tag:theconversation.com,2011:/global/topics/orang-dengan-gangguan-jiwa-47366/articlesOrang dengan gangguan jiwa – The Conversation2024-01-22T09:34:04Ztag:theconversation.com,2011:article/2204722024-01-22T09:34:04Z2024-01-22T09:34:04ZKenali jenis-jenis misinformasi Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) ketika pemilu<p>Menjelang Pemilu, masyarakat kerap menjumpai beragam misinformasi di media sosial, salah satunya <a href="https://jogja.tribunnews.com/2023/10/23/hoax-beredar-video-di-tiktok-yang-menyatakan-orang-gila-didata-untuk-ikut-pemilu-2024#google_vignette">isu tentang keterlibatan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dalam pemilu secara tidak sah</a>. Bentuk misinformasi seperti ini tidak hanya berpotensi merugikan ODGJ secara langsung, namun juga merusak integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap Pemilu.</p>
<p>Jumlah penderita kesehatan jiwa di Indonesia sendiri cukup banyak. Saat ini <a href="https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20211007/1338675/kemenkes-beberkan-masalah-permasalahan-kesehatan-jiwa-di-indonesia/">prevalensi atau angka kejadian</a> orang dengan gangguan jiwa di Indonesia adalah 1 dari 5 penduduk. Artinya, sekitar <a href="https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20211007/1338675/kemenkes-beberkan-masalah-permasalahan-kesehatan-jiwa-di-indonesia/">20% populasi di Indonesia mempunyai potensi masalah gangguan jiwa</a>.</p>
<p>Hoaks terkait ODGJ pernah terjadi menjelang Pemilu presiden 2019 lalu. Ketika itu, muncul <a href="https://www.kominfo.go.id/content/detail/17912/hoaks-pembuatan-ktp-orang-gila-demi-ambisi-kekuasaan/0/laporan_isu_hoaks">kabar hoaks</a> berbentuk foto yang menggambarkan proses pembuatan e-KTP sekelompok individu, di WhatsApp (WA). Narasi yang menyertainya mengungkapkan kekhawatiran mengenai praktik-praktik tidak etis untuk meraih suara, khususnya penerbitan kartu identitas bagi individu yang memiliki masalah kesehatan mental. Peristiwa ini diklaim terjadi di Bekasi, Jawa Barat.</p>
<p>Klaim pembuatan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) yang tidak wajar, menunjukkan kekhawatiran adanya praktik tidak etis untuk mendapatkan pengaruh, kendali, atau kekuasaan politik. Situasi ini berpotensi mendorong beredarnya spekulasi dari masyarakat terkait manipulasi suara untuk kandidat tertentu sehingga menciptakan keresahan. </p>
<p>Pasalnya, walaupun kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) sudah mengklarifikasi bahwa proses perekaman e-KTP, termasuk bagi ODGJ, merupakan bagian dari pelayanan administrasi kependudukan yang wajar dan penting, juga penegasan dari <a href="https://www.kominfo.go.id/content/detail/17912/hoaks-pembuatan-ktp-orang-gila-demi-ambisi-kekuasaan/0/laporan_isu_hoaks">pihak KPU bahwa mereka tidak mendata warga yang dinyatakan gila sebagai bagian dari daftar pemilih</a>, isu bahwa orang gila juga didata untuk memilih sudah terlanjur berkembang.</p>
<p>Jadi, apa saja misinformasi terkait ODGJ yang berkembang di masa Pemilu?</p>
<h2>ODGJ tidak mampu membuat keputusan</h2>
<p>Hoaks yang sering muncul tentang ODGJ biasanya berkaitan dengan kemampuan mereka dalam membuat keputusan yang rasional. Terdapat anggapan bahwa ODGJ tidak mampu memahami proses pemilu atau mudah dipengaruhi. <a href="https://saberhoaks.jabarprov.go.id/v2/klarifikasi/detail/PTN002370/KPU-MENDATA-ORANG-GILA-UNTUK-PENCOBLOSAN-PEMILU">Mereka dianggap tidak memiliki kemampuan untuk berkarya, bersosialisasi, atau menentukan calon mana yang cocok menjadi pemimpin</a>. </p>
<p>Hoaks ini menyebar melalui media sosial, percakapan sehari-hari, dan kadang-kadang, melalui kampanye politik yang tidak bertanggung jawab. Hoaks ini dapat mempengaruhi masyarakat umum yang tidak memiliki informasi yang cukup tentang ODGJ, serta ODGJ itu sendiri yang mungkin merasa terstigmatisasi oleh misinformasi yang tersebar.</p>
<p>Jenis misinformasi di atas juga berkaitan dengan keyakinan bahwa ODGJ tidak memiliki kemampuan untuk membuat pilihan yang tepat. Kesalahpahaman ini dapat berakibat pada tersingkirnya mereka dari proses demokrasi, dan hilangnya hak dasar mereka untuk ikut serta dalam sistem pemilu.</p>
<p>Padahal, <a href="https://bmcpsychiatry.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12888-020-02756-0">sebuah penelitian tahun 2020 yang terbit di jurnal <em>BMC Psychiatry</em></a>, menunjukkan bahwa pasien psikiatri yang stabil memiliki kapasitas yang sama dengan pasien nonpsikiatri dalam membuat keputusan terkait perawatan kesehatan.</p>
<p>Selain itu <a href="https://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/hsr2.179"><em>Health Science Report</em></a> juga melaporkan bahwa individu dengan skizofrenia dan gangguan bipolar terbukti memiliki kompetensi yang sama dengan individu nonpsikiatri dalam mengambil keputusan tentang pengobatan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Skizofrenia yang bisa dikategorikan sebagai ODGJ berat dianggap masih bisa pulih dan stabil. <a href="https://prebunking.cekfakta.com/prebunking-hoaks-yang-sering-beredar-jelang-pemilu-odgj-diintervensi-dalam-memilih">Penderita seperti ini tetap mampu berpikir, memahami situasi, menentukan pilihan dan bersikap dengan baik</a>.</p>
