tag:theconversation.com,2011:/id/topics/kebebasan-akademik-77904/articleskebebasan akademik – The Conversation2024-02-12T06:22:16Ztag:theconversation.com,2011:article/2222872024-02-12T06:22:16Z2024-02-12T06:22:16ZDemi merawat demokrasi, universitas mesti bebas dari intervensi pemimpin negara yang otoriter<p>Setelah <a href="https://kabar24.bisnis.com/read/20240205/15/1738509/daftar-kampus-dan-akademisi-tuntut-jokowi-netral-jelang-pemilu-2024">beberapa universitas di Indonesia menyampaikan deklarasi</a> terkait Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang dianggap gagal menjaga netralitas Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, <a href="https://www.detik.com/jogja/berita/d-7182285/heboh-kampus-diminta-bikin-video-apresiasi-jokowi-warek-ugm-ironi">sejumlah rektor mengaku menerima intervensi dari beberapa pihak.</a></p>
<p>Berbagai bentuk intervensi kebebasan akademik universitas tidak jarang terjadi di Indonesia, mulai dari <a href="https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/05/30/kebebasan-akademis-indonesia-dalam-ancaman">ancaman dan intimidasi</a>, hinggga <a href="https://fh.unair.ac.id/en/merosotnya-kebebasan-akademik-sebagai-akibat-dari-adanya-intervensi-kekuasaan/">pembubaran diskusi dan seminar. </a>. Terbaru, muncul <a href="https://rilpolitik.com/acara-nobar-dan-diskusi-dirty-vote-di-mbloc-space-batal-izin-dicabut-mendadak/">pelarangan nonton bareng</a> film dokumenter investigasi <em>Dirty Vote</em>, yang mengungkap kecurangan pemilu 2024. </p>
<p>Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mengungkap bahwa <a href="https://news.republika.co.id/berita/qifatv396/lp3es-ungkap-4-tanda-indonesia-semakin-otoriter">Indonesia menunjukkan tanda-tanda semakin otoriter</a>. Ini contohnya terlihat dari <a href="https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/08/08/ruang-kebebasan-sipil-di-indonesia-semakin-sempit">makin masifnya pembatasan kebebasan sipil</a> melalui <a href="https://www.kominfo.go.id/index.php/content/detail/4419/Menkominfo%3A+Pasal+27+Ayat+3+UU+ITE+Tidak+Mungkin+Dihapuskan/0/berita_satker">UU ITE</a>, pengabaian <a href="https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/11/12/pejuang-lingkungan-masih-rentan-mengalami-kekerasan">kekerasan terhadap aktivis</a>, hingga pelanggaran komitmen demokrasi dengan adanya <em>conflict of interest</em> <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230606130341-617-958225/jokowi-cawe-cawe-itu-kewajiban-moral-saya-sebagai-presiden">Jokowi yang ingin terlibat atau <em>“cawe-cawe”</em> dalam Pemilu</a>.</p>
<p>Otoritarianisme <a href="https://www.tni.org/en/publication/understanding-and-challenging-authoritarianism">ditandai dengan tingginya keinginan negara</a> untuk mengontrol masyarakat, dengan membatasi kebebasan individu dan institusi, untuk menjaga kekuasaan dalam tangan mereka sendiri</p>
<p>Menurut Ernesto Gallo, Profesor Hubungan Internasional dari University of Birmingham, Inggris, yang biasanya terjadi di negara demokrasi adalah <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/10245294211038425">“neoliberalisme otoriter”</a>. Artinya, pemerintah bisa menerapkan kebijakan ekonomi neoliberal, tetapi sembari membatasi kebebasan politik dan sipil. Hal ini dapat dilihat dalam konteks UU Cipta Kerja (Omnibus) di Indonesia, <a href="https://news.detik.com/kolom/d-5204654/uu-cipta-kerja-neoliberalisme-dan-deregulasi">yang mempermudah investasi asing</a>, <a href="https://www.walhi.or.id/uu-ck-skandal-legislasi-paling-barbar">namun memangkas hak-hak buruh</a>. </p>
<p><a href="https://www.icnl.org/wp-content/uploads/Uni-restrictions-rpt-final-March-2019.pdf">Studi</a> Kirsten Roberts Lyer dan Aron Suba dari UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) menemukan bukti-bukti tindakan pemerintah yang restriktif dan represif terhadap universitas di lebih dari 60 negara. Termasuk di antaranya campur tangan struktur kepemimpinan dan tata kelola universitas, kriminalisasi dan pemecatan akademisi, sekuritisasi kampus, intimidasi keluarga, pembatasan pemberian jatah hibah dan beasiswa, hingga sensor buku dan publikasi topik tertentu.</p>
<h2>Pembatasan kebebasan akademik di berbagai negara</h2>
<p>Indonesia tidak sendirian. Dalam beberapa tahun terakhir, kecenderungan <a href="https://www.voanews.com/a/report-authoritarianism-on-the-rise-as-democracy-weakens/6856151.html">otoritarianisme juga meningkat di berbagai belahan dunia</a>. </p>
<p>Di Turki, <a href="https://www.bbc.com/news/world-middle-east-44519112">5.000 akademisi dan 33 ribu guru kehilangan pekerjaan</a>, <a href="https://www.aljazeera.com/news/2018/11/19/turkey-academic-jailed-after-raids-on-professors-and-activists">ratusan profesor dan lulusan bergelar magister dan doktoral dipenjara</a> karena terlibat dalam aksi protes pemerintah hingga dituduh berafiliasi dengan <a href="https://www.aljazeera.com/news/2022/7/15/turkeys-failed-coup-attempt-explainer">pencobaan kudeta presiden</a>. </p>
<p>Di <a href="https://www.france24.com/en/20181016-hungary-gender-studies-ban-draws-university-anger">Hungaria</a>, pemerintah melarang pengajaran mata kuliah studi gender hingga mengambil alih kontrol penuh terhadap Hungarian Academy of Social Science.</p>
<p>Sementara <a href="https://reliefweb.int/report/occupied-palestinian-territory/rights-civil-society-members-are-being-violated-all-entities-israel-and-occupied-palestinian-territory-un-commission-inquiry-says-israeli-government-restrictions-intrinsically-linked-occupation-enarhe">di Israel</a>, terdapat undang-undang antimasyarakat sipil dan universitas yang bertujuan untuk menghentikan dan meminimalkan protes terhadap pemerintah.</p>
<h2>Dampak otoritarianisme terhadap universitas</h2>
<p>Universitas yang beroperasi di bawah intervensi pemerintah yang otoriter sering <a href="https://eprints.whiterose.ac.uk/184563/">menghadapi tantangan</a> dalam menjaga kebebasan dan kemandirian akademik dalam riset, sumber daya, hingga kurikulum. Hal ini berdampak negatif pada kemampuan akademisi untuk mempertahankan kebebasan akademik dan menegakkan integritas kelembagaan.</p>
<p><a href="https://www.brookings.edu/articles/why-are-states-banning-critical-race-theory/">Beberapa pemimpin negara bagian di AS melarang pengajaran teori kritis tentang rasisme dan seksisme</a>, hingga membuat <a href="https://iowastartingline.com/2023/01/30/gop-bill-wants-iowans-to-report-teachers-violation-of-divisive-concepts-levy-fines/"><em>hotline</em> atau situs web untuk melaporkan tenaga pengajar yang melanggar</a>. Aturan pemerintah yang sangat keras ini dilakukan <a href="https://www.codastory.com/rewriting-history/floridas-university-restrictions/">agar universitas negeri fokus untuk mempromosikan sejarah dan filosofi peradaban Barat daripada peradaban ras yang lain.</a></p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0148296318303539?via%3Dihub">Penelitian</a> telah menunjukkan bahwa kebijakan negara yang sering mengintervensi kebebasan akademik dapat menimbulkan rasa takut dan sikap diam yang defensif di antara kalangan dosen dan mahasiswa, sehingga menghambat daya kritis dan kreativitas di lingkungan universitas.</p>
<p>Selain itu, pembatasan terhadap masyarakat sipil secara tidak langsung dapat memengaruhi universitas yaitu dapat <a href="https://www.journals.uchicago.edu/doi/10.1086/660741">membatasi peluang</a> untuk kolaborasi, pendanaan, dan advokasi pada isu-isu yang berkaitan dengan pendidikan dan penelitian.</p>
<h2>Universitas harus terus merawat demokrasi</h2>
<p>Sebagai pusat pengetahuan, inovasi, dan pemikiran kritis, universitas perlu mengambil berbagai langkah strategis untuk mendukung demokrasi dan melawan upaya pemerintah dalam membatasi kebebasan akademis dan sipil.</p>
<p>Bagaimana caranya?</p>
<p><strong>1. Pendidikan dan penelitian</strong></p>
<p>Universitas dapat menggunakan peran sebagai pusat penelitian dan pendidikan untuk menganalisis dan mengkritik kebijakan pemerintah yang otoriter. Melalui konferensi, publikasi, dan diskusi akademik, universitas juga dapat menyediakan platform untuk kritik intelektual dan pengembangan ide-ide alternatif. </p>
<p>Dari segi mahasiswa, universitas memainkan peran penting dalam mendidik mahasiswa tentang nilai-nilai demokrasi, kritis terhadap informasi, dan pentingnya partisipasi sipil dalam pemerintahan. Ini dapat dianggap sebagai bentuk perlawanan jangka panjang terhadap otoritarianisme.</p>
<p><strong>2. Aktivisme</strong></p>
<p>Mahasiswa dan dosen di Indonesia memiliki sejarah panjang keterlibatan dalam gerakan sosial politik untuk menentang pemerintahan otoriter. Demonstrasi, mogok kuliah, dan bentuk protes lainnya sering digunakan untuk mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap kebijakan otoriter. </p>
<p>Dengan kemajuan teknologi, aktivisme melalui universitas dan sivitas akademika bisa menggunakan platform digital untuk menyebarkan informasi, mengorganisir protes, dan membangun jaringan solidaritas untuk menghindari sensor pemerintah.</p>
<p>Salah satu universitas di Turki, misalnya, mencari dukungan internasional melalui <a href="https://www.insidehighered.com/news/2019/07/01/about-700-academics-have-been-criminally-charged-turkey-their-signatures-petition">petisi</a> dan <a href="https://www.ipetitions.com/petition/the-purge-of-academic-institutions-in-Turkey">surat terbuka</a> sebagai respons atas tindakan pemerintah Turki yang melakukan pemecatan besar-besaran terhadap akademisi yang dituduh terlibat upaya <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44206395">kudeta 2016</a>. </p>
<p><strong>3. Kerja sama internasional</strong></p>
<p>Universitas dapat mencari dukungan dan solidaritas dari mitra internasional untuk melawan tekanan dari pemerintah otoriter. Ini bisa melalui pernyataan bersama, pertukaran akademisi, dan kolaborasi penelitian yang menunjukkan dukungan untuk kebebasan akademis.</p>
<p>Hal ini pernah dilakukan oleh <a href="https://neweasterneurope.eu/2021/06/11/attacks-on-academic-freedom-in-belarus-impossible-to-remain-silent/">universitas-universitas di Belarus untuk merespons tindakan keras pemerintah yang memecat akademisi</a> yang berpartisipasi dalam protes massal. Mereka <a href="https://www.timeshighereducation.com/hub/nawa-polish-national-agency-academic-exchange/p/solidary-belarus-how-world-changing">mencari dukungan internasional</a> untuk <a href="https://welcome.uw.edu.pl/scholarships-and-support-for-students-and-researchers-from-belarus/">memberikan beasiswa pada para akademisi</a>, dan membuat <a href="https://byeducationusa.info/en/">platform agar mereka terus mengajar dan melakukan penelitian.</a></p>
<p><strong>4. Penyelesaian perselisihan hukum</strong></p>
<p>Setiap lembaga pendidikan tinggi memilih cara yang berbeda-beda dalam merespons fenomena pemerintahan otoriter. Beberapa universitas mungkin mengambil posisi yang lebih aktif dalam menentang kebijakan atau tindakan yang dianggap otoriter, sementara yang lain mungkin memilih untuk pasif atau bahkan terpaksa mendukung, tergantung pada tekanan politik dan kebutuhan lembaga.</p>
<p>Di beberapa kasus, universitas mungkin memilih untuk beradaptasi dengan kondisi politik untuk memastikan kelangsungan operasional mereka. Ini bisa berarti menghindari kritik langsung terhadap pemerintah atau mematuhi beberapa kebijakan yang dianggap kontroversial.</p>
<p>Namun, profesor dan mahasiswa sebenarnya bisa mengajukan gugatan hukum terhadap kebijakan atau tindakan pemerintah yang dianggap melanggar konstitusi atau hak-hak akademis. Misalnya melalui <a href="https://www.tribunnews.com/mata-lokal-memilih/2023/09/17/3-mahasiswa-uin-gugat-ke-mk-minta-agar-kampus-dan-fasilitas-pemerintah-tak-jadi-lokasi-kampanye"><em>Judicial Review</em> di Mahkamah Konstitusi jika tindakan pemerintah dianggap bertentangan dengan UUD 1945</a>.</p>
<p>Akademisi dan Mahasiswa juga dapat mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk kebijakan atau tindakan yang bersifat pelanggaran administratif.<a href="https://www.hukumonline.com/klinik/a/subjek-hukum-yang-dapat-menggugat-ke-ptun-lt57183550b88c2">PTUN mengadili sengketa antara orang atau badan hukum dengan badan atau pejabat pemerintah dalam konteks tata usaha negara.</a></p>
<p>Dengan mengambil langkah-langkah ini, universitas tidak hanya melindungi dan memperkuat fondasi demokrasi di dalam kampus tetapi juga berkontribusi pada masyarakat yang lebih luas. Kita mesti belajar dari pengalaman, <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-58048425">penanganan Pandemi COVID-19 yang terlambat karena pemerintah mengabaikan analisis akademisi, pakar dan peneliti</a>. Universitas sudah seharusnya menjadi pusat kekuatan dalam merawat demokrasi yang bebas intervensi dan menyelamatkan bangsa ini dari bencana.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/222287/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ayu Anastasya Rachman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Berbagai bentuk intervensi kebebasan akademik semakin marak terjadi di universitas-universitas di Indonesia. Apa yang sebaiknya dilakukan?Ayu Anastasya Rachman, Head of the International Relations Study Program, Universitas Bina Mandiri GorontaloLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2133202023-09-12T07:48:08Z2023-09-12T07:48:08ZJelang pemilu 2024: perlunya menjaga independensi, memperkuat kolaborasi, dan memperdalam substansi<p>Perdebatan publik di Indonesia yang terjadi belakangan ini bisa menjadi pratinjau atas situasi di masa pemilihan umum (pemilu) tahun 2024. Sayangnya, perdebatan ini masih terpaku pada isu-isu sekunder dan dipenuhi oleh hoaks dan disinformasi yang minim pembahasan substansial mengenai masalah kemiskinan, ketimpangan, perubahan iklim, kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, dan ketimpangan gender.</p>
<p>Dalam kasus polusi udara misalnya, para kandidat masih menyajikan solusi yang tidak menyentuh akar permasalahan iklim tetapi justru memunculkan risiko beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang membebani lingkungan hidup dan warga. Sementara tekanan terhadap kebebasan akademik di kampus juga semakin memperlemah suara-suara kritis yang ada.</p>
<p>Begitulah kira-kira benang merah dari diskusi panel yang diadakan oleh <em>The Conversation Indonesia</em> (TCID) dalam rangka perayaan ulang tahunnya yang ke-6 pada 8 September 2023 di <a href="https://www.ifi-id.com/jakarta/#/">Institut Francais Indonesia (IFI) Jakarta</a>. </p>
<p>Diskusi yang dimoderasi oleh editor lingkungan TCID, Robby Irfany Maqoma ini menghadirkan sejumlah pakar seperti Herlambang Wiratraman (Dosen Hukum, Universitas Gadjah Mada), Saras Dewi (Dosen Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia), Chairil Abdini (Tim Koordinasi Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang/RPJP 2025-2045), dan Ika Krismantari (<em>Content Editor</em>, <em>The Conversation Indonesia</em>).</p>
