tag:theconversation.com,2011:/id/topics/ketimpangan-41443/articlesKetimpangan – The Conversation2023-07-24T02:41:58Ztag:theconversation.com,2011:article/2095272023-07-24T02:41:58Z2023-07-24T02:41:58Z‘Single parents’ sering jadi kambing hitam dalam pendidikan anak: perlunya dukungan bagi mereka<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/538852/original/file-20230723-40270-leb9kd.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-vector/one-single-line-drawing-young-happy-2201066787">Simple Line/Shutterstock</a></span></figcaption></figure><p>Dalam percakapan sehari-hari ataupun di media sosial, kita sering dibanjiri berbagai informasi seputar <em>parenting</em> (pengasuhan anak). Dalam hal ini, <a href="https://www.liputan6.com/hot/read/5099372/6-artis-ini-pernah-dikritik-netizen-soal-pola-asuh-anak-jadi-sorotan">gaya pengasuhan orang tua</a>, terutama oleh ibu, sering jadi sorotan warganet – seolah hanya ada standar tunggal dalam pengasuhan anak yang harus diikuti untuk menjadi <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/00309230.2016.1240209">orang tua yang baik, ideal, atau teladan</a>. </p>
<p>Namun, narasi terkait pengasuhan anak lebih menekankan pada <a href="https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3713/kemenpppa-dorong-inisiasi-penyusunan-rencana-aksi-daerah-dalam-pengasuhan-berbasis-hak-anak/zlsis/l1240554.html/fiqez/q441637.html">peningkatan peran ibu dalam pendidikan anak</a> dan <a href="https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3305/pembagian-peran-pengasuhan-ciptakan-keluarga-berkualitas/rftvn/a1368840.html">keluarga tradisional yang “utuh”</a>.</p>
<p>Saat ini, kita masih kurang menaruh perhatian pada pengasuhan anak dari keluarga rentan, terutama anak-anak dengan orang tua tunggal (<em>single parent</em>). </p>
<h2>Mengkambinghitamkan orang tua yang bercerai</h2>
<p>Orang tua, terutama yang bercerai, kerap dianggap sebagai <a href="https://www.mdpi.com/2076-0760/8/2/64">faktor risiko utama</a> atas tingkah laku anak. Mereka dianggap bertanggung jawab penuh atas kesuksesan anaknya di masa depan.</p>
<p>Narasi yang ada biasanya menyatakan bahwa perpisahan orang tua menyebabkan berbagai masalah pada anak. Di Amerika Serikat, misalnya, buruknya performa pendidikan anak kerap dikaitkan sebagai <a href="https://bestrongintl.org/programs/how-does-single-parenting-affect-education/">dampak dari perceraian orang tua</a>. Anak-anak dari kelompok ini juga dianggap cenderung mengalami <a href="https://www.educationnext.org/one-parent-students-leave-school-earlier/">kendala akademis dan putus sekolah lebih awal</a>.</p>
<p>Padahal, <a href="https://www.pnas.org/doi/full/10.1073/pnas.1813049116">studi</a> menunjukkan bahwa perceraian tidak selalu berdampak pada prestasi akademik anak-anak dari orang tua yang berisiko tinggi untuk berpisah. Justru, mayoritas <a href="https://ifstudies.org/blog/for-getting-kids-through-college-single-parent-families-are-not-all-the-same">anak yang tinggal dengan ibu tunggal cenderung bisa melanjutkan pendidikan</a> higga perguruan tinggi. Selain itu, <a href="https://phys.org/news/2019-03-divorce-effect-children-constant.html">perbedaan performa akademik siswa tidak begitu terlihat</a> antara siswa dari keluarga yang berpisah ataupun tidak. </p>
<h2>Tantangan partisipasi orang tua tunggal</h2>
<p>Orang tua tunggal juga kerap disalahkan karena tidak bisa berpartisipasi pada pendidikan anaknya, terutama di sekolah. Padahal, mereka banyak <a href="https://repository.unib.ac.id/8758/1/I%2CII%2CIII%2CII-14-den.FK.pdf">mengalami kendala</a> untuk terlibat dalam kegiatan di sekolah. </p>
<p>Orang tua tunggal biasanya tergolong <a href="https://www.heritage.org/marriage-and-family/report/how-broken-families-rob-children-their-chances-future-prosperity">kelompok ekonomi lemah</a> dan rentan masuk dalam <a href="https://www.povertycenter.columbia.edu/nyc-poverty-tracker/2017/single-parent-households">kemiskinan</a>. Mereka pun harus mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah minimnya dukungan finansial maupun pengasuhan dari mantan pasangan – membuat mereka mengemban <a href="http://anale.steconomiceuoradea.ro/volume/2021/n2/018.pdf">kerentanan yang berlipat</a>. </p>
<p>Selain itu, mereka juga biasanya terkendala kurangnya <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0277953697100831?via%3Dihub">dukungan sosial</a>.</p>
<p>Bagi orang tua tunggal dari kelas ekonomi menengah ke atas, misalnya, Asisten Rumah Tangga (ART), suster, atau <em>daycare</em> bisa menjadi opsi untuk membantu pengasuhan atau pekerjaan domestik selama anak ditinggal bekerja atau saat mereka harus berpartisipasi dalam kegiatan orang tua di sekolah.</p>
<p>Sedangkan, masyarakat <a href="http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/157891">ekonomi lemah</a> biasanya bekerja di sektor pertanian atau terlibat dalam pekerjaan rentan (prekariat) yang mendapat upah harian. Mereka menjadi tak punya pilihan mewah seperti meninggalkan pekerjaan untuk menghadiri acara di sekolah anak. Mereka pun kerap tidak memiliki hari libur khusus, apalagi hak cuti.</p>
<p>Wajar jika <a href="https://thekeep.eiu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=5464&context=theses">orang tua tunggal jarang bisa berpartisipasi dalam kegiatan sekolah</a>, meskipun mereka tetap menunjukkan keterlibatannya ketika anak belajar di rumah.</p>
<h2>Stigma terhadap kelompok rentan dalam dunia pendidikan</h2>
<p>Perceraian seharusnya dilihat sebagai kondisi netral – bebas penghakiman atau stigma terhadap orang tua maupun anaknya sebab mereka termasuk kelompok rentan. <a href="https://www.oecd-ilibrary.org/sites/dc16ec77-en/index.html?itemId=/content/component/dc16ec77-en#chapter-d1e13123">Kerentanan</a> ini dipengaruhi oleh beberapa faktor; sulitnya orangtua tunggal mendapat pekerjaan dan pendapatan yang memadai, beban pengasuhan yang timpang, hingga minimnya dukungan emosional.</p>
<p>Sayangnya, stigma tersebut masih kami temukan dalam beberapa penelitian kualitatif yang dilakukan SMERU Research Institute dengan kalangan pendidik. Hal ini justru dapat menghambat anak-anak dengan orang tua tunggal untuk bisa mendapat pendidikan secara optimal. </p>
<p>Misalnya, pada <a href="https://smeru.or.id/en/node/2181">studi diagnostik</a> bersama INOVASI tentang rendahnya capaian belajar siswa di Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 2016, sebagian informan termasuk guru acap kali menganggap ketidaktuntasan belajar murid sebagai kesalahan orang tua, terutama mereka yang bercerai. Sedangkan, motivasi belajar siswa yang rendah dianggap dampak ketidakharmonisan keluarga.</p>
<p>Pada studi kualitatif lain bersama <a href="http://www.rise.smeru.or.id/sites/default/files/publication/Infografis%20Zonasi%20RISE.pdf">program RISE di Kota Yogyakarta</a> pada 2021, sebagian guru mengganggap berbagai permasalahan siswa seperti malas, berbicara kasar, tidak semangat mengikuti pelajaran maupun kurang sopan selama pembelajaran dikarenakan kurangnya interaksi orang tua dengan anak akibat perceraian.</p>
<p>Kesalahan persepsi tersebut menyebabkan adanya kecenderungan <a href="https://theconversation.com/pandangan-negatif-pada-kelompok-miskin-tidak-hanya-salah-namun-juga-berbahaya-145755">pandangan negatif yang melekat terhadap kelompok rentan</a>. Stigma seperti ini berpotensi melanggengkan atau bahkan <a href="https://www.educationnext.org/wp-content/uploads/2022/03/ednext_XV_2_duncan.pdf">meningkatkan kesenjangan</a> tingkat pendidikan antara anak dari keluarga kaya dan miskin.</p>
<p>Apalagi, angka perceraian di Indonesia <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/03/01/kasus-perceraian-di-indonesia-melonjak-lagi-pada-2022-tertinggi-dalam-enam-tahun-terakhir#:%7E:text=Menurut%20laporan%20Statistik%20Indonesia%2C%20jumlah,tertinggi%20dalam%20enam%20tahun%20terakhir.">semakin meningkat</a> selama satu dekade terakhir, dan <a href="https://padang.viva.co.id/ragam-perkara/176-angka-perceraian-di-indonesia-tertinggi-di-asia-afrika">diklaim</a> sebagai yang paling tinggi di Asia dan Afrika. Artinya, jumlah keluarga yang masuk ke dalam kelompok rentan berpotensi semakin bertambah. </p>
<h2>Dukungan bagi orang tua tunggal</h2>
<p>Alih-alih menyalahkan orang tua, masyarakat dan pemerintah selayaknya memberikan perhatian khusus bagi keluarga yang mengalami persoalan seperti ini untuk memastikan anak-anaknya tetap mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Terdapat beberapa program yang dapat membantu anak-anak dengan orang tua tunggal mengatasi beban mental akibat stigma masyarakat dan minimnya dukungan sosial. </p>
<p><strong>Pertama</strong>, advokasi ke sekolah perlu dilakukan untuk memberikan dukungan kepada orang tua tunggal agar dapat berpartisipasi dalam pendidikan anaknya di sekolah. </p>
<p>Sebuah <a href="http://www.skicharities.org/schools-support-single-parents/">lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Zimbabwe</a>, misalnya, mendorong pihak sekolah untuk memberikan fleksibilitas waktu terkait pertemuan orang tua. Mereka juga memberikan materi pelajaran terkait struktur keluarga nontradisional sehingga siswa bisa berempati dengan kondisi temannya. </p>
<p><strong>Kedua</strong>, kelompok dukungan seperti <a href="https://validnews.id/kultura/perempuan-perangkul-ibu-ibu-tunggal-indonesia">komunitas orang tua tunggal</a> juga dapat dikembangkan untuk memberikan ruang bagi orang tua tunggal berinteraksi dan berbagi kisah dengan orang lain.</p>
<p>Di Kanada, suatu eksperimen untuk menyediakan kelompok dukungan (<em><a href="https://bmcpublichealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/1471-2458-10-4">support group</a></em>) bagi ibu-ibu tunggal yang merasa kesepian menunjukkan dampak positif. Para peserta merasa lebih tenang dalam mendidik anak dan memiliki komunikasi yang lebih baik dengan anak mereka.</p>
<h2>Kebijakan berbasis komunitas</h2>
<p>Selain inisiatif masyarakat, pemerintah daerah juga dapat membantu meringankan beban orang tua tunggal melalui kebijakan pendidikan berbasis komunitas. Di antaranya adalah program <a href="https://www.bukittinggikota.go.id/berita/sekolah-keluarga-membekali-keluarga-kemampuan-mendidik-dan-membesarkan-anak-dengan-baik-dan-benar">Sekolah Keluarga</a> (SK) di Bukittinggi dan <a href="https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/32923">Jam Belajar Masyarakat</a> (JBM) di Yogyakarta.</p>
<p>Riset menunjukkan bahwa kedua kebijakan tersebut berdampak positif pada <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwi12NmQvtL_AhUR-DgGHbW5Bi4QFnoECCIQAQ&url=https%3A%2F%2Fjptam.org%2Findex.php%2Fjptam%2Farticle%2Fdownload%2F1153%2F1033%2F2310&usg=AOvVaw0ZUI3lGFmQE8qbZr5XPO4f&opi=89978449">peningkatan kualitas pengasuhan orang tua</a> serta <a href="https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwj6hre7wdL_AhUp8DgGHZ_oCEgQFnoECCIQAQ&url=https%3A%2F%2Fjournal.student.uny.ac.id%2Fojs%2Findex.php%2Fpgsd%2Farticle%2Fdownload%2F10365%2F9922&usg=AOvVaw20QO-4Pni_FNwj545CXy4i&opi=89978449">motivasi belajar siswa dan partisipasi orang tua</a> dalam pendidikan anaknya. </p>
<p>Walaupun kedua kebijakan tersebut tidak secara spesifik ditujukan untuk mengatasi kendala yang dihadapi kelompok rentan, temuan kami menunjukkan ibu-ibu tunggal banyak merasakan manfaat.</p>
<p>Menurut peserta, mereka tidak hanya merasakan kestabilan emosi tapi juga bisa membangun komunikasi yang lebih bagus dengan anak yang pada akhirnya membawa perubahan positif pada capaian belajar anaknya. Sebelum mengikuti SK, misalnya, seorang ibu yang bercerai dan berasal dari kelompok ekonomi lemah mengatakan bahwa anaknya mengalami kendala akademis pada tujuh mata pelajaran. Setelah menerapkan ilmu pengasuhan yang diberikan program SK, dan juga berbagi dengan peserta lain, materi yang tidak tuntas berkurang menjadi satu mata pelajaran saja.</p>
<p>Sementara pada pelaksanaan JBM, masyarakat dalam satu rukun warga (RW) turut memonitor anak usia sekolah dan memastikan lingkungan yang kondusif pada jam-jam belajar yang sudah disepakati. Akibatnya, hasil observasi partisipatif kami menunjukkan ibu-ibu tunggal di sebuah bantaran kali terbantu dengan adanya pengawasan yang diberikan oleh tetangganya ketika ia harus bekerja.</p>
<p>Berdasarkan praktik baik di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa tanggung jawab pengasuhan anak – terutama dari kelompok rentan – seharusnya tidak dibebankan pada keluarga saja, seperti peribahasa yang berbunyi “<em>it takes a village to raise a child</em>” (butuh peran orang sekampung untuk bisa membesarkan seorang anak).</p>
<p><a href="https://rise.smeru.or.id/en/publication/sociocultural-drivers-local-educational-innovations-findings-indonesia">Kolaborasi dan dukungan</a> dari pihak sekolah, komunitas, dan pemerintah menjadi hal yang patut diusahakan agar semua anak mendapatkan pendidikan yang berkualitas, terlepas dari latar belakang keluarganya. </p>
<p>Namun, perlu dicatat bahwa meski dampak dari kebijakan berbasis komunitas cukup menggembirakan, <a href="https://theconversation.com/bagaimana-aksi-kolektif-orang-tua-bisa-dorong-sekolah-menghasilkan-kebijakan-berkualitas-untuk-semua-siswa-belajar-dari-yogyakarta-203528">keterlibatan ibu masih mendominasi pengasuhan anak</a>. Arah kebijakan ke depan perlu lebih <a href="https://plan-international.or.id/id/pentingnya-peran-ayah-dalam-pengasuhan/">mendorong pelibatan ayah</a> baik di rumah, sekolah, maupun komunitas.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/209527/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Risa Nihayah tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Alih-alih menyalahkan orang tua tunggal dan melanggengkan stigma, masyarakat dan pemerintah perlu memberi dukungan khusus bagi mereka untuk memastikan semua anak mendapat pendidikan berkualitas.Risa Nihayah, Peneliti Kualitatif, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/2000652023-02-20T03:58:16Z2023-02-20T03:58:16ZKetimpangan global harus turun demi menjaga keamanan iklim dan hidup yang layak - sebuah tantangan besar<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/510518/original/file-20230216-14-3bvtm9.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=12%2C0%2C4236%2C2822&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Tangkapan cahaya di permukaan bumi dari luar angkasa.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://unsplash.com/photos/Q1p7bh3SHj8">NASA/unsplash</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span></figcaption></figure><p>Konsumsi energi penting bagi kesejahteraan manusia, tapi tingkat pemakaiannya di seluruh dunia amat timpang. Sekitar 10% pengguna teratas menggunakan energi 30 kali lipat lebih banyak dari <a href="https://www.nature.com/articles/s41560-020-0579-8">10% pengguna terbawah</a>. </p>
<p>Konsumsi energi kita juga mendorong perubahan iklim. Karena itu, untuk menjaga iklim yang aman bagi kehidupan bumi, kita mungkin harus menggunakan lebih sedikit energi di masa depan. Upaya mencapai ini – sekaligus memastikan semua orang menikmati standar hidup yang layak – harus selaras dengan usaha menekan ketimpangan energi global. </p>
<p><a href="https://www.thelancet.com/journals/lanplh/article/PIIS2542-5196(23)00004-9/fulltext">Dalam studi terbaru</a>, kami membuat pemodelan serendah apa ketimpangan energi seharusnya agar dapat menjaga kesejahteraan manusia dan keselamatan iklim. Kami menemukan bahwa jarak antara konsumsi energi terendah dan tertinggi dunia harus dikurangi hingga delapan kali lipat pada 2050. </p>
<p>Jika kesenjangan energi tidak dikurangi, lebih dari 4 miliar populasi <a href="https://eciu.net/insights/2015/north-south-divide-more-complex-than-it-looks">Negara-negara “Selatan”</a> (<em>global south</em>) dan lebih dari 100 juta orang di Negara-negara “Utara” (<em>global north</em>) tak akan dapat menikmati standar hidup layak pada 2050. </p>
<p>Selatan merujuk pada negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Sementara Utara merujuk pada negara-negara Barat uang yang dianggap “maju”. Kawasan ini juga termasuk negara-negara kaya di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="A map of the world split by geographic region." src="https://images.theconversation.com/files/509718/original/file-20230213-27-352u9m.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/509718/original/file-20230213-27-352u9m.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=259&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/509718/original/file-20230213-27-352u9m.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=259&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/509718/original/file-20230213-27-352u9m.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=259&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/509718/original/file-20230213-27-352u9m.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=325&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/509718/original/file-20230213-27-352u9m.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=325&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/509718/original/file-20230213-27-352u9m.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=325&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Negara-negara Utara (biru) sebagian besar terdiri di dari negara-negara di utara garis khatulistiwa dan beberaoa di selatannya. Negara-negara Selatan (merah) melingkupi negara di selatan khatulistiwa dan sebagian di utaranya.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">Kingj123/Gendered Lives</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/">CC BY-NC-ND</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Rendah energi, standar layak</h2>
<p>Kebanyakan skenario iklim untuk level aman pemanasan global tidak memasukkan asumsi bahwa konsumsi energi akan turun. Skenario-skenario ini justru mengandalkan <a href="https://www.nature.com/articles/s41558-018-0119-8">teknologi emisi negatif</a> seperti pembakaran biomassa dengan penangkapan karbon (<em>carbon capture</em>) atau penangkapan CO2 langsung dari udara (<em>direct air capture</em>). </p>
<p>Namun, teknologi-teknologi ini <a href="https://www.nature.com/articles/nclimate2392">belum terbukti</a> ampuh mengatasi permasalahan dan dapat bertabrakan dengan alam liar dan produksi pangan. <a href="https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1748-9326/aa9e3b/meta">Studi</a> menemukan bahwa produksi bioenergi berskala besar dapat meningkatkan laju deforestasi dan harga pangan secara substansial.</p>
<p>Ilmuwan iklim merespons ini dengan menelusuri skenario-skenario <a href="https://www.nature.com/articles/s41560-022-01057-y">pengurangan permintaan energi</a>. </p>
<p>Salah satu yang paling menonjol adalah <a href="https://www.nature.com/articles/s41560-018-0172-6">“skenario permintaan rendah”</a>. Skenario ini menyarankan penggunaan energi dikurangi 40% pada 2050 melalui perubahan sistem energi. Beberapa di antaranya adalah efisiensi energi, pengurangan mobilitas, dan pemangkasan penggunaan material beremisi tinggi seperti baja. Dengan cara seperti ini, standar hidup dapat meningkat di Selatan dan terjaga di Utara.</p>
<p>Sebuah studi menakar <a href="https://decentlivingenergy.org/dls.html">“energi hidup layak”</a> (<em>decent living energy</em>) berdasarkan teori-teori kebutuhan manusia. Ini merujuk pada kebutuhan energi minimal untuk mencukupi kondisi-kondisi material yang diperlukan untuk mendapatkan <a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s11205-017-1650-0">standar hidup layak</a>.</p>
<p>Jumlah <a href="https://www.nature.com/articles/s41560-019-0497-9">kebutuhan energi</a> kemudian dihitung menggunakan data efisiensi teknologi yang telah ada. <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0959378020307512">Sebuah studi pada 2020</a>, di mana kami ikut serta menuliskannya, memperkirakan kebutuhan energi tiap orang untuk bisa hidup layak sebesar <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0959378020307512">15 gigajoules</a> per tahun. Angka ini hanyalah <a href="https://www.nature.com/articles/s41467-022-32729-8">1/10</a> dari konsumsi energi tahunan orang Amerika Serikat (AS) dalam setahun.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="A man driving a car at rush hour." src="https://images.theconversation.com/files/509772/original/file-20230213-27-e47wib.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/509772/original/file-20230213-27-e47wib.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/509772/original/file-20230213-27-e47wib.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/509772/original/file-20230213-27-e47wib.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/509772/original/file-20230213-27-e47wib.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/509772/original/file-20230213-27-e47wib.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/509772/original/file-20230213-27-e47wib.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Energi hidup layak adalah tolak ukur jumlah energi minimum yang dibutuhkan untuk kesejahteraan manusia.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.shutterstock.com/image-photo/driving-car-rush-hour-237097129">ambrozinio/Shutterstock</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Kabar baik yang menantang</h2>
<p>Kami menggabungkan dua lini riset ini dengan data ketimpangan energi global untuk menelusuri isu-isu penting terkait dengan pembangunan berkelanjutan. </p>
<p>Riset menunjukkan tingkat permintaan energi global yang berkelanjutan sebenarnya berada melebihi angka kebutuhan energi terendah sebesar 15 gigajoules per orang. Ini kabar baik, tapi tak ada jaminan setiap orang-orang bisa mencapainya demi hidup yang layak. </p>
<p>Kondisi ini mirip dengan fakta bahwa, ada cukup makanan untuk seluruh populasi dunia, tapi masih banyak orang yang kelaparan. </p>
<p>Angka rata-rata penggunaan energi juga tak berlaku untuk semua orang. Jika kita menggunakan skenario permintaan rendah sementara ketimpangan energi berlanjut, miliaran orang akan hidup di bawah ambang batas energi yang dibutuhkan untuk hidup layak.</p>
<p>Energi hidup layak adalah ambang batas yang sulit di mana tidak seorang pun boleh jatuh di bawahnya. Karena itulah - juga demi menjaga iklim bumi - ketimpangan energi harus turun secara drastis.</p>
<h2>Perubahan yang belum terjadi sebelumnya</h2>
<p>Besarnya tantangan ini menjadi jelas ketika kita mempertimbangkan <a href="https://www.nature.com/articles/s41893-022-00955-z">hubungan erat</a> antara ketimpangan energi dan pendapatan. Sebagai contoh, sekitar 1% populasi dunia bertanggung jawab pada 23% emisi global sehak 1990. </p>
<p>Untuk mengurangi ketimpangan energi, kita perlu mengurangi ketimpangan pendapatan ke level yang setara dengan negara yang tingkat pendapatannya lebih berimbang seperti <a href="https://wid.world/world/#sptinc_p99p100_z/US;WO;NO/last/eu/k/p/yearly/s/false/4.006/30/curve/false/country">Norwegia</a>. Negara ini memiliki sistem kesejahteraan yang cukup baik.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="A graph comparing rates of income inequality between the world, USA and Norway." src="https://images.theconversation.com/files/509771/original/file-20230213-713-np5o2b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/509771/original/file-20230213-713-np5o2b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=390&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/509771/original/file-20230213-713-np5o2b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=390&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/509771/original/file-20230213-713-np5o2b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=390&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/509771/original/file-20230213-713-np5o2b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=490&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/509771/original/file-20230213-713-np5o2b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=490&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/509771/original/file-20230213-713-np5o2b.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=490&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Ketimpangan pendapatan mesti turun ke level yang setara dengan negara yang tingkat pendapatannya lebih berimbang seperti Norwegia.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://wid.world/share/#0/countriestimeseries/sptinc_p90p100_z/WO;NO;US/last/eu/k/p/yearly/s/false/20.967000000000002/80/curve/false/country">World Inequality Database</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/">CC BY-NC-ND</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Level kesenjangan pendapatan yang harus dikurangi untuk menjaga standar hidup layak dalam iklim yang aman harus berada <a href="https://www.thelancet.com/journals/lanplh/article/PIIS2542-5196(23)00004-9/fulltext#figures">di bawah</a> penurunan level kesenjangan <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Post%E2%80%93World_War_II_economic_expansion">“era keemasan kapitalisme”</a> setelah Perang Dunia II. Selama periode ini (1950–1975), porsi pendapatan 1% orang-orang berpenghasilan tertinggi di AS turun <a href="https://wid.world/world/#sptinc_p99p100_z/US;WO/last/eu/k/p/yearly/s/false/9.571/30/curve/false/country">dari 17% ke 10%</a> dibandingkan total pendapatan seluruh penduduk. Namun, perubahan kesenjangan pendapatan karena goncangan ekonomi masih sulit ditebak dan dikontrol. </p>
<p>Seecara rata-rata, tingkat ketimpangan pendapatan global sepanjang 150 tahun kapitalisme secara persisten berada di level yang tinggi. Ketimpangan <a href="https://wir2022.wid.world/">antarnegara</a> sedikit menurun, tapi kesenjangan di dalam negara justru naik. Pendapatan di negara yang berkembang cepat seperti Cina kini setara dengan negara-negara Eropa Barat. Namun, ketimpangan pendapatan terutama di negara-negara kaya, semakin <a href="https://wid.world/world/#sptinc_p90p100_z/US;DE;GB/last/eu/k/p/yearly/s/false/26.651999999999997/60/curve/false/country">melebar</a>. Pada 2021, 10% penduduk berpendapatan tertinggi di AS menerima 45.6% dari pendapatan nasional, dibandingkan 33.5% pada 1970.</p>
<p>Tren ini mungkin membuat kita mempertanyakan apakah kerusakan iklim dan deprivasi sosial dapat dikurangi tanpa perubahan sistem ekonomi. Tapi perubahan ini tak bisa dihindari.</p>
<p>Mungkin ekonomi akan berubah dengan cara yang memungkinkan orang-orang kaya dunia tetap berharta, tapi menggunakan lebih sedikit energi. Dengan cara ini, orang-orang yang konsumsi energinya rendah dapat meningkatkan pemakaian energi mereka. Pasokan energi dunia juga dapat ditingkatkan secara lebih berkelanjutan di masa depan, sehingga konsumsi di lapisan bawah dapat meningkat meskipun ketimpangan energi tetap ada.</p>
<p>Atau mungkin pengurangan ketimpangan dapat dicapai melalui transformasi ekonomi, menuju sistem yang tidak perlu terus bertumbuh secara tidak berkelanjutan untuk meredam ketimpangan.</p>
<p>Apa pun jawabannya, skenario bisnis seperti biasa tidak akan berhasil.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/200065/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Joel Millward-Hopkins menerima dana dari Center for Research into Energy Demand Solutions, dan proyek Living Well Within Limits melalui Leverhulme Trust.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Kontribusi Yannick Oswald didukung oleh proyek Living Well Within Limits melalui Leverhulme Trust Research Leadership Award (RL2016–048)</span></em></p>Ketimpangan energi harus dikurangi secara drastis pada 2050, demi mempertahankan iklim aman dan standar hidup layak untuk semua.Joel Millward-Hopkins, Postdoctoral Researcher in Sustainability, University of LeedsYannick Oswald, Postdoctoral research fellow, University of LeedsLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1990062023-02-02T03:13:22Z2023-02-02T03:13:22ZDaerah Istimewa Yogyakarta: Provinsi termiskin tapi penduduknya bahagia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/507528/original/file-20230201-14-lizecq.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption"></span> </figcaption></figure><iframe style="border-radius:12px" src="https://open.spotify.com/embed/episode/5mpBAtvfoYH3eUgej2acF5?utm_source=generator&theme=0" width="100%" height="152" frameborder="0" allowfullscreen="" allow="autoplay; clipboard-write; encrypted-media; fullscreen; picture-in-picture" loading="lazy"></iframe>
<p>Badan Pusat Statistik (BPS) merilis <a href="https://www.bps.go.id/pressrelease/2023/01/16/2015/persentase-penduduk-miskin-september-2022-naik-menjadi-9-57-persen.html">profil kemiskinan di Indonesia September 2022</a> beberapa waktu lalu. Data BPS menunjukkan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di pulau Jawa, dengan angka kemiskinan di 11,49%.</p>
<p>Angka ini nyatanya berbanding terbalik dengan <a href="https://www.bps.go.id/indicator/34/601/1/indeks-kebahagiaan-menurut-provinsi.html">indeks kebahagiaan yang juga dikeluarkan oleh BPS</a>. DIY masuk dalam 10 besar provinsi paling bahagia di Indonesia dengan angka harapan hidup yang cukup tinggi.</p>
<p>Apa yang membuat provinsi DIY menjadi provinsi termiskin di pulau jawa namun penduduknya justru bahagia?</p>
<p>Dalam episode terbaru SuarAkademia, kami berbincang dengan Bhima Yudhistira Adhinegara, direktur dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS).</p>
<p>Bhima mengatakan permasalahan soal upah minimum yang rendah - yang membuat daya beli masyarakatnya juga ikut rendah - menjadi salah satu penyebab DIY menjadi provinsi termiskin.</p>
<p>Ia juga menyoroti adanya ketimpangan dalam pembangunan di sisi utara dan sisi selatan DIY. Ketika pembangunan sisi utara berjalan masif dan menciptakan banyak lapangan pekerjaan, Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kulon Progo di sisi selatan mengalami ketertinggalan pembangunan hingga harus berhadapan dengan sulitnya akses air bersih dan pengolahan lahan pertanian. Ketimpangan ini membuat keduanya jadi kantong kemiskinan di DIY.</p>
