tag:theconversation.com,2011:/institutions/royal-netherlands-institute-of-southeast-asian-and-caribbean-studies-3066/articlesRoyal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies2023-04-05T02:33:18Ztag:theconversation.com,2011:article/2027652023-04-05T02:33:18Z2023-04-05T02:33:18ZCuma formalitas: Riset temukan penghargaan lingkungan Nirwasita Tantra pemerintah hanya berdasarkan dokumen, bukan kenyataan<figure><img src="https://images.theconversation.com/files/518667/original/file-20230331-20-w3md7w.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=496&fit=clip" /><figcaption><span class="caption">Protes masyarakat di kantor Gubernur Jawa Tengah menolak proyek tambang andesit di Wadas. </span> <span class="attribution"><span class="source">(Wadas Melawan)</span></span></figcaption></figure><p>Raut muka Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, terlihat bahagia ketika menerima penghargaan tahunan Nirwasita Tantra atau <em>Green Leadership Award</em> (GLA) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta pada <a href="https://regional.kompas.com/read/2022/07/20/15481831/jateng-raih-green-leadership-nirwasita-tantra-2021-ganjar-ini-untuk-pelaku">pertengahan 2022.</a> </p>
<p><a href="http://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/5012/klhk-seleksi-kepala-daerah-dan-pimpinan-dprd-calon-penerima-anugerah-nirwasita-tantra">Nirwasita Tantra atau GLA</a> adalah penghargaan kepada provinsi atau kabupaten kota yang dinilai berhasil menjaga keberlanjutan lingkungan dan sumber daya alam lewat inovasi kebijakan.</p>
<p>Penghargaan ini membingungkan. Sebab, Jawa Tengah memiliki konflik besar terkait pengelolaan lingkungan: masalah <a href="https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=en&user=c-4CFMUAAAAJ&sortby=pubdate&citation_for_view=c-4CFMUAAAAJ:IjCSPb-OGe4C">pabrik semen di Kendeng</a> yang membahayakan kawasan karst. Ada juga proyek tambang andesit untuk pembangunan bendungan di Wadas, Purworejo, yang <a href="https://theconversation.com/ekospiritualitas-memicu-sengitnya-penolakan-warga-wadas-terhadap-penambangan-andesit-177733">mengancam kehidupan warga setempat.</a></p>
<p>Riset terbaru kami yang terbit di <em>Environmental Governance in Indonesia</em> <a href="https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-031-15904-6_4">mencoba memeriksa proses penilaian dalam Penghargaan Nirwasita</a>. Hasilnya, kami menemukan Kementerian Lingkungan hanya menilai kinerja lingkungan pemerintah daerah berdasarkan pendekatan administratif alias sebatas pemeriksaan dokumen. </p>
<p>Itulah mengapa daerah yang mempunyai persoalan lingkungan dan tata kelola SDA bisa mendapat penghargaan.</p>
<h2>Memeriksa komponen penilaian Nirwasita Tantra</h2>
<p>Kementerian Lingkungan menunjuk tim independen untuk menilai kinerja lingkungan daerah berdasarkan <a href="http://perpustakaan.menlhk.go.id/pustaka/home/index.php?page=ebook&code=s&view=yes&id=528">Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (DIKPLHD).</a> Penghargaan Nirwasita diberikan kepada daerah dengan ranking tertinggi.</p>
<figure class="align-center ">
<img alt="Penghargaan Ganjar" src="https://images.theconversation.com/files/518669/original/file-20230331-28-jkx69d.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/518669/original/file-20230331-28-jkx69d.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/518669/original/file-20230331-28-jkx69d.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/518669/original/file-20230331-28-jkx69d.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=398&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/518669/original/file-20230331-28-jkx69d.png?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/518669/original/file-20230331-28-jkx69d.png?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/518669/original/file-20230331-28-jkx69d.png?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=501&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat menerima penghargaan Nirwasita Tantra dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2022.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Humas Jawa Tengah)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>DIKPLHD harus mencantumkan minimal tiga isu lingkungan prioritas. Kategori prioritas ini berdasarkan dua syarat: 1) berdampak signifikan terhadap kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan kualitas lingkungan hidup, serta 2) mendapatkan perhatian publik yang luas dan perlu segera diselesaikan.</p>
