadi, sebelum tenggelam pada romansa Valentine, mungkin ini saatnya berefleksi pada hubungan yang kita miliki: Apakah saya atau orang terdekat saya pernah atau sedang mengalami KBGO?</p>
<hr>
<p><em>Jika kalian atau orang yang kalian kenal mengalami kekerasan berbasis gender online (KBGO), kami menyarankan kalian bisa menghubungi beberapa sumber daya di bawah ini:</em></p>
<ul>
<li><em><a href="https://awaskbgo.id">Awas KBGO</a></em></li>
<li><em><a href="https://aduan.safenet.or.id/accounts/login/?next=/aduan">Pusat pengaduan SAFEnet</a> (+62)8119223375</em></li>
</ul><img src="https://counter.theconversation.com/content/199894/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Cantyo Atindriyo Dannisworo terafiliasi dengan Yayasan Pulih.</span></em></p>Banyak orang tetap mau bertahan dalam hubungan kekerasan yang jelas merugikan mereka. Mengapa?Cantyo Atindriyo Dannisworo, Lecturer in Psychology, PhD student, and Adult Clinical Psychologist, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1972592023-01-19T08:48:12Z2023-01-19T08:48:12ZSejak Orde Baru, majalah anak pengaruhi tumbuh kembang sosial anak – termasuk pandangan mereka akan negara dan gender<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/505299/original/file-20230119-14-w8ubr9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.freepik.com/free-photo/bored-girl-reading-house-garden_2525633.htm#from_view=detail_alsolike">(Freepik/Jcomp)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Beberapa majalah anak di Indonesia pelan-pelan berhenti beredar. Setelah <a href="https://kutubukukartun.com/seperti-terbunuh-nya-media-cetak-anak-majalah-bobo-junior-dan-mombi-berhenti-terbit/">majalah <em>Kiddo</em></a> mandek cetak pada Desember 2016, kini giliran Kompas Gramedia yang menyetop penerbitan majalah <em>Bobo Junior</em> beserta majalah <em>Mombi</em> dan <em>Mombi SD</em> per Januari 2023.</p>
<p>Di samping nostalgia yang beberapa dari kita miliki terkait majalah-majalah tersebut, majalah anak memang merupakan salah satu media yang turut andil membangun kesadaran anak atas realitas di sekitarnya.</p>
<p>Menurut peneliti komunikasi Stewart Tubbs dan Sylvia Moss dalam buku mereka <a href="https://onesearch.id/Record/IOS2893.JABAR000000000006995">“<em>Human Connection</em>”</a>, anak-anak memperoleh informasi tentang dunia dan mengembangkan konsep mengenai peranan mereka pada masa depan salah satunya melalui media bacaan. </p>
<p>Mengingat mereka ada pada fase produktif dalam pembentukan segala hal, psikolog kenamaan <a href="https://www.semanticscholar.org/paper/Transmission-of-aggression-through-imitation-of-Bandura-Ross/bfbf8dcd615e36d9d0797208acc437c12a08f0e7">Albert Bandura</a> mengatakan anak adalah “peniru ulung”. Imajinasi anak tentang apa yang ideal tentang dunia, sangat mungkin terbangun lewat konsumsi mereka atas buku dan majalah.</p>
<p>Jadi, seperti apa bacaan yang sudah dikonsumsi anak-anak Indonesia selama beberapa dekade ke belakang?</p>
<p>Dengan merujuk pada berbagai pandangan akademisi dan riset terkini, termasuk <a href="https://ejournal.umm.ac.id/index.php/progresiva/article/view/18712">penelitian saya sendiri</a>, saya ingin menjelaskan seperti apa muatan majalah anak yang telah beredar di Indonesia sejak era Orde Baru hingga kini.</p>
<h2>Majalah anak pada Orde Baru: propaganda pembangunan hingga pembentuk peran gender</h2>
<p>Sejarah mencatat, majalah anak di Indonesia pertama kali hadir pada 1949, yakni majalah <a href="https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/01/20/majalah-anak-anak-masa-lalu-yang-selalu-dirindu"><em>Kunang-Kunang</em></a> terbitan Balai Pustaka.</p>
<p>Namun, popularitas majalah anak mungkin baru terlihat ketika <a href="https://www.validnews.id/opini/Menoleh-Jejak-Majalah-Anak-TTU"><em>Si Kuntjung</em></a> muncul pada 1956. Majalah tersebut terbit sebulan sekali dan berisi 16 halaman yang mencakup cerita-cerita pendek ramah anak. Pada eranya, kehadiran majalah ini sangat dinantikan anak-anak.</p>
<p>Yang menarik adalah <em>Si Kuntjung</em> merupakan majalah pertama, dan mungkin satu-satunya, yang <a href="https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/ihis/article/view/3724">menjalin relasi yang sangat dekat</a> dengan pemerintah di masa Orde Baru.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1021357839799865344"}"></div></p>
<p>Pada kisaran 1976, pemerintahan Soeharto mendaulat majalah ini secara resmi sebagai majalah anak nasional. Selain sebagai media pendidikan dan kebudayaan, pemerintah juga turut membantu penerbitan <em>Si Kuntjung</em> dari segi pemasaran dan pembiayaan.</p>
<p>Tonggak bersejarah selanjutnya adalah ketika pada tahun 1973, Kompas Gramedia menerbitkan majalah anak serupa bernama <a href="https://www.superkidsindonesia.com/super-smart/superenrichment/mengintip-masa-lalu-sejarah-majalah-anak-di-indonesia/"><em>Bobo</em></a> yang <a href="https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/269/98">populer hingga saat ini</a>. <em>Bobo</em> adalah majalah anak pertama yang berwarna dan menampilkan banyak komik di dalamnya. Senada dengan <em>Si Kuntjung</em>, majalah <em>Bobo</em> dianggap berkontribusi membentuk karakter anak pada era Orde Baru.</p>
<p><a href="https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/historiografi/article/view/32860">Kajian tahun 2021</a> dari Universitas Diponegoro, misalnya, memetakan bagaimana majalah <em>Bobo</em> memuat 18 nilai pembentuk karakter yang selaras dengan cita-cita pendidikan era tersebut. Nilai-nilai ini seperti religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, dan seterusnya. </p>
<p>Namun, majalah ini masih tampak <a href="https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/269/98">memposisikan anak sebagai “komoditas”</a>. Produksi majalah <em>Bobo</em>, beserta berbagai teks dan penggambaran karakter di dalamnya, lekat dengan selara pasar, paham pembangunan, dan kepentingan elit. <a href="https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/269/98">Kontennya banyak menampilkan</a> sosok selebritas anak papan atas, representasi kecantikan dengan postur tubuh proporsional dan kulit putih, dan penyajian wahana bermain yang eksklusif, bergengsi, dan mahal.</p>
<p>Selain majalah, buku-buku pelajaran di Indonesia juga dijamin jadi “<em>best-seller</em>”. Dalam proses distribusi, pemerintah Orde Baru mendorong besar-besaran agar bacaan-bacaan tersebut menjadi bacaan wajib di sekolah. Hal tersebut menegaskan bahwa bacaan anak di masa Orde Baru dikontrol ketat oleh negara, dan akibatnya pun menjadi laku di pasaran.</p>
<p>Tapi mengapa negara melakukan ini?</p>
<p>Menurut filsuf Prancis ternama, Louis Althusser, negara memang memiliki apa yang ia sebut sebagai “aparatus ideologis” (<a href="https://www.jstor.org/stable/j.ctt9qgh9v"><em>ideological state apparatus</em></a>). Negara, dengan berbagai instrumen, melakukan penanaman ideologi secara masif yang sekaligus juga berfungsi sebagai alat represi secara halus dan tak sadar. Berlandaskan konsep ini, <a href="https://www.goodreads.com/en/book/show/1722127.Pahlawan_pahlawan_Belia">penulis Saya Shiraishi dalam bukunya</a> juga menegaskan bahwa bacaan anak Indonesia merupakan sarana ideologis yang ampuh karena anak tidak terlalu mengontrol apa yang ia baca.</p>
<p>Tak hanya sebagai propaganda pembangunan, bacaan anak sejak Orde Baru telah menjadi <a href="https://www.goodreads.com/book/show/49193009-kitab-cerita">menjadi arena politisasi</a> terkait peran gender.</p>
<p>Peneliti gender di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES), <a href="https://komunitasbambu.id/product/ibuisme-negara-state-ibuism-konstruksi-sosial-keperempuanan-orde-baru/">Julia Suryakusuma</a> berargumen bahwa pemerintah Orde Baru mengusung ideologi “Bapak-Ibuisme”. Sosok “bapak” berperan memimpin kekuasaan formal (misal di pemerintahan atau ekonomi), sementara “ibu” berperan memimpin kekuasaan informal (seperti di ranah domestik). Dengan ideologi ini, perempuan didefinisikan sesuai relasinya dengan laki-laki: sebagai istri, ibu, atau keduanya.</p>
<p>Cara pandang negara yang bias gender ini pun mempunyai implikasi pada kebanyakan bacaan anak. </p>
<p>Misalnya, banyak cerita anak bergenre kisah rakyat (<em>folklore</em>) yang populer pada Orde Baru seperti <em>Sangkuriang</em>, <em>Bawang Merah Bawang Putih</em>, hingga <em>Malin Kundang</em> memiliki tendensi untuk <a href="https://www.jcreview.com/admin/Uploads/Files/61c9ca6341f665.95168726.pdf">menanamkan karakter yang tidak adil gender</a>. Gambaran dominan tentang perempuan adalah berdasar standar kecantikannya, serta selalu ditempatkan di ranah domestik. Ilustrasi tentang perempuan yang terdiskriminasi dalam wilayah privat dan cenderung gemar berkonflik untuk merebutkan laki-laki juga masih sangat kuat dalam cerita-cerita tersebut. </p>
<h2>Evolusi bacaan anak selepas reformasi</h2>
<p>Meski butuh waktu beberapa tahun terlebih dahulu, menurunnya kontrol ketat negara pasca-Orde Baru membuka keran bagi karya-karya baru yang progresif. Banyak penulis mulai mengekpresikan karyanya secara terbuka dan visioner.</p>
<figure class="align-left zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=889&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=889&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=889&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1117&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1117&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/505298/original/file-20230119-18-38hkmx.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1117&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Mata di Tanah Melus (2018)</span>
<span class="attribution"><span class="source">Okky Madasari/Kompas Gramedia Utama</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Beberapa contohnya adalah bacaan anak karya pengarang Okky Madasari yang berjudul <a href="https://theconversation.com/mata-di-tanah-melus-gabungan-antara-yang-realis-and-utopis-untuk-sastra-anak-yang-progresif-105818"><em>Mata di Tanah Melus</em></a>. Buku ini mengisahkan perjalanan seorang remaja perempuan yang menjumpai Suku Melus yang menutup diri ketika sedang diajak ibunya berlibur ke satu perbatasan Timor Leste. Tak seperti kebanyakan bacaan anak sebelumnya, Okky memposisikan perempuan secara otonom, tidak tersubordinasi dan tak terpinggirkan.</p>
<p>Selain itu, ada juga bacaan anak menarik berjudul <a href="https://www.goodreads.com/id/book/show/39288962-na-willa-dan-rumah-dalam-gang"><em>Na Willa</em> karya Reda Gaudiamo</a>. Willa sosok anak perempuan yang lincah, kuat dan jenaka – sebuah cerita yang yang menempatkan anak perempuan secara berbeda. Cerita anak ini pun unik menawarkan penggambaran sekaligus kritik yang unik atas pola asuh keluarga, harmoni beragama, sampai masalah rasisme. </p>
<p>Namun demikian, kemajuan ini masih cenderung lambat. Kita masih melihat ada banyak bacaan anak dengan penggambaran gender yang masih tertinggal meski telah lama memasuki era Reformasi.</p>
<p><a href="https://ejournal.umm.ac.id/index.php/progresiva/article/view/18712">Penelitian</a> tentang bacaan anak bertemakan agama Islam selepas Orde Baru yang saya lakukan pada 2021, menemukan bahwa tradisi pelanggengan narasi patriarki dalam bacaan anak masih cenderung kuat, dengan penggambaran posisi laki-laki yang dominan ketimbang perempuan.</p>
<p>Ini menegaskan bahwa bacaan anak selama ini lagi-lagi masih sekadar menjadi komoditas. Apa yang menarik di mata pasar akan disajikan kepada anak tanpa ada kesadaran kritis atas nilai-nilai adil gender. </p>
<p>Seiring mulai banyak majalah cetak yang berhenti beredar untuk anak, bacaan-bacaan anak bertransformasi <a href="https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/pengenalan-literasi-digital-sejak-usia-dini-dapat-bentuk-generasi-emas-anak-indonesia/">menjadi digital</a>. Kini bacaan-bacaan anak mulai banyak disajikan dalam bentuk audiovisual dengan akses digital yang mudah, sehingga mengubah pola konsumsi anak atas bacaan sering semakin dekatnya mereka dengan gawai.</p>
<p>Beberapa pihak bisa jadi memperdebatkan potensi dampak negatif ketika anak lebih intens mengakses bacaan dan konten di internet.</p>
<p>Tapi ini tak boleh membuat kita lengah mempertanyakan hal yang juga penting: apakah bacaan dan konten yang dikonsumsi anak sudah mengusung nilai adil gender dan nilai-nilai progresif lain?</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/197259/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Radius Setiyawan menerima dana dari LPDP.</span></em></p>Anak-anak memperoleh informasi tentang dunia dan mengembangkan konsep mengenai peranan mereka pada masa depan salah satunya melalui media bacaan. Bagaimana muatan majalah anak sejak era Orde Baru?Radius Setiyawan, Mahasiswa Doktoral Ilmu Sosial FISIP, Universitas AirlanggaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1968792022-12-22T09:16:12Z2022-12-22T09:16:12ZMengapa ‘mansplaining’ merupakan masalah di tempat kerja<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/502533/original/file-20221222-24-5bsyk9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C33%2C5600%2C3688&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">_Mansplaining_ bukan sekadar fenomena dunia maya. Perilaku ini juga terjadi di kehidupan sehari-hari dan berdampak besar di lingkungan kerja.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.freepik.com/free-photo/top-view-young-busy-office-team-sitting-table-discussing-one-important-issue-office_15972120.htm">KamranAydinov/freepik</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Semenjak terminologi “<a href="https://doi.org/10.1016/j.dcm.2017.09.010"><em>mansplaining</em></a>” memasuki <a href="https://investor.id/archive/kemerdekaan-dan-pemimpin-zeitgeist">zeitgeist</a> kultural sebagai bagian dari fenomena dan tagar di media sosial, popularitas dan penggunaannya pun makin meroket. Misalnya, hanya dalam waktu enam bulan antara November 2016 dan April 2017, terminologi tersebut muncul dalam paling tidak <a href="https://doi.org/10.1177/2056305119861807">10.000 cuitan unik</a> di Twitter.</p>
<p><em>Mansplaining</em> merupakan singkatan yang menggabungkan antara “<em>man</em>” (laki-laki) dan “<em>explain</em>” (menjelaskan). Ini merujuk pada bagaimana laki-laki memberikan penjelasan yang tak diminta pada perempuan. Perilaku ini ditandai dengan kepercayaan diri si pembicara, nada yang merendahkan, interjeksi atau interupsi, serta asumsi dasar bahwa lawan bicaranya tak punya pengetahuan sebelumnya tentang apa yang sedang dibicarakan.</p>
<p>Terminologi <em>mansplaining</em> pertama kali dipopulerkan oleh Rebecca Solnit pada 2008 melalui essainya yang bertajuk <a href="http://rebeccasolnit.net/book/men-explain-things-to-me/"><em>Men Explain Things to Me</em></a> (Laki-laki Menjelaskan Hal-hal Kepada Saya). Dalam tulisannya, Solnit mendeskripsikan interaksinya dengan seorang lelaki yang menjelaskan premis dan pentinganya sebuah buku, menganggap Solnit tak punya wawasan tentang buku tersebut – yang padahal ditulis oleh Solnit sendiri. Pria tersebut melanjutkan penjelasannya dengan gigih walaupun teman Solnit berulang kali menekankan “Buku itu ditulis olehnya (Solnit).”</p>
<p><a href="https://www.theguardian.com/lifeandstyle/womens-blog/2016/sep/13/mansplaining-how-not-talk-female-nasa-astronauts">Contoh lainnya yang terkemuka</a> adalah ketika seorang ahli astrofisika <a href="https://www.good.is/articles/deny-global-warming-you-get-burned">mencuit tentang perubahan iklim</a> dan diminta untuk “belajar sains sungguhan”, atau ketika cuitan seorang astronaut NASA tentang eksperimennya sendiri <a href="https://twitter.com/Astro_Jessica/status/774051144012148736">dikoreksi netizen</a>. </p>
<p>Diskursus yang tengah berjalan di media sosial tentang <em>mansplaining</em> dan hubungannya dengan pengalaman profesional perempuan pada akhirnya mempertanyakan apakah perilaku ini juga dapat terjadi di tempat kerja. Dan jika ya, efek apa yang mungkin terjadi. </p>
<h2>Perundungan terselubung di tempat kerja</h2>
<p>Studi menunjukkan bahwa perundungan terselubung di tempat kerja <a href="https://www.mckinsey.com/capabilities/people-and-organizational-performance/our-insights/the-hidden-toll-of-workplace-incivility">meningkat selama 20 tahun terakhir</a>. Ini kerap dikaitkan dengan meningkatnya kecaman terhadap diskriminasi yang bersifat terang-terangan. </p>
<p>Kebanyakan perundungan di tempat kerja kini umumnya karena <a href="https://psycnet.apa.org/doi/10.1037/ocp0000089">kurangnya kesopanan atau pelanggaran terhadap norma sosial</a> – ketimbang perlakuan diskriminatif terbuka, sikap bermusuhan ataupun kekerasan. Perundungan terselubung seperti meremehkan, merendahkan, dan mempermalukan <a href="https://psycnet.apa.org/doi/10.1037/1076-8998.6.1.64">sangat berbahaya</a> karena intensinya yang ambigu.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="A woman sits with her head in her hands as two men speak animatedly at her" src="https://images.theconversation.com/files/500819/original/file-20221213-21589-5xo06z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/500819/original/file-20221213-21589-5xo06z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/500819/original/file-20221213-21589-5xo06z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/500819/original/file-20221213-21589-5xo06z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/500819/original/file-20221213-21589-5xo06z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/500819/original/file-20221213-21589-5xo06z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/500819/original/file-20221213-21589-5xo06z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Apa dampak dari <em>mansplaining</em>, jika ada, di tempat kerja?</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kami mengeksplorasi tentang terminologi “<em>mansplaining</em>” dalam diskursus populer seputar tempat kerja. Kami juga ingin tahu apakah <em>mansplaining</em> juga terjadi di luar media sosial, atau hanya sekadar bentuk <a href="https://medium.com/@kristanannbuck/how-the-death-of-expertise-has-poisoned-conversation-on-social-media-87e77b354d0b">reaksi negatif terhadap para ahli</a> yang terjadi di jagad maya. Untuk menemukan jawabannya, <a href="https://doi.org/10.1017/jmo.2022.81">kami memeriksa prevalensi <em>mansplaining</em></a> yang terjadi di lingkup kerja. </p>
<p>Terakhir, kami ingin memetakan siapa yang mengalami <em>mansplaining</em>, siapa yang melakukannya, dan potensi dampaknya terhadap target.</p>
<h2>Mendefinisikan <em>mansplaining</em></h2>
<p>Untuk mendefinisikan <em>mansplaining</em> dalam konteks tempat kerja, kami menyusuri Twitter yang memuat terminologi tersebut sembari memasukkan kata-kata yang terkait kerjaan.</p>
<p>Analisis kami memperluas definisi dari <em>mansplaining</em>: seseorang (biasanya laki-laki) yang memberikan penjelasan yang merendahkan atau persisten, tanpa diminta atau bahkan tak dikehendaki, kepada seseorang (biasanya bukan laki-laki). Penjelasan mereka cenderung mempertanyakan wawasan lawan bicaranya, atau mengasumsikan lawan bicaranya kurang berwawasan mengenai persoalan tersebut, terlepas dari kebenaran dari isi penjelasannya. </p>
<p>Kami kemudian melakukan survei terhadap para pekerja di Amerika Utara untuk mengetahui apakah mereka pernah mengalami <em>mansplaining</em>, seberapa sering mereka mengalaminya serta gender dari pelakunya.</p>