<p>Soal indeks kebahagiaan, Bhima menyarankan kita untuk melihat lebih holistik. Meski tak menampik bahwa prinsip <em>nrimo ing pandum</em> (menerima secara utuh) menjadi salah satu faktor yang membuat orang merasa bahagia, faktor materiil juga harus diperhatikan lebih serius.</p>
<p>Simak episode selengkapnya di SuarAkademia – ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/199006/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis profil kemiskinan di Indonesia September 2022 beberapa waktu lalu. Data BPS menunjukkan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi…Muammar Syarif, Podcast ProducerLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1750622022-04-08T16:07:20Z2022-04-08T16:07:20ZRiset: negara masih absen dalam pendidikan di Papua, dari ketimpangan guru hingga salah manajemen beasiswa<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/457125/original/file-20220408-42486-lluqor.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/v/dom-1383103211">(ANTARA FOTO/Zabur Karuru)</a></span></figcaption></figure><p>Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal tahun ini merilis <a href="https://www.bps.go.id/indicator/26/494/1/-metode-baru-indeks-pembangunan-manusia-menurut-provinsi.html">Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2021</a> untuk Provinsi Papua 60,62 dan Papua Barat 65,26.</p>
<p>Meski capaian kedua provinsi naik secara gradual, kedua skor tersebut masih merupakan yang terburuk di seluruh Indonesia.</p>
<p>Pasca melewati <a href="https://www.bbc.com/indonesia/majalah-42043812">konflik dan kekerasan selama puluhan tahun</a>, Orang Asli Papua (OAP) berhak merasakan kehadiran negara dan menikmati kehidupan yang lebih bermartabat. Pembangunan sumber daya manusia (SDM) kini menjadi agenda yang mendesak.</p>
<p>Sayangnya, berbagai studi menunjukkan strategi yang dilakukan pemerintah berupa <a href="https://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/download/452/265">Otonomi Khusus (Otsus)</a>, <a href="http://www.ijil.ui.ac.id/index.php/jai/article/viewArticle/12217">pembangunan infrastruktur,</a> hingga <a href="https://www.jstor.org/stable/pdf/43498775.pdf">pemekaran wilayah</a> belum mampu mengatasi peliknya masalah kesejahteraan. Strategi tersebut juga belum mengatasi <a href="https://mediaindonesia.com/opini/254648/menghentikan-stigma-masyarakat-papua">stigma</a> yang sering ditujukan pada OAP: “miskin, sakit, dan tak terdidik”. </p>
<p>Salah satu kebijakan sosial yang lebih krusial untuk meningkatkan kualitas manusia di Papua, yakni pendidikan, masih mendapatkan perhatian yang sedikit.</p>
<p>Kami melakukan <a href="https://jurnal.ugm.ac.id/v3/PCD/article/view/3313">studi</a> untuk memetakan pendidikan dan mobilitas sosial di antara OAP. Riset ini melibatkan responden yang mewakili dua zona ekologi berbeda: Kabupaten Mappi (pesisir) dan Kabupaten Puncak (pegunungan).</p>
<p>Hasil studi memperlihatkan bahwa negara absen dalam pendidikan dan pengembangan SDM Papua di pesisir, dengan kondisi yang bahkan lebih buruk lagi di pegunungan.</p>
<h2>Absennya negara dalam pendidikan di Papua</h2>
<p>Studi kami menunjukkan bahwa negara absen setidaknya melalui tiga aspek pendidikan. </p>
<p><strong>Pertama</strong>, ada jurang yang masih lebar terkait kehadiran guru berkualitas pada berbagai jenjang pendidikan di Papua.</p>
<p>Menurut <a href="https://npd.kemdikbud.go.id/?">Neraca Pendidikan Daerah</a>, rasio guru dan murid di Papua dari tingkat dasar hingga menengah pada tahun 2020 sebenarnya sudah ideal, yakni 1:16. Dengan kata lain, satu orang guru di Papua mengajar sekitar 16 siswa. </p>
<p>Hal tersebut tergolong lebih baik dari rasio di daerah lain seperti <a href="https://www.bkn.go.id/rasio-guru-dan-murid-per-provinsi">Maluku, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Tengah</a> yang masih lebih dari 1:20.</p>
<p>Namun, faktanya hanya sedikit guru yang benar-benar hadir di sekolah. </p>
<p>Dalam wawancara kami dengan tenaga pendidik di Puncak dan Mappi, misalnya, kegiatan belajar mengajar di daerah kampung atau distrik masih mengalami kekurangan guru. Meski kebutuhan guru di Papua telah tercukupi, distribusinya tidak merata – kebanyakan guru terpusat di area perkotaan seperti Jayapura, Timika, dan Merauke.</p>
<p>Padahal keberadaan OAP <a href="https://geoportal.menlhk.go.id/%7Eappgis/publikasi/Buku/Buku%20KAJIAN%20PENGAMAN%20PEMBANGUNAN%20PULAU%20PAPUA/Buku%201%20%20Kajian%20Pengaman%20Pembangunan%20Pulau%20Papua.pdf">terkonsentrasi pada kampung atau distrik</a> di daerah pegunungan dan pesisir layaknya Puncak dan Mappi. Sebagian besar daerah ini pun diklasifikasikan sebagai daerah <a href="https://bappeda.papua.go.id/file/456182342.pdf">perdesaan</a> dan <a href="https://drive.google.com/file/d/1Ng9MJ2vlUjPceQ4f2pNKgWnmXy-eWe6Z/view">sangat tertinggal</a>.</p>
<p>Pada akhirnya, beban kinerja menjadi timpang sehingga guru di perdesaan memikul tanggung jawab lebih besar.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, bagi guru yang hadir pun, proporsinya lebih banyak guru honorer, ketimbang guru pegawai negeri sipil (PNS) yang <a href="https://theconversation.com/proses-rekrutmen-sebagai-asn-membuat-guru-di-indonesia-berkualitas-rendah-143443">biasanya kualitasnya lebih baik</a>.</p>
<p>Ironinya, proporsi guru PNS sebenarnya <a href="https://npd.kemdikbud.go.id/?appid=download">lebih besar daripada guru honorer</a> di segala jenjang pendidikan. </p>
<p>Studi dari Kementerian Pendidikan (Kemendikbudristek) menunjukkan <a href="http://repositori.kemdikbud.go.id/8571/1/Policy-Brief-ACDP-Teacher-Absenteeism-Indonesia-FINAL1.pdf">beragam alasan</a> yang diberikan para guru PNS atas ketidakhadiran mereka; mulai dari menghadiri rapat atau seminar, hingga menjalankan aktivitas yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan akademik.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/457170/original/file-20220408-25034-yjoxwi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/457170/original/file-20220408-25034-yjoxwi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/457170/original/file-20220408-25034-yjoxwi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/457170/original/file-20220408-25034-yjoxwi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/457170/original/file-20220408-25034-yjoxwi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=399&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/457170/original/file-20220408-25034-yjoxwi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/457170/original/file-20220408-25034-yjoxwi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/457170/original/file-20220408-25034-yjoxwi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Pemerintah belum berhasil mengatasi masalah ketimpangan persebaran dan ketidakhadiran guru di sekolah-sekolah Papua.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/v/dom-1417752907">(ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Ada <a href="https://journal.ugm.ac.id/v3/PCD/article/view/3313">faktor internal dan eksternal</a> yang menyebabkan sulitnya memastikan guru hadir di sekolah. Secara internal, komitmen dan kualitas para guru di Papua masih cukup rendah. Secara eksternal, Papua juga mengalami banyak gangguan keamanan, konflik, dan perang.</p>
<p>Dalam hal ini, negara belum mampu menghadirkan rasa aman, dan gagal mengawal proses kegiatan belajar mengajar di sekolah serta mengevaluasi kinerja guru.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, ada kesalahan manajemen dalam implementasi kebijakan pemberian beasiswa di Papua.</p>
<p>Selama sembilan tahun terakhir, Pemerintah Daerah (Pemda) di Papua gencar membuat program beasiswa pendidikan bagi OAP di segala jenjang.</p>
<p>Sayangnya, berbagai program beasiswa ini pelaksanaannya <a href="https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-58863287">tidak termonitor dengan baik</a>. Pemda hanya terlibat dalam proses penganggaran dan pencairan dana beasiswa, namun abai dalam tahapan monitoring dan evaluasi para pemegang beasiswa. </p>
<p>Pemda justru <a href="https://jubi.co.id/biro-otsus-pengelolaan-beasiswa-di-papua-masih-amburadul/">belum memiliki gambaran yang jelas</a> terkait pemetaan SDM strategis bagi Papua. Akibatnya, para penerima beasiswa tidak mendapat arahan, atau dapat bertindak sesuka hati dalam menjalani beasiswa.</p>
<p>Hasilnya mudah ditebak. Banyak OAP yang ketika lulus sekolah dan kuliah berujung tidak memiliki keahlian, atau bahkan harus putus di tengah jalan.</p>
<h2>Memperkuat layanan pendidikan untuk meningkatkan mobilitas sosial</h2>
<p>Ketidakmampuan negara dalam mengatasi ketimpangan pendidikan bukan hanya merampas hak, tapi juga mengancam keberlanjutan hidup OAP.</p>
<p>Dalam <a href="https://www.proquest.com/docview/1519298937?pq-origsite=gscholar&fromopenview=true">berbagai penelitian</a>, pendidikan diyakini sebagai alat untuk membantu masyarakat naik kelas secara ekonomi. Memperkuat layanan pendidikan adalah upaya mengakui dan melindungi eksistensi OAP.</p>
<p>Pemerintah harus menyelesaikan berbagai akar permasalahan pendidikan untuk menunjukkan pada masyarakat Papua bahwa negara hadir untuk mereka.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, pemerintah harus lebih baik dalam mengidentifikasi, merekrut, dan menempatkan guru terampil dari dalam maupun luar Papua, untuk mendukung kompetensi guru lokal di Papua.</p>
<p>Temuan kami di lapangan menunjukkan bahwa guru lokal PNS mengambil porsi besar anggaran belanja pegawai. Tapi di sisi lain, mereka kerap tidak hadir untuk mengajar ke sekolah. Sebaliknya, banyak guru honorer dari luar Papua yang mengajar, tapi mendapat insentif yang sedikit.</p>
<p>Rekrutmen guru terampil ini idealnya melibatkan proses transfer pengetahuan, sehingga mereka bisa membagikan metode pembelajaran ataupun praktik baik lainnya kepada guru lokal.</p>
<p>Para guru terampil juga harusnya direkrut dengan sistem kontrak, tapi dengan insentif yang sepadan dengan kinerja mereka.</p>
<p>Ada beberapa program serupa yang telah berjalan dengan baik dan dapat menjadi contoh di berbagai kabupaten dan kota di Papua.</p>
<p>Ini termasuk <a href="https://ugm.ac.id/id/berita/18397-dari-puncak-hingga-mappi-ugm-telah-mengirim-582-guru-ke-papua">Guru Penggerak Daerah Terpencil</a> gagasan Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada, <a href="https://indonesiamengajar.org/tentang-indonesia-mengajar">Gerakan Indonesia Mengajar</a> yang dulu dicetuskan Anies Baswedan saat jadi Rektor Universitas Paramadina, dan yang terbaru <a href="https://sekolah.penggerak.kemdikbud.go.id/gurupenggerak/">Guru Penggerak</a> hasil inisiasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, memperluas cakupan beasiswa afirmasi bagi pelajar dan mahasiswa asal Papua.</p>
<p>Pemerintah perlu menghadirkan lebih banyak beasiswa bagi OAP ke sekolah dan kampus terbaik baik di dalam maupun luar negeri. </p>
<p>Saat ini, pemerintah baik pusat maupun daerah telah memiliki skema beasiswa pendidikan melalui APBN, APBD, maupun dana otonomi khusus. Ini termasuk beasiswa <a href="https://lpdp.kemenkeu.go.id/en/beasiswa/afirmasi/beasiswa-putra-putri-papua-2022/">Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)</a>, <a href="https://adem.kemdikbud.go.id/#:%7E:text=Program%20Afirmasi%20Pendidikan%20Menengah%20(ADEM)%20merupakan%20salah%20satu%20upaya%20pemerintah,terluar%2C%20dan%20tertinggal">Afirmasi Pendidikan Menengah</a>, <a href="https://um.ugm.ac.id/penelusuran-bibit-unggul-kemitraan-pbuk/">beasiswa kemitraan</a>, dan sebagainya.</p>
<p>Pemberian program beasiswa pendidikan harus ditingkatkan tiap tahun untuk memberi kesempatan luas bagi talenta muda OAP.</p>
<p>Demikian pula, pembenahan tata kelola beasiswa khususnya pemantauan dan evaluasi harus dilakukan untuk mengatasi masalah lemahnya kontrol terhadap penerima beasiswa.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, pemerintah juga tidak boleh melupakan faktor lain yang membuat iklim pendidikan menjadi tidak kondusif – di antaranya <a href="https://www.ugm.ac.id/id/berita/21213-gugus-tugas-papua-ugm-sampaikan-rekomendasi-sikapi-eskalasi-kekerasan-di-papua">ancaman keselamatan dan keamanan</a> terhadap guru dan murid di Papua.</p>
<p>Selama bertahun-tahun, tindak kekerasan dan konflik di berbagai daerah Papua tak kunjung selesai, dan justru <a href="https://theconversation.com/penelitian-baru-petakan-kekerasan-dalam-konflik-yang-terlupakan-di-papua-barat-139223">semakin meningkat dan tersebar secara merata</a> – dari Maybrat, Papua Barat hingga Intan Jaya, Papua. <a href="https://gtpapua.wg.ugm.ac.id/data-kekerasan-di-papua-tahun-2010-2022/">Riset lain yang kami lakukan</a> menunjukkan banyak fasilitas layanan dasar termasuk pendidikan menjadi non-aktif dan tak berfungsi akibat konflik sosial.</p>
<p>Melalui berbagai langkah dan pertimbangan di atas untuk memperkuat layanan pendidikan di Papua, negara dapat hadir dalam imajinasi dan kenyataan hidup OAP.</p>
<hr>
<p><em>Riset kami bersama Gugus Tugas Papua UGM melibatkan wawancara dengan OAP, akademisi, dan pembuat kebijakan di Papua, termasuk Boy Kiwak, Budi Irawan, Darwin Tobing, Elisabeth Yermogoin, Gabriel Lele, Janius Tabuni, Maria Goreti Letsoin, Paulina Cornelia Kohome, dan Satyabhakti Bela Nagari.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/175062/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Hasil studi kami memperlihatkan bahwa negara absen dalam pendidikan dan pengembangan SDM Papua di pesisir, dengan kondisi yang bahkan lebih buruk lagi di pegunungan.Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, Researcher, Center for Capacity Building and Networking FISIPOL, Universitas Gadjah Mada Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1730652021-12-07T05:14:19Z2021-12-07T05:14:19ZKebijakan berbasis bukti adalah yang terbaik? Belum tentu<p>Kebijakan berbasis bukti merupakan standar emas dalam tugas advokasi, apalagi bagi seorang peneliti. Kebijakan yang tidak didukung bukti kerap dianggap sebagai <a href="http://www.smeru.or.id/sites/default/files/publication/news32.pdf">kebijakan yang gagal</a>. </p>
<p>Kebijakan yang mengandalkan bukti tentu lebih baik dibandingkan kebijakan yang sekadar didorong kepentingan penguasa. </p>
<p>Namun kebijakan berbasis bukti tidak selamanya ideal. </p>
<p>Dinamika kuasa yang timpang dan pemaknaan bukti yang cenderung beragam rentan menyebabkan pembuatan kebijakan malah menjadi eksklusif dan tidak berpihak pada kepentingan kelompok marginal.</p>
<h2>Kekuasaan menentukan bukti yang dianggap valid</h2>
<p>Klaim bahwa bukti layak dianggap valid atau tidak berkaitan erat dengan <a href="https://press-files.anu.edu.au/downloads/press/n1672/pdf/ch09.pdf">kekuasaan</a>. </p>
<p>Bukti dari lembaga besar yang didominasi oleh peneliti level global kerap dianggap lebih mudah dipercaya dibanding bukti dari lembaga akar rumput yang sebenarnya lebih dekat dengan masyarakat.</p>
<p>Misalnya, negara-negara di dunia sering menggunakan <a href="https://www.doingbusiness.org/en/doingbusiness">indeks kemudahan berbisnis</a> keluaran Bank Dunia sebagai landasan untuk mempermudah birokrasi. </p>
<p>Di Indonesia, salah satu pendorong pengembangan Undang-Undang (UU) omnibus Cipta Kerja adalah performa buruk Indonesia dalam indeks itu. UU Cipta Kerja kemudian tetap dibuat meski analisis lain menunjukkan bahwa kebijakan itu <a href="https://theconversation.com/mengapa-uu-cipta-kerja-tidak-menciptakan-lapangan-kerja-tapi-memperkuat-oligarki-147448">mengancam banyak kelompok</a>, khususnya kelompok buruh. </p>
<p>Tahun ini, Bank Dunia <a href="https://theconversation.com/scandal-involving-world-banks-doing-business-index-exposes-problems-in-using-sportslike-rankings-to-guide-development-goals-169691">menghentikan publikasi indeks</a> itu karena isu manipulasi data. Analisis lembaga besar belum tentu bebas dari masalah. </p>
<p>Selain itu, kesamaan kepentingan lembaga dan kekuasaan juga membuat bukti-bukti dari lembaga yang dekat dengan kekuasaan cenderung bisa dianggap lebih benar dibandingkan bukti yang lain. </p>
<p>Ini rentan membuat <a href="https://theconversation.com/buyarnya-mimpi-teknokrat-pembentuk-ide-brin-saatnya-komunitas-ilmiah-berhenti-naif-dan-anti-politik-159913">lembaga riset</a> dipolitisasi untuk menyediakan pembenaran atas praktik-praktik yang hanya menguntungkan kekuasaan.</p>
<p>Di samping lembaga riset, jenis riset juga kerap mempengaruhi bukti mana yang dianggap lebih valid. </p>
<p>Studi kuantitatif sering dianggap <a href="https://jech.bmj.com/content/57/7/527">lebih saintifik</a> dibandingkan studi kualitatif. Uji acak terkontrol (<em>randomised controlled trial</em> atau RCT) sering disebut sebagai <a href="https://www.povertyactionlab.org/resource/introduction-randomized-evaluations">standar emas</a> dalam evaluasi dampak, termasuk dampak kebijakan. Pendekatan ini mengukur secara kuantitatif seberapa efektif suatu kebijakan atau intervensi dengan membandingkan performa kelompok intervensi dengan kelompok non-intervensi, yang keduanya dipilih secara acak. </p>
<p>Kebijakan dianggap efektif jika performa kelompok intervensi - secara kuantitatif - lebih baik dibandingkan kelompok kontrol. </p>
<p><a href="https://www.hup.harvard.edu/catalog.php?isbn=9780674048218">Penganakemasan riset kuantitatif</a> erat kaitannya dengan dinamika kuasa dan ketimpangan gender.</p>
<p>Riset kualitatif dengan sampel terbatas yang lebih banyak dilakukan perempuan kerap dianggap lebih feminim, kurang tepercaya, dan tidak solid dibandingkan studi kuantitatif yang didominasi oleh laki-laki.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/buyarnya-mimpi-teknokrat-pembentuk-ide-brin-saatnya-komunitas-ilmiah-berhenti-naif-dan-anti-politik-159913">Buyarnya mimpi teknokrat pembentuk ide BRIN. Saatnya komunitas ilmiah berhenti naif dan anti-politik</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Bukti sering kali bersifat kontekstual</h2>
<p>Satu kebijakan atau program bisa terbukti efektif di daerah tertentu, namun ternyata gagal di konteks lain. </p>
<p>Di bidang psikologi, fenomena ini kerap dinamakan <a href="https://www.theatlantic.com/science/archive/2018/11/psychologys-replication-crisis-real/576223/">krisis replikasi</a>. Misalnya, psikolog Carol Dweck asal Amerika Serikat (AS) membuktikan pentingnya <a href="https://www.youtube.com/watch?v=-71zdXCMU6A">pola pikir berkembang</a>. Temuannya menunjukkan bahwa pelajar yang memandang bahwa intelegensi bisa dikembangkan cenderung akan berusaha lebih banyak sehingga bisa lebih sukses dibandingkan mereka yang memandang bahwa intelegensi bersifat permanen. </p>
<p>Sayangnya, intervensi pola pikir yang dilakukan di sekolah publik di Argentina tidak membuktikan hal yang sama. Pola pikir berkembang <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.3102/0162373720938041">tidak berpengaruh</a> pada sikap belajar dan performa akademis siswa di sana.</p>
<p>Di dunia pendidikan, hasil belajar kerap digunakan sebagai acuan untuk menentukan apakah kebijakan terbukti efektif atau tidak. </p>
<p>Meski memperbaiki kualitas pendidikan itu penting, kita perlu memahami bahwa tidak semua kebijakan pendidikan (harus) berorientasi pada hasil belajar. </p>
<p>Kebijakan zonasi yang membatasi seleksi nilai dalam penerimaan siswa baru belum tentu berhasil meningkatkan hasil belajar. Namun, <a href="http://www.rise.smeru.or.id/sites/default/files/publication/Infografis%20Zonasi%20RISE.pdf">temuan awal</a> menunjukkan bahwa kebijakan ini berhasil membuka akses anak-anak marginal ke sekolah negeri gratis. </p>
<p>Menghapus kebijakan zonasi hanya karena dianggap tidak efektif meningkatkan hasil belajar siswa akan berpotensi membatasi akses pendidikan anak-anak kelompok ekonomi menengah-bawah.</p>
<p>Sebaliknya, kebijakan yang berhasil meningkatkan hasil belajar siswa belum tentu tanpa problem. </p>
<p>Pelibatan orang tua dalam pendidikan sering dianggap dapat <a href="https://theconversation.com/studi-tegaskan-masifnya-dampak-orang-tua-dalam-pembelajaran-anak-kita-harus-bangun-terus-peran-mereka-selepas-pandemi-169375">meningkatkan hasil belajar siswa</a>, meski tidak sedikit juga <a href="https://academic.oup.com/sf/article-abstract/94/4/e106/2461395">bukti yang membantahnya</a>. </p>
<p>Kebijakan ini belum tentu layak diperluas karena adanya isu <a href="https://theconversation.com/survei-beban-pendampingan-belajar-anak-selama-pandemi-lebih-banyak-ke-ibu-ketimbang-ayah-143538">ketimpangan gender</a> dalam tugas-tugas pendampingan belajar. </p>
<p>Pergeseran tanggung jawab sekolah ke orang tua juga berpotensi <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01411920701243578">menstigmatisasi</a> keluarga berpenghasilan rendah, yang meski peduli pada pendidikan anaknya tapi menghadapi banyak tantangan untuk membantu anak belajar.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/survei-beban-pendampingan-belajar-anak-selama-pandemi-lebih-banyak-ke-ibu-ketimbang-ayah-143538">Survei: beban pendampingan belajar anak selama pandemi lebih banyak ke ibu ketimbang ayah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Pengembangan kebijakan berbasis bukti cenderung eksklusif</h2>
<p>Idealnya, kebijakan dibuat untuk kepentingan umum, bukan hanya untuk sebagian elit.</p>
<p>Oleh karena itu, pengembangan kebijakan perlu mempertimbangkan aspirasi semua kelompok - termasuk kelompok marginal - terlepas mereka punya latar belakang sebagai peneliti atau tidak.</p>
<p>Semata menggunakan bukti sebagai landasan kebijakan bisa mengancam proses yang demokratis dalam pengembangan kebijakan.</p>
<p>Dalam demokrasi, setiap warga punya suara yang sama di mata hukum dan negara, termasuk dalam pembuatan kebijakan. </p>
<p>Sayangnya, bukti umumnya dimonopoli oleh peneliti, yang <a href="https://aaronclauset.github.io/slides/Clauset_2021_FacultyHiringAndChangingRepresentationInAcademia_BerkeleyCTEG.pdf">dominan berlatar kelas menengah</a>. </p>
<p><a href="http://pspk.web.id/kilas-pendidikan/kilas-pendidikan-edisi-17-ketimpangan-mutu-dan-akses-pendidikan-di-indonesia-potret-berdasarkan-survei-pisa-2015/">Ketimpangan pendidikan</a> serta terbatasnya <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/is-education-reform-finally-paying-off-for-indonesian-kids/">mobilitas sosial</a> di Indonesia membuat orang dari kelompok marginal sulit menjadi peneliti yang biasanya membutuhkan pendidikan tinggi. </p>
<p>Mendorong kebijakan berbasis bukti memberikan ruang penting pada peneliti menyampaikan suara, namun di sisi lain juga rentan mengabaikan suara kelompok marginal. </p>
<p>Sebuah studi menunjukkan bahwa <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01436597.2021.1882297">elit kelas menengah</a> cenderung lebih sering merepresentasikan kepentingan yang berlawanan dengan kepentingan kelompok marginal. </p>
<p>Latar belakang peneliti yang umumnya adalah kelompok terdidik juga cenderung membuat mereka mudah <a href="https://psycnet.apa.org/record/2017-53158-001">menstigma kelompok lain</a> yang pendidikannya lebih terbatas.</p>
<p>Dalam bukunya “<a href="https://www.theguardian.com/books/2020/sep/06/michael-sandel-the-populist-backlash-has-been-a-revolt-against-the-tyranny-of-merit">The Tyranny of Merit: What’s Become of the Common Good</a>”, akademisi Harvard University Michael Sandel menjelaskan bahwa eksklusivitas dalam pengembangan kebijakan yang umumnya dilakukan sebagian kecil elit cenderung membuat kelompok non elit antipati pada negara. Ia menganggap hal ini juga berkontribusi pada populisme di AS, termasuk kemenangan Donald Trump.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bagaimana-kelompok-privilese-menyamankan-diri-di-tengah-ketimpangan-160354">Bagaimana kelompok privilese menyamankan diri di tengah ketimpangan?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Berbasis bukti saja tidak cukup, kebijakan harus berpihak</h2>
<p>Penelitian memiliki banyak tujuan, salah satunya adalah mendorong kebijakan yang lebih baik. Untuk kepentingan ini, kita yang berprofesi sebagai peneliti, penting untuk terus menggali bukti-bukti terkait efektivitas suatu kebijakan atau intervensi. </p>
<p>Pengetahuan ini harus disebarluaskan ke publik sebagai upaya untuk mendemokratisasi pengetahuan.</p>
<p>Dengan begini, pengetahuan tidak saja dimiliki oleh kelompok berpendidikan yang punya akses lebih memadai ke aktivitas riset, buku, hasil penelitian, termasuk ke lingkar kekuasaan. </p>
<p>Sebuah <a href="https://documents1.worldbank.org/curated/en/387501468322733597/pdf/WPS6851.pdf">studi</a> tentang produk pengetahuan Bank Dunia menunjukkan bahwa 31% di antaranya tidak pernah diunduh dan 87% tidak pernah dikutip. Ini tidak saja menggambarkan penggunaan sumber daya yang kurang efisien tapi juga betapa pengetahuan sulit diakses publik.</p>
<p><a href="https://theconversation.com/id">The Conversation Indonesia</a> merupakan salah satu media tempat peneliti dapat membagikan hasil riset dan analisisnya kepada awam. Namun, perlu diingat bahwa media ini juga hanya menyediakan akses berbagi riset ke peneliti yang, seperti sudah saya sebut di atas, didominasi oleh kelas menengah.</p>
<p>Selanjutnya, peneliti perlu lebih banyak memberikan ruang bagi suara-suara yang selama ini kurang terdengar, terutama dari kelompok marginal, dalam penelitiannya.</p>
<p>Usaha yang dilakukan oleh <a href="https://projectmultatuli.org/">Project Multatuli</a>, sebuah platform yang mengusung keberpihakan pada kelompok rentan, dapat menjadi contoh. Di sana, peneliti dapat bekerja sama dengan media popular dan kelompok akar rumput untuk mengadvokasi perubahan kebijakan dan sistem dari bawah (<em>bottom-up</em>) yang lebih berpihak pada masyarakat umum.</p>
<p>Kebijakan berbasis bukti tentu lebih baik dibandingkan kebijakan tanpa bukti. Namun itu saja tidak cukup. Pengembangan kebijakan harus berbasis bukti dan mengikutsertakan suara kelompok rentan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/173065/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Isi dalam artikel ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi dimana penulis bekerja maupun afiliasinya.</span></em></p>Dinamika kuasa yang timpang dan pemaknaan bukti yang cenderung beragam rentan membuat kebijakan malah menjadi eksklusif dan tidak berpihak pada kelompok marginal.Senza Arsendy, Research and Learning Specialist, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1716382021-11-12T04:56:49Z2021-11-12T04:56:49ZLebih dari 82% penduduk punya kartu jaminan kesehatan, tapi ketidakadilan akses masih menganga<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/431599/original/file-20211111-19-oyrqqp.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Petugas melayani peserta BPJS kesehatan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, 12 Oktober 2021. Cakupan luas tapi masih ada yang belum terlayani.</span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1634030701"> ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/rwa</a></span></figcaption></figure><p><em>Artikel ini terbit untuk memperingati Hari Kesehatan Nasional 12 November.</em></p>
<p>Sistem kesehatan di Indonesia telah mengalami kemajuan signifikan dalam dua puluh tahun terakhir. Dari sisi keterjangkauan, jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional kini telah mencapai lebih dari <a href="https://bisnis.tempo.co/read/1455083/total-peserta-bpjs-kesehatan-per-akhir-maret-823-persen-dari-total-penduduk/full&view=ok">82%</a> dari total jumlah penduduk hanya dalam jangka tujuh tahun. </p>
<p>Kepesertaan ini berkembang dari <a href="https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/post/read/2014/263/Minat-Masyarakat-pada-JKN-Masih-Tinggi">121 juta orang pada 2014 </a> jadi <a href="https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20201212/0135971/pemerintah-upayakan-universal-health-coverage-bagi-masyarakat-indonesia/">223 juta jiwa tahun ini</a>. Pada 2024 jumlah tersebut ditargetkan mencapai 98%. </p>
<p>Di atas meja, capaian tersebut itu luar biasa besar. Namun, <a href="https://jurnal.ugm.ac.id/jsp/article/view/54618">riset kami tentang</a> dinamika negara dalam menyediakan akses pelayanan kesehatan di Indonesia sejak 1945-2020 menunjukkan di balik capaian tersebut, ada masalah yang sangat serius: ketidakadilan (<em>inequity</em>). Tidak hanya terkait keadilan akses, kualitas, dan pemerataan pelayanan kesehatan, tapi juga permasalahan keterikatan masyarakat (<em>civic engagement</em>) terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan pemerintah. </p>
<p>Sejumlah studi telah mengkonfimasinya adanya
<a href="https://doi.org/10.1016/S0140-6736(18)31647-7">ketimpangan</a> atau <a href="https://doi.org/10.37268/mjphm/vol.19/no.1/art.48">disparitas</a> penyelenggaraan pelayanan kesehatan.</p>
<p>Salah satu penyebabnya adalah kurangnya partisipasi masyarakat dalam menyusun kebijakan kesehatan. Saat masyarakat tidak dilibatkan, pemerintah tidak bisa menangkap keseluruhan aspirasi masyarakat sehingga saat implementasi kebijakan muncul masalah baru.</p>
<h2>Tiga rezim, beda prioritas</h2>
<p>Dalam studi ini, kami menggunakan pendekatan sosial-histori untuk memahami setting sosial politik dan perkembangan pelayanan kesehatan di Indonesia pasca era kolonial: Orde Lama (1945-1965), Orde Baru (1966-1997) dan Era Reformasi yang menandai kebangkitan demokrasi dan desentralisasi sejak 1998. </p>
<p>Secara umum, pelayanan kesehatan di Indonesia memang telah meningkat baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Dalam 70 tahun terakhir, perbaikan akses terhadap pelayanan kesehatan di negeri ini terus terjadi pada sisi akseptabilitas, ketersediaan, dan keterjangkauan.</p>
<p><a href="http://p2p.kemkes.go.id/imunisasi-lengkap-indonesia-sehat/">Keikutsertaan masyarakat dalam program imunisasi</a>, menunjukkan akseptabilitas masyarakat pada pelayanan kesehatan yang diberikan pemerintah.
Pada sisi ketersediaan, ada penambahan jumlah Puskesmas dari <a href="https://tirto.id/johannes-leimena-menteri-sukarno-penggagas-cikal-bakal-puskesmas-ehyG">kisaran 2.000 unit 1970-an jadi sekitar 6.700 pada 1993</a>, lalu <a href="https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/data-dasar-puskesmas/2019/Lampiran-Kempen-Data-Puskesmas-Per-30-Juni-Tahun-2019.pdf">mencapai lebih dari 10.000 pada 2019</a>.
