tag:theconversation.com,2011:/global/topics/bahasa-indonesia-45383/articlesBahasa Indonesia – The Conversation2023-11-13T02:14:06Ztag:theconversation.com,2011:article/2174442023-11-13T02:14:06Z2023-11-13T02:14:06ZJumlah pelajar Australia yang belajar bahasa Indonesia terus menurun. Bagaimana mengatasinya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/558761/original/file-20231030-29-q4pcps.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=30%2C40%2C6679%2C4426&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/woman-using-a-laptop-with-headphones-7283630/">Karolina Grabowska/Pexels </a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Siswa Kelas 12 di Australia sedang mengambil keputusan penting mengenai masa depan mereka. Bagi banyak orang, hal ini melibatkan pemilihan program studi di universitas dan mata pelajaran di dalamnya.</p>
<p>Namun jika melihat tren yang ada, Indonesia tidak akan dipertimbangkan sama sekali dalam pengambilan keputusan ini, meskipun <a href="https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/suspicious-minds-will-closer-australia-indonesia-engagement-yield-greater-trust">dampaknya sangat besar bagi Australia</a>, baik dari segi kepentingan ekonomi, strategis maupun politik.</p>
<p>Banyak politisi yang <a href="https://www.abc.net.au/listen/programs/radionational-breakfast/3856606">menyerukan</a> pentingnya belajar bahasa Indonesia. Namun meminjam <a href="https://www.theage.com.au/national/costello-all-tip-no-iceberg-20070306-ge4cy8.html">kata-kata</a> dari mantan Perdana Menteri Paul Keating, itu semua hanyalah “puncak yang tampak dari gunung es yang tidak ada”.</p>
<p>Faktanya, kita harus kembali ke <a href="https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/how-advanced-australia-faring-asian-Century">ke era Keating (1991-1996)</a> untuk menemukan upaya bersama pemerintah dalam memahami Asia.</p>
<p>Sebagai peneliti Indonesia, banyak dari kami yang memulai kariernya pada era tersebut. Namun sejak saat itu, kita telah menyaksikan literasi Australia atas Indonesia – pengetahuan kami tentang bahasa dan budaya negara tetangga – perlahan-lahan mati karena diabaikan.</p>
<p>Apa yang terjadi? Apa yang salah dari Australia? Adakah yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya?</p>
<h2>Menurunnya pemahaman Australia atas Indonesia</h2>
<p>Semester ini, Sharyn Graham Davies, direktur <em>Herb Feith Indonesia Engagement Center, Monash University</em>, Australia, memiliki kurang dari sepuluh siswa dalam kursus pengantar bahasa Indonesia. Kursus ini diperuntukkan bagi siswa yang belum memiliki pengetahuan bahasa Indonesia sebelumnya. Kelas bahasa Indonesia tingkat menengah – yang mencakup mantan siswa Kelas 12 yang masuk universitas – memiliki 13 siswa.</p>
<p>Rendahnya jumlah pendaftaran ini bukanlah hal yang sepele, namun merupakan bagian dari tren nasional.</p>
<p>Pada tahun 1992, terdapat 22 universitas di Australia yang mengajarkan bahasa Indonesia. Pada tahun 2022, jumlah ini <a href="https://asiasociety.org/australia/indonesia-and-great-unrealised-opportunity-deep-partnership">turun menjadi 12</a>.</p>
<p>Terdapat juga penurunan besar dalam jumlah siswa yang belajar bahasa Indonesia hingga akhir sekolah menengah atas. Jumlah siswa sekolah menengah di Victoria, Australia, yang mengambil bahasa Indonesia di Kelas 12 telah <a href="https://www.acicis.edu.au/wp-content/uploads/2023/05/202303519_LP-Deck-2022_VIC_FULL-DECK.pdf">turun</a> dari 1.061 pada tahun 2002 menjadi 387 pada tahun 2022. Di New South Wales, Australia, angka tersebut <a href="https://www.acicis.edu.au/wp-content/uploads/2023/01/20230111_LP-Deck-2023_NSW_FULL-DECK.pdf">merosot</a> dari 306 menjadi 90 pada periode yang sama.</p>
<p>Memang ada beberapa titik terang. Sejak tahun 2014, generasi muda Australia telah melakukan perjalanan ke Indonesia di bawah <a href="https://www.dfat.gov.au/people-to-people/new-colombo-plan"><em>New Colombo Plan</em></a>. Misalnya, tahun ini sekitar 400 mahasiswa tahun pertama <em>Monash University</em>, Australia, akan berangkat ke Indonesia selama dua minggu. Namun, sebagian besar perjalanan akan berlangsung dalam bahasa Inggris.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/only-0-34-of-year-12s-study-indonesian-here-are-3-steps-we-can-take-towards-knowing-our-neighbour-better-184638">Only 0.34% of year 12s study Indonesian. Here are 3 steps we can take towards knowing our neighbour better</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Apa yang salah di Australia mengenai bahasa?</h2>
<p>Salah satu penyebab utama masalah ini adalah kampanye pemerintah Australia dan Indonesia sebelumnya yang gagal mendorong masyarakat Australia belajar bahasa Indonesia.</p>
<p>Penelitian kami <a href="https://www.melbourneasiareview.edu.au/invigorating-indonesian-studies-in-australia-through-collaborative-online-education-practices/">menemukan</a> bahwa kampanye yang berfokus pada <a href="https://aiya.org.au/2014/11/19/monolingual-australia-and-the-language-of-justification/">ekonomi</a> dan <a href="https://www.aspistrategist.org.au/australia-%20dan-indonesia-menuju-kemitraan-tahan%20lama/">kepentingan strategis</a> Indonesia, jarang beresonansi di kalangan pelajar.</p>
<p>Hal ini karena narasi-narasi tersebut terlalu esoterik (terbatas) dan berbasis masa depan bagi remaja, yang seringkali lebih terpengaruh oleh masa muda dan budaya populer. Misalnya, sejak tahun 1998, lebih dari 1.000 siswa per tahun <a href="https://www.acicis.edu.au/wp-content/uploads/2023/05/202303519_LP-Deck-2022_VIC_FULL-DECK.pdf">telah belajar</a> bahasa Jepang di sekolah menengah di Victoria, Australia, sebagian didorong oleh minat yang lebih luas terhadap budaya pop Jepang.</p>
<h2>Pola pikir monolingual</h2>
<p>Kita juga tahu bahwa Australia memiliki “<a href="https://www.lingualonthemove.com/monolingual-mindset-in-the-lucky-country/"><em>monolingual mindest</em></a>” atau gagasan bahwa komunikasi terjadi melalui dan hanya dengan satu bahasa pada satu waktu. Ada sikap warga Australia yang merasa tidak perlu mempelajari bahasa lain. Mantan Perdana Menteri John Howard (1996-2007) menggambarkan sikap ini, <a href="https://www.afr.com/policy/foreign-affairs/english-the-lingua-franca-of-asia-says-howard-20201119-p56g3l">dengan beragumen bahwa</a> bahasa Inggris adalah <em>lingua franca</em> – atau bahasa umum – di Asia.</p>
<p>Menurut <a href="https://www.oecd-ilibrary.org/education/pisa_19963777">hasil PISA tahun 2018</a>, yang membandingkan kemajuan akademis anak usia 15 tahun di berbagai negara, Australia menempati <a href="https://www.oecd-ilibrary.org/education/language-learning-and-contact-with-people-from-other-countries_a6bff0fa-en">peringkat</a> negara kedua terakhir untuk pembelajaran bahasa asing, di antara negara-negara anggota <em>Organisation for Economic Co-operation and Development</em> (OECD), organisasi internasional dari 38 negara yang berkomitmen pada demokrasi dan ekonomi pasar.</p>
<p>Studi ini juga menemukan bahwa 64% anak usia 15 tahun di Australia mengatakan belajar bahasa asing bukanlah bagian dari kehidupan mereka, dibandingkan dengan rata-rata keseluruhan OECD yang hanya sebesar 12%.</p>
<h2>Sementara itu, Cina sedang belajar bahasa Indonesia</h2>
<p>Meski tingkat literasi atas Indonesia di Australia menurun, literasi atas Indonesia di Cina <a href="https://www.scmp.com/week-asia/opinion/article/3191922/can-chinese-students-learning-indonesian-help-%20jembatan-kesenjangan-budaya">sedang meningkat</a>. Di Cina, kini terdapat <a href="https://www.bjreview.com/Lifestyle/202304/t20230424_800329300.html">19 universitas</a> yang mengajarkan bahasa Indonesia.</p>
<p>Literasi bahasa Mandarin di Indonesia juga <a href="https://thechinaproject.com/2023/08/23/once-banned-mandarin-learning-in-indonesia-on-the-rise-amid-improving-ties-with%20-Cina/">meningkat</a>. Terdapat <a href="https://thechinaproject.com/2023/08/23/once-banned-mandarin-learning-in-indonesia-on-the-rise-amid-improving-ties-with-china/">bukti signifikan</a> yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mulai belajar bahasa Mandarin (yang pernah dilarang) seiring upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan hubungan dengan Cina.</p>
<p>Pada saat yang sama, Indonesia juga mulai mendorong <a href="https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/berita-detail/3986/deklarasi-bahasa-indonesia-mendunia"><em>menduniakan bahasa Indonesia</em></a> atau “mengangkat bahasa Indonesia ke status global ”. Ini berarti sebagian orang Indonesia ingin bahasa mereka digunakan dan dipahami secara luas, khususnya <a href="https://www.channelnewsasia.com/asia/indonesia-reject-malaysia-proposal-second-asean-lingual-2608796">di Asia</a>.</p>
<h2>Australia akan tertinggal</h2>
<p>Warga Australia dapat terus berkomunikasi dengan sebagian masyarakat Indonesia melalui bahasa Inggris. Namun jika mereka melakukan hal tersebut, akan semakin banyak pembicaraan yang terjadi tanpa melibatkan mereka.</p>
<p>Sulit untuk menemukan angka pasti mengenai penutur bahasa Inggris di Indonesia dan seberapa baik bahasa Inggris digunakan. Ada beberapa perkiraan hingga 30% sebagaimana dipromosikan oleh <a href="https://blog.cudy.co/english-proficiency-in-asia/#:%7E:text=Indonesia%3A%%202030,8%25%20dari%20Orang%20Indonesia%20bisa,%20Bahasa%20Inggris%20baik%20atau%20sangat%20baik.">industri bimbingan belajar dan pengajaran bahasa Inggris</a>. Namun, beberapa sumber akademis <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/9781118791882.ch3#:%7E:text=The%20latest%20pemerintah%20statistics%20for,%2C%20and%2044.3%20%25%20of%20orang%20India.">menunjukkan,</a> hanya 5% orang Indonesia yang memiliki “kemampuan berbahasa Inggris fasih”.</p>
<p>Penelitian <a href="https://eric.ed.gov/?id=EJ1067936">juga menunjukkan</a>, penutur bahasa Inggris saja berada dalam posisi yang dirugikan saat berdiskusi dengan bukan penutur asli bahasa Inggris.</p>
<p>Dalam pertemuan bisnis, penutur asli bahasa Inggris <a href="https://www.multilingual-matters.com/page/detail/Reconceptualizing-English-for-International-Business-Contexts/?k=9781800415997">lebih kecil kemungkinannya</a> untuk mengakomodasi atau memahami apa yang terjadi dalam interaksi para bukan penutur asli dan lebih cenderung menyela.</p>
<h2>Perlunya pemikiran pelangi</h2>
<p>Untuk mengatasi masalah ini diperlukan berbagai pendekatan, atau yang kita sebut dengan pemikiran pelangi.</p>
<p>Pertama, kita perlu meninjau kembali investasi pemerintah. Puncak studi bahasa Indonesia di Australia terjadi pada pertengahan tahun 1990-an ketika Keating menginvestasikan dana yang signifikan untuk pembelajaran bahasa Indonesia. Jumlah pembelajar bahasa Indonesia di Victoria, Australia <a href="https://www.acicis.edu.au/wp-content/uploads/2023/05/202303519_LP-Deck-2022_VIC_FULL-DECK.pdf">naik dua kali lipat</a> dari 493 pada tahun 1995 menjadi 1.044 pada tahun 2001.</p>
<p>Kedua, sebagian dari pendanaan ini harus didedikasikan untuk pendekatan bahasa yang lebih inovatif dan berkelanjutan. Misalnya, pemerintah Amerika Serikat (AS) mendanai <a href="https://www.startalk.info">program STARTALK</a>, yang memberikan hibah bagi siswa untuk mempelajari bahasa-bahasa yang “sangat diperlukan”, termasuk Arab, Mandarin, Korea, Persia, dan Rusia.</p>
<p>Program ini berupaya untuk lebih memahami motivasi dan hambatan dalam mempelajari bahasa yang jarang diajarkan dan kemudian merancang kurikulum untuk memenuhi kebutuhan guru dan siswa.</p>
<p>Kami <a href="https://www.melbourneasiareview.edu.au/invigorating-indonesian-studies-in-australia-through-collaborative-online-education-practices/">sebelumnya</a> berpendapat bahwa program serupa dapat berhasil dan berkelanjutan di Australia . Namun, hal ini memerlukan pendanaan yang cukup.</p>
<p>Ketiga, Indonesia membutuhkan strategi yang andal. <a href="https://www.mofa.go.kr/eng/wpge/m_5723/contents.do"><em>Academy for Korean Studies</em></a> milik pemerintah Korea memberikan investasi luar negeri yang signifikan dalam penelitian dan pendidikan bahasa dan budaya Korea. <a href="https://www.alliancefrancaise.com.au/about/fondation-af/"><em>Alliance Française</em></a> memiliki 31 cabang di seluruh Australia.</p>
<p>Indonesia belum melakukan investasi kuat yang serupa.</p>
<p>Dalam beberapa dekade terakhir, sulit untuk menghindari pejabat pemerintah dan dunia usaha membicarakan pentingnya Indonesia. Namun, jauh lebih sulit untuk menemukan orang atau organisasi dengan sumber daya yang baik yang benar-benar melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah ini.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/beyond-boats-beef-and-bali-albaneses-unfinished-business-with-indonesia-184547">Beyond boats, beef and Bali: Albanese's unfinished business with Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<img src="https://counter.theconversation.com/content/217444/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Para peneliti menyaksikan pengetahuan masyarakat Australia tentang bahasa dan budaya Indonesia perlahan-lahan mati karena diabaikan.Howard Manns, Senior Lecturer in Linguistics, Monash UniversityJessica Kruk, Lecturer in Indonesian Studies and Linguistics, The University of Western AustraliaMichael C Ewing, Associate professor, The University of MelbourneSharyn Graham Davies, Director, Herb Feith Indonesian Engagement Centre, Monash UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2002332023-02-21T11:44:02Z2023-02-21T11:44:02ZKunci memantik minat anak muda pada bahasa daerah? Yakinkan mereka bahwa identitas multibahasa adalah aset<p><em>Artikel ini terbit dalam rangka perayaan Hari Bahasa Ibu Internasional yang jatuh pada 21 Februari 2023</em>.</p>
<hr>
<p>Indonesia adalah negara dengan <a href="https://www.weforum.org/agenda/2021/03/these-are-the-top-ten-countries-for-linguistic-diversity/">keragaman bahasa terbesar kedua</a>, dengan <a href="https://petabahasa.kemdikbud.go.id/">lebih dari 700 bahasa lokal</a>. Angka ini hanya kalah dari Papua Nugini dengan 840 bahasa. </p>
<p>Meski demikian, <a href="https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000192416">UNESCO</a> memetakan lebih dari 130 bahasa di Indonesia kini terancam punah (<em>critically or severely endangered</em>) atau setidaknya rentan (<em>vulnerable</em>) – mayoritasnya ada di Indonesia Timur. </p>
<p>Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbudristek), ini terjadi akibat <a href="https://repositori.kemdikbud.go.id/7309/1/Pedoman%20Konservasi%20dan%20Revitalisasi%20%20Revisi%2023022018.pdf">turunnya jumlah orang</a> yang mengakui dan menggunakan bahasa daerahnya.</p>
