tag:theconversation.com,2011:/institutions/kobe-university-3311/articlesKobe University2022-07-20T04:26:56Ztag:theconversation.com,2011:article/1810652022-07-20T04:26:56Z2022-07-20T04:26:56ZKasus varian Omicron BA.4 dan BA.5 makin meningkat: mengapa selalu berulang naik-turun kasus COVID?<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/474834/original/file-20220719-16-g0p5wi.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan baru mulai 17 Juli 2022 bahwa penumpang pesawat domestik wajib vaksinasi tahap ke tiga atau booster COVID-19. </span> <span class="attribution"><a class="source" href="https://download.antarafoto.com/searchresult/dom-1657884317">ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/foc.</a></span></figcaption></figure><p>Tren penurunan kasus COVID-19 varian Omicron yang menerjang Indonesia <a href="https://covid19.go.id/peta-sebaran">sejak pertengahan Desember 2021 ternyata tak berlangsung lama</a>. Kini, subvarian dari Omicron, <a href="https://theconversation.com/mengapa-ada-begitu-banyak-sub-varian-omicron-baru-seperti-ba-4-dan-ba-5-apakah-saya-akan-terinfeksi-ulang-apakah-virus-bermutasi-lebih-cepat-185029">BA.4 dan BA.5</a>, menjadi ancaman baru di negeri ini. </p>
<p>Kurang dari dua bulan, kasus COVID-19 melonjak <a href="https://www.kompas.id/baca/humaniora/2022/07/06/kasus-covid-19-meningkat-10-lipat-dalam-dua-bulan">jadi 10 kali lipat</a> dan <a href="https://covid19.go.id/peta-sebaran">cenderung terus meningkat</a>. Kebijakan “boleh tidak pakai masker di luar ruang” yang <a href="https://www.liputan6.com/news/read/4964641/jokowi-umumkan-masyarakat-boleh-lepas-masker-ini-pernyataan-lengkapnya">mulai pada Mei lalu</a> kini berubah: penduduk <a href="https://nasional.sindonews.com/read/814647/15/wapres-masker-wajib-kembali-dipakai-di-luar-ruangan-1656670069">diminta lagi memakai</a> masker untuk menghadang penularan penularan COVID-19. </p>
<p>Mengapa naik-turun kasus COVID-19 selalu berulang? </p>
<p>Salah satu narasi yang sering muncul – walau hanya ditunjang dengan data ilmiah seadanya – adalah kemunculan varian-varian baru yang selalu dikaitkan dengan laju penularan, tingkat keparahan, dan efektivitas sistem imun baik karena infeksi alamiah atau vaksinasi.</p>
<p>Padahal, teori klasik tentang penularan penyakit infeksi selalu menggunakan model <a href="https://www.cdc.gov/csels/dsepd/ss1978/lesson1/section8.html">segitiga epidemiologi</a>: interaksi antara kuman, inang, dan lingkungan. Hampir seluruh analisis data epidemiologi, studi laboratorium, serta pengalaman klinis menghadapi penyakit infeksi selalu mengkaji dari tiga sudut pandang ini.</p>
<h2>Pemodelan penyakit infeksi: tak ada faktor tunggal</h2>
<p>Tak ada faktor tunggal dan dominan sebagai penyebab kurva pandemi melonjak lagi. Artinya, interaksi tiga variabel itulah yang menyebabkan dinamika naik atau turunnya kasus COVID-19. </p>
<p>Di tingkat laboratorium, tiga variabel di atas dikontrol dengan ketat untuk menghasilkan data penelitian yang valid. Eksperimen untuk menumbuhkan SARS-CoV-2 pada cawan petri – wadah untuk membiakkan sel – memerlukan sel inang dan media pertumbuhan yang spesifik. </p>
<p>Sel inang utamanya adalah sel manusia dengan kriteria tertentu seperti sel saluran pernafasan atau sel lainnya yang dimodifikasi sehingga memiliki reseptor ACE-2, <a href="https://theconversation.com/what-is-the-ace2-receptor-how-is-it-connected-to-coronavirus-and-why-might-it-be-key-to-treating-covid-19-the-experts-explain-136928">protein yang menjadi jalan masuk virus COVID-19</a>. </p>
<p>Kriteria lingkungan terwakili oleh media pertumbuhan yang juga spesifik. Sebagai contoh, media pertumbuhan untuk sel saluran pernafasan memerlukan tambahan asam retinoat dan hormon-hormon pertumbuhan. Sedangkan untuk sel hepar (hati) memerlukan asupan glukosa yang lebih tinggi atau tambahan hormon insulin. </p>