<a href="https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20201212/0135971/pemerintah-upayakan-universal-health-coverage-bagi-masyarakat-indonesia/">Skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)</a> memperlihatkan keterjangkauan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.</p>
<p>Dalam rentang pergantian tiga rezim politik, setiap rezim menandai pergeseran pendekatan pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan. </p>
<p>Pada periode pemerintahan Soekarno, konteks atas anti-kolonialisme, keterbatasan sumber daya, serta instabilitas politik memang mendorong pemerintah fokus pada akseptabilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Terlebih, masyarakat pada waktu itu, belum terlalu familiar dengan pelayanan kesehatan modern.</p>
<p>Bersamaan dengan itu, isu terkait kesehatan juga digunakan untuk menjadi “propraganda” nasionalisme. Hal ini tidak lepas dari konteks instabilitas politik, keamanan serta pembangunan bangsa yang memang menjadi prioritas pemerintah saat itu. Pemakaian slogan seperti <a href="https://ses.library.usyd.edu.au/bitstream/handle/2123/9916/Neelakantan_V_Thesis.pdf?sequence=1&isAllowed=y">“Rakjat Sehat, Negara Kuat” sebagai perwujudan “berdikari”</a> (berdiri di bawah kaki sendiri) merupakan contoh dari pendekatan pemerintahan Soekarno mengelola isu kesehatan.</p>
<p>Belajar pada pengalaman rezim sebelumnya, rezim Orde Baru menggunakan tata kelola penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang lebih sentralistis dengan pendekatan stabilitas politiknya. Kondisi ini memungkinkan adanya percepatan pembangunan kesehatan dengan kebijakan yang lebih efisien.</p>
<p>Perkembangan pesat <a href="https://doi.org/10.2307/1973219">angka partisipasi Keluarga Berencana (KB) dari 2,8% pada 1971/1972 menjadi 62,6% pada 1984/1985</a> memperlihatkan efisiensi dari pola sentralistis yang diterapkan. Partisipasi KB <a href="https://tirto.id/sejarah-kb-dan-ide-dua-anak-cukup-dari-era-sukarno-sampai-soeharto-ecJj">sebelumnya, pada era Soekarno, memiliki banyak hambatan</a>. </p>
<p>Reformasi kemudian membuat arah penyelenggaraan pelayanan kesehatan tidak lagi bertumpu pada mendorong akseptabilitas dan ketersediaan semata. Keterjangkauan pelayanan kesehatan menjadi target baru. Perubahan tata kelola pemerintahan desentralistis juga semakin mendorong respons yang lebih baik dari pemerintah, terutama pemerintah daerah dalam memperluas jangkau pelayanan kesehatan. </p>
<p>Lompatan inovasi yang cukup berarti ditandai dengan menjamurnya penerapan jaminan kesehatan bagi golongan masyarakat yang lebih luas di daerah. Kisah sukses jaminan kesehatan daerah di Jembrana, Bali, <a href="https://muse.jhu.edu/article/657983">diikuti 24 kabupaten dan kota lainnya hingga akhirnya pada pada 2013 sebanyak 479 dari 491 kabupaten dan kota dalam mengimplementasikan</a> Jaminan Kesehatan Daerah. </p>
<p>Pola desentralisasi berkontribusi untuk mendekatkan pemerintah untuk memahami kebutuhan dan permasalahan kesehatan masyarakat. Demokrasi elektoral telah mendorong isu-isu populis seperti jaminan kesehatan menjadi terangkat dan diterapkan untuk meraup dukungan politik masyarakat. Jaminan Kesehatan Nasional merupakan puncak pencapaian dari reformasi sistem kesehatan karena memberikan akses kesehatan untuk semua penduduk, termasuk kelompok miskin yang iurannya disubsidi oleh pemerintah. </p>
<p>Masalahnya, di luar sisi akseptabilitas, ketersediaan, dan keterjangkauan, ada aspek keadilan (<em>equity</em>) yang belum terselesaikan. Masih ada sebagian golongan masyarakat yang belum mampu menikmati manfaat dari akses pelayanan kesehatan yang telah disediakan pemerintah.</p>
<p>Analisis dari data Survei Sosial-Ekonomi Nasional (SUSENAS) menunjukkan <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7066478/">ketidakadilan dalam pemanfaatan tenaga profesional penolong persalinan</a> masih terjadi pada masyarakat pendidikan rendah dan miskin di daerah pedesaan. </p>
<p>Satu contoh lain yang menarik untuk menggambarkan permasalahan ketidakadilan (<em>inequity</em>) adalah fenomena peran pihak ketiga sebagai <a href="https://doi.org/10.1080/13621025.2018.1445493">perantara (<em>brokerage</em>) dalam mengakses pelayanan publik</a>. Perantara tersebut seringkali merupakan para pemimpin informal, seperti Ketua Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW) dan tokoh masyarakat. </p>
<p>Para perantara ini seringkali membantu karena mereka memiliki pengaruh karena memiliki koneksi dengan pemegang kekuasaan atau para staf di fasilitas kesehatan sehingga cukup familiar dengan prosedur dalam mengakses JKN. Selain itu, mereka biasanya merupakan orang-orang yang memiliki keberanian untuk membantu bicara saat terjadi kesulitan dalam mengakses JKN. Contoh ini memperlihatkan, sekalipun masyarakat telah memiliki akses pada pelayanan kesehatan, mereka tidak serta merta mampu memanfaatkannya.</p>
<h2>Dominasi peran negara</h2>
<p>Pengalaman Indonesia dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan dari masa kemerdekaan hingga reformasi memperlihatkan dominasi peran pemerintah atau negara, baik di pusat maupun di daerah.</p>
<p><a href="https://cdn1.sph.harvard.edu/wp-content/uploads/sites/2469/2013/07/6-Halabi.pdf">Studi terkait akses pelayanan kesehatan</a> menunjukkan bagaimana kebijakan pelayanan kesehatan kurang mengikutsertakan peran masyarakat secara aktif. </p>
<p>Dalam kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional misalnya, peran dan akomodasi kepentingan masyarakat sangat minim. Pembahasan Undang-Undang Sistem Jaminan Nasional dan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional <a href="http://dx.doi.org/10.1080/13510347.2013.873791">lebih bernuansa kontestasi politik</a> dibanding mendiskusikan pola jaminan kesehatan yang akan diterapkan. </p>
<p>Hal inilah yang kemudian dalam pelaksanaannya Jaminan Kesehatan Nasional kurang mampu menangkap dengan baik bagaimana <a href="http://dx.doi.org/10.20473/jaki.v6i1.2018.33-39">kepentingan pekerja sektor informal</a> atau <a href="http://workingpapers.bappenas.go.id/index.php/bwp/article/view/56/47">munculnya “kastanisasi” dalam layanan kesehatan berdasarkan besaran iuran</a>.</p>
<p>Sejak era awal kemerdekaan hingga reformasi, belum ditemukan pola yang secara serius diterapkan pemerintah terkait partisipasi masyarakat yang lebih substantif dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Belum ada pola yang benar-benar mendorong masyarakat untuk lebih memiliki ruang untuk berunding bersama, memahami permasalahan yang dihadapi, membuat kesepakatan dan kemudian dilaksanakan serta diawasi bersama.</p>
<p>Hal ini bukan berarti menihilkan partisipasi masyarakat. </p>
<p>Akan tetapi, partisipasi tersebut masih dimaknai secara sempit sebagai penerimaan dan keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program pemerintah di bidang kesehatan. Posyandu dan kader kesehatan adalah salah satu contoh dari pemaknaan terbatas atas partisipasi masyarakat tersebut. Secara substantif, masyarakat belum terlibat aktif dalam diskursus proses penentuan kebijakan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.</p>
<p>Pemerintah cenderung menempatkan masyarakat sebagai obyek penyelenggaraan pelayanan kesehatan alih-alih sebagai subyek.</p>
<h2>Kita perlu mendorong <em>health citizenship</em></h2>
<p>Ketiadaan partisipasi memang memungkinkan kebijakan menjadi kurang maksimal menangkap kebutuhan dan permasalahan faktual yang ada di masyarakat. Seberapapun hebatnya, negara tetap membutuhkan partisipasi masyarakat untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan.</p>
<p>Pemerintah perlu mendorong partisipasi tersebut, karena dalam konsepsi <a href="https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22460479/">kewarganegaraan kesehatan (<em>health citizenship</em>)</a>, pelayanan kesehatan tidak hanya dimaknai hak sebagai warga negara yang harus dipenuhi, akan tetapi juga bagaimana cara hak tersebut diberikan -<a href="https://doi.org/10.2307/3235396">kualitas, substansi, dan keterikatan masyarakat (<em>civic engagement</em>)</a>.</p>
<p>Kebijakan bidang kesehatan bukan saja untuk memastikan akses terhadap pelayanan kesehatan, tapi juga bagaimana masyarakat menerima manfaat secara maksimal atas kebijakan tersebut. </p>
<p>Masyarakat kurang maksimal dilibatkan dalam semenjak proses awal perumusan kebijakan hingga pengambilan keputusan. Pemerintah perlu memperbaiki kualitas, subtansi, dan keterikatan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan kesehatan. Partisipasi membuat pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama memahami, mengelola, dan mengatasi permasalahan kesehatan.</p>
<p>Oleh karena itu, partisipasi masyarakat diperlukan tidak hanya dalam bentuk pemberdayaan tapi juga dengan model yang lebih deliberatif. Artinya, partisipasi secara menyeluruh terlibat dalam diskursus perumusan, keputusan, hingga evaluasi dari suatu kebijakan.</p>
<p>Tak hanya menunggu dari inisiasi masyarakat, pemerintah juga perlu membuka ruang untuk proses kebijakan yang lebih partisipatif.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/171638/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Arief Priyo Nugroho menerima dana dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Diyan Ermawan Effendi terafiliasi dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. </span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Sri Handayani tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Dalam 70 tahun terakhir, perbaikan akses terhadap pelayanan kesehatan di negeri ini terus terjadi pada sisi askeptabilitas, ketersediaan, dan keterjangkauanArief Priyo Nugroho, Peneliti, National Institute of Health Research and Development (NIHRD), Ministry of Health IndonesiaDiyan Ermawan Effendi, Researcher, National Institute of Health Research and Development (NIHRD), Ministry of Health IndonesiaSri Handayani, Researcher, National Institute of Health Research and Development (NIHRD), Ministry of Health IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1666762021-08-26T02:34:35Z2021-08-26T02:34:35ZCOVID-19 di Asia Tenggara: bukan ‘sekadar’ krisis kesehatan<p>Kasus COVID-19 telah <a href="https://www.thejakartapost.com/seasia/2021/07/28/southeast-asia-sees-surge-in-covid-19-cases.html">meningkat begitu drastis</a> di Asia Tenggara beberapa bulan terakhir – bahkan pada bulan Juli, kawasan ini mencatat laju kematian <a href="https://www.bloomberg.com/news/articles/2021-07-15/delta-engulfs-southeast-asia-with-world%20-s-tumbuh-tercepat-kematian">paling cepat</a> di dunia. Dengan merebaknya varian Delta, Asia Tenggara dan 655 juta penduduknya kini telah menjadi <a href="https://www.nature.com/articles/s41591-021-01471-x">pusat pandemi</a> akibat faktor geografis, politik, dan faktor sosial ekonomi yang ada.</p>
<p>Seperti terjadi di berbagai tempat lain di dunia, pandemi di Asia Tenggara mengungkap <a href="https://time.com/6046172/southeast-asia-covid/">kebobrokan sistem</a>.</p>
<p>Pandemi menunjukkan betapa negara-negara lebih mengutamakan kepentingan ekonomi ketimbang kerusakan lingkungan dan bencana kesehatan yang meningkat pesat di wilayahnya.</p>
<p>Tata kelola politik yang berpusat di elite dan meningkatnya halangan bagi masyarakat sipil semakin mempersulit warga Asia Tenggara untuk terlibat dengan pemerintah dalam mengatasi krisis ini.</p>
<h2>Mengungkap dampak sistemik</h2>
<p>Di Asia Tenggara, banyak sisi sosial dan budaya dalam pada masa pandemi ini tertutupi. Suara-suara dari pakar humaniora dan ilmu sosial, dan bahkan pakar kesehatan masyarakat tampaknya tidak didengar.</p>
<p>Pemerintah-pemerintah telah menerapkan langkah-langkah <em>top-down</em> tanpa mendiskusikan dengan mendalam apakah langkah-langkah tersebut sesuai dengan konteks, implikasi, dan dampak yang ada. </p>
<p>Krisis ini kompleks dan sistemik, maka perlu dibedah dari beberapa sudut.</p>
<p>Yang utama, faktor-faktor sosial ekonomi dan politik dalam pandemi <a href="https://doi.org/10.1016/j.ssaho.2020.100058">perlu dipahami dan ditangani dengan lebih baik</a>.</p>
<p>Pemerintah di Asia Tenggara dengan gencar mendorong upaya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, mereka secara tidak langsung telah mengabaikan upaya-upaya alternatif untuk mengurangi ketidaksetaraan dalam masyarakat dan memajukan keberlanjutan sumber daya alam.</p>
<p>Dalam menghadapi dampak pandemi, bantuan jangka pendek bukanlah solusi pengganti untuk penguatan perlindungan sosial dan adanya mekanisme redistribusi yang justru sangat dibutuhkan.</p>
<p>Kelompok masyarakat di seluruh Asia Tenggara memanfaatkan modal budaya dan sosial mereka untuk mengatasi masalah yang belum pernah terjadi sebelumnya – COVID-19 telah mengubah cara hidup dan mata pencaharian mereka sehari-hari. </p>
<p>Mereka mencoba untuk menumbuhkan budaya ketahanan bersama-sama dalam situasi yang penuh batasan. Namun mereka sedikit mendapat perhatian atau dukungan dari lembaga pemerintah.</p>
<p>Semua permasalahan ini membutuhkan diskusi publik terbuka dan pengambilan keputusan yang transparan. Sedang realitanya, kita melihat ruang sipil menyusut akibat gencarnya langkah-langkah keamanan dan teknologi invasif dengan kedok kesehatan oleh pihak berkuasa.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/aspek-keadilan-sering-dilupakan-dalam-pembuatan-kebijakan-pembangunan-infrastruktur-di-indonesia-105584">Aspek keadilan sering dilupakan dalam pembuatan kebijakan pembangunan infrastruktur di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Politik pandemi dan hak asasi manusia</h2>
<p>Salah satu karakter menonjol di Asia Tenggara adalah sebagian besar memiliki pemerintahan demokratis yang otoriter atau parsial.</p>
<p>Krisis kesehatan memberi rezim-rezim ini <a href="https://blogs.lse.ac.uk/seac/2020/10/01/southeast-asias-pandemic-politics-and-human-rights-trends-and-%20pelajaran/">peluang</a> untuk semakin menekan perbedaan pendapat politik dan mengkonsolidasikan kekuasaan mereka.</p>
<p>Dominasi oligarki dan kelompok elite dalam keuangan negara membentuk arah pemerintahan.</p>
<p>Pemerintah cenderung menjadikan masalah kesehatan dan sosial sebagai masalah keamanan yang memerlukan langkah <a href="https://freedomhouse.org/article/coronavirus-shows-need-human-rights-based-approach-public-health-crises">pengamanan</a> besar-besaran, persenjataan, dan militerisasi. Kami melihat ini terjadi di Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Filipina.</p>
<p>Langkah-langkah ini dilakukan melalui metode yang beragam; termasuk pengawasan dan kriminalisasi warga. Secara khusus, kelompok minoritas dan populasi rentan – dari pengungsi dan migran hingga komunitas agama minoritas – menjadi kambing hitam.</p>
<p>Penggunaan teknologi untuk pelacakan kontak menciptakan ketidakpastian dalam perlindungan hak individu dan hak kolektif atas kesehatan. </p>
<p>Ini terjadi seiring dengan adanya pembatasan kebebasan sipil seperti kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan kebebasan informasi; kita bisa lihat ini terjadi di Kamboja, Thailand, dan secara brutal terjadi di <a href="https://fb.watch/4QpjKVIxzL/">Myanmar</a>.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pembatasan-internet-setelah-kerusuhan-22-mei-keamanan-publik-lebih-utama-ketimbang-kebebasan-bermedia-sosial-117830">Pembatasan internet setelah kerusuhan 22 Mei: Keamanan publik lebih utama ketimbang kebebasan bermedia sosial</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Sistem solidaritas lokal</h2>
<p>Menghadapi gejala otoriter ini, rakyat Asia Tenggara bergantung pada <a href="https://www.newmandala.org/covid-19-in-southeast-asia-public-health-social-impacts-and-political-attitudes/">upaya-upaya lokal, rahasia, atau sembunyi-sembunyi</a> untuk menjaga dan mempertahankan ekonomi lokal dan sistem kekayaan swadaya masyarakat.</p>
<p>Krisis COVID-19 berdampak buruk pada ratusan ribu orang yang mencari nafkah dari ekonomi jalanan. </p>
<p>Sebuah studi yang mempelajari <a href="https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/covid-19-inequality-and-jakartas-urban-poor-resilient-but-at-great-risk/">kelompok miskin kota Jakarta</a> menunjukkan kemampuan mereka bertahan dalam menghadapi kelambanan pemerintah dan risiko tinggi untuk terus bertahan hidup.</p>
<p>Risiko utama adalah ancaman kesehatan bagi kelompok miskin Jakarta karena tingkat tes COVID-19 yang sangat rendah dan akses minim ke alat pelindung.</p>
<p>Perubahan cepat kondisi Ibu Kota Indonesia – yang sebelum pandemi saja sudah genting – membuat banyak orang tidak memiliki banyak pilihan. Banyak yang kembali ke kota dan desa asal. Beberapa kemungkinan membawa virus.</p>
<p>Kelompok miskin juga rentan terhadap rentenir. Para rentenir ini memanfaatkan adanya kebutuhan masyarakat demi uang tunai, menambah jumlah utang yang kerap sangat melumpuhkan.</p>
<p>Kelambanan pemerintah serta komnbinasi ancaman penyakit dan kehancuran ekonomi mengharuskan warga untuk akhirnya bergantung pada diri mereka sendiri dan pada satu sama lain demi bertahan hidup.</p>
<p>Mereka mengembangkan jaringan yang <a href="http://seajunction.org/special-initiatives/#.YHSpL-gzaUn">saling mendukung dan berswadaya</a> untuk memberikan perlindungan bersama.</p>
<p>Namun karena dampak pembatasan sosial dan penutupan terus berlanjut, peluang sosial dan ekonomi semakin menyusut. Jaringan swadaya saja tidak cukup.</p>
<p>Di Indonesia, sebagaimana negara Asia Tenggara lainnya, intervensi mendasar pemerintah diperlukan segera agar penduduk miskin dapat melewati krisis ini.</p>
<p>Orang miskin sangat membutuhkan <em>rapid test</em>, bahan makanan yang cukup dan berkelanjutan, subsidi tunai tanpa birokrasi berbelit, infrastruktur dasar termasuk pasokan air bersih, dan penghentian penggusuran dan pembayaran utang. Tanpa langkah-langkah ini, mereka akan menjadi kelompok paling menderita dalam pandemi.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/aspek-keadilan-sering-dilupakan-dalam-pembuatan-kebijakan-pembangunan-infrastruktur-di-indonesia-105584">Aspek keadilan sering dilupakan dalam pembuatan kebijakan pembangunan infrastruktur di Indonesia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Kemanusiaan dalam masa krisis</h2>
<p>Sebuah analisis menunjukkan bahwa masalah dalam pengelolaan pandemi di Asia Tenggara pada dasarnya bersifat institusional. </p>
<p>Krisis ini mengungkapkan kegagalan struktural yang berhubungan dengan <a href="http://www.irasec.com/page526">kepentingan khusus elit</a> dan pengabaian terhadap sebagian besar penduduk.</p>
<p>Dengan demikian, tantangan bagi masyarakat sipil adalah untuk mengungkap dan mengatasi dimensi kemanusiaan pada masa krisis. Dimensi ini adalah sebuah spektrum yang tersusun atas penyedotan tanpa henti yang merusak lingkungan, keserakahan buta demi keuntungan ekonomi, dan politik yang menghalangi warga negara mengambil kendali atas nasib bersama.</p>
<p>Perspektif ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana mereka dapat bertindak bersama-sama untuk mengatasi pandemi dan untuk melindungi kebutuhan bersama untuk kepentingan generasi mendatang.</p>
<hr>
<p><em>Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/166676/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Tata kelola politik yang berpusat di elite dan meningkatnya halangan bagi masyarakat sipil semakin mempersulit warga Asia Tenggara di tengah krisis.Gabriel Facal, Postdoc, Centre national de la recherche scientifique (CNRS)Ian Wilson, Senior Lecturer, Politics and Security Studies, Murdoch UniversityKhoo Ying Hooi, Senior Lecturer in International Relations, University of MalayaRosalia Sciortino, Associate Professor on Population and Social Research, Mahidol UniversitySarah Andrieu, Associate researcher, Centre Asie du sud-est (CASE), École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1603542021-05-18T06:56:37Z2021-05-18T06:56:37ZBagaimana kelompok privilese menyamankan diri di tengah ketimpangan?<p>Sekeras apa pun kelompok berprivilese menolak untuk mengakui keistimewaan bawaan yang mereka miliki, <a href="https://bpspsychub.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/bjso.12251">fakta</a> menunjukkan bahwa kelas ekonomi masih berperan signifikan dalam menentukan garis hidup seseorang.</p>
<p>Pandemi COVID-19 saat ini memperdalam <a href="https://theconversation.com/yang-juga-penting-saat-kembali-belajar-tatap-muka-memulihkan-hasil-belajar-murid-rentan-dan-mencegah-ketimpangan-158425">jurang</a> antara kelompok menengah-bawah dan atas di Indonesia yang sebelumnya sudah <a href="https://oi-files-d8-prod.s3.eu-west-2.amazonaws.com/s3fs-public/bp-towards-more-equal-indonesia-230217-id_0.pdf">sangat lebar</a>.</p>
<p>Di saat pekerja menengah-atas masih bisa bekerja dari rumah, misalnya, sebagian pekerja dari kelompok rentan harus <a href="https://smeru.or.id/sites/default/files/publication/ib01_naker_id_0.pdf">kehilangan penghasilan</a> akibat kondisi ekonomi yang memburuk. Di dunia pendidikan, anak-anak dari kelompok menengah-bawah <a href="https://theconversation.com/riset-dampak-covid-19-potret-gap-akses-online-belajar-dari-rumah-dari-4-provinsi-136534">belajar lebih sedikit</a> selama pandemi dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga mampu.</p>
<p>Lalu mengapa di tengah jurang ketimpangan ini sulit sekali bagi kelompok dominan untuk mengakui keistimewaan yang mereka miliki?</p>
<h2>Menyangkal privilese</h2>
<p><a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/0963721417753600">Privilese</a> merupakan hak istimewa individu yang didapatkan secara otomatis — tidak melalui usaha - karena menjadi anggota kelompok tertentu. </p>
<p>Privilese ini dimiliki oleh kelompok dominan baik dalam kelas ekonomi, gender, ras, maupun yang lainnya.</p>
<p>Kelompok dominan cenderung menyangkal keistimewaan yang mereka miliki. </p>
<p>Menurut beberapa akademisi yang meneliti kelompok dominan kulit putih di Amerika Serikat (AS), penyangkalan ini karena kelompok dominan terdorong untuk berlindung dari <a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1745691614554658">ancaman psikologis</a> yang berpotensi mengganggu kepercayaan meritokrasi dan konsep diri individu.</p>
<p><a href="https://link.springer.com/article/10.1007/s11211-014-0228-0">Kepercayaan meritokrasi</a> menekankan bahwa kesuksesan adalah buah dari bakat dan kerja keras.</p>
<p>Individu dari kelompok dominan yang menyadari pentingnya faktor kelas ekonomi akan mengakui bahwa usaha dan kerja keras saja tidak cukup untuk menempatkan mereka pada situasi yang baik yang mereka nikmati. </p>
<p>Pengakuan semacam ini akan mengganggu kepercayaan meritokrasi kelompok dominan.</p>
<p>Teo You Yenn, sosiolog dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura menjelaskan bahwa salah satu kendala terbesar untuk <a href="https://teoyouyenn.sg/this-is-what-inequality-looks-like/">membongkar ketimpangan</a> di negara jiran itu adalah narasi meritokrasi yang selama ini diterima begitu saja oleh masyarakat tanpa upaya untuk mengkritisinya.</p>
<p>Selanjutnya, individu enggan untuk mengakui privilesenya untuk <a href="https://www.stern.nyu.edu/experience-stern/faculty-research/how-and-why-wealthy-try-cover-their-privileges">menghindari perasaan bersalah</a> karena menjadi suatu anggota di kelompok dominan tertentu. </p>
<p>Mengakui privilese maka mengakui bahwa mereka cenderung diuntungkan dari ketidakadilan yang terjadi. Hal ini bisa menimbulkan penilaian negatif individu, baik tentang dirinya maupun kelompoknya.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/riset-standar-pemerintah-untuk-anak-muda-yang-ideal-buta-kesenjangan-dan-minim-dukungan-negara-153427">Riset: standar pemerintah untuk "anak muda yang ideal" buta kesenjangan dan minim dukungan negara</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Menutupi keistimewaannya</h2>
<p>Mengakui privilese menimbulkan ketidaknyaman pada diri individu. </p>
<p>Untuk menghindari hal itu, kelompok privilese menggunakan beberapa cara dalam menutupi privilesenya.</p>
<p>Pertama, individu mengakui bahwa mereka adalah bagian dari kelompok dominan namun menolak mengakui bahwa mereka mendapatkan keuntungan secara tidak adil. </p>
<p>Penolakan ini biasanya justru menguatkan pemahaman bahwa kesuksesan yang mereka dapatkan adalah hasil <a href="https://theconversation.com/mengapa-orang-indonesia-merasa-kunci-sukses-seseorang-ada-pada-ikhtiar-dan-bukan-latar-kelas-sosialnya-140355">usaha keras</a> selama ini. </p>
<p>Cara lain untuk menolak mengakui keistimewaan adalah dengan menggunakan narasi kemujuran (<em>luck</em>) dalam menjelaskan capaian. </p>
<p><a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09620214.2020.1789491">Penelitian</a> yang dilakukan pada sekelompok mahasiswa Singapura di University of Oxford dan University of Cambridge, Inggris, pada 2020 menunjukkan bahwa faktor kemujuran umum digunakan oleh kelompok dominan untuk menjelaskan keberhasilan mereka masuk kampus-kampus top dunia.</p>
<p>Menggunakan faktor kemujuran terdengar lebih rendah hati dibandingkan dengan penggunaan narasi kerja keras — yang seolah hanya fokus pada diri sendiri. </p>
<p>Sayangnya, narasi kemujuran justru bisa menguatkan legitimasi kelompok dominan atas keuntungan-keuntungan yang mereka dapatkan dan juga abai pada ketimpangan yang ada.</p>
<p>Kedua, kelompok dominan menolak untuk mengakui bahwa mereka adalah bagian dari kelompok privilese. </p>
<p>Menurut Brian Lowery, <a href="https://www.apa.org/research/action/speaking-of-psychology/white-privilege">psikolog sosial</a> dari Stanford University, AS, salah satu cara yang anggota kelompok dominan lakukan adalah mendaftar kesengsaraan yang selama ini mereka alami. </p>
<p>Dengan begini, mereka bisa menunjukkan bahwa mereka juga mengalami penderitaan.</p>
<p>Tentu, semua manusia punya derita hidupnya masing-masing. Kesengsaraan yang dialami
kelompok berprivilese dan kelompok minoritas sama-sama valid dan penting untuk dipahami. </p>
<p>Namun, derita kelompok yang mengalami diskriminasi serta penyingkiran secara sistematis tentu harus dibedakan dengan derita sehari-hari individu dari kelompok dominan.</p>
<p>Misalnya, kita tidak bisa menyamakan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/tech/20210413125454-37-237469/upah-turun-berujung-kurir-shopee-mogok-ini-dampaknya">kesengsaraan kurir</a> aplikasi belanja <em>online</em> yang harus bekerja dengan upah tidak layak dan jaminan sosial yang belum memadai dengan kesulitan mahasiswa menengah-atas yang sedang mengenyam pendidikan master di luar negeri. </p>
<p>Terakhir, menutupi privilese bisa dilakukan lewat misidentifikasi kelas ekonomi. Misalnya, anggota kelompok ekonomi atas yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari kelompok menengah-bawah.</p>
<p>Di <a href="https://www.bsa.natcen.ac.uk/latest-report/british-social-attitudes-33/social-class.aspx">Inggris</a>, kelompok profesional kerap menganggap dirinya bagian dari kelompok kelas pekerja menengah-bawah. <a href="https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/0038038520982225">Studi</a> oleh London School of Economics menunjukkan bahwa misidentifikasi dilakukan salah satunya dengan cara mengaitkan kisah hidup individu saat ini dengan leluhur mereka yang sudah hidup puluhan tahun lalu.</p>
<p>Dengan melakukan ini, mereka bisa membingkai cerita hidup dan keluarganya sebagai kelompok pekerja yang juga berjuang sebelum mendapatkan kesuksesan. </p>
<p>Cerita seperti ini bermakna dalam membentuk identitas individu, namun di sisi lain juga dapat membuat individu meremehkan keuntungan yang mereka miliki saat ini.</p>
<p>Misidentifikasi kelas ekonomi umumnya terjadi karena ketimpangan yang semakin parah. <a href="https://www.penguinrandomhouse.ca/books/318941/the-broken-ladder-by-keith-payne/9780143128908">Analisis psikologi</a> terkait ketimpangan menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi cenderung membuat seseorang merasa miskin, bahkan jika secara materi dia sebenarnya berkecukupan. </p>
<p>Di Indonesia, misidentifikasi sering dilakukan oleh kelompok menengah urban dengan
menggunakan istilah <a href="https://www.hipwee.com/hiburan/4-alasan-kamu-nggak-perlu-lagi-mengaku-sebagai-sobat-misqueen-coba-deh-mulai-banyak-bersyukur/">‘sobat misqueen’</a>. Istilah ini umum terlontar ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak mampu mengikuti gaya hidup kelompok yang lebih elit. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-orang-indonesia-merasa-kunci-sukses-seseorang-ada-pada-ikhtiar-dan-bukan-latar-kelas-sosialnya-140355">Mengapa orang Indonesia merasa kunci sukses seseorang ada pada ikhtiar dan bukan latar kelas sosialnya?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Memulai untuk mengakui</h2>
<p><a href="https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1745691614554658">Menurut studi di AS</a>, pengakuan atas privilese akan sejalan dengan dukungan yang individu berikan pada kebijakan pro rakyat kecil, seperti kebijakan afirmasi dan bantuan sosial.</p>
<p>Dengan mempertimbangkan bahwa kelompok privilese <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01436597.2021.1882297">mendominasi panggung politik</a>
Indonesia dan memiliki kuasa besar untuk mendorong kebijakan yang lebih berpihak ke kelompok bawah, maka penting sekali mengajak kelompok ini untuk membongkar privilese yang dimiliki.</p>
<p>Di level personal, kita bisa melakukan refleksi kritis terkait keistimewaan yang kita miliki. </p>
<p>Refleksi ini bisa dibantu dengan menggunakan analisis data-data berdasarkan kelas ekonomi sehingga mampu menggambarkan besarnya ketimpangan yang terjadi di sekitar kita.</p>
<p>Selain itu, kita juga bisa melakukan beberapa latihan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kelas ekonomi dalam menentukan hidup seseorang. </p>
<p><a href="https://www.apa.org/pi/ses/resources/publications/classroom-exercises?">American Psychological Association (APA)</a>, organisasi yang menaungi ilmuwan psikologi, menyediakan beberapa metode latihan untuk membantu <strong>kita</strong> menyadari keterkaitan kelas ekonomi dengan pembentukan sikap, pengalaman diskriminasi dan penindasan, pendapatan, privilese, dan kepemilikan properti.</p>
<p>Selanjutnya, <a href="https://www.warforkindness.com/">interaksi</a> dengan lebih banyak anggota di luar kelompok diyakini dapat meningkatkan empati individu terhadap perjuangan kelompok lain. </p>
<p>Mengingat ada ketimpangan kuasa dalam hubungan antara individu dari kelompok dominan dengan anggota di luar grupnya, maka interaksi harus dilakukan dengan tujuan untuk menyeimbangkan relasi kuasa tersebut.</p>
<p>Salah satu yang bisa dilakukan oleh kelompok dominan adalah memberikan kesempatan lebih banyak kepada kelompok minoritas untuk menyampaikan cerita mereka. </p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0022103112000297">Eksperimen</a> yang dilakukan di AS dan Timur Tengah menunjukkan bahwa kelompok minoritas lebih mungkin untuk menggambarkan kesulitannya secara lebih akurat jika mendapat kesempatan didengar, dan lebih membantu kelompok dominan untuk lebih memahami derita kelompok lain. </p>
<p>Terakhir, upaya untuk membongkar privilese merupakan hal yang kompleks yang membutuhkan peran negara serta institusi seperti sekolah serta masyarakat. </p>
<p>Ketimpangan harus dipersempit sehingga sekat-sekat antara kelompok kaya dan miskin bisa dibuka. </p>
<p>Dengan begini, seluruh anggota masyarakat bisa saling berinteraksi dan memahami kehidupan kelompok lain.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/160354/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Isi dalam artikel ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi dimana penulis bekerja maupun afiliasinya.</span></em></p>Kelompok berprivilese melakukan beberapa cara untuk menutupi keistimewaan yang mereka milikiSenza Arsendy, Research and Learning Specialist, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1584252021-04-10T10:15:55Z2021-04-10T10:15:55ZTutupnya sekolah menyebabkan ‘learning loss’ dan memperlebar ketimpangan antara siswa kaya dan miskin<p>Minggu lalu, pemerintah mengumumkan <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2021/03/dorong-akselerasi-ptm-pemerintah-umumkan-skb-empat-menteri">Surat Keputusan Bersama (SKB) dari empat kementerian</a> yang membolehkan sekolah kembali buka <a href="https://www.suara.com/news/2021/03/30/133902/skb-4-menteri-putuskan-buka-sekolah-dengan-prokes-ketat-mulai-juli-2021">mulai Juli 2021</a> seiring target rampungnya vaksinasi guru.</p>
<p>Bahkan pemerintah membolehkan sekolah yang sudah memberikan vaksin pada semua tenaga pengajarnya untuk mengadakan kelas tatap muka sekarang juga, tentu dengan <a href="https://news.detik.com/berita/d-5513792/5-poin-penting-terkait-pembukaan-sekolah-tatap-muka-terbatas-pada-juli-2021/2">persetujuan orang tua murid</a>.</p>
<p>Meskipun demikian, masih ada guru serta kelompok masyarakat yang <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210330182814-20-624019/guru-respons-skb-4-menteri-sekolah-belum-siap-tatap-muka">ragu dengan rencana ini</a> akibat masih adanya temuan <a href="https://tekno.tempo.co/read/1421397/anak-positif-covid-19-di-indonesia-74-ribu-kasus-3-ribuan-klaster-sekolah/full&view=ok">kasus COVID-19 di lingkungan sekolah</a>.</p>
<p>Namun, kita perlu mengingat bahwa penutupan sekolah selama setahun ini memperparah hilangnya capaian belajar (“<em>learning loss</em>”) murid terutama bagi mereka yang berasal dari kelompok rentan. </p>
<p>Jika dibiarkan, hal ini berpotensi mengancam masa depan anak-anak dari kelompok rentan dan juga mempertajam kesenjangan.</p>
<h2>Hilangnya capaian belajar</h2>
<p><a href="https://www.edglossary.org/learning-loss/"><em>Learning loss</em></a> adalah hilangnya pengetahuan atau keterampilan pelajar dari apa yang sebelumnya sudah dipelajari atau dikuasai.</p>
<p>Kehilangan ini umumnya diukur untuk mengetahui dampak penutupan sekolah. Berbagai penelitian sebelumnya, misalnya, mengukur <em>learning loss</em> akibat <a href="https://riseprogramme.org/sites/default/files/publications/RISE_WP-039_Adrabi_Daniels_Das_0.pdf">bencana</a>, <a href="https://www.brookings.edu/research/summer-learning-loss-what-is-it-and-what-can-we-do-about-it/">libur sekolah</a>, maupun <a href="https://www.the74million.org/article/aldeman-what-a-wave-of-teacher-strikes-in-argentina-can-teach-us-about-learning-disruptions-degree-attainment-higher-unemployment-lower-earnings/">mogok sekolah</a>. </p>
<p>Bank Dunia <a href="http://documents1.worldbank.org/curated/en/184651597383628008/pdf/Main-Report.pdf">memperkirakan</a> tutupnya sekolah selama delapan bulan di Indonesia akibat pandemi COVID-19 bisa menghapus kembali kemampuan membaca pelajar – setara dengan setengah tahun proses pembelajaran.</p>
<p>Ini pun terjadi di negara yang relatif maju. Di Belgia, <a href="https://osf.io/preprints/socarxiv/ve4z7/download">studi</a> menunjukkan dua bulan penutupan sekolah karena pandemi menyebabkan pelajar kehilangan hasil belajar yang setara dengan 1,5 bulan proses pembelajaran di sekolah.</p>
<h2>Dampak terburuk <em>learning loss</em>: mempertajam ketimpangan antar murid</h2>
<p>Meskipun terjadi pada banyak pelajar, fenomena ini lebih umum terjadi pada anak-anak dari kelompok rentan.</p>
<p>Selama pandemi, anak dari kelompok ekonomi menengah ke-bawah dan dengan level pendidikan orang tua rendah <a href="https://theconversation.com/riset-dampak-covid-19-potret-gap-akses-online-belajar-dari-rumah-dari-4-provinsi-136534">memiliki kesempatan belajar lebih sedikit</a> dibanding kelompok anak lainnya karena berbagai keterbatasan di antaranya <a href="http://sdgcenter.unpad.ac.id/pencapaian-agenda-pendidikan-berkualitas-untuk-semua-sdg-4-di-tengah-disrupsi-pandemi-covid-19/">fasilitas pembelajaran</a> seperti koneksi internet dan komputer.</p>
<p><a href="https://theconversation.com/riset-dampak-covid-19-potret-gap-akses-online-belajar-dari-rumah-dari-4-provinsi-136534">Survei kami</a> di empat provinsi pada tahun lalu menunjukkan hanya sekitar 28% anak yang bisa belajar dengan media daring.</p>
<p>Di daerah yang relatif berkembang seperti Jawa Timur angkanya bisa sampai 40%, namun di daerah lain seperti Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), pembelajaran daring masing-masing kurang dari 10% dan 5%.</p>
<p>Oleh karena itu, penutupan sekolah dapat memperparah kerentanan kelompok pelajar yang padahal sudah rentan terlebih dahulu sebelum pandemi.</p>
<p>Ketertinggalan hasil belajar antara kelompok pelajar kaya dan miskin di Indonesia <a href="http://documents1.worldbank.org/curated/en/184651597383628008/pdf/Main-Report.pdf">diprediksi</a> juga makin meningkat dari 1,4 tahun menjadi 1,6 tahun proses pembelajaran akibat empat bulan penutupan sekolah.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/394330/original/file-20210409-21-b6f1wm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/394330/original/file-20210409-21-b6f1wm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/394330/original/file-20210409-21-b6f1wm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=503&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/394330/original/file-20210409-21-b6f1wm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=503&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/394330/original/file-20210409-21-b6f1wm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=503&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/394330/original/file-20210409-21-b6f1wm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=632&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/394330/original/file-20210409-21-b6f1wm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=632&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/394330/original/file-20210409-21-b6f1wm.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=632&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Sumber:</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://documents1.worldbank.org/curated/en/184651597383628008/pdf/Main-Report.pdf">Yarrow, Masood, dan Afkar (World Bank, 2020)</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Selain ketimpangan kelas ekonomi, kesenjangan juga terlihat antara pelajar laki-laki dan perempuan.</p>
<p>Di Ghana, <a href="https://www.educ.cam.ac.uk/centres/real/publications/Using%20educational%20transitions%20to%20estimate%20learning%20loss%20due%20to%20Covid-19%20school%20closures.pdf">studi</a> menemukan bahwa di antara anak-anak dengan hasil belajar rendah selama pandemi, anak perempuan memiliki kemungkinan lebih kecil daripada anak laki-laki untuk bisa mengejar ketertinggalan mereka. </p>
<p>Ini terjadi karena <a href="https://www.savethechildren.org/content/dam/usa/reports/ed-cp/global-girlhood-report-2020.pdf">besarnya tuntutan</a> bagi siswa perempuan untuk membantu orang tua, yang membuat waktu belajar mereka lebih lebih terbatas.</p>
<p><em>Learning loss</em> pun berpotensi mengancam prospek anak di masa mendatang.</p>
<p>Riset yang <a href="https://www.econstor.eu/bitstream/10419/217486/1/GLO-DP-0548.pdf">menghitung</a> data dari negara maju, berkembang, dan tertinggal memprediksi <em>learning loss</em> akibat penutupan sekolah selama satu tahun akan mengakibatkan kehilangan sekitar 15% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dari sebuah negara. </p>
<p>Di Indonesia, jika dikalkulasi per individu, <em>learning loss</em> bisa membuat pelajar <a href="http://documents1.worldbank.org/curated/en/184651597383628008/pdf/Main-Report.pdf">kehilangan pendapatan</a> sebesar Rp 7 juta setiap tahunnya ketika mereka sudah bekerja.</p>
<p>Untuk pelajar dari kelompok ekonomi rentan, kehilangan pendapatan per tahun bisa 14% lebih besar dibandingkan dengan pelajar dari kelompok ekonomi lebih tinggi.</p>
<p>Akibatnya, peluang anak dari kelompok rentan untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka di masa depan akan semakin menantang.</p>
<h2>Belajar tatap muka harus fokus memulihkan <em>learning loss</em> pada pelajar rentan</h2>
<p>Selain menjamin keselamatan siswa dengan pelaksanaan protokol kesehatan, bukanya kembali sekolah harus fokus mengatasi dampak buruk akibat hilangnya capaian belajar.</p>
<p>Sekolah perlu melakukan adaptasi pembelajaran dan kurikulum ketika buka kembali mengingat terjadi kehilangan capaian belajar yang tidak sama antar kelompok murid.</p>
<p>Di sini, sekolah harus mendorong guru melakukan <a href="https://www.detik.com/edu/edutainment/d-5524780/kisah-perjuangan-guru-di-pelosok-kalimantan-utara-cegah-learning-loss/1">“asesmen formatif”</a> – penilaian yang memetakan ulang <a href="https://rise.smeru.or.id/id/publikasi/memulihkan-penurunan-kemampuan-siswa-saat-sekolah-di-indonesia-dibuka-kembali-pedoman-bagi">level kemampuan murid</a>. Melalui penilaian ini, proses pembelajaran bisa berjalan lebih sesuai dengan kebutuhan belajar anak didik terutama setelah satu tahun sekolah tutup.</p>
<p>Selanjutnya, mengingat belajar tatap muka dalam waktu dekat juga masih akan dilakukan secara terbatas dan bertahap, penting bagi sekolah untuk lebih erat menggandeng orang tua. </p>
<p>Studi yang dilakukan di Botswana menunjukkan keterlibatan orang tua berpotensi <a href="https://ideas.repec.org/p/csa/wpaper/2020-13.html">memulihkan kehilangan capaian belajar</a> hingga sebesar 52%.</p>
<p>Tidak semua orang tua memang ada di posisi untuk mendampingi anak belajar. Sebagian anak bisa jadi tidak hidup dengan orang tua, atau sebagian orang tua mungkin memiliki waktu terbatas karena harus bekerja.</p>
<p>Di sini, pelibatan masyarakat – misalnya melalui Taman Baca Masyarakat <a href="https://kaltara.tribunnews.com/2020/10/08/atasi-problem-pendidikan-di-malinau-kala-pandemi-covid-19-wahyudi-taman-baca-masyarakat-solusinya">(TBM)</a> – bisa mengantisipasi hal ini. Pembukaan kelas-kelas di taman baca bisa dilakukan untuk membantu pelajar yang kesulitan belajar, tentunya dengan tetap mempertimbangkan keselamatan dan keamanan anak di luar rumah.</p>
<p>Berbagai langkah ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan hanya oleh sekolah. Tanpa dukungan yang memadai dari pemerintah daerah dan pusat, baik melalui pendanaan maupun pendampingan, sekolah serta orang tua akan sangat kesulitan. </p>
<p>Kekhawatiran publik tentang dampak kesehatan yang muncul akibat pembukaan sekolah bisa dipahami dan penting untuk dipertimbangkan – orang tua pasti menginginkan anak mereka untuk belajar dengan nyaman dan aman.</p>
<p>Oleh karena itu, semua pihak harus bekerja sama memastikan belajar tatap muka berjalan secara aman, dengan memprioritaskan kesehatan anak, baik fisik maupun <a href="https://tirto.id/stres-burnout-jenuh-problem-siswa-belajar-daring-selama-covid-19-f3ZZ">psikologis</a>, dan mencegah dampak <em>learning loss</em> yang sudah terjadi akibat penutupan sekolah.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/158425/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Senza Arsendy adalah peneliti di INOVASI, program kerja sama pendidikan antara pemerintah Indonesia dan Australia yang dikelola oleh Palladium International.
Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan INOVASI maupun afiliasinya.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>George Adam Sukoco adalah peneliti di INOVASI, program kerja sama pendidikan antara pemerintah Indonesia dan Australia yang dikelola oleh Palladium International.
Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan INOVASI maupun afiliasinya.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Hana Martha adalah peneliti di INOVASI, program kerja sama pendidikan antara pemerintah Indonesia dan Australia yang dikelola oleh Palladium International.