<p>Kedua hasil penelitian tersebut mendukung gagasan bahwa <a href="https://www.mdpi.com/2673-5318/2/2/10">individu dengan gangguan mental memiliki kapasitas untuk membuat keputusan yang tepat</a>. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk memusatkan upaya kita dalam memberikan bantuan yang diperlukan agar mereka dapat menggunakan hak dasar mereka untuk memilih. Terlebih, hak pilih ODGJ pada dasarnya dijamin dalam UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, dan <a href="https://www.mkri.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/hasilpenelitian_105_Laporan%20Penelitian%20Kompetitif%20Jember.pdf">UU Pengesahan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas.</a></p>
<p>Memang ada beberapa ODGJ yang tidak diperbolehkan memilih dalam Pemilu yaitu ODGJ yang sedang mengalami halusinasi dan delusi yang kuat sehingga tidak dapat membedakan kenyataan. <a href="https://prebunking.cekfakta.com/prebunking-hoaks-yang-sering-beredar-jelang-pemilu-odgj-diintervensi-dalam-memilih/">Biasanya kondisi ini membuat ODGJ kesulitan berpikir, dan harus disertai juga dengan surat keterangan dari Dokter Spesialis Kejiwaan (Psikiater)</a>.</p>
<p>Situs resmi Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) <a href="https://nasional.tempo.co/read/1812363/ketua-kpu-orang-dengan-gangguan-jiwa-dapat-hak-pilih">menyebutkan, seseorang boleh dicoret dari daftar peserta Pemilu jika dibekali surat keterangan dari profesional bahwa, orang tersebut menderita gangguan jiwa permanen</a>.</p>
<p>Artinya, selama ODGJ dalam kondisi stabil dan cukup baik, maka individu tersebut masih boleh memilih secara langsung sesuai ketentuan yang berlaku. Surat dari psikiater juga tidak diperlukan, karena surat keterangan dari psikiater hanya untuk menegaskan bahwa yang bersangkutan tak bisa memilih karena kondisinya.</p>
<h2>ODGJ rentan melakukan penyerangan</h2>
<p>ODGJ merupakan <a href="https://jurnal.syntaxliterate.co.id/index.php/syntax-literate/article/view/10355">kelompok yang sering mendapat stigma dan diskriminasi</a>. Stigma ini menimbulkan <a href="https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKJ/article/view/9265">kekerasan dan ketakutan</a>, yang bahkan bisa <a href="https://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/view/1973">berdampak pada keluarga penderita</a>.</p>
<p>Contoh dari misinformasi ini adalah maraknya isu penyerangan terhadap kaum ulama, yang menyudutkan ODGJ sebagai pelaku penyerangan tersebut. </p>
<p>Kasatgas Nusantara, yaitu satuan tugas yang dibentuk oleh Polri untuk mencegah terjadinya polarisasi hingga pemberantasan hoaks pada Pemilu 2024, Gatot Eddy Pramono, mengatakan prihatin dengan adanya pemberitaan maupun isu yang <a href="https://www.nu.or.id/nasional/kepolisian-prihatin-odgj-jadi-korban-penyebaran-hoaks-h16O8">menyudutkan ODGJ sebagai pelaku penyerangan terhadap kiai maupun pesantren</a>.</p>
<h2>Apa dampaknya?</h2>
<p>Isu-isu yang menyudutkan ODGJ sering kali menjadi bahan bakar untuk penyebaran hoaks. Masyarakat yang tidak kritis terhadap informasi dapat lebih mudah terpengaruh oleh narasi negatif, sehingga memperkuat persepsi buruk terhadap ODGJ. Situasi ini dapat menciptakan perpecahan sosial antara ODGJ dan masyarakat umum. </p>
<p>Selain berdampak pada masyarakat umum yang tidak memahami fakta-fakta terkait ODGJ, ODGJ sendiri juga mungkin menginternalisasi misinformasi tersebut, yang membuat kesehatan mental mereka justru semakin buruk. Misinformasi tentang ODGJ tidak hanya menghambat masyarakat untuk memberikan kesempatan kedua kepada mereka agar dapat hidup harmonis dan produktif, tapi juga membatasi hak-hak mereka, termasuk hak untuk memilih dalam pemilu.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/220472/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Selain sebagai Dosen DKV ISI Surakarta, Fitri juga anggota Devisi Litbang Mafindo.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Finsensius Yuli Purnama dosen Fikom, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya dan terlibat sebagai peneliti di Divisi Litbang Mafindo. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Loina L. K. Perangin-angin terafiliasi dengan Swiss German University sebagai Kaprodi dan dosen tetap, selain itu menjadi Presidium Komite Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Nuril Hidayah terafiliasi sebagai dosen di STAI Miftahul 'Ula Nganjuk. Ia juga terlibat sebagai peneliti di Komite Litbang Mafindo. </span></em></p>Maraknya misinformasi tentang ODGJ saat Pemilu dapat berakibat pada hilangnya hak dasar mereka untuk ikut serta dalam memilih. Apa saja jenis misinformasi ini?Fitri Murfianti, Leiden UniversityFinsensius Yuli Purnama, Lecturer, Universitas Katolik Widya Mandala SurabayaLoina L. K. Perangin-angin, Swiss German UniversityNuril Hidayah, Stai Miftahul ' Ula NganjukLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1075852019-01-14T06:24:10Z2019-01-14T06:24:10ZBahaya