<h2>Publik perlu ruang diskusi yang demokratis</h2>
<p>Para panelis mengemukakan bahwa salah satu penyebab minimnya perdebatan yang substansial menjelang pemilu di Indonesia adalah kurangnya ketersediaan ruang yang mendukung.</p>
<p>Saras menggarisbawahi adanya polarisasi dan pertikaian di media sosial yang tidak memberikan ruang bagi pertukaran pemikiran yang lebih mendalam. Ruang di media sosial kini dikuasai oleh isu-isu yang terpolarisasi sehingga tidak lagi memberikan kesempatan bagi warga untuk mendiskusikan hal-hal yang lebih berdampak terhadap mereka.</p>
<p>“Di media sosial, kita mulai melihat perdebatan yang sangat membuka polarisasi yang tidak sehat di masyarakat. Sedikit sekali di dalam perlagaan politik, saya melihat hal substansial yang disampaikan oleh orang-orang yang berkepentingan untuk mengajukan dirinya sebagai kandidat,” ungkap Saras.</p>
<p>Sementara itu, Herlambang menyebutkan bahwa kebebasan akademik yang semestinya memungkinkan pembentukan wacana yang lebih kritis juga mulai terbatasi dengan adanya tekanan politik yang hegemonis. Padahal, kebebasan di lingkungan kampus dapat mencerminkan kebebasan yang ada di masyarakat.</p>
<p>“Kebebasan berekspresi dan berpendapat atau bentuk-bentuk kebebasan lain, ini paralel dengan situasi demokrasi yang merosot kualitasnya, sementara politik otoriter semakin menguat,” jelas Herlambang.</p>
<p>Hal ini senada dengan pendapat Ika yang menyebutkan bahwa pemilik media dengan kepentingan bisnis atau politik tertentu dapat membatasi perdebatan publik.</p>
<p>“Saya melihat, dengan lanskap media yang ada pada saat ini, diskursus pembicaraan publik didominasi oleh kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan politis,”</p>
<p>Terkait hal ini, Chairil menegaskan bahwa semua permasalahan ini terjadi karena kita melupakan visi misi kita sebagai bangsa, atau sibuk dengan visi misi sendiri-sendiri bukan visi misi bersama. Absennya perlindungan terhadap akademia, contohnya, tidak sesuai dengan misi Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia. Chairil menambahkan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menyusun RPJP yang sudah melalui proses konsultasi publik kepada akademisi, rektor, gubernur dan media, tetapi gaungnya tidak muncul karena kita tidak menganggapnya penting.</p>
<p>Oleh karena itu diperlukan usaha-usaha untuk menjaga independensi, memperkuat kolaborasi dan memperdalam substansi, terutama di masa menjelang pemilu ini.</p>
<p>Para panelis sepakat bahwa kebijakan-kebijakan yang ada perlu menyasar pada solusi yang sampai ke akar, bukan hanya di permukaan. Lalu kebebasan akademik perlu mendapatkan perlindungan, terutama dengan adanya intensitas serangan yang semakin menguat tatkala berurusan dengan ritual politik seperti pemilu. Dari sisi media, tugas media sebagai pilar demokrasi perlu dikuatkan kembali agar bisa memastikan tersedianya ruang untuk mengingatkan bahwa ada isu-isu yang harus diangkat untuk kemudian dipecahkan oleh para kandidat.</p>
<h2>Upaya menghadirkan diskusi publik</h2>
<p>Selaras dengan pemikiran tersebut, TCID meluncurkan buku berjudul <a href="https://cdn.theconversation.com/static_files/files/2789/Bunga_Rampai_Final_v2.pdf?1694053523">“Membangun Perdebatan yang Inklusif dan Progresif: 32 Artikel Pilihan Jelang Pemilu 2024” </a> sebagai hasil akumulasi 6 tahun kolaborasi TCID dengan peneliti dan akademisi. Buku ini mengelompokkan artikel-artikel ke dalam tujuh tema besar, termasuk politik, lingkungan, kesetaraan gender, dan pendidikan, dengan harapan bahwa pemahaman mendalam atas isu-isu ini akan menjadi dasar perdebatan yang lebih bermakna menjelang pemilu 2024.</p>
<p>Menurut Saras, buku ini bisa menjadi asupan dan juga pegangan yang sangat penting sehingga publik bisa berdiskusi dan melihat isu-isu yang ada secara tidak terisolasi tapi sebagai irisan di mana isu yang satu erat kaitannya dengan isu yang lain.</p>
<p>Diskusi dan peluncuran buku ini dihadiri oleh puluhan tamu undangan yang terdiri dari akademisi, peneliti, awak media, dan juga perwakilan dari jejaring TCID seperti Jules Irrmann (Konselor Kerja Sama dan Kebudayaan Kedutaan Besar Prancis di Indonesia, Direktur IFI), Jatna Supriatna (Ketua Dewan Pembina <em>The Conversation Indonesia</em>) dan Fathul Wahid (rektor Universitas Islam Indonesia). Acara kemudian ditutup dengan penampilan dari <a href="https://www.thejakartapost.com/life/2021/08/06/out-of-the-darkness-ananda-badudu-celebrates-life-on-debut-release.html">Ananda Badudu</a>, musisi sekaligus mantan jurnalis.</p>
<img src="https://counter.theconversation.com/content/213320/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
The Conversation Indonesia mengadakan diskusi panel dan peluncuran buku dalam rangka ulang tahunnya yang ke-6.Hayu Rahmitasari, Education & Culture EditorLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2096042023-07-12T08:40:44Z2023-07-12T08:40:44ZPemerintah Indonesia mengekang riset lingkungan yang tidak disukainya, tindakan ini berbahaya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/536989/original/file-20230712-15-6xjlvf.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Shutterstock</span> </figcaption></figure><p>September tahun lalu, pemerintah Indonesia melarang beberapa ilmuwan terkemuka untuk meneliti di hutan tropisnya yang sangat luas. Kebanyakan mereka sudah meneliti topik ini sejak puluhan tahun silam.</p>
<p>Alasannya, sebagian besar karena menerbitkan riset yang menyatakan bahwa populasi orangutan kalimantan dalam bahaya. Mereka juga menuliskan <a href="https://www.thejakartapost.com/opinion/2022/09/14/orangutan-conservation-needs-agreement-on-data-and-trends.html">artikel opini</a> yang menyanggah <a href="https://www.thejakartapost.com/opinion/2022/09/26/forestry-ministry-responds.html">klaim pemerintah seputar pulihnya populasi orangutan</a>. </p>
<p>Kegiatan para peneliti ini jelas membikin berang seseorang yang berkuasa. Tak butuh waktu lama, Kementerian Lingkungan dan Kehutanan menerbitkan surat yang menuduh para peneliti tersebut menulis dengan “itikad buruk” yang dapat “mendiskreditkan” pemerintah. Walhasil mereka <a href="https://news.mongabay.com/2022/10/as-indonesia-paints-rosy-picture-for-orangutans-scientists-ask-wheres-the-data/">tidak boleh lagi masuk ke hutan untuk meneliti</a>. </p>
<p>Saya bersama kolega menerbitkan <a href="https://www.cell.com/current-biology/fulltext/S0960-9822(23)00550-X">hasil riset</a> yang menelaah risiko tentang ulah pemerintah Indonesia ini.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/536710/original/file-20230711-19-tn2pnk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="deforestasi Indonesia" src="https://images.theconversation.com/files/536710/original/file-20230711-19-tn2pnk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/536710/original/file-20230711-19-tn2pnk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/536710/original/file-20230711-19-tn2pnk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/536710/original/file-20230711-19-tn2pnk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/536710/original/file-20230711-19-tn2pnk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/536710/original/file-20230711-19-tn2pnk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/536710/original/file-20230711-19-tn2pnk.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Deforestasi masih terjadi di Indonesia, tapi angkanya terus menurun.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Mengkhawatirkan nan mengejutkan</h2>
<p>Reaksi pemerintah Indonesia adalah sinyal yang mengkhawatirkan. </p>
<p>Indonesia memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang spektakuler. Hutan tropisnya juga merupakan <a href="https://rainforests.mongabay.com/amazon/countries.html">salah satu yang terluas di dunia</a>.</p>
<p>Populasi dan pertumbuhan ekonomi negara kepulauan ini terus menggeliat. Sayangnya, tren tersebut telah mengorbankan keutuhan alam Indonesia <a href="https://rainforests.mongabay.com/deforestation/2000/Indonesia.htm">sejak beberapa dekade silam</a>.</p>
<p>Di sisi lain, aksi pemerintah juga mengejutkan. Sejak beberapa tahun, angka pembabatan hutan jauh berkurang hingga dua per tiga dari sebelumnya. Pemerintah juga <a href="https://www.reuters.com/world/asia-pacific/indonesia-cites-deforestation-decline-stricter-controls-2023-06-26/">agresif</a> mengatasi pembalakan liar, pembakaran hutan, dan perambahan untuk perkebunan. Pencapaian ini luar biasa.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/empat-masalah-tentang-kebakaran-hutan-yang-bisa-mengganjal-target-emisi-indonesia-2030-193550">Empat masalah tentang kebakaran hutan yang bisa mengganjal target emisi Indonesia 2030</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Jadi, apa alasan sikap keras pemerintah terhadap para peneliti? Ini kemungkinan terjadi karena Indonesia sudah mencatatkan pencapaian yang positif di bidang lingkungan. Para penguasa menginginkan prestasi mereka diakui, bukan dikritik.</p>
<p>Sikap adil dari peneliti dan pengakuan mereka tentang kemajuan yang terjadi memang penting. Namun, hal yang jauh lebih pokok adalah bagaimana pemerintah menghormati kerja-kerja para ilmuwan, meskipun hasilnya bukanlah sesuatu yang mereka (pemerintah) ingin dengar. </p>
<p>Aksi represif ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Tiga tahun lalu, peneliti David Gaveau dideportasi dari Indonesia setelah <a href="https://theconversation.com/alternative-data-setting-the-record-straight-on-the-scale-of-indonesias-2019-fires-173593">menayangkan perkiraan</a> angka kebakaran hutan yang lebih besar dari versi pemerintah. </p>
<p>Bagi peneliti lokal dan luar negeri, tekanan ini sangat terasa. Banyak dari mereka yang curhat kepada saya ataupun kawan-kawan. Mereka merasa dipaksa untuk menerbitkan berita baik, atau setidaknya menghindari penyiaran berita buruk.</p>
<h2>Pemerintah harus terbuka terhadap kritik yang benar</h2>
<p>Pelaku konservasi dan peneliti sudah lama menentang <a href="https://www.philstar.com/headlines/2022/09/29/2213088/philippines-still-deadliest-country-asia-environmentalists-global-witness#:%7E:text=According%20to%20a%20report%20by,%2C%20and%20Nicaragua%20(15).">pengekangan ataupun kekerasan</a> di negara-negara berkembang pemilik hutan yang luas <a href="https://www.globalwitness.org/en/press-releases/global-witness-reports-227-land-and-environmental-activists-murdered-single-year-worst-figure-record/">seperti</a> Brazil, Colombia, Filipina, dan Republik Demokratik Kongo. </p>
<p>Upaya mereka dilakukan karena ada tekanan besar yang mengancam keberadaan hutan. Permintaan ataupun perkembangan ekonomi kerap mengarah pada eksploitasi rimba-rimba yang tersisa.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-angka-kebakaran-hutan-2019-jauh-lebih-besar-dibanding-data-pemerintah-174787">Riset: angka kebakaran hutan 2019 jauh lebih besar dibanding data pemerintah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Penurunan deforestasi menunjukkan pengelolaan hutan Indonesia dalam beberapa hal memang <a href="https://www.globalforestwatch.org/dashboards/country/IDN/?category=summary&location=WyJjb3VudHJ5IiwiSUROIl0%3D&map=eyJkYXRhc2V0cyI6W3sib3BhY2l0eSI6MC43LCJ2aXNpYmlsaXR5Ijp0cnVlLCJkYXRhc2V0IjoicHJpbWFyeS1mb3Jlc3RzIiwibGF5ZXJzIjpbInByaW1hcnktZm9yZXN0cy0yMDAxIl19LHsiZGF0YXNldCI6InBvbGl0aWNhbC1ib3VuZGFyaWVzIiwibGF5ZXJzIjpbImRpc3B1dGVkLXBvbGl0aWNhbC1ib3VuZGFyaWVzIiwicG9saXRpY2FsLWJvdW5kYXJpZXMiXSwiYm91bmRhcnkiOnRydWUsIm9wYWNpdHkiOjEsInZpc2liaWxpdHkiOnRydWV9LHsiZGF0YXNldCI6InRyZWUtY292ZXItbG9zcyIsImxheWVycyI6WyJ0cmVlLWNvdmVyLWxvc3MiXSwib3BhY2l0eSI6MSwidmlzaWJpbGl0eSI6dHJ1ZSwicGFyYW1zIjp7InRocmVzaG9sZCI6MzAsInZpc2liaWxpdHkiOnRydWUsImFkbV9sZXZlbCI6ImFkbTAifX1dfQ%3D%3D&showMap=true">membaik</a>. Namun, masih ada beberapa aspek yang patut menjadi perhatian.</p>
<p>Dalam beberapa dekade terakhir, banyak hutan telah dibabat dan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan bubur kayu. Perburuan mineral penting yang mendukung transisi hijau, seperti nikel, <a href="https://news.mongabay.com/2023/06/red-floods-near-giant-indonesia-nickel-mine-blight-farms-and-fishing-grounds/">turut merusak</a> perikanan dan sungai.</p>
<p>Ada juga pembangunan jalan yang terus meningkat di seluruh Indonesia. </p>
<p>Infrastruktur jalan seperti duri yang menerobos masuk ke alam raya. Ketika jalan terbangun, hutan-hutan dapat terambah seperti ikan yang dikuliti. Buldoser, gergaji mesin, hingga peralatan pertambangan dapat masuk. Akibatnya <a href="https://www.cell.com/trends/ecology-evolution/fulltext/S0169-5347(09)00206-7?_returnURL=https%3A%2F%2Flinkinghub.elsevier.com%2Fretrieve%2Fpii%2FS0169534709002067%3Fshowall%3Dtrue">amat merusak</a>.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/536713/original/file-20230711-23-a38esp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="jalan kebun sawit" src="https://images.theconversation.com/files/536713/original/file-20230711-23-a38esp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/536713/original/file-20230711-23-a38esp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/536713/original/file-20230711-23-a38esp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/536713/original/file-20230711-23-a38esp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/536713/original/file-20230711-23-a38esp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/536713/original/file-20230711-23-a38esp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/536713/original/file-20230711-23-a38esp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Ketika jalan masuk ke dalam hutan, jauh lebih mudah untuk mengubahnya menjadi perkebunan atau menebangnya.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Selama beberapa dekade, Indonesia terus menerus dilanda <a href="https://news.mongabay.com/2020/12/indonesias-five-most-consequential-environmental-stories-of-2020/">bencana lingkungan</a>, mulai dari kehilangan hutan yang masif hingga asap mematikan dari terbakarnya tumbuhan.</p>
<p>Untuk mencegah bencana serupa tidak terjadi, Indonesia membutuhkan komunitas sains yang dinamis, terbuka, dan terbebas dari kekangan pemerintah.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/209604/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Bill Laurance menerima dana dari berbagai organisasi ilmiah dan filantropi. Dia adalah direktur Center for Tropical Environmental and Sustainability Science di James Cook University di Cairns, Australia. Dia juga mendirikan dan mengarahkan ALERT (the Alliance of Leading Environmental Researchers & Thinkers) sebuah kelompok advokasi sains dan konservasi.