Artikel ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan INOVASI maupun afiliasinya.</span></em></p>Tutupnya sekolah selama setahun memperparah hilangnya hasil belajar (“learning loss”) murid terutama yang berasal dari kelompok rentan. Ini bisa mempertajam kesenjangan dan mengancam masa depan mereka.Senza Arsendy, Research and Learning Specialist, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)George Adam Sukoco, Monitoring and Evaluation Specialist, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)Hana Martha, Monitoring Evaluation Research Learning Officer, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1541632021-01-28T05:41:37Z2021-01-28T05:41:37ZDampak positif dan negatif pemberian izin pihak swasta untuk impor vaksin secara mandiri<p>Baru-baru ini para pengusaha mengusulkan pada pemerintah agar bisa melakukan impor vaksin COVID-19 mandiri untuk tidak hanya menjalankan program vaksinasi yang akan dilakukan terhadap <a href="https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5346653/minta-izin-jualan-vaksin-mandiri-pengusaha-harga-ditentukan-pemerintah"> karyawan mereka tapi juga alasan untuk menjualnya ke publik</a>.</p>
<p>Para pengusaha berdalih jika ini dilakukan demi <a href="https://finance.detik.com/industri/d-5345446/syarat-buat-para-pengusaha-yang-inginkan-vaksinasi-mandiri">mempercepat gerak roda perekonomian Indonesia</a>.</p>
<p>Untuk itu kami bertanya kepada dua peneliti untuk mengetahui apa yang bisa terjadi jika impor vaksin mandiri ini terlaksana.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/381004/original/file-20210128-13-khxb4x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/381004/original/file-20210128-13-khxb4x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/381004/original/file-20210128-13-khxb4x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/381004/original/file-20210128-13-khxb4x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/381004/original/file-20210128-13-khxb4x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/381004/original/file-20210128-13-khxb4x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/381004/original/file-20210128-13-khxb4x.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/person-getting-vaccinated-3985170/">Gustafofring/pexel</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Berpotensi sedikit mempercepat jangkauan vaksinasi</h2>
<p>Andree Surianta, peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), mengungkapkan dampak positif yang terlihat dengan melibatkan swasta adalah bisa mengurangi beban anggaran negara sambil melipatgandakan jangkauan vaksinasi. </p>
<p>“Jika distribusi hanya melibatkan puskesmas (pusat kesehatan masyarakat), rumah sakit pemerintah, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maka penambahan kapasitas swasta tentu bisa memperluas dan mempercepat,” ujar Andree. </p>
<p>Semakin banyak yang divaksinasi dan secepat mungkin pelaksanaannya, maka jumlah pasien yang perlu perawatan rumah sakit akan menurun. </p>
<p>Paling tidak, ini akan mengurangi beban biaya pengobatan COVID-19 yang ditanggung oleh Kementerian Kesehatan, ujarnya.</p>
<p>Rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk mengobati satu pasien COVID-19 di Indonesia adalah <a href="https://kesehatan.kontan.co.id/news/biaya-perawatan-covid-19-ri-termurah-rp-184-juta-termahal-rp-466-juta">Rp 184 juta, dengan rata-rata lama perawatan 16 hari rawat inap</a>.</p>
<p>Namun Andree juga menambahkan bahwa sebaiknya pemerintah jangan mencoba menghemat dengan mengurangi pemesanan vaksin ketika vaksin mandiri sudah diizinkan. </p>
<p>Pertimbangannya adalah belum pastinya permintaan vaksin mandiri dan pasokan vaksin global.</p>
<p>Jika vaksin mandiri ini hanya untuk karyawan perusahaan, potensi permintaan adalah sekitar <a href="http://www.depkop.go.id/uploads/laporan/1580223129_PERKEMBANGAN%20DATA%20USAHA%20MIKRO,%20KECIL,%20MENENGAH%20(UMKM)%20DAN%20USAHA%20BESAR%20(UB)%20TAHUN%202017%20-%202018.pdf">120 juta jiwa menurut data terbaru pada tahun 2018</a>. </p>
<p>Kelihatannya cukup signifikan tetapi perlu diingat bahwa ada 107 juta tenaga kerja yang bergabung di usaha mikro dan menjadi wiraswasta. Mereka tentu saja tidak memiliki akses terhadap vaksin yang disediakan perusahaan. </p>
<p>Jika bergantung pada perusahaan besar saja, maka kontribusi vaksin mandiri kurang dari 4 juta pekerja. </p>
<h2>Menimbulkan ketimpangan di masyarakat</h2>
<p>Sementara, Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan jika impor vaksin mandiri ini terjadi dan bahkan bisa dijual ke publik maka berpotensi akan menghasilkan ketimpangan di masyarakat.</p>
<p>“Efek negatifnya vaksin mandiri adalah hanya menguntungkan kelas menengah atas,” ujar Bhima.</p>
<p>Beberapa perusahaan mengusulkan untuk <a href="https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5346653/minta-izin-jualan-vaksin-mandiri-pengusaha-harga-ditentukan-pemerintah">menjual vaksin untuk umum dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah</a> selain memberikannya kepada karyawan mereka. </p>
<p>Tentunya jika ini terjadi, maka hanya kalangan menengah ke atas yang memiliki daya beli bisa membeli vaksin dengan tingkat efikasi atau efektivitas yang tinggi.</p>
<p>Sementara kalangan menengah ke bawah hanya bisa menunggu vaksin gratis dari pemerintah.</p>
<p>“Imbasnya pencegahan pandemi ke kelas bawah akan lebih lambat dibanding kelas atas,” ujar Bhima.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/381008/original/file-20210128-19-b0bpv4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/381008/original/file-20210128-19-b0bpv4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/381008/original/file-20210128-19-b0bpv4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/381008/original/file-20210128-19-b0bpv4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/381008/original/file-20210128-19-b0bpv4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/381008/original/file-20210128-19-b0bpv4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/381008/original/file-20210128-19-b0bpv4.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Ilustrasi botol vaksin.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.pexels.com/photo/person-holding-syringe-and-vaccine-bottle-3952241/">pexels cottonbro</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/">CC BY</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Pemerintah harus mempercepat vaksinasi massal</h2>
<p>Bhima menambahkan jika saat ini pemerintah seharusnya fokus dalam mempercepat program vaksinasi gratis agar menjangkau lebih banyak masyarakat. </p>
<p>“Saya sedikit kecewa melihat grafik distribusi vaksin ini flat atau stagnan,” kata Bhima.</p>
<p>Jumlah penerima vaksin COVID-19, khususnya tenaga medis, dinilai masih rendah. Pada pekan kedua vaksinasi, baru <a href="https://www.medcom.id/nasional/politik/5b2e2J6N-jokowi-harap-jumlah-penerima-vaksin-melonjak">250 ribu tenaga kesehatan disuntik</a> vaksin dari total target penerima 1,4 juta.</p>
<p>Sementara Andree melihat dari sisi pasokan, pemerintah perlu memperhatikan <a href="https://edition.cnn.com/2021/01/26/business/astrazeneca-pfizer-vaccine-delays-europe/index.html">pasokan vaksin</a> yang dalam tahap awal ini juga masih belum mulus. </p>
<p>Antrean pemesanan vaksin COVID-19 cukup panjang sedangkan kapasitas produksi di Cina masih dalam <a href="https://www.kompas.com/sains/read/2020/10/14/190200823/china-janjikan-vaksin-corona-tersedia-akhir-tahun-akankah-terpenuhi?page=all">proses peningkatan</a>. </p>
<p>Saat ini pemerintah sudah memesan vaksin untuk <a href="https://kumparan.com/kumparannews/mengapa-target-orang-ri-divaksin-corona-bertambah-dari-107-juta-jadi-181-juta-1usc9ZajMtN/full">164 juta jiwa dengan opsi menambah 167 juta lagi jika diperlukan</a>. Jadi pesanan pertama pun sebenarnya masih kurang dari target vaksinasi, yaitu minimal 181 juta orang. </p>
<p>Menurut Andree yang terpenting dalam program vaksinasi massal – baik gratis maupun berbayar – adalah bagaimana memastikan kekebalan populasi benar-benar tercapai karena tidak ada vaksin yang efektif 100%. </p>
<p>Selain memastikan pelaksanaan protokol kesehatan untuk terus menekan penularan, pemerintah juga perlu memantau tingkat kekebalan populasi secara berkala. </p>
<p>Vaksin bisa mempercepat pengendalian pandemi hanya jika kita tidak lengah dan terus melakukan pelaksanaan dan pemantauan berbagai kebijakan pengendalian pandemi secara konsisten.</p>
<p>“Vaksinasi hanyalah salah satu alat pengendalian pandemi. Jika berbagai kebijakan pengendalian pandemi yang sudah ada tidak dilaksanakan secara konsisten, maka keberadaan vaksin pun mungkin tidak terlalu berdampak terhadap pemulihan ekonomi,” ujar Andree.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/154163/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Vaksinasi mandiri bagi pengusaha hanya akan menjangkau kurang dari 4 juta pekerja dan jika dijual ke umum hanya akan menguntungkan kalangan menengah ke atas.Yessar Rosendar, Business + Economy (Indonesian edition)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1442262020-08-14T04:49:31Z2020-08-14T04:49:31ZSekolah berbahasa Inggris bukan selalu yang terbaik: pentingnya adopsi kearifan lokal<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/352863/original/file-20200814-22-qzlrg3.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">GettyImages</span> </figcaption></figure><p>Dewasa ini, penggunaan bahasa Inggris di dunia pendidikan sangatlah lazim. Ungkapan “<em>Bahasa Inggris adalah kunci kesuksesan!</em>” menjadi mantra yang dianut di mana-mana. </p>
<p>Bahkan, ada yang mengatakan bahwa bahasa Inggris sudah merupakan bahasa universal yang lebih diakui dibanding Bahasa Arab, China, Rusia, Spanyol, atau Perancis.</p>
<p>Tentunya dominasi ini sudah dimulai sejak berabad-abad yang lalu. Penguasaan banyak wilayah kolonial dan rute perdagangan internasional berujung membuat bahasa Inggris menjadi pilihan utama sistem pendidikan di berbagai negara. </p>
<p>Kini, pentingnya bahasa Inggris seakan telah menjadi suatu rahasia umum. Hal ini juga dijadikan pembenaran atas terjadinya globalisasi pendidikan, walaupun di saat yang sama mengorbankan sistem pendidikan yang lebih dulu ada di negara-negara yang tidak berbahasa Inggris.</p>
<p><a href="https://www.britishcouncil.id/en">British Council</a>, sebuah lembaga kebudayaan dan pendidikan internasional, adalah salah satu contoh dari hal tersebut. Institusi ini, misalnya, hadir di berbagai negara dan secara formal mendukung konsep “<em><a href="https://www.britishcouncil.org/sites/default/files/english-effect-report-v2.pdf">English effect</a></em>” - bahwa penguasaan bahasa Inggris sangat mempengaruhi capaian pendidikan dan prospek karir.</p>
<h2>Bahasa Inggris sebagai kunci meraih sukses?</h2>
<p>Ada beragam bentuk pendidikan berbahasa Inggris yang ditawarkan di banyak negara non-bahasa Inggris, dari lembaga kursus hingga lembaga pendidikan berstandar internasional.</p>
<p>Dalam beberapa kasus bahkan berbagai lembaga tersebut mendominasi sistem pendidikan secara menyeluruh ketimbang diintegrasikan dengan kurikulum yang ada.</p>
<p>Beberapa contoh yang sangat jelas adalah program-program pendidikan internasional seperti <a href="https://www.cambridgeassessment.org.uk/about-us/">Cambridge Assessment International</a> dan juga <a href="https://www.ibo.org/about-the-ib/">International Baccalaureate</a> (walaupun harus diakui bahwa mereka benar-benar ‘internasional’ karena menawarkan program dalam Bahasa Perancis dan Spanyol).</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/pendidikan-setelah-20-tahun-reformasi-97209">Pendidikan, setelah 20 tahun Reformasi</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Banyak sekolah juga menawarkan program-program yang memadukan kurikulum nasional dan internasional untuk menarik minat para orangtua (dan anak-anak mereka) yang ambisius. Contohnya adalah yang dilakukan oleh <a href="https://sisschools.org/">Singapore Intercultural School</a> di berbagai negara di Asia Tenggara.</p>
<h2>Bahasa dan ketimpangan kelas</h2>
<p>Di negara non-bahasa Inggris, kecintaan akan hal-hal yang berbau bahasa Inggris diperkenalkan sejak anak-anak melalui budaya pop, film Hollywood, program di TV, merk makanan cepat saji, hingga acara olahraga.</p>
<p>Seiring mereka dewasa, kemampuan berbahasa Inggris dan kualifikasi pendidikan internasional yang memadai membuat mereka mampu melanjutkan kuliah di negara berbahasa Inggris serta meraih peluang kerja di dalam dan luar negeri.</p>
<p>Masalahnya, kesempatan tersebut tidak berlaku secara merata bagi seluruh kelompok sosio-ekonomi yang ada. Pendidikan global berbahasa Inggris kebanyakan diperuntukkan bagi anak-anak dari golongan menengah ke atas. </p>
<p>Ini menyebabkan adanya ketimpangan antara mereka yang mampu meraih ekosistem pendidikan global berbahasa Inggris dengan mereka yang terjebak dalam sistem pendidikan yang tidak menawarkan kesempatan itu.</p>
<p>Kelompok yang kedua hanya mampu mengakses kurikulum nasional, dan juga kenyataan bahwa mobilitas sosial hanyalah impian yang sulit dicapai.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Indonesian schoolgirls outside a building" src="https://images.theconversation.com/files/351486/original/file-20200806-24-1yvf3l6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/351486/original/file-20200806-24-1yvf3l6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/351486/original/file-20200806-24-1yvf3l6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/351486/original/file-20200806-24-1yvf3l6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=401&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/351486/original/file-20200806-24-1yvf3l6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/351486/original/file-20200806-24-1yvf3l6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/351486/original/file-20200806-24-1yvf3l6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Peserta didik di Sulawesi: apakah ketimpangan penguasaan bahasa berakar dari ketimpangan kelas?</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Pelajaran dari Indonesia</h2>
<p>Indonesia adalah salah satu contoh yang baik untuk kasus ini. Dengan populasi sekitar 268 juta jiwa, akses untuk kurikulum pendidikan berbahasa Inggris terbatas bagi mereka yang tinggal di wilayah urban dan keluarga kelas menengah yang mampu mengeluarkan biaya untuk sekolah swasta.</p>
<p><a href="http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/UU20-2003Sisdiknas.pdf">Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003</a> sebenarnya memberikan mandat kepada pemerintah daerah untuk menyediakan minimal satu sekolah negeri dengan standar kurikulum internasional yang berbahasa Inggris. Namun, pada tahun 2013 aturan tersebut <a href="https://mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=7967">dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi</a> yang memutuskan bahwa semua sekolah negeri seharusnya memberikan kesempatan yang sama, tanpa membedakan latar belakang sosial ekonomi siswa.</p>
<p>Meski begitu, saat ini ada setidaknya 219 sekolah swasta yang menawarkan kurikulum internasional Cambridge, dan 38 di antaranya adalah sekolah Islam. Kurikulum pendidikan khas dunia Barat nampaknya masih punya pengaruh besar dalam menentukan standar pendidikan yang berkualitas.</p>
<p>Bahkan pada sekolah swasta Islam yang mengadopsi kurikulum global berbahasa Inggris, ada kecenderungan untuk terlalu fokus pada prestasi akademik. Akibatnya, pentingnya nilai-nilai تَرْبِيَة (<em>Tarbiya</em>) menjadi memudar.</p>
<p>Sebagai pilar utama pendidikan Islam, تَرْبِيَة (Tarbiya) mencakup seluruh pengembangan potensi seorang anak. Berdasarkan pandangan ini, maka sekolah juga akan kehilangan aspek budaya dan nilai agama, jika hanya memperhatikan aspek akademik saja. </p>
<h2>Belajar bukan melulu soal akademik</h2>
<p>Aspek akademik yang diukur dengan pengetahuan dan ketrampilan tentu masih sangat penting dan merupakan sumber kepuasan pribadi. Namun, tanpa keseimbangan budaya dan pengembangan karakter positif, menurut kami pendidikan kehilangan makna yang lebih mendalam. </p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-belajar-bahasa-inggris-sejak-usia-dini-tidak-selalu-lebih-baik-137603">Mengapa belajar bahasa Inggris sejak usia dini tidak selalu lebih baik</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pendidikan karakter sendiri pada tahun 2018 dirumuskan oleh pemerintah Indonesia ke dalam <a href="https://jdih.kemdikbud.go.id/arsip/Permendikbud_Tahun2018_Nomor20.pdf">18 nilai yang penting</a> untuk dimiliki peserta didik: religiusitas, kejujuran, toleransi, kedisiplinan, kerja keras, kreativitas, kemandirian, jiwa demokrasi, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, kecintaan pada tanah air, sikap menghargai prestasi, jiwa persahabatan, rasa cinta damai, kegemaran membaca, perhatian terhadap lingkungan, kepedulian sosial dan rasa tanggungjawab.</p>
<p>Hal ini kemudian disederhanakan menjadi lima unsur pendidikan karakter: agama, nasionalisme, gotong royong, kemandirian, serta kejujuran.</p>
<p>Semua ini belum tentu terukur oleh cara-cara konvensional yang empiris, berbahasa Inggris, dan fokus pada standar dunia Barat. Kita harus bertanya, apakah sudah saatnya untuk menimbang kembali internasionalisasi pendidikan (tidak hanya di Asia Tenggara)? Apakah internasionalisasi pendidikan, setidaknya yang berbahasa Inggris, kini sudah berlebihan? </p>
<p>Bukankah ini adalah saat yang tepat untuk melihat lebih dekat ragam bentuk pendidikan di berbagai masyarakat tidak berbahasa Inggris? Berbagai sistem pendidikan ini berdiri di atas tatanan nilai yang berbeda dan mendefinisikan sukses secara berbeda pula.</p>
<p>Sangat disayangkan bahwa banyak sekolah menganggap model pendidikan bahasa Inggris sebagai standar emas dan memandang sebelah mata kearifan lokal di mana mereka berada. Perlu kita ingat bersama bahwa mendorong generasi muda untuk bergabung dengan kaum elit berbahasa Inggris yang sekolah di universitas asing, hanyalah sebagian kecil dari beragam opsi pendidikan yang ada.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/144226/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Para penulis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pentingnya bahasa Inggris telah mengakibatkan globalisasi pendidikan berjalan satu arah. Padahal, berbagai sistem pendidikan lain memiliki tatanan nilai yang berbeda yang perlu dipertimbangkan.Stephen Dobson, Professor and Dean of Education, Te Herenga Waka — Victoria University of WellingtonMuhammad Zuhdi, Adjunct Research Fellow Victoria University of Wellington; Head of the Quality Assurance Institute and Senior Lecturer, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah JakartaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1403792020-06-10T09:25:32Z2020-06-10T09:25:32ZCoronavirus mingguan: rasisme, COVID-19, dan ketimpangan yang memicu munculnya ‘pandemi’ paralel lainnya<p>Protes-protes terhadap rasisme sistemis dan kebrutalan polisi yang sedang <a href="https://www.nytimes.com/2020/06/06/world/george-floyd-global-protests.html">melanda dunia</a> menunjukkan adanya persinggungan antara <a href="https://www.nbcnews.com/news/us-news/new-york-protesters-say-they-are-facing-two-deadly-pandemics-n1225241">dua pandemi</a>: COVID-19 dan <a href="https://theconversation.com/george-floyd-and-ahmaud-arbery-deaths-racism-causes-life-threatening-conditions-for-black-men-every-day-120541">rasisme</a>. Para peneliti telah mengatakan bahwa ketimpangan struktural membuat orang dengan kulit berwarna akan mendapatkan dampak yang lebih buruk dari coronavirus.</p>
<p>Para politisi juga khawatir jika protes-protes yang dilakukan dapat memicu peningkatan penyebaran COVID-19. Maka dari itu, para pakar kesehatan masyarakat memberikan <a href="https://theconversation.com/how-to-protest-during-a-pandemic-and-still-keep-everyone-safe-from-coronavirus-6-questions-answered-139978">beberapa tips</a> agar protes dapat dilakukan dengan aman.</p>
<p>Selain itu, ketika <a href="https://www.nytimes.com/2020/06/08/opinion/brazil-coronavirus-bolsonaro.html">banyak negara</a> sedang berjuang menghadapi angka kasus COVID-19 yang kian meningkat, Selandia Baru mengumumkan bahwa mereka telah berhasil <a href="https://theconversation.com/new-zealand-hits-zero-active-coronavirus-cases-here-are-5-measures-to-keep-it-that-way-139862">memberantas coronavirus</a>, dan sekarang berfokus untuk tetap mempertahankan keberhasilan ini.</p>
<p>Dalam kompilasi artikel-artikel coronavirus dari berbagai peneliti di seluruh dunia, kami menjabarkan dampak-dampak yang kurang terekspos dari COVID-19, kesuksesan Selandia Baru, dan uji coba terbaru untuk obat coronavirus.</p>
<hr>
<figure class="align-right ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/320716/original/file-20200316-18073-ruhw8b.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
</figcaption>
</figure>
<p><strong><em>Ini adalah kumpulan informasi mingguan kami dari para ahli tentang <a href="https://theconversation.com/topics/covid-19-82431">coronavirus</a>.</em></strong>
<br><em>The Conversation, adalah sebuah kelompok nirlaba, bekerja dengan berbagai akademisi di seluruh jaringan globalnya. Bersama-sama kami menghasilkan analisis dan pandangan berbasis bukti. Artikel-artikel ini gratis untuk dibaca - tidak ada pembayaran apa pun - dan <a href="http://theconversation.com/republishing-guidelines">bisa diterbitkan ulang</a>. Tetap perbarui informasi dengan riset terbaru dengan <a href="http://theconversation.com/newsletter">membaca nawala gratis kami</a>.</em></p>
<hr>
<h2>Pandemi mengungkap ketimpangan</h2>
<p>Pandemi di masa lalu telah mengekspos ketimpangan yang ada, dan pandemi yang ini juga tidak berbeda. Para ahli kami menjelaskan mengapa COVID-19 berdampak lebih besar bagi orang-orang kulit berwarna dan kelompok-kelompok terpinggirkan lainnya. </p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1267455096021024768"}"></div></p>
<ul>
<li><p><strong>Dampak yang tidak seimbang</strong>. Di Amerika Serikat, angka kematian orang kulit hitam lebih tinggi 3 kali lipat dibanding orang kulit putih. Sedangkan di Inggris, orang kulit hitam 4 kali lipat lebih rentan meninggal akibat COVID-19, jika dibandingkan dengan warga negara berkulit putih. Sejarawan di bidang medis, Mark Honigsbaum, menulis tentang <a href="https://theconversation.com/epidemics-have-often-led-to-discrimination-against-minorities-this-time-is-no-different-140189">hubungan antara pandemi dan ketimpangan</a>. </p></li>
<li><p><strong>Keadilan sosial sangat penting di bidang kesehatan</strong>. Menurut sebuah <a href="https://theconversation.com/doctors-cant-treat-covid-19-effectively-without-recognizing-the-social-justice-aspects-of-health-138787">tim interdisipliner</a> yang terdiri dari peneliti-peneliti kesehatan di Amerika Serikat, rasisme sistemis telah mengakibatkan berbagai kelompok terpinggirkan mengalami kesulitan dalam mengakses berbagai fasilitas yang berpengaruh terhadap kesehatan mereka. menurut seorang peneliti dari Rwanda’s University of Global Health Equity, para dokter <a href="https://theconversation.com/covid-19-shows-the-world-needs-physicians-who-can-look-beyond-medical-charts-138460">harus dilatih</a> untuk mengerti penyebab masalah kesehatan karena problem sosial, agar dapat mengatasi berbagai masalah seperti COVID-19. </p></li>
<li><p><strong>Melakukan protes dengan aman</strong>. Para ahli kesehatan masyarakat khawatir jika protes-protes yang sedang terjadi dapat meningkatkan penyebaran COVID-19. Seorang peneliti pada bidang pencegahan infeksi di Monash University memberikan <a href="https://theconversation.com/can-you-socially-distance-at-a-black-lives-matter-rally-in-australia-and-new-zealand-how-to-protest-in-a-coronavirus-pandemic-139875">beberapa tips</a> yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko penularan ketika sedang turun ke jalan. </p></li>
<li><p><strong>“Ketakutan akan apa yang orang lain pikirkan ketika melihat orang kulit hitam menggunakan masker.”</strong>
Walaupun penggunaan masker terbukti dapat meningkatkan keamanan di tengah pandemi ini, orang-orang kulit hitam dan kelompok-kelompok minoritas lainnya sering kali mengalami kekerasan berbasis rasisme dan diskriminasi ketika menggunakannya. Jasmin Zine seorang peneliti dari Wilfrid Laurier University menyelidiki aspek <a href="https://theconversation.com/unmasking-the-racial-politics-of-the-coronavirus-pandemic-139011">politik rasial dari penggunaan masker</a>. </p></li>
<li><p><strong>Kekurangan air bersih</strong>. Air bersih merupakan elemen penting dalam pengendalian infeksi, karena digunakan untuk menjaga kebersihan dan mencuci tangan. Namun, <a href="https://theconversation.com/covid-19-heightens-water-problems-around-the-world-140167">berdasarkan penelitian</a> dari National University of Singapore dan University of Glasgow, masih banyak orang yang tidak dapat mengakses air berkualitas, terutama mereka yang tinggal di permukiman kumuh dan kamp-kamp pengungsi. </p></li>
</ul>
<h2>Selandia Baru berhasil memberantas coronavirus</h2>
<p>Selandia Baru telah mencapai sebuah tonggak sejarah baru. Saat ini, negara tersebut tidak memiliki kasus coronavirus aktif, dan telah mencabut hampir semua larangan-larangan yang berhubungan dengan coronavirus. Dua ahli kesehatan masyarakat terkemuka dibalik kesuksesan itu sekarang menjelaskan bahwa tantangannya adalah mempertahankan keberhasilan ini. Sementara itu, di seberang Laut Tasman, para ahli memetakan bagaimana perjalanan Australia dalam mengendalikan virus.</p>
<ul>
<li><p><strong>Melakukan perayaan dengan hati-hati</strong>. Selandia Baru telah berhasil memberantas COVID-19. Namun, pemberantasan virus bukanlah sebuah sesuatu yang jika berhasil dapat ditinggalkan begitu saja: pemberantasan virus merupakan tugas jangka panjang yang harus tetap dijalankan. Dua profesor di bidang kesehatan masyarakat dari University of Otago <a href="https://theconversation.com/new-zealand-hits-zero-active-coronavirus-cases-here-are-5-measures-to-keep-it-that-way-139862">membahas 5 cara</a> yang dapat dilakukan oleh Selandia Baru untuk mempertahankan keberhasilan ini dalam jangka panjang. </p></li>
<li><p><strong>Kasus-kasus tanpa gejala</strong>. Berdasarkan sebuah<a href="https://theconversation.com/new-zealand-hits-a-95-chance-of-eliminating-coronavirus-but-we-predict-new-cases-will-emerge-139973">model yang dibuat oleh tim peneliti interdisipliner</a>, penghapusan larangan-larangan yang berkaitan dengan coronavirus di Selandia Baru meningkatkan terjadinya wabah baru sebesar 8%. Hal ini dapat terjadi karena adanya kasus-kasus tanpa gejala yang tersembunyi, yang tidak dapat terungkap tanpa adanya pengetesan. </p></li>
<li><p><strong>Kesuksesan Australia</strong>. Di sisi lain perairan Tasman, respons Australia terhadap coronavirus merupakan salah satu respons yang paling sukses di seluruh dunia. Namun, beberapa wabah kecil masih tetap terjadi. Steven Duckett dan Anika Stobart dari Grattan Institute menjelaskan <a href="https://theconversation.com/4-ways-australias-coronavirus-response-was-a-triumph-and-4-ways-it-fell-short-139845">empat faktor dibalik kesuksesan Australia</a> dalam menanggapi virus ini, dan juga empat cara yang menunjukkan respons Australia bisa lebih baik lagi. </p></li>
<li><p><strong>Pengetesan adalah kunci</strong>. Berdasarkan seorang peneliti dari University of Sydney yang <a href="https://theconversation.com/cases-deaths-and-coronavirus-tests-how-australia-compares-to-the-rest-of-the-world-139753">meneliti data di seluruh dunia</a>, kesuksesan Selandia Baru dan Australia terletak pada tingginya jumlah pengetesan per seribu orang. Bahrain, Qatar, Lithuania dan Denmark merupakan negara-negara yang tingkat pengujian per seribu orang yang paling tinggi di dunia.</p></li>
</ul>
<h2>Kabar terbaru mengenai uji coba obat, penyebaran virus, dan pelacakan kontak</h2>
<p>Ketika dunia sedang menunggu vaksin coronavirus yang kemungkinan tidak dapat ditemukan dalam waktu yang dekat, penelitian intensif tetap dilakukan untuk mencari obat yang mungkin dapat mengobati COVID-19. Uji coba hidroksikloroquin, sebuah obat anti-malaria yang diusulkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, masih tetap dianggap kontroversial hingga saat ini. </p>
<ul>
<li><p><strong>Sebuah studi ditarik kembali</strong>. Satu penelitian sebelumnya sempat menjadi berita utama dunia setelah penelitian tersebut menyimpulkan bahwa hidroksikloroquin dan obat lainnya yang berkaitan dengan klorokuin telah <a href="https://theconversation.com/could-taking-hydroxychloroquine-for-coronavirus-be-more-harmful--%20than-helpful-139309">meningkatkan risiko kematian</a>. Namun, penelitian ini telah <a href="https://www.thelancet.com/lancet/article/s0140673620313246">ditarik kembali</a> oleh sebuah jurnal medis bergengsi, The Lancet, karena keraguan atas data-data yang digunakan. Beberapa uji klinis telah dihentikan sementara, sedangkan beberapa penelitian masih berlanjut.</p></li>
<li><p><strong>Sejarah uji klinis</strong>. Konsep uji klinis mungkin merupakan hal baru bagi banyak orang, namun, konsep ini faktanya memiliki sejarah kuno. Salah satu eksperimen uji coba klinis pertama kali dilakukan di Cina, hampir 1.000 tahun yang lalu, menurut <a href="https://theconversation.com/the-fascinating-history-of-clinical-trials-139666">tulisan oleh Adrian Esterman</a> dari University of South Australia.</p></li>
<li><p><strong>Apakah akan gagal?</strong>. Virus SARS akhirnya menghilang pada tahun 2004. Namun, Connor Bamford, seorang virolog dari Queen’s University Belfast mengatakan bahwa karena penyebaran coronavirus yang jauh lebih cepat dibanding SARS, <a href="https://theconversation.com/the-original-sars-virus-disappeared-heres-why-coronavirus-wont-do-the-same-138177">COVID-19 sulit untuk sepenuhnya menghilang</a>. Bahkan, ia mengatakan jika virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan COVID-19, mungkin menjadi virus endemi yang mengendap pada populasi manusia.</p></li>
<li><p><strong>Pelacakan kontak bukanlah hal yang baru</strong>. Pelacakan kontak telah menjadi salah satu sarana dalam mengendalikan COVID-19 yang digunakan oleh banyak negara. Dua orang peneliti dari University of Glasgow membahas sejarah dibalik ide ini, dan bagaimana pelacakan kontak juga digunakan untuk <a href="https://theconversation.com/contact-tracing-how-physicians-used-it-500-years-ago-to-control-the-bubonic-plague-139248">menangani wabah pes</a> yang terjadi 500 tahun yang lalu. </p></li>
<li><p><strong>Risiko pengembangan</strong>. Wanita hamil mengalami kecemasan dan gejala depresi yang lebih besar sejak adanya pandemi ini. <a href="https://theconversation.com/covid-19-hausse-des-problemes-de-sante-mentale-chez-les-femmes-enceintes-139358">Hal ini dapat memengaruhi perkembangan janin</a>, tulis Berthelot Nicolas dari University of Quebec (dalam bahasa Prancis).</p></li>
</ul>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/340472/original/file-20200609-165383-1636h87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/340472/original/file-20200609-165383-1636h87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/340472/original/file-20200609-165383-1636h87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/340472/original/file-20200609-165383-1636h87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/340472/original/file-20200609-165383-1636h87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/340472/original/file-20200609-165383-1636h87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/340472/original/file-20200609-165383-1636h87.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Kontroversi mengenai hidroksikloroquin memanas setelah The Lancet menarik kembali sebuah studi yang mengklaim bahwa obat anti malaria meningkatkan risiko kematian.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span>
</figcaption>
</figure>
<hr>
<p><a href="https://theconversation.com/newsletter"><img src="https://images.theconversation.com/files/320030/original/file-20200312-116261-a6ugi0.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=90&fit=crop&dpr=2" alt="Sign up to The Conversation" width="100%"></a></p>
<p><em>Dapatkan berita terbaru dan nasehat untuk <a href="https://theconversation.com/uk/covid-19">COVID-19</a>, langsung dari para ahli di inbox Anda. Bergabunglah dengan ribuang orang yang telah mempercayai para ahli dengan <strong><a href="https://theconversation.com/newsletter">mendaftar ke newsletter kami</a></strong>.</em></p>
<hr>
<p><em>Artikel ini didukung oleh <a href="https://theconversation.com/au/partners/judith-neilson-institute">Judith Neilson Institute for Journalism and Ideas</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/140379/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
Para ahli kami melihat bagaimana orang dengan kulit berwarna terdampak lebih keras oleh COVID-19, kesuksesan Selandia Baru dalam melenyapkan virus ini, dan yang terbaru untuk uji klinis.Liam Petterson, Deputy Politics Editor, The Conversation AustraliaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1365342020-05-02T11:59:28Z2020-05-02T11:59:28ZRiset dampak COVID-19: potret gap akses online ‘Belajar dari Rumah’ dari 4 provinsi<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/332099/original/file-20200502-42962-zm4pwv.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Orang tua mengajari anaknya pelajaran sekolah di rumah selama pandemi COVID-19 di Sumba Nusa Tenggara Timur, awal April 2020.</span> <span class="attribution"><span class="source">INOVASI/Author provided</span></span></figcaption></figure><p><em>Artikel diterbitkan untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei.</em></p>
<p>Sekitar <a href="https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/05/02/berapa-jumlah-peserta-didik-indonesia">25 juta anak sekolah dasar</a> di Indonesia kini belajar di bawah ancaman pandemi COVID-19. </p>
<p><a href="https://en.unesco.org/covid19/educationresponse">Seperti dilakukan oleh banyak negara</a>, untuk mencegah penularan virus corona di sekolah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan <a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/03/se-mendikbud-pelaksanaan-kebijakan-pendidikan-dalam-masa-darurat-penyebaran-covid19">surat edaran bertanggal 24 Maret 2020 yang mengatur pelaksanaan pendidikan pada masa darurat penyebaran coronavirus</a>). Kebijakan “<a href="https://edukasi.kompas.com/read/2020/04/14/163041771/apa-itu-belajar-dari-rumah-melihat-kembali-konsep-awal?page=all">Belajar dari Rumah</a>” ini tepat untuk mencegah penyebaran COVID-19 di lingkungan sekolah, namun survei awal dan terbatas kami menunjukkan implementasinya masih beragam di lapangan.</p>
<p>Masih terbatasnya <a href="https://theconversation.com/gagap-3-aspek-vital-kuliah-online-di-tengah-covid-19-bisa-perparah-gap-akses-pembelajaran-bermutu-bagi-mahasiswa-miskin-134933">kepemilikan komputer/laptop dan akses internet</a>, misalnya, merupakan masalah utama yang berdampak pada tidak meratanya akses pembelajaran <em>online</em>. Temuan ini sama dengan yang terjadi di negara maju seperti di <a href="https://www.vox.com/2020/4/9/21200159/coronavirus-school-digital-low-income-students-covid-new-york">Amerika Serikat</a>, <a href="https://blogs.lse.ac.uk/politicsandpolicy/home-schooling-covid-19/">Inggris</a>, juga negara tetangga <a href="https://www.straitstimes.com/lifestyle/how-home-based-learning-hbl-shows-up-inequality-in-singapore-a-look-at-three-homes">Singapura</a>.</p>
<p>Pada awal April lalu, kami dari <a href="https://www.inovasi.or.id/id/">Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)</a> melakukan riset untuk mengetahui implementasi kebijakan “Belajar dari Rumah”. Kami mensurvei sekitar 300 orang tua siswa sekolah dasar di 18 kabupaten dan kota di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Utara (Kaltara), dan Jawa Timur. </p>
<p>Survei kami menunjukkan adanya ketimpangan akses media pembelajaran, yang semakin dalam antara anak-anak dari keluarga ekonomi mampu dan kurang mampu. Kami juga menemukan bahwa hanya sekitar 28% responden yang menyatakan anak mereka belajar dengan menggunakan media daring. </p>
<p>Terkait peran orang tua, kelompok ibu menyediakan waktu lebih banyak (2-3 jam per hari) dibandingkan kaum ayah (kurang dari 1 jam) dalam mendampingi anak belajar dari rumah.</p>
<h2>Mayoritas orang tua melek informasi belajar dari rumah</h2>
