tag:theconversation.com,2011:/global/topics/media-sosial-41616/articlesMedia Sosial – The Conversation2024-03-17T04:51:54Ztag:theconversation.com,2011:article/2227152024-03-17T04:51:54Z2024-03-17T04:51:54ZPentingnya menyendiri: mengapa waktu sendirian terkadang baik untuk diri kita<p>Menghabiskan waktu sendirian bisa jadi menakutkan bagi banyak orang, dan itu bisa dimengerti. Itu mungkin karena kita sering salah paham mengenai perbedaan antara kesendirian dan kesepian. </p>
<p>Sebagai seorang psikolog, saya mempelajari tentang kesendirian-yang diartikan sebagai waktu yang kita habiskan sendirian, tidak berinteraksi dengan orang lain. Saya memulai penelitian ini lebih dari 10 tahun yang lalu dan, pada saat itu, <a href="https://doi.org/10.1111/j.1467-6494.1978.tb00191.x">saya menemukan bahwa suasana hati (<em>mood</em>) kaum muda</a> sering memburuk ketika sedang sendirian.</p>
<p>Di media sosial, televisi, atau musik yang kita dengarkan, kebahagiaan kerap digambarkan sebagai kegembiraan, antusiasme, dan energi. Akibat perspektif tersebut, kesendirian sering disalahartikan sebagai kesepian.</p>
<p>Dalam psikologi, para peneliti mendefinisikan <a href="https://doi.org/10.1177/026540758900600107">kesepian sebagai perasaan tertekan</a> yang kita alami ketika kita tidak memiliki, atau tidak bisa mendapatkan, koneksi sosial atau hubungan yang kita harapkan. Sementara <a href="http://www.tandf.co.uk/journals/pp/01650254.html">kesendirian adalah hal yang berbeda</a>.</p>
<p>Definisi kesendirian setiap orang bisa berbeda-beda. Namun yang menarik adalah bagi banyak orang, kesendirian <a href="https://doi.org/10.1177/01461672221115941">tidak selalu berarti tidak ada orang lain di sekitarnya</a>. Sebaliknya, banyak dapat merasakan kesendirian di ruang publik, seperti saat sedang duduk menikmati secangkir teh di kafe yang ramai atau membaca buku di taman. Penelitian saya juga menunjukkan bahwa meluangkan waktu untuk diri sendiri dapat memberikan dampak positif pada suasana hati sehari-hari.</p>
<p>Dalam berkegiatan sehari-hari, banyak dari kita yang mengalami masalah di tempat kerja, atau ketika segala sesuatunya tidak berjalan seperti yang kita harapkan maupun ketika kita mengerjakan terlalu banyak hal dan merasa kewalahan. <a href="https://doi.org/10.1177/0146167217733073">Saya menemukan bahwa</a> belajar meluangkan sedikit waktu untuk diri sendiri dan menyendiri sejenak dapat membantu kita menghadapi perasaan-perasaan ini. </p>
<h2>Apa manfaat dari menyendiri?</h2>
<p>Dalam <a href="https://doi.org/10.1177/0146167217733073">serangkaian eksperimen</a>, saya mengajak beberapa mahasiswa ke sebuah ruangan untuk duduk diam sendirian. Pada sebagian penelitian, saya mengambil ransel dan ponsel mereka agar mereka hanya untuk duduk berdiam dengan pikiran mereka sendiri; pada sebagian penelitian lagi, mereka tetap berada di dalam ruangan dengan buku-buku atau ponsel mereka. </p>
<p>Setelah 15 menit menyendiri, saya menemukan ada penurunan emosi kuat yang mungkin tengah dirasakan oleh para peserta, seperti kegelisahan atau kegembiraan. Ini membuat saya menyimpulkan bahwa kesendirian dapat menurunkan tingkat gairah seseorang. Artinya, hal ini dapat berguna dalam situasi ketika kita merasa frustrasi, gelisah, atau marah.</p>
<p>Mungkin banyak orang beranggapan bahwa hanya orang <em>introvert</em> yang menikmati kesendirian. Benar bahwa <a href="https://doi.org/10.1006/jrpe.1995.1005">orang <em>introvert</em> mungkin lebih suka menyendiri</a>, tetapi mereka <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0267185">bukan satu-satunya orang</a> yang dapat merasakan manfaat dari kesendirian. </p>
<p>Dalam sebuah survei terhadap lebih dari 18 ribu orang dewasa di seluruh dunia, lebih dari setengahnya memilih menyendiri sebagai <a href="https://www.bbc.co.uk/news/magazine-37444982">salah satu aktivitas utama yang mereka lakukan untuk beristirahat</a>. Jadi, meskipun kamu seorang <em>extrovert</em>, jangan sampai kamu jadi tidak meluangkan waktu menyendiri untuk menenangkan diri.</p>
<h2>Berdiam diri saja itu sulit</h2>
<p>Bagian yang menantang dari menghabiskan waktu sendirian adalah rasa bosan dan kesepian.</p>
<p>Banyak orang merasa bahwa duduk sendirian-hanya bersama dengan pikiran mereka-adalah hal yang sulit, karena mereka lebih suka melakukan sesuatu. Memaksakan diri untuk duduk saja tanpa melakukan apa pun juga bisa membuat <a href="https://www.science.org/doi/10.1126/science.1250830">waktu sendirimu terasa kurang menyenangkan</a>. Jadi, mungkin kamu lebih suka untuk tetap melakukan suatu aktivitas selama menyendiri. </p>
<p>Dalam <a href="https://doi.org/10.1525/collabra.31629">penelitian saya</a>, saya memberikan pilihan kepada para partisipan, untuk tidak melakukan apa-apa atau menghabiskan waktu mereka untuk menyortir ratusan pensil ke dalam kotak.</p>
<p>Setelah diminta untuk menyendiri selama 10 menit, sebagian besar peserta memilih untuk menyortir pensil. Padahal ini termasuk kegiatan yang umumnya membosankan bagi sebagian besar orang. Namun, pilihan untuk melakukan tugas yang membosankan ini muncul karena adanya keinginan untuk tetap sibuk demi mengisi ruang mental kita.</p>
<p>Jadi, jika kamu mendapati dirimu beraktivitas dengan perangkatmu setiap kali kamu memiliki waktu untuk menyendiri, ini hal yang wajar. Jangan menyiksa dirimu sendiri. Banyak orang fokus pada perangkatnya untuk <a href="https://doi.org/10.1016/j.chb.2015.01.068">mengatasi stres dan rasa bosan</a>. Beberapa orang juga lebih suka menghabiskan waktu sendirian untuk melakukan pekerjaan sehari-hari, seperti berbelanja atau mencuci pakaian. Ini semua adalah hal yang valid dilakukan ketika menyendiri.</p>
<h2>Melakukan kegiatan menyenangkan sendirian</h2>
<p>Menariknya, banyak orang <a href="https://doi.org/10.1093/jcr/ucv012">menghindari untuk melakukan kegiatan yang menyenangkan sendirian</a>, seperti pergi ke bioskop atau makan di restoran. Mungkin karena umumnya orang menganggap hal tersebut adalah kegiatan yang biasa dilakukan bersama teman dan orang terdekat, sehingga melakukannya sendirian dapat membuat kita <a href="https://doi.org/10.1108/IJCHM-06-2019-0584">merasa dihakimi dan tidak percaya diri</a>. Bepergian sendirian juga bisa jadi kegiatan yang cukup mengintimidasi, <a href="https://doi.org/10.1080/0966369X.2011.617881">terutama bagi perempuan</a>.</p>
<p>Namun, manfaat utama dari melakukan perjalanan seorang diri adalah kita bisa menemukan ketenangan, dan memiliki kebebasan untuk memilih apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya. </p>
<p>Selama mempelajari tentang kesendirian, saya menantang diri saya sendiri untuk melakukan beberapa kegiatan menyenangkan ini di saat-saat kesendirian saya, dan saya merasa bebas. Perempuan lain juga memiliki pengalaman yang sama, terutama saat bepergian, yang membuat mereka <a href="https://doi.org/10.3727/154427205774791663">merasa berdaya dan bebas</a>. </p>
<p>Untuk mengatasi rasa takut kita akan kesendirian, kita perlu mengenali manfaatnya dan <a href="https://doi.org/10.1177/19485506211048066">melihatnya sebagai sebuah pilihan yang positif</a>, bukan sesuatu yang terjadi pada diri kita. Melakukan perjalanan solo mungkin sedikit berlebihan untukmu saat ini, tetapi kamu tetap butuh meluangkan waktu di tengah jadwal sibukmu untuk menyendiri.</p>
<hr>
<p><em>Rahma Sekar Andini menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/222715/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Thuy-vy Nguyen menerima dana dari Economic and Social Research Council (Ref ES/W002256/1)</span></em></p>Menyendiri itu pilihan, tidak bisa dipaksakan.Thuy-vy Nguyen, Associate Professsor, Department of Psychology, Durham UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2255662024-03-13T06:59:36Z2024-03-13T06:59:36ZBeberapa PR terkait pelaksanaan aturan ‘publisher’s rights’ di Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/581533/original/file-20240313-18-b0w0se.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=8%2C16%2C5599%2C3715&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ilustrasi platform media.</span> <span class="attribution"><a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Bertepatan dengan peringatan Hari Pers Nasional pada 20 Februari lalu, pemerintah Indonesia mengeluarkan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/278037/perpres-no-32-tahun-2024">Peraturan Presiden (Perpres) No. 32 Tahun 2024</a> yang meminta perusahaan (<em>platform</em>), seperti Google, Meta, dan X (dulunya Twitter), untuk membayar media lokal atas konten berita yang mereka bagi ke publik. Aturan ini merupakan upaya untuk melindungi media, atau yang lebih dikenal dengan sebutan <em><a href="https://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/BRIE/2017/596835/IPOL_BRI(2017)596835_EN.pdf">publisher’s rights</a></em> </p>
<p>Wacana <em>publisher’s rights</em> sudah muncul di Indonesia empat tahun lalu melalui <a href="https://www.kompas.id/baca/english/2020/02/08/rehabilitate-the-medias-power">artikel opini</a> yang ditulis oleh Agus Sudibyo, yang kala itu menjadi koordinator kelompok kerja Keberlanjutan Media di Dewan Pers. </p>
<p>Agus berpendapat bahwa perusahaan <em>platform</em> raksasa seperti Google dan Facebook memiliki kekuatan yang lebih besar dari perusahaan media. Oleh karena itu, sudah semestinya mereka membagikan sebagian pendapatannya kepada perusahaan media yang menghasilkan konten yang mereka gunakan. </p>
<p>Perpres yang baru saja diterbitkan oleh pemerintah Indonesia ini mengikuti langkah <a href="https://www.accc.gov.au/by-industry/digital-platforms-and-services/news-media-bargaining-code/news-media-bargaining-code">Australia</a> dan <a href="https://www.canada.ca/en/canadian-heritage/services/online-news.html">Kanada</a> yang sudah lebih dulu menerapkan aturan serupa. Jerman dan Prancis juga berupaya memberlakukan aturan ini, tetapi gagal karena ada penolakan dari <a href="https://www.maastrichtuniversity.nl/blog/2021/01/implementing-press-publisher%E2%80%99s-right-german-and-french-experience"><em>platform</em></a>.</p>
<p>Australia yang sering menjadi rujukan keberhasilan aturan ini juga tengah <a href="https://theconversation.com/we-dont-have-to-give-facebook-a-free-ride-225266">mendapat tantangan dari Facebook</a> yang baru saja mengumumkan kebijakan mereka yang tidak akan fokus lagi ke berita. </p>
<p>Sebagai ahli dan peneliti media, saya melihat Indonesia juga menghadapi sejumlah pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan sebelum menjalankan Perpres ini.</p>
<h2>Respons perusahaan platform</h2>
<p>Perusahaan platform yang paling berkepentingan dengan Perpres ini adalah Google dan Meta. Pendistribusian konten media lewat Google dan Facebook (milik Meta) mencapai lebih dari <a href="https://books.google.co.id/books/about/Dialektika_Digital.html?id=BcBmEAAAQBAJ&redir_esc=y">80%.</a> </p>
<p>Merespons Perpres kemarin, Meta mengatakan mereka sudah berkonsultasi dengan pemerintah Indonesia dan mereka yakin bahwa <a href="https://www.kompas.id/baca/english/2024/02/22/meta-sebut-tidak-akan-diwajibkan-membayar-konten-berita?open_from=Translator_Mark">mereka tidak diwajibkan untuk membayar konten berita</a>, karena konten berita dalam Meta diunggah oleh perusahaan media secara mandiri untuk kepentingan <em>traffic</em> bagi berita-berita mereka. Dan untuk itu, Meta merasa tak perlu membayar kepada perusahaan media.</p>
<p>Sementara itu, pihak Google <a href="https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/02/20/google-menyatakan-siap-pelajari-perpres-publisher-rights">memilih untuk mempelajari</a> terlebih dahulu Perpres tersebut. </p>
<p>Menurut info dari seorang redaktur media nasional yang tidak ingin disebutkan namanya, sejak akhir tahun 2021, Google sudah melakukan perjanjian dengan sejumlah perusahaan media, dengan kondisi bahwa isi perjanjian tersebut tidak boleh diumumkan ke publik. </p>
<p>“Jadi bagi Google, Perpres ini tidak terlalu berarti karena mereka sudah melakukan perjanjian ke sejumlah media. Mereka <em>concern</em> [khawatir] pemerintah banyak campur tangan dalam hal ini,” ujar redaktur tersebut dalam komunikasi pribadi dengan penulis. </p>
<p>Hal ini menyisakan pertanyaan terkait komitmen pihak <em>platform</em> dalam membayar kompensasi untuk konten berita dari media lokal di kemudian hari. </p>
<p>Aturan Perpres, tidak seperti UU, bersifat tidak mengikat. Artinya tidak ada sanksi atau denda jika pihak terkait tidak melakukan kewajibannya. Pertimbangan mengapa pemerintah mengeluarkan Perpres alih-alih UU karena proses pembuatan UU yang memakan waktu dan rumit karena melibatkan kepentingan politik berbagai partai. </p>
<h2>Pembentukan komite</h2>
<p>Dewan Pers mengatakan akan segera membentuk <a href="https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/03/05/komite-publisher-rights-diharapkan-memfasilitasi-pers-dan-platform-digital">komite</a> yang akan memastikan pemenuhan kewajiban perusahaan platform digital.</p>
<p>Jumlah anggota komite tersebut disebutkan maksimal ada 11 orang dengan komposisi lima orang anggota Dewan Pers yang bukan dari nonperusahaan pers, satu orang perwakilan pemerintah, dan lima orang pakar. Masa tugas komite ini tiga tahun, dan dapat dipilih kembali. </p>
<p>Jumlah anggota Komite hingga 11 orang menimbulkan pertanyaan. Mengapa harus sampai 11 orang? Apakah tidak cukup jika 3-5 orang saja?</p>
<p>Perpres tersebut tidak menjelaskan mengapa anggota komite perlu ada 11. Padahal lebih sedikit jumlahnya akan membuat pengambilan keputusan lebih efektif dan efisien. Terlebih lagi, anggota Dewan Pers hanya ada sembilan orang, jadi lebih dari separuh anggotanya akan terlibat dalam komite ini. </p>
<p>Pertanyaan yang lebih serius: akankah komite ini akan berhasil menciptakan ekosistem media yang lebih baik ke depannya dan memberikan keadilan kepada para pemilik konten media, baik itu media besar maupun media kecil? </p>
<p>Perpres terbaru mengatur hanya media yang terverifikasi di Dewan Pers yang bisa mendapatkan kompensasi dari <em>platform</em>, sementara media yang belum terverifikasi, banyak di antaranya adalah media kecil, belum bisa. Padahal justru media-media kecil yang menghasilkan produk jurnalistik yang berkualitas tinggi yang membutuhkan pemasukan tambahan untuk mendukung kegiatan operasional mereka. </p>
<p>Data dari Dewan Pers menunjukkan bahwa hanya <a href="https://nasional.sindonews.com/read/1331869/15/dewan-pers-baru-1700-media-yang-sudah-terverifikasi-1709283799">1.700 media yang terverifikasi</a> dari total <a href="https://dewanpers.or.id/publikasi/opini_detail/173/Media_Online_Perlu_Berbenah_Diri">47.000 </a>media dari seluruh Indonesia. Jadi ini tantangan buat pelaksanaan Perpres nantinya dalam memastikan bahwa sistem kompensasi berjalan adil.</p>
<h2>Harapan ke depan</h2>
<p>Apapun kondisinya, kita berharap Perpres ini bisa memberikan kesegaran dan perbaikan bagi ekosistem industri media di Indonesia. </p>
<p>Kita memang butuh waktu untuk membuktikan hal ini.</p>
<p>Peneliti media dari Reuters Institute for the Study of Journalism
University of Oxford di Inggris, Rasmus Kleis Nielsen dan Sarah Anne Ganter, <a href="https://global.oup.com/academic/product/the-power-of-platforms-9780190908867?cc=id&lang=en&">menjelaskan</a> bagaimana perusahaan <em>platform</em> menjadi sebuah kekuasaan baru dalam industri media yang menyebabkan ketergantungan perusahaan media pada <em>platform</em>.</p>
<p>Nick Denton, pendiri grup media di Inggris, Gawker Media, <a href="https://global.oup.com/academic/product/the-power-of-platforms-9780190908867?cc=id&lang=en&">menambahkan</a> bahwa media saat ini menjadi budak-budak algoritma. Artinya, media selalu berusaha mengikuti algoritma yang diciptakan <em>platform</em> ketika membuat konten. Hal ini tentu berpengaruh pada kualitas berita yang diterbitkan. </p>
<p>Kita tetap berharap jurnalisme berkualitas akan tetap terjaga dan makin mendapat tempat setelah didukung oleh perjanjian yang adil dan transparan. Jurnalisme berkualitas merupakan bagian dari upaya memelihara tradisi demokrasi Indonesia saat sekarang dan seterusnya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/225566/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ignatius Haryanto tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Ada sejumlah pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan sebelum menjalankan Perpres Publisher’s Rights ini.Ignatius Haryanto, Lecturer of media and journalism, Universitas Multimedia NusantaraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2237422024-02-22T02:43:49Z2024-02-22T02:43:49ZRiset: literasi digital tak pengaruhi aktivitas orang tua berbagi informasi anak di media sosial<p>Mengabadikan momen ketika anak pertama kali berjalan, atau pertama kali berulang tahun, adalah hal yang lumrah dilakukan oleh para orang tua. Keberadaan media sosial, seperti Instagram, memudahkan orang tua untuk membagikan momen-momen tersebut melalui akun mereka. Bahkan, banyak anak yang sudah memiliki akunnya sendiri meski Instagram memiliki kebijakan <a href="https://help.instagram.com/517920941588885">usia minimal pengguna</a> yaitu 13 tahun.</p>
<p>Penempatan informasi berupa foto-foto anak dan kegiatan mereka bersama teman dan keluarga di media sosial oleh orang tua disebut dengan istilah ‘<a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/15405702.2016.1223300"><em>sharenting</em></a>’, yang umumnya dilakukan oleh orang tua tanpa seizin anak dan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/02673231211012146">lebih sering dilakukan oleh ibu</a> daripada ayah. </p>
<p>Aktivitas <em>sharenting</em> ini rentan risiko, di antaranya penculikan, pengambilan foto tanpa izin serta berpotensi melanggar hak privasi anak yang juga bisa berdampak pada risiko keamanan yang lebih berat. </p>
<p>Untuk menghindari risiko tersebut, orang tua <a href="https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/10255/ICCE%20Proceeding%20SUSULAN_18.pdf?sequence=1">perlu memiliki literasi digital</a> yang baik. <a href="https://www.unicef.org/globalinsight/media/1271/file/%20UNICEF-Global-Insight-digital-literacy-scoping-paper-2020.pdf">Literasi digital</a> merujuk pada kemampuan untuk mengakses, mengorganisasikan, memahami, menyatukan, mengomunikasikan, mengevaluasi, dan menciptakan informasi dengan aman dan layak melalui teknologi digital. </p>
<p>Namun, benarkah literasi digital yang baik dapat mengurangi risiko <em>sharenting</em>?</p>
<h2>'Sharenting’ adalah fenomena kota besar</h2>
<p>Tahun 2022, kami melakukan <a href="http://journal.wima.ac.id/index.php/KOMUNIKATIF/article/view/4080/pdf">survei</a> kepada 385 ibu di Jawa Timur yang memiliki anak usia maksimal 12 tahun. Kami memilih Jawa Timur sebagai lokasi penelitian karena merupakan provinsi dengan skor <a href="https://aptika.kominfo.go.id/wp-content/uploads/2020/11/Survei-Literasi-Digital-Indonesia-2020.pdf">keamanan digital paling rendah</a>, walaupun Pulau Jawa adalah pulau dengan infrastruktur paling baik di Indonesia. </p>
<p><a href="http://journal.wima.ac.id/index.php/KOMUNIKATIF/article/view/4080/pdf">Responden kami</a> paling banyak berusia 20an, dengan usia anak yang beragam dari 1 hingga 12 tahun. Domisili para ibu ini tersebar di 31 kota di Jawa Timur tetapi mayoritas tinggal di kota besar, yaitu Surabaya, Malang, dan Kediri seperti terlihat pada grafik di bawah ini. Hal ini menunjukkan bahwa <em>sharenting</em> menjadi praktik umum di kalangan ibu-ibu urban. </p>
<p>Pendidikan para ibu yang menjadi responden kami mayoritas adalah lulusan sarjana sebanyak 63,8%, diikuti lulusan SMA/SMK sebanyak 29,3%. Sisanya berpendidikan magister (5,9%), doktor (0,5%) dan sekolah dasar (0,25%). Walaupun tingkat pendidikan dan usia responden beragam, namun aktivitas <em>sharenting</em> yang dilakukan relatif <a href="http://journal.wima.ac.id/index.php/KOMUNIKATIF/article/view/4080/pdf">tidak berbeda</a>.</p>
<h2>Sadar risiko tapi tetap melakukan</h2>
<p>Hasil survei kami menunjukkan bahwa para ibu di Jawa Timur memiliki persepsi risiko yang tinggi tentang privasi anak di Instagram. Artinya, mereka menyadari adanya kemungkinan pelanggaran privasi yang mengintai anak maupun perangkat mereka, seperti pencurian data dan foto, perundungan, atau <em>hacking</em>.</p>
<p>Namun, masih ada tiga indikator dari <a href="https://uis.unesco.org/sites/default/files/documents/ip51-global-framework-reference-digital-literacy-skills-2018-en.pdf">kompetensi keamanan</a> (kemampuan penggunaan fitur-fitur keamanan di perangkat digital), yang diabaikan oleh para ibu. Indikator ini melingkupi: (1) tidak keluar dari akun Instagram, sehinggga masih memungkinkan risiko <em>hacking</em> dan pencurian akun, (2) menunjukkan foto anak, yang berarti mengabaikan risiko pencurian foto anak dan pengenalan identitas anak di bawah umur oleh orang asing, dan (3) masih mengaktifkan kolom komentar pada unggahan terkait anak yang membuka peluang perundungan dan risiko dampak negatif pada mental ibu dan anak.</p>
<p>Selain itu, masih ditemui normalisasi pembuatan konten yang abai terhadap privasi anak, misalnya secara bebas menyebutkan nama anak dan nama sekolahnya, atau membagikan informasi tentang anak tanpa memandang usia anak mereka. Responden kami tetap membagikan aktivitas anak mereka yang sudah berusia praremaja (12 tahun) tanpa bertanya terlebih dahulu, sehingga privasi anak menjadi privasi kolektif.</p>
<p>Privasi kolektif ini berarti bahwa privasi anak juga akan dimiliki oleh audiens dari Instagram Ibu, baik itu audiens yang melihat <em>story, reels</em>, maupun <em>feeds</em>. Hal ini menunjukkan bahwa ibu, secara sepihak memutuskan bahwa mereka adalah <em>co-owner</em> dari privasi anak, persis seperti yang dicirikan sebagai <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/02673231211012146"><em>sharenting</em> dalam kehidupan keseharian keluarga</a>. </p>
<p>Riset kami juga menemukan, 42,7% responden ternyata mengizinkan anaknya untuk memiliki akun Instagram sendiri walaupun tidak sesuai dengan kebijakan Instagram (belum berusia 13 tahun). </p>
<h2>Rekomendasi</h2>
<p>Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa hubungan antara literasi digital dan aktivitas <em>sharenting</em> sangat lemah. Secara spesifik, survei kami menunjukkan bahwa faktor kompetensi keamanan hanya berkorelasi sebesar 14,4% dengan persepsi risiko ibu terhadap privasi anak-anak. </p>
<p>Namun, temuan ini tetap membuktikan adanya hubungan di antara keduanya. Sehingga, rendahnya angka korelasi tersebut justru bisa dibaca sebagai pengingat, bahwa tingginya kekhawatiran orang tua tentang <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/2056305120978376">isu privasi</a> tidak serta merta membuat kegiatan <em>sharenting</em> di Instagram menjadi lebih jarang terjadi.</p>
<p>Ke depan, manajemen risiko <em>sharenting</em> memerlukan riset lanjutan untuk memetakan solusi, serta gerakan sosial untuk semakin meningkatkan kesadaran para ibu bukan hanya atas risiko <em>sharenting</em>, tapi juga risiko pengabaian hak privasi anak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/223742/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>‘Sharenting’ atau aktivitas orang tua membagikan informasi anak di media sosial memiliki berbagai risiko. Untuk menghindarinya, orang tua perlu memiliki literasi digital. Benarkah demikian?Birgitta Bestari Puspita, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya YogyakartaPaulus Angre Edvra, Asisten Peneliti, PR2MediaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2225022024-02-06T05:57:27Z2024-02-06T05:57:27ZKetika ‘influencer’ digunakan untuk mendapatkan dukungan politik, apa risikonya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/573706/original/file-20240206-24-cmgn55.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=17%2C0%2C5709%2C3251&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/people-watching-video-live-streamings-1338120284">Rawpixel.com/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p><em>Influencer</em> atau pesohor media sosial telah menjadi kekuatan penting dalam <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/19401612221088987">lanskap politik modern</a>. Dengan basis pengikut yang besar dan loyal, mereka memiliki kemampuan untuk memengaruhi opini publik. Melalui unggahan mereka yang dirancang sedemikian rupa, <em>influencer</em> ini tidak hanya menyampaikan informasi tetapi juga mengekspresikan pendapat pribadi yang dapat <a href="https://web.p.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?vid=0&sid=147a7833-826c-4b11-840e-7a6d7fba15f5%40redis">memengaruhi pemikiran dan perilaku pemilih</a>. </p>
<p>Barack Obama adalah salah satu politikus pertama yang memanfaatkan kekuatan media sosial dan <a href="https://www.theguardian.com/world/2012/feb/17/obama-digital-data-machine-facebook-election"><em>influencer</em> secara efektif</a>. Dia menggunakan selebritas dan <em>influencer</em> populer seperti <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/1940161208321948">Oprah Winfrey</a>, yang memiliki pengaruh besar di kalangan pemilih Amerika Serikat (AS) untuk menjangkau pemilih muda dan beragam secara demografis. <a href="https://pilpres.tempo.co/read/1221350/setelah-politikus-jokowi-undang-buzzer-dan-influencer-ke-istana">Jokowi</a> pun melakukan hal serupa saat melakukan kampanye.</p>
<p>Terbaru, calon presiden (capres) Prabowo Subianto, menggandeng <a href="https://nasional.kompas.com/read/2024/01/31/18084461/wasekjen-gerindra-klaim-para-influencer-dukung-prabowo-gibran-dari-hati">para <em>influencer</em></a> kondang, seperti Raffi Ahmad, Rachel Vennya, Ria Ricis, Nagita Slavina, Deddy Corbuzier, dan Atta Halilintar saat peresmian Grha Utama akademi militer (Akmil) di Magelang, Jawa Tengah. </p>
<p>Keberadaan <em>influencer</em> dalam politik saat ini merefleksikan pergeseran dari kampanye tradisional ke strategi yang lebih terfokus pada <a href="https://ijoc.org/index.php/ijoc/article/view/18987">media sosial dan pemasaran digital</a>. Lalu apa dampak keterlibatan mereka dalam kampanye politik?</p>
<h2>Kekuatan <em>influencer</em></h2>
<p>Terdapat beberapa alasan mengapa <em>influencer</em> dapat berperan penting dalam usaha meraup suara, di antaranya:</p>
<p><strong>1. Jangkauan audiens</strong></p>
<p><em>Influencer</em> mampu mencapai audiens dengan jangkauan yang luas secara instan, sehingga menjadikan mereka pilihan efektif dalam mendapatkan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/20563051231177938">dukungan politik</a>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/573703/original/file-20240206-26-b5ob1a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/573703/original/file-20240206-26-b5ob1a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/573703/original/file-20240206-26-b5ob1a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/573703/original/file-20240206-26-b5ob1a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/573703/original/file-20240206-26-b5ob1a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/573703/original/file-20240206-26-b5ob1a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/573703/original/file-20240206-26-b5ob1a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Capres Prabowo Subianto berswafoto dengan beberapa selebritas dan ‘influencer’.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.instagram.com/p/C2OzSd4S_99/?img_index=10">Akun Instragram @prabowo</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dengan satu unggahan di media sosial, mereka dapat menyebarkan pesan, baik itu mendukung atau menentang kebijakan atau kandidat, ke jutaan orang dalam hitungan detik. Ini menciptakan efek domino yang bisa mengubah jalannya sebuah kampanye. </p>
<p>Kita bisa melihat bagaimana kekuatan media sosial berdampak pada kejadian <a href="https://www.aljazeera.com/news/2020/12/17/what-is-the-arab-spring-and-how-did-it-start"><em>Arab Spring</em></a>. Saat itu, demonstrasi dan unggahan di situs seperti Facebook dan Twitter digunakan untuk mencoba melakukan protes dan memobilisasi massa. Hasilnya, beberapa pemerintahan di wilayah tersebut mengalami perubahan dan revolusi politik. Di pemilu AS, Donald Trump yang aktif di Twitter, terus memberikan berbagai narasi yang membangun dukungan kuat di antara pengikutnya.</p>
<p><strong>2. Ilusi keterwakilan</strong></p>
<p><em>Influencer</em> sering dianggap sebagai <em>‘one of us’</em> atau bagian dari masyarakat umum. Mereka memiliki pengikut dan mampu memberikan opini yang <a href="https://refubium.fu-berlin.de/bitstream/handle/fub188/40343/MaC_11%283%29.pdf?sequence=1&isAllowed=y">membentuk pandangan <em>followers</em></a> atau pengikutnya sendiri. Pesan mereka mudah untuk diterima dan diikuti para pengikutnya, karena terasa lebih nyata dan dapat dipercaya, dibandingkan dengan iklan politik tradisional. </p>
<p>Sebuah <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/19401612221088987">riset </a>membuktikan bahwa komunikasi <em>influencer</em> tentang topik politik atau isu-isu tertentu dapat meningkatkan minat politik pemilih khususnya kaum muda, hal ini disebabkan oleh penggambaran topik sosial-politik yang dianggap lebih mudah dipahami dan menarik dalam konten yang diberikan <em>influencer</em>.</p>
<h2>Risiko keterlibatan <em>influencer</em> dalam politik</h2>
<p><strong>1. Akurasi dan bias</strong></p>
<p>Dalam konteks politik, masalah kepercayaan dan verifikasi fakta menjadi lebih krusial, karena informasi yang salah atau menyesatkan dapat tersebar dengan cepat melalui <em>influencer</em>.</p>
<p><a href="https://refubium.fu-berlin.de/bitstream/handle/fub188/40343/MaC_11(3).pdf?sequence=1">Sejumlah temuan di Jerman</a> menunjukkan bahwa selain memiliki kekuatan untuk memobilisasi dukungan, <em>influencer</em> juga bisa menyebarkan propaganda atau informasi yang bias, baik disengaja maupun tidak, yang dapat memengaruhi pemilih pemula. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/573704/original/file-20240206-24-b5ob1a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/573704/original/file-20240206-24-b5ob1a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/573704/original/file-20240206-24-b5ob1a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/573704/original/file-20240206-24-b5ob1a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/573704/original/file-20240206-24-b5ob1a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/573704/original/file-20240206-24-b5ob1a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/573704/original/file-20240206-24-b5ob1a.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Capres Anies Baswedan berbincang bersama selebritas Instagram Fadil Jaidi.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.instagram.com/p/C05fBINSHyc/">Akun Instagram @aniesbaswedan</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Apalagi, seperti halnya media tradisional, <em>influencer</em> dapat memiliki <a href="https://nasional.kompas.com/read/2024/01/04/06000071/disrupsi-politik-partai-influencer-?page=all">agenda tersendiri</a>. Mereka sering kali bekerja dengan tim yang membantu menyusun pesan dan strategi mereka, yang mungkin tidak sepenuhnya transparan. Berdasarkan <a href="https://fisipol.ugm.ac.id/menyoal-jasa-influencer-bayaran-dalam-pembentukan-opini-publik-dan-demokrasi/">temuan Indonesia Corruption Watch (ICW),</a> <em>influencer</em> bahkan dijadikan alat pemerintah untuk menyampaikan pesan atau agenda tertentu. </p>
<p>Hal itu dapat dilihat dari anggaran belanja pemerintah untuk aktivitas digital, yang berdasarkan kata kunci “<em>influencer</em>” atau “<em>key opinion leader</em>” yang pada periode 2017‒2020 ada 40 paket dengan nilai Rp90,45 miliar. </p>
<p>Dari 40 paket, jumlah terbanyak terdapat di Kementerian Pariwisata dengan 22 paket. Selanjutnya Kementerian Pendidikan, Budaya dan Pendidikan Tinggi dengan 12 paket, Kementerian Komunikasi dan Informasi 4 paket, dan Kementerian Perhubungan serta Kementerian Pemuda dan Olah Raga masing-masing 1 paket. Ini menimbulkan pertanyaan tentang integritas pesan yang disampaikan.</p>
<p><strong>2. Efek halo</strong></p>
<p><em>Influencer</em> memiliki pengikut yang besar dan beragam. Berdasarkan data <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/03/16/raffi-ahmad-dan-nagita-slavina-masuk-top-instagram-influencer-asia-bersaing-dengan-lisa-blackpink">AJ Marketing</a>, Raffi Ahmad dan Nagita Slavina yang digandeng pasangan Prabowo-Gibran termasuk dalam <em>Top Instagram Influencers in Asia</em>. Mereka berhasil menempati peringkat kedua dengan jumlah <em>followers</em> Instagram sebanyak 67,7 juta akun per 16 Maret 2023.</p>
<p>Dengan mendukung kandidat tertentu, mereka dapat meningkatkan kesadaran publik terhadap kandidat tersebut. Ini sangat berguna untuk meningkatkan popularitas, terutama di kalangan pemilih yang mungkin kurang terinformasi atau kurang tertarik pada politik.</p>
<p>Ada juga <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0736585322000405">efek halo</a> yang ditimbulkan oleh kondisi ketika persepsi positif tentang seseorang dalam satu area (misalnya, popularitas atau keahlian dalam bidang tertentu) dapat memengaruhi persepsi kita tentang mereka di area lain (seperti politik).</p>
<p>Jika <em>influencer</em> atau pesohor dianggap memiliki kredibilitas tinggi, dukungan mereka terhadap paslon dapat meningkatkan persepsi positif terhadap paslon tersebut. Pada akhirnya, mereka berfungsi sebagai magnet untuk mengumpulkan suara atau dukungan sebanyak mungkin.</p>