</span></em></p>Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah memangkas laju deforestasi. Itulah mengapa aksi pengekangan terbaru terhadap para peneliti di negeri ini sangat mengejutkan.Bill Laurance, Distinguished Research Professor and Australian Laureate, James Cook UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1991742023-02-08T05:40:56Z2023-02-08T05:40:56ZBolak-balik kontroversi BRIN: bagaimana birokratisasi dan politisasi membuat BRIN hilang arah sebagai lembaga ilmiah<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/508828/original/file-20230208-14-w545ek.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.youtube.com/watch?v=SPTMKYHV5W0">(Badan Riset dan Inovasi Nasional - Youtube/Fair Use)</a></span></figcaption></figure><p>Beberapa waktu ke belakang, kontroversi bertubi-tubi menerpa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).</p>
<p>Media melaporkan BRIN terlibat <a href="https://koran.tempo.co/read/berita-utama/479944/kala-dana-riset-brin-kesasar-lewat-dpr">program pelatihan masyarakat</a> yang menguntungkan pundi-pundi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), proses <a href="https://koran.tempo.co/read/berita-utama/479952/apa-isi-surat-protes-para-peneliti-ke-brin">relokasi gedung dan alat laboratorium</a> di Bandung yang terbata-bata, hingga macetnya pengelolaan aset sampai-sampai membuat salah satu <a href="https://koran.tempo.co/read/berita-utama/479970/brin-hentikan-sistem-peringatan-tsunami">sistem deteksi dini tsunami menjadi terbengkalai</a>.</p>
<p>Polemik bukanlah hal baru bagi “<em>superagency</em>” yang telah menyerap berbagai lembaga riset negara ini – dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) hingga Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN).</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/gabut-di-rumah-nuansa-lipi-nisasi-hingga-ancaman-mati-suri-riset-indonesia-kisah-para-peneliti-yang-terombang-ambing-setelah-akuisisi-brin-175529">Gabut di rumah, nuansa "LIPI-nisasi", hingga ancaman mati suri riset Indonesia: kisah para peneliti yang terombang-ambing setelah akuisisi BRIN</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Sejak diresmikan pemerintah hampir dua tahun lalu, BRIN disorot akibat resistensi banyak peneliti atas <a href="https://theconversation.com/gabut-di-rumah-nuansa-lipi-nisasi-hingga-ancaman-mati-suri-riset-indonesia-kisah-para-peneliti-yang-terombang-ambing-setelah-akuisisi-brin-175529">proses integrasinya yang kurang lancar</a>, hingga kekhawatiran <a href="https://theconversation.com/bunuh-diri-penelitian-indonesia-forum-guru-besar-tolak-dewan-pengarah-brin-yang-rawan-dipolitisasi-163044">politisasi melalui “Dewan Pengarah”</a> yang diisi figur politik.</p>
<p>Para penulis, bersama Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), berpandangan bahwa berbagai permasalahan ini mengakar pada setidaknya dua hal – birokratisasi dan politisasi terhadap institusi yang seharusnya menjaga marwahnya sebagai lembaga riset. </p>
<p>BRIN sudah jadi wacana pemerintah sejak ditetapkan dalam <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/117023/uu-no-11-tahun-2019">Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019</a> tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek), kemudian resmi berdiri lewat <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/178084/perpres-no-78-tahun-2021">Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021</a>.</p>
<p>Desain kelembagaan BRIN yang tertuang dalam landasan hukum tersebut sejak awal sudah menunjukkan tiga karakter dominan, yakni <a href="https://www.kompas.id/baca/opini/2022/01/18/independensi-lembaga-riset?status=sukses_login&status=sukses_login&utm_source=kompasid&utm_medium=login_paywall&utm_campaign=login&utm_content=https%3A%2F%2Fwww.kompas.id%2Fbaca%2Fopini%2F2022%2F01%2F18%2Findependensi-lembaga-riset&status_login=login">birokratisasi, sentralisasi dan kendali</a>, dibandingkan upaya pengembangan dan penguatan kelembagaan riset dan ekosistem pengetahuan.</p>
<h2>Birokratisasi berlebihan</h2>
<p>Birokrasi kini telah menjadi mesin administratif yang menggerakkan BRIN. Ini semakin terlihat dengan dominannya pendekatan institusionalisme BRIN seiring dengan penggabungan berbagai lembaga di bawah satu atap – termasuk setidaknya empat lembaga riset plus segudang peneliti yang sebelumnya bernaung di lingkup kementerian.</p>
<p>Namun, tanpa strategi transisi yang memadai dan pemahaman yang baik akan keragaman karakter lembaga riset yang dipersatukan, pendekatan ini akan cenderung berpusat pada sekadar mendisiplinkan soal “gedung, pegawai, dan nomenklatur anggaran”. </p>
<p>Berbagai kekhawatiran ini pun mulai terbukti mendekati masa dua tahun BRIN berjalan, di antaranya:</p>
<ul>
<li>kegagalan BRIN mengintegrasikan anggaran riset yang awalnya diprediksi bisa mencapai Rp 26 triliun, hingga menjadi <a href="https://www.beritasatu.com/news/963073/setahun-brin-mampu-hemat-anggaran-riset-rp-19-triliun/?utm_source=berita.com&utm_medium=article&utm_campaign=Terkait">hanya 6,1 triliun</a> pada tahun anggaran 2022;</li>
<li>resistensi dari berbagai kementerian atau lembaga yang perisetnya beralih ke BRIN;</li>
<li>hingga penolakan dan hambatan yang dihadapi BRIN untuk mengambil alih berbagai sumber daya termasuk peralatan <a href="https://news.detik.com/berita/d-5939326/eks-kepala-eijkman-pemindahan-alat-lab-oleh-brin-tak-sesuai-prosedur">laboratorium dari kementerian atau lembaga asal</a>.</li>
</ul>
<p>Kondisi BRIN saat ini, secara kelembagaan, kebijakan yang diambil, serta pilihan-pilihan programnya memperlihatkan betapa lembaga ini telah bertransformasi menjadi <a href="https://www.universityworldnews.com/post.php?story=20210810230729793"><em>overarching scientific authority</em></a> (otoritas ilmiah pengurus segala bidang dan fungsi) yang mengkhawatirkan.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/buyarnya-mimpi-teknokrat-pembentuk-ide-brin-saatnya-komunitas-ilmiah-berhenti-naif-dan-anti-politik-159913">Buyarnya mimpi teknokrat pembentuk ide BRIN. Saatnya komunitas ilmiah berhenti naif dan anti-politik</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>BRIN menjelma menjadi lembaga birokratis yang bertanggung jawab atas <a href="https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/01/31/kewenangan-terlalu-besar-brin-perlu-pengawas">kebijakan, implementasi, dan pengendalian riset</a> yang harusnya terpisah, serta mengurusi terlalu banyak aspek administrasi dari kegiatan saintifik – termasuk SDM periset pemerintah, kebijakan riset dan inovasi, tak terkecuali masalah perizinan riset.</p>
<p>Ini membuatnya kehilangan roh sebagai lembaga saintifik.</p>
<p>Selain itu, sebagaimana peringatan ALMI sejak lama, jika lembaga-lembaga ilmiah dioperasikan dengan model <a href="https://nasional.tempo.co/read/1451204/3-sikap-ilmuwan-muda-soal-brin-jadi-badan-otonom">korporatisme negara (<em>state corporatism</em>)</a> – ketika pemerintah melakukan sentralisasi berbagai keputusan dan kebijakan di suatu sektor layaknya melalui asosiasi bisnis – ia juga menjadi terekspos terhadap <a href="https://theconversation.com/buyarnya-mimpi-teknokrat-pembentuk-ide-brin-saatnya-komunitas-ilmiah-berhenti-naif-dan-anti-politik-159913">kepentingan politik kekuasaan dan pasar</a>.</p>
<h2>Politisasi wadah ilmiah</h2>
<p>Kondisi lembaga riset pemerintah ini kemudian semakin jauh dari harapan ketika integritas saintifiknya justru menjadi bahan <a href="https://www.science.org/doi/pdf/10.1126/science.372.6541.449">legitimasi dan alat dari partai politik</a>. </p>
<p>Pelembagaan BRIN dengan <a href="https://theconversation.com/bunuh-diri-penelitian-indonesia-forum-guru-besar-tolak-dewan-pengarah-brin-yang-rawan-dipolitisasi-163044">“Dewan Pengarah” di pucuknya</a> – saat ini dipimpin oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri – yang berupaya memastikan riset searah dengan Pancasila, misalnya, adalah bentuk ketidakpercayaan terhadap integritas ilmiah dan upaya menyetir lembaga sains secara ideologis. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bunuh-diri-penelitian-indonesia-forum-guru-besar-tolak-dewan-pengarah-brin-yang-rawan-dipolitisasi-163044">"Bunuh diri penelitian Indonesia": forum guru besar tolak Dewan Pengarah BRIN yang rawan dipolitisasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Selain itu, akhir-akhir ini media juga melaporkan potensi politisasi melalui rangkaian program Masyarakat Bertanya BRIN Menjawab (MBBM). Program kemitraan antara Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan BRIN ini, yang dikemas dalam bentuk diseminasi riset dan pelatihan untuk masyarakat, <a href="https://koran.tempo.co/read/berita-utama/479944/kala-dana-riset-brin-kesasar-lewat-dpr">disebut-sebut menguntungkan anggota Dewan secara finansial maupun elektoral</a> di daerah pemilihan (dapil) mereka.</p>
<p>Namun, alih-alih menjawab isu politisasi, beberapa anggota Dewan justru semakin menjadikan BRIN sebagai landasan untuk memajukan agenda politik tertentu.</p>
<p>Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, misalnya, berdalih bahwa kontroversi BRIN-DPR di atas <a href="https://nasional.tempo.co/read/1687337/kinerja-brin-jadi-sorotan-sekjen-pdip-hasto-kristiyanto-itu-karena-sistem-proporsional-terbuka">disebabkan pemilihan umum (pemilu) yang menggunakan sistem proporsional terbuka</a>. Komentar ini ia lontarkan di tengah <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230126135307-32-905170/sidang-mk-arteria-beber-alasan-pdip-ingin-pemilu-sistem-coblos-partai">gugatan uji materi Perkara No. 114/PUU-XX/2022 di Mahkamah Konstitusi</a> yang hendak mengubah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup.</p>
<p>Merespons beragam kontroversi BRIN, Komisi VII DPR kemudian <a href="https://tekno.tempo.co/read/1686065/komisi-vii-rekomendasikan-audit-dan-ganti-kepala-brin-mpi-beri-apresiasi">merekomendasikan audit khusus anggaran BRIN</a> tahun 2022 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hingga <a href="https://nasional.kompas.com/read/2023/02/03/21075751/kepala-brin-disebut-tak-terpengaruh-desakan-mundur-dari-komisi-vii-dpr">mendesak pemerintah mencopot Kepala BRIN</a> Laksono Tri Handoko.</p>
<p>Tapi, apakah dengan sebatas pergantian Kepala BRIN akan mengubah situasi di BRIN jika kelembagaannya masih tersentralisasi dan dekat dengan politik kekuasaan?</p>
<p>Sebagai lembaga otoritas ilmiah, BRIN seharusnya menjaga integritas ilmiahnya dan tidak memperlihatkan pemihakan pada satu lembaga atau kekuatan politik. </p>
<h2>Restorasi marwah riset dan pengetahuan</h2>
<p>ALMI, sebagai wadah ilmuwan muda, mengajak semua pihak untuk terus meneguhkan semangat membangun integritas sains.</p>
<p>Dalam <a href="https://almi.or.id/pernyataan-sikap-almi-terhadap-integritas-dan-kelembagaan-sains-pemerintah/">pernyataan posisinya</a>, ALMI menegaskan perlunya mengembalikan tujuan dan fungsi awal BRIN untuk memfasilitasi penguatan ekosistem riset dan pengembangan inovasi demi kemajuan pengetahuan dan teknologi, penguatan kebijakan, serta pencerdasan publik – dan melepaskan berbagai fungsi berlebih yang tak berkaitan.</p>
<p>ALMI menolak keterlibatan atau penyalahgunaan BRIN untuk kepentingan politik tertentu, baik dalam kebijakan dan penganggaran yang tidak berorientasi pada upaya kemajuan pengembangan riset dan inovasi. </p>
<p>Restorasi riset ini menuntut perlunya evaluasi secara mendasar, terutama dalam hal penataan kelembagaan, sistem birokrasi, dan SDM para peneliti. Prinsipnya, BRIN sebagai lembaga riset dan inovasi berkewajiban merawat otonomi keilmuan, menjaga independensi, integritas sains, serta kebebasan akademik para penelitinya.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/199174/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Herlambang P Wiratraman merupakan Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Zulfa Sakhiyya merupakan Direktur Komunikasi Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).</span></em></p>Desain kelembagaan BRIN yang tertuang dalam landasan hukumnya sejak awal sudah memuat karakter birokratisasi, sentralisasi dan kendali yang meredupkan upaya penguatan riset dan ekosistem pengetahuan.Herlambang P Wiratraman, Secretary General of ALMI and Assistant Professor of Constitutional Law and Human Rights, Universitas Gadjah Mada Zulfa Sakhiyya, Communication Director of ALMI, and Associate Professor at the Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1915222022-09-29T05:33:04Z2022-09-29T05:33:04ZKuliah bisa saja berlangsung di metaverse, tapi beberapa tantangan berikut harus diatasi terlebih dahulu<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/487164/original/file-20220928-24-d0c7hl.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Bagaimana jadinya jika kuliah berlangsung di _metaverse_?</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.gettyimages.com/detail/photo/young-man-or-teenager-in-a-white-t-shirt-wearing-royalty-free-image/1351845630?adppopup=true">(Getty Images/Iryna Veklich)</a></span></figcaption></figure><p>Pendidikan tinggi di Amerika Serikat (AS), tempat saya saat ini mengajar, tengah menghadapi masalah besar. <a href="https://www.cnbc.com/2021/03/14/fewer-kids-going-to-college-because-of-cost.html">Biaya kuliah yang semakin meroket</a> dan juga adanya <a href="https://bipartisanpolicy.org/download/?file=/wp-content/uploads/2021/11/Student-Debt-and-the-Federal-Budget.pdf">krisis pinjaman mahasiswa</a> berpotensi membatasi akses pendidikan tinggi hanya untuk mereka yang kaya.</p>
<p>Sebagai upaya memangkas pengeluaran dan meredam kenaikan biaya kuliah, kampus AS semakin banyak <a href="https://www.aft.org/sites/default/files/adjuncts_qualityworklife2020.pdf">mengandalkan dosen tidak tetap</a> yang dibayar rendah, dilimpahi beban mengajar yang berat, dan kerap tidak diberi jaminan pekerjaan atau kesehatan.</p>
<p>Banyak institusi juga <a href="https://psc-cuny.org/clarion/class-size-members-speak">menambah kuota mahasiswa per kelas</a> dan <a href="https://www.aeaweb.org/articles?id=10.1257/aer.p20151024">memindahkan pembelajaran ke ruang daring</a> supaya hemat. Tentu mahasiswa tidak senang: <em>online learning</em> <a href="https://oneclass.com/blog/featured/177356-7525-of-college-students-unhappy-with-quality-of-elearning-during-covid-19.en.html">tidak sepopuler pembelajaran tatap muka</a>, dan selama pandemi, ketidakpuasan terhadap gaya belajar ini terus meningkat.</p>
<p>Tak hanya itu, berbagai program juga banyak bermunculan, dari program-program magang yang menawarkan pengalaman kerja nyata (<a href="https://www.unleash.ai/multiverses-euan-blair-on-apprenticeships-as-the-future/"><em>apprenticeship</em></a>) hingga pelatihan intensif (<em>boot-camp</em>), yang mulai mempertanyakan apakah ijazah formal khas pendidikan tinggi <a href="https://inews.co.uk/news/education/euan-blair-apprenticeships-business-tony-blair-160m-multiverse-1446275">benar-benar berhubungan dengan kesuksesan</a> di dunia profesional.</p>
<p>Di sini, konsep <a href="https://www.wired.com/story/what-is-the-metaverse/"><em>metaverse</em></a> – beragam teknologi realitas virtual (VR) maupun semi virtual (AR) yang menawarkan pengalaman yang lebih terasa “nyata” – bisa membantu kampus-kampus untuk mengatasi berbagai masalah ini dan merevolusi pembelajaran jarak jauh.</p>