<p>Pemilihan dan penyaringan isu ini harus melibatkan pemangku kepentingan terkait termasuk masyarakat. </p>
<p>Namun, karena penyusun DIKPLHD adalah pihak-pihak yang ditunjuk pemerintah daerah, tidak ada jaminan mereka bisa independen. </p>
<p>Inilah mengapa cukup sulit bagi kami mendapati analisis yang kritis mengenai persoalan lingkungan dalam DIKPLHD. Apalagi, dokumen tersebut akan menjadi dasar penilaian untuk mendapatkan penghargaan Nirwasita Tantra. Tentu pemerintah daerah menginginkan dokumen ini memuat penilaian positif.</p>
<p>Kami mencoba membandingkan DIKLPHD dengan penelitian kami di lapangan. Hasilnya, banyak perkara lingkungan yang kami rasa genting tapi tidak termuat dalam DIKPLHD.</p>
<p><div data-react-class="Tweet" data-react-props="{"tweetId":"1640173038363877376"}"></div></p>
<p>DIKPLHD Banyuwangi, yang memenangkan <a href="https://kominfo.jatimprov.go.id/read/umum/-banyuwangi-raih-penghargaan-nirwasita-tantra-2020-">Nirwasita Tantra 2020,</a> tidak mencantumkan kasus kriminalisasi aktivis lingkungan dalam konflik tambang Tumpang Pitu pada 2019. Dokumen juga tak memuat persoalan kurangnya jumlah laboratorium untuk mengukur kerusakan lingkungan.</p>
<p>Absennya dua hal di atas amat disayangkan. Menurut kami, dua kasus tersebut berdampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat setempat dan menarik perhatian publik secara luas. </p>
<p>Kabupaten Bangka Tengah yang juga <a href="http://bangkatengahkab.go.id/berita/detail/kominfo/bangka-tengah-sabet-nirwasita-tantra-dan-green-leadership-kali-kedua-">meraih Nirwasita Tantra,</a> masih berkutat dengan persoalan tambang timah ilegal yang merusak <a href="https://ejournal.ipdn.ac.id/konstituen/article/view/57-74/pdf_1">30 persen</a> daratan maupun lautan di Bangka Belitung. Ini belum dihitung <a href="https://jiana.ejournal.unri.ac.id/index.php/JIANA/article/view/7904">masalah ikutan lainnya</a> seperti kesehatan, keselamatan, maupun pekerja anak.</p>
<hr>
<p>
<em>
<strong>
Baca juga:
<a href="https://theconversation.com/jatuh-bangun-warga-pulau-timah-menolak-tambang-berhasil-di-belitung-kenapa-gagal-di-bangka-181285">Jatuh-bangun warga ‘pulau timah’ menolak tambang: berhasil di Belitung, kenapa gagal di Bangka?</a>
</strong>
</em>
</p>
<hr>
<h2>Mengerdilkan isu lingkungan</h2>
<p>Upaya Kementerian Lingkungan ini menandakan adanya fenomena pascapolitisasi lingkungan (<em>post politicization</em>) Indonesia. </p>
<p>Menurut pakar Politik Lingkungan dari University of Manchester, Eryk Swyngedouw, fenomena <em>post-politicization</em> terjadi ketika pemerintah terlalu mengandalkan pendekatan teknokratik ketimbang melihat persoalan sosial dan lingkungan sehari-hari. </p>
<p>Swyngedouw, yang mengenalkan istilah <em>post-politicization</em> lingkungan, melihat bahwa pendekatan teknis administratif yang hanya mengandalkan lalu lintas dokumen sebagai suatu pengelolaan lingkungan yang ‘normal’.</p>
<figure class="align-center zoomable">
<a href="https://images.theconversation.com/files/518662/original/file-20230331-14-lfvc1n.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=1000&fit=clip"><img alt="Wadas Melawan" src="https://images.theconversation.com/files/518662/original/file-20230331-14-lfvc1n.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/518662/original/file-20230331-14-lfvc1n.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/518662/original/file-20230331-14-lfvc1n.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/518662/original/file-20230331-14-lfvc1n.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=338&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/518662/original/file-20230331-14-lfvc1n.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/518662/original/file-20230331-14-lfvc1n.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/518662/original/file-20230331-14-lfvc1n.jpeg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=424&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px"></a>
