tag:theconversation.com,2011:/global/topics/literasi-digital-41622/articlesLiterasi digital – The Conversation2024-02-22T02:43:49Ztag:theconversation.com,2011:article/2237422024-02-22T02:43:49Z2024-02-22T02:43:49ZRiset: literasi digital tak pengaruhi aktivitas orang tua berbagi informasi anak di media sosial<p>Mengabadikan momen ketika anak pertama kali berjalan, atau pertama kali berulang tahun, adalah hal yang lumrah dilakukan oleh para orang tua. Keberadaan media sosial, seperti Instagram, memudahkan orang tua untuk membagikan momen-momen tersebut melalui akun mereka. Bahkan, banyak anak yang sudah memiliki akunnya sendiri meski Instagram memiliki kebijakan <a href="https://help.instagram.com/517920941588885">usia minimal pengguna</a> yaitu 13 tahun.</p>
<p>Penempatan informasi berupa foto-foto anak dan kegiatan mereka bersama teman dan keluarga di media sosial oleh orang tua disebut dengan istilah ‘<a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/15405702.2016.1223300"><em>sharenting</em></a>’, yang umumnya dilakukan oleh orang tua tanpa seizin anak dan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/02673231211012146">lebih sering dilakukan oleh ibu</a> daripada ayah. </p>
<p>Aktivitas <em>sharenting</em> ini rentan risiko, di antaranya penculikan, pengambilan foto tanpa izin serta berpotensi melanggar hak privasi anak yang juga bisa berdampak pada risiko keamanan yang lebih berat. </p>
<p>Untuk menghindari risiko tersebut, orang tua <a href="https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/10255/ICCE%20Proceeding%20SUSULAN_18.pdf?sequence=1">perlu memiliki literasi digital</a> yang baik. <a href="https://www.unicef.org/globalinsight/media/1271/file/%20UNICEF-Global-Insight-digital-literacy-scoping-paper-2020.pdf">Literasi digital</a> merujuk pada kemampuan untuk mengakses, mengorganisasikan, memahami, menyatukan, mengomunikasikan, mengevaluasi, dan menciptakan informasi dengan aman dan layak melalui teknologi digital. </p>
<p>Namun, benarkah literasi digital yang baik dapat mengurangi risiko <em>sharenting</em>?</p>
<h2>'Sharenting’ adalah fenomena kota besar</h2>
<p>Tahun 2022, kami melakukan <a href="http://journal.wima.ac.id/index.php/KOMUNIKATIF/article/view/4080/pdf">survei</a> kepada 385 ibu di Jawa Timur yang memiliki anak usia maksimal 12 tahun. Kami memilih Jawa Timur sebagai lokasi penelitian karena merupakan provinsi dengan skor <a href="https://aptika.kominfo.go.id/wp-content/uploads/2020/11/Survei-Literasi-Digital-Indonesia-2020.pdf">keamanan digital paling rendah</a>, walaupun Pulau Jawa adalah pulau dengan infrastruktur paling baik di Indonesia. </p>
<p><a href="http://journal.wima.ac.id/index.php/KOMUNIKATIF/article/view/4080/pdf">Responden kami</a> paling banyak berusia 20an, dengan usia anak yang beragam dari 1 hingga 12 tahun. Domisili para ibu ini tersebar di 31 kota di Jawa Timur tetapi mayoritas tinggal di kota besar, yaitu Surabaya, Malang, dan Kediri seperti terlihat pada grafik di bawah ini. Hal ini menunjukkan bahwa <em>sharenting</em> menjadi praktik umum di kalangan ibu-ibu urban. </p>
<p>Pendidikan para ibu yang menjadi responden kami mayoritas adalah lulusan sarjana sebanyak 63,8%, diikuti lulusan SMA/SMK sebanyak 29,3%. Sisanya berpendidikan magister (5,9%), doktor (0,5%) dan sekolah dasar (0,25%). Walaupun tingkat pendidikan dan usia responden beragam, namun aktivitas <em>sharenting</em> yang dilakukan relatif <a href="http://journal.wima.ac.id/index.php/KOMUNIKATIF/article/view/4080/pdf">tidak berbeda</a>.</p>
<h2>Sadar risiko tapi tetap melakukan</h2>
<p>Hasil survei kami menunjukkan bahwa para ibu di Jawa Timur memiliki persepsi risiko yang tinggi tentang privasi anak di Instagram. Artinya, mereka menyadari adanya kemungkinan pelanggaran privasi yang mengintai anak maupun perangkat mereka, seperti pencurian data dan foto, perundungan, atau <em>hacking</em>.</p>
<p>Namun, masih ada tiga indikator dari <a href="https://uis.unesco.org/sites/default/files/documents/ip51-global-framework-reference-digital-literacy-skills-2018-en.pdf">kompetensi keamanan</a> (kemampuan penggunaan fitur-fitur keamanan di perangkat digital), yang diabaikan oleh para ibu. Indikator ini melingkupi: (1) tidak keluar dari akun Instagram, sehinggga masih memungkinkan risiko <em>hacking</em> dan pencurian akun, (2) menunjukkan foto anak, yang berarti mengabaikan risiko pencurian foto anak dan pengenalan identitas anak di bawah umur oleh orang asing, dan (3) masih mengaktifkan kolom komentar pada unggahan terkait anak yang membuka peluang perundungan dan risiko dampak negatif pada mental ibu dan anak.</p>
<p>Selain itu, masih ditemui normalisasi pembuatan konten yang abai terhadap privasi anak, misalnya secara bebas menyebutkan nama anak dan nama sekolahnya, atau membagikan informasi tentang anak tanpa memandang usia anak mereka. Responden kami tetap membagikan aktivitas anak mereka yang sudah berusia praremaja (12 tahun) tanpa bertanya terlebih dahulu, sehingga privasi anak menjadi privasi kolektif.</p>
<p>Privasi kolektif ini berarti bahwa privasi anak juga akan dimiliki oleh audiens dari Instagram Ibu, baik itu audiens yang melihat <em>story, reels</em>, maupun <em>feeds</em>. Hal ini menunjukkan bahwa ibu, secara sepihak memutuskan bahwa mereka adalah <em>co-owner</em> dari privasi anak, persis seperti yang dicirikan sebagai <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/02673231211012146"><em>sharenting</em> dalam kehidupan keseharian keluarga</a>. </p>
<p>Riset kami juga menemukan, 42,7% responden ternyata mengizinkan anaknya untuk memiliki akun Instagram sendiri walaupun tidak sesuai dengan kebijakan Instagram (belum berusia 13 tahun). </p>
<h2>Rekomendasi</h2>
<p>Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa hubungan antara literasi digital dan aktivitas <em>sharenting</em> sangat lemah. Secara spesifik, survei kami menunjukkan bahwa faktor kompetensi keamanan hanya berkorelasi sebesar 14,4% dengan persepsi risiko ibu terhadap privasi anak-anak. </p>
<p>Namun, temuan ini tetap membuktikan adanya hubungan di antara keduanya. Sehingga, rendahnya angka korelasi tersebut justru bisa dibaca sebagai pengingat, bahwa tingginya kekhawatiran orang tua tentang <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/2056305120978376">isu privasi</a> tidak serta merta membuat kegiatan <em>sharenting</em> di Instagram menjadi lebih jarang terjadi.</p>
<p>Ke depan, manajemen risiko <em>sharenting</em> memerlukan riset lanjutan untuk memetakan solusi, serta gerakan sosial untuk semakin meningkatkan kesadaran para ibu bukan hanya atas risiko <em>sharenting</em>, tapi juga risiko pengabaian hak privasi anak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/223742/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>‘Sharenting’ atau aktivitas orang tua membagikan informasi anak di media sosial memiliki berbagai risiko. Untuk menghindarinya, orang tua perlu memiliki literasi digital. Benarkah demikian?Birgitta Bestari Puspita, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya YogyakartaPaulus Angre Edvra, Asisten Peneliti, PR2MediaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2107962023-08-28T05:36:04Z2023-08-28T05:36:04ZRutinitas cek fakta belum populer – siapkah kita menghadapi hoaks jelang Pemilu 2024?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/542260/original/file-20230811-21-xbiy6a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=7%2C0%2C5103%2C3402&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ilustrasi paparan hoaks, disinformasi dan berita palsu.
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/informational-digital-detox-fake-news-girl-1710722323">Shyntartanya/Antara Foto</a></span></figcaption></figure><p><em>Survei Agenda Warga dari New Naratif mengundang lebih dari 1.400 orang dari seluruh Indonesia untuk menyampaikan aspirasi mereka tentang apa saja isu yang dianggap paling penting bagi masyarakat. Artikel yang merupakan bagian dari serial #LawanHoaks2024 ini diterbitkan ulang sebagai bagian dari kolaborasi The Conversation Indonesia dan New Naratif untuk menanggapi hasil survei tersebut.</em></p>
<hr>
<p>Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah di depan mata. Sejumlah partai politik sudah mengumumkan <a href="https://www.detik.com/jabar/berita/d-6684742/3-capres-2024-jalur-partai-sejauh-ini-siapa-terkuat-di-jawa-barat">bakal calon presiden</a> (capres) yang akan diusung. Sejumlah tokoh yang muncul sebagai capres potensial mendapatkan respons yang beragam dari masyarakat di media sosial.</p>
<p>Namun, satu hal yang menyertai perhelatan Pemilu 2024 dan tak bisa dielakkan adalah disinformasi yang bertebaran di media sosial. Sejak era digital, di seluruh belahan dunia, Pemilu telah menjadi peristiwa politik yang <a href="https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=Zo-bEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PT12&dq=election+prone+misinformation&ots=e6LbMxer2F&sig=LVjpr5T-SlMvmz2nKSgKCtswHT4&redir_esc=y">paling rentan</a> terpapar penyebaran disinformasi dan berita palsu.</p>
<p>Dalam survei <a href="https://newnaratif.com/id/masyarakat-indonesia-berbicara-5-isu-terpenting-yang-dihadapi-indonesia-pada-tahun-2023/">Agenda Warga</a> yang dilakukan sepanjang tahun lalu, hak digital dan kebebasan berekspresi menjadi salah satu dari lima isu yang dianggap paling mendesak oleh responden. Kecemasan responden turut mencakup maraknya produksi berita palsu dan manipulasi gambar, yang kini makin canggih dengan hadirnya kecerdasan buatan.</p>
<p><a href="http://www.jurnalaspikom.org/index.php/aspikom/article/view/1267">Penelitian</a> yang dilakukan dalam kurun waktu 2015-2020 menemukan bahwa jumlah disinformasi paling banyak berkaitan dengan peristiwa politik yang terjadi di Indonesia. Kurvanya cenderung meningkat menjelang tahun politik.</p>
<p>Misalnya, penyebaran disinformasi politik pada 2019–baik yang terkait kandidat, partai politik (parpol) maupun hal lain terkait penyelenggaraan pemilu–lebih banyak dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sebab, pada tahun tersebut Indonesia menyelenggarakan Pemilihan Presiden (Pilpres).</p>
<p><a href="https://www.kominfo.go.id/content/detail/21876/kominfo-temukan-3356-hoaks-terbanyak-saat-pemilu-2019/0/berita_satker">Pemetaan</a> yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada rentang Agustus 2018 hingga September 2019, atau selama masa kampanye Pemilu 2019 hingga selesainya penetapan pemenang Pemilu, menemukan lebih dari 3.300 disinformasi berupa hoaks dan berita palsu yang tersebar di media sosial.</p>
<p>Pada Pemilu 2024, yang sekarang tahapannya sudah berlangsung, fenomena yang sama besar kemungkinan akan kembali terjadi. Parpol, politikus, pendukung kandidat, dan masyarakat berpotensi terpapar maupun ikut memproduksi disinformasi untuk beragam tujuan. Hal ini seperti menyerang kandidat tertentu, kredibilitas penyelenggara pemilu atau proses pemilu itu sendiri.</p>
<h2>Ragam disinformasi politik di masa pemilu</h2>
<p>Dari riset yang sedang kami lakukan terhadap konten disinformasi politik yang dipublikasikan pada rentang 1 Maret hingga 17 April 2019 di turnbackhoax.id, kami menemukan lima topik yang paling sering ditemukan pada disinformasi politik semasa pilpres.</p>
<p>Kelimanya adalah “dukungan kepada kandidat” (20,29%), “kecurangan pemilu” (17,39%), “kandidat” (17,39%), “pendukung dari kandidat” (8,7%), dan “ketidaknetralan pemerintah dalam pemilu” (7,25%).</p>
<p>Disinformasi politik tersebut tersebar dalam beragam format seperti teks, foto, video, dan campuran. Facebook menjadi media yang paling banyak digunakan dalam pendistribusian pesan. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/541350/original/file-20230806-207579-c0m9ny.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/541350/original/file-20230806-207579-c0m9ny.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=385&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/541350/original/file-20230806-207579-c0m9ny.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=385&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/541350/original/file-20230806-207579-c0m9ny.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=385&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/541350/original/file-20230806-207579-c0m9ny.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=483&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/541350/original/file-20230806-207579-c0m9ny.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=483&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/541350/original/file-20230806-207579-c0m9ny.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=483&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Jenis Disinformasi.</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Topik “dukungan kepada kandidat” membangun narasi bahwa kandidat mendapatkan dukungan dari tokoh agama atau dukungan dari sebagian besar masyarakat.</p>
<p>Disinformasi ini sengaja disebarkan untuk memengaruhi persepsi masyarakat bahwa kandidat merupakan calon yang tepat karena mereka mendapatkan dukungan dari beragam kalangan, terutama tokoh agama yang memiliki peran penting dalam masyarakat Indonesia.</p>
<p>Sementara itu, topik “kecurangan pemilu” dan “ketidaknetralan pemerintah dalam pemilu” merupakan topik yang perlu diwaspadai karena kedua topik ini kerap berisikan disinformasi terkait sabotase surat suara atau hasil pemilu oleh pihak tertentu. Ini semua merupakan isu sensitif di tengah pemilu.</p>
<h2>Rentan terpapar disinformasi</h2>
<p>Peneliti, aktivis, dan pemerintah meyakini bahwa literasi digital merupakan salah satu alat yang penting dalam melawan disinformasi. Oleh karena itu, <a href="https://indonesiabaik.id/infografis/50-juta-masyarakat-indonesia-makin-cakap-digital">pemerintah rutin menyelenggarakan pelatihan</a> yang bertujuan untuk meningkatkan literasi digital masyarakat semenjak 2021.</p>
<p>Pelatihan tersebut, meskipun tidak signifikan, mampu menaikkan indeks literasi digital masyarakat menjadi <a href="https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/ReportSurveiStatusLiterasiDigitalIndonesia2022.pdf">3,55 pada 2022 dari 3,49 pada tahun sebelumnya</a>. Skor tersebut termasuk kategori sedang mengingat skala yang digunakan adalah 1 hingga 5.</p>
<p>Meski demikian, keterampilan yang dibutuhkan untuk menghindari diri dari paparan disinformasi masih belum mencukupi.</p>
<p>Survei yang dilakukan oleh <a href="http://japelidi.id/indeks-literasi-digital-dalam-konteks-politik/">Jaringan Pegiat Literasi Digital Indonesia (Japelidi)</a> pada tahun 2023 terkait indeks literasi digital dalam konteks politik menemukan bahwa generasi muda (17-21 tahun) memiliki skor literasi sedang yaitu sebesar 3,75. </p>
<p>Survei ini juga menemukan bahwa sebagian besar kaum muda jarang mengikuti sumber informasi politik/pemilu terpercaya seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU). Akibatnya, mereka menjadi kelompok yang rentan terhadap disinformasi politik.</p>
<h2>Perilaku cek fakta</h2>
<p>Salah satu strategi yang dapat digunakan untuk melawan disinformasi adalah dengan melakukan cek fakta.</p>
<p>Indonesia memiliki beberapa lembaga cek fakta yang rutin melakukan verifikasi kebenaran informasi. Ada “<a href="https://www.kominfo.go.id/content/all/laporan_isu_hoaks">Laporan Isu Hoaks</a>” milik Kominfo, situs cek fakta milik media <a href="https://www.liputan6.com/cek-fakta">Liputan6</a> dan <a href="https://www.kompas.com/cekfakta">Kompas</a>, dan ada yang dijalankan oleh komunitas atau organisasi nonprofit, contohnya <a href="http://turnbackhoax.id">turnbackhoax.id</a>, <a href="https://cekfakta.com">cekfakta.com</a>, dan <a href="https://www.mafindo.or.id/2020/11/21/cek-hoaks-di-whatsapp-lewat-chatbot-kalimasada-begini-caranya/">Chatbot kalimasada</a>. Namun, lembaga-lembaga tersebut ternyata tidak terlalu populer di masyarakat, setidaknya bagi responden yang menjadi penelitian kami di 13 provinsi.</p>
<p>Kami menemukan bahwa 56% dari responden tidak familiar dengan lembaga cek fakta. Bahkan sebanyak 77,9% dari responden mengaku tidak pernah melakukan pemeriksaan fakta. Temuan ini tentu mengkhawatirkan terutama di tengah banjirnya disinformasi politik jelang Pemilu 2024. </p>
<p>Sementara itu, responden yang mengakui rutin atau pernah melakukan cek fakta memiliki persepsi yang positif terkait lembaga cek fakta. Misalnya, mereka meyakini bahwa lembaga cek fakta cenderung akurat dalam mengidentifikasi disinformasi dan memberikan penjelasan yang mudah dimengerti terkait informasi yang diverifikasi.</p>
<p>Lebih lanjut, mereka menyatakan apabila menerima informasi yang sudah diverifikasi dari lembaga cek fakta, mereka akan membagikan dan mendiskusikannya dengan keluarga maupun kolega. Ini tentu langkah yang baik. Dengan membagikan konten yang sudah terverifikasi kebenarannya, akan semakin banyak masyarakat yang berpartisipasi meminimalisir penyebaran disinformasi.</p>
<p>Penelitian kami juga menemukan bahwa lembaga cek fakta milik media dan milik organisasi nirlaba lebih populer dibandingkan lembaga cek fakta milik pemerintah. Sebagai contoh, lembaga cek fakta yang dikelola oleh media Liputan6 dan Kompas lebih dikenal publik dibandingkan cek fakta milik Kominfo.</p>
<p>Hal ini karena lembaga cek fakta milik media dan nirlaba terafiliasi dengan portal berita dari masing-masing media sehingga masyarakat bisa dengan mudah mengetahui keberadaannya.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/541647/original/file-20230808-18-pd9eco.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/541647/original/file-20230808-18-pd9eco.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=1500&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/541647/original/file-20230808-18-pd9eco.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=1500&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/541647/original/file-20230808-18-pd9eco.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=1500&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/541647/original/file-20230808-18-pd9eco.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1885&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/541647/original/file-20230808-18-pd9eco.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1885&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/541647/original/file-20230808-18-pd9eco.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1885&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Cek Fakta di Indonesia.</span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Masyarakat belum siap</h2>
<p>Berdasarkan hasil riset kami dan survei lainnya, dapat disimpulkan bahwa masih banyak masyarakat yang ternyata belum siap menghadapi banjir disinformasi politik di tahun Pemilu 2024.</p>
<p>Ini karena keterampilan masyarakat untuk mengevaluasi informasi cenderung masih rendah dan perilaku rutinitas cek fakta belum cukup populer.</p>
<p>Pemilu 2024 nanti tantangan akan semakin sengit, karena besar kemungkinan disinformasi akan semakin sulit diidentifikasi oleh masyarakat. Sebab, banyak pelaku pembuat dan penyebar disinformasi yang mulai menggunakan kecerdasan buatan (AI) dalam proses produksi dan penyebarannya. Disinformasi ini dikenal dengan istilah <a href="https://www.theguardian.com/technology/2020/jan/13/what-are-deepfakes-and-how-can-you-spot-them"><em>deep fake news</em></a>, yaitu berita bohong berupa foto atau video yang diproduksi menggunakan kecerdasan buatan sehingga terlihat nyata.</p>
<p>Mau tidak mau, masyarakat harus lebih kritis dan tanggap. Kita semua sebaiknya mulai membiasakan diri untuk “mencurigai” informasi yang kita dapat, agar kemudian kita meresponsnya dengan melakukan perbandingan dengan sumber lain atau melakukan verifikasi pada sumber informasi terpercaya.</p>
<p>Sebisa mungkin hindari pengecekan fakta dengan bertanya kepada keluarga/teman karena mereka belum tentu memiliki keterampilan dalam mengidentifikasi disinformasi. Gunakan lembaga cek fakta resmi dan kredibel untuk melakukan verifikasi informasi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/210796/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Putri Limilia terafiliasi dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital Indonesia (Japelidi). </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Lintang Ratri Rahmiaji terafiliasi dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (JAPELIDI) dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO). </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Ni Made Ras Amanda G terafiliasi dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital Indonesia (Japelidi</span></em></p>Pada Pemilu 2024, fenomena penyebaran disinformasi kemungkinan besar akan terjadi lagi. Seluruh pihak berpotensi terpapar maupun ikut memproduksi disinformasi untuk beragam tujuan.Putri Limilia, Lecturer at Communication Faculty, Universitas PadjadjaranLintang Ratri Rahmiaji, Lecturer in Communication Department, Diponegoro UniversityRasamanda Gelgel, Lecturer in Communication Studies, Udayana UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1976272023-01-24T04:31:40Z2023-01-24T04:31:40ZRiset kami di kota pesisir Makassar tunjukkan SMK bisa jadi kunci mengembangkan kapasitas digital pekerja muda pelabuhan<p>Perekonomian Kota Makassar, Sulawesi Selatan, tumbuh pesat dalam beberapa tahun belakangan. Pada 2019 sebelum pandemi, pertumbuhan provinsi ini <a href="https://pair.australiaindonesiacentre.org/research/connectivity/overview-south-sulawesis-economy/">mencapai 6,9%</a> – lebih tinggi dari rata-rata nasional 5% – dengan pengembangan infrastruktur yang cepat, khususnya di industri maritim.</p>
<p>Seiring bertumbuh, industri wilayah ini pun mengalami digitalisasi. <a href="https://pair.australiaindonesiacentre.org/wp-content/uploads/2022/11/YPS5-1-EN-ONLINE.pdf">Studi yang kami lakukan</a> pada tahun ini bersama program riset bilateral Australia-Indonesia Centre (AIC), menemukan adanya celah signifikan dalam hal literasi dan kemampuan digital antara sistem pendidikan dan kebutuhan industri di Sulawesi Selatan.</p>
<p>Tim kami membuat instrumen yang mengukur kompetensi digital individu lewat sembilan dimensi – termasuk pemikiran komputasional, komunikasi digital, dan kompetensi digital terkait rantai pasok. Kami kemudian melakukan campuran antara wawancara, survei, dan <em>focus-group discussion</em> (FGD) yang melibatkan pekerja muda di pelabuhan, manajemen pelabuhan, serta siswa dan kepala Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).</p>
<p>Kajian ini menemukan bahwa pekerja pelabuhan meraih skor tinggi dalam aspek-aspek seperti identitas dan keamanan digital (4,3 dari 5) dan pengoperasian teknologi secara umum (4,2). Namun, mereka lemah dalam lima dari sembilan indikator, dan juga sangat tertinggal dalam aspek pemikiran komputasional (2,36) dan kompetensi digital terkait rantai pasok (2,34).</p>
<p>Literatur menunjukkan bahwa kedua kompetensi ini penting dalam meningkatkan efektivitas operasi pelabuhan.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/501481/original/file-20221216-14-9lvdt7.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/501481/original/file-20221216-14-9lvdt7.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/501481/original/file-20221216-14-9lvdt7.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=366&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/501481/original/file-20221216-14-9lvdt7.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=366&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/501481/original/file-20221216-14-9lvdt7.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=366&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/501481/original/file-20221216-14-9lvdt7.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=460&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/501481/original/file-20221216-14-9lvdt7.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=460&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/501481/original/file-20221216-14-9lvdt7.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=460&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pekerja di Pelabuhan Makassar lemah dalam banyak indikator kemampuan digital.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Australia-Indonesia Centre)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://comskills.co.uk/wp-content/uploads/2021/11/defining-the-skills-citizens-will-need-in-the-future-world-of-work.pdf">Pemikiran komputasional</a>, misalnya, mempengaruhi sebaik apa operator bisa merencanakan pemuatan dan pembongkaran peti kemas di pelabuhan. Sementara, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S2213624X1830350X">kemampuan digital dalam manajemen rantai pasok</a> sangat penting dalam pengoperasian program dan platform logistik.</p>
<p>Riset kami menunjukkan celah kompetensi ini ada karena beberapa alasan. Ini termasuk ketersediaan program pelatihan bagi pekerja muda yang masih terbatas, serta kurikulum sekolah dan guru yang belum berhasil membekali lulusan dengan kompetensi digital yang cukup.</p>
<p>Untuk menjawabnya, kami memandang pendidikan vokasi punya peran besar menutup kekurangan kemampuan digital ini. Kami juga memetakan beberapa peluang untuk memperbaiki tawaran program yang ada saat ini di berbagai SMK dan institusi vokasi lainnya di Makassar.</p>
<p><a href="https://www.ditjenvokasi.id/perencanaan/renstra">Pendidikan vokasi</a> di Indonesia, misalnya, dari SMK hingga politeknik, sebagian bertujuan untuk memajukan kapasitas digital para murid. Struktur kurikulumnya berbasis permintaan pasar kerja saat ini, dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan industri.</p>
<p>Memperbaiki institusi pendidikan vokasi ini – sekaligus menutup celah kompetensi yang ada – bisa membantu pekerja muda untuk benar-benar meraup manfaat dari ekonomi maritim yang tengah berkembang seperti di Makassar.</p>
<h2>Memajukan pendidikan vokasi, menutup celah literasi</h2>
<p>Untuk mengukur seberapa baik program pendidikan yang saat ini ditawarkan sekolah vokasi bisa berkontribusi menutup celah literasi digital di antara pekerja muda di pelabuhan, kami melakukan serangkaian wawancara dan survei dengan 198 murid dan tujuh kepala sekolah di Makassar.</p>
<p>Kami menemukan para siswa SMK ini punya skor yang sedikit lebih rendah dari para pekerja muda pelabuhan dalam kebanyakan aspek. Seperti mereka pula, para siswa ini juga masih lemah dalam aspek pemikiran komputasional (3,2) dan kompetensi digital terkait rantai pasok (2,4).</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/501489/original/file-20221216-17-g5wq30.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/501489/original/file-20221216-17-g5wq30.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=372&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/501489/original/file-20221216-17-g5wq30.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=372&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/501489/original/file-20221216-17-g5wq30.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=372&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/501489/original/file-20221216-17-g5wq30.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=468&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/501489/original/file-20221216-17-g5wq30.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=468&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/501489/original/file-20221216-17-g5wq30.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=468&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Murid sekolah vokasi di Makassar meraih skor lebih tinggi dari pekerja pelabuhan dalam hal pemikiran komputasional dan kompetensi digital terkait rantai pasok.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Australia-Indonesia Centre)</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Tapi, skor para siswa dalam kedua aspek ini masih lebih tinggi dari para senior mereka di industri pelabuhan. </p>
<p>Ini menunjukkan bahwa sekolah vokasi sudah punya fondasi yang kuat dalam menghasilkan lulusan yang berkualitas. Dengan sedikit perbaikan – seperti dalam hal kurikulum dan pengajaran – para SMK dan politeknik bisa menjadi mitra ideal bagi industri maritim Makassar untuk pelatihan maupun produksi talenta yang unggul dalam literasi digital.</p>
<p>Meski demikian, kami juga mengidentifikasi adanya keterbatasan pemahaman terkait aplikasi-aplikasi bisnis di antara para siswa. Sekitar 52,5% mendemonstrasikan kompetensi yang rendah dalam memakai perangkat lunak terkait manajemen rantai pasok.</p>
<p>Untuk menutup kekurangan ini, tim kami menyarankan sejumlah ranah perbaikan bagi sekolah vokasi di Makassar:</p>
<p><strong>1. Kembangkan dan desain ulang kurikulum untuk mengembangkan kompetensi digital yang relevan dengan industri</strong></p>
<p>Dalam <a href="https://kurikulum.kemdikbud.go.id/wp-content/unduhan/Struktur_SMK_2018.pdf">kurikulum SMK saat ini</a> di Indonesia, topik seperti identitas dan keamanan digital, kompetensi terkait manajemen rantai pasok, serta konsep dan operasi teknologi adalah tiga kemampuan digital utama yang belum dipertimbangkan.</p>
<p>Akibatnya, kurikulum SMK belum selaras dengan kebutuhan industri maritim Makassar.</p>
<p>Sekolah vokasi perlu mempertimbangkan untuk melakukan serangkaian lokakarya pengembangan atau perancangan ulang kurikulum yang melibatkan pemegang kepentingan dari industri, termasuk Pelabuhan Makassar, serta akademisi dan konsultan yang ahli dalam bidang literasi digital.</p>
<p>Kerangka literasi digital yang sudah kami buat pun bisa menjadi panduan dalam pengembangan ulang ini.</p>
<p>SMK lokal juga bisa membangun kemitraan dengan perguruan tinggi unggulan di Indonesia maupun negara tetangga untuk mendukung upaya perbaikan kemampuan digital dan kompetensi manajemen rantai pasok para murid dan pekerja muda.</p>
<p><strong>2. Tingkatkan kompetensi mengajar para guru</strong></p>
<p>Sekolah vokasi di Makassar perlu mengidentifikasi staf pengajar yang belum punya sertifikat kompetensi digital.</p>
<p>Dalam peraturan pendidikan di Indonesia, guru <a href="https://sma.kemdikbud.go.id/direktorat/data/files/Permendikbud%20Nomor%2045%20Tahun%202015%20Tentang%20Perubahan%20Atas%20Permendikbud%20No%2045%20Tahun%202015.pdf">memerlukan sertifikasi tertentu</a> – yang dalam hal ini dikelola Kementerian Pendidikan (Kemdikbudristek) – untuk mengajar subjek-subjek seperti teknologi informasi dan komunikasi, manajemen informasi, rekayasa perangkat lunak, rekayasa komputer dan jaringan, dan multimedia.</p>