<p>Dalam ilmu psikologi sosial, ada perbedaan antara pengaruh yang dilakukan secara eksplisit, misalnya secara terbuka mendukung kandidat, dan pengaruh yang dilakukan secara implisit, seperti bertemu atau memuji kandidat tanpa menyatakan dukungan langsung. <a href="https://www.jstor.org/stable/pdf/10.1111/j.1468-2508.2006.00482.x.pdf?casa_token=f4rPRJ0rk54AAAAA:t5RgbnufUdAe6luG7dP2cTNFCeXAWQCP0X44dYuoPSp9dd61KIwRrTs3NeDlENU8pw_3sMuH6wdhPfWmLMYDCSjDrg4IqWZf_9EABK8GrbQ01AdIAxog">Pengaruh implisit</a> ini seringkali lebih efektif dan mudah diterima audiens, karena tidak terasa seperti persuasi langsung. </p>
<p>Orang seringkali memproses informasi secara tidak langsung melalui pengamatan sosial. Melihat <em>influencer</em> yang mereka kagumi bertemu atau memuji suatu kandidat dapat secara tidak langsung membentuk persepsi positif terhadap kandidat tersebut, bahkan tanpa adanya dukungan verbal yang eksplisit.</p>
<p>Fenomena ini disebut <a href="https://www.jstor.org/stable/pdf/10.1111/j.1468-2508.2006.00482.x.pdf?casa_token=f4rPRJ0rk54AAAAA:t5RgbnufUdAe6luG7dP2cTNFCeXAWQCP0X44dYuoPSp9dd61KIwRrTs3NeDlENU8pw_3sMuH6wdhPfWmLMYDCSjDrg4IqWZf_9EABK8GrbQ01AdIAxog">strategi <em>soft endorsement</em></a>, yaitu ketika <em>influencer</em> tidak secara terbuka mendukung kandidat tertentu, tetapi tindakan mereka menciptakan persepsi positif atau membuka pintu bagi pengikut mereka untuk mendukung kandidat tersebut.</p>
<p><strong>3. Pengalihan isu dan polarisasi</strong></p>
<p>Penggunaan <em>influencer</em> juga berisiko menggeser fokus kampanye dari isu substantif ke popularitas dan hiburan. Ini bisa mengurangi diskusi serius tentang kebijakan dan isu-isu penting, menggantinya dengan narasi yang lebih berfokus pada citra dan kepribadian.</p>
<p>Mengandalkan <em>influencer</em> dalam politik juga bisa memiliki implikasi jangka panjang pada kualitas diskusi demokratis. Ini mungkin mengarah pada pengurangan keterlibatan politik yang serius dan berbasis isu, menggantinya dengan pendekatan yang berorientasi pada popularitas.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/573705/original/file-20240206-18-hub6z5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/573705/original/file-20240206-18-hub6z5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/573705/original/file-20240206-18-hub6z5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/573705/original/file-20240206-18-hub6z5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/573705/original/file-20240206-18-hub6z5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/573705/original/file-20240206-18-hub6z5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/573705/original/file-20240206-18-hub6z5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Capres-cawapres Ganjar Pranowo-Mahfud MD berfoto bersama grup band Slank.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.instagram.com/p/C2UU0F0RI5x/?img_index=1">Akun Instagram @ganjar_pranowo</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Selain itu, ada risiko bahwa penggunaan <em>influencer</em> dalam politik dapat menyebabkan <a href="https://web.p.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?vid=0&sid=147a7833-826c-4b11-840e-7a6d7fba15f5%40redis">polarisasi lebih lanjut</a> di antara publik. </p>
<h2>Bagaimana seharusnya?</h2>
<p>Untuk mengurangi risiko ini, <em>influencer</em> dapat memainkan peran dalam mendukung demokrasi yang sehat dan berbobot, dengan memfasilitasi pertukaran ide yang konstruktif dan meningkatkan pemahaman lintas pandangan politik. </p>
<p>Selain itu, <em>influencer</em> perlu berusaha untuk mempromosikan diskusi yang inklusif dan menghindari retorika yang memecah belah. Mereka dapat melakukannya dengan membuka ruang dialog di antara pengikut yang memiliki berbagai pandangan politik dan mendorong diskusi yang sopan dan produktif. </p>
<p>Dari sisi pemilih, penting bagi kita untuk tidak hanya mengonsumsi konten <em>influencer</em> secara pasif, tetapi juga secara aktif menganalisis dan mempertanyakan motif di balik pesan yang disampaikan. Salah satu caranya dengan mencari informasi dari berbagai sumber dan membandingkannya untuk membuat keputusan politik yang terinformasi dengan baik.</p>
<p>Dengan pendekatan yang kritis dan informasi yang beragam, pemilih akan lebih berdaya dalam menavigasi lanskap politik yang semakin dipengaruhi oleh dunia digital, tidak terkecuali <em>influencer</em> media sosial.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/222502/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Wawan Kurniawan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>‘Influencer’ media sosial telah menjadi kekuatan penting dalam lanskap politik modern. Mengapa ini terjadi dan apa risikonya?Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2207782024-02-05T14:28:07Z2024-02-05T14:28:07ZBagaimana aktivisme digital penggemar K-Pop di Indonesia mewarnai Pemilu 2024<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/569673/original/file-20240116-15-ojkbg3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C104%2C6290%2C3278&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Konten digital penggemar K-pop dengan mengadopsi penggambaran idol K-pop dalam figur Anies Baswedan.</span> <span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span></figcaption></figure><p>Aktivisme fandom (sekelompok orang yang membentuk komunitas) K-Pop makin menunjukkan pengaruh yang luas, mulai dari aktivisme yang berkaitan dengan <a href="https://journal.transformativeworks.org/index.php/twc/article/download/300/287?inline=1">kemanusiaan</a> hingga <a href="https://www.voaindonesia.com/a/menakar-kekuatan-fandom-k-pop-dalam-aktivisme-sosial-dan-politik/5504493.html">politik</a>.</p>
<p>Di Indonesia, kesukaan sejumlah masyarakat terhadap K-Pop tampak dimanfaatkan oleh para kandidat politik yang maju dalam kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 guna meraup suara. Bagaimana tidak, jumlah pemilih muda yang masuk kategori milenial dan Gen Z pada Pemilu 2024 <a href="https://www.kpu.go.id/berita/baca/11684/55-pemilih-didominasi-generasi-muda-bantu-kpu-dalam-penyelenggaraan-pemilu-2024">mencapai 55%</a>. Indonesia sendiri merupakan negara dengan <a href="https://goodstats.id/article/indonesia-masuk-peringkat-pertama-dengan-fans-k-pop-terbanyak-di-dunia-6w71d">jumlah penggemar K-Pop terbanyak di dunia</a>.</p>
<p>Menariknya, biasanya fandom K-Pop memiliki karakteristik tidak mudah disetir dan benci ditunggangi kepentingan politik. Maka, ketika mereka melibatkan diri dalam aktivisme digital pada Pemilu 2024 secara sukarela, ini menjadi fenomena yang unik.</p>
<p>Salah satu contoh yang menonjol adalah akun Anies Bubble di X (dulunya Twitter). Walaupun akun ini <a href="https://twitter.com/aniesbubble/status/1747486197826609172">menyangkal</a> bahwa aktivisme digital mereka merepresentasikan fandom K-Pop tertentu maupun penggemar K-Pop secara menyeluruh, fenomena ini tetap memperlihatkan bagaimana komunitas pecinta budaya Korea mewarnai kontestasi politik tanah air.</p>
<h2>‘Anies Bubble’ dan manuver politik</h2>
<p>Akun <a href="https://twitter.com/aniesbubble">@aniesbubble</a> mengklaim sebagai akun pendukung Anies. Per 5 Februari 2024, akun ini memiliki jumlah pengikut 178 ribu sejak cuitan pertamanya pada 29 Desember 2023. </p>
<p>Akun @aniesbubble mengadopsi karakter <a href="https://mediaindonesia.com/humaniora/597776/apa-itu-fandom-berikut-daftar-11-fandom-k-pop-terbesar-di-dunia">fandom</a> K-Pop dalam mengomunikasikan pesan melalui unggahan. Contohnya adalah dengan menggunakan Bahasa Korea dalam unggahan, menggunakan emoji burung hantu sebagai lambang identitas Anies-layaknya identitas yang dimiliki oleh idol K-Pop-hingga penamaan fandom “Humanies”. Akun @aniesbubble tidak menjelaskan secara rinci apa arti “Humanies”, tetapi para penggemar menginterpretasikan “Humanies” sebagai <a href="https://twitter.com/gabuttaja/status/1742582205631869414">pendukung hak asasi manusia</a>, <a href="https://twitter.com/gredrahamzah/status/1742592454094921958">lekat dengan nilai keadilan untuk seluruh pihak</a>, dan <a href="https://twitter.com/play_tomorrow/status/1742677248757637618">memanusiakan manusia (diambil dari kata humanis)</a>.</p>
<p>Adapun aktivisme digital penggemar K-Pop ini dapat dijelaskan melalui aktivitas <em>clicktivism</em>, <em>metavoicing</em>, dan <em>assertion</em> yang diungkapkan oleh <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1471772717303470">Jordana J. George dan Dorothy E. Leidner dari Baylor University, Amerika Serikat</a>.</p>
<p>Aktivisme ini diawali dengan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1471772717303470"><em>clicktivism</em></a>, yaitu aktivitas digital dalam bentuk pemberian <em>like</em>, <em>voting</em>, maupun mengikuti akun media sosial atau blog. Para penggemar K-Pop memulai gerakannya saat akun <a href="https://twitter.com/aniesbubble">@aniesbubble</a> muncul dan mulai menjadi pengikut. Konten pada akun @aniesbubble yang mengutip <a href="https://twitter.com/aniesbubble/status/1740780880065708094"><em>Live</em> TikTok Anies yang pertama</a> pada 29 Desember 2023, berhasil mendapatkan <em>like</em> sebanyak 4,1 ribu. <em>Voting</em> dilakukan saat @aniesbubble membuka <em>voting</em> <a href="https://twitter.com/aniesbubble/status/1742565971108434087">pemilihan nama fandom pada 3 Januari 2024</a>, antara Humanies atau Manies.</p>
<p>Aktivitas berikutnya adalah <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1471772717303470"><em>metavoicing</em></a>, yakni ketika pengguna media sosial melakukan aktivitas memberikan komentar, mengunggah ulang <em>post</em> (<em>reposting</em>), <em>sharing</em>, dan <em>retweeting</em> unggahan media sosial yang dilakukan oleh akun lain. Salah satu cuitan @aniesbubble yang mendapatkan <em>repost</em> terbanyak adalah <a href="https://twitter.com/aniesbubble/status/1742348682333425719">konten mengenai guru PAUD</a>, yakni sebanyak 28 ribu. Seorang guru PAUD berkeluh-kesah bahwa profesinya dipandang sebelah mata, sehingga ia meminta motivasi dari Anies. Anies memberinya semangat dengan mengatakan bahwa guru PAUD justru menjadi guru yang paling diingat oleh anak didiknya.</p>
<p>@aniesbubble juga melakukan <em>metavoicing</em> dengan mengunggah ulang potongan-potongan video <em>live</em> Tiktok Anies ke platform X. <em>Repost</em> maupun <em>retweeting</em> merupakan aktivitas yang <a href="https://twitter.com/aniesbubble/status/1742348682333425719">satu level lebih tinggi daripada <em>liking</em></a> karena membutuhkan usaha yang lebih.</p>
<p>Dalam hal video, @aniesbubble melakukan pengeditan dengan mengambil konten dari <em>live</em> Tiktok Anies, memotongnya, dan mengunggahkan kembali di platform X. </p>
<p>Sementara itu, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1471772717303470"><em>assertion</em></a> didefinisikan sebagai bagaimana konten media sosial diproduksi. Aktivitas ini membutuhkan <em>skill</em> yang relatif lebih tinggi dan usaha yang lebih besar daripada <em>clicktivism</em> dan <em>metavoicing</em> karena mengharuskan adanya produksi video, audio, gambar, maupun teks.</p>
<p>@aniesbubble memiliki karakterisktik yang mirip dengan fandom K-Pop, seperti memproduksi konten tentang idol mereka dengan gaya khas K-Pop sebagai media promosi. @aniesbubble juga membuat <a href="https://twitter.com/aniesbubble/status/1752651227614326831">konten-konten promosi</a> seperti halnya saat idol K-Pop dipromosikan.</p>
<p>Melalui <a href="https://magdalene.co/story/anies-bubble-dan-kpopisasi/">wawancaranya dengan media <em>Magdalene</em></a>, admin akun @aniesbubble mengaku bahwa pergerakannya di platform X terinspirasi dari kebiasaannya sebagai penggemar K-Pop yang mengoperasikan akun-akun fandom tertentu.</p>
<p>Jaringan penggemar Anies juga memproduksi konten digital berupa <a href="https://twitter.com/olpproject/status/1746729151456035320">video yang didesain mirip dengan video promosi idol K-Pop</a>. Akun X dengan <em>username</em> <a href="https://twitter.com/olpproject">@olpproject</a> bahkan membuka penggalangan dana untuk mempromosikan Anies secara sukarela. <a href="https://twitter.com/aniesbubble/status/1746739343442808982">Video promosi Anies</a> dengan gaya editan yang mirip idol K-Pop bahkan sempat tayang di area Grand Metropolitan, Kota Bekasi, Jawa Barat; Graha Mandiri Jl. Imam Bonjol, Taman Menteng, Jakarta; depan Hermes Palace, Jalan Pemuda, Medan, Sumatra Utara; depan Hotel Sahid, Surabaya, Jawa Timur; serta Graha Satria, Fatmawati, Jakarta.</p>
<h2>Penggemar K-Pop dalam politik: efek kejut</h2>
<p>Fenomena penggemar K-Pop menggalang dukungan secara sukarela untuk kandidat presiden tertentu menjadi fenomena unik. Ini karena selama ini pecinta K-Pop paling tidak suka eksistensi mereka dipolitisasi dan sangat berhati-hati menunjukkan keberpihakan.</p>
<p>Pada Juli 2023, misalnya, calon presiden <a href="https://twitter.com/ganjarpranowo/status/1681954304348020738">Ganjar Pranowo melontarkan cuitan di X</a>, “Mas @gibran_tweet tadi bilang pengen bikin konser Kpop di Solo. Tapi masih bingung mau undang siapa. Kamu punya ide?”. Alih-alih mendapatkan respons positif, cuitan tersebut justru mendapat sentimen negatif dari fandom K-Pop karena mereka tidak terima jika <a href="https://www.benarnews.org/indonesian/berita/ganjar-kpop-08042023133333.html">idolanya dijadikan alat pendulang suara belaka</a>.</p>
<p>Ada pula satu calon legislatif (caleg) dari suatu partai politik, yang maju dalam pemilihan legislatif Kota Bandung, Jawa Barat, yang membuat spanduk kampanye yang menampilkan <a href="https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-017461667/spanduk-caleg-pdi-perjuangan-di-kota-bandung-dirujak-netizen-pede-pasang-foto-editan-bersama-idol-kpop?page=all">foto dirinya yang diedit bersama idol K-Pop Enhypen</a>. Ini memicu reaksi keras dari fandom K-Pop, bahkan <a href="https://twitter.com/PolJokesID/status/1734108658622247146">banyak disindir oleh warganet di X</a> “sederhana tapi bikin kpopers marah”. Penggemar K-Pop menunjukkan kekesalan dan kemarahan karena idola mereka dimanfaatkan untuk kepentingan politik.</p>
<p>Maka dari itu, respons penggemar K-Pop terhadap manuver politik Anies di media sosial sangat mungkin membawa pengaruh politik yang besar. Respons pengguna TikTok dan X yang dapat dikategorikan sebagai aktivisme digital ini <a href="https://www.liputan6.com/pemilu/read/5497048/timnas-amin-sebut-akun-anies-bubble-bukan-kreasi-tim-tapi-tumbuh-organik">diklaim pihak Anies sebagai sesuatu yang organik</a> dan bukan merupakan bagian dari tim pemenangan Anies.</p>
<h2>Adu ‘branding’ kandidat di media sosial</h2>
<p>Ekspresi penggemar K-Pop dalam idolisasi Anies bisa saja menjadi “kemenangan” kecil bagi Anies. Tantangan yang dihadapi kemudian adalah bagaimana aktivisme digital yang diklaim organik ini berhadapan dengan aktivisme digital pada level lain yang sangat mungkin muncul karena fabrikasi maupun manipulasi oleh robot (<a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1471772717303470"><em>botism</em></a>).</p>
<p>Selain itu, wajar saja jika setiap kandidat berusaha <a href="https://www.kompas.id/baca/riset/2024/01/08/persona-daring-para-capresdi-media-sosial">menciptakan <em>branding</em> diri</a> agar bisa menarik simpati pemilih muda, meskipun belum tentu Anies sendiri paham soal K-Pop.</p>
<p>Capres Prabowo Subianto juga membentuk <em>image</em> ‘gemoy’ terhadap dirinya di media sosial. Sementara itu, kemunculan capres Ganjar Pranowo dalam sebuah <a href="https://www.youtube.com/watch?v=ksbAAktR27U"><em>podcast</em> pada 2019 lalu</a> yang kembali viral membuatnya mendapat julukan ‘penguin’.</p>
<p>Diskursus politik di media sosial hanya salah satu penentu bagaimana <a href="https://www.adshr.org/index.php/vo/article/view/34/33">pengguna media sosial menunjukkan perspektifnya</a>. <em>Hype</em> di media sosial tidak selalu mencerminkan kondisi di lapangan, sehingga aktivisme digital meskipun masif dilakukan atau bahkan bersifat organik, belum tentu akan memenangkan pasangan capres-cawapres yang bersangkutan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/220778/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Masitoh Nur Rohma tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Penggemar K-pop Indonesia yang tidak suka ditunggangi kepentingan politik, kini membuat gerakan politik melalui aktivisme digital.Masitoh Nur Rohma, Assistant Professor in International Relations, Universitas Islam Indonesia (UII) YogyakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2220602024-01-28T18:43:53Z2024-01-28T18:43:53ZRiset: ujaran kebencian terhadap capres meningkat di media sosial jelang Pemilu 2024<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/571572/original/file-20230920-21-z0r5fh.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=25%2C0%2C5576%2C2650&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ilustrasi ujaran kebencian di dunia maya.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/fake-news-sharing-cyber-bullying-hate-2257240445">winnond/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia tinggal menghitung hari, penyebaran ujaran kebencian yang menargetkan tokoh-tokoh politik diperkirakan akan semakin meningkat, seperti yang <a href="https://www.atlantis-press.com/proceedings/iccd-19/125919037">terjadi pada Pemilu 2019</a>.</p>
<p>PBB mendefinisikan <a href="https://www.un.org/en/hate-speech/understanding-hate-speech/what-is-hate-speech#:%7E:text=To%20provide%20a%20unified%20framework,person%20or%20a%20group%20on">ujaran kebencian</a> sebagai komunikasi apa pun yang menyerang individu atau menggunakan bahasa yang merendahkan atau diskriminatif terhadap individu berdasarkan agama, etnis, kebangsaan, ras, warna kulit, keturunan, atau jenis kelamin.</p>
<p>Selama Pemilu 2019, terdapat lebih dari <a href="https://scholarhub.ui.ac.id/cgi/viewcontent.cgi?article=1039&context=jsgs">200.000 <em>mention</em> di Twitter</a> yang berisi ujaran kebencian yang ditargetkan kepada calon presiden, Joko “Jokowi” Widodo dan Prabowo Subianto, beserta calon wakil presiden mereka masing-masing.</p>
<p>Jumlah tersebut mencapai sekitar <a href="https://blog.twitter.com/in_id/topics/events/2019/124-juta-tweet-seputar-pemilihan-umum-2019">0,2%</a> dari total <em>tweet</em> terkait pemilu pada tahun 2019. Sebagai perbandingan, dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) tahun 2016, ujaran kebencian menyumbang antara <a href="https://csmapnyu.org/news-views/news/did-hate-speech-on-twitter-rise-during-and-after-trump-s-2016-election-campaign">0,1% dan 0,3%</a> dari total satu miliar <em>tweet</em> terkait pemilu.</p>
<p>Sebagai bagian dari peran saya sebagai peneliti untuk <a href="https://greaterinternetfreedom.org/">proyek Pemantauan Ujaran Kebencian (Greater Internet Freedom) Harmful Speech Monitoring</a>, yang didukung oleh media nirlaba independen <a href="https://internews.org/areas-of-expertise/disinformation-misinformation/">Internews</a>, saya melakukan pengamatan terhadap platform-platform media sosial selama periode Juni-Juli 2023. Saya menemukan bahwa pola yang sama muncul dalam Pemilu 2024.</p>
<p><a href="https://docs.google.com/spreadsheets/d/183yUIXhncG2P3sGaEyG5JN70HL1fa1Zl6Epwzs2lYhE/edit#gid=0">Penelitian saya</a> menemukan setidaknya 60 contoh ujaran kebencian (terutama di Twitter), dengan 45 di antaranya mengandung nuansa politik. Beberapa komentar ofensif ditujukan kepada tiga calon presiden - Prabowo, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo. Hal ini sudah terjadi bahkan sebelum ketiganya secara resmi ditetapkan sebagai kandidat oleh KPU.</p>
<h2>Ujaran kebencian terhadap calon presiden di X</h2>
<p>Penelitian saya berfokus pada platform X (dulunya dikenal sebagai Twitter), karena menurut <a href="https://mediaindonesia.com/politik-dan-%20Hukum/622252/publik-masih-beli-informasi-sesat-di-media-sosial">Laporan Survei Nasional</a> dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Twitter mengandung informasi yang paling mengganggu dibandingkan dengan platform media sosial lainnya.</p>
<p>Saya menggunakan <a href="https://www.researchgate.net/publication/336094446_Using_keywords_analysis_in_CDA_evolving_discourses_of_the_knowledge_economy_in_education#fullTextFileContent">analisis kata kunci dan kontekstual</a> untuk mengidentifikasi ujaran kebencian dalam penelitian saya. </p>
<p>Kata kunci yang saya gunakan antara lain nama-nama politikus (“anies baswedan”, “anies”, “prabowo subianto”, “prabowo”, “ganjar pranowo”, “ganjar”), serta frasa-frasa umum lainnya seperti “pilpres” atau “pemilihan presiden” dan “pemilu 2024”.</p>
<p>Pada 31 Agustus 2023, <a href="https://docs.google.com/spreadsheets/d/183yUIXhncG2P3sGaEyG5JN70HL1fa1Zl6Epwzs2lYhE/edit#gid=0">60 unggahan ujaran kebencian</a> yang saya identifikasi telah dibagikan sebanyak 6.827 kali di X, YouTube, dan TikTok.</p>
<p>Salah satu akun dengan nama samaran, misalnya, mengunggah <a href="https://twitter.com/MJOEJOEF/status/1683403332214456321">konten kebencian</a> tentang Ganjar Pranowo sebagai pembohong dan pecandu pornografi. Hal itu sebagai tanggapan atas <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2019/12/04/happy-happy-husbands-central-java-governor-says-porn-ok-for-married-men.html">pernyataan</a> Ganjar di <a href="https://www.youtube.com/watch?v=ksbAAktR27U"><em>podcast</em></a> YouTube pada tahun 2019 bahwa “tidak ada yang salah dengan menonton film porno” dan “saya menyukainya”. Faktanya, mayoritas orang Indonesia <a href="https://www.neliti.com/publications/63228/pornography-manifestation-in-internet-media-content-analysis-on-popular-local-po">menganggap</a> menonton film porno tidak dapat diterima secara moral.</p>
<p>Akun anonim lainnya menyebarkan <a href="https://twitter.com/roby_bakar3000/status/1674627710214340608">sentimen negatif</a> tentang Prabowo Subianto terkait perannya dalam pembelian jet tempur bekas, yang akhir-akhir ini juga <a href="https://www.reuters.com/world/asia-pacific/indonesia-confirms-buying-used-fighter-jets-800-million-after-deal-criticised-2023-06-14/">memicu kecaman dari masyarakat</a>.</p>
<p>Unggahan tersebut menggunakan tagar seperti #Prabohong #Bahaya (Prabowo pembohong dan berbahaya). Twitter kemudian menangguhkan akun tersebut karena melanggar <a href="https://help.twitter.com/en/rules-and-policies/hateful-conduct-policy">kebijakan profil kebencian</a>.</p>
<p>Anies Baswedan juga menjadi sasaran ujaran kebencian di X. Di pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta tahun 2017, Anies mendapat <a href="https://talenta.usu.ac.id/politeia/article/view/1083">dukungan besar</a> dari <a href="https://www.iseas.edu.sg/images/pdf/ISEAS_Perspective_2019_49.pdf">kelompok Islam garis keras</a>. Ini banyak diyakini menjadi salah satu <a href="https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jispo/article/view/8923">faktor utama yang membantunya</a> memenangkan Pilgub. </p>
<p>Pada bulan Juli, sebuah akun <em>troll</em> dengan hampir 42.000 pengikut mengunggah video berdurasi satu menit yang menampilkan Anies bersama beberapa pemuka agama Islam dalam sebuah acara. Para pemuka agama tersebut menyebutkan bahwa Anies adalah satu-satunya gubernur di dunia yang menerima 65 penghargaan dalam setahun.</p>
<p>Menurut pengguna akun tersebut, hal itu adalah sebuah kebohongan. Akun itu memuat tagar #GubernurTukangNgibul. Postingan tersebut menerima 42 komentar, sebagian besar mengungkapkan kebencian terhadap Anies.</p>
<h2>Dampaknya di dunia nyata</h2>
<p>Yang membuat ujaran kebencian berbahaya di Indonesia adalah hal tersebut dapat berujung pada <a href="http://repository.umi.ac.id/3179/2/Similarity%20Check%20ANALYSIS%20OF%20HATE.pdf">tindakan negatif yang berlebihan di dunia nyata (<em>offline</em>)</a>, <a href="https://transparency.fb.com/en-gb/policies/community-standards/dangerous-individuals-organizations/">termasuk dalam bentuk</a> hasutan dan ajakan untuk melakukan kekerasan terhadap warga sipil dan untuk terlibat dalam tindakan kriminal lainnya.</p>
<p>Pada tahun 2016, misalnya, unggahan-unggahan bernada kebencian dan bertema agama di media sosial terhadap calon gubernur Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, yang merupakan seorang Kristen, <a href="https://brill.com/view/journals/gr2p/15/2-3/article-p135_004.xml">berubah menjadi unjuk rasa besar-besaran</a> di Jakarta oleh sejumlah kelompok Islam konservatif. Mereka menuntut Ahok dipenjara karena telah menistakan agama Islam. Ahok kemudian <a href="https://www.theguardian.com/world/2019/jan/24/ahok-jakartas-former-governor-released-after-jail-term-for-blasphemy">divonis hukuman</a> dua tahun penjara karena hal tersebut.</p>
<h2>Apa yang bisa kita lakukan</h2>
<p>Pengguna dapat melaporkan unggahan dan akun yang melanggar kebijakan X tentang kekerasan dan <a href="https://help.twitter.com/en/rules-and-policies/violent-entities">kebijakan konten kebencian</a>.</p>
<p>Namun, platform ini harus meninjau dan mengevaluasi unggahan yang dilaporkan sebelum bertindak, sehingga pada saat X akhirnya menghapus konten, beberapa konten sudah terlanjur viral dan memengaruhi publik.</p>
<p>Pemerintah, organisasi hak-hak sipil, lembaga swadaya masyarakat, dan platform media sosial harus bekerja sama untuk meningkatkan kesadaran akan isu ini menjelang Pemilu bulan depan.</p>
<p>Untuk mengatasi ujaran kebencian dan disinformasi, mereka harus bekerja sama dalam memantau dan menganalisis konten semacam itu ketika ditandai, mengidentifikasi aktor dan akar masalah di balik konten tersebut, serta merumuskan peraturan yang lebih kuat untuk melindungi para korban.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/222060/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Program Greater Internet Freedom (GIF) Harmful Speech Monitoring Fellowship 2023 didanai oleh USAID dan diselenggarakan oleh Internews.</span></em></p>Penelitian saya menemukan setidaknya 60 kasus ujaran kebencian dalam rentang waktu dua bulan yang menargetkan ketiga calon presiden Pemilu 2024.Jati Savitri Sekargati, PhD Candidate in Media and Journalism, Glasgow Caledonian UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2198232024-01-15T06:29:12Z2024-01-15T06:29:12ZGangguan informasi makin intens jelang Pemilu: pakar jabarkan 3 inisiatif untuk mengatasinya<p>Gangguan informasi (<em>information disorder</em>) merupakan terminologi yang memayungi beragam istilah terkait berita-berita dan informasi yang salah, tidak akurat, menyesatkan, bohong, hoaks dan sejenisnya. Gangguan informasi ini terjadi setiap saat dan biasanya semakin intens menjelang tahun-tahun politik, seperti pemilihan umum (pemilu) atau ketika terjadi peristiwa tertentu yang berdampak luas pada publik. </p>
<p>Pertarungan terbesar melawan gangguan informasi pada menjelang Pemilu 2024 tentunya adalah pada media sosial. Untuk itu, dibutuhkan kontribusi yang lebih baik dari beragam aktor, mulai dari pemerintah, platform digital hingga kelompok masyarakat sipil.</p>
<h2>1. Regulasi dan edukasi oleh pemerintah</h2>
<p>Pemerintah menjadi aktor pertama dan utama yang harus memperketat regulasi dan memperkuat inisiatif untuk edukasi publik.</p>
<p>Saat ini, aturan utama yang mengatur hal-hal terkait gangguan informasi adalah <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/37582/uu-no-19-tahun-2016">Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2008</a> Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Turunan UU ini adalah <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/122030/pp-no-71-tahun-2019">Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 Tahun 2019</a> tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE). </p>
<p>Turunan berikutnya yang lebih teknis dalam meregulasi aturan siber adalah <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/203049/permenkominfo-no-5-tahun-2020">Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 5 Tahun 2020</a> tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.</p>
<p>Sayangnya, implementasi aturan-aturan tersebut seringkali berbenturan dengan kebutuhan ekspresi hak digital masyarakat.</p>
<p>Misalnya, konten perjudian dan pornografi sudah jelas bisa dilakukan “auto-blokir” (blokir otomatis). Namun, ini tidak bisa serta merta dilakukan terhadap <a href="https://aptika.kominfo.go.id/2022/09/mekanisme-pemblokiran-konten-negatif/">jenis konten</a> yang “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum”, karena perlu dianalisis terlebih dahulu, yang tentunya membutuhkan interpretasi manusia.</p>
<p>Dalam konteks pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu <a href="https://www.theindonesianinstitute.com/policy-brief-penataan-kampanye-politik-di-media-sosial/">menata kampanye di media sosial</a> dengan lebih <em>rigid</em>. Sayangnya, saat ini <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Details/263594/peraturan-kpu-no-15-tahun-2023">Peraturan KPU No. 15 Tahun 2023</a> tentang Kampanye Pemilihan Umum hanya mengatur soal <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/09/22/00300031/aturan-kampanye-di-media-sosial">batasan jumlah akun</a> dan materi kampanye. Hal ini jauh dari permasalahan utama seperti potensi gangguan informasi yang masif, sehingga pasukan <em>buzzer</em> politik sulit terdeteksi. </p>
<p>Belum lagi penggunaan kecerdasan buatan (<em>artificial intelligence</em>/AI) yang kini kerap menjadi alat bantu <a href="https://www.washingtonpost.com/technology/2023/12/17/ai-fake-news-misinformation/">meng-generasi </a>konten-konten fitnah yang sengaja dibuat dalam bentuk foto dan video di<a href="https://www.ft.com/content/16f23c01-fa51-408e-acf5-0d30a5a1ebf2"> beragam platform digital</a>. Masyarakat cenderung <a href="https://www.technologyreview.com/2023/06/28/1075683/humans-may-be-more-likely-to-believe-disinformation-generated-by-ai/#:%7E:text=Disinformation%20generated%20by%20AI%20may,than%20those%20written%20by%20humans.">percaya</a> pada konten disinformatif tersebut. Aturan yang ada tidak sampai pada tahap ini.</p>
<p>Bawaslu juga masih kesulitan dalam mengawasi konten. Merujuk pada <a href="https://www.mkri.id/public/content/pemilu/UU/UU%20No.7%20Tahun%202017.pdf">UU No 7 Tahun 2017</a> tentang Pemilihan Umum, Bawaslu tidak dapat menindak pelaku penyebaran disinformasi selain akun resmi yang didaftarkan oleh kandidat politik. </p>
<p>Solusi aturan seperti <a href="https://perludem.org/2023/09/30/kode-etik-kampanye-di-media-sosial-untuk-pemilu-2024/">Kode Etik Kampanye</a> yang digagas masyarakat sipil dapat menjadi <em>exit strategy</em> sementara menjelang Pemilu 2024 ini. Dalam model ini, paling tidak penyelenggara pemilu dapat menekankan pada partai-partai politik untuk saling menjaga etika.</p>
<p>Meski demikian, adopsi kode etik ini masih belum jelas. Di beberapa daerah, Bawaslu daerah sudah <a href="https://perludem.org/2023/09/30/kode-etik-kampanye-di-media-sosial-untuk-pemilu-2024/">memperkenalkan</a> kode etik kampanye, namun masih terdapat tantangan-tantangan. Sebagai contoh, tidak semua partai politik peserta Pemilu sepakat untuk mengadopsi kode etik tersebut. Ini mengingat budaya politik kita yang kadang tidak selaras antara perkataan dengan perbuatan. </p>
<p>Hal kedua yang perlu ditingkatkan adalah edukasi politik dan edukasi literasi digital terhadap masyarakat. Edukasi politik, misalnya mengetahui aturan dan tahapan Pemilu hingga memahami konten yang melanggar, menjadi pegangan dalam literasi digital yang lebih mengarah kepada perihal “<em>do’s and dont’s</em>” dalam ekspresi daring. </p>
<p>Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah bekerja sama dengan masyarakat sipil dan swasta sudah mulai menerapkannya, misalnya melalui Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) <a href="https://gnld.siberkreasi.id/">Siberkreasi</a> yang digagas Kominfo dan melibatkan mitra swasta dan masyarakat sipil. Walaupun, tidak secara spesifik fokus pada Pemilu dan media sosial. Gerakan ini juga masih kurang dalam aspek <em>critical thinking</em> dan pemahaman akan hak-hak digital warga.</p>
<h2>2. Inisiatif platform digital</h2>
<p>Dari sisi platform digital, ada beberapa inisiatif yang saat ini berlaku. Contohnya adalah platform-platform milik Meta seperti Facebook, Instagram dan WhatsApp, yang menjadi <a href="https://goodstats.id/article/whatsapp-teratas-ini-7-media-sosial-paling-banyak-digunakan-warganet-indonesia-sepanjang-2022-iJklw">platform yang paling banyak digunakan</a> di Indonesia.</p>
<p>Pada pemilu-pemilu sebelumnya, Meta membuat sebuah “<a href="https://www.nytimes.com/2018/09/19/technology/facebook-election-war-room.html"><em>war room</em></a>” sebagai “<em>command center</em>” untuk mengawasi dan memoderasi konten-konten gangguan informasi di platform mereka. Pada Pemilu 2024 ini, moderasi dilakukan intens secara daring oleh <a href="https://nairametrics.com/2022/12/08/2023-elections-meta-sets-up-team-to-monitor-facebook-instagram-posts/">tim Meta</a>. Termasuk melabel dan melakukan penurunan konten <a href="https://about.fb.com/news/tag/coordinated-inauthentic-behavior/">mencurigakan</a>.</p>
<p>Kerja Meta tersebut dibantu oleh beberapa <em>trusted partners</em> berupa organisasi masyarakat sipil untuk <a href="https://transparency.fb.com/en-gb/policies/community-standards/misinformation">memonitor konten dan melaporkan</a>) kepada Meta konten yang dianggap bagian dari <a href="https://about.meta.com/actions/preparing-for-elections-on-facebook/">dis/misinformasi dalam berbagai bahasa</a>. </p>