<p>Tanpa adanya reseptor ACE-2 atau penggunaan media pertumbuhan suboptimal, apapun varian SARS-CoV-2 yang akan diujicobakan tidak akan mampu menginfeksi sel inang dengan sempurna.</p>
<p>Kemudian pada tingkat klinis atau pengamatan pada pasien secara langsung, SARS-CoV-2 dan variannya tetap sebagai kuman penyebab, kondisi biologis tubuh pasien bertindak sebagai inang, dan determinan sosioekonomis sebagai faktor lingkungan. </p>
<p>Dalam spektrum klinis, kecenderungan seseorang mengalami COVID-19 gejala ringan ataupun berat <a href="https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMp2119682">bisa jadi ditentukan oleh jenis varian yang menginfeksinya</a>. Masih perlu penelitian lanjutan untuk menyimpulkan hubungan antara varian dan tingkat keparahan pada pasien COVID-19. </p>
<p>Pasien dengan status imunitas menurun seperti <a href="https://www.cancer.gov/about-cancer/coronavirus/coronavirus-cancer-patient-information">pada pasien dengan kanker</a>, <a href="https://www.hiv.gov/hiv-basics/staying-in-hiv-care/other-related-health-issues/coronavirus-covid-19">HIV/AIDS</a>, juga orang tua; atau pasien dengan status imun reaktif semisal obesitas dan kencing manis rentan mengalami lebih sakit akibat penyakit infeksi. </p>
<p>Data-data epidemiologis juga <a href="https://www.who.int/westernpacific/emergencies/covid-19/information/high-risk-groups">mencatat pasien dengan berbagai penyakit penyerta </a> sebelumnya tersebut memiliki persentase yang tinggi untuk memerlukan ruang perawatan intensif, bahkan berujung pada kematian akibat pandemi kali ini. </p>
<p>Sedangkan determinan sosial jelas berimplikasi pada laju penularan dan tingkat kematian. Laju penularan akan meningkat seiring dengan mobilitas penduduk yang kembali normal. Apalagi jika penerapan protokol kesehatan seperti penggunaan masker serta aktivitas telusur kontak tidak diimplementasikan secara sungguh-sungguh. </p>
<p>Penularan masif di masyarakat cenderung terjadi saat perubahan perilaku masyarakat atau momen-momen tertentu semisal aktivitas sosial budaya dan ritual keagamaan. Sebagai contoh, varian Alfa merebak ketika musim dingin tahun 2020, saat penduduk di dunia belahan Utara menghabiskan banyak waktunya bersama-sama di ruangan tertutup. Sedangkan, penularan masif COVID-19 di India – salah satunya adalah akibat festival keagaamaan — menghasilkan varian Delta. </p>
<p>Mitigasi yang dilakukan pemerintah serta didukung dengan kohesi sosial yang tinggi, baik vertikal (masyarakat-pemerintah) maupun horizontal (antar masyarakat), adalah salah satu kunci sukses negara-negara lain seperti <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0263376">Selandia Baru</a> dan <a href="https://www.japantimes.co.jp/news/2022/02/14/national/social-issues/japan-covid19-social-norms/">Jepang</a> dalam menangani pandemi COVID-19. </p>
<h2>Berpikir komprehensif</h2>
<p>Narasi tingginya laju penularan akibat varian Omicron dan turunannya bisa kita bandingkan dengan penyakit lain. Kumpulan mutasi yang terdapat pada Omicron diperkirakan mampu meningkatkan replikasi virus pada saluran napas atas (dari hidung hingga tenggorokan). </p>
<p>Mutasi-mutasi ini juga mengubah susunan protein <em>spike</em> sehingga antibodi yang terbentuk pasca infeksi alamiah dan vaksinasi tidak mampu mengenalinya lagi. </p>
<p><a href="https://www.kompas.id/baca/ilmiah-populer/2022/02/13/omicron-bukan-varian-pamungkas-dalam-pandemi">Data Kompas</a>, yang mengutip kajian epidemiologis dari berbagai sumber, menunjukan bahwa laju infeksi gelombang Omicron lebih cepat jika dibanding Delta. Namun, data tersebut tidak spesifik menyebutkan bahwa laju penularan yang tinggi semata-mata diakibatkan karena mutasi kuman. </p>
<p>Masih jelas teringat kasak-kusuk tentang <a href="https://tirto.id/cdc-sebut-penularan-virus-corona-varian-delta-sama-dengan-cacar-air-gido">klaim penularan Delta</a> yang dikatakan mirip dengan penyakit cacar (satu pasien cacar mampu menularkan enam hingga sepuluh orang lainnya). </p>