<p><a href="https://pair.australiaindonesiacentre.org/wp-content/uploads/2022/11/YPS5-1-EN-ONLINE.pdf">Data kami</a>, sayangnya, menunjukkan bahwa lebih dari setengah staf pengajar di dua SMK di Makassar belum tersertifikasi. Proporsi mereka yang tersertifikasi hanya 10% dan 23,6% di masing-masing sekolah tersebut.</p>
<p><strong>3. Perkuat kemitraan antara sekolah vokasi lokal dan dunia industri</strong></p>
<p>Kemdikbudristek telah <a href="https://www.vokasi.kemdikbud.go.id/read/b/inilah-empat-program-kemitraan-dan-penyelarasan-untuk-meningkatkan-potensi-unggul-smk">menetapkan sejumlah kebijakan</a> untuk membangun koneksi yang lebih kuat antara SMK dan industri. Tapi implementasi berbagai kemitraan ini, termasuk yang melibatkan Pelabuhan Makassar, masih minim.</p>
<p>Selain memastikan relevansi pendidikan vokasi dengan kebutuhan industri – termasuk melalui program magang dan penyelarasan kurikulum – kemitraan pendidikan-industri juga bisa secara bersamaan mengemban biaya pendidikan sehingga para siswa lebih siap memasuki dunia kerja.</p>
<p>Kita perlu membangun hubungan yang lebih kuat antara para pemegang kepentingan termasuk, misalnya, Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, Pelabuhan Makassar, dan para SMK dan politeknik di daerah ini.</p>
<hr>
<p><em>Penelitian ini didanai oleh pemerintah Australia melalui <a href="https://pair.australiaindonesiacentre.org">program PAIR</a> yang difasilitasi oleh Australia-Indonesia Centre (AIC).</em></p>
<p><em>Australia-Indonesia Centre (AIC) mendukung The Conversation Indonesia (TCID) dalam penerbitan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/197627/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sherah Kurnia menerima dana dari Australia-Indonesia Centre (AIC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Achmad Nizar Hidayanto menerima dana dari Australia-Indonesia Centre (AIC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Agus Wicaksana menerima dana dari Australia-Indonesia Centre (AIC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Armin Lawi menerima dana dari Australia-Indonesia Centre (AIC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Dr Rod Dilnutt menerima dana dari Australia-Indonesia Centre (AIC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Hafizh Rafizal Adnan menerima dana dari Australia-Indonesia Centre (AIC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Rizky Utami menerima dana dari Australia-Indonesia Centre (AIC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Sri Astuti Thamrin menerima dana dari Australia-Indonesia Centre (AIC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Helen Brown adalah anggota Dewan Bisnis Australia Indonesia (AIBC). Dia adalah Managing Director Bisnis Asia yang menerima dana pemerintah Australia untuk penelitian investasi asing bekerja sama dengan CIPS Indonesia. Dia bekerja untuk Australia-Indonesia Centre, yang didanai oleh pemerintah Australia.</span></em></p>Memperbaiki sekolah vokasi, sekaligus menutup celah kompetensi digital, bisa membantu pekerja muda untuk benar-benar meraup manfaat dari ekonomi maritim yang tengah berkembang.Sherah Kurnia, Associate Professor at the School of Computing and Information Systems, The University of MelbourneAchmad Nizar Hidayanto, Vice Dean for Resource, Venture, and General Administration, Faculty of Computer Science, Universitas IndonesiaAgus Wicaksana, PhD Candidate in Operations and Supply Chain Management, The University of MelbourneArmin Lawi, Associate Professor (Lektor Kepala) of Computer Science, Universitas HasanuddinDr Rod Dilnutt, Industry Fellow, The University of MelbourneHafizh Rafizal Adnan, PhD Student in Information Systems and Analytics, National University of SingaporeRizky Utami, Lecturer, Universitas HasanuddinSri Astuti Thamrin, Ph.D/ Dosen Universitas Hasanuddin, Universitas HasanuddinLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1960852022-12-06T19:18:35Z2022-12-06T19:18:35ZMengapa komputer bukanlah hal yang terpenting saat mengajarkan pemrograman pada anak<p>Saat pandemi COVID-19 melanda pada tahun 2020, dunia mengalami <a href="https://www.weforum.org/agenda/2020/04/coronavirus-education-global-covid19-online-digital-learning">pergeseran masif</a> ke arah pembelajaran <em>online</em>. Tenaga pendidikan dan orang tua menyadari bahwa ke depannya, seiring investasi besar-besaran oleh sekolah untuk sistem pembelajaran jarak jauh, hal ini telah <a href="https://teachonline.ca/tools-trends/how-teach-online-student-success/new-pedagogy-emerging-and-online-learning-key-contributing-factor">menjadi aspek penting</a> dalam dunia pendidikan.</p>
<p>Beberapa orang bahkan terpukau melihat hal-hal yang bisa dilakukan para pelajar muda dengan teknologi. Di saat yang sama, kita pun semakin menyadari bahwa <a href="https://www.goguardian.com/blog/technology/how-does-technology-prepare-students-for-the-future">masyarakat-masyarakat kita akan membutuhkan generasi berisi ahli-ahli</a> yang bisa menciptakan apapun yang akan menjadi teknologi populer selanjutnya setelah Google dan TikTok.</p>
<p>Tapi, kesuksesan mengajarkan pemrograman (<em>coding</em>) pada anak-anak bukanlah tentang penggunaan teknologi atau program mutakhir. Yang paling penting dalam proses pembelajaran ini justru adalah fondasinya. Anak-anak harus belajar menempatkan dan memposisikan diri mereka maupun benda-benda lain dalam ruang, dan bagaimana caranya membayangkan gerakan dan relasi yang muncul. Mereka juga perlu belajar bagaimana cara berkomunikasi dan memecahkan masalah.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/siswa-tidak-mampu-di-jakarta-belajar-coding-menjawab-kesenjangan-akses-belajar-komputer-110355">Siswa tidak mampu di Jakarta belajar coding: menjawab kesenjangan akses belajar komputer</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Kognisi manusialah yang justru mendorong kode program, dan otomatis, komputer yang digunakan. Oleh karena itu, yang harusnya menjadi perhatian terbesar kita adalah pada kognisi manusia yang berwujud rasa penasaran, serta belajar untuk membingkai masalah dan menemukan solusi-solusi ala proses “<em>debug</em>” (merunut program untuk menemukan “kutu” atau eror).</p>
<h2>Akar dari pemrograman</h2>
<p>Tim terfokus <a href="http://mkn-rcm.ca/mkn/the-early-years-home-math-learning">Mathematics Knowledge Network’s Early Math</a>, yang juga saya pimpin, mengembangkan suatu sumber daya prapemrograman yang cukup praktis, berjudul <em>The Roots of Coding</em> (Akar Pemrograman). Tim tersebut merupakan <a href="http://mkn-rcm.ca/leadership-2">jaringan koalisi di Ontario, Kanada</a>, berisi peneliti dan akademisi, mitra sekolah dan komunitas, termasuk beberapa yang punya spesialisasi di pendidikan matematika masyarakat adat.</p>
<p>Melalui sumber daya ini, pendidik punya pedoman untuk mengambil inspirasi dari musik dan tarian, serta menerapkan permainan dan pendekatan multisensoris lainnya untuk membantu anak-anak belajar caranya berbicara dengan teman-teman mereka. Sumber ini menawarkan suatu kurikulum untuk memandu anak belajar dalam menggerakkan tubuh mereka dalam kaitannya dengan benda dan hal lain – kemudian, bagaimana caranya membangun model berbasis pengajaran.</p>
<p>Sumber daya ini mengajarkan <a href="https://www.learningtrajectories.org">prinsip-prinsip mendasar dari pemrograman, sembari anak-anak juga tengah menguasai kemampuan kebahasaan dan spasial lainnya</a>.</p>
<h2>Cara berpikir komputasional</h2>
<p>Pada dasarnya, <a href="https://www.bbc.co.uk/bitesize/guides/zp92mp3/revision/1">cara berpikir komputasional</a> itu tentang komunikasi. Komputer bertindak melalui respons terhadap perintah.</p>
<p>Jika kamu berpikir memberikan arahan yang jelas merupakan hal gampang, tonton saja “<em>Exact Instructions Challenge</em>” yang pernah dilakukan seorang kreator YouTube bernama Josh Darnit bersama anak-anaknya. Mereka berupaya membuat <em>sandwich</em> selai kacang melalui perintah langsung yang harus tepat.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/cDA3_5982h8?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">“<em>Exact Instructions Challenge</em>” dari kreator YouTube Josh Darnit.</span></figcaption>
</figure>
<p>Untuk belajar cara berpikir komputasional, anak-anak harus belajar untuk membuat masalah, wawasan, proses, dan solusi mereka yang sebelumnya abstrak, menjadi cukup jelas dan sistematis sehingga mudah dipahami siswa lain dan jadi terbuka untuk didiskusikan dan diperdebatkan.</p>
<p>Mereka harus belajar bagaimana caranya mengekspresikan dan membagikan proses <a href="https://medium.com/@mres/the-seeds-that-seymour-sowed-c2860379617b">berpikir reflektif melalui kata-kata yang terucap dan tertulis serta diagram-diagram</a>.</p>
<h2>Dukungan pemrograman yang ada saat ini</h2>
<p>Di Kanada, tempat saya mengajar, kami cukup beruntung memiliki program nasional yang <a href="https://www.ic.gc.ca/eic/site/121.nsf/eng/00003.html">mendanai pengajaran pemrograman</a>.</p>
<p>Skema ini telah mendanai proyek-proyek seperti <a href="https://www.codetolearn.ca/">CanCodeToLearn</a>, <a href="https://hackergal.org/">Hackergal</a>, dan <a href="https://blackboyscode.ca/">Black Boys Code</a>, yang telah memberikan peluang bagi anak-anak Taman Kanak-Kanak (TK) hingga kelas 12 dan guru untuk belajar kemampuan digital. Ini termasuk pemrograman, analitika data, dan pengembangan konten digital yang kemudian juga melengkapi dan mendukung <a href="https://www.ontario.ca/page/new-math-curriculum-grades-1-8">kurikulum provinsi</a>.</p>
<p>Inisiatif semacam ini menggunakan robot-robot yang bisa diprogram, serta bahasa pemrograman yang ramah pengguna seperti <a href="https://scratch.mit.edu/">Scratch</a> dan <a href="https://lynxcoding.club/">Lynx</a> untuk membawa pemrograman ke dalam rumah-rumah dan juga ruang kelas.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/_q2RgQMc96k?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Video lab media MIT yang menjelaskan tentang Scratch.</span></figcaption>
</figure>
<p>Hal di atas memudahkan bahkan anak-anak yang paling muda sekalipun untuk bisa memerintahkan komputer untuk melakukan tindakan spesifik (definisi dari pemrograman komputer) dengan mengikuti urutan perintah tertentu.</p>
<h2>Pelajaran dari LOGO</h2>
<p>Lebih dari <a href="https://www.wired.com/2007/10/forward-40-wher">empat dekade lalu</a>, ilmuwan komputer dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) di AS mengembangkan <a href="https://doi.org/10.1145/3386329">bahasa pemrograman LOGO</a> untuk mengajarkan anak-anak hal-hal mendasar tentang pemrograman komputer. Anak-anak bisa mempelajari cara kerja perintah-perintah (<em>commands</em>) dengan menggambar bentuk-bentuk geometris, menyelesaikan permasalahan matematika, dan menciptakan permainan. LOGO juga <a href="https://el.media.mit.edu/logo-foundation/what_is_logo/history.html">diperkenalkan ke berbagai sekolah</a> di seluruh dunia.</p>
<p>Namun, sebagaimana catatan peneliti pendidikan P. Gibbons melalui esainya “Logo Learning: What the Learners Say,” dalam koleksi <a href="https://books.google.ca/books/about/Learning_in_Logo_Microworlds.html?id=_5RSAAAACAAJ&source=kp_book_description&redir_esc=yin%20https://books.google.ca/books/about/Learning_in_Logo_Microworlds.html?id=_5RSAAAACAAJ&source=kp_book_description&redir_esc=y"><em>Learning in Logo Microworlds</em></a>, ada perlawanan dari beberapa pendidik dan orang tua yang menganggap bahwa mempelajari LOGO tidak akan membawa manfaat jangka panjang. Mereka berargumen bahwa “para pemrogram yang sesungguhnya” tidak menggunakan LOGO karena bahasa pemrogaman tersebut hanya untuk anak-anak.</p>
<p>Direktur pendidikan dan kemampuan di Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD), Andreas Schleicher, juga menyiratkan bahwa <a href="https://www.telegraph.co.uk/education/2019/02/21/teaching-children-coding-waste-time-oecd-chief-says">mengajarkan anak tentang pemrograman hanyalah buang-buang waktu</a> karena pemrograman adalah “<a href="https://edtechnology.co.uk/latest-news/what-is-the-code-for-success/">teknik masa kini</a>” yang bisa jadi tiba-tiba berujung tidak berguna di masa depan.</p>
<p>Yang luput dipertimbangkan dalam kritik terkait pengajaran LOGO dan pemrograman adalah bahwa manfaat dari mempelajarinya, entah di sekolah atau di tempat lain, utamanya bukanlah tentang pelatihan teknis awal karir. Ini justru tentang membantu anak-anak mempelajari kemampuan berpikir dan memecahkan masalah yang bisa dipakai di berbagai situasi (<em>transferable</em>).</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/MyF8QY2ySTA?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Ilmuwan komputer Cynthia Solomon, salah satu pencipta LOGO, menjelaskan sejarah, pengembangan, dan penerapan dari bahasa pemrograman tersebut.</span></figcaption>
</figure>
<p>Belajar memprogram itu mirip dengan belajar membaca: mengenali huruf dan simbol, menyuarakan kata dan menyusun kalimat. Tapi kekuatan sesungguhnya dari belajar membaca baru <a href="https://readingtolearn.com.au">sungguh-sungguh teraktualisasi ketika murid membaca untuk belajar</a>.</p>
<p>Sama halnya, kekuatan sesungguhnya dari belajar memprogram adalah ketika anak-anak benar-benar menerapkan kemampuan berpikir dan pemecahan masalah yang mereka pelajari dari <em>coding</em> (<a href="https://www.codetolearn.ca/">memprogram untuk belajar</a>).</p>
<h2>Pembelajaran berbasis sentuhan dan permainan</h2>
<p>Ada beerbagai cara untuk menyiapkan anak-anak untuk belajar pemrograman, yang bisa diterapkan oleh guru kelas – meski mereka hanya memiliki wawasan terbatas (atau bahkan tidak sama sekali) terkait pemrograman.</p>
<p>Permainan seperti <em>four squares</em>, <em>hopscotch</em> dan <em>Simon Says</em> yang populer di negara Barat memuat pembelajaran tentang orientasi atau visualisasi dan kaitannya dengan orang lain, serta bagaimana caranya mengikuti perintah.</p>
<p>Untuk anak-anak, aktivitas berpikir komputasional bisa bermula dari langkah-langkah konkret yang berbasis sentuhan. Sebagai contoh, anak-anak bisa diminta untuk membuat <a href="https://code.org/curriculum/course2/1/Teacher">bentuk, pola, atau huruf dalam kertas petak</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Suatu grafik _grid_ dan simbol panah." src="https://images.theconversation.com/files/372320/original/file-20201201-12-17b8kun.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/372320/original/file-20201201-12-17b8kun.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=291&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/372320/original/file-20201201-12-17b8kun.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=291&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/372320/original/file-20201201-12-17b8kun.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=291&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/372320/original/file-20201201-12-17b8kun.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=365&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/372320/original/file-20201201-12-17b8kun.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=365&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/372320/original/file-20201201-12-17b8kun.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=365&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Pemrograman di kertas grafik dari ‘Learn to Code’.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://creativecommons.org/">(Learn to Code)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Ketika anak-anak ditantang untuk memecahkan tugas kompleks yang mereka pilih, mereka secara sengaja mengambil alih proses pembelajaran mereka sendiri. Membangun semangat seperti ini menjadi prinsip penting dalam <a href="https://www.oecd.org/education/2030-project/teaching-and-learning/learning/student-agency">upaya mendongkrak agensi (rasa berdaya untuk memilih atau menentukan) dari seorang murid</a>, dan juga merupakan <a href="https://theconstructionzone.wordpress.com/2014/07/04/making-does-not-equal-constructionism">kompetensi mendasar dalam membangun wawasan</a>.</p>
<p>Dengan berfokus pada proses menghasilkan, menajamkan, dan mengevaluasi ide mereka, anak-anak bisa menjadi lebih terasah dalam <a href="https://www.britannica.com/science/schema-cognitive">kemampuan berpikir kritis dan kreatif, serta membangun kerangka mental yang lebih rinci dan praktis</a>.</p>
<p>Ketika murid bisa mengenali bahwa ada beberapa solusi yang benar, dan juga banyak jawaban unik dan kreatif, mereka akan mampu melakukan <a href="https://www.media.mit.edu/posts/the-seeds-that-seymour-sowed/">kolaborasi yang produktif</a>. Ini juga membuka peluang bagi anak-anak untuk bermain dan mencoba ide-ide yang baru, kolektif, dan kreatif.</p>
<p>Pada akhirnya, para pemecah masalah masa kini yang kreatiflah yang akan menjadi teknologi ampuh masa depan yang sesungguhnya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/196085/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Lynda Colgan menerima dana dari NSERC, Kementerian Pendidikan Provinsi Ontario, Dewan Direktur Pendidikan Ontario, Stauffer Foundation, dan SSHRC.</span></em></p>Sebelum belajar coding, anak perlu belajar orientasi spasial, cara berkomunikasi, serta pemecahan masalah. Hal-hal ini bisa membantu mengajarkan hal-hal mendasar yang diperlukan dalam pemrograman.Lynda Colgan, Professor of Elementary Mathematics, Queen's University, OntarioLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1900622022-09-08T12:44:41Z2022-09-08T12:44:41Z‘Digital 'native’‘ atau 'naive’? Generasi Z di Indonesia cenderung percaya info dari pemerintah, tapi kesulitan mendeteksi hoaks<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/483492/original/file-20220908-9695-pfp3x4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/FPt10LXK0cg">(Unsplash/Robin Worral)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p><em>Tulisan ini kami terbitkan dalam rangka Hari Literasi Internasional yang jatuh pada 8 September.</em></p>
<hr>
<p>Memasuki era digital dan maraknya misinformasi, literasi digital semakin menjadi <a href="https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/65147742/SILVEIRA2020FAK-with-cover-page-v2.pdf?Expires=1662558148&Signature=FKQeyYMLXl4pTK0TsSES8kHFFeWEDhRNiSrqPQoqFd0ky1OOSdMcsbX1opXU42cKiv7Z%7EYQ6mqikrUI-xSX5ZiALjKvbDF6LHllJCH4lm8p1if8PvcQ3PF-SKW9Q-i8L64gICWPQJTYtoKBCm3v61uL7pBOKt0sNmfHG9kk4Z%7ESPVlSDbCSAjEM2Kn7H1LF5o74N3B3afy4ScRMUwlPbp83c9TkX3x%7EQL2h2Y0mUmtxi5CZ4P5CCuq%7Eqq0RJVwtOx-fzFT6Xc2Tar9FNimDle1pXW1roLLUAh2D61n1mVBtaQUfXKfM5u3mhcpl7XhEwvV3UzLbBeywWQFDxTXSIjg__&Key-Pair-Id=APKAJLOHF5GGSLRBV4ZA">kemampuan penting</a> bagi generasi muda – terutama Generasi Z.</p>
<p>Gen Z (lahir sekitar tahun 1996-2014), misalnya, <a href="https://ieeexplore.ieee.org/document/9245169">mencakup 23% dari total penduduk di dunia</a> dan terus bertambah. Mereka dikenal sebagai generasi asli digital (‘<em>digital natives</em>’) yang sangat terbiasa berinteraksi, berkomunikasi, dan mengelola informasi di ruang maya dan media sosial.</p>
<p>Meski demikian, hasil riset tentang kemampuan Gen Z dalam mendeteksi hoaks masih <a href="https://www.science.org/doi/10.1126/sciadv.aau4586#F1">belum</a> <a href="https://psmag.com/ideas/how-we-can-teach-gen-z-a-better-kind-of-media-literacy">konklusif</a>. Bahkan berbagai riset yang ada masih banyak fokus pada Gen Z di negara maju seperti <a href="https://www.science.org/doi/10.1126/sciadv.aau4586#F1">Amerika Serikat (AS)</a>.</p>
<p>Riset yang kami lakukan berupaya mengisi kekosongan kurangnya studi tentang Gen Z di Indonesia.</p>
<p>Pada tahun 2021-2022, kami terlibat dalam <a href="https://www.veski.org.au/smrp/">kolaborasi internasional</a> antara Departemen Teknik Mesin dan Industri di <a href="https://psti.ft.ugm.ac.id/#">Universitas Gadjah Mada (UGM)</a> dan <a href="https://www.deakin.edu.au/">Deakin University</a> di Australia untuk menganalisis tingkat kepercayaan dan kemampuan Gen Z di Indonesia dalam mengenali hoaks.</p>
<p>Berbeda dengan banyak riset sosial yang menggunakan metode kualitatif seperti <em>focus group discussion</em> (FGD), riset kami menggunakan metode kuantitatif melalui survei daring kepada 647 responden Gen Z di seluruh Indonesia.</p>
<p>Hasil sementara riset kami menemukan bahwa di satu sisi, mayoritas Gen Z percaya informasi dari sumber yang cenderung otoritatif, seperti lembaga kesehatan dan institusi pemerintah lain. Di sisi lain, mereka kesulitan membedakan antara informasi yang benar dengan yang hoaks.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-mendeteksi-berita-bohong-panduan-ahli-untuk-anak-muda-89098">Bagaimana mendeteksi berita bohong—panduan ahli untuk anak muda</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Percaya sumber otoritatif tapi gagal deteksi hoaks</h2>
<p>Dalam analisis, kami melakukan pendekatan ‘ergonomika kognitif’ (studi tentang respons kognitif manusia terhadap sekitarnya) yang khas dalam ilmu Teknik Industri.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, kami memberikan beberapa informasi dan skenario terkait kondisi COVID-19 di Indonesia dari berbagai sumber. Lalu, kami meminta responden Gen Z untuk memberikan skor berdasarkan kepercayaan mereka terhadap sumber tersebut.</p>
<p>Melalui teori komunikasi risiko atau <a href="https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/13511610.2010.512439?casa_token=wAy2ubB0CucAAAAA:XzBYoVpBKl2LWnE7syf2ywUy0NkOA3GXLP7_G-zG4O2TcL25cRaZMImXULEaOb5GriMLJXT5Atak"><em>Situational Judgement Theory</em> (SJT)</a>, kami kemudian mengelompokkan partisipan ke dalam empat kategori berdasarkan respons mereka – yakni <em>fatalist, individualist, hierarchy</em>, dan <em>egalitarian</em>.</p>
<p>Kategori <em>fatalist</em> merupakan masyarakat yang menerima takdir dan pasrah saja dengan segala informasi yang mereka dapat. Sementara, kategori <em>individualist</em> cenderung lebih bebas dan lebih percaya pada kemampuan mereka sendiri untuk merespons informasi.</p>
<p>Kategori <em>hierarchy</em> cenderung tunduk pada informasi dari otoritas seperti pemerintah dan pemangku kebijakan. Terakhir, kategori <em>egalitarian</em> adalah masyarakat yang cenderung mengikuti perilaku lingkungan sekitarnya dan lebih mudah dipengaruhi tatanan sosial. </p>
<p>Dari tes pertama ini, hasil riset menunjukkan bahwa mayoritas partisipan Gen Z (62%) termasuk dalam kategori <em>hierarchy</em>.</p>
<p>Sedangkan 23% responden tergolong <em>individualist</em>, 11% responden tergolong <em>fatalist</em>, dan hanya 5% responden tergolong sebagai <em>egalitarian</em>.</p>
<p>Artinya, Gen Z cenderung menaruh kepercayaan lebih tinggi pada informasi, aturan, dan regulasi dari sumber otoritatif seperti lembaga pemerintah yang berwenang, ketimbang sumber lain seperti mencari info sendiri atau mengikuti desas-desus yang beredar di lingkungan keluarga.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/483164/original/file-20220907-14-r1jq11.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/483164/original/file-20220907-14-r1jq11.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=387&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/483164/original/file-20220907-14-r1jq11.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=387&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/483164/original/file-20220907-14-r1jq11.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=387&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/483164/original/file-20220907-14-r1jq11.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=486&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/483164/original/file-20220907-14-r1jq11.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=486&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/483164/original/file-20220907-14-r1jq11.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=486&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Hasil asesmen <em>Situational Judgement Theory</em> (SJT): persentase partisipan berdasarkan kategori kepercayaan.</span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong>Kedua</strong>, kami juga menggunakan teori pemrosesan informasi atau <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/1745691620986135?casa_token=o-BGcVBvrsUAAAAA:5MtHKWL4LrS-5zRTzOIPNhnv88S1DyJtFFKKm7HM8Bb8YRWipKBrODdaYRbcA4w9CR87kGI3nnhQ"><em>Signal Detection Theory</em> (SDT)</a> untuk mengetahui kemampuan partisipan dalam mendeteksi hoaks.</p>
<p>Pada tahap ini, partisipan kami minta mendeteksi hoaks terkait COVID-19 dalam 30 berita – campuran informasi yang benar maupun hoaks – yang telah beredar di Facebook, Instagram, Twitter, Whatsapp, dan portal berita lain.</p>
<p>Kami menemukan bahwa dari 647 Gen Z yang berpartisipasi, 83% dari Gen Z cenderung menganggap informasi yang diberikan sebagai berita yang benar meskipun sebenarnya hoaks (kami sebut ‘konservatif’). Sementara, 71 orang atau sekitar 11%, cenderung menganggap informasi yang diberikan sebagai hoaks meski sebenarnya berita benar (kami sebut ‘liberal’). </p>
<p>Hanya 42 orang atau sekitar 6% yang dapat membedakan berita benar dan berita palsu dengan tepat dan akurat (kami sebut ‘ideal’).</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/483165/original/file-20220907-16-opsh1h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/483165/original/file-20220907-16-opsh1h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=242&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/483165/original/file-20220907-16-opsh1h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=242&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/483165/original/file-20220907-16-opsh1h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=242&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/483165/original/file-20220907-16-opsh1h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=304&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/483165/original/file-20220907-16-opsh1h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=304&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/483165/original/file-20220907-16-opsh1h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=304&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Hasil pengolahan <em>Signal Detection Theory</em> (SDT) terkait kemampuan Gen Z mendeteksi hoaks.</span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Mencari strategi pengutan literasi digital</h2>
<p>Dari temuan kami, dapat disimpulkan bahwa Gen Z di Indonesia bisa mengidentifikasi sumber informasi mana yang kredibel (misalnya lembaga kesehatan negara), tapi mayoritas dari mereka masih kesulitan mendeteksi berita hoaks yang beredar di media sosial.</p>
<p>Meski riset kami hanya fokus pada Gen Z dan belum bisa membandingkannya dengan generasi lain di Indonesia, temuan ini tetap mengkhawatirkan mengingat Gen Z sering dipuja sebagai generasi yang ‘melek digital’.</p>
<p>Gen Z dalam riset kami, misalnya, terindikasi cenderung hanya mau membaca judul artikel berita baik asli maupun hoaks, dan enggan untuk membaca artikel secara penuh dan memverifikasi kebenarannya.</p>
<p>Temuan kami ini sejalan dengan <a href="https://psmag.com/ideas/how-we-can-teach-gen-z-a-better-kind-of-media-literacy">sebuah penelitian</a> dari Stanford University di AS yang menemukan bahwa meski Gen Z merupakan ‘<em>digital natives</em>’, mereka juga bisa bersikap ‘<em>digital naive</em>’.</p>
<p>Berdasarkan penelitian ini, 82% partisipan Gen Z bahkan gagal membedakan berita dan iklan.</p>
<p>Di Indonesia, masih lemahnya kemampuan Gen Z dalam mendeteksi hoaks bisa jadi disebabkan oleh masih kurangnya kemampuan <a href="https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/65147742/SILVEIRA2020FAK-with-cover-page-v2.pdf?Expires=1662639764&Signature=IB%7ELSa26ZA0O9vrMCFoiKbLZ5PnmFz%7ENEIR4mdWIFG9ZR5wv5W9C63sC7qPYFwgRMQp1QfqKMte2UgThZnZdXQ4jQKre4lmMXB4XNAwnrWjUB%7E1WPJDEo%7EjX7CAtlw1SC7HKJdoRBYhm1ipnFWTRxWoenEGuJMllSqfuj4dwdafHFuryfNmviJbpmkYJlbEbtZxTdbYNBYzYAfNLDKCQM0XLJk3qCi3vjHpL6prKV8c4xoLlwtwJiZTkQlizsUKFTAMLCvxfSBrTI%7ETrFsGR1-92Kyp9wmSDCCPOgDXXMFDE3ocEMUtINxGQzXIhqI3uTeGkTBdySPUiMsgorrENmQ__&Key-Pair-Id=APKAJLOHF5GGSLRBV4ZA">literasi digital</a> yang mereka miliki. Berbagai akademisi mengamati banyaknya celah dalam edukasi literasi digital di <a href="https://theconversation.com/masih-ada-banyak-celah-dalam-pengajaran-literasi-media-digital-di-level-sekolah-150960">berbagai jenjang</a> pendidikan Indonesia. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/masih-ada-banyak-celah-dalam-pengajaran-literasi-media-digital-di-level-sekolah-150960">Masih ada banyak celah dalam pengajaran literasi media digital di level sekolah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Namun, sekadar meningkatkan kemampuan literasi digital di antara generasi muda tidaklah cukup.</p>
<p>Berdasarkan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/pdf/10.1080/1369118X.2019.1637445?casa_token=XeWjYgPXJwYAAAAA:uVa55nkoG0FjeVeYrFiuLeQjt2NixgmXPF2bak6AI4ntXGrZE57POiRuUXrIgvt-otP7OLQQKhMp">studi</a>, literasi digital memang akan membantu seseorang mengidentifikasi hoaks dengan lebih baik. Tapi, hal ini tidak meningkatkan kesediaan mereka untuk turut menyebarkan berita yang benar atau mengoreksi hoaks yang beredar.</p>
<p>Dengan kata lain, kaum muda yang punya literasi digital tinggi akan jago dalam memilah berita hoaks – tapi malas untuk menindaklanjutinya.</p>
<p>Sehingga, selain meningkatkan pendidikan literasi digital, kita juga perlu meningkatkan partisipasi generasi muda untuk mau membagikan informasi yang benar atau membenarkan informasi yang salah.</p>
<p>Seluruh pemangku kepentingan – dari dunia akademik hingga pemerintah – perlu terus merancang strategi-strategi baru untuk memperkuat ketahanan masyarakat dan kaum muda dalam meredam misinformasi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/190062/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Hilya Mudrika Arini menerima dana dari the Study Melbourne Research Partnerships Program bekerjasama antara UGM dengan Deakin University.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Titis Wijayanto menerima dana dari the Study Melbourne Research Partnerships Program bekerjasama antara UGM dengan Deakin University.