<p>Tapi, tim kami di <a href="https://www.umb.edu/ethics">Pusat Etika Terapan UMass Boston, AS</a>, menemukan dalam riset kami bahwa menyelesaikan masalah menggunakan kecerdasan buatan (AI) atau teknologi serupa justru kerap menciptakan masalah-masalah lain.</p>
<p>Kami menemukan bahwa AI punya potensi untuk <a href="https://doi.org/10.1515/mopp-2021-0026">melemahkan kapasitas manusia untuk membuat keputusan-keputusan sederhana</a>, seperti memilih tontonan film, maupun keputusan yang lebih berat, seperti siapa yang layak mendapat promosi di tempat kerja. Kami juga menemukan bahwa AI bisa berujung meremehkan <a href="https://youtu.be/98AFjakd1RA">peran dan dampak positif dari “<em>serendipity</em>”</a> – kejadian-kejadian yang kebetulan dan tak terduga di dunia nyata – serta <a href="https://youtu.be/LiZHyQQUVWQ">memudarkan kepercayaan masyarakat</a> terhadap pentingnya hak asasi manusia (HAM).</p>
<p>Apakah <em>metaverse</em> akan membawa kabar baik bagi pendidikan tinggi? Bisa jadi. Tapi untuk membangun kampus-kampus unggul di dalam <em>metaverse</em>, para pakar dan insinyur komputer, pimpinan perguruan tinggi, serta pembuat kebijakan harus menyelesaikan beberapa tantangan terlebih dahulu.</p>
<p>Berikut merupakan lima aspek yang menurut saya perlu segera diselesaikan.</p>
<h2>1. Kebebasan akademik</h2>
<p>Kebebasan akademik – sejauh mana para dosen, peneliti, hingga mahasiswa bisa membahas dan mengkaji topik apa pun yang mereka anggap penting – selama ini belum tentu dijamin dalam platform privat/swasta. Jika pengajaran kampus dan interaksi intelektual akan berlangsung di suatu platform yang dimiliki perusahaan, bagaimana jadinya jika diskusi-diskusi ini nantinya memicu kontroversi?</p>
<p>Apakah platform seperti Meta dan Zoom akan berkomitmen untuk memfasilitasi kebebasan akademik, meski hal tersebut bisa jadi suatu saat berdampak buruk terhadap harga saham mereka?</p>
<p>Sejarah menunjukkan kemungkinan tidak. Misalnya, pada 2020, Zoom, Facebook, dan Youtube memblokir <a href="https://www.forbes.com/sites/siladityaray/2020/09/24/zoom-facebook-youtube-cancel-webinar-featuring-former-palestinian-hijacker/?sh=3fe1aad055ed">kuliah virtual</a> yang dihelat oleh San Francisco State University dan menampilkan Laila Khales, seorang anggota Front Populer untuk Kebebasan Palestina (PFLP) yang terlibat dalam pembajakan dua pesawat pada akhir 1960an dan awal 1970an.</p>
<p>Universitas tidak boleh memberi perusahaan media sosial kemampuan veto atas topik apa saja yang boleh didiskusikan oleh mahasiswa dan staf kampus. Ini akan membunuh kebebasan akademik. Jika kita akan menyelenggarakan pendidikan tinggi di <em>metaverse</em>, problem ini wajib diselesaikan.</p>
<h2>2. Fokus mahasiswa</h2>
<p>Pembelajaran yang sukses mengharuskan mahasiswa atau murid untuk fokus pada apa yang terjadi dalam kelas – setidaknya selama sejam atau dua jam. Saat ini saja, berbagai gawai seperti <em>smartphone</em> dan laptop membuat mahasiswa sangat susah fokus kuliah.</p>
<p>Bagaimana caranya membuat lingkungan pembelajaran yang sepenuhnya virtual, tapi tetap bisa kondusif terhadap konsentrasi belajar?</p>
<p>Berbagai video promosi Facebook terkait <em>metaverse</em>, yang penuh dengan <a href="https://www.youtube.com/watch?v=G2W9YVkkn9U">burung berdansa dan hewan warna-warni yang bikin pusing</a>, semakin menunjukkan masalah ini. </p>
<p>Lalu, bagaimana para perancang bisa memastikan bahwa <em>metaverse</em> tidak akan memperburuk tantangan fokus di kelas yang sudah cukup parah? Ada kalanya, mau sejago apapun seorang dosen, perangkat teknologi dengan segudang manfaatnya bisa membuat mahasiswa terdistraksi di kelas.</p>
<p>Seseorang bisa saja berpikir bahwa hal ini mudah untuk diatasi. Bukankah tinggal buat saja fitur di <em>metaverse</em> untuk membatasi distraksi-distraksi ini?</p>
<p>Tapi, hal ini pun sebenarnya bisa juga diterapkan pada distraksi yang berasal dari <em>smartphone</em> dan komputer mahasiswa saat ini. Kenyataannya, tidak semudah itu untuk membatasi mahasiswa supaya tidak melihat gawai mereka. Kampus bisa jadi takut dianggap melanggar privasi jika melakukan hal tersebut. </p>
<p>Sekarang, bayangkan saja, seberapa menggiurkannya berbelanja secara 3D saat kelas berlangsung?</p>
<h2>3. Komunikasi</h2>
<p>Komunikasi antarmanusia sebagian besar <a href="https://online.utpb.edu/about-us/articles/communication/how-much-of-communication-is-nonverbal/">terjadi secara nonverbal</a>; ekspresi wajah dan bahasa tubuh mengungkap berbagai niatan dan perasaan kita. Apakah avatar – representasi diri kita dalam bentuk kartun atau grafis – mengutarakan ekspresi wajah dan bahasa tubuh dengan cara yang sama?</p>
<p>Ini penting karena sebagian besar pembelajaran dalam kuliah di universitas, terutama kelas yang penuh dengan diskusi khas mata pelajaran humaniora, sangat bergantung pada komunikasi yang hidup dan spontan. Komunikasi tersebut melibatkan kemampuan mengirimkan dan menerima sinyal nonverbal.</p>
<p>Perancang <em>metaverse</em> <a href="https://doi.org/10.1145/3415246">baru akhir-akhir ini</a> memikirkan hal tersebut. Mereka harus bekerja lebih keras lagi sebelum masalah komunikasi nonverbal ini tuntas.</p>
<h2>4. Rasa kebersamaan</h2>
<p>Hal-hal yang mahasiswa banyak sukai tentang kampus – maupun sebagian besar hal yang mereka pelajari – terjadi di luar kelas.</p>
<p>Pengalaman kuliah yang terbaik haruslah membangun suatu <a href="https://doi.org/10.1353/csd.2020.0057">rasa kebersamaan</a>: mahasiswa bisa berkumpul secara informal, menjadi teman, saling belajar tentang satu sama lain, diri mereka sendiri, serta institusi politik yang mengatur kehidupan mereka.</p>
<p><a href="https://doi.org/10.1177/1521025120916433">Rasa kebersamaan yang penting ini</a> bisa berawal dari dalam kelas, tapi biasanya berkembang bahkan di luarnya.</p>
<p>Adakah cara supaya pengalaman ini, yang merupakan salah satu daya jual kehidupan kampus, bisa tereplikasi di <em>metaverse</em>? Dengan kata lain, apakah kita bisa menciptakan komunitas yang bermakna antara mahasiswa dan dosen mereka, maupun antara sesama mahasiswa, tanpa kehadiran fisik dari semua pihak yang kemungkinan besar ada di rumah dan memakai perangkat digital masing-masing?</p>
<h2>5. Kesenjangan digital</h2>
<p>Terakhir, pembuat kebijakan dan pengajar perlu bertanya kepada diri mereka sendiri apakah pendidikan tinggi di <em>metaverse</em> benar-benar akan membuat bangku kuliah lebih aksesibel.</p>
<p>Apakah berbagai teknologi ini akan menyuguhkan suatu pengalaman pendidikan yang menarik dengan harga yang lebih murah, ataukah hanya akan menciptakan kesenjangan digital baru – saat mahasiswa dari keluarga kaya bisa membayar pendidikan tinggi di universitas fisik sementara mereka yang miskin hanya bisa kuliah secara virtual?</p>
<p>Atau, lebih peliknya, bagaimana jika para kampus virtual ini (sebutlah “<em>metaversities</em>”) malah menciptakan suatu sistem tiga lapis: kuliah tradisional untuk orang kaya, pendidikan tinggi di ruang virtual untuk kelas menengah, dan pembelajaran jarak jauh yang sederhana – seperti yang banyak berlangsung saat ini – untuk mereka yang tidak punya uang?</p>
<p>Meski saat ini kampus-kampus menghadapi banyak masalah, perguruan tinggi masih menjadi institusi sosial yang penting demi pengembangan ilmu pengetahuan, pengembangan personal para mahasiswa dan sarjana, hingga tempat berlangsungnya perdebatan akademik yang menantang.</p>
<p>Jika suatu saat <em>metaverse</em> makin populer, dan kemudian masalah-masalah di atas bisa diatasi, ruang virtual bisa jadi arena baru pendidikan tinggi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/191522/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Nir Eisikovits tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Meski metaverse menawarkan ruang virtual baru untuk perkuliahan di masa depan, masih ada banyak masalah filosofis yang bisa muncul.Nir Eisikovits, Associate Professor of Philosophy and Director, Applied Ethics Center, UMass BostonLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1820372022-05-01T19:50:35Z2022-05-01T19:50:35ZProfesor pun bisa kena hoaks: selain pembumian sains, budaya rasionalitas juga harus jadi fokus utama pendidikan tinggi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/460458/original/file-20220429-25123-33jm5u.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/xy1oUOqobFA">(Unsplash/Shelagh Murphy)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span></figcaption></figure><p>Pada 2021, saya menulis artikel di <em>The Conversation</em> berjudul “<a href="https://theconversation.com/kutukan-ilmu-pengetahuan-banyak-akademisi-lebih-fokus-terdengar-pintar-daripada-membumikan-sains-pada-masyarakat-158877"><em>Kutukan ilmu pengetahuan: banyak akademisi lebih fokus ‘terdengar pintar’ daripada membumikan sains pada masyarakat</em></a>” yang mengajak akademisi lebih banyak menulis di media populer.</p>
<p>Saya menyoroti ‘bahasa langit’ dari artikel ilmiah yang sulit diakses masyarakat. Miskinnya pembumian sains dapat memberi panggung pada media oportunis yang sarat dengan hoaks dan misinformasi.</p>
<p>Tapi, yang luput saya tuangkan dalam artikel tersebut adalah bahwa bertambahnya komunikasi sains harus disertai dengan rasionalitas, kebenaran ilmiah, dan literasi media. Ini penting agar komunitas akademik terbebas dari hoaks.</p>
<p>Kita bisa melihat dalam beberapa tahun belakangan muncul berbagai akademisi yang menyebarkan misinformasi.</p>
<p>Pada 2018, Tara Arsih, seorang dosen di Universitas Islam Indonesia (UII) <a href="https://tirto.id/dosen-penyebar-hoaks-terbunuhnya-muazin-tak-lagi-mengajar-di-uii-cFy5">menyebarkan hoaks</a> tentang terbunuhnya seorang muazin (penyeru azan) di Jawa Barat, sebelum akhirnya <a href="https://nasional.tempo.co/read/1065584/terlibat-the-family-mca-tara-asih-diberhentikan-uii">diberhentikan kampusnya</a>. Akhir tahun lalu, ada juga Henry Subiakto, seorang profesor di Universitas Airlangga (UNAIR), yang menyebarkan foto dengan narasi perang saudara di Irak yang juga salah. </p>
<p>Hal ini layak membuat kita khawatir akan lunturnya dua asas penting pendidikan tinggi yang tertuang dalam <a href="http://diktis.kemenag.go.id/prodi/dokumen/UU-Nomor-12-Tahun-2012-ttg-Pendidikan-Tinggi.pdf">UU No 12 Tahun 2012</a>, yakni kebenaran ilmiah dan penalaran.</p>
<h2>Banyak informasi tak berarti makin rasional</h2>
<p>Sejarah menunjukkan semakin tersebarnya banyak informasi, tidak serta merta memperbaiki rasionalitas masyarakat.</p>
<p>Disrupsi informasi pertama muncul saat Johannes Guttenberg memantik revolusi literasi dengan menciptakan mesin cetak pada abad ke-15. Buku menjadi lebih mudah diakses dan mengubah lanskap akademik secara drastis. Lebih banyak orang yang bisa membaca dan <a href="https://theconversation.com/technology-improves-higher-learning-it-doesnt-kill-it-29657">kampus bisa mengakselerasi budaya akademik</a> secara lebih intens.</p>
<p>Akan tetapi, semakin tersebarnya informasi juga semakin memperbesar peluang tersebarnya misinformasi dan disinformasi.</p>
<p><a href="https://theconversation.com/how-do-you-spot-a-witch-this-notorious-15th-century-book-gave-instructions-and-helped-execute-thousands-of-women-168569"><em>Malleus Maleficarum</em></a> (‘Palu Para Penyihir’) yang ditulis pada tahun 1486 – beberapa dekade setelah mesin cetak – menjadi buku terlaris kedua setelah Injil dan berperan dalam meningkatnya kebencian dan pembunuhan terhadap perempuan yang dianggap penyihir. Buku ini menunjukkan bahwa gencarnya revolusi informasi tidak selalu berbanding lurus dengan tercerahkannya publik.</p>
<p>Ratusan tahun setelahnya, misinformasi masih jadi masalah, bahkan di dalam kelompok yang dianggap punya otoritas dalam penyebaran informasi, yakni komunitas akademik.</p>
<p>Menurut klaim mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kementerian Pendidikan (Kemendikbudristek), Hilmar Farid yang <a href="https://www.kominfo.go.id/content/detail/8898/ramai-ramai-melawanhoax/0/sorotan_media">merujuk</a> penelitiannya dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada 2015, banyak doktor dan profesor menjadi korban hoaks.</p>
<p>Badan Kepegawaian Negara (BKN) juga <a href="https://nasional.tempo.co/read/1096778/bkn-dosen-pns-dominasi-laporan-hoax-dan-ujaran-kebencian/full&view=ok">menyebutkan</a> bahwa Dosen Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah profesi yang terbanyak dilaporkan sebagai penyebar hoaks dan ujaran kebencian. </p>
<p>Pada 2020, tim peneliti <a href="https://online.ucpress.edu/as/article-abstract/60/6/1029/114342/Who-Believed-Misinformation-during-the-2019?redirectedFrom=fulltext">Saiful Mujani dan Nicholas Kuipers</a> yang menyurvei lebih dari 14.000 responden menemukan hal serupa. Persentase mahasiswa atau lulusan kuliah yang percaya misinformasi lebih tinggi tiga kali lipat dari persentase lulusan sekolah dasar (SD) saat ditanyai hoaks tentang Presiden Joko Widodo pada Pemilu 2019. </p>
<p>Faktor utamanya adalah karena semakin banyak informasi di media sosial. Semakin tinggi pendidikannya, dan semakin banyak terpapar di media sosial, semakin kuat polarisasi yang terbentuk dalam pandangan politiknya.</p>
<h2>Meredam fundamentalisme di perguruan tinggi</h2>
<p><a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0239666">Studi tahun 2020</a> dari Inggris menyebutkan bahwa penyebab utama misinformasi bukanlah minimnya literasi digital, melainkan fundamentalisme terhadap <a href="https://ijoc.org/index.php/ijoc/article/view/15477">pandangan politik atau ideologi</a>.</p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S2211368118301050">Riset tahun 2019</a> di Amerika Serikat (AS) pun menemukan bahwa misinformasi sangat erat kaitannya dengan dogmatisme dan fundamentalisme agama dan kepecayaan yang terlalu tinggi pada pengetahuan yang dimiliki.</p>
<p>Hal ini seharusnya tidak terjadi di perguruan tinggi yang diharapkan mengutamakan intelektualitas di atas identitas politis atau ideologis. Nyatanya, berbagai kajian menyebutkan bagaimana sejak dulu hingga sekarang, kampus telah menjadi arena pertempuran ideologi – dari isu <a href="https://theconversation.com/memahami-universitas-sebagai-ajang-pertempuran-ideologi-politik-104249">politik kiri, fundamentalisme Islam,</a> hingga <a href="https://theconversation.com/saat-akademisi-jadi-aktivis-anti-lgbt-kebencian-dan-prasangka-di-dunia-pendidikan-tinggi-indonesia-173585">hak LGBT</a>.</p>
<p>Fundamentalisme ini di antara komunitas akademik menjadi penghambat sikap rasional dalam menanggapi informasi.</p>
<p>Di sini, membudayakan semangat berpikir rasional menjadi kunci bagi kampus untuk meredam fundamentalisme tersebut dan pada akhirnya penyebaran misinformasi. Bagaimana pendidikan tinggi dapat mulai menerapkannya?</p>
<h2>Kampus harus bangun budaya rasionalitas</h2>
<p>Dalam Teori <a href="https://www.jstor.org/stable/pdf/44289870.pdf?refreqid=excelsior%3A1d3ea7b9c75e9bc9f0e83467859bace4&ab_segments=&origin=">Dualisme Kognisi Tingkat Tinggi</a>, kita mengenal dua jenis sistem berpikir manusia, yakni Tipe 1 dan Tipe 2.</p>
<p>Tipe 1 ditandai dengan cara berpikir yang cepat, otomatis, dan reaktif, sementara Tipe 2 ditandai dengan pemikiran yang lebih lambat dan reflektif. Menalar sebuah informasi secara dominan menggunakan Tipe 2 Ketimbang Tipe 1.</p>