ide bunuh diri pada remaja bila terlambat ditangani<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/252978/original/file-20190109-32154-8s47vi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=55%2C6%2C4533%2C3047&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Jangan biarkan remaja tenggelam dalam kesendirian. </span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com/iphotosmile</span></span></figcaption></figure><p>Ita (nama samaran) adalah seorang remaja perempuan 14 tahun yang duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama tahun ini. Dua bulan terakhir, dia seringkali tidak mau diajak untuk belajar dalam kelompok. Ita merasa malas dan tidak semangat belajar. Ia lebih banyak termenung dan merasa hampa hampir setiap hari. </p>
<p>Di kelas, Ita menjadi mudah tersinggung, kemudian menangis seorang diri, marah, dan menentang gurunya. Ita merasa teman-temannya menjauhinya dan tidak menyukai dirinya. Dia juga tidak mampu berkonsentrasi dan nafsu makannya menurun drastis. Dalam satu bulan terakhir berat badannya susut tiga kilogram. Ia ingin bercerita kepada teman dan gurunya tapi khawatir mereka menganggap ia gila. Dalam keputusasaan tersebut Ita berpikir lebih baik mati saja karena tidak tahu harus berbuat apa. </p>
<p>Beruntung, Ita tidak jadi bunuh diri. </p>
<p>Kondisi remaja di atas menggambarkan perasaan dan pikiran seorang remaja dengan gangguan depresi yang disertai dengan keinginan bunuh diri. Masalah ini <a href="https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/09/150922_majalah_bunuh_diri">cukup sering dijumpai pada remaja saat ini</a> tapi jarang terdeteksi. Depresi pada remaja perlu mendapatkan perhatian yang serius dari orang tua dan sekolah. Jika terabaikan kondisi tersebut dapat berujung maut. Berita tentang <a href="https://daerah.sindonews.com/read/1310607/23/lagi-remaja-putri-di-blitar-bunuh-diri-tinggalkan-surat-1527779481">remaja bunuh diri</a> mudah kita temukan di media massa. </p>
<h2>Depresi remaja</h2>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S016503271831752X?via%3Dihub">Penelitian saya dan kolega pada 2018 menunjukkan</a> bahwa 6,82% dari sekitar 2.900 remaja sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) di Jakarta dan sekitarnya memiliki ide-ide untuk bunuh diri, dan 2,47% di antaranya pernah mencoba tindakan bunuh diri. Belum diketahui secara spesifik rasio antara perempuan dan laki-laki. </p>
<p>Dalam <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30218852">penelitian saya dan kolega yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan</a> remaja perempuan yang mengalami <em>cyberbullying</em> lebih rentan untuk melukai diri sendiri. Remaja perempuan yang bertindak sebagai pelaku sekaligus korban <em>cyberbullying</em> juga lebih berisiko untuk memikirkan serta berupaya bunuh diri. </p>
<p><a href="https://www.hopkinsmedicine.org/psychiatry/specialty_areas/moods/adap/docs/adap-booklet_final.pdf">Publikasi lain menegaskan</a> bahwa remaja rentan terhadap depresi. Kondisi ini dapat terjadi pada sekitar 5% remaja atau satu dari 20 remaja mengatakan bahwa mereka pernah mengalami paling sedikit satu episode depresi dalam hidup mereka. Situasi tersebut membuat gangguan depresi merupakan salah satu gangguan jiwa yang cukup sering ditemukan pada remaja. Di samping itu, remaja perempuan juga dilaporkan lebih berisiko untuk mengalami gangguan ini dibandingkan dengan remaja laki-laki dengan rasio 2:1. </p>
<p>Namun sayangnya gejala-gejala depresi seperti kehilangan minat, perasaan sedih yang berkelanjutan dan keluhan-keluhan fisik seringkali kali dipikirkan sebagai gangguan fisik sehingga diagnosis depresi seringkali terlambat dilakukan. </p>
<p>Di Indonesia, belum ada data nasional mengenai angka kejadian depresi pada remaja. Data ini penting karena depresi meningkatkan risiko remaja untuk bunuh diri. </p>
<p>Depresi pada remaja juga bisa berdampak buruk terhadap fungsi sehari-hari seperti belajar serta meningkatkan risiko untuk menyalahgunakan obat. Ini mungkin terjadi karena kemampuan remaja untuk membuat keputusan seringkali terganggu. </p>
<p>Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa depresi, ide-ide bunuh diri dan tindakan bunuh diri merupakan masalah yang serius dan perlu ditangani dengan optimal. Riset-riset mengenai depresi pada remaja di Indonesia belum banyak dilakukan terutama yang berkaitan dengan penyebab atau latar belakang terjadinya gangguan depresi atau bunuh diri pada remaja. </p>
<p>Namun dapat saya katakan bahwa terjadinya gangguan depresi pada remaja merupakan suatu interaksi yang kompleks antara faktor biologis (otak) dan faktor psikososial.</p>
<h2>Penanganan depresi</h2>
<p>Penanganan <a href="https://www.hopkinsmedicine.org/psychiatry/specialty_areas/moods/adap/docs/adap-booklet_final.pdf">depresi pada remaja pada umumnya dengan pendekatan biopsikososial</a> yang meliputi psikoedukasi, psikoterapi individual dan keluarga serta pemberian obat golongan antidepresan. </p>