</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Nurul Lathifah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Riset kami menemukan bahwa meski Gen Z di Indonesia cenderung percaya pada sumber kredibel, mereka masih kesulitan mendeteksi hoaks yang beredar di media sosial.Hilya Mudrika Arini, Lecturer and Researcher in Industrial Engineering, Universitas Gadjah Mada Nurul Lathifah, Lecturer and Researcher in Industrial Engineering, Universitas IndonesiaTitis Wijayanto, Lecturer and Researcher, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1673452021-09-08T02:04:34Z2021-09-08T02:04:34ZHari Literasi 2021: pemerintah dan masyarakat perlu kembangkan terus pendekatan yang beragam<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/419440/original/file-20210905-13-1tqiu60.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&rect=1%2C17%2C1276%2C701&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Novi Kurnia sebagai fasilitator dalam pelatihan literasi digital atasi hoaks Covid-19 secara luring di Sleman yang diadakan oleh UPN Veteran Yogyakarta pada Juni lalu.</span> <span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span></figcaption></figure><p>Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan literasi digital masyarakat, supaya warga makin mampu menemukan, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan informasi melalui berbagai medium digital. Kemampuan ini begitu penting ketika perangkat dan konten digital semakin mendominasi perilaku komunikasi warga. </p>
<p>Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, misalnya, telah menjadikan literasi digital sebagai salah satu <a href="http://kurikulum.kemdikbud.go.id/kurikulum/data/data/3%20Dokumentasi%20Implementasi/Literasi%20Digital.pdf">konsep dalam Kurikulum 2013</a> sejak 2017 yang disusul dengan peluncuran <a href="http://ditpsd.kemdikbud.go.id/upload/filemanager/2021/06/4%20Modul%20Literasi%20Digital.pdf">modul literasi digital</a> untuk sekolah dasar pada tahun ini. </p>
<p>Pemerintah juga telah menyelenggarakan beberapa program literasi digital bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, seperti <a href="https://covid19.go.id/p/masyarakat-umum/kolaborasi-lawan-hoaks-covid-19-kampanye-riset-dan-pengalaman-japelidi-di-tengah-pandemi">kampanye lawan hoaks COVID-19</a> lalu <a href="https://aptika.kominfo.go.id/2021/05/peluncuran-literasi-digital-indonesia-makin-cakap-digital/">Program Makin Cakap Digital</a>, program hasil kolaborasi Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama ratusan organisasi maupun komunitas. </p>
<p>Beberapa gerakan literasi media juga muncul dari inisiatif masyarakat. Salah satu contohnya adalah <a href="https://tularnalar.id/tentang-kami/">Program Tular Nalar</a> yang merupakan kolaborasi berbagai gerakan masyarakat sipil seperti <a href="https://www.mafindo.or.id/">Mafindo</a>, <a href="https://maarifinstitute.org/">Maarif Institute</a>, <a href="https://lovefrankie.co/">Love Frankie</a>, dan didukung oleh <a href="https://www.google.org/">Google</a>, untuk mengajak masyarakat dalam peningkatan kompetensi kritis mengelola informasi.</p>
<p>Meski demikian, semua upaya formal dan informal itu masih belum bisa memenuhi kebutuhan warga yang sangat beragam. Oleh karena itu, kami melihat pentingnya pemangku kepentingan untuk mengupayakan beragam pendekatan untuk meningkatkan literasi digital masyarakat yang sangat majemuk.</p>
<p>Pemerintah perlu mengembangkan semangat <a href="https://dikti.kemdikbud.go.id/kabar-dikti/kampus-kita/lawan-hoaks-covid-19-japelidi-kampanye-dalam-42-bahasa-daerah/">lokalitas</a> dalam desain program literasi digital, supaya tidak bersifat Jawa-sentris dan mengulang kesalahan program-program nasional lainnya.</p>
<h2>Pendekatan Multitarget</h2>
<p>Hampir <a href="https://www.bps.go.id/publication/2020/12/02/be999725b7aeee62d84c6660/stati">70%</a> pengguna internet di Indonesia berasal dari kalangan (<a href="https://cloud.bssn.go.id/s/67QHws7cjirMffq">usia produktif</a>) antara 19-49 tahun . </p>
<p>Data menunjukkan <a href="https://literasidigital.id/sdm_downloads/status-literasi-digital-indonesia-2020-hasil-survei-di-34-provinsi/">tingkat literasi digital kelompok usia produktif tersebut</a> lebih tinggi dibandingkan mereka yang berusia di atas 55 tahun, yang masih relatif rendah. </p>
<p>Artinya, program literasi harus lebih intensif dipersiapkan bagi warga <a href="https://www.kompas.id/baca/utama/2019/05/29/lansia-butuh-pendampingan/">usia lanjut</a> tersebut. </p>
<p>Selain kelompok usia, program literasi digital Indonesia juga perlu menyasar kelompok-kelompok yang juga masih rentan terpapar oleh efek negatif penggunaan media digital, terlebih ketika <a href="https://www.liputan6.com/cek-fakta/read/4493427/selama-pandemi-covid-19-pemakaian-internet-indonesia-naik-hingga-40-persen">penggunaan media digital kian meningkat pada masa pandemi Covid-19</a>. </p>
<p>Mereka adalah <a href="http://literasidigital.id/sdm_downloads/ringkasan-eksekutif-seri-modul-literasi-digital/">kelompok anak-anak, perempuan, dan penyandang disabilitas</a> yang meski sering menjadi korban konten negatif di ruang maya, mereka merupakan kelompok penting untuk mewujudkan literasi digital Indonesia yang lebih inklusif.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/419582/original/file-20210906-27-1if86ce.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/419582/original/file-20210906-27-1if86ce.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/419582/original/file-20210906-27-1if86ce.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/419582/original/file-20210906-27-1if86ce.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/419582/original/file-20210906-27-1if86ce.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/419582/original/file-20210906-27-1if86ce.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/419582/original/file-20210906-27-1if86ce.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Dua buku Seri Sahabat Perempuan dan Literasi Digital yang diterbitkan oleh Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UGM bersama Japelidi dan Siberkreasi.</span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://literasidigital.id/books/yuk-temani-anak-berinternet/">Anak-anak</a> adalah generasi tumpuan yang perlu dipersiapkan dan didampingi agar bisa mengoptimalkan <a href="https://literasidigital.id/books/modul-cakap-bermedia-digital/">kecakapan digital</a> yang dimiliki sedari dini. <a href="http://literasidigital.id/sdm_downloads/whatsapp-group-and-digital-literacy-among-indonesian-women/">Perempuan</a> khususnya ibu adalah <a href="https://www.youtube.com/watch?v=DYr9KK1NJHo">garda terdepan</a> dalam keluarga untuk menggunakan media digital dengan lebih <a href="http://literasidigital.id/sdm_downloads/yuk-sahabat-perempuan-bermedia-sosial-dengan-bijak/">bijak</a> dan <a href="http://literasidigital.id/sdm_downloads/yuk-sahabat-perempuan-bertransaksi-daring-dengan-cermat/">cermat</a>. Sedangkan, <a href="http://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2218-menyelamatkan-kaum-difabel">penyandang disabilitas</a> perlu didukung <a href="https://inet.detik.com/cyberlife/d-5707665/kominfo-buat-program-kelas-podcast-produksi-konten-bagi-kaum-difabel">eksistensinya</a> oleh berbagai pihak agar dapat mengenyam <a href="https://www.antaranews.com/video/2336118/transformasi-digital-jadikan-penyandang-disabilitas-intelekual-mandiri-secara-ekonomi">program-program kecakapan</a> yang lebih ramah bagi mereka. </p>
<h2>Pendekatan multiprogram</h2>
<p>Masyarakat Indonesia sangat beragam sehingga program literasi digital sebaiknya juga bervariasi. </p>
<p>Selama ini ada kecenderungan bahwa program literasi digital dilakukan secara digital pula melalui beragam medium digital. </p>
<p>Tetapi, perlu diingat bahwa meski penggunaan internet di Indonesia meningkat, <a href="https://inet.detik.com/law-and-policy/d-5250733/pengguna-internet-ri-meningkat-tapi-akses-internet-belum-merata">akses internet belum merata</a>. Dengan begitu, program luring juga perlu dilakukan. </p>
<p>Program luring memang mempunyai kekuatan untuk melibatkan peserta lebih dalam serta menembus khalayak yang tidak sepenuhnya mempunyai akses internet yang baik. Salah satu contoh yang berhasil adalah <a href="https://kumparan.com/tugujogja/50-warga-sleman-ikuti-pelatihan-literasi-digital-atasi-hoaks-covid-19-dari-upnvy-1vzDvdZkOIG">pelatihan lawan hoaks pandemi secara luring</a> yang dilakukan oleh dosen Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta dan Universitas Gajah Mada di Yogyakarta ketika pandemi. Pelatihan tersebut terlaksana dengan tetap mengindahkan protokol kesehatan. </p>
<p>Kombinasi program daring dan luring juga bisa dijadikan pilihan. Salah satu contohnya saat konten kampanye daring <a href="http://japelidi.id/">Jaringan Pegiat Literasi Digital</a> di media sosial digunakan <a href="https://www.republika.co.id/berita/q7srd5291/japelidi-kampanye-42-bahasa-daerah-lawan-emhoaksem-covid19">warga secara mandiri untuk kampanye luring</a> di wilayahnya masing-masing. </p>
<p>Keterlibatan warga sebagai subjek dalam program literasi digital sangat penting sehingga mereka ikut memiliki program dan menjadi agen literasi digital dalam komunitasnya masing-masing. </p>
<p>Selain itu, kolaborasi berbagai aktor seperti pemerintah, pendidikan, komunitas, perusahaan teknologi, figur publik termasuk selebritas, tokoh agama, maupun tokoh masyarakat masih sangat diperlukan untuk mengajak masyarakat Indonesia lebih kritis dalam mengelola informasi yang didapatkan di beragam platform digital. </p>
<p>Tema <a href="https://events.unesco.org/event?id=1247500981&lang=1033">Hari Literasi Internasional tahun ini</a> adalah literasi demi pemulihan selama pandemi yang berorientasi pada manusia. Dengan melakukan pendekatan yang beragam dan melibatkan banyak pihak seperti di atas, kami berharap literasi digital yang dilakukan oleh pemerintah bisa fokus pada kebutuhan warganya yang memang sangat ragam dari Sabang hingga Merauke pada masa pandemi ini.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/167345/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Tidak ada yang perlu diungkapkan.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Engelbertus Wendratama dan Novi Kurnia tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pemerintah perlu mengembangkan semangat lokalitas dalam desain program literasi digitalEngelbertus Wendratama, Peneliti di PR2Media, PR2MediaNovi Kurnia, Associate Professor, Department of Communication Science, Universitas Gadjah Mada, Universitas Gadjah Mada Zainuddin Muda Z. Monggilo, Lecturer, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1566442021-03-20T05:48:24Z2021-03-20T05:48:24ZOrang dewasa penyebab indeks “kesopanan” digital Indonesia buruk: pentingnya literasi digital<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/390624/original/file-20210319-15-tkyhu8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/qZenO_gQ7QA">(Unspash/Camilo Jimenez)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Bulan lalu, survei <a href="https://www.microsoft.com/en-us/digital-skills/digital-civility?activetab=dci_reports:primaryr4"><em>Microsoft Digital Civility Index 2021</em></a> mengatakan bahwa warganet Indonesia “tidak sopan”. Dalam laporan tersebut, terdapat fakta yang belum banyak dibahas, yaitu bahwa penyebab utamanya adalah tingkah laku berinternet dari orang dewasa (usia 18-74).</p>
<p>Survei yang mengulas perilaku 58.000 warganet di 32 negara menempatkan
Indonesia sendiri <a href="https://query.prod.cms.rt.microsoft.com/cms/api/am/binary/RE4MM8l">menempati peringkat ke-29</a>, terparah di wilayah Asia Tenggara.</p>
<p>Salah satu temuan penting dalam laporan tersebut adalah ternyata orang dewasa (usia 18-74) yang mendominasi tindakan yang tidak sopan di ranah digital.</p>
<p><a href="https://query.prod.cms.rt.microsoft.com/cms/api/am/binary/RE4MM8l">Skor ketidaksopanan orang dewasa</a> di Indonesia sebesar 83 (naik 16 poin dari tahun lalu).</p>
<p>Sementara perilaku remaja (usia 13-17) bertahan di angka 68 tanpa ada perubahan. Tren global memang menunjukkan bahwa remaja (usia 13-17) adalah kelompok yang justru memimpin <a href="https://blogs.microsoft.com/on-the-issues/2021/02/08/new-microsoft-data-shows-improved-civility-online/">pulihnya kesopanan digital</a> sepanjang tahun 2020.</p>
<p>Meningkatnya skor pada orang dewasa di Indonesia utamanya dipicu oleh peningkatan hoaks dan penipuan.</p>
<h2>Orang dewasa sumber utama “ketidaksopanan”, menyebar hoaks dan misinformasi</h2>
<p>Kecenderungan orang dewasa berperilaku buruk di internet berkaitan dengan tingkat literasi mereka yang rendah. </p>
<p>Data tahun 2018 dari lembaga pendidikan dan kebudayaan UNESCO, menunjukkan <a href="http://uis.unesco.org/en/country/id">tingkat literasi</a> yang tertinggi di Indonesia terdapat pada kelompok 15-24 tahun.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-hoaks-rentan-disebar-oleh-orang-yang-tingkat-pendidikan-dan-penghasilannya-rendah-122906">Riset: hoaks rentan disebar oleh orang yang tingkat pendidikan dan penghasilannya rendah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><a href="https://katadata-s3-public.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com/media/kic/kominfo/Status%20Literasi%20Digital_Nasional.pdf">Laporan tahun 2020</a> dari lembaga analisis Katadata Insight Center (KIC) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) juga mengatakan bahwa <a href="https://www.pewresearch.org/fact-tank/2019/01/17/where-millennials-end-and-generation-z-begins/">Gen X (usia 40-55)</a> secara umum memiliki literasi digital yang lebih buruk dari kelompok remaja dan milenial muda.</p>
<p>Hal tersebut kemudian diperparah ketika mereka menggunakan media sosial percakapan – terutama Whatsapp – untuk menyebarkan berita dan informasi.</p>
<p>Di Indonesia, kombinasi dari <a href="https://www.newmandala.org/disinformation-democracy-indonesia/">penetrasi internet yang tidak merata</a> ditambah dengan <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2018/11/19/time-leave-hoaxes-fake-news-thrive-whatsapp-group-chats.html">kebiasaan bergosip</a> mendorong tingginya penggunaan Whatsapp (<a href="https://katadata-s3-public.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com/media/kic/kominfo/Status%20Literasi%20Digital_Nasional.pdf">98,9%</a>), terutama di kalangan orang dewasa.</p>
<p>Beberapa akademisi mengatakan bahwa Whatsapp adalah sumber terbesar <a href="https://theconversation.com/mengapa-infodemi-covid-19-begitu-cepat-menyebar-lewat-media-sosial-137715">merebaknya misinformasi</a>. Hal ini juga sangat terasa <a href="https://theconversation.com/sekadar-mengingatkan-misinformasi-pandemi-paling-banyak-ada-di-whatsapp-135430">selama pandemi COVID-19</a>.</p>
<p>Kecenderungan menyebarkan hoaks tersebut kemudian juga semakin diperburuk oleh kenyataan bahwa sumber-sumber yang selayaknya dipercaya orang dewasa – seperti pemimpin dan figur politik yang rata-rata orang dengan usia di atas 30 tahun – juga tidak memberikan contoh yang baik dalam konsumsi informasi publik.</p>
<p>Keacuhan pemerintah pada kredibilitas sumber informasi dapat kita lihat dari beberapa contoh – mulai dari bantahan atas riset Universitas Harvard, Amerika Serikat yang <a href="https://news.detik.com/berita/d-4894445/harvard-sebut-corona-seharusnya-sudah-masuk-ri-menkes-itu-menghina">menyatakan virus corona sudah masuk Indonesia</a> di awal tahun 2020, sampai penolakan terhadap <a href="https://www.cnbcindonesia.com/news/20210208135845-4-221858/soal-vaksinasi-selesai-10-tahun-moeldoko-belajar-dulu-sini">riset Bloomberg tentang akhir pandemi di Indonesia yang masih lama</a> karena minimnya jumlah pelaksanaan vaksin per hari belum lama ini. </p>
<p>Potret berbagai pernyataan semacam ini kemudian <a href="https://www.ft.com/content/01daa8da-8662-11de-9e8e-00144feabdc0">tercermin pada masyarakat</a> secara umum.</p>
<h2>Perlindungan digital di media sosial masih perlu perbaikan</h2>
<p>Langkah utama dalam menyasar akar misinformasi tentu saja adalah pendidikan literasi digital.</p>
<p>Berbeda dengan anak muda yang sejak kecil sudah biasa dengan teknologi digital, orang dewasa – terutama <a href="https://www.remotivi.or.id/di-balik-layar/532/para-ibu-yang-terabaikan-dalam-pusaran-hoaks">kelompok yang sering diabaikan</a> seperti ibu-ibu – juga perlu terus disasar. Peningkatan literasi digital tersebut bisa dalam bentuk pendampingan atau pelatihan penggunaan internet dan kompetensi untuk memeriksa kredibilitas informasi digital.</p>
<p>Hal ini bertujuan untuk menciptakan kemandirian konsumsi informasi dan ketahanan digital, khususnya dari paparan resiko hoaks.</p>
<p>Namun, di samping itu, perlindungan digital bagi warganet juga sangat penting untuk meredam penyebaran hoaks di level media sosial.</p>
<p>Indonesia sendiri saat ini masih <a href="https://theconversation.com/yang-luput-dibicarakan-dari-kasus-jerinx-kita-tak-punya-aturan-jelas-melawan-hoax-misinformasi-dan-disinformasi-145172">belum memilliki</a> aturan mengenai penanganan hoaks dan misinformasi yang jelas. Tapi tentunya kewenangan pemerintah dalam mengatur ekspresi di ranah digital harus dibatasi agar tidak ada pelanggaran privasi dan hak asasi manusia.</p>
<p>Meskipun kita juga <a href="https://theconversation.com/we-cant-trust-big-tech-or-the-government-to-weed-out-fake-news-but-a-public-led-approach-just-might-work-155955">tidak bisa sepenuhnya percaya</a> pada perusahaan teknologi dalam regulasi konten digital, <a href="https://www.cambridge.org/core/books/disinformation-age/why-it-is-so-difficult-to-regulate-disinformation-online/A7613D7394F18AAE8F241894E8DA064A/core-reader">swa-aturan (<em>self-regulation</em>)</a> dari perusahaan media sosial bisa menjadi solusi kompromi antara aktor negara dan aktor swasta.</p>
<p>Beberapa cara perusahaan media sosial bisa <a href="https://theconversation.com/if-big-tech-has-the-will-here-are-ways-research-shows-self-regulation-can-work-154248">meredam penyebaran hoaks secara bertanggung jawab</a> adalah dengan mengubah algoritma supaya tidak sepenuhnya fokus pada daya interaksi (<em>engagement</em>), memberikan label pada konten yang meragukan, serta melibatkan komunitas penggunanya dalam pengawasan konten.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/if-big-tech-has-the-will-here-are-ways-research-shows-self-regulation-can-work-154248">If Big Tech has the will, here are ways research shows self-regulation can work</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Twitter baru saja menyediakan fitur untuk <a href="https://www.theguardian.com/technology/2020/jun/11/twitter-aims-to-limit-people-sharing-articles-they-have-not-read">mencegah pengguna membagikan berita apabila belum dibaca</a>. Mekanisme ini memang tidak secara langsung menghalangi pelaku melakukan penyebaran informasi, tapi di tengah penyebaran informasi yang serba cepat, cara ini bisa membantu mengingatkan akan pentingnya memeriksa fakta.</p>
<p>Harapannya, berbagai fitur tersebut bisa meredakan penyebaran hoaks sebelum berkembang menjadi lebih parah lagi – misal dalam bentuk serangan atau <a href="https://theconversation.com/merunut-lemahnya-hukum-cyberbullying-di-indonesia-110097">perundungan digital.</a></p>
<p>Laporan Microsoft menemukan hampir <a href="https://query.prod.cms.rt.microsoft.com/cms/api/am/binary/RE4MM8l">setengah warganet Indonesia</a> mengaku terlibat insiden perundungan. Korban terbesarnya adalah Gen Z (47%) dan milenial (54%).</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/390583/original/file-20210319-17-v1xvde.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/390583/original/file-20210319-17-v1xvde.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/390583/original/file-20210319-17-v1xvde.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/390583/original/file-20210319-17-v1xvde.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/390583/original/file-20210319-17-v1xvde.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=296&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/390583/original/file-20210319-17-v1xvde.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/390583/original/file-20210319-17-v1xvde.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/390583/original/file-20210319-17-v1xvde.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=371&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Fitur perlindungan di media sosial penting untuk meredakan penyebaran hoaks sebelum berkembang menjadi lebih parah lagi – misal dalam bentuk serangan atau perundungan digital.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Yang jelas, penindakan hoaks secara paksa – seperti melalui <a href="https://news.detik.com/berita/d-5435321/siber-polri-mulai-kirim-peringatan-virtual-ke-akun-medsos-yang-sebar-hoax">polisi siber</a> – bukanlah solusi tepat, terutama mengingat berbagai pasal karet dalam <a href="https://theconversation.com/bolak-balik-wacana-revisi-uu-ite-kapan-pemerintah-serius-156408">Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)</a> versi sekarang masih sangat rawan untuk disalahgunakan.</p>
<p>Indonesia membutuhkan pendidikan literasi digital sebagai pengguna internet, sehingga layaknya perusahaan media sosial saat ini, warganet Indonesia akan memiliki “swa-aturan” sendiri untuk menyaring kredibilitas konten yang akan dibagikan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/156644/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Eka Nugraha Putra terafiliasi dengan Bully ID, platform perlindungan korban perundungan digital dan pelecehan di internet, dan juga merupakan Research Fellow untuk program HAM dan Demokrasi di International NGO Forum for Indonesian Development (INFID).</span></em></p>Laporan Microsoft Digital Civility Index 2021 bulan lalu mengatakan warganet Indonesia “tidak sopan”. Penyebab utamanya adalah tingkah laku berinternet dari orang dewasa (usia 18-74).Eka Nugraha Putra, Doctor of Juridical Science Candidate at Indiana University, Lecturer in Law, Universitas Merdeka MalangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1509602021-01-28T07:06:18Z2021-01-28T07:06:18ZMasih ada banyak celah dalam pengajaran literasi media digital di level sekolah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/380152/original/file-20210122-15-1oc1wfr.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1422357312">(ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)</a></span></figcaption></figure><p>Pesatnya pertumbuhan <a href="https://apjii.or.id/survei">penggunaan internet di Indonesia</a> tidak diimbangi dengan kemampuan masyarakat dalam menilai dan mengecek kebenaran sumber informasi media melalui teknologi digital. Kemampuan ini dikenal sebagai <a href="https://theconversation.com/tiga-aspek-literasi-digital-mengapa-ponsel-membuat-anda-sulit-fokus-103062">literasi media digital</a>. </p>
<p>Tanpa literasi media digital, pengguna internet Indonesia kewalahan dengan <a href="https://theconversation.com/melawan-persebaran-disinformasi-di-indonesia-119285">banjir berita palsu</a> di berbagai <em>platform</em> media sosial.</p>
<p>Pandemi COVID-19 kemudian <a href="https://theconversation.com/mengapa-infodemi-covid-19-begitu-cepat-menyebar-lewat-media-sosial-137715">memperparah kondisi ini</a>. Sebagian besar masyarakat menggunakan media sosial untuk mencari informasi mengenai <em>coronavirus</em>, tanpa kemampuan memvalidasi mana sumber berita yang bisa dipercaya.</p>
<p>Survei dari Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama beberapa organisasi media lain pada pertengahan 2020 yang melibatkan 1.670 responden di 34 provinsi menunjukkan indeks literasi digital Indonesia <a href="https://kominfo.go.id/content/detail/30928/siaran-pers-no-149hmkominfo112020-tentang-hasil-survei-indeks-literasi-digital-nasional-2020-akses-internet-makin-terjangkau/0/siaran_pers">masih masuk dalam kategori sedang</a>, yaitu 3,47 dari 5.</p>
<p>Skor terendah (3,17 dari 5) ada pada aspek literasi pengolahan informasi dan data. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/melawan-persebaran-disinformasi-di-indonesia-119285">Melawan persebaran disinformasi di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><a href="https://theconversation.com/analisis-pentingnya-literasi-digital-yang-kritis-di-tengah-gempuran-misinformasi-pandemi-136184">Beberapa akademisi</a> berpendapat pengajaran literasi media digital terutama di <a href="https://www.newmandala.org/disinformation-democracy-indonesia/">level sekolah</a> karena dapat menjadi solusi yang efektif karena memberikan masyarakat pembekalan untuk dapat mengkritisi informasi di internet sejak usia dini.</p>
<p>Sayangnya, selama tahun 2010-2017 sekolah bahkan hanya menyumbang <a href="https://theconversation.com/pemetaan-9-kota-menegaskan-indonesia-harus-bangkit-dari-gagap-digital-84064">3,7% dari 342 kegiatan literasi media digital</a> yang diselenggarakan di Indonesia.</p>