<p>Sebagian besar responden riset ini berasal dari <a href="https://www.inovasi.or.id/id/apa-yang-kita-lakukan/pilots/">sekolah-sekolah mitra program INOVASI</a>. Mereka merupakan orang tua siswa di kelas dasar. Umumnya, responden memiliki akses internet dan ponsel. Dilihat dari latar belakang pekerjaan dan pendidikan, responden dari kelas ekonomi mampu lebih banyak dibandingkan dari ekonomi miskin. </p>
<p>Dari sisi penyebaran informasi kebijakan “Belajar dari Rumah”, 95% orang tua mengatakan sekolah anak mereka sudah menerapkan kebijakan tersebut.</p>
<p>Walaupun kebijakan nasional resmi baru terbit 24 Maret 2020, 76% orang tua mengatakan sekolah telah mengimplementasikan kebijakan itu lebih awal, minggu ketiga (16-22). Fakta ini menunjukkan bahwa Dinas Kabupaten dan Kota,<a href="https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2018/11/berbagi-kewenangan-pendidikan-antara-pemerintah-pusat-dan-daerah"> yang berwenang mengurus pendidikan anak usia dini hingga sekolah menengah pertama</a>, telah mengambil keputusan meskipun regulasinya belum terbit. </p>
<h2>Penggunaan media belajar <em>offline</em> lebih dominan</h2>
<p>Hanya sekitar 28% yang menyatakan bahwa anak mereka belajar dengan menggunakan media daring baik menggunakan media konferensi belajar maupun menggunakan aplikasi belajar <em>online</em>.</p>
<iframe title="Persentase metode belajar online versus offline selama belajar dari rumah" aria-label="Stacked Column Chart" src="https://datawrapper.dwcdn.net/UFl6M/1/" scrolling="no" frameborder="0" style="border: none;" width="100%" height="400"></iframe>
<p>Sebaliknya, penggunaan media belajar <em>offline</em> dengan menggunakan buku dan lembar kerja siswa adalah metode yang dominan (66%) digunakan oleh guru. Sisanya, yaitu sekitar 6% orang tua mengatakan tidak ada pembelajaran selama siswa diminta belajar dari rumah.</p>
<p>Ditinjau dari provinsi, semakin terpencil provinsi tersebut, maka semakin kecil persentase siswa yang mendapatkan pembelajaran via online. Di Jawa Timur, 40% responden menyatakan anak mereka mendapatkan pembelajaran daring. Di NTB pembelajaran online kurang dari 10% dan di NTT kurang dari 5%. Selebihnya melalui <em>offline</em> buku dan lembar kerja siswa. </p>
<h2>Anak diberi banyak tugas oleh guru</h2>
<p>Untuk siswa yang belajar dengan media daring, semua siswa mendapatkan tugas yang harus diselesaikan, 87% siswa memperoleh manfaat dari penyampaian materi oleh guru. Namun hanya 65% siswa yang mendapatkan kesempatan sesi tanya jawab antara siswa dan guru. </p>
<p>Penugasan ini mungkin erat kaitannya dengan beban kurikulum yang harus dipenuhi oleh guru. Meski demikian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebenarnya sudah membebaskan guru dari tuntutan capaian kurikulum baik untuk kenaikan kelas maupun kelulusan. </p>
<h2>Pengaruh pekerjaan dan pendidikan orang tua ke akses belajar online</h2>
<p>Latar belakang pendidikan orang tua dan ekonomi cenderung berkontribusi pada kepemilikan akses belajar <em>online</em>. </p>
<p>Anak-anak yang belajar dengan menggunakan media daring rata-rata memiliki orang tua yang bekerja sebagai karyawan pemerintah (39%) dan wiraswasta (26%), serta latar belakang pendidikan minimal S1 (34%) dan SMA (43%).</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/332085/original/file-20200502-42946-16kzxnc.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/332085/original/file-20200502-42946-16kzxnc.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=380&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/332085/original/file-20200502-42946-16kzxnc.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=380&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/332085/original/file-20200502-42946-16kzxnc.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=380&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/332085/original/file-20200502-42946-16kzxnc.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=477&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/332085/original/file-20200502-42946-16kzxnc.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=477&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/332085/original/file-20200502-42946-16kzxnc.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=477&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sebaliknya, anak-anak yang sama sekali tidak diberikan tugas oleh sekolah mayoritas berasal dari mereka yang orang tuanya bekerja sebagai petani (47%) dan berpendidikan SD (47%). Artinya, anak-anak dari kelompok rentan lebih banyak yang tidak belajar dibandingkan anak-anak yang berasal dari keluarga ekonomi mampu.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/332086/original/file-20200502-42918-v1g83i.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/332086/original/file-20200502-42918-v1g83i.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=358&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/332086/original/file-20200502-42918-v1g83i.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=358&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/332086/original/file-20200502-42918-v1g83i.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=358&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/332086/original/file-20200502-42918-v1g83i.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=450&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/332086/original/file-20200502-42918-v1g83i.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=450&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/332086/original/file-20200502-42918-v1g83i.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=450&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption"></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Meskipun belum berjalan ideal, sebagian besar orang tua tetap dapat merasakan dampak positif dari kebijakan ini. </p>
<p>Mereka menyatakan anak-anak menjalankan hidup lebih sehat dan mandiri (62%), memiliki pengetahuan lebih banyak tentang kesehatan, termasuk COVID-19 (61%), lebih sering membantu orang tua (56%), dan memiliki kesempatan lebih banyak untuk mempelajari keterampilan hidup seperti mencuci, memasak, dan sejenisnya (53%). </p>
<h2>Ibu lebih banyak mendampingi anak ketimbang ayah</h2>
<p>Selain aspek pekerjaan dan pendidikan, ditemukan juga perbedaan kontribusi orang tua pada pendampingan selama anak belajar dari rumah. Walaupun pendidikan di rumah menjadi tanggung jawab kedua orang tua, ibu lebih banyak mengalokasikan waktu dibandingkan ayah. </p>
<iframe title="Persentase waktu ayah dan ibu mendampingi anak belajar dari rumah" aria-label="Stacked Bars" src="https://datawrapper.dwcdn.net/JN4XV/2/" scrolling="no" frameborder="0" style="border: none;" width="100%" height="257"></iframe>
<p>Dalam sehari, mayoritas ibu (33%) menghabiskan sebanyak 2-3 jam, dibandingkan mayoritas ayah (44%) yang menghabiskan sekitar kurang dari satu jam untuk melakukan aktivitas seperti berkomunikasi dengan guru, mendampingi proses belajar anak, membantu anak memahami materi, dan menyediakan alat pendukung pembelajaran. </p>
<p>Ibu yang mendampingi anak 3 sampai lebih dari 4 jam, jumlahnya 3 kali lipat dari ayah. </p>
<h2>Apa yang bisa dilakukan?</h2>
<p>Beberapa orang tua menyarankan agar ada upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran jarak jauh. Misalnya, memperbanyak sesi penyampaian materi (tidak sebatas tugas), <a href="https://theconversation.com/tiga-langkah-strategis-untuk-dukung-budaya-pembelajaran-daring-pasca-covid-19-135337">pemberian pelatihan tambahan untuk guru terkait penguasaan teknologi</a>, dan menyediakan akses internet yang lebih merata.</p>
<p>Mengingat pengadaan infrastruktur internet tidak bisa dilakukan cepat, maka untuk mereka yang berada di daerah dengan keterbatasan internet dan terpencil tapi belum masuk zona merah dan kuning COVID-19 pemerintah daerah bisa memberdayakan komunitas desa seperti Taman Bacaan Masyarakat (TBM), kelompok pemuda, pengurus Posyandu atau PKK, dan perangkat desa. </p>
<p>Tentu cara ini tetap harus memperhatikan prosedur yang aman dari risiko tertular COVID-19.</p>
<p>Jika diperlukan, sumber daya yang dimiliki pemerintah desa juga bisa digunakan untuk penyediaan buku bacaan, internet gratis, dan kebutuhan nutrisi anak.</p>
<p>Kementerian Pendidikan telah mengizinkan sekolah menggunakan <a href="https://www.kompas.com/edu/read/2020/04/15/170956671/kepala-sekolah-sekarang-bisa-pakai-dana-bos-untuk-pulsa-dan-kuota-internet">Biaya Operasional Sekolah (BOS) untuk membeli paket pulsa dan akses internet</a>. Kebijakan ini diharapkan dapat membantu proses belajar jarak jauh baik bagi guru maupun siswa. Selain sekolah, pemerintah desa juga bisa membantu guru dan siswa untuk mendapatkan akses internet atau kebutuhan lain untuk mengajar dan belajar.</p>
<p>Selain itu, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi perlu mendukung upaya tersebut dengan regulasi yang fleksibel.</p>
<p>Untuk mengantisipasi ketimpangan, saat ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menyediakan pembelajaran <a href="https://tirto.id/jadwal-tvri-belajar-dari-rumah-kemdikbud-tayang-mulai-13-april-2020-eMHw">melalui TVRI </a> dan <a href="https://www.cnbcindonesia.com/tech/20200414141510-37-151813/selain-tvri-rri-juga-sediakan-program-belajar-dari-rumah">RRI</a> mulai 13 April lalu. Pendekatan ini diharapkan bisa menjangkau lebih banyak siswa. </p>
<p>Program ini juga harus bisa mengakomodasi kepentingan anak berkebutuhan khusus, seperti penggunaan bahasa isyarat.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/136534/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Senza Arsendy terlibat dalam riset ini sebagai bagian dari program kerja sama pendidikan antara pemerintah Indonesia dan Australia yang dikelola oleh Palladium International dan dibiayai pemerintah Australia.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>George Adam Sukoco terlibat dalam riset ini sebagai bagian dari program kerja sama pendidikan antara pemerintah Indonesia dan Australia yang dikelola oleh Palladium International dan dibiayai pemerintah Australia.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Rasita Ekawati Purba terlibat dalam riset ini sebagai bagian dari program kerja sama pendidikan antara pemerintah Indonesia dan Australia yang dikelola oleh Palladium International dan dibiayai pemerintah Australia.</span></em></p>Ditinjau dari provinsi, semakin terpencil provinsi tersebut, maka semakin kecil persentase siswa yang mendapatkan pembelajaran via online.Senza Arsendy, Researcher, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)George Adam Sukoco, Research Officer, Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)Rasita Ekawati Purba, Monitoring, Evaluation, Research and Learning Manager (MERL Manager), Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1223942019-08-28T04:48:46Z2019-08-28T04:48:46ZBagaimana teknologi bisa dipakai untuk membongkar penyebab ketidaksetaraan di perkotaan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/289655/original/file-20190827-184211-1ncc1g0.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Penelitian di Hamilton Kanada memicu studi tentang ketidaksetaraan di perkotaan dengan pendekatan teknologi .</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock </span></span></figcaption></figure><p>Ketidaksetaraan di perkotaan belum dapat dihilangkan dengan kemajuan teknologi, dan untuk beberapa kasus, <a href="https://doi.org/10.1177%2F0018726708094911">perangkat digital kita dan dampak ekonominya justru meningkatkan ketimpangan</a>. Namun, kemajuan teknologi dan perangkatnya dapat meningkatkan pemahaman kita tentang ketidaksetaraan.</p>
<p>Sejak 2011, saya terlibat dalam penelitian dan pengajaran perencanaan kota di Universitas Waterloo Kanada. Riset PhD saya memasukkan penelitian sosial-spasial yang analitis untuk menyoroti kemungkinan <a href="https://www.nibib.nih.gov/science-education/science-topics/computational-modeling">pemodelan komputasi</a> dalam membantu kita memahami ketidaksetaraan di perkotaan.</p>
<h2>Pelajaran dari Hamilton</h2>
<p>Pada pertengahan 1970-an, sejarawan Michael B. Katz, menemukan sebuah pola melalui penelitiannya terhadap pajak, kepemilikan tanah, dan catatan pegawai sipil kota. </p>
<p>Penelitiannya di Hamilton, Kanada pada pertengahan abad ke-19 mengungkapkan bahwa kelompok masyarakat kelas atas (orang-orang kaya) - yang jumlahnya relatif kecil - <a href="https://www.fulcrum.org/concern/monographs/z316q1679">menduduki realitas sosial dan struktural yang jauh berbeda dari mayoritas kelompok masyarakat (yang sebagian besar miskin)</a>.</p>
<p>Katz mengembangkan pemahaman tentang kemiskinan di perkotaan dengan memperhatikan penyebab ketidaksetaraan secara struktural. Sebelum ada temuan Katz, kemiskinan sering dipahami sebagai sesuatu yang disebabkan oleh individu, seperti kekurangan motivasi atau karakter.</p>
<p>Dalam dua tahun terakhir, kelompok yang terdiri dari ahli komputer, peneliti dinamika sistem, dan ahli perencanaan kota bertemu setiap tahunnya di Santa Fe dalam <a href="https://computationalsocialscience.org/">Masyarakat Ilmiah Komputasi Ilmu Sosial Amerika</a>, untuk memeriksa akar struktural dan dinamika dari ketidaksetaraan. Konferensi ini bertujuan untuk mengurangi kompleksitas masalah sambil mencari penyebab dinamika ketidaksetaraan yang kita sebut primitif sosial. </p>
<p>Penyebabnya bukan primitif secara antropologi, tapi mereka merupakan hasil rancangan digital yang artifisial yang digunakan untuk menjelaskan asal-usul ketidaksetaraan.</p>
<h2>Ketidaksetaraan struktural</h2>
<p>Kemiskinan di perkotaan bukan hanya masalah individu: ketidaksetaraan juga melingkupi dinamika struktural, yang berarti bahwa kekayaan tidak hanya masalah karakteristik individu yang unggul. </p>
<p>Katz mencatat bahwa kekayaan Anda mungkin merupakan konsekuensi dari bagaimana Anda masuk ke dalam struktur kota yang lebih besar, atau kelas sosial tempat Anda dilahirkan.</p>
<p>Dinamika struktural berarti sesuatu yang berada di luar individu berperan dalam menghasilkan dan mempertahankan ketidaksetaraan. Pemeriksaan yang cermat terhadap dinamika ketimpangan pendapatan di Hamilton pada 1850-an, memberikan wawasan untuk mengembangkan model digital yang sangat sederhana.</p>
<p>Hamilton memiliki populasi orang kaya yang kecil dan relatif stabil sepanjang 1850-an, sebuah periode waktu ketika populasi orang miskin menikmati sedikit keuntungan ekonomi. Sebagian besar populasi orang kaya yang tercatat pada 1851, masih ada hingga satu dekade kemudian. Sementara, untuk orang miskin, catatan menunjukkan bahwa sebanyak dua pertiga-nya telah pindah satu dekade kemudian.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/288844/original/file-20190821-170927-1wyb9uu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/288844/original/file-20190821-170927-1wyb9uu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/288844/original/file-20190821-170927-1wyb9uu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=366&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/288844/original/file-20190821-170927-1wyb9uu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=366&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/288844/original/file-20190821-170927-1wyb9uu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=366&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/288844/original/file-20190821-170927-1wyb9uu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=459&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/288844/original/file-20190821-170927-1wyb9uu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=459&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/288844/original/file-20190821-170927-1wyb9uu.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=459&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Sebuah foto pada 1845 yang menunjukkan pemandangan kota Hamilton dari Niagara Escarpment.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Black Mount Collection, Hamilton Public Library</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Kekayaan dan stabilitas</h2>
<p>Dalam catatan sejarah, kegigihan kelompok orang kaya - biasanya 10% dari jumlah penduduk atau kurang - merupakan penggerak penting. </p>
<p>Lingkaran sosial, pekerjaan, dan aktivitas rekreasi mereka memberi mereka akses ke sumber daya dalam bentuk kepemilikan tanah, pinjaman uang untuk investasi, dan kepemilikan suatu produksi. </p>
<p>Keuntungan-keuntungan itu, khususnya kepemilikan tanah, tampaknya dulu tidak ada demi mempertahankan keseimbangan kota, yang keadaan ekonominya terus-menerus rapuh.</p>
<p>Eksplorasi kami terhadap penelitian Katz menunjukkan bahwa keunggulan utama orang-orang kaya ini adalah akses ke berbagai sumber daya sosial dalam bentuk lembaga-lembaga yang menyediakan uang, kepercayaan, dan peluang investasi.</p>
<p>Dalam penelitian kami yang telah terbit sebelumnya, tentang pemodelan bentuk kerja sama primitif, kami mengembangkan ide-ide terkait pola kekayaan di Hamilton dengan merumuskan inti pertanyaan: Apa saja aturan-aturan minimum yang diperlukan untuk menimbulkan ketidaksetaraan dalam distribusi kekayaan?</p>
<p>Kami mengembangkan model dalam <a href="https://www.r-project.org/">bahasa pemrograman R</a> yang meliputi ruang dua dimensi. Dalam model tersebut, agen harus mengawasi area sumber daya - dalam hal ini, gula. Para agen ditugaskan secara acak ke setiap bidang tanah. Para agen ditempatkan di suatu ruang secara acak. Kelangsungan hidup mereka ditentukan dengan memastikan kadar gula mereka tetap pada ambang batas tertentu. Jika ada dua agen yang bersebelahan satu sama lain dan keduanya memiliki sumber daya tambahan yang dikumpulkan dari daerah mereka, mereka dapat berbagi sumber daya tambahan itu saat dibutuhkan.</p>
<p>Kami menetapkan dua agen atau lebih yang bekerja sama untuk menjadi proto-institusi. Proto-institusi ini menggambarkan keuntungan orang kaya di Hamilton. Ketidaksetaraan agen diukur dan dibandingkan - mereka yang menjadi anggota proto-institusi dan mereka yang tidak.</p>
<p>Kami mulai sesederhana mungkin untuk mencoba dan mengamati asal-usul munculnya ketimpangan mulai dari tahap yang paling awal hingga perkembangannya tahap lanjut. Ketika agen tidak tergabung dalam satu proto-institusi, mereka sepenuhnya bergantung pada apa yang diberikan daerah mereka di setiap siklus. Ketika agen adalah bagian dari suatu proto-institusi, mereka memiliki sarana untuk menyimpan kelebihan gula, mendapat manfaat dari gula ekstra agen lainnya, dan dapat bertahan hidup dari siklus gula rendah.</p>
<p>Model komputasi menghasilkan data lebih dari ribuan siklus dengan berbagai pengaturan variabel. Hasil awal kami menunjukkan bahwa proto-institusi meningkatkan stabilitas dan kekayaan secara keseluruhan tapi juga meningkatkan ketidaksetaraan agen.</p>
<p>Fokus kami pada bentuk paling sederhana ini memungkinkan kami untuk mengurangi jumlah variabel pengganggu saat menguji hipotesis kami tentang institusi dan ketidaksetaraan pendapatan. Model kami, meski bukan tiruan Hamilton tahun 1850-an, berdasarkan pada realitas historis yang dikenalkan oleh Katz.</p>
<h2>Mengubah eksperimen</h2>
<p>Hasil yang diperoleh dari pemodelan kami dapat memberikan petunjuk tentang penyebab ketidaksetaraan saat ini di perkotaan. Sebuah model yang efektif dapat mengklarifikasi berapa banyak dan apa saja jenis institusi yang dibutuhkan untuk mempersempit kesenjangan. </p>
<p>Kami dapat berhipotesis bahwa perkembangan informal di perkotaan memiliki lebih sedikit struktur kelembagaan formal. Infrastruktur sosial yang hilang ini dapat menyebabkan kemiskinan yang terus-menerus.</p>
<p>Eksperimen yang dilakukan di laboratorium buatan mendukung penelitian yang sedang berlangsung untuk memperdalam pemahaman tentang ketidaksetaraan dan membantu mengidentifikasi intervensi mana yang paling menguntungkan.</p>
<p><em>Franklin Ronaldo menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/122394/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Milton Friesen is affiliated with Cardus and the University of Waterloo.
</span></em></p>Ketidaksetaraan di perkotaan belum dapat diberantas oleh kemajuan teknologi dan kebijakan-kebijakan. Namun, pemodelan komputer dapat membantu kita memahami ketidaksetaraan di perkotaanMilton Friesen, Ph.D. (Candidate) School of Planning, Faculty of Environment, University of WaterlooLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1223182019-08-27T03:55:32Z2019-08-27T03:55:32ZIntegrasi sosial kunci selesaikan persoalan Papua secara tuntas dan bermartabat<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/289469/original/file-20190826-8874-lelozn.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">
</span> <span class="attribution"><span class="source">Bagus Indahono/EPA</span></span></figcaption></figure><p>Untuk kesekian kalinya mahasiswa Papua terlibat bentrok dengan ormas dan aparat keamanan. <a href="https://www.tribunnews.com/nasional/2019/08/22/cerita-lengkap-asal-muasal-pengepungan-asrama-mahasiswa-papua-oleh-ormas-di-surabaya">Makian rasis dan persekusi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya</a>, Jawa Timur, pada 16 Agustus 2019 berbuntut panjang dan <a href="https://news.detik.com/berita/d-4675703/papua-masih-bergejolak-dari-mimika-hingga-fakfak">memicu aksi massa luas di Manokwari, Sorong, Fak Fak, di Papua Barat; dan Biak, Timika, dan Jayapura di Papua</a>. </p>
<p>Ungkapan rasis pada orang Papua sudah lama dan terus terjadi. </p>
<p>Persipura, tim sepakbola asal Jayapura, kerap <a href="https://kbr.id/olahraga/05-2013/persipura_adukan_arema_ke_komdis_pssi/37605.html">diteriaki ‘monyet’</a> oleh pendukung kesebelasan lawan. Bahkan Frans Kaisiepo, pahlawan nasional dari Papua yang fotonya terdapat dalam pecahan uang kertas Rp 10 ribu, tak luput dari <a href="https://bali.tribunnews.com/2016/12/25/miris-netizen-lecehkan-gambar-pahlawan-di-uang-rp-10-ribu-baru-padahal-ini-jasa-besarnya">ledekan bernada rasis</a>. </p>
<p>Lalu mengapa peristiwa kali ini dengan cepat mampu mengobarkan kemarahan masyarakat Papua? </p>
<p>Reaksi keras dan terus mengemukanya kekecewaan masyarakat Papua di tengah tingginya perhatian pemerintah terhadap pembangunan di sana mengindikasikan adanya persoalan serius dalam pendekatan yang selama ini ditempuh negara. </p>
<p>Pendekatan pemerintah cenderung menekankan integrasi teritorial dan pembangunan ekonomi namun mengabaikan integrasi sosial dan pembangunan kemanusiaan. </p>
<h2>Integrasi sosial</h2>
<p>Terlepas dari kontroversi yang terus ada hingga kini, Papua telah menjadi bagian Indonesia yang sah dan diakui dunia internasional dengan disahkannya hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) oleh <a href="http://www.worldlii.org/int/other/UNGA/1969/12.pdf">PBB melalui resolusi no 2504 pada tahun 1969</a></p>
<p>Namun Papua bukanlah tanah kosong tak berpenghuni. <a href="https://www.beritasatu.com/nasional/359549/tujuh-wilayah-adat-papua-akan-menggelar-mubes">Terdapat tujuh wilayah adat yang dihuni oleh ratusan suku di sana</a>. Integrasi teritorial Papua ke Indonesia semestinya dilanjutkan dengan integrasi sosial, yakni memastikan masyarakat Papua dari Sorong sampai Merauke, merasa menjadi bagian dari Bangsa Indonesia. </p>
<p>Sayangnya pendekatan yang dilakukan negara justru membuat integrasi sosial kian rapuh. <a href="https://www.jeratpapua.org/2014/10/22/menjawab-ancaman-transmigrasi-di-papua/">Program transmigrasi misalnya, memunculkan persoalan pelik mulai dari ganti rugi lahan yang tidak sepadan, deforestrasi, malnutrisi, hingga segregasi sosial antara penduduk asli dan warga transmigran</a>. </p>
<p>Upaya meneguhkan kedaulatan teritorial juga kerap dilakukan dengan <a href="https://www.amnesty.org/en/documents/asa21/8198/2018/id/">cara koersif oleh aparat keamanan</a>. </p>
<p>Di Papua, slogan “NKRI Harga Mati” menjadi mantera yg intimidatif. <a href="https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/11/10/lufd97-jangan-cap-orang-papua-separatis-dan-makar">Para pengkritiknya dengan mudah dicap sebagai pendukung separatis.</a></p>
<p>Mahasiswa Papua di berbagai kota kerap menjadi korban stigma dan prasangka. <a href="https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/07/160714_trensosial_papua">Mereka sulit mendapatkan tempat tinggal karena dianggap sebagai pemabuk, biang onar, dan stigma negatif lainnya</a>. Sehingga tinggal di asrama Papua kerap menjadi satu-satunya pilihan meski mempertegas segregasi sosial dan stigma. </p>
<p>Pemerintah sibuk membangun infrastruktur tapi seolah lupa membangun manusia, khususnya generasi muda Papua. </p>
<p>Sepuluh kali Presiden Joko “Jokowi” Widodo berkunjung ke Papua tapi belum sekalipun berkunjung ke Universitas Cenderawasih atau Universitas Papua, tempat persemaian para intelektual dan calon pemimpin Papua. </p>
<p><a href="https://kabarpapua.co/ori-papua-pemerintah-provinsi-papua-masuk-kategori-merah-soal-pelayanan-publik/">Kabupaten-kabupaten baru dibentuk tapi pelayanan publik tetap terpuruk</a>. </p>
<p>Demikian pula dengan keamanan, <a href="https://kabarpapua.co/kodam-kasuari-bentuk-kelengkapan-satuan-di-sejumlah-kabupaten/">jumlah tentara terus bertambah tapi gangguan keamanan terus terjadi</a>. <a href="https://www.aa.com.tr/id/nasional/182-warga-sipil-meninggal-sejak-konflik-nduga-papua/1556293">Pelaku kasus penembakan di Nduga, Papua akhir tahun lalu hingga kini belum tertangkap</a>.</p>
<p>Semua itu menunjukkan bahwa penekanan semata pada integrasi teritorial telah menciptakan jurang besar dalam relasi sosial antara masyarakat Papua dengan negara dan kelompok masyarakat lainnya.</p>
<h2>Legitimasi semu</h2>
<p>Persoalan kedua adalah ketika upaya membangun kepercayaan rakyat Papua bertumpu pada aspek material terutama dana dan pembangunan fisik.</p>
<p><a href="https://theconversation.com/memahami-akar-masalah-papua-dan-penyelesaiannya-jangan-gegabah-87785">Akar persoalan Papua</a> pada dasarnya adalah persoalan politik, yakni gugatan terhadap legitimasi negara. <a href="http://www.watchindonesia.org/2547/entwicklung-in-papua-george-junus-aditjondro?lang=ID">Kongres Rakyat Papua pada tahun 2000 bahkan dengan tegas merekomendasikan pemisahan diri Papua dari Indonesia</a>. Namun pemerintah justru selalu menempatkan Papua dalam bingkai persoalan pembangunan ekonomi.</p>
<p><a href="https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol4321/uu-no21-tahun-2001-tentang-otonomi-khusus-bagi-provinsi-papua/">Undang-undang (UU) tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua</a> sebenarnya memuat pilar-pilar penyelesaian secara komprehensif seperti pelurusan sejarah, penuntasan pelanggaran HAM, pemberdayaan masyarakat, hingga pembentukan partai politik. Sayangnya pilar-pilar tersebut ditelikung sedemikian rupa sehingga Otsus Papua dikerdilkan menjadi perkara ekonomi.</p>
<p>Selain berdampak destruktif terhadap integrasi sosial dan memperlebar kesenjangan, orientasi terhadap pembangunan ekonomi telah menciptakan legitimasi semu. Meledaknya amuk massa di Manokwari, Sorong, dan Fak Fak menjadi bukti kuat dan mengejutkan akan hal itu. </p>
<p><a href="https://www.tabloid-wani.com/2017/11/sejarah-opm-organisasi-papua-merdeka.html">Secara historis ketiga kota itu dikenal sebagai basis awal perlawanan rakyat Papua terhadap pemerintah Indonesia</a>. Sejalan dengan kemajuan pembangunan, intensitas perlawanan di kota-kota ini jauh menurun. Meledaknya amarah masyarakat Manokwari, Sorong, dan Fak Fak menunjukkan bahwa pembangunan tidak cukup berhasil meredam kekecewaan masyarakat Papua. </p>
<p><a href="https://regional.kompas.com/read/2019/08/19/15400661/kronologi-kerusuhan-di-manokwari-hingga-pembakaran-gedung-dprd-papua-barat?page=all">Pembakaran gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Papua Barat</a> yang merupakan bekas lokasi penyelenggaraan Pepera 50 tahun lalu, memberi pesan kuat kekecewaan masyarakat Manokwari terhadap negara. </p>
<p>Kepedulian dan sentuhan personal yang ditunjukkan oleh Jokowi memang mampu menumbuhkan kepercayaan rakyat Papua kepadanya.<a href="https://www.liputan6.com/pilpres/read/3970146/jokowi-maruf-raup-9066-persen-suara-di-papua?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.co.uk%2F"> Lebih dari 90% pemilih Papua memilih Jokowi dalam Pilpres April lalu</a>. </p>
<p><a href="https://theconversation.com/mengapa-presiden-jokowi-tak-kunjung-berhasil-merebut-hati-orang-papua-108296">Sayangnya kepercayaan masyarakat Papua terhadap Jokowi tidak menjelma menjadi kepercayaan terhadap negara</a>. </p>
<h2>Penyelesaian tuntas bermartabat</h2>
<p>Berkobarnya bara Papua saat ini <a href="https://papua.go.id/view-detail-berita-6074/pemprov-ajak-papua-barat-dorong-evaluasi-uu-otsus.html">bertepatan dengan agenda perubahan UU Otsus yang ditetapkan tahun 2001</a> dan pernah <a href="https://www.insideindonesia.org/inside-the-special-autonomy-bill">dipandang sebagai jalan tengah penyelesaian persoalan Papua</a>. </p>
<p>Namun hingga 18 tahun pelaksanaan Otsus, persoalan Papua tak kunjung reda. </p>
<p>Gejolak Papua kali ini merupakan momentum yang tepat untuk merancang ulang skema penyelesaian yang tuntas dan bermartabat, sehingga persoalan Papua tidak terus menerus mengganggu perjalanan bangsa.</p>
<p>Untuk itu pelibatan seluruh elemen masyarakat Papua adalah keniscayaan, terutama kelompok-kelompok yang selama ini berseberangan dengan pemerintah seperti <a href="https://www.ulmwp.org/"><em>United Liberation Movement for West Papua</em></a>, <a href="https://id.wikipedia.org/wiki/Komite_Nasional_Papua_Barat">Komite Nasional Papua Barat</a>, para tokoh adat, tokoh agama, serta elemen-elemen kepemudaan dan mahasiswa Papua.</p>
<p>Pemerintah tidak perlu terlalu khawatir bahwa membuka ruang dialog dengan mereka sama artinya dengan membuka jalan bagi referendum yang berakhir seperti Timor Timur. <a href="https://library.fes.de/pdf-files/bueros/indonesien/07847.pdf">Pengalaman Aceh</a> menunjukkan bahwa solusi damai dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa dicapai. </p>
<p>Terakhir, upaya merangkul Papua bukan hanya tugas negara tapi juga tugas seluruh warga bangsa. Setelah 74 tahun merdeka sudah semestinya bangsa ini mampu menunjukkan jati diri sebagai bangsa yang berperikemanusian, berperikeadilan, dan berkeadaban.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/122318/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Arie Ruhyanto tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pendekatan pemerintah cenderung menekankan integrasi teritorial dan pembangunan ekonomi Papua namun mengabaikan integrasi sosial dan pembangunan kemanusiaan.Arie Ruhyanto, Doctoral Researcher, University of BirminghamLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1221442019-08-21T09:21:21Z2019-08-21T09:21:21ZCara hentikan konflik di Papua: Stop kekerasan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/288877/original/file-20190821-170918-fn1gad.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ribuan orang turun ke jalan dalam demonstrasi di Jayapura, Papua, pada 19 Agustus 2019. </span> <span class="attribution"><span class="source">Frans/EPA</span></span></figcaption></figure><p>Rentetan penahanan dan intimidasi terhadap masyarakat Papua yang terjadi <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190819200236-20-422845/kronik-rusuh-papua-dari-malang-menjalar-hingga-makassar">di Malang</a> dan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190819200236-20-422845/kronik-rusuh-papua-dari-malang-menjalar-hingga-makassar">Surabaya</a>, Jawa Timur, minggu lalu menambah daftar panjang kekerasan terhadap mereka. </p>
<p>Kekerasan di dalam konflik yang menyudutkan masyarakat Papua telah berlarut dan memiliki pola berulang dari waktu ke waktu. <a href="https://nasional.kompas.com/read/2019/02/15/06482101/memutus-mata-rantai-kekerasan-di-papua?page=all">Amnesty Internasional</a> telat mencatat 69 kasus dugaan pembunuhan di Papua sepanjang Januari 2010 hingga Februari 2018. Yang menyedihkan, aparat negara menjadi dua pelaku utama dalam tindak kekerasan – 34 kasus oleh aparat kepolisian dan 23 kasus oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).</p>
<p>Kekerasan – baik langsung maupun struktural – harus segera dihentikan dan perbaikan hubungan pemerintah pusat dengan rakyat Papua yang selama ini timpang harus segera dilakukan jika pemerintah ingin menghilangkan konflik di Papua.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/memahami-akar-masalah-papua-dan-penyelesaiannya-jangan-gegabah-87785">Memahami akar masalah Papua dan penyelesaiannya: jangan gegabah</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mengakhiri konflik</h2>
<p>Christopher Mitchell, sejarawan sekaligus ahli resolusi konflik dari Inggris, mencatat tiga kondisi yang dapat <a href="https://www.palgrave.com/gp/book/9781403945181">membuat konflik berakhir</a>: hilangnya sikap negatif serta perseteruan, tidak berlakunya isu yang menjadi sengketa, dan berhentinya perilaku koersif dan kekerasan. </p>
<p>Ketiga kondisi ini mencerminkan adanya penghentian kekerasan struktural, kultural, dan langsung, yang menjadi pekerjaan utama untuk dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik. </p>
<p>SETARA Institute, dalam <a href="http://setara-institute.org/en/ambiguitas-politik-ham-di-papua">laporannya</a> mencatat tiga periode penyelesaian konflik Papua oleh pemerintah berdasarkan cara yang digunakan. </p>
<p>Periode pertama antara 1963 dan 1998, dengan pendekatan keamanan dan menjadikan Papua menjadi Daerah Operasi Militer (DOM). Periode kedua antara 1998 dan 2014, melalui kebijakan kesejahteraan yang diwujudkan lewat <a href="http://www.bphn.go.id/data/documents/01uu021.pdf">Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001</a> tentang otonomi khusus Papua. Periode ketiga yaitu sejak 2014 hingga sekarang, melalui penekanan pembangunan sesuai dalam visi Nawacita Presiden Joko “Jokowi” Widodo. </p>
<p>Pada praktiknya ketiga periode masih menjadikan pendekatan keamanan sebagai rujukan yang naasnya disertai dengan berbagai praktik kekerasan dan pelanggaran HAM.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/mengapa-presiden-jokowi-tak-kunjung-berhasil-merebut-hati-orang-papua-108296">Mengapa Presiden Jokowi tak kunjung berhasil merebut hati orang Papua?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Mengadopsi teori Mitchell, solusi untuk Papua bisa dimulai dengan menghapus sikap perseteruan yang dapat dimulai dengan permintaan maaf kepada masyarakat Papua. <a href="https://www.palgrave.com/gp/book/9781403945181">Permintaan maaf</a> merupakan salah satu obat penyembuh dalam rekonsiliasi. </p>
<p>Masyarakat Indonesia secara keseluruhan perlu meminta maaf karena telah membiarkan kekerasan terjadi kepada saudara sebangsa dan setanah air terjadi. Permintaan maaf dari pemerintah juga harus dilakukan sebagai pengakuan atas kegagalan negara dan langkah awal komitmen berbenah. </p>
<p>Pelaku kekerasan – aparat keamanan, ormas, dan pihak-pihak terkait – harus secara langsung mengakui kesalahan fatal yang mereka lakukan selain juga meminta maaf. </p>
<p>Penertiban perilaku koersif dan penggunaan kekerasan juga harus segera dilakukan. Kepolisian harus menindak tegas aparat yang terlibat dalam kekerasan serta ormas sebagai <a href="https://kumparan.com/setara/dehumanisasi-di-hari-kemanusiaan-internasional-atas-masyarakat-papua-1rhF8rkNbKz#referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&_tf=Dari%20%251%24s">preseden</a> pengurangan tindakan represif sekaligus memastikan tindakan tidak akan terulang (<em>guarantees of non-repetition</em>) di masa depan. </p>
<p>Selain itu, pemerintah harus mengkondisikan agar kekerasan tidak menjalar lebih jauh dan situasi di Papua menjadi kondusif.</p>
<p>Upaya yang dapat dirintis sedini mungkin adalah memulai dialog holistik antara pemerintah pusat dan Papua. </p>
<p>Dialog ini mencakup rencana pembangunan yang tidak terbatas pada infrastruktur fisik, tetapi berpusat pada manusia dengan menerapkan perspektif HAM. </p>
<p>Pembukaan dialog tidak bisa hanya berada pada tataran elit politik pemerintah daerah, tetapi juga melibatkan masyarakat untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan mengingat maraknya <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190207180345-12-367284/korupsi-papua-kpk-tetapkan-anggota-dpr-dan-pejabat-tersangka">praktik korupsi</a> yang terjadi di Papua. </p>
<p>Tentu saja, dialog yang dilakukan harus mengedepankan pendekatan sipil, bukan pendekatan keamanan yang terbukti rawan kekerasan seperti di masa lalu.</p>