<figcaption>
<span class="caption">Warga Wadas, Jawa Tengah, berkumpul untuk menolak tambang andesit yang membahayakan kehidupan mereka.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Wadas Melawan)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Padahal, pendekatan ini tidak bisa menangkap realita lingkungan yang rumit dan perubahan sosial-ekologis yang sarat konflik. </p>
<p>Perubahan lingkungan juga terkait dengan proses politik dan sangat dipengaruhi oleh tarik-ulur kepentingan pihak berkuasa. Misalnya, berbagai kajian yang memperlihatkan obral konsesi <a href="https://www.researchgate.net/profile/Agus-Nugroho-4/publication/361865585_Contemporary_coal_dynamics_in_Indonesia/links/62c94aa33bbe636e0c4f6d95/Contemporary-coal-dynamics-in-Indonesia.pdf">pertambangan,</a> <a href="https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S009506962100036X">kehutanan</a> maupun sumber daya alam lainnya berhubungan dengan pemilihan kepala daerah. </p>
<p>Sayangnya, informasi yang disajikan dalam DIKPLHD sebagai komponen penghargaan lingkungan cenderung non-politis. </p>
<p>Oleh karena itu, dokumen tersebut tidak bisa menggambarkan situasi lingkungan yang sesungguhnya dan tidak bisa menjadi alarm bagi pemerintah untuk mengatasi persoalan lingkungan dan SDA.</p>
<h2>Melemahkan demokrasi</h2>
<p>Penilaian yang hanya berbasis dokumen membuat negara berjarak dari masyarakat. Jarak ini berisiko membuat tata kelola lingkungan dan sumber daya alam menjadi tidak inklusif karena tidak melibatkan masyarakat secara berarti.</p>
<p>Pengelolaan yang berjarak dan tak inklusif akan memicu berbagai protes dan konflik. Terbukti, <a href="https://www.kpa.or.id/publikasi/view/bara-konflik-agraria-ptpn-tak-tersentuh-kriminalisasi-petani-meningkat_2a38a4a9316c49e5a833517c45d31070">organisasi nirlaba Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)</a> melaporkan kecenderungan konflik agraria dan sumber daya alam di Indonesia semakin meningkat. </p>
<p>Selain memicu konflik, penilaian kinerja lingkungan yang hanya formalitas ini tidak menangkap relasi kekuasaan yang timpang dalam tata kelola sumber daya alam. </p>
<p>Dalam gagasan <em>post-politicization</em> Swyngedouw, salah satu indikator ketimpangan adalah munculnya <em>oligarchic policing</em> (pemerintahan oligarkis) yang menguntungkan segelintir orang. Akibatnya, suara masyarakat sipil dalam proses kebijakan kian terpinggirkan. </p>
<p>Peminggiran bisa meluas ke banyak bentuk. Mulai dari hilangnya peran masyarakat sipil dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) akibat disahkannya UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja. </p>
<figure class="align-center ">
<img alt="" src="https://images.theconversation.com/files/518664/original/file-20230331-22-mma0xt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&fit=clip" srcset="https://images.theconversation.com/files/518664/original/file-20230331-22-mma0xt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=600&h=397&fit=crop&dpr=1 600w, https://images.theconversation.com/files/518664/original/file-20230331-22-mma0xt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=600&h=397&fit=crop&dpr=2 1200w, https://images.theconversation.com/files/518664/original/file-20230331-22-mma0xt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=600&h=397&fit=crop&dpr=3 1800w, https://images.theconversation.com/files/518664/original/file-20230331-22-mma0xt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=45&auto=format&w=754&h=499&fit=crop&dpr=1 754w, https://images.theconversation.com/files/518664/original/file-20230331-22-mma0xt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=30&auto=format&w=754&h=499&fit=crop&dpr=2 1508w, https://images.theconversation.com/files/518664/original/file-20230331-22-mma0xt.jpg?ixlib=rb-1.1.0&q=15&auto=format&w=754&h=499&fit=crop&dpr=3 2262w" sizes="(min-width: 1466px) 754px, (max-width: 599px) 100vw, (min-width: 600px) 600px, 237px">