<p>Dalam tulisan ini, saya ingin menjelaskan beberapa hambatan dari pengajaran literasi media digital yang ada di Indonesia dan rekomendasi untuk mengatasi hambatan tersebut.</p>
<h2>Hambatan pengajaran literasi media digital di Indonesia</h2>
<p>Renee Hobbs, profesor Ilmu Komunikasi di University of Rhode Island, Amerika Serikat, dalam bukunya “<a href="https://mediaeducationlab.com/digital-and-media-literacy-education"><em>Digital and Media Literacy</em></a>” menekankan pentingnya kemampuan berpikir kritis dalam literasi media digital.</p>
<p>Kemampuan ini terdiri dari lima dimensi yang diperlukan untuk menganalisis dan memberikan solusi terkait konten media.</p>
<p>Kelima dimensi tersebut adalah mengakses, menganalisis, berkreasi, merefleksikan, serta melakukan aksi dengan konten digital.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/5037547/embed" title="Interactive or visual content" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:800px;" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/5037547/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/5037547" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<p>Organisasi Pendidikan, Sains, dan Budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebenarnya telah <a href="https://iite.unesco.org/pics/publications/en/files/3214705.pdf">menerbitkan modul</a> tentang pedagogi (teknik pendidikan) literasi media dan informasi untuk diadaptasi di sekolah dengan kompetensi dasar yang memuat lima dimensi cetusan Renee Hobbs.</p>
<p>Modul tersebut memberikan panduan penerapannya dalam tiga tingkatan yaitu dasar, menengah, dan atas. </p>
<p>Sayangnya, masih ada celah antara rekomendasi UNESCO tersebut dengan pendidikan literasi media digital yang ada di Indonesia.</p>
<iframe src="https://flo.uri.sh/visualisation/5037895/embed" title="Interactive or visual content" frameborder="0" scrolling="no" style="width:100%;height:600px;" width="100%" height="400"></iframe>
<div style="width:100%!;margin-top:4px!important;text-align:right!important;"><a class="flourish-credit" href="https://public.flourish.studio/visualisation/5037895/?utm_source=embed&utm_campaign=visualisation/5037895" target="_top"><img alt="Made with Flourish" src="https://public.flourish.studio/resources/made_with_flourish.svg"> </a></div>
<p>Misalnya, pemerintah menerbitkan <a href="https://jdih.kemdikbud.go.id/arsip/Permendikbud%20Nomor%2037%20Tahun%202018.pdf">Permendikbud Nomor 37 Tahun 2018</a> untuk memasukkan mata pelajaran Informatika (sebelumnya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)) di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).</p>
<p>Ini dilakukan sebagai upaya membekali anak muda dengan kemampuan untuk menguasai teknologi maupun informasi di dunia digital. </p>
<p>Namun, terdapat beberapa celah antara mata pelajaran Informatika tersebut dengan yang dianjurkan oleh Hobbs dan UNESCO.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, pembelajaran tersebut belum ada di tingkat Sekolah Dasar (SD) - berlawanan dengan anjuran yang diberikan oleh UNESCO.</p>
<p>Padahal, literasi media dan digital sebaiknya mulai dikenalkan sejak level dasar yang berfokus pada aspek mengakses media dan menganalisis kontennya secara sederhana.</p>
<p>Sehingga pada jenjang selanjutnya, peserta didik sudah fasih dalam mengakses media dan tinggal masuk ke tahap berikutnya yaitu menganalisis, berkreasi, merefleksikan, dan melakukan aksi konten digital yang bermanfaat. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, pada jenjang SMP dan SMA pun, empat dari lima topik dalam mata pelajaran Informatika lebih membahas mengenai aspek teknik saja.</p>
<p>Materi dengan muatan literasi media digital hanya terdapat dalam satu topik, yaitu “dampak sosial informatika”.</p>
<p>Bahkan, alokasinya hanya 4-6 jam saja dalam satu semester atau sekitar 16 persen dari komposisi materi Informatika.</p>
<p>Padahal, topik tersebut lah yang memuat etika dalam penggunaan teknologi (dimensi “refleksi”), bagaimana mengolah informasi dengan tepat (dimensi “analisis”), dan komunikasi konten digital yang baik di media sosial (dimensi “kreasi” dan “aksi”).</p>
<p>Hal tersebut penting diajarkan <a href="https://iite.unesco.org/pics/publications/en/files/3214705.pdf">sejak usia SMP</a> mengingat anak-anak di Indonesia mulai aktif menggunakan media sosial <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/11/23/berapa-usia-mayoritas-pengguna-media-sosial-di-indonesia">sejak usia 13 tahun</a>.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, lebih lanjut lagi di level SMA, dimensi “kreasi” yang diajarkan juga masih sebatas menyinggung pembuatan perangkat seperti program dan aplikasi komputer.</p>
<p>Di tahap ini, dimensi “kreasi” dan “aksi” seharusnya juga fokus pada menciptakan konten digital yang memiliki dampak perubahan - misalnya membuat kampanye sosial yang efektif di berbagai media.</p>
<h2>Apa yang bisa dilakukan?</h2>
<p>Selain mewajibkan mata pelajaran Informatika di seluruh sekolah dan jenjang, pemerintah perlu menyesuaikan atau bahkan merumuskan kurikulum baru yang fokus pada literasi media digital.</p>
<p>Hingga saat ini, materi Informatika disajikan sebagai ilmu eksakta yang dominan membahas teknik komputer. Padahal, pendidikan literasi media digital juga memuat kompetensi mengkritisi informasi dan etika penggunaan media penting diajarkan di sekolah untuk mengakomodasi arahan UNESCO dan lima dimensi Hobbs. </p>
<p>Sebagai upaya tambahan, sekolah juga sebaiknya mengadakan program bimbingan literasi media digital yang dilakukan oleh guru teknologi informasi pada peserta didik maupun tenaga kependidikan lainnya di tingkat SMP dan SMA, misalnya sebagai kegiatan ekstrakurikuler.</p>
<p>Hal ini difasilitasi dalam <a href="https://jdih.kemdikbud.go.id/arsip/Permendikbud_Tahun2015_Nomor045.pdf">Permendikbud Nomor 45 Tahun 2015</a> tentang peran guru TIK di sekolah.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-mendeteksi-berita-bohong-panduan-ahli-untuk-anak-muda-89098">Bagaimana mendeteksi berita bohong—panduan ahli untuk anak muda</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Program bimbingan ini dilakukan secara berkelompok setidaknya 5 kali per semester, maupun secara individual pada setiap jam kerja. Fokus dari program tambahan ini harus mencakup lima dimensi literasi media dan digital di atas.</p>
<p>Misalnya, sekolah bisa memberikan materi tentang <a href="https://theconversation.com/melawan-persebaran-disinformasi-di-indonesia-119285">membedakan berita palsu</a>, teknik membingkai ide tulisan, jurnalisme dasar, komunikasi pemasaran sederhana, dan etika menggunakan media sosial. </p>
<p>Kurikulum dan program pengajaran yang baik di level sekolah akan membangun generasi muda yang tidak mudah termakan hoaks, bahkan mampu melahirkan kreator media sosial yang bermanfaat di dunia maya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/150960/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Lisa Esti Puji Hartanti tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dalam tulisan ini, saya ingin menjelaskan beberapa hambatan dari pengajaran literasi media digital yang ada di Indonesia dan rekomendasi untuk mengatasi hambatan tersebut.Lisa Esti Puji Hartanti, Doctoral Candidate Department of Communication University of Vienna & Full Lecturer School of Communication, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1362502020-04-21T06:02:43Z2020-04-21T06:02:43ZPeran media dalam mencegah stigma terhadap korban dan pekerja medis di tengah pandemi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/328594/original/file-20200417-192703-1516tus.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">pekerja medis Hotli Simanjuntak EPA</span> </figcaption></figure><p>Di tengah perjuangan pekerja medis dan derita pasien menghadapi COVID-19, sebagian masyarakat menolak kehadiran mereka. Di <a href="https://regional.kompas.com/read/2020/04/02/14451591/soal-penolakan-pemakaman-pasien-covid-19-bupati-banyumas-minta-maaf">Banyumas</a>, dan <a href="https://tirto.id/kronologi-penolakan-jenazah-perawat-corona-covid-19-di-semarang-eMi6">Semarang</a>, Jawa Tengah, serta <a href="https://regional.kompas.com/read/2020/04/02/15064821/warga-gowa-tolak-wilayahnya-dijadikan-lokasi-pemakaman-pasien-covid-19">Gowa</a>, Sulawesi Selatan, beberapa warga bahkan menolak pemakaman korban wabah di wilayah mereka. </p>
<p>Banjir informasi di media mengenai wabah <a href="https://www.who.int/docs/default-source/searo/indonesia/covid19/who-situation-report-3-11042020.pdf?sfvrsn=1769c4fb_2">COVID-19</a> memiliki andil membentuk persepsi masyarakat terhadap mereka yang bersentuhan dengan wabah. </p>
<p>Pada saat yang sama media bisa berperan besar mencegah proses pemberian stigma dengan menyampaikan informasi yang mendorong masyarakat berempati di tengah pandemi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/analisis-pentingnya-literasi-digital-yang-kritis-di-tengah-gempuran-misinformasi-pandemi-136184">Analisis: pentingnya literasi digital yang kritis di tengah gempuran misinformasi pandemi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Terbentuknya stigma</h2>
<p><a href="https://time.com/5779872/coronavirus-ebola-news-coverage/">Studi</a> menjelaskan pemberitaan mengenai COVID-19 lebih kuat ketimbang Ebola di tahun 2018. Media berbondong-bondong memberitakan wabah. </p>
<p>Semakin intensnya pemberitaan membuat masyarakat memantau perkembangan terkait COVID-19 melalui berbagai media seperti televisi dan media online. </p>
<p>Hasil riset <a href="https://www.nielsen.com/id/id/press-releases/2020/covid-19-dan-dampaknya-pada-tren-konsumsi-media/"><em>Nielsen Television Audience Measurement</em> (TAM)</a> di 11 kota di Indonesia, misalnya, menunjukkan rata-rata kepemirsaan TV meningkat dari rata-rata rating 12% di 11 Maret menjadi 13,8% di tanggal 18 Maret atau setara dengan penambahan sekitar 1 juta pemirsa TV.</p>
<p>Riset yang dilakukan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/tech/20200416154547-39-152424/apjii-efek-wfh-trafik-penggunaan-internet-ritel-naik-20">Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia</a> (APJII) mencatat adanya peningkatan 15-20% <em>traffic</em> internet di masa pandemi COVID-19. </p>
<p>Sayangnya, media tidak luput dari informasi menyesatkan juga meresahkan.</p>
<p>Beredarnya berita salah atau bohong di awal-awal pandemi berlangsung, seperti soal <a href="https://www.suara.com/news/2020/04/04/125718/hasil-studi-iklim-tropis-sebenarnya-tak-cocok-untuk-covid-19">iklim tropis</a>, <a href="https://tirto.id/menguji-klaim-khasiat-jamu-penangkal-covid-19-eEg1">konsumsi jamu</a>, hingga kelakar soal <a href="https://www.antaranews.com/berita/1302390/budi-karya-virus-covid-19-tidak-masuk-indonesia-karena-nasi-kucing">nasi kucing</a>, membuat masyarakat abai pada masa awal <a href="https://www.nytimes.com/2020/02/11/world/asia/coronavirus-indonesia-bali.html">wabah</a> di Indonesia. </p>
<p>Ketika wabah ini semakin menyebar dan memakan korban, masyarakat tampak terkejut, tidak siap, lalu melakukan langkah-langkah pencegahan dengan <em>sembrono</em>.</p>
<p>Misalnya, setelah pemerintah mengumumkan <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/31/213418865/rekap-kasus-corona-indonesia-selama-maret-dan-prediksi-di-bulan-april">kasus pertama</a> pada 2 Maret, sebagian masyarakat berbondong-bondong membeli dan menimbun barang (<a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/03/03/panic-buying-hits-jakarta-supermarkets-as-govt-announces-first-covid-19-cases.html"><em>panic buying</em></a>). </p>
<p>Masyarakat juga terdorong <a href="https://www.liputan6.com/health/read/4208813/dokter-ungkap-bahaya-bikin-hand-sanitizer-sendiri-salah-salah-bisa-meledak">membuat <em>hand sanitizer</em> sendiri</a> yang tidak jarang tidak sesuai saran Organisasi Kesehatan Dunia (<a href="https://www.who.int/gpsc/5may/Guide_to_Local_Production.pdf">WHO</a>). </p>
<p>Namun, masyarakat juga memberi cap negatif pada korban COVID-19 dan pekerja medis, menyisihkan mereka secara sosial - seperti yang terjadi di Banyumas, Semarang, dan Gowa. </p>
<p>Pemberian stigma ini didorong oleh kekhawatiran, ketakutan, dan kegelisahan diakibatkan <a href="https://theconversation.com/analisis-pentingnya-literasi-digital-yang-kritis-di-tengah-gempuran-misinformasi-pandemi-136184">rendahnya pemahaman dan sikap kritis</a> terhadap informasi yang diterima lewat media, <a href="https://theconversation.com/sekadar-mengingatkan-misinformasi-pandemi-paling-banyak-ada-di-whatsapp-135430">media sosial</a>, dan juga intimidasi para <a href="https://regional.kompas.com/read/2020/04/15/09560181/pns-dan-perangkat-desa-jadi-tersangka-penolakan-pemakaman-jenazah-covid-19">provokator</a>. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/skor-siswa-indonesia-dalam-penilaian-global-pisa-melorot-kualitas-guru-dan-disparitas-mutu-penyebab-utama-128310">Skor siswa Indonesia dalam penilaian global PISA melorot, kualitas guru dan disparitas mutu penyebab utama</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Peran media</h2>
<p>Dalam situasi pandemi, media wajib melakukan kontrol secara ketat pemberitaan yang akan dipublikasi. </p>
<p>Para pekerja media perlu mengikuti <a href="https://dewanpers.or.id/assets/ebook/buku/822-Buku%20Pers%20berkualitas%20masyarakat%20Cerdas_final.pdf">kode etik</a> jurnalistik untuk memutuskan mana yang perlu dan pantas diungkap ke publik terkait wabah. </p>
<p>Misalnya, media tidak mempublikasikan identitas tanpa seizin dan sepertujuan pasien untuk melindungi privasi mereka. </p>
<p>Pemberitaan yang mengungkap data angka kasus dan jumlah kematian yang mencemaskan dapat diimbangi dengan mengangkat kisah kerja keras tenaga medis dan perjuangan pasien melawan COVID-19. Hal ini dapat meningkatkan empati masyarakat.</p>
<p>Media juga bisa mengedukasi publik dengan menjelaskan <a href="https://mediaindonesia.com/read/detail/302207-dpr-ri-minta-prosedur-pemakaman-jenazah-covid-19-disosialisasikan">prosedur pemakaman</a> korban wabah, sehingga masyarakat alih-alih takut dan sinis, masyarakat menjadi berdaya ketika misalnya terdapat korban yang akan dimakamkan di wilayah mereka. </p>
<p>Komunikasi krisis pemerintah selama pandemi ini masih <a href="https://theconversation.com/analisis-pemerintah-masih-bisa-perbaiki-komunikasi-krisis-pandemi-yang-sejauh-ini-gagal-134542">buruk</a>. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi, dan Sosial (LP3ES) mencatat sedikitnya <a href="https://www.liputan6.com/news/read/4221200/lp3es-ada-37-statemen-blunder-pemerintah-terkait-covid-19">37 pernyataan salah</a> pemerintah terkait COVID-19. </p>
<p>Media dalam hal ini perlu menjalankan <a href="https://books.google.com.my/books?id=DNBY0eDqQi0C&lpg=PP2&ots=KOwymcWXQw&dq=Mcquail%20social%20control&lr&hl=id&pg=PR7#v=onepage&q&f=false">fungsi kontrol sosial</a> dengan mengkritik, memilah dan memberi informasi yang jelas pada pemirsa. Informasi pemerintah yang ada berbeda-beda dan tumpang tindih membuat masyarakat tidak memiliki rujukan pasti menghadapi wabah.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/melawan-persebaran-disinformasi-di-indonesia-119285">Melawan persebaran disinformasi di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Membangun pemikiran kritis</h2>
<p>Banyak media di Indonesia yang sebenarnya telah melakukan pemberitaan berimbang dan edukasi masyarakat. Harian Tempo, misalnya, menurunkan beberapa liputan soal tenaga medis yang <a href="https://koran.tempo.co/read/laporan-utama/451608/karena-semua-dokter-rawan-tertular">bertaruh nyawa</a> menangani pasien wabah; atau Kompas yang menulis soal <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/02/202000665/5-fakta-yang-perlu-diketahui-soal-jenazah-covid-19-ketika-hendak-dimakamkan?page=all#page2">prosedur pemakaman jenazah pasien wabah</a>.</p>
<p>Namun, masyarakat masih perlu didorong untuk meningkatkan literasi dan berpikir kritis agar mampu mengolah informasi. Pendidikan literasi media kritis bisa dimulai pada <a href="https://www.researchgate.net/publication/33702536_Media_Literacy_in_Support_of_Critical_Thinking">sekolah dasar dan kemampuan literasi bisa digunakan anak jauh sesudah pelajaran usai</a>.</p>
<p>Beberapa komunitas di masyarakat telah berinisiatif melakukan kampanye-kampanye kreatif bertema “stop stigmatisasi”. Salah satunya dilakukan oleh Jaringan Pegiat Literasi Digital (JAPELIDI).</p>
<p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.instagram.com/p/B-9bLDRA-nW","accessToken":"127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20"}"></div></p>
<p>Media seharusnya menyajikan lebih banyak konten bermuatan edukasi dan mendorong masyarakat terlibat langsung. Melalui media sosial, media juga dapat berinteraksi sembari mengedukasi masyarakat terkait pandemi. </p>
<p>Selain memanfaatkan media sosial untuk penyebaran pesan dan respons singkat seperti <em>retweet, like, love, share</em>, hingga <em>emoji</em>, interaksi dua arah dapat dimaksimalkan melalui fitur <em>live</em> di Facebook atau Instagram.</p>
<p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.instagram.com/p/B_DHIb8ljZu","accessToken":"127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20"}"></div></p>
<p>Media online Kumparan misalnya, kerap memberikan <a href="https://www.instagram.com/p/B_DHIb8ljZu/">informasi interaktif dan edukatif</a> terkait COVID-19 bersama narasumber live di media sosial. Tentu ini membuka sebagai kesempatan <em>engagement</em> sekaligus ruang diskusi bagi pemirsa/<em>followers</em>.</p>
<p>Berada di antara pemerintah dan publik, media sebagai medium informasi bagi masyarakat berperan dalam pembentukan persepsi dan keputusan publik. </p>
<p>Media memiliki andil dalam menyampaikan informasi dan mendorong masyarakat berempati di tengah pandemi.</p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/136250/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ghozian Aulia Pradhana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ada peran media dalam proses pemberian stigma terkait COVID-19 di masyarakatGhozian Aulia Pradhana, Ph.D. Student in Media and Communication Studies, University of Malaya, Junior Lecturer, Universitas DiponegoroLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1361842020-04-16T11:02:58Z2020-04-16T11:02:58ZAnalisis: pentingnya literasi digital yang kritis di tengah gempuran misinformasi pandemi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/327947/original/file-20200415-153326-qey9jj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Virus dan misinformasi sama-sama perlu ditapis.</span> <span class="attribution"><span class="source">Rifqi Riyanto/INA Photo Agency/Sipa USA</span></span></figcaption></figure><p>Jumlah kasus COVID-19 di Indonesia yang terus meningkat semakin menimbulkan keresahan di masyarakat.</p>
<p><a href="https://www.covid19.go.id/situasi-virus-corona/">Data pemerintah</a> per 14 April menunjukkan ada hampir 5,000 kasus positif dan lebih dari 450 orang telah meninggal akibat wabah ini.</p>
<p>Pada pertengahan Mei, diperkirakan akan ada <a href="https://theconversation.com/pertengahan-mei-indonesia-terancam-krisis-tempat-tidur-icu-ventilator-dan-apd-karena-kasus-covid-19-bisa-melewati-50-000-135442">lebih dari 50,000 kasus</a> dan “melumpuhkan” kemampuan rumah sakit di enam provinsi. Ada juga prediksi bahwa Indonesia akan berpeluang besar menjadi <a href="https://theconversation.com/saatnya-mencegah-indonesia-jadi-italia-nya-asean-karena-covid-19-4-hal-penting-ini-harus-dilakukan-pemerintah-134708">episenter baru</a> wabah ini. </p>
<p>Kekhawatiran di tengah masyarakat diperparah oleh maraknya <a href="https://theconversation.com/sekadar-mengingatkan-misinformasi-pandemi-paling-banyak-ada-di-whatsapp-135430">misinformasi di media sosial</a>. </p>
<p>Disinformasi dan misinformasi menjadi hal yang lumrah di tengah semakin aktifnya masyarakat dalam melakukan pencarian informasi. Namun, para ahli kesehatan telah memperingatkan bahwa informasi yang salah akan <a href="https://theconversation.com/covid-19-memicu-teori-teori-konspirasi-ini-masalah-serius-yang-bisa-bahayakan-nyawa-134451">sangat berpengaruh</a> pada kesehatan dan pengambilan keputusan masyarakat dalam menghadapi pandemi.</p>
<p><a href="https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(20)30461-X/fulltext">Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia</a> (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan “kita tidak hanya memerangi epidemi; kita sedang berjuang menghadapi ‘infodemi’”. </p>
<p>Kini, penggunaan alat komputasi seperti bot ikut memperkeruh perdebatan seputar COVID-19 di media sosial. Kenyataannya, persebaran informasi oleh bot selalu melampaui kecepatan informasi yang dibagikan oleh lembaga resmi sehingga pada akhirnya masyarakat lebih cepat terpapar oleh informasi yang tidak benar. </p>
<p>Ini menjadi tantangan baru dalam menghadapi pandemi di era media sosial.</p>
<p>Usaha menghadapi gempuran infodemi tidak akan efektif jika hanya bergantung pada pemerintah, lembaga kesehatan dan perusahaan digital. Keterlibatan masyarakat secara penuh menjadi suatu keniscayaan. </p>
<p>Maka, konsep literasi digital kritis sebagai lanjutan dari literasi media dan digital dapat menjadi acuan utama dalam menghadapi krisis informasi di tengah pandemi yang belum kunjung berakhir. </p>
<p>Lebih dari sekadar literasi media dan digital yang memampukan pengguna menjadi trampil menggunakan teknologi digital untuk terlibat aktif di dunia maya, konsep <em><a href="http://eprints.lse.ac.uk/102993/1/Polizzi_information_literacy_in_the_digital_age_published.pdf">literasi digital kritis</a></em> menganggap perlunya pemahaman mengenai landasan filosofis bagaimana informasi diakses dan diproduksi, serta peran ambivalen media digital di masyarakat.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/penelitian-di-indonesia-umur-tidak-mempengaruhi-kecenderungan-orang-menyebarkan-hoaks-110621">Penelitian di Indonesia: umur tidak mempengaruhi kecenderungan orang menyebarkan hoaks</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Misinformasi selama pandemi</h2>
<p>Ketidakpastian dan kontroversi seputar pandemi COVID-19 telah memanaskan perdebatan tentang misinformasi dalam beberapa minggu terakhir ini. Banyak pihak seperti peneliti, pembuat kebijakan, bahkan lembaga penegak hukum telah bersama-sama memerangi penyebaran misinformasi agar tidak menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat.</p>
<p><a href="https://reutersinstitute.politics.ox.ac.uk/types-sources-and-claims-covid-19-misinformation">Riset terbaru</a> oleh pusat penelitian Reuters Institute di Universitas Oxford, Inggris, menunjukkan bahwa format misinformasi yang tersebar di media sosial sebagian besar dimanipulasi secara sederhana tanpa melibatkan teknologi tingkat tinggi seperti <em>Artificial Intelligence</em>, melainkan hanya bergantung pada aplikasi penyuntingan foto dan video sederhana. </p>
<p>Contohnya adalah <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200326142238-20-487094/polisi-usut-video-viral-makan-telur-rebus-bisa-tangkal-corona">unggahan video</a> dengan klaim bahwa telur rebus dapat menangkal virus sempat viral pada beberapa minggu lalu.</p>
<p>Ini contoh bentuk misinformasi yang paling umum, yaitu konten yang mengandung informasi yang benar namun dengan sengaja diputarbalikkan dan ditempatkan pada konteks lain dengan cara yang salah.</p>
<p>Riset Reuters Insitute juga menemukan bahwa figur-figur penting seperti politikus dan selebriti berperan besar menjadi sumber misinformasi. Pembaca atau pemirsa memiliki <em>engagement</em> atau keterlibatan lebih tinggi dalam menyerap informasi dari para figur ketimbang dari kalangan masyarakat umum. </p>
<p>Terlebih para tokoh tersebut kerap kali juga disorot oleh media arus utama. Sebagai contoh, harian <a href="https://www.nytimes.com/2020/03/27/us/politics/trump-coronavirus-factcheck.html">New York Times</a> telah mendokumentasikan sejumlah pernyataan bohong Presiden Donald Trump terkait COVID-19. </p>
<p>Di Indonesia sendiri, beberapa waktu yang lalu <a href="https://health.grid.id/read/352063779/10-detik-deteksi-corona-angkie-yudistia-staf-khusus-presiden-dihujat-warganet?page=all">Staf Khusus Presiden</a> dan anggota <a href="https://metro.tempo.co/read/1314382/diduga-sebar-hoaks-corona-fahira-idris-dilaporkan-ke-polisi">Dewan Perwakilan Rakyat</a> (DPR) diduga ikut menyebarkan misinformasi seputar virus korona.</p>
<p><a href="https://www.inverse.com/innovation/bots-are-spreading-lies-about-the-coronavirus-on-social-media">Keberadaan <em>bot dan _trollbot</em></a> juga telah ditemukan mencampuri percakapan dan perdebatan mengenai virus di Twitter. </p>
<p><em>Bot</em> adalah akun yang dikelola oleh sebuah <em>software</em> sehingga akun dapat melakukan <em>tweet</em>, <em>retweet</em>, <em>mention</em>, dan sebagainya secara otomatis. <em>Trollbot</em> adalah <em>bot</em> yang banyak menyebarkan propaganda dan berita bohong.</p>