<p>Pemerintah sebenarnya telah berupaya menggencarkan promosi keragaman bahasa di Indonesia, misalnya melalui <a href="https://merdekabelajar.kemdikbud.go.id/episode_17/web">Program Revitalisasi Bahasa Daerah</a> pada tahun 2022. Program ini menyasar 38 bahasa daerah, 1.491 komunitas, serta pelajar dan anak muda di 15.236 sekolah melalui upaya pewarisan bahasa secara terstruktur hingga <a href="https://www.youtube.com/watch?v=3e-hN_O-xQI&ab_channel=BalaiBahasaJawaTengah">festival kreasi seni</a>.</p>
<p>Tentu perjuangan untuk melestarikan bahasa daerah masih panjang, apalagi program-program tersebut merupakan inisiatif yang relatif baru.</p>
<p>Tapi menurut kami, upaya ini tak cukup hanya berfokus pada peningkatan kesadaran agar masyarakat dan anak muda lebih banyak menggunakan bahasa daerah.</p>
<p>Berdasarkan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14790718.2018.1524896">riset di bidang linguistik</a>, termasuk <a href="https://ejournal.upi.edu/index.php/IJAL/article/view/9819">penelitian tim kami sendiri</a>, upaya revitalisasi bahasa daerah – baik oleh pemerintah, komunitas, hingga institusi pendidikan – perlu memperhatikan konsep yang disebut “identitas multilibahasa”.</p>
<p>Ini berarti menekankan pada masyarakat, pelajar, dan anak muda untuk melihat bahasa daerah sebagai “aset” berkomunikasi ketimbang hanya beban warisan. Apalagi, identitas dan kemampuan multibahasa ini menjadi semakin penting mengingat kini <a href="https://www.britishcouncil.org/voices-magazine/few-myths-about-speakers-multiple-languages#:%7E:text=Myth%3A%20Monolingualism%20is%20the%20norm,languages%20on%20a%20daily%20basis.">hampir tidak ada orang yang menggunakan satu bahasa saja</a> dalam interaksi sosial sehari-hari.</p>
<h2>Identitas multibahasa</h2>
<p>Identitas multibahasa merujuk pada <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14790718.2018.1524896">kesadaran seseorang bahwa dirinya adalah pengguna beberapa macam bahasa</a> untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.</p>
<p>Bahasa-bahasa tersebut tak hanya mencakup bahasa dalam pengertian umum seperti bahasa Jawa, Indonesia, dan Inggris. Tapi, melampaui itu, ini juga termasuk emotikon, dialek, bahasa isyarat, <a href="https://kbbi.web.id/modalitas">modalitas</a>, dan lain-lain. Seseorang dapat menganggap dirinya multilingual <a href="https://www.lspjournal.com/post/we-are-multilingual-identity-education-to-promote-engagement-and-achievement-in-schools">terlepas dari tingkat kemahiran mereka saat ini</a> dalam menggunakan suatu bahasa tersebut, selama seseorang bisa menggunakannya untuk berkomunikasi.</p>
<p>Di Indonesia, pendekatan identitas multibahasa berguna dalam upaya mempertahankan bahasa daerah, menggunakan bahasa Indonesia, dan mempelajari bahasa Inggris secara bersamaan. Dengan kesadaran akan identitas ini, masyarakat dan pembelajar bahasa tak hanya akan <a href="https://www.lspjournal.com/post/we-are-multilingual-identity-education-to-promote-engagement-and-achievement-in-schools">lebih percaya diri</a>, tapi juga menyadari bahwa semua bahasa mempunyai nilai yang tinggi dan tidak saling berkompetisi.</p>
<p>Pendekatan identitas multibahasa ini juga lebih inklusif dan efektif daripada <a href="http://blog.tesol.org/power-of-words-deficit-discourse-and-ells/">memberi label siswa</a> sebagai generasi muda yang tidak peduli terhadap bahasa daerah – misal karena dianggap terlalu memprioritaskan bahasa Inggris.</p>
<p>Riset telah menunjukkan bahwa <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/0261927X19883906">stigma semacam ini justru menurunkan motivasi</a> generasi muda dalam mempelajari bahasa-bahasa tersebut. </p>
<h2>Bagaimana membentuk identitas multibahasa?</h2>
<p>Menurut <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14790718.2022.2060235">penelitian</a> di sekolah-sekolah Inggris, ada tiga hal penting yang menentukan keberhasilan pembentukan identitas multibahasa dalam diri seorang siswa: pengalaman, penilaian, serta emosi dan perasaan siswa terhadap bahasa itu sendiri dan ketika mempelajarinya. </p>
<p><strong>Faktor pertama</strong>, yakni pengalaman bahasa, terkait dengan eksposur pelajar dan anak muda dalam menggunakan beberapa bahasa dalam berbagai situasi sosial.</p>
<p>Dengan kata lain, semakin sering seorang siswa terpapar berbagai macam bahasa baik bahasa daerah, Indonesia, maupun asing – serta berkesempatan untuk menggunakannya dalam berbagai konteks seperti di rumah, di lingkungan sosial, di sekolah, maupun secara digital – semakin besar pula kemungkinan ia bisa membentuk identitas multibahasa. </p>
<p><strong>Faktor kedua</strong>, penilaian terhadap bahasa berkaitan dengan evaluasi dan persepsi siswa terhadap pandangan orang-orang di sekitarnya.</p>
<p>Seorang siswa akan merefleksikan bagaimana ia menilai dirinya sendiri (seperti tingkat kepercayaan diri dan keyakinan tentang suatu bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing) dan juga bagaimana orang lain seperti orang tua, guru, dan teman-teman menilainya dalam menggunakan bahasa-bahasa tersebut. </p>
<p>Misalnya, ketika seorang pelajar lulus SMA dan berkuliah di kota yang berbeda, apakah teman-temannya menghargai atau menertawakannya ketika mencampurkan antara bahasa Indonesia dan bahasa lokal?</p>
<p><strong>Faktor ketiga</strong>, yakni emosi, berkaitan dengan perasaan bangga, senang, dan termotivasi saat menggunakan berbagai macam bahasa tersebut.</p>
<p>Emosi siswa yang berkaitan dengan bahasa ini tentunya banyak dipengaruhi oleh lingkungan pembelajaran. Oleh karena itu, penting untuk membuat lingkungan belajar di rumah maupun sekolah yang positif, inklusif, dan merayakan identitas multibahasa seorang siswa. </p>
<p>Mengingat proses pembelajaran bahasa pada usia muda banyak terjadi di lingkungan belajar, para peneliti pun mengusulkan beberapa <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09571736.2021.1906733">praktik baik pedagogis (teknik pengajaran)</a> yang bisa mewujudkan ketiga faktor keberhasilan pembentukan identitas multibahasa – baik di sekolah maupun dalam program pendidikan lainnya.</p>
<p>Komunitas peneliti linguistik dan pendidikan bersama dengan Dinas Pendidikan dan Dinas Kebudayaan di level daerah, misalnya, dapat bekerjasama dengan guru, instruktur, dan relawan untuk fokus pada aktivitas pembelajaran <a href="https://www.tandfonline.com/doi/epdf/10.1080/14790718.2018.1524896?needAccess=true&role=button">yang menurut riset efektif membentuk identitas multibahasa</a>.</p>
<p>Ini termasuk membantu pelajar mengasah wawasan sosiolinguistik mereka (<em>bahasa apa saja yang bisa saya dan orang-orang di sekitar saya gunakan?</em>), menjalankan diskusi interaktif tentang identitas multibahasa dari teman mereka (<em>kapan seseorang bisa dikatakan sebagai penutur bahasa daerah tertentu?</em>), hingga merefleksikan dan meresapi wawasan dan keberadaan berbagai identitas multibahasa yang beragam (<em>bagaimana wujud identitas saya di tengah berbagai identitas kebahasaan orang-orang di lingkungan saya?</em>).</p>
<p><a href="https://www.cambridge.org/core/books/multilingualism-and-identity/multilingual-identity-construction-through-participative-reflective-practice-in-the-languages-classroom/88229AA8F6BD1199CFC553C85C111088#CN-bp-15">Penelitian-penelitian terbaru</a> menunjukkan intervensi pedagogi terbukti tak hanya meningkatkan usaha siswa untuk belajar bahasa lebih mendalam, tetapi juga meningkatkan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09571736.2021.1912154">pemahaman antarbudaya</a> maupun <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/15348458.2021.1986397">hasil akademik mereka</a>.</p>
<p>Pada akhirnya, pendekatan identitas multibahasa semacam ini akan bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan program revitalisasi bahasa daerah di Indonesia.</p>
<p>Tapi yang lebih penting lagi, dengan fokus pada bahasa-bahasa yang jadi bagian dari identitas mereka secara bersamaan – bukan hanya satu bahasa daerah saja secara terpisah – siswa akan mempunyai kebanggaan besar. Ketimbang “terpaksa” mempertahankan bahasa daerah mereka, justru mereka akan menganggap bahasa daerah sebagai keunggulan dan nilai jual plus dalam perbendaharaan linguistik mereka.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/200233/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Promosi bahasa daerah kepada masyarakat, pelajar, dan anak muda perlu menekankan bahwa bahasa daerah adalah “aset” dalam berkomunikasi, bukan hanya beban warisan.Rasman, Lecturer at the Department of English Language Education, Universitas Negeri YogyakartaReni Nastiti, Lecturer, Universitas Negeri YogyakartaTatum Derin, Managing Editor of Elsya : Journal of English Language Studies, Universitas Lancang KuningLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1971082023-01-24T11:33:15Z2023-01-24T11:33:15ZOrang Australia semakin tidak berminat belajar bahasa Indonesia: apa penyebabnya dan apa yang perlu dilakukan Indonesia?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/506075/original/file-20230124-26-l3p60g.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Australian_and_Indonesian_flags.jpg">(Wikimedia Commons/Mia Salim)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Selama lebih dari satu dekade terakhir, berbagai praktisi, peneliti, dan pemerhati pendidikan bahasa mengamati merosotnya minat belajar bahasa Indonesia di Australia.</p>
<p><a href="https://www.dese.gov.au/download/1038/current-state-indonesian-language-education-australian-schools/775/document/rtf">Laporan tahun 2010</a> dari tim peneliti bahasa dan linguistik terapan Australia menyatakan bahwa sejak 2001, jumlah pelajar yang mengambil mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah Australia berkurang setidaknya 10.000 setiap tahunnya.</p>
<p>Dalam <a href="https://www.asiaeducation.edu.au/docs/default-source/why-indonesia-matters-in-our-schools/mkholer_lit-review_design_v2.pdf?sfvrsn=2">studi independen terbarunya pada 2021</a>, misalnya, Michelle Kohler dari University of South Australia mencatat penurunan pengambilan kelas bahasa Indonesia terjadi <a href="https://www.abc.net.au/news/2021-10-30/academics-renew-push-for-more-students-to-study-bahasa-indonesia/100560066">seiring naiknya jenjang pendidikan dasar dan menengah</a> – dari sekitar 14.000 di akhir tingkat SD menjadi hanya sekitar 350 di akhir SMA.</p>
<p>Sementara di tingkat perguruan tinggi, jumlah pendaftar kelas bahasa Indonesia pada 2019 <a href="https://asaa.asn.au/the-state-of-indonesian-language-in-australian-universities-the-past-20-years/">turun 63% dari puncaknya pada 1992</a>.</p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/506077/original/file-20230124-26-fhve9o.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/506077/original/file-20230124-26-fhve9o.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/506077/original/file-20230124-26-fhve9o.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=948&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/506077/original/file-20230124-26-fhve9o.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=948&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/506077/original/file-20230124-26-fhve9o.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=948&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/506077/original/file-20230124-26-fhve9o.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1192&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/506077/original/file-20230124-26-fhve9o.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1192&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/506077/original/file-20230124-26-fhve9o.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1192&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption"><em>School of Languages</em> kelolaan pemerintah Australia Selatan merupakan salah satu institusi yang masih menawarkan kelas bahasa Indonesia.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(School of Languages)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, banyak universitas seperti La Trobe University, Western Sydney University, dan University of New South Wales <a href="https://theconversation.com/closure-of-indonesian-language-programs-in-australian-universities-will-weaken-ties-between-the-two-countries-158894">menutup program kelas bahasa Indonesia mereka</a>. University of Melbourne <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/can-australias-declining-indonesia-literacy-survive-covid-19-cuts/">memperkirakan</a> pada 2020, hanya ada 12 universitas di Australia yang membuka program kelas bahasa Indonesia – turun dari 22 universitas pada 1992.</p>
<p>Beberapa peneliti khawatir tren penutupan program bahasa Indonesia di perguruan tinggi Australia ini akan <a href="https://theconversation.com/maraknya-penutupan-program-bahasa-indonesia-di-berbagai-kampus-australia-akan-lemahkan-hubungan-kedua-negara-159440">melemahkan hubungan bilateral antara kedua negara</a>.</p>
<p>Yang menarik, keprihatinan tersebut lebih banyak muncul dari pihak-pihak di Australia dan bukan oleh Indonesia – si empunya bahasa tersebut. Kajian-kajian tentang topik ini semuanya ditulis orang Australia, dengan <a href="https://www.dese.gov.au/download/1038/current-state-indonesian-language-education-australian-schools/775/document/rtf">rekomendasi langkah-langkah bagi pemerintah Australia</a> untuk mempertahankan minat pembelajaran bahasa Indonesia di negara mereka.</p>
<p>Tampaknya, Indonesia belum banyak mengambil langkah untuk menghidupkan kembali minat belajar bahasa Indonesia di Australia. Padahal, bukan hanya Australia, Indonesia pun akan mendapat banyak manfaat seperti meningkatkan relasi dan citra positif Indonesia di Australia.</p>
<h2>Mengapa minat belajar bahasa Indonesia di Australia terus menurun</h2>
<p>Ada beberapa alasan yang memotivasi seseorang belajar bahasa asing. Faktanya, preferensi terhadap suatu bahasa bisa jadi <a href="https://www.theguardian.com/education/2014/jul/17/what-makes-a-language-attractive">tidak ada hubungannya dengan seberapa menarik atau “seksi” bunyi dari bahasa itu sendiri</a>. </p>
<p>Ahli sosiolinguistik seperti Vineeta Chand dari University of Essex, Inggris, berargumen bahwa ketertarikan terhadap suatu bahasa lebih ditentukan oleh faktor eksternal seperti <a href="https://www.theguardian.com/education/2014/jul/17/what-makes-a-language-attractive">pandangan positif terhadap para penutur bahasa tersebut ataupun budaya mereka</a>. Hal tersebut biasanya terhubung dengan prestise atau reputasi penutur bahasa, serta keuntungan ekonomi dan mobilitas sosial yang ditawarkan oleh penguasaan bahasa tersebut.</p>
<p>Dalam konteks Australia, ada beberapa alasan mengapa pendidikan bahasa Indonesia penting.</p>
