Menu Close
Sejumlah pelajar dan mahasiswa menanam pohon mangrove di pesisir Desa Tolitoli, Kecamatan Lalonggasumeeto, Konawe, Sulawesi Tenggara. Jojon/Antara

Inilah mengapa aksi iklim warga memulihkan kawasan mangrove tak bisa disepelekan

Akhir September lalu, media massa beramai-ramai memberitakan Presiden Joko “Jokowi” Widodo menanam mangrove di wilayah konservasi Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah.

Seremoni ini diklaim sebagai salah satu komitmen Indonesia untuk merestorasi sekitar 600 ribu hektare (ha) kawasan mangrove hingga 2024 untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim.

Hal yang lengang diberitakan dari seremoni di lokasi tersebut adalah kesuksesan penanaman mangrove oleh warga yang tergabung dalam kelompok Patra Krida Wana Lestari di Cilacap. Selama 2009-2019, kelompok ini berhasil merehabilitasi sekitar 160 ha kawasan mangrove. Kelompok Patra Krida dirintis oleh warga bernama Wahyono—kemudian dilanjutkan oleh anaknya: Joni Rianto. Sang anak juga mengelola kebun yang memasok bibit mangrove yang ditanam presiden.

Joni bukanlah satu-satunya aktor dalam rehabilitasi mangrove berbasis masyarakat. Para pegiat mangrove telah berjejaring melalui grup WhatsApp “Pegiat Mangrove” yang beranggotakan ratusan warga dari Aceh hingga Papua.

Minat warga dapat menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk memenuhi target pemulihan kawasan mangrove. Apalagi, rencana tersebut telah disinggung dalam komitmen aksi iklim Indonesia yang termuat dalam pembaruan Nationally Determined Contribution (NDC) maupun strategi rendah karbon dan ketahanan iklim jangka panjang (long term scenario-low carbon climate resilience (LTS-LCCR)) 2050..

Dua dokumen tersebut dibahas dalam Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa Bangsa (COP 26) sebagai bagian dari kontribusi Indonesia menahan laju kenaikan suhu bumi sebesar 1,5 C pada 2030.

Peluang kerja sama berbasis warga

Indonesia memiliki kawasan mangrove seluas 3,49 juta ha atau sekitar 21% dari total luas kawasan mangrove dunia (16,53 juta ha).

Kawasan ini pun memiliki potensi penyerapan karbon yang cukup tinggi. Angkanya mencapai 52,85 ton CO2/ha/tahun – jauh lebih tinggi dibanding estimasi rata-rata global sebesar 26,42 ton CO2/ha/tahun.

Sayang, luas kawasan mangrove terus menurun akibat ekspansi tambak dan perkebunan kelapa sawit. Tercatat, sekitar 19,26% (sekitar 637 ribu ha) dalam kondisi kritis.

Penurunan kualitas ini membuat warga di kawasan pesisir tergerak untuk memulihkan kawasan mangrove, sebagian besar di antaranya adalah nelayan maupun masyarakat yang merasakan dampak negatifnya (tangkapan ikan yang menurun, abrasi pantai). Mereka disebut pegiat mangrove di tingkat tapak.

Pegiat mangrove di tingkat tapak umumnya sudah bisa menyediakan bibit sendiri -— bahkan melakukan budi daya. Mereka bahu-membahu menyediakan bibit. Rehabilitasi kebanyakan dilakukan di lahan sendiri.

Warga juga biasanya mengetahui jenis dan cara rehabilitasi yang paling tepat untuk daerahnya. Melalui interaksi dengan mangrove, rasa memiliki pun tercipta karena warga selalu menginginkan tanamannya tumbuh subur.

Melalui grup WhatsApp, masyarakat pegiat mangrove pun lebih mudah berbagi informasi dan belajar. Keanggotaan grup ini terus bertambah, dari sekitar 40 orang menjadi 191 orang sepanjang 2019-2021.

Anggota lainnya dari latar belakang yang berbeda seperti akademikus, staf instansi pemerintah turut menjadi anggota grup. Mereka berperan memberikan pandangan ataupun mencarikan solusi atas kendala yang dialami warga.

Pemerintah pun sudah menyederhanakan mekanisme kerja sama program rehabilitasi mangrove, salah satunya melalui pemberlakuan sistem pembiayaan yang langsung dan tidak tidak lagi melibatkan pihak ketiga yang menghubungkan pemerintah dan masyarakat penggiat mangrove. Harapannya, proses pembiayaan restorasi dan rehabilitasi mangrove lebih cepat.