<p>Meta juga menerapkan <a href="https://transparency.fb.com/id-id/features/approach-to-elections/">aturan iklan kampanye</a> di platform mereka menekankan pada <a href="https://about.fb.com/news/2023/11/how-meta-is-planning-for-elections-in-2024/">transparansi</a> dana anggaran iklan. Facebook dan Instagram, contohnya, mewajibkan semua pengiklan politik untuk memverifikasi identitasnya melalui proses otorisasi sebelum bisa membeli iklan. </p>
<h2>Gerakan masyarakat sipil</h2>
<p>Masyarakat sipil menjadi bagian penting dalam melawan gangguan informasi. Ada dua hal yang dilakukan, yaitu bersama-sama mengusung gerakan sosial dan melakukan program melawan gangguan informasi masing-masing.</p>
<p>Contoh gerakan misalnya <a href="https://aji.or.id/read/press-release/1589/unesco-dan-koalisi-damai-mendorong-komitmen-dan-kolaborasi-berbagai-pihak-ciptakan-pemilu-damai-2024-di-indonesia.html">Koalisi Demokratisasi dan Moderasi Ruang Digital (Damai)</a>. Terdapat 12 organisasi masyarakat sipil berhimpun dalam koalisi untuk membangun relasi yang <a href="https://www.bawaslu.go.id/id/berita/bawaslu-apresiasi-gagasan-koalisi-damai-jajaki-komitmen-bersama-kampanye%C2%A0-berintegritas-di">transparan dan dialog</a> berkelanjutan dengan platform dan pemerintah. </p>
<p>Hal ini untuk memastikan praktik moderasi konten dan kebijakan di Indonesia dibuat dengan berdasarkan pada pemahaman konteks lokal dan sejalan dengan standar internasional hak asasi manusia (HAM). Dalam mendukung upaya itu, Koalisi Damai melakukan riset berbasis data, memperjuangkan kebebasan berekspresi di dunia maya, serta meningkatkan literasi digital dan kesadaran publik terkait isu ini. </p>
<p>Sementara Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Disinformasi Pemilu berupaya untuk <a href="https://perludem.org/2023/04/17/koalisi-masyarakat-sipil-lawan-disinformasi-pemilu/">melahirkan sinergi</a> antara Bawaslu, koalisi masyarakat sipil, dan platform. Tujuannya agar seluruh pihak memiliki <a href="https://www.bawaslu.go.id/id/berita/moderasi-konten-medsos-bawaslu-bersama-koalisi-masyarakat-sipil-dan-platform-digital-akan">persepsi yang sama</a> terkait konten-konten disinformasi.</p>
<p>Inisiatif lain yang sejalan dengan pengentasan gangguan informasi di media sosial adalah program-program <a href="https://www.psychologytoday.com/us/blog/misinformation-desk/202108/what-is-prebunking"><em>prebunking</em></a> dan literasi digital. Prebunking_ diibaratkan sebagai imunisasi kepada masyarakat sebelum mereka terkena virus, yang dalam hal ini hoaks dan berita bohong. Ini seperti proses membongkar kebohongan atau sumber sebelum informasi keliru menyerang.</p>
<p>Sementara itu, <em>debunking</em> merupakan upaya penyajian fakta informasi yang benar. Kadang dianggap sebagai kegiatan “melabeli hoaks”. Jadi sebelum tersebar-dan akhirnya di-<em>debunk</em>, meskipun mungkin sudah <a href="https://www.liputan6.com/cek-fakta/read/4328384/sederet-hoaks-yang-memakan-korban-hingga-merenggut-nyawa">memakan korban</a>, berita hoaks tidak akan terdiseminasi oleh masyarakat yang sudah imun. Dua pekerjaan tersebut sebenarnya sulit dilakukan di tengah derasnya arus gangguan informasi.</p>
<p>Namun dengan bantuan berbagai pihak secara kolaboratif, misalnya platform digital, maka organisasi masyarakat sipil yang fokus pada metode-metode literasi pembongkaran gangguan informasi diharapkan dapat berbuat lebih masif.</p>
<p>Pada akhirnya, kesiapsiagaan masyarakat sipil, pemerintah dan swasta tidak hanya pada konteks Pemilu, tetapi juga pengentasan gangguan informasi dengan program dan inisiatif jangka panjang. Kerja sama multiaktor pada tataran regulasi dan tata kelola menjadi kunci. </p>
<p>Edukasi dan literasi menjadi kunci kedua menuju media sosial yang aman, nyaman dan demokratis. Upaya yang baik sudah mulai ditunjukkan pada Pemilu 2024, namun memerlukan keberlanjutan, serta pemantauan dan evaluasi yang komprehensif.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/219823/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Unggul Sagena terafiliasi dengan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet). </span></em></p>Dibutuhkan kontribusi yang lebih baik dari beragam aktor, mulai dari pemerintah, platform digital hingga kelompok masyarakat sipil untuk melawan gangguan informasi pada menjelang Pemilu 2024.Unggul Sagena, Technology Governance & Civil Society Researcher, Digital Rights Activist, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2211032024-01-15T05:57:26Z2024-01-15T05:57:26ZSetelah melihat perjuangan warga Palestina di Gaza, pengguna TikTok belajar tentang Islam<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/569191/original/file-20231214-24-fcuu3e.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C77%2C7380%2C3469&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Hubungan antara Muslim dan non-Muslim di TikTok telah menciptakan ruang yang jarang bagi berkembangnya empati.</span> <span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span></figcaption></figure><p>Konflik yang sedang berlangsung di Gaza antara Hamas dan Israel ditampilkan di layar dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. <a href="https://www.aljazeera.com/news/2023/10/17/surrounded-by-death-gaza-content-creators-fight-to-get-the-truth-out">Melalui media sosial</a>, jutaan orang menyaksikan kekerasan yang telah menewaskan <a href="https://www.aljazeera.com/news/longform/2023/10/9/israel-hamas-war-in-maps-and-charts-live-tracker">ribuan orang sejak 7 Oktober 2023</a>.</p>
<p>Masyarakat beralih ke media sosial untuk mempelajari sejarah dan politik wilayah tersebut. Semakin banyak pula yang menggunakannya untuk belajar tentang Islam setelah menyaksikan penderitaan warga Palestina di Gaza. Ini memunculkan gerakan eksplorasi agama.</p>
<p>Secara khusus, TikTok mengalami peningkatan <em>posting</em>, <em>live streaming</em>, dan diskusi tentang Al-Qur'an, dengan banyak yang menyebut keimanan Islam warga Gaza menginspirasi mereka.</p>
<p><a href="https://ads.tiktok.com/business/creativecenter/hashtag/islam?period=120&countryCode=&">Analisis TikTok</a> menunjukkan tanda pagar (tagar) #Islam dengan cepat mendapatkan popularitas sejak awal Oktober 2023. Pada saat itu, video yang menggunakan tagar #Islam telah ditonton lebih dari 35 miliar kali secara global, satu miliar kali ditonton di Amerika Serikat (AS), dan 360 juta kali di Kanada. Mayoritas penontonnya berusia 18-24 tahun.</p>
<h2>TikTok menantang narasi</h2>
<p>Pada bulan November 2023, saya berbicara dengan enam pengguna TikTok Amerika Utara yang mengikuti gerakan <em>online</em> dengan mengunggah konten tentang perjalanan iman mereka. Mereka berbagi wawasan tentang apa yang telah mereka pelajari, reaksi dari audiens, dan pemikiran mereka mengenai krisis di Gaza.</p>
<blockquote>
<p>“Kamu melihat para perempuan berlarian keluar dari reruntuhan bangunan sambil menggendong anak mereka yang tak bernyawa, dan hal pertama yang mereka lakukan adalah bersyukur kepada Allah,” kata TikToker <a href="https://www.tiktok.com/@graves.hunter">Hunter Graves (@graves.hunter)</a> saat aku <em>ngobrol</em> dengannya. Graves adalah mahasiswa senior berusia 21 tahun di Nashville, AS.</p>
</blockquote>
<p>Dalam dua bulan terakhir, ia mengunggah beberapa video yang membahas tentang Islam. Dalam satu video, dia memamerkan buku yang dia beli. Dalam <a href="https://www.tiktok.com/@graves.hunter/video/7293886118410456366">video lainnya</a>, dia dengan ringan merenung tentang agama dan bahwa dia “berpikiran rendah hati tentang menjadi seorang Muslim.”</p>
<p>Satu <a href="https://www.tiktok.com/@graves.hunter/video/7294058523921730862">video saat dia mengungkapkan kegembiraannya</a> dengan mengucap <em>alhamdullilah</em> ditonton hampir dua juta kali.</p>
<p><div data-react-class="TiktokEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.tiktok.com/@graves.hunter/video/7294058523921730862"}"></div></p>
<p>Pada 27 Oktober 2023, Graves <a href="https://www.tiktok.com/@graves.hunter/video/7294838257714466091">mengunggah video</a> saat dirinya mengucap kalimat <a href="https://www.britannica.com/topic/shahadah"><em>syahadat</em></a>—pernyataan keimanan yang membuat seseorang menjadi Muslim—di masjid dan secara resmi “kembali ke Islam”. Istilah ini digunakan oleh beberapa orang yang masuk Islam. </p>
<blockquote>
<p>“Dengan iman, penderitaan memiliki makna,” ujarnya.</p>
</blockquote>
<p>Muhammad Kolila, seorang imam di <a href="https://www.theddic.org/">Pusat Islam Pusat Kota Denver, AS</a>, mengatakan bahwa orang-orang menggunakan media sosial untuk menyebarkan pengetahuan, menantang bias, dan mengekspresikan solidaritas.</p>
<blockquote>
<p>“Kamu dapat melakukan banyak hal melalui media sosial,” katanya, seraya menambahkan bahwa beberapa pihak menghubungkan perjuangan warga Palestina dengan perjuangan masyarakat pribumi di Amerika Utara dan apartheid di Afrika Selatan. </p>
</blockquote>
<p>Banyak pengguna TikTok yang mengatakan bahwa gerakan tersebut telah merombak keyakinan negatif tentang Islam yang mereka yakini sejak kecil.</p>
<p>Apa yang terjadi di dunia maya sangat kontras dengan <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/1354067X221103996">sentimen anti-Muslim yang berkembang di Barat</a> sejak awal abad ke-21. Komite Hak Asasi Manusia Senat Kanada baru-baru ini merilis laporan yang menguraikan frekuensi dan bahaya <a href="https://sencanada.ca/en/info-page/parl-44-1/ridr-islamophobia/">diskriminasi, kekerasan, dan kebencian <em>online</em> terhadap Muslim Kanada</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/how-islamophobia-and-anti-palestinian-racism-are-manufactured-through-disinformation-216119">How Islamophobia and anti-Palestinian racism are manufactured through disinformation</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><a href="https://www.tiktok.com/@6toedcats">Madison (@6toedcats)</a>, seorang pemuda berusia 24 tahun dari Tampa, Florida, AS, mengunggah <a href="https://www.tiktok.com/@6toedcats/video/7293756127429414190">video berlinang air mata</a> pada pertengahan Oktober 2023. Ia mencari perempuan Muslim setempat untuk mendukung perjalanannya menjadi seorang Muslim. Dia sebelumnya telah meneliti Islam secara <em>online</em>, tapi mengatakan bahwa Palestina adalah faktor penentunya.</p>
<blockquote>
<p>“Hal itu terlintas di kepala saya–saya menganggap diri saya sebagai seorang Muslim, tapi mengapa saya belum menjadi seorang Muslim?” ungkapnya dalam sebuah wawancara.</p>
</blockquote>
<p><a href="https://www.tiktok.com/discover/gingerbeardprog">Charlie Bowling (@gingerbeard.prog)</a>, yang menganggap dirinya agnostik, mengunggah video mendengarkan dan membaca Al-Qur'an.</p>
<blockquote>
<p>“Saya melihat keimanan orang Palestina yang membuat mereka begitu ikhlas dan kuat,” katanya pada saya, “saat saya mulai membaca Al-Qur'an, saya ingin mendokumentasikan perjalanan saya.”</p>
</blockquote>
<p><div data-react-class="TiktokEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.tiktok.com/@gingerbeard.progr/video/7305098824807370030"}"></div></p>
<h2>Sejarah terulang kembali</h2>
<p>Setelah serangan 11/9, fenomena serupa yaitu <a href="https://www.huffpost.com/entry/post-911-islam-converts_n_935572">orang-orang yang mendalami Islam</a> juga terjadi, <a href="https://hwpi.harvard.edu/pluralismarchive/news/reports-women-converting-islam-after-911">khususnya di kalangan perempuan</a>. Minat saat ini juga mencerminkan hal tersebut, tapi terjadi melalui media sosial dan di hadapan khalayak yang lebih luas.</p>
<p><a href="https://www.tiktok.com/@camelawidad">Camela Widad (@camelawidad)</a> mulai belajar tentang Islam pada bulan-bulan sebelum 11/9 dan secara resmi berpindah agama pada tahun 2003.</p>
<blockquote>
<p>“Kami mulai melihat orang-orang bertanya ‘Benarkah? Apakah ini benar-benar agama yang mendukung terorisme?’ Dan saat itulah saya mendapatkan momentum,” katanya. Di matanya, akses terhadap media sosial saat ini telah memanusiakan umat Islam.</p>
</blockquote>
<p>Islam telah membuat individu di Gaza <a href="https://www.newarab.com/analysis/sumud-palestinians-form-steadfastness-continues-grow-stronger">tetap teguh dalam menghadapi kesulitan</a>, sekaligus menarik khalayak di media sosial. Agama menghibur individu dengan memberikan jawaban atas pertanyaan eksistensial tentang kehidupan, kematian, dan penderitaan. Al-Qur'an mendorong adanya hubungan antara pelajaran dari kisah-kisahnya dan masa kini, sehingga berkontribusi pada nilai-nilainya di masa-masa sulit.</p>
<p>Lonjakan konten <em>online</em> juga menginspirasi beberapa orang untuk mengeksplorasi kembali keyakinan mereka. <a href="https://www.tiktok.com/@bbyfatz?_t=8iCyo2SwrnZ&_r=1">Fatima Abdi (@bbyfatz)</a>, seorang <em>fashion influencer</em> dengan lebih dari 83 ribu pengikut, menjauhi Islam saat remaja, tapi mulai menemukan perjalanannya kembali. Melihat video orang lain menginspirasinya untuk bertindak sesuai keyakinannya–dia mulai membagikan sebagian keyakinannya dan perjalanan fesyennya yang sederhana kepada pengikutnya.</p>
<p><a href="https://www.tiktok.com/@ciouscorn">Cornell Jones (@ciouscorn)</a> masuk Islam tiga tahun lalu. Ketika saya berbicara dengannya pada November 2023, dia mengatakan krisis yang terjadi di Gaza saat ini terasa seperti hilangnya kemanusiaan, tapi TikTok telah mengizinkannya untuk “memberi ruang untuk beriman kepada Allah.” Jones mengatakan dia menerima banyak pesan yang menanyakan pengalamannya masuk Islam.</p>
<p><div data-react-class="TiktokEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.tiktok.com/@consciouscorn/video/7197170577751280902"}"></div></p>
<h2>Bahaya media sosial</h2>
<p>Meskipun media sosial bisa menjadi hal yang hebat, Kolila memperingatkan agar kita tidak terburu-buru atau membandingkan perjalanan seseorang dengan perjalanan <em>online</em> orang lain. </p>
<blockquote>
<p>“Berjalanlah berdasarkan keyakinan, bukan masyarakat,” katanya. Mencari sumber yang memiliki reputasi baik adalah kuncinya. “Hanya karena kami punya <em>platform</em>, bukan berarti kami punya otoritas,” kata Jones.</p>
</blockquote>
<p>Abdi dan Graves menambahkan bahwa bersikap terbuka tentang iman secara <em>online</em> dapat memantik pengawasan yang ketat.</p>
<p>Bagaimanapun, hubungan antara Muslim dan non-Muslim di TikTok telah menciptakan ruang yang jarang bagi berkembangnya empati. Pada intinya, gerakan ini memungkinkan orang untuk bersatu, belajar dan melupakan. Di masa yang penuh dengan ketidakmanusiawian dan kesedihan kolektif, melakukan hal ini mungkin bisa membantu kita mengatasinya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/221103/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nahid Widaatalla tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>TikTok mengalami lonjakan ‘postingan’, ‘streaming’ langsung, dan diskusi tentang Al-Qur'an, dengan banyak yang menyebut keimanan Islam yang mereka lihat di warga Gaza sebagai inspirasi mereka.Nahid Widaatalla, Dalla Lana Fellow in Journalism and Health Impact, University of TorontoLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2198152023-12-18T13:40:09Z2023-12-18T13:40:09ZPenyebaran konten ilegal di media sosial juga tanggung jawab platform. Bagaimana mengaturnya?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/566299/original/file-20231218-25-ulg976.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=35%2C0%2C5955%2C3188&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ilustrasi akses konten ilegal.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/rear-view-businesswoman-using-laptop-marble-2381344003">ImageFlow/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Konten ilegal adalah segala jenis informasi elektronik yang <a href="https://aptika.kominfo.go.id/2021/05/ragam-sanksi-bagi-penyelenggara-sistem-jika-langgar-ketentuan-pse-privat/">melanggar hukum</a> di suatu negara. Di Indonesia, yang termasuk kategori ini antara lain perjudian, ujaran kebencian, mis/disinformasi, penipuan, pornografi, dan pencemaran nama baik. </p>
<p>Penyebaran konten ilegal di media sosial telah menjadi tantangan besar di Indonesia. </p>
<p>Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) <a href="https://pr2media.or.id/publikasi/pengaturan-konten-ilegal-dan-berbahaya-di-media-sosial-riset-pengalaman-pengguna-dan-rekomendasi-kebijakan/">menunjukkan</a>, konten ilegal yang dilaporkan Kominfo kepada penyelenggara sistem elektronik hingga Maret 2023 mencapai hampir 1,4 juta konten.</p>
<p>Jumlah terbanyak ada di Twitter (sekarang X), diikuti Facebook dan Instagram, dengan jenis terbanyak adalah pornografi, perjudian, dan penipuan. </p>
<p><a href="https://pr2media.or.id/publikasi/kertas-kajian-regulasi-pengaturan-konten-ilegal-di-media-sosial/">Survei PR2Media</a>, sebuah lembaga riset yang berfokus pada <a href="https://pr2media.or.id/publikasi-list/">regulasi media</a>, terhadap 1.500 pengguna media sosial di 38 provinsi si Indonesia menunjukkan seluruh responden menyatakan sering menjumpai konten ilegal di media sosial. Tiga jenis yang paling sering dijumpai adalah ujaran kebencian, mis/disinformasi, dan penipuan. </p>
<p>Di tengah maraknya penyebaran konten ilegal ini, hingga kini kita belum memiliki regulasi yang mendorong <a href="https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2023/08/23/platform-media-sosial-dituntut-tegas-atur-konten-ilegal">tanggung jawab detail</a> penyelenggara media sosial seperti X, Facebook, YouTube, dan TikTok untuk memitigasi konten ilegal, seperti yang telah ada di Uni Eropa. </p>
<h2>Aturan untuk platform masih kurang di Indonesia</h2>
<p>Jumlah pengguna media sosial di Indonesia terus bertambah, yang hingga Januari 2023 mencapai <a href="https://datareportal.com/reports/digital-2023-indonesia">167 juta pengguna</a>, atau 60,4% populasi penduduk. Platform terpopuler adalah YouTube diikuti Facebook, TikTok, Instagram, X, dan LinkedIn.</p>
<p>Namun, dengan variasi konten yang makin beragam, instrumen regulasi yang ada saat ini belum memadai untuk mengatasi penyebaran konten ilegal. Ini berbeda dengan Uni Eropa.</p>
<p>Uni Eropa telah memiliki <em><a href="https://commission.europa.eu/strategy-and-policy/priorities-2019-2024/europe-fit-digital-age/digital-services-act_en">Digital Services Act</a></em>. Aturan yang disahkan pada 2022 dan baru diterapkan pada 2024 ini mengatur cara seluruh jenis penyelenggara layanan internet mengatasi konten ilegal di platformnya. Platform yang diatur mulai dari mesin pencari, layanan jual beli, hingga media sosial terbuka. </p>
<p>Seiring dengan besarnya pengaruh platform media sosial terhadap masyarakat, munculnya <a href="https://www.dw.com/en/what-impact-will-the-eus-digital-services-act-have/a-66631337">Digital Services Act</a> bertujuan meminta pertanggungjawaban platform dalam menciptakan lingkungan digital yang lebih aman dan akuntabel dengan membatasi penyebaran konten ilegal.</p>
<p><a href="https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/en/ip_23_2413">Kewajiban setiap platform pun berbeda</a>, disesuaikan dengan jumlah penggunanya di Uni Eropa. Khusus untuk media sosial terbuka berukuran besar, kewajiban mereka mencakup membuat laporan tentang cara platform media sosial melakukan pengaturan (moderasi) konten dan memitigasi risiko yang muncul akibat desain dan penggunaan platform.</p>
<p><a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3469443">Pengaturan (moderasi) konten</a> adalah kegiatan penyelenggara media sosial dalam menilai, menandai, membatasi akses, lalu menghapus konten ilegal dan berbahaya atau akun yang mengunggah konten tersebut guna melindungi penggunanya. </p>
<p>Indonesia belum mengatur tata cara penyelenggara media sosial mengatur konten ilegal. Terlepas kontroversinya, sejauh ini <a href="https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%202016.pdf">Undang Undang Informasi dan Transaksi Eletronik</a> (UU ITE) dan peraturan turunannya yang mengatur konten di internet. Hanya saja, pengaturannya lebih berfokus pada tanggung jawab pemerintah dan pengguna media sosial, sementara tanggung jawab penyelenggara sistem elektronik belum detail.</p>
<p>Ini menjadi masalah besar mengingat yang berkuasa dalam mengatur (misalnya: menghapus) konten di media sosial adalah platformnya, sedangkan pemerintah memiliki kuasa yang terbatas karena bisa saja penyelenggara media sosial tidak mengabulkan aduan dari pemerintah karena alasan melanggar kebebasan berpendapat.</p>
<p>Ini pernah terjadi ketika <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2022/06/24/123000765/pemerintah-ancam-blokir-google-facebook-whatsapp-dkk-alasannya-apa-?page=all">pemerintah mengancam memblokir Facebook</a> pada tahun 2022 karena belum melakukan pendaftaran ke Kominfo. Namun, warganet mengecam tindakan ini.</p>
<h2>Mulai dari revisi UU ITE</h2>
<p>Mengingat pentingnya peran penyelenggara media sosial dalam menentukan efektivitas moderasi konten, tim peneliti PR2Media menilai pengaturan tanggung jawab konten bisa dimasukkan ke dalam Peraturan Pemerintah sebagai turunan dari <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231205203426-32-1033333/poin-poin-pasal-penting-yang-berubah-dalam-revisi-uu-ite-jilid-ii">UU ITE yang baru saja direvisi</a>. Revisi yang kedua ini mengatur tanggung jawab platform secara umum, sementara pengaturan teknisnya diserahkan kepada Peraturan Pemerintah.</p>
<p>Berikut ada beberapa usulan regulasi yang bisa dimasukkan ke Peraturan Pemerintah:</p>
<ol>
<li> Pemerintah sebaiknya mewajibkan penyelenggara media sosial menyampaikan mekanisme yang mereka gunakan untuk mengenali dan menentukan konten ilegal, baik melalui kecerdasan buatan, manusia, maupun kombinasi keduanya. </li>
</ol>
<p>Hingga saat ini, informasi tentang jumlah moderator manusia yang dipekerjakan di Indonesia belum pernah diumumkan platform. Mengingat keberagaman masyarakat Indonesia, moderator manusia pun idealnya mewakili keberagaman itu</p>
<ol>
<li><p>Platform wajib menyediakan informasi bagi pengguna yang mengalami penangguhan konten atau akunnya. Informasi tersebut memuat penjelasan mengenai pelanggaran yang dilakukan, cara penyelenggara media sosial mendeteksi pelanggaran, dan langkah banding yang dapat ditempuh oleh pengguna.</p></li>
<li><p>Platform wajib menyediakan mekanisme banding untuk pengguna yang tidak puas dengan keputusan moderasi konten. Pemrosesan konten ilegal oleh penyelenggara media sosial tidak selalu memuaskan semua pihak. Untuk itu, penyelenggara media sosial wajib menyediakan sistem yang memungkinkan pengguna atau pemerintah mengajukan banding. </p></li>
<li><p>Platform wajib mempublikasikan laporan tahunan tentang aduan dari masyarakat dan pemerintah terkait konten ilegal serta tindakan penyelenggara media sosial dalam menindaklanjutinya. Laporan itu terdiri dari aduan yang diterima dari pengguna dan pemerintah Indonesia, jumlah total konten yang dikenai sanksi dan jumlah total akun ditangguhkan, dan jumlah banding terhadap keputusan sanksi terhadap konten atau akun.</p></li>
<li><p>Pemerintah memberikan sanksi jika sistem moderasi tidak ditegakkan oleh platform. Sanksi ini idealnya didasarkan pada tingkat “kegagalan” dari sistem yang dimiliki platform untuk memitigasi konten ilegal. Jadi sanksinya bukan kasus per kasus, tapi dengan melihat sistem yang sudah ditegakkan platform untuk mematuhi regulasi.</p></li>
</ol>
<p>Hingga sekarang, belum ada resep regulasi di negara mana pun yang sudah teruji efektif meredam konten ilegal di media sosial. <em>Digital Services Act</em> di Uni Eropa juga masih dalam proses pemberlakuan. </p>
<p>Oleh karena itu, penyusunan Peraturan Pemerintah sebagai turunan UU ITE perlu melibatkan diskusi yang berkualitas dengan para pemangku kepentingan, termasuk penyelenggara media sosial.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/219815/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Engelbertus Wendratama tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Indonesia belum memiliki regulasi yang dapat mendorong tanggung jawab detail platform media sosial untuk memitigasi penyebaran konten ilegal.Engelbertus Wendratama, Peneliti, PR2MediaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2188302023-12-14T03:18:11Z2023-12-14T03:18:11Z4 alasan kuat mengapa hoaks begitu memikat<p><a href="https://www.aeaweb.org/articles?id=10.1257/jep.31.2.211">Penelitian tentang hoaks dalam perilaku <em>voters</em> di Amerika Serikat (AS) pada Pemilu 2016</a> menunjukkan adanya korelasi kuat antara hoaks dan pengambilan keputusan politik. <a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3402913">Hasil penelitian di Italia tahun 2018</a> juga menunjukkan fenomena yang sama.</p>
<p>Dampak yang muncul dapat berupa <a href="https://cognitiveresearchjournal.springeropen.com/articles/10.1186/s41235-020-00252-3">sikap memilih berdasarkan emosi</a>, bukan <em>track record</em>, visi, atau program kerja. Sikap ini dapat memperbesar <a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3637866">peluang lahirnya pemerintahan yang tidak berkualitas</a>, <a href="https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3637866">meningkatnya apatisme</a>, dan <a href="https://dl.acm.org/doi/10.1145/3395046">menurunnya tingkat kepercayaan</a>.</p>
<p>Berbagai dampak tersebut memperkuat urgensi untuk memahami cara kerja hoaks. Apa sebenarnya yang membuat hoaks memiliki daya pikat yang begitu besar?</p>
<p><strong>1. Perpaduan teks dan visual</strong></p>
<p>Hoaks kerap berupa paduan antara teks dengan grafis yang menarik. Penelitian <a href="https://mafindo.or.id/">Mafindo</a>, organisasi kemasyarakatan yang bertujuan mensosialisasikan bahaya informasi bohong (hoaks) dan menciptakan imunitas terhadap hoaks di masyarakat Indonesia, pada tahun 2022 mengungkap bahwa konten berupa kombinasi antara teks dengan gambar atau video mendominasi komposisi temuan <a href="https://mafindo.or.id/publikasi-riset/laporan-tahunan/hoaks-di-indonesia-tahun-2022/">dengan persentase hingga 79,2%</a>.</p>
<p>Dominasi konten kombinasi ini difasilitasi oleh perkembangan teknologi yang semakin memudahkan kreasi konten grafis dan video. <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/memory-mind-and-media/article/identifying-and-minimising-the-impact-of-fake-visual-media-current-and-future-directions/05238C440ED9F72B2761542EB542B9CB?utm_campaign=shareaholic&utm_medium=copy_link&utm_source=bookmark">Sebuah penelitian tentang psikologi dan media di Inggris tahun 2022</a> bahkan menyimpulkan bahwa teknologi telah mengaburkan batas antara citra visual yang nyata dan palsu.</p>
<p>Selain itu, penelitian Michael Hameleers, asisten profesor di Universitas Amsterdam, Belanda, mengungkap bahwa <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10584609.2019.1674979">disinformasi berbentuk visual lebih memengaruhi audiens dibanding konten yang berupa teks saja</a>.</p>
<p><strong>2. Menyentuh emosi</strong></p>
<p>Hoaks dapat mengeksploitasi emosi audiens melalui berbagai tipe konten. </p>
<p>Pemetaan yang dilakukan oleh Mafindo menunjukkan bahwa <a href="https://mafindo.or.id/publikasi-riset/laporan-tahunan/hoaks-di-indonesia-tahun-2022/">hoaks paling banyak menggunakan tipe narasi <em>wedge driver</em> yaitu narasi yang cenderung mendiskreditkan pihak tertentu (38,3%), diikuti oleh tipe narasi <em>pipe dream</em> yang membangkitkan harapan (35,5%) dan <em>bogies</em> yang cenderung menakut-nakuti (7.4%)</a>.</p>
<p>Tipe-tipe ini diadopsi dari konsep yang diperkenalkan Robert H. Knapp, mendiang profesor Psikologi di Universitas Wesleyan, AS, pada tahun 1944 tentang <a href="https://academic.oup.com/poq/article-abstract/8/1/22/1914214?redirectedFrom=fulltext">psikologi rumor</a>.</p>
<p>Menurut <a href="https://academic.oup.com/poq/article-abstract/10/4/501/1861351">sebuah penelitian tentang rumor di (AS)</a>, tipe-tipe tersebut menunjukkan cara rumor mengikat audiens melalui emosi sehingga mereka merasa <a href="https://academic.oup.com/poq/article-abstract/10/4/501/1861351">hal itu penting dan lantas memercayainya</a>. </p>
<p>Misalnya, tipe <em>wedge driver</em> yang menarasikan pihak tertentu secara negatif sehingga menimbulkan ketidaksukaan atau kebencian, dapat dilihat pada hoaks yang mengklaim bahwa Wiranto, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) tahun 2019, <a href="https://turnbackhoax.id/2019/05/22/salah-tanggal-22-mei-pendukung-02-kepung-kpu-wiranto-biarkan-saja-untuk-bahan-berburu-menembak-tni-polri/">mengizinkan TNI menembaki pendemo</a> ketika pendukung calon presiden no 2 waktu itu, Prabowo Subianto, mengepung KPU di Jakarta. Narasi pada hoaks tersebut dapat menimbulkan kebencian kepada Wiranto meski faktanya, tidak ditemukan pernyataan seperti yang tertulis di situs tersebut.</p>
<p>Sementara tipe <em>pipe dream</em> atau yang sering disebut juga sebagai <em>wish-based content</em> dan berisi informasi yang menimbulkan rasa senang atau harapan, dapat dilihat pada klaim bahwa ribuan suku Baduy datang ke Jakarta untuk mendukung <a href="https://www.voaindonesia.com/a/aksi-22-mei-amplop-dolar-hoaks-penembakan-masjid-3-hal-lain-perlu-anda-tahu/4928426.html">Aksi 22 Mei 2019</a> dan <a href="https://turnbackhoax.id/2019/05/21/salah-sore-tadi-ribuan-baduy-sudah-tiba-di-jakarta-perwakilan-pimpinan-baduy-diterima-prabowo-di-kertanegara/">diterima dengan hangat oleh Prabowo di Kartanegara, Jakarta</a>.</p>
<p>Bagi pendukung Aksi 22 Mei, hal ini tentu memberikan harapan dan rasa senang. Faktanya, foto yang diunggah oleh sumber klaim adalah foto yang sudah ada sejak tahun 2016. Warga suku Baduy yang ada di foto tersebut adalah warga yang berjualan madu hutan dan tas anyaman serta baju.</p>
<p><em>Bogies</em>, sebagai konten yang bertipe <em>fear-based</em> atau menimbulkan rasa takut dan kecemasan, biasa muncul pada hoaks yang berisi ancaman bencana alam atau modus kejahatan. </p>
<p><strong>3. Manipulasi bukti</strong></p>
<p>Hoaks seringkali menyajikan bukti untuk mendukung klaimnya agar audiens yakin. Bukti yang disertakan seringkali palsu atau tidak relevan. </p>
<p>Ada beragam jenis bukti yang biasanya menyertai klaim hoaks, mulai dari pengalaman langsung, kutipan (baik yang dapat diverifikasi maupun tidak), penyertaan tautan URL, penyematan gambar atau video, dan penggunaan alasan (<em>reasoning</em>). Namun, ada juga <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0150989">hoaks yang tidak menyertakan bukti sama sekali</a>.</p>
<p>Bukti berupa pengalaman langsung banyak ditemui pada hoaks kesehatan. Umumnya berupa <a href="https://turnbackhoax.id/2022/02/26/salah-jus-campuran-nanas-lobak-dan-kemiri-dapat-menyembuhkan-asam-urat/">testimoni dari seseorang tentang kemanjuran pengobatan tertentu</a>. Hoaks terkadang juga menyertakan <a href="https://turnbackhoax.id/2023/01/24/salah-hanya-dengan-obat-sirup-dapat-menyembuhkan-berbagai-penyakit-paru-paru/">tautan (URL) agar terkesan seolah informasi di dalamnya mengacu pada sumber kredibel</a>.</p>
<p>Cara lain meyakinkan audiens adalah dengan mencatut pernyataan pihak tertentu. Terkadang nama pihak tersebut jelas, sehingga dapat dimintai klarifikasi, namun seringkali tidak jelas. Contohnya penggunaan frase-frase seperti “info A1”, “info ring 1”, “kata profesor Amerika”, dan sebagainya. </p>
<p>Dari berbagai bukti yang disajikan oleh produsen hoaks, penggunaan gambar atau video merupakan cara favorit. Data-data dari pemetaan hoaks 2022 oleh Mafindo mengungkap bahwa jenis bukti favorit adalah penggunaan gambar atau video. <a href="https://mafindo.or.id/publikasi-riset/laporan-tahunan/hoaks-di-indonesia-tahun-2022/">Jenis bukti klaim ini ditemukan sebesar 67%</a>.</p>
<p><strong>4. Memanfaatkan ketidaktahuan audiens</strong></p>
<p><a href="https://mafindo.or.id/publikasi-riset/riset/tipologi-hoaks-pilpres-2019/">Temuan penelitian kami</a> menunjukkan adanya isu-isu dalam konten hoaks yang berangkat dari kurangnya informasi yang diterima masyarakat terkait regulasi pemilu. Termasuk kurangnya informasi tentang hak memilih yang dimiliki oleh orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) serta prosedur penghitungan suara berdasarkan penghitungan manual.</p>
<p>Produsen hoaks memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat untuk menyebarkan klaim bahwa ODGJ <a href="https://turnbackhoax.id/2018/12/25/salah-simulasi-orang-gila-di-bawa-ke-tps-saat-pemilu-nanti/">dimobilisasi untuk memenangkan kandidat tertentu</a>; <a href="https://turnbackhoax.id/2019/05/04/salah-bareskrim-polri-gambir-jadi-pusat-kendali-situng-kpu/">perolehan suara dapat dimanipulasi melalui rekayasa siber oleh pihak tertentu </a>; atau bahwa <a href="https://www.kominfo.go.id/content/detail/17593/hoaks-penggunaan-kotak-suara-berbahan-kardus-sengaja-dirancang-agar-mudah-ditukar/0/laporan_isu_hoaks">surat suara sengaja disimpan di kotak kardus agar mudah ditukar</a>.</p>
<p>Modus ini tampaknya tetap digunakan menjelang pelaksanaan Pemilu 2024. Ketidaktahuan masyarakat tentang regulasi dan data kependudukan juga dimanfaatkan produsen hoaks untuk menyebarkan klaim menyesatkan terkait Pemilu 2024. </p>