<p>Saat membaca berita tentang vaksin, misalnya, pemikiran Tipe 2 akan memprosesnya pelan-pelan secara evaluatif, membedah berbagai asumsi yang kita miliki tentang vaksin, dan memutuskan untuk membandingkan beragam informasi lanjutan sebelum mengkonfirmasi kebenarannya.</p>
<p>Studi tahun 2021 di Inggris menemukan bahwa <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/18344909211037385">gaya berpikir rasional dan mendalam</a> dalam Tipe 2 lebih mampu mengidentifikasi hoaks dan menolak teori konspirasi dalam wacana publik, termasuk misinformasi terkait COVID-19.</p>
<p>Selain mengkomunikasikan sains secara lebih aktif, pendidikan tinggi di Indonesia harus membangun budaya rasionalitas khas Tipe 2 dalam menyikapi wacana dan informasi.</p>
<p>Ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai wujud budaya rasionalitas ini.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, kampus bisa memfasilitasi ruang perdebatan dan diskusi dengan keterbukaan tanpa ada ketakutan bahwa ideologi tertentu akan “merusak” ideologi kampus atau budaya di masyarakat.</p>
<p>Forum seperti <a href="https://oxford-union.org/debating/">Oxford Union</a> di Oxford University, Inggris, bisa menjadi contoh bagi kampus-kampus Indonesia agar secara rutin melakukan latihan argumentasi secara terarah dan terorganisasi.</p>
<p>Oxford Union selama ini telah menggelar banyak debat – dari <a href="https://www.youtube.com/watch?v=UyjamZvjuUQ">nasib Islam di Eropa</a>, <a href="https://www.youtube.com/watch?v=kKIvfoMkvYo">krisis Ukraina-Rusia</a>, <a href="https://www.youtube.com/watch?v=cn1_jhqqNQ0">meritokrasi dan hak afirmasi</a> dalam layanan sosial, hingga <a href="https://www.youtube.com/watch?v=FcNR4vJdcE4">keberadaan Tuhan</a> – dan mengundang banyak akademisi dan pejabat ternama.</p>
<p>Debat-debat ini disebarluaskan melalui media kampus dengan perekaman yang bagus, dan dapat membangun budaya rasionalitas tidak hanya di antara warga kampus tapi juga audiens.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, mengembangkan media sosial yang membongkar hoaks atau misinformasi yang dikelola oleh kampus, dengan kontribusi dari komunitas akademik.</p>
<p>Kampus dapat mendorong dosen untuk berkontribusi sebagai bentuk pengabdian pada masyarakat. Apalagi, saat ini Kementerian Pendidikan membuka ruang untuk pelaksanaan tri dharma yang <a href="https://www.kompas.com/edu/read/2021/08/19/163000671/kemendikbud-ristek-luncurkan-layanan-sertifikasi-dosen-2021?page=all">lebih beragam</a>, tidak hanya terfokus pada publikasi akademik.</p>
<p>Ada berbagai insiatif serupa yang bisa menjadi contoh: <a href="https://reporterslab.org">The Reporter’s Lab</a> yang dikelola Duke University di AS, <a href="https://www.abc.net.au/news/factcheck/">ABC Fact Check</a> dari Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) di Australia, <a href="https://cqs.ulab.edu.bd/factwatch">FactWatch</a> milik University of Liberal Arts Bangladesh (ULAB), hingga <a href="https://www.factcheck.org">Factcheck.Org</a> dari Univesity of Pennsylvania di AS.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, mengembangkan forum digital yang bertujuan mengkomunikasikan hasil penelitian para akademisinya dengan memperbanyak konten yang terkait dengan tantangan lokal. </p>
<p>Hadirnya wacana akademis di ranah lokal akan membantu melawan misinformasi, terutama pada isu-isu yang khas di berbagai daerah di Indonesia.</p>
<p>Misalnya, portal komunikasi sains di Universitas Mataram, tempat saya mengajar, dapat fokus pada mengomunikasikan penelitian pada konteks Nusa Tenggara Barat (NTB).</p>
<p>Langkah-langkah ini bisa membangun budaya rasionalitas di kampus sekaligus mengurangi beredarnya misinformasi di kalangan universitas. Harapannya, kampus-kampus Indonesia bisa lebih menjaga asas-asasnya yaitu kebenaran ilmiah dan penalaran.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/182037/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Ahmad Junaidi sedang menerima beasiswa dari Australia Awards Scholarship (AAS) untuk studi doktoralnya.</span></em></p>Membangun budaya rasionalitas di kampus bisa membantu menegakkan asas penalaran dan kebenaran ilmiah, sekaligus mengurangi hoaks - bahkan yang rawan disebarkan oleh seorang profesor.Ahmad Junaidi, Lecturer (Universitas Mataram) , PhD Candidate, Monash UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1735852021-12-10T10:11:44Z2021-12-10T10:11:44ZSaat akademisi jadi aktivis anti-LGBT: kebencian dan prasangka di dunia pendidikan tinggi Indonesia<p>Dalam komunitas akademik dunia Barat, sudah menjadi hal lumrah bahwa diskriminasi tidak punya tempat di masyarakat, termasuk diskriminasi terhadap individu LGBT (<em>lesbian, gay, bisexual, transsexual/transgender</em>).</p>
<p>Capaian ini terwujud setelah puluhan tahun perjuangan dan pengalaman pahit melawan <a href="https://www.washingtonpost.com/posteverything/wp/2016/06/13/being-gay-in-america-is-still-a-radical-act/">fobia LGBT</a> di dunia Barat.</p>
<p>Masyarakat Indonesia sendiri <a href="https://theconversation.com/on-gender-diversity-in-indonesia-101087">secara historis cukup toleran</a> terhadap orang dengan beragam ekspresi gender dan orientasi seksual. Namun, negara ini telah menyaksikan <a href="https://www.hrw.org/video-photos/interactive/2016/08/10/2016-indonesias-lgbt-crisis-words">gelombang homofobia yang terus meningkat</a> dalam beberapa tahun terakhir.</p>
<p>Hal serupa juga terjadi di komunitas akademik dan lingkungan pendidikan tinggi di Indonesia.</p>
<p>Saya membuat <a href="https://docs.google.com/document/d/1mYSN2CVb-euuIhe3R0K2o6-uFWMIFbABvbaFgFckd_U/edit?usp=sharing">daftar insiden selama 2016-2021</a> yang terjadi di berbagai kampus. Daftar ini kemungkinan tidak lengkap, tapi setidaknya menunjukkan gencarnya kebencian terhadap komunitas LGBT di lingkungan pendidikan tinggi Indonesia.</p>
<p>Berbagai insiden ini antara lain berupa <a href="https://www.tribunnews.com/video/2015/12/04/rektor-hasriadi-akan-pecat-penyebar-virus-lgbt">wacana pemberhentian staf dan mahasiswa</a> yang mengidap “virus LGBT”, <a href="http://www.riaubook.com/berita/7899/terungkap-ternyata-ada-komunitas-lgbt-di-kampus-kampus-di-riau-ini-buktinya.html">demo terhadap mahasiswa LGBT</a> yang juga didukung kampus, serta <a href="https://theconversation.com/teror-akademik-masih-membungkam-wacana-keragaman-gender-dan-seksual-di-kampus-indonesia-167202">pembubaran diskusi akademik</a> dengan tema terkait hak komunitas LGBT.</p>
<p>Seiring komunitas akademik dunia Barat dan Indonesia menjalin kerjasama, kita harus terus mencari jalan bersama untuk melawan diskriminasi, termasuk diskriminasi atas dasar identitas gender dan seksual.</p>
<h2>Memperkuat narasi homofobia khas negara</h2>
<p>Beberapa tahun belakangan, kampus-kampus di Indonesia telah bergandengan tangan dengan negara dalam menebar homofobia – termasuk <a href="https://www.thejakartapost.com/news/2020/09/05/police-lambasted-for-targeting-lgbt-community-in-raid-in-jakarta.html">melalui aparat penegak hukum</a> maupun <a href="https://news.detik.com/berita/d-3125654/menristek-saya-larang-lgbt-di-semua-kampus-itu-tak-sesuai-nilai-kesusilaan">pernyataan politikus</a> yang menyuburkan kebencian terhadap komunitas LGBT.</p>
<p>Akademisi kerap bekerjasama dengan berbagai institusi tersebut dan mengandalkan pernyataan dari lembaga keagamaan negara. Di saat yang sama, banyak yang juga mempersenjatai aktivis anti-LGBT dengan argumen yang seakan terdengar berbasis sains.</p>
<p>Dalam diskursus akademik, misalnya, sebagian akademisi Indonesia (dan juga mahasiswa) sering mengulang argumen negara bahwa komunitas LGBT adalah ancaman terhadap harmoni nasional yang dibayangkan (“<em>imagined national harmony</em>”).</p>
<p>Pada tahun 2016, Menteri Riset dan Teknologi pada waktu itu, Muhammad Nasir, melarang individu LGBT untuk masuk ke lingkungan kampus. Ia mengatakan mereka “<a href="https://news.detik.com/berita/d-3125654/menristek-saya-larang-lgbt-di-semua-kampus-itu-tak-sesuai-nilai-kesusilaan">tidak sesuai dengan nilai dan kesusilaan</a>” Indonesia. Menteri Pertahanan waktu itu, Ryamizard Ryacudu, juga berujar bahwa <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2016/12/22/a-case-against-the-militarys-newfound-proxy-war-obsession.html">gerakan LGBT adalah bagian dari “<em>proxy war</em>” (perang proksi)</a> yang bertujuan memperlemah bangsa.</p>
<p>Akademisi biasanya menghindari menggunakan pernyataan yang sama dramatisnya. Tapi, ada beberapa yang tetap berpegang dengan ide bahwa komunitas LGBT merupakan ancaman.</p>
<p>Istilah ekspresi gender yang non-heteronormatif di Indonesia, di tingkat nasional (seperti <em>waria</em> atau <em>transpuan</em>) maupun di budaya lokal (seperti <em>bissu</em> di Sulawesi Selatan atau <em>tayu</em> di Bengkulu) semakin tertutup oleh istilah payung “LGBT”, yang terasa asing dan memiliki asosiasi dengan Barat.</p>
<p>Selain itu, dalam diskursus publik maupun akademik, “LGBT” juga terkait dengan berbagai konotasi negatif.</p>
<p>Stigma negatif yang biasanya melekat pada komunitas LGBT di dunia global biasanya terkait pedofilia, intervensi Barat, pornografi, atau prostitusi. Sementara itu, pernyataan dari akademisi Indonesia banyak menyoroti <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13552074.2018.1429103">masalah kesehatan</a> (komunitas LGBT sebagai ancaman yang menyebarkan penyakit menular) maupun <a href="https://www.e-ir.info/2016/03/21/against-state-straightism-five-principles-for-including-lgbt-indonesians/">argumen berbasis agama</a>.</p>
<p>Oleh karena itu, akademisi anti-LGBT biasanya memiliki latar belakang Islam yang konservatif.</p>
<p>Mereka akhirnya tidak hanya mengaitkan klaim moral mereka dengan agama, tapi juga dengan nasionalisme Indonesia.</p>
<p>Contoh yang umum digunakan adalah frase, “<em>generasi muda bangsa</em>”, yang dianggap terancam oleh penyakit seksual menular dan aktivitas amoral.</p>
<p>Menggunakan istilah “<em>bangsa</em>” adalah cara yang efektif untuk menghubungkan moralitas keagamaan dengan nasionalisme Indonesia. Komunitas LGBT pada akhirnya muncul sebagai wujud dari ancaman yang sebenarnya abstrak dan ambigu.</p>
<h2>Akademisi sebagai aktivis anti-LGBT</h2>
<p>Akademisi konservatif di Indonesia mulai <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/ailas-unsuccessful-petition-a-narrow-escape-from-overcriminalisation/">mendapat perhatian publik pada tahun 2017</a> saat Aliansi Cinta Keluarga (AILA) mengajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi.</p>
<p>Kelompok tersebut menuntut kriminalisasi kegiatan homoseksual dan aktivisme terkait LGBT, dengan hukuman hingga lima tahun penjara. Seperti biasa, berbagai akademisi ini mengklaim bahwa komunitas LGBT berkontribusi besar terhadap penyebarran HIV-AIDS.</p>
<p>Mereka juga mengatakan <a href="https://news.detik.com/berita/d-3266050/sidang-mk-kasus-homoseks-ahli-sebut-lgbt-picu-angka-kenaikan-hivaids">tidak etis</a> apabila individu LGBT mendapatkan jaminan kesehatan dan pengobatan yang dibiayai negara.</p>
<p>Bisa ditebak, argumen yang mereka gunakan tidak hanya mengandung klaim temuan empiris tapi juga pendapat moral.</p>
<p>Euis Sunarti, seorang profesor di Institut Pertanian Bogor (IPB), misalnya, adalah salah satu akademisi di AILA. Ia mengajar di bidang ketahanan dan pemberdayaan keluarga. Dalam sudut pandangnya, aktivitas komunitas LGBT mengancam institusi keluarga, sehingga negara harus bertindak.</p>
<p>Pernyataan dari akademisi ini senada dengan otoritas keagamaan dan pejabat negara. Akibatnya, batas antara agama, negara, dan sains menjadi semakin kabur.</p>
<p>Narasi anti-LGBT ini juga berperan sebagai instrumen untuk menyatukan berbagai kelompok sosial dan ekonomi di Indonesia. Hal ini melanggengkan konsep masyarakat harmonis dengan mengorbankan <a href="https://theconversation.com/onslaughts-against-gays-and-lesbians-challenge-indonesias-lgbt-rights-movement-54639">kelompok yang sudah termarjinalkan</a>.</p>
<p>Sayangnya, ini terwujud melalui penebaran kebencian dan prasangka.</p>
<h2>Melawan kebencian dan prasangka</h2>
<p>Banyak akademisi dari negara Barat menjalin hubungan baik dengan ilmuwan dan institusi akademik di Indonesia. Mengingat mereka selama ini mendukung aksi anti-diskriminasi di berbagai negara, semestinya para akademisi dunia tidak mengabaikan diskriminasi yang dilakukan institusi mitra di Indonesia terhadap komunitas LGBT.</p>
<p>Meski konflik langsung mungkin bukan pendekatan yang efektif, saya percaya bahwa akademisi yang kritis tidak boleh diam saat kelompok minoritas mengalami diskriminasi di kampus-kampus Indonesia.</p>
<p>Tugas mereka bukan hanya menantang <a href="https://www.thejakartapost.com/academia/2020/01/30/rejecting-homophobic-pseudoscience.html">diskursus anti-LGBT yang berbasis pseudosains</a> di komunitas akademik Indonesia, tapi juga menebar rasa empati untuk orang-orang yang terus termarginalkan dan diasingkan dari pendidikan akibat ekspresi dan identitas gender mereka.</p>
<p>Kabar baiknya, di Indonesia terdapat banyak akademisi yang kritis dan aktif. Institusi akademik di berbagai negara maju bisa mengidentifikasi akademisi mana saja yang bisa digandeng sebagai mitra yang baik.</p>
<p>Akademisi Barat juga sebaiknya tidak menghindari perdebatan kontroversial dengan para mitra di Indonesia. Misalnya, saat menandatangani MoU atau bentuk perjanjian lain dengan mereka, isu-isu seperti diskriminasi bisa diangkat dan dibahas.</p>
<p>Para akademisi yang kritis bisa menghadapi fobia LGBT di Indonesia dengan cara yang sama saat mereka mengkritisi, misalnya, <a href="https://theconversation.com/islamophobia-in-western-media-is-based-on-false-premises-151443">Islamofobia di dunia barat</a>. Mereka bisa menekankan pada mitra Indonesia bahwa kebencian terhadap minoritas yang didorong oleh negara secara struktur mirip dengan kebecian terhadap kelompok Muslim di dunia Barat – dalam hal ini sebagai ancaman terhadap bangsa.</p>
<p>Membantu menciptakan dunia yang bersih dari kebencian dan prasangka adalah suatu kewajiban akademik. Ini adalah sesuatu yang bisa dilakukan bersama-sama oleh akademisi dunia Barat dan Indonesia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/173585/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Timo Duile menerima dana dari German Research Foundation (DFG). Riset tersebbut tidak ada kaitannya dengan topik terkait komunitas LGBT.</span></em></p>Seiring komunitas akademik dunia Barat dan Indonesia menjalin kerjasama, kita harus terus mencari jalan bersama untuk melawan diskriminasi, termasuk terhadap komunitas LGBT.Timo Duile, Lecturer and researcher at the Institute for Oriental and Asian Studies, University of BonnLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1701062021-10-22T07:35:36Z2021-10-22T07:35:36ZMalapetaka penelitian “berideologi”: mengapa ilmu pengetahuan alam harus bebas dari kekangan politis<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/427971/original/file-20211022-27-latio0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/xtLIgpytpck">(Unsplash/David Matos)</a></span></figcaption></figure><p>Minggu lalu, Presiden Joko Widodo <a href="https://tirto.id/polemik-jokowi-lantik-megawati-jadi-ketua-dewan-pengarah-brin-gknD">mengangkat Megawati Soekarnoputri</a> sebagai Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).</p>