<p>Sedangkan Omicron, khususnya BA.4/BA.5 dikatakan memiliki laju infeksi yang mirip dengan penyakit yang paling menular, yakni <a href="https://theconversation.com/australia-is-heading-for-its-third-omicron-wave-heres-what-to-expect-from-ba-4-and-ba-5-185598">campak</a> (rata-rata 15 orang dapat tertular oleh satu pasien campak).</p>
<p>Padahal, <a href="https://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0239800">konsensus para ahli pada awal pandemi COVID-19 menyimpulkan</a> bahwa angka penularan virus orisinal adalah dua hingga enam kasus baru yang berasal dari satu pasien positif. </p>
<p>Berdasarkan dua buku babon virologi, <a href="https://www.amazon.com/Fields-Virology-Knipe-2-Set/dp/1451105630"><em>Fields Virology</em></a> dan <a href="https://www.wiley.com/en-us/Principles+of+Virology%2C+Multi+Volume%2C+5th+Edition-p-9781683673583"><em>Principles of Virology</em></a>, sangat jarang (bahkan mungkin tidak ada) karakteristik virus yang berasal dari satu “spesies” memiliki rentang angka penularan yang sedemikian lebar, antara 2 hingga 15. </p>
<p>Bisa jadi SARS-CoV-2 adalah virus pertama dengan karakteristik demikian. Namun, tanpa adanya bukti-bukti ilmiah yang cukup, skeptisisme harus terus dirawat.</p>
<p>Narasi lain tentang Omicron serta BA.4/BA.5 dikatakan memiliki tingkat keparahan minimal karena kurang optimal dalam menginfeksi sel paru-paru dan cenderung terkonsentrasi di saluran nafas atas. Tetapi, menurut saya, rendahnya angka kematian lebih karena masyarakat telah memiliki sistem imun yang dimotori oleh sel B dan Sel T setelah vaksinasi. </p>
<p>Sel B dan Sel T memiliki presisi yang tinggi terhadap bagian-bagian SARS-CoV-2 secara utuh, <a href="https://www.cell.com/cell/pdf/S0092-8674(22)00073-3.pdf">apapun variannya</a>. Sehingga, efektivitas vaksinasi untuk mengurangi angka kematian COVID-19 tidak berkurang secara drastis meski muncul varian-varian baru, termasuk Omicron dan BA.4/BA.5.</p>
<h2>Efektivitas mitigasi</h2>
<p>Mereduksi segala fenomena yang terjadi semata-mata karena kemampuan varian baru dan rincian mutasi-mutasi yang terjadi, membuat fokus terhadap aspek inang dan lingkungan dipandang sebelah mata. </p>
<p>Dampaknya, mitigasi yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat cenderung dilaksanakan setengah hati. Tidak terlihat konsistensi dalam pelaksanaan protokol kesehatan, seminimal-minimalnya penggunaan masker. </p>
<p>Fokus vaksinasi dan implementasi pencegahan infeksi pada pasien dengan komorbid atau populasi lansia jarang menjadi prioritas. Upaya untuk membangun solidaritas sosial – poin yang sangat krusial pada situasi krisis — sayangnya dilakukan secara sporadis berdasarkan inisiatif orang per orang. </p>
<p>Karena itu, mengembalikan pemodelan penyakit infeksi berdasarkan segitiga epidemologi yang berpusat pada tiga aspek yakni kuman, inang, dan lingkungan dapat memperkuat strategi mitigasi penularan COVID-19 dari varian baru.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/181065/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Gede Ngurah Rsi Suwardana tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.</span></em></p>Mereduksi segala fenomena yang terjadi semata-mata karena kemampuan varian baru dan rincian mutasi-mutasi yang terjadi, membuat fokus terhadap aspek inang dan lingkungan dipandang sebelah mata.Gede Ngurah Rsi Suwardana, Doctoral Student at Division of Infectious Disease Control, Graduate School of Medicine, Kobe UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/1744082022-01-14T15:29:47Z2022-01-14T15:29:47ZSepak terjang peneliti muda Indonesia: berkembang pesat tapi masih terbentur banyak tantangan<p>Komunitas peneliti punya peran besar dalam suatu negara – terlebih peneliti muda.</p>