<p>Kami secara khusus tertarik untuk mengetahui apakah kata “<em>man</em>” dari <em>mansplaining</em> benar-benar tepat. Oleh karena itu, kami menanyai orang-orang dari kelompok gender manapun soal perilaku yang kami anggap terkait dengan <em>mansplaining</em>, tanpa secara spesifik bertanya tentang <em>mansplaining</em> itu sendiri.</p>
<h2>Lebih dari media sosial</h2>
<p>Penelitian kami mengindikasikan bahwa <em>mansplaining</em> lebih dari sekadar fenomena di media sosial. Perilaku ini pun terjadi di luar jagad maya dan mempengaruhi orang-orang di lingkungan kerjanya.</p>
<p>Hampir tiap orang dalam studi kami – terlepas dari gendernya – pernah menjumpai paling tidak satu perilaku <em>mansplaining</em>. Akan tetapi, perempuan dan minoritas gender mengalami perilaku ini lebih sering dan dalam cakupan yang lebih luas. </p>
<p>Ini menunjukkan bahwa <em>mansplaining</em> bisa jadi merepresentasikan <a href="https://doi.org/10.1111/j.1559-1816.2011.00891.x">adab yang buruk berbasis gender</a>, yang umumnya dialami oleh pekerja perempuan dan minoritas gender, dengan kebanyakan pelakunya adalah laki-laki. Kata “<em>mansplaining</em>” bisa jadi terlalu menggeneralisasi, namun ini tampaknya merefleksikan dengan akurat pengalaman pekerja perempuan dan minoritas gender.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="An older man in a business suit points and talks sternly to a younger woman who is also in business attire" src="https://images.theconversation.com/files/500823/original/file-20221213-24246-clx9a3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/500823/original/file-20221213-24246-clx9a3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/500823/original/file-20221213-24246-clx9a3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/500823/original/file-20221213-24246-clx9a3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/500823/original/file-20221213-24246-clx9a3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/500823/original/file-20221213-24246-clx9a3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/500823/original/file-20221213-24246-clx9a3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Adab buruk terkait gender adalah bentuk perilaku buruk yang paling sering dialami oleh perempuan dan karyawan minoritas gender, dan kemungkinan besar dilakukan oleh laki-laki.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Temuan kami juga menunjukkan bahwa <em>mansplaining</em> punya efek buruk yang signifikan terhadap sasaran perilaku ini — layaknya bentuk adab buruk di tempat kerja lainnya. Tiap pengalaman <em>mansplaining</em> terasosiasi dengan rendahnya komitmen organisasional dan kepuasan kerja, keinginan berpindah kerja yang tinggi, serta kelelahan emosional dan tekanan psikologis.</p>
<h2><em>Mansplaining</em> bukan sekadar tren</h2>
<p>Organisasi sebaiknya tidak melihat <em>mansplaining</em> sebagai produk adab buruk di media sosial atau sekadar tren yang akan berlalu. Sebaliknya, perilaku ini seharusnya dipahami sebagai permasalahan terkait perilaku buruk selektif yang menyasar individu berdasarkan identitasnya dan membuat mereka merasa tak mumpuni.</p>
<p>Sekalinya diidentifikasi sebagai bentuk adab yang buruk, <em>mansplaining</em> seharusnya dapat disikapi di tempat kerja. Intervensi yang selama ini efektif untuk menghadapi adab buruk bisa jadi ampuh untuk menangani <em>mansplaining</em>.</p>
<p>Pelatihan terkait <a href="https://www.va.gov/ncod/crew.asp">intervensi kesopanan, penghormatan, dan pelibatan di tempat kerja</a> yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS), misalnya, berusaha mengatasi permasalahan seperti ini dan mendorong perilaku sopan di lingkungan kerja. <a href="https://psycnet.apa.org/doi/10.1037/a0024442">Sistem rumah sakit di Kanada yang menerapkan intervensi ini menunjukkan adanya peningkatan</a> dalam perilaku menghormati, kepuasan kerja dan kepercayaan terhadap manajemen – sementara tingkat <em>burnout</em> dan kepasifan karyawan mengalami penurunan.</p>
<p>Buku <a href="https://subtleactsofexclusion.com/"><em>Subtle Acts of Exclusion</em></a> (Tindakan Pengecualian Halus), bisa jadi panduan yang berguna untuk pemimpin maupun karyawan dalam mengatasi bentuk perundungan berbasis gender yang terselubung ini. Buku ini dapat membantu organisasi untuk mencegah agresi mikro agar karyawan merasa nyaman dan diterima di lingkungan kerja mereka.</p>
<p>Bagaimana mengurangi bahaya yang disebabkan oleh <em>mansplaining</em> dan mencegahnya menjadi masalah berulang di tempat kerja merupakan hak organisasi. Namun, perlu diingat bahwa produktivitas dan kesejahteraan karyawan bisa terpengaruh olehnya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/196879/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Penelitian ini sebagian didanai oleh Mitacs Research Training Award.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Chelsie J. Smith menerima dana untuk penelitian ini melalui Mitacs Research Training Award. Dia juga menerima dana dari Social Sciences and Humanities Research Council (SSHRC) melalui Vanier Canada Graduate Scholarship.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Katarina Lauch telah menerima dana melalui Ontario Graduate Scholarship.</span></em></p>Mansplaining bisa menyebabkan rendahnya komitmen organisasional dan kepuasan kerja, keinginan berpindah kerja yang tinggi, serta kelelahan emosional dan tekanan psikologis.Linda Schweitzer, Professor, Management and Strategy, Carleton UniversityChelsie J. Smith, PhD Candidate in Management and Strategy, Carleton UniversityKatarina Lauch, PhD Candidate, Sprott School of Business, Carleton UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1961432022-12-13T08:49:39Z2022-12-13T08:49:39ZHak kesehatan untuk transgender sangat bervariasi di seluruh dunia – bagaimana mencapai kebahagiaan dan kegembiraan mereka<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/500662/original/file-20221213-2933-w2mabt.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Mencapai kesetaraan dalam kesehatan global membutuhkan penanganan terhadap sumber akar ketidaksetaraan. </span> <span class="attribution"><span class="source">Sabrina Bracher/iStock via Getty Images Plus</span></span></figcaption></figure><p>Meski transgender mungkin lebih <a href="https://time.com/135480/transgender-tipping-point/">dikenal secara budaya di Amerika Serikat</a> daripada sebelumnya, visibilitas atau kejelasannya <a href="https://www.alokvmenon.com/blog/2017/3/12/trans-visibility-isnt-trans-justice">tidak sama dengan keadilan</a>.</p>
<p>Transgender adalah <a href="https://www.dukeupress.edu/Imagining-Transgender">sebuah kategori payung</a> yang muncul di Amerika Serikat pada 1990-an untuk mencakup beragam identitas gender yang tidak sepenuhnya sesuai dengan jenis kelamin individu yang ditetapkan saat lahir. Meski komunitas lokal di seluruh dunia telah mengadopsi istilah ini, istilah ini juga dapat <a href="https://doi.org/10.1215/23289252-2685615">menghapus dan menciutkan</a> identitas gender beragam lainnya yang telah digunakan orang lintas waktu, lokasi, dan budaya.</p>
<p>Orang-orang yang saat ini disebut trans, nonbiner, dan interseks telah ada selama berabad-abad di seluruh dunia. Hak-hak orang trans <a href="https://www.penguinrandomhouse.com/books/203953/transgender-warriors-by-leslie-feinberg/">tidak selalu</a> diperdebatkan dalam masyarakat arus utama. Kategori seks dan gender nonnormatif muncul di <a href="http://buddhism.lib.ntu.edu.tw/museum/TAIWAN/md/md08-52.htm">teks Buddhis kuno</a>, serta <a href="https://www.ucpress.edu/book/9780520382053/trans-talmud">literatur rabi Yahudi</a>. Namun <a href="https://doi.org/10.1215/10642684-2009-022">penaklukan kolonial</a> telah membasmi keragaman seksual dan gender secara global.</p>
<p>Hak orang trans untuk hidup <a href="https://doi.org/10.4324/9781003206255-33">telah ditantang</a> sepanjang waktu dan di seluruh dunia dengan berbagai cara. Di seluruh dunia, orang trans menghadapi <a href="https://doi.org/10.1080/14461242.2020.1868899">kesenjangan di banyak wilayah</a>, termasuk akses ke perawatan kesehatan, dukungan hukum, dan keamanan ekonomi. Pemerintah, organisasi global, dan warisan kolonialisme juga menerapkan <a href="https://www.sup.org/books/title/?id=32715">kekerasan dan stigma</a> tingkat tinggi terhadap mereka.</p>
<p>Pada saat yang sama, <a href="https://globalhealth5050.org/2019-report/">95% organisasi terkait kesehatan global</a> tidak mengenali atau menyebutkan kebutuhan orang-orang dengan keragaman gender dalam pekerjaan mereka, sehingga menghasilkan “<a href="http://doi.org/10.1089/trgh.2020.0026">pengecualian hampir universal</a>” orang trans dari praktik dan kebijakan kesehatan. </p>
<p>Ada juga <a href="https://doi.org/10.1111/1467-9566.13563">kurangnya penelitian trans-inklusif yang holistik</a> di seluruh dunia. Misalnya, menelusuri kata “transgender” di situs web <a href="https://www.healthdata.org/search?search_terms=transgender">Institute for Health Metrics and Evaluation</a>, raksasa metrik kesehatan global dari Yayasan Bill dan Melinda Gates yang <a href="https://www.healthdata.org/news-release/who-and-ihme-collaborate-improve-health-data-globally">berkolaborasi dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)</a> untuk menyempurnakan data kesehatan global, hasilnya nol saat ini.</p>
<p><a href="https://scholar.google.com/citations?user=N3VopfkAAAJ&hl=en&oi=ao">Sebagai sosiolog</a>, saya mempelajari bagaimana hasil kesehatan dipengaruhi oleh berbagai kondisi sosial, termasuk kebijakan ekonomi global, institusi, dan nilai budaya. </p>
<p>Secara khusus, saya menganalisis bagaimana pariwisata medis (<em>medical tourism</em>) yang didukung pemerintah, atau perjalanan terkait kesehatan, telah mempengaruhi <a href="https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2022.114950">perempuan transgender Thailand</a>. Secara umum, saya berusaha memahami bagaimana tubuh bertindak sebagai apa yang oleh filsuf Prancis Michel Foucault sebut sebagai “<a href="https://www.penguinrandomhouse.com/books/55035/the-foucault-reader-by-michel-%20foucault/">permukaan peristiwa yang tertulis</a>,” tercetak oleh konteks sosial yang selalu berubah yang mampu atau menahan sumber daya, hak, pengakuan dan kekuasaan.</p>
<p>Dengan kesehatan dan kesejahteraan mereka yang dibentuk oleh konteks sosial di seluruh dunia, tidak terkecuali tubuh transgender.</p>
<h2>Sejarah perawatan yang mempertegas gender</h2>
<p>Institusi dan otoritas medis adalah jalur utama menuju kesehatan dan bagaimana seseorang hidup di dalam tubuhnya. Mereka <a href="https://www.jstor.org/stable/2083452">mendefinisikan, mengklasifikasikan, dan membuat patologi</a> berbagai kondisi manusia, dari <a href="https://doi.org/10.1016/j.socscimed.%202010.02.019">pola kebotakan laki-laki</a> hingga <a href="https://doi.org/10.1111/j.1475-682X.2008.00271.x">kegemukan</a>.</p>
<p>Dokter Jerman <a href="https://theconversation.com/the-early-20th-century-german-trans-rights-activist-who-transformed-the-worlds-view-of-gender-and-sexuality-%20106278">Magnus Hirschfeld</a> menciptakan istilah “waria (<em>transvestite</em>)” yang sekarang sudah kuno pada 1910 untuk mendefinisikan mereka yang ingin mengekspresikan diri mereka bertentangan dengan jenis kelamin yang ditetapkan saat lahir. </p>
<p>Di Institute for Sexual Science miliknya, Hirschfeld menawarkan terapi hormon kepada orang-orang dan melakukan operasi transformasi alat kelamin pertama yang didokumentasikan. Adolf Hitler menganggap Hirschfeld “<a href="https://www.sealpress.com/titles/susan-stryker/transgender-history-second-edition/9781580056908/">orang Yahudi paling berbahaya di Jerman</a>,” dan Nazi membakar pusat penelitiannya setelah dia kabur untuk menyelamatkan diri.</p>
<p>Terlepas dari kekerasan terhadap pengobatan trans ini, endokrinologi di AS dan Eropa cukup maju pada 1930-an dengan penggunaan testosteron dan estrogen sintetik untuk transisi medis. <a href="https://doi.org/10.1210/en.2018-00529">Estrogen</a> pertama kali dimurnikan pada 1923 dan digunakan untuk <em>hot flashes</em> (sensasi panas yang muncul tiba-tiba di tubuh bagian atas), pencegahan keropos tulang, dan masalah kesehatan reproduksi lainnya. <a href="https://www.jstor.org/stable/24980239">Testosteron</a> diisolasi dan disintesis pada 1935 dan pertama kali digunakan untuk mengobati <a href="https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/male-hypogonadism%20/gejala-penyebab/syc-20354881">hipogonadisme</a> pada laki-laki serta pertumbuhan tumor pada perempuan.</p>
<p>Penghambat pubertas, atau agonis hormon pelepas gonadotropin, <a href="https://www.ohsu.edu/sites/default/files/2020-12/Gender-Clinic-Puberty-Blockers-%20Handout.pdf">pertama kali disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat pada 1993</a> untuk anak yang mengalami pubertas terlalu dini. Untuk remaja trans yang mengalami <a href="https://doi.org/10.1080/26895269.2022.2100644">disforia gender</a>, atau tekanan akibat ketidakcocokan antara identitas gender dan jenis kelamin yang ditetapkan saat lahir, pengobatan ini dapat menjadi <a href="https://doi.org/10.1177/07435584221100591">sangat penting</a> untuk kesejahteraan mereka. Jauh dari eksperimental, obat-obatan tersebut memiliki <a href="https://doi.org/10.1080/26895269.2020.1747768">bukti kuat</a> untuk efek menguntungkan secara keseluruhan bagi remaja trans.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/KomI-XiiJw0?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Ada perdebatan tentang apakah remaja trans dapat menentukan apakah mereka siap untuk perawatan yang menegaskan gender.</span></figcaption>
</figure>
<p>Christine Jorgensen adalah orang Amerika pertama yang menjalani apa yang kemudian disebut operasi “perubahan jenis kelamin”, di Denmark pada 1952, <a href="https://www.sealpress.com/titles/susan-stryker/transgender-history-second%20-edisi/9781580056908/">membuat berita utama</a>. Dokter di belahan dunia lain juga mulai mendapatkan keahlian klinis dalam <a href="https://transcare.ucsf.edu/guidelines/vaginoplasty"><em>vaginoplasty</em> (operasi mengencangkan otot vagina)</a>, yang memicu jaringan global perawatan kesehatan transgender. Misalnya, <a href="https://doi.org/10.1155/2014/182981">ahli bedah di Thailand</a> mengembangkan teknik mereka sendiri pada 1970-an untuk wanita trans Thailand.</p>
<p>Segera, orang trans dari negara lain mempelajari teknik bedah Thailand dan mulai melakukan perjalanan ke Thailand untuk perawatan. Dengan dukungan pemerintah yang kuat, Thailand telah menjadi <a href="https://www.dukeupress.edu/mobile-subjects">pusat global untuk layanan yang menegaskan gender</a>. Selanjutnya, pelancong asing “<a href="https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2022.114950">mengerumuni</a>” beberapa orang trans Thailand dari perawatan berkualitas saat pasar bergeser untuk mengakomodasi wisatawan medis.</p>
<p>Untuk beberapa pelancong kesehatan, <a href="http://doi.org/10.1017/S1745855207005765">layanan-layanannya lebih terjangkau</a> di Thailand daripada di negara asalnya. Bepergian untuk mendapatkan layanan kesehatan juga dapat <a href="https://www.oecd.org/health/health-systems/48723982.pdf">memberikan anonimitas yang lebih besar</a>. Bagi mereka yang berada di Inggris yang mencari perawatan yang menegaskan gender, bepergian ke luar negeri adalah alternatif dari <a href="https://cass.independent-review.uk/publications/interim-report/">waktu tunggu yang lama</a>.</p>
<p>Wisata medis lebih mengerikan bagi mereka yang tinggal di negara-negara tempat <a href="https://ilga.org/trans-legal-mapping-report">orang trans menghadapi kriminalisasi</a>, seperti Brunei, Lebanon, dan Malawi, atau tempat operasi yang menegaskan gender <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34194279/">dilarang secara agama</a>, seperti Arab Saudi.</p>
<h2>Apa yang dimaksud dengan kesetaraan kesehatan global?</h2>
<p>Secara global, orang-orang trans mengalami masalah dalam mengakses <a href="http://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)30653-5">layanan perawatan kesehatan yang secara budaya kompeten dan adil</a>, baik secara <a href="https://theconversation.com/doctors-often-arent-trained-on-the-preventive-health-care-needs-of-gender-diverse-people-as-a-result-many-patients-dont-get-the-care-they-need-191933">umum</a> maupun untuk layanan yang menegaskan gender. </p>
<p>Orang trans dan beragam gender mengalami tekanan mental yang lebih besar dan <a href="https://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)00684-X">kekerasan dan diskriminasi sehari-hari</a> daripada rekan cisgender (orang yang mengidentifikasi gendernya sesuai dengan jenis kelamin yang ia bawa sejak lahir) mereka.</p>
<p><a href="http://doi.org/10.1089/trgh.2020.0026">Sebuah laporan pada 2019</a> dari hampir 200 organisasi kesehatan di seluruh dunia menemukan bahwa 93% lembaga tidak mengakui orang trans dalam pekerjaan mereka tentang kesetaraan gender, dan 92% tidak menyebutkan kesehatan trans dalam layanan terprogram mereka.</p>
<p><a href="http://doi.org/10.1136/bmjgh-2020-003394">Dekolonisasi kesehatan global</a> berarti melibatkan orang-orang yang terpinggirkan dalam pengambilan keputusan dan produksi pengetahuan seputar kesehatan global. Ini juga mencakup dan menangani kebutuhan orang-orang trans dan beragam gender di seluruh dunia.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Pasien dan dokter di ruang ujian" src="https://images.theconversation.com/files/495182/original/file-20221114-19-pmhw1p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/495182/original/file-20221114-19-pmhw1p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/495182/original/file-20221114-19-pmhw1p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/495182/original/file-20221114-19-pmhw1p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/495182/original/file-20221114-19-pmhw1p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/495182/original/file-20221114-19-pmhw1p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/495182/original/file-20221114-19-pmhw1p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Memasukkan orang-orang trans dalam kebijakan dan praktik perawatan kesehatan dapat membantu mengurangi kesenjangan.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/doctor-talking-to-patient-at-hospital-room-with-royalty-free-image/1236342725">FG Trade/E+ via Getty Images</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kesetaraan kesehatan trans global berarti menyediakan sumber daya untuk <a href="http://doi.org/10.1089/trgh.2020.0026">menargetkan akar permasalahan</a> kesenjangan kesehatan berbasis gender. <a href="http://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)30653-5">Ini melibatkan</a> pengakuan gender legal, dukungan pemerintah, dan undang-undang anti-diskriminasi. </p>
<p>Sementara dukungan medis dan kesehatan masyarakat diperlukan untuk perempuan trans, yang <a href="https://www.aidsmap.com/news/mar-2022/trans-women-66-times-more-likely-have%20-hiv-trans-men-nearly-7-times-more-likely-global">terkena HIV secara tidak proporsional</a> di seluruh dunia, kesetaraan kesehatan trans global juga berarti menangani area lain yang berkontribusi pada perbedaan ini, seperti <a href="https://doi.org/%2010.1080/14461242.2020.1868899">kemiskinan</a>, pengucilan ekonomi dan <a href="https://www.undp.org/asia-pacific/publications/denied-work-%E2%80%93-audit-employment-diskriminasi-basis-gender-identity-south%20-Asia%20Timur">diskriminasi tempat kerja</a>.</p>
<p>Untuk negara-negara dengan cakupan kesehatan universal, peneliti medis dan kesehatan masyarakat merekomendasikan agar layanan yang menegaskan gender disertakan sebagai <a href="https://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)00684-X">layanan penting</a>. Mereka bukan kosmetik, tetapi diperlukan bagi mereka yang menginginkannya.</p>