<p>Pada remaja dengan depresi ringan pada umumnya diberikan psikoedukasi kepada orangtua terkait dengan gejala dan intervensi depresi yang ada dan latar belakang terjadi depresi pada remaja. Langkah ini untuk membantu orangtua untuk memahami dinamika remaja dengan menelusuri perkembangan remaja secara spesifik sehingga bisa menjalin relasi emosi yang lebih tepat. </p>
<p>Sedangkan intervensi pada remaja yang mengalami depresi ringan pada umumnya diberikan psikoterapi suportif yaitu mendukung maturitas (kematangan) perkembangan ego remaja dengan memberikan berbagai gambaran dan pemikiran yang lebih positif terhadap diri sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Modifikasi lingkungan juga dapat dimanfaatkan dalam membantu mengurangi gejala depresi pada remaja, misalnya menurunkan ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga dengan menciptakan lingkungan keluarga yang lebih kondusif. </p>
<p>Dalam proses tata laksana tersebut, sesi pertemuan dapat dilakukan beberapa kali sampai remaja dapat mengatasi perasaannya dan gejala depresinya mereda. </p>
<p>Selain itu, remaja juga dibimbing untuk mendapatkan pola keterampilan adaptasi yang lebih tepat dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan sehingga mampu mengatasi berbagai tantangan kehidupan pada masa depan. Psikoterapi suportif juga membantu remaja untuk melakukan refleksi sehingga bisa belajar dari berbagai pengalaman masa lalu untuk menyusun berbagai strategi penyesuaian diri yang lebih baik pada masa depan.</p>
<p>Jika depresi berkembang menjadi lebih berat maka tata laksana yang diberikan juga meliputi obat golongan antidepresan dan psikoterapi yang lebih bersifat re-edukatif berupa terapi kognitif-perilaku. Obat golongan antidepresan dapat membantu mengurangi gejala depresi oleh karena cara kerja obat yang lebih selektif pada neurokimiawi otak yaitu serotonin, dopamine dan juga nor-epinefrin. </p>
<p>Obat antidepresan dianjurkan untuk dikomsumsi selama 6–12 bulan untuk mengurangi frekuensi kambuhan yang mungkin terjadi. Obat golongan tersebut pada umumnya tidak menimbulkan ketergantungan tapi dikatakan memiliki beberapa efek yang tidak menyenangkan misalnya mual, perasaan tidak nyaman di lambung serta sakit kepala dan beberapa gejala lain dengan persentase yang kecil. Namun gejala-gejala tersebut hanya bersifat sementara dan menghilang dalam beberapa hari setelah obat dikonsumsi. </p>
<p>Pemberian terapi kognitif perilaku bersama dengan pemberian obat antidepresan dilaporkan dapat memperbaiki gejala depresi sebesar 71% dalam waktu 12 minggu pertama. Dengan demikian, untuk remaja dengan depresi sedang dan berat, maka kombinasi ke dua intervensi tersebut merupakan pilihan utama.</p>
<h2>Promosi dan prevelensi</h2>
<p>Hal yang lebih penting adalah program yang mencegah terjadinya depresi itu sendiri, yaitu memperkuat faktor protektif, melindungi remaja agar tidak mudah menjadi depresi, serta menurunkan faktor risiko pada remaja. Tujuan program tersebut adalah mendukung remaja untuk memiliki kemampuan resiliensi yang lebih baik sehingga mereka mampu beradaptasi dan menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan saat ini yang kompleks dan penuh dengan persaingan. </p>
<p>Program <a href="https://www.who.int/mental_health/mhgap/en/">Mental Health Gap Action Program (mhGAP) dari Badan Kesehatan Dunia (WHO)</a> merupakan suatu program berbasis bukti untuk profesional kesehatan non-spesialistik (seperti doktor umum dan guru bimbingan konseling) agar mereka dapat mengidentifikasi berbagai permasalahan kesehatan jiwa remaja. Program ini juga dapat digunakan untuk menentukan prioritas penanganan sesuai dengan kebutuhan. </p>
<p>Depresi pada remaja merupakan suatu kondisi yang perlu dicermati karena angka kejadian yang <a href="https://theconversation.com/peran-penting-guru-bk-dalam-mendeteksi-depresi-pada-remaja-102923">cukup tinggi di seluruh dunia</a> termasuk di Indonesia.</p>
<p>Penanganan kondisi tersebut memerlukan kerja sama yang komprehensif antara berbagai profesi kesehatan jiwa remaja seperti psikiater anak-remaja, psikolog klinis perkembangan, guru dan juga melibatkan orangtua.</p>
<p>Kita sangat berharap remaja dapat melalui fase depresi dengan cepat dan kembali beraktifitas sebagaimana remaja seusianya serta menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/107585/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Tjhin Wiguna menerima dana riset dari Australia-Indonesia Center (AIC) dan Universitas Indonesia (UI).</span></em></p>Hal yang lebih penting adalah program promosi dan prevensi untuk mencegah terjadinya depresi itu sendiri, yaitu memperkuat faktor protektif dan menurunkan faktor risiko pada remaja.Tjhin Wiguna, Consultant, Department of Child and Adolescent Psychiatry, Faculty of Medicine, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/856862018-01-19T09:21:58Z2018-01-19T09:21:58ZKami temukan mekanisme psikologis skizofrenia—dapatkah dicegah?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/202132/original/file-20180116-53324-vphtk0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ketakutan karena halusinasi dan seolah-olah melihat hantu?</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/download/confirm/359466053?src=ikPPk526FCcRPfrL-m1lTw-1-20&size=huge_jpg"> Vchal/shutterstock.com</a></span></figcaption></figure><p>Seorang pasien baru pertama kalinya merantau ke Jakarta, jauh dari kampung halamannya, Makassar. Pada saat ia pertama kali bekerja di sebuah perkantoran di Jakarta, ia belum bisa menyesuaikan diri dengan budaya metropolitan sehingga seringkali dikucilkan dan dianggap aneh oleh rekan kerja sekitarnya. </p>