<p>Dengan membuka dialog dan mendengarkan aspirasi semua pihak, konflik diharapkan bisa berakhir. </p>
<h2>Keadaan yang tidak boleh terus berlangsung</h2>
<p>Konflik di Papua yang melibatkan kekerasan dimulai sejak <a href="http://setara-institute.org/en/ambiguitas-politik-ham-di-papua/">dekolonisasi</a> ketika pemerintah kolonial Belanda beranjak dari Papua dan Indonesia mulai menapakkan kekuatan melalui militer di sana. </p>
<p><a href="https://e-journal.usd.ac.id/index.php/JP/article/view/980/759">Rasialisme</a> dan stigmatisasi terhadap masyarakat Papua menyebabkan dehumanisasi yang melanggengkan sikap negatif dan perseteruan. Masyarakat Papua menghadapi rasialisme dan stigmatisasi di Indonesia dengan pandangan bahwa mereka ‘setengah binatang’. </p>
<p>Pandangan ini tampak pada sebutan <a href="https://www.bbc.com/indonesia/media-49399008">“monyet”</a> yang ditujukan kepada mahasiswa Papua dalam insiden di Surabaya baru-baru ini. Menyebut masyarakat Papua dengan binatang merupakan bentuk dehumanisasi; martabat masyarakat Papua sebagai manusia yang harus dijaga dan dihormati oleh sesama tidak digubris.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/jangan-panggil-orang-papua-monyet-ahli-jelaskan-makna-panggilan-hewan-pada-manusia-122058">Jangan panggil orang Papua monyet: Ahli jelaskan makna panggilan hewan pada manusia</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Pandangan ini kemudian menjadi pembenaran atas tindak kekerasan terhadap masyarakat Papua. <a href="https://e-journal.usd.ac.id/index.php/JP/article/view/980/759">Kekerasan</a> telah hadir dalam sejarah panjang Papua dan menjadi salah satu sumber konflik. </p>
<p>Aparat keamanan, termasuk kepolisian dan TNI, memiliki <a href="https://library.fes.de/pdf-files/bueros/indonesien/06393.pdf">jejak kekerasan disertai pelanggaran HAM</a> yang mendalam di tanah Papua, terlebih pada masa DOM. </p>
<p>Hingga kini, cara-cara koersif dan kekerasan masih menjadi rujukan penanganan konflik yang melibatkan masyarakat Papua, baik di Papua maupun di luar Papua. Bahkan <a href="https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190819060430-20-422545/penyerangan-asrama-papua-di-surabaya-dinilai-langgar-ham">masyarakat sipil–seperti anggota organisasi masyarakat (ormas) pun terlibat</a>. Kekerasan yang dipelihara akan menjadi residu konflik.</p>
<p>Kekerasan langsung memang lekat dengan konflik Papua, tetapi kekerasan struktural juga menjadi masalah mendasar di sini.</p>
<p>Ketimpangan akibat <a href="https://e-journal.usd.ac.id/index.php/JP/article/view/980/759">pembangunan ekonomi dan kegagalan pembangunan</a> menjadi akar konflik yang berlarut di Papua. </p>
<p>Meski kini pemerintahan Jokowi mulai menggalakkan pembangunan di Papua, tetapi pembangunan hanya dimaknai secara fisik dan membiarkan <a href="https://nasional.kompas.com/read/2018/12/10/17354801/komnas-ham-infrastruktur-papua-maju-tetapi-ada-pelanggaran-ham">pelanggaran HAM</a> terjadi di dalamnya. </p>
<p>Selain itu, hubungan pemerintah pusat dan Papua tidak harmonis karena <a href="https://e-journal.usd.ac.id/index.php/JP/article/view/980/759">ketidakselarasan</a> pemaknaan integrasi dan konstruksi identitas politik di antara keduanya. Papua dan masyarakatnya menyimpan luka sebagai akibat kekerasan struktural ini. </p>
<p><em>Franklin Ronaldo berkontribusi pada penerbitan artikel ini.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/122144/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Selma Theofany terafiliasi dengan SETARA Institute Democracy and Peace sebagai peneliti HAM dan perdamaian.</span></em></p>Kekerasan di Papua – baik langsung maupun struktural – harus segera dihentikan dan pemerintah pusat harus memperbaiki hubungn dengan rakyat Papua.Selma Theofany, Researcher, Setara InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1021072018-08-28T09:04:19Z2018-08-28T09:04:19ZPertumbuhan ekonomi selama 20 tahun hanya dinikmati orang kaya. Seberapa parah ketimpangan di Indonesia?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/233444/original/file-20180824-149496-1jwd1w6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=8%2C7%2C989%2C658&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Tingginya ketimpangan ekonomi mengakibatkan kelompok berpendapatan rendah tidak mampu mengakses kebutuhan dan pelayanan dasar seperti makanan, kesehatan dan pendidikan.</span> <span class="attribution"><span class="source">www.shutterstock.com</span></span></figcaption></figure><p>Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia telah berhasil <a href="http://www.worldbank.org/en/country/indonesia/overview">menurunkan tingkat kemiskinan lebih dari setengah dari angka di tahun 1999</a>. </p>
<p>Namun, sebuah <a href="http://www.worldbank.org/en/news/feature/2015/12/08/indonesia-rising-divide">laporan pada 2015</a> memberikan peringatan. Sejak tahun 2000 ketimpangan ekonomi di Indonesia meningkat pesat. Pertumbuhan ekonomi yang ada lebih dinikmati oleh 20% penduduk terkaya daripada masyarakat umum lainnya.</p>
<p>Tapi kebijakan untuk mengatasi kesenjangan ekonomi di bawah Presiden Joko Widodo tampaknya memberikan hasil.</p>
<h2>Pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya ketimpangan</h2>
<p>Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini menduduki urutan ketiga tercepat di antara negara-negara anggota G20. <a href="https://datamarket.com/data/set/15cb/gdp-per-capita-growth-annual#!ds=15cb!hd3=13.n.53&display=table&s=8gd">Statistik terbaru</a> menunjukkan bahwa sejak 2000 hingga 2017 Produk Domestik Bruto Indonesia (PDB) per kapita meningkat rata-rata 4% setiap tahun, setelah Cina dan India, yang masing-masing tumbuh 9% dan 5,5% per tahun.</p>
<p>Namun, pertumbuhan ekonomi Indonesia memicu <a href="https://ekonomi.kompas.com/read/2014/02/18/1929283/Ketimpangan.Ekonomi.di.Indonesia.Makin.Menganga">tingginya ketimpangan</a> antar penduduk. Hal ini tercermin dalam indeks Gini - indeks untuk mengukur ketimpangan dalam sebuah negara dari 0 (kesetaraan sempurna) sampai 100 (ketidaksetaraan sempurna). </p>
<p>Data dari Bank Dunia mengungkapkan indeks Gini Indonesia meningkat dari 30.0 pada dekade 1990-an menjadi 39.0 pada 2017. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/231449/original/file-20180810-52569-1adj69a.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/231449/original/file-20180810-52569-1adj69a.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=326&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/231449/original/file-20180810-52569-1adj69a.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=326&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/231449/original/file-20180810-52569-1adj69a.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=326&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/231449/original/file-20180810-52569-1adj69a.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=410&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/231449/original/file-20180810-52569-1adj69a.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=410&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/231449/original/file-20180810-52569-1adj69a.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=410&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Indeks Gini per negara. Indeks Gini antara 40 dan 50 menunjukkan ketimpangan ekonomi yang tinggi, sedangkan angka di atas 50 menunjukkan tingkat ketimpangan yang parah; Sumber: World Bank, CIA, *Australia data OECD,
*Biro Statistik Hong Kong, Singapura dan Indonesia.</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ketimpangan di Indonesia mulai meningkat pada awal 1990-an.</p>
<p>Krisis moneter tahun 1998 sempat menurunkan ketimpangan di Indonesia karena krisis tersebut berdampak signifikan terhadap kalangan orang kaya pada saat itu. Namun, kesenjangan antara kaya dan miskin kembali meningkat cepat pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).</p>
<p>Indeks Gini naik dari 31.0 pada masa kepresidenan Megawati tahun 2001
menjadi 41.0 pada tahun 2014 di bawah pemerintahan SBY. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/233396/original/file-20180824-149487-1e3looz.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/233396/original/file-20180824-149487-1e3looz.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=371&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/233396/original/file-20180824-149487-1e3looz.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=371&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/233396/original/file-20180824-149487-1e3looz.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=371&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/233396/original/file-20180824-149487-1e3looz.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=466&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/233396/original/file-20180824-149487-1e3looz.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=466&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/233396/original/file-20180824-149487-1e3looz.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=466&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Indeks Gini Indonesia, 1990 - 2017; Sumber: BPS.</span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Ketimpangan ekonomi yang didorong oleh kelas konsumen</h2>
<p><a href="http://documents.worldbank.org/curated/en/885651468180231995/Indonesias-rising-divide-why-inequality-is-rising-why-it-matters-and-what-can-be-done">Laporan Bank Dunia pada tahun 2015</a> menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati oleh 20% kelompok terkaya. Kelompok ini diidentifikasi sebagai kelas konsumen. Mereka adalah orang-orang yang pendapatan bersih per tahun di atas US$3.600 atau Rp 52.6 juta dan pengeluaran per hari nya sekitar US$10 hingga US$100 untuk makanan, transportasi, dan perlengkapan rumah tangga lainnya.</p>
<p>Saat ini, setidaknya 70 juta orang di Indonesia termasuk dalam golongan kelas konsumen. Kelompok ini diproyeksikan akan mencapai <a href="https://www.mckinsey.com/featured-insights/asia-pacific/the-archipelago-economy">135 juta orang pada tahun 2030</a>, atau setengah dari total penduduk Indonesia.</p>
<p>Sejak tahun 2000 kelas konsumen Indonesia sudah muncul dan terus berkembang kuat berkat pertumbuhan ekonomi selama dua dekade terakhir. Pendapatan mereka meningkat dikarenakan dua hal: kualifikasi pendidikan mereka tinggi dan permintaan pasar terhadap pekerja profesional terampil meningkat. Kelompok kelas konsumen ini berperan cukup penting bagi Indonesia, yaitu meningkatkan pendapatan pajak negara dan juga menuntut pelayanan publik yang lebih baik dan transparan yang dapat dipertanggungjawabkan.</p>
<p>Namun di sisi lain, mereka yang berpendidikan rendah semakin sulit mengakses lapangan kerja. Mereka terjebak dalam pekerjaan dengan gaji rendah. Banyak dari mereka adalah petani dan nelayan di daerah pedesaan dan mereka yang bekerja di sektor informal. Karena upah mereka naiknya lebih lambat dari gaji pekerja terampil, ketimpangan ekonomi di Indonesia melebar.</p>
<h2>Ketimpangan ekonomi dan pembangunan manusia</h2>
<p>Tingginya ketimpangan ekonomi mengakibatkan kelompok berpendapatan rendah tidak mampu mengakses kebutuhan dan pelayanan dasar seperti makanan, kesehatan dan pendidikan. Ini bisa berdampak buruk bagi masyarakat dan memperlambat proses pembangunan manusia - diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).</p>
<p>IPM mengukur pencapaian rata-rata suatu negara dalam tiga dimensi: kesehatan, pendidikan, dan penghasilan individu untuk mendukung kehidupan yang layak. Ada empat kategori pembangunan manusia: sangat tinggi (IPM lebih dari 80), tinggi (antara 70 dan 80), sedang (antara 60 dan 70) dan rendah (di bawah 60).</p>
<p>Berdasarkan data IPM dari lembaga PBB, United Nations Development Programme (UNDP), Indonesia termasuk dalam kategori pembangunan manusia sedang.</p>
<p>Namun, tingginya kesenjangan antar kaya dan miskin nampaknya telah memperlambat pembangunan manusia Indonesia.</p>
<p>Menurut <a href="http://hdr.undp.org/en/composite/trends">Human Development Reports</a>, sepanjang tahun 2000-an IPM Indonesia meningkat rata-rata 0,92% per tahun dari 60.4 pada tahun 2000 menjadi 66.2 pada tahun 2010. Gini Indeks selama periode itu adalah antara 31.0 dan 38.0.</p>
<p>Dari tahun 2010 hingga 2014, IPM Indonesia tumbuh jauh lebih lambat, 0,78% per tahun karena ketimpangan ekonomi saat itu lebih tinggi. Pada masa kepresidenan SBY periode kedua, Indeks Gini naik menjadi 41.0.</p>
<p>Menurut para ekonom, pembangunan manusia sebuah negara tergantung pada dua pendorong utama: <a href="https://theconversation.com/why-income-inequality-is-the-policy-issue-to-make-or-break-governments-56351">pertumbuhan ekonomi dan turunnya ketimpangan antar penduduk</a>. Di bawah pemerintahan Jokowi, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi sekaligus turunnya ketimpangan.</p>
<p>Selama pemerintahan Jokowi, Indeks Gini berhasil diturunkan ke bawah 40.0. Angka terbaru menunjukkan 38.9 di bulan Maret 2018. Penurunan Indeks Gini diikuti dengan pembangunan manusia Indonesia yang lebih pesat dalam segi kesehatan, pendidikan dan penghasilan individu. <a href="http://ipm.bps.go.id/data/nasional">Data terbaru</a> menunjukkan IPM Indonesia saat ini adalah 70.8, tumbuh 1,3% per tahun sejak 2015.</p>
<p>Pembangunan manusia tingkat provinsi juga mengalami kemajuan cepat. <a href="https://www.bps.go.id/dynamictable/2016/06/16/1211/indeks-pembangunan-manusia-menurut-provinsi-2010-2017-metode-baru-.html">Data</a> menunjukkan saat ini masih ada 15 provinsi di bawah rata-rata IPM nasional tetapi 14 di antaranya sudah termasuk dalam kategori pembangunan manusia sedang.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/232445/original/file-20180817-165955-17us3le.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/232445/original/file-20180817-165955-17us3le.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=419&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/232445/original/file-20180817-165955-17us3le.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=419&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/232445/original/file-20180817-165955-17us3le.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=419&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/232445/original/file-20180817-165955-17us3le.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=527&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/232445/original/file-20180817-165955-17us3le.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=527&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/232445/original/file-20180817-165955-17us3le.PNG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=527&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">15 provinsi di bawah rata-rata IPM, 2014 dan 2017; Source: BPS dan UNDP.</span>
</figcaption>
</figure>
<p>Provinsi daerah tertinggal juga menunjukkan peningkatan pesat dalam hal kesehatan, pendidikan, dan standar hidup. Di bawah pemerintahan Jokowi, Papua mencatat pembangunan manusia tercepat, diikuti oleh Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Barat. IPM mereka meningkat masing-masing 1,4%, 1,2% dan 1,1% per tahun. </p>
<h2>Upaya mengatasi ketimpangan</h2>
<p>Pemerintah berusaha mengatasi masalah ketimpangan melalui berbagai kebijakan.</p>
<p>Pemerintahan SBY fokus pada pengentasan kemiskinan secara progresif. Selama masa jabatannya, anggaran kemiskinan mencapai 7% pada tahun 2014, meningkat dari 5,7% pada tahun 2011. Dalam menanggulangi ketimpangan, program-program SBY berupaya memberdayakan masyarakat melalui bantuan pendidikan, kesehatan dan kredit mikro.</p>
<p>Pemerintahan Jokowi memutuskan untuk melanjutkan program SBY. Dari tahun 2015 hingga 2018, anggaran negara untuk program pengentasan kemiskinan meningkat dari 9% menjadi 12,8%.</p>
<p>Berbeda dengan pendekatan SBY, Jokowi tidak hanya memprioritaskan pembangunan rakyat tetapi juga infrastruktur dalam mengatasi ketimpangan. Menurut saya, inilah alasan mengapa strategi Jokowi lebih efektif daripada SBY dalam menangani ketimpangan.</p>
<p><a href="http://www.worldbank.org/en/news/feature/2017/01/31/indonesia-basing-infrastructure-investment-on-more-solid-ground">Pembangunan infrastruktur</a> bertujuan meningkatkan konektivitas serta mengurangi biaya logistik antar daerah. Pemerintahan Jokowi menaruh <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2016/02/11/govt-pay-extra-attention-30-infrastructure-projects.html">perhatian ekstra pada 30 proyek prioritas</a>, termasuk proyek <a href="https://www.indonesia-investments.com/news/todays-headlines/palapa-ring-project-to-boost-indonesia-s-internet-penetration/item6955">Palapa Ring</a>, <a href="https://en.tempo.co/read/news/2017/06/18/056885536/Govt-Prioritizes-Trans-Sulawesi-Railway-Track">jalur kereta api Trans Sulawesi</a>,
dan <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2017/03/07/trans-papua-road-set-to-be-completed-next-year.html">jalan Trans Papua</a>.</p>
<p>Untuk memperkecil kesenjangan pendidikan, pada tahun 2014 Jokowi memperkenalkan Program Indonesia Pintar. Program ini memberikan bantuan uang tunai kepada siswa - siswi keluarga kurang mampu usia 6 hingga 21 tahun dengan tujuan mereka akan menyelesaikan sekolah atau melanjutkan pendidikan minimal 12 tahun. Hingga Oktober 2017, lebih dari <a href="https://www.liputan6.com/news/read/3141708/kartu-indonesia-pintar-terdistribusi-lebih-dari-179-juta-siswa">17,9 juta kartu telah didistribusikan</a> dari target 19,7 juta. </p>
<p>Jokowi juga merombak sistem <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2016/11/29/indonesia-gears-up-for-vocational-education-reform.html">pendidikan kejuruan</a>. Beliau melibatkan pelaku industri untuk berkontribusi dalam pengembangan kurikulum sekolah kejuruan dan teknis. Di bawah kemitraan ini, perusahaan swasta akan menawarkan pelatihan dan peluang magang bagi para siswa dan guru. Perombakan ini bertujuan untuk meningkatkan keahlian para siswa kejuruan dan semakin memperkuat ketrampilan tenaga kerja Indonesia.</p>
<h2>Arah yang benar</h2>
<p>Ketimpangan yang tinggi dapat berdampak negatif terhadap kualitas hidup manusia, kohesi sosial dan pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan di Indonesia erat kaitannya dengan ketimpangan baik dalam mengakses peluang ekonomi maupun layanan publik.</p>
<p>Strategi pembangunan Jokowi terbukti telah mempertimbangkan masalah ini, makanya pemerintahannya menggabungkan pembangunan infrastruktur bersama sumber daya manusia.</p>
<p>Dengan bertambah lancar transportasi dan komunikasi di daerah, dan lebih banyak orang di pedesaan mendapat akses layanan publik yang setara, ketimpangan ekonomi akan semakin menurun. Indonesia kini juga bergerak ke arah yang benar dalam penanggulangan kesenjangan yang lebih efektif.</p>
<p>Mengatasi ketimpangan tetap merupakan tantangan bagi Indonesia. Saat ini kita juga perlu taruh perhatian pada pemerintah daerah. Mereka sekarang berperan sangat penting, terutama dalam memastikan dana dan program yang turun di daerah dapat ditangani secara optimal sehingga bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional dan <a href="https://bisnis.tempo.co/read/1040112/dana-desa-untuk-padat-karya-sri-mulyani-minta-dukungan-daerah">menciptakan lapangan pekerjaan di desa</a>.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/102107/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Yenny Tjoe tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Keberhasilan Indonesia mengatasi ketimpangan ekonomi di bawah Presiden Joko WidodoYenny Tjoe, Lecturer/ Tutor in International Economics, Griffith UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/927482018-03-26T09:57:58Z2018-03-26T09:57:58ZSekaya apa sih orang kaya? Kalau saja Anda tahu…<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/208634/original/file-20180302-65519-1pd52ib.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Ketimpangan kekayaan bukan hanya perkara beda pendapatan, tapi juga beda tumpukan kekayaan dari masa lalu.</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>“Kalau saja orang miskin tahu betapa kayanya orang kaya, kerusuhan bakal pecah di jalanan.” </p>
<p>Aktor dan komedian Chris Rock <a href="http://www.vulture.com/2014/11/chris-rock-frank-rich-in-conversation.html">menyampaikan pernyataan tajam ini</a> dalam sebuah wawancara pada 2014 dengan majalah New York. Dia merujuk pada jurang menganga antara yang kaya dan yang miskin. Pernyataan itu mengantarnya pada sebuah isu kunci dalam studi ketimpangan. </p>
<p>Bagaimana cara terbaik mengukur jurang itu? </p>
<p>Sebagian besar kajian ketimpangan berfokus pada pendapatan—<a href="https://www.econ.nyu.edu/user/wolffe/WolffWealthTrendsApril2004.pdf">yang ukurannya banyak tersedia</a>. Namun, menjadi kaya bukanlah soal setahun pendapatan melainkan soal akumulasi kekayaan sepanjang waktu. Di masa lalu, yang sulit adalah <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5145259/">kuantifikasinya</a>.</p>
<p>Barangkali orang-orang kaya lebih suka kita tetap berada dalam kegelapan soal sekaya apa mereka, bisa jadi untuk menghindari kerusuhan yang disebut di atas. Akan tetapi orang seperti saya, yang mempelajari topik ini, selalu mencari lebih banyak data serta cara-cara yang lebih baik dan lebih akurat untuk mengukur kesenjangan kaya-miskin. </p>
<p>Meskipun saya tidak menganjurkan kekerasan di jalanan, saya yakin betul bahwa penting bagi orang-orang untuk sepenuhnya menyadari tingkat disparitas dalam masyarakat mereka.</p>
<p>Cara paling menjelaskan untuk melakukan itu, dalam pandangan saya, adalah melihat ketimpangan kekayaan.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/204722/original/file-20180204-19952-1dsngfg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/204722/original/file-20180204-19952-1dsngfg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/204722/original/file-20180204-19952-1dsngfg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/204722/original/file-20180204-19952-1dsngfg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=400&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/204722/original/file-20180204-19952-1dsngfg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/204722/original/file-20180204-19952-1dsngfg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/204722/original/file-20180204-19952-1dsngfg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=503&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Chris Rock menyebutkan tentang makanan, minuman, dan pijat gratis di lounge kelas atas Virgin di Bandara Heathrow dalam komentar-komentarnya tentang ketimpangan.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://www.flickr.com/photos/kurafire/1565057331/in/photolist-3oik26-dHng9L-dbSLut-eFhmEK-dnJgh9-eDghmW-7r6TML-dx7VoF-dndh4J-dcbrdY-diZWGv-dnti55-dx8cgX-dhMvF7-dbg3Wv-dntsfn-28KfMa-ditPBv-doQGzD-dbfgVr-dnd4BT-dcr373-avSfV-eE7Shf-dkvG8a-dHhrLK-diukNC-dntsw3-dnJq4Y-db9W3v-7r2Zyg-dbaxWM-ofDw5-dGSxx1-7S8ipJ-eVuCWz-dndeXR-dbvvv7-dCYXbJ-dbvSdu-dbTYk5-5BJ69F-dkdXH4-7nxc5d-dbwum8-dgEcwD-dnJ9h8-a6cRP4-dbvBXv-daTW6v">Faruk Ateş</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/">CC BY-NC</a></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>Mengukur jurang kaya-miskin</h2>
<p>Ada beberapa cara untuk mengukur ketimpangan. </p>
<p>Salah satu yang paling populer adalah mengukur berdasarkan pendapatan. Umumnya itu karena ada lebih banyak data dan jauh lebih mudah diukur. Tapi ukuran ini hanya sekilas. </p>
<p>Kekayaan, di sisi lain, adalah sebuah agregasi, tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatan saat ini melainkan juga penghasilan yang ditumpuk dalam tahun-tahun sebelumnya dan oleh generasi-generasi sebelumnya. </p>
<p>Hanya dengan mempelajari ketimpangan kekayaan itulah para sarjana, pembuat kebijakan, dan lain-lain mendapatkan ukuran paling dalam dan paling luas jurang antara orang kaya dan siapa saja yang lain. </p>
<p>Berapa banyak kekayaan yang dipunyai seseorang juga merupakan ukuran yang lebih baik bagi kualitas hidup dan peluang-peluang mereka. Banyaknya kekayaan menentukan kemampuan untuk berinvestasi dalam pendidikan, aset-aset finansial serta kenyamanan dan keamanan pensiun seseorang. </p>
<p>Kekayaan juga mengurangi kecemasan tentang variabilitas cek gaji atau pengeluaran-pengeluaran tak terduga. Jika Anda punya kekayaan, biaya mendadak penggantian pemanas air yang rusak atau pembayaran tagihan medis tidak akan membuat stres sebagaimana jika Anda miskin. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/204757/original/file-20180204-19918-1skhpys.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/204757/original/file-20180204-19918-1skhpys.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=422&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/204757/original/file-20180204-19918-1skhpys.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=422&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/204757/original/file-20180204-19918-1skhpys.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=422&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/204757/original/file-20180204-19918-1skhpys.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=531&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/204757/original/file-20180204-19918-1skhpys.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=531&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/204757/original/file-20180204-19918-1skhpys.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=531&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sebagian besar keuntungan paket pajak terbaru akan ditambahkan pada orang-orang terkaya Amerika.</span>
<span class="attribution"><span class="source">AP Photo/Jacquelyn Martin</span></span>
</figcaption>
</figure>
<h2>‘Eksepsionalisme’ Amerika</h2>
<p>Ketika kita mencermati data tentang ketimpangan kekayaan di Amerika Serikat, ketimpangan itu sungguh mencolok dan <a href="http://www.oecd.org/social/in-it-together-why-less-inequality-benefits-all-9789264235120-en.htm">membikin ketimpangan di seluruh negara-negara maju lainnya tampak seperti kurcaci</a>. </p>
<p>Hudson Institute yang konservatif pada tahun 2017 <a href="https://www.hudson.org/research/13095-the-distribution-of-wealth-in-america-1983-2013">melaporkan</a> bahwa 5% rumah tangga terkaya Amerika menguasai 62,5% seluruh aset di Amerika Serikat pada tahun 2013, naik dari 54,1% pada 30 tahun sebelumnya. Akibatnya, kekayaan 95% selebihnya merosot dari 45,9% menjadi 37,5%. </p>
<p>Sehingga, kekayaan median keluarga berpendapatan tinggi (rata-rata berpenghasilan US$639.400) <a href="http://www.pewresearch.org/fact-tank/2014/12/17/wealth-gap-upper-middle-income/">hampir tujuh kali</a> kekayaan median rumah tangga berpendapatan menengah (US$96.500) pada tahun 2013, jurang terlebar dalam 30 tahun terakhir. </p>
<p>Lebih mencolok, ahli ketimpangan Emmanuel Saez dan Gabriel Zucman <a href="http://www.nber.org/papers/w20625.pdf">mendapati</a> bahwa kelompok 0,01% teratas mengontrol 22% dari seluruh kekayaan pada tahun 2012, naik dari hanya 7% pada tahun 1979.</p>
<p>Namun, jika Anda hanya melihat data tentang ketimpangan pendapatan, Anda akan melihat gambar yang berbeda. Pada tahun 2013, misalnya, 5% rumah tangga teratas <a href="https://www.census.gov/library/publications/2014/demo/p60-249.html">hanya memiliki 30%</a> dari seluruh pendapatan Amerika Serikat (bukannya hampir 63% dari seluruh kekayaan). </p>
<p>Walaupun bukan satu-satunya negara maju yang menyaksikan peningkatan ketimpangan kekayaan selama tiga dekade terakhir, Amerika Serikat adalah sebuah kasus tersendiri. </p>
<p>Sebanyak <a href="http://www.keepeek.com/Digital-Asset-Management/oecd/employment/in-it-together-why-less-inequality-benefits-all_9789264235120-en#page250">5% rumah tangga terkaya</a> di Amerika Serikat memiliki hampir 91 kali lebih banyak kekayaan daripada median rumah tangga Amerika, jurang paling lebar di kalangan 18 negara paling maju di dunia. Peringkat berikutnya diduduki Belanda, dengan rasio setengah dari itu. </p>
<h2>Mengangkat semua perahu?</h2>
<p><a href="https://www.congress.gov/bill/115th-congress/house-bill/1">Undang-Undang Pemangkasan Pajak dan Pekerjaan</a> yang disahkan belum lama berselang akan membuat persoalan ini menjadi jauh lebih buruk. </p>
<p>Komponen-komponen utama undang-undang ini meliputi pelipatgandaan deduksi standar bagi pembayar pajak perorangan, pengurangan sementara dalam tingkat pajak marginal puncak dari 39,6% menjadi 37%, pengurangan signifikan jumlah keluarga yang terkena pajak properti dan pemangkasan pajak penghasilan bersih korporat papan atas dari 35 persen menjadi 21 persen. </p>
<p>Dampak utamanya, bagaimanapun juga, <a href="http://www.taxpolicycenter.org/publications/distributional-analysis-tax-cuts-and-jobs-act-passed-senate/full">menguntungkan golongan kaya</a>. Misalnya, 20% rumah tangga terbawah akan mendapati tagihan pajak lebih rendah rata-rata sekitar US$40, sedangkan mereka yang berada di kuintil atas akan mendapati US$5.420 lebih rendah. </p>
<p>Sementara itu, kelompok 0,1% terkaya akan menghemat US$61.920. Pada tahun 2025, mereka yang paling kaya akan mendapati keuntungan mereka tumbuh menjadi US$152.200, sedangkan yang lain tidak akan melihat banyak perubahan. Semua potongan individual ditetapkan kedaluwarsa pada tahun 2026. </p>
<p>Para pembayar pajak yang lebih kaya juga akan diuntungkan oleh komponen-komponen utama lain undang-undang baru itu. Misalnya, <a href="https://theconversation.com/hot-potato-shows-why-workers-wont-benefit-from-trumps-corporate-tax-cut-86878">penelitian menunjukkan</a> sebagian besar manfaat penurunan pajak bisnis dinikmati orang kaya, dan lebih sedikit properti yang terkena pajak warisan berarti lebih banyak akumulasi kekayaan dalam beberapa generasi. </p>
<p><a href="http://thehill.com/opinion/finance/366880-tax-bill-is-the-rising-tide-that-will-lift-all-americans-boats">Para pendukung undang-undang pajak itu menyatakan</a> bahwa undang-undang tersebut tidak akan menaikkan tingkat ketimpangan karena uang yang disimpan orang kaya akan “menetes ke bawah” pada rumah tangga Amerika yang lain dan <a href="https://www.wsj.com/articles/the-tax-reform-promise-1513729511?mg=prod/accounts-wsj">mengangkat perahu mereka</a> juga.</p>
<p>Namun, bukti empiris menunjukkan yang sebaliknya. Tepatnya begini: menyalurkan lebih banyak uang kepada orang kaya, melalui pemangkasan pajak, <a href="https://www8.gsb.columbia.edu/faculty/jstiglitz/sites/jstiglitz/files/Inequality%20and%20Economic%20Growth.pdf">tidak memperbaiki pertumbuhan ekonomi</a>, <a href="https://news.harvard.edu/gazette/story/2016/02/the-costs-of-inequality-increasingly-its-the-rich-and-the-rest/">memperburuk peluang pendidikan</a> bagi orang-orang Amerika yang lebih miskin dan bahkan <a href="http://money.cnn.com/2013/09/25/news/economy/income-inequality/index.html">mengurangi harapan hidup</a>, yang <a href="https://www.washingtonpost.com/national/health-science/fueled-by-drug-crisis-us-life-expectancy-declines-for-a-second-straight-year/2017/12/20/2e3f8dea-e596-11e7-ab50-621fe0588340_story.html?utm_term=.9dc327d38e48">menurun untuk tahun kedua secara berturut-turut</a> pada tahun 2017. </p>
<h2>Mari kita pelajari fakta</h2>
<p>Jadi, apakah Chris Rock benar bahwa orang Amerika tidak tahu tingkat disparitas masyarakat mereka? </p>
<p>Survei menunjuk bahwa dia benar. Para responden untuk sebuah <a href="http://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/1745691610393524">survei nasional 2011</a>, misalnya, “menganggap enteng secara dramatis” tingkat ketimpangan kekayaan di Amerika Serikat.</p>
<p>Survei itu, dan <a href="https://www.newyorker.com/science/maria-konnikova/americas-surprising-views-on-income-inequality">penelitian lain</a>, untuk sebagiannya juga membenarkan separuh kutipan Chris Rock yang lain dengan menunjukkan bahwa secara umum orang Amerika peduli dengan ketimpangan kekayaan dan lebih suka jika ketimpangan itu lebih rendah. </p>
<p>Apakah ketimpangan kekayaan di Amerika Serikat saat ini bisa dipertahankan secara sosial atau moral—atau bisa menyulut kerusuhan seperti yang dibayangkan Chris Rock—adalah sebuah pertanyaan yang masih bisa diperdebatkan. </p>
<p>Apa pun yang terjadi, satu hal yang penting: kita perlu mengetahui dan memahami seberapa buruk ketimpangan kekayaan di Amerika Serikat. Apa yang kita putuskan untuk kita lakukan mengenai hal itu sepenuhnya berpulang pada kita semua.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/92748/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Gil B. Manzon Jr. tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Kata komedian Chris Rock, kalau saja orang miskin tahu seberapa kaya orang kaya, maka mungkin saja orang akan bikin kerusuhan. Apa benar?Gil B. Manzon Jr., Associate Professor of Accounting, Boston CollegeLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/918462018-03-05T10:10:48Z2018-03-05T10:10:48ZIdeologi dan agama hanya sebagian alasan aksi terorisme pasca 11 September<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/208798/original/file-20180304-65519-qbpr2q.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">criminal</span> </figcaption></figure><p>Jika ditanya apa isu global yang mendefinisikan abad ke-21, saya akan menjawab meruaknya aksi-aksi radikal seperti bom bunuh diri. Beberapa ilmuwan menyalahkan ideologi agama atas tindakan ini. </p>
<p>Namun banyak riset selama hampir dua dekade terakhir, termasuk riset kami di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, menemukan lebih banyak faktor. </p>
<p>Tindakan radikal sebenarnya ditemukan sepanjang sejarah manusia, tapi para ilmuwan sepakat bahwa peristiwa 11 September 2001 adalah <a href="https://www.scientificamerican.com/article/howresearch-was-changed-by-september-11-terrorist-attacks/">titik awal ketika mata dunia mulai memusatkan perhatian kepada kelompok-kelompok teroris</a>.</p>
<p>Hingga saat ini, banyak pihak masih berusaha keras untuk mencari cara menangkal sekaligus melawan aksi-aksi radikal. Para ilmuwan dari berbagai disiplin berusaha menemukan faktor-faktor apa yang bekerja di balik radikalisme dan mencari tahu proses apa yang terjadi hingga orang bersedia mengorbankan nyawanya sendiri untuk melakukan aksi teror.</p>
<p>Tokoh-tokoh populer seperti Richard Dawkins dan Sam Harris menyalahkan ideologi agama sebagai penyebab utama terorisme. Dawkins dalam bukunya <a href="http://philosophy.org.za/uploads_other/The_God_Delusion_(Selected).pdf"><em>The God Delusion</em></a> memandang agama seperti virus yang memanipulasi manusia untuk mengorbankan segala sumber daya yang mereka punya (termasuk nyawa) demi eksistensi agama itu sendiri. Begitu pula Sam Harris yang memandang <a href="https://samharris.org/books/the-end-of-faith/">kitab suci sebagai sumber intoleransi dan kekerasan</a> terhadap orang-orang yang berbeda agama.</p>
<p>Tapi sebetulnya aksi kekerasan dan tindakan radikal melibatkan faktor-faktor yang lebih kompleks dari sekadar narasi ideologis (agama). Pada kenyataannya, <a href="http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/1477370807084226">hanya segelintir</a> orang dengan ideologi jihadis-salafi yang memilih melakukan aksi teror atas nama agama.</p>
<p>Maka dari itu kita perlu melihat faktor-faktor lain yang menimbulkan kerentanan radikalisme selain dari agama. Saya mengumpulkan berbagai riset terkait hal ini dalam dua dekade terakhir dan menemukan beberapa faktor.</p>
<h2>Persepsi ketidakadilan</h2>
<p>Dalam konteks terjadinya konflik ekstrem antar kelompok identitas, radikalisme tumbuh dengan subur. Konflik semacam ini biasanya terjadi akibat perebutan wilayah kekuasaan atau adanya persaingan dalam memperebutkan sumber daya alam. Contoh wilayah terjadinya konflik adalah Palestina dan Irak.</p>
<p>Dalam kasus Irak, imperialisme Amerika Serikat dianggap telah memporakporandakan sistem hidup dan memanfaatkan sumber daya alam milik mereka. Dalam kasus Palestina, Israel dianggap sebagai musuh yang telah merebut wilayah negara mereka. <a href="https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18605818">Persepsi ketidakadilan</a> semacam ini memicu kebencian terhadap pihak yang dianggap sebagai “penjahat”. Ketika suatu pihak sudah menganggap kelompok lain sebagai penjahat, maka kekerasan terhadap kelompok itu <a href="https://www.ncjrs.gov/pdffiles1/nij/grants/201462.pdf">terlegitimasi</a>.</p>
<h2>Merasa identitasnya terancam</h2>