<p>Di Indonesia, misalnya, mereka diharapkan mendukung impian <a href="https://almi.or.id/sains45-indonesia/">menjadi negara maju pada 2045</a> melalui pembangunan berbasis ilmu pengetahuan. Mereka juga diharapkan mengatasi beragam isu dari kemiskinan hingga bencana. </p>
<p>Sebagai <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-030-55563-4_14">aktor kunci dunia riset</a> masa depan, penting bagi Indonesia memahami kondisi dan <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/1360080X.2017.1330814">kebutuhan para peneliti muda</a>.</p>
<p><a href="https://drive.google.com/drive/folders/1s5S2BaMmOiyCZSa0bRfp_ZKZ2phG-D1m">Studi pendahuluan</a> yang saya lakukan bersama The Conversation Indonesia (TCID), misalnya, mencoba memahami karakter peneliti muda serta peluang dan tantangan yang mereka hadapi untuk jadi pemimpin di dunia riset.</p>
<p>Kami mengumpulkan data dan berbicara pada 283 peneliti muda yang bergelar doktor atau sedang menjalani S3.</p>
<p>Mereka berasal dari bidang kelautan, perubahan iklim, kesehatan, dan ketahanan masyarakat, serta memiliki rekam jejak kuat dalam menerbitkan karya akademik.</p>
<p>Pada 2020, kami memperkirakan ada lebih dari 14.000 peneliti muda dari total sekitar <a href="https://sinta.ristekbrin.go.id/">216.000 peneliti</a> di Indonesia.</p>
<p>Jumlah mereka pun terus meningkat, dengan kapasitas kolaborasi yang lebih inovatif dan kemampuan berkomunikasi yang jauh lebih lihai.</p>
<p>Namun, studi kami juga menemukan peneliti muda juga menghadapi beragam hambatan untuk berdampak lebih luas bagi dunia riset, dari masalah pendanaan hingga kesetaraan gender.</p>
<h2>Berkembang pesat, jago berkomunikasi, dan punya motivasi tinggi</h2>
<p>Hasil dari studi kami menunjukkan bahwa peneliti muda di Indonesia memiliki beragam kekuatan dan potensi.</p>
<p><strong>Pertama</strong>, dalam empat tema penelitian tersebut, jumlah peneliti muda <a href="https://drive.google.com/drive/folders/1s5S2BaMmOiyCZSa0bRfp_ZKZ2phG-D1m">mengalami peningkatan</a> dari sekitar 2.500 pada 2010 menjadi lebih dari 14.000 pada 2020.</p>
<p>Hal ini terjadi karena ada berbagai skema baru untuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia Indonesia dalam satu dekade terakhir.</p>
<p>Di antaranya skema <a href="https://www.pmdsu.com/about-us/">Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU)</a>, beasiswa <a href="https://lpdp.kemenkeu.go.id/">Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)</a>, sampai program <a href="https://manajementalenta.brin.go.id/">Manajemen Talenta</a> inisiasi Badan Riset dan Inovasi Negara (BRIN).</p>
<p><strong>Kedua</strong>, peneliti muda sangat menyadari pentingnya berjejaring (<em>networking</em>) karena membantu memfasilitasi kolaborasi, serta mendobrak sekat antar disiplin ilmu maupun antara sains dan kebijakan.</p>
<p>Banyak peneliti muda, misalnya, aktif memperkuat peran <a href="https://almi.or.id">Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI)</a>. Ada yang membentuk jaringan baru termasuk <a href="https://i4indonesia.org/profil/">Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia (I4)</a> yang mendorong kerja sama peneliti diaspora dan dalam negeri, maupun <a href="https://uinspire.id/?r3d=2019-flash-floods">U-INSPIRE Indonesia</a> yang menjembatani wawasan kebencanaan antara pemangku kepentingan dan aktor penanggulangan bencana.</p>
<p>Selain menghubungkan peneliti dan institusi lintas negara, berbagai jaringan tersebut juga dapat meningkatkan <a href="https://theconversation.com/pembuatan-kebijakan-di-indonesia-tidak-didukung-riset-berkualitas-dan-kebebasan-akademik-128472">peran sains dalam pembuatan kebijakan</a>. </p>
<p><strong>Ketiga</strong>, kami melihat banyak bukti bahwa peneliti muda memiliki kemampuan komunikasi riset yang jauh lebih baik.</p>
<p>Sebelumnya, para peneliti sebatas menyebarkan hasil riset melalui jurnal ilmiah. Saat ini, mereka mulai merambah media sosial, menuliskan opini di media cetak dan online, hingga menjadi narasumber di televisi dan radio.</p>