<p>Setelah enam bulan bekerja di kantor tersebut, ia merasa rendah diri, terasing, dan menjadi murung. Ia tidak tahan dan kemudian pindah kerja ke kantor lain yang bergerak di industri lainnya. Tapi di sini ia juga merasa dikucilkan oleh rekan-rekan baru. </p>
<p>Di lingkungan tempat tinggalnya, ia mulai merasa curiga dengan tetangga, yang menurutnya suka membicarakannya di belakangnya karena ia berasal dari luar kota. Melihat perubahannya yang ekstrem ini, orang tuanya membawa dia ke psikolog untuk pemeriksaan. Ia kemudian mendapatkan diagnosis <a href="https://theconversation.com/lima-hal-yang-perlu-dipahami-tentang-skizofrenia-86850?utm_source=twitter&utm_medium=twitterbutton">skizofrenia</a> dari pemeriksaan psikolog.</p>
<p>Dari kasus tersebut, kita dapat mengurutkan rentetan peristiwa dari awalnya dikucilkan, kemudian merasa rendah diri, menjadi murung, dan akhirnya mengembangkan waham paranoid. </p>
<p>Pertanyaannya, apakah proses seperti itu hanya berlaku pada kasus tersebut? Apakah proses pengembangan waham paranoid ini sebuah mekanisme psikologis yang umum? Apakah mekanisme ini hanya berlaku di Indonesia atau juga di seluruh dunia? Apakah mekanisme ini hanya berlaku bagi pengidap skizofrenia?</p>
<h2>Mekanisme psikologis lintas budaya</h2>
<p>Untuk menjawab pertanyaan di atas, <a href="http://www.ui.ac.id/berita/penelitian-dosen-ui-berhasil-masuk-jurnal-internasional-bergengsi.html">kami meneliti masalah kejiwaan</a> dengan <a href="https://www.cambridge.org/core/journals/psychological-medicine/article/longitudinal-mediation-analysis-of-the-effect-of-negativeselfschemas-on-positive-symptoms-via-negative-affect/4056CF0BEA24E9A6F9F25F7A6B02297B">sampel lintas budaya dan negara berjumlah 962 orang,</a> 302 orang di antaranya dari Amerika Serikat, 348 dari Indonesia, dan 312 dari Jerman. </p>
<p>Sebanyak 31,2% dari sampel melaporkan pernah menerima diagnosis masalah atau gangguan jiwa tertentu, dan 3,3% sedang mengalami <a href="https://theconversation.com/lima-hal-yang-perlu-dipahami-tentang-skizofrenia-86850?utm_source=twitter&utm_medium=twitterbutton">skizofrenia</a>. </p>
<p>Penelitian ini jangka panjang. Setiap partisipan penelitian diminta untuk melaporkan kondisi mereka setiap empat bulan selama satu tahun. Data ini dikumpulkan dari 2014 sampai 2016 karena setiap partisipan mengikuti penelitian ini dalam waktu yang beda-beda. Ada yang berpartisipasi pada 2014 dan ada yang ikut pada 2015. </p>
<p>Menggunakan analisis statistik yang kompleks bernama analisis mediasi longitudinal dan model panel jeda silang (<em>cross-lagged panel</em>), kami menemukan bukti bahwa mekanisme yang dialami kasus di atas (mulai dikucilkan hingga mengembangkan waham paranoid) dan dirumuskan dalam <a href="http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0010440X13000527">teori terapi kognitif perilaku </a> itu memang bagian dari mekanisme psikologis yang umum dialami oleh semua orang dari berbagai latar belakang budaya dan status diagnosis kejiwaan. Ini pertama kali bukti ilmiah lintas budaya untuk mekanisme psikologis skizofrenia itu ditemukan.</p>
<p>Terapi kognitif perilaku adalah terapi psikologis berdasarkan bukti dan paling banyak digunakan untuk menangani berbagai masalah dan gangguan kejiwaan. Tujuan utama terapi ini adalah mengubah gaya berpikir dan kebiasaan sehari-hari agar gejala dari masalah atau gangguan kejiwaan bisa hilang. </p>
<p>Secara detail, hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsep diri yang buruk seperti perasaan rendah diri dapat mengarah ke peningkatan gejala psikotik secara umum, seperti paranoia, mendengar suara-suara aneh, dan pengalaman aneh seperti merasa mendapatkan pesan rahasia saat menonton sebuah acara berita televisi.</p>
<p>Konsep diri yang buruk dapat memunculkan gejala psikotik karena konsep diri yang buruk itu merupakan lahan subur untuk seseorang mengalami perasaan-perasaan negatif, seperti merasa murung, tegang, dan cemas. </p>
<h2>Dampak bagi praktisi dan masyarakat</h2>
<p>Penemuan ini mengubah cara pandang dan penanganan skizofrenia pada saat ini, sehingga diharapkan memiliki dampak yang signifikan bagi praktisi dan masyarakat. Penanganan utama untuk orang dengan skizofrenia di Indonesia saat ini masih berpusat pada penanganan berbasis obat dan rehabilitasi sosial. Peran terapi psikologis <a href="http://eprints.ums.ac.id/42152/1/naskah%20publikasi.pdf">hampir tidak ada</a>.</p>