<p>Walau persepsi ketidakadilan dianggap sebagai faktor yang kuat, persepsi ketidakadilan tidak mampu menjelaskan mengenapa orang-orang di wilayah non-konflik juga mendukung atau bahkan ikut melakukan aksi teror. Maka dari itu, ada faktor lain yang seharusnya juga berperan di sini. Faktor kedua adalah perbedaan identitas sosial. </p>
<p>Seringkali, keberadaan orang-orang dengan identitas yang berbeda dianggap sebagai suatu ancaman terhadap satu kelompok. Pembangunan gereja, misalnya, dianggap sebagai usaha untuk mempengaruhi orang-orang Islam agar menganut agama Kristen.</p>
<p>Walau tidak terjadi perebutan sumber daya atau perebutan wilayah, <a href="https://www.researchgate.net/publication/226768898_An_Integrative_Theory_of_Intergroup_Conflict">perbedaan identitas semata</a> bisa memicu kecemasan atau ketakutan terhadap identitas lain. Ketakutan ini berujung pada legitimasi kekerasan. Baru-baru ini terjadi aksi teror di Gereja Santa Lidwina, Yogyakarta oleh <a href="http://nasional.kompas.com/read/2018/02/12/18441831/wiranto-pelaku-penyerang-gereja-santa-lidwina-adalah-teroris">seseorang yang tidak berhasil berjihad ke wilayah konflik seperti Suriah</a>. </p>
<p>Karena itu, orang seperti ini mencari identitas lain yang dianggap mengancam identitasnya <a href="https://sethgodin.typepad.com/seths_blog/files/NYPD_Report-Radicalization_in_the_West.pdf">meski tidak ada konflik yang terjadi</a>.</p>
<h2>Hilangnya makna hidup</h2>
<p>Kondisi terancam atau konflik memang situasi yang mendukung radikalisme tumbuh dengan subur. Akan tetapi tanpa motivasi pribadi yang kuat, orang tidak akan bersedia melakukan aksi-aksi radikal. Apalagi jika mereka tidak memiliki kemampuan atau sumber daya yang cukup untuk melakukan aksi-aksi teror. </p>
<p>Biasanya, motivasi untuk melakukan aksi radikal terbentuk karena adanya pengalaman-pengalaman hidup yang negatif. <a href="https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09546553.2011.587064">Satu riset</a> menunjukkan bahwa seringkali radikalisme lebih dianut oleh orang-orang yang merasa dirinya gagal, punya riwayat mengecewakan orang tua atau keluarga, didiskriminasi oleh masyarakat atau lingkungan sosial, tidak punya pekerjaan tetap, atau sekadar merasa hidupnya hampa. Dengan kata lain, orang-orang ini merasa hidupnya tidak signifikan. Mereka merasa dirinya tidak bermakna.</p>
<p>Ketidakbermaknaan itu mengarahkan mereka untuk <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0022103110001216">mencari-cari ideologi</a> atau propaganda ekstrem yang bisa membuat hidup mereka lebih bermakna. Seringkali, tokoh agama radikal atau kelompok teroris mampu memberikan makna hidup yang dicari. Mereka menjanjikan keselamatan dalam agama, nikmat mendapat bidadari surga, dan status sebagai pahlawan. Yang perlu dilakukan hanyalah melakukan aksi teror atas nama agama.</p>
<p>Baru-baru ini saya bersama kolega di Laboratorium Psikologi Politik UI <a href="https://www.researchgate.net/project/Infernum-ad-Portas/update/5a9a36844cde266d588edf0e">melakukan riset</a> pada 89 profil terpidana teroris di lembaga pemasyarakatan yang menjalani program deradikalisasi. Kami menemukan bahwa dukungan terhadap terorisme bisa dikurangi ketika ada makna alternatif (selain makna dari kelompok radikal). Makna alternatif ini misalnya keinginan untuk membahagiakan keluarga, mengembangkan bisnis, atau kembali ke kehidupan sosial sebelum mereka bergabung dengan kelompok teroris.</p>
<h2>Justifikasi moral</h2>
<p>Riset saya bersama rekan-rekan di laboratorium psikologi politik UI juga berhasil menemukan bahwa dukungan terhadap terorisme terbentuk karena kecenderungan psikologis untuk menjustifikasi terorisme sebagai perbuatan bermoral. Orang-orang yang mendukung terorisme berpikir bahwa aksi teror <a href="http://www.oapen.org/download?type=document&docid=638430#page=635">bisa memperluas pengaruh Islam</a> dan meningkatkan kekuatan politik Islam di dunia. Mereka menganggap dampak-dampak itu sangat baik bagi Islam sehingga memiliki nilai moral. Maka dari itu, aksi teror bisa dilegitimasi. Meski demikian, dalam riset yang sama kami juga menemukan bahwa mayoritas orang Islam tidak mendukung terorisme.</p>
<p>Di samping faktor-faktor yang telah disebutkan, proses penguatan dalam kelompok radikal juga penting. Propaganda sang pemimpin kelompok serta didikan dalam kelompok akan membuat seseorang lebih siap dalam melakukan aksi-aksi radikal. </p>
<p>Semua ini menunjukkan bahwa aksi radikal seperti terorisme itu tidak hanya terbentuk oleh ideologi semata. Terorisme jauh lebih kompleks daripada itu. Usaha memahami kompleksitas ini diperlukan guna menghindari reaksi yang keliru terhadap aksi terorisme.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/91846/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Joevarian menerima dana dari Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia. Dana yang didapat berasal dari Hibah PITTA 2016.</span></em></p>Beberapa tokoh berpendapat agama adalah pemicu utama terorisme. Tapi sebetulnya terorisme dipicu oleh banyak faktor lain.Joevarian Hudiyana, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/916632018-02-15T09:34:26Z2018-02-15T09:34:26ZKetimpangan di dunia bukan tak terelakkan: Oxfam<p><em>Baru-baru ini, Oxfam mengeluarkan laporan tahunan mengenai ketimpangan pada Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss. Laporan tahun ini, berjudul “Hargai Pekerjaan, Bukan Kekayaan”, menyoroti bagaimana sistem ekonomi dunia memungkinkan kelompok elit kaya raya menimbun kekayaan sementara ratusan juta orang berjuang untuk bertahan hidup dengan upah rendah.</em></p>
<p><em><strong>Athia Yumna, peneliti senior di Institut Riset SMERU</strong> yang mengkhususkan diri pada masalah ketimpangan, berbicara dengan salah satu penulis laporan tersebut, <strong>Max Lawson, Ketua Kebijakan Ketimpangan di OXFAM International</strong>, untuk mendiskusikan pesan kunci laporan itu dan menggali relevansinya untuk Indonesia.</em> </p>
<hr>
<p><strong>Athia:</strong> Laporan tahun ini menyoroti tema kerja dan cara memerangi peningkatan ketimpangan dengan mendorong pekerjaan yang layak. Apa itu pesan kuncinya?</p>
<p><strong>Max:</strong> Ya, tepat sekali. Kita tahu, berdasarkan pengalaman negara-negara seperti Brasil dan Korea, kenaikan besar dalam upah minimum dapat menghasilkan perubahan besar dalam tingkat ketimpangan. </p>
<p>Ada grafik dalam laporan tersebut, yang kami dapatkan dari hasil kerja luar biasa Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Asia. Berdasarkan tingkat kepatuhan [penerapan] upah minimum serta [penerapan] upah minimum antara laki-laki dan perempuan, terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat besar antarnegara. [Dari situ terlihat bahwa] untuk mengurangi masalah ketimpangan jelas dibutuhkan investasi yang besar untuk [kebijakan] upah minimum yang lebih tinggi dan penegakan [kebijakan tersebut]. </p>
<p>Hal lainnya yang benar-benar menarik perhatian saya dalam menulis laporan ini, yakni harga yang harus dibayar oleh orang-orang miskin akibat [kondisi di atas]. Di Bangladesh, pekerja perempuan tidak minum cukup air dalam kondisi yang sangat panas karena mereka tidak mau ke toilet [agar tidak kehilangan waktu untuk memenuhi target kerja mereka], dan akibatnya infeksi umum ditemukan[di sana]. Di AS, ada cerita-cerita mengenai pekerja di peternakan unggas yang mengenakan popok ketika bekerja.</p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/WAzIL/2/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" width="100%" height="364"></iframe>
<p><strong>Athia:</strong> Apa tujuan diluncurkannya laporan ini di Davos [di Forum Ekonomi Dunia]?</p>
<p><strong>Max:</strong> Alasan utama meluncurkan laporan ini di Davos bukan karena kami pikir bahwa masalah krisis ketimpangan akan dipecahkan oleh orang-orang di Davos. Kami pikir krisis ketimpangan [pada akhirnya] hanya dapat diselesaikan oleh politik progresif dan kekuatan rakyat biasa yang menuntut perubahan.</p>
<p>Namun, dengan menggunakan panggung Davos, di mana media fokus pada orang-orang paling kaya, pemimpin bisnis dan politik yang menghadiri pertemuan ini, dan perhatian dunia internasional akan acara tersebut, [ada] kesempatan untuk menunjukkan bahwa masalah [ketimpangan] ini bertambah buruk.</p>
<p>Angka statistik yang paling saya sukai dalam laporan ini adalah bahwa kekayaan miliarder meningkat enam kali lipat lebih cepat daripada upah. Ini menggambarkan tesis dari buku Thomas Piketty yang berjudul “Capital”—yaitu jika kekayaan secara konsisten tumbuh lebih cepat daripada penghasilan maka krisis ketimpangan pun akan semakin buruk.</p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/39p5j/2/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" width="100%" height="519"></iframe>
<p><strong>Athia:</strong> Apa pelajaran dari ketimpangan di masa lalu pada abad 19 dan awal abad 20? Adakah ciri khas berbeda antara ketimpangan masa lalu dan apa yang kita hadapi sekarang?</p>
<p><strong>Max:</strong> Saya pikir jelas bahwa ketimpangan bukan hal yang tak terelakkan. Sejarah menunjukkan bahwa ketimpangan bisa dikurangi dengan cara damai melalui politik progresif, atau yang menyedihkan, melalui perang atau konflik berat. </p>
<p>Bila Anda melihat perkembangannya, pertama di AS setelah Depresi Besar kemudian di Eropa tepat setelah Perang Dunia Kedua, dan kemudian bila Anda melihat pertumbuhan alami dari negara-negara seperti Indonesia pada 1950-an sampai 1970-an, pertumbuhan pada saat-saat tersebut sangat inklusif. </p>
<p>Namun kontras dengan pertumbuhan yang kita lihat hari ini, lagi-lagi di Indonesia dan di tempat lain, di mana mayoritas pertumbuhan utamanya menuju ke puncak [kelompok pendapatan]. Sejarah menunjukkkan bahwa itulah yang dilakukan Barat pada 1950-an dan 60-an, Amerika Latin telah melakukannya [mengurangi ketimpangan] dalam 10 sampai 15 tahun terakhir, dan negara lain sedang melakukannya selagi kita berbicara [sekarang].</p>
<p><strong>Athia:</strong> Apa rekomendasi kebijakan baru dalam laporan?</p>
<p><strong>Max:</strong> Tidak ada [rekomendasi] yang benar-benar baru karena sejak lama kita tahu apa langkah yang benar dan kita hanya perlu menjawab pertanyaan mengapa [itu tidak dilaksanakan]. Jadi, ada elemen pengulangan yang selalu terjadi. </p>
<p>Saya pikir yang menonjol dalam laporan ini yakni [bahwa] beberapa perusahaan berhenti membayar dividen kepada pemegang saham sampai mereka dapat memberikan upah yang layak di seluruh rantai pasokan mereka. Kita belum pernah melihatnya sebelum ini.</p>
<p>Membatasi rasio antara pegawai dengan gaji tertinggi dan terendah juga menarik. Kami mempelajari model-model bisnis baru di mana perusahaan bisa beroperasi dalam cara yang tidak memperparah masalah [ketimpangan]. </p>
<p>Contohnya Mondragon, perusahaan multinasional di Spanyol, yang membayar atasannya tidak lebih dari sembilan kali lipat dari pegawai yang digaji terendah. Ini adalah contoh-contoh perusahaan yang cara operasinya mengurangi ketimpangan, alih-alih meningkatkan ketimpangan.</p>
<p>Namun, dalam hal rekomendasi, pada dasarnya sama: Yang kaya harus membayar pajak lebih banyak, dan yang miskin perlu dibayar lebih tinggi. </p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/Hkr5Y/2/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" width="100%" height="500"></iframe>
<p><strong>Athia:</strong> Apa yang bisa dipelajari Indonesia dari negara-negara lain yang telah mengembangkan kebijakan pajak mereka dengan sukses?</p>
<p><strong>Max:</strong> Bila kita melihat seluruh kawasan, ada negara-negara yang memperkenalkan kebijakan pajak yang baik: pajak warisan di Thailand, tidak sempurna tapi setidaknya ada; atau pajak properti yang diterapkan di Kamboja.</p>
<p>Dalam waktu 10 tahun, saya ingin melihat pajak kekayaan yang lebih besar. Itu bisa berarti pajak kekayaan langsung tapi juga bisa berarti pajak pendapatan kapital, pajak properti, atau pajak warisan. Saya rasa ada kesempatan untuk ini dan berbagai negara berkembang sudah mulai melakukannya.</p>
<p>Berinvestasi dalam pengumpulan pajak adalah hal pertama yang perlu lakukan. Menaikkan anggaran tiga kali lipat untuk penegakan dan pengumpulan pajak dapat membuat perubahan besar.</p>
<p><strong>Athia:</strong> Apa saran utama Anda untuk Indonesia untuk mengatasi ketimpangan?**</p>
<p><strong>Max:</strong> Saya pikir tidak ada satu negara yang dapat menawarkan cetak biru biru untuk negara lain. Tentunya, pajak sangat penting tapi saya pikir dalam hal Indonesia, prinsip dasarnya adalah bahwa dalam empat hingga lima tahun ke depan, pajak untuk rasio PDB (produk domestik bruto) bisa dinaikkan jadi 4 sampai 5%, dilakukan seprogresif mungkin.</p>
<p>Saya rasa itu cukup masuk akal. Pendapatan tambahan [yang berasal dari pajak] itu bisa meningkatkan anggaran kesehatan Anda hingga dua kali lipat, memiliki implikasi besar bagi belanja publik, dan pada gilirannya, mengurangi ketimpangan.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/91663/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Athia Yumna tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Yang kaya harus membayar pajak lebih banyak, dan yang miskin perlu dibayar lebih tinggi, kata Ketua Kebijakan Ketimpangan Oxfam Internasional Max Lawson.Athia Yumna, Senior researcher, SMERU Research InstituteLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/911502018-02-09T10:24:40Z2018-02-09T10:24:40ZMengatasi ketimpangan dengan kekuatan perencanaan perkotaan<p>Ketimpangan pendapatan dapat menciptakan segregasi spasial maupun sosial yang terlihat di kota-kota besar dalam berbagai bentuk. Di Indonesia <em>gated communities</em>, kompleks perumahan eksklusif dengan tembok dan pagar tinggi serta penjaga keamanan di gerbangnya, merupakan contoh yang gamblang. Meski begitu, penerapan hukum dan perencanaan perkotaan bisa menjembatani perbedaan dan mengurangi ketimpangan tersebut. </p>
<p>“Instrumen perencanaan inklusif ” dirancang untuk mewujudkan hal tersebut. Tetapi agar efektif, instrumen tersebut harus dilaksanakan dengan tegas. </p>
<p>Di Indonesia, ada dua instrumen yang berpotensi menciptakan masyarakat yang lebih inklusif. Tetapi ketimpangan kuasa antara pengembang kaya dan kaum miskin kota, minimnya keahlian dalam menerapkan perencanaan inklusif, dan bahkan tidak memadainya kesadaran instrumen-instrumen terkait, menghambat pelaksanaannya. </p>
<h2>Peningkatan ketimpangan global</h2>
<p>Peningkatan ketimpangan secara global sudah ditunjukkan selama lima tahun terakhir oleh beberapa organisasi. Oxfam International baru saja menerbitkan sebuah <a href="https://www.oxfam.org/sites/www.oxfam.org/files/file_attachments/bp-reward-work-not-wealth-220118-summ-en.pdf">laporan</a> tentang ketimpangan yang menyoroti perbedaan signifikan dalam upah. </p>
<p>Antara tahun 1980 dan 2016, 1% populasi dunia teratas mengeruk 27% dari total pertumbuhan pendapatan dunia. Sedangkan 50% paling bawah hanya mengais 12% pertumbuhan pendapatan, menurut <a href="http://wir2018.wid.world">World Inequality Report 2018</a>. </p>
<iframe src="https://datawrapper.dwcdn.net/giSll/1/" scrolling="no" frameborder="0" allowtransparency="true" width="100%" height="407"></iframe>
<p>Indonesia tidak kebal dari tren global ini; ketimpangan pendapatan maupun ketimpangan kekayaan mengalami peningkatan di negeri ini. Indeks Gini Indonesia (koefisien antara 0-1 digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan—semakin mendekati 1, semakin timpang) meningkat dari 0,31 pada tahun 1990 (UNDP, 1990) menjadi 0,41 pada tahun 2015. </p>
<p>Lebih dari itu, menurut <a href="https://www.oxfam.org/en/research/towards-more-equal-indonesia">Oxfam</a>, ketimpangan kekayaan meningkat hingga level di mana empat orang terkaya di negeri ini punya kekayaan lebih banyak daripada 100 juta rakyat yang paling miskin.</p>
<p>Ketimpangan adalah salah satu yang harus diperhatikan jika kita menghendaki masyarakat yang harmonis dan adil. Agenda pembangunan internasional arus utama mengakui hal itu dan <a href="https://sustainabledevelopment.un.org/sdgs">2015 Sustainable Development Goals</a> menuangkannya ke dalam salah satu tujuannya (SDG10) yakni “mengurangi ketimpangan di tiap-tiap dan di antara berbagai negara.” </p>
<h2>Ketimpangan di kota besar</h2>
<figure class="align-left ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/204204/original/file-20180131-131724-iyzuej.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/204204/original/file-20180131-131724-iyzuej.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/204204/original/file-20180131-131724-iyzuej.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/204204/original/file-20180131-131724-iyzuej.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=600&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/204204/original/file-20180131-131724-iyzuej.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/204204/original/file-20180131-131724-iyzuej.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/204204/original/file-20180131-131724-iyzuej.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=754&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Sustainable Development Goal 10: Mengurangi ketimpangan di tiap-tiap negara dan di antara berbagai negara.</span>
<span class="attribution"><a class="source" href="https://commons.wikimedia.org/wiki/File:TGG_Icon_Color_10.png">Global Goals org/The Global Goals Initiative</a>, <a class="license" href="http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/">CC BY-SA</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Ketimpangan pendapatan tampak nyata di kota besar. Kita bisa melihat jelas perbedaan antara berbagai kelompok sosial yang berlainan dalam hal akses terhadap perumahan dan pelayanan dasar. </p>
<p>Rumah keluarga kelas menengah atas di Indonesia umumnya sangat luas, dibangun dengan bahan-bahan bermutu tinggi dan terletak di lingkungan dengan pelayanan dan infrastruktur yang bagus. Bagi mereka yang tinggal dalam <em>gated communities</em>, tersedia berbagai sarana keamanan.</p>
<p>Sebaliknya, perumahan orang miskin tidak memiliki kondisi struktural yang memadai. Tempat hunian pun padat, sering kali satu keluarga mendiami satu ruangan. Di samping itu, tidak ada sanitasi dan akses terhadap pelayanan dasar. </p>
<p><em>Gated communities</em>, terutama di negara-negara berkembang, adalah opsi perumahan utama bagi kelompok-kelompok berpenghasilan tinggi. Golongan kaya memberi alasan bahwa mereka lebih suka tinggal dalam komunitas berpagar untuk mengurangi kecemasan dan ketakutan terhadap kejahatan. Meski begitu, perasaan menjadi bagian dari suatu kelompok eksklusif dan keinginan untuk tidak melibatkan orang-orang yang “tidak diinginkan” adalah alasan kuat untuk tinggal di permukiman tertutup. </p>
<p>Bahkan ketika bisa hidup berdampingan di wilayah yang sama, golongan miskin dan golongan kaya tidak saling berinteraksi, kecuali dalam hubungan kerja formal antara majikan dan pekerja, di mana hubungan kekuasaan yang tegas berfungsi efektif.</p>
<p>Akses warga terhadap pelayanan dan infrastruktur juga terbelah menurut kemampuan ekonomi. Ini menciptakan pola “<em>splintering urbanism</em>” (kota yang tersekat-sekat), mencerminkan distribusi pelayanan dan infrastruktur yang tidak merata dalam suatu wilayah. </p>
<h2>Instrumen-instrumen perencanaan Indonesia</h2>
<p>Regulasi-regulasi perencanaan inklusif bisa digunakan untuk mengurangi kesenjangan antara golongan kaya dan golongan miskin, termasuk disparitas dalam pelayanan dan infrastrukur yang tersedia untuk mereka. Instrumen-instrumen ini mensyaratkan para pengembang memadukan perumahan sosial dan/atau pelayanan dan infrastruktur bagi kelompok-kelompok yang kurang beruntung ketika membangun perumahan bagi kelompok berpenghasilan tinggi. </p>
<p>Indonesia memiliki dua regulasi inklusif potensial bagi pengembangan hunian privat baru. Yang pertama adalah skema “Rasio 1.2.3” yang tercakup dalam regulasi nasional. Skema ini menyatakan bahwa untuk setiap rumah yang dibangun bagi penghuni berpendapatan tinggi, pengembang swasta juga harus membangun dua rumah untuk keluarga berpendapatan menengah dan tiga untuk keluarga berpendapatan rendah. </p>
<figure class="align-left ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/204215/original/file-20180131-131711-5zxp5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=237&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/204215/original/file-20180131-131711-5zxp5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=978&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/204215/original/file-20180131-131711-5zxp5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=978&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/204215/original/file-20180131-131711-5zxp5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=978&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/204215/original/file-20180131-131711-5zxp5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=1229&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/204215/original/file-20180131-131711-5zxp5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=1229&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/204215/original/file-20180131-131711-5zxp5.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=1229&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Instrumen perencanaan inklusif ‘Rasio 1.2.3.</span>
<span class="attribution"><span class="source">Samantha Goerling/The Conversation Indonesia</span>, <span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Instrumen kedua disebut “sosialisasi”, yang disertakan sebagai sebuah tahapan dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan AMDAL. Persetujuan AMDAL merupakan syarat untuk mendapatkan izin bagi proyek pembangunan baru. “Tahapan sosialisasi” mewajibkan pengembang yang berencana membangun sebuah proyek di area yang sudah terbangun untuk mendapat izin dari penduduk setempat agar proyek tersebut bisa berlangsung. </p>
<p>Kedua instrumen itu merepresentasikan upaya-upaya pemerintah untuk mengurangi ketimpangan di kota-kota besar dan memberlakukan semacam “<em>planning gain</em>” (manfaat sosial dari pengembang sebagai imbalan atas izin penggunaan tanah secara komersial). Ini bisa dilihat sebagai langkah menuju redistribusi, dengan potensi sangat besar menciptakan perubahan positif di kota-kota besar Indonesia. </p>
<p>Namun, data penelitian kami dari Jakarta dan Yogyakarta menunjukkan bahwa “Rasio 1.2.3” nyaris tidak diberlakukan. Tanah adalah sesuatu yang langka di banyak kota besar Indonesia sehingga tidak akan menguntungkan bagi sektor swasta membangun rumah bagi keluarga berpenghasilan menengah dan bawah. Selain itu, banyak pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas penerapan “Rasio 1.2.3” tidak memahami dengan jelas mekanisme pelaksanaannya. </p>
<p>Sementara itu “sosialisasi” menjadi sebuah proses yang sangat terbatas. “Sosialisasi” sudah berubah menjadi negosiasi ekonomi antara pengembang swasta yang berkuasa dan warga setempat yang lemah yang tinggal di dekat proyek yang diusulkan. Mereka biasanya diwakili oleh para ketua RT/RW. </p>
<p>Dalam situasi yang paling lumayan, komunitas setempat berhasil mendapatkan beberapa lapangan pekerjaan baru sebagai satpam, tukang bersih-bersih, tukang kebun, atau pekerja bangunan. </p>
<p>Mereka juga bisa memperoleh bantuan dana untuk acara-acara tahunan warga seperti perayaan Hari Kemerdekaan. Jalan-jalan setempat dan masjid bisa tetap terurus. </p>
<p>Tetapi manfaat-manfaat itu tidak cukup untuk mengurangi kesenjangan antara kedua kelompok tersebut, juga tidak akan mendukung segala interaksi sosial antara penghuni lama dan baru. </p>
<p>Minimnya pelaksanaan “Rasio 1.2.3” dan terbatasnya cakupan proses “sosialisasi” adalah penyebab peluang yang luput dimanfaatkan oleh kota-kota besar Indonesia. Instrumen-instrumen ini berpotensi mengurangi ketimpangan pendapatan perkotaan dengan “memaksa” mereka yang punya uang lebih banyak untuk memberi sumbangan bagi kemaslahatan keluarga-keluarga yang lebih miskin. </p>
<h2>Bagaimana memaksimalkan manfaat dari perencanaan inklusif</h2>
<p>Untuk meningkatkan manfaat dari instrumen-instrumen perencanaan inklusif tersebut pemerintah harus: </p>
<ol>
<li><p>mengembangkan panduan dan instrumen lebih jelas dan realistis sehingga bisa diterapkan</p></li>
<li><p>membangun mekanisme-mekanisme lebih jelas bagi para pejabat publik untuk melaksanakan instrumen-instrumen tersebut </p></li>
<li><p>membuat masyarakat lebih memahami instrumen-instrumen tersebut dan, terutama, manfaat-manfaat potensial dari kota-kota besar yang lebih harmonis dan adil. </p></li>
</ol>
<h2>Peningkatan ketimpangan global</h2>
<p>Bagaimana mengatasi kesenjangan ketimpangan sering kali merupakan topik panas bagi pemerintah. Berbagai organisasi internasional mengatakan bahwa para pemimpin dunia kini mengakui adanya ketimpangan, tetapi tak cukup banyak yang dilakukan untuk menguranginya secara efektif. </p>
<p>Langkah-langkah lain untuk mengurangi ketimpangan meliputi sistem pajak yang lebih progresif, seperti yang dianjurkan dalam Laporan Ketimpangan Dunia (World Inequality Report). Dengan sistem ini, orang yang mendapatkan lebih juga memberikan sumbangan lebih banyak bagi pelayanan publik dan publik yang lebih luas. Ini meliputi belanja untuk menyediakan pendidikan, perawatan sosial, dan perlindungan sosial bagi semua. Kebijakan-kebijakan bagi upah setara antara pekerja perempuan dan laki-laki juga dipromosikan sebagai kunci bagi pengurangan ketimpangan.</p>
<p>Mengingat skala ketimpangan, dan mendesaknya persoalan, instrumen-instrumen perencanaan adalah mekanisme yang berharga. Mekanisme ini harus ditinjau kembali demi memastikan terwujudnya berbagai manfaat secara menyeluruh.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/91150/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Sonia Roitman menerima dana dari ARC. </span></em></p>D tengah meningkatnya ketimpangan, dua instrumen perencanaan kota bertujuan mengatasi masalah tersebut di Indonesia. Namun, agar efektif aturan-aturan ini betul-betul harus diterapkan.Sonia Roitman, Senior lecturer in Development Planning, The University of QueenslandLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/896552018-01-05T09:11:39Z2018-01-05T09:11:39ZMemasarkan moralitas dalam demokrasi Indonesia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/200767/original/file-20180104-26172-13bz3i6.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Peserta Aksi Bela Islam banyak yang merupakan anak muda yang cemas akan mobilitas vertikal mereka.</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Setahun berlalu sejak <a href="https://thediplomat.com/2017/12/what-did-indonesias-anti-ahok-reunion-rally-reveal/">demonstrasi massa berbasis keagamaan terbesar</a> di Indonesia, dan beberapa organisasi pendorongnya ikut merayakan hari besar ini.</p>
<p>Pada Desember 2016, jutaan kaum muslim berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk bergabung dengan warga ibu kota dalam sebuah rapat umum yang disebut <a href="https://theconversation.com/why-hundreds-of-thousands-of-muslims-rallied-against-the-jakarta-governor-68351">Aksi Bela Islam</a>. Para peserta aksi menuntut agar gubernur Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama (lebih dikenal dengan sapaan “Ahok”), dicopot dari jabatan gubernurnya dan diadili karena penistaan terhadap agama Islam dalam sebuah pidato kampanye spontan.</p>
<p>Ahok—yang kini telah dipenjara—menyampaikan komentar kontroversial tentang sebuah ayat Quran, yang menganjurkan agar umat Islam tidak memilih non-muslim sebagai pemimpin. Ahok sendiri beragama Kristen dan seorang Tionghoa, dengan demikian merupakan bagian dari sebuah kelompok sosial yang dipandang sudah diuntungkan oleh kebijakan negara sejak zaman penjajahan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan di tangan mereka.</p>
<p><a href="http://www.newmandala.org/jakarta-inequality-poverty-elite-pluralism/">Wilson (2016)</a> memandang bahwa aksi-aksi protes tahun 2016 terjadi karena ketimpangan ekonomi, sementara <a href="http://www.newmandala.org/ahoks-satisfied-non-voters-anatomy/">Mietzner dan Muhtadi (2017)</a> mencatat adanya sentimen religius primordial. Tetapi, menurut kami, kasus Ahok menunjukkan adanya kaitan antara ungkapan solidaritas muslim dan kemarahan terhadap kondisi sosial ekonomi yang ada.</p>
<p>Kemarahan itu tidak cuma dirasakan oleh orang-orang Islam yang miskin. Sentimen itu juga dirasakan oleh irisan kelas menengah muda terdidik yang aspirasi mobilitas sosial vertikal ke atasnya dipersulit oleh situasi aktual yang mereka hadapi.</p>
<p>Oleh karena itu, sebagaimana disiratkan Wilson dalam penjelasannya, program kontroversial Ahok untuk membangun kembali kawasan kota, yang melibatkan penggusuran massal, menegaskan kesan eksistensi gamang yang sudah kuat merasuki masyarakat Indonesia.</p>
<h2>Meningkatnya tingkat kesalehan menjelang Pemilu</h2>
<p>Banyak orang, terutama anak-anak muda, sekarang merasa dikecewakan oleh janji-janji modernitas dan pembangunan yang ditanamkan melalui lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga lain. Respons yang semakin sering diartikulasikan melalui bahasa moralitas keagamaan mencerminkan peningkatan kesalehan dalam masyarakat Indonesia yang memungkinkan tumbuhnya jenis solidaritas keagamaan yang dirujuk Mietzner dan Muhtadi. </p>
<p>Bahkan, keterkaitan antara kekecewaan sosial ekonomi dan kekuatan sentimen religius memudahkan munculnya “pasar moralitas”, sebuah ruang di mana simbol-simbol Islam dikonsumsi dan direproduksi sebagai ungkapan kekecewaan terhadap status quo yang tidak adil.</p>
<p>Berfungsinya pasar ini hampir bisa dipastikan akan mencolok dalam demokrasi Indonesia hingga pemilihan presiden 2019, dan mungkin juga sesudahnya. </p>
<p>Moralitas Islam berpotensi menyediakan sumber daya kultural yang kaya untuk dieksploitasi oleh elite yang saling berkompetisi, termasuk di antaranya melalui 171 pemilihan kepala daerah yang akan berlangsung di seluruh Indonesia pada tahun 2018. </p>
<p>Dukungan lewat mobilisasi massa, ketika diperlukan, bisa dibentuk oleh jenis narasi penindasan tertentu yang digunakan dengan sangat baik ketika melawan Ahok di Jakarta.</p>
<p>Inilah narasi yang menekankan perjuangan mayoritas rakyat yang terus-menerus dipinggirkan dan dibayangkan sebagai sebuah umat (Islam). Umat ini dikontraskan dengan elite bisnis tamak yang diberi label sebagai etnis minoritas Tionghoa, yang pada gilirannya juga didukung oleh tokoh-tokoh politik kuat dan korup.</p>
<h2>Dampak terhadap pemilihan presiden 2019</h2>
<p>Tampaknya kemungkinan besar pemilihan presiden 2019 akan menghadapkan kembali Presiden Joko Widodo dan lawan beratnya, Prabowo Subianto. Jokowi sudah dihadang oleh rumor tentang identitasnya, terutama disebarkan melalui media sosial oleh para <a href="http://cipg.or.id/buzzer/">buzzer</a> dan pengguna internet. Rumor ini menyebut-nyebut peran Jokowi dalam mengizinkan <a href="http://www.straitstimes.com/opinion/anti-china-campaign-in-jokowis-indonesia">pengaruh Cina masuk ke Indonesia</a>, dengan juga memelihara keraguan terhadap ketakwaannya sebagai seorang muslim.</p>
<p>Sebaliknya, Prabowo dan aliansinya—termasuk <a href="http://www.thejakartapost.com/news/2017/12/02/anies-attends-212-reunion-rally.html">Anies Baswedan</a>, yang juga dipandang berambisi meraih kursi kepresidenan setelah mengalahkan Ahok—sudah mulai berkonsolidasi dengan lebih banyak organisasi Islam garis keras.</p>
<h2>Survei tentang persepsi di kalangan aktivis Islam</h2>
<p>Dalam sebuah <a href="http://australiaindonesiacentre.org/projects/islamic-morality-challenges-democracy-study-urban-lower-middle-class-responses/">survei</a> terhadap 600 orang yang ikut serta dalam Aksi Bela Islam, kami berusaha memahami kaitan antara pandangan mengenai ketidakadilan sosial, kepatuhan terhadap moralitas Islam, dan aksi politik. Enam puluh lima persen responden kami adalah laki-laki, yang mencerminkan tingkat partisipasi perempuan yang lebih rendah; sedangkan sebanyak 109 orang adalah pegawai rendah hingga menengah di berbagai perusahaan swasta, serta mahasiswa (101 orang).</p>
<p>Kurang lebih separuh responden menyelesaikan pendidikan tinggi (51%) sedangkan pendidikan menengah adalah pendidikan tertinggi yang dicapai 47% responden kami. Tak kurang dari 44% responden melaporkan belanja rumah tangga bulanan antara Rp4,5 juta sampai Rp7 juta, yang menempatkan mereka dalam kelompok kelas menengah bawah atau di ambang batas kelas menengah. Partisipasi orang muda dalam Aksi Bela Islam signifikan; 60% responden berusia 20-an tahun, 18% berusia 30-an tahun, sedangkan yang berusia di atas 40 tahun hanya mencapai 14%.</p>
<p>Angka-angka ini menunjukkan bahwa kecemasan mengenai ketidakadilan sosial berkaitan sangat erat dengan kekhawatiran terhadap masa depan di antara kalangan muslim muda terdidik yang memiliki aspirasi mobilitas sosial vertikal ke atas. Sebagian besar responden mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada orang tua mereka, tetapi mereka tidak memiliki prospek pekerjaan yang pasti.</p>
<h2>Pendidikan gagal memenuhi janji</h2>
<p>Janji-janji bahwa pendidikan akan meningkatkan peluang memperbaiki status sosial semakin banyak diragukan, sehingga menghasilkan semakin banyak kekecewaan yang diarahkan kepada mereka yang dianggap mendapatkan akses ekonomi dan sosial secara tidak adil.</p>
<p>Keluhan-keluhan yang dirasakan bersama tampaknya menghasilkan sikap politik serupa di antara para responden kami. Walaupun mobilisasi anti-Ahok 2016 dipelopori oleh kelompok-kelompok garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia yang kini dibubarkan, hampir 60% responden menyatakan terafiliasi dengan organisasi-organisasi Islam arus utama seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Kedua organisasi ini lazimnya dipandang sebagai penjaga bentuk-bentuk “moderat” politik Islam di Indonesia.</p>
<p>Ini tidak mengejutkan sebetulnya, karena survei kami tidak menunjukkan banyak perbedaan dalam pendapat tentang berbagai persoalan terkait moralitas Islam di kalangan mereka yang merasa mendukung organisasi-organisasi moderat atau pun garis keras.</p>
<p>Perkembangan ini meliputi sikap terhadap non-muslim, peran perempuan dalam masyarakat, dan aktivitas ekonomi yang bisa diterima secara keagamaan. Tampaknya organisasi-organisasi Islam moderat dianggap tidak mampu menangani kecemasan yang berlaku umum, mendorong para responden untuk mendukung narasi yang lebih tegas tentang marjinalisasi yang digunakan oleh kelompok-kelompok Islam garis keras.</p>
<p>Menariknya, seperlima responden kami menganggap bahwa tidak ada satu pun organisasi Islam yang benar-benar merepresentasikan kepentingan mereka. Akibatnya, narasi garis keras diarusutamakan menjadi politik kaum muslimin yang tadinya dipimpin oleh organisasi-organisasi Islam moderat.</p>
<h2>Dampak jangka panjang situasi sosial terlihat negatif</h2>
<p>Perkembangan ini tidak mencerminkan serangkaian situasi sosial yang mendadak muncul. Sejak akhir 1980-an, neoliberalisasi perekonomian Indonesia sudah menghancurkan pelan-pelan lembaga-lembaga publik dan meningkatkan persaingan antar-individu, dalam sebuah situasi yang pada umumnya tanpa jaring pengaman sosial di luar keluarga.</p>
<p>Karena pasar terlalu abstrak untuk disalahkan, kambing hitam yang paling gampang adalah “liyan” yang didefinisikan sebagai di luar mayoritas orang biasa. </p>
<p>Kasus Ahok, yang memperlihatkan sentimen kuat anti-Cina, menunjukkan bahwa ketidakadilan pasar disumirkan oleh ide bahwa mayoritas umat Islam dipinggirkan secara sistematis dalam persaingan memperebutkan sumber daya ekonomi.</p>
<p>Hal itu juga menunjukkan bahwa elite politik siap memanfaatkan kecemasan di kalangan muslim muda terdidik berikut aspirasi mobilitas sosial vertikal ke atas mereka yang sarat kontradiksi.</p>
<p>Akibatnya, isu-isu ketimpangan dan ketidakadilan akan semakin sering dibingkai berdasarkan identitas rasial maupun keagamaan, yang dengan demikian mengabaikan betapa semua itu lebih terkait secara fundamental dengan transformasi neoliberal dan sifat kekuasaan ekonomi dan politik.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini diterjemahkan dari <a href="http://asaa.asn.au/marketing-morality-indonesias-democracy/">artikel bahasa Inggris yang dimuat di situs Asian Studies Association of Australia (ASAA)</a> atas seizin ASAA.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/89655/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Artikel ini berdasarkan proyek ‘Islamic Morality and Challenges to Democracy: A Study of Urban Lower and Middle Class Responses’ yang didanai oleh Australia-Indonesia Centre.