Menteri Lingkungan Siti Nurbaya Bakar turut mengamini potensi pemulihan berbasis warga sebagai salah satu penyumbang penambahan luasan mangrove Indonesia sebanyak 52,83 ribu ha selama delapan tahun belakangan.

Peruntukkan lahan dan pola kemitraan menjadi tantangan

Masih ada hal yang perlu dioptimalkan dalam memperkuat dan program kerjasama pemerintah dan masyarakat dalam restorasi dan rehabilitasi mangrove.

Misalnya, harga bibit kerap ditawar terlalu murah dibandingkan harga minimum yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp. 1800 per batang. Hal ini merugikan pelaku budi daya mangrove. Pembelian di bawah harga standar tersebut biasanya dilakukan oleh pihak perantara.

Selain harga yang terlampau murah, sejumlah pegiat juga mengeluhkan pola kerja sama yang tak adil dengan otoritas tertentu. Dalam proyek kemitraan ini, otoritas tersebut biasanya hanya menyetor sejumlah uang untuk kepentingan penanaman, tanpa membiayai ongkos pemeliharaannya.

Persoalan kemitraan tersebut disebabkan oleh lemahnya posisi hukum para penggiat. Tidak semua kelompok warga berbadan hukum.

Kendala yang lain yang terjadi di beberapa tempat adalah penanaman mangrove oleh justru ditolak warga lainnya karena ingin menggunakan lahan tersebut untuk kepentingan yang berbeda. Dalam sejumlah kasus, penolakan ini bahkan berujung pada penyerobotan lahan ataupun penebangan pohon mangrove.

Persoalan bertambah runyam ketika konflik lahan terjadi dengan perusahaan ataupun pihak swasta. Contohnya, di Donggala, Sulawesi Tengah, pegiat mangrove dalam Kelompok Tani Hutan Gonenggati digugat ke pengadilan oleh mantan anggota parlemen daerah setempat yang bernama Anwar. Sang penggugat mengklaim kawasan mangrove yang tengah dipulihkan KTH Gonenggati sebagai tanah miliknya.

Semua pihak harus menggenjot restorasi mangrove

Program restorasi dan rehabilitasi mangrove dapat berjalan optimal jika lahannya tak diganggu-gugat. Lahan tersebut memang harus diperuntukkan untuk ditumbuhi mangrove, tidak tumpang tindih dengan tambak, perumahan, pelabuhan, industri, ataupun tujuan lainnya.

Karena itu, status peruntukan lahan khusus kawasan mangrove perlu segera ditetapkan di tingkat nasional. Pemerintah perlu menetapkan di mana saja mangrove akan ditumbuhkan dan dijaga.

Pemerintah pusat juga dapat lebih banyak menjangkau masyarakat pesisir untuk memperluas kerja sama restorasi mangrove berbasis komunitas. Hal ini memungkinkan karena presiden telah memperkuat kelembagaan rehabilitasi kawasan mangrove melalui penambahan kewenangan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove.

Lembaga ini bertugas merestorasi 483 ribu ha kawasan gambut kritis, bersama Kementerian Lingkungan Hidup/KLHK (89,6 ribu ha) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan, instansi pemerintahan lainnya, pihak swasta, dan organisasi masyarakat sipil (64,7 ribu ha).

Di tingkat tapak, pemerintah desa punya tugas vital untuk program ini. Pihak desa dapat menentukan lahan khusus kawasan mangrove, dan membentuk kelompok pengawas masyarakat.

Otoritas desa juga dapat menjadi jembatan kerja sama program restorasi dan rehabilitasi yang transparan dan adil dengan pemerintah daerah, pihak swasta, maupun pemerintah pusat melalui kelompok desa, ataupun badan usaha milik desa. Harapannya tidak ada lagi keluhan tentang harga dan kerjasama yang kurang menguntungkan bagi masyarakat.

Selanjutnya, masyarakat sekitar mangrove perlu mendapatkan edukasi tentang pentingnya mangrove. Harapannya, program restorasi dan perlindungan mangrove berbasis komunitas bisa terus menjamur di kawasan pesisir.

Catatan: Penulis mewawancarai pegiat mangrove Joni Rianto, Dian Permana Putra, dan beberapa orang lainnya guna kelengkapan informasi.


COP 26: konferensi akbar seputar iklim di dunia

Artikel ini adalah bagian dari liputan The Conversation tentang COP 26, konferensi iklim Glasgow, oleh para ahli dari seluruh dunia.
_Di tengah gelombang berita dan cerita iklim yang meningkat, The Conversation hadir untuk menjernihkan suasana dan memastikan Anda mendapatkan informasi yang dapat dipercaya.


Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now