<h2>Alternatif yang lebih baik untuk semua</h2>
<p>Di tengah ketidakadilan sehari-hari, kekerasan dan <a href="https://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)00684-X">kerentanan</a> adalah bentuk yang tak terhitung jumlahnya dari <a href="https://doi.org/10.1080%20/17441692.2020.1856397">ketahanan dan perlawanan trans</a>, <a href="https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2020.112808">aktivisme</a>, <a href="https://doi.org/10.1215/01642472-7971139">perawatan kolektif</a> dan <a href="https://doi.org/10.1332/policypress/9781447342335.001.0001">berbagi pengetahuan </a>. Bahkan ada beberapa “<a href="https://doi.org/10.1080/14461242.2020.1855999">gelembung utopia</a>,” atau klinik dan pengaturan perawatan kesehatan tempat orang trans dapat mengakses layanan dengan penundaan yang berkurang. </p>
<p>Alternatif ini membuka kemungkinan untuk <a href="https://doi.org/10.4324/9781003034063-9">kebahagiaan transgender</a>, atau pembebasan dari konstruksi gender kolonial yang membatasi, dan <a href="https://doi.org/10.1093/%20socpro/spac034">kegembiraan transgender</a>, atau meningkatkan kualitas hidup seseorang dan membentuk hubungan yang bermakna dengan merangkul identitas yang terpinggirkan.</p>
<p>Bagaimana kebijakan, institusi, dan masyarakat dapat memupuk kebahagiaan dan kegembiraan trans di seluruh dunia?</p>
<p>Semua tubuh manusia adalah “<a href="https://doi.org/10.4324/9780203976531">artefak sosiokultural</a>.” Bagaimana mereka diekspresikan dan dihayati ditentukan oleh konteks sosial dan dibentuk oleh sumber daya yang tersedia. </p>
<p>Seks dan gender adalah poin dalam “<a href="http://doi.org/10.1002/j.2326-1951.2000.tb03504.x">ruang multi-dimensi</a>” yang luas dari anatomi, hormon, kromosom, lingkungan, dan budaya. </p>
<p>Kesetaraan kesehatan global untuk orang-orang trans meminta pertanggungjawaban lembaga dan pembuat keputusan yang bertanggung jawab atas kesehatan dan keselamatan semua manusia. Ini berorientasi pada kebebasan untuk berkembang di dunia yang merayakan keragaman seks dan gender sebagai <a href="https://blogs.scientificamerican.com/voices/stop-using-phony-science-to-justify-%20transfobia%20/">fakta alami kehidupan</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/196143/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Reya Farber received funding from a National Science Foundation Graduate Research Fellowship under Grant No. DGE-1247312, Boston University Graduate School, Boston University Sociology Department Morris Funds, and William & Mary Summer Research Grant.</span></em></p>Kesetaraan kesehatan global untuk orang-orang trans meminta pertanggungjawaban lembaga dan pembuat keputusan yang bertanggung jawab atas kesehatan dan keselamatan semua manusia.Reya Farber, Assistant Professor of Sociology, William & MaryLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1947942022-11-18T07:27:53Z2022-11-18T07:27:53ZRiset baru menjawab apakah jenis kelamin kakak atau adik mempengaruhi kepribadian kita<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/495760/original/file-20221116-14-r22voe.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Getty Images</span></span></figcaption></figure><p>Saudara – entah itu adik ataupun kakak – memiliki peran yang besar di masa kecil kita. Oleh karena itu, mereka mempengaruhi kepribadian kita dalam jangka panjang. Secara khusus, para peneliti telah lama tertarik untuk mengetahui perbedaan pengaruh antara tumbuh besar dengan seorang saudara perempuan dan dengan seorang saudara laki-laki pada saat kita saat dewasa. </p>
<p>Bagaimana anak-anak berinteraksi dengan saudara perempuan atau laki-laki mereka? Bagaimana perilaku orang tua dapat berbeda terhadap anak-anak mereka dengan gender yang berbeda, dan bagaimana interaksi tersebut mempengaruhi anak-anak?</p>
<p>Teori-teori sebelumnya telah membuat prediksi yang sangat berbeda: saudara kandung dari gender yang berbeda mungkin menghasilkan <a href="https://doi.org/10.2307/2786054">kepribadian gender berdasarkan stereotip</a> (seorang anak perempuan dapat mengambil peran yang lebih feminin untuk membedakan diri dari saudara laki-lakinya) atau <a href="https://doi.org/10.9783/9781512800807">kepribadian gender non-stereotip</a> (seorang anak perempuan dapat mengambil sifat yang lebih maskulin karena meniru saudara laki-lakinya).</p>
<p>Faktanya, penelitian psikologis telah mengkaji perbedaan ini selama lebih dari setengah abad. <a href="https://doi.org/10.1016/j.paid.2015.02.037">Dalam beberapa penelitian</a>, saudara kandung dari lawan jenis tampak lebih sesuai dengan gender mereka. Anak perempuan yang tumbuh dengan saudara laki-laki kemudian menjadi lebih “perempuan” dan anak laki-laki dengan saudara perempuan menjadi lebih “laki-laki”.</p>
<p>Namun, <a href="https://doi.org/10.1037/h0030055">beberapa penelitian lain menemukan kebalikannya</a>. Saudara kandung dengan gender berlawanan berkembang dengan cara yang biasanya sesuai dengan gender mereka. Untuk mengatasi kontradiksi ini, kami ingin menguji pengaruh gender saudara pada kepribadian dengan teliti dan komprehensif.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/480681/original/file-20220823-16-4ll79p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/480681/original/file-20220823-16-4ll79p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/480681/original/file-20220823-16-4ll79p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/480681/original/file-20220823-16-4ll79p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/480681/original/file-20220823-16-4ll79p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/480681/original/file-20220823-16-4ll79p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/480681/original/file-20220823-16-4ll79p.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Seperti saudara laki-laki, seperti saudara perempuan? Para peneliti berbeda pendapat tentang kemungkinan pengaruh saudara kandung dengan gender berlawanan pada kepribadian.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Getty Images</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Menggunakan mahadata</h2>
<p><a href="https://doi.org/10.1177/09567976221094630">Studi baru kami</a> berfokus pada hubungan antara anak-anak dan kakak langsung di atasnya atau adik mereka langsung di bawahnya. Kami menyusun kumpulan data unik dengan menggabungkan 12 survei representatif besar yang mencakup sembilan negara di empat benua (Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Jerman, Swiss, Australia, Meksiko, Cina, dan Indonesia).</p>
<p>Ini menghasilkan kumpulan data lebih dari 85.000 orang – berkali-kali lipat ukuran sampel yang digunakan dalam penelitian sebelumnya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/when-do-children-develop-their-gender-identity-56480">When do children develop their gender identity?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, kami juga menyelidiki lebih banyak ciri kepribadian yang meliputi ciri-ciri yang paling banyak dipelajari dalam penelitian lain. Ciri-ciri ini juga telah terbukti menjadi prediktor penting dari keputusan dan pilihan orang-orang.</p>
<p>Dari sifat kepribadian ini, ada lima yang paling utama, yaitu: keterbukaan, kesadaran, ekstraversi atau kecenderungan untuk bersosialisasi dengan orang lain, keramahan, dan neurotisme. Ciri-ciri lain yang diperiksa adalah: toleransi risiko, kepercayaan, kesabaran, dan <em>“locus of control”</em> (sejauh mana orang percaya bahwa mereka memiliki kendali atas hidup mereka).</p>
<p>Kami juga membuat indeks yang menjelaskan sejauh mana orang memiliki kepribadian perempuan yang tipikal. Hal ini memungkinkan kami untuk melakukan pengujian komprehensif pada pertanyaan apakah tumbuh dengan saudara kandung dengan gender berlawanan dapat menimbulkan kepribadian gender yang tipikal.</p>
<h2>Gender saudara dan pengalaman hidup</h2>
<p>Selain inovatif dalam menggunakan kumpulan data yang besar, studi ini juga konsisten dalam menerapkan metode untuk mengidentifikasi efek kausal apapun dari gender saudara terhadap ciri-ciri kepribadian</p>
<p>Untuk memperkirakan efek kausal yang kredibel, kami menggunakan fakta alam yang menarik: orang tua tidak secara khusus memutuskan jenis kelamin atau gender anak mereka ketika mereka memiliki anak lagi. Oleh karena itu, dalam “percobaan alami” ini, beberapa orang diberikan saudara perempuan atau laki-laki “secara acak.”</p>
<p>Hal ini memungkinkan kami untuk memperkirakan efek kausal dari gender saudara kandung terhadap kepribadian seseorang. Kami melakukannya dengan membandingkan rata-rata kepribadian seseorang yang tumbuh dengan saudara perempuan sebagai saudara bungsu dengan mereka yang tumbuh dengan adik laki-laki di bawahnya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/are-your-squabbling-kids-driving-you-mad-the-good-bad-news-is-sibling-rivalry-is-developmentally-normal-186300">Are your squabbling kids driving you mad? The good/bad news is, sibling rivalry is 'developmentally normal'</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Saudara laki-laki dan perempuan</h2>
<p>Hasil dari studi kami menunjukkan gender saudara tidak berpengaruh pada kepribadian. Untuk kesembilan ciri kepribadian dan indeks ringkasan, kami menemukan seseorang yang memiliki adik perempuan langsung di bawahnya menunjukkan, rata-rata, ciri kepribadian yang sama dengan orang yang memiliki adik laki-laki yang juga langsung di bawahnya.</p>
<p>Kami juga tidak menemukan adanya perbedaan kepribadian antara seseorang yang memiliki kakak perempuan langsung di atasnya dan seseorang yang memiliki kakak langsung di atasnya. Karena kami memiliki data lebih dari 85.000 orang, hasil ini diperkirakan dengan sangat akurat.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/when-parents-play-favourites-what-happens-to-the-kids-110019">When parents play favourites, what happens to the kids?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Temuan ini membantah gagasan bahwa saudara laki-laki atau perempuan menyebabkan pengembangan sifat kepribadian “feminin” atau “maskulin” dalam jangka panjang.</p>
<p>Meski demikian, bukan berarti saudara kandung tidak memiliki efek jangka panjang sama sekali. Studi lain yang menerapkan pendekatan metodologi serupa menunjukkan bahwa perempuan dengan saudara laki-laki di <a href="https://doi.org/10.1016/j.labeco.2019.02.009">Amerika Serikat</a> dan <a href="https://doi.org/10.1007/s00148-021-00830-9">Denmark</a> berpenghasilan lebih sedikit. Selain itu, <a href="https://doi.org/10.1093/qje/qjt011">studi populasi Asia</a> telah menemukan perempuan yang memiliki adik perempuan menikah lebih awal dan perempuan yang memiliki kakak perempuan menikah setelah saudara mereka.</p>
<p>Secara kesimpulan, sepertinya ada dinamika saudara terkait gender yang menarik – tetapi kepribadian mungkin bukanlah salah satu efeknya.</p>
<hr>
<p><em>Zalfa Imani Trijatna dari Universitas Indonesia menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/194794/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Selama penelitian ini, Thomas Dudek menerima dana dari QuakeCoRE yang didanai oleh New Zealand Tertiary Education Commission.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Anne Ardila Brenøe dan Jan Feld tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Peneliti memiliki pendapat berbeda mengenai pengaruh tmbuh dengan saudara perempuan atau laki-laki pada kita saat dewasa. Penelitian baru dengan mahadata berupaya untuk menyelesaikan argumen tersebut.Jan Feld, Senior Lecturer in Economics, Te Herenga Waka — Victoria University of WellingtonAnne Ardila Brenøe, Assistant Professor of Economics, University of ZurichThomas Dudek, Postdoctoral Researcher, Te Herenga Waka — Victoria University of WellingtonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1925712022-10-17T07:47:24Z2022-10-17T07:47:24Z“Sudah menikah?” “Sudah berapa anaknya?”: bagaimana pertanyaan basa-basi ini bisa menjadi stigma<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/489999/original/file-20221017-18-uhy4wp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C12%2C4104%2C2715&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Artem Kovalev dari Unsplash</span></span></figcaption></figure><p>Tina, seorang perempuan berusia awal 40-an, berasal dari salah satu negara di Asia Tenggara, adalah seorang pribadi yang telah sukses dengan dua gelar pendidikan tinggi. </p>
<p>Tina sudah tinggal bertahun-tahun di Selandia baru. Berada jauh dari negara dan keluarganya selama bertahun-tahun, Tina menganggap komunitas lokal Asia Tenggara di Selandia Baru seperti keluarga barunya. Namun, berinteraksi dengan mereka berarti dia harus menghadapi beberapa pertanyaan yang mengganggu seperti “Apakah kamu sudah menikah?” atau “Apakah Anda punya anak?” saat menghadiri pesta pernikahan saudara atau kolega.</p>
<p>“Kami paham bahwa mereka orang baik dan pertanyaan itu tidak bermaksud untuk menyakiti kami, namun, saat pertanyaan itu berulang, bahkan oleh orang yang kami baru kenal sekalipun, kami menjadi tidak nyaman.” </p>
<p>“Pertanyaan itu, seperti menggarisbawahi hal yang kami, saya tidak punya, dan tidak melihat apa yang sudah kami capai dalam hidup. Saya paham bahwa stigma itu selalu ada…,"ujar Tina yang memang mengalami kesulitan untuk memiliki anak bersama suaminya.</p>
<p>Bagi Tina, apa yang selama ini dianggap sebagai sapaan sosial yang "normal” di kalangan masyarakat Asia dirasakan sebagai stigma terhadap perempuan yang belum menikah dan tidak memiliki anak.</p>
<p>Tina tidak sendirian merasakan hal ini.</p>
<p>Proyek penelitian kami yang saat ini masih berlangsung berusaha membongkar bagaimana pertanyaan tentang anak-anak dapat membawa stigma. Kami menemukan pertanyaan-pertanyaan ini berdampak pada harga diri dan hubungan perempuan dengan keluarga dan komunitas mereka.</p>
<h2>Ada apa dengan pertanyaan “basa-basi” ini?</h2>
<p>Fokus utama penelitian kami adalah perempuan dan pasangan Asia Tenggara dan Asia Selatan. Kami mewawancarai 23 perempuan – termasuk perempuan yang kami panggil Tina – yang bermigrasi dari negara kelahiran mereka ke Aotearoa Selandia Baru. Responden ini (pernah) mengalami masalah kesuburan dan tidak bisa punya anak.</p>
<p>Temuan penelitian awal kami menunjukkan bahwa pertanyaan seperti “Apakah Anda sudah menikah?” dan “Apakah Anda punya anak?” memiliki interpretasi yang berbeda baik dari sisi penanya maupun responden.</p>
<p>Dari sudut pandang penanya, pertanyaan semacam itu dianggap sebagai sapaan yang umum. Mereka sebanding dengan “Apa kabar?” di dunia Barat.</p>
<p>Pertanyaan tersebut muncul dari asumsi bahwa setiap perempuan dewasa di sebagian besar negara Asia adalah heteroseksual, menikah dan, mungkin, seorang ibu.</p>
<p>Dengan asumsi bahwa setiap orang pasti menikah dengan lawan jenis dan akhirnya menjadi ibu, mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini sebagai bagian dari pemahaman sosial mereka. Narasumber kami memahami bahwa pertanyaan tidak selalu bermaksud buruk dan semua itu harus dipahami sebagai “konvensi sosial” atau bagian dari “obrolan atau sapaan sehari-hari”.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/489099/original/file-20221011-16-7dfr08.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/489099/original/file-20221011-16-7dfr08.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/489099/original/file-20221011-16-7dfr08.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/489099/original/file-20221011-16-7dfr08.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/489099/original/file-20221011-16-7dfr08.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/489099/original/file-20221011-16-7dfr08.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/489099/original/file-20221011-16-7dfr08.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Liv Bruce dari Unsplash</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tetapi bagi para perempuan yang mendapat pertanyaan-pertanyaan ini, itu bisa terasa seperti stigma, mencoba mencari tahu dan bahkan “menghakimi”. </p>
<p>Menurut narasumber kami, pertanyaan tersebut cenderung fokus pada apa yang mereka belum dapatkan, dan bukan apa yang telah mereka miliki atau capai. Mereka menyoroti ketidakmampuan mereka untuk mempunyai anak, dan merendahkan diri mereka tidak hanya sebagai perempuan melainkan sebagai manusia pada umumnya. </p>
<h2>Dampak stigma – bahkan ketika tidak disengaja</h2>
<p>Dalam mendekati masalah ini, kami mengadopsi definisi <a href="https://cdn.penguin.co.uk/dam-assets/books/9780241548011/9780241548011-sample.pdf">stigma</a> yang diberikan oleh sosiolog Kanada-Amerika, Erving Goffman. Dia mendefinisikan stigma sebagai <a href="https://books.google.co.nz/books/about/Stigma.html?id=5YBiQgAACAAJ&redir_esc=y">atribut yang sangat mendiskreditkan</a>“, saat seseorang dianggap tidak "normal” dalam komunitas mereka.</p>
<p>Untuk penelitian kami, kami melihat bagaimana stigma bisa muncul dari pertanyaan yang tampaknya “tidak berbahaya” ini (“Apakah Anda punya anak?”) baik di negara kelahiran narasumber maupun di Aotearoa Selandia Baru, rumah baru mereka.</p>
<p>Meskipun pertanyaannya mungkin tampak tidak berbahaya, peserta kami menemukan sebaliknya.</p>
<p>Mereka mengatakan pertanyaan itu terasa seperti membuat keberadaan mereka tidak bernilai dan memposisikan mereka sebagai individu yang ternoda dan diabaikan, karena tidak memiliki anak.</p>
<p>Pertanyaan ini memberikan ruang bagi para narasumber untuk meninjau ulang identitas mereka sebagai seorang perempuan, sebagai orang Indonesia, sebagai orang Melayu, sebagai orang India, sebagai orang Sri Lanka, dan sebagai orang Asia – tetapi tidak dengan cara yang menyenangkan.</p>
<h2>Mengurangi koneksi sosial dan harga diri</h2>
<p>Kami juga belajar bahwa ada beberapa konsekuensi dan dampak sosial dari pertanyaan tentang anak.</p>
<p>Pertama, stigma ini telah membuat banyak perempuan menarik diri secara sosial dan merasa dikucilkan baik dari komunitas etnis di Aotearoa Selandia Baru maupun dari kerabat mereka di negara kelahiran mereka.</p>
<p>Kami menemukan bahwa responden perempuan kami menerima lebih banyak pertanyaan dan merasa lebih malu dan merasa bersalah ketika mereka tidak memiliki anak dari suami mereka. Mereka distigmatisasi baik di komunitas etnis mereka di Aotearoa Selandia Baru maupun di negara asal mereka, oleh anggota keluarga besar mereka, seperti paman, bibi, bahkan keponakan dan juga kenalan.</p>
<p>Hal ini menyebabkan beberapa dari mereka menarik diri dari pertemuan sosial etnis di negara baru. Selanjutnya, mereka mencoba menjauhkan diri dengan keluarga mereka di negara asal mereka, misalnya, lebih jarang menelepon keluarga, sehingga mereka tidak perlu menjawab pertanyaan yang sama.</p>
<p>Pasangan lain cenderung mempersingkat waktu liburan mereka – seperti memotong liburan satu bulan menjadi dua minggu – untuk menghindar dari pengawasan sosial dan publik.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/489100/original/file-20221011-26-gxafev.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/489100/original/file-20221011-26-gxafev.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/489100/original/file-20221011-26-gxafev.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/489100/original/file-20221011-26-gxafev.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/489100/original/file-20221011-26-gxafev.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/489100/original/file-20221011-26-gxafev.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/489100/original/file-20221011-26-gxafev.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">Adam Nemeroff dari Unsplash</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pertanyaan tentang anak atau menikah juga menyebabkan harga diri perempuan menjadi rendah.</p>