<p><a href="https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt609225ecddc57/nprt/lt51baf490566eb/peraturan-presiden-nomor-33-tahun-2021">Peraturan Presiden tentang BRIN</a> memang mengatur bahwa posisi Ketua Dewan Pengarah BRIN diisi anggota dewan pengarah lembaga yang membina Pancasila – dalam hal ini Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), yang saat ini dipimpin oleh Megawati.</p>
<p>Di sini, Megawati bertugas mengarahkan Kepala BRIN dalam merumuskan kebijakan dan pelaksanaan riset di Indonesia, serta memastikan segala inovasi nasional berpedoman pada nilai Pancasila. </p>
<p>Namun, <a href="https://www.nature.com/articles/d41586-019-01160-3">berbagai kalangan</a> khawatir ini akan membuka lebar peluang <a href="https://www.science.org/content/article/superagency-may-further-politicize-indonesian-research">politisasi</a> dan <a href="https://theconversation.com/bunuh-diri-penelitian-indonesia-forum-guru-besar-tolak-dewan-pengarah-brin-yang-rawan-dipolitisasi-163044">pengekangan riset</a> nasional.</p>
<p>Lebih jauh lagi, pengarahan riset berbasis ideologi negara juga berpotensi punya dampak khususnya pada ilmu pengetahuan alam – bidang ilmiah yang digeluti penulis.</p>
<p>Sejarah telah menunjukkan dampak fatal yang bisa timbul jika ilmu pengetahuan alam disetir kepentingan ideologi, dari penelitian tentang iklim, kesehatan publik, hingga biologi.</p>
<p>Apa saja risiko tersebut? Dan apakah ideologi punya tempat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama ilmu alam?</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bunuh-diri-penelitian-indonesia-forum-guru-besar-tolak-dewan-pengarah-brin-yang-rawan-dipolitisasi-163044">"Bunuh diri penelitian Indonesia": forum guru besar tolak Dewan Pengarah BRIN yang rawan dipolitisasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Politisasi proses ilmiah sering berakhir buruk</h2>
<p>Ilmu pengetahuan dikembangkan melalui tiga komponen utama: ilmuwan, komunitas ilmiah, dan pustaka ilmiah.</p>
<p>Proses riset oleh ilmuwan terhadap alam lewat riset, misalnya, akan dicatat sebagai ilmu pengetahuan dan menjadi bagian dari pustaka ilmiah apabila mendapat verifikasi dari komunitas ilmiah – contohnya melalui <a href="https://theconversation.com/jalan-evolusi-bibliometrik-indonesia-104781">proses <em>peer review</em> (telaah sejawat)</a> yang ketat untuk masuk ke jurnal ilmiah.</p>
<p>Proses ini menghasilkan pustaka ilmiah yang bersifat netral, bebas-nilai, dan publik.</p>
<p>Apabila proses ini mengalami intervensi ideologi dan politisasi, dampaknya akan fatal bagi kehidupan manusia.</p>
<p>Yang paling ekstrem, misalnya, sejarah mencatat malapetaka yang terjadi saat ideologi membajak ilmu pengetahuan, yakni pada masa kepemimpinan Adolf Hitler di Partai Nazi Jerman saat Perang Dunia II.</p>
<p>Ideologi bahwa ras “Arya” (keturunan Eropa) diciptakan lebih unggul dari ras lain, ditambah pandangan <a href="https://theconversation.com/anti-semitism-is-on-the-rise-75-years-after-the-end-of-the-holocaust-and-second-world-war-132141">antisemitisme (kebencian terhadap keturunan Yahudi)</a>, membuat pemerintahnya menerapkan praktik <a href="https://www.history.com/topics/germany/eugenics">“eugenika”</a> – memperbaiki ras manusia dengan membuang orang-orang yang secara genetik dianggap “cacat”.</p>
<p>Ini menyebabkan terbunuhnya jutaan jiwa akibat pelaksanaan riset genetika yang dipelintir melalui ideologi tersebut.</p>
<p>Contoh yang lebih baru dan relevan, bisa dilihat dalam <a href="https://www.bbc.com/news/world-us-canada-55640427">empat tahun masa kepimpinan Presiden Donald Trump</a> di Amerika Serikat (AS).</p>
<p>Bersama staf pemerintahannya, Trump <a href="https://theconversation.com/the-trump-administration-slanted-science-and-the-environment-4-essential-reads-94711">mengekang banyak penelitian perubahan iklim</a> karena ia tidak mempercayai fenomena tersebut. Ideologi dari Partai Republik yang cenderung pro-industri <a href="https://www.brookings.edu/blog/planetpolicy/2021/05/10/republicans-in-congress-are-out-of-step-with-the-american-public-on-climate/">bisa jadi juga berperan</a> dalam sikap ini.</p>
<p>Trump melakukan hal yang sama ketika komunitas ilmiah AS memperingatkan tentang bahaya COVID-19.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/427977/original/file-20211022-19-1b3zwu8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/427977/original/file-20211022-19-1b3zwu8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/427977/original/file-20211022-19-1b3zwu8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=300&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/427977/original/file-20211022-19-1b3zwu8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=300&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/427977/original/file-20211022-19-1b3zwu8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=300&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/427977/original/file-20211022-19-1b3zwu8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=377&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/427977/original/file-20211022-19-1b3zwu8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=377&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/427977/original/file-20211022-19-1b3zwu8.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=377&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Saat kepentingan penguasa menyetir arah penelitian, dampaknya sangat buruk terhadap dunia – dari kemanusiaan hingga iklim bumi.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/Q1js5z4tKLA">(Unsplash/William Bossen)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Bahkan, Trump <a href="https://www.nytimes.com/2019/12/28/climate/trump-administration-war-on-science.html">meremehkan ilmuwan</a> dalam berbagai pertemuan ilmiah, serta menghalangi publikasi data-data ilmiah oleh lembaga resmi pemerintahan jika ia tidak setuju dengan data dan kesimpulan ilmiahnya.</p>
<p>Akibatnya, peran AS dalam penelitian menurun, terutama terkait perubahan iklim. AS juga sangat <a href="https://theconversation.com/how-covid-19-led-to-donald-trumps-defeat-150110">lambat dan kacau</a> dalam penanganan pandemi COVID-19 di AS saat itu.</p>
<p>Berkaca pada beberapa contoh di atas, tidak tertutup kemungkinan hal serupa bisa terjadi di Indonesia.</p>
<p>Saat ini, banyak berlangsung riset yang sebenarnya bermanfaat bagi kesejahteraan manusia. Namun, jika pihak-pihak tertentu menganggapnya tidak sesuai dengan ideologi negara, bisa jadi akan diberangus.</p>
<p>Contohnya adalah penelitian terkait daging hewan sintetis di laboratorium <a href="https://theconversation.com/mengenal-stem-cell-masa-depan-pengobatan-penyakit-152754">berbasis sel punca (<em>stem cells</em>)</a> dan penelitian kloning hewan unggul – seperti yang saat ini sedang dikembangkan di laboratorium kami di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan institusi lainnya di Indonesia.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengenal-stem-cell-masa-depan-pengobatan-penyakit-152754">Mengenal stem cell, masa depan pengobatan penyakit?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Beberapa interpretasi keagamaan, misalnya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), menganggap bahwa daging berbasis sel <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210927112105-20-699872/munas-nu-fatwakan-daging-berbasis-sel-haram-dikonsumsi">haram dikonsumsi</a>. Kepercayaan religius juga sering menganggap makhluk ciptaan Tuhan tidak boleh dimodifikasi karena semua makhluk telah diciptakan sempurna oleh Tuhan.</p>
<p>Potensi politisasi kepercayaan religius seperti ini bisa menghambat perkembangan penelitian.</p>
<h2>Adakah tempat bagi ideologi?</h2>
<p>Kesalahpahaman seperti di atas bisa timbul akibat kebingungan antara peran ideologi dalam sains, dengan perannya dalam penerapan teknologi.</p>
<p>Penelitian dan transfer hasilnya – yakni ilmu pengetahuan – lewat pendidikan bertahun-tahun membantu ilmuwan mencari prinsip alam yang netral, bebas-nilai, dan publik.</p>
<p>Proses pendidikan dan penanaman etika riset ini melatih moral ilmuwan, sehingga tanpa berpedoman ke ideologi pun, nilai-nilai luhur telah terbenam di dalam proses ini.</p>
<p>Sebaliknya, beda dengan ilmu pengetahuan yang berorientasi netral dan publik, teknologi berorientasi pada efektivitas dan daya saing – mencari solusi untuk masalah hidup manusia, namun sekaligus melayani kepentingan pasar.</p>
<p>Di sinilah ideologi negara bisa punya peran penting, yakni menjadi rambu-rambu penerapan teknologi.</p>
<p>Albert Einstein melalui <a href="https://theconversation.com/awal-mula-dan-takdir-akhir-alam-semesta-152598">Teori Relativitas Umum</a> yang ia gagas pada 1915 – disusul berbagai riset dari komunitas ilmiah yang mengembangkan konsepnya sejak saat itu – berkontribusi pada pustaka ilmiah terkait cara kerja gravitasi, ruang, dan waktu dengan semangat yang netral, bebas-nilai, dan publik.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/427978/original/file-20211022-19-13wi2lb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/427978/original/file-20211022-19-13wi2lb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/427978/original/file-20211022-19-13wi2lb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/427978/original/file-20211022-19-13wi2lb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/427978/original/file-20211022-19-13wi2lb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/427978/original/file-20211022-19-13wi2lb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/427978/original/file-20211022-19-13wi2lb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/427978/original/file-20211022-19-13wi2lb.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Selama ratusan tahun, berbagai ilmuwan berkontribusi membangun ilmu pengetahuan dengan semangat yang netral dan bebas-nilai.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/g-fm27_BRyQ">(Unsplash/Andrew George)</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Kini asas pokok dari konsep tersebut digunakan dalam berbagai penerapan teknologi <em>global positioning system</em> (GPS) – dari aplikasi peta seperti Google Maps hingga layanan transportasi seperti Uber atau Grab.</p>
<p>Sayangnya, kompetisi pasar dan peluang ekonomi telah mendorong banyak perusahaan untuk <a href="https://theconversation.com/belajar-dari-gugatan-terhadap-facebook-di-eropa-indonesia-perlu-lembaga-pengawas-independen-dalam-perlindungan-data-pribadi-145929">menyalahgunakan data lokasi dan data pribadi</a> pengguna tanpa persetujuan orang tersebut.</p>
<p>Sila “kemanusiaan” dalam Pancasila bisa jadi landasan untuk memperkuat hak privasi melalui berbagai aturan yang melindungi data pribadi warga dengan ketat – sebagaimana ideologi kebebasan dunia Barat melahirkan <a href="https://www.ftc.gov/enforcement/rules/rulemaking-regulatory-reform-proceedings/childrens-online-privacy-protection-rule">Aturan Perlindungan Privasi Daring Untuk Anak</a> di Amerika Serikat (AS), atau <a href="https://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/PDF/?uri=CELEX:32016R0679">Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR)</a> di Eropa. </p>
<p>Namun, fungsi ini pun berada di level regulasi pasar – bukan di level kebijakan dan pelaksanaan riset – serta bisa diwakili berbagai lembaga negara lainnya.</p>
<p>Sehingga, keberadaan suatu “dewan pengarah” di suatu lembaga riset, apalagi yang berpegang pada ideologi negara, sebenarnya <a href="https://theconversation.com/bunuh-diri-penelitian-indonesia-forum-guru-besar-tolak-dewan-pengarah-brin-yang-rawan-dipolitisasi-163044">bukan hal yang wajar</a>.</p>
<h2>Otonomi ilmiah yang bebas kekangan politis</h2>
<p>Pada akhirnya, bangsa yang sejahtera adalah bangsa yang mempunyai masyarakat industri yang mengandalkan ilmu pengetahuan.</p>
<p>Mereka tahu bahwa teknologi hanya bisa berkembang bila ada inovasi dan pengolahan sumber daya alam yang baik – dua hal yang hanya bisa dicapai dengan pembedahan fakta di laboratorium berdasarkan prinsip alam yang netral dan bebas-nilai.</p>
<p>Dengan demikian, tradisi penelitian yang tidak dikekang justru merupakan penentu daya saing sebuah bangsa.</p>
<p>Jika memang suatu Dewan Pengarah BRIN harus ada, ia justru harus menjamin bahwa otonomi ilmiah tidak boleh mendapat kekangan politis atau dorongan ideologis.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/170106/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sejarah telah menunjukkan dampak fatal yang bisa timbul jika ilmu pengetahuan alam disetir kepentingan ideologi, dari penelitian tentang iklim, kesehatan publik, hingga biologi.Berry Juliandi, Dean, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, IPB UniversityBambang Suryobroto, Lecturer in Human Biology, IPB UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1672022021-09-15T09:12:11Z2021-09-15T09:12:11ZTeror akademik masih membungkam wacana keragaman gender dan seksual di kampus Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/421032/original/file-20210914-17-o1kzd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=0%2C141%2C3363%2C2184&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) melakukan unjuk rasa di kampus pada 2019.</span> <span class="attribution"><span class="source">Irsan Mulyadi/Antara Foto</span></span></figcaption></figure><p>Agustus lalu, sebuah webinar untuk mengenal transgender di Universitas Airlangga (Unair), di Jawa Timur, batal terjadi.</p>
<p>Panitia penyelenggara, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair, <a href="https://www.instagram.com/p/CTjHdjxl6Se/">mengumumkan pembatalan</a> acara pada hari H karena “satu dan lain hal.”</p>
<p><div data-react-class="InstagramEmbed" data-react-props="{"url":"https://www.instagram.com/p/CTjHdjxl6Se","accessToken":"127105130696839|b4b75090c9688d81dfd245afe6052f20"}"></div></p>
<p>Pembatalan atau pembatasan diskusi kampus tentang isu LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) dengan alasan sumir atau moral kerap terjadi di Indonesia.</p>
<p>Barangkali salah satu yang paling menonjol adalah pembatalan diskusi dengan pembicara Irshad Manji - penulis buku “Allah, Liberty and Love: Suatu Keberanian Mendamaikan Iman dan Kebebasan” - di Universitas Gadjah Mada (UGM) oleh rektor <a href="https://nasional.tempo.co/read/402606/rektor-ugm-larang-diskusi-irshad-manji">“demi keamanan bersama”</a> pada 2012. </p>
<p>Kasus serupa pernah terjadi di <a href="https://nasional.tempo.co/read/718486/diskusi-gay-lesbian-dilarang-di-undip-ini-kronologinya">Semarang</a> dan <a href="https://nasional.tempo.co/read/718690/larang-diskusi-lgbt-universitas-brawijaya-dikecam">Malang</a> pada 2015, serta di Jakarta pada 2016.</p>
<p>Pada 2016, pihak Universitas Indonesia (UI) melarang diskusi oleh Support Group & Resource Center on Sexuality (SGRC) - sebuah kelompok mahasiswa UI - dan berujung pada peristiwa “<a href="https://ejournal.unitomo.ac.id/index.php/jsk/article/view/1882">kepanikan moral</a> <a href="https://www.insideindonesia.org/online-hate-speech">LGBT</a>”. Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi ketika itu, Mohamad Nasir <a href="https://www.antaranews.com/berita/541624/kampus-mestinya-tidak-dimasuki-lgbt-kata-menristek">menyatakan</a> bahwa perguruan tinggi adalah penjaga moral yang sebaiknya menegakkan standar <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/lgbt-indonesians-on-campus-too-hot-to-handle/">“nilai dan kesusilaan”</a> sehingga <a href="http://asaa.asn.au/indonesian-tolerance-under-strain-as-anti-lgbt-furore-grows/">LGBT sebaiknya tidak masuk kampus</a> atau <a href="https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-3828791/ugm-tak-ada-aturan-tolak-lgbt-tapi-dilarang-bekegiatan-di-kampus">berkegiatan di kampus</a>. </p>
