Menu Close
Yacht seperti “Eclipse” milik Roman Abramovich merupakan bagian terbesar dari emisi bagi miliarder yang memilikinya. AP/Lionel Cironneau

Jet pribadi, ‘mansion’, dan kapal mewah: sumber emisi karbon miliarder seperti Elon Musk dan Abramovich

Bos Tesla Elon Musk dan pendiri Amazon Jeff Bezos sempat bersaing untuk menjadi orang terkaya di dunia pada 2021 setelah kekayaan Musk melonjak pada 2020. Lonjakan tersebut sekaligus mendudukkan dia di posisi puncak.

Musk memang bukanlah satu-satunya taipan yang mengalami kenaikan kekayaan signifikan pada tahun pandemi, resesi, dan kematian. Menurut Forbes, penambahan harta miliarder dunia pada 2020 mencapai US$ 1,9 triliun (Rp 29,7 ribu triliun – sekitar sepuluh kali lipat belanja negara Indonesia pada 2021).

Nilai itu sangat besar sehingga kita benar-benar sulit menerkanya tanpa sebuah konteks. Karena itulah, selaku antropolog yang mempelajari budaya konsumen dan energi, kami mencoba memeriksa bagaimana kekayaan tersebut diejawantahkan dalam aktivitas konsumsi serta jejak karbon yang dihasilkannya.

Bagaimana rasanya menjadi miliarder?

Kami menemukan para miliarder memiliki jejak karbon yang ribuan kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata orang Amerika Serikat.

Aset-aset seperti yacht (kapal mewah), pesawat terbang, dan mansion (rumah besar), berkontribusi pada pelepasan emisi gas rumah kaca. Misalnya, superyacht berikut pekerjanya, landasan helikopter, kapal selam, dan kolam renang melepaskan emisi 7.020 ton CO2 dalam setahun.

Angka itu, dalam kacamata pelestarian lingkungan, menjadikan aset-aset tersebut sebagai yang terburuk. Transportasi dan real estat merupakan dua kontributor jumbo dalam jejak karbon aktivitas manusia. Maka itulah kami fokus menghitung dua aspek tersebut dalam aset-aset milik setiap miliarder.

CC BY-NC-ND

Untuk mencomot sampel dari para miliarder, kami menggunakan daftar 2.095 orang terkaya di dunia versi Forbes tahun 2020.

Penggunaan sampel yang acak ataupun representatif dari jejak karbon para miliarder sulit akurat karena kebanyakan orang-orang kaya tak terlalu mengumbar asetnya. Makanya kami mencoba berfokus pada aktivitas konsumsi mereka yang diketahui publik.

Namun kajian kami tak menganalisis orang-orang super kaya di Asia dan Timur Tengah.

Kami mengumpulkan 82 basis data publik untuk mencatat aset-aset para miliarder seperti rumah, mobil, pesawat, dan yacht. Setelah pencarian yang melelahkan, kami memeriksa data miliarder terkenal yang asetnya gampang dipastikan. Kami juga mencoba memasukkan aspek keberagaman gender dan wilayah. Daftar ini juga akan terus kami tambah.

Kami menggunakan berbagai macam sumber seperti Badan Informasi Energi Amerika Serikat (EIA) dan Carbon Footprint, untuk memperkirakan emisi CO2 tahunan dari setiap rumah yang tertangkap dari citra satelit ataupun foto, serta penggunaan pesawat pribadi dan yacht dengan yang diberitakan media populer maupun berbasiskan kajian lainnya. Hasil analisis kami dilandasi penggunaan rata-rata setiap aset berdasarkan ukurannya ataupun faktor lainnya.

Kami tidak mencoba menghitung emisi karbon terkandung (embodied carbon) – emisi yang dari pembakaran CO2 dalam proses produksi suatu barang, ataupun emisi yang diproduksi keluarganya, pekerja di lingkup keluarganya, ataupun dari rombongannya.