<p>Responden kami melaporkan bahwa stigma tidak hanya melukai harga diri perempuan, tapi juga mengucilkan mereka dari kelompok sosial mereka, serta memposisikan mereka sebagai perempuan yang “kurang sempurna”.</p>
<p>Dengan demikian, mengucilkan dan menarik diri secara sosial menjadi mekanisme pertahanan untuk melindungi diri mereka sendiri dari pengawasan dan penilaian “kaum mereka sendiri”.</p>
<p>Setelah kelelahan secara psikologis dan fisik setelah segala macam upaya agar bisa hamil, melindungi diri dari penghakiman sosial adalah yang paling bisa mereka lakukan untuk menjaga kesehatan mental dan kesejahteraan emosional mereka.</p>
<p>Saatnya untuk memikirkan kembali apakah pertanyaan yang kita ajukan yang kita anggap “bagian dari ke-Asiaan kita” ini memang benar tidak berbahaya?</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/192571/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nelly Martin-Anatias menerima dana dari Marsden, The Royal Society of New Zealand. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Sharyn Graham Davies menerima dana dari Marsden, The Royal Society of New Zealand.</span></em></p>Apa yang mungkin tampak seperti sapaan ‘normal’ di antara banyak komunitas Asia dapat dirasakan sebagai stigma bagi perempuan yang belum menikah dan tidak memiliki anak.Nelly Martin-Anatias, Lecturer of Academic English at Massey University College, Massey UniversitySharyn Graham Davies, Associate Professor of Social Sciences, Monash UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1897332022-09-02T09:15:06Z2022-09-02T09:15:06ZExplainer: Apa itu identitas gender ‘nonbiner’?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/482474/original/file-20220902-18-3ahajh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kategori gender yang bersifar biner sangat terbatas dan belum mampu menjelaskan pengalaman seseorang yang mengidentifikasi diri sebagai 'nonbiner' atau 'genderqueer'.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock/Black Hill Design)</span></span></figcaption></figure><p>Sejak kecil, kita diajarkan bahwa ada anak laki-laki dan ada anak perempuan. Dalam beberapa masyarakat yang progresif, jika beruntung, kita juga akan diajarkan bahwa terkadang “laki-laki” menjadi perempuan, dan “perempuan” menjadi laki-laki.</p>
<p>Tapi apakah pilihannya hanya dua itu? Orang-orang yang memiliki identitas gender nonbiner akan berkata “tidak”.</p>
<p>Mereka yang menganggap dirinya sebagai nonbiner (atau terkadang memakai istilah payung ‘genderqueer’) kerap merasa bahwa dua kategori gender – laki-laki ATAU perempuan – terlalu sederhana atau terbatas untuk bisa menjelaskan perasaan dan pengalaman mereka terkait gender mereka sendiri.</p>
<p>Sejak masa balita, misalnya, kita diberi tahu bahwa semua orang harus masuk dalam kotak tertentu, antara “laki-laki” atau “perempuan”. Salah satu hal yang pertama kali kita lakukan saat bertemu dengan orang baru, atau sekadar berpapasan dengan orang di jalan, biasanya adalah menentukan mereka masuk dalam kotak yang mana.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/97334/original/image-20151006-29251-1912jzt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/97334/original/image-20151006-29251-1912jzt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/97334/original/image-20151006-29251-1912jzt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=502&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/97334/original/image-20151006-29251-1912jzt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=502&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/97334/original/image-20151006-29251-1912jzt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=502&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/97334/original/image-20151006-29251-1912jzt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=630&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/97334/original/image-20151006-29251-1912jzt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=630&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/97334/original/image-20151006-29251-1912jzt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=630&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Konstruksi sosial tentang dua kategori gender mulai diajarkan pada kita sejak lahir.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Mad Dog/www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Namun, pembagian gender menjadi hanya dua kategori atau biner, bisa meminggirkan mereka yang tidak merasa masuk dalam kategori ini. Menurut peneliti sosial <a href="http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/15313200903124028">Susan Saltzburg dan Tamara S. Davis</a>:</p>
<blockquote>
<p>Dalam mereduksi pengalaman manusia menjadi suatu interpretasi identitas gender yang terlampau sederhana, kita mengukuhkan suatu cara berpikir tentang kategori gender yang terpisah menjadi dua kotak, sehingga memarjinalkan mereka yang melintasi batasan-batasan kriteria gender tersebut.</p>
</blockquote>
<p>Beberapa pengkaji feminis mendorong suatu <a href="http://plato.stanford.edu/entries/feminism-gender/#SexDis">pembedaan antara ‘seks’ dan ‘gender’</a>. Dalam hal ini, seks merupakan kerangka biologis (<em>male</em> atau <em>female</em>), sementara gender merupakan konstruksi sosial mengenai pengalaman akan maskulinitas dan femininitas.</p>
<p>Feminis lain, termasuk peneliti gender <a href="https://www.routledge.com/products/9780415610155">Judith Butler</a> dari University of California-Berkeley di Amerikat Serikat (AS), bahkan berpikir lebih jauh lagi. Mereka menantang kepercayaan umum terkait dua kategori biologis dari seks yang sering dianggap ‘alami’, dan beranggapan bahwa tidak semua bayi terlahir sebagai <em>male</em> ataupun <em>female</em>.</p>
<p>Para akademisi ini menunjukkan bahwa pemikiran sosial kita tentang gender mempengaruhi cara kita memahami tubuh manusia. Pemahaman bahwa gender tidaklah intrinsik ataupun biner memberi ruang munculnya konsep identitas gender nonbiner.</p>
<h2>Melampaui batasan biner dari gender</h2>
<p>Bagi banyak orang, konsep identitas gender nonbiner masih merupakan hal yang misterius. Salah satunya karena nonbiner bisa punya arti yang berbeda bagi orang yang berbeda.</p>
<p>Beberapa orang nonbiner merasa bahwa diri mereka hidup di antara dua kategori biner dari gender; beberapa merasa berada di luar kategori-kategori tersebut; sementara yang lainnya sepenuhnya menolak konsep biner dari gender serta menganggapnya sebagai sesuatu yang bisa ditantang atau ‘ditarik-ulur’.</p>
<p>Identitas gender nonbiner bisa membantu individu untuk senantiasa mengeksplor gender mereka secara fleksibel dan bereksperimen sepanjang hidup mereka. Tapi, ini juga bisa memberi mereka tempat yang nyaman di antara dua kategori gender tradisional.</p>
<p>Istilah-istilah lain – seperti <a href="http://www.huffingtonpost.com.au/2015/06/17/ruby-rose-gender-fluid-video-interview_n_7603186.html?ir=Australia">‘genderfluid’</a>, <a href="http://www.mtv.com/news/2153402/tyler-ford-agender-queer-diary/">‘agender’</a>, atau <a href="http://www.theguardian.com/world/2015/aug/07/my-life-without-gender-strangers-are-desperate-to-know-what-genitalia-i-have">‘genderless’</a> – menjelaskan perspektif-perspektif yang serupa. Sementara <a href="https://theconversation.com/trans-transgender-cisgender-we-are-what-we-name-ourselves-29788">‘cisgender’</a> menjelaskan pengalaman saat seseorang merasa sejalan dengan gender mereka saat lahir (misalnya secara seks lahir sebagai <em>female</em>, lalu mengemban identitas gender sebagai perempuan).</p>
<p>Tidak ada satu cara untuk menjadi – atau menampilkan diri – sebagai nonbiner.</p>
<p>Meski beberapa orang nonbiner menunjukkan dirinya dengan tampilan yang ambigu antara maskulin dan feminin (<em>androgynous</em>), penting untuk kita catat bahwa tidak semua orang nonbiner menampilkan dirinya seperti ini. </p>
<p>Jadi, karena kita tidak bisa memastikan apakah seseorang merupakan nonbiner hanya dengan melihat mereka, satu-satunya cara untuk kita tahu perasaan seseorang tentang gender mereka adalah dengan mendengarkan mereka secara tulus dan menunggu mereka untuk memberi tahu kita.</p>
<h2>Bagaimana dengan transgender?</h2>
<p>Telah banyak <a href="https://theconversation.com/changing-the-way-we-look-at-trans-women-on-tv-28761">perbincangan</a> terkait istilah ‘transgender’, misalnya seputar mantan atlet olimpiade <a href="http://theconversation.com/how-conservatives-and-liberals-watch-i-am-cait-44877">Caitlyn Jenner</a> dan bintang serial Orange Is The New Black (2013-2019) <a href="http://theconversation.com/orange-is-the-new-black-is-fast-becoming-a-feminist-classic-40353">Laverne Cox</a>.</p>
<p>Jadi, mari kita bicarakan hubungan antara ‘nonbiner’ atau ‘genderqueer’, dengan ‘transgender’.</p>
<p>Secara umum, <a href="https://theconversation.com/whats-in-a-word-the-challenges-of-transgender-38633">transgender</a> biasanya merujuk pada orang yang mengidentifikasi diri dengan suatu kategori gender (laki-laki ATAU perempuan), yang ‘berlawanan’ dari seks mereka saat lahir.</p>
<p>Misalnya, seseorang yang secara seks lahir sebagai <em>male</em>, namun kemudian mengidentifikasi diri sebagai perempuan, kerap disebut ‘perempuan transgender’ atau ‘transpuan’. Sebaliknya, seseorang yang secara seks lahir sebagai <em>female</em> kemudian mengidentifikasi diri sebagai laki-laki disebut sebagai ‘laki-laki transgender’ atau ‘transpria’.</p>
<p>Namun, meski beberapa orang transgender memang punya perasaan terjebak di ‘tubuh yang salah’, beberapa lainnya merasa memiliki identitas gender yang lebih cair (<em>fluid</em>). Mereka bisa jadi mengidentifikasi diri sebagai transgender sekaligus nonbiner.</p>
<p>Beberapa orang yang transgender sekaligus nonbiner, bisa jadi ingin menggunakan terapi hormon atau melakukan operasi untuk membentuk ulang tubuh mereka. Yang lainnya mungkin tidak menginginkan perubahan fisik sama sekali.</p>
<p>Identitas gender nonbiner atau genderqueer memang merupakan konsep yang cenderung lebih asing dari transgender. Akibatnya, orang-orang biner yang tidak ingin mengubah tampilan diri mereka secara medis, legal, atau pun sosial, berpotensi menghadapi berbagai tantangan ekstra supaya identitas mereka diakui secara formal.</p>
<p>Dalam dunia riset, sudah banyak penelitian yang fokus pada pengalaman transgender, termasuk kompilasi analisis akademik ‘<em>Transgener Studies Reader</em>’ (<a href="http://www.goodreads.com/book/show/329793.The_Transgender_Studies_Reader">2006</a>, <a href="http://www.goodreads.com/book/show/15858519-the-transgender-studies-reader-2">2013</a>). Namun, ada jauh lebih sedikit perhatian akademik untuk identitas dan pengalaman nonbiner.</p>
<p>Satu buku yang berupaya mengisi celah ini adalah ‘<a href="http://www.goodreads.com/book/show/357381.GenderQueer"><em>GenderQueer: Voices From Beyond the Sexual Binary</em></a>’ (2002), yang diedit oleh Joan Nestle, Clare Howell and Riki Anne Wilchins.</p>
<h2>Hambatan bahasa dan institusional</h2>
<p>Ada banyak yang kita bahas tentang bagaimana orang mengubah tubuh mereka, tapi belum banyak atensi yang kita berikan terkait perubahan-perubahan kecil yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat untuk membuat hidup orang nonbiner menjadi lebih nyaman.</p>
<p>Aspek kehidupan sehari-hari yang kita sering remehkan – seperti masuk ke toilet umum yang 'tepat’, atau mencentang ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’ pada sebuah formulir – menjadi sangat susah kalau kita tidak masuk salah satu kategori tersebut.</p>
<p>Di beberapa negara, banyak sekolah, perusahaan, dan organisasi mulai menawarkan <a href="http://www.slate.com/blogs/outward/2013/12/26/gender_neutral_bathrooms_all_bathrooms_should_be_open_to_all_users.html">‘kamar mandi netral-gender’</a>. Dalam beberapa formulir atau dokumen resmi juga mulai muncul kotak ‘lainnya’ (<em>other</em>) dalam bagian yang menanyakan gender, atau sebutan yang netral-gender seperti Mx (di samping Mr dan Ms).</p>
<p>Perubahan-perubahan ini penting untuk menghapus beberapa hambatan institusional yang dihadapi orang-orang nonbiner. Ada juga beberapa hal yang bisa kita lakukan sebagai individu untuk mendukung orang-orang nonbiner.</p>
<p>Mengubah nama bisa jadi langkah yang penting bagi seseorang untuk menunjukkan identitas gender mereka pada dunia. Jika namamu adalah ‘Jessica’, misalnya, orang kerap beranggapan bahwa kamu adalah perempuan; jika ‘Ben’, maka laki-laki. Meski tidak semua orang nonbiner merasa perlu untuk mengubah nama, beberapa mengingingkan nama yang netral.</p>
<p>Mengakui perubahan nama tersebut sangat penting untuk menghormati identitas gender seseorang. Senada dengan itu, di beberapa negara Barat, ada orang nonbiner yang nyaman dengan kata panggilan (<em>pronoun</em>) seperti ‘<em>he/him</em>’ atau ‘<em>she/her</em>’, ada pula yang lebih suka memakai kata panggilan yang netral-gender seperti ‘<em>they/them</em>’ atau ‘<em>zie/zir</em>’.</p>
<p>Meski pergeseran bahasa ini membuat beberapa <a href="http://www.salon.com/2015/04/01/we_need_to_upgrade_our_pronouns/">pegiat tata bahasa</a> tersinggung, pergeseran kata plural ‘<em>they</em>’ dalam bahasa Inggris menjadi subjek tunggal telah <a href="http://www.oxforddictionaries.com/words/he-or-she-versus-they">diakui dalam Kamus Oxford</a>.</p>
<p>Di negara berbahasa Inggris, menggunakan ‘<em>they</em>’ untuk menyebut seorang individu bisa jadi terasa menantang saat kita pertama kali melakukannya. Namun, ini merupakan perubahan kecil yang bisa kita lakukan untuk menunjukkan rasa hormat kita pada identitas orang lain.</p>
<p>Memahami dan mengingat berbagai istilah dan konsep yang kompleks ini adalah upaya yang menantang, namun layak kita perjuangkan.</p>
<p>Lagipula, tantangan menyesuaikan diri dengan perubahan ini jauh lebih remeh daripada <a href="http://www.huffingtonpost.com/jack-harrison/national-transgender-discrimination-survey_b_1516566.html?ir=Australia">hambatan sosial</a> yang dialami orang-orang transgender atau nonbiner.</p>
<h2>Saatnya berhenti mengkotak-kotakkan</h2>
<p>Kita bisa membawa berbagai pelajaran di atas selangkah lebih jauh lagi. Selama ini, kategori gender yang konvensional terikat erat dalam bahasa kita sehari-hari maupun dalam dokumen institusional – dan ini mempengaruhi cara kita memandang dunia.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/97365/original/image-20151006-29229-nspjr2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/97365/original/image-20151006-29229-nspjr2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/97365/original/image-20151006-29229-nspjr2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/97365/original/image-20151006-29229-nspjr2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/97365/original/image-20151006-29229-nspjr2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/97365/original/image-20151006-29229-nspjr2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/97365/original/image-20151006-29229-nspjr2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/97365/original/image-20151006-29229-nspjr2.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Selamat! Anda melahirkan seorang…bayi.</span>
<span class="attribution"><span class="source">tisskananat/www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Karena kita tahu bahwa tidak semua orang masuk dalam kategori ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’, mungkin ini adalah saatnya mempertanyakan insting kita untuk langsung memberikan label tertentu pada orang lain. Lain kali kita sedang berada di jalan, cobalah untuk membayangkan orang-orang yang kamu lewati tanpa suatu gender tertentu.</p>
<p>Bagi kebanyakan dari kita, hal ini sangatlah susah. Tapi, dengan berlatih, kita bisa sedikit lebih menghormati orang selanjutnya yang kita temui, yang bisa jadi adalah nonbiner.</p>
<p>Menyangkal identitas gender seseorang bisa berkontribusi meningkatkan prasangka, rasa takut, dan kekerasan terhadap orang yang tidak masuk dalam kategori gender tradisional.</p>
<p>Kekerasan ini wujudnya bisa bermacam-macam, dan bisa mempengaruhi berbagai kelompok individu termasuk transgener, agender, dan nonbiner. Ketimbang berupaya menentukan siapa yang ‘benar-benar’ merupakan laki-laki atau perempuan, bukankah lebih baik kita menghabiskan waktu kita untuk membahas dan menghormati kompleksitas identitas gender manusia?</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/189733/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sejak kecil, kita diberi tahu bahwa semua orang harus masuk dalam kotak tertentu, antara “laki-laki” atau “perempuan”. Padahal, hubungan antara seks dan gender sangatlah kompleks.Jessica Kean, Lecturer in Gender and Cultural Studies, University of SydneyRillark Bolton, PhD student, Gender and Cultural Studies, University of SydneyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1873742022-08-05T06:21:35Z2022-08-05T06:21:35ZLanggengnya akun-akun ‘kampus cantik’: gejala pendisiplinan tubuh perempuan di tengah pendidikan tinggi Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/477799/original/file-20220805-1342-ecqjm8.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">(The Conversation/Wes Mountain)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Sejak beberapa tahun lalu, unggahan foto mahasiswi oleh berbagai akun ‘kampus cantik’ hadir di media sosial dan senantiasa mengundang kontroversi.</p>
<p>Berbagai diskusi mengkritik fenomena ini – dari masalah <a href="https://magdalene.co/story/akun-akun-mahasiswi-cantik-raup-untung-dari-objektifikasi-perempuan">komodifikasi dan komersialisasi konten</a> oleh akun kampus cantik hingga <a href="https://www.anakui.com/masuk-ui-cantik-malah-jadi-musibah-yuk-dengerin-curhatan-mereka-yang-fotonya-pernah-dicomot-akun-ini-bincang-ui-2/">pelanggaran privasi</a> yang kerap terjadi. </p>
<p>Misalnya, selama ini tak jarang akun-akun kampus cantik tersebut memuat foto <a href="https://www.instagram.com/p/Cfn-4nAvP5Z/?utm_source=ig_web_copy_link">tanpa persetujuan</a> mahasiswi yang bersangkutan.</p>
<p>Tapi, bukannya menutup akun, di tengah badai kritik ini banyak dari mereka yang sekadar mengunci profil sehingga tak mudah diakses publik. Akun <a href="https://www.instagram.com/uicantikid/">@uicantikid</a>, misalnya, bersifat privat dan hingga kini punya lebih dari 220 ribu pengikut, serta banyak memanfaatkan tagar agar publik bisa menemukan sejumlah besar foto mahasiswi.</p>
<p>Mereka tidak hilang, malah semakin tersembunyi dari pengawasan publik.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=292&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=292&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=292&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=367&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=367&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/477794/original/file-20220805-4466-arzjo.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=367&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Akun-akun ‘kampus cantik’ yang memiliki banyak pengikut dan mengunci profil tidak hilang dari media sosial, dan justru makin tersembunyi dari pengawasan publik.</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dalam kacamata kami, akun-akun ini merupakan wujud praktik pendisiplinan tubuh perempuan yang membentuk sebuah <a href="https://genderlitutopiadystopia.fandom.com/wiki/Definition_of_Hegemony">hegemoni (kekuatan dominan)</a> atas gender di lingkungan kampus. </p>