<p>Penanganan ini dapat dipahami karena hal ini tidak terlepas dari pendidikan para pekerja di bidang kesehatan jiwa. Mereka menggunakan <a href="https://www.amazon.com/Abnormal-Psychology-12th-Ann-Kring/dp/1118018494">buku teks</a> yang masih menggunakan dasar temuan-temuan ilmiah hampir satu dekade lalu, yang menyebut penyebab utama skizofrenia adalah faktor keturunan dan ketidakseimbangan hormon di otak. </p>
<p>Walaupun demikian, psikolog dapat langsung menyesuaikan caranya menangani orang dengan skizofrenia dengan penemuan terbaru ini.</p>
<p>Praktik psikolog di Indonesia umumnya kalau menerima orang dengan skizofrenia, mereka selalu merujuknya ke psikiater dan tidak mau menanganinya. Padahal orang dengan skizofrenia merasa perlu penanganan psikolog. Hal ini berhubungan dengan perbedaan profesi psikiater dan psikolog. Psikiater adalah dokter spesialis jiwa yang cenderung memandang gangguan jiwa dari segi neurofisiologis, dan memiliki hak untuk memberi resep obat-obatan psikotropika. Psikolog memandang gangguan jiwa cenderung dari aspek psikososial termasuk aspek kognitif dan perilaku, sehingga penanganannya bersifat non-obat seperti konsultasi dan pemberian kegiatan. </p>
<p>Karena itu, para psikolog di Indonesia dapat mengaplikasikan penemuan ini langsung dalam praktik mereka. Misalnya, <a href="http://doi.apa.org/getdoi.cfm?doi=10.1037/a0028665">sebuah terapi kognitif-perilaku untuk skizofrenia</a> seringkali berlangsung sekitar 40 pertemuan mingguan yang berlangsung selama hampir satu tahun. Pertemuannya menjadi banyak karena berisi banyak sekali teknik yang diajarkan untuk menangani berbagai masalah dari manajemen emosi hingga membangun kebiasaan mengerjakan hobi. Teknik untuk meningkatkan kepercayaan diri hanya sebagian kecil dari terapi tersebut.</p>
<p>Berkaca dengan hasil penelitian ini, terapi kognitif-perilaku untuk skizofrenia yang berdasarkan <a href="https://www.hogrefe.de/shop/kognitive-verhaltenstherapie-der-schizophrenie-66566.html">buku manual terapi tertentu</a> dapat menggunakan lebih banyak teknik untuk meningkatkan kepercayaan diri, sehingga dapat mengurangi jumlah pertemuan tanpa mengurangi efektivitas terapi.</p>
<p>Selain itu, penemuan ini merupakan sebuah batu loncatan penting untuk pengembangan terapi psikologis yang lebih baik untuk para pengidap skizofrenia. Saat ini, terapi untuk skizofrenia masih tidak begitu ideal. Terapi utama untuk skizofrenia, yang menggunakan terapi obat, memiliki banyak efek samping yang tidak nyaman seperti muncul gejala tremor (gemetar berulang tanpa disengaja) dan <a href="http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S014067360861764X">penambahan berat badan</a>. </p>
<p>Sedangkan terapi psikologis saat ini untuk skizofrenia memiliki berbagai kekurangan. Sebuah <a href="http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4593948/">peninjauan meta-analisis</a> yang menggabungkan hasil-hasil penelitian yang sudah dipublikasikan menunjukkan bahwa terapi kognitif-perilaku untuk skizofrenia saat ini masih sangat kurang efektif menurunkan gejala-gejala skizofrenia tertentu seperti waham. Walau demikian, terapi kognitif-perilaku untuk skizofrenia saat ini merupakan satu-satunya terapi psikologis yang terbukti <a href="https://www.nice.org.uk/guidance/qs80/chapter/quality-statement-2-cognitive-behavioural-therapy">efektif untuk skizofrenia. </a></p>
<h2>Program preventif</h2>
<p>Implikasi yang paling penting dari penemuan ini adalah membuka jalan ke pengembangan program preventif untuk masalah atau gangguan jiwa. Program preventif untuk masalah atau gangguan jiwa di dunia saat ini sering kali memiliki basis obat. Contohnya, <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2559918/#B65">program intervensi dini</a> skizofrenia untuk orang-orang yang pernah mengalami sebuah episode psikotik agar episode tersebut tidak berulang dan berkembang ke arah skizofrenia.</p>
<p>Namun program preventif tersebut tidak dapat serta merta diberikan ke masyarakat umum karena obat antipsikotik memiliki efek samping fisik, sehingga tidak benar bila obat tersebut diberikan ke orang yang sebenarnya sehat (dan ke depannya tidak akan mengalami skizofrenia).</p>
<p>Terapi kognitif-perilaku untuk skizofrenia juga bukan alternatif. Sulit untuk meminta setiap orang yang pergi ke psikolog untuk menjalani terapi psikologis, karena terapi tersebut bisa membawa stigma dianggap “gila” oleh orang-orang di sekitar. </p>
<p>Berbeda dengan penanganan obat dan psikologis, program peningkatan kepercayaan diri dapat diberikan ke semua orang karena tidak ada efek samping fisik dan tidak membawa stigma. Selain itu, program preventif seperti ini memiliki potensi untuk diberikan secara sistematis, misalnya melalui sekolah. Langkah ini akan memakan biaya yang jauh lebih sedikit daripada terapi psikologis yang sifatnya individual. </p>
<p>Penemuan ini dapat dimanfaatkan berbagai pihak untuk meningkatkan efektivitas pelayanan kepada orang dengan skizofrenia. Rumah sakit jiwa dapat menyesuaikan caranya menangani orang dengan skizofrenia dengan cara melibatkan psikolog. Dan para psikolog dapat menggunakan penemuan ini untuk menyesuaikan terapinya saat menangani orang dengan skizofrenia.</p>