<p>Contohnya klaim bahwa <a href="https://turnbackhoax.id/2023/01/14/salah-ribuan-wna-china-diberi-ktp-elektronik-untuk-pemilu-2024/">Warga Negara Asing (WNA) diberikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk memenangkan kandidat tertentu</a>. Ada juga klaim bahwa <a href="https://turnbackhoax.id/2023/05/24/salah-mulai-kpu-menjalankan-aksi-kotornya-dia-memberi-kode-00-berarti-itu-untuk-suara-yang-dikondisikan-pemenangnya/">kode 00 pada data pemilih merupakan kode KPU untuk mengondisikan pemenang pemilu</a>.</p>
<p>Faktanya, WNA memang diberikan KTP elektronik, akan tetapi tidak memiliki hak memilih. Adapun kode 00 yang dipermasalahkan tersebut merupakan kode RT sebagaimana tertulis dalam KTP dan
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil yang kemudian dimasukkan ke dalam data KPU.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/218830/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nuril Hidayah, selain terafiliasi dengan STAI Miftahul 'Ula Nganjuk, juga terafiliasi dengan Komite Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Finsensius Yuli Purnama terafiliasi dengan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dan divisi Penelitian dan Pengembangan, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Fitri Murfianti, selain terafiliasi sebagai Dosen DKV ISI Surakarta, juga terafiliasi dengan Divisi Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Loina L. K. Perangin-angin terafiliasi dengan Swiss German University sebagai Kaprodi dan dosen tetap, selain itu menjadi Presidium Komite Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.</span></em></p>Mengapa hoaks sangat mudah memperdaya pembaca?Nuril Hidayah, Stai Miftahul ' Ula NganjukFinsensius Yuli Purnama, Adjunct assistant professor, Universitas Katolik Widya Mandala SurabayaFitri Murfianti, Leiden UniversityLoina L. K. Perangin-angin, Swiss German UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2188312023-12-12T08:45:45Z2023-12-12T08:45:45Z3 dampak negatif hoaks pemilu yang perlu kamu tahu<p>Mudahnya berbagi informasi di era digital membuat penyebaran hoaks semakin marak. Selama tahun 2022, peneliti <a href="https://www.mafindo.or.id/">Mafindo</a>, organisasi kemasyarakatan yang bertujuan mensosialisasikan bahaya informasi bohong (hoaks) dan menciptakan imunitas terhadap hoaks di masyarakat Indonesia, <a href="https://mafindo.or.id/publikasi-riset/laporan-tahunan/hoaks-di-indonesia-tahun-2022/">menemukan 1698 hoaks yang beredar di media sosial</a>.</p>
<p>Jumlah ini meningkat cukup signifikan di tahun 2023. Penelitian yang sedang kami lakukan (belum dipublikasikan) menemukan bahwa sampai akhir November 2023, sudah lebih dari 2100 hoaks yang ditemukan. Artinya, ada kenaikan lebih dari 400 hoaks dalam setahun. Situasi ini membuktikan bahwa menjelang pemilu terjadi <a href="https://www.nber.org/system/files/working_papers/w23089/w23089.pdf">kenaikan jumlah hoaks yang menyebar melalui berbagai saluran, terutama media sosial</a>.</p>
<p><a href="https://ojs.aaai.org/index.php/ICWSM/article/view/14976">Penelitian dari <em>Rensselaer Polytechnic Institute</em></a>, Amerika Serikat (AS) mengindikasikan bahwa informasi palsu terkait kandidat dan kebijakan merupakan hoaks yang sering viral selama pemilu.</p>
<p>Hoaks juga dapat berisi konten sensasional atau bermuatan emosi untuk memanipulasi opini publik atau mendiskreditkan lawan politik. </p>
<p><a href="https://mafindo.or.id/publikasi-riset/riset/tipologi-hoaks-pilpres-2019/">Penelitian kami tahun 2019</a> menemukan setidaknya tiga dampak negatif dari penyebaran informasi palsu atau hoaks selama pemilu: </p>
<h2>1. Pembunuhan karakter</h2>
<p>Dampak hoaks pemilu yang paling signifikan adalah pembunuhan karakter. Dalam konteks hoaks pemilu, istilah ini mengacu pada <a href="https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jiip/article/view/5433">penyebaran informasi palsu atau menyesatkan dengan sengaja untuk merusak reputasi tokoh atau partai politik</a>. <a href="https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jiip/article/view/5433">Penelitian yang dilakukan oleh Lusia Astrika dan Yuwanto Yuwanto</a> dari Universitas Diponegoro, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa pembunuhan karakter bisa memengaruhi persepsi pemilih.</p>
<p>Pembunuhan karakter dilakukan dengan menyebarkan cerita yang dibuat-buat atau dibesar-besarkan, yang secara negatif menggambarkan karakter, etika, atau kemampuan kandidat. Tujuannya adalah untuk menciptakan atau memperbesar keraguan di kalangan pemilih mengenai kesesuaian individu yang dituju untuk menduduki jabatan tertentu. </p>
<p><a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/14614448211012377">Sebuah penelitian eksperimental di Italia dan AS pada tahun 2021</a> menegaskan bahwa tuduhan palsu dapat merusak reputasi politisi dan menyebabkan hilangnya dukungan di kalangan pemilih. Sekalipun informasi tersebut kemudian terbukti salah, kerusakan awal mungkin sulit untuk diperbaiki karena kesan mendalam yang ditimbulkan. </p>
<p>Kasus Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dalam Pemilihan Kepala Daerah Jakarta tahun 2017 merupakan contoh nyata bagaimana hoaks berdampak pada pembunuhan karakter. </p>
<p>Lawannya <a href="https://www.voaindonesia.com/a/jaksa-dakwa-ahok-menistakan-agama-/3634661.html">menuduh</a> Ahok menghina Al-Qur'an dan pemilih Muslim dalam sebuah pidato. Hoaks ini berawal dari video yang diedit sedemikian rupa sehingga mengesankan Ahok mengatakan bahwa pemilih tidak perlu mengikuti ajaran Al-Qur'an khususnya surah Al Maidah 51 yang berisi tentang larangan umat Islam mengangkat kaum Nasrani dan Yahudi sebagai awliya’ (pemimpin). Padahal, dalam konteks yang lebih lengkap, dia tidak menyerang isi kitab suci tersebut. </p>
<p>Tuduhan penistaan agama ini memiliki dampak besar pada elektabilitas Ahok. Ahok, yang sebelumnya populer dan memiliki peluang kuat untuk terpilih, mengalami <a href="https://news.detik.com/berita/d-4425584/kasus-penistaan-agama-hantui-karir-politik-ahok">penurunan dukungan yang signifikan, bahkan kasus ini terus menghantui karir politiknya</a>.</p>
<h2>2. Ketidakpercayaan terhadap badan penyelenggara pemilu</h2>
<p>Hoaks juga bisa melemahkan kepercayaan terhadap lembaga pemilu secara signifikan. Artikel dari <a href="https://www.brookings.edu/articles/misinformation-is-eroding-the-publics-confidence-in-democracy/"><em>Brookings Institution</em></a>, sebuah organisasi nonprofit yang berpusat di Washington, AS, menyoroti bahwa misinformasi, seperti klaim kecurangan pemilu, dapat membingungkan pemilih, sehingga menyebabkan menurunnya kepercayaan terhadap sistem pemilu. </p>
<p>Di AS, <a href="https://www.brookings.edu/articles/misinformation-is-eroding-the-publics-confidence-in-democracy/">survei media menemukan bahwa hanya 20% yang merasa “sangat yakin” terhadap integritas sistem pemilu AS, dan 56% responden dalam jajak pendapat CNN mengatakan mereka “sedikit atau tidak yakin” bahwa pemilu mewakili keinginan rakyat</a>.</p>
<p>Misinformasi mengenai proses pemilu, seperti prosedur pemungutan suara, penghitungan suara, atau hasil pemilu dapat membuat masyarakat mempertanyakan integritas lembaga penyelenggara pemilu.</p>
<p>Pada Pemilihan Presiden Indonesia 2019, contohnya, <a href="https://mafindo.or.id/publikasi-riset/riset/tipologi-hoaks-pilpres-2019/">banyak hoaks dan informasi palsu beredar mengenai penipuan dan manipulasi pemilu</a>, termasuk klaim adanya <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/06/20/09414781/ahli-prabowo-sandi-sebut-ada-27-juta-ghost-voters-dalam-pemilu-2019"><em>ghost voters</em> atau nama-nama dalam daftar pemilih yang tidak boleh tercantum, baik karena duplikasi, fiktif, milik individu yang sudah meninggal atau tidak memenuhi syarat untuk memilih</a>.</p>
<p><a href="https://aji.or.id/upload/article_doc/FIX_Layout_Buku_Gangguan_Informasi,_Pemilu,_dan_Demokrasi_compres1.pdf">Keraguan yang terus-menerus ini dapat memperdalam perpecahan politik, yang berujung pada konflik dan ketidakstabilan masyarakat</a>.</p>
<p>Hoaks juga <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0048733322001494">dapat mengganggu aspek operasional pemilu</a>. Penyebaran informasi yang salah mengenai tanggal dan lokasi pemungutan suara, misalnya, dapat menyebabkan kebingungan di kalangan pemilih.</p>
<p>Klaim palsu mengenai integritas alat pemungutan suara, penanganan surat suara, dan proses penghitungan suara juga dapat menimbulkan keraguan mengenai aspek teknis pemilu, sehingga membuat masyarakat mempertanyakan legitimasi hasil pemilu. </p>
<p>Salah satu contohnya adalah penggunaan kardus sebagai bahan pembuatan kotak suara pada Pemilu 2019. Kasus ini mencerminkan bagaimana informasi yang disalahpahami atau disajikan secara tidak lengkap dapat menciptakan keraguan, kontroversi, dan spekulasi mengenai aspek-aspek teknis pemilu. </p>
<p><a href="https://www.kominfo.go.id/content/detail/17593/hoaks-penggunaan-kotak-suara-berbahan-kardus-sengaja-dirancang-agar-mudah-ditukar/0/laporan_isu_hoaks">Beberapa pihak bahkan menginterpretasikan penggunaan bahan ini sebagai upaya untuk memudahkan manipulasi suara</a>.</p>
<p>Meskipun KPU segera menanggapi isu ini dengan menjelaskan bahwa kotak suara kardus tersebut telah dirancang tahan air dan cukup kuat, serta memenuhi semua standar keamanan yang diperlukan, isu ini tetap menimbulkan keraguan dan perdebatan di masyarakat.</p>
<h2>3. Manipulasi citra</h2>
<p><a href="https://ojs.uma.ac.id/index.php/perspektif/article/view/3458">Sebuah penelitian tahun 2019</a>, menemukan bahwa tujuan propaganda politik hoaks, selain untuk memengaruhi masyarakat juga untuk mengubah citra negatif menjadi positif. Hoaks juga bisa digunakan untuk meningkatkan elektabilitas dan popularitas calon yang didukung, atau menurunkan suara lawan. </p>
<p>Penyebaran informasi negatif atau salah tentang lawan politik biasanya berupa rumor, skandal yang dibuat-buat, termasuk latar belakang keluarga, atau penafsiran yang keliru mengenai kebijakan atau tindakan kandidat di masa lalu. Tujuannya adalah untuk mencoreng citra lawan di mata pemilih, sehingga mempengaruhi opini publik dan keputusan mereka untuk memilih kandidat tersebut.</p>
<p>Salah satu contohnya adalah hoaks yang menyerang Joko “Jokowi” Widodo pada Pemilu 2019. Saat itu, kebohongan yang tersebar luas mengenai Jokowi adalah bahwa <a href="https://www.kominfo.go.id/content/detail/17065/hoaks-innalillahi-ternyata-presiden-sekarang-sebenarnya-kristen-dan-pemerintahan-sekarang-di-kuasai-kristen/0/laporan_isu_hoaks">ia merupakan warga keturunan Tionghoa dan beragama Kristen</a>.</p>
<p>Misinformasi ini ditujukan untuk mempertanyakan kesetiaannya pada agama dan kebangsaan, yang merupakan topik sensitif dalam konteks sosial politik Indonesia di mana mayoritas beragama Islam dan beretnis Jawa. Hoaks ini dirancang untuk memengaruhi opini pemilih Muslim konservatif. Keraguan atas latar belakang dan agama Jokowi, diyakini dapat mengurangi daya tarik dan dukungan dari para pemilih tersebut.</p>
<p>Sementara untuk menaikkan citra positif, tim kampanye biasanya membuat informasi positif namun tidak akurat atau berlebihan tentang seorang kandidat. Misalnya, cerita palsu tentang pencapaian pribadi, statistik yang menyesatkan tentang kinerja, atau manipulasi gambar dan video. Tujuannya adalah untuk menciptakan gambaran kandidat yang ideal dan seringkali tidak realistis, sehingga dapat mempengaruhi persepsi publik secara positif.</p>
<p>Kampanye yang dilakukan oleh Donald Trump, mantan presiden AS, merupakan contoh dari praktik ini. Tim kampanyenya berusaha menaikkan citra positif dengan <a href="https://www.newyorker.com/magazine/2016/07/25/donald-trumps-ghostwriter-tells-all">mengklaim bahwa Trump sukses sebagai pengusaha sehingga mampu menegosiasikan perjanjian perdagangan yang lebih baik untuk AS</a>.</p>
<p>Kedua taktik ini mempunyai implikasi yang signifikan terhadap integritas pemilu, karena keduanya menghalangi pemilih untuk mengambil keputusan berdasarkan informasi faktual.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/218831/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fitri Murfianti, selain terafiliasi sebagai Dosen DKV ISI Surakarta, juga terafiliasi dengan Divisi Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Finsensius Yuli Purnama terafiliasi dengan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dan divisi Penelitian dan Pengembangan, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Loina L. K. Perangin-angin terafiliasi dengan Swiss German University sebagai Kaprodi dan dosen tetap, juga sebagai Presidium Komite Penelitian dan Pengembangan, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Nuril Hidayah, selain terafiliasi dengan STAI Miftahul 'Ula Nganjuk, juga terafiliasi dengan Komite Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo). Penelitian ini terlaksana atas dukungan dana USAID-MEDIA melalui Internews. Isi sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. </span></em></p>Hoaks telah terbukti berdampak negatif di masyarakat. Apa saja dampak dari maraknya persebaran hoaks ketika pemilu?Fitri Murfianti, Leiden UniversityFinsensius Yuli Purnama, Adjunct assistant professor, Universitas Katolik Widya Mandala SurabayaLoina L. K. Perangin-angin, Swiss German UniversityNuril Hidayah, Stai Miftahul ' Ula NganjukLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2190162023-12-04T04:09:58Z2023-12-04T04:09:58ZMenurut penelitian, detoks media sosial belum tentu sebaik yang kita kira<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/562920/original/file-20231120-17-c1p1u5.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=190%2C476%2C4606%2C2640&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Orang dewasa usia kerja menghabiskan waktu di media sosial lebih dari 2,5 jam per hari.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/social-media-jealousy-young-depressed-woman-2107300844">DimaBerlin/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Tak jadi soal apakah kamu seorang <em>influencer</em>, pengunggah konten berkala, atau sekadar pengintai, kemungkinan besar kamu menghabiskan lebih banyak waktu daripada yang kamu inginkan di media sosial. Secara global, masyarakat usia kerja yang memiliki akses internet kini menghabiskan <a href="https://datareportal.com/reports/digital-2023-deep-dive-time-spent-on-social-media">lebih dari 2,5 jam per hari</a> di platform media sosial seperti Instagram, Facebook atau X (Twitter).</p>
<p>Penggunaan media sosial bisa menjadi berlebihan dan menimbulkan masalah jika mengganggu sekolah atau pekerjaan, menyebabkan konflik dalam hubungan, atau <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9052033/">membahayakan kesehatan mental</a>. Meskipun tidak secara resmi diakui sebagai gangguan kesehatan mental, <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0306460321000307?via%3Dihub">beberapa ilmuwan</a> bahkan berpendapat bahwa penggunaan media sosial yang bermasalah adalah sebuah “kecanduan”.</p>
<p>Saat kamu mendapati dirimu mengecek <em>medsos</em> secara berlebihan, kamu mungkin memutuskan sudah waktunya untuk melakukan “diet” atau “detoks” digital–mengurangi penggunaan secara drastis atau bahkan menghindari media sosial sepenuhnya selama beberapa hari. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian baru kami, pendekatan ini tak hanya dapat mengurangi dampak negatif tetapi juga dampak positif media sosial. </p>
<p>Faktanya, kami terkejut melihat betapa sedikitnya partisipan penelitian kami yang merindukan media sosial ketika kami meminta mereka untuk menguranginya.</p>
<p>Dalam <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0293467">studi terbaru</a>, kami meminta peserta melakukan diet media sosial. Sebanyak 51 orang mencoba untuk tidak menggunakan media sosial selama satu minggu. Kami melacak perilaku dan pengalaman mereka melalui survei yang dikirimkan ke ponsel mereka sepanjang hari, dan tugas komputer dalam lingkungan yang terkendali.</p>
<p>Kami menemukan bahwa hanya sebagian kecil peserta yang abstain sepenuhnya. Namun, sebagian besar mampu mengurangi penggunaannya secara signifikan, dari rata-rata tiga hingga empat jam sehari sebelum penelitian, menjadi hanya setengah jam. Bahkan setelah periode pantang, penggunaan media sosial sehari-hari para partisipan masih jauh di bawah tingkat sebelum penelitian.</p>
<h2>Dampak pembatasan penggunaan media sosial</h2>
<p>Namun, berbeda dengan beberapa <a href="https://www.liebertpub.com/doi/10.1089/cyber.2016.0259">studi detoks digital sebelumnya</a>, kami tidak melihat adanya kenaikan tingkat <em>wellbeing</em> atau kesejahteraan peserta kami. Sebaliknya, mereka melaporkan penurunan emosi positif selama periode pantang.</p>
<p>Media sosial memberikan imbalan sosial yang kuat dan terukur melalui tombol suka, berbagi, dan mendapatkan pengikut. Meskipun juga menawarkan hiburan dan kesenangan singkat, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9483697/">penelitian menunjukkan</a> sering kali penghargaan sosial inilah yang mendorong pengecekan media sosial secara kompulsif.</p>
<p>Manusia adalah makhluk sosial–merasa menjadi bagian dari suatu kelompok, diterima, dan menerima pujian adalah <a href="https://psycnet.apa.org/doiLanding?doi=10.1037%2F0033-2909.117.3.497">kebutuhan universal</a>. Media sosial adalah alat yang mudah digunakan dan dapat diakses untuk memenuhi kebutuhan ini kapanpun dan di manapun kita mau, serta menyediakan koneksi yang mungkin tidak ada di dunia kerja jarak jauh.</p>
<p>Namun, imbalan sosial ini dapat dengan cepat berubah menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan. Menerima <em>likes</em> bisa berubah menjadi mengejar <em>likes</em>, dan ada perasaan kecewa jika performa postinganmu lebih buruk dari yang diharapkan. Melihat kehidupan orang lain dapat menimbulkan <em>fomo</em> (takut ketinggalan) atau rasa iri, dan dalam kasus terburuk, pengguna mungkin menjadi korban komentar yang tidak menyenangkan atau penuh kebencian.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/cara-menghilangkan-fomo-dan-mendapatkan-joy-of-missing-out-215687">Cara menghilangkan 'fomo' dan mendapatkan 'joy of missing out'</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Karena itu, kami juga mengamati adanya penurunan emosi negatif ketika partisipan mengurangi penggunaan media sosial. Perasaan sengsara, sedih dan marah mereka berkurang selama penelitian.</p>
<p>Secara keseluruhan, tidak menggunakan media sosial tampaknya menghilangkan emosi positif dan negatif–bagi sebagian orang, dampak keseluruhannya terhadap <em>wellbeing</em> mungkin nol.</p>
<h2>Bisakah kita kecanduan media sosial?</h2>
<p>Temuan yang mungkin paling mencerahkan adalah betapa sedikitnya peserta kami yang merindukan media sosial. Mereka tidak melaporkan adanya peningkatan keinginan, desakan, atau hasrat untuk mengecek akun mereka selama masa penelitian, meskipun waktu penggunaan perangkat mereka berkurang secara drastis.</p>
<p>Tampaknya pembatasan penggunaan media sosial tidak menimbulkan gejala “putus asa” seperti yang sering terlihat ketika menghentikan penggunaan narkoba. Oleh karena itu, kami mengimbau untuk berhati-hati dalam menggunakan istilah seperti “kecanduan” ketika membicarakan penggunaan media sosial.</p>
<p>Pembingkaian penggunaan media sosial dalam istilah kecanduan berisiko menjelek-jelekkan teknologi dan membuat perilaku normal menjadi patologis. Pelabelan pengguna sebagai “pecandu” dapat menimbulkan stigma dan mengabaikan masalah psikologis lain yang mungkin mendasari perilaku penggunaan berlebihan. Dalam pandangan kami, istilah kecanduan seharusnya digunakan untuk menggambarkan suatu penyakit, yang melibatkan perubahan jangka panjang dalam sistem penghargaan otak.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="A smartphone sitting in a small basket on top of a table, in the background a woman is sitting on a chair reading" src="https://images.theconversation.com/files/560466/original/file-20231120-15-x6t0fq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/560466/original/file-20231120-15-x6t0fq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/560466/original/file-20231120-15-x6t0fq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/560466/original/file-20231120-15-x6t0fq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/560466/original/file-20231120-15-x6t0fq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/560466/original/file-20231120-15-x6t0fq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/560466/original/file-20231120-15-x6t0fq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Pertimbangkan untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan media sosial daripada bersikap acuh tak acuh.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/digital-detox-leisure-concept-close-gadgets-2189264169">Syda Productions/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pada akhirnya, media sosial memiliki aspek positif dan negatif, dan mungkin saja bagian negatifnya membuat orang merasa perlu melakukan detoksifikasi.</p>
<p>Mungkin cara berpikir yang lebih baik untuk meningkatkan hubunganmu dengan media sosial serupa dengan caramu berpikir untuk memperbaiki pola makan. Baik makanan maupun media sosial memuaskan hasrat alami–energi dan kontak sosial bagi manusia.</p>
<p>Dalam kedua kasus tersebut, kamu perlu mengetahui batasanmu dan memprioritaskan imbalan sosial yang sehat. Ini mungkin berarti mengubah pandanganmu tentang seberapa terhubung atau disukainya eksistensimu di media sosial, dan berhenti mengikuti akun atau menghapus aplikasi yang membuatmu merasa buruk.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/219016/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Niklas Ihssen menerima dana dari Dewan Penelitian Ekonomi dan Sosial (ESRC) melalui beasiswa NINE-DTP kepada mahasiswa PhD.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Michael Wadsley menerima dana dari Dewan Riset Ekonomi dan Sosial (ESRC).</span></em></p>Penelitian kami menemukan bahwa tidak menggunakan media sosial menyebabkan berkurangnya emosi positif.Niklas Ihssen, Associate professor, Durham UniversityMichael Wadsley, PhD student, Durham UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2184302023-11-27T06:05:27Z2023-11-27T06:05:27ZKewalahan dengan tumpukan pesan di ‘group chat’? Tenang, kamu tidak sendirian<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/561222/original/file-20231108-21-zvban6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=67%2C252%2C5540%2C2900&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/man-using-his-smartphone-Lrfw0U_o9I0">Thom Holmes/Unsplash</a></span></figcaption></figure><p>Bagi kebanyakan kita, obrolan grup adalah bagian dari tekstur kehidupan sosial. Kelompok-kelompok ini, yang dibentuk melalui aplikasi seperti Messenger atau Whatsapp, bisa beranggotakan ratusan atau hanya tiga orang.</p>
<p>Kita <a href="https://dl.acm.org/doi/abs/10.1145/3427228.3427275">menggunakannya untuk</a> mengatur tugas atau acara yang dilakukan sekali jalan, mengelola koordinasi berulang antarkelompok seperti klub olahraga atau tim kerja, dan menjaga silaturahmi dengan <a href="https://jyx.jyu.fi/bitstream/handle/123456789/63509/taipalefarinosi.pdf?sequence=1">keluarga</a> dan teman.</p>
<p>Dalam kasus terbaik, obrolan grup menciptakan ruang penting untuk membangun dan memelihara <a href="https://academic.oup.com/jcmc/article/25/4/274/5866390">hubungan</a>. Mereka bisa menjadi tempat kegembiraan, <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/13548565231153505">solidaritas</a>, dan <a href="https://theoutline.com/post/2315/long-live-the-group-chat">perlindungan</a>. Namun, hal ini juga bisa menjadi beban dan menimbulkan perasaan cemas dan khawatir.</p>
<p>Penelitian saya menemukan tiga masalah terbesar dalam dinamika obrolan grup.</p>
<h2>1. Kamu kewalahan dengan banyaknya pesan</h2>
<p>Volume pesan dan notifikasi yang dihasilkan oleh obrolan grup bisa sangat besar.</p>
<p>Dalam <a href="https://academic.oup.com/jcmc/article/25/4/274/5866390">penelitian saya</a>, seorang peserta teringat bahwa ia tidak sengaja meninggalkan ponselnya di rumah. Ketika kembali, ia mendapati telah melewatkan 200 pesan dalam obrolan grup tentang pembelian hadiah ulang tahun.</p>
<p>Peserta lain menjelaskan bahwa obrolan grup mereka yang paling aktif dimulai pada jam 8 pagi dan tidak berhenti hingga jam 1 pagi.</p>
<p><a href="https://dl.acm.org/doi/abs/10.1145/3427228.3427275">Survei baru-baru ini</a> terhadap masyarakat di Amerika Serikat dan Inggris menunjukkan bahwa ini adalah masalah umum. Sebanyak 40% responden menyatakan bahwa mereka kewalahan dengan pesan obrolan grup berikut pemberitahuannya. Ini belum dihitung <a href="https://www.ic.unicamp.br/%7Eoliveira/doc/MHCI2014_An-in-situ-study-of-mobile-phone-notifications.pdf">notifikasi lain</a> dari <em>email</em>, media sosial, kalender, aplikasi berita, dan sebagainya.</p>
<p>Orang sering kali mengatasi hal ini dengan membisukan obrolan grup. Namun hal ini bisa berarti kehilangan informasi penting atau rencana untuk bertemu, atau harus masuk dan keluar dari obrolan grup untuk memeriksa percakapan yang relevan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/say-what-how-to-improve-virtual-catch-ups-book-groups-and-wine-nights-134655">Say what? How to improve virtual catch-ups, book groups and wine nights</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Orang-orang juga merasakan bahwa kekacauan dalam percakapan obrolan grup sangat membebani. Dalam kelompok besar, beberapa percakapan dapat terjadi secara bersamaan, sehingga sulit untuk melacak apa yang sedang didiskusikan atau direncanakan.</p>
<p>Masalah ini dapat membuat obrolan grup menjadi <a href="https://academic.oup.com/joc/article-abstract/66/5/834/4082414?login=false">tidak efektif</a> untuk menyelesaikan tugas yang telah mereka siapkan. Terutama dalam kelompok kenalan yang besar, perencanaan dapat berubah menjadi kekacauan pendapat, alternatif, dan percakapan sampingan.</p>
<p>Salah satu peserta dalam penelitian saya bercerita bagaimana obrolan grup tentang hadiah ulang tahun dialihkan oleh dua orang yang asyik mengobrol tentang hal lain.</p>
<p>Peserta lainnya menceritakan sebuah obrolan grup beranggotakan 20 orang yang mencoba mengadakan makan malam sederhana tapi malah berujung bencana. Alih-alih menyepakati siapa membawa apa, percakapan malah berubah menjadi perdebatan tentang apakah makanan seadanya adalah ide yang buruk, dengan satu orang bersikeras bahwa katering profesional akan lebih mempertimbangkan kebutuhan makanan.</p>
<h2>2. Kamu tidak ingin berada di sana, tetapi tidak bisa pergi</h2>
<p>Tantangan lain yang mungkin lebih signifikan adalah dinamika sosial yang sulit atau rasa canggung yang mungkin timbul. Kemudahan dalam membuat grup dan menambah anggota berarti seseorang dapat dimasukkan ke dalam grup tanpa persetujuannya.</p>
<p>Dalam <a href="https://academic.oup.com/joc/article-abstract/66/5/834/4082414?login=false">satu contoh</a>, seorang perempuan ditambahkan ke grup untuk mengatur hadiah bersama untuk seorang kolega. Dia lebih suka untuk tidak menyumbang tetapi merasa terlalu canggung untuk meninggalkan grup.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Woman looks at phone" src="https://images.theconversation.com/files/557221/original/file-20231102-19-6e1osw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=19%2C215%2C4341%2C2687&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/557221/original/file-20231102-19-6e1osw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/557221/original/file-20231102-19-6e1osw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/557221/original/file-20231102-19-6e1osw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/557221/original/file-20231102-19-6e1osw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/557221/original/file-20231102-19-6e1osw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/557221/original/file-20231102-19-6e1osw.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Terkadang rasanya seperti kamu sedang mengintai.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/woman-leaning-on-white-wooden-table-while-holding-black-android-smartphone-w3jVXGkYZCw">Kev Costello/Unsplash</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dinamika yang menantang juga dapat muncul ketika hubungan berubah setelah obrolan grup terjalin.</p>
<p>Salah satu peserta bercerita tentang obrolan grup yang dimulai oleh empat teman dekat ketika mereka mulai kuliah. Setahun kemudian, satu orang menjauh dan menjadi lebih diam dalam obrolan grup, meskipun tiga orang lainnya masih menggunakannya untuk mengobrol dan mengatur pertemuan. Peserta saya menganggap dinamika ini sangat canggung. Walhasil, ia menjadi berhati-hati saat memulai obrolan grup.</p>
<p>Peserta lain menggambarkan perasaan terjebak dalam obrolan grup yang ingin mereka tinggalkan. Pemberitahuan blak-blakan “x telah meninggalkan grup” membuat mereka enggan untuk keluar secara resmi tetapi mengabaikan grup juga membuat mereka merasa tidak nyaman.</p>
<p>Tantangan ini banyak berasal dari keanggotaan obrolan grup yang kaku (baik kamu ikut atau tidak) yang tidak selalu selaras dengan kerumitan hubungan kita. Tantangan-tantangan ini juga dapat diperburuk oleh etika sosial yang tidak jelas atau kontroversial seputar lalu lintas pesan grup.</p>
<h2>3. Kamu merasa dikucilkan</h2>
<p>Masalah yang paling sulit muncul ketika proses pengucilan sosial terjadi dalam obrolan grup.</p>
<p><a href="https://academic.oup.com/jcmc/article/25/4/274/5866390">Grup ‘saluran belakang’</a> dapat muncul, di mana beberapa anggota grup membuat grup baru untuk berkomunikasi secara pribadi tentang apa yang terjadi di obrolan utama.</p>
<p>Dalam kasus yang paling dramatis, orang-orang dapat dikeluarkan dari grup karena perbedaan pendapat atau karena seseorang merasa obrolan grup menjadi terlalu besar.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/research-check-is-it-true-only-half-your-friends-actually-like-you-63763">Research Check: is it true only half your friends actually like you?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><a href="https://dl.acm.org/doi/abs/10.1145/3427228.3427275">Penelitian</a> menunjukkan bahwa didepaknya seseorang dari suatu grup jarang terjadi. Sebagian besar terjadi ketika suatu hubungan telah berakhir.</p>
<p>Namun, usaha menebak-nebak apakah kamu dikucilkan dari obrolan grup dapat menimbulkan kecemasan. Ini terutama karena kamu dapat ketinggalan gosip dan video lucu, tapi juga rencana anggota grup untuk bertemu langsung. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Person opens Whatsapp on their smartphone" src="https://images.theconversation.com/files/558217/original/file-20231108-25-umy0hf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/558217/original/file-20231108-25-umy0hf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/558217/original/file-20231108-25-umy0hf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/558217/original/file-20231108-25-umy0hf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/558217/original/file-20231108-25-umy0hf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/558217/original/file-20231108-25-umy0hf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/558217/original/file-20231108-25-umy0hf.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Jarang sekali dikeluarkan dari grup, namun pengguna masih khawatir akan dikucilkan.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/person-holding-black-android-smartphone-ynJaWgrwSlM">Dimitri Karastelev/Unsplash</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Apa yang bisa dilakukan?</h2>
<p>Sebenarnya, hubungan kita satu sama lain bisa jadi sudah aneh, canggung, dan berantakan. Obrolan grup hanya mencerminkan realitas sosial ini, tetapi dengan tambahan kerumitan teknologi.</p>
<p>Secara umum, <a href="https://academic.oup.com/joc/article-abstract/66/5/834/4082414?login=false">penelitian</a> menunjukkan bahwa <em>group chat</em> yang paling disukai orang adalah grup kecil dengan teman dekat.</p>
<p>Jadi, hingga desain aplikasi membaik dan kita bersama-sama menemukan etika untuk momen obrolan grup yang canggung, pilihan terbaikmu adalah:</p>
<ul>
<li><p>gunakan obrolan grup dengan segelintir orang yang saling mengenal, atau yang kamu yakini akan cocok</p></li>
<li><p>temukan cara lain untuk mengatur <em>potluck</em>. Gunakan bentuk organisasi lain untuk acara yang lebih kompleks atau dengan kelompok yang lebih besar (undangan, acara Facebook, atau pesan teks empat mata)</p></li>
<li><p>bisukan obrolan jika kamu kesulitan atau tidak begitu tertarik. Pembisuan notifikasi adalah hal biasa dan semakin diharapkan. Jika obrolan sering digunakan untuk mengatur hal-hal yang tidak ingin kamu lewatkan, beri tahu seseorang di grup agar mereka dapat mengabarimu atau buatlah rutinitas mengecek</p></li>
<li><p>jika kamu merasa aneh dengan dinamika sosial obrolan grup, sampaikan hal tersebut kepada anggota grup yang paling kamu kenal. Kita bisa saja banyak berasumsi tentang perilaku berkirim pesan orang lain, tapi kurangnya isyarat sosial tambahan juga berarti asumsi kita bisa saja salah. Orang itu mungkin tidak menghindarimu-–dia mungkin hanya membisukan obrolannya!</p></li>