<p>Sejak itu, banyak kegiatan diskusi bertema LGBT di kampus (seperti di <a href="https://www.rappler.com/world/pembubaran-diskusi-lgbt-itb-bandung">Institut Teknologi Bandung</a> dan <a href="https://www.rappler.com/world/diskusi-tentang-mahasiswa-gay-di-ugm-dibatalkan">UGM</a>) dibubarkan. </p>
<p>Pembungkaman atas isu LGBT di kampus sudah berlangsung lama, paling tidak sejak era Orde Baru, dan sayangnya terus terjadi hingga kini. Namun, perlawanan tidak berhenti.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/komunitas-gay-di-indonesia-menggunakan-media-sosial-untuk-meruntuhkan-batasan-dan-stigma-156868">Komunitas gay di Indonesia menggunakan media sosial untuk meruntuhkan batasan dan stigma</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pembatasan dan pelarangan di kampus</h2>
<p>Institusi pendidikan tinggi, terutama mulai era pemerintahan Soeharto, acap kali <a href="https://www.hrw.org/sites/default/files/reports/inacfr98.pdf">membatasi</a> kebebasan akademik dalam pewacanaan beberapa isu tertentu.</p>
<p>Isu-isu ini termasuk soal demokrasi dan hak asasi manusia, Marxisme-Leninisme dan pikiran-pikiran Soekarno, golongan etnis Tionghoa, dan <a href="https://nasional.tempo.co/read/644703/diskusi-korban-65-dibubarkan-nusyahbani-lapor-ke-jokowi">Partai Komunis Indonesia</a>. </p>
<p>Lalu muncul sikap tabu untuk membicarakan topik-topik yang dianggap “kritis” dan “sensitif”. </p>
<p>Gender dan seksualitas, apalagi yang beragam seperti LGBTQI+, termasuk dalam topik-topik tabu ini. </p>
<p>Penabuan ini muncul dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah larangan menulis topik “LGBT” sebagai tugas akhir, misalnya. </p>
<p>Seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta bersaksi tentang bagaimana seorang dosen mengatakan bahwa “kalau bikin skripsi topiknya jangan tentang <a href="https://magdalene.co/story/tiada-tempat-untuk-lgbt-kepanikan-moral-dan-persekusi-atas-minoritas-seksual-di-indonesia">bencong-bencong</a>, ya!”. </p>
<p>Dalam sebuah percakapan dengan salah satu penulis, seorang kandidat doktor diwanti-wanti kampus tempatnya bekerja - sebuah universitas swasta di Yogyakarta - agar “tidak menulis tentang kajian LGBT”. </p>
<p>Sikap serupa terjadi pada staf pengajar. Kami menemukan di beberapa universitas di Jawa Timur bahwa dosen-dosen yang berafiliasi dengan organisasi “LGBTIQ+” atau diduga memiliki orientasi seksual berbeda tidak ditingkatkan secara jabatan atau secara halus disingkirkan, sehingga akhirnya keluar. </p>
<p>Ada seorang dosen yang tidak diberikan mata kuliah untuk mengajar di semester berikutnya. Ia mengatakan pada kami, “Aku tidak tahu, tiba-tiba aku menemukan bahwa namaku tidak ada di daftar mata kuliah semester mendatang. Waktu kutanyakan, jawabannya tidak pernah jelas”. </p>
<p>Tak berbeda dengan perilaku diktator sebelum Reformasi, berbagai pelarangan dan pembatasan seperti ini tidak pernah ada jejak tertulisnya. Kadang pengajar diharuskan menandatangani pernyataan tidak akan menuntut dan menyampaikan perilaku diskriminatif pemimpin kampus itu kepada media. </p>
<p>Tidak hanya staf pengajar yang mendapat diskriminasi. Sejak 2016, <a href="https://nasional.tempo.co/read/870811/syarat-mahasiswa-baru-universitas-andalas-bebas-lgbt-jadi-viral/full&view=ok">Universitas Andalas</a> di Sumatera Barat dan <a href="http://www.suarakita.org/2016/11/2415799120/">Universitas Negeri Gorontalo</a> memberlakukan peraturan khusus untuk menyaring mahasiswa yang diduga LGBT bahkan mengancam menghentikan beasiswa.</p>
<p>Otoritas kampus terkait menyatakan bahwa selain tidak ingin berurusan dengan hal-hal yang sensitif, penabuan yang berujung pada pembatasan dan pelarangan didasarkan pada adat ketimuran dan dasar negara yang berketuhanan. </p>
<p>Namun, sesungguhnya hal ini merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang <a href="https://brill.com/view/journals/bki/170/2-3/article-p382_11.xml?language=en">menuju ke arah konservatif</a> dengan berbagai <a href="https://www.jstor.org/stable/10.2979/jims.5.1.01">propaganda</a>.</p>
<p>Ini menunjukkan bahwa kampus sejak era Soeharto tidak memiliki kemerdekaan akademik seutuhnya, meski jargon <a href="https://dikti.kemdikbud.go.id/kabar-dikti/kabar/program-kampus-merdeka-ajak-mahasiswa-indonesia-menjadi-sdm-kreatif-dan-adaptif/">“kampus merdeka”</a> kini menggelegar di mana-mana. </p>
<p>Kondisi ini merupakan sistem warisan Orde Baru (dan pasca Orde Baru) yang tidak hanya represif dan <a href="https://www.jstor.org/stable/3350927?seq=1#metadata_info_tab_contents">militeristik</a> tapi juga <a href="https://www.degruyter.com/document/doi/10.1355/9789814843478-011/html">patriarkis, religius</a>, dan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/0014184042000302308">homofobik</a>. </p>
<p>Alih-alih memberikan pengetahuan mengenai keragaman gender dan seksual di masyarakat, negara lebih mengedepankan <a href="https://www.goodreads.com/book/show/13420600-state-ibuism">maskulinitas</a> dalam <a href="https://read.dukeupress.edu/books/book/1746/chapter-abstract/183710/The-State-and-Sexuality-in-New-Order-Indonesia?redirectedFrom=fulltext">kebijakan nasional</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/ironi-kebijakan-kampusmerdeka-ketika-kampusnya-merdeka-tapi-mahasiswanya-tidak-132260">Ironi kebijakan #KampusMerdeka: ketika kampusnya merdeka tapi mahasiswanya tidak</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Melawan dengan pengetahuan (di bawah tanah)</h2>
<p>Negara nyaris tidak pernah hadir dalam membangun <a href="https://www.antaranews.com/berita/207199/mendiknas-tidak-setuju-pendidikan-seks-di-sekolah">pengetahuan</a> mengenai <a href="https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/11/151102_indonesia_pendidikanseks">seksualitas</a>. </p>
<p>Demikian pula kampus lebih banyak bergerak menjadi pemasok tenaga kerja bagi industri, pejabat, dan “kaki tangan” rezim. </p>
<p>Kita perlu menyikapi situasi dengan serius mengingat kampus pada saat ini memiliki kecenderungan melakukan riset dan kurikulum yang bergerak pada pemenuhan pasar dan sektor industri (<a href="https://lldikti12.ristekdikti.go.id/2013/04/28/kurikulum-nasional-berbasis-kompetensi-mengacu-pada-kkni.html">Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia)</a>), bukan pada kemanusiaan. </p>
<p>Pun upaya “membungkam” pengetahuan seksualitas berdatangan dari berbagai pihak. </p>
<p>Selain institusi pendidikan yang cenderung konservatif (yang memunculkan <a href="https://theconversation.com/whats-behind-indonesian-authorities-desire-to-control-lgbt-sexuality-65543">Aliansi Cinta Keluarga (AILA)</a>), <a href="http://www.socsci.uci.edu/%7Etboellst/bio/IN8.pdf">ormas Islam(is)</a> seperti Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, Gerakan Pemuda Kabah, <a href="https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160225_indonesia_ponpes_waria_ditutup">Front Jihad Islam</a>, dan <a href="https://www.antaranews.com/berita/708465/mui-lgbt-tidak-dibenarkan-semua-agama">Majelis Ulama Indonesia</a> punya andil dalam pembungkaman tersebut. Ada kalanya pimpinan perguruan tinggi tunduk kepada tuntutan mereka karena kekhawatiran keamanan atau perhitungan politik.</p>
<p>Meski demikian, akademisi institusi pendidikan, kelompok studi, dan lembaga swadaya masyarakat di luar kampus tetap berupaya melakukan memperkenalkan, membahas, dan memperkaya pengetahuan tentang seksualitas dalam berbagai cara; misalnya, dengan menyamarkan acara sebagai retret atau buka puasa bersama - ini dilakukan bahkan sejak Orde Baru.</p>
<p>Beberapa akademisi dan institusi tetap konsisten membela kebebasan akademik meski pun mengalami banyak hambatan seperti FISIP dan Fakultas Ilmu Budaya Unair di Surabaya; Pusat Studi Gender & Seksualitas Universitas Indonesia dan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi di Jakarta; Universitas Kristen Duta Wacana, FISIP Universitas Atma Jaya, dan Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta; dan masih ada lagi. </p>
<p>Pengembangan riset dan produksi ilmu pengetahuan tentang gender dan seksualitas akhirnya dilakukan - kadang dengan gerilya - oleh berbagai organisasi non-pemerintah yang juga melakukan advokasi terhadap individu LGBTQI+.</p>
<p>Beberapa di antara mereka adalah GAYa NUSANTARA, Ardhanary Institut, Suara Kita, GWL-INA dan Arus Pelangi, juga oleh sekutu-sekutu seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), Youth Interfaith Forum on Sexuality (YIFoS), dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).</p>
<p>Walau berusaha dibungkam, namun civitas akademika tidak lantas diam. Pergerakan memang dibatasi, tapi perlawanan tidak berhenti.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/167202/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Dina Listiorini adalah salah satu anggota dewan pengurus organisasi Suara Kita untuk periode 2021-2026.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Dédé Oetomo terafiliasi dengan GAYa NUSANTARA (sebagai Pembina) dan dengan FISIP & FIB Univ. Airlangga (sebagai dosen tidak tetap). </span></em></p>Pembungkaman atas isu LGBT di kampus sudah berlangsung lama - paling tidak sejak era Orde Baru - dan sayangnya terus terjadi hingga kini. Namun, perlawanan tidak berhenti.Dina Listiorini, Dosen. peneliti untuk media dan isu seksualitas, Universitas Atma Jaya YogyakartaDédé Oetomo, Adjunct Lecturer in Gender and Sexuality, Universitas AirlanggaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1284722019-12-13T07:02:46Z2019-12-13T07:02:46ZPembuatan kebijakan di Indonesia tidak didukung riset berkualitas dan kebebasan akademik<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/305602/original/file-20191206-90557-tvcqb3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Adi Weda EPA</span> </figcaption></figure><p>Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo baru saja melantik para menteri kabinetnya yang baru. Kabinet Indonesia Maju ini diharapkan dapat mengarahkan pembuatan kebijakan dan implementasinya lima tahun mendatang untuk mengatasi berbagai permasalahan kompleks yang mempengaruhi lebih dari seperempat miliar orang di negara ini.</p>
<p>Pembuatan kebijakan terdengar seperti hal yang besar, dan nyatanya memang demikian. Kebijakan pemerintah menentukan bagaimana program dan layanan yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari diselenggarakan. </p>
<p>Indonesia memerlukan kebijakan yang baik, dan kini adalah momen yang genting untuk itu. </p>
<p><a href="http://ejournal.lipi.go.id/index.php/jmiipsk/article/view/626">Pada 2030, Indonesia akan memiliki lebih banyak orang yang berusia produktif</a> daripada anak-anak dan orang tua. Namun tanpa kebijakan yang baik, negeri ini akan kehilangan peluang emas tersebut. Indonesia bisa saja menua sebelum makmur. </p>
<p>Untuk menyukseskan penyelenggaraan program yang membantu mengurangi kemiskinan, memastikan rakyat mendapatkan asupan pangan bergizi, pendidikan berkualitas, tahan pada bencana alam, dan menghormati keragaman, pemerintah harus mendasarkan kebijakan pada riset yang mumpuni secara akademis.</p>
<p>Namun kajian kami, <a href="http://www.gdn.int/doing-research-assessment">Doing Research Assessment</a>), yang diorganisasi oleh Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan di Indonesia didominasi oleh riset yang lemah secara teoretis, tanpa tradisi penilaian sejawat (<em>peer review</em>) yang kuat, dan dalam suasana kebebasan akademik yang terancam. </p>
<h2>Hubungan antara riset dan pembuatan kebijakan</h2>
<p>Studi kami menggunakan metodologi tiga tahap. Pertama, kami melakukan penilaian umum atas konteks ekonomi, politik, sejarah dan budaya. Kedua, kami memetakan aktor-aktor riset nasional. Ketiga, kami melakukan survei atas 102 responden: peneliti (33,3%), pengelola riset (39,3%), dan pembuat kebijakan (27,4%). </p>
<p>Responden tersebut mewakili berbagai organisasi yang menghasilkan atau menggunakan riset ilmu sosial, baik dari kalangan pemerintah dan organisasi donor, organisasi masyarakat sipil, institusi perguruan tinggi dan <em>think tank</em> swasta.</p>
<iframe title="" aria-label="Interactive donut chart" id="datawrapper-chart-COUPI" src="https://datawrapper.dwcdn.net/COUPI/2/" scrolling="no" frameborder="0" style="width: 0; min-width: 100% !important; border: none;" height="650" width="100%"></iframe>
<p>Studi kami menunjukkan bahwa ada hubungan baik yang terjalin antara aktor dan institusi pada sektor ilmu sosial dengan kalangan pembuat kebijakan. </p>
<p>Mayoritas peneliti (66,7%) pernah menerima permintaan saran ahli dari pemerintah untuk aspek sosial dari pengembangan kebijakan. Yang cukup signifikan, mayoritas organisasi riset (68,3%) pernah mengerjakan riset yang diminta langsung oleh pemerintah. Dan 93,5% peneliti pernah menjadi anggota dewan penasihat kebijakan di tingkat pusat dalam tiga tahun terakhir ini.</p>
<p>Mayoritas pembuat kebijakan (92,9%) juga mengklaim bahwa mereka menggunakan produk riset, seperti karya ilmiah, kertas kerja, presentasi, dan esai posisi. </p>
<p>Namun perlu diingat bahwa hubungan antara sektor ilmu sosial dan pembuat kebijakan ini tidak diiringi riset berkualitas tinggi dan kuat secara akademis melalui penilaian sejawat dan kolaborasi akademik.</p>
<p>Dalam tiga tahun terakhir, 76,5% peneliti menerima kurang dari dua minggu program peningkatan kapasitas, seperti pelatihan mengenai riset dan publikasi. Sebanyak 43,8% belum pernah dipublikasi pada jurnal ilmiah yang dinilai sejawat (<em>peer-reviewed</em>) dan 57,6% bukan anggota jejaring riset profesional.</p>
<p>Selain itu, 60,6% melakukan kolaborasi riset dengan peneliti di luar institusi mereka kurang dari empat kali, sedang 61,5% organisasi belum pernah menyelenggarakan debat publik terkait riset mereka. Perlu pertemuan dan kolaborasi yang lebih intensif untuk membangun keunggulan dan ikhtiar akademik (<em>academic rigour</em>).</p>
<p>Dalam ekosistem riset yang dukungan dari pemerintahnya rendah, hubungan antara riset sosial dan pembuatan kebijakan patut dipertanyakan.</p>
<p>Pemerintah Indonesia tidak memberi dukungan yang memadai untuk riset dasar. Hasilnya, universitas sering menerima riset pesanan untuk menambah pemasukan.</p>
<p>Saat ini belanja pemerintah untuk riset <a href="https://www.ksi-indonesia.org/in/news/detail/kinerja-riset-ilmu-sosial-indonesia-masih-rendah">sekitar 0,2% dari PDB</a>. Angka ini sepuluh kali lebih rendah daripada negara lain di kawasan Asia Tenggara. Meski meningkat dari 0,09% pada 2013 menjadi 0,25% dari PDB pada 2016, angka ini masih jauh di bawah Singapura (2,2%), Malaysia (1,3%), Thailand (0,6%) dan bahkan Vietnam (0,4%). </p>
<h2>Riset merdeka pada masa demokrasi</h2>
<p>Di Indonesia, hanya ada sedikit ruang untuk wacana progresif dan akademis kritis, dua prasyarat untuk penggunaan bukti dalam pembuatan kebijakan. </p>
