Menu Close
Akademisi mengatakan bahwa pendidikan yang fokus pada aspek kemanusiaan telah membantu Australia dan Finlandia dalam mengurangi praktek perpeloncoan. Shutterstock

Indonesia bisa mengakhiri ospek yang kejam dengan menghapus mental semi-militer dari sistem pendidikan

Para akademisi mengatakan pendisiplinan semi-militer dan pembelajaran berbasis kompetisi di sekolah-sekolah dan universitas adalah penyebab masih maraknya praktek ospek yang kejam. Mereka menyarankan perubahan fokus sistem pendidikan menjadi pembangunan aspek kemanusiaan.

Beberapa waktu lalu, seorang mahasiswi di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar meninggal dunia saat mengikuti kegiatan bernuansa perpeloncoan di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Pada 2019, beredar viral beberapa video yang menunjukkan mahasiswa-mahasiswa baru (maba) di Universitas Khairun, Maluku Utara sedang dipermalukan oleh senior – para maba diteriaki hingga dipaksa bergantian minum dan meludah dari gelas yang sama. Pada bulan Juli tahun yang sama, seorang siswa juga meninggal ketika mengikuti acara orientasi SMA di Palembang, Sumatra Selatan.

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) pada waktu itu meminta kepada pimpinan universitas untuk mendisiplinkan mahasiswa yang melakukan perpeloncoan dan lebih mempertegas pelaksanaan aturan universitas.

Tetapi, Novi Poespita Candra, seorang dosen psikologi pendidikan di Universitas Gadjah Mada, berpendapat bahwa sekadar melarang praktek perpeloncoan belum cukup.

Ia mengatakan bahwa praktik-praktik pendisiplinan yang berlebihan dalam proses belajar-mengajar, ditambah dengan standardisasi siswa, berkontribusi terhadap maraknya perpeloncoan di Indonesia karena membangun sistem budaya hierarkis di sekolah.

Novi mengusulkan perubahan total dalam cara kita merancang institusi-institusi pendidikan.

“Seluruh intitusi pendidikan harus berubah fungsi bukan sebagai sekadar pusat transfer pengetahuan yang mengukur hasil akademik saja, tapi sebaliknya harus mengutamakan membangun nilai-nilai humanis,” katanya.

“Jadi ini membuat ruang-ruang yang positif di mana tiap individu itu merasa diterima dan dihargai tanpa harus memamerkan kuasa mereka terhadap siswa lain.”


Read more: Agar bisa maju, sekolah di Indonesia harus lebih mengakomodasi minat siswa dan lindungi kebebasan akademik


Mendobrak mental senioritas dan kekerasan

Novi mengatakan bahwa penelitian psikologi dari Amerika Serikat (AS) menjabarkan beberapa lapisan yang memengaruhi tahapan pengembangan siswa, yang pada akhirnya berujung pada mental senioritas dalam ospek. Salah satu lapisan terpenting adalah lingkungan sekolah.

“Lapisan sejarah pribadi ini dibentuk pertama oleh model keluarga. Model keluarga Asia itu kan kecenderungannya dominasi dari orang tua,” katanya.

“Lapisan berikutnya adalah lingkungan sekolah, yang sebenarnya secara kekeluargaan kita mengarahkan siswa menuju suatu model perilaku menggunakan abuse of power (penyalahgunaan kuasa).”

Novi beranggapan bahwa ‘penyalahgunaan kuasa’ yang terjadi di sekolah Indonesia dapat dilihat dari upaya-upaya yang berlebihan dalam mendisiplinkan siswa.

“Di psikologi pendidikan, kita percaya perubahan perilaku itu dilakukan dengan pendekatan behaviouristic (berbasis perilaku), dengan penghargaan dan hukuman. Jadi harus dibangun ketakutan,” katanya.

“Masuk kelas baris-berbaris, kalau tidak melakukan sesuatu sedikit saja diberi poin, dan sebagainya. Ini modelnya semi-militer dibangun dari teori behaviouristic.”

“Karena tidak pernah mengajarkan pembelajaran sosial-emosional, mereka belum bisa ketemu nih, gimana ya cara yang lebih baik untuk menyambut orang yang baru masuk. Pada akhirnya terpaksa menjaga hirarki kelompok untuk mempertahankan abuse of power itu tadi.”

Beberapa tahun ini, pemerintah Indonesia sebaliknya justru mengumumkan rencana untuk memperkuat ‘program pembangunan karakter’ melalui kerjasama dengan Tentara Nasional Indonesia.

Penelitian dari Rhodes University tentang perilaku ospek di berbagai universitas di Afrika Selatan mendukung argumen Novi.

Riset tersebut mengatakan bahwa universitas memiliki peran besar dalam mengizinkan praktik-praktik ospek yang kejam untuk terus berlanjut dengan cara mengabaikan “relasi kuasa yang tidak imbang” antara senior dan junior.

Fokus pada pembangunan manusia

Untuk bisa lepas dari budaya yang bermasalah ini, Novi menyarankan pemerintah Indonesia belajar dari negara-negara yang memiliki kurikulum pembangunan manusia yang matang.

“Nah ketika kita lihat lagi, sistem pendidikan seperti di Australia dan Finlandia sudah mulai mengarah ke humanism itu tadi. Artinya bahwa, mereka memberi ruang-ruang kemerdekaan untuk setiap siswa mengisi atau menemukan dirinya kemudian embrace yang lain,” katanya.


Read more: Movement looks to emulate Australia's fun schools in Indonesia


Berbagai studi termasuk suatu laporan dari Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) mendukung pendapat dari Novi.

Riset-riset tersebut menunjukkan bagaimana sekolah di Finlandia mengajarkan multikulturalisme dan empati sejak usia dini. Sekolah di sana juga menyediakan program anti-bullying serta selalu siap dalam merespons kebutuhan psikologis dari para siswa.

Pendekatan ini berujung pada penurunan drastis dari bullying dan pelecehan di antara siswa-siswi Finlandia.

“Kalau pun misal belum merubah kurikulum, penciptaan ekosistem itu yang paling utama dalam perubahan paradigma,” kata Novi.

Transformasi peran mahasiswa senior

Novi mengatakan bahwa pendekatan ini telah membantu negara-negara yang disebutkan di atas dalam mengurangi ospek yang tidak mendidik di universitas.

Ia mencontohkan acara-acara orientasi di sana dan mengamati bagaimana mahasiswa baru diperlakukan seperti keluarga. Kampus juga memberdayakan senior untuk menjadi mentor personal bagi teman-teman baru mereka.

Bahkan, di beberapa universitas, senior menyediakan materi-materi tentang pencegahan kekerasan seksual dan juga pendidikan keberagaman rasial ketika acara orientasi berlangsung.


Read more: Hazing and sexual violence in Australian universities: we need to address men's cultures


Syaikhu Usman, peneliti senior dan ahli sosiologi di lembaga riset SMERU, setuju dengan pendapat Novi. Ia meminta universitas-universitas di Indonesia untuk mendorong para mahasiswa senior unutk menjadi panutan yang lebih baik bagi mahasiswa baru.

“Ini kesempatan bagi senior untuk menampilkan karakter, pengetahuan, dan keterampilan bergaul dalam melayani sahabat baru mereka”, katanya.


CATATAN EDITOR: Artikel ini kami perbarui pada Juli 2022 untuk menambahkan detail tentang kasus terbaru meninggalnya seorang mahasiswi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar saat mengikuti perpeloncoan.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now