</ul><img src="https://counter.theconversation.com/content/218430/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Kate Mannell tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Obrolan grup dapat menjadi tempat kegembiraan, solidaritas, dan perlindungan. Namun hal ini juga dapat menyita waktu dan menimbulkan perasaan cemas dan khawatir.Kate Mannell, Research Fellow in Digital Childhoods, Deakin UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2169952023-11-04T03:03:17Z2023-11-04T03:03:17ZBuah semangka dan maknanya bagi advokasi pembebasan Palestina di media sosial<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/557415/original/file-20231103-23-cttq8y.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=20%2C0%2C3460%2C1999&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Buah semangka kini sedang menjadi simbol perjuangan dan dukungan terhadap Palestina.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-vector/watermelon-palestine-flag-became-symbol-protest-2383123317">Sutan Project/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Media sosial telah memainkan peran penting dalam situasi perang, baik sebagai alat propaganda maupun sebagai alat advokasi pembebasan pihak yang ditindas. Di Indonesia, media sosial belakangan ini dipenuhi advokasi-advokasi yang bertujuan meningkatkan kesadaran akan krisis kemanusiaan di Palestina dan mengutuk agresi pemerintah Israel.</p>
<p>Sejak serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, yang kemudian dibalas Israel dengan apa yang komunitas internasional banyak sebut sebagai “genosida terhadap warga sipil Palestina”, terjadi peningkatan aktivitas media sosial yang signifikan secara global terkait konflik di Gaza. Tagar <a href="https://www.instagram.com/explore/tags/freepalestine/?hl=en">#freepalestine</a> telah digunakan lebih dari 5,2 juta kali di Instagram, sementara tagar <a href="https://www.instagram.com/explore/tags/gazaunderattack/">#gazaunderattack</a> telah diunggah sebanyak hampir 1,7 juta kali.</p>
<p>Kini bentuk lain kampanye pro-Palestina di media sosial adalah dengan <a href="https://ameera.republika.co.id/berita/s3fqaj370/ramai-ilustrasi-semangka-untuk-dukung-palestina-di-media-sosial-apa-maknanya">membagikan berbagai ilustrasi buah semangka</a>, mulai dari foto, karya seni, hingga emoji. Mengapa buah semangka dan apa maknanya dalam perjuangan kemerdekaan Palestina?</p>
<h2>Kampanye semangka</h2>
<p>Warna buah semangka, yang terdiri dari merah (daging buah), hitam (biji), serta putih dan hijau (kulit), disebut merepresentasikan warna bendera dan identitas nasional Palestina. Membagikan foto atau ilustrasi buah semangka dan disertai tagar #freepalestine atau #asliceofhope mencerminkan dukungan terhadap Palestina.</p>
<p>Buah semangka sebenarnya telah lama menjadi <a href="https://time.com/6326312/watermelon-palestinian-symbol-solidarity/">simbol perlawanan rakyat Palestina</a> terhadap Israel.</p>
<p>Kampanye semangka (<em>watermelon resistance</em>) <a href="https://www.cnnindonesia.com/internasional/20231102174635-120-1019307/siapa-yang-pertama-kali-mencuatkan-semangka-jadi-simbol-palestina">muncul pertama kali</a> setelah Perang Enam Hari pada 1967, ketika Israel menguasai Tepi Barat, Jalur Gaza, dan merebut Yerusalem Timur. Saat itu, pemerintah Israel menyatakan pengibaran <a href="https://medium.com/the-crimes-of-israel/1967-israel-bans-the-national-colors-of-palestine-d1141162e374">bendera Palestina di tempat umum sebagai tindakan kriminal</a>. Untuk mengelak dari larangan menggunakan bendera, orang Palestina dan pendukungnya mulai mengadopsi <a href="https://www.aljazeera.com/news/2023/8/31/the-fruits-of-palestine-and-their-symbolism">semangat semangka</a> dan membawa bendera bergambar semangka pada setiap aksinya.</p>
<p>Jika dikaji lagi sejarahnya, semangat perlawanan melalui semangka juga terkait erat dengan <a href="https://visualizingpalestine.medium.com/open-brief-israeli-violations-of-palestinian-food-sovereignty-b331539dcdc9">aspek kedaulatan makanan</a>. Pada masa Intifada pertama (1987-1993), pemerintah Israel <a href="https://www.oaklandinstitute.org/jadui">melarang petani Palestina</a> menanam beberapa jenis bibit tanaman pangan, termasuk varietas asli Palestina dari buah semangka. </p>
<p>Sebagai gantinya, pemerintah Israel <a href="https://www.oaklandinstitute.org/jadui">menanam bibit varietas hibrida</a> dan hampir menyebabkan kepunahan varietas semangka lokal Palestina yang dikenal bernama Jadu'i. Jadi secara singkat, buah semangka juga <a href="https://dunia.tempo.co/amp/1791754/mengenal-arti-semangka-simbol-dukungan-ke-palestina-atas-agresi-israel">merepresentasikan</a> semangat rakyat Palestina dalam mempertahankan hak atas tanah mereka.</p>
<h2>Menghindari moderasi</h2>
<p>Tahun 2021 lalu, pemerintah Israel <a href="https://www.theguardian.com/world/2022/jan/19/israeli-police-evict-palestinian-family-from-sheikh-jarrah-home">mengancam akan mengusir penduduk Palestina di Syeikh Jarrah</a> karena ingin membangun fasilitas umum bagi kaum Yahudi Israel. Kampanye semangka kemudian langsung merebak, baik di <a href="https://time.com/6326312/watermelon-palestinian-symbol-solidarity/">media sosial maupun selama aksi protes massa di jalanan</a>.</p>
<p>Hari ini, kampanye semangka kembali digunakan, lebih sebagai cara pengguna media sosial menghindari sensor dan pembatasan konten.</p>
<p>Pemerintah Israel memang telah lama menjalankan upaya sistemik secara global untuk <a href="https://ifex.org/images/israel/2017/10/26/israel-surveillance-palestinians-alshabaka-7amleh.pdf">membungkam dan menghilangkan jejak digital Palestina</a>. Di bawah propaganda Israel, platform digital menerapkan <a href="https://sada.social/en/article/2027/press-release-developments-in-the-suppression-of-palestinian-digital-content">lebih dari 4.800 tindakan pembatasan</a> terhadap konten mengenai Palestina, termasuk penutupan akun dan <em>shadowbanning</em> (pembatasan distribusi konten) tanpa pemberitahuan dan persetujuan pemilik akun. </p>
<p>Meta, misalnya, mengakui bahwa mereka <a href="https://about.fb.com/news/2023/10/metas-efforts-regarding-israel-hamas-war/">telah menghapus 795.000 konten</a> dalam tiga hari pertama perang di Gaza. Baru-baru ini, pengelola akun Instagram <a href="https://www.instagram.com/p/Cy6R4UIte_T/?igshid=MTc4MmM1YmI2Ng%3D%3D">@eye.on.palestine</a> harus bernegosiasi dengan Meta agar akunnya yang sempat ditutup secara sepihak dapat diaktifkan kembali.</p>
<p>Untuk mengelabui algoritme yang dipakai oleh platform media sosial, pengguna harus menggunakan <a href="https://www.vox.com/technology/23933846/shadowbanning-meta-israel-hamas-war-palestine">Algospeak</a> saat membicarakan Palestina dan Israel. Algospeak adalah cara menciptakan kata-kata baru atau menggunakan kode untuk mengganti kata asli dalam sebuah percakapan atau postingan media sosial, agar tidak dikenali oleh algoritme. Contohnya, kata P4le5+ina, i5r4el, dan G4z@ adalah Algospeak untuk Palestina, Israel, dan Gaza.</p>
<p>Praktik pembatasan secara diam-diam oleh platform media sosial ini telah menjadi ancaman bagi ekspresi pembelaan terhadap Palestina. Banyak pengguna jadi enggan mengambil risiko dan memilih berhati-hati dalam menunjukkan dukungan.</p>
<p>Namun, harapan untuk selamat dari pembatasan sepihak platform media sosial muncul ketika kampanye semangka bergaung kembali di Instagram akhir-akhir ini. Buah semangka–setidaknya hingga saat ini–tidak termasuk dalam daftar kriteria sensor Instagram. Jadi, akun pengunggah gambar semangka dapat terbebas dari risiko pembatasan.</p>
<p>Semangat perlawanan Palestina dalam ilustrasi buah semangka pun lebih mudah diterima karena pesannya yang cenderung damai, ramah, dan universal. Kampanye semangka menguatkan argumen bahwa konflik di Palestina semestinya dilihat melampaui isu agama dan identitas bangsa.</p>
<p>Kampanye ini juga berhasil menarik perhatian lebih banyak pengguna. Jika detik ini kamu mengetik tagar #freepalestine di laman pencarian Instagram, puluhan hingga ratusan konten teratas di hasil pencarianmu mungkin menunjukkan gambar sepotong semangka.</p>
<p>Akan tetapi, sebagaimana aktivisme lainnya yang menggunakan media sosial sebagai kendaraan, kampanye semangka memiliki risiko berakhir menjadi <a href="https://ari.nus.edu.sg/wp-content/uploads/2018/10/InterAsiaRoundtable-2012.pdf"><em>slacktivism</em></a>, alias usaha minimal untuk terlibat dalam sebuah aktivisme <em>online</em>.</p>
<p>Tanpa langkah strategis lainnya, kampanye semangka berpotensi menjadi gerakan advokasi temporer yang hanya akan trending sesaat. Agar gaung kampanye ini berumur panjang, upaya membanjiri platform media sosial
dengan gambar buah semangka perlu diimbangi dengan membagikan informasi edukatif dan akurat mengenai Palestina.</p>
<h2>Agar lebih bermakna</h2>
<p>Sejauh ini, konten audio-visual terkait Palestina di media sosial telah membantu membentuk narasi global tentang situasi di negara itu.</p>
<p>Di TikTok, terdapat gelombang <a href="https://www.semafor.com/article/10/27/2023/tiktok-pro-palestine-anti-israel">dukungan yang besar untuk Palestina</a>. Axios.com, platform berita digital untuk audiens global<a href="https://www.axios.com/2023/10/31/tiktok-views-pro-palestine-posts-israel">mencatat</a>, pada periode 16-23 Oktober 2023, jumlah view konten TikTok yang mendukung Palestina dan Israel relatif seimbang.</p>
<p>Tagar #standwithpalestine tercantum dalam 123.000 postingan dan ditonton sebanyak 11 juta kali. Sementara itu, tagar #standwithisrael digunakan dalam 8.000 konten, dengan jumlah <em>view</em> sebanyak 12 juta. Namun, seminggu setelahnya (23-30 Oktober 2023), jumlah <em>view</em> konten yang menggunakan tagar #standwithpalestine adalah sebanyak 285 juta, hampir empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan postingan bertagar #standwithisrael.</p>
<p>Perubahan arah dukungan ini dapat terjadi salah satunya karena dokumentasi audio-visual yang dibagikan oleh orang-orang yang tinggal di Palestina. Konten Instagram yang diunggah dua WNI di Gaza, <a href="https://www.instagram.com/abumuslim_gaza/?igshid=OGQ5ZDc2ODk2ZA%3D%3D">@abumuslim_gaza</a> dan <a href="https://www.instagram.com/bangonim/?igshid=OGQ5ZDc2ODk2ZA%3D%3D">@bangonim</a>, misalnya, memberikan informasi otentik tentang kehidupan masyarakat Palestina.</p>
<p>Melalui postingan mereka, pengguna Instagram dapat langsung melihat dampak buruk dari tindakan Israel, tanpa dikaburkan oleh pemberitaan media–terutama media Barat–yang bisa sangat bias.</p>
<p>Pendukung kampanye semangka dapat mengiringi konten-konten seperti ini dengan menyebarkan narasi tandingan atas konten pro-Israel atau menyanggah misinformasi tentang Palestina. Dengan demikian, semangat perlawanan dalam sepotong semangka dapat mendorong keterlibatan dan dukungan global yang lebih bermakna terhadap kondisi di Palestina.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/216995/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Pratiwi Utami tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Apa makna dan sejarah penggunaan buah semangka dalam perjuangan dan dukungan untuk Palestina?Pratiwi Utami, PhD in Film, Media, Communications, and Journalism, Monash UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2156872023-10-17T07:13:30Z2023-10-17T07:13:30ZCara menghilangkan ‘fomo’ dan mendapatkan ‘joy of missing out’<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/553849/original/file-20230222-20-56s3gi.png?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C46%2C3112%2C1950&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-vector/young-woman-enjoying-peaceful-landscape-relaxing-1966810876">GoodStudio/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Pernahkah kamu merasakan kegembiraan karena sudah melewatkan undangan pesta, kesempatan baru yang menarik, <em>postingan</em> media sosial terbaru atau tren <em>influencer</em> karena kamu “tidak terhubung”? Jika ya, mungkin kamu pernah mengalami <a href="https://www.bbc.com/worklife/article/20200207-why-you-should-embrace-the-joy-of-missing-out"><em>joy of missing out (jomo)</em></a>, perasaan senang karena ketinggalan.</p>
<p><em>Jomo</em> adalah bentuk kegembiraan yang tidak biasa karena melibatkan perasaan positif yang disebabkan oleh tidak adanya suatu peristiwa atau pengalaman, bukan karena adanya peristiwa positif. Namun, hal itu tidak menjadikannya kurang berharga untuk mendukung <em>wellbeing</em>.</p>
<p>Dalam banyak hal, <em>jomo</em> dapat dianggap sebagai kebalikan dari ‘fomo - <em>fear of missing out</em> atau rasa takut ketinggalan. <em>Fomo</em> melibatkan <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0747563213000800?via%3Dihub">kecemasan dan emosi negatif lainnya</a> karena adanya kekhawatiran bahwa entah bagaimana orang lain bersenang-senang, menjalani hidup yang lebih baik atau memiliki pengalaman yang lebih baik daripada kita.</p>
<p><em>Fomo</em> bukan hanya tentang terobsesi atau kecanduan teknologi dan media sosial. Media sosial hanyalah alat yang dapat memberi makan <em>fomo</em> bagi sebagian orang. <em>Fomo</em> berakar pada kecenderungan bawaan untuk membandingkan diri kita dengan orang lain secara sosial, ketika kita berusaha untuk lebih memahami siapa diri kita dan tempat kita di dunia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/tiga-langkah-mengatasi-iri-di-media-sosial-saran-dari-psikolog-214846">Tiga langkah mengatasi iri di media sosial – saran dari psikolog</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Membandingkan diri kita dengan orang-orang yang terlihat lebih baik dalam hal kualitas, pengalaman, atau kemampuan pribadi, dapat memberikan <a href="https://academic.oup.com/joc/article-abstract/70/5/721/5900861?login=false">harapan dan inspirasi untuk mendorong peningkatan diri</a>. Namun bagi sebagian orang, perbandingan sosial ke atas ini dapat memicu <em>fomo</em> ketika kita menyoroti apa yang kurang dari diri kita dan malah mendorong <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0191886915004079?casa_token=rHTet1DSaKkAAAAA:nl7BJ4KI5JcSeHFDqo_SDLMC7lGmYK4p_ZOiJBbD7GHAhDZwd4ZRx8LORlD_v-JJSHfJgxa_AQ">evaluasi diri yang negatif</a>, yang <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2352250X20300464">berdampak negatif pada <em>wellbeing</em></a>.</p>
<p>Sebaliknya, ketika kita menerima dan puas dengan apa yang kita miliki dan siapa diri kita, kecil kemungkinan untuk membuat perbandingan sosial yang tidak sehat sehingga lebih berpeluang untuk mengalami 'jomo’.</p>
<h2>Menghindari ‘fomo’ dengan mengurangi penggunaan media sosial</h2>
<p>Meskipun sebagian besar penelitian hingga saat ini berfokus pada <em>fomo</em> dan risikonya terhadap kesehatan, bukti-bukti tentang manfaat <em>jomo</em> mulai terkumpul. Dan beberapa dari bukti tersebut muncul secara tidak sengaja. </p>
<p>Pada 4 Oktober 2021, miliaran orang di seluruh dunia “terputus” dari saluran media sosial mereka ketika Meta mengalami kegagalan teknis yang mengakibatkan pemadaman Facebook, Instagram, dan WhatsApp selama enam jam.</p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0747563222002941?via%3Dihub">Para peneliti mensurvei pengguna media sosial</a> selama dua hari berikutnya tentang pengalaman emosional mereka dan menemukan bahwa banyak orang merasa stres karena kehilangan akses ke media sosial mereka. Namun, mereka juga menemukan bahwa bagi sebagian orang, terputusnya akses ke media sosial justru menimbulkan perasaan lega dan bahkan positif, atau dengan kata lain mengalami <em>jomo</em>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="fomo di media sosial" src="https://images.theconversation.com/files/511759/original/file-20230222-20-x10ij.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/511759/original/file-20230222-20-x10ij.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=424&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/511759/original/file-20230222-20-x10ij.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=424&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/511759/original/file-20230222-20-x10ij.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=424&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/511759/original/file-20230222-20-x10ij.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=533&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/511759/original/file-20230222-20-x10ij.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=533&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/511759/original/file-20230222-20-x10ij.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=533&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Kebutuhan untuk membagikan kehidupan kita dan mengikuti semua yang ada di dunia maya bisa membuat stres.</span>
<span class="attribution"><span class="source">GoodStudio/Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p><a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/2056305119881691">Penelitian lain</a> tentang pengalaman orang-orang yang melakukan pemutusan hubungan dengan sengaja dari media sosial menemukan bahwa <em>jomo</em> mencakup perasaan untuk mengambil kembali kendali atas hidup seseorang. Bagi mereka, memutuskan hubungan untuk mengalami <em>jomo</em> adalah pilihan gaya hidup, seperti halnya perawatan diri, atau melakukan kebiasaan sehat lainnya. Orang-orang merasa bahwa mereka hidup dengan lebih penuh kesadaran, menjadi lebih kreatif, dan lebih produktif saat memutuskan hubungan, seperti yang dikatakan oleh salah satu responden:</p>
<blockquote>
<p>Dari rasa takut ketinggalan menjadi merasakan kegembiraan karena ketinggalan. Saya tidak harus ada di mana-mana, tidak harus bersama semua orang, dan tidak harus tahu segalanya. Media sosial terkadang bisa menjebak pikiran karena ingin membandingkan dan meyakinkan saya bahwa saya seharusnya berada di tempat lain selain di sini dan melakukan sesuatu yang lebih baik.</p>
</blockquote>
<h2>Membudidayakan ‘jomo’</h2>
<p>Mencabut diri sepenuhnya mungkin tidak selalu diperlukan untuk mengembangkan <em>jomo</em>. Beberapa peneliti menyarankan bahwa mengadopsi <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/joca.12476">kebiasaan konsumsi media sosial yang lebih bijaksana</a> dapat membantu mengubah <em>fomo</em> menjadi <em>jomo</em>, tanpa harus meninggalkan media sosial sama sekali. Hal ini melibatkan, pertama-tama, kesadaran akan kebiasaan media sosialmu.</p>
<p>Seiring berjalannya waktu, media sosial yang mungkin telah memicu perbandingan sosial yang tidak sehat, pemikiran perfeksionis, dan <em>fomo</em> berkurang secara selektif. Konten media sosial kemudian dilihat dengan kesadaran yang lebih tinggi dan lebih sedikit penilaian dan reaktivitas, yang semuanya mendorong <em>jomo</em>.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Gambar seorang pria yang sedang tidur dengan topi di wajahnya di sebuah taman." src="https://images.theconversation.com/files/511742/original/file-20230222-738-snfr76.png?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C30%2C2873%2C1965&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/511742/original/file-20230222-738-snfr76.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=418&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/511742/original/file-20230222-738-snfr76.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=418&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/511742/original/file-20230222-738-snfr76.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=418&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/511742/original/file-20230222-738-snfr76.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=525&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/511742/original/file-20230222-738-snfr76.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=525&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/511742/original/file-20230222-738-snfr76.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=525&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Melihat nilai dari apa yang kamu miliki dan mengatakan ‘tidak’ pada beberapa hal dapat bermanfaat bagi ‘wellbeing’ kita.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-vector/relaxed-man-sleeping-park-cap-covering-1877819347">GoodStudio/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Ketika kita takut kehilangan kesempatan, kita juga akan lebih sulit untuk mengatakan tidak dan menghabiskan waktu secara berlebihan. Namun waktu, seperti halnya sumber daya yang berharga lainnya, itu terbatas. Ketika orang memaksakan diri untuk tidak mengatakan “tidak” pada ajakan, kesempatan, atau penggunaan media sosial yang berlebihan, <a href="https://www.nature.com/articles/s41562-020-0920-z">kemiskinan waktu</a> yang terjadi dapat mengikis <em>wellbeing</em>.</p>
<p>Prasyarat untuk <em>jomo</em> adalah belajar untuk menghargai waktu kita yang terbatas dan bagaimana waktu tersebut digunakan. Dengan demikian, kita menciptakan kesempatan untuk merasakan kegembiraan saat ini. Kita menghargai apa yang kita miliki, daripada mengkhawatirkan apa yang mungkin kita lewatkan. </p>
<p>Kita juga dapat merasakan sukacita dalam memenuhi komitmen yang berharga bagi kita, yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan meningkatkan kepercayaan diri. Misalnya, menggunakan malam hari untuk membaca buku, mandi, mengikuti kelas bahasa, atau memasak makanan yang enak daripada mengatakan “ya” untuk nongkrong sepulang kerja atau kegiatan sosial lainnya atau menghabiskan waktu untuk bermain media sosial.</p>
<p>Mengembangkan pola pikir yang lebih bersyukur juga dapat menumbuhkan <em>jomo</em>. Mengalihkan fokus pada apa yang kamu miliki daripada apa yang tidak kamu miliki akan membuatmu lebih mudah untuk <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0272735810000450?casa_token=wT1ZrB1EIgYAAAAA:RNZOlR8kxCk7pu7z-Ma_bSRANaFF4HPUnAOT7ZGNzQMp5ajU5-0OnOVs7V5oObfV0Bcjwf4PIA">menghargai hal-hal positif dalam hidup</a>. Hal ini dapat mengurangi <em>fomo</em> dan meningkatkan <em>jomo</em>, karena sebenarnya, apa yang tidak kamu miliki tidak sebanding dengan apa yang sudah kamu miliki.</p>
<hr>
<p><em>Rahma Sekar Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/215687/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Fuschia Sirois tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Cabut Fomo dan bangun Jomo agar hidupmu jadi lebih baik.Fuschia Sirois, Professor in Social & Health Psychology, Durham UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2151002023-10-12T03:47:49Z2023-10-12T03:47:49ZTren ‘bocah kosong’: fenomena daya tarik figur ‘minim talenta’ dan bergesernya selera warganet<p>Di dunia hiburan, kita sering kali menyaksikan banyak figur publik yang cepat naik daun, tetapi <a href="https://www.liputan6.com/hot/read/4416166/dulu-viral-dan-terkenal-6-selebriti-ini-lama-tak-muncul-di-layar-kaca?page=2">kariernya berumur pendek</a>. Banyak faktor yang dapat memengaruhi hal ini. Salah satunya adalah lemahnya kemampuan mereka dalam mengelola <a href="https://www.researchgate.net/publication/356111039_Selebriti_dan_Pemasaran_Digital_Kepentingan_Penglibatan_Selebriti_di_Laman_Media_Sosial_Instagram"><em>engagement</em> dengan penggemarnya</a>. Padahal, bagi publik figur, penting untuk memiliki strategi jitu guna mempertahankan ketenaran dan menjaga <a href="https://media.neliti.com/media/publications/474793-strategi-marketing-melalui-celebrity-end-76dc2172.pdf">daya tariknya</a>.</p>
<p>Saat ini, ada fenomena baru terkait daya tarik figur publik, yaitu naik-daunnya figur yang dikenal dengan julukan <a href="https://www.youtube.com/watch?v=8YIZhRRNY14">“bocah kosong”</a>. Julukan ini merujuk pada mereka dengan ciri lugu, polos, jujur, sesekali menjengkelkan, dan dinarasikan eksis hanya bermodalkan daya tarik fisik semata. Mereka menampilkan citra minim talenta dan pengetahuan, meski kita tak tahu betul kelebihan mereka yang mungkin saja tak terlihat publik.</p>
<p>Ditambah lagi, beberapa dari mereka tidak menunjukkan–bukan berarti tidak memiliki–bakat yang umumnya menjadi <a href="https://entertainment.kompas.com/read/2022/10/19/114328166/pengertian-komedi-ciri-ciri-genre-dan-contohnya">karakteristik komedian</a>, seperti kemampuan akting, menyanyi atau berkomedi.</p>
<p>Julukan bocah kosong mungkin terdengar merendahkan, tetapi faktanya karakteristik semacam ini <a href="https://www.youtube.com/watch?v=lk0lwLGuUfY">tengah disukai</a> oleh banyak penikmat dunia hiburan.</p>
<p>Fenomena ini telah menunjukkan adanya perlawanan terhadap hegemoni dalam dunia hiburan, yang perlahan mengubah pandangan, nilai-nilai, dan preferensi budaya masyarakat. Lebih jauh lagi, ini berkontribusi dalam perubahan sosial dan perilaku masyarakat. </p>
<h2>Siapa itu ‘bocah kosong’?</h2>
<p>Jika kita melihat kembali beberapa dekade terakhir, figur publik di Indonesia, khususnya perempuan, seringkali dikenal dan disorot <a href="https://blamakassar.e-journal.id/mimikri/article/view/246">berdasarkan penampilan fisiknya</a> yang dianggap menarik.</p>
<p>Contohnya adalah <a href="https://www.liputan6.com/showbiz/read/5103534/ayu-ting-ting-buka-rahasia-soal-kulit-wajah-dan-tubuh-glowing-seperti-artis-korea#:%7E:text=Janda%20satu%20anak%20ini%20bahkan%20disebut-sebut%20memiliki%20gaya,rupanya%20melakukan%20treatment%20kecantikan%20menggunakan%20infus%20level%20up.">Ayu Ting-ting</a>, <a href="https://medan.tribunnews.com/2021/07/03/sosok-dan-pesona-kecantikan-wika-salim-yang-bikin-fansnya-gagal-fokus-kerap-berpenampilan-seksi">Wika Salim</a>, <a href="https://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/tak-banyak-yang-tahu-ternyata-rahasia-kecantikan-anya-geraldine-terletak-pada-bibirnya-02a58e.html">Anya Geraldine</a>, <a href="https://www.inews.id/sport/all-sport/profil-biodata-yolla-yuliana-atlet-voli-tercantik-indonesia">Yolla Yuliana</a>, dan masih banyak lagi.</p>
<p>Namun, kini muncul wajah-wajah baru yang menghadirkan karakter yang lebih otentik dengan ciri khas mereka yang ‘kosong’. Contohnya adalah <a href="https://www.hallo.id/entertainment/2810180375/profil-eca-aura-anak-konglomerat-asal-malang-yang-viral-gegara-disebut-gantungan-kunci-surya-insomnia">Eca Aura</a>, <a href="https://www.instagram.com/nitavior/">Nita Vior</a>, dan Chateez. </p>
<p>Eca Aura, yang sebenarnya bernama <a href="https://www.instagram.com/elsaajapasal/?img_index=3">Elsa Japasal</a>, meraih ketenaran awalnya sebagai <em>brand ambassador</em> <a href="https://linktr.ee/aura.esports">Aura <em>E-sports</em></a>. Popularitasnya melonjak setelah menjadi <em>co-host</em> di acara <a href="https://www.youtube.com/@talkpod_net">Talkpod</a> bersama Surya Insomnia dan Indra Jegel. Dalam acara itu, Eca mendapatkan banyak pujian karena spontanitasnya dalam membawakan acara yang dianggap <a href="https://www.idntimes.com/hype/entertainment/erfah-nanda-2/siapa-aura-eca?page=all">lucu dan menggemaskan</a>. Misalnya yang sempat viral adalah celotehannya soal <a href="https://www.youtube.com/watch?v=6fDAlOEYRmw">mau ta'aruf tapi Kristen</a>.</p>
<p>Sementara itu, <a href="https://www.instagram.com/nitavior/">Nita Vior</a> adalah seorang <em>Brand Ambassador</em> dari <a href="https://www.instagram.com/onic.esports/">ONIC <em>E-sports</em></a> yang memiliki <a href="https://www.youtube.com/shorts/zvDA-qjPcX4">karakter kosong sama seperti Eca</a>. Ada juga Chateez yang mulai populer setelah banyak videonya viral di media sosial. Salah satunya adalah video Chateez yang <a href="https://www.youtube.com/shorts/w8ItafBeiqg">dibuat menangis oleh YouTuber Ria Ricis</a>.</p>
<p>Kini, kehadiran mereka bertiga <a href="https://www.youtube.com/shorts/grx8DlJeY9g">selalu dinanti</a> oleh warganet. Misalkan saja dalam <a href="https://www.bing.com/videos/riverview/relatedvideo?q=eca+aura%2c+vior%2c+dan+chateez&mid=118A6D7E4EB8635B8A15118A6D7E4EB8635B8A15">saluran Youtube Target Operasi by Genflix</a> yang menghadirkan mereka dalam satu program yang sama. </p>
<h2>Pergeseran selera</h2>
<p>Perubahan dalam selera warganet bisa dijelaskan menggunakan <a href="https://www.researchgate.net/publication/335715706_Konsumerisme_dan_Hegemoni_Barat_terhadap_Masyarakat_Negara_Berkembang_Perspektif_Antonio_Gramsci">teori hegemoni</a>. Teori ini mengacu pada dominasi budaya oleh kelompok atau entitas tertentu yang mengendalikan norma, nilai, dan ideologi yang berlaku dalam masyarakat.</p>
<p>Dalam konteks perubahan selera pengguna media digital, teori hegemoni memberikan pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana selera dan preferensi dapat berubah seiring waktu. Ini terjadi karena beberapa alasan kunci:</p>
<p><strong>Pertama,</strong> kekuatan <em>platform</em> media sosial yang memainkan peran sentral dalam perubahan selera. </p>
<p>Era media sosial memberi individu dan kelompok lebih banyak kekuatan untuk berpartisipasi dalam pembentukan budaya dan menyebarkan pandangan. Namun, pengaruh kelompok dominan masih sangat kuat dalam memengaruhi tren di media sosial. Kelompok dominan ini termasuk para pemilik media, golongan elite politik, dan publik figur yang mampu mempromosikan nilai-nilai yang ingin mereka dorong, yang pada gilirannya memengaruhi perubahan selera warganet. Kondisi ini seringkali dinamakan bagian dari <a href="https://www.researchgate.net/publication/275408880_Media_Hegemony">hegemoni media</a>.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, konstruksi identitas dan citra berperan penting dalam perubahan selera.</p>
<p>Hegemoni budaya menciptakan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/02691728.2022.2076629">citra ideal</a> yang diinginkan oleh masyarakat. Ketika konstruksi identitas dan citra berubah, seperti pergeseran dari penekanan pada penampilan fisik yang sempurna ke fokus pada karakteristik seperti kesederhanaan dan ketulusan, selera warganet pun ikut berubah. Ini seringkali terjadi melalui perubahan dalam representasi media dan naratif yang didorong oleh kelompok dominan.</p>
<h2>Mengapa bisa terjadi?</h2>
<p>Eca Aura, Nita Vior, dan Chateez adalah contoh manifestasi dari perlawanan terhadap hegemoni dalam dunia hiburan. Dalam kerangka <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/0791603519884201">teori hegemoni</a> yang diperkenalkan oleh Antonio Gramsci, fenomena ini dapat dilihat melalui dua instrumen penting:</p>
<p>Pertama, ada “<a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/08854300.2014.1001559"><em>War of Position</em></a>”, yang dalam pemikiran Gramsci adalah strategi perubahan budaya yang diterapkan secara bertahap dan sistematis melalui berbagai institusi dan norma yang ada dalam masyarakat. Konsep ini mencerminkan usaha perlahan dalam mengubah pandangan, nilai-nilai, dan preferensi budaya yang telah diterima oleh masyarakat.</p>
<p>Dalam konteks perubahan selera dari penekanan pada kecantikan fisik menuju karakteristik “bocah kosong,” strategi ini dapat melibatkan langkah-langkah seperti pembentukan opini publik yang mendukung perubahan tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui pembentukan “koalisi” bocah kosong untuk menyuarakan bahwa era baru dari sebuah eksistensi di dunia hiburan adalah yang lugu dan polos. </p>
<p>Kedua, ada “<a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1163/1569163053946318"><em>War of Movement</em></a>”, yang merupakan strategi yang lebih revolusioner dan mendadak dalam mengubah budaya, norma, dan nilai-nilai dalam masyarakat.</p>
<p>Konsep ini terkait dengan perubahan sosial yang bersifat drastis dan cepat, yang dapat mengguncang <em>status quo</em> dan menghasilkan perubahan besar dalam pandangan dan perilaku masyarakat).</p>
<p>Misalnya, dalam konteks perubahan selera, kondisi ini dapat mencakup penggunaan budaya populer seperti musik, seni, dan tren remaja untuk menciptakan perubahan dalam pandangan masyarakat. Sebagai contoh, mereka konsisten membuat konten di TikTok untuk menegaskan eksistensi mereka dengan kekhasan yang mereka miliki.</p>
<p>Oleh karena itu, kita perlu menjernihkan keraguan kita terhadap figur publik yang mungkin terlihat “kosong”. Memang, ada dampak negatif dari mengidolakan karakter kosong ini, seperti publik yang latah ingin jadi “kosong” juga, sehingga mereka tidak menjadi dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa karakter kosong memiliki tempat hanya pada dunia hiburan dan sebaiknya bukan untuk di dunia nyata yang penuh tuntutan atas <em>skillset</em> tertentu. </p>
<p>Namun dari karakter yang “kosong” tersebut, juga dapat memunculkan hal-hal positif yang tidak selalu harus dinilai dari penampilan fisik semata. Fenomena ini mengajak kita untuk lebih menghargai karakteristik masing-masing individu yang ternyata bisa menghibur juga dari kekurangan mereka, meskipun hanya <em>gimmick</em> semata.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/215100/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Yogie Pranowo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Daya tarik “bocah kosong” menunjukkan adanya perlawanan terhadap hegemoni dalam dunia hiburan. Ini perlahan mengubah pandangan, nilai-nilai, dan preferensi budaya masyarakat.Yogie Pranowo, Adjunct Associate Lecturer, Universitas Multimedia NusantaraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2148462023-10-03T07:01:15Z2023-10-03T07:01:15ZTiga langkah mengatasi iri di media sosial – saran dari psikolog<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/551605/original/file-20230926-25-iilg30.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=72%2C18%2C5934%2C3989&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Iri karena unggahan di media sosial itu normal, tapi bagaimana mengelolanya?