<p>Pada 2021, misalnya, data internal dari TCID menunjukkan <a href="https://twitter.com/ConversationIDN/status/1476769807215128576?s=20">700 peneliti menerbitkan 695 artikel populer</a> di media tersebut – mayoritasnya adalah peneliti muda.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/kutukan-ilmu-pengetahuan-banyak-akademisi-lebih-fokus-terdengar-pintar-daripada-membumikan-sains-pada-masyarakat-158877">Kutukan ilmu pengetahuan: banyak akademisi lebih fokus 'terdengar pintar' daripada membumikan sains pada masyarakat</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p><strong>Keempat</strong>, studi kami juga menunjukkan bahwa mayoritas peneliti muda memiliki motivasi tinggi untuk menjadi pemimpin riset di Indonesia yang mendukung inovasi dunia riset.</p>
<p>Misalnya, mereka lebih berani mempercepat penyaluran hasil penelitian ke luar “zona nyaman” penelitian (seperti jurnal dan konferensi), termasuk membawa hasil riset mereka untuk <a href="https://theconversation.com/strategi-agar-ilmuwan-tidak-mudah-frustrasi-ketika-terlibat-dalam-proses-kebijakan-publik-156758">memasuki arena politik</a>. </p>
<h2>Beragam tantangan jadi peneliti kelas dunia</h2>
<p>Namun, para peneliti muda juga menghadapi tantangan terkait pendanaan, budaya penelitian dan lemahnya mentorship, hingga kesenjangan gender. </p>
<p><strong>Pertama</strong>, di bidang pendanaan, banyak responden kami kesulitan mendapat <a href="https://theconversation.com/ini-desain-dan-prinsip-pengelolaan-dana-abadi-penelitian-agar-efektif-dan-berdampak-optimal-129455">pendanaan riset yang baik</a> dari negara maupun sumber lain. Ini bisa berupa kebutuhan peralatan riset, langganan jurnal ilmiah, pembiayaan penerbitan, serta dana riset longitudinal (jangka waktu bertahun-tahun).</p>
<p>Pada saat yang sama, bisa jadi para peneliti muda juga kesulitan untuk menghasilkan proposal penelitian yang berkualitas.</p>
<p>Satu informan kunci yang bekerja sebagai penyalur dana riset menggambarkan bahwa pada 2020, hanya 4-7% proposal yang mereka terima layak didanai. Banyak peneliti hanya menjual “topik penelitian” dan bukan “nilai manfaat dari penelitian tersebut”.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/bukan-hanya-soal-anggaran-bagaimana-dana-riset-dibelanjakan-juga-penting-112873">Bukan (hanya) soal anggaran. Bagaimana dana riset dibelanjakan juga penting</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<p>Informan lain menyebutkan bahwa di lembaganya, dari 237 proposal yang diterima, hanya 99 yang baik dan hanya 11 yang akhirnya didanai. Mayoritas proposal kolaborasi riset juga memposisikan peneliti Indonesia <a href="https://theconversation.com/riset-gaya-helikopter-siapa-yang-untung-dari-riset-internasional-di-indonesia-102166">hanya sebagai kolaborator</a> dan bukan peneliti utama.</p>
<p>Padahal, para responden peneliti lulusan dalam negeri selama ini telah banyak mengalami kesulitan meraih dana riset kolaborasi akibat <a href="https://theconversation.com/para-ilmuwan-diaspora-indonesia-luncurkan-program-perjodohan-peneliti-untuk-tingkatkan-kolaborasi-internasional-145541">terbatasnya relasi</a>, yang sebelumnya sudah terhambat bahasa.</p>
<p><strong>Kedua</strong>, dalam diskusi kelompok, peneliti muda juga mengakui bahwa budaya riset yang mendorong hubungan <em>mentorship</em> (pendampingan) masih lemah.</p>
<p><a href="https://www.nature.com/articles/447791a">Kajian di jurnal ternama <em>Nature</em></a> menunjukkan <em>mentorship</em> yang baik membantu peneliti muda mendapatkan masukan untuk memoles kemampuan memimpin riset. <em>Mentorship</em> mempermudah akses jejaring penelitian yang lebih luas untuk meningkatkan prestise mereka.</p>
<p>Tanpa jejaring, para peneliti akan terisolasi dan bergerak sendiri saat meneliti, menyebarluaskan hasilnya, dan tidak akan dilihat pemangku kepentingan terkait.</p>