<p>Pemerintah dapat menyuluh mengenai skizofrenia yang lebih tepat sasaran, yakni populasi yang rentan seperti masyarakat yang miskin dan tinggal di kota. Dengan temuan ini, sudah saatnya mengadopsi faktor lingkungan menjadi salah satu penyebab penting skizofrenia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/85686/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Edo S. Jaya adalah penerima beasiswa S3 dari German Academic Exchange Service (DAAD, Deutsche Akademische Austausch Dienst). Edo terafiliasi dengan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI), Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), dan Ikatan Psikologi Klinis (IPK).</span></em></p>Konsep diri yang buruk dapat memunculkan gejala psikotik, yang merupakan lahan subur untuk seseorang mengalami perasaan negatif dan berkembang jadi skizofrenia.Edo S. Jaya, Lecture at Faculty of Psychology, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/858532017-12-11T08:34:18Z2017-12-11T08:34:18ZKisah inspiratif membebaskan orang dengan gangguan jiwa dari pasung di Kebumen<p>Di Indonesia masih banyak orang dengan gangguan jiwa diikat, dirantai, diberi balok kayu di kaki, dan dikurung di dalam kamar. </p>
<p>Sejak 2010, pemerintah, rumah sakit jiwa, organisasi konsumen, dan pihak-pihak lain mendukung <a href="http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=1242">Gerakan Bebas Pasung di Indonesia</a> untuk membebaskan orang dengan gangguan jiwa dari pasung. Pemasungan tidak hanya terjadi di Indonesia. Namun <a href="https://ugm.ac.id/id/berita/15281-ugm.dorong.pemda.dukung.gerakan.indonesia.bebas.pasung">Indonesia satu-satunya negara yang memiliki gerakan bebas pasung</a>. </p>
<p>Namun membebaskan mereka dari pasung tidak sederhana. Pemasungan orang dengan gangguan jiwa menyangkut budaya, kesiapan keluarga, masyarakat, pemerintah, dan sistem kesehatan jiwa secara umum. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca artikel menarik</strong>: <a href="https://theconversation.com/lima-hal-yang-perlu-dipahami-tentang-skizofrenia-86850">Lima hal yang perlu dipahami tentang skizofrenia</a></em></p>
<hr>
<p>Untuk menumbuhkan perhatian kepada orang dengan <a href="http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-dukung-kesehatan-jiwa-masyarakat.html">gangguan jiwa</a> dan membebaskan mereka dari pasung, dorongan dari anggota masyarakat sangat dibutuhkan. </p>
<p>Saya dan rekan-rekan di Center for Public Mental Health (CPMH), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, sejak 2015 mengadvokasi hak para pasien jiwa di Panti Mbah Marsiyo, sebuah panti yang dikelola oleh <a href="http://www.kebumenekspres.com/2017/09/mbah-marsiyo-80-raja-orang-gila-dari.html">Marsiyo</a>, berusia sekitar 80 tahun, di Kabupaten Kebumen. </p>
<p>Marsiyo meyakini metode utama menyembuhkan sakit jiwa adalah mendekatkan mereka ke tanah, yaitu dengan merantai kaki pasien atau memasung mereka di atas tanah. Sejak 40 tahun lalu, ia menampung orang dengan gangguan jiwa di rumahnya. Orang-orang tersebut datang diantar oleh keluarga mereka. </p>
<p>Advokasi yang kami lakukan pada awalnya belum membuahkan hasil. Kami baru menemukan momentum pada bulan-bulan terakhir 2017 ketika seorang petugas pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) mengikuti workshop mengenai pemberantasan praktik pasung. Ia kemudian terinspirasi untuk menggerakkan pejabat berwenang untuk memperhatikan nasib orang dengan gangguan jiwa yang dipasung di Panti Mbah Marsiyo. </p>
<p>Sebuah <a href="http://www.beritakebumen.info/2017/10/relawan-sosial-kebumen-mandikan-80.html">bakti sosial</a> yang dilakukan pemerintah daerah Kebumen sempat membuat isu mengenai pembebasan praktik pasung di Panti tersebut mengemuka di beberapa media lokal. </p>
<h2>Advokasi untuk orang dengan gangguan jiwa di Kebumen</h2>
<p>Saya dan rekan-rekan mulai mencoba mencari tahu siapa saja yang memiliki peran dapat mengubah keadaan panti Mbah Marsiyo pada 2015. Awalnya, Aliza Hunt, mahasiswa kandidat doktor dari Australian National University magang di Center for Public Mental Health (CPMH) dan mengunjungi panti Mbah Marsiyo. </p>
<p>Aliza menuangkan keprihatinan tersebut ke dalam laporan yang dibagi dalam lingkungan terbatas. Aliza kemudian mendiskusikannya secara intensif dengan kami. Ia prihatin dengan metode yang digunakan dan fasilitas buruk di panti. </p>
<p>Maka kami kemudian menganalisis untuk mencari siapa yang bisa menjadi agen perubahan. Kami juga mencari tahu potensi daerah dan sistem kesehatan jiwa di Kebumen.</p>
<p>Dari analisis inilah kami bertemu Sian, petugas di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) Kecamatan Mirit, puskesmas rujukan untuk wilayah Panti Mbah Marsiyo. Kami melihat potensi Sian untuk menjadi agen perubahan. Di Puskesmas Mirit Sian bertanggung jawab atas program kesehatan jiwa. </p>
<p>Meski merangkap dengan banyak tanggung jawab lain, Sian sangat peduli dengan pasien-pasien di Panti Mbah Marsiyo. </p>