iSOMBOON/Shutterstock</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/concept-blue-light-smartphone-screen-asian-2126164370">iSOMBOON/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Di masa lalu, kita mungkin iri pada tetangga yang membeli mobil baru atau pergi berlibur ke luar negeri. Walaupun rasa iri tersebut valid, perasaan ini sifatnya insidental dan hanya berlangsung sebentar.</p>
<p>Tapi dunia saat ini sangatlah berbeda. Telepon seluler alias ponsel, telah membuat kita membawa ‘mesin pembanding’ bernama media sosial kemana-mana. Munculnya media sosial tidak hanya memberikan banyak manfaat, tetapi juga menimbulkan rasa iri di media sosial ketika penggunanya melihat kehidupan orang lain yang sempurna – meskipun sebenarnya belum tentu sesempurna yang terlihat di permukaan.</p>
<p>Menurut filsuf kuno <a href="https://kairos.technorhetoric.net/stasis/2017/honeycutt/aristotle/rhet2-10.html">Aristoteles</a>, iri hati adalah rasa sakit terhadap nasib baik atau keberuntungan orang lain. Berkat media sosial, definisi yang ditulis lebih dari 2.000 tahun yang lalu ini tampak lebih relevan dari sebelumnya.</p>
<p>Seperti yang mungkin sudah diduga banyak orang, <a href="https://www.liebertpub.com/doi/abs/10.1089/cyber.2009.0257">penelitian telah menunjukkan</a> bahwa pengguna media sosial mengunggah informasi yang diinginkan secara sosial untuk menampilkan citra diri mereka yang lebih baik kepada yang lain. Dan media sosial memungkinkan pengguna untuk secara cermat memilih informasi yang mereka <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0747563208000204?casa_token=0KpBhlsz9_IAAAAA:ZtaCazV0HRMYyFTSNG9YyxLbKnAj_zSu3pgYdgvrDfpJBPqiXb8ZWPXysb1URoCYDOE%203lE7RSUI">bagikan</a>.</p>
<p>Hal ini dapat membuat kita <a href="https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0146167296225009?casa_token=p-nQ8nELbOYAAAAAA:b5rjk5RYz_KnHrqJeO6LoCQ_LGPfsBlzhkNuaHihhgGoZWEh1sjD-FktYjG%20mdCB6o03bIsr__AvGrQ">membandingkan diri dengan orang lain</a>. Kehidupan kita sendiri pada umumnya biasa-biasa saja, namun media sosial dapat membuat kehidupan orang lain terlihat luar biasa. Hal ini dapat membuat kita merasakan respons emosional yang berbeda.</p>
<p>Emosi ini bisa positif atau negatif. Misalnya, rasa iri bisa membawa perbaikan pada diri sendiri. <a href="https://psycnet.apa.org/record/2009-07991-013">Peneliti</a> menemukan bahwa siswa belajar lebih lama dan prestasi akademis mereka meningkat, ketika mereka iri dengan rekan-rekan mereka yang sukses. Hal ini disebut sebagai “<a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/0146167214564959?casa_token=rBad4ScjEAwAAAAA%3AGH4eS1k_7l7FJMCCnxCejnrXNLhuEdCA1SxrtHUwxSOdSJHq_wl4hApu%20CYgeylnNWLeBf-N9TRgf3A"><em>benign envy</em> atau iri hati yang tidak berbahaya (jinak)</a>”.</p>
<p>Namun rasa iri bisa juga menimbulkan emosi negatif. Kita mungkin merasa rendah diri dan mempunyai pikiran negatif terhadap orang yang menurut kita berada dalam posisi yang lebih baik daripada kita. Hal ini disebut sebagai “<a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/0146167214564959?casa_token=rBad4ScjEAwAAAAA%3AGH4eS1k_7l7FJMCCnxCejnrXNLhuEdCA1SxrtHUwxSOdSJHq_wl4hA%20puCYgeylnNWLeBf-N9TRgf3A"><em>malicious envy</em> atau kecemburuan yang jahat (dengki)</a>”.</p>
<p>Karena rasa iri adalah respons alami, penting untuk membiarkan diri kita merasakan emosi tersebut. Trik sebenarnya adalah memastikan kita menghentikan rasa iri berubah menjadi dengki dan memanfaatkan rasa iri yang tidak berbahaya. Tapi bagaimana melakukannya?</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Tangan memegang dan menggulir telepon." src="https://images.theconversation.com/files/550409/original/file-20230926-18-8burvb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/550409/original/file-20230926-18-8burvb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/550409/original/file-20230926-18-8burvb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/550409/original/file-20230926-18-8burvb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/550409/original/file-20230926-18-8burvb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/550409/original/file-20230926-18-8burvb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/550409/original/file-20230926-18-8burvb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Betapa mudahnya ponsel kita menjadi ‘mesin pembanding’ di saku.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/FPt10LXK0cg?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink">Robin Worrall/Unsplash</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>1. Akui bahwa kita iri</h2>
<p>Dengan menerima bahwa kita iri pada seseorang ketika melihat <em>postingan</em> di media sosial, <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/0146167214564959?casa_token=rBad4ScjEAwAAAAA%3AGH4eS1k_7l7FJMCCnxCejnrXNLhuEdCA1S%20xrtHUwxSOdSJHq_wl4hApuCYgeylnNWLeBf%20-N9TRgf3A">kita telah melakukan langkah pertama</a> untuk mengadopsi respons yang lebih sehat. Kita kemudian dapat membuat keputusan untuk menggunakan perasaan ini untuk mendorong perbaikan diri.</p>
<p>Pergeseran perspektif ini dapat membantu kita mendapatkan gaya hidup atau objek yang awalnya membuat kita iri karena termotivasi untuk meraihnya.</p>
<h2>2. Ikuti dan berhenti mengikuti</h2>
<p>Selanjutnya, cobalah mengidentifikasi panutan serta orang-orang yang harus dihindari atau berhenti diikuti. Teladan dapat berupa siapa saja yang mendorong rasa iri hati dan mendorong keinginan untuk menjadi lebih baik. Ini bisa berupa teman, keluarga, atau selebriti.</p>
<p>Mengidentifikasi orang-orang yang membuat kita iri hati juga sama pentingnya. Berhenti mengikuti akun media sosial orang-orang ini mungkin bermanfaat.</p>
<p>Anggap saja seperti ini: kita mungkin meminum minuman tertentu karena minuman tersebut membuat kita merasa bahagia atau bersemangat. Di sisi lain, kita mungkin mendapati beberapa minuman membuat kita mual atau kembung, sehingga kita menghindari minuman tersebut. Hal yang sama juga berlaku untuk penggunaan media sosial.</p>
<p>Jika ada sesuatu yang mendorong kita untuk berkomentar negatif, cobalah mengambil langkah untuk menghindarinya, seperti berhenti mengikuti atau mematikan notifikasi unggahan.</p>
<h2>3. Praktikkan kewajaran</h2>
<p>Seperti di banyak bidang kehidupan, menggunakan media sosial secara wajar adalah kuncinya. Meskipun terkadang kita mengambil inspirasi dari unggahan media sosial, kita juga bisa berharap atas keburukan orang di seberang ponsel. Oleh karena itu, penting untuk mewaspadai kedua jenis rasa iri ini dan menyalurkan energi kita untuk perbaikan diri daripada perasaan negatif atau jahat.</p>
<p>Yochi Cohen-Charash, peneliti emosi di <em>Baruch College</em>, New York, Amerika Serikat, <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1559-1816.2009.00519.x">menyatakan bahwa</a> “target rasa iri akan selalu menjadi seseorang yang sebanding dengan kita.” Jadi ingat, jika kamu merasa iri pada seseorang, kemungkinan besar orang tersebut juga mempunyai situasi yang sama denganmu – baik hal tersebut terpampang di media sosialnya atau tidak.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/214846/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Daniel Walker tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Menerima bahwa kamu iri pada seseorang adalah langkah pertama untuk mengambil respons yang lebih sehat.Daniel Walker, Lecturer in Psychology, University of BradfordLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2142732023-10-03T06:23:10Z2023-10-03T06:23:10Z‘Kidfluencer’ memperkaya keluarga, tapi bagaimana etikanya dan apa dampaknya bagi anak?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/551659/original/file-20231003-27-8yzesl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=10%2C3%2C2385%2C1692&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-vector/mobile-phone-woman-megaphone-on-screen-1575626047">Aleksea/shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Berkembang pesatnya era digital memunculkan berbagai fenomena baru, termasuk di antaranya adalah <a href="https://stayhipp.com/glossary/kidfluencer/"><em>kidfluencer</em></a>. Terminologi ini merujuk pada anak-anak–biasanya <a href="https://www.standard.co.uk/tech/what-is-kidfluencer-biggest-kid-influencers-instagram-b1022017.html">di bawah usia 16 tahun</a>–yang menjadi <em>influencer</em> di media sosial. Mereka tampil di konten menarik seperti foto, video, atau cerita seputar kehidupan sehari-hari mereka–mulai dari bermain, makan, berpakaian, hingga aktivitas yang sesuai dengan usia mereka.</p>
<p>Selayaknya <a href="https://dailysocial.id/post/influencer-adalah"><em>influencer</em> dewasa</a>, anak-anak ini pun terlibat <a href="https://www.standard.co.uk/tech/what-is-kidfluencer-biggest-kid-influencers-instagram-b1022017.html">mempromosikan berbagai merek dan produk perusahaan</a> lewat unggahan mereka atau unggahan akun atas nama mereka yang dikelola oleh orang tua/walinya. Sebagai imbalannya, <em>kidfluencer</em> bisa mendapatkan bayaran, <a href="https://dikom.fisipol.ugm.ac.id/endorsement-di-kalangan-influencer-media-sosial"><em>endorsement</em> atau barang-barang gratis</a>, terlibat dalam kampanye iklan, dan bahkan mendapatkan penghasilan dari penjualan produk yang mereka promosikan. </p>
<p><a href="https://www.frontiersin.org/research-topics/9295/the-role-of-social-media-influencers-in-the-lives-of-children-and-adolescents">Media sosial</a> membuka peluang untuk membuat video rumahan menjadi ladang bisnis yang sangat menguntungkan. Menyaksikan tingkah laku lucu dan wajah imut anak-anak <em>bersliweran</em> di media sosial pun menyenangkan hati pengguna.</p>
<p>Namun, hadirnya <em>kidfluencer</em> sepatutnya memunculkan pertanyaan serius tentang peran orang tua dalam <a href="https://tirto.id/influencer-cilik-sekadar-hobi-atau-eksploitasi-anak-dlDW">melindungi hak anak-anak</a> dari <a href="https://nu.or.id/nasional/kidfluencer-dan-komersialisasi-anak-di-media-sosial-berdampak-negatif-fBPpD">dampak aktifnya mereka</a> di dalam ruang komersial baru ini.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/makin-banyak-anak-muda-di-seluruh-dunia-memilih-berkarir-jadi-influencer-jangan-lupa-ada-sisi-kelam-dari-ekonomi-dunia-konten-190772">Makin banyak anak muda di seluruh dunia memilih berkarir jadi '_influencer_': jangan lupa ada sisi kelam dari ekonomi dunia konten</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kaburnya batas <em>kidfluencer</em> dengan eksploitasi anak</h2>
<p>Di masa kini, <em>influencer</em> masuk sebagai <a href="https://www.forbes.com/sites/petersuciu/2020/02/14/is-being-a-social-media-influencer-a-real-career/?sh=2ea94652195d">kategori profesi</a> dan banyak <a href="https://theconversation.com/makin-banyak-anak-muda-di-seluruh-dunia-memilih-berkarir-jadi-influencer-jangan-lupa-ada-sisi-kelam-dari-ekonomi-dunia-konten-190772">diidam-idamkan kawula muda</a>. Pada 2021, pasar <em>influencer</em> global diperkirakan <a href="https://www.statista.com/statistics/1092819/global-influencer-market-size/">bernilai US$13,8 miliar</a> (sekitar Rp206 triliun).</p>
<p>Namun, bagaimana etika menjadikan anak sebagai <em>influencer</em>?</p>
<p><a href="https://www.culawreview.org/journal/is-kidfluencing-child-labor-how-the-youngest-influencers-remain-legally-unprotected">Sebuah studi</a> di Amerika Serikat (AS) menuliskan dengan adanya monetisasi media sosial dan penghasilan dari sponsor, <em>kidfluencer</em> terhitung sebagai anak yang bekerja di bidang hiburan. </p>
<p>Berdasarkan <a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/v2/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003">UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan</a>, batas usia minimal tenaga kerja di Indonesia adalah 18 tahun. Mereka yang mempekerjakan anak di bawah usia ini dapat dikenai sanksi.</p>
<p>Seperti dilansir dari <a href="https://nasional.kompas.com/read/2022/03/20/04000051/hukum-mempekerjakan-anak-di-bawah-umur">Kompas.com</a>, ada beberapa pengecualian yang memungkinkan anak di bawah umur menghasilkan uang. Ini termasuk pekerjaan ringan bagi anak usia 13-15 tahun, pekerjaan untuk mendukung kurikulum, atau pekerjaan yang mendukung minat dan bakat anak.</p>
<p>Akan tetapi, pengecualian ini pun memiliki aturan mainnya sendiri. Pekerjaan-pekerjaan di atas, misalnya, tidak boleh mengganggu pendidikan dan tumbuh kembang fisik dan mental anak, hanya boleh dilakukan maksimal tiga jam sehari, dan betul-betul sesuai dengan kemampuan anak. Yang terpenting, undang-undang mengharuskan semua aktivitas tersebut betul-betul di bawah pengawasan ketat orang tua.</p>
<p>Masalah muncul ketika <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/15274764211052882">terbuka ruang yang lebar atas tindakan eksploitasi anak</a> dan banyak dari kita malah asyik menikmatinya sehingga tanpa sadar kita menjadi bagian dari masalah di balik fenomena <em>kidfluencer</em> ini.</p>
<p>Sementara, <a href="https://www.hukumonline.com/klinik/a/risiko-hukum-bagi-orang-tua-anak-selebgram-lt5a9fa8f0c4f64/">Hukumonline</a> berpendapat bahwa karena dasar pekerjaan yang diterima anak berasal dari kontrak perjanjian atau kontrak kerja sama, mereka tidak tunduk terhadap aturan ketenagakerjaan. Ini karena menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mereka yang berusia di bawah 21 tahun atau belum menikah dianggap belum dewasa dan cakap untuk menyepakati perjanjian, hak ini sepenuhnya berada di tangan orang tua.</p>
<p>Namun, <a href="https://www.hukumonline.com/klinik/a/risiko-hukum-bagi-orang-tua-anak-selebgram-lt5a9fa8f0c4f64/">Hukumonline</a> membuat catatan yang merujuk pada UU Hak Asasi Manusia dan UU Perlindungan Anak yang menggarisbawahi pentingnya anak memiliki waktu luang untuk bermain dengan teman sebaya dan mengembangkan diri serta dilindungi dari eksploitasi ekonomi.</p>
<p>Pada akhirnya, orang tua menjadi tokoh kunci apakah beban dan lingkungan ‘kerja’ <em>kidfluencer</em> ini benar-benar aman dan bebas dari eksploitasi. Orang tua memiliki hak untuk <a href="https://www.kompas.id/baca/opini/2022/08/25/otonomi-bagi-anak">membuat keputusan otonom</a> dalam mendidik anak, sehingga produksi konten media sosial yang melibatkan anak-anak dianggap hal yang biasa. </p>
<p>Namun, apa yang terjadi dalam rumah tangga seseorang bisa saja luput dari mata hukum. Beragam kasus <a href="https://www.youthkiawaaz.com/2023/09/innocence-vs-influence-ethical-considerations-in-the-kidfluencer-era/">eksploitasi <em>kidfluencer</em></a> banyak ditemui belakangan, termasuk kasus penyiksaan anak yang dilakukan <em>parenting vlogger</em> asal AS, <a href="https://www.eonline.com/news/1384896/influencer-ruby-franke-officially-charged-with-6-counts-of-felony-child-abuse">Ruby Franke</a>, yang ramai baru-baru ini.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/memaklumi-kejahatan-bagaimana-budaya-pembiaran-di-media-sosial-menormalisasi-tindakan-buruk-individu-214078">Memaklumi kejahatan: bagaimana budaya pembiaran di media sosial menormalisasi tindakan buruk individu</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Dampak monetisasi anak di media sosial</h2>
<p>Kaburnya perlindungan dan penegakan hukum serta tereksposnya anak-anak ini ke hadapan publik tentunya membawa dampak tersendiri.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, ada <a href="https://www.humanium.org/en/kidfluencers-and-social-media-the-evolution-of-child-exploitation-in-the-digital-age/#:%7E:text=Loss%20of%20privacy%2C%20child%20labour%2C%20child%20exploitation%20and,nature%20of%20the%20social%20media%20space%20%28Masterson%2C%202020%29.">isu privasi</a>. Anak-anak yang menjadi <em>kidfluencer</em> seringkali membagikan sebagian besar aspek kehidupan pribadi mereka di media sosial, mulai dari rutinitas hingga kisah tentang keluarga mereka. Ini sangat berisiko bagi privasi anak-anak dan membuka peluang potensi penyalahgunaan informasi pribadi.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, masalah <a href="https://www.researchgate.net/publication/350896875_The_Growing_%27Kidfluence%27_on_Parents%27_Buying_Behavior_The_Era_of_Young_Consumers">konsumerisme</a>. <em>Kidfluencer</em> seringkali aktif dalam mempromosikan produk dan merek kepada audiens muda mereka. Dampaknya adalah anak-anak dapat terpengaruh oleh promosi ini, yang mungkin mendorong mereka ke arah konsumsi yang tidak sehat sejak usia dini. Selain itu, pemahaman mereka yang terbatas tentang perbedaan antara konten promosi dan konten yang jujur dapat menciptakan ketidakjelasan dalam hal moral dan etika.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, terkait dengan <a href="https://www.eysy.digital/post/kidfluencers-the-positives-and-negatives">pendidikan anak</a>. Anak-anak yang menjadi <em>kidfluencer</em> mungkin melewatkan pengalaman belajar penting di sekolah atau dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka mungkin merasa tertekan oleh tuntutan untuk terus menciptakan konten yang menarik, sehingga mengorbankan waktu untuk pendidikan formal dan interaksi sosial yang sehat.</p>
<p><strong>Keempat</strong>, <a href="https://www.thenationalnews.com/lifestyle/family/the-rise-of-the-kidfluencer-how-online-fame-impacts-children-s-mental-health-1.940531">tumbuh kembang anak</a>. Terpapar media sosial secara intens dapat memengaruhi kesehatan mental anak-anak. Mereka mungkin merasa tertekan untuk mempertahankan citra yang sempurna di media sosial, dan ini dapat mengganggu perkembangan identitas mereka.</p>
<h2>Peran orang tua</h2>
<p>Bagi orang tua yang ingin anaknya menjadi <em>influencer</em>, penting untuk mempertimbangkan dengan saksama saran berikut ini. </p>
<p><strong>Pertama</strong>, sangat penting untuk memastikan bahwa pendidikan formal anak tetap menjadi prioritas utama. Orangtua dapat membantu dengan mengatur jadwal belajar yang teratur, memberikan bantuan saat dibutuhkan, dan berkomunikasi secara terbuka dengan guru atau staf sekolah untuk memantau kemajuan akademis anak. Dengan menjaga pendidikan formal sebagai fondasi, anak akan memiliki dasar yang kuat untuk masa depan mereka, baik sebagai <em>influencer</em> maupun dalam berbagai karier lain yang mungkin mereka pilih.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, orang tua harus terlibat aktif dalam aktivitas daring anak mereka. Orangtua juga perlu memastikan bahwa interaksi anak di jagat maya terjadi dalam lingkungan yang aman. Selain itu, menjaga aktivitas daring anak merupakan tugas penting, seperti membantu mereka memahami pentingnya mengatur pengaturan privasi pada akun media sosial mereka dan berbicara tentang informasi pribadi yang tidak boleh dibagikan. Dengan keterlibatan yang tepat, anak dapat menjalani aktivitas sosial media dengan lebih aman dan bertanggung jawab.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, orangtua seharusnya tidak hanya mendukung anak dalam bermedia sosial tetapi juga mengajarkan nilai-nilai positif, etika, dan tanggung jawab dalam penggunaan media sosial. Mereka harus membimbing anak untuk memahami dampak positif dan negatif dari platform tersebut. </p>
<p><strong>Keempat</strong>, orangtua juga harus menjadi contoh yang baik dalam penggunaan media sosial. Ingatlah bahwa anak-anak cenderung meniru perilaku orangtua mereka, jadi penting untuk menunjukkan penggunaan media sosial yang sehat dan etis. </p>
<p><strong>Kelima</strong>, jika anak mendapat tawaran untuk bermitra dengan merek atau perusahaan, sangat penting bagi orangtua untuk memeriksa kesepakatan tersebut secara menyeluruh. Pastikan bahwa kesepakatan tersebut sejalan dengan nilai-nilai keluarga dan tidak mengorbankan keamanan serta kesejahteraan anak. </p>
<p>Menjadi <em>kidfluencer</em> pada akhirnya bukanlah perkara mendatangkan keuntungan semata. Orang tua perlu untuk melihat nilai yang ada di balik menekuni aktivitas ini bagi anak. Dengan dukungan yang tepat, anak-anak dapat menjalani perjalanan sebagai <em>kidfluencer</em> dengan tanggung jawab dan keseimbangan yang sehat tanpa harus mengorbankan hidupnya sebagai pribadi yang masih haus akan kehidupan sosial.</p>
<p>Orang tua memiliki kekuatan untuk menghasilkan uang dari partisipasi anak-anak mereka dalam aktivitas komersial ini. Namun, bersama dengan kekuatan tersebut, juga ada tanggung jawab untuk memastikan perlindungan hak asasi mereka.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/214273/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Novia Utami tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Influencer cilik memang bikin gemas, tapi potensi eksploitasi anak dan dampaknya membuat cemas.Novia Utami, Lecturer in Finance, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2140782023-09-22T09:13:17Z2023-09-22T09:13:17ZMemaklumi kejahatan: bagaimana budaya pembiaran di media sosial menormalisasi tindakan buruk individu<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/549513/original/file-20230921-27-i76vp1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C8%2C5991%2C3979&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ilustrasi 'cyber bullying'</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/cyberbullying-social-media-harassment-concept-asian-1940576449">myboys.me/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Selebriti Nikita Mirzani, yang sering mengundang kontroversi publik di media sosial, diduga melakukan <a href="https://katadata.co.id/agung/berita/62e8f01c48344/doxing-adalah-penyebaran-data-pribadi-tanpa-izin-ini-penjelasannya">doksing</a> terhadap mantan suaminya, Antonio Dedola, dengan <a href="https://www.suara.com/lifestyle/2023/05/03/104000/nikita-mirzani-ngamuk-hingga-bocorkan-foto-rumah-antonio-dedola-termasuk-doxing-gak-sih">mempublikasi</a> rumah kediaman orang tua Antonio di media sosial.</p>
<p>Doksing merupakan suatu tindakan menyebarkan informasi pribadi orang lain tanpa izin yang dapat berakibat buruk. Contohnya adalah membuat korban <a href="https://tirto.id/mengenal-doxing-di-media-sosial-bahaya-dan-cara-mencegahnya-f5lm">menjadi malu, menerima diskriminasi, hingga terancam <em>cyberstalking</em></a>.</p>
<p>Sayangnya, narasi yang beredar di jagat maya justru cenderung memaklumi tindakan Nikita. Dalihnya: “artis kan emang gitu kelakukannya”.</p>
<p>Kasus di atas hanya salah satu contoh pemakluman publik terhadap tindakan tidak benar yang acap kita jumpai di media sosial. Contohnya, <a href="https://www.kompas.com/tren/read/2022/03/21/190000365/7-artis-kasus-narkoba-dari-ardhito-pramono-fico-hingga-roby-satria">penggunaan narkoba</a> yang dimaklumi karena seorang selebriti mengalami depresi atas ketenarannya. </p>
<p>Ada juga <a href="https://nasional.okezone.com/read/2022/01/28/337/2539532/4-kasus-pencemaran-nama-baik-yang-bikin-heboh-publik#:%7E:text=Berikut%20adalah%20beberapa%20kasus%20pencemaran%20nama%20baik%20paling,Pluit%2C%20Jakarta%20Utara.%20...%202%202.%20Vicky%20Prasetyo">pencemaran nama baik</a> kadang diamini karena korban dianggap pantas dihina. <a href="https://www.idntimes.com/hype/entertainment/stephanie-risyana-2/artis-indonesia-yang-diterpa-isu-selingkuh-di-2023-ini">Kasus lainnya adalah perselingkuhan</a> oleh laki-laki yang dipandang wajar. Sebaliknya, publik malah menyalahkan pasangan yang diselingkuhi.</p>
<p>Ini semua menunjukkan bagaimana media sosial dapat menjelma menjadi panggung bagi <a href="https://law.adelaide.edu.au/ua/media/584/ch10-alr-35-2-burdon.pdf">“budaya pembiaran” (<em>ommission culture</em>)</a> terhadap kekerasan simbolik. Budaya pembiaran mengacu pada bagaimana kita melihat suatu kejahatan atau kesalahan sebagai sesuatu yang banal atau biasa sekali.</p>
<p>Budaya semacam ini terjadi akibat besar dan kuatnya pengaruh narasi-narasi di media sosial dalam <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0040162522004632">membentuk opini publik.</a> Warganet kemudian menjadi ikut-ikutan menghakimi maupun membiarkan terjadinya penghakiman terhadap individu tertentu.</p>
<p>Budaya pembiaran yang diacuhkan dapat berdampak buruk, seperti memengaruhi psikologi individu. Budaya ini juga berisiko melanggengkan tindakan-tindakan kriminal, seperti korupsi, penggunaan narkoba, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).</p>
<h2>Apa itu budaya pembiaran?</h2>
<p>Filsuf politik berpengaruh asal Jerman, Hannah Arendt, mengutarakan konsep pembiaran melalui analisis kasus <a href="https://time.com/5377670/operation-finale-adolf-eichmann-trial/">penjahat perang Nazi</a>, Adolf Eichmann. Dia digambarkan sebagai seorang perwira militer yang sangat patuh kepada atasan dan negara.</p>
<p>Menurut Arendt, Eichmann tidak menyadari bahwa tindakannya berdampak buruk. Padahal, ia telah terbukti melakukan kejahatan terhadap kaum Yahudi, kejahatan melawan kemanusiaan, dan kejahatan perang selama masa pemerintahan Nazi, terutama selama Perang Dunia II. </p>
<p><a href="https://www.researchgate.net/publication/337074539_Kejahatan_yang_Banal_dan_Kekerasan_oleh_Negara_Refleksi_Hannah_Arendt_atas_Pengadilan_Adolf_Eichmann_di_Yerusalem">Kejahatan yang banal</a> dalam konteks ini dapat dipahami sebagai budaya pembiaran. Budaya ini dapat diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam menggunakan akal sehat untuk memahami perintah, hukum, atau kewajiban yang ada.</p>
<p>Budaya pembiaran ini juga dapat “menjerat” individu untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya berdampak buruk, tapi mereka anggap wajar. Contohnya adalah para <em>influencer</em> yang kerap mencari keuntungan materi dengan menjadikan anaknya sebagai <a href="https://ejournal.uinsatu.ac.id/index.php/martabat/article/view/6319"><em>kidfluencer</em></a>. </p>
<p>Di Hollywood, ada keluarga Kardashian yang memiliki <a href="https://wolipop.detik.com/entertainment-news/d-3977074/usia-5-hari-anak-khloe-kardashian-punya-instagram-dengan-171000-follower">akun instagram</a> khusus bagi anak-anak mereka–padahal masih di bawah umur. </p>
<p>Di Indonesia, keluarga selebriti Baim Wong dan Paula Verhoeven membuat akun Instagram untuk anak-anak mereka. Keduanya membagikan <a href="https://www.instagram.com/kianotigerwong/">foto-foto</a> anak-anaknya yang masih berusia di bawah 5 tahun. Secara tidak langsung, aksi mereka membuka peluang agar sang anak bisa ‘menarik’ <em>endorsement</em> dan memberikan tambahan pemasukan.</p>
<p>Mereka sebagai orang tua memang punya hak penuh untuk melakukannya terhadap anak-anak mereka. Namun, perlu diingat, <a href="https://ejournal.balitbangham.go.id/index.php/dejure/article/view/2344/pdf_1">penelitian</a> menunjukkan upaya menjadikan anak sebagai <em>kidfluencer</em>, dalam arti tertentu, cenderung dekat dengan tindakan eksploitasi anak. </p>
<p>Sayangnya, banyak warganet yang menganggap itu hal biasa saja. Padahal pembiaran ini bisa berujung pada terjadinya kekerasan simbolik yang bisa merugikan orang lain maupun kelompok.</p>
<h2>Pembiaran terhadap kekerasan simbolik</h2>
<p>Kekerasan simbolik adalah pemaksaan suatu <a href="https://www.researchgate.net/publication/326139355_Pierre_Bourdieu_Menyikap_Kuasa_Simbol">makna, logika, dan keyakinan</a>–yang secara halus dan samar mengandung bias–oleh satu pihak kepada pihak lainnya. Kadang kala tujuannya untuk <a href="https://kumparan.com/asep-abdurrohman/kekerasan-simbolik-di-era-digital-1vwhTqYglQW/full">mendapatkan pengakuan</a>.</p>
<p><a href="https://www.jstor.org/stable/202060">Kekerasan simbolik</a> sulit dikenali, karena berlangsung secara “tersembunyi” di balik keyakinan seseorang atau kelompok tertentu bahwa “seharusnya memang demikian”. </p>
<p>Kekerasan simbolik terjadi melalui simbol-simbol dalam bentuk bahasa, biasanya di media, yang dapat memengaruhi cara bekerja, berpikir, dan bertindak seseorang.</p>
<p>Media sosial telah menjadi ruang untuk menyebarkan kekerasan simbolik. Pasalnya, interaksi orang-orang di media sosial berlangsung melalui <a href="https://www.authorea.com/users/455629/articles/566877-bourdieu-s-language-and-symbolic-power">kontrol atas bahasa</a> dan simbol-simbol komunikasi. </p>
<p>Contohnya adalah <em>flexing</em> (pamer kekayaan di media sosial). Memang, setiap individu berhak mengunggah gaya hidup mereka–bahkan yang mewah dan secara terus-menerus. Tindakan ini menjadi kekerasan simbolik ketika dapat memengaruhi orang lain bahwa barang mewah tersebut layak dimiliki, demi pengakuan sosial, padahal sebenarnya tidak perlu.</p>
<p>Individu lain yang tidak mampu mengikuti gaya hidup mewah bisa terpengaruh lalu memaksakan diri dengan cara-cara yang di luar batas, seperti mencuri atau korupsi.</p>
<p><a href="http://journal2.um.ac.id/index.php/jsph/article/view/2461/1482">Riset</a> menemukan bahwa kekerasan simbolik sangat memengaruhi individu secara psikologis.</p>
<p>Contohnya, ketika ada remaja yang terlibat dalam video asusila, kemudian warganet menyebarkan video itu dan melakukan perundungan (<em>bullying</em>) terhadap remaja tersebut. Dalam kasus ini, warganet menjadi pihak yang mendominasi dan <a href="https://books.google.co.id/books?id=0nBaDwAAQBAJ&printsec=copyright#v=onepage&q&f=false">memanipulasi wacana</a>. Ini termasuk kekerasan simbolik.</p>
<p>Kekerasan ini kemudian membuat warganet lainnya membiarkan adanya penyebaran konten asusila dan tindakan perundungan karena menganggap keduanya sebagai sanksi sosial bagi si remaja. Inilah contoh kultur pembiaran terhadap kekerasan simbolik. Penyebaran video–yang merupakan pelanggaran privasi–dan perundungan akan berdampak traumatis bagi remaja tersebut.</p>
<p>Dengan adanya budaya pembiaran, kekerasan-kekerasan simbolik semacam ini akan terus langgeng.</p>
<h2>Bagaimana mengatasinya?</h2>
<p><strong>Pertama</strong>, pendidikan dan kesadaran publik tentang konsekuensi kekerasan simbolik sangatlah penting.</p>
<p>Masyarakat perlu memahami bahwa kata-kata dan tindakan dalam dunia digital dapat berdampak signifikan pada individu ataupun kelompok di dunia nyata. Kampanye pendidikan yang komprehensif tentang etika publik di era digital dan bahaya kekerasan simbolik rasanya dapat membantu mengubah persepsi masyarakat secara perlahan.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, platform media sosial juga harus bertanggung jawab atas konten yang mereka tampilkan, misalnya dengan menerapkan kebijakan yang lebih ketat terhadap konten berbahaya. Mereka dapat menindak tegas pengguna yang melanggar aturan. </p>
<p>Perlu juga untuk meninjau kembali algoritma yang mungkin secara tidak sengaja malah mendorong penyebaran konten yang destruktif. Kolaborasi yang lebih erat diperlukan antara platform media sosial, pemerintah, dan pihak lainnya. </p>
<p>Dalam upaya mengatasi budaya pembiaran ini, perlu ada komitmen bersama untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat dan lebih menghormati semua individu. Ini adalah tugas yang harus diemban oleh semua pihak, baik pengguna media sosial, penyedia platform, pemerintah, maupun masyarakat sipil.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/214078/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Yogie Pranowo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kultur pembiaran terjadi akibat besarnya pengaruh media sosial dalam membentuk opini publik. Ini dapat berdampak buruk pada psikologi individu dan melanggengkan tindakan-tindakan kriminal.Yogie Pranowo, Adjunct Associate Lecturer Studi Humaniora, Universitas Multimedia NusantaraLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2128022023-09-16T01:57:46Z2023-09-16T01:57:46ZGaduh tapi acuh? Bagaimana meramaikan aktivisme digital berkualitas untuk mendorong perubahan sosial<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/548212/original/file-20230914-27-qk0xrb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=14%2C7%2C2382%2C1688&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ilustrasi aksi protes daring di media sosial.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-vector/online-protest-design-vector-illustration-flat-2235141113">Vectors Bang/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Perkembangan internet dan sistem teknologi informasi berkembang cepat seiring dengan ketergantungan manusia terhadapnya. Di Indonesia saja, ada sekitar <a href="https://apjii.or.id/berita/d/apjii-di-indonesia-digital-outloook-2022_857">201 juta warganet</a> alias <em>netizen</em> yang aktif menggunakan internet. Ini menjadikan Indonesia negara dengan pengguna internet terbanyak keenam di dunia.</p>
<p>Dengan jumlah pengguna internet sebanyak itu, Indonesia berpotensi menjadi ladang subur <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/1369118X.2012.670661">aktivisme digital</a>–aktivisme melalui teknologi digital di dunia maya untuk mempromosikan gerakan sosial. Apalagi saat ini masyarakat Indonesia tengah berhadapan dengan <a href="https://www.thejakartapost.com/indonesia/2022/03/21/activists-face-danger-amid-shrinking-civic-space.html">penyempitan ruang sipil</a>, yang ditandai dengan gencarnya represi fisik dan digital, serta pencaplokan lembaga-lembaga kunci dalam demokrasi <a href="https://pshk.or.id/blog-id/menyempitnya-ruang-sipil/">oleh aktor-aktor yang memegang kekuasaan</a>.</p>
<p>Sayangnya, mayoritas aktivitas digital yang dilakukan warganet masih seputar <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/07/29/masyarakat-ri-paling-banyak-gunakan-internet-untuk-berkomunikasi">keperluan berkomunikasi saja</a>. Padahal, dengan penggunaan internet yang masif, kita bisa mendorong munculnya banyak aktivisme digital yang dapat mendorong perubahan-perubahan sosial. Contohnya seperti gerakan <a href="https://blacklivesmatter.com/">#Blacklivesmatter</a> di Amerika Serikat (AS) dan gerakan mendorong <a href="https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/pengesahan-ruu-tpks">Pengesahaan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)</a> di Indonesia.</p>
<p>Oleh karena itu, penting bagi berbagai pihak, baik pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil, untuk tidak hanya memfasilitasi peningkatan aktivitas digital para warganet secara kuantitas, tapi juga kualitas. Tujuannya agar kegiatan digital pengguna internet di Indonesia bisa sekaligus berkontribusi dalam menghadirkan keadilan sosial. </p>
<p>Setidaknya terdapat empat cara yang kami tawarkan untuk memperluas dan meningkatkan kualitas aktivisme digital warganet di Indonesia.</p>
<h2>1. Memperluas pemahaman mengenai aktivisme digital</h2>
<p>Aktivisme sering dipandang sebagai kegiatan “luar biasa” yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu, karena yang diperjuangkan biasanya isu yang berat dan berisiko tinggi. Contohnya adalah penolakan terhadap rancangan undang-undang (RUU) tertentu melalui demonstrasi di jalanan.</p>
<p>Ini membuat banyak individu, komunitas, dan organisasi masyarakat sipil <a href="https://www.forbes.com/sites/civicnation/2019/03/21/anyone-can-be-an-activist/?sh=4cfdc1f079c4">memisahkan</a> aktivitas rutin mereka dari label “aktivisme”.</p>
<p>Padahal, banyak aktivitas yang tanpa kita sadari merupakan bentuk aktivisme. Contohnya ketika petani memilih menggunakan benih lokal organik daripada produk rekayasa genetika yang lebih murah demi mempertahankan kualitas tanah dan kemandirian petani. </p>
<p>Contoh lainnya adalah ketika guru memilih mengajar melalui permainan, bukan buku teks, demi mendorong pemikiran kritis muridnya. Bisa juga melalui penulisan laporan investigatif oleh seorang jurnalis, bukan sekadar tulisan pengumpan klik atau <em>clickbait</em>, demi membongkar eksploitasi. Itu semua adalah aktivisme karena berkonstribusi secara aktif dalam mendorong keadilan sosial.</p>
<p>Dengan hadirnya teknologi digital, termasuk tersedianya gawai pribadi, aktivisme seharusnya menjadi lebih dekat dan semakin mudah dilakukan oleh semua orang dalam kehidupannya sehari-hari, bahkan tanpa perlu turun ke jalan.</p>