<figcaption>
<span class="caption">Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di Yogyakarta, Juli 2020.</span>
<span class="attribution"><span class="source">(Shutterstock)</span></span>
</figcaption>
</figure>
<p>Ada juga bentuk yang lebih ekstrem seperti kekerasan dan kriminalisasi pegiat lingkungan. Contohnya penangkapan aktivis lingkungan Budi Pego dalam kasus Tumpang Pitu di Banyuwangi. </p>
<p>Peminggiran suara masyarakat kemudian mempersempit pengawasan dan akuntabilitas keputusan politik. Berbagai persoalan di atas bermuara pada <a href="https://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp/article/view/1032">iklim demokrasi yang melemah.</a></p>
<p>Kebijakan oligarkis, jika diikuti pelemahan demokrasi, membuat pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam yang lestari menemui <a href="https://www.kitlv.nl/indonesia-omnibus-law-riding-into-an-environmental-cul-de-sac/">jalan buntu.</a></p>
<h2>Bagaimana memperbaikinya?</h2>
<p>Pemerintah pusat dan daerah perlu pembenahan besar-besaran dalam pengelolaan lingkungan serta pengawasannya. Penilaian yang hanya berlandaskan dokumen mesti diakhiri.</p>
<p>Untuk menilai kinerja daerah, pemerintah pusat memerlukan komponen penilaan lainnya. <a href="https://books.google.co.id/books?id=DNlVEAAAQBAJ&pg=PA114&dq=spti+satriani+potret+kapasitas+pemda&hl=en&newbks=1&newbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwjuwp-8s9_9AhXORmwGHSfPAiQQ6AF6BAgHEAI#v=onepage&q=spti%20satriani%20potret%20kapasitas%20pemda&f=false">Kajian kami selama 2016-2019</a> di 12 wilayah di Indonesia mendapati ada setidaknya empat komponen yang harus dipertimbangkan dalam mengukur kapasitas pemerintah daerah:
(1) perizinan,
(2) keterbukaan akses informasi,
(3) pelibatan publik, dan
(4) pengelolaan dampak yang berkesesuaian. </p>
<p>Dalam hal mengatasi <em>post-politicization</em> lingkungan atas, komponen kedua dan ketiga sangat krusial untuk menghindari penilaian formalitas.</p>
<p>Pemerintah dapat memulai perubahan dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil yang progresif dan independen dalam proses asesmen. Beberapa contohnya seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), ataupun Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang memiliki jaringan di seluruh Indonesia. </p>
<p>Penilaian independen bisa menciptakan hasil penilaian lingkungan dan sumber daya alam yang lebih mencerminkan kenyataan.</p>
<p>Selain itu, pelibatan publik secara berarti akan membuat tata kelola sosial ekologis lebih egaliter dan distribusi sumber daya alam yang lebih adil dan inklusif. Tata kelola lingkungan dan sumber daya alam yang demokratis pun lebih mudah tercapai.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/202765/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Yogi Setya Permana, Dini Suryani, dan tim menerima dana dari The Asia Foundation untuk melakukan riset mengenai "Uji Coba Instrumen Alternatif Penilaian Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam" pada tahun 2019.</span></em></p><p class="fine-print"><em><span>Yogi Setya Permana, Dini Suryani, dan tim menerima dana dari The Asia Foundation untuk melakukan riset mengenai "Uji Coba Instrumen Alternatif Penilaian Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam" pada tahun 2019.</span></em></p>Penyusun dokumen kinerja lingkungan adalah pihak-pihak yang ditunjuk pemerintah daerah, sehingga sulit mendapati analisis yang kritis mengenai persoalan lingkungan dalam dokumen kinerja mereka.Yogi Setya Permana, Peneliti Doktoral, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean StudiesDini Suryani, Peneliti di Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)Licensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.tag:theconversation.com,2011:article/773512017-05-30T06:47:16Z2017-05-30T06:47:16ZIn Suriname, an endless refrain: boom, bust, and Bouterse<p>Recent street protests in Suriname haven’t made many international headlines. Only newspapers in neighbouring Guyana and <a href="https://www.nrc.nl/nieuws/2017/04/07/surinameprotest-tegen-bouterse-8003754-a1553683">in the Netherlands</a>, the colonial metropole, have covered the marches in which <a href="http://www.dwtonline.com/laatste-nieuws/2017/04/25/live-blog-protestmars-dag-6/">thousands of people have taken to the streets</a> in recent weeks to protest spiraling economic chaos.</p>