<p>Indonesia adalah salah satu negara tetangga terpenting dan kunci untuk kemakmuran dan keamanan Australia. <a href="https://www.dese.gov.au/download/1038/current-state-indonesian-language-education-australian-schools/775/document/rtf">Alasan lainnya</a> adalah aksesibilitas dan struktur bahasa yang tidak terlalu rumit untuk standar bahasa asing, serta manfaat personal seperti pemahaman dan literasi lintas budaya antara Australia dan Indonesia.</p>
<p>Namun, minat pendidikan bahasa Indonesia di Australia termasuk <a href="https://www.dese.gov.au/download/1038/current-state-indonesian-language-education-australian-schools/775/document/rtf">rentan terhadap faktor-faktor eksternal</a>.</p>
<p>Dari segi ekonomi, misalnya, <a href="https://www.dese.gov.au/download/1038/current-state-indonesian-language-education-australian-schools/775/document/rtf">banyak yang beranggapan</a> bahwa Indonesia adalah negara “miskin”. Padahal, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara yang terus berkembang, Indonesia diprediksikan akan menjadi negara dengan <a href="https://en.tempo.co/read/1619619/jokowi-eyes-to-make-indonesia-7th-largest-economy-in-2030">ekonomi ketujuh terbesar pada 2030</a>.</p>
<p>Dari segi budaya, Indonesia dikenal dengan identitas agama yang kuat, yang sayangnya diperburuk oleh peristiwa bom di Bali pada awal 2000-an dan di Jakarta beberapa tahun silam. <a href="https://www.dese.gov.au/download/1038/current-state-indonesian-language-education-australian-schools/775/document/rtf">Tidak banyak orang Australia yang tahu</a> bahwa realitanya, Indonesia adalah negara yang relatif toleran dan multikultural dengan dominasi pemeluk agama Islam yang relatif moderat. </p>
<p>Bahkan, beberapa orang Australia mengatakan kepada saya bahwa mereka resah akan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru saja disahkan Indonesia pada Desember 2022 karena dianggap <a href="https://theconversation.com/expert-panel-indonesias-new-criminal-code-crosses-private-boundaries-is-anti-democratic-and-can-easily-jail-people-196133">menerobos ranah privat dan bersifat antidemokrasi</a>. Di mata orang Australia, ini semakin melukai citra Indonesia sekaligus mengurangi minat mereka untuk mempelajari bahasa Indonesia.</p>
<p>Berbagai peristiwa politik lainnya selama beberapa dekade ke belakang – dari kekerasan yang mewarnai pemisahan Timor Timur dari Indonesia pada 1997 hingga gelombang pencari suaka (<em>asylum seekers</em>) yang menjadikan Indonesia batu loncatan ke Australia – <a href="https://asaa.asn.au/the-state-of-indonesian-language-in-australian-universities-the-past-20-years/">turut memperkeruh citra tersebut</a>.</p>
<p><a href="https://minerva-access.unimelb.edu.au/items/8a847ac2-2586-558d-afb4-764d0c7e069d">Tesis S3 tahun 2007 milik Yvette Slaughter</a> dari University of Melbourne mengungkap bahwa turunnya pembelajaran bahasa Indonesia di Australia secara berkelanjutan merupakan contoh “ekstrem” akan dampak dari peristiwa-peristiwa politik terhadap minat belajar bahasa asing.</p>
<h2>Yang bisa dilakukan Indonesia</h2>
<p><a href="https://pursuit.unimelb.edu.au/articles/indonesian-matters-in-our-schools">Artikel-artikel</a> yang saya temui tentang topik ini semuanya ditulis orang Australia. Mereka membahas apa yang Australia dan pemerintah pusatnya bisa lakukan. </p>
<p>Sementara, orang-orang Indonesia masih perlu menunjukkan kepedulian dan perhatian yang lebih besar akan isu ini. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Canberra pernah membuat laporan beberapa tahun lalu tentang isu ini – namun laporan tersebut tidak pernah dipublikasikan ke publik sehingga sulit untuk ditindaklanjuti.</p>
<p>Sudah sepatutnya isu ini mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan. Ini termasuk pemerintah Indonesia yang bisa berkoordinasi dengan kementerian-kementerian terkait, KBRI di Canberra, Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Australia serta ranting-ranting komunitas Indonesia seperti <a href="https://australia-indonesia-association.com/">Australia Indonesia Association (AIA)</a>, <a href="https://aiya.org.au/">Australia Indonesia Youth Association (AIYA)</a>, dan Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) di setiap negara bagian dan universitas di Australia.</p>
<p>Memang, KJRI sudah menginisiasi jaringan Balai Bahasa Indonesia di Australia, seperti lewat peluncuran situs <a href="https://www.kemlu.go.id/sydney/id/news/21664/luncurkan-website-balai-bahasa-dan-budaya-indonesia-new-south-wales-perkuat-promosi-bahasa-indonesia">Balai Bahasa dan Budaya Indonesia New South Wales</a>. Namun, menurut obrolan pribadi saya dengan Michelle Kohler, peneliti bahasa Indonesia yang juga merupakan kolega saya di University of South Australia, bantuan tersebut masih minim.</p>
<p>Misalnya, program-program promosi bahasa tersebut masih terlihat sebagai formalitas dan belum berbasis perencanaan strategis. Ini sangat timpang jika dibandingkan dengan yang dilakukan <a href="https://www.af.org.au/">Alliance Française</a> dalam mempromosikan pendidikan bahasa Prancis di Australia lewat lima pilar strateginya – termasuk meningkatkan kesadaran generasi muda dan memperkuat daya tarik budaya Prancis. </p>
<p>Diaspora Indonesia di Australia pun bisa bertindak lebih proaktif tanpa instruksi dari pusat. Menurut pengamatan Kohler, komunitas Indonesia di Australia bisa mengambil contoh dari yang dilakukan komunitas diaspora Yunani, Turki, dan Vietnam di Australia yang jauh lebih proaktif mempromosikan pendidikan bahasa melalui berbagai acara dan program pengenalan budaya.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/506079/original/file-20230124-22-fdpszf.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/506079/original/file-20230124-22-fdpszf.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/506079/original/file-20230124-22-fdpszf.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=367&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/506079/original/file-20230124-22-fdpszf.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=367&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/506079/original/file-20230124-22-fdpszf.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=367&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/506079/original/file-20230124-22-fdpszf.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=461&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/506079/original/file-20230124-22-fdpszf.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=461&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/506079/original/file-20230124-22-fdpszf.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=461&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Komunitas diaspora Indonesia perlu lebih proaktif mempromosikan budaya Indonesia di Australia, seperti melalui Kegiatan IndoFest 2021 yang diprakarsai diaspora Indonesia di Adelaide, Australia Selatan.</span>
<span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Hal besar lain yang dapat dilakukan adalah kolaborasi bantara Indonesia dan Australia di bidang produksi seni seperti fiksi, TV, dan film sehingga memperkenalkan lebih dekat karakter serta pandangan budaya Indonesia ke anak-anak muda di Australia. Harapannya, ini bisa menangkal stereotip yang tidak tepat terhadap budaya dan masyarakat Indonesia dan membantu meningkatkan minat mereka untuk belajar bahasa Indonesia.</p>
<p>Indonesia seharusnya merasa bangga negara lain seperti Australia memberikan perhatian besar terhadap pendidikan bahasa Indonesia di negara mereka – dan malu bahwa mereka belum menunjukkan kepedulian sebesar itu.</p>
<p>Jangan sampai Indonesia kalang kabut jika nanti bahasanya diklaim oleh negara lain yang lebih peduli terhadap keberlangsungan pendidikan bahasa Indonesia di negara mereka.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/maraknya-penutupan-program-bahasa-indonesia-di-berbagai-kampus-australia-akan-lemahkan-hubungan-kedua-negara-159440">Maraknya penutupan program bahasa Indonesia di berbagai kampus Australia akan lemahkan hubungan kedua negara</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<img src="https://counter.theconversation.com/content/197108/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Billy Nathan Setiawan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Minat belajar bahasa Indonesia di Australia terus menurun setiap tahunnya. Menariknya, keprihatinan tersebut lebih banyak muncul dari pihak-pihak di Australia dan bukan oleh Indonesia.Billy Nathan Setiawan, PhD Candidate in Applied Linguistics, University of South AustraliaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1810642022-04-14T17:10:37Z2022-04-14T17:10:37ZDebat kusir ‘bahasa resmi kedua’ ASEAN: tidak relevan dan mengancam ribuan bahasa daerah lain di Asia Tenggara<p>Baru-baru ini, Perdana Menteri (PM) Malaysia Ismail Sabri mengusulkan bahasa Melayu sebagai <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/04/04/21082651/nadiem-tolak-usulan-pm-malaysia-untuk-jadikan-melayu-bahasa-resmi-asean">bahasa perantara antara Indonesia dan Malaysia</a>, dan juga <a href="https://www.thejakartapost.com/opinion/2022/04/05/malay-for-asean.html">‘bahasa resmi kedua’ ASEAN</a> (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) setelah bahasa Inggris.</p>
<p>Pada konferensi pers pertemuan bilateral Indonesia-Malaysia awal bulan ini, ia <a href="https://www.channelnewsasia.com/asia/indonesia-reject-malaysia-proposal-second-asean-language-2608796">mengklaim bahwa usulan ini sudah disetujui</a> oleh Presiden Indonesia, Joko “Jokowi” Widodo, yang direspons dengan anggukan kepala dan senyum oleh Jokowi.</p>
<p>Namun, ide ini tidak mendapat respons yang cukup baik dari masyarakat Indonesia.</p>
<p>Menteri Pendidikan (Mendikbudristek) Nadim Makarim secara terang-terangan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/04/04/21082651/nadiem-tolak-usulan-pm-malaysia-untuk-jadikan-melayu-bahasa-resmi-asean">menolak usulan tersebut</a>. Ia berpendapat bahwa bahasa Indonesia mempunyai keuntungan historis, hukum, dan linguistik dan lebih dikenal di dunia internasional. Sehingga, lebih masuk akal kalau bahasa Indonesia yang dijadikan sebagai ‘bahasa resmi kedua’ di ASEAN.</p>
<p>Sebelum memperdebatkan bahasa mana yang layak dijadikan sebagai ‘bahasa resmi kedua’ di ASEAN, ada beberapa hal yang perlu diluruskan terlebih dulu mengenai status ‘bahasa resmi’ di ASEAN dan isu kebahasaan yang lebih mendesak.</p>
<h2>Tidak ada ‘bahasa resmi pertama’ ASEAN</h2>
<p>Selama beberapa dekade setelah ASEAN dibentuk pada 1967, <a href="https://eresources.nlb.gov.sg/printheritage/detail/d59efd31-139b-4afe-a426-cb3258e84955.aspx">bahasa Inggris secara de facto menjadi lingua franca</a> (bahasa perantara) ASEAN.</p>
<p>Pada masa tersebut, tidak ada dokumen resmi yang menyatakan bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa resmi ASEAN. Baru pada penandatanganan Piagam ASEAN (<em>ASEAN Charter</em>) pada 2009, bahasa Inggris <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01434632.2012.661433">secara resmi dinyatakan sebagai ‘bahasa kerja’</a> ASEAN.</p>
<p>Namun, topik mengenai kebahasaan tidak banyak dibahas di dokumen resmi ASEAN. Di piagam ASEAN tersebut (yang berfungsi sebagai perjanjian yang mengikat secara hukum antara sepuluh negara anggota), hanya ada satu pasal berisi kalimat pendek, yaitu Pasal 34 yang menyatakan bahwa ‘Bahasa kerja ASEAN adalah bahasa Inggris’.</p>
<p>Di Pasal 34 Piagam ASEAN tersebut, jelas status bahasa Inggris adalah ‘bahasa kerja’ (<em>working language</em>), bukan ‘bahasa resmi’ (<em>official language</em>). Jadi, bahasa Inggris tidak pernah menjadi ‘bahasa resmi pertama’ ASEAN. Sehingga, proposal Perdana Menteri Malaysia untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai ‘bahasa resmi kedua’ ASEAN sebenarnya tidak relevan.</p>
<p>Ada perbedaan antara ‘bahasa resmi’ dan ‘bahasa kerja’.</p>
<p><a href="https://ask.un.org/faq/14463#:%7E:text=Official%20languages%20are%20the%20languages,working%20languages%20of%20the%20Secretariat">Perserikatan Bangsa-bangsa</a> (PBB), misalnya, mengartikan bahasa resmi sebagai bahasa yang digunakan untuk semua dokumen resmi PBB. Sedangkan bahasa kerja digunakan untuk komunikasi internal di antara staf.</p>
<p>Jika kita mengunjungi situs web resmi ASEAN, di sana terdapat <a href="https://asean.org/about-asean/asean-charter/translations-of-the-asean-charter/">dokumen terjemahan Piagam ASEAN</a> dalam semua bahasa-bahasa nasional negara anggota ASEAN. Jadi, bisa dibilang, bahasa-bahasa tersebut merupakan ‘bahasa resmi’ ASEAN.</p>
<p>Tapi, yang perlu juga menjadi perhatian adalah bahwa Pasal 34 tentang ‘bahasa kerja’ ini pun sangat sederhana dan belum ada kebijakan yang melindungi keanekaragaman bahasa di Asia Tenggara.</p>
<p>Meski <a href="https://asean.org/about-asean/asean-charter/translations-of-the-asean-charter/">Pasal 2(l) Piagam ASEAN</a> mengingatkan anggota-anggota ASEAN untuk ‘menghormati perbedaan budaya, bahasa, dan agama yang dianut oleh rakyat ASEAN’, profesor bidang kebahasaan dari Griffith University di Australia, Andy Kirkpatrick <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01434632.2012.661433">mengatakan</a> tidak ada kebijakan yang konkrit mengenai bagaimana merealisasikan penghormatan terhadap keanekaragaman bahasa di ASEAN, termasuk bahasa nasional dan bahasa lokal dan daerah.</p>
<p>Selain membuka ruang munculnya perdebatan kosong mengenai jago-jagoan sebagai ‘bahasa kedua’ ASEAN, hal ini justru bisa mengancam keberlangsungan lebih dari 1.000 bahasa di negara-negara anggota ASEAN.</p>
<h2>Isu kebahasaan yang lebih mendesak</h2>
<p>Bahasa Indonesia mempunyai keunggulan jika hendak dijadikan bahasa perantara di ASEAN. Bahasa Indonesia digunakan <a href="https://asian.washington.edu/fields/indonesian">lebih dari 200 juta orang</a>. Ada juga dialek-dialek di kawasan Asia Tenggara yang berhubungan erat dengan bahasa Indonesia, seperti di Malaysia, Singapura, Brunei Darusalam, dan Thailand selatan.</p>
<p><a href="https://www.channelnewsasia.com/asia/indonesia-reject-malaysia-proposal-second-asean-language-2608796">Senada dengan Menteri Nadiem</a>, bahasa Indonesia juga dipelajari di banyak universitas terkemuka di seluruh dunia.</p>
<p>Namun, di luar perdebatan mengenai bahasa mana yang layak menjadi ‘bahasa resmi kedua’ ASEAN, sebenarnya ada isu kebahasaan lain yang lebih mendesak.</p>
<p>Seperti ungkapan Kirkpatrick, di ASEAN tidak hanya ada bahasa Inggris atau bahasa Indonesia atau bahasa Melayu saja. Terdapat <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01434632.2012.661433">lebih dari 1.000 bahasa asli</a> (<em>indigenous languages</em>), dan lebih dari 700 di antaranya ada di Indonesia. Penetapan ‘bahasa resmi’ bisa berdampak pada promosi suatu bahasa, namun mengorbankan bahasa lain di ASEAN.</p>