<p>Hanya saja, masyarakat harus menyadari bahwa apa yang mereka lakukan di dunia maya pun bisa berdampak besar bagi kebijakan negara.</p>
<p>Cara-cara menarik dukungan seperti melalui tagar media sosial atau petisi <em>online</em> merupakan contoh gerakan aktivisme yang bisa menarik ribuan hingga jutaan pendukung dalam waktu yang relatif singkat serta bisa menjangkau kalangan yang lebih luas.</p>
<p>Dalam hal ini, kelompok masyarakat sipil bisa berkontribusi membangun kesadaran publik, terutama kaum muda, untuk bisa lebih banyak menggunakan media sosial mereka untuk mendorong kegiatan-kegiatan aktivisme yang bermanfaat bagi masyarakat luas.</p>
<h2>2. Meningkatkan intensitas dan kualitas</h2>
<p><a href="https://www.tifafoundation.id/artikel/siaran-pers-memperluas-aktivisme-digital-untuk-hadapi-penyempitan-ruang-sipil-di-indonesia-2/">Survei</a> tahun 2022 menunjukkan bahwa meskipun jumlah aktivisme digital di Indonesia meningkat pesat dalam lima tahun terakhir (2016-2021), yakni dari 114 menjadi 1.548 kampanye aktivisme digital, jenis dan variasi metodenya masih cukup terbatas.</p>
<p>Aktivisme digital yang banyak dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil sekaligus paling banyak disukai publik, adalah berbagi informasi dan tips, protes daring, dan webinar. </p>
<p>Contoh protes daring yang cukup efektif menggerakkan massa di antaranya adalah melalui tagar #SahkanRUUPKS (kampanye mendorong pengesahan RUU TPKS dan penghapusan kekerasan seksual), #BaliTolakReklamasi (kampanye menolak reklamasi Teluk Benoa di Bali), dan #PapuanLivesMatter (aksi menolak diskriminasi dan mendorong pemenuhan hak-hak orang asli Papua).</p>
<p>Sementara itu, aktivisme lain seperti penggalangan petisi daring, mobilisasi aksi luring, penggalangan dana, serta perekrutan anggota masih belum banyak dan belum terlalu diminati.</p>
<p>Dengan kata lain, aktivisme digital di Indonesia masih didominasi oleh kegiatan yang sekadar menyuarakan aspirasi dan membagikan informasi, bukan yang mengajak terlibat langsung dalam memperjuangkan keadilan sosial.</p>
<p>Maka dari itu, penting untuk dapat meningkatkan intensitas aktivisme digital warga dengan kegiatan yang lebih beragam dan terstruktur agar bisa lebih menghasilkan dampak yang pasti.</p>
<h2>3. Menjaga keamanan pribadi dan organisasi di ruang siber</h2>
<p>Sebagaimana saat melakukan kegiatan di ruang luring, di ruang daring pun penting bagi publik untuk memahami aneka potensi ancaman dan risiko, sehingga kita dapat mengarahkan pergerakan aktivisme kita dengan tepat.</p>
<p>Dalam konteks Indonesia saat ini, setidaknya terdapat empat faktor risiko yang perlu diperhatikan supaya kita dapat dengan aman bergerak di ruang daring maupun luring.</p>
<p>Pertama, sebisa mungkin hindari kemungkinan warganet terhindar dari jerat pidana Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).</p>
<p>Merujuk pada laporan <a href="https://safenet.or.id/id/2021/03/revisi-uu-ite-total-sebagai-solusi/">SAFEnet</a>, pada 2013-2021 saja, ada 393 orang yang telah dituntut secara hukum berdasarkan UU ITE. Pada 2022, jumlahnya bertambah sebanyak 97 tuntutan. Banyak sekali terlapor yang memiliki latar belakang sebagai kelompok kritis, aktivis, mahasiswa, dan jurnalis. Sementara itu, pelapor umumnya berasal dari kalangan pejabat publik dan juga korporasi.</p>
<p>Kedua, penting bagi aktivis untuk menyusun strategi kampanye dan advokasi yang sensitif terhadap perlindungan data pribadi. Misalnya, menghindari penyebaran identitas pribadi sasaran yang dituju.</p>
<p>Ketiga, kita harus pahami ada beberapa gangguan teknis yang sangat mungkin kita alami, seperti lambatnya akses internet (<em>internet throttling</em>), sensor terhadap konten yang memuat kata/isu kunci pergerakan, dan pemutusan total akses internet pada wilayah geografis tertentu.</p>
<p>Terakhir, sangat mungkin kita akan menghadapi ancaman-ancaman siber lain seperti <em>doxxing</em> (menyebarkan informasi pribadi seseorang dengan tujuan menjatuhkan orang tersebut), <em>phishing</em> (penipuan daring untuk mendapatkan informasi data individu) dan <em>cyber espionage</em> (serangan siber terhadap pemerintah atau entitas bisnis). Dalam menanggulangi hal-hal tersebut, kita harus lebih awas dalam memperlakukan aset-aset digital dan informasi kita.</p>
<p>Selain pengamanan secara teknis, kami juga melihat pentingnya pengamanan secara sosiologis. Ini terkait bagaimana individu dan organisasi dapat membangun jejaring yang dapat saling mendukung ketika terdapat ancaman siber seperti hilangnya akses data atau jalur komunikasi utama. </p>
<h2>4. Pelembagaan aktivisme</h2>
<p>Perubahan sosial bukanlah sesuatu yang dapat dicapai dengan mudah dan cepat. Seiring berjalannya waktu, gerakan atau aktivisme yang tidak dikelola secara mumpuni berisiko kehabisan dana, ditinggalkan para penggeraknya, mengalami kelelahan, dilumpuhkan oleh lawan, hingga kehilangan simpati dari masyarakat.</p>
<p>Guna mengantisipasi risiko-risiko tersebut, pelembagaan atau institusionalisasi memegang peranan kunci. Pelembagaan ini bukan hal yang mudah dilakukan, apalagi di tengah kegiatan-kegiatan riset, kampanye, dan advokasi, yang biasanya sudah sangat menyita perhatian dan sumber daya kita.</p>
<p>Proses pelembagaan sendiri bisa dimulai dari, misalnya, pemetaan tujuan, prinsip, dan kebutuhan, penyusunan panduan aktivisme digital, pengembangan kapasitas individu dalam organisasi, serta pengembangan jejaring dan kolaborasi antarindividu dan institusi. </p>
<p>Aktivisme digital bukanlah potret statis individu, komunitas, ataupun organisasi masyarakat sipil dalam mengupayakan keadilan sosial melalui perantaraan teknologi digital. Ini adalah sesuatu yang dinamis, yang mencerminkan perjalanan, atau bahkan petualangan, yang tiada henti.</p>
<p>Keberagaman tingkatan aktivisme digital adalah sumber kekuatan bergerak. Oleh karena itu, kolaborasi antarindividu dan komunitas menjadi penting untuk senantiasa didorong dalam rangka menciptakan aktivisme yang bermakna dan berdampak bagi semua.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/212802/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Aktivisme digital di Indonesia meningkat secara kuantitas, namun masih lemah secara kualitas. Publik harus didorong melakukan aktivisme digital yang bisa membawa perubahan sosial.Treviliana Eka Putri, Lecturer at Department of International Relations, Researcher at Center for Digital Society, Universitas Gadjah Mada Diah Kusumaningrum, Lecturer and researcher at Department of International Relations, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2125432023-08-31T03:59:38Z2023-08-31T03:59:38Z‘Screen time’ akibatkan anak kurang tidur, padahal tidur penting bagi kesehatan mental anak<p>Dengan dimulainya tahun ajaran baru, muncullah perjuangan yang tak terhindarkan untuk mengembalikan anak-anak ke rutinitas tidur yang sehat. Dalam banyak kasus, hal ini mungkin berarti mengatur ulang batasan penggunaan layar, terutama di malam hari. Namun menerapkan dan menegakkan aturan-aturan tersebut lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.</p>
<p>Semakin banyak penelitian yang menemukan <a href="https://doi.org/10.1016/j.smrv.2020.101414">hubungan yang kuat antara tidur, kesehatan mental, dan waktu menatap layar</a> pada remaja dan pra-remaja di sekitar usia 10 hingga 12 tahun. Di tengah <a href="https://www.cdc.gov/mmwr/volumes/72/wr/mm7219a1.htm">krisis kesehatan mental yang belum pernah terjadi sebelumnya</a> di mana <a href="https://www.cdc.gov/healthyyouth/mental-health/index.htm">42% remaja</a> di Amerika Serikat (AS) menderita masalah kesehatan mental, remaja juga <a href="https://theconversation.com/school-start-times-and-screen-time-late-in-the-evening-exacerbate-sleep-deprivation-in-us-teenagers-179178">terlalu sedikit tidur</a>.</p>
<p>Dan ini adalah lingkaran setan: baik kurang tidur maupun peningkatan aktivitas konsumsi media sosial dan video game sebelum tidur dapat memperburuk atau bahkan memicu kecemasan dan depresi yang memerlukan intervensi.</p>
<p>Saya adalah dokter utama di pusat tidur di Rumah Sakit Anak Seattle, AS, tempat saya <a href="https://www.seattlechildrens.org/directory/maida-lynn-chen/">mempelajari berbagai gangguan tidur anak</a>. Tim dokter dan penyedia layanan kami secara rutin mengamati langsung dampak negatif dari penggunaan layar yang berlebihan, khususnya media sosial, yang keduanya tidak hanya memengaruhi tidur, tetapi juga <a href="https://doi.org/10.1016/%20C2017-0-04667-0">kesehatan fisik dan mental</a> pasien kami.</p>
<h2>Hubungan antara kesehatan mental dan kualitas tidur yang buruk</h2>
<p>Penelitian telah lama menunjukkan hubungan yang jelas antara kesehatan mental dan tidur: kurang tidur dapat menyebabkan buruknya kesehatan mental dan sebaliknya. Orang dengan <a href="https://doi.org/10.1016%2Fj.chc.2020.09.003">depresi dan kecemasan umumnya mengalami</a> <a href="https://www.nhlbi.nih.gov/health/insomnia">insomnia</a>, suatu kondisi di mana orang mengalami kesulitan untuk tertidur atau tetap tertidur, atau keduanya, atau mendapatkan tidur yang menyegarkan. Kurang tidur yang terus-menerus ini semakin memperburuk depresi dan kecemasan yang menyebabkan insomnia.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/YTVBs7ec1qY?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Kesehatan, pertumbuhan, dan stabilitas emosi remaja terkait dengan kualitas dan kuantitas tidur.</span></figcaption>
</figure>
<p>Terlebih lagi, insomnia dan kualitas tidur yang buruk juga dapat <a href="https://doi.org/10.1016%2Fj.chc.2020.09.003">menumpulkan manfaat terapi dan pengobatan</a>. Yang terburuk, kurang tidur kronis meningkatkan risiko bunuh diri. Sebuah studi menemukan bahwa <a href="https://doi.org/10.1007/s10964-014-0170-3">kurang tidur satu jam saja</a> selama seminggu dapat dikaitkan dengan “peluang yang jauh lebih besar untuk merasa putus asa, serius mempertimbangkan bunuh diri, upaya bunuh diri dan penggunaan narkoba.”</p>
<p>Dan apa yang dilakukan kaum muda ketika terbaring di tempat tidur dalam keadaan terjaga, frustrasi dan tidak bisa tidur? Kamu dapat menebaknya dengan mudah, <a href="https://doi.org/10.1016/j.envint.2018.11.069">mereka menggunakan perangkat pintarnya</a>.</p>
<p>Penelitian terhadap lebih dari 120.000 remaja di seluruh dunia, yang berusia 6 hingga 18 tahun dan menggunakan media sosial apapun, telah berulang kali menunjukkan <a href="https://doi.org/10.1001%2Fjamapediatrics.2016.2341">memburuknya kualitas dan penurunan kuantitas tidur</a>.</p>
<h2>Kuatnya daya tarik layar dan media sosial</h2>
<p>Meskipun media sosial memiliki beberapa manfaat, saya yakin penelitian memperjelas bahwa terdapat <a href="https://doi.org/10.1503%2Fcmaj.190434">lebih banyak kerugian dalam konsumsi media sosial</a> dibandingkan keuntungannya.</p>
<p>Pertama, menelusuri media sosial mengharuskan kita tetap terjaga, dan karenanya, menggantikan tidur.</p>
<p>Kedua, <a href="https://doi.org/10.1111/bjop.12351">cahaya yang dipancarkan dari sebagian besar perangkat genggam</a>, bahkan dengan filter malam, filter cahaya biru, atau keduanya, sudah cukup untuk menurunkan <a href="https://www.hopkinsmedicine.org/health/wellness-and-prevention/melatonin-for-sleep-does-it-work">kadar melatonin </a>, hormon utama yang menandakan permulaan tidur.</p>
<p>Ketika pelepasan melatonin terhambat karena menatap perangkat yang menyala menjelang waktu tidur, <a href="https://doi.org/10.1073%2Fpnas.1418490112">tertidur menjadi lebih sulit</a>. Bagi sebagian orang, suplemen melatonin dapat membantu mendorong tidur. Namun, suplemen tidak dapat mengatasi kekuatan konten dan cahaya internet yang sangat merangsang.</p>
<p>Yang ketiga, dan mungkin yang paling bermasalah, adalah konten yang dikonsumsi oleh generasi muda. Mengambil gambaran cepat seperti yang ditemukan di TikTok atau video game <a href="https://doi.org/10.1111/j.1365-2869.2012.01060.x">sebelum waktu tidur mengganggu</a> karena otak dan tubuh sangat terstimulasi oleh paparan ini, dan memerlukan waktu untuk kembali ke keadaan yang kondusif untuk tidur.</p>
<figure>
<iframe width="440" height="260" src="https://www.youtube.com/embed/qWb5ggc_-rs?wmode=transparent&start=0" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
<figcaption><span class="caption">Remaja sering kali menjadi ‘orang yang suka tidur malam’, sehingga menambah kurang tidur.</span></figcaption>
</figure>
<p>Tapi ini bukan hanya kecepatan gambar yang berlalu begitu saja. Konten media dapat mengganggu tidur bahkan ketika bermimpi. Pernahkah kalian tertidur saat menonton film <em>thriller</em> atau horor yang mengganggu dan melihat adegan dari film tersebut <a href="https://www.courierpostonline.com/story/life/2019/02/06/perchance-dream-how-binge-watching-social-media-affect-your-dreams-sleep/2796568002/#">masuk ke mimpi</a>? Dan bukan hanya mimpi yang terpengaruh – otak juga <a href="https://doi.org/10.5935%2F1984-0063.20180046">mungkin tidak dapat mempertahankan tidur nyenyak</a> karena masih memproses gambar-gambar yang bergerak cepat tersebut. Gangguan pada tidur bisa sangat mengganggu kualitas dan kuantitas tidur secara keseluruhan.</p>
<p>Yang terburuk, media sosial dapat berkontribusi terhadap <em>fear of missing out</em> (FOMO) – singkatan dari rasa takut ketinggalan. Hal ini dapat terjadi ketika seorang remaja terjerat oleh <em>influencer</em> atau panutan melalui <em>feed</em>, <em>reel</em>, dan <em>story</em>, yang semuanya dibuat untuk mencerminkan kesempurnaan yang tidak realistis.</p>
<p>Selain itu, penelitian telah menemukan hubungan yang jelas antara <a href="https://theconversation.com/mounting-research-documents-the-harmful-effects-of-social-media-use-on-mental-health-including-body-image-and-development-of-eating-disorders-206170">konsumsi media sosial dan citra tubuh yang buruk</a> pada anak-anak dan remaja, serta secara keseluruhan <a href="https://doi.org/10.1016%20/j.smrv.2020.101414">kesehatan mental yang lebih buruk dan masalah tidur yang memburuk</a>.</p>
<p>Masalah-masalah ini cukup meresahkan sehingga pada bulan Mei 2023, <a href="https://www.hhs.gov/about/news/2023/05/23/surgeon-general-issues-new-advisory-about%20-effects-social-media-use-has-youth-mental-health.html">ahli bedah umum mengeluarkan pernyataan</a> <a href="https://www.nytimes.com/2023/05/23/health/surgeon-general%20-social-media-mental-health.html">peringatan bahaya media sosial</a> dan mendorong pengasuh, guru, dan pembuat kebijakan untuk bekerja sama menciptakan lingkungan <em>online</em> yang lebih aman.</p>
<h2>Keadaan kurang tidur kronis</h2>
<p>Menjadikan <a href="https://theconversation.com/how-much-sleep-do-you-really-need-156819">tidur sebagai prioritas utama</a> adalah landasan kesehatan mental dan kesehatan secara keseluruhan, dan juga merupakan kunci untuk tetap waspada dan penuh perhatian selama hari sekolah.</p>
<p>Berbagai <a href="https://publications.aap.org/aapnews/news/6630/AAP-endorses-new-recommendations-on-sleep-times">tenaga medis profesional</a> dan <a href="https://www.thensf.org/how-many-hours-of-sleep-do-you-really-need/">organisasi ilmiah</a> merekomendasikan agar remaja tidur delapan hingga 10 jam per malam. Namun hanya 1 dari 5 siswa sekolah menengah yang <a href="https://edition.cnn.com/2022/06/07/health/teen-sleep-deprivation-wellness/index.html">mendekati angka tersebut</a>.</p>
<p>Beberapa di antaranya disebabkan oleh <a href="https://theconversation.com/school-start-times-and-screen-time-late-in-the-evening-exacerbate-sleep-deprivation-in-us-%20remaja-179178">waktu mulai sekolah</a> yang tidak sejalan dengan ritme alami kebanyakan remaja, sehingga mereka tidak tertidur cukup awal di hari kerja.</p>
<p>Remaja yang kurang tidur <a href="https://doi.org/10.1016/j.pcl.2011.03.002">mungkin mengalami kinerja akademis yang lemah</a>, kurangnya keterampilan berorganisasi, dan pengambilan keputusan yang biasa-biasa saja. Remaja belum memiliki <em>lobus frontal</em>, bagian otak yang mengontrol impuls dan penilaian, yang terbentuk sempurna. Kurang tidur <a href="https://doi.org/10.1016/j.dcn.2018.03.012">semakin memperburuk keadaan tersebut</a>. Hal ini, pada gilirannya, dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang buruk terkait <a href="https://doi.org/10.1111%2Facer.12618">penggunaan narkoba dan alkohol</a>, <a href="https://www.cdc.gov/%20mmwr/volumes/67/wr/mm6703a1.htm">mengemudi di bawah pengaruh alkohol</a>, <a href="https://doi.org/10.1037%2Fhea0000753">pergaulan bebas</a>, perkelahian atau <a href="https://doi.org/10.1111/%20josh.12044">penggunaan senjata</a>, dan banyak lagi. Perilaku ini bisa dimulai <a href="https://doi.org/10.1093/sleep/zsw004">di sekolah menengah</a>, atau bahkan lebih awal.</p>
<p>Selain itu, kurang tidur berhubungan langsung dengan <a href="https://doi.org/10.1161%2FCIRCULATIONAHA.108.766410">tekanan darah tinggi</a>, <a href="https://www.sleepfoundation.org/sleep-deprivation/how%20-sleep-deprivation-affects-your-heart">serangan jantung</a> dan <a href="https://www.sleepfoundation.org/physical-health/lack-of-sleep-and-diabetes">perkembangan diabetes</a> di masa dewasa. Kurang tidur yang cukup juga dikaitkan dengan <a href="https://doi.org/10.2147%2FAHMT.S219594">obesitas pada masa kanak-kanak dan remaja</a>. Kenaikan berat badan yang tidak diinginkan terjadi karena kurang tidur melalui serangkaian mekanisme yang kompleks, termasuk <a href="https://www.sleepfoundation.org/physical-health/obesity-and-sleep">pergeseran metabolisme</a>, <a href="https://doi.org/10.1186%2Fs12966-016-0428-0">gaya hidup yang lebih tidak aktif, dan pilihan pola makan yang buruk</a></p>
<h2>Apa yang bisa dilakukan?</h2>
<p>Jadi apa yang bisa dilakukan untuk menjauhkan remaja dari layar? Menjaga tujuan tetap realistis adalah kuncinya, dan terkadang ada baiknya untuk memulai dengan fokus pada satu tujuan.</p>
<p>Orang tua perlu memprioritaskan tidur untuk seluruh anggota rumah tangga dan mencontohkan kebiasaan waktu menatap layar yang baik. Pengasuh terlalu sering <a href="https://www.pewresearch.org/internet/2018/08/22/how-teens-and-parents-navigate-screen-time-and-device-distractions/">mengirimkan pesan yang tidak konsisten</a> terkait penggunaan waktu layar, karena kebiasaan buruk mereka sendiri.</p>
<p>Pada akhirnya, orang tua dan pengasuh perlu mengenali tanda-tanda peringatan <a href="https://parentingscience.com/signs-of-sleep-deprivation/">kurang tidur</a> dan <a href="https://www.stanfordchildrens.org/%20en/topic/default?id=overview-of-mood-disorders-in-children-and-adolescents-90-P01634">suasana hati progresif</a> dan <a href="https://www.aacap.org/AACAP/Families_and_Youth/Resource_Centers/%20Anxiety_Disorder_Resource_Center/Your_Adolescent_Anxiety_and_Avoidant_Disorders.aspx">gangguan kecemasan</a>. Carilah bantuan profesional untuk gangguan tidur, masalah kesehatan mental, atau keduanya, ingatlah bahwa menemukan <a href="https://theconversation.com/as-the-mental-health-crisis-in-children-and%20-remaja-memperparah-kekurangan-penyedia-kesehatan-mental-mencegah-kaum%20muda-mendapatkan-bantuan-yang-mereka-butuhkan-207476">ahli kesehatan mental memerlukan waktu</a>.</p>
<p>Terkait media digital, <em>American Academy of Pediatrics</em> merekomendasikan untuk menghindari layar <a href="https://publications.aap.org/pediatrics/article/138/5/e20162592/60321/Media-Use-in-School-Aged-Children-and-Adolescents">setidaknya satu jam sebelum tidur</a> dan tidak tidur dengan perangkat di kamar tidur.</p>
<p>Untuk anak-anak yang lebih besar yang mempunyai pekerjaan rumah yang harus dikerjakan secara <em>online</em>, menghindari penggunaan layar sebelum tidur bisa terasa hampir mustahil. Terlebih lagi, aturan ini cenderung mengarah pada <a href="https://www.parents.com/parenting/better-parenting/teenagers/teen-talk/how-strict-parents-can-actually-make-their-teens-more-rebellious/">penggunaan perangkat elektronik secara terselubung</a>.</p>
<p>Jadi jika satu jam sebelum tidur terasa terlalu ketat, mulailah dengan menghindari layar selama 15 atau 30 menit sebelum tidur. Atau jika beberapa media diperlukan sebagai kompromi, cobalah menonton sesuatu yang pasif, seperti TV, daripada menggunakan aplikasi media sosial seperti <em>Snapchat</em>.</p>
<p>Ingatlah bahwa tidak semuanya harus dilakukan sekaligus – perubahan bertahap dapat membawa perbedaan besar seiring berjalannya waktu.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/212543/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Maida Lynn Chen tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Paparan layar sebelum tidur dapat menyebabkan kurang tidur kronis, yang meningkatkan risiko kecemasan, depresi, dan bahkan pikiran untuk bunuh diri.Maida Lynn Chen, Professor of Pediatrics, School of Medicine, University of WashingtonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2121202023-08-24T06:24:00Z2023-08-24T06:24:00ZBelajar dari Kanada: kaum muda membutuhkan lebih banyak dukungan untuk mengatasi bahaya seksual ‘online’<iframe style="width: 100%; height: 100px; border: none; position: relative; z-index: 1;" allowtransparency="" allow="clipboard-read; clipboard-write" src="https://narrations.ad-auris.com/widget/the-conversation-canada/young-people-need-more-support-coping-with-online-sexual-harms" width="100%" height="400"></iframe>
<p>Teknologi digital dan internet telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari bagi banyak anak muda di Kanada dan seluruh dunia. Meskipun peningkatan jumlah hubungan yang terbentuk membawa banyak manfaat, hal ini juga dapat membuka peluang bahaya dan penyalahgunaan <em>online</em> bagi generasi muda. Karena itu, penting untuk memberikan dukungan yang berarti guna melindungi mereka dari kekerasan seksual.</p>
<p>Pada tahun 2020, organisasi kemanusiaan <em>Plan International</em> <a href="https://www.planinternational.nl/uploaded/2020/09/SOTWGR2020-CommsReport-EN.pdf?x10967">melakukan survei terhadap lebih dari 14.000 anak perempuan dan perempuan</a> berusia 15-25 di 22 negara, termasuk Kanada. Lima puluh delapan persen peserta melaporkan mengalami beberapa bentuk pelecehan online secara pribadi, termasuk pelecehan seksual.</p>
<p>Orang-orang yang mengalami masalah ini melaporkan <a href="https://www.cigionline.org/publications/supporting-safer-digital-spaces/">dampak buruk yang signifikan</a> terhadap kesejahteraan mereka, termasuk <a href="https://webfoundation.org/2020/11/the-impact-of-online-gender-based-violence-on-women-in-public-life/">harga diri rendah, peningkatan kecemasan, stres</a> dan bahkan <a href="http://www.bwss.org/wp-content/uploads/2014/05/CyberVAWReportJessicaWest.pdf">usaha menyakiti diri sendiri</a>.</p>
<p>Selanjutnya, penelitian menunjukkan bahwa tingkat pelecehan seksual meningkat drastis di antara orang-orang dengan satu atau beberapa identitas terpinggirkan seperti ras, <a href="https://www.cigionline.org/static/documents/SaferInternet_Special_Report.pdf">orientasi seksual</a> atau keterbatasan fisik.</p>
<p>Kaum muda yang <a href="https://mediasmarts.ca/sites/default/files/2023-07/report_ycwwiv_trends_recommendations.pdf">mengalami diskriminasi semacam ini</a> dapat menghadapi risiko masalah kesehatan mental signifikan yang lebih tinggi.</p>
<p>Meskipun dampak buruknya sangat parah, sebagian besar pendidikan, dukungan sosial, dan undang-undang di Kanada tidak memberikan alat dan perlindungan yang diinginkan dan dibutuhkan generasi muda.</p>
<p>Orang tua, guru, perusahaan teknologi, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah sedang berjuang mencari cara untuk mendukung generasi muda dalam kasus-kasus ini. Jadi, di mana letak kesalahan kita?</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/540262/original/file-20230731-104526-v5p4rm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="A young woman looks at a phone with an upset look." src="https://images.theconversation.com/files/540262/original/file-20230731-104526-v5p4rm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/540262/original/file-20230731-104526-v5p4rm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/540262/original/file-20230731-104526-v5p4rm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/540262/original/file-20230731-104526-v5p4rm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/540262/original/file-20230731-104526-v5p4rm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/540262/original/file-20230731-104526-v5p4rm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/540262/original/file-20230731-104526-v5p4rm.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pelecehan dan kekerasan <em>online</em> dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental dan harga diri remaja.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Kita perlu menggunakan kata-kata yang tepat</h2>
<p><a href="https://1332d589-88d9-46fd-b342-d3eba2ef6889.usrfiles.com/ugd/1332d5_0b255967851a48c580f8a3c23e786399.pdf">Penelitian kami menunjukkan</a> bahwa istilah seperti <em>cyberbullying</em> atau perundungan siber tidak lagi mencakup dampak buruk yang dialami generasi muda di dunia digital. Penggunaan istilah ini dapat meremehkan keseriusan masalah karena lebih memunculkan gagasan tentang ejekan di halaman sekolah dan bukan bentuk kekerasan seksual yang lebih serius yang dapat dialami remaja.</p>
<p>Bentuk kekerasan seksual digital ini dapat mencakup <a href="https://doi.org/10.1007/978-3-030-83734-1_31">menerima gambar eksplisit yang tidak diminta</a>, pelecehan seksual, pemerasan seksual yang eksploitatif, dan distribusi gambar intim tanpa persetujuan. Banyak dari perilaku ini berada di luar apa yang rata-rata orang bayangkan ketika mereka memikirkan <em>cyberbullying</em>. Sehingga, diperlukan terminologi baru yang secara akurat menggambarkan apa yang dialami remaja.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/be-careful-with-photos-talk-about-sex-how-to-protect-your-kids-from-online-sexual-abuse-139971">Be careful with photos, talk about sex: how to protect your kids from online sexual abuse</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sebagai sekelompok ilmuwan yang mempelajari tantangan unik dalam menjalani hubungan dan pengalaman seksual secara <em>online</em>, kami mengadopsi istilah “kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi” untuk menggambarkan dampak buruk seksual yang dialami remaja di ruang digital.</p>
<p>Situs web kami menawarkan <a href="https://www.diydigitalsafety.ca/resources">pusat sumber daya</a> untuk membantu mendukung generasi muda dan mengatasi kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi.</p>
<p>Melalui proyek penelitian lima tahun yang kami lakukan, <a href="https://www.diydigitalsafety.ca/"><em>Digitally Informed Youth (DIY) Digital Safety</em></a>, kami akan berinteraksi dengan generasi muda dan orang dewasa yang mendukung mereka. Ini adalah proyek penelitian pertama di Kanada yang secara khusus mengkaji kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi di kalangan remaja berusia 13-18 tahun. Kami bertujuan untuk memahami tantangan mereka, cara mereka mengatasinya, dan ide solusi mereka.</p>
<p><a href="https://www.diydigitalsafety.ca/publications">Penelitian kami</a> menekankan bahwa mengatasi masalah ini memerlukan pengakuan terhadap kehidupan digital dan fisik generasi muda yang terintegrasi dan mengakui bahwa teknologi sebagai alat dapat memfasilitasi bahaya sekaligus dapat dimanfaatkan untuk memerangi bahaya tersebut.</p>
<h2>Kurangnya penelitian di Kanada</h2>
<p>Para pendidik dan pembuat kebijakan harus memahami permasalahan ini dalam konteks unik masyarakat Kanada. Meskipun semakin banyak penelitian di Kanada mengenai kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi, sebagian besar penelitian mengenai topik ini dilakukan di negara-negara seperti Amerika Serikat atau Australia.</p>
<p>Secara khusus, hanya ada sedikit penelitian mengenai apa yang dialami oleh generasi muda di Kanada saat <em>online</em>, terminologi apa yang harus kita gunakan untuk mengidentifikasi dampak buruk ini, dan dukungan apa yang dianggap efektif bagi generasi muda. Selain itu, beberapa generasi muda di Kanada menghadapi tantangan karena mereka tinggal di komunitas terpencil atau kurang memiliki akses terhadap sumber daya pendukung.</p>
<p>Penting untuk memiliki penelitian berbasis bukti yang kontekstual sehingga para pendidik dapat berbicara dengan generasi muda tentang hak-hak mereka, memahami perilaku apa yang berbahaya dan mengetahui bagaimana generasi muda harus menanggapi perilaku seksual <em>online</em> yang melecehkan. Suara dan perspektif anak muda harus dimasukkan dalam analisis ini.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/540270/original/file-20230731-227785-volgbk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="One person placing their hands around another's." src="https://images.theconversation.com/files/540270/original/file-20230731-227785-volgbk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/540270/original/file-20230731-227785-volgbk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/540270/original/file-20230731-227785-volgbk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/540270/original/file-20230731-227785-volgbk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/540270/original/file-20230731-227785-volgbk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/540270/original/file-20230731-227785-volgbk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/540270/original/file-20230731-227785-volgbk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Mendukung generasi muda berarti menciptakan solusi berdasarkan kepercayaan dan dialog terbuka.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Dukungan yang konsisten dan dapat diakses</h2>
<p>Seiring berkembangnya teknologi, sistem hukum Kanada telah memperkenalkan undang-undang untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap remaja dan orang dewasa, seperti undang-undang pidana yang melarang <a href="https://laws-lois.justice.gc.ca/eng/acts/c-46/section-163.1.html">pornografi anak</a>, <a href="https://laws.justice.gc.ca/eng/AnnualStatutes/2007_20/FullText.html">memikat anak</a>, <a href="https://laws-lois.justice.gc.ca/eng/acts/c-46/section-162.HTML"><em>voyeurisme</em></a> atau perilaku seksual di mana seseorang merasakan kepuasan saat mengintip orang lain telanjang, mandi, atau berhubungan seksual, dan <a href="https://www.justice.gc.ca/eng/rp-pr/other-autre/cndii-cdncii/p6.html">distribusi gambar intim tanpa persetujuan</a>.</p>
<p>Namun, generasi muda masih menerima <a href="https://doi.org/10.1177/0964663917724866">pesan yang membingungkan</a> tentang bagaimana undang-undang ini berlaku bagi mereka dan perilaku seksual mana yang berbahaya. Misalnya, banyak anak muda menerima <a href="https://needhelpnow.ca/app/en/resources_involving_safe_adult">pesan tidak akurat yang menyalahkan korban</a> tentang gambar tubuh yang mereka ambil.</p>
<p>Intervensi hukum mungkin merupakan respons yang tepat dalam beberapa kasus paling serius dari kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi. Namun <a href="https://doi.org/10.1177/17416590221142762">kaum muda membutuhkan lebih dari sekadar tindakan hukum</a>. Kenyataannya, banyak yang mencari berbagai bentuk dukungan dari sekolah, teman, <a href="https://mediasmarts.ca/sites/default/files/2023-07/report_ycwwiv_trends_recommendations.pdf">keluarga</a>, organisasi nirlaba dan organisasi layanan korban.</p>
<p>Saat ini, kurikulum dan kebijakan sekolah di Kanada menangani kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi dengan berbagai cara. Pendekatannya sangat bervariasi antar provinsi dan wilayah. Di beberapa daerah, kurikulum dan kebijakan terkait kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi sangat sedikit atau bahkan tidak ada.</p>
<p>Dengan teknologi yang terus menjadi bagian dari kehidupan generasi muda, kebijakan dan kurikulum sekolah harus diperbarui untuk mengatasi realitas hubungan generasi muda yang semakin terdigitalisasi.</p>
<p>Untuk memperbarui kebijakan dan kurikulum sekolah secara efektif, beberapa peneliti mempromosikan konsep <a href="https://doi.org/10.1080/14681811.2023.2204223">“warga negara seksual”</a> di kalangan generasi muda. Ini berarti mendorong mereka untuk menjalani kehidupan dan hubungan mereka dengan landasan etika dan interpersonal yang kuat. Model ini beralih dari penyampaian pesan yang menyalahkan korban dan hanya sekedar pantangan menjadi berfokus pada membina hubungan dan komunikasi yang sehat.</p>
<p>Memotivasi generasi muda untuk berpikir kritis tentang risiko <em>online</em> adalah sebuah pendekatan yang memberdayakan. Hal ini membantu mereka mengakui pengaruh stereotip atau prasangka terhadap seseorang berdasarkan karakteristik tertentu, kesenjangan dan standar ganda seksis dalam diskusi dan bagaimana hal-hal tersebut berdampak pada akses individu terhadap kekuasaan dan sumber daya.</p>
<p>Mengandalkan taktik menakut-nakuti dengan hukum atau metode pengawasan yang dilakukan oleh pengasuh dan perusahaan teknologi <a href="https://mediasmarts.ca/sites/default/files/2023-07/report_ycwwiv_trends_recommendations.pdf">merusak kepercayaan antara generasi muda dan orang dewasa dalam kehidupan mereka</a>. Hal ini juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan generasi muda tentang bagaimana platform menggunakan data yang dikumpulkan dari mereka.</p>
<p>Sebaliknya, kita memerlukan solusi berdasarkan kepercayaan dan dialog terbuka. Juga bagi orang tua, pendidik, perusahaan teknologi, dan pembuat kebijakan untuk melibatkan generasi muda sebagai langkah pertama menciptakan perubahan budaya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/212120/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Penelitian Alexa Dodge menerima dana dari Dewan Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Kanada (SSHRC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Christopher Dietzel menerima dana dari iMPACTS: Kolaborasi untuk Mengatasi Kekerasan Seksual di Kampus; Hibah Kemitraan Dewan Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Kanada (SSHRC) 895–2016-1026 (Direktur Proyek, Shaheen Shariff, Ph.D., Profesor James McGill, Universitas McGill).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Kaitlynn Mendes menerima dana dari Dewan Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora Kanada (SSHRC) dan Program Ketua Penelitian Kanada.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Penelitian Suzie Dunn mendapat dana dari Social Sciences and Humanities Research Council of Canada (SSHRC).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Estefania Reyes tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pendekatan baru diperlukan untuk mengatasi cakupan pelecehan yang dialami remaja saat ‘online’.Estefania Reyes, PhD student, Sociology, Western UniversityAlexa Dodge, Assistant Professor of Criminology, Saint Mary’s UniversityChristopher Dietzel, Postdoctoral fellow, the Sexual Health and Gender Lab, Dalhousie UniversityKaitlynn Mendes, Canada Research Chair in Inequality and Gender, Western UniversitySuzie Dunn, Assistant Professor, Law, Dalhousie UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2113412023-08-15T04:14:40Z2023-08-15T04:14:40ZPDI-P vs PSI: Bagaimana cara kedua partai ini memandang pemilih muda dan media sosial?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/542280/original/file-20230811-19-gm6083.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=22%2C22%2C4970%2C3255&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kirab Pemilu 2024 di Magelang, Jawa Tengah.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1690625107&getcod=dom">Anis Efizudin/Antara Foto</a></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini merupakan bagian dari rangkaian serial “#PemilihMuda2024”</em></p>
