Menu Close

Indonesia ngotot pakai energi nuklir – dan salah kaprah lainnya dari RUU EBT

Indonesia ngotot pakai energi nuklir – dan salah kaprah lainnya dari RUU EBT

Penggunaan energi terbarukan menjadi tren yang marak di berbagai belahan dunia sejak satu dekade belakangan. Berbagai penelitian dan beragam proyek pembangkit energi bersih seperti ladang besar panel surya, atau puluhan kincir angin yang berjajar di laut kian jamak ditemui.

Proyek-proyek energi bersih tersebut pun mengalahkan pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar fosil.

Badan Energi Internasional (IEA) mencatat investasi dan persetujuan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap batu bara anjlok sekitar 80% dibanding lima tahun lalu. Sementara, tren produksi listrik dari fasilitas nuklir terus menurun dan telah mencatatkan rekor terendahnya selama 30 tahun.

Namun, otoritas di Indonesia malah melawan arus.

Melalui Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan energi nuklir dapat memproduksi listrik di tanah air.

Selain itu, alih-alih dipangkas, pengerukan batu bara juga masih berlanjut di berbagai daerah dan bahkan diatur lebih lanjut dalam RUU EBT. Dalihnya, proses pengolahan batu bara seperti pencairan dan gasifikasi adalah teknologi anyar sehingga dapat digolongkan sebagai energi baru.

Selain dua persoalan di atas, episode SuarAkademia kali ini turut membedah persoalan kebijakan EBT yang tumpang tindih, lemahnya pengaturan energi bersih, serta isu lainnya yang membuat rancangan aturan ini tak layak disahkan.

Kami berbicara dengan dua narasumber, yakni Etheldreda E.L.T. Wongkar (Chenny), peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Satrio Swandiko.

Simak episodenya di podcast SuarAkademia – ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now