<p>Dua alat ini lebih banyak digunakan untuk menyebarkan teori-teori konspirasi COVID-19 yang belum terbukti kebenarannya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/sekadar-mengingatkan-misinformasi-pandemi-paling-banyak-ada-di-whatsapp-135430">Sekadar mengingatkan: misinformasi pandemi paling banyak ada di WhatsApp</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Literasi digital yang kritis</h2>
<p>Kemampuan literasi digital yang <em>kritis</em> menempatkan seseorang sebagai konsumen informasi yang lebih aktif, misalnya mampu menilai konten digital apakah tepercaya atau mengandung bias tertentu.</p>
<p>Memiliki kemampuan literasi digital yang kritis juga berarti memiliki pemahaman <a href="https://blogs.lse.ac.uk/medialse/2018/12/03/misinformation-and-critical-digital-literacy-to-trust-or-not-to-trust/">yang lebih</a>. Misalnya pemahaman lebih luas tentang ruang digital, bagaimana perusahaan raksasa seperti Facebook dan Google beroperasi dan mendapat laba, dan peluang dan hambatan yang dimiliki internet bagi proses demokrasi dan partisipasi politik.</p>
<p>Pengguna media sosial yang kritis tidak hanya mampu untuk mempertanyakan kebenaran suatu informasi, namun juga akan melakukan aksi nyata memerangi misinformasi. </p>
<p>Misalnya, seseorang yang membaca informasi di beranda Facebook-nya tidak akan langsung membagikan informasi tersebut sebelum melakukan pengecekan fakta di sumber yang tepercaya. Dia khawatir apabila informasi yang dibagikan tersebut tidak benar dan dapat merugikan orang lain. </p>
<p>Untuk meningkatkan kemampuan literasi digital kritis, kita dapat dimulai dengan meningkatkan kesadaran sosial: berpikir sejenak sebelum melakukan <em>retweet</em> di Twitter, <em>share</em> di Facebook, atau <em>forward</em> di WhatsApp. </p>
<p>Kesadaran untuk melindungi orang lain dari paparan misinformasi menjadi langkah awal yang sangat penting untuk memicu ketertarikan kita dalam mempelajari lebih lanjut hal-hal berkaitan dengan lingkungan dan infrastruktur digital. </p>
<p>Di tengah pandemi, kemampuan ini dapat meningkatkan peran masyarakat umum untuk urun daya memeriksa fakta.</p>
<p>Memang pada dasarnya penyampaian informasi yang berkaitan dengan sains, kesehatan, dan teknologi tidak mudah dilakukan. Ini telah menjadi kajian para peneliti selama sekian abad dalam lingkup sains komunikasi. </p>
<p><a href="https://www.oxfordmartin.ox.ac.uk/news/the-covid-19-infodemic-what-does-the-misinformation-landscape-look-like-and-how-can-we-respond/?fbclid=IwAR08N2hIdnpXlvyZujy6aL8YTux7VkblFQ-5wBxirfXrR3lN-fQCCg-N_qs">Temuan terbaru</a> bahkan menyebut bahwa tidak akan ada ‘obat’ untuk infodemi COVID-19. </p>
<p>Ini sangat masuk akal mengingat upaya gabungan yang dilakukan baik oleh pemerintah dan perusahaan teknologi, seperti Facebook, Twitter dan YouTube, untuk menyaring konten bermasalah dan memberikan berbagai peringatan ternyata tidak mengurangi penyebaran misinformasi hingga saat ini.</p>
<p>Pada akhirnya, kita bergantung pada diri kita sendiri untuk ikut turut serta membantu memerangi infodemi. </p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/136184/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Aqida Nuril Salma tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Gempuran infodemi memerlukan masyarakat terlibat secara penuh.Aqida Nuril Salma, Lecturer at the Department of Digital Public Relations, Telkom UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1337942020-03-18T09:47:17Z2020-03-18T09:47:17ZMelindungi anak-anak dan remaja dari kekerasan di media<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/321228/original/file-20200318-37392-mm12xj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Pixabay.com</span></span></figcaption></figure><p>Maret ini, selain berita tentang virus COVID-19, kabar yang banyak diberitakan media adalah remaja perempuan 15 tahun, NF, yang <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2020/03/09/07435691/8-fakta-pembunuhan-sadis-di-sawah-besar-pelaku-menyerahkan-diri-dan">membunuh</a> seorang gadis kecil berumur 5 tahun pada 5 Maret lalu.</p>
<p>Publik dikejutkan pertama kali karena pelaku pembunuhan masih belia. Apa yang disampaikan oleh polisi kemudian membuat publik semakin terhenyak. NF disebut membunuh dengan sadar, mengaku tidak menyesal, dan merasa puas dengan perbuatannya. <a href="https://megapolitan.kompas.com/read/2020/03/13/07283531/dalami-kejiwaan-remaja-pembunuh-balita-di-sawah-besar-tim-dokter-minta?page=all">Polisi saat ini masih memeriksa kejiwaan NF</a>. </p>
<p>Salah satu hal yang banyak diulas media adalah pengakuan NF kepada polisi bahwa ia membunuh karena terpengaruh film dan <em>game</em>. Ini sesuatu yang harus menjadi perhatian serius bagi siapa pun yang memiliki kepedulian terhadap perlindungan anak dari media.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kpi-awasi-netflix-dan-youtube-langkah-kembali-ke-orde-baru-yang-tidak-perlu-bila-ada-literasi-media-121939">KPI awasi Netflix dan YouTube: Langkah kembali ke Orde Baru yang tidak perlu bila ada literasi media</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kekerasan dalam media</h2>
<p>Media yang disebutkan menginspirasi NF untuk membunuh adalah <a href="https://tirto.id/sempat-gambar-slender-man-pelaku-nf-dites-kejiwaan-di-rs-polri-eDQo">film dan game Chucky dan Slender Man</a>. Keduanya bergenre horor dengan kandungan kekerasan yang kental. </p>
<figure class="align-right zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=893&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=893&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=893&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1122&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1122&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/320975/original/file-20200317-60932-159l788.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1122&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Poster salah satu film Chucky, <em>Childs Play 2</em> yang dirilis pada 1990.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Universal Pictures</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Chucky adalah salah satu ikon fiksi horor terkenal dan digambarkan sebagai pembunuh berantai yang arwahnya menghuni boneka. Tak hanya berbentuk film, Chucky juga berbentuk <em>game</em>. </p>
<p>Dalam film maupun <em>game</em>, sang boneka melakukan kekejaman yang intens. Film Chucky mendapatkan klasifikasi <a href="https://tirto.id/film-joker-bahaya-adegan-kekerasan-untuk-kesehatan-mental-anak-ejli">R <em>(Restricted)</em></a>, yang berarti anak berusia di bawah 17 memerlukan pendamping orang tua atau wali dewasa untuk menontonnya. </p>
<figure class="align-left zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/320978/original/file-20200317-60932-10dmnjq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Salah satu penggambaran Slender Man.</span>
<span class="attribution"><a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Slender Man adalah karakter fiksi berbentuk sosok pria tanpa wajah dengan badan tipis tinggi, memiliki tentakel, mengenakan baju hitam dengan dasi merah. </p>
<p>Karakter ini muncul pertama kali pada 2009, berasal dari <em>meme</em> internet di forum online <a href="https://tirto.id/mengenal-tokoh-slender-man-yang-menjadi-ikon-remaja-pembunuh-balita-eEh7">Something Awful</a>. Ia dikisahkan suka menculik atau melukai orang, terutama anak-anak. Sosok ini menyukai jalan berkabut dan daerah berhutan untuk menyembunyikan dirinya. Ia juga mencari korban tidak berdaya yang akan dihipnotisnya. Kontennya muram dan mencekam. </p>
<p>Slender Man menjadi ikon <a href="https://mashable.com/article/slender-man-scary-fears-millennial-digital-age/">populer di kalangan milenial</a>, bahkan dikatakan sebagai manifestasi dari generasi yang merasa dilupakan, tidak pernah terdengar, dan merasa tidak pasti. </p>
<p>Nama Slender Man bukan sekali ini saja tercatat dalam kasus pembunuhan. Sosok ini pernah disebut dalam insiden mengerikan yang terjadi di <a href="https://news.detik.com/berita/d-4930356/tentang-slenderman-karakter-fiksi-di-balik-aksi-keji-nf">Waukesha, Wisconsin, Amerika Serikat (AS) pada 2014</a>. </p>
<p>Saat itu, dua anak berusia 12 tahun mengajak teman mereka ke hutan dan kemudian menikamnya belasan kali. Kedua pelaku meyakini Slender Man menyuruh mereka. Keduanya percaya, jika mereka tidak melakukannya, Slender Man akan membahayakan keluarga mereka. Pada kasus ini, untungnya korban selamat. </p>
<p>Kasus kekejaman lain yang diinspirasikan oleh Slender Man terjadi di <a href="https://www.thescottishsun.co.uk/news/scottish-news/3910333/aaron-campbell-alesha-macphail-murderer-killer-slender-man-court/">Skotlandia pada 2019</a>. Pelakunya seorang remaja pria 16 tahun yang memperkosa dan membunuh seorang gadis 6 tahun. </p>
<p>Kajian literatur banyak memberi perhatian pada efek konten kekerasan di media kepada anak. Aksi kekerasan yang dilakukan anak dalam kehidupan nyata akibat pengaruh media menimbulkan perdebatan dan kekhawatiran publik. </p>
<p><a href="https://psycnet.apa.org/record/2008-10558-011">Barbara Wilson</a>, pengajar dan peneliti sosial dan psikologi di University of Illinois, AS, menyebut bahwa kekhawatiran publik atas kekerasan media sering dipicu oleh insiden-insiden agresi kaum muda. </p>
<p>Wilson menyatakan tak terhitung contoh kekerasan yang sering dilakukan oleh pelaku yang semakin muda yang telah menimbulkan kontroversi mengenai peran yang mungkin dimainkan media dalam mendorong perilaku agresif. Misalnya, kasus penikaman di <a href="http://clevelandbanner.com/stories/slenderman-and-his-impact-on-a-generation,85024">Waukesha</a> membuka perdebatan tentang tanggung jawab internet dan penggunaan internet oleh anak. </p>
<p>Kasus lain yang ramai diperbincangkan publik adalah pengaruh <em>game</em> kekerasan saat terjadi kasus pembunuhan massal oleh dua siswa di sekolah menengah Columbine, AS, pada 1999. Setelah penembakan itu, polisi menemukan rekaman video dari salah seorang pembunuh dengan senapan yang disebutnya “Arlene”, dinamai sesuai karakter dalam <em>game</em> <a href="https://psycnet.apa.org/record/2008-10558-011">Doom</a>. </p>
<p><a href="https://psycnet.apa.org/record/2008-10558-011">Wilson</a> mengatakan bahwa kajian literatur mendukung kesimpulan bahwa kekerasan media berkontribusi terhadap sikap dan perilaku agresif serta desensitisasi dan efek ketakutan. </p>
<p>Lebih jauh, konten kekerasan di media diteorikan berpotensi membuat si pemakai media menjadi tumpul perasaannya terhadap empati dan rasa sakit yang dirasakan orang lain. Inilah yang disebut sebagai <em>“compassion fatigue”</em> <a href="https://books.google.com/books/about/High_Tech_high_Touch.html?id=fQ_bAAAAMAAJ">oleh Sissela Bok</a>, <a href="https://www.aapss.org/fellow/sissela-bok/">seorang filsuf dan etisis</a> asal AS.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/penelitian-orang-miskin-cenderung-mengirim-anak-perempuan-mereka-ke-madrasah-133147">Penelitian: orang miskin cenderung mengirim anak perempuan mereka ke madrasah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Literasi media untuk anak</h2>
<p>Kasus NF kembali mengingatkan kita pada dampak media kekerasan bagi anak. Kekerasan lazim menjadi konten bagi media hiburan dan banyak di antaranya dikonsumsi anak atau remaja dengan bebasnya. </p>
<p>Muatan kekerasan berlimpah di internet. Data yang ditunjukkan pakar media <a href="https://books.google.co.id/books?id=LWg6giVEEGkC&printsec=frontcover&dq=sonia+livingstone+children+and+the+internet&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjsp8rHw57oAhUP73MBHea8BM0Q6AEIKTAA#v=onepage&q=sonia%20livingstone%20children%20and%20the%20internet&f=false">Sonia Livingstone</a> menyimpulkan bahwa 1 dari 3 anak melihat muatan kekerasan dan kebencian di internet. </p>
<p>Dalam membicarakan dampak media kita memang tidak dapat menyamaratakan efeknya pada semua anak. Efek itu dapat saja bersifat <em>conditional</em> (tergantung keadaan), tergantung juga pada faktor-faktor lainnya.</p>
<p>Namun harus diingat bahwa potensi anak untuk terpengaruh media itu besar. Mengingat anak adalah kelompok usia yang belum kritis, maka ia rentan terpengaruh isi media. </p>
<p>Dalam konteks inilah maka menjadi penting sekali bagi anak untuk memiliki kemampuan literasi media. Art Silverblatt, profesor komunikasi dan jurnalistik di Webster University, AS, <a href="https://books.google.co.id/books/about/Media_Literacy.html?id=jKlIPgAACAAJ&redir_esc=y">menyatakan</a> bahwa literasi media antara lain adalah keterampilan berpikir kritis yang memungkinkan khalayak untuk menilai isi media dan adanya kesadaran mengenai dampak media. </p>
<p>Dengan keterampilan ini, anak dapat menyaring isi media yang dikonsumsinya dan menangkal efek negatif media. Keterampilan literasi media (termasuk juga literasi media digital) dapat diberikan oleh orangtua sejak anak usia dini.</p>
<p>Misalnya, orangtua dapat menanamkan “<a href="https://books.google.co.id/books/about/The_Media_Diet_for_Kids.html?id=Hz5iPgAACAAJ&source=kp_book_description&redir_esc=y">diet media</a>” sedari anak kecil. </p>
<p>Diet media mencakup tiga langkah: membatasi waktu konsumsi media anak (maksimal dua jam sehari untuk menikmati hiburan dari layar), memilih konten media yang sehat bagi anak (untuk memastikan waktu penggunaan media oleh anak benar-benar berkualitas), dan mendorong aktivitas yang menjauhkan anak dari media (seperti bermain dan mengembangkan hobi atau minat anak). </p>
<p><a href="https://books.google.co.id/books/about/The_Media_Diet_for_Kids.html?id=Hz5iPgAACAAJ&source=kp_book_description&redir_esc=y">Diet media</a> di masa kecil dapat menghentikan konsumsi media yang berlebihan dan menetapkan keseimbangan media yang sehat bagi anak. Anak pun akan mampu mengontrol peran media saat tumbuh remaja. </p>
<p>Literasi media, yang membuat anak dapat kritis menilai konten media dan sadar mengenai dampak media, adalah kecakapan yang dapat diajarkan di rumah maupun sekolah. Bahkan orangtua dan guru dapat berkolaborasi untuk menumbuhkan kecakapan ini. </p>
<p>Dari kasus NF ini, para orangtua dan guru dapat belajar bahwa mereka pun harus memiliki kecakapan literasi media yang memadai, agar tidak terjadi penyalahgunaan media oleh anak.</p>
<p><em>Marsha Vanessa ikut berkontribusi dalam penerbitan artikel ini</em></p>
<hr>
<p>Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di <a href="http://theconversation.com/id/newsletters/catatan-mingguan-65">sini</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/133794/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nina Mutmainnah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Keterampilan literasi media adalah salah satu upaya melindungi anak dari konten kekerasan di berbagai media.Nina Mutmainnah, Lecturer, Department of Communication, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1192852019-06-25T01:31:55Z2019-06-25T01:31:55ZMelawan persebaran disinformasi di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/280889/original/file-20190624-97751-zz0z76.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=1%2C0%2C997%2C562&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Gerakan literasi digital membutuhkan kolaborasi antar pemerintah, platform media sosial dan masyarakat. </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Pada Mei 2019, Pemerintah Indonesia memberlakukan pembatasan akses terhadap media sosial selama tiga hari menyusul adanya <a href="https://www.bbc.com/news/world-asia-48361782">unjuk rasa terkait pengumuman hasil pemilu</a> yang berujung rusuh di Jakarta. Pemerintah mengklaim tindakan ini bertujuan untuk mencegah <a href="https://www.thejakartapost.com/life/2019/05/22/jakarta-riot-government-temporarily-limits-access-to-social-media-messaging-apps.html">penyebaran disinformasi</a> yang dikhawatirkan dapat menyulut kekacauan yang lebih besar.</p>
<p>Keputusan pemerintah ini menimbulkan pro dan kontra. Beberapa analis <a href="https://theconversation.com/more-responsive-journalism-not-social-media-ban-is-needed-to-fight-disinformation-in-indonesia-117604">menyayangkan tindakan tersebut</a> karena dinilai mencederai kebebasan masyarakat dalam berpendapat dan mendapatkan informasi. </p>
<p>Selain dikhawatirkan mengancam kebebasan berpendapat, pembatasan akses terhadap media sosial juga dinilai tidak efektif. Larangan serupa yang diterapkan di Sri Lanka sesaat setelah serangan teroris pada bulan April lalu justru menimbulkan <a href="https://edition.cnn.com/2019/04/23/tech/facebook-ban-sri-lanka-intl/index.html">kecemasan, keraguan, dan ketakutan di tengah masyarakat serta berpotensi mengakibatkan kerugian ekonomi.</a>. Di Indonesia sendiri, selama pembatasan akses berlangsung, <a href="https://jakartaglobe.id/context/vpn-apps-gain-popularity-as-government-throttles-social-media-access-but-whats-the-catch">hoaks nyatanya masih dapat beredar melalui <em>Virtual Private Networks</em> (VPN) atau jaringan privat virtual.</a></p>
<p>Kami berpendapat pendidikan literasi digital yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah, platform media sosial, dan masyarakat akan lebih efektif dalam menangkal penyebaran disinformasi.</p>
<h2>Literasi Digital untuk Semua</h2>
<p><a href="http://uis.unesco.org/sites/default/files/documents/ip51-global-framework-reference-digital-literacy-skills-2018-en.pdf">Literasi digital</a> merupakan kemampuan setiap individu untuk mengakses, memahami, membuat, mengkomunikasikan, serta mengevaluasi informasi melalui perangkat teknologi digital. Kemampuan ini mencakup aspek pengetahuan dan ketrampilan praktis. Seseorang dapat dikatakan memiliki kemampuan literasi digital ketika ia tidak hanya mampu menemukan informasi, namun juga mengecek kebenaran informasi tersebut sebelum membagikannya ke orang lain.</p>
<p>Sayangnya, <a href="https://theconversation.com/researchers-find-indonesia-needs-more-digital-literacy-education-84570">riset terakhir</a> menunjukkan bahwa pendidikan literasi digital di Indonesia mayoritas hanya dilaksanakan di level perguruan tinggi. Hal ini tentunya tidak memadai mengingat mayoritas pengguna aktif internet tidak selalu berada di bangku universitas.</p>
<p>Berdasarkan data dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, total mahasiswa di Indonesia berjumlah sekitar <a href="https://ristekdikti.go.id/epustaka/buku-statistik-pendidikan-tinggi-2017/">6.9 juta jiwa</a> atau hanya sekitar 5% dari keseluruhan pengguna internet.</p>
<p>Melihat kesenjangan tersebut, pemerintah sudah selayaknya menginisiasi gerakan literasi digital nasional yang mampu menjangkau seluruh kalangan. Hal tersebut tentunya bukan pekerjaan yang mudah dan membutuhkan kolaborasi dengan platform media sosial dan masyarakat. </p>
<p>Saat ini, pemerintah telah mencoba menciptakan kolaborasi ini dengan menggalakkan literasi digital melalui <a href="https://www.opengovasia.com/indonesias-national-digital-literacy-movement-gains-wider-reach/"><em>Siberkreasi</em></a>. <em>Siberkreasi</em> merupakan gerakan literasi digital nasional yang berisikan komunitas pemerhati isu tersebut yang juga didukung oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Tujuan utama dari dibentuknya gerakan ini adalah memberikan kesempatan dan kemampuan kepada sebanyak mungkin masyarakat untuk dapat mencari dan memeriksa informasi di berbagai platform digital.</p>
<p>Selain itu, pemerintah juga dirasa perlu untuk mengeluarkan kebijakan yang mampu melibatkan sekolah untuk mengajarkan literasi digital sejak dini. Beberapa negara seperti <a href="https://www.literacyworldwide.org/blog/literacy-daily/2015/08/28/digital-literacies-in-the-new-finnish-national-core-curriculum">Finlandia</a>, <a href="https://mediasmarts.ca/sites/mediasmarts/files/pdfs/publication-report/full/digitalliteracypaper.pdf">Canada</a>, dan <a href="https://www.australiancurriculum.edu.au/media/3652/literacy-digital-technologies.pdf">Australia</a> telah memasukkan literasi digital sebagai bagian dari kurikulum nasional sekolah-sekolah mereka. </p>
<h2>Melibatkan Penyedia Platform Media Sosial</h2>
<p>Sejalan dengan pemerintah, platform media sosial juga perlu untuk meningkatkan upaya dalam mencegah terjadinya persebaran hoaks dan disinformasi pada platform mereka. </p>
<p><a href="https://dailysocial.id/report/post/hoax-distribution-through-digital-platforms-in-indonesia-2018">Penelitian terbaru</a> menunjukkan bahwa hoaks dan disinformasi yang tersebar di Indonesia paling banyak ditemukan pada platform media sosial Facebook (82,5%), Line (11, 37%), dan Twitter (10,38%). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa platform media sosial memegang peran penting dalam terjadinya persebaran disinformasi di kalangan masyarakat. </p>
<p>Namun, para penyedia platform media sosial di Indonesia belum menerapkan tindakan yang cukup untuk dapat turut serta mencegah persebaran disinformasi dan berita bohong di kalangan penggunanya. Oleh karena itu, pemerintah dan penyedia platform perlu bekerja sama untuk mengatasi hal tersebut. </p>
<p>Beberapa negara telah menerapkan peraturan perundang-undangan yang sengaja dibuat untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan media sosial di kalangan masyarakat. </p>
<p>Pemerintah Jerman, misalnya, <a href="https://www.theguardian.com/world/2018/jan/05/tough-new-german-law-puts-tech-firms-and-free-speech-in-spotlight">melalui sebuah kebijakan yang disebut sebagai Undang-Undang Penegakan Jaringan 2017 (<em>2017 Network Enforcement Act</em> (NetzDG))</a> mengharuskan penyedia platform media sosial untuk menghapus konten-konten ilegal (termasuk di dalamnya hoaks dan ujaran kebencian) yang tersebar pada platform mereka dalam waktu selambat-lambatnya 24 jam setelah terdapat laporan permohonan penghapusan konten. Apabila platform tersebut gagal dalam menjalankan kewajiban tersebut, penyedia platform akan dikenakan denda yang besarannya mencapai 50 juta Euro (atau sekitar 800 juta Rupiah).</p>
<p>Pemerintah Prancis melalui <a href="https://www.poynter.org/fact-checking/2018/french-opposition-parties-are-taking-macrons-anti-misinformation-law-to-court/">Undang-Undang Berita Palsu–<em>Fake News Law</em></a>, pun telah mewajibkan penyedia platform media sosial untuk melaporkan secara transparan terkait algoritme yang digunakan dalam media sosial tersebut. Penyedia platform juga diwajibkan untuk menambahkan fitur baru yang dapat memungkinkan pengguna media sosial untuk “menandai” konten-konten yang dianggap merupakan sebuah bentuk disinformasi. </p>
<p>Melihat beberapa praktik yang telah dilakukan di beberapa negara tersebut, pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah-langkah serupa untuk persebaran disinformasi melalui penegakan kebijakan khusus terhadap penyedia platform media sosial. Hal ini penting untuk melindungi masyarakat dari dampak-dampak negatif yang ditimbulkan akibat persebaran disinformasi di media sosial. </p>
<h2>Pentingnya Peran Komunitas dan Masyarakat</h2>
<p>Pemerintah juga perlu untuk bekerja sama dengan komunitas lokal dan LSM terkait untuk menyebarkan kampanye literasi digital untuk memperluas jangkauan persebaran pesan. </p>
<p>Salah satu contoh dari inisiasi yang melibatkan banyak peran dari masyarakat adalah organisasi Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Kegiatan yang dilakukan oleh komunitas ini berfokus pada upaya-upaya advokasi kepada masyarakat terkait hoaks. Mafindo juga menginisiasi sebuah <a href="https://cekfakta.com/">komunitas kolaboratif untuk cek fakta</a> yang bekerja sama dengan 25 media lokal dan nasional. Kolaborasi tersebut dinilai sangat membantu masyarakat untuk menangkal hoaks dan berita palsu yang banyak tersebar selama pemilu presiden pada bulan April lalu. </p>
<p>Hal ini menunjukkan bahwa, melalui kolaborasi, pemerintah dapat mengoptimalkan kampanye dan gerakan terkait literasi digital. Dengan bekerja bersama komunitas lokal, pemerintah juga dapat berbagi cara untuk mencegah dan mengurangi penyebaran disinformasi. </p>
<p>Kolaborasi antara aktor-aktor yang berkepentingan untuk menyelesaikan permasalahan terkait persebaran disinformasi di Indonesia sangatlah penting. </p>
<p>Kolaborasi antara pemerintah, komunitas masyarakat, dan penyedia platform media sosial merupakan sebuah hal penting untuk membangun kesuksesan gerakan literasi digital pada skala nasional. Penting bagi setiap aktor untuk dapat memainkan perannya masing-masing dalam upaya menangkal persebaran hoaks dan disinformasi di Indonesia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/119285/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kolaborasi antara pemerintah , komunitas dan platform media sosial sangatlah penting dalam menentukan kesuksesan gerakan literasi digital nasionalTreviliana Eka Putri, Lecturer at Department of International Relations, Researcher at Center for Digital Society, Universitas Gadjah Mada Dewa Ayu Diah Angendari, Lecturer at Department of Communication Science; Researcher at Center for Digital Society, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/913172018-02-20T08:15:12Z2018-02-20T08:15:12ZNarsisme visual di Instagram bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/206846/original/file-20180218-75997-1jej1o0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/confirm/573033007?src=O58R3ZTpdGlC-h71RG7B5A-1-58&size=medium_jpg">Twin Design/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Media sosial seperti Facebook, Twitter, Path, BBM, Line, Whatsapp, Instagram, dan sejenisnya sudah menjadi kebutuhan sosial masyarakat Indonesia. Penelitian kami tentang Instagram menemukan indikasi bahwa bagi sejumlah besar pengguna, media sosial bisa meningkatkan rasa cemas dan marah, juga lebih rawan menggerogoti harga diri pengguna.</p>