<p>Contohnya, selama ini negara-negara ASEAN mempromosikan bahasa Inggris karena digunakan sebagai bahasa kerja di ASEAN. Akhirnya, sekolah-sekolah menerapkan pendidikan bilingual dalam bahasa Inggris dan bahasa nasional, dan sering <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01434632.2012.661433">mengorbankan bahasa lokal</a>.</p>
<p>Ketika petinggi-petinggi negara ASEAN tidak secara sistematis mempromosikan penggunaan bahasa asli, pengguna bahasa lokal dapat kehilangan media untuk mengekspresikan identitas, pengetahuan, dan budaya mereka.</p>
<p>Motto ASEAN adalah “Satu Visi, Satu Identitas, Satu Komunitas”. Namun, <a href="https://www.aseantoday.com/2020/05/a-call-for-a-more-robust-language-policy-in-asean/">minimnya kebijakan konkrit</a> yang melindungi keanekaragaman bahasa dan budaya di ASEAN, dan ditambah dengan perdebatan dan proposal untuk menjadikan bahasa tertentu sebagai ‘bahasa resmi’ menimbulkan pertanyaan:</p>
<p>Identitas seperti apa yang diinginkan ASEAN? Suatu komunitas yang merangkul keanekaragaman bahasa dan budaya yang kaya, atau komunitas yang justru perlahan bergerak menuju homogenitas?</p>
<h2>Kebijakan bahasa Uni Eropa bisa menjadi pelajaran</h2>
<p>Menurut saya, ASEAN bisa belajar dari <a href="https://www.europarl.europa.eu/factsheets/en/sheet/142/language-policy">kebijakan bahasa di Uni Eropa</a> (UE).</p>
<p>Uni Eropa menjadikan bahasa nasional negara-negara anggotanya sebagai bahasa resmi lembaga. Tidak ada bahasa resmi ‘pertama’, ‘kedua’, atau seterusnya karena hal ini bisa menimbulkan ketidaksetaraan status.</p>
<p>Menurut Piagam Hak Fundamental UE, warga negara UE memiliki hak untuk menggunakan salah satu dari 24 bahasa resmi saat menghubungi lembaga UE, dan lembaga UE wajib menjawab dalam bahasa yang sama. Uni Eropa mengakui bahasa sebagai bagian mendasar dari identitas Eropa dan ekspresi budaya masyarakat.</p>
<p>UE memiliki sekitar 60 bahasa asli dan secara proaktif mengakui keanekaragaman tersebut sebagai bagian integral dari identitasnya. ASEAN, dengan lebih dari 1000 bahasa, akan mendapat manfaat yang signifikan dari kebijakan bahasa yang konkrit untuk mempromosikan dan melindungi bahasa-bahasa tersebut.</p>
<p>Perdebatan mengenai bahasa mana yang layak dijadikan ‘bahasa resmi kedua’ ASEAN sebaiknya tidak membuat kita lupa bahwa ASEAN, bahkan negara kita sendiri Indonesia, mempunyai keanekaragaman bahasa dan budaya yang kaya.</p>
<p>Keanekaragaman inilah yang membentuk dan menjadikan ASEAN seperti sekarang. Mengabaikan keanekaragaman bahasa hanya demi kepraktisan dan ego petinggi-petinggi suatu negara hanya akan <a href="https://www.aseantoday.com/2020/05/a-call-for-a-more-robust-language-policy-in-asean/">melemahkan identitas</a> kita.</p>
<p>Memperkuat identitas keanekaragaman ini, di sisi lain, akan membantu kita menonjol di dunia global, ketimbang hanya menjadi pengikut dan konsumen produk globalisasi dan kebudayaan asing saja.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/181064/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Billy Nathan Setiawan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Perdebatan mengenai bahasa mana yang layak jadi ‘bahasa resmi kedua’ ASEAN sebaiknya tidak membuat kita lupa bahwa Asia Tenggara mempunyai keanekaragaman bahasa dan budaya yang kaya.Billy Nathan Setiawan, PhD Candidate in Applied Linguistics, University of South AustraliaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1737712022-01-07T07:20:39Z2022-01-07T07:20:39ZMengapa kita tidak perlu minder berbicara bahasa Inggris dengan logat “medok”<p><em>“I’m sorry my English is not good.”</em> (“Maaf, bahasa Inggris saya tidak bagus”).</p>
<p><em>“Sorry if my pronunciation is not clear.”</em> (“Maaf jika pelafalan saya kurang jelas”).</p>
<p>Seberapa banyak dari kita pernah berkata seperti itu dan merasa minder saat berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan orang asing menggunakan aksen Indonesia atau logat daerah?</p>
<p>Anda tidak sendiri.</p>
<p>Dalam <a href="https://www.youtube.com/watch?v=kbb7CqD0StU">pidato kemenangannya</a> di sebuah turnamen bulan Juni 2021, pemain tenis Perancis, Ugo Humbert berkata dalam bahasa Inggris dengan aksen Perancis yang kental, <em>“I think I play (tennis) better than I speak English.”</em> (Saya merasa bermain tenis lebih baik ketimbang berbahasa Inggris).</p>
<p>Tidak jarang juga di kesempatan lain, misal di konferensi atau pertemuan internasional, kita meminta maaf untuk <em>‘broken/bad English’</em> (bahasa Inggris patah-patah) yang menurut kita tidak sesuai aksen ‘<em>native speaker</em>’ (penutur asli).</p>
<p>Walau terdengar sopan, ada beberapa alasan mengapa kita harus berhenti meminta maaf atau merasa minder ketika berbicara bahasa Inggris dengan aksen kita sendiri.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-paradigma-native-speaker-tidak-lagi-relevan-untuk-pendidikan-bahasa-inggris-di-indonesia-171229">Mengapa paradigma "_native speaker_" tidak lagi relevan untuk pendidikan bahasa Inggris di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Ada banyak variasi bahasa Inggris di dunia</h2>
<p>Banyak dari kita yang terlalu fokus pada aksen <em>native speaker</em> seperti aksen Amerika Utara, Inggris, atau Australia.</p>
<p>Faktanya, bahasa Inggris tidak lagi digunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang dari negara tersebut saja. Globalisasi memicu penyebaran bahasa Inggris ke negara-negara yang secara tradisional tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama mereka.</p>
<p>Ahli bahasa dari Inggris, David Crystal memperkirakan ada sekitar <a href="https://www.britishcouncil.org/voices-magazine/whats-future-english">60-70 variasi baru bahasa Inggris di penjuru dunia</a> sejak tahun 1960-an. Hal ini dipicu oleh semakin gencarnya kontak dan pencampuradukan antara bahasa Inggris dan muatan bahasa lokal.</p>
<p>Beberapa contoh variasi <em>World Englishes</em> (bahasa Inggris dunia) ini antara lain <a href="https://www.bbc.com/news/magazine-33809914">Singlish</a> (bahasa Inggris ala Singapura), <a href="https://www.panoramas.pitt.edu/opinion-and-interviews/spanglish-validity-spanglish-language">Spanglish</a> (percampuran bahasa Inggris dan Spanyol), <a href="https://www.bera.ac.uk/blog/chinglish-versus-china-english-a-need-to-determine-correct-english-among-our-chinese-students">Chinglish</a> (bahasa Inggris dan Mandarin atau Kanton), dan <a href="https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ720543.pdf">Taglish</a> (bahasa Inggris dan Tagalog di Filipina).</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/439632/original/file-20220106-19-51x9mm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/439632/original/file-20220106-19-51x9mm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/439632/original/file-20220106-19-51x9mm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/439632/original/file-20220106-19-51x9mm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/439632/original/file-20220106-19-51x9mm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/439632/original/file-20220106-19-51x9mm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/439632/original/file-20220106-19-51x9mm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/439632/original/file-20220106-19-51x9mm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Beberapa variasi bahasa Inggris di dunia.</span>
<span class="attribution"><span class="source">The Times Educational Suplement (TES)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Crystal juga memperkirakan bahwa jumlah penutur asli bahasa Inggris <a href="https://www.britishcouncil.org/voices-magazine/whats-future-english">(sekitar 400 juta)</a> berada jauh di bawah jumlah orang yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua <a href="https://www.britishcouncil.org/voices-magazine/whats-future-english">(sekitar 800 juta)</a> atau sebagai bahasa asing <a href="https://www.britishcouncil.org/voices-magazine/whats-future-english">(lebih dari 1 miliar)</a>. Artinya, aksen berbicara ala <em>native speaker</em> tidak lagi relevan untuk dijadikan acuan tunggal.</p>
<p>Bahkan, tidak tertutup kemungkinan bahwa di masa depan, kita pun akan punya variasi “Indoglish” (pencampuran bahasa Inggris dan Indonesia) atau bahkan aksen “Javlish” (bahasa Inggris dengan aksen Jawa).</p>
<p>Dari pengalaman pribadi saya ketika mewawancarai responden untuk tesis S3 (belum dipublikasi), misalnya, narasumber cenderung menggunakan kata-kata fatis (<em>phatic expression</em>) seperti ‘nah’, ‘dong’, ‘ya’, dan ‘sih’ di kalimat bahasa Inggris mereka.</p>
<p>Ini dapat berbunyi, “Nah, <em>that means</em> …” atau “<em>It was very interesting</em> ya.”</p>
<h2>Penjajahan bahasa dan ekspresi identitas</h2>
<p>Dengan merasa minder ketika berbicara bahasa Inggris dengan aksen kita sendiri, secara tidak langsung kita mendukung praktik ‘<em>linguistic imperialism</em>’ (penjajahan bahasa).</p>
<p>Profesor ilmu bahasa, Robert Phillipson mengartikan <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s10993-017-9446-2"><em>linguistic imperialism</em></a> sebagai eksploitasi ideologi, budaya, dan kekuatan elit bahasa Inggris untuk keuntungan politik dan ekonomi negara-negara penutur asli bahasa Inggris.</p>
<p>Dalam praktik <em>linguistic imperialism</em> ini, variasi tertentu yang umumnya dari Amerika Utara, Inggris, dan negara <em>native speaker</em> lainnya dijadikan standar berbahasa.</p>
<p>Hal ini memicu ketimpangan di mana berbagai variasi bahasa Inggris lain di luar negara <em>native speaker</em> dianggap <a href="https://adrianholliday.com/wp-content/uploads/2014/01/nism-encyc16plain-submitted.pdf">inferior, pasif, dan mudah didominasi</a>.</p>
<p>Hal ini semakin penting untuk diperhatikan mengingat bahasa yang kita gunakan juga merupakan ekspresi identitas kita sendiri.</p>
<p><a href="https://www.jstor.org/stable/3587831?sid=primo&origin=crossref&seq=1#metadata_info_tab_contents">Bonny Norton</a>, seorang peneliti bahasa dan identitas, menyatakan bahwa tiap kali kita berbicara, kita tidak hanya bertukar informasi dengan lawan bicara, tapi juga secara terus-menerus mengatur dan mengekspresikan <em>a sense of who we are</em> (bayangan tentang siapa diri kita sebenarnya).</p>
<p>Identitas kita ini sangat berhubungan dengan <a href="https://academiccommons.columbia.edu/doi/10.7916/D82Z1GBZ">bagaimana kita</a> untuk diakui atau dihubungkan dengan keanggotaan komunitas tertentu.</p>
<p>Bahkan, peneliti bahasa Porter dan Gavin menyatakan bahwa sekadar pelafalan (<em>pronunciation</em>) seseorang saja dapat melambangkan <a href="https://books.google.com.au/books/about/Pronunciation.html?id=rDp7SlTbwHEC&redir_esc=y">ekspresi citra diri</a> mereka.</p>
<p>Ini berarti bahwa saat kita berbicara bahasa Inggris, kita harus mulai bertanya pada diri kita sendiri terkait identitas, citra diri, dan afiliasi seperti apa yang ingin kita tampilkan.</p>
<p>Apakah sebagai pribadi yang tunduk kepada penjajahan bahasa (<em>linguistic imperialsm</em>) atau sebagai komunikator yang bangga akan identitas dan hubungan dengan Indonesia?</p>
<h2>Bahasa Inggris adalah <em>lingua franca</em></h2>
<p>Tidak bisa dipungkiri bahwa bahasa Inggris merupakan keahlian kunci yang dibutuhkan untuk mampu bersaing di dunia global saat ini.</p>
<p>Namun, faktanya masih ada banyak orang yang merasa minder dan meminta maaf ketika berbahasa Inggris menggunakan aksen Indonesia atau logat daerah.</p>
<p>Berdasarkan refleksi di atas, kita tidak sepatutnya lagi merasa minder ketika berkomunikasi memakai bahasa Inggris dengan aksen atau variasi logat kita sendiri. Berbagai ragam bahasa Inggris lain sudah umum digunakan, sehingga kita pun tidak perlu merasa minder menggunakan ‘Indoglish’ atau variasi bahasa Inggris dengan cita rasa lokal lainnya di Indonesia.</p>
<p>Mengutip <a href="https://books.google.com.au/books/about/Pronunciation.html?id=rDp7SlTbwHEC&redir_esc=y">Porter dan Garvin</a>, guru bahasa Inggris pun sejatinya tidak perlu berupaya mengubah aksen murid mengikuti standar <em>native speaker</em> – hal ini bisa merusak identitas dan jati diri mereka. Di luar kelas, bahasa Inggris tidak lagi digunakan untuk berkomunikasi dengan <em>native speaker</em> semata, tetapi sebagai <em><a href="https://www.researchgate.net/publication/227663650_English_as_a_Lingua_Franca_interpretations_and_attitudes">lingua franca</a></em> (bahasa penghubung) dengan masyarakat dunia lainnya yang bukan <em>native speaker</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/173771/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Billy Nathan Setiawan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Walau terdengar sopan, ada beberapa alasan mengapa kita harus berhenti meminta maaf atau merasa minder ketika berbicara bahasa Inggris dengan aksen kita sendiri.Billy Nathan Setiawan, PhD Candidate in Applied Linguistics, University of South AustraliaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1548582021-02-17T02:38:46Z2021-02-17T02:38:46ZDefinisi ‘perempuan’: patriarki dan misogini dalam bahasa Indonesia<p><a href="https://www.instagram.com/p/CKlF0GXMzcm/">Kegaduhan yang terjadi di media sosial </a> tentang makna lema perempuan, mengingatkan saya pada penggalan sajak <a href="https://www-beta.kompas.id/baca/utama/2019/07/01/kamus-kecil-oleh-joko-pinurbo/">“Kamus Kecil”</a> Joko Pinurbo.</p>
<blockquote>
<p>“Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu
Walau kadang rumit dan membingungkan”. </p>
</blockquote>
<p>Demikian bunyi sajak itu.</p>
<p>Jika dipikir-pikir, bahasa Indonesia memang kadang, bahkan kerap, lucu dan membingungkan alias ambivalen.</p>
<p>Dalam lema-lema yang berkaitan dengan gender, bahasa Indonesia kental dengan patriarki dan misogini.</p>
<h2>Makna negatif</h2>
<p>Kalau kita memeriksa perca-perca bahasa yang terkait dengan perempuan, sifat ambivalen itu segera nampak jelas.</p>
<p>Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna kata “perempuan” bertransformasi secara baik. Makna yang diperikan KBBI I sampai V mengalami perubahan signifikan. </p>
<p>Pada KBBI I (1988) perempuan diartikan sebagai <em>1. wanita 2. Istri; bini</em>. </p>
<p>Perubahan mulai terjadi pada KBBI II sampai V yang diterbitkan tahun 2016; perempuan diartikan sebagai <em>1. orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui, wanita 2. Istri; bini 3. Betina (khusus pada hewan).</em></p>
<p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.instagram.com/p/CKlF0GXMzcm","accessToken":"127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20"}"></div></p>
<p>Bentuk kata perempuan sering dihubungkan dengan kata <em>pu</em> atau <em>empu</em> yang memiliki arti tempat kehormatan atau orang yang sangat dihormati. </p>