<p>Ilmu-ilmu sosial memang memiliki sejarah panjang represi di Indonesia dan sering digunakan sebagai alat untuk melayani <a href="https://dfat.gov.au/about-us/publications/Documents/indo-ks-design.pdf">kepentingan para elit</a>. </p>
<p>Pada abad ke-18, pemerintah kolonial Belanda mengendalikan perkembangan ilmu dan riset dengan mempekerjakan ilmuwan dan sarjana sebagai <a href="https://www.jstor.org/stable/27751556?seq=1#page_scan_tab_contents">birokrat purna waktu</a>. </p>
<p>Antara 1965 hingga 1998, pemerintahan otoriter Orde Baru menggunakan ilmu-ilmu sosial untuk <a href="https://books.google.co.id/books/about/Social_Science_and_Power_in_Indonesia.html?id=WM3_ulRJFlkC&redir_esc=y">menjustifikasi kebijakan pemerintah</a>. </p>
<p>Meski kendali langsung pemerintah atas riset sosial telah berkurang sejak jatuhnya Orde Baru, faktor-faktor lain tetap membatasi isu-isu sosial yang bisa diteliti.</p>
<p>Sejak pertengahan 2000-an, tema-tema riset sosial tunduk pada selera pasar. Karena menjadi sumber pemasukan bagi universitas negeri dan swasta, riset didikte oleh apa yang bisa <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00472336.2019.1627389?journalCode=rjoc20">dijual</a> untuk kepentingan pasar politik, industri/swasta, pemerintah, ataupun donor. </p>
<p>Dengan memastikan kebebasan akademik untuk ilmuwan rumpun ilmu sosial, mereka dapat <a href="https://www.economist.com/asia/2018/06/21/why-indonesia-is-so-bad-at-lawmaking">menguatkan maupun mempertanyakan kebijakan pemerintah melalui kritik</a>.</p>
<p>Sekitar 48,3% responden kami pernah mengalami tekanan dan pengaruh yang tidak semestinya dari kalangan pembuat kebijakan ketika melakukan riset. Misalnya, banyak diskusi akademik yang <a href="https://tirto.id/menristekdikti-bukan-pawang-mahasiswa-eiXG">dibubarkan</a>, sebagian besar setelah tahun 2018 menjelang pemilihan umum. </p>
<p>Pada 2019, data survei juga digunakan untuk menjustifikasi elektabilitas calon-calon politik yang diusung. Agensi jajak pendapat pemilu berbeda dapat menghasilkan <a href="https://www.scmp.com/news/asia/southeast-asia/article/3006562/indonesia-election-jokowi-takes-lead-over-prabowo-subianto">angka yang jauh berbeda</a> – satu kubu memenangkan calonnya 8 hingga 9 poin, sementara yang lainnya mengklaim telah menang 62% suara. </p>
<p>Kasus ini menunjukkan bagaimana “bukti” dapat disesuaikan untuk kepentingan dan tujuan politik.</p>
<p>Penunjukan mantan calon Presiden Prabowo Subianto, purnawirawan jenderal yang tersangkut tuduhan <a href="https://www.theguardian.com/world/2019/oct/23/indonesia-joko-widodo-appoints-arch-rival-as-defence-minister-prabowo-subianto">pelanggaran HAM</a>, sebagai Menteri Pertahanan pemerintahan Jokowi yang baru juga menunjukkan bagaimana kompetisi antara calon presiden bukanlah cerminan dari demokrasi yang kuat, melainkan konsolidasi oligarki.</p>
<p>Di Indonesia, tanpa adanya bukti bahwa ikhtiar akademik itu memang nyata adanya, klaim apa pun mengenai kebijakan berbasis bukti harus senantiasa diwaspadai. </p>
<p>Hubungan superfisial antara kebijakan dan bukti seperti ini membahayakan pembuatan kebijakan yang baik. Meski peneliti telah menawarkan “bukti”, bukti-bukti tersebut rentan menjadi stempel untuk melegitimasi kebijakan tanpa mempertimbangkan nilai dan dampaknya.</p>
<p>Hanya dengan memastikan bahwa ikhtiar akademik itu ada dan kemerdekaan ilmuwan sosial bukanlah hal yang dapat dinegosiasikan, barulah kita dapat berharap hubungan yang bermakna antara akademisi dan pembuat kebijakan dapat terwujud.</p>
<p>Tanpa kedua hal tersebut, rendahnya imajinasi dan publikasi ilmuwan sosial Indonesia di kancah akademik dan debat publik internasional mengenai masa depan demokrasi global akan tetap memposisikan mereka sebagai alat untuk <a href="https://www.odi.org/sites/odi.org.uk/files/odi-assets/publications-opinion-files/7531.pdf">kepentingan elit</a>.</p>
<hr>
<p><em>Penulis mengucapkan terima kasih atas masukan dari Dr. Herlambang Wiratraman, ilmuwan sosial-legal dari Universitas Airlangga, Indonesia untuk riset ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/128472/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Inaya Rakhmani menerima dana dari Global Development Network. Inaya terafiliasi dengan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Zulfa Sakhiyya menerima dana dari Global Development Network.</span></em></p>Pembuatan kebijakan di Indonesia didominasi oleh riset yang lemah secara teoretis, tanpa tradisi penilaian sejawat yang kuat, dan tidak memiliki kebebasan akademik besar.Inaya Rakhmani, Assistant Professor at the Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Indonesia, Universitas IndonesiaZulfa Sakhiyya, Assistant Professor at the Faculty of Languages and Arts, Universitas Negeri Semarang., Universitas Negeri SemarangLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1258312019-11-08T04:10:19Z2019-11-08T04:10:19ZKebebasan akademik di bawah ancaman di seluruh dunia - berikut ini cara membelanya<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/298689/original/file-20191025-173524-19xo9iv.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Corpus Christi College, Cambridge.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/cambridge-united-kingdom-july-11-2016-575667472?src=Ds3X1rGkI8Pwg0WKpLByNg-1-2">shutterstock/Piotr Wawrzyniuk </a></span></figcaption></figure><p>Kebebasan akademik merupakan jantung dari universitas yang sukses. <a href="http://www.unesco.org/education/docs/recom_e.html">UNESCO</a> mendefinisikannya sebagai hak “kebebasan dalam mengajar dan berdiskusi, kebebasan dalam meneliti dan menyebarluaskan dan menerbitkan hasil riset”. </p>
<p>Para akademisi juga telah <a href="https://www.ucu.org.uk/media/8614/Academic-Freedom-in-the-UK-Legal-and-Normative-Protection-in-a-Comparative-Context-Report-for-UCU-Terence-Karran-and-Lucy-Mallinson-May-17/pdf/ucu_academicfreedomstudy_report_may17.pdf">menunjukkan</a> bahwa ini berarti pengelolaan mandiri dan keamanan pekerjaan akademik untuk memastikan independensi.</p>
<p>Namun dalam iklim saat ini, kebebasan akademik berada di bawah banyak ancaman. Tidak sedikit negara <a href="https://www.scholarsatrisk.org/resources/free-to-think-2018/">menyerang secara langsung mahasiswa dan akademisi</a>. <a href="https://wcfia.harvard.edu/publications/centerpiece/spring2018/transcript_jodidi2018">Internasionalisasi pendidikan tinggi</a> juga menciptakan ancaman global baru bagi para akademisi dan mahasiswa.</p>
<p>Pemerintah <a href="https://www.hrw.org/news/2018/05/14/turkey-government-targeting-academics">Turki</a>, misalnya, telah menyerang, memberhentikan, dan memenjarakan akademisi kritis di sana. <a href="https://www.theguardian.com/higher-education-network/2018/sep/06/state-control-over-academic-freedom-in-hungary-threatens-all-universities">Hongaria</a> telah merusak <a href="https://www.timeshighereducation.com/news/europe-should-codify-university-autonomy-ward-threats">otonomi universitas</a> dan menyerang bidang studi tertentu. Hal ini telah memaksa Universitas Eropa Tengah untuk <a href="https://www.insidehighered.com/news/2018/12/04/central-european-university-forced-out-hungary-moving-vienna">meninggalkan Budapest</a>.</p>
<p>Ada juga perkembangan yang mengkhawatirkan di <a href="http://balticworlds.com/academic-freedom-in-russia/">Rusia</a>, <a href="http://balticworlds.com/wp-content/uploads/2010/02/BW-4-2018-HELA_uppslag.pdf">negara-negara Baltik</a> dan <a href="https://www.insidehighered.com/news/2019/05/30/scholars-fear-future-academic-freedom-italy">negara Eropa lainnya</a>.</p>
<h2>Erosi otonomi akademik</h2>
<p>Komersialisasi pendidikan tinggi juga telah menyebabkan <a href="https://www.insidehighered.com/views/2019/04/16/three-subtle-forces-weakening-academic-freedom-opinion">ancaman yang lebih tidak kentara dan institusional</a> dalam kebebasan akademik. Ini membawa tren yang mengkhawatirkan bagi universitas untuk bersaing di dalam sebuah pasar demi mahasiswa dan uang - berusaha untuk mengalahkan satu sama lain dalam <a href="http://lac.ulb.ac.be/LAC/charte.html">peringkat “keunggulan” yang kontroversial</a>. Komersialisasi pendidikan tinggi juga menyebabkan peningkatan kontrak jangka pendek atau <a href="https://theconversation.com/zero-hour-contracts-are-turning-university-lecturers-off-the-job-74949">kontrak nol jam untuk akademisi</a> dan erosi otonomi akademik di banyak negara.</p>
<p>Kolaborasi dan pertukaran dengan aktor akademis dalam sistem yang represif - <a href="https://theconversation.com/universities-around-the-world-risk-becoming-complicit-with-chinese-government-interference-and-its-impacting-academic-freedom-118001">seperti Cina</a> - juga telah menyebabkan ketergantungan dan kerentanan baru untuk universitas di seluruh dunia. Jika keterlibatan tidak transparan dan tunduk pada pedoman etika, ada risiko bahwa universitas dapat terlibat dengan pelanggaran hak di luar negeri - dan merusak kebebasan akademik di negara sendiri.</p>
<p>Perdebatan tentang apa yang bisa dan tidak bisa ditoleransi dalam bagian wacana akademik terkadang digagalkan. Dalam beberapa kasus, pembicara sayap kanan ekstrem diundang untuk mengujarkan kebencian <a href="https://www.insidehighered.com/news/2019/03/22/white-house-executive-order-prods-colleges-free-speech-program-level-data-and-risk">di kampus</a>. Populis kanan telah menggambarkan kritik terhadap undangan seperti itu sebagai bentuk penyerangan terhadap kebebasan berpendapat.</p>
<p>Dalam kasus lain, kelompok yang marah menuntut pembalasan, namun tidak dapat diterima hanya karena pandangan mereka yang ofensif. Pada 2018, misalnya, mahasiswa mengajukan petisi agar profesor yang <a href="https://www.theguardian.com/education/2019/jan/09/oxford-students-call-for-professors-removal-over-alleged-homophobia">menyatakan pandangannya bahwa homoseksualitas adalah dosa</a> dicopot jabatannya.</p>
<p>Pencopotan seperti itu telah menghalangi diskusi tentang batasan dalam <a href="https://pursuit.unimelb.edu.au/articles/it-s-complicated-academic-freedom-and-freedom-of-speech">kebebasan akademik dan hubungannya dengan kebebasan berbicara</a>. Ini terjadi pada saat kebebasan akademik - dan cara untuk mempertahankannya - sangat perlu penanganan. Dan dalam menghadapi ancaman yang lebih besar, politis, struktural, dan institusional, universitas memiliki tanggung jawab untuk menyediakan ruang diskusi kritis.</p>
<h2>Menangani ancaman baru dan berkembang</h2>
<p>Pada 2018 <a href="https://www.europarl.europa.eu/doceo/document/TA-8-2018-0483_EN.html?redirect">Parlemen Eropa mengusulkan</a> adopsi deklarasi internasional tentang kebebasan akademik dan otonomi institusi pendidikan tinggi. Pernyataan seperti itu akan disambut baik, karena dapat membantu mengidentifikasi dan mengatasi ancaman terhadap kebebasan akademik secara internasional. Tapi itu hanyalah permulaan.</p>
<p>Ancaman yang kompleks dan saling terkait terhadap kebebasan akademik hanya dapat dipecahkan jika para akademisi, universitas, asosiasi professional, dan badan-badan internasional potensial berkumpul. LSM seperti <a href="https://www.scholarsatrisk.org/">Scholars At Risk</a>, yang mendukung dan membela prinsip-prinsip kebebasan akademik dan hak asasi manusia dari akademisi di seluruh dunia, telah lama menyerukan tindakan lebih lanjut yang perlu diambil oleh lembaga dan jaringan mereka.</p>
<p>Untuk menanggapi serangan langsung, harus ada rasa solidaritas yang lebih aktif. Badan-badan universitas seperti <a href="https://eua.eu/news/288:academic-freedom-in-turkey-eua-calls-for-exoneration-of-academics-facing-prison.html">Asosiasi Universitas Eropa</a>, misalnya, telah angkat suara tentang ancaman kebebasan akademik di Turki. <a href="http://www.asian-studies.org/asia-now/entryid/209/aas-statement-on-extra-judicial-detention-of-turkic-muslims-in-xinjiang-prc">Asosiasi untuk Studi Asia</a> baru-baru ini mengeluarkan pernyataan tentang penahanan di luar kerangka hukum terhadap Muslim di Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang Cina. Tapi ini tidak cukup.</p>
<p>Untuk mengatasi komersialisasi, universitas perlu mereformasi struktur pendanaan. Mereka juga perlu berhenti bertindak sebagai pesaing dalam pasar dengan mendasari keberhasilan mereka pada peringkat - karena ini <a href="http://lac.ulb.ac.be/LAC/charte_files/Charter_EN.pdf">merusak kebebasan akademik “dari dalam”</a>. Apalagi, peringkat tidak melihat <a href="https://montrose42.wordpress.com/2019/05/08/university-rankings-dont-measure-freedom-of-speech-and-academic-freedom-why-not/">apakah atau seberapa baik universitas melindungi kebebasan akademik</a>.</p>
<p>Scholars At Risk dan Institut Kebijakan Publik Global (Global Public Policy Institute) telah mengusulkan untuk <a href="https://www.gppi.net/2019/04/29/assessing-academic-freedom-infringements-and-their-severity">memetakan kebebasan akademik</a>. Baru-baru ini, Times Higher Education meluncurkan model peringkat baru berdasarkan <a href="https://www.universityworldnews.com/post.php?story=20190404190925308">Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB</a>. Ini termasuk melibatkan kesetaraan gender yang mengubah peringkat tradisional. Hal seperti ini dapat menantang, jika tidak menumbangkan, “tabel liga” saat ini. Dan mungkin juga memotivasi universitas untuk lebih memperhatikan nilai-nilai yang mereka junjung tinggi.</p>
<p>Yang perlu lebih banyak dilakukan adalah meningkatkan kesadaran dalam institusi perguruan tinggi tentang arti kebebasan akademik dan mendorong mahasiswa dan staf universitas untuk terlibat dengan masalah utama ini. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan dan mendiskusikan kebebasan akademik dalam pengajaran, menyelenggarakan perdebatan tentang topik tersebut, dan memperdalam pengetahuan melalui <a href="https://www.futurelearn.com/courses/academic-freedom">mata kuliah yang ada</a>.</p>
<p>Universitas juga perlu mengadopsi pedoman etika untuk keterlibatan global - mengacu pada yang diusulkan oleh <a href="https://www.hrw.org/news/2019/03/21/china-government-threats-academic-freedom-abroad">Human Rights Watch</a> - dan membuat komite etika dan mekanisme lain untuk menerapkannya. Dan mereka harus angkat suara, terutama ketika mahasiswa dan akademisi di lembaga mitra terancam masalah.</p>
<p>Saat ini berpikir kritis sangatlah penting - dunia sedang menghadapi tantangan tata kelola yang sangat besar. Untuk dapat berkontribusi pada jawaba dari tantangan ini, universitas perlu melindungi kebebasan akademik, baik di dalam maupun luar negeri.</p>
<p><em>Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/125831/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Eva Pils is affiliated with NYU U.S.-Asia Law Institute and Global Legal Action Network.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Marina Svensson has received funding from the Swedish Research Council and the Carl Fredrik Lyngby donation for sinology among other academic funding organizations.</span></em></p>Yang perlu lebih banyak dilakukan adalah meningkatkan kesadaran dalam institusi perguruan tinggi tentang arti kebebasan akademik dan mendorong mahasiswa dan staf universitas untuk terlibat.Eva Pils, Professor of Law, King's College LondonMarina Svensson, Professor of Modern China Studies, Lund UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.