Kami juga tidak memasukkan emisi perusahaan yang dimiliki para miliarder supaya perhitungannya tidak bertambah rumit. Misalnya, kami tidak memasukkan emisi dari Tesla ataupun Amazon ketika menghitung jejak karbon Musk ataupun Bezos.

Dengan kata lain, analisis kami adalah perhitungan konservatif atas emisi yang dihasilkan para miliarder.

Jejak karbon Anda

Supaya lebih mudah dicerna, mari kita mulai dengan jejak karbon rata-rata yang dihasilkan setiap orang.

Warga Amerika Serikat, termasuk para miliardernya, menghasilkan 15 ton CO2 per orang pada 2018. Jejak karbon rata-rata global jauh lebih kecil, sekitar 5 ton CO2 per orang. Sedangkan orang Indonesia per tahun yang sama berada di bawahnya, hanya 2,3 ton per orang.

Sebaliknya, 20 miliarder yang menjadi sampel kami berkontribusi pada emisi CO2 rata-rata sebesar 8.190 ton pada 2018. Beberapa di antaranya bahkan menghasilkan emisi gas rumah kaca lebih besar dari yang lain.

Miliarder ‘jet’set

Roman Abramovich, yang memiliki kekayaan US$ 19 miliar (Rp 291 triliun) dari perdagangan minyak dan gas buminya, merupakan pencemar terbesar dalam daftar kami. Di luar Rusia, dia juga terkenal sebagai pemilik klub bola Chelsea asal Inggris.

Roman Abramovich meletakkan tangannya di wajahnya saat dia menonton pertandingan tim sepak bola Chelsea.
Roman Abramovich. AP Photo

Abramovich menyusuri kawasan Mediterania dengan superyacht yang bernama The Eclipse. Kapal yang memiliki panjang 162,5 meter ini sekaligus menjadi yang kedua terbesar di dunia, menyaingi kapal mewah cepat (cruise).

Konglomerat ini juga mondar-mandir ke berbagai negara dengan pesawat Boeing 767 yang didesain khusus, di dalamnya memuat ruang makan berkapasitas 30 kursi. Sementara, dalam perjalanan jarak dekat, Abramovich menggunakan jet Gulfstream G650, salah satu dari dua helikopternya, ataupun kapal selam yang terparkir di yacht-nya.

Rumah Abramovich juga tersebar di berbagai negara, termasuk mansion di Kensington Park Gardens di jantung kota London, istana di Cap D’Antibes di Prancis, dan kompleks rumah pribadi seluas 28 hektare di St. Barts – sebelumnya dimiliki mendiang taipan David Rockefeller.

Pada 2018, Abramovich pindah dari Inggris dan menetap di Israel. Dia memiliki dua kewarganegaraan dan membeli rumah di Israel pada 2020 seharga US$ 64,5 juta (Rp 1 triliun).

Kami memperkirakan Abramovich bertanggung jawab pada 33.859 metrik ton CO2 pada 2018. Sekitar dua per tiganya berasal dari yacht yang selalu dalam keadaan siap pakai sepanjang waktu di sepanjang tahun.

Mansion besar dan jet pribadi

Bill Gates saat ini orang terkaya keempat di dunia dengan nilai aset sebesar US$ 124 miliar (Rp 1.938 triliun). Gates tergolong sebagai pencemar yang “moderat” – dibandingkan miliarder lainnya dan tipikal bagi pemilik jet pribadi yang tak mempunyai yacht raksasa.

Bill Gates. AP Photo

Bos Microsoft ini pensiun pada 2020 untuk mengelola Bill and Melinda Gates Foundation, sebuah yayasan amal terbesar dengan pengelolaan dana sebesar US$ 50 miliar (Rp 781 triliun).