<p>Slamet Muljana, ahli filologi (ilmu yang mempelajari bahasa dalam sumber-sumber sejarah tertulis) dan sejarawan, dalam bukunya <a href="https://books.google.co.id/books?id=9AtgDwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=Asal+Bangsa++dan+Bahasa+Nusantara&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=tempat%20kehormatan&f=false">Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara</a> menilai bahwa lema perempuan ini termasuk unik. </p>
<p>“Yang agak aneh dalam cara berpikir ini adalah apa sebab perempuan ‘tempat kehormatan’ itu semata-mata diperuntukkan bagi wanita, sedangkan hormat dan bakti setinggi-tingginya menurut adat ketimuran justru datang dari kaum wanita, terhadap suami. Wanita menunjukkan hormat dan bakti kepada suami; ini adalah ajaran yang biasa dalam kehidupan rumah tangga dalam mendidik putra-putrinya,” begitu ia menjelaskan.</p>
<p>Lepas dari keanehan tersebut, yang menarik untuk diperhatikan adalah bagaimana KBBI menampilkan kata gabungan untuk perempuan. </p>
<p>KBBI I-V selalu mencantumkan kata gabungan yang bersifat negatif dan peyoratif untuk perempuan. </p>
<p>Tidak berhenti sampai di situ, kata gabungan negatif yang disematkan jumlahnya kian banyak dalam setiap versi baru.</p>
<p>Jika pada KBBI I terdapat tujuh kata gabungan di bawah kata perempuan yang terdiri dari <em>–geladak (pelacur), -jahat (perempuan yang buruk kelakuannya), -jalang (pelacur), -jangak (perempuan cabul), -lecah (pelacur), -nakal (perempuan tuna susila),</em> maka pada KBBI II (1991) edisi selanjutnya terdapat tambahan <em>-lacur (pelacur),</em> dan <em>–simpanan</em> (istri gelap) di KBBI III-V (2001-2016).</p>
<p>Ini bertolak belakang jika kita membandingkan dengan kata gabungan yang menyertai lema “laki-laki”. </p>
<p>KBBI mencatat hanya ada satu kata gabungan <em>–jemputan</em>. Ajaibnya, arti yang disematkan untuk kata gabungan tersebut adalah <em>laki-laki yang dipilih dan diambil menjadi menantu</em>. </p>
<p>Tidak kata gabungan yang bersifat negatif sama sekali. </p>
<p>Satu-satunya kata gabungan, yakni “laki-laki jemputan” yang sekilas terlihat punya makna negatif, ternyata diartikan oleh pekamus dengan arti yang positif.</p>
<p>Lebih lanjut, jika kita periksa pada Kamus Umum Bahasa Indonesia (1953) besutan W.J.S Poerwadarminta, lema-lema yang berhubungan dengan perempuan, juga diartikan dengan nuansa peyoratif dan nagatif. </p>
<p>Sebut saja misalnya lema “perawan” yang diartikan dengan: gadis, anak dara, gadis yang sudah tua. </p>
<p>Meski bukan merupakan makna utama, namun frasa “gadis yang sudah tua” merupakan pemerian makna yang bercorak negatif. </p>
<p>Bandingkan dengan bagaimana penulis kamus ini mengartikan lema “jejaka”. Di sana, lema itu diartikan sebagai <em>anak laki-laki yang telah dewasa.</em></p>
<p>Sepanggang seperloyangan dengan itu, lema “dara” diartikan dengan <em>anak perempuan yang belum kawin; gadis; perawan</em>. Sementara lema “bujang” diartikan dengan <em>anak laki-laki dewasa; jaka</em>. </p>
<p>Selalu ada makna atau setidaknya citra negatif yang disematkan dalam sifat-sifat yang terkait dengan perempuan. </p>
<p>Pertanyaan yang mustahak diajukan, mengapa kata “bujang” diartikan sebagai penanda kedewasaan yang merujuk pada sikap dan sifat, sementara kata “dara” diartikan dengan makna belum kawin yang merujuk bukan pada sifat tapi pada status? </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/ada-seksisme-dalam-bahasa-indonesia-bagaimana-kita-harus-menanganinya-133625">Ada seksisme dalam bahasa Indonesia, bagaimana kita harus menanganinya?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Misoginis</h2>
<p>Mengacu pada <a href="https://anthrosource.onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1525/aa.1984.86.1.02a00050">Hipotesis Sapir dan Worf </a> bahwa bahasa memiliki kelindan yang kuat dengan budaya, naga-naganya kita sampai pada kesimpulan bahwa cara pandang kita terhadap perempuan memang masih menggunakan perspektif patriarki, bahkan misoginis. </p>
<p>Studi kecil saya tentang adanya <a href="https://kompas.id/baca/humaniora/dikbud/2018/05/12/adjektiva-seksis/">adjektiva seksis</a> – seperti pemberian contoh terhadap beberapa kata yang diidentikkan dengan gender tertentu – juga memperpanjang daftar lema misoginis tersebut.</p>
<p>Misalnya kata cerewet yang diartikan oleh KBBI dengan <em>“suka mencela (mengomel, mengata-ngatai, dsb); banyak mulut; nyinyir; bawel”</em> dengan contoh pemakaian “pembantu rumah tangga biasanya tidak suka bekerja pada nyonya rumah yang–”. </p>
<p>Lema “ceriwis” diartikan dengan suka <em>“bercakap-cakap; banyak omong”</em> dengan contoh pemakaian _sudah umum setiap gadis itu– _. </p>
<p>Contoh lain yang memperpanjang adjetiva seksis ini ada pada lema “nyinyir”. KBBI mengartikannya sebagai <em>“mengulang-ulang perintah atau permintaan; nyenyeh; cerewet”</em> dengan contoh pemakaian _nenekku kadang-kadang–, bosan aku mendengarkannya. _</p>
<p>Argumen Badan Bahasa yang menyatakan bahwa KBBI merupakan kamus hidup (<em>living dictionary</em>) berisi <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210203104314-20-601674/badan-bahasa-respons-kritik-arti-kata-perempuan-dalam-kbbi">rekaman sejarah fakta kebahasaan yang pernah hidup di masyarakat </a> sehingga tidak bisa dengan mudah diubah, tidak sepenuhnya bisa kita terima. </p>
<p>Jika memang yang mesti diubah adalah <a href="http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/3423/tanggapan-atas-kritik-terhadap-entri-perempuan-di-kbbi">stigma dan konotasi pada masyarakat</a>, maka pertanyaannya: apa dan di mana peran kamus? </p>
<p>Bukankah ia juga diharapkan menjadi penyumbang dalam konsep-konsep yang berkembang di masyarakat? </p>
<p>Alih-alih berkilah dengan argumen yang canggih, pekamus punya kesempatan yang baik untuk berkontribusi memberi warna positif demi mengubah stigma yang ada di masyarakat.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/154858/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fariz Alnizar tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dalam lema-lema yang berkaitan dengan gender, bahasa Indonesia kental dengan patriarki dan misogini.Fariz Alnizar, Assistance professor at Nahdlatul Ulama University of Indonesia and Ph.D Candidate in Linguistic at Faculty of Cultural Science (FIB) Gadjah Mada University. His research interests include language, power, and religious issues, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1485312020-11-20T01:01:39Z2020-11-20T01:01:39ZRiset: penggunaan bahasa daerah di kelas terbukti berpotensi tingkatkan kemampuan siswa di daerah<p>Sejak deklarasi <a href="http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/627/Sekilas%20Tentang%20Sejarah%20Bahasa%20Indonesia">Sumpah Pemuda</a> tahun 1928, berbagai lapisan masyarakat menganggap bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang harus digunakan di berbagai aspek kehidupan, termasuk di sektor pendidikan. </p>
<p>Di dunia pendidikan, penggunaan bahasa Indonesia tidak hanya di buku teks. </p>
<p><a href="https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/175936/Perpres_Nomor_63_Tahun_2019.pdf">Peraturan Presiden No. 63/2019</a> menegaskan bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. Meski demikian, seperti yang tertulis pada Pasal 23 Ayat 2, penggunaan bahasa daerah dibolehkan sebagai bahasa pengantar, terutama di level sekolah dasar (SD) untuk memudahkan proses pembelajaran.</p>
<p>Namun, riset yang dilakukan oleh <a href="https://resourcecentre.savethechildren.net/node/1674/pdf/1674.pdf">Save the Children</a> menunjukkan bahwa hanya sekitar 10% total populasi Indonesia yang mendapatkan pendidikannya dalam bahasa pertama mereka. </p>
<p>Masih banyak guru di kelas tingkat awal (kelas 1-3) hanya menggunakan bahasa Indonesia saat mengajar. Praktik tersebut menyulitkan bagi anak-anak yang belum lancar berbahasa Indonesia ketika mereka masuk sekolah.</p>
<p><a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/mother-tongue-language-education-improving-education-quality-while-preserving-culture/">Studi awal kami</a> juga menunjukkan bahwa anak-anak yang belum lancar berbahasa Indonesia memiliki kemampuan literasi dan numerasi yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang sudah terbiasa dengan bahasa Indonesia. Hal ini terjadi karena mereka tidak sepenuhnya mengerti materi pelajaran yang disampaikan dalam bahasa Indonesia. </p>
<p>Melalui pelaksanaan program uji coba transisi bahasa di pendidikan dasar di Indonesia bagian timur sejak 2018, kami membuktikan pentingnya penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di kelas dalam meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran. </p>
<h2>Hasil riset</h2>
<p>Sejak dua tahun lalu, <a href="https://www.inovasi.or.id/id/">INOVASI</a>, program kerja sama pendidikan antara pemerintah Australia dan Indonesia, memfasilitasi guru untuk belajar menggunakan <a href="https://devpolicy.org/language-matters-language-and-learning-in-bima-indonesia-20180328/">bahasa daerah sebagai bahasa pengantar</a> secara lebih efektif di dalam kelas.</p>
<p>Kami melakukan program Pendidikan Multibahasa Berbasis Bahasa Ibu (PMBBI). Program ini melibatkan sekitar 40 sekolah di dua provinsi Indonesia bagian timur. Kami memilih daerah tersebut karena masih banyak siswa yang belum lancar berbahasa Indonesia.</p>
<p>Implementasi program bervariasi, namun ada beberapa pendekatan yang umum digunakan. </p>
<p>Pertama, guru menjelaskan berbagai konsep pelajaran kepada siswa dengan bahasa daerah secara bertahap. Ketika siswa sudah cukup kuat dalam memahami konsep tersebut, guru melakukan transisi menggunakan bahasa Indonesia. Pendekatan ini dinamakan jembatan bahasa.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/369777/original/file-20201117-17-nfv850.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/369777/original/file-20201117-17-nfv850.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=322&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/369777/original/file-20201117-17-nfv850.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=322&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/369777/original/file-20201117-17-nfv850.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=322&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/369777/original/file-20201117-17-nfv850.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=404&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/369777/original/file-20201117-17-nfv850.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=404&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/369777/original/file-20201117-17-nfv850.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=404&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Konsep Jembatan Bahasa.</span>
<span class="attribution"><span class="source">INOVASI</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kedua, guru mengembangkan dan memperkenalkan media pembelajaran yang dilengkapi dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Ketiga, guru melaksanakan metode mengajar partisipatif yang sesuai dengan kemampuan bahasa dan belajar masing-masing siswa.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/368198/original/file-20201109-23-fcn1wu.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/368198/original/file-20201109-23-fcn1wu.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=353&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/368198/original/file-20201109-23-fcn1wu.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=353&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/368198/original/file-20201109-23-fcn1wu.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=353&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/368198/original/file-20201109-23-fcn1wu.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=444&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/368198/original/file-20201109-23-fcn1wu.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=444&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/368198/original/file-20201109-23-fcn1wu.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=444&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Contoh Media Dua Bahasa.</span>
<span class="attribution"><span class="source">INOVASI</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://youtu.be/5pZ6iORNxe0">Survei akhir</a> yang kami lakukan pada 2019 di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, menunjukkan bahwa <a href="https://www.youtube.com/playlist?list=PLokgcGxsHAERM8mFlxczZlRaXsdy_3RsH">pendekatan PMBBI yang diimplementasikan sejak awal 2018</a> mengindikasikan peningkatan kemampuan literasi siswa secara umum. Tingkat kelulusan tes literasi dasar (mengenal huruf, suku kata, dan kata) siswa dengan bahasa daerah meningkat dari 27% menjadi 79%.</p>
<p>Selanjutnya, <a href="https://youtu.be/5pZ6iORNxe0">evaluasi yang kami lakukan di Bima</a>, Nusa Tenggara Barat, menunjukkan bahwa PMBBI berpotensi mengurangi <a href="http://irgsc.org/index.php/2020/04/27/prosiding-konferensi-tahunan-tentang-keadilan-sosial-2019/">kesenjangan hasil belajar</a> antara siswa yang lancar berbahasa Indonesia dan yang tidak.</p>
<p>Daerah tempat program PMBBI berlangsung mengalami penurunan kesenjangan antarsiswa yang lebih signifikan (7%) dibandingkan dengan daerah yang tidak melaksanakan pendekatan PMBBI (1%). </p>
<h2>Mengapa bisa berhasil</h2>
<p>Ada beberapa potensi penjelasan terkait ini. </p>
<p>Pertama, siswa yang diajar menggunakan bahasa ibu <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09500780308666842?journalCode=rlae20&">lebih mudah dan cepat memahami materi pelajaran</a>. Selain itu, kemampuan literasi yang dibangun dengan menggunakan bahasa ibu sebagai jembatan bahasa, membuat siswa <a href="https://research.acer.edu.au/cgi/viewcontent.cgi?referer=https://scholar.google.com/&httpsredir=1&article=1059&context=resdev">lebih mudah untuk belajar bahasa lain.</a></p>
<p>Bagi siswa yang belum fasih dengan bahasa Indonesia, memulai pendidikan dalam bahasa Indonesia tentu sangat menantang. </p>
<p>Praktik ini dapat menyebabkan mereka <a href="http://repositori.kemdikbud.go.id/8566/">kesulitan untuk mengikuti pembelajaran</a>, bahkan memaksa mereka <a href="https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000231508">keluar dari sekolah</a>. Dampak dari praktik ini akan semakin terlihat setelah siswa naik ke jenjang yang lebih tinggi saat bahasa yang digunakan dalam pembelajaran semakin kompleks. </p>