<p>Sian tidak pernah mendapatkan pelatihan perawat kesehatan jiwa. Namun ia menggerakkan kolega di puskesmas untuk menyisihkan sebagian penghasilan mereka untuk memberi makan dan alat mandi kepada pasien Panti Mbah Marsiyo secara berkala. </p>
<p>Sian juga setiap bulan membawa obat dari Dinas Kesehatan Kebumen untuk pasien jiwa di Panti Mbah Marsiyo. Dinas Kesehatan mulai menyumbangkan obat psikiatri ke Panti Mbah Marsiyo pada 2014. Sejak saat itu sebagian penghuni Panti Mbah Marsiyo mendapatkan persediaan obat-obatan. Pengobatan yang rutin untuk mengontrol gejala, termasuk bagian dari manajemen penanganan pasien dengan gangguan jiwa. </p>
<h2>Inspirasi dari workshop</h2>
<p>Pada September 2017, Sian menghadiri workshop internasional mengenai pemberantasan praktik pasung yang kami selenggarakan. </p>
<p>Workshop ini dihadiri para penggerak Gerakan Bebas Pasung Indonesia, baik nasional maupun lokal, juga para peneliti internasional yang tertarik dengan perkembangan sistem kesehatan jiwa Indonesia. Kami mengundang Sian sebagai tamu kehormatan. </p>
<p>Sian sangat terinspirasi oleh workshop tersebut. Sebuah ide muncul di kepalanya untuk memecahkan masalah di Panti Mbah Marsiyo: menjadikannya panti resmi milik Dinas Sosial. Sian kemudian menghubungi Kepala Dinas Sosial Kebumen dr. Budi Satrio dengan ide tersebut. </p>
<p>Kepala Dinas Sosial Kebumen dokter Budi Satrio menanggapi ide Sian. Dinas Sosial Kebumen kemudian menyelenggarakan bakti sosial di Panti Mbah Warsiyo. Sekitar 90 orang dari berbagai sektor terlibat dalam bakti sosial. Mereka membersihkan lingkungan sekitar panti, memandikan orang dengan gangguan jiwa yang jumlahnya sekitar 60 orang dan mencukur rambut mereka. Separuh dari Pasien Panti Mbah Marsiyo sudah tidak dipasung. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kebumen membawa dua truk air untuk keperluan bakti sosial ini. </p>
<p>Bupati Kebumen Muhammad Yahya Fuad, DPRD, dan pihak-pihak terkait saat ini <a href="http://www.suaramerdeka.com/news/detail/2962/Pemkab-Kebumen-Bakal-Bangun-Panti-Rehabilitasi-ODGJ">merencanakan membangun fasilitas panti jiwa baru di Kebumen</a>. Panti tersebut direncanakan akan menjadi tempat perawatan orang dengan gangguan jiwa yang manusiawi tanpa pemasungan. Kemajuan di Kebumen ini luar biasa, selangkah demi selangkah mereka membangun sistem kesehatan jiwa yang komprehensif.</p>
<h2>Bukan kerja instan</h2>
<p>Kerja advokasi tidak singkat. Meski saat ini ada perhatian dan rencana perubahan dari pemerintah untuk pasien di Panti Mbah Marsiyo, masih ada orang dengan gangguan jiwa yang dipasung di panti tersebut. Keluarga orang dengan gangguan jiwa juga masih mengirimkan anggota keluarganya untuk dipasung. </p>
<p>Contohnya, pada Oktober lalu Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada mengatur <a href="http://www.kebumenekspres.com/2017/10/psikolog-australia-berkunjung-ke.html">kunjungan peserta International Short Course</a> untuk belajar tentang kemampuan advokasi untuk pengembangan sistem kesehatan jiwa ke Panti Mbah Marsiyo. Kunjungan tersebut untuk menunjukkan kepada peserta tantangan pengembangan sistem kesehatan jiwa di lapangan.</p>
<p>Ketika Mbah Marsiyo sedang sibuk menerima tamu, sebuah minibus berwarna pink datang menerobos kerumunan.</p>
<p>Kami kemudian menyaksikan sebuah keluarga menyerahkan anggota keluarganya ke Panti Mbah Marsiyo. Mbah Marsiyo menerima keluarga tersebut dengan ramah. Ia memberikan secarik kertas pada keluarga untuk ditandatangani. </p>
<p>Kertas tersebut intinya berbunyi “Keluarga tidak akan menuntut jika terjadi apa-apa dengan orang dengan gangguan jiwa yang dititipkan kepada Mbah Marsiyo”. Mbah Marsiyo meminta, tapi tidak mewajibkan, keluarga menyumbang sedikit uang untuk biaya perawatan. </p>
<p>Keluarga tersebut bercerita pada peserta pelatihan bahwa anggota keluarga, yang berusia 30-an, sudah 15 kali masuk rumah sakit jiwa. Namun pasien selalu kambuh dan agresif setelah dua minggu di rumah. </p>
<p>Mereka berkata warga sekitar rumah mereka ketakutan setiap pasien mengamuk. Warga menolak kehadirannya di tengah masyarakat. Dengan berat hati keluarga kemudian membawa pasien ke Panti Mbah Marsiyo. </p>
<p>Kisah miris tersebut menunjukkan bahwa sedikitnya ada lima hal yang hilang: pengobatan yang teratur, psikoterapi, keluarga yang suportif, masyarakat yang tidak men-stigma, dan aktivitas yang sesuai agar orang dengan gangguan jiwa bisa mencapai “wellbeing” dan hidup produktif dengan sakitnya. Sistem kesehatan jiwa komprehensif memerlukan nafas panjang advokasi. Dari Kebumen kita belajar bahwa perubahan ke arah yang lebih baik dalam menangani orang dengan gangguan jiwa mungkin dilakukan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/85853/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Diana Setiyawati tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dorongan dari anggota masyarakat sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan perhatian pada orang dengan gangguan jiwa dan membebaskan mereka dari pasung.Diana Setiyawati, Lecturer at the Faculty of Psychology and researcher at Centre for Public Mental Health, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.