Menu Close
Dua orang pekerja supermarket memakai pelindung muka (faceshield) di Medan, Sumatra Barat. Dedi Sinuhaji/EPA

Inovasi desain dalam pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19 memaksa semua orang melindungi diri untuk memperlambat penyebaran coronavirus.

Akibatnya, produk kesehatan yang melindungi tubuh, seperti masker bedah, sarung tangan karet, dan alat pelindung diri (APD) pun habis di pasaran karena adanya fenomena pembelian karena panik (panic buying).

Melihat permasalahan tersebut, beberapa desainer di Indonesia mencoba melakukan berbagai inovasi untuk menghasilkan rancangan-rancangan baru untuk menjawab tantangan ini.

Ada yang berinovasi menciptakan APD untuk tenaga kesehatan, dan ada juga yang membuat pola desain masker kain agar mudah ditiru oleh masyarakat umum.

Apa yang memotivasi para desainer untuk menghasilkan berbagai rancangan tersebut? Aspek apa yang dilihat oleh desainer ketika merancang selain fungsi dan estetika? Saya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan menjabarkan berbagai inovasi yang dilakukan oleh beberapa desainer dalam menghadapi pandemi COVID-19.

Beberapa inovasi desain untuk menjawab tantangan pandemi

Dari desainer fashion, grafis, hingga desainer produk saat ini berusaha memecahkan permasalahan pandemi saat ini.

Desainer kondang Anne Avantie merancang jaket pelindung diri (JPD) untuk menjawab kebutuhan masyarakat umum yang ingin membeli alat pelindung diri (APD) yang kini diprioritaskan untuk tenaga medis. Avantie merancang jaket ini untuk memberi rasa aman bagi para penggunanya yang terpaksa harus keluar, misalnya, untuk berbelanja di supermarket.

Hasil penjualan JPD ini disalurkan ke Yayasan Anne Avantie untuk mensubsidi pembuatan APD yang akan disumbangkan ke berbagai rumah sakit.

Pembuatan JPD juga melibatkan berbagai kelompok usaha kecil di bawah Yayasan Anne Avantie, sehingga sektor industri kecil tersebut dapat terus bertahan di era pandemi ini.

Hal yang menarik bagi saya yakni, Avantie tidak hanya berhasil merancang desain JPD agar penggunanya merasa aman, tetapi Avantie juga berhasil membuat sebuah sistem agar APD dapat terus diproduksi dan terdistribusi ke rumah sakit, serta para pengusaha kecil dapat terus bertahan dengan memproduksi JPD.

Selain Avantie, desainer sekaligus CEO merek Torch, Ben Wirawan, melakukan inovasi yang cukup radikal. Dari yang sebelumnya memproduksi produk-produk outdoor seperti tas dan jaket, dirinya mencoba membuat APD untuk tenaga medis.

Dengan mengadopsi keunggulan sistem produksi di Torch, seperti jaringan ke mitra penyedia bahan dan teknologi di level nasional maupun internasional, serta sistem produksi massal, Ben dan tim berhasil mendesain dan memproduksi APD.

Ben juga berkolaborasi dengan beberapa ilmuwan di Bandung dalam menguji material yang digunakan sehingga APD yang dirancang oleh Torch telah lulus uji standardisasi. Selain itu, Ben juga terus menyesuaikan desainnya dengan mendengar saran dari penggunanya langsung, yakni para tenaga kesehatan.

Faceshield oleh Singgih S. Kartono. @singgihskartono/Instagram

Beberapa desainer pun mencoba merancang berbagai desain yang dapat dengan mudah ditiru dan digunakan oleh masyarakat umum.

Salah satunya adalah desainer produk Singgih Susilo Kartono yang membuat rancangan faceshield (pelindung muka) dengan menggunakan bahan busa dan plastik mika tebal.

Berbeda dengan rancangan faceshield yang umumnya diproduksi menggunakan 3D printer, Singgih mempertimbangkan berbagai aspek seperti memastikan rancangannya dapat ditiru oleh siapapun dengan bahan yang mudah ditemukan. Singgih menyalurkan hasil pembuatan faceshield sederhana ini ke berbagai pedagang di pasar di Temanggung, Jawa Tengah yang setiap harinya bertemu banyak orang sehingga sangat rentan terinfeksi virus.

Selain itu, beberapa peneliti di Design Ethnography Lab di Institut Teknologi Bandung (ITB) membuat kampanye #bikinsendiri. Kampanye ini berusaha mengajak masyarakat luas untuk membuat alat proteksi diri sederhana untuk menghadapi pandemi, seperti masker kain dan kotak paket.

Secara bersamaan, mereka juga mengumpulkan dan mengkurasi produk-produk hasil inisiatif masyarakat, seperti pencuci tangan dari ember maupun masker kain. Mereka kemudian menyusun instruksi pembuatannya agar dapat ditiru dengan mudah oleh masyarakat luas.

Desain untuk kemanusiaan?

Pada dasarnya, desain merupakan keilmuan yang mengkaji sebuah permasalahan dan berusaha menyelesaikannya melalui perancangan yang berorientasi pada kebutuhan individu maupun masyarakat serta nilai-nilai sosial disekitarnya.

Dalam proses perancangannya, desainer seharusnya tidak hanya mempertimbangkan aspek fungsi yang optimal dan nilai estetika yang tinggi, tetapi juga harus mempertimbangkan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.

Hal ini yang melandasi banyaknya desainer mencoba bermanuver secara fleksibel untuk merespons permasalahan-permasalahan yang timbul akibat pandemi COVID-19.

Dari inovasi-inovasi yang ditunjukkan oleh beberapa desainer di atas menunjukkan peran penting desainer dalam memberi solusi desain yang juga menekankan rasa empati kepada banyak pihak untuk menyelesaikan berbagai masalah yang muncul selama pandemi ini.

Banyak para desainer berusaha membuat sistem produksi yang partisipatoris sehingga publik dapat ikut serta merancang dan membuat secara mandiri desain-desain tersebut. Faceshield Singgih S. Kartono dan kampanye #bikinsendiri inisiatif Desain Ethnography Lab ITB adalah contohnya.

Pandemi dan peristiwa kebencanaan lainnya tidak pernah dapat kita prediksi secara akurat, tetapi dengan mengadopsi pola berpikir desain yang menitikberatkan prinsip desain yang menyelesaikan masalah dan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan, permasalahan-permasalahan di masa krisis seperti sekarang akan dapat diatasi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now