<p>Lebih lanjut, wawancara yang kami lakukan dengan penerima manfaat program yaitu guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah menunjukkan bahwa pembelajaran menjadi lebih mudah dilakukan ketika menggunakan bahasa daerah. Lebih jauh, guru mengaku bahwa siswa menjadi lebih aktif berpartisipasi karena mereka lebih percaya diri untuk bertanya dan menjawab pertanyaan.</p>
<p>Keterlibatan aktor pendidikan lokal, termasuk orang tua dan komite sekolah pada awal program dianggap berkontribusi pada penerimaan komunitas terkait pelaksanaan program. Dengan mempertimbangkan kondisi Indonesia yang sangat beragam, pendekatan dari bawah ke atas dengan melibatkan pemangku kepentingan sekolah dan memperhatikan konteks lokal menjadi sangat penting dalam implementasi program semacam ini.</p>
<h2>Jalan masih panjang</h2>
<p>Meski terbukti berhasil, INOVASI masih terus berusaha untuk memahami kunci efektivitas program PMBBI ini. Studi dari <a href="https://www.journals.uchicago.edu/doi/abs/10.1086/705426">Uganda</a> menunjukkan bahwa efektivitas pendekatan ini bergantung juga pada kompleksitas bahasa daerah.</p>
<p>Kami juga mengidentifikasi adanya beberapa tantangan dalam implementasi program, seperti belum adanya kesadaran dari pemerintah lokal dan sekolah akan pentingnya program bahasa tersebut. </p>
<p>Tantangan lain hadir dalam bentuk keberagaman bahasa siswa di sekolah dan keterbatasan guru terkait pemahaman bahasa setempat khususnya bagi guru pendatang. Ada juga dilema guru dalam mengaplikasikan PMBBI di tengah target pencapaian kriteria kelulusan siswa yang sering disebut sebagai <a href="https://disdikpora.bulelengkab.go.id/artikel/pengertian-kriteria-ketuntasan-minimal-43">Kriteria Ketuntasan Minimal</a> (KKM) yang tinggi.</p>
<p>Guru memegang peranan penting dalam implementasi bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Namun, dukungan institusi dibutuhkan untuk membuat implementasi menjadi lebih efektif.</p>
<p>Sebagai langkah awal, pengembangan pedoman teknis terkait penggunaan bahasa ibu dapat dilakukan oleh pemerintah bersama instansi terkait, termasuk Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) dan Badan Bahasa.</p>
<p>Di tingkat lokal, pemerintah bisa bekerja sama dengan lembaga lokal, termasuk universitas dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk memetakan bahasa dominan yang digunakan siswa. Pemetaan penting dilakukan agar program tepat sasaran dan mempermudah pemerintah membangun kesadaran akan pentingnya PMBBI di sekolah.</p>
<p>Untuk daerah yang banyak siswanya belum lancar berbahasa Indonesia, pembelajaran dengan menggunakan bahasa ibu perlu dilakukan lebih dari sekadar menjadikannya sebagai muatan lokal terutama di kelas rendah. </p>
<p>Pemerintah dapat melengkapi pedoman teknis dengan pelatihan untuk guru dan sumber pembelajaran dalam bahasa daerah. Selain itu, di tingkat sekolah, guru yang ditempatkan di kelas awal perlu memiliki pemahaman bahasa setempat yang mumpuni.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/148531/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>George Adam Sukoco adalah peneliti di INOVASI. INOVASI merupakan program kerja sama pendidikan antara pemerintah Indonesia dan Australia. Program ini dikelola oleh Palladium International.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Anisah Hafiszha Zulfa adalah peneliti di INOVASI. INOVASI merupakan program kerja sama pendidikan antara pemerintah Indonesia dan Australia. Program ini dikelola oleh Palladium International.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Senza Arsendy adalah peneliti di INOVASI. INOVASI merupakan program kerja sama pendidikan antara pemerintah Indonesia dan Australia. Program ini dikelola oleh Palladium International.</span></em></p>Program kami tahun 2018 menunjukkan pentingnya penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di kelas dalam meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran.George Adam Sukoco, Research Officer, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)Anisah H. Zulfa, Junior Researcher, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)Senza Arsendy, Researcher, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1482562020-10-28T05:18:54Z2020-10-28T05:18:54ZRiset ciptakan aplikasi sejenis “Grammarly” khusus untuk wartawan Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/365740/original/file-20201027-14-r40clf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Produksi berita yang harus cepat, harus juga mementingkan kualitas bahasa dalam penulisannya. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://pixabay.com/id/photos/abc-akademik-alfabet-abjad-anak-3523453/">Mahesh Patel/Pixabay </a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/">CC BY-NC</a></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini diterbitkan dalam rangka Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober</em>.</p>
<p>Data terbaru dari <a href="https://www.amsi.or.id/dari-47-ribu-baru-2-700-media-online-terverifikasi-dewan-pers/">Dewan Pers </a> menunjukkan ada lebih dari 47.000 media daring di Indonesia per 2018. Angka ini membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah <a href="https://www.antaranews.com/berita/684461/punya-47000-media-massa-indonesia-terbanyak-di-dunia">media terbanyak di dunia.</a></p>
<p>Namun, banyaknya jumlah media tersebut tidak berbanding lurus dengan <a href="https://nuusdo.com/rapuhnya-mutu-bahasa-indonesia-di-media-kita/">kualitas penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar</a>. Alasan utama adalah tuntutan kecepatan jurnalis dalam menerbitkan berita-berita aktual yang sering kali akhirnya mengabaikan akurasi dalam penggunaan bahasa pada berita-berita yang disajikan.</p>
<p>Wawancara terkini dengan <em>Tribunnews.com</em>, milik <em>Kompas</em>, group media terbesar di Indonesia, menjelaskan adanya tuntutan bagi setiap jurnalis untuk menulis 20 artikel per hari demi mencapai target penerbitan 3.000 artikel setiap hari.</p>
<p>Selain itu, hasil wawancara dengan tim redaksi <em>Tribunnews.com</em> juga menjelaskan bagaimana tuntutan menulis banyak berita dalam waktu yang terbatas membuat sebagian wartawan enggan membuka kamus bahasa Indonesia karena dianggap membuang waktu. Tapi, keengganan inilah yang berdampak pada buruknya kualitas bahasa yang digunakan.</p>
<p>Kualitas bahasa yang buruk di kalangan jurnalis daring inilah yang melatarbelakangi kami untuk melakukan <a href="https://www.youtube.com/watch?v=rWxTf79suYY">riset</a> guna menciptakan sebuah aplikasi penapis kesalahan bahasa yang dapat digunakan secara cepat dan tepat saat jurnalis bekerja. </p>
<p>Kami menyebutnya U-Tapis sebuah aplikasi penapis ejaan otomatis berupa layanan web yang dapat diakses secara langsung oleh berbagai pihak melalui jaringan Internet. </p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/rWxTf79suYY?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Peluncuran ‘U-tapis’</span></figcaption>
</figure>
<p>Aplikasi ini bekerja layaknya <a href="https://www.grammarly.com/">‘Grammarly’</a> tapi khusus untuk mengkaji penulisan jurnalistik menggunakan bahasa Indonesia.</p>
<h2>Status pengembangan aplikasi U-Tapis</h2>
<p>Ada beberapa tahap dalam pengembangan aplikasi ini. </p>
<p>Tahap pertama, kami mengidentifikasi masalah dengan melakukan beberapa wawancara termasuk dengan pengelola redaksi <em>Tribunnews.com</em></p>
<p>Tahap kedua, kami mencoba merancang aplikasi ini untuk menjawab masalah-masalah bahasa yang ada. </p>
<p>Tahap ketiga, kami menguji coba secara internal di Laboratorium Kecerdasan Buatan Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Banten.</p>
<p>Tahap keempat, kami menguji coba aplikasi kami pada pada naskah berita dan artikel di <em>Tribunnews.com</em> sebagai mitra penelitian kami. </p>
<p>Tahap kelima adalah evaluasi dan validasi dari para pakar bahasa dan teknologi kercerdasan buatan. </p>
<p>Tahap terakhir, penyebaran U-Tapis bagi seluruh masyarakat Indonesia dapat merasakan manfaatnya. </p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/365730/original/file-20201027-15-r8m690.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/365730/original/file-20201027-15-r8m690.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/365730/original/file-20201027-15-r8m690.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=273&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/365730/original/file-20201027-15-r8m690.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=273&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/365730/original/file-20201027-15-r8m690.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=273&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/365730/original/file-20201027-15-r8m690.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=343&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/365730/original/file-20201027-15-r8m690.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=343&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/365730/original/file-20201027-15-r8m690.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=343&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Tampilan dari ‘U-Tapis.’</span>
<span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Aplikasi ini bekerja dengan melibatkan analisis statistik, bahasa komputasi (<em>computational linguistics</em>), dan kecerdasan buatan (<em>artificial intelligence</em>). </p>
<p>Kami menerapkan kecerdasan buatan untuk mengolah data berupa kaidah-kaidah bahasa yang baik dan benar dari <a href="https://kbbi.kemdikbud.go.id">Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)</a> dan <a href="https://puebi.readthedocs.io/en/latest/">Panduan Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI)</a>. </p>
<p>Dengan menggunakan <em>big data</em>, aplikasi kami mengolah sendiri semua data untuk menemukan pola-pola kaidah bahasa sebelum melakukan validasi dengan ahli bahasa.</p>
<p>Teknologi ini telah dipakai dalam berbagai metode untuk memperbaiki <a href="https://github.com/wolfgarbe/SymSpell">kesalahan penulisan</a>. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/365731/original/file-20201027-24-1j69vk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/365731/original/file-20201027-24-1j69vk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=274&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/365731/original/file-20201027-24-1j69vk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=274&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/365731/original/file-20201027-24-1j69vk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=274&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/365731/original/file-20201027-24-1j69vk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=345&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/365731/original/file-20201027-24-1j69vk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=345&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/365731/original/file-20201027-24-1j69vk.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=345&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Tampilan muka ‘U-Tapis.’</span>
<span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Saat ini model rancangan U-Tapis telah dikembangkan untuk mengecek dan memperbaiki kesalahan khusus, seperti ketidakcermatan bahasa pada ketidakbakuan kata, konjungsi, dan salah pengetikan.</p>
<p>Penelitian ini masih dalam proses, jadi kami belum bisa memastikan jumlah kata yang sudah dicek.</p>
<p>Selanjutnya, pengembangan aplikasi ditargetkan untuk mengidentifikasi kesalahan ejaan dan diksi. </p>
<p>Sebagai contoh, ketika kita menuliskan pada aplikasi U-Tapis kata ‘menunjukn’, aplikasi ini secara otomatis akan memperbaiki menjadi ‘menunjukkan’ atau ketika kita menulis kata berimbuhan ‘menanggap’, secara otomatis akan memperbaikinya menjadi ‘menanggapi’. </p>
<p>Ketika kita salah menuliskan kata ‘resiko’ secara otomatis akan memperbaiki menjadi ‘risiko’. </p>
<p>Kami juga mencoba menambah unsur bahasa lainnya seperti penggunaan tanda baca dalam aplikasi ini. Misalnya penggunaan tanda koma sebagai kata hubung. </p>
<h2>Untuk pendidikan</h2>
<p>Saya dan tim peneliti di Lab Kecerdasan Buatan UMN membuat U-Tapis awalnya agar bisa membantu proses penulisan wartawan dalam menghasilkan berita dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.</p>
<p>Namun saya berharap ke depannya, aplikasi U-Tapis bisa juga dipakai di institusi pendidikan, sekolah, hingga perguruan tinggi. </p>
<p>Survei yang saya lakukan tahun lalu terhadap 240 mahasiswa jurnalistik untuk mendukung riset U-Tapis menemukan bahwa mereka masih banyak melakukan kesalahan dalam penggunaan bahasa Indonesia.</p>
<p>Alasan mahasiswa mengulang kesalahan bahasa adalah mereka sudah terbiasa menggunakan kata yang tidak baku dan alasan enggan membuka kamus bahasa Indonesia untuk mengecek akurasinya. </p>
<p>Padahal penulisan artikel ilmiah, buku, tesis, hingga jurnal wajib menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. </p>
<p>Saya berharap aplikasi U-Tapis dapat membantu mahasiswa hingga dosen dalam menyusun teks berbahasa Indonesia sesuai dengan kaidah yang tertuang dalam <a href="https://puebi.readthedocs.io/en/latest/">PUEBI</a> dan <a href="https://kbbi.kemdikbud.go.id">KBBI.</a>. </p>
<p>Selain itu, saya juga berharap aplikasi ini dapat memenuhi kebutuhan di berbagai pihak pemerintah atau swasta untuk mendukung penyusunan laporan atau komunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. </p>
<p><em>Wiliam Reynold berkontribusi dalam penerbitan artikel ini</em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/148256/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Niknik M. Kuntarto menerima dana penelitian dari Universitas Multimedia Nusantara </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Julio Christian Young terafiliasi dengan Universitas Multimedia Nusantara. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Samiaji Bintang Nusantara terafiliasi dengan Universitas Multimedia Nusantara. </span></em></p>Tuntutan untuk memproduksi berita dalam jumlah yang besar, membuat kualitas bahasa dari penulisan kurang diperhatikan.Niknik M. Kuntarto, Lecturer, Universitas Multimedia NusantaraJulio Christian Young, Dosen, Universitas Multimedia NusantaraSamiaji Bintang Nusantara, Pengajar dan Peneliti Media, Universitas Multimedia NusantaraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/825232018-06-08T09:30:35Z2018-06-08T09:30:35ZBahasa gado-gado ‘a break from’ norma sosial dan tabu yang mengekang<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/186551/original/file-20170919-32090-j59en5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Bagi pengkritik bahasa gado-gado, keberadaan bahasa Inggris dalam bertutur seolah membuat jati diri kita sebagai bangsa Indonesia memudar.