<p>Untuk mendalaminya, kami mengumpulkan data secara daring menggunakan perangkat lunak analisis NVivo (NCapture) untuk memahami diskursus yang terjadi pada beberapa akun kampus cantik. Kami juga melakukan wawancara dengan beberapa mahasiswa dan alumni perguruan tinggi negeri mengenai persepsi mereka terhadap akun-akun ini.</p>
<p>Meski tak dapat digunakan sebagai generalisasi fenomena kampus cantik, studi kami menemukan kentalnya budaya objektifikasi perempuan – baik dari mahasiswa laki-laki atau perempuan, atau bahkan kampus melalui pembiaran. Ini terjadi di lingkungan pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi ruang kritis.</p>
<h2>Pendisiplinan tubuh perempuan lewat <em>male gaze</em></h2>
<p>Pakar teori film Laura Mulvey memperkenalkan konsep <a href="https://www.filminquiry.com/film-theory-basics-laura-mulvey-male-gaze-theory/">‘<em>male gaze</em>’</a> untuk menggambarkan bagaimana laki-laki menggunakan sudut pandangnya untuk menciptakan wacana tentang perempuan dalam layar.</p>
<p>Wacana ini berupa citra yang dibuat untuk memenuhi kepuasan (<em>pleasure</em>) laki-laki dengan perempuan sebagai objek. Dalam <em>male gaze</em> ini, laki-laki mengikat perempuan sebagai simbol untuk memenuhi fantasi seksual mereka melalui berbagai citra yang menghapus kualitas perempuan, sehingga pandangan tentang perempuan seakan hanyalah tentang tubuhnya.</p>
<p>Di sini, akun kampus cantik memangkas perempuan menjadi ‘seonggok daging’. Tapi, pada saat yang sama, mereka juga melatih perempuan lain <a href="https://dbpedia.org/page/Phallogocentrism">menormalisasi sudut pandang</a> yang menempatkan mereka sendiri sebagai objek pemuas seks.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/477800/original/file-20220805-23-u40qdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Fenomena akun kampus cantik adalah gejala budaya ‘<em>male gaze</em>’ di lingkup pendidikan tinggi.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Andy Simmons)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nd/4.0/">CC BY-ND</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Hal tersebut konsisten dengan data dalam studi ini. Baik laki-laki maupun perempuan memanfaatkan ruang yang disediakan akun kampus cantik untuk mereduksi keberadaan perempuan, sekaligus meminggirkan narasi tentang kemampuan akademik mereka. </p>
<p>Dulu kita menyalahkan media massa yang menyuguhkan konten-konten yang sesuai kepentingan mereka, termasuk konsep <em>sex sells</em> (seks itu menjual). Pada era digital, yang harapannya bisa mengangkat martabat perempuan, ternyata tak jauh berbeda dengan masa pra-digital. </p>
<p>Beragam komentar dari pengunjung laki-laki – seperti ‘<em>cantiknya</em>’, ‘<em>sensual banget</em>’, ‘<em>trauma sama yang tepos lur</em>’, ‘<em>angan-angan yang terlalu tinggi buatku yang ga sampai 170cm</em>’, ‘<em>dah kek tante aja</em>’, hingga ‘<em>cantik sama seksi beda ga bosque</em>?’ – menghiasi kolom komentar akun kampus cantik.</p>
<p>Sementara komentar dari pengunjung perempuan memperlihatkan bagaimana banyak dari mereka sendiri menormalisasi cara pandang tersebut. Tanpa sadar, perempuan menginternalisasi <em>male gaze</em> untuk memangkas keberadaan mahasiswi lain dengan berpartisipasi melalui komentar yang fokus pada penampilan.</p>
<p>Bagi saya, para perempuan ini seakan ‘meminjam mata laki-laki’ untuk mengobjektifikasi mahasiswi lain. </p>
<p>Ini memperlihatkan bagaimana laki-laki tak hanya berhasil menggunakan cara pandang mereka untuk mendisiplinkan tubuh perempuan. Laki-laki turut melibatkan perempuan untuk menciptakan sistem agar pendisiplinan tubuh perempuan terus berjalan. </p>
<h2>‘Rumah kenikmatan’ yang melanggengkan eksploitasi</h2>
<p>Fenomena akun kampus cantik mengingatkan saya juga pada buku <a href="https://archive.org/details/prostitutionofse00barrrich/page/n11/mode/2up"><em>The Prostitution of Sexuality</em></a>.</p>
<p>Sosiolog Kathleen Barry, sang penulis, menekankan segala praktik yang mereduksi perempuan sekadar jadi ‘seonggok daging’ adalah bentuk eksploitasi seksual. Akun kampus cantik, sebagai wacana maskulinitas, memajang wajah dan tubuh perempuan sebagai pusat perhatian di medsos, layaknya objek dalam etalase atau katalog.</p>
<p>Praktik tersebut menunjukkan adanya <a href="https://www.instagram.com/p/CeiuPHzBt_I/?utm_source=ig_web_copy_link">seksualisasi besar-besaran</a> terhadap mahasiswi. Kondisi ini pun didorong karakter media sosial yang memungkinkan terjadinya interaksi antar-partisipan, sehingga mereka sekaligus dapat membangun jejaring. </p>
<p>Pengunjung akun kampus cantik – yang mayoritasnya laki-laki – tak hanya menikmati atau memilah gambar tertentu, tapi juga dapat mencari, mengunduh, mengunggah, membandingkan, melakukan penilaian (<em>love</em> atau <em>rating</em>), dan memberi komentar. Berbagai aktivitas ini memudahkan pengunjung untuk semakin mengeksploitasi perempuan.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=344&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=344&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=344&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=433&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=433&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/477802/original/file-20220805-20052-gwa1qd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=433&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Akun kampus cantik memajang wajah dan tubuh perempuan sebagai pusat perhatian di medsos, layaknya objek dalam etalase atau katalog.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Flickr/Andrea44)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Wawancara kami dengan beberapa alumni kampus negeri memperlihatkan adanya beragam praktik kenikmatan laki-laki terkait foto mahasiswi dalam akun kampus cantik. Ini mulai dari sekadar kenikmatan melihat (<em>visual pleasure</em>) sampai kenikmatan seksual (<em>sexual pleasure</em>).</p>
<p>“<em>Awalnya cuma buat liat-liat, lama-lama buat bahan coli</em>,” ungkap salah satu responden.</p>
<p>Hasil wawancara ini konsisten dengan data yang kami tarik dari akun-akun tersebut. Kebanyakan komentar laki-laki yang kami kumpulkan mayoritas meminta nomor kontak WhatsApp, atau akun Instagram dan Twitter sang mahasiswi. Beberapa laki-laki nekat memberikan nomor kontak di kolom komentar dengan harapan mahasiswi yang dituju menghubungi nomor tersebut.</p>
<p>Komentar yang muncul menggambarkan bagaimana laki-laki mengkonstruksi seksualitas perempuan sebagai aset yang dapat diakses secara acak, gratis, dan semena-mena.</p>
<p>Simak saja komentar seperti ‘<em>yang kek gini nih bikin pengen kuliah offline</em>’, ‘<em>dijadiin bini seer nih</em>’, ‘<em>gemesin dan bikin ah sudahlah</em>’, hingga ‘<em>berapa semalam?</em>’.</p>
<p>Akun-akun kampus cantik ini berperan jadi suatu <a href="https://archive.org/details/prostitutionofse00barrrich/page/n11/mode/2up">‘rumah kenikmatan’ (<em>house of pleasure</em>)</a> – tempat untuk memangkas dan memarginalisasi peran seksual, sosial, dan politik perempuan. Sementara, industri dan media sosial berperan sebagai fasilitator kekuasaan patriarki yang mememberikan ruang seluas-luasnya bagi kenikmatan laki-laki.</p>
<h2>Institusi pendidikan, kekuasaan simbol, dan hegemoni</h2>
<p>Studi kecil yang kami lakukan menunjukkan bagaimana masyarakat – tak terkecuali mahasiswa laki-laki dan perempuan – melanggengkan budaya pendisiplinan tubuh perempuan, bahkan di lingkungan pendidikan tinggi. </p>
<p>Padahal, ada banyak sarjana, terutama feminis, yang menaruh harapan besar pada lembaga pendidikan tinggi untuk memberdayakan civitasnya. </p>
<p>Pembiaran penggunaan logo institusi pendidikan oleh akun kampus cantik juga tidak dapat dianggap sepele. Di balik setiap logo perguruan tinggi tersemat wacana kekuasaan yang bisa masyarakat artikan sebagai ‘legitimasi’ atas praktik objektifikasi dan pelanggaran privasi terhadap perempuan.</p>
<p>Sayangnya, belum ada kampus yang menyatakan keberatan secara resmi. Harus diakui, seringkali langkah ini adalah sesuatu yang mereka anggap dilematis. Mereka kerap menimbang antara ‘menjaga reputasi nama baik lembaga’ yang sudah dikenal, dengan komitmen untuk melindungi mahasiswi dari pencurian data dan eksploitasi. </p>
<p>Mereka lupa bahwa pembiaran ini pada akhirnya akan menormalisasi eksploitasi seksualitas perempuan.</p>
<p>Praktik-praktik akun cantik juga akan menjadi sebuah ladang yang menyuburkan praktik <a href="https://plato.stanford.edu/entries/beauvoir/#Bib">peliyanan (<em>othering</em>)</a> terhadap mahasiswi dan akademisi perempuan: apapun pencapaian mereka secara akademik, perempuan lahir hanya untuk menjadi objek seksual dan pemuas laki-laki. </p>
<p>Kampus seharusnya adalah lembaga yang yang memberi ruang sebesar-besarnya pada kemampuan akademis, bukan menyuburkan praktik yang memangkas keberadaan perempuan menjadi sebatas objek pemuas seksualitas laki-laki.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/187374/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Akun-akun ‘kampus cantik’ merupakan gejala budaya pendisiplinan tubuh perempuan di lingkungan kampus, tempat yang seharusnya menjadi ruang kritis.Endah Triastuti, Lecturer, Researcher, Universitas IndonesiaBilly Sarwono, Guru Besar di bidang Ilmu Komunikasi dan Gender, FISIP Universitas Indonesia, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1805742022-04-06T06:41:57Z2022-04-06T06:41:57ZRiset: bagaimana ‘self-help book’ membangun sosok muslimah yang “ideal” di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/456487/original/file-20220406-21-kba46m.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C35%2C6000%2C3952&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Tom Hermans dari Unsplash</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Seiring dengan <a href="https://www.republika.co.id/berita/nl3k5a/sastra-islami-sudah-menjadi-mainstream">meningkatnya popularitas sastra pop Islami</a> dan semakin terfragmentasinya otoritas keagamaan Islam di Indonesia, banyak anak muda muslim yang beralih pada <a href="https://www.degruyter.com/document/doi/10.1355/9789814818001/pdf#page=172">buku pengembangan diri bertema Islam</a> sebagai pegangan hidup mereka. </p>
<p>Penelitian kami, yang masih dalam proses tinjau ulang untuk terbit di sebuah jurnal, menemukan bahwa buku-buku tersebut cenderung mendorong peran perempuan muslim sebagai sosok istri yang patuh dan setia pada suami, juga ibu yang berdedikasi bagi anak-anaknya, namun pada saat yang sama juga sebagai individu yang produktif secara ekonomi. </p>
<p>Jika melakukan peran tersebut maka penghargaan berupa surga, pahala dan berkah Tuhan akan diterima, jika tidak, maka hukuman berupa dosa dan murka Tuhan akan menjadi ganjarannya.</p>
<p>Temuan kami ini menunjukkan perubahan konsep perempuan ideal di Indonesia selepas masa Orde Baru. Sebelumnya, pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto menggarisbawahi bahwa konsep perempuan ideal adalah ibu yang mengasuh anaknya dengan baik dan istri yang patuh pendamping suami. Konstruksi ini banyak mendapat tentangan dari pendukung emansipasi perempuan dan kesetaraan gender.</p>
<p>Saat ini, semakin masifnya Islamisasi di tanah air membuat perjuangan politik gender semakin kompleks. Penafsiran yang berbeda dari berbagai teks Islam oleh banyak kelompok digunakan untuk membenarkan konsep mereka tentang perempuan ideal. </p>
<h2>Buku pengembangan diri</h2>
<p>Buku-buku pengembangan diri tentang pernikahan yang berlatar Islam ini adalah bagian dari gerakan <em><a href="http://www.asianews.it/news-en/Islamic-Hijrah-movement-changing-Indonesian-society-47855.html">hijrah</a></em> yang berkembang di kalangan anak muda muslim Indonesia pada masa pasca Orde Baru. Gerakan ini mengilhami sebuah transformasi diri untuk menjalani apa yang mereka yakini sebagai sebuah gaya hidup Islami.</p>
<p>Beberapa penulis buku ini adalah tokoh penting dalam gerakan tersebut, seperti <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2019/02/21/hijrah-movement-and-millennials-ahead-of-2019-election.html">Felix Siauw</a>, <a href="https://sr.sgpp.ac.id/post/hijrah-between-radical-and-moderate-islam">La Ode Munafar</a>, dan <a href="https://www.scmp.com/week-asia/politics/article/3004919/million-views-preacher-islamic-carpool-karaoke-clerics-behind">Abdul Somad</a>. </p>
<p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.instagram.com/p/CbOOtkUPYj9","accessToken":"127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20"}"></div></p>
<p>Dalam penelitian ini, kami memilih sejumlah buku pengembangan diri terkait pernikahan dan menemukan bagaimana buku-buku tersebut membimbing kaum muda muslim dalam membangun pernikahan yang diberkati sampai <em>jannah</em> (surga). Hal ini dapat dicapai antara lain dengan melakukan peran perempuan yang setia dan patuh pada suami dan menjadi ibu yang sempurna bagi anaknya, sambil tetap produktif secara ekonomi.</p>
<p>Buku-buku tersebut termasuk karya Felix Siauw <a href="https://seleb.tempo.co/read/1123153/film-udah-putusin-aja-terinspirasi-dari-buku-felix-siauw">Udah Putusin Aja</a> (Hanya Putus!), karya-karya La Ode Munafar seperti <a href="https://indonesiatanpapacaran.com/">Indonesia Tanpa Pacaran</a>, <a href="https://www.facebook.com/LaOdeMunafar/posts/saat-buku-cinta-%20onde-onde-keluar-terjadi-pertempuran-dahsyat-antara-onde-onde-vs/483124465067191/">Cinta Onde-Onde</a>, <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190517194056-%2020-395913/curhat-hijrah-para-ukhti-di-indonesia-tanpa-pacaran">Hati-hati Muslihat Lelaki</a>, <a href="https://www.penasulfa.com/2021/03/review-buku-calon%20-umi-shalehah-penulis-la-ode-munafar.html">Calon Umi Shalehah</a> (ditulis bersama dengan istrinya, D.S. Apriani), serta <a href="https://topiksultra.com/2019/%2002/berani-nikah-takut-pacaran-hadiri-talk-shownya-di-uho/">Berani Nikah Takut Pacaran</a>. Ada pula tulisan Abdul Somad berjudul <a href="https://www.bukukita.com/Agama/Islam/159483-Ustadz-Abdul-Somad-Tentang-Wanita.html">Ustadz Abdul Somad tentang Wanita</a>, dan tulisan Ahya Alfi Shobari berjudul <a href="https://www.solusibuku.com/menjadi-istri-suami-dambaan-surga.html">Menjadi Istri & Suami Dambaan Surga</a>.</p>
<p>Kami menemukan bahwa buku-buku ini mencoba memberdayakan perempuan muda muslim dalam lingkup nilai-nilai yang dianggap Islami. </p>
<p>Mereka percaya bahwa dengan menerapkan peran gender yang dianggap sesuai dengan ajaran Islam seperti di atas, Allah akan membalas mereka dengan berkah berupa cinta suami, keluarga yang bahagia, dan pada akhirnya, mereka akan mendapatkan kunci surga.</p>
<p>Peran perempuan di ruang publik dan kontribusi mereka terhadap pendapatan keluarga juga dihargai, akan tetapi hal-hal tersebut tidak serta merta menghasilkan relasi kuasa yang setara dengan suami mereka.</p>
<p>Dengan demikian, buku-buku tersebut menunjukkan kepada para pembaca muda muslim bahwa istri dan ibu yang baik adalah mereka yang menjaga kesalehan dan memiliki kemampuan bernegosiasi untuk melakukan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender.</p>
<h2>Perempuan muslim yang ideal</h2>
<p>Buku-buku ini menyoroti nilai-nilai yang dianggap mencerminkan seorang perempuan muslim yang baik. </p>
<p>Peran yang paling ditekankan bagi perempuan muslim adalah yang terkait dengan reproduksi.</p>
<p>Buku-buku itu menunjukkan bahwa menjadi istri yang reproduktif dan pengasuh adalah tanggung jawab utama seorang perempuan.</p>
<blockquote>
<p>Maka istri yang salehah inilah yang akan melahirkan anak-anak yang saleh. (<a href="https://www.bukukita.com/Agama/Islam/159483-Ustadz-Abdul-Somad-Tentang-Wanita.html">Ustadz Abdul Somad tentang Wanita</a>, p.16)</p>
</blockquote>
<p>Buku lain juga menyebutkan:</p>
<blockquote>
<p>Memelihara rumah dan menjalankan tugas-tugas rumah tangga adalah menjadi tanggung jawab wanita. (<a href="https://www.solusibuku.com/menjadi-istri-suami-dambaan-surga.html">Menjadi Istri & Suami Dambaan Surga</a>, p.106)</p>
</blockquote>
<p>Karena para ibu juga bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya, mereka diharapkan berpendidikan dan memiliki pengetahuan yang baik (<a href="https://mizanstore.com/the_perfect_istri_salehah_69107">The Perfect Istri Salehah</a>, p.25). </p>
<p>Meski buku-buku ini menghargai partisipasi laki-laki dalam rumah tangga dan merawat anak, namun ditekankan juga bahwa hal-hal tersebut bukan kewajiban laki-laki; tanggung jawab utama mereka adalah menafkahi keluarga dan memberikan bimbingan bagi istri dan anak-anak mereka.</p>
<blockquote>
<p>Adakalanya suami harus meluangkan waktu untuk sekadar meringankan tanggung jawab istri dalam mengurus rumah tangga dan pendidikan anak-anak. (<a href="https://mizanstore.com/the_perfect_istri_salehah_69107">The Perfect Istri Salehah</a>, p.15)</p>
</blockquote>
<p>Karena tidak ada kewajiban bagi laki-laki untuk terlibat dalam pekerjaan rumah tangga, suami yang bersedia melakukannya harus disemangati dan diberi pujian.</p>
<p>Kedua, seorang perempuan harus tahu cara berdandan dengan sempurna untuk membuat suaminya bahagia.</p>
<p>Berada di rumah setelah seharian bekerja, seorang suami memiliki hak untuk bersantai dan tidak perlu repot dengan pekerjaan rumah tangga.</p>
<blockquote>
<p>Seorang istri shalehah adalah seorang perempuan yang bisa merawat dirinya sendiri sehingga bisa selalu terlihat menarik di depan suaminya (<a href="https://www.solusibuku.com/menjadi-istri-suami-dambaan-surga.html">Menjadi Istri & Suami Dambaan Surga</a>, p.103).</p>
</blockquote>
<p>Selanjutnya, istri yang baik diwajibkan taat kepada suaminya. Berbakti kepada suami adalah perintah Allah:</p>
<blockquote>
<p>… seorang istri wajib untuk memberikan ketaatan sepenuhnya pada suami dalam perintah yang ma'ruf. (<a href="https://topiksultra.com/2019/02/berani-nikah-takut-pacaran-hadiri-talk-shownya-di-uho/">Berani Nikah Takut Pacaran</a>, p.162) </p>
</blockquote>
<p>Gagasan yang sama juga disebutkan dalam buku lain: </p>
<blockquote>
<p>Sudah menjadi kewajiban kamu (istri, <em>red</em>) melaksanakan segala perintah untuk taat kepada suamimu………(<a href="https://toko-muslim.com/buku-menjemput-jodoh-impian/">Menjemput Jodoh Impian</a>, p.121)</p>
</blockquote>
<p>Meskipun mempertahankan peran yang tunduk dan patuh kepada suami mereka, perempuan masih diperbolehkan untuk bekerja dan memiliki peran publik. </p>
<p>Namun, buku-buku ini menganjurkan agar mereka memilih karir yang tidak akan mengganggu peran utama mereka sebagai ibu di rumah, dan tidak akan merendahkan peran suami sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Mereka juga harus meminta izin terlebih dulu kepada suami: </p>
<blockquote>
<p>Lantas bagaimana dengan istri apakah boleh bekerja? Boleh, asalkan mendapat izin dari suaminya. Dan bagaimana jika suaminya melarang bekerja? Maka istri harus resign dari tempat dia bekerja. (<a href="https://mizanstore.com/the_perfect_istri_salehah_69107">The Perfect Istri Salehah</a>, p.15)</p>
</blockquote>
<p>Dari kutipan-kutipan ini, kami menyimpulkan buku-buku ini menginspirasi pembacanya untuk meninggalkan apa yang mereka anggap liberal, termasuk peran gender yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam, dan mengadopsi apa yang mereka anggap lebih Islami.</p>