Pada 1990-an, Gates menghamburkan duit US$ 127 juta (Rp 1.938 triliun) untuk mendirikan kompleks rumah pribadi bernama Xanadu di Medina, Washington. Nama tersebut yang berasal dari nama kompleks rumah pribadi dalam film klasik “Citizen Kane” besutan Orson Welles.

Istana jumbo itu memiliki luas 6.131 meter persegi, dilengkapi garasi 23 mobil, bioskop pribadi untuk 20 orang, dan 24 kamar mandi. Dia juga memiliki lima tempat tinggal lainnya di California Selatan, Kepulauan San Juan di Washington, North Salem, New York, New York City. Ada juga peternakan kuda, empat jet pribadi, satu pesawat terbang air, dan sederet helikopter.

Kami memperkirakan jejak karbon tahunannya sebesar 7.493 metrik ton, sebagian besar berasal dari perjalanan udara.

CEO perusahaan teknologi berwawasan lingkungan

Meski berstatus orang terkaya kedua di dunia (US$ 177 miliar atau Rp 2.767 triliun), Kepala Eksekutif Tesla Motors dan SpaceX, Elon Musk, secara mengejutkan memiliki jejak karbon yang rendah. Konglomerat yang lahir di Afrika Selatan ini tampaknya mau memberi contoh kepada miliarder lainnya.

Musk tidak memiliki superyacht. Dia juga mengklaim tidak suka bervakansi.

Tangan kiri dan kanan Elon Musk mengacungkan jempol.
Elon Musk. AP Photo

Kami menghitung jejak karbon Musk cukup moderat pada 2018, berkat asetnya yang diklaim hanya delapan rumah dan satu jet pribadi. Tahun 2021, jejak karbonnya akan lebih rendah karena pada 2020 dia menjual seluruh rumahnya dan berjanji untuk melepaskan kepemilikan aset globalnya.

Musk sebenarnya memiliki jejak karbon pribadi yang ratusan kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata warga dunia. Kami memprediksi jejak karbon dari asetnya pada 2018 sekitar 2.084 ton.

Namun begitu, gaya Musk sekaligus menandakan bahwa orang superkaya bisa memilih dan bahkan meredam dampak lingkungan dari gaya hidup mereka.

Usaha mempermalukan para taipan

Riset kami bertujuan untuk mengajak orang-orang berpikir terkait beban lingkungan atas suatu kekayaan.

Meski kebanyakan studi menunjukkan bahwa negara-negara dan orang kaya memproduksi jauh lebih banyak emisi gas rumah kaca daripada bagian mereka, kajian-kajian ini masih terasa abstrak dan akademis. Akhirnya hasil penelitian sulit memantik perubahan perilaku.

Kami percaya bahwa aktivitas “shaming” (mempermalukan) – orang-orang superkaya dari kebiasaannya yang boros energi memiliki dampak penting, salah satunya adalah menjadi contoh buruk supaya tidak ditiru orang-orang.

Koran-koran, kota, dan warga lokal juga bisa memberi dampak, misalnya saat kekeringan melanda California pada 2014 dan 2015, para selebritas mendapatkan “drought shaming” lantaran rumput-rumput di rumah mereka tetap hijau (dan memakan banyak air).

Orang-orang Swedia bahkan menciptakan istilah baru yakni flygskam“ atau flight shame (penerbangan yang memalukan) – untuk meningkatkan kesadaran seputar dampak perjalanan udara terhadap iklim bumi.

Para pakar iklim menyatakan, untuk menjaga harapan pembatasan suhu bumi 1,5 C dibandingkan era praindustri, negara-negara harus memangkas separuh emisi mereka pada 2030 dan menghilangkannya pada 2050.

Meminta publik Amerika (termasuk juga warga Indonesia) untuk menerapkan gaya hidup rendah karbon untuk mencapai tujuan ini sangat menyakitkan dan tidak efektif karena dibutuhkan sekitar 550 masa hidup mereka (bahkan lebih) untuk menyamai jejak karbon rata-rata miliarder dalam daftar kami.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now