<p>Instagram digemari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sejak diluncurkan hingga saat ini. Dari hasil survei yang dilakukan oleh <a href="https://apjii.or.id/survei2016/download/3zkcUWB5KLNporYEVFR4A0tIuDZehf">Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2016</a>, pengguna Instagram (19,9 juta atau 15%) menempati peringkat kedua sebagai media sosial yang paling sering dikunjungi setelah Facebook (71,6 juta atau 54%). <a href="https://www.researchgate.net/publication/315363596_Exploring_the_relationships_between_self-presentation_and_self-esteem_of_mothers_in_social_media_in_Russia">Dua media sosial ini</a> paling banyak digunakan untuk menampilkan diri mereka secara online dalam berbagai bentuk.</p>
<p><a href="https://media.neliti.com/media/publications/223391-are-self-presentation-influenced-by-frie.pdf">Penelitian kami berfokus pada pengguna media sosial Instagram</a> dalam menampilkan dirinya secara online. Instagram, platform populer yang digunakan oleh remaja akhir hingga orang dewasa, dapat diakses melalui perangkat berbasis Android dan iOs serta mesin pencari. </p>
<p>Kami menganalisis tiga hal yang saling berkait pada pengguna Instagram:</p>
<ol>
<li><p>harga diri yang bergantung pada persahabatan (<em>friendship-contingent self-esteem</em>) </p></li>
<li><p>kecemasan ketinggalan informasi di media sosial (<em>fear of missing out</em> atau FoMO) </p></li>
<li><p>dan bagaimana dua hal di atas berpengaruh pada presentasi diri (<em>self-presentation</em>). </p></li>
</ol>
<p>Partisipan penelitian 326 orang, dengan 241 perempuan dan 85 laki-laki pengguna Instagram yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia. Kami mengumpulkan data melalui penyebaran, pengisian, dan pengumpulan kuesioner bersifat sukarela melalui tautan dengan media Google form yang disebar melalui pesan dan jejaring media sosial.</p>
<p>Beragam layanan yang ditawarkan di Instagram, mulai berbagi foto aktivitas sehari-hari, video, InstaStory, Instagram Live, komentar, sampai <em>chatting</em> menggunakan fitur <em>direct message</em>. Ada pula fasilitas editing foto yang diunggah. Bisa juga untuk mencari teman. </p>
<p>Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa yang berpengaruh pada variabel presentasi diri hanya FoMO. Sedangkan variabel harga diri yang bergantung pada persahabatan berpengaruh pada variabel FoMO dan tidak berpengaruh terhadap presentasi diri.</p>
<h2>Presentasi diri di Instagram</h2>
<p><a href="http://muep.mau.se/bitstream/handle/2043/21574/Thesis_MalinNilsson_FINAL.pdf?sequence=2&isAllowed=y">Berbagai macam cara</a> dilakukan oleh para pengguna untuk meningkatkan penampilan dalam setiap unggahan mereka. Mulai dari menambahkan filter pada foto, <em>angle</em> serta gaya yang menarik merupakan beberapa hal yang dapat meningkatkan penampilan seseorang pada unggahan foto Instagram mereka.</p>
<p>Beberapa hal tersebut meningkatkan jumlah unggahan selfie atau swafoto para pengguna Instagram. <a href="http://networkcultures.org/wp-content/uploads/2014/10/The_Allure_ot_Selfie_los.pdf">Bagi kaum dewasa muda</a> yang tumbuh dengan platform seperti ini membuat mereka memiliki pandangan bahwa berpose dan berfoto lalu mengunggahnya ke Instagram merupakan suatu hal yang “normal”.</p>
<p>Karena Instagram sangat mengedepankan visual, ditambah dengan fitur-fitur edit, maka para penggunanya bisa memilih variasi dalam mempresentasikan dirinya di media sosial. </p>
<p>Target presentasi diri yang dilakukan oleh individu kebanyakan adalah orang yang dikenal dan mengenali dirinya. Individu mengharapkan respons yang positif sehingga dapat meningkatkan harga dirinya. </p>
<h2>Harga diri bergantung persahabatan</h2>
<p>Banyaknya unggahan selfie yang dibagikan oleh seseorang di Instagram terkait dengan narsisme dan harga diri. Harga diri yang bergantung pada persahabatan merupakan faktor penting bagaimana seseorang mempresentasikan diri dalam hubungan personal. </p>
<p><a href="https://rdw.rowan.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2484&context=etd">Jika harga diri seseorang bergantung</a> pada seberapa baik hubungan seseorang tersebut dengan orang lain, dia mungkin akan lebih termotivasi untuk meluangkan waktu dan tenaga untuk presentasi dirinya dan menjaga pandangan positif orang lain terhadap dirinya.</p>
<p>Motif utama untuk menghadirkan diri pada situs internet ditujukan untuk menyampaikan gambar atau citra diri yang diinginkan. Selain itu, ada banyak individu yang semakin meningkat harga dirinya ketika temannya di Instagram semakin banyak. </p>
<p>Banyaknya jumlah teman yang dimiliki dalam media sosial dipersepsikan sebagai salah satu bentuk dukungan sosial yang dimiliki individu. Individu cenderung akan berusaha terus menampilkan presentasi diri secara online yang sifatnya positif untuk mempertahankan dan menambah temannya di media sosial. Kemudian, individu dapat merasa berharga karena adanya dukungan teman.</p>
<p>Seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung meningkatkan diri, sedangkan seseorang yang memiliki harga diri yang rendah cenderung memproteksi dirinya sendiri dalam perilaku presentasi diri. Mereka akan menurunkan rating diri mereka di depan umum atau di saat situasi yang mengancam. </p>
<p>Jika sumber harga diri sangat bergantung pada relasi persahabatan, maka akan berkembang kecenderungan yang kurang baik. Individu tidak dapat memandang dirinya sebagai figur yang berharga tanpa keberadaan dan pengaruh dari teman yang dianggap penting.</p>
<h2>Takut ketinggalan informasi</h2>
<p>Media sosial menjadi wadah yang menjembatani relasi pertemanan beda waktu dan lokasi geografis, dan menyediakan dukungan sosial kepada individu. <a href="https://www.researchgate.net/publication/282390744_Social_Media_Use_and_the_Fear_of_Missing_Out_FoMO_While_Studying_Abroad">Kondisi seperti ini</a> mendorong individu untuk mengalami kecemasan ketinggalan informasi di media sosial yang lebih tinggi karena besarnya ketergantungan dengan individu lain yang dianggap penting di dalam media sosial.</p>
<p>Fenomena kecemasan ketinggalan informasi di media sosial dapat dipahami sebagai situasi yang timbul akibat kurang atau buruknya regulasi diri (<em>self-regulatory</em>) dan kepuasan psikologis seseorang. Selain itu, fenomena ini diduga dapat membantu menjelaskan penggunaan media sosial yang bersifat eksesif oleh masyarakat. </p>
<p>FoMO mempengaruhi penggunaan media sosial dari sisi relasi sosial. Ini artinya pengalaman yang berharga terkait hubungan dengan orang lain, atau persepsi bahwa relasi sosial yang dibangun bersifat menguntungkan dan memuaskan akan dipertahankan oleh individu tersebut.</p>
<p>Individu yang bermasalah dalam relasi dengan orang lain, cenderung memiliki tingkatan FoMO yang tinggi sehingga menjadi agak berlebihan saat menggunakan media sosial untuk berinteraksi dengan orang lain.</p>
<p>Dari hasil catatan yang berkaitan dengan <a href="https://www.slideshare.net/jwtintelligence/the-fear-of-missing-out-fomo-march-2012-update">milenium dewasa</a>, usia 18-34 tahun, 70% dari mereka mengakui bahwa mereka merasa terkait dengan FoMO.</p>
<p>Demikian pula, <a href="https://www.slideshare.net/jwtintelligence/the-fear-of-missing-out-fomo-march-2012-update">36% dari milenium dewasa</a> mengakui bahwa mereka mengalami FoMO dalam tingkatan sering atau kadang-kadang. Terutama, <a href="https://www.slideshare.net/jwtintelligence/the-fear-of-missing-out-fomo-march-2012-update">46% dari milenium dewasa</a> mencatat bahwa rasa takut kehilangan yang mereka miliki telah diperkuat dengan menggunakan media sosial. <a href="https://www.slideshare.net/jwtintelligence/the-fear-of-missing-out-fomo-march-2012-update">Individu memiliki kecenderungan</a> untuk menjadi lebih cemas, mudah marah, merasa lebih memadai dan memiliki perasaan rendah diri yang bersifat sementara setelah melihat media sosial.</p>
<p>Dengan hubungan secara terus-menerus ke teman-teman mereka yang <em>update</em> media sosial, hampir tidak mungkin mereka tidak mengetahui apa yang orang lain lakukan dan katakan setiap saat. </p>
<p>Karena itu, FoMO mampu menjelaskan keterlibatan yang mendalam dan berlebihan dari seorang individu dalam semua aktivitas yang melibatkan media sosial. Lalu, apakah Anda termasuk orang yang takut ketinggalan informasi ketika telepon seluler Anda mati?</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/91317/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Frensen Salim tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Individu memiliki kecenderungan untuk menjadi lebih cemas, mudah marah, merasa lebih memadai dan memiliki perasaan rendah diri yang bersifat sementara setelah melihat media sosial.Frensen Salim, Associate Research Scientist Cyberpsychology Studies Center,, Universitas GunadarmaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/906912018-01-30T09:01:30Z2018-01-30T09:01:30ZCara anak menonton YouTube bisa mengkhawatirkan. Ini kiat-kiat mengatasinya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/203384/original/file-20180125-107950-vajxjj.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">shutterstock</span> </figcaption></figure><p>Bayangkan seorang bocah 3 tahun di depan layar menonton Peppa Pig (karakter TV favoritnya) digantung—korban gerombolan main hakim sendiri. Ketika <a href="http://hmongbuy.net/video/fK6HiDXdkCI">video</a> berlanjut anak itu melihat Peppa memaki-maki secara eksplisit, dengan brutal membacoki saudaranya; dan kemudian keluarga Peppa melakukan adegan seks yang terilhami novel dewasa <em>50 Shades of Grey</em>. </p>
<p>Parodi dan konten anak-anak online yang tidak resmi adalah sebuah isu yang belum lama ini diangkat penulis James Bridle dalam artikelnya <a href="https://medium.com/@jamesbridle/something-is-wrong-on-the-internet-c39c471271d2">“Something is wrong on the internet”</a>. </p>
<p>Audit yang saya lakukan terhadap video-video itu menunjukkan bahwa dalam cara yang ganjil sebetulnya mereka selaras dengan tingkat perkembangan anak kecil. Ini membantu kita memahami mengapa video-video itu mendapatkan begitu banyak penonton. </p>
<p>Meski begitu, pesan-pesan tidak pantas dan tidak aman yang mereka sampaikan kepada anak-anak memiliki implikasi mencemaskan. Menyadari dan mengambil beberapa langkah penting bisa membantu meminimalkan pengalaman-pengalaman ini dalam keluarga Anda. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/anak-anak-dan-media-sosial-tidak-selalu-kabar-buruk-85328">Anak-anak dan media sosial: tidak selalu kabar buruk</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Apa yang ditonton anak-anak</h2>
<p>Anak-anak yang masih belia dengan cepat menjadi pengguna intens internet, termasuk menonton video online. Meskipun banyak video yang sesuai, video-video lain menggunakan metode curang yang kurang ajar untuk menangguk untung dari audiens muda dan mereka yang mudah menerima apa saja.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/Rs8X_pmcfHY?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Ini adalah versi sangat halus sebuah video Peppa Pig yang sudah disunting.</span></figcaption>
</figure>
<p>Pengalaman saya menunjukkan bahwa video-video itu masuk dalam tiga kategori. </p>
<ol>
<li><p><strong>Video kartun parodi:</strong> Kategori ini menampilkan karakter-karakter terkenal dalam situasi kekerasan atau tidak patut. Misalnya, ada video-video Elsa (dari Frozen, film produksi Disney) <a href="https://www.youtube.com/watch?v=Wy0iPjPkr6c">yang marah-marah dan menggunakan senapan mesin</a>, dan karakter-karakter Paw Patrol (sebuah tayangan Nickelodeon yang populer di kalangan anak-anak prasekolah) <a href="https://www.youtube.com/watch?v=fG0AeRpV5vU&t=26s">mengunjungi kompleks pelacuran</a>. </p></li>
<li><p><strong>Gambaran yang meresahkan:</strong> Klip-klip lain menampilkan gambaran, karakter atau alur cerita yang meresahkan. Termasuk dalam kategori ini, misalnya, <a href="https://www.youtube.com/watch?v=X16UOQzvna4">Dad Punches Kid in Face</a>, sebuah video yang menampilkan seorang ayah menonjok muka anaknya yang masih kecil karena “nakal”.</p></li>
<li><p><strong>Iklan terselubung:</strong> Tak kalah mencemaskan, video-video lain memunculkan taktik iklan terselubung untuk membujuk anak-anak agar membeli produk-produk baru. Misalnya, <a href="https://www.youtube.com/channel/UChGJGhZ9SOOHvBB0Y4DOO_w">Ryan’s Toy Review</a> adalah salah satu saluran video semacam itu dengan lebih dari empat miliar penonton. Walaupun muatan video-vidoe dalam kategori ini pada umumnya tidak mengandung unsur kekerasan atau seksual, tontonan ini sama saja dengan mendudukkan anak-anak di depan iklan tiada henti dari hari ke hari. </p></li>
</ol>
<h2>Mengapa anak-anak menonton video-video itu</h2>
<p>Bagaimana anak-anak terlibat dengan video-video online bermasalah ini bisa membingungkan, dan mencemaskan, bagi orang tua. </p>
<p>Meski begitu, ketika ditempatkan dalam konteks apa yang kita ketahui tentang <a href="https://www.elsevier.com/books/social-and-emotional-development-in-infancy-and-early-childhood/benson/978-0-12-375065-5">karakteristik-karakteristik perilaku kunci</a> anak-anak ketika mereka berkembang, sebetulnya itu tidak mengejutkan.</p>
<p>Video-video tersebut sering menampilkan sesuatu yang benar-benar diminati anak-anak—mainan, permainan, dan/atau karakter-karakter populer yang mereka tahu. Jika seorang anak adalah penggemar karakter-karakter itu, atau bahkan memiliki beberapa mainan yang ditampilkan dalam video, hubungannya akan lebih kuat lagi.</p>
<p>Banyak video yang menggambarkan kejadian-kejadian ganjil. Dari sebuah perspektif perkembangan anak, hal-hal yang tidak terduga—seperti orang dewasa mengenakan popok, atau karakter baik kesayangan mereka menjadi jahat—adalah <a href="https://www.elsevier.com/books/social-and-emotional-development-in-infancy-and-early-childhood/benson/978-0-12-375065-5">sumber humor yang baik</a> untuk anak-anak. </p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/DeBIXhXW8C8?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Siapa saja suka membuka bingkisan!</span></figcaption>
</figure>
<p>Banyak dari video-video itu yang berfokus pada <a href="https://www.youtube.com/watch?v=DeBIXhXW8C8">pengambilan hadiah atau mainan baru dari sebuah kotak</a>. Persis yang dikatakan setiap anak kepada Anda di pagi Hari Natal, menebak apa yang ada dalam bingkisan adalah separuh kegembiraan. Tampaknya, bagi anak-anak, menerima hadiah mereka sendiri juga memunculkan kenangan-kenangan menggembirakan. </p>
<p>Beberapa video menampilkan <a href="https://www.youtube.com/watch?v=he8nz5tAZrw">pembawa acara anak-anak</a>—anak-anak senang menonton teman-teman sebaya mereka di layar, dan mereka memperoleh kesenangan dari menonton orang lain membuka hadiah. Persoalannya, hal itu juga bisa memicu hasrat luar biasa dan ketidaksabaran menunggu mainan atau produk-produk tertentu tersebut.</p>
<h2>Tiruan mencurigakan, dan tanpa filter</h2>
<p>Betapapun menariknya bagi bocah, anak-anak menonton konten video yang tidak diproduksi oleh produser konten terpercaya. Yang mereka tonton adalah produk-produk tiruan yang diciptakan oleh pengguna anonim dengan nama-nama seperti <a href="https://www.youtube.com/channel/UCqEgcdga-cAYWxp8QgzTnLw">Brick Man</a> dan <a href="http://hmongbuy.net/channel/UC3kCMZMHmEbgEL0ND42_jwg">Melon Troll</a>. Saluran-saluran internet permainan ini mencari algoritme untuk memutar secara otomatis video mereka begitu klip terakhir yang ditonton anak habis. </p>
<p>Walaupun anak berada dalam sebuah platform berbagi video untuk anak-anak, tidak lantas berarti semua konten tidak pantas akan disaring secara efektif. Misalnya, seorang anak mungkin mencari “Peppa Pig” dan video apa pun yang berjudul atau diberi label “Peppa Pig” muncul dalam daftar pencariannya. Berdasarkan pencarian awal, video-video yang disarankan pun bermunculan. <a href="https://theoutline.com/post/1239/youtube-has-a-fake-peppa-pig-problem">Para orang tua menyatakan</a> bahwa dalam video-video yang disarankan itulah konten yang mengkhawatirkan sering muncul. </p>
<p>Video online adalah <a href="https://theconversation.com/when-exploiting-kids-for-cash-goes-wrong-on-youtube-the-lessons-of-daddyofive-76932">bisnis menggiurkan</a>, dan untuk memanfaatkan proses ini, kini algoritme memberitahukan apa yang diproduksi. Tagar dan kata kunci sekarang memainkan peran besar dalam konten video. </p>
<p><a href="https://arxiv.org/pdf/1707.00971.pdf">Penelitian mutakhir</a> menunjuk bahwa, akibatnya, anak-anak semakin sering melihat video-video yang mengandung iklan dan gambar-gambar merisaukan yang tidak bisa dibedakan dari program reguler.</p>
<h2>Lapisan etika</h2>
<p>Sebuah <a href="http://www.chicagotribune.com/news/opinion/commentary/ct-perspec-kids-videos-youtube-peppa-pig-algorithms-bizarre-1114-story.html">pendekatan algoritmis</a> menyingkirkan sebuah lapisan etika yang disertakan ketika manusia membuat keputusan dalam produksi konten. </p>
<p><a href="https://kids.youtube.com/">YouTube Kids</a> adalah sebuah situs sangat populer di mana anak-anak menonton video-video tersebut, dan pemilik situs itu, Google, berjanji membenahi algoritmenya. <a href="https://youtube.googleblog.com/2017/11/5-ways-were-toughening-our-approach-to.html">Google menyatakan</a> bahwa di antara sekian perubahan yang lain, dalam pekan terakhir ia menghentikan lebih dari 50 saluran dan membuang ribuan video berdasarkan Community Guidelines (Panduan Komunitas) mereka yang baru direvisi. </p>
<p>Isu lain yang perlu ditangani adalah memungkinkan opsi mematikan video disarankan yang diputar secara otomatis. </p>
<h2>Apa yang bisa dilakukan orang tua</h2>
<p>Lebih dari 300 jam konten diunggah di YouTube <a href="https://fortunelords.com/youtube-statistics/">setiap menit</a>, yang menjadikan masalah ini sulit ditangani. Perubahan-perubahan dari Google tampaknya membutuhkan waktu. </p>
<p>Karena itulah penting bagi para orang tua untuk menggunakan berbagai strategi dalam melindungi keluarga mereka. Lima langkah yang bisa ditempuh orang tua saat ini adalah: </p>
<ol>
<li>Melaporkan dan memblokir apa saja yang tidak patut,</li>
<li>Menginstal pemblokir iklan (sangat mudah dilakukan dan gratis), </li>
<li>Aktifkan <a href="https://support.google.com/youtube/answer/174084">mode terbatas</a></li>
<li>Gunakan daftar putar video personal persis seperti daftar putar musik), </li>
<li>Tontonlah video online bersama anak Anda (tidak perlu semua dari setiap video tetapi cukup untuk menjadi familier dengan cara mereka menonton). </li>
</ol>
<p>Dunia online adalah sebuah keadaan inovasi konstan, tetapi itu bisa menjadi bagian positif kehidupan jika kita mengamati perubahan-perubahan yang terjadi, memahami efeknya pada pengguna dan menangani kekhawatiran.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/90691/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Joanne Orlando tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Lebih dari 300 jam tayangan diunggah ke YouTube tiap menitnya. Banyak yang kurang ajar membuat parodi tidak pantas dari karakter yang disukai anak-anak. Mengetahui dan hati-hati menjadi langkah awal.Joanne Orlando, Researcher: Technology and Learning, Western Sydney UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/907032018-01-29T08:33:02Z2018-01-29T08:33:02ZMengapa anak-anak perlu diajarkan untuk membangun jejak digital yang positif<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/203393/original/file-20180125-107943-v0sk1f.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Jejak digital bisa jadi beban tetapi bisa juga malah menjadi aset masa depan anak.</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Ketimbang hanya mengajarkan anak-anak mengenai keamanan internet dan mengurangi jejak digital mereka, kita harusnya juga mendorong mereka untuk mengelola <a href="https://www.forbes.com/sites/julesschroeder/2017/04/30/how-to-use-your-digital-footprint-to-advance-your-career/#211761fe22af">jejak digital positif</a> yang akan menjadi aset bagi mereka di masa depan.</p>
<p>Anak-anak zaman sekarang adalah <a href="http://www.cci.edu.au/about/media/media-release-aussie-kids-%E2%80%98earliest-internet-users%E2%80%99">pengguna internet yang produktif</a>. Orang-orang semakin mencemaskan dampak <a href="http://www.theage.com.au/national/education/tread-very-carefully--youre-leaving-digital-footprints-20150216-13g354.html">jejak digital</a> di masa depan yang sedang mereka buat sekarang. Sementara banyak diskusi soal ini fokus pada <a href="https://theconversation.com/how-parents-and-teens-can-reduce-the-impact-of-social-media-on-youth-well-being-87619">menjaga anak-anak tetap aman</a>, hanya sedikit yang diketahui tentang bagaimana anak-anak mengelola jejak digital mereka.</p>
<p>Meski jejak digital dianggap sebagai beban, bila dikelola dengan baik, bisa menjadi aset. Jejak digital bisa menunjukkan identitas, keterampilan, dan minat. Ini penting dalam era di mana <a href="http://blogs.lse.ac.uk/businessreview/2016/09/28/does-profiling-employees-online-overstep-the-boundaries/">perusahaan “meng-google” pelamar</a> untuk memeriksa identitas mereka dan memverifikasi kesesuaian data mereka. Dalam konteks ini, tidak memiliki jejak digital bisa sama tidak menguntungkannya dengan jejak digital yang dikelola dengan buruk.</p>
<p>Proyek “<a href="http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/2042753017751711">Best Footprint Forward</a>” menyelidiki apa yang anak-anak ketahui soal jejak digital. Dibuat grup fokus yang terdiri dari 33 anak berusia 10-12 tahun dari tiga sekolah di daerah NSW. Analisis pada grup fokus mengungkapkan, anak-anak memiliki strategi untuk tetap aman dalam jaringan, tapi mereka memerlukan pedoman lebih jauh tentang bagaimana membangun jejak digital yang positif.</p>
<h2>Apa yang anak-anak ketahui dan lakukan soal jejak digital</h2>
<p>Proyek ini menemukan, meski anak-anak menggunakan internet untuk berbagai tujuan (misalnya mengerjakan PR, bermain, menonton video), aktivitas daring yang paling populer adalah berkomunikasi dengan teman.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/201446/original/file-20180110-36025-1lkwqdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/201446/original/file-20180110-36025-1lkwqdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/201446/original/file-20180110-36025-1lkwqdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/201446/original/file-20180110-36025-1lkwqdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/201446/original/file-20180110-36025-1lkwqdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/201446/original/file-20180110-36025-1lkwqdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/201446/original/file-20180110-36025-1lkwqdl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=504&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sebagian besar anak di grup fokus menggunakan Instagram untuk mengobrol dengan satu sama lain.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Anak-anak tahu bahwa jejak digital itu: </p>
<ul>
<li><p>apa yang kamu taruh di jaringan akan tetap berada di sana</p></li>
<li><p>orang bisa menemukanmu bila kamu meninggalkan informasi yang mengidentifikasi, seperti alamat atau nama lengkap</p></li>
<li><p>bos akan memeriksa media sosialmu.</p></li>
</ul>
<p>Mereka membicarakan soal keamanan kata sandi, jangan menempatkan detail pribadi daring (seperti nama, alamat dan tanggal lahir mereka), memblok orang yang mengganggu mereka, mendapatkan saran dari orang tua, tidak mengklik sesuatu yang bodoh, tidak mengunggah foto wajah mereka. Mereka menunjukkan kesadaran akan kemungkinan konsekuensi dari tindakan mereka. </p>
<p>Implikasi dari kesadaran jejak digital membuat mereka mencoba meminimalkannya, mencoba tidak terlihat daring. Mereka utamanya berkomunikasi dengan satu sama lain melalui Instagram, menggunakannya sebagai layanan pesan. Semuanya kecuali satu anak, mengatur akun mereka privat, dan mengunggah foto yang sangat sedikit. Mereka menggunakannya hanya untuk berbicara.</p>
<p>Sementara anak-anak dalam studi memiliki tingkat kesadaran jejak digital yang tinggi, mereka hanya menyadarinya sebagai liabilitas. Respons mereka tidak meliputi diskusi apa pun tentang manfaat yang ditawarkan oleh jejak digital. Penggunaan ulang mereka pada Instagram sebagai layanan pesan menunjukkan pendekatan yang cerdas dan pragmatis terhadap masalah ini, seperti yang dikatakan oleh seorang anak perempuan dalam studi, “internet selalu menyimpannya”.</p>