<h2>Mengislamkan peran perempuan Indonesia</h2>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/454307/original/file-20220325-29-ruag9s.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/454307/original/file-20220325-29-ruag9s.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/454307/original/file-20220325-29-ruag9s.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/454307/original/file-20220325-29-ruag9s.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/454307/original/file-20220325-29-ruag9s.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/454307/original/file-20220325-29-ruag9s.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/454307/original/file-20220325-29-ruag9s.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/454307/original/file-20220325-29-ruag9s.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Perempuan muslim Indonesia berjuang untuk menjadi sosok perempuan ideal.</span>
<span class="attribution"><span class="source">John Crozier/Unsplash</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Konstruksi perempuan ideal yang dipromosikan dalam buku-buku pengembangan diri ini dapat digambarkan sebagai sebuah versi <em>neo-ibuisme</em> yang dianggap Islami. </p>
<p>Feminis Indonesia, Julia Suryakusuma, memperkenalkan istilah <a href="https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/julia-suryakusuma-ibuisme-negara-adalah-perkawinan-antara-feodalisme-dan-kapitalisme?locale=en"><em>ibuisme negara</em></a> untuk menggambarkan wanita ideal yang dibentuk oleh rezim Soeharto yang otoriter di Indonesia: pendamping setia suami, pereproduksi dan pendidik anak-anaknya, pengurus rumah tangga, dan anggota masyarakat Indonesia yang berguna.</p>
<p>Banyak yang menentang keterbatasan tersebut seiring dengan berkembangnya gerakan pemberdayaan perempuan. <a href="https://www.berghahnjournals.com/view/journals/social-analysis/50/1/sa500111.xml">Perempuan-perempuan muslim feminis</a>, misalnya, mengkritik subordinasi perempuan dan peran gender mereka di Indonesia.</p>
<p>Namun pada saat yang sama, ada kelompok-kelompok lain yang mencoba untuk mengembalikan _ ibuisme negara_ atau sedikit memodifikasinya agar terdengar baru dan relevan dengan perkembangan kontemporer gerakan pemberdayaan perempuan.</p>
<p><a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/1868103421989069"><em>Neo-ibuisme</em></a>, mengacu pada generasi baru <em>ibu</em> atau perempuan yang tetap mempertahankan fitur <em>ibuisme negara</em>, namun mereka juga menerima bahwa perempuan dapat menjadi produktif secara ekonomi dan aktif dalam politik.</p>
<p>Buku-buku pengembangan diri Islam tentang pernikahan ini dengan jelas mempromosikan versi Islami <em>neo-ibuisme</em>. Konstruksi perempuan ideal yang dipromosikan dalam buku-buku ini telah melemahkan advokasi para feminis muslim, yang menganjurkan bahwa kesetaraan gender tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/180574/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Banyak perempuan muda Muslim Indonesia beralih ke buku-buku yang mengajak mereka untuk menjadii bersiap-siap mengambil peran sebagai istri yang ‘saleh dan baik’.Evi Eliyanah, Lecturer, Universitas Negeri MalangNurenzia Yannuar, Dosen, Universitas Negeri MalangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1804412022-04-02T14:36:45Z2022-04-02T14:36:45ZDari ‘AADC’ hingga ‘Yuni’: bagaimana kritik sosial dalam film Indonesia berevolusi?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/455890/original/file-20220402-61039-9jns9g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">antarafoto ara winda aktris terbaik ffi app</span> </figcaption></figure><iframe style="border-radius:12px" src="https://open.spotify.com/embed/episode/0oezycTa1kxPQgwR9eEWPx?utm_source=generator" width="100%" height="232" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p>Sejak Reformasi, film Indonesia <a href="https://theconversation.com/bagaimana-para-sineas-berpengaruh-indonesia-mengangkat-isu-sosial-melalui-film-sejak-kemerdekaan-144745">membuka diri terhadap muatan kritik sosial</a> dan menyajikan tema yang menantang penonton Indonesia dengan berbagai cara.</p>
<p>Kita melihatnya dalam film seperti <a href="https://www.imdb.com/title/tt1989598/"><em>Sang Penari</em> (2009)</a> karya Ifa Ifansyah yang membongkar pengalaman kelompok tari korban peristiwa 1965. Ada pula film <a href="https://www.imdb.com/title/tt8900302/"><em>Kucumbu Tubuh Indahku</em> (2018)</a> arahan Garin Nugroho yang menjelajahi seksualitas dalam budaya Indonesia.</p>
<p>Masyarakat juga disajikan penggambaran figur “<a href="https://theconversation.com/dari-rangga-ke-khudori-laki-laki-baru-di-film-indonesia-82759">laki-laki yang baru</a>”. Lihat saja sosok Rangga di <a href="https://www.imdb.com/title/tt0307920/"><em>Ada Apa dengan Cinta</em> (2002)</a> yang intelektual dan kritis, atau Sakti dalam <a href="https://www.imdb.com/title/tt0374506/"><em>Arisan</em> (2003)</a> yang mendefinisikan ulang makna maskulinitas.</p>
<p>Yang menarik, kita juga menjumpai penggambaran isu gender dan kekerasan seksual semakin gencar dalam satu tahun ke belakang. </p>
<p>Misalnya, <a href="https://www.imdb.com/title/tt13834788/"><em>Yuni</em> (2021)</a> yang mengangkat tradisi pernikahan dini di daerah rural, ataupun <a href="https://www.imdb.com/title/tt13729220/"><em>Penyalin Cahaya</em> (2021)</a> yang menyoroti terjalnya pencarian keadilan dalam kasus pelecehan. </p>
<p>Para pembuat film pun semakin banyak menggunakan teknik visual seperti penerapan “<a href="https://www.jawapos.com/minggu/halte/19/12/2021/tatapan-perempuan-lokalitas-dan-interseksionalitas-dalam-film-yuni/"><em>female gaze</em></a>” (sudut pandang perempuan) hingga <a href="https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20220114193544-220-746905/review-film-penyalin-cahaya">metafora tentang gender</a> yang kaya.</p>
<p>Berbagai film ini searah dengan bangkitnya kesadaran masyarakat terkait kesetaraan gender dan terbongkarnya <a href="https://theconversation.com/mengantre-viral-perjuangan-korban-kekerasan-seksual-di-indonesia-167913">gunung es kekerasan seksual</a> secara perlahan di Indonesia.</p>
<p>Bagaimana kritik sosial berkembang di Indonesia sejak Reformasi? Bagaimana para sineas menggambarkan tema menantang seperti gender dan seksualitas di era modern?</p>
<p>Untuk membedahnya, pada episode <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=a4c08ba9cef74093">podcast SuarAkademia</a> kali ini, kami berbincang dengan Gilang Desti Parahita. Ia merupakan seorang dosen komunikasi di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan juga mahasiswa PhD di King’s College London, Inggris.</p>
<p>Gilang menceritakan berbagai hal, dari kebebasan ekspresi seksualitas pada film era Orde Baru, munculnya kritik sosial dalam perfilman pasca Reformasi, kebangkitan sutradara perempuan, hingga gencarnya pembahasan dan penggambaran isu gender dalam film seperti <em>Yuni</em> dan <em>Penyalin Cahaya</em>.</p>
<p>Simak episode lengkapnya di <a href="https://open.spotify.com/show/2Iqni2kGMzbzeJxvKiTijD?si=a4c08ba9cef74093">SuarAkademia</a> – ngobrol seru isu terkini bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/180441/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Di episode SuarAkademia kali ini, kami ngobrol dengan Gilang Parahita, mahasiswa PhD di King's College London tentang evolusi kritik sosial dan penggambaran isu gender dalam film Indonesia.Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1785372022-03-08T05:33:54Z2022-03-08T05:33:54Z“Bukan lagi bidang laki-laki”: kiprah ilmuwan perempuan Indonesia dalam memajukan ilmu tanah<p>Kiprah perempuan dalam dunia sains selama ini kerap menemui adanya “tembok kaca” yang menghambat mereka untuk memiliki pengaruh yang bermakna.</p>
<p>Di ranah yang secara tradisional didominasi oleh laki-laki ini, misalnya, ilmuwan perempuan seringkali kesulitan <a href="https://theconversation.com/sepak-terjang-peneliti-muda-indonesia-berkembang-pesat-tapi-masih-terbentur-banyak-tantangan-174408">meraih posisi kepemimpinan</a> atau terlibat dalam <a href="https://theconversation.com/menghancurkan-tembok-kaca-yang-menghalangi-perempuan-dalam-sains-internasional-141127">kolaborasi riset internasional</a>.</p>
<p>Untuk mendalami hal ini, kami melakukan studi tentang peranan ilmuwan perempuan dalam ilmu tanah – bidang yang digeluti tim penulis – melalui survei pada akademisi di universitas dan pusat penelitian di Indonesia. Hasil studi tersebut terbit di jurnal ilmiah internasional <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S266700622200017X"><em>Soil Security</em></a> pada edisi Maret 2022. </p>
<p>Sampai akhir tahun 1990-an, tim penulis mengamati bagaimana bidang ilmu tanah sering dianggap sebagai bidang yang “berat” bagi perempuan secara fisik dan mental. Jumlah mahasiswi yang menempuh pendidikan tinggi dalam bidang ilmu tanah kala itu juga masih sangat sedikit, rata-rata kurang dari 5% dari total jumlah mahasiswa.</p>
<p>Penelitian saat itu umumnya fokus pada survei tanah untuk pembukaan lahan pertanian dan transmigrasi di Sumatera dan Kalimantan. Pekerjaan fisik seperti ini sangat mempengaruhi persepsi ilmuwan atau calon ilmuwan perempuan yang hendak berkiprah di bidang ini.</p>
<h2>Perubahan tren pada generasi muda</h2>
<p>Survei kami di 27 kampus negeri di Indonesia menemukan bahwa selama 2016-2021, jumlah mahasiswa baru pada program yang terkait dengan ilmu tanah meningkat menjadi sekitar 1.700 mahasiswa baru per tahun dibanding sekitar 1000 mahasiswa di tahun 2014. </p>
<p>Yang lebih menggembirakan, persentase mahasiswi juga meningkat setiap tahun dari rerata 45% di tahun 2014 dan mencapai 55% pada 2020.</p>
<p>Peningkatan ini mencerminkan adanya pergeseran fokus penelitian ilmu tanah. </p>
<p>Sejak 20 tahun lalu, topik riset ilmu tanah berkembang dari survei tanah ke peningkatan produksi pangan dan kelestarian lingkungan. Seiring perkembangan teknologi informasi, penelitian tidak harus di lapangan, tapi bisa dikerjakan di rumah kaca, laboratorium, dan komputer. Ini membuat akses bidang ilmu tanah menjadi lebih ramah bagi ilmuwan perempuan.</p>
<h2>Bukan lagi bidang laki-laki</h2>
<p>Kabar baik lainnya, kami mendapatkan data bahwa di beberapa pusat riset pertanian, jumlah staf perempuan mengimbangi staf laki-laki.</p>
<p>Misalnya, ini terlihat di <a href="https://bbsdlp.litbang.pertanian.go.id/ind/">Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian</a> di Kementerian Pertanian. Mulai tahun 2019, lembaga ini dipimpin oleh Dr. Husnain, seorang peneliti perempuan di bidang ilmu tanah.</p>
<p>Kami juga <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2667006222000168">menginventarisasi</a> makalah yang terbit dalam seminar nasional ilmu tanah selama 20 tahun terakhir. Data tersebut mengungkap adanya kesetaraan jumlah antara peneliti perempuan dan laki-laki.</p>
<p>Ini membuktikan bahwa ilmu tanah bukan lagi bidang yang hanya bisa dikerjakan oleh ilmuwan laki-laki. </p>
<p>Survei kami pun mengungkap bahwa mahasiswa tidak menganggap gender sebagai masalah dalam dunia sains. Mereka memandang bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama, dan penghargaan harus diberikan berdasarkan kapasitas dan kinerja.</p>
<h2>Masih banyak pekerjaan rumah di universitas</h2>
<p>Sayangnya, peningkatan jumlah mahasiswi dan perubahan sikap terhadap ilmu tanah ternyata tidak dibarengi dengan meningkatnya dosen perempuan. Jumlah dosen perempuan dalam ilmu tanah tetap berada pada kisaran 30% dan tidak ada perubahan sejak 10 tahun lalu.</p>
<p>Data kami juga mengungkap bahwa dosen perempuan memiliki kesempatan yang lebih rendah dibandingkan dosen laki-laki dalam mendapatkan gelar S3 (doktor). Dosen perempuan dalam ilmu tanah bergelar doktor hanya 16%, sedangkan dosen laki-laki mencapai 42%.</p>
<p>Guru Besar Ilmu Tanah perempuan pertama di Indonesia – yakni <a href="http://tanah.faperta.unand.ac.id/index.php?option=com_k2&view=item&id=62:profesor-perempuan-pertama-nurhayati-hakim-bidang-ilmu-tanah-akhiri-masa-bakti&Itemid=333">Prof. Nurhajati Hakim</a> di Universitas Andalas – pun baru ditetapkan guru besar pada 1990.</p>
<p>Saat ini, jumlah profesor ilmu tanah perempuan hanya 3% dibanding profesor laki-laki yang mencapai 12%. Dosen perempuan juga lebih sedikit menduduki posisi kepemimpinan di lingkup pendidikan tinggi (jabatan tertinggi mereka adalah Dekan, Wakil Dekan, Direktur Pascasarjana, dan Wakil Rektor). </p>
<p>Data ini menunjukkan adanya hambatan karir secara struktural bagi para akademisi perempuan di kampus-kampus Indonesia. Kendala ini berkaitan dengan nilai-nilai sosial, budaya, maupun hambatan organisasi.</p>
<p>Pemerintah Indonesia sebenarnya telah berupaya memperjuangkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sejak tahun 2000. Namun, setelah 20 tahun, hasilnya belum banyak terlihat di lingkup pendidikan tinggi.</p>
<p>Menjaga <a href="https://theconversation.com/riset-dalam-dunia-akademik-perempuan-indonesia-menanggung-beban-terbesar-selama-pandemi-155136">keseimbangan antara karier dan kehidupan keluarga</a> juga merupakan tantangan bagi sebagian besar dosen perempuan. Dalam survei kami, banyak akademisi perempuan cenderung memprioritaskan keluarga daripada pekerjaan.</p>
<p>Dalam budaya tertentu di beberapa daerah, perempuan tidak terbiasa berbicara tentang ambisi mereka untuk mendapatkan posisi yang lebih tinggi. Dalam organisasi pun, peran kepemimpinan masih banyak diberikan kepada laki-laki sehingga ilmuwan perempuan kurang terwakili dalam posisi kepemimpinan organisasi akademik. </p>
<h2>Menuju kesetaraan gender</h2>
<p>Menutup kesenjangan gender dalam dunia sains membutuhkan kebijakan yang inklusif, serta komitmen dan pemahaman yang jelas dari semua pihak yang terlibat.</p>
<p>Peneliti ilmu tanah kini tidak bisa lagi sekadar fokus meningkatkan produksi pangan, tapi juga harus mengamati <a href="https://theconversation.com/pemanasan-global-dan-pembangunan-bisa-menghentikan-peran-lahan-gambut-menjaga-karbon-keluar-dari-atmosfer-152681">perubahan iklim</a>, <a href="https://theconversation.com/riset-kebun-sawit-baru-menghasilkan-emisi-dua-kali-lipat-dibanding-kebun-lama-131333">gas rumah kaca</a>, mikroba tanah, <a href="https://theconversation.com/bencana-di-batu-bagaimana-perubahan-iklim-dan-kerusakan-kawasan-hulu-sungai-memperparah-risiko-banjir-bandang-172052">kerusakan tanah</a> dan lingkungan. Hal ini menuntut adanya kerja sama lintas disiplin ilmu maupun demografi untuk menjawab tantangan pengelolaan tanah yang berkelanjutan.</p>
<p>Komunitas akademik yang mempunyai keseimbangan gender dan inklusi beragam suku dan budaya akan menghasilkan tim yang lebih produktif serta inovasi ilmiah yang lebih besar.</p>
<p>Oleh karena itu, kita perlu terus mendukung ilmuwan perempuan Indonesia untuk memiliki peran dan kesempatan yang lebih besar dalam memajukan pendidikan ilmu tanah. Pada akhirnya, ini akan meningkatkan peluang penelitian serta pengelolaan pertanian untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.</p>
<p>Selama ini ilmu tanah dan pertanian di Indonesia berfokus untuk meningkatkan kebutuhan pangan sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (<a href="https://www.sdg2030indonesia.org/page/8-apa-itu"><em>Sustainable Development Goal</em></a>, atau SDG).</p>
<p>Namun, selain kebutuhan pangan, ada juga 16 SDG lainnya termasuk kesehatan, kesetaraan gender, jaminan pendapatan, perlindungan terhadap bencana, dan perubahan iklim. Semakin beragam para akademisi, akan semakin besar kemungkinan semua aspek pembangunan berkelanjutan ini dapat dicapai.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/178537/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penelitian kami tentang peranan ilmuwan perempuan dalam ilmu tanah menunjukkan bahwa bidang ini bukan lagi hanya bidang milik laki-laki.Dian Fiantis, Professor of Soil Science, Universitas AndalasAnne Nurbaity, Soil Biology, Soil Science, Universitas PadjadjaranBudiman Minasny, Professor in Soil-Landscape Modelling, University of SydneySri Rahayu Utami, Professor in Soil Geochemistry, Universitas BrawijayaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1776142022-03-02T09:15:12Z2022-03-02T09:15:12ZRiset: bagaimana Muslim memahami identitas gender yang beragam?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/449154/original/file-20220301-13-1n7t0lv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C16%2C5615%2C3715&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Katie Rainbow (Unsplash)</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Adi, bukan nama sebenarnya, adalah seorang transpria, yang secara sederhana bisa diartikan sebagai <a href="https://books.google.co.id/books/about/Self_made_Men.html?id=4nHdGJFHW14C&redir_esc=y">individu yang mengubah penampilan gender dan seksualnya dari perempuan menjadi laki-laki</a> melalui serangkaian operasi dan terapi hormon. </p>
<p>Seks merupakan identitas biologis yang melekat pada individu ketika lahir (laki-laki diidentifikasi dengan penis, perempuan dengan vagina), sedangkan gender adalah konstruksi sosial atas peran dan status seseorang yang biasanya didasarkan pada identitas seksual yang seringkali tidak relevan. </p>
<p>Selain menjadi transpia, Adi adalah seorang Muslim yang saleh. Kesalehan itu ia tunjukkan melalui simbol-simbol Islam yang melekat pada tubuhnya, seperti kopiah, sarung, dan baju koko. </p>
<p>Adi adalah narasumber dalam <a href="http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/202862">riset saya</a> tentang negosiasi perubahan identitas gender transpria di Indonesia, yang hampir 90% penduduknya Muslim.</p>
<p>Perspektif Islam selama ini cenderung melihat gender dalam oposisi biner - perempuan dan laki-laki saja. <a href="https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/00918369.2017.1289001">Teologi Islam menolak keragaman gender dan seksualitas</a> dengan alasan bahwa gender non-biner bertentangan dengan syariat, menabrak takdir Tuhan, dan melanggar hukum alam.</p>
<p>Dalam riset tersebut, saya menemukan bagaimana Adi bisa
melakukan negosiasi terkait identitas gender non-biner yang dimilikinya di lingkungan dengan religiusitas Islam yang tinggi. </p>
<h2>Negoisasi</h2>
<p>Penolakan Islam terhadap keragaman gender dan seksualitas termanifestasikan ke dalam berbagai aspek, mulai dari <a href="http://www.missionislam.com/knowledge/homosexuality.htm">dominasi tafsir agama</a>, <a href="https://nasional.okezone.com/read/2021/09/14/337/2471338/mui-keluarkan-fatwa-haram-gay-lesbian-dan-pelaku-sodomi-bisa-dihukum-mati">fatwa otoritas keagamaan</a>, kebijakan pemerintah, hingga <a href="https://www.republika.co.id/berita/piwnlo368/kota-pariaman-sahkan-perda-yang-atur-lgbt">penolakan organisasi kemasyarakatan (ormas) terhadap kelompok <em>queer</em></a>. </p>
<p>Akibat penolakan semacam itu, kelompok-kelompok yang mengidentifikasi identitas gender dan seksualitasnya tidak berdasarkan kerangka heteronormatif yaitu laki-laki dan perempuan dihadapkan pada dua pilihan yang dikotomis: menjadi <em>queer</em> atau Muslim? Menjadi keduanya seolah adalah pilihan yang mustahil. </p>
<p>Figur Adi sebagai seorang transpria Muslim menjadi antitesis dari kenyataan tersebut. </p>
<p>Dalam <a href="http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/202862">penelitian ini</a>, saya menemukan bahwa faktor determinan yang mendukung Adi menjadi seorang transpria Muslim adalah kemampuannya mengkritisi dan merefleksikan berbagai tafsir ayat suci yang cenderung meminggirkan kelompok gender non-biner. </p>
<p>Contohnya adalah tafsir atas kisah <a href="http://www.missionislam.com/knowledge/homosexuality.htm">kaum Nabi Luth, kaum Sodom, dan Gomora</a>, yang dilaknat Allah karena melakukan praktik homoseksualitas. </p>