<p>Suriname, a small nation on South America’s northern coast with a population of half a million, doesn’t often garner global attention. But maybe right now it should.</p>
<h2>The next Venezuela?</h2>
<p>Suriname’s <a href="http://advisor.thedialogue.org/wp-content/uploads/2017/05/LAA170501.pdf">current upheaval</a> pales in comparison to the massive protests in nearby Venezuela, with (fortunately) no major casualties reported so far. </p>
<p>Yet events in Venezuelan are on many minds in Suriname, for both political and economic reasons.</p>
<p>Surinamese President Desiré (Desi) Delano Bouterse is a great admirer of the late Hugo Chávez. Bouterse not only “adored” the man, as <a href="http://www.palgrave.com/gp/book/9781137360120#otherversion=9781349471836">I have argued</a> before, he also copied the Chavista hybrid political system, in which elections are held and opposition is allowed but weak institutions, clientelism, discretionary spending, and lack of transparency all advance the power of the executive – in this case, Bouterse’s.</p>
<p>Like Chávez, the opportunistic, charismatic, and controversial Bouterse also has a loyal following. He is especially popular among younger, lower-class Afro-Surinamese. Even a <a href="http://www.nytimes.com/2011/05/03/world/americas/03suriname.html">1999 sentence in absentia to 11 years imprisonment</a> for drug trafficking in a Dutch court did not hurt his popularity. In fact, it increased his street cred.</p>
<p>Sergeant Bouterse emerged on the national stage in February 1980, when he and 15 other non-commisioned military officers staged a coup against the democratically elected government. Their revolution – or “revo”, as it was locally called – soon became a nightmare as the dictatorship staged gross human rights violations, including the December 1982 <a href="http://www.slate.com/articles/news_and_politics/roads/2015/12/suriname_s_president_is_the_prime_suspect_in_a_1982_murder.html">massacre of 15 opposition leaders</a>, economic collapse and social dislocation.</p>
<p>Bouterse did not disappear into the shadows with the return of democracy in 1987. He immediately founded a political party, the <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/National_Democratic_Party_(Suriname)">National Democratic Party (NDP)</a>, and in 2010 was elected president. In the last elections in 2015, his NDP gained an absolute majority in parliament, a first in Suriname’s history, and Bouterse was again re-elected.</p>
<p>So has this dictator really turned into a democrat? People who lived through the 1980s remember what Bouterse is capable of, and they fear a repeat of that period’s threats, violence and murders.</p>
<p>As days of protests turned into weeks, signs of the bad old days are beginning to show. Radio shows aired by NDP-run stations are threatening a Dutch-born young leader of the current protests, Maisha Neus, <a href="http://digitaleeditie.nrc.nl/losseverkoop/NH/2017/4/20170501___/NH-8489716/NRC_Handelsblad_20170501_1_06_4.pdf">with deportation</a>. Freedom of the press has been curtailed for several years, with critical media barred from official press conferences.</p>
<h2>Boom and bust</h2>
<p>The second Venezuelan link is that Suriname also suffers from the <a href="http://www.cnbc.com/2017/05/25/oil-price-decline-after-opec-output-cut-extension-an-overreaction-analyst.html">continuing decline in oil prices</a> paired with populist spending policies. Natural resource exploitation has long been the basis of Suriname’s economy, forcing the country to undergo regular boom-and-bust cycles.</p>
<p>In the 20th century, bauxite mining generated foreign exchange revenues and financed a rapid increase in state expenditure. In the post-second world war period, respective governments have expanded the large state bureaucracy, employing tens of thousands of party supporters.</p>