<h2>Bagaimana cara mengajarkan soal jejak digital yang positif</h2>
<p>Anak-anak bisa diajarkan untuk <a href="https://www.saferinternet.org.uk/blog/create-positive-digital-footprint-online">mengkurasi kehadiran daring mereka</a>. Mereka bisa diajarkan secara eksplisit bahwa tidak semua yang mereka lakukan daring perlu disembunyikan. Kurasi adalah soal mengetahui apa yang perlu ditampilkan di publik, dan apa yang harus tetap pribadi.</p>
<p>Sementara ini sudah banyak yang tahu tindakan yang tepat adalah menyimpan percakapan dengan teman dari publik. Tetapi anak-anak juga harus diajarkan bahwa artefak digital yang menunjukkan minat, pencapaian, dan keterampilan mereka bisa bersifat publik dan bisa dikenali. Proyek sekolah, penghargaan, potongan tulisan, dan karya seni digital adalah contoh hal yang baik untuk ditampilkan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/201445/original/file-20180110-36028-qn8fl6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/201445/original/file-20180110-36028-qn8fl6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=349&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/201445/original/file-20180110-36028-qn8fl6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=349&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/201445/original/file-20180110-36028-qn8fl6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=349&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/201445/original/file-20180110-36028-qn8fl6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=438&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/201445/original/file-20180110-36028-qn8fl6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=438&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/201445/original/file-20180110-36028-qn8fl6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=438&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Menempatkan proyek sekolah daring bisa menambah jejak digital positif untuk anak-anak.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="http://www.ascd.org/publications/educational-leadership/apr11/vol68/num07/Positive-Digital-Footprints.aspx">Mengajari anak-anak</a> untuk mengkurasi pencapaian mereka, keterampilan dan beberapa aspek dari identitas digital mereka akan membantu mereka bersiap untuk kebebasan daring yang lebih luas, yang akan datang bersamaan dengan sekolah menengah.</p>
<h2>Kapan edukasi jejak digital positif sebaiknya dimulai?</h2>
<p>Ada empat alasan mengapa dua tahun terakhir sekolah dasar akan menjadi waktu yang ideal untuk mulai mengajari anak tentang jejak digital positif:</p>
<ol>
<li><p>mereka kekurangan informasi mengenai hal ini dan tidak sadar bahwa jejak digital bisa menjadi aset positif untuk masa depan mereka.</p></li>
<li><p>anak-anak di usia ini <a href="https://www.acma.gov.au/-/media/Regulatory-Frameworks-and-International-Engagement/Information/pdf/Digital-footprints-and-identities-community-attitudinal-research-pdf.pdf">sedang bertransisi</a> dari yang tadinya dominan main game dan menonton video ke penggunaan internet dan media sosial yang lebih kreatif dan menghasilkan karya.</p></li>
<li><p><a href="http://blogs.lse.ac.uk/parenting4digitalfuture/2015/09/21/parental-education-and-digital-skills-matter-most-in-guiding-childrens-internet-use/">gaya pengasuhan yang berbeda</a> berarti tidak semua anak akan mendapatkan informasi ini di rumah.</p></li>
<li><p>kekuatan dari [pesan keamanan siber] yang mereka dapatkan dari sekolah menunjukkan bahwa pengetahuan ini bisa dibangun sehingga anak-anak diberikan pilihan tentang aktivitas daring mana yang sebaiknya tetap tidak terlihat, dan mana yang akan menguntungkan bila ditampilkan.</p></li>
</ol>
<p>Ketika ditanya apa yang ingin kamu ketahui tentang internet, seorang anak perempuan di studi ini bertanya:</p>
<blockquote>
<p>Bagaimana internet bisa mengubah masa depan kamu? </p>
</blockquote>
<p>Ini tepat kena ke jantung masalah. Jejak digital bisa menjadi aset atau beban untuk anak-anak. Membangun pengetahuan dengan memberi mereka pedoman untuk mengkurasi kehadiran daring yang positif bisa sangat membantu mereka membentuk masa depan mereka sendiri.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/90703/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rachel Buchanan menerima dana dari auDA Foundation. </span></em></p>Sudah banyak orang tua tahu hal-hal negatif berkenaan dengan jejak digital kita dan anak-anak. Tetapi banyak yang belum tahu bahwa jejak digital bisa membangun masa depan anak.Rachel Buchanan, Senior Lecturer in Education, University of NewcastleLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/890982018-01-05T09:11:40Z2018-01-05T09:11:40ZBagaimana mendeteksi berita bohong—panduan ahli untuk anak muda<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/198986/original/file-20171213-27597-1w3q6ws.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Jika anak muda kehilangan kepercayaan pada informasi sama sekali, dampak jangka panjangnya bisa lebih merugikan. </span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Setiap kali Anda online, orang berlomba-lomba merebut perhatian Anda. Teman-teman, orang asing, bisnis, organisasi politik, lembaga amal, dan situs web berita menyajikan arus konstan gambar-gambar, video dan artikel-artikel yang memikat pandangan, ke mana pun Anda mencari informasi—Google, Twitter, Facebook, Snapchat, Instagram, atau YouTube. </p>
<p>Tapi dalam berlomba mencuri perhatian Anda, tidak semua pemain merasa wajib mengatakan yang sebenarnya—dan <a href="https://www.theguardian.com/technology/2017/may/16/facebook-fake-news-tools-not-working">Anda tidak selalu bisa mengandalkan</a> platform media sosial untuk menyaring dusta. Hasilnya adalah berita bohong: kabar-kabar yang secara khusus dirancang untuk menyesatkan atau sengaja memberi orang informasi yang salah. </p>
<p>Selama enam bulan yang lalu, saya menjadi bagian sebuah tim peneliti dan produser dari <a href="https://www.prolificnorth.co.uk/news/broadcasting/2017/12/bbc-announces-fake-news-scheme-childrens-media-summit">Universitas Salford dan CBBC Newsround</a> yang bekerja untuk memahami dampak berita bohong terhadap anak-anak muda yang hidup di Inggris. </p>
<p>Kami berbicara dengan 300 anak muda berusia antara sembilan dan 14 tahun untuk mencari tahu bagaimana mereka menghadapi berita bohong dalam kehidupan mereka sehari-hari, dan dampaknya terhadap mereka sewaktu mereka tumbuh dewasa. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/198312/original/file-20171208-27719-114ca5z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/198312/original/file-20171208-27719-114ca5z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/198312/original/file-20171208-27719-114ca5z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/198312/original/file-20171208-27719-114ca5z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/198312/original/file-20171208-27719-114ca5z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/198312/original/file-20171208-27719-114ca5z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/198312/original/file-20171208-27719-114ca5z.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Jangan percaya semua yang Anda lihat di telepon pintar Anda.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Hasilnya sangat rumit, tetapi kami mendapati bahwa anak-anak muda sangat memerlukan alat untuk membantu mereka melayari perairan gelap media sosial. Yang paling penting, kami dapati anak-anak muda harus bisa mempercayai apa yang mereka dengar dan lihat di sekeliling mereka saat mereka tumbuh. </p>
<p>Jika anak muda tidak mempercayai apa yang mereka baca itu benar, maka kepercayaan mereka akan terkikis—dan kemudian mereka bisa berhenti percaya apa pun. Dalam jangka panjang ini berarti mereka tidak peduli untuk menjadi bagian dari perdebatan besar tentang politik, kebudayaan, dan masyarakat di mana mereka hidup. </p>
<h2>Spektrum berita bohong</h2>
<p>Ada sebuah spektrum berita bohong: dari berita yang benar-benar absurd dan tak bisa dipercaya, yang gampang diidentifikasi sebagai kabar bohong, sampai jenis-jenis lebih subtil misinformasi, yang lebih sulit dideteksi. </p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"834725496432840704"}"></div></p>
<p>Jenis kabar bohong kedua dan terselubung ini muncul dalam bentuk editorial, advertorial dan berita-berita yang viral di jagat web. Berita-berita itu tidak mesti absurd atau jelas-jelas salah, tetapi mengandung ketidakbenaran faktual dan gambar-gambar menyesatkan, yang sengaja ditampilkan untuk memutarbalikkan kebenaran. </p>
<h2>Tips dan alat</h2>
<p>Tetapi ada cara-cara bagi anak muda untuk membedakan antara berita sebenarnya dan berita bohong, untuk membantu mereka memahami apa yang sesungguhnya terjadi, di sebuah dunia di mana telepon pintar sudah menjadi perpanjangan tangan, mata, telinga, dan otak kita. </p>
<p>1) Cari tahu sumbernya. Periksalah situs web di mana berita berasal untuk mengetahui apakah berita disajikan dengan baik, apakah gambar-gambarnya jelas, dan apakah teks ditulis dengan baik serta tanpa kesalahan ejaan atau bahasa berlebih-lebihan. Kalau Anda tidak yakin, cobalah klik bagian “about us/tentang kami”, dan pastikan ada uraian jelas yang menerangkan kerja organisasi yang bersangkutan dan riwayatnya. </p>
<p>2) Perhatikan penulisnya. Untuk memastikan apakah mereka itu nyata, bisa diandalkan dan “layak dipercaya”, periksalah tulisan-tulisan lain yang mereka buat dan untuk outlet mana saja mereka menulis. Jika mereka tidak menulis apa pun yang lain, atau jika mereka menulis untuk situs-situs web yang tampak tidak meyakinkan, pikir dua kali untuk mempercayai apa yang mereka katakan. </p>
<p>3) Pastikan artikel memuat referensi dan tautan ke berita, artikel, dan penulis-penulis lain. Klik tautan-tautan yang ada dan pastikan semuanya tampak meyakinkan dan layak dipercaya. </p>
<p>4) Lakukan Google Reverse Image Search. Ini alat luar biasa, yang memungkinkan Anda melakukan pencarian di Google dengan gambar, bukan kata-kata. Caranya sederhana; yang perlu Anda lakukan hanya mengunggah gambar ke <a href="https://reverse.photos/">situs Google Reverse Image Search</a> dan Anda akan melihat semua web lain dengan gambar-gambar yang sama. Ini memberi tahu Anda situs-situs lain di mana gambar-gambar tersebut digunakan—dan apakah gambar-gambar itu digunakan di luar konteks.</p>
<p>5) Pastikan apakah berita yang sedang Anda baca disebar di saluran berita arus utama lain, seperti BBC News atau Sky News. Jika ya, Anda boleh merasa lebih yakin bahwa berita itu tidak bohong, karena organisasi-organisasi itu memberikan penekanan khusus untuk memeriksa sumber-sumber mereka dan jarang sekali memuat berita tanpa sumber kedua untuk mendukungnya. </p>
<p>Penting sekali menghindari menyebar berita yang Anda tidak yakin kebenarannya. Jika Anda ragu-ragu apakah berita itu sungguhan atau bohong, bicarakan dengan teman atau keluarga Anda untuk mencari tahu pendapat mereka tentang berita itu.</p>
<h2>Kekuasaan di tangan Anda</h2>
<p>Penelitian kami menunjukkan bahwa anak-anak muda yang membicarakan berita bohong—apa itu, dan apa maksudnya—jauh lebih ahli dalam menentukan apakah suatu berita itu nyata atau bohong. Artinya, penting bagi sekolah-sekolah untuk mulai mengajarkan kepada anak-anak muda bagaimana memahami informasi yang mereka dapatkan secara online. </p>
<p>Perlu diberikan pelajaran tentang bagaimana cara kerja mesin pencari, ke mana tujuan tautan-tautan online dan bagaimana cara memastikan suatu berita bisa dipercaya menggunakan informasi dari situs-situs lain serta apa arti akuntabilitas dan akurasi, dalam konteks berita online. </p>
<p>Mengetahui semua hal tentang berita online ini, dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari akan memberi Anda kendali atas berita apa yang Anda baca dan berita mana yang Anda pilih untuk dibagikan. Anda akan menjadi pahlawan yang memperjuangkan jurnalisme yang baik, sehingga kami mengandalkan Anda untuk membantu agar fakta menang atas fiksi, dan menjadikan berita yang benar mengungguli berita bohong.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/89098/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Beth Hewitt adalah anggota dari Northwest Royal Television Society, dan anggota Manimation Committee.</span></em></p>Spektrum berita bohong lumayan luas. Mulai dari yang nyata-nyata ketahuan bohong hingga yang mengecoh dengan halus sehingga kita tidak sadar.Beth Hewitt, Senior Lecturer in Media Practice, University of SalfordLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/857292017-10-31T08:51:11Z2017-10-31T08:51:11ZApakah Generasi Z lebih tahan hoaks ketimbang Gen X dan Gen Y?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/191625/original/file-20171024-30577-18zw7ey.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ciri utama Generasi Z adalah masuk dalam kategori pribumi digital (_digital native_).</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Juli lalu saat memberikan kuliah umum di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Presiden Joko Widodo menyebut-nyebut tentang Generasi Z. Para remaja ini, kata Presiden, akan mengubah lanskap politik dan lanskap ekonomi dalam waktu 5-10 tahun ke depan. </p>
<blockquote>
<p>“(Mereka) pegangannya hanya <em>smartphone</em>, bisa tahu semuanya,” kata Presiden Jokowi.</p>
</blockquote>
<p>Generasi Z adalah kelompok umur yang muncul setelah <em>Baby Boomers</em> (lahir 1946-1964), Generasi X (lahir 1965-1976), dan Generasi Y (lahir 1977-1995). </p>
<p>Di Indonesia, Generasi Z adalah mereka yang lahir pada pertengahan 1990-an (mengacu pada penggunaan perdana internet komersial) hingga pertengahan 2000-an. </p>
<p>Generasi Z kita pada 2010 mencapai lebih dari <a href="http://sp2010.bps.go.id/">68 juta orang</a>, hampir dua kali lipat Generasi X. Kelompok usia paling tua dari Generasi Z berusia 21 tahun, artinya mereka sudah pernah memilih presiden dan wakil presiden serta mengikuti pemilu legislatif. </p>
<p>Pada pemilihan presiden 2019 kelak, semakin banyak remaja dari Generasi Z yang akan mencoblos, baik perdana maupun untuk kesekian kalinya.</p>
<p>Bagaimana Generasi Z akan membawa perubahan pada lanskap politik Indonesia?</p>
<h2>‘Digital native’</h2>
<p>Ciri utama Generasi Z adalah masuk dalam kategori pribumi digital (<em>digital native</em>). Hal ini menjadikan posisi mereka sangat menarik dibandingkan dengan generasi pendahulu. Mereka bukanlah imigran digital yang harus bertransisi dari dunia analog. </p>
<figure class="align-left ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/191418/original/file-20171023-1738-tusa69.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/191418/original/file-20171023-1738-tusa69.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/191418/original/file-20171023-1738-tusa69.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/191418/original/file-20171023-1738-tusa69.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/191418/original/file-20171023-1738-tusa69.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/191418/original/file-20171023-1738-tusa69.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/191418/original/file-20171023-1738-tusa69.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Gen Z.</span>
<span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Begitu melek, dalam genggaman Generasi Z sudah ada internet. Mereka tidak terkagum-kagum akan kemudahan dan kepraktisan internet. Bagi mereka, internet adalah normalitas. Internet adalah bagian dari kehidupan sehari-hari yang tidak usah membuat <em>gumun</em>.</p>
<p>Mungkinkah ini artinya, Generasi Z bisa lebih tahan terhadap sebaran isu hoaks yang akhir-akhir ini sudah begitu mengkhawatirkan sekaligus menjijikkan? </p>
<p>Literasi media digital bolak-balik mental karena pengguna ponsel canggih (<em>smartphone</em>) enteng saja meneruskan berbagai kabar lewat sarana berkirim pesan seperti WhatsApp. Menurut <a href="http://mastel.id/infografis-hasil-survey-mastel-tentang-wabah-hoax-nasional/">riset Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel)</a> tentang wabah hoaks nasional, sebanyak 68,2% menerima hoaks lewat aplikasi <em>chatting</em>.</p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/mengapa-emoji-mungkin-jadi-password-anda-di-masa-depan-85274">Mengapa emoji — 👫🍣💍🎭 mungkin jadi— ‘password’ Anda di masa depan</a></em></p>
<hr>
<p>Bagi penyebar hoaks, aplikasi <em>chatting</em> memang sangat nyaman karena praktis, tidak perlu narasi yang rumit, dan terjamin penyebarannya. Bukankah refleks pertama orang ketika menerima informasi adalah buru-buru menyebarkannya “ke grup sebelah”? Alasannya bisa macam-macam; karena ingin jadi yang pertama mengirim kabar ke komunitasnya, atau justru dalam rangka mengecek kebenaran kabar tersebut. Bagi mereka yang lama hidup di dunia analog, kemudahan menyebarkan kabar ini memang terasa bagai sesuatu yang baru dan canggih.</p>
<p>Barangkali justru di sinilah letak keunikan Generasi Z. Mereka tidak menempatkan kecepatan sebagai faktor penting dalam mencari berita karena kecepatan bukanlah suatu keuntungan, melainkan kewajaran. </p>
<p>Sumber informasi mereka bukan kabar dari WhatsApp, melainkan aplikasi kuratorial berita seperti LINE Today. Menyebarkannya pun bukan lewat grup atau chat pribadi, tapi dibagikan lewat <em>timeline</em> masing-masing. Tantangan berikutnya adalah mengarahkan Generasi Z untuk memperhatikan isu-isu publik yang penting. Model aplikasi kuratorial berita seperti disebut di atas, bisa menjadi inspirasi.</p>
<p>Generasi Z juga cenderung lebih individualis dibandingkan generasi pendahulunya. Maksudnya, mereka lebih tertarik dan lebih percaya pada upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh individu, daripada berserikat dan berkumpul. </p>
<p>Generasi Z lebih percaya pada <a href="http://markerly.com/blog/instagram-marketing-does-influencer-size-matter/"><em>influencer</em> di Instagram</a> (biasa disebut “selebgram”) yang pengikutnya sedikit karena dianggap lebih unik dan otentik. Hal ini disebabkan karena Generasi Z lahir di era keberlimpahan informasi. Seolah-olah semua yang mungkin diciptakan, telah diciptakan. Itulah mengapa mereka mencari keunikan alias sesuatu yang khas.</p>
<h2>Meraih Generasi Z</h2>
<p>Mungkinkah hal tersebut berlaku pula dalam politik? Konsekuensinya, Generasi Z tidak akan terpesona pada partai berpengikut banyak atau tokoh politik yang umatnya <em>bejibun</em>. Generasi Z akan lebih tertarik pada keunikan yang ditawarkan oleh partai atau tokoh politik dalam kampanyenya.</p>
<p>Menurut riset <a href="https://tirto.id/tirto-visual-report-masa-depan-di-tangan-generasi-z-ctMM">Tirto</a> yang dilakukan pada 1.201 responden Generasi Z di Jawa dan Bali tahun 2017, Generasi Z cenderung berpikiran terbuka, asyik dengan teknologi, dan menghendaki perubahan sosial. Narasi kampanye bisa berpijak pada ketiga temuan tersebut.</p>
<p>Pertama, partai atau tokoh politik bisa menggunakan narasi yang kuat, unik, serta mengandung berbagai topik yang perlu selalu didengungkan seperti kesetaraan gender, kebebasan berekspresi, penghargaan terhadap perbedaan, dan perlindungan hak asasi.</p>
<p>Kedua, kanal kampanye haruslah melibatkan teknologi canggih. Ketiga, jangan lagi bicara hal-hal klise atau abstrak. Generasi Z yang pragmatis ini ingin melihat perubahan sosial, bukan sekadar jargon. Tokoh yang di-<em>endorse</em> dalam kampanye politik juga perlu diperhatikan. Mereka harus mewakili keinginan Generasi Z yang haus akan keunikan dan ciri khas. Semakin “beda”, semakin baik. </p>
<p>Tentu saja, terlalu gegabah bila “lanskap politik” diterjemahkan sekadar sebagai pilihan saat coblosan. Generasi Z bukan sekadar pasar. Perlu dilakukan berbagai studi dan kajian yang mampu melihat secara mendalam preferensi politik mereka, lengkap dengan berbagai faktor seperti pengalaman sejarah dan konsumsi budaya populer.</p>
<p>Berbagai kajian ini nantinya bisa memberikan masukan mengenai format pendidikan politik dan literasi media demi menghasilkan generasi penerus yang lebih cerdas dan tidak mudah terpapar isu kebencian serta berita bohong. Tulisan ini sekadar mengawali percakapan ke arah sana.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/85729/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Andina Dwifatma tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Begitu melek, dalam genggaman Generasi Z sudah ada internet. Mereka tidak terkagum-kagum akan kemudahan dan kepraktisan internet.Andina Dwifatma, Lecturer at the School of Communication, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/853282017-10-12T10:28:34Z2017-10-12T10:28:34ZAnak-anak dan media sosial: tidak selalu kabar buruk<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/189108/original/file-20171006-25764-1eg7a3i.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Orang tua harus memahami apa nilai baik media sosial agar bisa membimbing anak-anak mereka menuju penggunaan positif. </span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Walaupun kita sering mendengar tentang dampak negatif media sosial terhadap anak-anak, sebetulnya penggunaan situs-situs seperti Facebook, Twitter, dan Instagram bukanlah sebuah aktivitas yang bisa disamaratakan untuk semua orang. </p>
<p>Anak-anak menggunakannya dengan sangat banyak cara—sebagian di antaranya memberi nilai tambah bagi hidup mereka. </p>
<p>Ada risiko-risiko terkait penggunaan media sosial. Tetapi penting juga memahami apa nilai baik dalam media sosial dan bagaimana membimbing anak-anak untuk memperoleh yang terbaik dari waktu online mereka. </p>
<h2>Media sosial bisa mendorong pembelajaran</h2>
<p>Media sosial adalah sebuah platform untuk berbagi ide, informasi dan sudut pandang. Ini bisa memberikan nilai pendidikan yang penting: media sosial menyampaikan informasi yang bisa diakses anak-anak muda sambil juga memberi mereka wawasan tentang bagaimana orang lain memandang dan menggunakan informasi itu.</p>
<p>Misalnya, sebuah gambar Instagram bisa memberi wawasan tangan pertama tentang bagaimana seorang artis masa kini—atau banyak artis di seluruh dunia—menafsirkan dan menerapkan teknik kubisme Picasso. Wawasan ini membuat informasi tentang Picasso menjadi nyata bagi seorang anak.</p>
<p>Wawasan ini mendukung pemahaman lebih mendalam tentang teknik-tekniknya, dan apresiasi lebih mendalam bahwa mempelajari teknik-teknik tersebut layak dilakukan.</p>
<p>Dengan begitu banyak <em>trending topic</em>, anak-anak muda bisa disodori pengetahuan “orang dalam” tentang begitu banyak subjek yang familier dengan mereka, di samping memperkenalkan mereka pada subjek-subjek baru.
<a href="http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/2379298117717257">Manfaat pendidikan bisa maksimum</a> jika memadukan informasi faktual dengan pembahasan bersama antara orang tua dan anak. Paduan ini bisa mendukung sebuah input berimbang, beragam, dan “nyata” bagi anak-anak, yang bisa membantu mereka memperdalam pemahaman mereka tentang suatu subjek.</p>
<h2>Manfaat kesehatan</h2>
<p><a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28381392">Riset menunjukkan</a> bahwa media sosial bisa memberikan manfaat signifikan bagi anak-anak dengan kondisi medis tertentu.</p>
<p>Sebuah kelompok Facebook online dengan lingkaran anggota spesifik bisa membantu anak-anak untuk berhubungan dengan orang lain yang memahami dan menceritakan kondisi mereka. Ini bisa mendukung mereka dengan memberikan rasa memiliki, ruang yang aman untuk berekspresi, dan peluang-peluang lebih baik untuk memahami dan menangani kondisi mereka.</p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/3-alasan-kita-kecanduan-ponsel-canggih-86709">3 alasan kita kecanduan ponsel canggih</a></em></p>
<hr>
<p>Media sosial juga dapat membangkitkan kesadaran masyarakat tentang problem kesehatan tertentu. Meski bukan pengganti bagi informasi medis tepercaya, sebuah gambar yang menggugah pikiran, atau akun Facebook milik seseorang yang mengalami depresi, atau sklerosis ganda, bisa menyulut pemikiran baru bagi orang lain tentang kondisi tersebut dan bagaimana hal itu mempengaruhi kehidupan sehari-hari orang yang bersangkutan.</p>
<p>Berbagi informasi kesehatan dengan cara ini <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26721292">terbukti</a> membantu memerangi stigma tentang kondisi-kondisi tersebut dalam masyarakat.</p>
<h2>Sarana-sarana sosial baru</h2>
<p><a href="http://smhp.psych.ucla.edu/pdfdocs/socialnet.pdf">Salah satu manfaat</a> menggunakan Snapchat atau Instagram adalah koneksi online reguler yang bisa membantu memperkuat persahabatan yang dijalin anak-anak muda di dunia nyata.</p>
<p>Bagi anak-anak yang merasa tersisih dalam komunitas lokal mereka, media sosial bisa membantu mereka berhubungan dengan orang-orang yang memiliki minat atau pandangan hidup yang sama.</p>
<p>Dalam beberapa kasus, remaja dengan problem kritis bisa mengandalkan jaringan sosial untuk mendapatkan dukungan dan bimbingan cepat. Ada banyak sekali kelompok yang menawarkan bantuan online semacam itu.
