Menu Close

Hal-hal yang penting kita ketahui tentang politik Israel dan masalah Palestina

EPA-EFE/Amit Shabi/Pool

Dengan terus bertambahnya warga sipil yang menjadi korban di Gaza, politikus Israel dari berbagai faksi harus menghadapi kenyataan sesungguhnya: konflik Palestina-Israel tidak dapat dikelola, namun harus diselesaikan.

Hubungan antara warga Palestina dan Israel, dan antara warga Israel keturunan Yahudi dan Palestina telah mencapai momen berbahaya yang baru.

Anggapan bahwa konflik ini bukan isu utama dalam dunia politik Israel telah dihancurkan oleh adanya perselisihan penuh kekerasan antar komunitas di Yerusalem, Haifa, Lod, Jaffa dan kota-kota lain.

Kejadian-kejadian ini menguak kebobrokan politikus Israel yang telah bertarung dalam empat pemilihan umum (pemilu) dalam dua tahun, yang menganggap konflik terjadi jauh dari mereka.

Selama bertahun-tahun dalam jabatannya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah menganggap konflik ini sebagai masalah administrasi belaka; ia mencoba menyembunyikan keributan namun tidak pernah menanggapi aspirasi politik warga Palestina.

Keberhasilan Netanyahu yang luar biasa ini bertumpu pada kemampuan dia membujuk lawan-lawan politik - dan sebagian dunia Arab - untuk melakukan hal yang sama. Bahkan pemimpin Muslim Israel Mansour Abbas, yang kini menjadi tokoh kunci dalam setiap pembentukan pemerintahan Israel, mengacuhkan konflik ini dalam pidato penting pada publik Israel setelah pemilu akhir-akhir ini.

Pemicu krisis terbaru adalah kejadian-kejadian di wilayah Yerusalem Timur yang diduduki.

Upaya untuk mengusir keluarga-keluarga Palestina dari rumah mereka di daerah pinggiran Sheik Jarrah di Yerusalem Timur dan tindakan aparat keamanan yang provokatif selama Ramadan di Gerbang Damaskus dan Mesjid al-Aqsa berdampak pada warga Palestina di kedua sisi “garis hijau” – yang membatasi Israel dari wilayah-wilayah pendudukan dan juga membelah Yerusalem.

Kelompok sayap kanan jauh, terdorong oleh kesuksesan memenangkan enam kursi parlemen pada Maret, menyulut situasi dengan unjuk rasa di jalanan Yerusalem Timur dengan slogan semacam “Mati orang Arab!”. Saat konflik antarkomunitas menyebar ke seluruh Israel, Hamas mulai meluncurkan roket-roket.

Dengan latar belakang semacam ini, upaya untuk membentuk pemerintahan secara diam-diam terus berjalan secara diam-diam.

Netanyahu gagal melakukan tugas itu dan Presiden Israel Reuven Rivlin berpaling pada pemimpin Partai Yest Atid, Yair Lapid, yang bersiap mencoba membentuk koalisi dengan partai-partai tengah, sayap kiri dan sayap kanan – sebuah kelompok yang disatukan hanya oleh niat menjadi oposisi bagi Netanyahu.

Tokoh kunci upaya ini adalah Naftali Bennett, pemimpin partai sayap kanan kecil Yaminia; ia rival lama Netanyahu dan sudah lama ingin menjadi perdana menteri.

Lapid menawarkan Bennet sebuah kesepakatan mereka akan bergantian menjadi perdana menteri, pertama Bennet, lalu Lapid. Terlepas dari sikap politik Bennet, Yesh Atid yang kelompok tengah, dan partai Buruh dan Meretz yang kiri tampaknya bersedia mendukung kesepakatan itu.

Arab Israeli men carry the body of a man wrapped in a Palestinian flag surrounded by crowds of people at a funeral.
Warga Israel keturunan Arab membawa peti seorang lelali Arab-Israel berusia 25 tahun yang tewas ditembak saat kerusuhan di kota Lod, pada 11 Mei 2011. Oren Ziv/dpa/Alamy Live News

Hingga 9 Mei, negosiasi berjalan baik dan ada spekulasi bahwa pemerintahan baru akan terbentuk dalam satu minggu.

Namun keesokan harinya, Hamas dan pejuang jihad Islam mulai menembakkan serangan roket ke Israel.