Riset Vedi Hadiz untuk periode 2018-2021 akan didanai oleh Australian Research Council.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Inaya Rakhmani peneliti dalam survei yang disebut dalam tulisan ini, yang didanai oleh the Australia Indonesia Council (AIC).</span></em></p>Isu-isu ketimpangan dan ketidakadilan, dan ungkapan kemarahan terhadap status quo, semakin sering dibingkai dengan identitas rasial dan keagamaan di Indonesia.Vedi Hadiz, Professor of Asian Studies, The University of MelbourneInaya Rakhmani, Lecturer in Communication Science and Head of Communications Research Centre, Universitas IndonesiaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/893192018-01-02T10:02:31Z2018-01-02T10:02:31ZKetimpangan meningkat—dalam tingkat yang beragam seantero dunia<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/200354/original/file-20171221-17746-o3rfwg.jpg?ixlib=rb-1.1.0&rect=15%2C0%2C5153%2C3331&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Kesenjangan antara si kaya dan miskin semakin melebar.</span> <span class="attribution"><span class="source">Nacho Code/Reuters</span></span></figcaption></figure><p>Ketimpangan sedang mengalami peningkatan hampir di mana-mana di seluruh dunia—inilah temuan gamblang dari <a href="http://wir2018.wid.world/">World Inequality Report</a> yang pertama. Ketimpangan terutama tumbuh paling pesat di Rusia, India, dan Cina—negara-negara di mana ketimpangan sudah lama ditengarai tetapi tak banyak data akurat untuk menyajikan sebuah gambaran yang dapat diandalkan.</p>
<p>Sebelumnya, sebetulnya sangat sulit membandingkan ketimpangan di kawasan-kawasan berbeda di dunia karena langka dan tidak konsistennya data. Sebagai upaya mengatasi kesenjangan ini, Laporan Ketimpangan Dunia yang baru ini dibuat berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan oleh lebih dari 100 peneliti yang berada di setiap benua dan menyumbang data bagi <a href="http://www.wid.world">World Wealth and Income Database</a> (Basis Data Kekayaan dan Pendapatan Dunia).</p>
<p>Eropa adalah wilayah yang paling tidak timpang di dunia, setelah mengalami sedikit peningkatan dalam ketimpangan. Di paruh bawah tabel terdapat Afrika Sub-Sahara, Brasil, dan India, dengan Timur Tengah sebagai kawasan yang paling timpang.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/199062/original/file-20171213-27568-af23yp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/199062/original/file-20171213-27568-af23yp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/199062/original/file-20171213-27568-af23yp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=394&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/199062/original/file-20171213-27568-af23yp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=394&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/199062/original/file-20171213-27568-af23yp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=394&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/199062/original/file-20171213-27568-af23yp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=495&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/199062/original/file-20171213-27568-af23yp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=495&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/199062/original/file-20171213-27568-af23yp.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=495&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">World Inequality Report</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Sejak tahun 1980, laporan tersebut menunjukkan bahwa peningkatan ketimpangan sedang berlangsung dengan kecepatan berlainan di sebagian besar kawasan dunia. Ini diukur dari 10% teratas distribusi pendapatan—berapa banyak dari total pendapatan sebuah negara yang dimiliki 10% orang terkaya negara tersebut. </p>
<p>Tempat-tempat di mana ketimpangan tetap stabil adalah tempat-tempat di mana ketimpangan sudah berada di tingkat yang sangat tinggi. Sejalan dengan tren ini, kami amati bahwa Timur Tengah barangkali adalah kawasan yang paling timpang, di mana 10% teratas penerima penghasilan terus-menerus meraih lebih dari 60% pendapatan negara.</p>
<h2>Ketimpangan selalu menjadi keprihatinan</h2>
<p>Di Eropa sekali pun, di mana ketimpangan tidak terlalu mencolok, masalah kesetaraan selalu memunculkan keprihatinan etis. Misalnya, di Eropa Barat, banyak orang yang tidak menerima upah hidup riil (<em>real living wage</em>), walaupun sudah bekerja keras, <a href="https://www.theguardian.com/society/2017/nov/05/real-living-wage-poverty-pay">sering kali dalam pekerjaan purna waktu</a>.</p>
<p>Tambahan pula, data menunjukkan bahwa 10% teratas penerima penghasilan di Eropa secara keseluruhan masih menguasai 37% total pendapatan nasional pada tahun 2016. </p>
<p>Meningkatnya ketimpangan penghasilan harus menjadi fokus bagi perdebatan publik karena hal itu juga merupakan faktor yang memotivasi perilaku manusia. Hal itu mempengaruhi cara kita mengonsumsi, menabung, dan berinvestasi. Bagi banyak orang, hal itu menentukan apakah seseorang bisa atau tidak mengakses pasar kredit <a href="http://voxeu.org/article/effects-income-inequality-economic-growth">atau sekolah yang baik bagi anak-anak kita</a></p>
<p>Hal tersebut, selanjutnya, bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan mengundang pertanyaan apakah <a href="http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09538250701819719">masyarakat yang timpang itu efisien secara ekonomi</a>.</p>
<p>Mendalami detail tentang apa yang mendorong peningkatan ketimpangan penghasilan, laporan tersebut menunjukkan bahwa timpangnya kepemilikan kekayaan nasional merupakan sebuah masalah yang penting. Kekayaan nasional bisa dimiliki secara publik (misalnya, nilai sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur publik) maupun dimiliki secara privat (nilai aset pribadi).</p>
<p>Sejak tahun 1980, transfer sangat besar kekayaan publik ke kekayaan pribadi terjadi di hampir semua negara, entah itu negara kaya atau yang sedang berkembang. Walaupun kekayaan nasional meningkat secara substansial, kekayaan publik sekarang berada pada posisi negatif atau mendekati nol di negara-negara kaya. Secara khusus, Inggris dan Amerika Serikat adalah negara dengan tingkat modal publik terendah.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/199198/original/file-20171214-27558-1a2m19h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/199198/original/file-20171214-27558-1a2m19h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/199198/original/file-20171214-27558-1a2m19h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/199198/original/file-20171214-27558-1a2m19h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/199198/original/file-20171214-27558-1a2m19h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/199198/original/file-20171214-27558-1a2m19h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/199198/original/file-20171214-27558-1a2m19h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/199198/original/file-20171214-27558-1a2m19h.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><a class="source" href="http://wir2018.wid.world/files/download/wir2018-summary-english.pdf">World Inequality Report</a></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Bisa dikatakan, hal tersebut membatasi kemampuan pemerintah untuk mengatasi ketimpangan. Tentu saja hal itu membawa implikasi penting bagi ketimpangan kekayaan di kalangan warga negara. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa kebijakan nasional tentang kepemilikan modal sudah menjadi faktor utama peningkatan ketimpangan sejak tahun 1980.</p>
<h2>Ketimpangan di negara-negara yang sedang berkembang</h2>
<p>Perekonomian yang kaya sumber daya alam <a href="https://www.theguardian.com/global-development/2012/oct/25/natural-resources-blessing-curse-developing-countries">lazimnya dianggap</a> rentan terhadap konflik atau lebih otoriter dalam cara perekonomian itu ditangani. Laporan baru ini juga menyatakan bahwa beberapa perekonomian yang kaya dari sumber daya alam, seperti “perekonomian minyak”, juga sangat timpang. Hal ini sudah diduga sebelumnya karena sumber daya alam sering terpusat di tangan segelintir. Namun, sebelum adanya laporan ini tidak ada bukti yang jelas soal itu.</p>
<p>The World Inequality Report menunjukkan kepada kita bahwa kawasan Timur Tengah mungkin malah lebih timpang daripada Amerika Tengah dan Selatan, yang lama dianggap termasuk <a href="https://www.cepal.org/en/articles/2016-latin-america-worlds-most-unequal-region-heres-how-fix-it">tempat yang paling timpang di muka di Bumi</a>. </p>
<p>Temuan signifikan lainnya adalah negara-negara yang berada dalam tahap perkembangan yang sama mengalami pola-pola berbeda dalam meningkatnya ketimpangan. Ini menunjukkan bahwa kebijakan dan lembaga-lembaga nasional berpengaruh. Arah tiga perekonomian besar yang sedang beranjak menjadi maju memberikan gambaran soal ini. Rusia mengalami peningkatan mendadak, Cina menempuh laju moderat, dan India peningkatannya bertahap.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/199064/original/file-20171213-27562-w9sy0p.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/199064/original/file-20171213-27562-w9sy0p.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/199064/original/file-20171213-27562-w9sy0p.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=384&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/199064/original/file-20171213-27562-w9sy0p.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=384&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/199064/original/file-20171213-27562-w9sy0p.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=384&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/199064/original/file-20171213-27562-w9sy0p.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=482&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/199064/original/file-20171213-27562-w9sy0p.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=482&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/199064/original/file-20171213-27562-w9sy0p.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=482&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption"></span>
<span class="attribution"><span class="source">World Inequality Report</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Perbandingan antara Eropa dan Amerika Serikat bahkan memberikan contoh yang lebih mencolok—Eropa Barat tetap menjadi tempat bagi konsentrasi terendah pendapatan nasional di antara 10% teratas penerima penghasilan.</p>
<p>Dibandingkan dengan Amerika Serikat, divergensi ketimpangannya spektakuler. Di kedua kawasan tersebut pada 1980, 1% teratas menguasai hampir 10% porsi pendapatan. Porsi itu hanya naik sedikit menjadi 12% pada tahun 2016 di Eropa Barat, tetapi melonjak hingga 20% di Amerika Serikat. Ini bisa membantu menjelaskan terjadinya peningkatan populisme. Mereka yang tertinggal semakin hilang kesabaran ketika mereka tidak melihat satu pun perbaikan yang tampak (atau bahkan memburuk) <a href="https://warwick.ac.uk/fac/soc/economics/news/2013/4/tunneleffect/">dalam kondisi kehidupan mereka</a>.</p>
<p>Mengurangi ketimpangan agar masyarakat menjadi lebih adil tidak hanya penting untuk dilakukan. Masyarakat yang setara erat hubungannya <a href="https://www.theguardian.com/commentisfree/2014/mar/09/society-unequal-the-spirit-level">dengan hasi-hasil penting lainnya</a>. Sama seperti stabilitas politik dan sosial, stabilitas pendidikan, kejahatan, dan keuangan mungkin akan terganggu <a href="https://oxfamblogs.org/fp2p/is-inequality-the-root-cause-of-global-crisis-the-world-banks-lead-research-economist-thinks-so/">ketika ketimpangan tinggi</a>. </p>
<p>Dengan data baru di depan mata, sekarang kita bisa bertindak untuk belajar dari kebijakan-kebijakan di kawasan yang lebih setara dan menerapkannya untuk mengurangi ketimpangan di seluruh dunia.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/89319/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Antonio Savoia tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Sebuah laporan baru menunjukkan tingkat ketimpangan global di seluruh dunia.Antonio Savoia, Lecturer in Development Economics, University of ManchesterLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/816862017-11-13T10:31:57Z2017-11-13T10:31:57ZResep menghapus kemiskinan ala Paus Fransiskus<p>Pada Agustus lalu, <a href="http://wartakota.tribunnews.com/2017/08/09/cari-suaka-puluhan-wna-berkemah-di-depan-kantor-detensi-imigrasi">beredar viral berita</a> mengenai sekelompok pengungsi asal Afghanistan dan Somalia yang menginap di trotoar di luar rumah detensi Kalideres, Jakarta Barat. Keadaan mereka menyedihkan karena sudah berhari-hari tidur beratapkan langit dan makan dari budi baik orang yang lewat. </p>
<p>Termasuk di antara mereka adalah tiga anak berusia di bawah lima tahun (balita). Salah satu organisasi yang bergegas memberi bantuan kepada mereka adalah Karitas Indonesia atau Karina, lembaga sosial milik Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI). Direkturnya, Romo Suyadi SJ, tidak bisa tinggal diam menerima kabar sedih itu meski mandat lembaga yang dipimpinnya tidak langsung bersinggungan dengan persoalan pengungsi. </p>
<p>“Bukankah Paus Fransiskus sudah berkali-kali bicara mengenai pengungsi dan meminta kita berbuat sesuatu?” demikian dia menjawab ketika saya konfirmasi mengenai mandat itu.</p>
<p>Paus Fransiskus adalah satu dari sedikit pemimpin dunia yang saat ini bersuara lantang membela hak para pengungsi ketika situasi politik dan ekonomi sungguh-sungguh memojokkan mereka. Tapi apa artinya suara dari seorang pemimpin agama yang tidak punya kementerian sosial, apalagi pasukan perdamaian untuk menghentikan konflik? Apalagi di Indonesia, umatnya hanya minoritas dan belum tentu setuju dengan prioritasnya.</p>
<h2>Hari Orang Miskin Sedunia</h2>
<p>Pada Juni tahun ini, Paus Fransiskus memulai tradisi baru yaitu mencanangkan Hari Orang Miskin Sedunia yang akan jatuh pada 19 November 2017 atau pada hari Minggu ketiga November setiap tahun. </p>
<p>Pemimpin tertinggi Katolik sebelumnya juga pernah mencanangkan hal serupa. Pius X (1914) menciptakan Hari Migran dan Pengungsi Sedunia. Paulus VI (1967) memulai Hari Perdamaian Sedunia. Yohanes Paulus II terkenal dengan Hari Kaum Muda Sedunia sejak 1984. Sebelum ini Paus Fransiskus pada 2015 juga pernah mencanangkan Hari Doa Sedunia bagi Pemeliharaan Ciptaan. </p>
<p>Hari-hari istimewa itu dibuat dengan maksud agar umat Katolik menaruh perhatian khusus untuk perkara-perkara yang dianggap penting oleh gereja dan berbuat sesuatu untuk menanggapi keprihatinan itu. Dengan Hari Orang Miskin Sedunia, Paus Fransiskus berharap agar “<a href="https://w2.vatican.va/content/francesco/en/messages/poveri/documents/papa-francesco_20170613_messaggio-i-giornatamondiale-poveri-2017.html">komunitas Kristiani di seluruh dunia dapat menjadi tanda yang makin jelas bagi belas kasih Kristus kepada yang paling kecil dan membutuhkan</a>.” </p>
<p>Gereja Katolik bukanlah negara dengan kekuatan militer dan birokrasi yang konkret. Juga bukan perusahaan atau LSM internasional dengan kekuatan dana yang tak terbatas. Kekuatan Gereja Katolik terletak pada kemampuannya untuk membujuk para penganutnya dan masyarakat untuk memandang dunia dengan kacamata moral tertentu, lalu bertindak sesuai dengan keyakinan nurani yang dalam. Dengan legitimasi moral, daya tarik pribadi Paus, selebrasi, dan pernyataan publik yang menggugah, serta jaringan yang seluas dunia, Gereja Katolik adalah contoh praktik <em>soft power</em> yang mumpuni. </p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/memetakan-kemiskinan-tidak-cukup-hanya-menghitung-jumlah-orang-miskin-82536">Memetakan kemiskinan tidak cukup hanya menghitung jumlah orang miskin</a></em></p>
<hr>
<h2>Radikalisme moral Paus Fransiskus</h2>
<p>Di tangan Paus Fransiskus, mesin persuasi tersebut dipakai untuk menyuarakan keprihatinan dan perhatian gereja terhadap persoalan sosial di dunia. Salah satu sasaran utama Paus Fransiskus adalah sistem ekonomi dunia yang dinilainya telah melebarkan jurang kaya-miskin dan merusak lingkungan. </p>
<p>Hanya beberapa bulan sesudah terpilih pada 2013, Paus Fransiskus menerbitkan seruan apostolik berjudul “Evangelii Gaudium” atau “Suka Cita Injil” yang menyebut ketimpangan ekonomi hasil dari pendewaan pasar bebas sebagai akar dari masalah-masalah sosial. Tak lama berselang, Paus menerbitkan ensiklik atau surat terbuka kepada seluruh dunia berjudul Laudato Si atau “Terpujilah Engkau” yang mengkritik secara keras model pembangunan ekonomi yang merusak tatanan sosial sekaligus lingkungan hidup. </p>
<p>Menurut Michael Burawoy, sosiolog terkemuka dari Amerika, Paus asal Argentina ini mengajarkan radikalisme moral yang setara dengan karya ekonom Thomas Piketty dan filsuf Karl Polanyi.</p>
<h2>Orang miskin bukan objek amal</h2>
<p>Di dalam surat yang menandai peluncuran Hari Orang Miskin Sedunia, Paus Fransiskus mengajak orang agar tidak melihat orang miskin sebagai objek belas kasihan atau tindakan karitatif, melainkan kita harus “<a href="https://w2.vatican.va/content/francesco/en/messages/poveri/documents/papa-francesco_20170613_messaggio-i-giornatamondiale-poveri-2017.html">menjumpai mereka, bertatap muka, memeluk mereka, dan membiarkan mereka merasakan kehangatan kasih yang memecah kesepian</a>”. Dengan menjumpai mereka, kita akan melihat kemiskinan secara apa adanya, tidak terbungkus agenda kampanye politik atau ambisi kesalehan pribadi seperti yang kerap terjadi juga di Indonesia. </p>
<p>Di dalam surat yang sama, Paus Fransiskus menyerukan perlunya membangun “visi baru mengenai hidup dan masyarakat” demi melawan berbagai bentuk kemiskinan yang dihasilkan oleh paradigma ekonomi dan politik yang dominan saat ini.</p>
<p>Visi baru inilah yang saat ini sungguh-sungguh langka. Krisis ekonomi datang silih berganti seolah tak mengajarkan apa pun kepada para pengambil kebijakan. Pemerintahan mana pun tentu ingin menghapus kemiskinan tapi suara orang miskin jarang benar-benar didengarkan. </p>
<p>Kerja keras Presiden Joko Widodo menggenjot pembangunan infrastruktur ternyata belum bisa mengurangi jumlah orang miskin yang masih mandeg di angka 27 juta orang per Maret 2017, bahkan naik hampir 7.000 orang bila dibandingkan angka tahun sebelumnya. Sementara indeks ketimpangan kaya-miskin tidak bergerak di <a href="https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1116">kisaran 0,39</a>.</p>
<p>Tapi ada kemiskinan yang dipuji oleh Paus, yaitu kemiskinan sebagai “sikap batin yang menghindari melihat uang, karier, dan kemewahan sebagai tujuan dalam hidup dan syarat bagi kebahagiaan kita”. Bagi kebanyakan orang Katolik, mungkin inilah tantangan yang paling konkret dalam hidup sehari-hari. </p>
<p>Baru-baru ini, orang-orang Katolik Jakarta geger karena foto yang beredar di media sosial mengenai satu perkakas ibadah yang konon seharga satu miliar rupiah di sebuah gereja baru. Tidak lama kemudian, <a href="http://www.tribunnews.com/nasional/2017/08/26/mess-perwira-yang-kumuh-dimanfaatkan-dirjen-hubla-jadi-gudang-penyimpanan-uang-suap-rp2074-miliar">seorang pejabat eselon atas beragama Katolik di Kementerian Perhubungan</a> tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga menerima suap dengan bukti uang tunai Rp 20 miliar yang disimpan di <a href="http://banjarmasin.tribunnews.com/2017/08/26/gila-mess-perwira-yang-kumuh-dimanfaatkan-dirjen-hubla-jadi-gudang-penyimpanan-uang-suap">Mess Perwira Bahtera Suaka Jakarta Pusat</a>.</p>
<p>Mengubah sikap batin mungkin lebih sulit daripada mengubah kebijakan. Meski demikian, Paus Fransiskus yakin, perubahan yang mendalam ini akan menghasilkan kebaikan bersama yang sejati.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/81686/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Benedictus Hari Juliawan, S.J. works for several Catholic institutions, including Sanata Dharma University, Jesuit Refugee Service, and Jesuit Conference of Asia Pacific. </span></em></p>Paus Fransiskus mencanangkan Hari Orang Miskin Sedunia yang pertama tahun ini. Dalam pesannya, Paus mengatakan orang miskin bukan objek amal, tapi orang yang harus kita jumpai dan peluk.Benny Hari Juliawan, Lecturer at the Graduate School of Religious and Cultural Studies, Universitas Sanata DharmaLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/859122017-10-24T11:49:25Z2017-10-24T11:49:25ZDi balik keindahan Raja Ampat ada yang miskin dan telantar<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/191030/original/file-20171019-1072-1dkd423.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Raja Ampat memang indah, tapi rakyatnya kesulitan mengakses berbagai layanan publik.</span> <span class="attribution"><span class="source">Shutterstock</span></span></figcaption></figure><p>Tahun lalu di Times Square yang riuh di New York City, terlihat papan iklan besar yang menampilkan keindahan Kepulauan Raja Ampat. Selain gambar, ada juga kalimat promosi “berliburlah ke tempat yang penuh sihir”. Tetapi di balik daya tarik gambar-gambar tersebut tersembunyi kemelaratan masyarakat yang hidup di sana.</p>
<p>Raja Ampat adalah kumpulan pulau-pulau di semenanjung Kepala Burung di Papua Barat, Indonesia. Tempat ini dikenal sebagai <a href="http://www.cntraveller.com/recommended/amazing-journeys/raja-ampat-islands-indonesia">tempat menyelam terbaik di dunia</a>. Lingkungan aneka ragam biota laut yang hampir belum terjamah di mana Anda bisa melihat ikan warna-warni dengan mata telanjang dari atas air.</p>
<p>Daerah ini sebelumnya disebut Irian Jaya, paruh Barat dari pulau Papua yang menjadi diakui bagian dari Indonesia pada 1961. Pada 1969 penduduk Papua Barat memilih menjadi bagian dari Indonesia melalui suatu referendum. Pada 2003 teritori ini dibagi menjadi dua provinsi: Papua dan Papua Barat. Tapi bersama-sama, dua provinsi ini kerap disebut sebagai Irian Jaya.</p>
<p>Di seluruh Papua, terutama di dataran tinggi masih terdapat gerakan pro-kemerdekaan, dan polisi serta militer kerap merazia dan memburu separatis. Tetapi wilayah pantai, termasuk Raja Ampat, secara politis stabil dan aman.</p>
<p>Kepulauan ini menyimpan banyak pesona alam yang membuatnya terlihat seperti surga di dunia. Tetapi <a href="https://rajaampatkab.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/70">20,5%</a> dari <a href="https://rajaampatkab.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/44">46.600 penduduk pada 2016</a> hidup di bawah garis kemiskinan dan memiliki akses rendah terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan pasar.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"783842722335498242"}"></div></p>
<p>Data memperlihatkan pada 2015, penduduk Raja Ampat per orang rata-rata mengeluarkan <a href="https://rajaampatkab.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Statistik-Daerah-Kabupaten-Raja-Ampat-2017.pdf">Rp849.715 per bulan</a> untuk makanan dan non makanan. Angka ini 28,8% lebih tinggi ketimbang angka rata-rata nasional untuk perdesaan (Rp 659.414) karena biaya hidup di Raja Ampat sangat tinggi.</p>
<h2>Lebih terisolasi</h2>
<p>Untuk mencapai Raja Ampat, membutuhkan delapan jam dari Jakarta. Dari ibu kota negara, Anda bisa terbang langsung ke Sorong, atau transit di Makassar sebelum ke Sorong, di ujung barat laut Papua.</p>
<p>Lalu Anda naik ferry ke Pulau Waigeo (juga dikenal sebagai Amberi, atau Waigiu), satu dari empat pulau utama dari 1.800 pulau di kabupaten <a href="http://regional.coremap.or.id/downloads/cerita_sukses_coremap_II_rajaampat4.pdf">Raja Ampat</a>.</p>
<p>Waisai, ibu kota Raja Ampat, terletak di pulau terbesar di sana, Waigeo. Di Waigeo ada banyak cottage, kebanyakan dimiliki elite lokal. Mayoritas kegiatan pemerintahan dan birokrasi Raja Ampat terjadi di Waisai. Tetapi populasinya tersebar di banyak pulau.</p>
<p>Untuk disertasi doktoral saya, saya tinggal di beberapa pulau, salah satunya Mainyafun. Dibutuhkan waktu sekitar empat jam menggunakan perahu motor dari Waisai, pada April 2016. Di Mainyafun setidaknya terdapat 55 keluarga, dan setiap keluarga beranggotakan sembilan hingga 12 orang.</p>
<iframe src="https://www.google.com/maps/d/u/0/embed?mid=19x-mMdpPO8lpCIY1v9ORlit7l5A" width="100%" height="480"></iframe>
<p>Sebagaimana di desa lain di Raja Ampat, Mainyafun tidak memiliki fasilitas pengolahan air bersih, tapi sudah memiliki fasilitas penampungan air. Air minum bersih dalam kemasan plastik botol dan gelas dikirim dari Waisai dua kali sebulan atau satu kali dua bulan tergantung cuaca. Penduduk desa juga mengumpulkan air hujan untuk minum. Air dari gunung dialirkan melalui pipa ke pusat desa, tetapi kandungan mineralnya dianggap tinggi sekali.</p>
<p>Tidak ada listrik dan sinyal telepon di sana. Kebanyakan orang di sana menyebut pendidikan sebagai “barang mewah”, dan hanya sekolah sampai lulus sekolah dasar, sarana tingkat pendidikan tertinggi di pulau itu.</p>
<p>Untuk melanjutkan ke sekolah menengah, pelajar di Mainyafun harus pergi ke Waisai. Perjalanannya memakan biaya sekitar Rp1,3 juta satu arah dan sekitar empat jam naik perahu kaca fiber, dan kerap tanpa peralatan keamanan.</p>
<h2>Mengais-ngais nafkah</h2>
<p>Berada di wilayah dengan banyak ikan, kebanyakan orang di pulau mencari nafkah mencari ikan. Tetapi banyak di antara mereka masih tinggal dalam kemiskinan ekstrem. </p>
<p>Harga ikan yang mereka jual juga sangat murah sehingga meski mereka menangkap 10 kg per hari, mereka masih menombok pengeluaran. Nelayan membutuhkan 5 liter bahan bakar sehari untuk menjalankan perahu kecil mereka. Tetapi bahan bakar langka dan mahal, dan 5 liter bisa seharga Rp125.000.</p>
<hr>
<p><em><strong>Baca juga:</strong> <a href="https://theconversation.com/memahami-akar-masalah-papua-dan-penyelesaiannya-jangan-gegabah-87785">Memahami akar masalah Papua dan penyelesaiannya: jangan gegabah</a></em></p>
<hr>
<p>Nelayan menjual pada pengepul ikan di Mainyafun, yang memroses ikan menjadi ikan asin. Harga jual maksimum di Mainyafun adalah Rp5.000 per kilogram, maka 10 kg menghasilkan Rp50.000. Setelah dikurangi bahan bakar, maka mereka rugi sekitar Rp75.000.</p>
<p>Harga ikan di Waisai sepuluh kali lipat lebih tinggi, dan di Sorong 20 kali lipatnya. Tetapi nelayan di Mainyafun harus menjual ikan mereka sesegera mungkin karena tidak ada akses listrik untuk menyimpan ikan di pendingin.</p>
<p>Mereka membutuhkan perahu yang lebih besar, bahan bakar lebih murah, dan akses ke pasar di Waisai atau Sorong untuk mendapatkan harga lebih baik untuk ikan mereka. Tetapi, perahu dengan motor yang bisa membawa ikan lebih banyak harganya lebih dari Rp100 juta, yang bagi mereka tak mungkin terjangkau.</p>
<h2>Kurangnya layanan kesehatan</h2>
<p>Terdapat puskesmas kecil di Mainyafun di mana satu dokter dan empat perawat bekerja untuk melayani enam kelurahan yang tersebar di pulau-pulau sekitarnya.</p>
<p>Kondisi kerja sulit dan berbahaya. Kebanyakan pasien mereka adalah pasien yang berangkat subuh dan datang sore. Pekerja kesehatan harus terus menerus siaga.</p>
<p>Isu paling lazim adalah malaria, infeksi kulit, dan penyakit saluran pernapasan. Kematian ibu saat melahirkan juga terjadi pada banyak perempuan. Di klinik hanya tersedia obat dasar dan generik, dan kadang terjadi kelangkaan obat.</p>
<p>Tinggal di pulau terisolasi tanpa sinyal telepon membahayakan baik pekerja kesehatan dan pasien mereka. Pasien yang butuh layanan darurat, seperti malaria kronis, seringkali tak tertolong. Satu-satunya rumah sakit dengan peralatan memadai terletak di Sorong di pulau besar yang berjarak 135 kilometer.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/141616/original/image-20161013-31308-1xm5urg.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/141616/original/image-20161013-31308-1xm5urg.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/141616/original/image-20161013-31308-1xm5urg.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/141616/original/image-20161013-31308-1xm5urg.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=450&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/141616/original/image-20161013-31308-1xm5urg.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/141616/original/image-20161013-31308-1xm5urg.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/141616/original/image-20161013-31308-1xm5urg.JPG?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=566&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Perawat di Mainyafun mencari sinyal telepon.</span>
<span class="attribution"><span class="license">Author provided</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Pekerja kesehatan kerap harus pergi ke pulau tetangga karena panggilan darurat menggunakan perahu kecil. Mereka harus mengabaikan fakta bahwa gelombang laut terkadang mencapai 3 meter. Keadaan laut bisa lebih buruk jika mereka pergi malam hari karena tidak ada alat navigasi modern atau informasi mengenai ramalan cuaca.</p>
<p>Pekerja kesehatan hanya bisa menemui keluarga mereka setidaknya dua kali setahun. Kebanyakan berasal dari Sorong dan Sulawesi Selatan, 1.532 km jauhnya. Gaji pokok pekerja kesehatan sebagai pegawan negeri atau pekerja honorer adalah sekitar <a href="http://www.gajimu.com/main/gaji/gaji-pejabat-negara-ri/gaji-pns">Rp1,5 juta sebulan</a>. Jumlahnya sama seluruh Indonesia, tapi dibanding dengan tuntutan kerja di Mainyafun jumlahnya kecil sekali.</p>
<h2>Mendapatkan layanan lebih baik</h2>
<p>Sementara Indonesia mempromosikan Raja Ampat ke dunia, orang lokal dan pekerja kesehatan merasa diabaikan. Mereka jarang bertemu dengan pejabat pemerintah di kecamatan mereka. Berdasarkan wawancara saya dengan dokter dan perawat di sana, birokrat di Wasaim terutama dari Dinas Kesehatan, kurang mempedulikan kehidupan, keamanan mereka, atau kebutuhan non-psikis mereka.</p>
<p>Pejabat pemerintah lokal yang saya wawancarai memberi tahu saya bahwa mereka berusaha memperbaiki kesejahteraan dengan mengajari orang-orang bagaimana membangun tempat penginapan bagi turis dan bagaimana cara mempromosikannya di internet. Tetapi penduduk lokal dan pekerja kesehatan mengatakan pada saya mereka tak pernah bertemu pejabat yang datang ke kampung mereka.</p>
<p>Kemiskinan di Raja Ampat adalah cerminan dari peran penting negara dalam proses pembangunan. Perbaikan mutu kehidupan bagi orang-orang miskin di daerah itu hanya bisa tercapai melalui perhatian memadai dari elite politik di Raja Ampat, dan pengawasan dari pemerintah pusat. Sebelum hal itu dilaksanakan, maka Indonesia harus berbenah diri menampilkan wajah Raja Ampat sebagai destinasi wisata laut dunia.</p>
<hr>
<p><em>Artikel ini diterjemahkan dan dimutakhirkan dari <a href="https://theconversation.com/behind-the-beauty-of-indonesias-raja-ampat-islands-lie-poverty-and-neglect-67164">artikel aslinya</a>.</em></p><img src="https://counter.theconversation.com/content/85912/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Asmiati Malik tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Pemerintah mempromosikan Raja Ampat sebagai ‘surga dunia’ ke luar negeri. Tetapi di balik keindahan alamnya, banyak yang telantar dan miskin di sana. Apakah benar ia surga dunia bagi penduduk lokal?Asmiati Malik, Doctoral researcher, University of BirminghamLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.