Media sosial juga merupakan platform penting untuk mengarahkan isu-isu sosial, seperti isu-isu rasial, agar mendapatkan perhatian nasional dan internasional yang lebih besar. </p>
<p>Misalnya, <a href="https://web.facebook.com/booksnbrosllc/?_rdc=1&_rdr">klub buku online The Books N Bros</a> dibentuk oleh seorang bocah 11 tahun yang ingin membuat membaca menjadi menyenangkan bagi anak-anak sambil mempromosikan sastra Afrika-Amerika.</p>
<p>Gerakan Black Lives Matter bermula dengan sebuah tagar Twitter sebelum menjadi gerakan politik besar dan isu yang menyedot perhatian dalam pemilihan presiden AS 2016.</p>
<h2>Apa yang harus dilakukan orang tua?</h2>
<p>Suatu kesadaran tentang manfaat media sosial bisa membantu orang dewasa memahami mengapa teknologi begitu memikat bagi anak muda, potensi penggunaan postif ruang-ruang online tersebut, dan bagaimana berbicara kepada anak-anak tentang penggunaan media sosial mereka.</p>
<p>Ketika berdiskusi dengan anak-anak tentang media sosial, penting diperhatikan untuk tidak bersikap “kita-versus-mereka”. Pemahaman dan penerimaan bahwa generasi-generasi yang berbeda menggunakan teknologi secara berbeda adalah awal yang bagus. </p>
<p>Hal ini membuka peluang untuk kita saling memahami sebagai sesama pengguna teknologi, juga lebih siap ketika masalah mulai muncul, memudahkan kita membimbing anak-anak menuju penggunaan teknologi secara positif dan memberdayakan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/85328/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Joanne Orlando tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Anda khawatir anak Anda tersesat dalam menggunakan media sosial? Ada hal-hal baik dalam media sosial yang perlu kita kenali agar memudahkan kita memandu anak.Joanne Orlando, Researcher: Technology and Learning, Western Sydney UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/840642017-09-25T14:48:40Z2017-09-25T14:48:40ZPemetaan 9 kota menegaskan Indonesia harus bangkit dari gagap digital<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/187158/original/file-20170922-17284-1kyp8ph.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pendidikan literasi digital harus dimulai dari tingkat keluarga.</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Indonesia mencatat <a href="http://tekno.kompas.com/read/2016/10/24/15064727/2016.pengguna.internet.di.indonesia.capai.132.juta.">132,7 juta pengguna internet</a>, tetapi tidak semua warganet (<em>netizen</em>) mempunyai kedewasaan dalam menggunakan media digital. Lima puluh enam peneliti di sembilan kota di Indonesia memetakan upaya pendidikan literasi digital. Kami menemukan tak kurang dari 342 kegiatan yang dilakukan. Tetapi, jumlah ini masih terlalu terbatas jika dibandingkan dengan masalah gagap digital yang kita hadapi. </p>
<p><a href="http://nasional.kompas.com/read/2017/09/18/13394661/pengepungan-ylbhi-polisi-diminta-tangkap-penyebar-hoaks">Menyebarnya hoaks</a>
dan <a href="https://www.tempo.co/read/fokus/2017/08/25/3570/cerita-bagaimana-saracen-berdagang-ujaran-kebencian-di-medsos">ujaran kebencian</a>, maraknya <em><a href="https://www.unicef.org/indonesia/id/media_22169.html">cyberbullying</a></em>, penggunaan media sosial untuk <a href="http://nasional.kompas.com/read/2017/04/02/22222211/kepala.bnpt.ingatkan.bahaya.rekrutmen.teroris.via.online.">kegiatan terorisme</a> dan <a href="http://www.antarajatim.com/berita/202229/bnpt-radikalisme-lebih-senang-menyasar-anak-muda-pengguna-internet-video?utm_source=fly&utm_medium=related&utm_campaign=news">radikalisme</a>, dan <a href="https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150701120954-188-63544/remaja-indonesia-kecanduan-media-sosial/">ketergantungan yang tinggi atau kecanduan pada media digital</a> adalah beberapa contoh kegagapan digital masyarakat Indonesia. </p>
<p>Sekadar menggunakan media digital, semua juga bisa. Sayangnya, hanya sedikit yang mampu berpikir kritis dan menganalisis muatan pesan yang diperoleh <a href="https://tirto.id/benarkah-internet-melemahkan-kemampuan-berpikir-cwCL">melalui media digital</a>. Lebih sedikit lagi yang punya kesadaran untuk memberdayakan dirinya maupun komunitasnya dalam menggunakan media digital. </p>
<h2>Kolaborasi pemetaan di sembilan kota</h2>
<p><a href="http://www.umy.ac.id/dosen-umy-teliti-gerakan-literasi-digital-di-indonesia.html">Pemetaan kolaboratif</a> diawali dengan pertemuan 10 akademisi komunikasi dari Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta pada bulan Januari 2017. Penelitian dilaksanakan bergotong-royong agar wilayah yang dipetakan bisa semakin luas dan lengkap. Kami mencatat aktivitas literasi digital yang telah dilakukan oleh masing-masing perguruan tinggi dan komunitas-komunitas pegiat literasi digital. </p>
<p><a href="https://drive.google.com/file/d/0B_1Am7ak3rlKWmEwcGdkelh6V3M/view">Hasilnya</a> dapat menjawab sejumlah pertanyaan mendasar, seperti siapa sajakah pelaku kegiatan literasi digital di Indonesia, siapa saja target sasarannya, dan dengan pihak mana saja mereka bermitra. Pemetaan juga mencatat ragam kegiatan literasi digital yang penting untuk membantu perancangan program-program lanjutan literasi digital. </p>
<p>Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi koordinator penelitian. Sedangkan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menjadi tuan rumah <a href="http://ilkom.fis.uny.ac.id/events/konferensi-nasional-literasi-digital.html">konferensi nasional Literasi Digital</a>. Dalam proses penelitian dan persiapan konferensi, muncul komunitas baru bernama Jaringan Pegiat Literasi Digital Indonesia (<a href="https://twitter.com/japelidi">Japelidi</a>) pada bulan April 2017. </p>
<p>Japelidi beranggotakan 56 peneliti dari 26 perguruan tinggi di sembilan kota di Indonesia (Yogyakarta, Salatiga, Semarang, Surakarta, Malang, Bandung, Banjarmasin, Bali, dan Jakarta). Gerakan penelitian Japelidi
bersifat sukarela dan swadaya. </p>
<h2>Temuan Japelidi</h2>
<p>Japelidi berhasil memetakan 342 kegiatan literasi digital dalam kurun waktu 2010-2017 di sembilan kota. Angka ini tentu saja masih di bawah kegiatan literasi digital yang ada di Indonesia secara menyeluruh. Kendati demikian, sebagai data awal, cukup signifikan untuk mencermati gerakan literasi digital di Indonesia. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/model-literasi-yang-bermanfaat-untuk-indonesia-bukan-sekadar-melek-huruf-82508">Model literasi yang bermanfaat untuk Indonesia</a></em></p>
<hr>
<p>Kajian pemetaan ini menghasilkan empat temuan, yaitu pelaku, ragam kegiatan, target sasaran dan mitra kegiatan literasi digital di 9 kota di Indonesia. Pada temuan pertama, pelaku kegiatan literasi digital di sembilan kota didominasi oleh perguruan tinggi (56.14%). Selama beberapa tahun terakhir, perguruan tinggi adalah motor gerakan literasi digital, khususnya di bawah payung program pengabdian masyarakat di perguruan tinggi. </p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/aLbuA/3/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" allowfullscreen="allowfullscreen" webkitallowfullscreen="webkitallowfullscreen" mozallowfullscreen="mozallowfullscreen" oallowfullscreen="oallowfullscreen" msallowfullscreen="msallowfullscreen" width="100%" height="255"></iframe>
<p>Kedua, ragam kegiatan. Sosialisasi atau ceramah menjadi favorit karena dianggap paling efektif untuk memberikan pemahaman mengenai literasi digital pada beragam kelompok sasaran (29.64%). Sedangkan kegiatan lain merentang mulai dari pelatihan, diskusi, kampanye, advokasi kurikulum, hingga pembentukan unit anti hoaks. </p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/CTGhU/4/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" allowfullscreen="allowfullscreen" webkitallowfullscreen="webkitallowfullscreen" mozallowfullscreen="mozallowfullscreen" oallowfullscreen="oallowfullscreen" msallowfullscreen="msallowfullscreen" width="100%" height="303"></iframe>
<p>Ketiga, sasaran utama kegiatan. Remaja atau pelajar menjadi target favorit kegiatan literasi digital (29.55%). Kaum muda dianggap sebagai kelompok yang paling rentan terpengaruh efek negatif media digital sekaligus berpeluang menjadi agen literasi digital. </p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/WhjnR/2/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" allowfullscreen="allowfullscreen" webkitallowfullscreen="webkitallowfullscreen" mozallowfullscreen="mozallowfullscreen" oallowfullscreen="oallowfullscreen" msallowfullscreen="msallowfullscreen" width="100%" height="255"></iframe>
<p>Keempat, mitra yang paling aktif adalah sekolah (32.07%), disusul oleh pemerintah dan komunitas. </p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/7PpiI/3/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" allowfullscreen="allowfullscreen" webkitallowfullscreen="webkitallowfullscreen" mozallowfullscreen="mozallowfullscreen" oallowfullscreen="oallowfullscreen" msallowfullscreen="msallowfullscreen" width="100%" height="280"></iframe>
<h2>Sukarela, insidental, sporadis</h2>
<p>Berdasarkan empat temuan tadi, dapat disimpulkan bahwa gerakan literasi digital di Indonesia cenderung bersifat sukarela, insidental, dan sporadis. </p>
<p>Sayang sekali, belum dijumpai kemitraan sinergis yang berkesinambungan di antara pelaku gerakan. Berkait ragam kegiatan, Japelidi merekomendasikan pentingnya mengeksplorasi lebih banyak bentuk kegiatan. Selain memperbanyak ragam, metode penyampaian juga harus disesuaikan dengan kelompok sasaran. Misalnya, dengan permainan <a href="http://bit.ly/ulartanggahires">interaktif ular tangga</a> sehingga belajar literasi digital terasa menyenangkan. </p>
<p>Target sasaran literasi digital pun perlu diperluas. Jaringan kemitraan dengan berbagai aktor, terutama dengan pemerintah, media, dan korporasi, perlu ditingkatkan agar tujuan bisa tercapai semaksimal mungkin. Selain itu, dibutuhkan lebih banyak pelaku literasi digital dari kalangan non perguruan tinggi, supaya menjangkau kelompok sasaran yang lebih luas. </p>
<h2>Literasi: mulai dari keluarga</h2>
<p>Data Japelidi menunjukkan bahwa keluarga belum tercatat menjadi mitra kegiatan literasi. Keterlibatan orang tua tercatat hanya 12.23%. Padahal <a href="http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/16/04/20/o5xa8715-media-digital-anak-dan-orang-tua">orang tua</a> sangat penting perannya, sebab dari orang tualah anak pertama kali mengenal media digital di usia balita. </p>
<p>Berdasarkan hal-hal tersebut, maka Japelidi merekomendasikan literasi digital dimulai dari level keluarga, lalu ke institusi pendidikan, dan masyarakat. </p>
<p>Pada level keluarga, orang tua diharapkan menjadi panutan dengan mendampingi dan melibatkan anak untuk merumuskan kesepakatan bersama dalam mengakses media digital. </p>
<p>Pada level lembaga pendidikan, kurikulum perlu diintegrasikan dengan visi kegiatan berbasis literasi digital. Misalnya untuk mata kuliah literasi digital di perguruan tinggi, mahasiswa dilibatkan dalam pembuatan beragam program literasi digital dengan beragam kelompok sasaran. Maka guru-dosen dan murid-mahasiswa dapat memahami konsep literasi digital seutuhnya, sehingga mampu menjadi agen bagi masyarakat di sekitarnya. </p>
<p>Pada level masyarakat, perlu ada kolaborasi dengan berbagai kelompok warga, baik secara swadaya atau bekerja sama dengan media, perguruan tinggi, atau korporasi. Salah satu contohnya adalah <a href="http://www.nu.or.id/post/read/73852/santri-cyber-inisiasi-literasi-digital-untuk-tanggulangi-hoax">komunitas santri yang mengadakan workshop literasi digital</a> dengan pemerintah dan akademisi di akhir tahun 2016. </p>
<p>Pada level negara, pemerintah diharapkan memelihara sistem informasi digital yang demokratis. Makna demokratis dalam konteks literasi digital ini adalah bagaimana pemerintah mampu merumuskan regulasi yang menghargai hak asasi manusia dalam berhubungan dengan teknologi komunikasi. </p>
<p>Selain itu, pemerintah sebaiknya bekerja sama dengan pelaku lainnya untuk mendorong gerakan literasi digital. Tujuannya agar kelompok sasaran, terutama kaum muda, dapat meningkatkan kapasitas literasi digital sekaligus mendorong demokrasi di Indonesia. </p>
<p>Saat artikel ini ditulis, jumlah anggota Japelidi semakin bertambah dan tidak hanya akademisi saja melainkan juga pegiat literasi digital dari berbagai komunitas. Japelidi juga menjadi salah satu pendukung dan mitra <a href="http://siberkreasi.id">Gerakan Nasional Literasi Digital SiBerkreasi</a>. Dalam gerakan ini, Japelidi berperan sebagai tim pendukung yang mempunyai jaringan sumber daya manusia di bidang literasi digital sekaligus sebagai pusat data penelitian literasi digital di Indonesia. </p>
<p>Sebagai penutup, pesan utama Japelidi sesungguhnya sangat jelas: Indonesia harus segera bangkit untuk melawan gagap digital. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/84064/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Novi Kurnia adalah koordinator riset mengenai gerakan literasi digital di Indonesia yang dilakukan oleh Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi), yang terdiri dari komunitas dan kelompok yang bergerak di bidang literasi digital. Studi ini dilakukan dengan semangat kerelawanan oleh 56 peneliti dari 26 universitas di sembilan kota: (Yogyakarta, Salatiga, Semarang, Surakarta, Malang, Bandung, Banjarmasin, Bali and Jakarta). </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Santi Indra Astuti menerima dana dari Dikti melalui Hibah Dikti untuk Penelitian Hibah Bersaing di tahun 2014 dan 2015.
Ia bekerja di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung UNISBA sebagai dosen tetap. </span></em></p>Penelitian di sembilan kota berhasil memetakan 342 kegiatan literasi digital dari 2010-2017. Upaya ini masih terbatas ketika dihadapkan pada masalah gagap digital Indonesia.Novi Kurnia, Lecturer and Head of Postgraduate Program, Department of Communication Science, Universitas Gadjah Mada Santi Indra Astuti, Lecturer of Research Methodology of Communication Studies & Media Studies. Member of PhD Program at Universiti Sains Malaysia (USM) Pulau Pinang, S, Universitas Islam BandungLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/817552017-09-05T07:24:41Z2017-09-05T07:24:41ZBukan sekadar berita palsu: media sosial dan kampanye politik yang disetir pasar<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/180265/original/file-20170730-16184-1ygzz37.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Semua tim sukses di pemilihan gubernur Jakarta tahun ini melakukan praktik politik pasca-kebenaran.</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Suka tidak suka, media sosial telah menjadi bagian dari politik di pelbagai tempat di dunia, termasuk Indonesia. Dalam pemilihan pemimpin baru, keterkaitan politik dan media sosial semakin kasatmata sejalan dengan penggunaan media sosial skala besar dalam kampanye.</p>
<p>Dengan memanfaatkan kemajuan di bidang teknologi komunikasi, interaksi antara partai politik, politikus, dan publik menjadi lebih mudah dan murah. Namun bagi beberapa pengamat, perkembangan terakhir dalam dunia politik, seperti terpilihnya Donald Trump di Amerika Serikat, “Brexit” di Inggris, dan pemilihan gubernur di Jakarta (Pilkada), menunjukkan bahwa kampanye media sosial sudah menggiring politik pada titik nadir yang <a href="http://uk.reuters.com/article/us-100days-lloyd-commentary-idUKKBN15I214">mengancam demokrasi</a> itu sendiri.</p>
<p>Banyak pengamat memusatkan perhatian pada berbiaknya berita palsu dan menuding media sosial telah mengantarkan kita pada era <a href="http://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2016/12/media-post-truth-era-161210125419198.html">“post-truth”</a> (pasca-kebenaran, situasi di mana emosi dan kepercayaan pribadi lebih berpengaruh daripada fakta objektif). Pengamatan saya menunjukkan bahwa berita palsu adalah konsekuensi logis dari media dan kampanye politik yang disetir pasar ketika kampanye hanya dijadikan ajang menuai suara. Kampanye di masa kini cenderung mengandalkan kerangka komersial dengan <a href="http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0002716206299149">pemasaran dan pencitraan</a> sebagai alat utama dalam berkampanye.</p>
<h2>Semua pihak terlibat politik pasca-kebenaran</h2>
<p>Dalam kampanye Pilkada, semua kandidat membentuk tim media sosial sebagai bagian dari strategi kampanye mereka. Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengandalkan <a href="https://jasmev.net/">Jasmev</a> dan <a href="https://temanahok.com/">Teman Ahok</a>. Agus Harimurti Yudhoyono didukung oleh <a href="https://twitter.com/karib_ahy?lang=en">KaribAgus</a>, sementara Anies Baswedan memanfaatkan <a href="http://jakartamajubersama.com/">JakartaMajuBersama.com</a>.</p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/JJt2a/1/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" allowfullscreen="allowfullscreen" webkitallowfullscreen="webkitallowfullscreen" mozallowfullscreen="mozallowfullscreen" oallowfullscreen="oallowfullscreen" msallowfullscreen="msallowfullscreen" width="100%" height="700"></iframe>
<p>Dalam berkampanye, semua tim mengaku hanya fokus pada pesan-pesan positif tapi praktiknya menunjukkan kenyataan yang berbeda. Lebih jauh lagi, meski tak satu pun kandidat mengakuinya, mereka semua mempekerjakan <a href="http://tekno.kompas.com/read/2013/08/27/0912097/Di.Indonesia.Buzzer.Jadi.Orang.Bayaran">“buzzer” media sosial berbayar</a> untuk cuitan mereka.</p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/anak-anak-dan-media-sosial-tidak-selalu-kabar-buruk-85328">Anak-anak dan media sosial:tidak selalu kabar buruk</a></em></p>
<hr>
<p>Tim-tim kampanye juga memanfaatkan selebriti mikro seperti Denny Siregar (pro-Ahok) dan Jonru Ginting (anti-Ahok) untuk mendukung kampanye mereka. Selebriti mikro adalah sosok yang memiliki motivasi politik dan menggunakan media sosial untuk mencitrakan jati diri pribadi serta posisi politis mereka dalam upaya menarik perhatian dan dukungan publik terhadap misi mereka.</p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/VnZwF/2/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" allowfullscreen="allowfullscreen" webkitallowfullscreen="webkitallowfullscreen" mozallowfullscreen="mozallowfullscreen" oallowfullscreen="oallowfullscreen" msallowfullscreen="msallowfullscreen" width="100%" height="215"></iframe>
<p>Ada anggapan bahwa berita palsu dan bohong hanya berasal dari pihak kampanye anti-Ahok dan <a href="http://insidestory.org.au/post-truth-politics-in-southeast-asia/">kampanye pro-Ahok bersifat rasional</a>. Data penelitian saya menunjukkan bahwa kedua belah pihak sama-sama berkubang dalam politik pasca-kebenaran. Keduanya membingkai informasi dan cerita-cerita untuk menyentuh emosi tapi lalai terhadap fakta objektif dan abai akan informasi seputar kebijakan. </p>
<p>Pihak pro dan anti-Ahok, keduanya mengelola situs web yang menyajikan informasi sepihak. Walaupun situs-situs ini kebanyakan dibuat hanya beberapa bulan sebelum Pilkada, beberapa dari mereka, seperti situs pro-Ahok seword.com, dengan cepat meraup popularitas yang menyamai bahkan melampaui situs berita arus utama.</p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/CmKej/5/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" allowfullscreen="allowfullscreen" webkitallowfullscreen="webkitallowfullscreen" mozallowfullscreen="mozallowfullscreen" oallowfullscreen="oallowfullscreen" msallowfullscreen="msallowfullscreen" width="100%" height="288"></iframe>
<p>Beberapa situs bahkan secara sengaja menayangkan konten yang dikarang atau dipelintir. Misalnya, beberapa situs pro-Ahok adalah pelesetan dari situs Islamis dalam upaya mengecoh pembaca agar mereka yakin mereka sedang mengunjungi situs aslinya. Contoh termasuk arrahmahnews.com, yang merupakan pelesetan dari arrahmah.com, voa-islamnews.com alih alih voa-islam.com, dan pkspuyengan.com bukannya pkspiyungan.com. </p>
<h2>Para pengujar kebencian membungkam suara alternatif</h2>
<p>Selain tim kampanye, buzzer, dan selebriti-mikro, pengguna media sosial biasa juga berperan penting dalam kampanye. Walaupun bisa memberi ruang untuk kebebasan berekspresi, media sosial juga bisa menjadi ajang untuk bebas membenci. Ironisnya, pengguna media sosial berlomba mendaulat hak mereka sendiri untuk menyuarakan pendapat sembari membungkam suara-suara dari pihak yang berbeda. Iklim seperti ini menjadi lahan subur bagi narasi-narasi sektarian dan rasialis untuk bertumbuh.</p>
<p>Secara umum, percakapan dan interaksi antar pengguna media sosial tentang Pilkada ditandai dengan upaya-upaya pembentukan musuh bersama yang bisa dilihat dari penyematan label-label ejekan untuk lawannya.</p>
<p>Misalnya, tim anti-Ahok melabeli pendukung Ahok dengan istilah kasar seperti kafir, maksiat, haram, pembohong, penipu, bodoh, babi, dan kecebong.</p>
<p>Pendukung Ahok tak mau kalah dalam hal mengejek lawan mereka. Mereka melabeli lawan mereka sebagai tidak nasionalis (anti-Pancasila, anti-ke-Bhinneka-an, dan tukang makar); Muslim radikal (Wahabi, preman berjubah, takfiri, teroris, dan pendukung ISIS); anti-ilmu pengetahuan (bani koplak, kaum onta, kaum bumi datar, dan kaum sumbu pendek)</p>
<p>Polarisasi antar kedua kelompok ini begitu tajam dan menonjol sehingga menutupi keberadaan kelompok-kelompok lainnya. Banyak dari pemilih Ahok atau Anies yang bukan bagian dari dua kelompok ini. Sebagian warga Jakarta memilih Ahok karena prestasi-prestasinya meskipun tidak selalu sepakat dengan kebijakan-kebijakan dia. Sementara sebagian pemilih Anies adalah orang-orang yang terganggu dengan kebijakan Ahok yang dianggap <a href="https://medium.com/@forumkampungkota/the-invisibility-of-the-poor-83dc8cf18aa">pro-elite dan anti-orang miskin</a>.</p>
<p>Tidak mudah bagi suara-suara alternatif untuk terekspresikan di media sosial. Dalam lingkungan yang terpolarisasi secara tajam, pendapat atau ekspresi yang kompleks, bernuansa, atau sekadar berbeda dari dua kelompok dominan ini, jarang sekali diterima dengan baik.</p>
<p>Di sini kita melihat pengejawantahan teori “<a href="http://noelle-neumann.de/scientific-work/spiral-of-silence/">the spiral of silence</a>” atau “spiral kebisuan”. Teori ini menyatakan bahwa orang-orang yang merasa berada dalam kelompok yang pendapatnya lebih berpengaruh, misalnya anggota kelompok pro- dan anti-Ahok, akan lebih berani menyampaikan pendapat mereka secara publik. Sementara mereka yang menganggap pendapatnya kurang atau tidak berpengaruh, akan memilih diam untuk menghindari ancaman atau sanksi sosial, pengucilan, dan konflik.</p>
<h2>Kantong algoritmis dan nasionalisme kesukuan dunia digital</h2>
<p>Beberapa pengamat berpendapat bahwa <a href="http://www.huffingtonpost.co.uk/theo-priestley/the-algorithm-and-its-ech_b_12376054.html">algoritme</a> menentukan jenis informasi yang disajikan pada pengguna media sosial berdasarkan ketertarikan sang pengguna itu sendiri. Dalam hal ini, pengguna media sosial cenderung masuk ke “<a href="https://www.theguardian.com/technology/2017/may/22/social-media-election-facebook-filter-bubbles">filter bubble</a>” atau “gelembung penyaring” di mana mereka berinteraksi dengan informasi yang serupa dan menyekat mereka dari pandangan-pandangan yang beragam.</p>
<p>Namun, pengamatan saya menunjukkan bahwa pengguna di Indonesia biasanya memiliki jaringan kontak yang besar dan beragam (kadang lebih dari 1.000 “teman”), yang membukakan mereka pada berbagai rupa diskusi. Tetapi, bagi pengguna media sosial yang anti- atau pro-Ahok, informasi yang bertentangan justru menegaskan sudut pandang mereka sendiri. Lebih jauh, hal ini malah mempertajam hubungan permusuhan yang mereka pupuk dengan lawannya.</p>
<p>Dinamika ini melanggengkan pembentukan sesuatu yang saya namakan “algorithmic enclave” atau “kantong algoritmis”. Kantong-kantong algoritmis terbentuk ketika sekelompok individu, didorong oleh interaksi yang terus menerus dengan algoritme, berupaya membentuk identitas online bersama, untuk saling berbagi, membela keyakinan mereka, dan melindungi sumber daya mereka dari ancaman, baik yang hakiki maupun yang majasi. </p>
<p>Algoritme itu sendiri tidaklah menentukan pembentukan kantong-kantong ini. Bukan informasi yang berfungsi membentuk dan mempertajam perbedaan antar kantong, melainkan bagaimana informasi tersebut dibagikan, didiskusikan, dan dibenturkan dengan opini dan keyakinan bersama secara rutin antar anggota dalam kantong.</p>
<p>Dalam kantong-kantong algoritmis ini, pengguna media sosial seringkali menyerukan slogan terkenal “NKRI harga mati”, mantra yang kerap digunakan rezim Orde Baru untuk menekan ideologi lawan. Slogan ini dipakai untuk mengklaim dan melegitimasi “<a href="https://books.google.ca/books?hl=en&lr=&id=8f2y0F2wzLoC&oi=fnd&pg=PR7&dq=arendt+tribal+nationalism&ots=p0xr6kat-K&sig=WyklFvM-VA7X62Xr_Ih3yhpbTm4#v=onepage&q=tribal%20nationalism&f=false">tribal nationalism</a>” atau “nasionalisme kesukuan” mereka sendiri sekaligus menyingkirkan kesetaraan dan keadilan bagi yang lainnya.</p>
<p>Lewat kasus Pilkada di Jakarta, kita bisa mengamati dampak penggunaan media sosial dalam kampanye politik yang bersifat komersial dan mengandalkan pemasaran dan pencitraan. Media sosial dan kampanye yang disetir pasar memperdalam jurang antar kelompok sosial dan mempertajam permusuhan dan intoleransi satu sama lain.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini adalah ringkasan yang disunting dan diterjemahkan dari <a href="http://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14672715.2017.1341188">“Freedom to hate: social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in Indonesia”</a> di Critical Asian Studies.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/81755/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Merlyna Lim tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Politikus Indonesia melakukan praktik politik pasca-kebenaran dengan membingkai informasi sehingga ia menyentuh emosi namun mengabaikan detail kebijakan dan fakta objektif.Merlyna Lim, Canada Research Chair in Digital Media & Global Network Society, Carleton UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.