</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Gado-gado merupakan salah satu makanan kebanggaan masyarakat Indonesia. Namun, sebagai ragam bahasa, yakni bahasa gado-gado, penerimaannya tidak demikian hangat. </p>
<p>Bahasa gado-gado adalah sebutan yang memberi stigma bagi ragam bahasa dan juga penuturnya. “Gado-gado” dalam bahasa gado-gado menunjuk pada ketercampuran bahasa Indonesia dengan bahasa lain, utamanya bahasa Inggris. </p>
<p>Sebenarnya percampuran bahasa, misalnya dengan bahasa daerah pun bisa disebut sebagai bahasa gado-gado. Namun, kebanyakan masyarakat Indonesia menyoroti dan mengkritisi keberadaan bahasa Inggris dalam bahasa gado-gado.</p>
<p>Mantan Presiden <a href="http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/03/11/n29dgx-ini-bahasa-gadogado-yang-digunakan-sby">Susilo Bambang Yudhoyono</a>, artis <a href="https://www.kompasiana.com/dhave/bahasa-yang-tercemar_550d9116a33311241e2e3c0e">Cinta Laura</a>, dan <a href="http://hurek.blogspot.com/2012/06/bahasa-gado-gado-agnes-monica.html">Agnez Mo</a> adalah beberapa penutur bahasa gado-gado yang kerap kali kita dengar dan mendapat kecaman dari beberapa masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, mereka dihakimi secara tidak adil, dan seringnya tanpa data. </p>
<p>Ini juga mengindikasi bahwa, saat bahasa gado-gado digunakan dalam percakapan atau wacana lain, banyak dari kita secara otomatis melakukan kontekstualisasi politik identitas yang menghubungkan rasa kebangsaan dan ragam bahasa yang dipilih.</p>
<p>Namun, dalam penelitian saya, bahasa gado-gado, jika digunakan dalam perpaduan yang baik secara tata bahasa, ternyata memainkan fungsi perlawanan terhadap pengekangan kebebasan berekspresi mengenai hal-hal yang tabu dan di luar norma sosial budaya yang dominan di Indonesia. </p>
<p>Dalam penelitian saya, yang belum lama ini terbit di <a href="https://doi.org/10.1111/weng.12313"><em>World Englishes</em></a> saya mempelajari beberapa novel yang diterbitkan antara 2004-2011 atau setelah era Orde baru. Selain itu saya juga meneliti film. Bahasa gado-gado banyak ditemukan di dalam produk budaya populer tersebut. </p>
<p>Hasil penelitian saya mengungkapkan bahwa salah satu fungsi bahasa gado-gado terkait dengan perayaan kebebasan setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Bahasa gado-gado membantu para penutur menyampaikan <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/weng.12313">hal-hal non-normatif, kepribadian yang modern</a>, dengan lebih terbuka, dan lebih positif. </p>
<h2>Memakai bahasa Inggris = jati diri bangsa memudar?</h2>
<p>Ketika orang Indonesia menggunakan bahasa gado-gado, mereka menggunakan struktur bahasa Indonesia dengan memasukkan kata-kata bahasa Inggris dalam kalimat atau antarkalimat. Dalam dunia linguistik, percampuran bahasa ini biasanya disebut sebagai <em>code-switching</em>. Namun, dalam studi saya, bahasa gado-gado saya tujukan hanya untuk percampuran bahasa Indonesia (dan variasinya) dan bahasa Inggris. </p>
<p>Penutur bahasa gado-gado biasanya dituduh telah kehilangan jati diri sebagai orang Indonesia, angkuh atau senang pamer, sampai tidak mampu berbahasa Inggris dengan benar, sehingga diberikan julukan “kebarat-baratan atau keinggris-inggrisan,” seperti yang <a href="https://edukasi.kompas.com/read/2011/11/29/20061119/Ketahanan.Bahasa.Indonesia.Masih.Jadi.Tantangan">diungkapkan oleh beberapa ahli bahasa</a>. </p>
<p>Jika kita kaji lagi, tuduhan ini semuanya berkaitan dengan keberadaan bahasa Inggris yang buat sebagian besar masyarakat Indonesia memang masih merupakan bahasa asing. </p>
<p>Tuduhan ini juga membenturkan penggunaan atau pemilihan bahasa dengan identitas penutur sebagai orang Indonesia.</p>
<p>Dengan semangat etnosentris, untuk kebanyakan orang Indonesia, berbahasa Indonesia erat kaitannya dengan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Penggunaan bahasa Inggris di dalam wacana seolah membuat jati diri kita sebagai bangsa Indonesia memudar. </p>
<h2>Bahasa Indonesia terkait erat dengan pembentukan bangsa</h2>
<p>Pembentukan jati diri kita sebagai bangsa dan orang Indonesia erat kaitannya dengan keberadaan bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia. Sebelum era kemerdekaan, para pendiri bangsa memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi yang menyatukan berbagai kelompok suku dalam satu identitas kebangsaan. Dalam konvensi perwakilan pemuda dari berbagai suku pada 1928, yang tanggal pelaksanaannya kini diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda, mereka menyepakati adanya “Satu bahasa, satu tanah air, dan satu bangsa”. </p>
<p>Peringatan setahun sekali Sumpah Pemuda ini mengingatkan warga negara Indonesia, khususnya generasi muda, bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa bangsa Indonesia. </p>
<p>Pemerintah Orde Baru juga memperkuat semangat nasionalisme melalui bahasa. Pada 1990-an, pemerintah Orde Baru melarang penggunaan bahasa Inggris di markah hotel-hotel dan gedung-gedung. </p>
<p>Setelah tumbangnya pemerintahan Orde Baru, pemerintahan pasca-Orde baru di era Reformasi pun memiliki kebijakan yang hampir serupa dengan mengeluarkan <a href="http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/files/UU_2009_24.pdf">Undang-Undang No. 24/2009</a>. </p>
<p>Menurut analisis wacana dalam <a href="https://doi.org/10.1111/weng.12313">penelitian terbaru</a> dan berdasarkan interpretasi saya mengenai ideologi bahasa, undang-undang tersebut menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang hendaknya dicintai, bahasa daerah sebagai bahasa yang harus dilestarikan, dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang harus dikuasai. </p>
<p>Pembedaan antara bahasa-bahasa tersebut mengisyaratkan kepada warga Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian sebagai bentuk cinta dan untuk menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa “luar” yang hanya perlu dikuasai untuk urusan ekonomi, teknologi, dan ilmu pengetahuan.</p>
<h2>Beda bahasa, beda ideologi?</h2>
<p>Pemisahan fungsi bahasa-bahasa tersebut mengisyaratkan keyakinan pemerintah atas ideologi yang dibawa oleh masing-masing bahasa. </p>
<p>Pemerintah memposisikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang harus kita gunakan dalam keseharian, dalam ragam formal. Namun, pada kenyataannya kita lebih sering menggunakan bahasa Indonesia yang baku di ruang-ruang kelas, daripada di pergaulan kita. </p>
<p>Sedangkan bahasa daerah, bagi pemerintah, berfungsi untuk mengkomunikasikan hal-hal tradisional dan kedaerahan. Untuk bahasa Inggris, pemerintah melihatnya sebagai bahasa luar yang asing dan mengharapkan masyarakat Indonesia untuk menguasainya, tapi tidak mengadopsi “ideologi” dan “budaya” yang dibawanya. </p>
<p>Secara tidak langsung, pemerintah dan kebanyakan masyarakat Indonesia melihat bahasa Inggris sebagai pembawa pengaruh dari luar. Sebagian pengaruh tersebut dianggap tidak baik atau bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, atau semangat kebangsaan kita. Ideologi yang tersirat inilah yang pada akhirnya sering kali digunakan sebagai landasan untuk memandang buruk seseorang yang mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. </p>
<h2>Bahasa gado-gado dalam novel</h2>
<p>Selain meneliti novel, saya juga menganalisis teks beberapa film Indonesia. Dalam semua teks ini, alih-alih menggunakan bahasa gado-gado secara acak, penulis dan karakter menggunakannya secara diskursif atau mempunyai pola dan tujuan. Juga, penggunaan bahasa gado-gado di kedua media ini terjadi dalam ragam bahasa dan tata bahasa yang baik, yang pada akhirnya memberikan ruang untuk kita untuk segera merenungkan, “Benarkah semua fenomena penggunaan bahasa gado-gado adalah bentuk dari keserampangan atau penyimpangan berbahasa?”</p>
<p>Dalam tulisan kali ini, saya meneliti beberapa novel dan teks populer, seperti serial <em>Ms. B</em> oleh Fira Basuki, <em>9 Summers 10 Autumns (9S10A)</em> oleh Iwan Setyawan, dan <em>Madre</em> oleh Dewi Lestari, yang diterbitkan setelah era runtuhnya era Orde Baru. Novel-novel tersebut diterbitkan antara 2004-2011. </p>
<p>Hasil penelitian saya mengungkapkan bahwa salah satu fungsi bahasa gado-gado terkait dengan perayaan kebebasan setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Bahasa gado-gado juga menjadi salah satu bentuk sikap yang menantang kebijakan pemerintah yang masih memelihara sikap yang sama dengan Orde Baru yang menegakkan monolingualisme, dengan memberikan banyak ruang kepada Bahasa Indonesia baku. </p>
<p>Salah satu kebijakan yang bisa kita lihat pada EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dan PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, 2015), yang terkesan meminggirkan bahasa daerah dan bahasa asing. Salah satu contohnya dengan memiringkan huruf pada penggunaaan keduanya melalui kebijakan bahasanya. </p>
<h2>Bahasa gado-gado untuk merayakan pribadi yang kosmopolitan</h2>
<p>Karakter dalam novel Ms. B dan 9S10A merayakan pribadi mereka yang global dan lokal melalui penggunaan bahasa gado-gado. Dalam dialog dan narasi di mana bahasa gado-gado digunakan, baik narator dan karakter menggunakannya untuk merayakan beberapa budaya, nilai hidup yang mereka rasakan dan alami, saat di luar negeri. </p>
<p>Meskipun kerap mencampur bahasa Inggris dalam dialog dan narasi mereka, penulis, narator, dan karakter (yang selanjutnya akan saya sebut sebagai “penutur”) tidak melupakan akar rumpunnya dan rumahnya di Indonesia. Dalam beberapa kesempatan, bahasa gado-gado digunakan untuk menyatakan dan mendefinisi kembali arti kata “rumah” secara bersamaan. </p>
<p>Bagi mereka, “rumah” tidak lagi dimaknai secara sempit, namun “rumah” adalah tempat saat mereka mengembara dan tinggal di luar negeri, dan rumah saat di Indonesia. Bahasa gado-gado membantu mempertegas makna ini. Makna rumah dipertegas dan dinyatakan secara simbolik, dengan penggunaan dua bahasa. </p>
<p>Dengan kata lain, alih-alih melihat bahasa Inggris sebagai penghambat, para penutur ini melihat bahasa Inggris sebagai sumber daya atau kekuatan dalam menyampaikan maksud mereka, dengan lebih terbuka, lebih luas, dan tidak terikat ideologi yang diampu oleh bahasa Indonesia. </p>
<p>Dengan tetap menyatakan diri sebagai bangsa Indonesia melalui pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa dominan dalam wacana mereka dan hal-hal non-linguistik lainnya yang mengesankan identitas mereka sebagai orang Indonesia, para penutur bahasa gado-gado ini menawarkan sebuah alternatif lain dalam menakar keindonesiaan kita: bahwa kita bisa membincangkan hal-hal di luar keindonesiaan secara lebih positif dan terbuka. Setidaknya ini terlihat pada ragam tulisan atau pembicaraan yang sudah direncanakan, seperti pada dialog dan narasi novel.</p>
<p>Juga, melalui penggunaan bahasa gado-gado, seseorang bisa dan boleh melihat dirinya sebagai <em>in-betweener</em>, yakni sebagai orang Indonesia yang melihat “budaya asing” sebagai sesuatu yang bisa menjadi positif dan bukan melulu sebagai penghambat dalam pembentukan jati diri sebagai orang Indonesia. Melalui bahasa gado-gado yang terstruktur baik secara tata bahasa, kita dapat melihat agensi kemandirian pembicara untuk menampilkan siapa dirinya kepada dunia. </p>
<p>Dalam melihat ragam bahasa ini, banyak dari kita terjebak pada struktur ras, etnis, suku bangsa, tapi tidak pada hasil produksi budaya yang terjadi di masyarakat itu sendiri (Hall, 1983). Bahasa gado-gado adalah salah satu produksi budaya yang memang terjadi.</p>
<p>Saya sepakat bahwa tidak semua bahasa gado-gado memiliki fungsi diskursif dan teratur. Namun akan sangat tidak adil menghakimi semua penuturnya secara sepihak tanpa melihatnya lebih dalam dan lebih teliti. Dengan kata lain, mereka yang menggunakan dua bahasa atau lebih yang memiliki fungsi dikursif pun ada dan tidak serta-merta meninggalkan jati diri asalnya. Bagi penutur ini menjadi seorang bilingual dipandang sebagai sebuah keuntungan dan energi positif, dan bukan sebaliknya. Dan ini terlihat di novel-novel yang saya teliti.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ilmiah berjudul</em> Bahasa gado-gado: English in Indonesian popular texts <em>bisa dibaca <a href="https://doi.org/10.1111/weng.12313">di sini</a></em>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/82523/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nelly Martin-Anatias menerima dana dari beasiswa Fulbright dan research assistantship dari program Second Language Acquisition, University of Wisconsin-Madison, USA. </span></em></p>Bahasa gado-gado ternyata memainkan fungsi perlawanan terhadap pengekangan kebebasan berekspresi mengenai hal-hal yang tabu dan di luar norma sosial budaya yang dominan di Indonesia.Nelly Martin-Anatias, Honorary Visiting scholar at Institute of Culture, Discourse and Communication (ICDC), Auckland University of TechnologyLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/854032017-10-30T10:17:56Z2017-10-30T10:17:56ZMenciptakan yang liyan dalam pergerakan:
kaum nasionalis dan politik bahasa Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/192187/original/file-20171027-13355-1i4jq1y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Rapat kaum nasionalis di Gedung Nasional Indonesia, Surabaya. </span> <span class="attribution"><span class="source">G.H. von Faber. Nieuwe Soerabaja. 1936. </span>, <span class="license">Author provided</span></span></figcaption></figure><p>Pada 3 Mei 1939, terjadi perdebatan tajam dalam rapat anggota Dewan Kota Surabaya atau <em>Gemeenteraad van Soerabaja</em>. Gambaran tentang perdebatan ini terdapat dalam catatan perdebatan dewan kota berjudul “Notulen van de Openbare Vergadering van den Stadsgemeenteraad van Soerabaja, 1939” yang tersimpan di <a href="http://pnri.go.id">Perpustakaan Nasional Republik Indonesia</a>. </p>
<p>Uraian dalam catatan itu menarik. Perkaranya dimulai ketika anggota Fraksi Nasional Raden Soeman menggunakan bahasa Indonesia saat menyampaikan program pemerintah kota. W.A.H. Fuchter, Wali Kota Surabaya, meminta Soeman menggunakan bahasa Belanda. “Bahasa Melayu bukan bahasa Anda, begitu juga bahasa Belanda,” kata Fuchter. </p>
<p>Bagaimanapun, Fuchter mengakui tidak ada aturan tegas kewajiban menyampaikan pidato dalam bahasa Belanda. Juga tidak ada larangan eksplisit menggunakan bahasa lainnya, termasuk bahasa Indonesia (orang-orang Eropa saat itu menyebutnya sebagai bahasa Melayu). Fuchter akhirnya membiarkan pidato Soeman dalam bahasa Indonesia. Ia meminta seorang penerjemah hadir menerjemahkan pidato tersebut. </p>
<p>Tindakan itu tidak dapat disangkal merupakan agenda terencana kaum nasionalis Indonesia. Anggota Fraksi Nasional Nyonya Soedirman, satu-satunya wakil perempuan, menyampaikan pidatonya dalam bahasa Indonesia, yang diikuti semua wakil Fraksi Nasional, menggunakan bahasa Indonesia dalam pidato mereka. </p>
<p>A. Van Gennep, anggota berhaluan konservatif, menyatakan Fraksi Nasional menjadikan forum rapat dewan sebagai ajang “propaganda politik”. Ia menegaskan “tidak pernah ada yang disebut bahasa Indonesia” dan Indonesia hanya sekadar imajinasi kaum nasionalis. Bahasa yang disampaikan dalam forum itu menurut Gennep tidak lebih sekadar Melayu pasar sebagai <em><a href="https://www.merriam-webster.com/dictionary/lingua%20franca">lingua franca</a></em> (bahasa bersama). Dalam notulen itu tercatat, Gennep menyatakan jutaan penduduk Hindia-Belanda lainnya belum tentu memahami bahasa itu. </p>
<p>Ketua Fraksi Nasional Iskaq Tjokrohadisoerjo menyanggah tuduhan ini. Ia menyatakan sesungguhnya forum dewan memang seharusnya menjadi “ajang politik”, bukan lainnya. Ia juga menegaskan keputusan menggunakan “bahasa Indonesia” yang mempunyai “cita-cita kemerdekaan negerinya”. Sejak saat itu, Fraksi Nasional terus menggunakan bahasa Indonesia dalam rapat dewan sampai pemerintah kolonial melarang semua simbol dan atribut nasionalisme Indonesia menjelang Perang Pasifik. </p>
<h2>Politik kebudayaan</h2>
<p>Perdebatan itu menjadi tamparan bagi konservatisme politik kolonial. Perwakilan orang Eropa di dewan terpaksa menelan ludah sendiri. Pada awal abad ke-20, ketika kaum terpelajar pribumi berbicara dalam bahasa Belanda, orang-orang Belanda di koloni menolak berbicara menggunakan bahasa Belanda dengan orang pribumi, terlepas seberapa terpelajar lawan bicara mereka. Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan pribumi menanggapi dengan gemas “kesombongan dan kebodohan orang Eropa” yang sekadar membentengi privilese di koloni. </p>