<p><strong>Ketiga</strong>, responden dalam studi kami juga mengonfirmasi masih adanya masalah kesenjangan gender yang menghambat banyak peneliti muda mengembangkan kapasitas mereka sebagai pemimpin riset.</p>
<p>Hal ini sejalan dengan tren di banyak ranah riset, di <a href="https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/1360080X.2017.1330814">berbagai negara</a>.</p>
<p><a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0048733318300404">Riset tahun 2018</a> yang mengikuti lebih dari 6.000 peneliti internasional, misalnya, menemukan bahwa banyak peneliti perempuan di universitas mengalami hambatan perkembangan karir antara fase pasca-doktoral hingga lektor kepala (<em>associate professor</em>).</p>
<p>Peneliti perempuan juga beralih jadi peneliti utama dalam riset dengan laju yang lebih rendah dari peneliti laki-laki (hingga 20% lebih lamban).</p>
<p>Di Indonesia, ini semakin diperparah oleh <a href="https://theconversation.com/mengapa-belum-banyak-peneliti-indonesia-gunakan-perspektif-gender-dan-minoritas-dalam-riset-145635">budaya kesetaraan gender dan inklusi sosial (GESI) yang masih lemah</a>.</p>
<p><strong>Keempat</strong>, responden kami merasa bahwa sistem insentif untuk kegiatan riset mereka masih bias dan kurang mendukung.</p>
<p>Bagi peneliti muda di perguruan tinggi, misalnya, sistem angka kredit yang ada sekarang <a href="https://theconversation.com/lebih-dari-sepertiga-dosen-indonesia-tidak-menerbitkan-riset-3-solusi-memperbaikinya-140248">memberikan beban lebih pada tugas mengajar</a> – dari menyusun materi kuliah hingga evaluasi hasil belajar mahasiswa – ketimbang memproduksi riset.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/lebih-dari-sepertiga-dosen-indonesia-tidak-menerbitkan-riset-3-solusi-memperbaikinya-140248">Lebih dari sepertiga dosen Indonesia tidak menerbitkan riset: 3 solusi memperbaikinya</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Butuh dukungan “horizontal” dan “vertikal”</h2>
<p>Melihat potensi dan tantangan yang dihadapi peneliti muda Indonesia, perlu lebih banyak dukungan bagi mereka untuk <a href="https://14226776-c20f-46a2-bcd6-85cefe57153f.filesusr.com/ugd/a8b141_65db299b1e274cdc84e3de48016b9862.pdf">mengembangkan kapasitas secara “horizontal” dan juga “vertikal”</a>.</p>
<p>Secara horizontal, kebanyakan peneliti muda sebenarnya telah mendapatkannya dalam bentuk pendidikan dan pengalaman dari pekerjaan riset mereka. Secara akademik, mereka sudah memperoleh kepakaran dalam bidang sains masing-masing. </p>
<p>Namun untuk pengembangan vertikal, peneliti muda masih kurang dukungan.</p>
<p>Mereka membutuhkan bantuan untuk mengembangkan kapasitas kepemimpinan riset yang kompleks – dari kelincahan menghadapi ekosistem penelitian Indonesia yang dinamis, hingga memimpin kolaborasi yang lebih luas dengan banyak pihak secara strategis.</p>
<p>Pengembangan vertikal ini tidak dapat dilakukan secara instan melalui pelatihan.</p>
<p>Peneliti muda membutuhkan peningkatan kapasitas yang berkelanjutan. Ini dapat berupa <a href="https://doi.org/10.1371/journal.pone.0223876"><em>mentorship</em> yang terarah, pendampingan untuk kolaborasi riset, atau beragam program <em>fellowship</em></a>.</p>
<p>Kedua jenis dukungan di atas, baik horizontal maupun vertikal, akan mendukung peneliti muda untuk memiliki <a href="https://link.springer.com/article/10.1007%2Fs10734-007-9081-5">kompetensi pemimpin riset</a> yang matang.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/174408/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Mizan Bustanul Fuady Bisri menerima dana dari TCID untuk melaksanakan Studi Pendahuluan Program Science Leadership Collaborative (SLC).</span></em></p>Studi kami menemukan bahwa peneliti muda di Indonesia semakin banyak dan inovatif, tapi mereka masih menghadapi banyak tantangan pengembangan karir dan kapasitas.Mizan Bustanul Fuady Bisri, Assistant Professor, Kobe UniversityLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.