<p>Tafsir ini diproduksi terus menerus di sepanjang zaman dan menjadi <a href="https://archive.org/details/JurnalGandrung01/page/n7/mode/2up">justifikasi berbagai aksi operasi terhadap kelompok queer</a>. </p>
<p>Sebagaimana yang telah banyak diamini oleh <a href="https://gayanusantara.or.id/portfolio/fiqh-seksualitas/">para sarjana Muslim</a>, Adi juga percaya bahwa tafsir ayat suci bukanlah sesuatu yang tunggal dan benar-benar mutlak datang dari Tuhan. </p>
<p>Tafsir merupakan intepretasi manusia pada konteks sosio-kultural tertentu, sehingga menyisakan ruang kritik dan sangat mungkin ditantang dengan tafsir tandingan. </p>
<p>Hal itu diperkuat oleh seorang ilmuwan pada bidang tafsir Hadist dari Institut Ilmu Al Qur'an An-Nur Yogyakarta <a href="https://books.google.co.id/books/about/Memahami_keberagaman_gender_seksualitas.html?id=ivuhzgEACAAJ&redir_esc=y">Arif Nuh Safri</a> yang menunjukkan adanya pemahaman yang belum tuntas atas ayat-ayat Alquran tentang keragaman gender dan seksualitas. </p>
<p>Ayat-ayat tersebut dibangun dalam semangat untuk <a href="https://books.google.co.id/books/about/Memahami_keberagaman_gender_seksualitas.html?id=ivuhzgEACAAJ&redir_esc=y">melanggengkan budaya patriarki, heteronormatif, bahkan homofobik</a>. Arif kemudian medekonstruksinya dengan menyajikan tafsir tandingan yang lebih menerima keberadaan kelompok gender dan seksualitas non-biner di tengah religiusitas Islam.</p>
<p>Pembacaan terhadap tafsir ayat suci alternatif membantu Adi mampu menegosiasikan identitasnya sebagai transpria sekaligus Muslim.</p>
<h2>Tidak bisa digeneralisasi</h2>
<p>Akan tetapi, kemampuan Adi tersebut tidak muncul secara tiba-tiba. </p>
<p>Hal itu didukung pula oleh berbagai faktor, seperti kedekatannya dengan para ilmuwan-aktivis yang mendukung <em>queer</em>; dukungan keluarga inti, terutama kedua orang tuanya yang relatif menerimanya; latar belakang pendidikan yang mengenyam pendidikan tinggi di bidang sosial humaniora; dan kelas sosialnya sebagai keluarga pemilik pondok pesantren serta pemilik otoritas ilmu pengetahuan tentang Islam.</p>
<p>Namun, pengalaman hidup Adi yang mampu menegosiasikan identitasnya sebagai <em>queer</em> dan Muslim tidak dapat dijadikan tolak ukur secara universal karena situasi kelompok gender non-biner dan masyarakat Muslim yang begitu beragam.</p>
<p><a href="http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/202862">Penelitian saya</a> memang tidak bertujuan untuk mengambil generalisasi semacam itu, melainkan untuk merekam narasi-narasi kecil guna mengkritik narasi-narasi besar. </p>
<p>Meski temuan dari <a href="http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/202862">penelitian ini</a> hanya mencakup level mikro dan tidak bisa digeneralisasi pada konteks masyarakat Muslim yang begitu luas dan beragam, pengalaman Adi memberikan peluang untuk membaca hubungan antara Islam dan gender non-biner sebagai sesuatu yang tidak saling bertentangan, melainkan dapat dikompromikan. </p>
<p>Melalui pengalaman hidup Adi, saya menunjukkan bahwa hubungan antara Islam dengan keberagaman gender dan seksualitas tidak selalu dapat dipahami secara dikotomis, melainkan dialektis dan dapat dikompromikan. </p>
<p>Mendiskusikan pengalaman Adi sebagai seorang transpria Muslim juga penting untuk menghidupkan <a href="https://drive.google.com/file/d/1_xoqDXy7lkiTHPAuPesLBKG7Yx9rFH88/view">diskursus tentang transpria yang dalam ranah akademik maupun gerakan sosial cukup tersuruk dari pembahasan</a>, terutama apabila membandingkannya dengan diskursus tentang <a href="https://www.researchgate.net/publication/318696600_'When_I_was_transgender'_Visibility_subjectivity_and_queer_aging_in_Indonesia">transpuan</a>, <a href="https://gayanusantara.or.id/portfolio/the-gay-archipelago-bahasa-indonesia/#:%7E:text=The%20Gay%20Archipelago%20merupakan%20sebuah%20tulisan%20yang%20menonjol.,berdasarkan%20dalam%20'perbedaan'.%E2%80%9D">gay</a>, dan <a href="https://books.google.co.id/books/about/Tombois_and_Femmes.html?id=UdX3kQEACAAJ&redir_esc=y">lesbian</a>.</p>
<p>Islam dan masyarakat Muslim sangatlah kompleks dan beragam. </p>
<p>Pemahaman atas keragaman gender dan seksualitas pun tidak lagi hanya diisi oleh penafsiran tunggal yang cenderung dikotomis. </p>
<p>Para sarjana Muslim telah banyak menelurkan pemikiran yang mencoba menantang dominasi tersebut melalui berbagai kacamata dan pendekatan. </p>
<p>Jika di Barat ada <a href="https://www.simonandschuster.com/books/Sexual-Ethics-and-Islam/Kecia-Ali/9781780743813">Kecia Ali, yaitu cendekiawan Islam asal Amerika yang berfokus pada studi yurisprudensi Islam</a>, maka Indonesia memiliki figur seperti <a href="https://gayanusantara.or.id/portfolio/fiqh-seksualitas/">Husein Muhammad</a>, <a href="https://onesearch.id/Record/IOS3763.102897">Musdah Mulia</a>, dan <a href="https://books.google.co.id/books/about/Memahami_keberagaman_gender_seksualitas.html?id=ivuhzgEACAAJ&redir_esc=y">Arif Nuh Safri</a>. </p>
<p>Persoalannya, di antara beragamnya pandangan Islam tentang keberagaman gender, sejauh mana narasi tandingan tersebut dapat mengimbangi pengetahuan dominan dan berkontribusi mengurai benang kusut hubungan antara <em>queer</em> dengan Islam? </p>
<p><em>Informasi tambahan</em></p>
<p>Definisi transpria sangat kompleks dan bergantung pada konteks dan subyektivitas individu transpria tersebut dalam memahami dirinya sendiri. </p>
<p>Dalam sebuah konteks, <a href="https://journal.ugm.ac.id/jurnalpemuda/article/view/65214">transpria juga didefinisikan sebagai individu yang ditetapkan sebagai perempuan saat lahir, tetapi mengidentifikasi dirinya sebagai yang lainnya</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/177614/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Penulis bukanlah seorang transpria. Penulis juga tidak hidup dalam konteks yang berdekatan dengan kehidupan transpria. Penulis menyadari bahwa gagasannya di dalam tulisan ini tidak mampu menggambarkan perasaan dan pengalaman hidup transpria dengan sebenar-benarnya. Penulis percaya bahwa tidak ada kelompok yang bisa membicarakan suatu hal tentang dirinya selain kelompok itu sendiri. Tulisan ini semata-mata merupakan bentuk perhatian dan dukungan penulis kepada transpria dan kelompok gender non-biner lainnya.
Tulisan ini adalah pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili afiliasi.
</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Fina Itriyati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Hubungan antara Islam dengan keberagaman gender dan seksualitas tidak selalu dapat dipahami secara dikotomis, melainkan dialektis dan dapat dikompromikanAbdullah Faqih, Peneliti Junior, SMERU Research InstituteFina Itriyati, Lecturer, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1774602022-02-23T06:04:55Z2022-02-23T06:04:55ZPakar Menjawab: kenapa banyak korban kekerasan seksual malah minta maaf atau menarik laporannya?<p>Korban kekerasan seksual di Indonesia selama ini sering menemui jalan terjal dalam memperjuangkan kasusnya untuk mencapai keadilan.</p>
<p>Berdasarkan <a href="https://theconversation.com/nikahin-aja-penanganan-kasus-pemerkosaan-dan-kekerasan-seksual-selama-ini-belum-fokus-pada-pemulihan-dan-hak-korban-163011">satu studi tahun 2020</a> dari Indonesian Judicial Research Society (IJRS) dengan sampel 1.586 responden yang terlibat kasus kekerasan seksual, sebanyak 57% kasus tidak mendapat penyelesaian. Banyak korban lainnya juga berujung dinikahkan dengan korban atau diminta “berdamai”.</p>
<p>Kita juga ingat perjuangan “<a href="https://theconversation.com/kasus-agni-kerentanan-pers-mahasiswa-di-indonesia-111550">Agni</a>” di Universitas Gadjah Mada (UGM), <a href="https://theconversation.com/kuatnya-budaya-victim-blaming-hambat-gerakan-metoo-di-indonesia-107455">Baiq Nuril</a> di Lombok, dan <a href="https://projectmultatuli.org/kasus-pencabulan-anak-di-luwu-timur-polisi-membela-pemerkosa-dan-menghentikan-penyelidikan/">seorang ibu di Sulawesi Selatan</a> yang ketiga anaknya diperkosa. Para korban justru disalahkan, dihukum atas “penyebaran muatan asusila”, atau dianggap mengalami gangguan kejiwaan.</p>
<p>Belum lama ini, terduga korban pelecehan seksual oleh presenter dan penyiar radio Gofar Hilman, juga <a href="https://www.kompas.com/hype/read/2022/02/13/094803966/kronologi-kasus-dugaan-pelecehan-seksual-gofar-hilman-yang-berujung?page=all">berujung minta maaf</a> dan menarik laporan atas dugaan kasus yang menimpanya.</p>
<p>Meski belum ada bukti jelas bahwa korban tersebut ditekan, beberapa akademisi menjelaskan bagaimana aparat di Indonesia secara umum lebih banyak berpihak pada pelaku ketimbang korban kekerasan seksual.</p>
<p>Aparat dan pelaku kerap menyalahkan dan meneror korban, sehingga banyak korban berujung meminta maaf, menarik laporannya, atau bahkan dikriminalisasi balik.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengantre-viral-perjuangan-korban-kekerasan-seksual-di-indonesia-167913">Mengantre viral: perjuangan korban kekerasan seksual di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>DARVO: taktik andalan pelaku dan aparat</h2>
<p>Dalam salah satu episode podcast SuarAkademia, peneliti IJRS, Bestha Ashila mengungkapkan adanya pola dari pelaku kekerasan seksual dan aparat penegak hukum ketika korban melaporkan suatu kasus.</p>
<p>“Biasanya ada taktiknya, kita kenal namanya ‘DARVO’: <em>deny</em>, <em>attack</em>, lalu <em>reverse victim and offender</em>,” katanya.</p>
<iframe style="border-radius:12px" src="https://open.spotify.com/embed/episode/61snwviLgvQEF6fOlqO6Wv?utm_source=generator&theme=0" width="100%" height="152" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture"></iframe>
<p>“Istilahnya pertama pasti menyangkal, ‘<em>enggak</em> saya <em>nggak</em> melakukan’. Kemudian menyerang balik korban, dan juga membalikkan kasus tersebut, dilaporkan balik. Konsepnya mirip <a href="https://theconversation.com/gaslighting-from-partners-to-politicians-how-to-avoid-becoming-a-victim-121828"><em>gaslighting</em></a> (menyerang dan mempertanyakan kredibilitas).”</p>
<p>Bestha mencontohkan wujud nyata pola DARVO pada kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS-TK) pada 2018 silam.</p>
<p>Kala itu, korban bercerita ke media bahwa ia <a href="https://tirto.id/kekerasan-seksual-di-dewas-bpjs-tk-keberanian-amel-adalah-lilin-dhxX">dilecehkan berkali-kali</a> dan juga <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2019/12/09/10110951/kasus-dugaan-pelecehan-seksual-eks-dewas-bpjs-tk-dari-saling-lapor-hingga?page=all">diperkosa sebanyak empat kali</a> oleh bosnya yang bernama Syafri Baharuddin selama kurun waktu 2016-2018.</p>
<p>“Kasus itu sudah dilaporkan ke kepolisian, dan tim internal kantor bertindak bikin tim panel untuk memeriksa pelaku,” kata Bestha.</p>
<p>“Korban juga mengajukan gugatan hukum [..] tapi justru dilaporkan balik sama bosnya dengan alasan penyebaran berita bohong sampai berdampak ke korban yang dirawat di rumah sakit jiwa.”</p>
<p>“Akhirnya penyelesaiannya dengan mediasi antara korban dan pelaku. Pelaku akhirnya mencabut laporan terhadap korban, dan <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2019/12/09/10110951/kasus-dugaan-pelecehan-seksual-eks-dewas-bpjs-tk-dari-saling-lapor-hingga?page=all">korban bikin pernyataan</a> bahwa ia tidak pernah mengalami perkosaan,” tuturnya.</p>
<p>Studi psikologi dari Sarah Harsey di University of California Santa Cruz di Amerika Serikat (AS) yang melakukan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10926771.2020.1774695">eksperimen dengan lebih dari 300 mahasiswa</a> pada 2020 menemukan bahwa taktik DARVO mengubah pandangan partisipan terhadap korban kekerasan seksual. Mereka menjadi lebih skeptis dan cenderung menyalahkan korban.</p>
<p>Sebelumnya pada 2016, riset lain dari Harsey juga menemukan bahwa taktik DARVO <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10926771.2017.1320777">lebih banyak menimpa korban perempuan</a> dan membuat mereka lebih rawan untuk menyalahkan diri sendiri.</p>
<p>Pola semacam DARVO juga terlihat dalam kasus Agni di UGM yang <a href="https://www.balairungpress.com/2018/11/nalar-pincang-ugm-atas-kasus-perkosaan/">justru disalahkan manajemen kampus</a> karena dianggap bertindak ceroboh dan telah membuat malu nama UGM di masyarakat.</p>
<p>Saat guru Baiq Nuril melaporkan rekaman pelecehan yang dilakukan kepala sekolahnya, ia juga justru <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181114133306-12-346485/kronologi-kasus-baiq-nuril-bermula-dari-percakapan-telepon">dijerat menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)</a> dengan dalih menyebar muatan asusila.</p>
<p>“Kedua kasus tersebut hanyalah puncak gunung es dari budaya <em>victim blaming</em> yang cukup kuat terhadap korban tindak kekerasan seksual di Indonesia,” tulis pengajar komunikasi Iwan Awaluddin Yusuf dalam <a href="https://theconversation.com/kuatnya-budaya-victim-blaming-hambat-gerakan-metoo-di-indonesia-107455">artikel yang terbit</a> di <em>The Conversation Indonesia</em> (TCID) pada 2018 lalu.</p>
<h2>Berkali-kali menjadi korban</h2>
<p>Dalam artikel yang terbit di TCID tahun lalu, Arsa Ilmi Budiarti dari IJRS mengatakan bahwa <a href="https://www.westcoastleaf.org/wp-content/uploads/2018/11/We-Are-Here-Executive-Summary.pdf">mekanisme pelaporan kekerasan seksual</a> ke kepolisian belum didukung perspektif perlindungan korban yang baik.</p>
<p>“Alih-alih memperoleh perlindungan dan bantuan, saat melaporkan kekerasan seksual yang dialami, para korban justru mengalami menjadi korban kembali (reviktimisasi) serta harus menghadapi pertanyaan yang seringkali menyudutkan, tidak empatik, hingga melecehkan,” tulis Arsa.</p>
<p>Bahkan, dalam <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41676366">wawancara dengan BBC Indonesia</a> pada 2017, mantan Kepala Polri Tito Karnavian pernah menyatakan bahwa korban pemerkosaan bisa ditanya penyidik “apakah nyaman” selama pemerkosaan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/siapkah-polisi-menjadi-garda-terdepan-mekanisme-pelaporan-kekerasan-seksual-169726">Siapkah polisi menjadi garda terdepan mekanisme pelaporan kekerasan seksual?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><a href="https://catalogue.nla.gov.au/Record/3892315">Riset Lidwina Inge Nurtjahyo dan Sulistyowati Irianto</a> dari Universitas Indonesia (UI) mengamini bahwa ini adalah perilaku yang lumrah diterapkan oleh aparat penegak hukum di Indonesia.</p>
<p>Tak hanya di antara aparat kepolisian, Bestha pun mengatakan sikap ini kembali terulang dalam beberapa putusan hakim di pengadilan.</p>
<p>“Bahkan ada pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan dan merendahkan perempuan sendiri. Ada yang sampai ditanya riwayat seksualnya, yang riwayat seksual itu berpengaruh terhadap putusan hakim,” katanya.</p>
<p>“Ketika korban ditanya oleh hakim, dianggapnya itu bukan perempuan baik-baik sehingga ada kasus pelaku dibebaskan. Hakim menganggap bahwa korban ini sudah tidak perawan, kemudian perempuan ini nakal dan suka mabuk-mabukan. Jadi ada lagi <em>victim blaming</em>.”</p>
<p>Menurut Arsa, polisi seharusnya menciptakan suasana yang kondusif dan nyaman bagi korban untuk menceritakan masalahnya.</p>
<p>“Polisi seharusnya memastikan keberadaan pendamping korban, jaminan keselamatan korban, adanya pernyataan atau pertanyaan yang tidak menghakimi dan menghargai korban hingga jaminan terwujudnya akses keadilan,” ujarnya.</p>
<p>Pada perkara kekerasan seksual di mana korban kerap takut dan malu untuk melapor – bahkan diteror untuk meminta maaf dan mencabut laporannya – maka peran pihak-pihak yang harusnya bisa dipercaya inilah yang dapat mendorong supaya penanganan kasus lebih adil dan inklusif bagi korban.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/177460/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Pelaku kekerasan seksual dan aparat penegak hukum kerap menyalahkan dan meneror korban, sehingga banyak korban berujung meminta maaf, menarik laporannya, atau bahkan dikriminalisasi balik.Luthfi T. Dzulfikar, Youth + Education EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1764672022-02-07T06:59:33Z2022-02-07T06:59:33ZRiset kami tawarkan solusi untuk jawab tantangan ibu yang menempuh studi S2 dan S3<p>Menempuh pendidikan master dan doktoral dapat <a href="https://cpb-us-e2.wpmucdn.com/faculty.sites.uci.edu/dist/c/219/files%20/2011/03/Effects-of-Higher-Education-12.02.16.pdf">membantu meningkatkan karir sekaligus mendorong perubahan dalam masyarakat</a>, mulai dari perlindungan hak asasi manusia, pelestarian lingkungan dan kesetaraan gender hingga solidaritas agama, ras dan budaya.</p>
<p>Namun, mahasiswa perempuan yang memiliki anak menghadapi tantangan khusus ketika harus menempuh pendidikan tinggi. </p>
<p>Riset yang dilakukan di Uni Emirat Arab pada 2017 <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/0158037X.2017.1392296?casa_token=abZFzz3oMHYAAAAA%3AHjlz_4c0NAySLRgRnOSlnub45JoN22NVo720o0q_goXEIl3EkVzL0Rpj4e3ws8rvvK1bYlxsP1A&journalCode=csce20">menjelaskan</a> bahwa peran ganda seorang ibu dan mahasiswa menambah kompleksitas dalam studi karena mereka harus memastikan peran mereka sebagai orang tua, mahasiswa, bahkan wanita karir seimbang. </p>
<p>Penelitian <a href="https://phdmamaindonesia.com/download/policy-brief-beasiswa-dan-kampus-ramah-ibu-mewujudkan-kesetaraan-dan-inklusi-untuk-ibu-mahasiswa/">terbaru kami</a> tahun lalu mengkonfirmasi temuan ini. </p>
<p>Survei kami melibatkan 406 ibu-mahasiswa yang menempuh pendidikan pascasarjana (S2 dan S3) baik di Indonesia maupun di luar negeri. Kami menemukan tantangan sama yang harus dihadapi oleh para perempuan ini. Mereka harus menjalankan peran sebagai seorang mahasiswa sekaligus pengasuh utama bagi anak-anak seperti yang diharapkan dalam masyarakat. </p>
<p>Namun riset kami juga menawarkan solusi. </p>
<h2>Tantangan bagi ibu-mahasiswa</h2>
<p>Tantangan yang dihadapi oleh ibu-mahasiswa sangat mirip dengan yang dihadapi oleh <a href="https://theconversation.com/research-indonesian-female-academics-bear-the-brunt-of-the-pandemic-154487">akademisi perempuan</a> atau <a href="https://theconversation.com/riset-kantor-yang-maskulin-menambah-beban-pekerja-perempuan-kantoran-di-masa-pandemi-145624">perempuan pekerja kantoran</a>.</p>
<p>Para ibu-mahasiswa ini menghadapi tugas-tugas akademik yang sangat memakan waktu dan tenaga sekaligus tanggung jawab untuk merawat dan membesarkan anak. </p>
<p>Tugas-tugas ini bahkan lebih menantang bagi mereka yang menempuh pendidikan di luar kota atau di luar negeri yang menempatkan mereka jauh dari sistem dukungan yang selama ini mereka dapatkan. Dukungan ini berasal dari orang-orang terdekat seperti pasangan, orang tua, teman, atau anggota keluarga besar. </p>
<p>Kurangnya dukungan dapat menyebabkan kelelahan mental dan fisik karena perempuan masih harus menghadapi <a href="https://www.mdpi.com/2227-7102/5/1/10/htm">hegemoni maskulinitas dan patriaki</a> dalam sistem pendidikan tinggi.</p>
<p>Dalam sistem patriarkis, akademisi perempuan cenderung menghadapi diskriminasi pekerjaan, yang menempatkan mereka pada <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0170840613483658">posisi yang tidak setara</a> dengan kolega lelaki mereka.</p>
<h2>Perlunya penitipan anak yang terjangkau</h2>
<p>Temuan penelitian kami menggarisbawahi pentingnya sistem dukung untuk membantu ibu-mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana. </p>
<p>Responden kami melaporkan bahwa pasangan mereka memegang peran signifikan dalam kesuksesan studi mereka. Bantuan mereka dapat berupa berbagi tanggung jawab pengasuhan anak atau berparitispasi dalam relokasi untuk studi lanjut. </p>