<p>Saat itu bahasa Melayu memang sebuah <em>lingua franca</em>, bukan bahasa nasional. Di dalam lingkungan kota dengan penduduk multi-ras dan suku, bahasa Melayu mengisi kebutuhan “bahasa internasional” bagi penduduk kota. Titik tolak penting yang mengakibatkan perkembangan <em>lingua franca</em> menjadi bahasa nasional dalam kaitan ini tidak dapat dilepaskan dari keputusan politik sadar diri dari kalangan nasionalis Indonesia. </p>
<p>Bahasa Indonesia sendiri saat itu adalah bahasa ketiga yang mereka pelajari ketika beranjak dewasa. Sejak kecil dan remaja, mereka terbiasa menggunakan bahasa ibu (Jawa dan lainnya) dan bahasa Belanda sebagai pengantar di lingkungan sekolah dan pergaulan di antara kalangan terpelajar. Tidak mengherankan bila dalam momen Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, beberapa delegasi berbicara di depan mimbar dengan <a href="https://www.goodreads.com/book/show/5282494-sumpah-pemuda">bahasa Indonesia yang terbata-bata</a>.</p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/siapa-yang-sungguh-bertutur-dalam-bahasa-indonesia-86356">Siapa yang sungguh bertutur dalam Bahasa Indonesia?</a></em></p>
<hr>
<p>Kesadaran kaum pergerakan membangun bahasa nasional sebagai senjata politik dalam perjuangan antikolonial telah bergulir sejak Kongres Permufakatan Perhimpunan Partai Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 30 Agustus sampai 2 September 1928 di Surabaya. Rekomendasi kongres adalah menyusun rancangan pendidikan nasional Indonesia yang disampaikan kepada pemerintah, dengan menempatkan pengajaran “bahasa dan sejarah” sendiri sebagai materi yang diajarkan di tingkat dasar. Pengajaran bahasa asing diusulkan baru diterapkan dalam pendidikan tingkat lanjutan seperti tertuang dalam arsip rahasia pemerintah kolonial, <a href="http://anri.go.id">Mailrapporten No. 72x/1930</a>. </p>
<p>Beberapa bulan kemudian, rumusan ini pula yang menjadi landasan bagi organisasi-organisasi pemuda di Hindia Belanda saat itu untuk mencetuskan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Seiring menguatnya semangat politik kebangsaan, mau tidak mau kebutuhan mempelajari bahasa Indonesia menjadi bagian penting dalam politik pergerakan. Sejumlah kursus diselenggarakan organisasi-organisasi pergerakan seperti di Sekolah Taman Siswa. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/192188/original/file-20171027-13355-1b6c7ei.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/192188/original/file-20171027-13355-1b6c7ei.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=468&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/192188/original/file-20171027-13355-1b6c7ei.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=468&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/192188/original/file-20171027-13355-1b6c7ei.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=468&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/192188/original/file-20171027-13355-1b6c7ei.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=588&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/192188/original/file-20171027-13355-1b6c7ei.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=588&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/192188/original/file-20171027-13355-1b6c7ei.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=588&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara, dan sekolah kebangsaan. Eksperimen awal pendidikan nasional Indonesia.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Kees Groeneboer. Weg tot het Westen. KITLV, Leiden. 1993</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tidak dapat disangkal, sampai saat itu ruang lingkup penggunaannya memang terbatas di kota-kota besar Hindia Belanda. Mayoritas rakyat di perdesaan dan pelosok tetap bicara dan berimajinasi dalam bahasa daerah masing-masing. Dalam kaitan ini tidak dapat dimungkiri bahwa pergerakan nasional Indonesia adalah fenomena pergerakan politik masyarakat urban. </p>
<h2>Bahasa Indonesia sukses menjadikan bahasa Belanda sebagai liyan</h2>
<p>Perkembangan yang terjadi dalam “drama bahasa” dalam riwayat pergerakan antikolonial menegaskan arus balik kesadaran kaum nasionalis Indonesia saat itu. Perkembangan ini merupakan fenomena berbeda dan bertolak belakang dengan semangat awal kebangkitan nasional ketika kaum terpelajar menyerukan pentingnya kemampuan berbahasa Belanda, dan meminta pemerintah mengajarkan bahasa Belanda bagi masyarakat pribumi di tingkat pendidikan tingkat rendah <a href="https://www.goodreads.com/book/show/6794321-bangkitnya-nasionalisme-indonesia">sebagai cara memasuki dunia modern</a>. </p>
<figure class="align-right ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/190577/original/file-20171017-30417-5ck0qn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/190577/original/file-20171017-30417-5ck0qn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=812&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/190577/original/file-20171017-30417-5ck0qn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=812&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/190577/original/file-20171017-30417-5ck0qn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=812&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/190577/original/file-20171017-30417-5ck0qn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1020&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/190577/original/file-20171017-30417-5ck0qn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1020&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/190577/original/file-20171017-30417-5ck0qn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1020&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Bergerak ke Barat: aspirasi awal kaum terpelajar Indonesia.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Kees Groeneboer. Weg tot het Westen. KITLV, Leiden. 1993</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Perkembangan zaman melahirkan kebutuhan yang berbeda. Begitu juga dalam politik pergerakan antikolonial. Keperluan membangun politik kebudayaan yang mendefinisikan dengan tegas “kaum sana” dan “kaum sini” yang menjadi garis demarkasi perjuangan antikolonial menjadikan kebutuhan sebuah bahasa nasional muncul. </p>
<p>Dengan menolak menggunakan bahasa Belanda, kaum nasionalis Indonesia berhasil membentuk sosok liyan yang tidak memiliki legitimasi apa pun untuk berkuasa di negeri asing yang jauh dari tempat asal. </p>
<p>Ini adalah tonggak penting yang mewarnai sejarah pergerakan antikolonial di Indonesia. Fase ini menjadi petunjuk tentang arah pergerakan antikolonial yang jauh lebih matang memasuki dekade akhir kolonialisme Belanda di Indonesia. </p>
<p>Apabila sebelumnya seruan perjuangan antikolonial lebih bertumpu kepada kemajuan dan kesempatan yang sama bagi warga pribumi, dan dengan demikian tetap berada di bawah “arahan” kolonialisme Belanda. Politik bahasa menegaskan keterputusan ikatan itu demi menjadi bangsa baru yang mandiri secara politik dan budaya. Politik bahasa ini menjadi landasan penting dalam proses <em>nation-building</em> dalam dekade selanjutnya pasca-kemerdekaan Indonesia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/85403/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Andi Achdian tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Bahasa adalah agenda politik kebudayaan kaum nasionalis Indonesia dalam menciptakan “yang liyan” dalam kancah perjuangan antikolonial.Andi Achdian, Lecturer of history, Universitas NasionalLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/863562017-10-27T09:43:59Z2017-10-27T09:43:59ZSiapa yang sungguh bertutur dalam bahasa Indonesia?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/192046/original/file-20171026-13311-134vpli.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar kerap dijadikan ukuran nasionalisme. </span> <span class="attribution"><span class="source">Prodita Sabarini/The Conversation Indonesia</span>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Meski memiliki keragaman bahasa yang luar biasa, Indonesia adalah bangsa yang memilih satu bahasa (monolingualisme). Kira-kira ada <a href="https://www.ethnologue.com/country/ID">700 bahasa</a> dituturkan di kepulauan ini, tapi Indonesia memilih satu bahasa nasional dan resmi. Pertanyaannya, siapa yang sungguh-sungguh bertutur dalam bahasa Indonesia?</p>
<p>Kebijakan bahasa Indonesia cukup menonjol di dunia sehingga disebut sebagai “<a href="https://books.google.co.id/books?id=NIc_DAAAQBAJ&pg=PT75&lpg=PT75&dq=indonesian+envy+of+the+multilingual+world&source=bl&ots=pX6HYsNzxM&sig=O8UW0trqouhFOcIixIaWLLXIB0g&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=indonesian%20envy%20of%20the%20multilingual%20world&f=false">membuat iri dunia multi-bahasa</a>”, seperti diungkapkan oleh ahli bahasa Joshua A. Fishman. Kebijakan ini, dan propaganda yang menyokongnya, telah membuat banyak orang Indonesia percaya bahwa bahasa berfungsi sebagai alat penting untuk persatuan. Kebijakan ini dicanangkan saat Sumpah Pemuda pada 1928, yang diperingati setiap 28 Oktober, dan dikonsolidasi di zaman Orde Baru.</p>
<h2>Penggunaan bahasa Indonesia untuk mengukur keindonesiaan</h2>
<p>Konstruksi keindonesiaan sangat mengandalkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Orang Indonesia yang bertutur bahasa lain bisa jadi mendapati <a href="http://showbiz.liputan6.com/read/227197/cinta-laura-dituding-tak-nasionalis">nasionalismenya dipertanyakan</a>. Pilihan bahasa bagi banyak orang Indonesia adalah ruang untuk mengaitkan antara penggunaan <a href="http://www.antaranews.com/berita/536595/bahasa-indonesia-pengikat-nasionalisme-indonesia">bahasa, identitas, dan nasionalisme</a>. </p>
<p>Saat ini, bahasa Indonesia terus dibina dan dikembangkan sebagai bahasa nasional maupun resmi. Pemerintah, melalui <a href="http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/">Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa</a> dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan tekun mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia baku atau “yang baik dan benar”.</p>
<p>Meski fungsinya penting dan penggunaannya ditekankan oleh pemerintah, saya menemukan selama menempuh pendidikan tinggi bahwa banyak orang Indonesia yang merasa asing terhadap bahasa Indonesia yang baku.</p>
<h2>Perasaan berjarak terhadap bahasa baku</h2>
<p>Sikap berjarak ini saya rekam dalam catatan lapangan saya, bersumber dari pertemuan saya sehari-hari dengan sesama mahasiswa Indonesia di luar negeri, di Amerika Serikat dan di Belanda pada 2006 hingga 2017.</p>
<p>Secara demografis, responden saya kebanyakan mahasiswa pasca sarjana yang datang dari berbagai kota dan daerah di Indonesia. Dalam percakapan sehari-hari kami, saya mencatat kesadaran kami yang tidak pernah berbicara bahasa Indonesia baku.</p>
<p>Ketika saya kembali ke Indonesia pada Agustus 2017, saya mewawancarai sejumlah pengemudi Gojek mengenai topik yang sama di Depok, Jawa Barat, dan Yogyakarta.</p>
<p>Kali ini saya sengaja memilih lingkaran profesi yang berbeda untuk mendapatkan jawaban yang lebih komprehensif dan berbeda nuansa, dengan harapan mereka memberikan jawaban berbeda dari yang diberikan para mahasiswa Indonesia.</p>
<p>Para pengemudi Gojek, baik motor dan mobil, terdiri dari latar belakang yang beragam, termasuk ibu rumah tangga, mahasiswa S1, pegawai swasta, yang memiliki tingkat pendidikan mulai dari lulusan SMA hingga lulusan S1.</p>
<p>Mayoritas pengemudi Gojek mengakui hal yang sama: mereka tidak pernah menggunakan bahasa Indonesia baku dalam keseharian mereka. Pengemudi di Yogyakarta, khususnya, bercakap-cakap dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia tidak digunakan dalam interaksi sehari-hari. Memang, menurut ahli bahasa dari Yale University, Joseph Errington, bagi banyak orang Jawa, bahasa Indonesia adalah bahasa “<a href="https://books.google.co.id/books?id=xyKs6thiNIwC&pg=PA11&lpg=PA11&dq=errington+javanese+indonesian+in-native+language&source=bl&ots=kLRK537Xkz&sig=X7gSdPbr53y2y1hZibir8Lec41Q&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=errington%20javanese%20indonesian%20in-native%20language&f=false"><em>un-native</em></a>”, atau bukan bahasa ibu.</p>
<p>Saya juga mewawancarai teman-teman saya semasa SMA dan mendapatkan respons yang sama. Mereka jarang berbicara dalam bahasa Indonesia baku. Kebanyakan teman SMA saya lulusan S1, dan beberapa lulusan S2 baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Mayoritas berkarier sebagai profesional dan saat diwawancarai sudah mencapai tingkat karier menengah.</p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/menciptakan-yang-liyan-dalam-pergerakan-kaum-nasionalis-dan-politik-bahasa-indonesia-85403">Menciptakan yang liyan dalam pergerakan: kaum nasionalis dan politik bahasa Indonesia</a></em></p>
<hr>
<p>Kebanyakan responden saya, apa pun pekerjaannya, mengatakan mereka jarang berbahasa baku karena bahasa itu kaku, terlalu puitis dan banyak aturan, membosankan, dan terlalu dramatis. Menurut mereka, bahasa baku hanya mereka temui, antara lain, saat digunakan untuk pidato panjang kepresidenan, buku pelajaran sekolah, dan diskusi kelas. </p>
<h2>Bahasa Indonesia sehari-hari</h2>
<p>Semua kelompok yang berbeda ini jelas mengambil jarak dari satu-satunya bahasa resmi dan bahasa nasional. Mereka lebih menyukai bahasa Indonesia yang tidak baku atau bahasa Indonesia dengan dialek sehari-hari, yang bisa berbeda antara satu daerah dan daerah lainnya.</p>
<p>Saya mencatat sejumlah responden yang bahkan mempertanyakan apakah mereka cukup fasih berbahasa Indonesia karena mereka menggunakan bahasa yang sudah banyak tercampur bahasa daerah dan bahasa asing, terutama Inggris. Mereka bertanya-tanya, apakah mereka penutur bahasa Indonesia sungguhan karena variasi bahasa yang mereka pakai sangat berbeda dengan yang baku.</p>
<p>Saya bisa mengambil kesimpulan bahwa bagi banyak orang, bahasa Indonesia baku bukanlah bahasa ibu siapa-siapa karena bukan bahasa pertama yang diajarkan. Mayoritas responden saya mengatakan mereka belajar bahasa baku sebagai bahasa yang didorong pemerintah melalui kurikulum sekolah dan acara-acara “resmi” lainnya.</p>
<p>Perasaan para responden saya berkait formalitas dari bahasa Indonesia baku memposisikan bahasa Indonesia sebagai “liyan”. Ternyata, banyak orang Indonesia mempertanyakan status <em>de-facto</em> dari bahasa Indonesia baku, bahasa nasional yang diakui.</p>
<h2>Bahasa sehari-hari: bisakah disebut bahasa Indonesia?</h2>
<p>Berangkat dari observasi ini, saya bertanya-tanya apakah ada di antara kita yang merupakan penutur bahasa Indonesia. Menurut Errington, perbedaan antara Indonesia baku dan Indonesia dengan dialek sehari-hari sebagai keadaan “diglossia”, yaitu Indonesia baku sebagai bahasa “Tinggi” dan yang tidak baku sebagai bahasa “Rendah”. Ini seperti pembedaan bahasa halus dan kasar dalam bahasa Jawa dan Sunda.</p>
<p>Tetapi ada pendapat teguh lain yang berbeda, datang dari ahli bahasa Indonesia terkemuka yang tinggal di Australia, James Sneddon. Dalam <a href="https://www.amazon.com/Indonesian-Language-History-Modern-Society/dp/0868405981">bukunya,</a> Sneddon mengatakan bahasa Indonesia sub-standar atau dialek sehari-hari yang digunakan oleh mayoritas orang Indonesia tetap merupakan bahasa Indonesia. Mereka mungkin saja bukan bahasa yang “baik dan benar” tapi “bahasa Indonesia modern” adalah bahasa yang sangat hidup yang digunakan dalam berbagai bentuk dan ragam.</p>
<p>Seperti halnya bahasa-bahasa yang hidup di belahan dunia lain, bahasa Indonesia akan terus berkembang sambil terus mengadopsi dan menyerap kata-kata baru dari bahasa lain dan akan terus bersentuhan dengan bahasa lain.</p>
<p>Sementara kita merayakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, kita tetap harus berpikiran terbuka akan bahasa Indonesia di luar yang baku yang ditetapkan pemerintah. Saya yakin, kita tetap bisa mengakui keindonesiaan kita sambil berbicara bahasa Indonesia sehari-hari.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/86356/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nelly Martin-Anatias tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dalam kehidupan sehari-hari, pernahkah Anda mendengar seseorang mengatakan ‘Aku cinta padamu’ untuk mengungkapkan perasaan?Nelly Martin-Anatias, Adjunct assistant professor, Universitas Sanata DharmaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.