Dalam hitungan hari, Bennet mengumumkan bahwa situasi keamanan yang ada membuat negosiasi tidak bisa dilakukan. Kesepakatan usulan Lapid hampir pasti gagal.

Tidak ada niat ke arah damai

Pemerintahan alternatif bentukan Lapid akan sangat mungkin melanjutkan kebijakan pengelolaan konflik ala Netanyahu. Ini telah menjadi kebijakan sebagian besar pemerintahan Israel selama 25 tahun.

Kecuali pada suatu masa singkat dalam kepemimpinan Ehud Olmert dari Partai Kadima antara 2006-2009, pemimpin Israel selalu mengklaim tidak ada mitra untuk pembicaraan damai dari pihak Palestina, dan oleh karena itu negosiasi tidak bisa dilakukan.

Ehud Barak dari Partai Buruh mengklaim bahwa dia hanya pergi ke pembicaraan Kamp David yang diadakan Amerika Serikat (AS) pada 2000 untuk menyingkap Yasser Arafat sebagai teroris. Ariel Sharon, penerus Barak, menggunakan intifada kedua (serangan Palestina pada 2000-2005) sebagai bukti bahwa negosiasi mustahil dilakukan.

Sharon secara sepihak lalu melepaskan diri dari Gaza pada 2005 namun menolak melakukan negosiasi serah terima dengan baik pada Otoritas Palestina. Hasilnya adalah keuntungan bagi Hamas, yang mengklaim bahwa Israel telah pergi akibat serangan (dari mereka). Ini lalu berlanjut menjadi kemenangan Hamas dalam pemilu legislatif Palestina di tahun berikutnya.

Olmert melakukan negosiasi intensif dengan presiden otoritas Palestina Mahmoud Abbas, namun tampaknya Abbas meninggalkan pembicaraan.

Sementara itu, Netanyahu tidak pernah memiliki niat serius untuk menindaklanjuti masalah. Pada masa jabatan pertama sebagai perdana menteri 1996-1998, ia melihat bahwa ia memiliki tugas untuk mengacaukan Perjanjian Oslo 1993-1995 dengan merendahkan harapan warga Palestina untuk dapat memiliki negara merdeka.

Sejak 2009, tidak ada negosiasi namun ekspansi pemukiman Israel di Tepi Barat dan ancaman sesekali untuk mengurangi sebagian wilayah kependudukan terus berlanjut.

Perdamaian bagi Netanyahu hanya karena tidak ada konflik bersenjata dan aksi terorisme – bukan berarti penyelesaian konflik, sebagaimana direncanakan dalam Perjanjian Oslo.


Read more: Indonesia semestinya mencari keuntungan lebih atas upaya perdamaian dan bantuan luar negerinya


Hancur berantakan

Harga yang harus dibayar akibat keengganan bertindak dalam masalah Palestina ini sekarang tampak dalam bagaimana mozaik masyarakat Israel yang rapuh mulai terkoyak dalam kelompok etnis yang saling berselisih.

Konflik atas masa depan wilayah-wilayah pendudukan sebagai masa depan Israel itu sendiri bersifat politis, tidak strategis.

Bagi Netanyahu, ini berarti mempertahankan keunggulan militer dan menangani ancaman teroris ketimbang mengakui adanya kebutuhan akomodasi politis antara dua pergerakan nasional. Warga Palestina dan Israel berbagi lingkungan yang sama, terikat pada tanah dan sama-sama ingin menegakkan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.

Walau Netanyahu akan melakukan negosiasi gencatan senjata dengan Hamas, dia tidak akan melakukan pembicaraan politik dengan Palestina. Namun, kebijakan mengelola konflik seperti ini hingga saat ini terbukti hanya memperdalam konflik.

Setiap ronde pertikaian selesai, selalu ada lebih banyak korban tewas, lebih banyak keluarga yang berduka, dan lebih banyak kebencian. Ketegangan antara warga Yahudi dan Arab di Israel akan membekas pada masyarakat Israel untuk waktu yang lama.

Selama 25 tahun terakhir, sedikit politikus Israel yang punya keberanian untuk menghadapi akar konflik.

Saat Yitzhak Rabin, perdana menteri Israel ketika itu, menandatangani Perjanjian Oslo pada September 1993, ia menengok pada pihak Israel dan Palestina dan berkata: “Sudah cukup darah dan air mata”.

Warga Gaza, Tepi Barat dan Israel pasti menantikan kapan waktu itu akan tiba.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now