<p>But Bouterse’s dictatorship (1980-1987) saw a sharp economic decline, with shortages and <a href="http://www.palgrave.com/gp/book/9781137360120#reviews">long shopping lines that many elderly Surinamese still remember vividly</a>.</p>
<p>By the late 1990s, a downturn in international aluminium prices combined with the expansionary economic policies of the <a href="https://www.britannica.com/biography/Jules-Wijdenbosch">NDP administration of Jules Wijdenbosch</a> had completely wiped out the recovery that had taken place earlier that decade. Inflation accelerated, undermining the value of Suriname’s currency. </p>
<p>In 1999, in the largest demonstration in the country’s history, 50,000 to 75,000 people (10% of the country’s population) protested the rising cost of living in the capital, Paramaribo.</p>
<p>Today’s protests are triggered by the same issues. Excessive spending and tumbling oil and gold prices have led to inflation at some 60% and <a href="http://www.xe.com/currencycharts/?from=SRD&to=USD">halved the value of the Surinamese dollar</a>. A spike in fuel prices has caused the initially small demonstrations to grow, and they are now attracting thousands of people, many of them in their 20s and 30s, including former Bouterse supporters.</p>
<p>The government is currently borrowing heavily to pay for hospitals, construction of infrastructure, food for the poor, and to repay outstanding debts. According to the Surinamese news magazine <a href="https://www.imf.org/en/News/Articles/2017/01/24/PR1714-Suriname-IMF-Executive-Board-Concludes-2016-Article-IV-Consultation">Parbode</a>, since December 2015 Bouterse has taken out at least 17 loans from the International Monetary Fund, Eximbank China and other lenders.</p>
<p>Borrowing will only add to Suriname’s debt burden. According to the IMF, the country’s debt-to-GDP ratio is <a href="http://www.imf.org/en/News/Articles/2017/01/24/PR1714-Suriname-IMF-Executive-Board-Concludes-2016-Article-IV-Consultation">projected to reach 68%</a>. In February 2017, ratings agency Fitch lowered Suriname’s rating to B-minus. </p>
<p>Meanwhile, a coherent policy addressing the recession, depreciation, rise in inflation and government deficit is lacking.</p>
<p>Still, the ongoing protests are unlikely to lead to the resignation of their president. He claims to have a popular mandate, but that’s not the only reason why Bouterse won’t budge: human rights violations from the 1980s still haunt him. </p>
<p>Bouterse and his comrades are still being prosecuted for the 1982 execution of 15 opposition members. He has tried to put an end to this seemingly endless court case, several times in fact. But on May 11, despite the demands of the public prosecutor to stop the process because it allegedly endangered national security, the court <a href="http://nos.nl/nieuwsuur/artikel/2172661-president-bouterse-blijft-worstelen-met-proces-en-crisis.html?title=president-bouterse-blijft-worstelen-met-proces-en-crisis">decided to forge on</a>. </p>
<p>The reaction of the Minister of Justice, Eugene van der San, was swift – “The government respects the judge’s decision” – then cryptic – “But there will be a moment when the executive power will be in charge again.”</p>
<p>Right now, Suriname’s economic and political future are uncertain, but one thing is clear: too few international eyes are watching the unfolding events.</p><img src="https://counter.theconversation.com/content/77351/count.gif" alt="The Conversation" width="1" height="1" />
<p class="fine-print"><em><span>Rosemarijn Hofte has received funding from the Netherlands Organisation for Scientific Research (NWO) to study the history of twentieth-century Suriname.</span></em></p>Oil-dependent and led by a charismatic dictator with a chaotic economic policy, is Suriname the next Venezuela?Rosemarijn Hofte, Professor, Suriname History , Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean StudiesLicensed as Creative Commons – attribution, no derivatives.