<p>Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 adalah sekitar <a href="https://www.kpu.go.id/berita/baca/11702/dpt-pemilu-2024-nasional-2048-juta-pemilih">204 juta pemilih</a>. Dari angka tersebut, sebanyak 52% atau 107 juta adalah pemilih muda, dengan rentang usia 17-39 tahun.</p>
<p>Jika dikategorikan lebih rinci, dari jumlah pemilih muda tersebut, kelompok generasi <a href="https://www.kompas.com/skola/read/2021/04/17/130000069/jangan-tertukar-ini-pengertian-generasi-x-z-milenial-dan-baby-boomers"><em>baby boomer</em></a> (lahir tahun 1946-1964) adalah sebesar 13,73%, generasi milenial sebanyak 23,60% (lahir tahun 1980-1995), dan generasi Z (lahir tahun 1997-2000) sebanyak 22,85%.</p>
<p>Jumlahnya yang tinggi membuat pemilih generasi milenial dan Z menjadi salah satu aspek <a href="https://nasional.sindonews.com/read/257432/12/jangan-remehkan-milenial-mereka-bisa-jadi-penentu-pemilu-2024-1607148769">signifikan dan akan sangat berpengaruh</a> terhadap penentuan hasil pemilu. Ini membuat ceruk milenial menjadi bidikan partai politik (parpol) untuk mengeruk suara elektoral.</p>
<p>Tentu saja, seperti yang sudah diyakini secara luas, kedua generasi ini adalah <a href="https://tekno.kompas.com/read/2021/02/24/08050027/riset-ungkap-lebih-dari-separuh-penduduk-indonesia-melek-media-sosial">kelompok yang paling banyak</a> menggunakan saluran komunikasi modern yang berbasiskan jaringan internet, termasuk media sosial.</p>
<p><a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/06/10/apjii-penetrasi-internet-indonesia-capai-7702-pada-2022">Laporan “Profil Internet Indonesia 2022”</a> oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang dipublikasikan pada Juni 2022 menemukan bahwa tingkat penetrasi pengguna internet oleh kelompok usia 13-18 tahun adalah 99,16%, pada kelompok usia 19-34 tahun sebesar 98,64% dan pada kelompok usia 35-54 tahun adalah sebesar 87,30%.</p>
<p>Untuk dapat menggaet suara generasi milenial dan Z ini, parpol perlu mempersiapkan diri dan memahami pola, karakter dan jenis konsumsi media komunikasi mereka. </p>
<p>Saya melakukan <a href="https://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/view/1154">riset</a>
tentang pandangan parpol terhadap media sosial dalam menjangkau pemilih muda dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai objek penelitian utama.</p>
<p>PDI-P dipilih karena merupakan parpol pemenang Pemilu 2019 dan menjadi partai tertua kedua di Indonesia. PDI-P juga salah satu partai yang mampu tetap eksis dan dapat mempertahankan akar rumputnya selama melewati fase pergantian rezim serta perubahan perkembangan teknologi informasi yang memberikan pengaruh besar pada perilaku komunikasi politik publik. </p>
<p>Sementara, PSI dipilih karena merupakan parpol baru di Pemilu 2019 dan berada pada urutan enam terbawah dalam hasil Pemilu. PSI juga disebut-sebut sebagai partai anak muda karena <a href="https://www.merdeka.com/politik/psi-daftarkan-bakal-caleg-ke-kpu-60-persen-usia-di-bawah-45-tahun.html">60% dari total calegnya</a> berusia di bawah 45 tahun.</p>
<p><a href="https://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/view/1154">Hasil studi</a> saya menemukan bahwa PDI-P cenderung hanya melihat media sosial sebagai sarana <em>branding</em> partai – hanya terjadi komunikasi satu arah. Sedangkan PSI menganggap media sosial tidak hanya sebagai media untuk <em>branding</em> dan mengenalkan program partai tetapi juga wadah untuk berdialog dengan publik, sehingga terjadi komunikasi dua arah.</p>
<p>Pandangan yang berbeda antara dua parpol ini dalam memanfaatkan media sosial untuk komunikasi politik kurang lebih akan memengaruhi bentuk pesan politik yang mereka sampaikan pada publik. Dan yang pasti, cara pandang mereka terhadap media sosial pun mencerminkan cara pandangan mereka terhadap pemilih milenial dan generasi Z.</p>
<h2>Media sosial dalam pandangan PDI-P dan PSI</h2>
<p>Dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik pengumpulan data melalui wawancara dan studi kepustakaan, saya menemukan bahwa aktivitas komunikasi politik PDI-P dan PSI di media sosial akan terlihat sama secara sepintas.</p>
<p>Keduanya sama-sama memanfaatkan kemudahan, efisiensi biaya dan kemampuan untuk menjangkau luas untuk mendistribusikan iklan politik mereka. Ini mereka lakukan guna memperkenalkan dan sekaligus membangun citra partai yang positif.</p>
<p>Namun, jika ditelaah lebih lanjut, bentuk iklan politik yang mereka tampilkan masing-masing menunjukkan arah yang berbeda.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/542281/original/file-20230811-29-eadvxb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/542281/original/file-20230811-29-eadvxb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/542281/original/file-20230811-29-eadvxb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/542281/original/file-20230811-29-eadvxb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/542281/original/file-20230811-29-eadvxb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/542281/original/file-20230811-29-eadvxb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/542281/original/file-20230811-29-eadvxb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Pelatihan juru kampanye nasional PDI-P dalam menghadapi Pemilu 2024.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1691214015&getcod=dom">Muhammad Adimaja/Antara Foto</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>PDI-P, misalnya, memosisikan media sosial seperti halnya media lama (media massa non elektronik), selayaknya sifat iklan adalah bentuk komunikasi persuasif, yakni tidak memiliki ruang dialog di dalamnya. Model komunikasi politik satu arah inilah yang masih diterapkan oleh PDI-P melalui jaringan media sosialnya.</p>
<p>Berdasarkan hasil wawancara saya dengan sejumlah narasumber yang merupakan pengurus partai dan organisasi sayap partai, hingga saat ini PDI-P masih meyakini bahwa komunikasi politik secara interpersonal dan interaksi secara langsung dengan konstituen masih lebih efektif, termasuk dengan konstituen yang merupakan anak muda.</p>
<p>Jadi, alih-alih membangun ruang dialog di media sosial, PDI-P masih lebih bergantung pada organisasi-organisasi sayap partai, baik pusat maupun daerah, untuk berinteraksi langsung dengan pemilih muda.</p>
<p>Ini berbeda dengan strategi PSI. Partai yang lahir tahun 2014 ini memandang bahwa media sosial dapat menjadi wadah untuk membangun komunikasi dua arah antara partai dengan masyarakat di dunia maya.</p>
<p>Bagi PSI, dialog adalah bagian dari edukasi politik bagi masyarakat, khususnya kelompok muda, agar mereka mampu memahami pentingnya partisipasi dalam dunia politik.</p>
<p>PSI juga bermaksud memperlihatkan pada generasi muda bahwa politik bukanlah sebuah proses yang asing dan harus dijauhi dari keseharian mereka. Partai ini percaya bahwa melakukan dialog yang intensif dengan kelompok muda lewat media sosial dapat membantu membangun citra positif partai.</p>
<p>Selain itu, PSI juga gencar mengemas pesan yang berisi program dan gagasan partai dengan bahasa yang lebih ringan dan mudah dipahami oleh generasi milenial dan Z, menghindari retorika yang berlebihan dalam menyusun narasi pesan di media sosial, serta menggunakan gambar dan video untuk menarik perhatian anak muda.</p>
<h2>Parpol perlu buka dialog dua arah</h2>
<p>Dalam kaitannya dengan politik, media sosial dan komunikasi lain yang berbasiskan internet telah menawarkan kemudahan dialog tanpa batas. Parpol seharusnya bisa memaksimalkan fungsi ini.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/542283/original/file-20230811-15-rlghda.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/542283/original/file-20230811-15-rlghda.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/542283/original/file-20230811-15-rlghda.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/542283/original/file-20230811-15-rlghda.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/542283/original/file-20230811-15-rlghda.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/542283/original/file-20230811-15-rlghda.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/542283/original/file-20230811-15-rlghda.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Ketua Umum PSI Giring Ganesha (kanan) berjabat tangan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kedua kanan) didampingi Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie (ketiga kiri).</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://branda.antaranews.com/data/content_photo_wire.php?pubid=1690979104&getcod=dom">Hafidz Mubarak A/Antara Foto</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Basis massa yang kuat dan rekam jejak yang panjang jelas membuat PDI-P mampu meraup banyak suara, setidaknya dalam Pemilu terakhir. Namun, PDI-P – serta parpol-parpol lainnya – juga perlu belajar mengenai kebutuhan dan gaya komunikasi yang dimiliki oleh pemilih muda.</p>
<p>Parpol harus meninggalkan pemahaman yang menyamakan fungsi media sosial dengan media <em>mainstream</em>. Jika paradigma tersebut terus dipelihara, maka budaya politik yang tidak sehat akan terus berlangsung. Masyarakat tidak akan dapat memainkan perannya sebagai kontrol terhadap wakil rakyat yang telah mereka pilih.</p>
<p>Jika ini terus terjadi, menurut narasumber yang merupakan pengurus DPP PSI, konsekuensinya adalah munculnya sikap apatis dari generasi milenial dan Z terhadap politik pada kehadiran parpol, karena mereka menganggap parpol hanya membutuhkan mereka ketika mendekati pemilihan saja. </p>
<p>Selain itu, parpol juga harus memandang pemilih muda sebagai kelompok komunikan yang aktif dan kritis, sehingga sangat penting untuk membicarakan isu yang menyentuh langsung kebutuhan hidup mereka.</p>
<p>Dengan terus melajunya perkembangan digital, sudah saatnya komunikasi politik lebih mengarah kepada dialog dua arah, bukan lagi satu arah dan hanya sebatas retorika.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/211341/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nina Andriana menerima dana dari dana riset Badan Riset dan Inovasi Nasional</span></em></p>PDI-P cenderung melihat media sosial hanya sebagai sarana branding partai, sedangkan PSI melihatnya juga sebagai wadah untuk berdialog dengan publik.Nina Andriana, Peneliti Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2088502023-07-13T03:38:36Z2023-07-13T03:38:36ZHoaks di grup WhatsApp keluarga jelang pemilu: mengapa orang bisa percaya dan ikut menyebar berita palsu?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/536977/original/file-20230712-19-9g5770.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C25%2C5639%2C3731&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Penyebaran berita palsu melalui aplikasi pesan pribadi.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/berlin-germany-11-25-2020-macro-1292186692">Henryk Ditze/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, Indonesia tampaknya menghadapi tantangan yang cukup pelik terkait dengan penyebaran berita atau informasi palsu (hoaks). <a href="https://jurnal.kominfo.go.id/index.php/snki/article/view/2557">Banyak riset</a> membuktikan bahwa penyebaran hoaks masih tumbuh subur di media sosial.</p>
<p>Namun ada satu hal yang lebih menantang, yakni penyebarannya melalui aplikasi pesan personal, termasuk WhatsApp. Sering kita temui penyebaran hoaks di grup-grup WhatsApp, bahkan grup yang hanya berisikan anggota keluarga kita sendiri.</p>
<p><a href="https://journal.unesa.ac.id/index.php/jptt/article/view/18288">Satu riset terbaru</a> menunjukkan bahwa pada Pemilu 2019, banyak grup WhatsApp keluarga beralih fungsi menjadi wadah untuk berbagi omong kosong dan hoaks, yang kemudian berkembang menjadi tempat perdebatan antara dua kubu anggota keluarga. </p>
<p>Di media sosial saja, selama triwulan pertama tahun 2023, sudah ada <a href="https://www.kominfo.go.id/content/detail/48363/siaran-pers-no-50hmkominfo042023-tentang-triwulan-pertama-2023-kominfo-identifikasi-425-isu-hoaks/0/siaran_pers">425 isu hoaks</a> yang menyebar, menurut temuan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan pertama tahun 2022 yang mencapai 393 isu hoaks.</p>
<p>Belum ada data pasti mengenai temuan penyebaran hoaks melalui pesan-pesan personal. Namun angka kemungkinan besar tidak jauh berbeda, atau bahkan jauh lebih parah karena belum ada aplikasi pesan personal yang bisa menyaring informasi mana yang benar mana yang salah.</p>
<p>Fenomena penyebaran hoaks ini bisa berdampak signifikan, karena bisa sangat memengaruhi persepsi penerima informasi.</p>
<p>Pada masa pandemi COVID-19, misalnya, penyebaran hoaks – mencakup tentang pengobatan alternatif, vaksin, hingga konspirasi terkait virus – <a href="https://www.kompas.tv/nasional/126036/polisi-tetapkan-104-tersangka-kasus-berita-bohong-covid-19-jenis-penyebaran-hoax-berbeda-beda">begitu masif</a>, sampai menghalangi berbagai upaya penanggulangan COVID-19. </p>
<p>Banyak masyarakat yang menolak vaksin karena percaya pada informasi palsu bahwa vaksin tidak berguna atau akan <a href="https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20210120094327-199-596012/hoaks-vaksin-covid-pakai-chip-erick-thohir-hingga-bill-gates">ada <em>chip</em></a> dalam vaksin.</p>
<p>Umumnya, secara psikologis, individu yang menerima informasi palsu secara perlahan membangun keyakinan mereka yang baru. Hal ini akan mendorong mereka untuk bertindak lebih jauh, mulai dari menyebar informasi hingga mengutarakan dukungannya pada isi informasi tersebut.</p>
<p>Pada tahun politik, penyebaran hoaks bisa berdampak pada rusaknya rasionalitas pemilih dan menurunnya kualitas penyelenggaraan pemilu. Lebih jauh lagi, ini bisa menimbulkan permusuhan antara pihak yang pro dan yang kontra terhadap informasi palsu tersebut.</p>
<h2>Mengapa terjadi penyebaran hoaks?</h2>
<p>Ada dua pihak yang secara sengaja atau tanpa sadar menjadi penyebar hoaks. Pertama adalah pihak yang sengaja menyusun atau membuat berita palsu itu. Kedua adalah pihak yang termakan berita palsu lalu menyebarnya secara sukarela. Masing-masing pihak memiliki motif berbeda dalam melakukan penyebaran.</p>
<p>Dalam tulisan ini, saya hanya akan membahas motif pihak kedua. Ini karena motif pihak pertama jelas untuk mencapai tujuan tertentu secara kelompok, dan ini adalah hal dilakukan dengan sadar. Namun pada pihak kedua, motifnya kerap kali tidak mereka sadari dan bersifat sangat personal.</p>
<p>Dalam teori psikologi, ada yang disebut <a href="https://www.researchgate.net/publication/284069014_Processing_Fluency_and_Decision-Making_The_Role_of_Language_Structure">_processing fluency effect</a>_, yaitu proses kognitif ketika individu lebih mudah merespons dan menerima berbagai informasi yang sederhana untuk dicerna karena ia tidak membutuhkan usaha lebih untuk memahaminya. Dalam konteks berita, proses ini dapat memotivasi seseorang untuk mau membagikan informasi yang didapatkan. </p>
<p>Profesor psikologi dari Amerika Serikat (AS) <a href="https://kahneman.scholar.princeton.edu/">Daniel Kahneman</a> menjabarkan ada <a href="https://suebehaviouraldesign.com/kahneman-fast-slow-thinking/">sistem 1 dan sistem 2</a> yang ada pada sistem kognitif manusia. Kedua sistem saling berinteraksi dalam proses pemikiran dan pengambilan keputusan. Sistem 1 secara otomatis menghasilkan respons yang lebih cepat dan intuitif. Sedangkan sistem 2 terlibat saat situasi yang membutuhkan analisis lebih mendalam, evaluasi, dan pemikiran yang lebih lambat.</p>
<p>Kehadiran berita dan informasi palsu yang dibuat semenarik mungkin kerap kali menggerakkan hanya sistem 1, sehingga sistem 2 tidak perlu digunakan sama sekali. Ini menunjukkan bahwa masih banyak individu yang memiliki keterampilan rendah untuk melakukan verifikasi berita atau menelaah informasi secara kritis. Mereka cenderung hanya melalui sistem 1 – mudah percaya dengan berita yang biasanya viral – lalu menyebarkannya, tanpa melalui sistem 2 alias tidak mengkritik atau pun menganalisis kebenarannya.</p>
<p>Situasi demikian bisa menjadi lebih buruk jika berita atau informasi yang tersebar memiliki kaitan dengan identitas si pengirim atau penerima. <a href="https://www.mdpi.com/2076-0760/11/10/460">Pengaruh identitas dan afiliasi kelompok</a> dapat memengaruhi sejauh mana orang mempercayai berita palsu.</p>
<h2>Hoaks dan pilihan politik</h2>
<p><a href="https://scholar.google.com/citations?user=AIbJenwAAAAJ&hl=id&oi=ao">Gordon Robert Pennycook</a> adalah seorang peneliti psikologi asal Kanada yang berfokus pada tema riset <em>belief</em>, <em>misinformation</em>, <em>metacognition</em>, <em>judgement</em>, dan hal-hal yang berkaitan dengan area tersebut. Salah satu topik yang belakangan ia geluti adalah maraknya berita palsu atau hoaks di masyarakat.</p>
<p>Berangkat dari <a href="https://libraryguides.vu.edu.au/evaluating_information_guide/fakenews2016">maraknya hoaks</a> ketika pemilihan presiden AS tahun 2016, isu berita palsu dalam dunia politik hingga hari ini masih jadi masalah yang belum bisa sepenuhnya diatasi. </p>
<p>Dalam sejumlah <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0736585318305483?casa_token=eRPatlyUn3MAAAAA:L74FtlkSlagOIjm0mx3NH0o41sTURmE1g4BWYs4HmppvMCyoIsXSZnhnRWACpNM9Mbzf583YBE8">penelitian</a>, salah satu yang menjadi tantangan untuk mengurangi hoaks adalah hadirnya <a href="https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/10659129211034558?casa_token=q4A70X56J0IAAAAA:ES795tEL5YlfwKBfEcKerLcmOkK76FXsC8THPhek0dIp9rnNWoSS3s6a-QZiNzGDyTVwxVS-PBaeQw"><em>motivated reasoning</em></a> atau “penalaran termotivasi” pada setiap pendukung politik. <em>Motivated reasoning</em> ini adalah kecenderungan kognitif, baik yang disadari maupun tidak disadari, untuk mencari informasi yang mendukung keyakinan mereka yang sudah ada. Proses ini biasa disebut <em>confirmation bias</em>. </p>
<p><em>Motivated reasoning</em> membuat seseorang lebih mungkin memercayai informasi palsu yang sejalan dengan pandangan mereka saja, karena informasi tersebut memperkuat apa yang sudah mereka percayai selama ini. Afiliasi kelompok, seperti dukungan ke salah satu kandidat, pada akhirnya akan berperan dalam membangun kepercayaan yang dimiliki seseorang.</p>
<p>Jika ada hoaks yang tersebar di grup WhatsApp keluarga, misalnya, beberapa anggota keluarga mungkin akan menolak mengakui bahwa informasi itu hoaks. Ini karena mereka telah mengalami bias terhadap kandidat yang mereka dukung. </p>
<p>Menurut <a href="https://pubsonline.informs.org/doi/10.1287/mnsc.2019.3478">suatu studi</a> yang terbit tahun 2020, kecenderungan untuk memercayai berita palsu meningkat saat berita tersebut mendukung keyakinan yang ada atau keyakinan kelompok. </p>
<p>Saat seseorang mengalami bias terhadap informasi, sistem 2 kemungkinan tidak akan bekerja dan membiarkan sistem 1, yang cepat dan otomatis, bertindak lebih besar. Maka, tidak heran jika seorang simpatisan pendukung, dengan berbagai siasat akan menyebarkan berbagai berita-berita yang mewakili bentuk dukungannya, terlepas apakah berita itu benar atau salah.</p>
<p>Jadi, bersiaplah untuk melihat sosial media hingga grup WhatsApp keluarga kita kemungkinan akan dipenuhi kembali dengan debat atau saling serang dengan berita yang memperlihatkan kehebatan kandidat masing-masing. </p>
<h2>Cara menghadapi atau mencegah fenomena ini</h2>
<p>Beberapa <a href="https://pdfs.semanticscholar.org/fcb2/5fb3272d90102962613a4618f1d80750b26c.pdf">studi</a> menyebutkan bahwa grup WhatsApp keluarga berpotensi menjadi wadah penyebaran hoaks akibat rendahnya literasi media dari generasi yang lebih tua. </p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/21670811.2023.2213731?journalCode=rdij20">Studi lain</a> juga mendukung terkait adanya perspektif generasi tua yang belum mampu memaksimalkan pemahaman terkait informasi yang tersebar, sehingga berita hoaks dengan mudah berkembang. <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/21670811.2023.2213731?journalCode=rdij20">Isu yang paling</a> sering dibahas dalam grup WhatsApp keluarga juga berkutat di isu politik dan agama.</p>
<p>Oleh karena itu, peningkatan literasi media dapat menjadi salah satu upaya serius untuk menghadapi masalah – ini harus segera dimulai.</p>
<p>Pendidikan literasi media akan dapat membantu seseorang atau kelompok dalam memahami metode verifikasi fakta, pengenalan sumber berita yang tepercaya, dan pemahaman tentang berbagai taktik manipulatif yang digunakan dalam berita palsu. Langkah ini bisa dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari komunitas, kelompok masyarakat sipil, hingga pemerintah. </p>
<p>Selain itu, perlu adanya penguatan transparansi platform. Ini mencakup peningkatan aturan dan kebijakan terkait dengan penyebaran informasi palsu, memberikan akses yang lebih mudah ke algoritme dan mekanisme penyaringan, serta memperkuat upaya untuk melawan akun palsu dan bot otomatis.</p>
<p>Langkah ini kemungkinan telah dilakukan oleh pemerintah dan para pegiat hak digital. Namun, derasnya informasi kadang tidak mampu terbendung, sehingga dibutuhkan upaya yang lebih maksimal. </p>
<p>Terakhir, kita butuh kolaborasi antara berbagai instansi seperti jaringan jurnalis, lembaga riset, pemeriksa fakta untuk dapat terlibat aktif mengawasi dan merespons berbagai berita atau isu yang berkembang di masyarakat.</p>
<p>Sudah waktunya pemerintah mencari strategi yang lebih terperinci dan solutif dalam menghadapi penyebaran hoaks. Semua ini demi menjaga iklim politik tetap aman dan stabil.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/208850/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Wawan Kurniawan tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Secara psikologis, individu yang menerima informasi palsu secara perlahan membangun keyakinan mereka yang baru. Ini bisa mendorong mereka untuk ikut mendukung dan menyebar informasi itu.Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2094052023-07-12T01:48:12Z2023-07-12T01:48:12ZMengapa Threads adalah ancaman terbesar bagi Twitter<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/536731/original/file-20230711-21-drhh1.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C12%2C4031%2C3005&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">shutterstock</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/idrija-slovenia-july-4-2023-new-2326871223">Adrian Tusar/shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Diluncurkannya aplikasi media sosial <a href="https://about.fb.com/news/2023/07/introducing-threads-new-app-text-sharing/">Threads</a> sebagai pesaing Twitter bisa membawa perubahan signifikan dalam industri media sosial.</p>
<p>Meta, yang juga merupakan empunya Facebook dan Instagram, meluncurkan platform baru itu pada 5 Juli 2023 atau lebih cepat dari yang dijadwalkan. Threads diterima khalayak dengan begitu cepat – terutama oleh gerombolan pengguna Twitter yang selama ini tak suka menyaksikan platform kesayangan mereka <a href="https://www.nbcnews.com/tech/tech-news/twitter-changes-tweetdeck-rate-limit-rcna92369">hancur di tangan Elon Musk</a>.</p>
<p>Dalam kurang dari 24 jam, Threads berhasil menarik sekitar 30 juta pengguna. Mengingat Meta telah memiliki lebih dari dua miliar pengguna Instagram yang dapat menghubungkan profilnya ke Threads, basis pengguna platform anyar tersebut akan berkembang cepat.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/536201/original/file-20230707-19241-bpdfus.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Post by @zuck saying 'Wow, 30 million sign ups as of this morning. Feels like the beginning of something special, but we've got a lot of work ahead to build out the app." src="https://images.theconversation.com/files/536201/original/file-20230707-19241-bpdfus.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/536201/original/file-20230707-19241-bpdfus.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=347&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/536201/original/file-20230707-19241-bpdfus.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=347&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/536201/original/file-20230707-19241-bpdfus.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=347&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/536201/original/file-20230707-19241-bpdfus.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=436&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/536201/original/file-20230707-19241-bpdfus.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=436&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/536201/original/file-20230707-19241-bpdfus.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=436&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Mark Zuckerberg memposting di Threads untuk merayakan 30 juta pengguna barunya.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Threads</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Dengan <em>feed</em> hitam dan putih sederhana, dan fitur yang memungkinkanmu untuk membalas, menyukai, mengutip, dan mengomentari unggahan pengguna lain, kemiripan antara Threads dan Twitter cukup jelas. </p>
<p>Sekarang, pertanyaannya adalah: apakah Threads akan jadi satu-satunya platform yang pada akhirnya menggeser Twitter? </p>
<h2>Kita pernah mengalaminya sebelumnya</h2>
<p>Pada Oktober tahun lalu, pengguna Twitter tak berdaya menyaksikan Elon Musk menjadi CEO platform tersebut. Mastodon menjadi pelarian pertama mereka. Namun, banyak yang merasa server Mastodon yang terdesentralisasi <a href="https://www.makeuseof.com/why-people-leaving-mastodon">sulit</a> dan <a href="https://www.newyorker.com/culture/infinite-scroll/what-fleeing-twitter-users-will-and-wont-find-on-mastodon">membingungkan untuk digunakan</a>, dengan tiap servernya memiliki aturan konten yang berbeda dan komunitas yang berbeda pula. </p>
<p>Banyak penggemar Twitter yang membuat akun cadangan di Mastodon sebagai antisipasi jika platform tersebut <em>crash</em>, sembari menanti-nanti apa yang akan dilakukan Musk selanjutnya.</p>
<p>Penantian ini tak panjang. Ketidakstabilan dan “pemadaman” platform menjadi hal biasa ketika Musk mulai memberhentikan staf Twitter (dia sekarang telah memecat sekitar 80% tenaga kerja asli Twitter).</p>
<p>Tak lama kemudian, Musk menjadi pemberitaan dan membuat warga Twitter was-was karena meningkatkan sistem verifikasi dan memaksa para pemegang “centang biru” untuk membayar hak istimewa dari otentikasi akun mereka. Langkah ini membuka pintu untuk para akun peniru dan penyebaran misinformasi skala besar. Beberapa merek perusahaan besar meninggalkan Twitter, membawa <a href="https://www.nytimes.com/2023/06/05/technology/twitter-ad-sales-musk.html">uang iklan mereka keluar dari sana</a>. </p>
<p>Musk juga melabeli organisasi-organisasi media terpercaya seperti BBC sebagai media “milik negara”, hingga akhirnya menarik kebijakan tersebut setelah diserang publik. Yang lebih anyar, ia mulai membatasi berapa banyak cuitan yang bisa dilihat pengguna dan mengumumkan bahwa TweetDeck (sebuah perangkat untuk menjadwalkan Twitter) akan dibatasi hanya untuk akun berbayar.</p>
<p>Pengguna Twitter telah mencoba berbagai alternatif, termasuk Spoutible dan Post. Bluesky, yang dibuat oleh Jack Dorsey sebagai salah satu pendiri Twitter, mulai berkembang – tetapi pertumbuhannya terbatas karena proses registrasinya yang terbatas hanya untuk undangan.</p>
<p>Belum ada platform yang sesuai dengan ekspektasi para pengguna Twitter … hingga akhirnya Threads muncul.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/536196/original/file-20230707-23-kmsj5c.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Andrews: Everyone right to go? Albanese: Ready over here..." src="https://images.theconversation.com/files/536196/original/file-20230707-23-kmsj5c.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/536196/original/file-20230707-23-kmsj5c.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=425&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/536196/original/file-20230707-23-kmsj5c.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=425&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/536196/original/file-20230707-23-kmsj5c.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=425&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/536196/original/file-20230707-23-kmsj5c.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=534&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/536196/original/file-20230707-23-kmsj5c.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=534&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/536196/original/file-20230707-23-kmsj5c.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=534&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Threads telah diikuti oleh sejumlah tokoh populer, termasuk Perdana Menteri Anthony Albanese, Oprah Winfrey, Dalai Lama, Shakira, Gordon Ramsay, dan Ellen DeGeneres.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Threads</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Komunitas adalah kunci sukses</h2>
<p>Sebelum dikuasai oleh Musk, Twitter menikmati tahun-tahun penuh kesuksesan. Platform tersebut telah lama menjadi rumah untuk jurnalis, lembaga pemerintah, akademikus, dan masyarakat umum untuk berbagi informasi mengenai isu penting hari itu. Dalam kondisi darurat, Twitter menawarkan dukungan <em>real-time</em>. Saat bencana-bencana terburuk terjadi, para pengguna membagikan informasi dan membantu <a href="https://www.washingtonpost.com/nation/2022/11/19/twitter-emergencies/">membuat keputusan yang menyelamatkan nyawa</a>. </p>
<p>Meski bukan tanpa kekurangan – seperti akun <em>troll</em>, <a href="https://theconversation.com/bushfires-bots-and-arson-claims-australia-flung-in-the-global-disinformation-spotlight-129556">bot</a>, hingga kekerasan di dunia – proses verifikasi Twitter dan kemampuan untuk memblokir dan melaporkan konten yang tak pantas memegang peranan penting dalam kesuksesan untuk membangun komunitas yang berkembang. </p>
<p>Hal ini jugalah yang membedakan Threads dari para pesaingnya. Dengan menghubungkan Threads ke Instagram, Meta memulai platform barunya dengan langkah yang signifikan dalam membentuk massa kritis jumlah pengguna, hal yang penting untuk menjadikan Threads sebagai platform terkemuka (privilese seperti ini tak dimiliki oleh Mastodon).</p>
<p>Para pengguna Threads tak hanya bisa mempertahankan <em>username</em> Instagram mereka, tetapi juga para pengikutnya. Kemampuan untuk bisa mempertahankan komunitas dalam aplikasi yang memberikan pengalaman serupa dengan Twitter menjadikannya ancaman terbesar untuk platform burung biru itu saat ini.</p>
<p>Penelitian saya menunjukkan bahwa orang paling mendambakan otoritas, keaslian, dan komunitas ketika mereka terlibat dengan informasi <em>online</em>. Dalam <a href="https://books.emeraldinsight.com/book/detail/look-for-information/?k=9781803824246">buku baru</a> kami, rekan penulis saya Donald O. Case, Rebekah Willson, dan saya menjelaskan cara pengguna menelusuri informasi dari sumber yang mereka kenal dan percayai.</p>
<p>Para penggemar Twitter menginginkan platform alternatif dengan fungsi yang sama, tetapi yang paling penting mereka ingin bisa segera menemukan kawan-kawan mereka di sana. Mereka tak mau jika harus membangun ulang komunitas mereka. Hal inilah yang mungkin membuat mereka terus bertahan di Twitter, terlepas dari apa pun yang dilakukan Elon Musk.</p>
<h2>Tantangan ke depan</h2>
<p>Tentu saja, pengguna Twitter mungkin was-was kalau-kalau mereka lepas dari mulut harimau dan masuk ke mulut buaya. Mendaftar ke satu lagi aplikasi Meta menimbulkan kekhawatiran tersendiri.</p>
<p>Pengguna baru Threads yang membaca ketentuannya akan menyadari bahwa informasi mereka “mempersonalisasikan iklan dan pengalaman lainnya”, baik di Threads maupun Instagram. Para pengguna juga telah menunjukkan bahwa kita hanya akan bisa menghapus akun Threads kita jika kita juga menghapus akun instagram kita.</p>
<p>Hal-hal semacam ini bisa jadi tak menyenangkan bagi para pengguna.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1676779150235803649"}"></div></p>
<p>Selain itu, Meta memutuskan untuk tidak meluncurkan Threads di mana pun di Uni Eropa pada hari peluncurannya karena masalah regulasi. Undang-Undang Pasar Digital Uni Eropa yang baru dapat menimbulkan tantangan bagi Threads.</p>
<p>Misalnya, undang-undang tersebut menetapkan bisnis tidak dapat “melacak pengguna akhir di luar layanan platform inti [mereka] untuk tujuan iklan bertarget, tanpa persetujuan efektif yang telah diberikan”. Ini mungkin bertentangan dengan <a href="https://help.instagram.com/515230437301944">kebijakan privasi</a> Threads. </p>
<p>Meta juga <a href="https://techcrunch.com/2023/07/05/adam-mosseri-says-metas-threads-app-wont-have-activitypub-support-at-launch/">mengumumkan rencana</a> untuk nantinya memindahkan Threads ke infrastruktur terdesentralisasi. Dalam detail “How Threads Works” (cara kerja Threads) yang termuat di aplikasinya, disebutkan bahwa “versi Thread di masa depan akan beroperasi dengan <a href="https://help.instagram.com/169559812696339">fediverse</a>”, memungkinkan “orang untuk mengikuti dan berinteraksi satu sama lain di platform yang berbeda, termasuk Mastodon”.</p>
<p>Artinya, orang-orang akan dapat melihat dan berinteraksi dengan konten Threads dari luar akun-akun Meta, tanpa harus mendaftar Threads terlebih dahulu. Dengan menggunakan standar ActivityPub (yang memungkinkan interoperabilitas terdesentralisasi antarplatform), Threads kemudian dapat berfungsi dengan cara yang sama seperti WordPress, Mastodon, dan server email – yang memungkinkan pengguna satu server dapat berinteraksi dengan yang lain.</p>
<p>Kapan dan bagaimana Threads mewujudkan rencana keterlibatan terdesentralisasi ini – dan bagaimana hal ini dapat memengaruhi pengalaman pengguna – masih belum jelas.</p>
<h2>Apakah Meta mencuri “rahasia dagang”?</h2>
<p>Musk tak hanya diam saja tanpa perlawanan. Beberapa jam setelah Threads diluncurkan, pengacara Twitter, Alex Spiro mengeluarkan surat yang menuduh Meta melakukan penyalahgunaan rahasia dagang yang “sistematis” dan “melanggar hukum”. </p>
<p><a href="https://cdn.sanity.io/files/ifn0l6bs/production/27109f01431939c8177d408d3c9848c3b46632cd.pdf">Surat</a> tersebut menuduh mantan karyawan Twitter yang dipekerjakan oleh Meta “sengaja ditugaskan” untuk “mengembangkan, dalam hitungan bulan, aplikasi tiruan dari Meta, ‘Aplikasi Threads’”. Meta telah membantah klaim ini, <a href="https://www.cnbc.com/2023/07/06/twitter-accuses-meta-of-stealing-trade-secrets-for-its-new-threads-%20app.html">menurut pemberitaan</a>, tetapi persaingan antara kedua perusahaan tampaknya masih jauh dari selesai.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/thinking-of-breaking-up-with-twitter-heres-the-right-way-to-do-it-195002">Thinking of breaking up with Twitter? Here’s the right way to do it</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<img src="https://counter.theconversation.com/content/209405/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Lisa M. Given adalah Fellow dari Academy of the Social Sciences di Australia. Dia menerima dana dari Australian Research Council dan Social Sciences and Humanities Research Council of Canada.</span></em></p>Threads mungkin adalah akhir permainan.dalam pertarungan memperebutkan pengikut Twitter.Lisa M. Given, Professor of Information Sciences & Director, Social Change Enabling Impact Platform, RMIT UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.