<p>Meskipun demikian, tidak semua ibu-mahasiswa ditemani oleh pasangan mereka. Jadi, mereka menghadapi pilihan sulit untuk menjadi orang tua tunggal atau berpisah dari keluarga mereka. Kedua pilihan tersebut tidaklah mudah. </p>
<p>Untuk mengatasi permasalahan ini, para ibu-mahasiswa dapat memanfaatkan jasa pelayanan penitipan anak atau <em>childcare</em>. </p>
<p>Namun, jasa ini cenderung sangat mahal, khususnya di luar negeri. Biaya penitipan anak dapat mencapai hingga lebih dari Rp 10 juta per bulan. </p>
<p>Sebagian besar dari responden kami melaporkan bahwa mereka tidak mampu membayar biaya ini karena biaya pengasuhan anak tidak termasuk dalam komponen tunjangan beasiswa mereka. Akibatnya, sebagian besar ibu-mahasiswa harus menggunakan dana tabungan pribadi atau bekerja sambilan, karena sebagian besar dari responden memiliki penghasilan keluarga di bawah Rp 100 juta per tahun.</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/444507/original/file-20220204-23-ihw4c1.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/444507/original/file-20220204-23-ihw4c1.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/444507/original/file-20220204-23-ihw4c1.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=1500&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/444507/original/file-20220204-23-ihw4c1.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=1500&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/444507/original/file-20220204-23-ihw4c1.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=1500&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/444507/original/file-20220204-23-ihw4c1.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1885&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/444507/original/file-20220204-23-ihw4c1.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1885&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/444507/original/file-20220204-23-ihw4c1.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1885&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Infografis ibu-mahasiswa dan pengasuhan anak.</span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Solusi Potensial</h2>
<p>Riset kami merekomendasikan pendekatan terintegrasi yang melibatkan universitas, penyedia beasiswa dan negara tujuan studi untuk membantu para ibu-mahasiswa. </p>
<p>Pertama, kampus tujuan perlu memastikan prosedur dan panduan kebijakan kampus yang ramah ibu. </p>
<p>Sebagai contoh, responden kami yang studi di luar negeri melaporkan bahwa dosen dan supervisor sudah cukup empatik dan memahami peran ganda para ibu-mahasiswa, namun hal ini masih dianggap langka di Indonesia. </p>
<p>Ketersediaan fasilitas <em>childcare</em> dan fasilitas ramah ibu dan anak yang terjangkau dan memadai di kampus, khususnya di Indonesia, juga dianggap sangat minim. </p>
<p>Kedua, pemberi beasiswa perlu memperhitungkan komponen biaya layanan <em>childcare</em> sebagai bagian dari tunjangan khusus ibu-mahasiswa. Hal ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengasuhan anak yang sering tidak terjangkau. </p>
<p>Pemberi beasiswa juga perlu memperpanjang batasan umur dalam proses melamar beasiswa untuk perempuan yang mengalami <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00221546.1992.11778362?journalCode=uhej20">interupsi karir</a> karena hamil dan melahirkan. </p>
<p>Ketiga, negara tujuan studi perlu mengidentifikasi kebutuhan unik ibu-mahasiswa, misalnya cuti hamil dan cuti melahirkan. </p>
<p>Universitas, pemberi beasiswa, dan pemerintah negara tujuan studi juga perlu memastikan bahwa subsidi terhadap fasilitas <em>childcare</em> bisa didapatkan oleh semua ibu-mahasiswa, apapun jenis beasiswanya. Kebijakan standar dan inklusif perlu dirumuskan untuk memastikan keringanan biaya bagi pengasuhan, sekolah, dan layanan kesehatan anak.</p>
<p>Pendekatan terintegrasi bagi ibu-mahasiswa penting untuk menciptakan kesetaraan di ranah <a href="https://theconversation.com/research-indonesian-female-academics-bear-the-brunt-of-the-pandemic-154487">riset, pendidikan tinggi dan pembuatan kebijakan </a> bagi akademisi perempuan. </p>
<p><em>Tim penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh sukarelawan PhD Mama Indonesia yang membantu suksesnya penelitian di atas</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/176467/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fitri Hariana Oktaviani terafiliasi dengan PhD Mama Indonesia. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Kanti Pertiwi terafiliasi dengan organisasi berbasis relawan PhD Mama Indonesia. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Nayunda Andhika Sari terafiliasi dengan PhD Mama Indonesia</span></em></p>Banyak perempuan Indonesia ingin menempuh pendidikan tinggi, tapi hambatan struktural menghadang langkah merekaFitri Hariana Oktaviani, Lecturer and Researcher in Gender and Organisational Communication, Universitas BrawijayaKanti Pertiwi, Assistant Professor in Organisation Studies, Universitas IndonesiaNayunda Andhika Sari, Dosen di Universitas Indonesia dan kandidat PhD di bidang Gender and Leadership, Monash University AustraliaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1736632022-01-04T08:33:46Z2022-01-04T08:33:46ZData 2015-2021: pengangkatan duta besar di Indonesia belum setara gender<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/439285/original/file-20220104-19-1kiw48k.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C287%2C4013%2C2803&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pelantikan duta besar Indonesia di Istana Negara pada 2017.</span> <span class="attribution"><span class="source">Antara Foto/Puspa Perwitasari</span></span></figcaption></figure><p>Salah satu yang berbeda dari kebijakan luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo adalah adanya perhatian yang lebih besar pada isu gender di dalam hubungan internasional. </p>
<p>Ini terlihat dari kebijakan-kebijakan Indonesia yang mempromosikan kesetaraan gender di luar negeri dan internal Kementerian Luar Negeri. Misalnya, pada 2020, Indonesia mengusulkan resolusi baru untuk menambah porsi perempuan di dalam pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Usulan ini diterima dan menghasilkan <a href="https://kemlu.go.id/portal/id/read/1632/berita/dewan-keamanan-pbb-sahkan-resolusi-indonesia-tentang-penjaga-perdamaian-dunia-perempuan">Resolusi PBB No. 2538</a>.</p>
<p>Di internal kementerian Luar Negeri, perubahan ke arah lingkungan kerja yang lebih pro-gender juga berjalan. Sejak 2005, <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/10357718.2021.1893653">jumlah perempuan</a> yang diterima konsisten selalu separuh dari total diplomat baru. </p>
<p>Pada 2020, terbit <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/163046/permenlu-no-21-tahun-2020">Peraturan Menteri Luar Negeri (Permenlu) No. 21 Tahun 2020</a> tentang pedoman pengarusutamaan gender. Kemudian pada November 2021, terbit sebuah <a href="https://twitter.com/Menlu_RI/status/1465134706748440577?s=20">Surat Edaran Menteri Luar Negeri</a> tentang pencegahan dan penanganan tindakan pelecehan seksual di lingkungan kerja Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI. </p>
<p>Lalu, bagaimana dengan pola pengangkatan duta besar Indonesia? Apakah sudah imbang dan berperspektif gender?</p>
<p>Analisis yang saya lakukan menunjukkan bahwa pola pengangkatan duta besar di Indonesia masih belum pro-gender; duta besar perempuan yang diangkat juga tidak ditempatkan di negara-negara strategis; dan duta besar perempuan cenderung ditempatkan di negara dengan kesetaraan gender cukup tinggi.</p>
<h2>Pola pengangkatan</h2>
<p>Dalam melakukan analisis, saya melihat keseimbangan gender dalam pengangkatan duta besar pada periode 2015 hingga 2021. Kemudian, saya juga melihat di negara seperti apa para duta besar perempuan ditempatkan. Ada tiga variabel yang dipakai untuk melihat pola tersebut, yaitu kekuatan (<em>power</em>), tingkat kedamaian, dan kualitas gender negara setempat. </p>
<p>Untuk melihat kekuatan yang dimiliki oleh sebuah negara, saya menggunakan <a href="https://news.wharton.upenn.edu/press-releases/2016/01/u-s-news-wpps-bav-consulting-wharton-school-release-inaugural-best-countries-rankings/"><em>power index</em></a> yang disusun oleh Wharton School of the University of Pennsylvania, Amerika Serikat (AS). </p>
<p>Sementara, <a href="https://www.visionofhumanity.org/maps/#/"><em>global peace index</em></a> yang diterbitkan oleh <em>Institute for Economics and Peace</em> (IEP) saya gunakan untuk melihat tingkat kedamaian sebuah negara. Selanjutnya, <a href="https://www.weforum.org/reports/global-gender-gap-report-2021"><em>global gender gap report</em></a> yang disusun oleh <em>World Economic Forum</em> (WEF) saya gunakan untuk melihat kualitas gender sebuah negara </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/437238/original/file-20211213-27-v47wli.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/437238/original/file-20211213-27-v47wli.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/437238/original/file-20211213-27-v47wli.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=435&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/437238/original/file-20211213-27-v47wli.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=435&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/437238/original/file-20211213-27-v47wli.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=435&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/437238/original/file-20211213-27-v47wli.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=546&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/437238/original/file-20211213-27-v47wli.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=546&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/437238/original/file-20211213-27-v47wli.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=546&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Persentase Pengangkatan Duta Besar Berdasarkan Gender, 2015-2021.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Author</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pola pengangkatan duta besar di Indonesia masih belum pro-gender walau sudah ada penunjukan duta besar perempuan untuk beberapa perwakilan Indonesia di luar negeri. </p>
<p>Dari total 175 orang duta besar yang diangkat sejak 2015, duta besar perempuan hanya berjumlah 20 orang (12,7%). </p>
<p>Bahkan, jika dilihat pola pengangkatan duta besar per tahun sejak 2015 hingga 2021, pola yang muncul tidak menunjukkan kemajuan gender. Pada 2015, tidak ada satu pun perempuan yang diangkat menjadi duta besar. Sementara, sejak 2016 hingga 2021, persentase jumlah perempuan yang diangkat menjadi duta besar mengalami penurunan .</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/437229/original/file-20211213-19-6ow918.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/437229/original/file-20211213-19-6ow918.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/437229/original/file-20211213-19-6ow918.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=316&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/437229/original/file-20211213-19-6ow918.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=316&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/437229/original/file-20211213-19-6ow918.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=316&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/437229/original/file-20211213-19-6ow918.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=397&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/437229/original/file-20211213-19-6ow918.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=397&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/437229/original/file-20211213-19-6ow918.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=397&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pengangkatan Duta Besar Perempuan Indonesia, 2015-2021.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Author</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kemudian, dengan membandingkan negara penempatan dan <em>power index</em> di tabel di atas terlihat jika para duta besar perempuan tidak ditempatkan di negara-negara kekuatan utama dunia seperti AS, Cina, Rusia, Jerman, dan Inggris yang berada di peringkat 5 besar indeks Wharton School. </p>
<p>Duta besar perempuan juga tidak ditempatkan di negara-negara Asia Tenggara yang memiliki nilai strategis tinggi bagi Indonesia. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/437230/original/file-20211213-13-1azmacv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/437230/original/file-20211213-13-1azmacv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/437230/original/file-20211213-13-1azmacv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=271&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/437230/original/file-20211213-13-1azmacv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=271&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/437230/original/file-20211213-13-1azmacv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=271&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/437230/original/file-20211213-13-1azmacv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=341&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/437230/original/file-20211213-13-1azmacv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=341&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/437230/original/file-20211213-13-1azmacv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=341&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pengangkatan Duta Besar Indonesia Untuk Negara Asia Tenggara, 2015-2021.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Author</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Hal yang sama juga berlaku dalam penempatan duta besar di lembaga-lembaga multilateral prestisius, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, ASEAN, dan World Trade Organization. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/437231/original/file-20211213-15-nnfolb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/437231/original/file-20211213-15-nnfolb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/437231/original/file-20211213-15-nnfolb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=148&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/437231/original/file-20211213-15-nnfolb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=148&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/437231/original/file-20211213-15-nnfolb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=148&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/437231/original/file-20211213-15-nnfolb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=186&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/437231/original/file-20211213-15-nnfolb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=186&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/437231/original/file-20211213-15-nnfolb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=186&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pengangkatan Duta Besar Indonesia Untuk Lembaga Multilateral, 2015-2021.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Author</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Selanjutnya, dengan menggunakan <em>peace index</em> terlihat jika para duta besar perempuan hanya ditempatkan di negara-negara yang damai. Hanya satu duta besar perempuan yang ditempatkan di negara yang masuk kategori tingkat kedamaian rendah. Selebihnya, para duta besar perempuan ditempatkan di negara-negara dengan level kedamaian minimal “medium” yang artinya relatif damai atau aman. </p>
<p>Terakhir, <em>gender gap index</em> menunjukkan jika para duta besar perempuan ditempatkan di negara-negara dengan kualitas gender yang baik. </p>
<p>Mayoritas duta besar perempuan berada di negara-negara dengan kesetaraan gender di atas 70%. Sebagai perbandingan, Afghanistan merupakan negara dengan tingkat kesetaraan gender terendah, yaitu 44% pada 2016, dan Islandia memiliki tingkat kesetaraan gender tertinggi sebesar 89% pada 2016. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/naik-turun-perjalanan-karir-jurnalis-perempuan-bagai-rollercoaster-171206">Naik turun perjalanan karir jurnalis perempuan bagai rollercoaster</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2><em>Glass ceiling</em></h2>
<p>Pola yang terjadi di Indonesia mengikuti pola global dalam pengangkatan dan penempatan duta besar di berbagai negara. Penelitian <a href="https://doi.org/10.1093/fpa/orw039">di tingkat global</a> menunjukkan bahwa jumlah duta besar perempuan hanya 15% dari total duta besar di seluruh dunia. </p>
<p>Selain itu, perempuan umumnya juga ditempatkan di negara-negara yang kurang strategis (bukan negara kekuatan utama dunia). </p>
<p>Hal yang sama juga berlaku dalam hal penempatan berdasarkan tingkat keamanan dan kesetaraan gender. Perempuan diangkat menjadi duta besar di negara-negara yang level keamanan dan kesetaraan gendernya tinggi. </p>
<p>Kondisi ini melahirkan fenomena plafon kaca <em>(glass ceiling)</em>, yaitu sekumpulan hambatan yang dialami perempuan untuk bisa meraih jabatan tertinggi di tempat mereka bekerja. </p>
<p>Di dalam konteks hubungan luar negeri, salah satunya terlihat dari sulitnya perempuan mencapai posisi puncak sebagai duta besar. </p>
<p>Dalam konteks Indonesia, plafon kaca ini menyebabkan terbatasnya jumlah pos-pos duta besar yang dapat ditempati perempuan. </p>
<p>Perempuan hanya diangkat menjadi duta besar di negara-negara yang memiliki nilai strategis rendah, atau memiliki tingkat keamanan atau kesetaraan gender tinggi. </p>
<p>Sementara, situasi ini tidak berlaku pada penempatan di level staf diplomatik. Staf diplomatik perempuan ditempatkan di berbagai kondisi negara. </p>
<p>Bias gender merupakan penyebab utama dari masalah plafon kaca ini. Laki-laki dianggap lebih mampu menjalankan tugas-tugas strategis dibandingkan perempuan karena <a href="https://doi.org/10.1093/fpa/orw039">maskulinitas dianggap sejalan dengan segala hal yang bersifat strategis atau prestisius</a>. </p>
<p>Persoalan maskunitas lainnya adalah anggapan bahwa perempuan merupakan pihak yang lemah sehingga tidak cocok menjadi pemimpin di situasi konflik atau tidak aman. </p>
<p>Alasan lainnya adalah pragmatisme. Untuk memudahkan interaksi dan komunikasi dengan negara setempat, duta besar perempuan tidak ditempatkan di negara-negara yang rendah kesadaran gendernya. Konsekuensinya, pragmatisme ini semakin menguatkan plafon kaca yang sudah ada. </p>
<p>Jika Indonesia konsisten untuk memasukan perspektif gender ke dalam kebijakan luar negerinya, hambatan-hambatan bias gender seperti di atas harus terus dibenahi. </p>
<p>Pembenahan ini tentunya butuh waktu yang panjang karena mengubah perspektif patriarki yang sudah melembaga selama bertahun-tahun tidak mudah. Maka, konsistensi dan persistensi menjadi kunci untuk mencapai perubahan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/173663/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Wendy Andhika Prajuli tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Duta besar perempuan cenderung tidak ditempatkan di negara-negara strategis. Duta besar perempuan juga kerap ditempatkan di negara dengan kesetaraan gender cukup tinggi.Wendy Andhika Prajuli, Lecturer in International Relations, Binus UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.